ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

34

Transcript of ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

Page 1: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK
Page 2: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

ISSN 1907-4891

R E D A K S IPENGARAH

Inspektur Jenderal

PENANGGUNG JAWABSekretaris Inspektorat Jenderal

PEMIMPIN REDAKSIM. Arief Priana, S.Hut, M.Si

WAKIL PEMIMPIN REDAKSIMarjoko, S.Sos, M.Hum

SEKRETARIS REDAKSIHendro Priyono, S.AP, M.SE,M.A

DESAIN GRAFISDidik Triwibowo, S.Kom - Yogi Nurwana

ISSN1907-4891

SK Kepala Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah LIPI

No. 0004.381/JI.3.02/SK.ISSN/2006tanggal 11 Mei 2006

PENYUNTING / EDITORDesi Intan Anggraheni, S.Hut, M.Ak

Uli Arriyani, S.Hut, M.SiWidya Hastuti, S.Hut, M.SE

Drs. Otto Bawer Sembiring, MMIndra Febriana, S.Hut, M.Si

Yogi Nurwana, S.Hut

STAF REDAKSISalwa Amira, S.Hut

Yuniva Nur Laela. A.MdAgus Triono, A.Md

Pendapat / pandangan / opini dalam artikel buletin ini bukan merupakan representasi kebijakan Inspektorat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

FOTOGRAFERTohap Pasaribu, S.AP

PENGANTAR REDAKSIAssalamu'alaikum wr. wb

Salah satu contoh tantangan Itjen KLHK atas pengawasan intern Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dalam kegiatan Padat Karya Penanaman Mangrove (PKPN) yang harus diatur strategi pengawasannya adalah risiko munculnya stigma dari pihak pelaksana yang merasa direcoki oleh kegiatan yangdilakukan APIP. Apa arti merecoki menurut KBBI? kapan APIP berperan sebagai "perecok" tadi? Pembaca dapat menemukan jawaban dalam salah satu artikel yang dimuat di edisi penghujung tahun 2020 ini.

Terdapat 8 (delapan) artikel lain yang layak di-baca antara lain meliputi tema retrospeksi pengawasan investigatif, materi seputar pengadaan barang / jasa (PBJ), Pengawasan Tata Batas dan transformasi pengawasan ditengah Pandemi.

Selamat membaca.

Wassalam,P I M R E D

M. Arief PrianaCover :

Inspektur Wilayah II (Bapak Sumarto) danAuditor Madya Itjen KLHK (Joko Yunianto)

sedang memberikan arahan teknis pada saat melakukan pemantauan lapangan padat karya

penanaman mangrove oleh Tim Itjen KLHK di KTH Bagek Kembar Kabupaten Lombok Timur Wilayah Kerja BPDASHL Dodokan Moyosari Provinsi NTB

Page 3: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

PENGAWASANBULETIN

ISSN 1907-4891

Volume 15 No 4 Hal. 1 - 68 Desember 2020

6 Serupa Tapi Tak Sama

14 PIPK sebagi Inspirasi Penyelenggaraan SPIP

10 Uang Muka Versus Termin

22 Sedikit Mengenal Persekongkolan dalam PBJ

Transformasi di Tengah Pandemi

36 Retrospeksi Pengawasan Investigatif

Subkontrak dalam Pengadaan Barang / Jasa

62 Pengawasan Penggunaan Biaya Pihak Ketiga pada kegiatan Supervisi dan Pengawasan Tata Batas Areal Izin

24

30

ISIHAKORDIA 2020

Menteri LHK dalam rangka Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) 2020 memimpin acara Penandatanganan Pakta Integritas oleh seluruh Pejabat Eselon I, II dan Kepala Unit Pelaksana Teknis serta Deklarasi Anti Korupsi, Anti Suap dan Anti Gratifikasi. Acara dilaksanakan tanggal 8 Desember 2020 di Auditorium Manggala Wanabhakti Jakarta yang dihadiri perwakilan dan secara virtual.

40 APIP Merecoki Program Padat Karya Penanaman Mangrove (PKPM) ?

Page 4: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

7BULETIN PENGAWASAN6 Volume 15-4

SERUPA TAPI TAK SAMA

PENULIS :HERYANA

AUDITOR MADYA - ITJEN KLHK

Pernah dalam suatu penugasan pengawasan, penulis melakukan penelitian terhadap dokumen pemilihan pengadaan barang/jasa, salah satunya adalah dokumen Kerangka Acuan Kerja (KAK). Namun dokumen KAK yang dinyatakan sebagai dokumen pemilihan oleh PPK adalah KAK dengan format KAK untuk penyusunan RKA-K/L dan ditandatangani oleh penanggung jawab kegiatan. Pada saat itu penulis bertanya “apakah dokumen KAK ini yang di upload ke UKPBJ

(Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa) sebagai salah satu dokumen pemilihan untuk proses tender? dijawab “ya”. Pengalaman tersebut merupakan hal yang sangat berharga yang melatarbelakangi tulisan ini dalam rangka berbagi pendapat perihal KAK, dan tulisan ini akan sedikit mengulas tentang perbedaan antara “KAK sebagai dokumen pendukung RKA-KL” dengan “KAK sebagai dokumen pemilihan”.

A. KERANGKA ACUAN KERJA (KAK) DALAM GAMBAR

1. KAK Dalam Pengadaan Barang/Jasa (PBJ)

Gambar 1. Posisi KAK Dalam Proses PBJ

Uraian/penjelasan gambar 1. adalah sebagai berikut.

a. Perencanaan pengadaan adalah proses perumusan kegiatan yang dimulai dari identifikasi kebutuhan, penetapan barang/jasa, cara pengadaan, jadwal pengadaan, anggaran pengadaan. Perencanaan pengadaan menjadi masukan dalam penyusunan RKA-K/L.

b. Persiapan pengadaan dilaksanakan oleh PPK berdasarkan RKA-K/L dan dokumen perencanaan pengadaan barang/jasa.

c. Persiapan pemilihan penyedia oleh Pokja dilak-sanakan setelah Pokja menerima permintaan pe-milihan penyedia dari PPK yang dilampiri dokumen persiapan pengadaan barang/jasa melalui Penyedia yang disampaikan oleh PPK kepada Kepala UKPBJ/Pejabat Pengadaan.

d. Pelaksanaan pemilihan penyedia dilakukan oleh PPK dan Pokja pemilihan/pejabat pengadaan sesuai metode pemilihan.

e. Pelaksanaan kontrak dilaksanakan oleh para pihak sesuai ketentuan yang termuat dalam kontrak.

f. Serah terima pekerjaan, dilakukan setelah pekerjaan selesai 100% sesuai ketentuan yang termuat dalam kontrak.

Dari gambar dan uraian proses pengadaan tersebut di atas, sekurang-kurangnya KAK ada di 3 (tiga) tahapan pengadaan yaitu pada tahap perencanaan PB/J, persia-pan PB/J dan persiapan pemilihan. Dari uraian tersebut, ada perbedaan KAK pada ketiga tahapan dimaksud yaitu: a. Pada pertama (tahap perencanaan PB/J).

KAK yang disusun adalah KAK untuk mendukung RKA-KL dan ditetapkan oleh penanggungjawab ke-giatan. Kegiatan pengadaan yang tercantum dalam RKA-K/L tersebut ditindaklanjuti oleh PPK dengan melakukan upload di SIRUP.

b. Pada tahap kedua dan ketiga (persiapan pengadaan dan persiapan pemilihan).

KAK yang dimaksud dengan KAK pada tahap ini adalah adalah KAK untuk pelaksanaan keg-iatan PB/J. KAK untuk pelaksanaan kegiatan PB/J merupakan hasil reviu dari KAK untuk penyusunan RKA-K/L.

KAK untuk pelaksanaan kegiatan PB/J bertujuan untuk memberikan informasi pekerjaan pengadaan barang/jasa yang akan dilaksanakan. Sehingga dalam proses pelaksanaan pemilihan, Pokja terbantu dalam proses aanwijzing dan penyedia dapat memahami lingkup keg-iatan PB/J yang akan dilaksanakan. Selain berfungsi untuk memberikan informasi, KAK merupakan salah satu dokumen pemilihan yang wajib ada dan ditetapkan oleh PPK. Karena apabila tidak ada atau ditetapkan oleh selain PPK maka dapat dikategori-

kan salah administrasi yang menyebabkan tender gagal. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang menyatakan bahwa tender dinyatakan gagal salah satunya karena ditemukan kesalahan dalam Dokumen Pemilihan atau Dokumen Pemilihan tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta petunjuk teknisnya.

2. KAK Dalam RKA-K/L

KAK dalam proses penyusunan RKA-K/L digunakan untuk menjelaskan perlunya output, sasaran, waktu dan me-kanisme pelaksanaan, kebutuhan anggaran serta dampak output. KAK dalam proses penyusunan anggaran ditan-datangani oleh penanggungjawab kegiatan dan dibuat untuk setiap output kegiatan dalam RKA-K/L.

KAK merupakan dokumen pendukung dalam proses penyusunan RKA-K/L, namun demikian dari sisi penga-wasan KAK menjadi salah satu dokumen yang sangat di-perhatikan. Karena dalam KAK itulah tergambar kegiatan itu diperlukan atau tidak, berapa volume sesungguhnya yang diperlukan dll. Posisi KAK dalam proses penyusunan RKA-K/L disajikan pada Gambar 2 dengan penjelasan sebagai berikut.

Fokus Reviu RKA/KL oleh APIP adalah :a. Kelayakan anggaran untuk menghasilkan sebuah

keluaran;

b. Kepatuhan dalam penerapan kaidah-kaidah perenca-naan penganggaran

c. Kelengkapan dokumen pendukung RKA/KL antara lain KAK/TOR, RAB dan dokumen pendukung lain-nya;

d. Rincian anggaran yang digunakan untuk menandai inisiatif baru dan/atau rincian anggaran angka dasar yang mengalami perubahan pada level komponen.

Disamping itu, pereviu dapat melakukan reviu untuk memastikan:a. Konsistensi pencantuman sasaran kinerja.

b. Kesesuaian total pagu anggaran dalam RKA/KL den-gan Pagu Anggaran/Alokasi Anggaran KL.

c. Kesesuaian sumber dana dalam RKA-K/L dengan sumber dana yang ditetapkan dalam pagu anggaran/alokasi anggaran K/L.

d. Kepatuhan dalam pencantuman penandaan angga-ran pada level keluaran.

Dari gambar 2 diketahui bahwa dokumen KAK dibuat mulai pada saat penyusunan RKA-K/L Pagu Anggaran dan/atau RKA-K/L Alokasi Anggaran dan/atau pada saat ada perubahan output.

Page 5: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

9BULETIN PENGAWASAN8 Volume 15-4

Gambar 2. Posisi KAK dalam Penyusuan RKA-K/L

3. HUBUNGAN KAK DALAM RKA/KL DENGAN KAK DALAM PBJ

Dalam peraturan LKPP Nomor 9 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan PB/J Melalui Penyedia, dengan jelas menyatakan bahwa tahapan reviu spesifikasi teknis/KAK bertujuan untuk memastikan bahwa spesifikasi teknis/KAK pada saat penyusunan anggaran belanja atau perencanaan Pengadaan Barang/Jasa masih sesuai den-gan kebutuhan barang/jasa dan ketersediaan anggaran belanja.Kemampuan PPK dalam menterjemahkan kebutuhan barang melalui aktivitas reviu spesifikasi teknis/KAK, akan menjadi faktor pembeda antara KAK untuk penyusunan RKA-K/L dengan KAK untuk PB/J. Apabila kita perhatikan, kalimat KAK dalam PB/J disa-makan dengan spesifikasi teknis atau “spesifikasi teknis/KAK”. Spesifikasi teknis merupakan sumber dari seluruh proses PB/J. Spesifikasi teknis sebagai dasar menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS).

Seorang PPK dituntut mampu menterjemahkan kebu-tuhan pengguna kedalam sebuah spesifikasi teknis yang efektif, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan. Se-hingga KAK dalam kegiatan PB/J paling sedikit memuat hal-hal sebagai berikut.a. Uraian kegiatan yang akan dilaksanakan;

b. Waktu pelaksanaan yang diperlukan;

c. Spesifikasi teknis barang/jasa yang akan diadakan; dan

d. Besarnya total perkiraan biaya.

Dari uraian tersebut jelas bahwa “hubungan antar KAK tersebut baik-baik saja” dalam arti tidak ada pertentan-gan, keduanya harus ada karena memiliki fungsi “mem-berikan informasi”, namun yang perlu diketahui adalah “kapan dan bilamana serta apa perbedaannya?”.

B. KAPAN DAN BILAMANA

Sudah jelas bahwa KAK merupakan sumber informasi kegiatan, jadi sifatya wajib ada. KAK sebagai pendukung RKA-K/L, wajib dibuat pada saat RKA-K/L akan disusun (baik RKA-K/L pagu anggaran, RKA-K/L alokasi anggaran, maupun pada saat adanya revisi RKA-K/L yang menye-babkan adanya penambahan-pengurangan output). Sedangkan KAK sebagai dokumen pemilihan ditetapkan pada saat akan dilaksanakannya proses pengadaan, dan KAK yang ditetapkan merupakan KAK hasil reviu dari KAK yang disusun pada saat proses penyusunan angga-ran.

C. PERBEDAAN ANTAR KAK

Dari uraian sebelumnya, jelas bahwa KAK sebagai pendukung RKA-K/L berbeda dengan KAK sebagai dokumen pemilihan dalam kegaiatan PB/. Secara ringkas, perbedaan KAK pada kedua kegiatan adalah sebagai berikut.

URAIANPERBEDAAN

KAK dalam RKA-K/L KAK dalam PB/J

Tata waktu Penyusunan

1. Juni dan Oktober tahun sebelumnya.

2. Pada saat adanya revisi anggaran yang menyebabkan bertambah/berkurangnya output

1. Pada saat akan dilaksanakannya proses pengadaan

2. Merupakaan hasil reviu dari KAK untuk penyusunan RKA-K/L

Pihak yang menetapkan

Penanggungjawab Kegiatan Pejabat Pembuat Komitmen

Substansi Menjelaskan gambaran capaian/ keter-kaitan mulai dari sasaran program sampai pada indikator dan volume keluaran

Menjelaskan ruang lingkup peker-jaan; spesifikasi teknis pekerjaan, waktu pelaksanaan pengadaan dan besarnya total biaya, jangka waktu garansi/pemeliharaan

Format Format KAK dalam RKA-K/L* Format KAK dalam PB/J*

SIMPULAN

SERUPA TAPI TAK SAMA, itulah mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan “KAK”. KAK merupakan gambaran cara pencapaian kinerja. KAK merupakan bukti/komitmen bahwa kegiatan yang dilaksanakan sudah terencana dan terukur dalam rangka menjalankan suatu program. Dalam proses PB/J keberadaan KAK menjadi sangat penting, karena dengan tidak adanya KAK menjadi salah satu penye-bab tender gagal. Sedangkan dalam penyusunan RKA-K/L, KAK merupakan bentuk komitmen dan alat evaluasi, sehingga apabila suatu kegiatan tidak dilengkapi dengan KAK, dapat diartikan bahwa sesungguhnya kegiatan tersebut mungkin tidak diperlukan.

Daftar Pustaka

a. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pen-gadaan Barang/Jasa

b. Peraturan LKPP Nomor 9 tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan PB/J melalui Penyedia

c. Peraturan Direktur Jenderal Anggran Nomor Per-5/AG/2020 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penel-aahan RKA-K/L dan Pengesahan DIPA

d. Peraturan Kepala LKPP Nomor 14 Tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Pe-rubahan Kedua atas Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

No

1

2

3

4

Page 6: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

11BULETIN PENGAWASAN10 Volume 15-4

UANG MUKA VERSUS TERMIN

PENULIS :DEDI MULYANA

AUDITOR MUDA - ITJEN KLHK

Ketika berbicara uang muka dengan termin ada hal menarik yang sering penulis dengar, yaitu sebagian orang berpendapat bahwa uang muka sama dengan termin pertama. Penulis sendiri berbeda pendapat dengan sebagian orang tersebut. Sebelum membahas lebih jauh berkenaan dengan uang muka dengan termin, penulis ingin menyampaikan sekilas pengertian dari uang

muka dan termin dalam lingkup pekerjaan di lnstansi Pemerintah.

A. Pengertian

Uang Muka (UM) atau lebih sering dikenal dengan istilah down payment (DP) adalah uang yang diberikan oleh pemilik pekerjaan/Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) di awal waktu atas transaksi pekerjaan kepada penyedia barang/jasa. Uang muka ini biasanya dilakukan pada saat setelah ditandatangani kontrak oleh penyedia barang/jasa atau ketika belum terjadi serah terima barang/jasa kepada PPK. (http://akuntan-si.blogspot.com/2013/09/apakah-down-payment-dan-termin-perta-ma.html).

Sedangkan termin adalah pembayaran yang dilakukan dengan cara dan syarat yang sudah ditetapkan pada saat ditandatanganinya kontrak/Surat Perjanjian Kerja (SPK) suatu pekerjaan. Biasanya pembayaran termin ini dilakukan saat barang/jasa sudah diterima oleh PPK, baik pembayaranya secara bertahap atau secara sekaligus pada akhir pekerjaan. Secara sederhana termin adalah sistem cicilan yang dilakukan oleh PPK kepada penyedia barang/jasa berdasarkan prosentase pekerjaan. Termin disebut cicilan karena pembayaran-nya secara bertahap, oleh karena itu ada istilah termin pertama, termin kedua, dan seterusnya. (http://akuntan-si.blogspot.com/2013/09/apakah-down-payment-dan-termin-pertama.html).

B. Perbedaan Uang Muka dan Termin

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan bebera-pa pengertian yang penulis pahami, penulis akan menco-ba untuk menjelaskan antara uang muka dengan termin beserta contohnya, dengan penjelasan sebagai berikut.

1. Uang muka dapat diberikan kepada penyedia barang/jasa sebagai modal kerja setelah ditandatanganinya kontrak/surat perjanjian kerja (SPK) oleh PPK. Pem-berian uang muka ini tidak berhubungan dengan prestasi kerja atau kemajuan pekerjaan yang telah dilakukan oleh penyedia barang/jasa. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Pasal 29 ayat 2, menyatakan bahwa uang muka diberikan dengan ketentuan: a. paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari nilai kontrak untuk usaha kecil; b. paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari nilai kontrak untuk usaha non-kecil dan Penyedia Jasa Konsultansi; atau c. paling tinggi 15% (lima belas persen) dari nilai kon-trak untuk Kontrak Tahun Jamak.

Sedangkan pembayaran termin dilakukan setelah ada ke-majuan pekerjaan atau prestasi kerja yang telah dilakukan oleh penyedia barang/jasa. Nilai dari setiap pembayaran termin berdasarkan kontrak/surat perjanjian kerja yang telah ditandatangani bersama.

2. Uang muka dapat diberikan dengan syarat apabila penyedia barang/jasa telah menyerahkan jaminan uang muka kepada PPK sebesar uang muka yang akan diberikan berupa bank garansi (surety bond). Sedangkan pembayaran termin dilakukan oleh PPK kepada penyedia barang/jasa tidak disertai jami-nan atau bank garansi (surety bond) dari penyedia barang/jasa.

3. Bila pengembalian uang muka tidak disebutkan secara jelas dalam kontrak, maka pengembalian uang muka tersebut akan menjadi pengurang setiap tahapan pembayaran termin yang diperhitungkan secara proporsional. Sedangkan termin merupakan pembayaran kepada penyedia barang/jasa atas prestasi kerja yang telah dilaksanakan.

4. Pada saat pembuatan faktur Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maka uang muka merupakan komponen pengurang pembayaran termin dalam menghitung dasar pengenaan pajak (DPP).

Untuk lebih memperjelas antara uang muka dan termin, penulis mencoba menyajikan ilustrasi atau contoh salah satu kontrak konstruksi sebagai berikut.

Misalkan PT Maju Bersama adalah perusahaan kualifikasi besar yang bergerak di bidang konstruksi. Pada tanggal 10 Februari 2020, PT Maju Bersama menandatangani kontrak dengan PPK untuk mendirikan gedung kantor milik Unit Pelaksana Teknis KLHK yang berlokasi di dae-rah Bogor. Nilai kontrak pembangunan kantor tersebut adalah sebesar Rp3.000.000.000,00., dengan rincian kontrak sebagai berikut:

1. PT Maju Bersama mengajukan uang muka sebesar 20% dari nilai kontrak atau senilai Rp600.000.000,00 dibayarkan bersamaan dengan hari penandatanga-nan kontrak pada tanggal 10 Februari 2020.

2. PT Maju Bersama telah menyerahkan jaminan uang muka senilai Rp600.000.000,00 berupa bank garansi (surety bond) sebelum tanggal 10 Februari 2020 kepada PPK.

3. Pembayaran termin dilakukan 3 (tiga) tahapan yaitu sebagai berikut:

a. Termin I sebesar 30% ketika pekerjaan fisik men-capai 50%, atau senilai Rp900.000.000,00 yang akan dibayarkan pada tanggal 10 Mei 2020;

b. Termin II sebesar 65% ketika pekerjaan fisik mencapai 100%, atau senilai Rp1.950.000.000,00 yang akan dibayarkan pada tanggal 30 Novem-ber 2020;

c. Termin III sebesar 5%, ketika pekerjaan pemeliharaan mencapai 100% atau senilai Rp150.000.000,00 yang akan dibayarkan pada tanggal 30 April 2021.

4. Dalam kontrak tidak disebutkan secara jelas bahwa pengembalian UM dibebankan pada setiap pembayaran termin. Dengan demikian, maka pengembalian UM akan diperhitungkan secara proporsional pada setiap pem-bayaran termin. Pembuatan faktur untuk pajak pert-ambahan nilai oleh PT Maju Bersama selaku Pengusaha Kena Pajak (PKP) dalam menentukan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) adalah sebagai berikut.

a. Penerimaan Uang Muka

Uang muka yang diterima oleh PT Maju Ber-sama adalah sebesar 20% x Rp3.000.000.000,00 = Rp600.000.000,00. Untuk menghitung Dasar pengenaan pajak (DPP) pajak pertambahan ni-lai dari UM adalah Rp600.000.000,00 x (10/110) = Rp54.545.455,00.

b. Penerimaan pembayaran tiap termin

Setiap tahapan pembayaran termin akan dikurangi pengembalian uang muka dengan rumus sebagai berikut: (pembayaran termin yang diterima / total nilai kontrak) x nilai uang muka, sehingga setiap tahapan penerimaan pembayaran termin perhitun-gannya adalah sebagai berikut:

1) Penerimaan pembayaran Termin I senilai Rp900.000.000,00 dikurangi proporsi uang muka terhadap pembayaran termin I yaitu: (Rp900.000.000,00/Rp3.000.000.000,00)xRp600.000.000,00=Rp180.000.000,00. Sehingga DPP untuk penerimaan pembayaran termin I adalah: Rp900.000.000,00- Rp180.000.000,00 = Rp720.000.000,00

2) penerimaan pembayaran termin II senilai Rp1.950.000.000,00 dikurangi proporsi uang muka terhadap pembayaran termin II yaitu: (Rp1.950.000.000,00 / Rp3.000.000.000) x Rp600.000.000,00 = Rp390.000.000,00. Sehing-ga DPP untuk penerimaan pembayaran termin II adalah: Rp1.950.000.000,00 - Rp390.000.000,00 = Rp1.560.000.000,00.

3) penerimaan pembayaran termin III adalah senilai Rp150.000.000,00 dikurangi proporsi uang muka terhadap pembayaran termin III yaitu: (Rp150.000.000,00 / Rp3.000.000.000) x Rp600.000.000,00 = Rp30.000.000,00. Sehingga DPP untuk penerimaan pembayaran termin III adalah: Rp150.000.000,00 - Rp30.000.000,00 = Rp120.000.000,00

Page 7: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

BULETIN PENGAWASAN12 13Volume 15-4

Secara lengkap pembuatan faktur untuk kontrak diatas disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 1. Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) untuk Pengembalian Uang Muka secara proporsional dari Termin

TanggalFaktur Pa-jak Atas

Nilai Termin (Rp)

Uang Muka (Rp)

DPP (Rp)(3-4)

PPN (10/110)(Rp)

10-2- 2020 Uang Muka 0 600.000.000 600.000.000 54.545.455

10-5- 2020 Termin I 900.000.000 180.000.000 720.000.000 27.272.727

30-11-2020 Termin II 1.950.000.000 390.000.000 1.560.000.000 177.272.727

30-4- 2021 Termin III 150.000.000 30.000.000 120.000.000 13.636.364

Jumlah 3.000.000.000 600.000.000 3.000.000.000 272.727.273

Untuk nomor 4 diatas adalah contoh apabila uang muka tidak disebutkan dengan jelas pengembaliannya dalam kon-trak, maka pengembalian UM akan diperhitungkan secara proporsional pada setiap pembayaran termin. Sedangkan bila UM disebutkan secara jelas sebagai bagian dari pembayaran termin I, II dst, maka berkenaan dengan hal tersebut penulis mencoba membuat ilustrasi sebagai berikut.

misalkan kontrak PT Maju Bersama dengan PPK menyebutkan secara jelas bahwa uang muka sebesar 20% adalah bagian dari pembayaran termin I, maka DPP untuk setiap pembayaran terminnya dapat disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 2. Perhitungan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pengembalian Uang Muka dari Termin

TanggalFaktur Pajak Atas

Nilai Termin (Rp)

Uang Muka (Rp)

DPP (Rp)(3-4)

PPN (10/110)(Rp)

10-2- 2020 Uang Muka 0 600.000.000 600.000.000 54.545.455

10-5- 2020 Termin I 900.000.000 600.000.000 300.000.000 27.272.727

30-11-2020 Termin II 1.950.000.000 0 1.950.000.000 177.272.727

30-4- 2021 Termin III 150.000.000 0 150.000.000 13.636.364

Jumlah 3.000.000.000 600.000.000 3.000.000.000 272.727.273

Ket: Nilai PPN adalah 10/110 atau 9,09 % namun sering dibulatkan menjadi 10%

Dalam pelaksanaan sehari-hari kadang terjadi permasalahan/pelanggaran yang timbul antara lain;

1. Dalam hal terdapat addendum kontrak perpanjangan jangka waktu penyelesaian pekerjaan, masa Jaminan Uang Muka tidak diperpanjang sesuai dengan masa penyelesaian pekerjaan setelah addendum kontrak.

Seharusnya bila terdapat addendum kontrak perpanjangan jangka waktu penyelesaian pekerjaan, maka masa Jaminan Uang Muka harus diperpanjang sesuai dengan jangka waktu penyelesaian pekerjaan. Bila masa jaminan uang muka tidak diperpanjang ketika terdapat addendum kontrak yang memperpanjang masa penyelesaian kontrak, maka dikhawatirkan bila terjadi pemutusan kontrak oleh PPK, maka jaminan uang muka tersebut tidak dapat di claim oleh PPK sehingga dapat menimbulka kerugian negara.

Adapun langkah yang harus diambil ketika terdapat addendum kontrak yang memperpanjang masa penyelesa-ian kontrak adalah sebagai berikut:

a) KPA membuat surat pemberitahuan kepada KPPN berkenaan adanya addendum kontrak perpanjangan jangka waktu penyelesaian peker-jaan.

b) Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud huruf a) harus disertai dengan surat pernyataan tanggung jawab mutlak yang berisi pernyataan:

1) Perpanjangan masa jaminan Uang Muka diselesaikan paling lambat 14 (empat belas) hari kalender sejak pengambilan Asli Jami-nan Uang Muka dari KPPN;

2) Bertanggung jawab atas kerugian negara yang timbul dari proses perpanjangan masa Jaminan Uang Muka.

c) Surat sebagaimna dimaksud huruf b), disam-paikan oleh PPK atau pejabat/pegawai yang ditunjuk kepada KPPN sebagai dasar pengambi-lan Asli Jaminan Uang Muka.

2. Pembayaran termin tidak sesuai dengan prestasi pekerjaan yang telah dilaksanakan oleh penyedia

Apabila dalam Surat Perintah Kerja (SPK)/kontrak, diatur bahwa PPK dapat membayarkan Termin I sebesar 30%, ketika pekerjaan fisik telah mencapai 30%. Namun dalam kenyataanya sering PPK mem-bayarkan Termin I sebesar 30 % walaupun prestasi kerjanya belum mencapai 30%. Untuk menghindari hal tersebut, maka sebaiknya PPK memastikan terlebih dahulu bahwa prestasi pekerjaan telah memenuhi prosentase sesuai dalam perjanjian/kon-trak kerja, dengan mempertimbangkan;

a) Bila barang/alat dikirim dari luar daerah, maka harus ada surat jalan pengiriman barang dan alat sebagai bukti Material On Site (MOS) dan telah mulai melaksanakan Erection;

b) Jadwal pelaksanaan (time schedule) sebagai bukti bahwa pekerjaan berjalan sesuai target dan jadwal;

c) Photo dokumentasi sebagai bukti pelaksanaan pekerjaan telah terlaksana dengan benar dan sesuai ketentuan;

d) Laporan prestasi pekerjaan sebagai bukti bahwa proses pelaksanaan pekerjaan selalu update se-cara berkala.

C. Kesimpulan

Uang muka dengan termin merupakan dua hal yang ber-beda dimana uang muka diberikan diawal sebagai modal kerja setelah ditandatanganinya kontrak/Surat Perjanjian Kerja (SPK) dengan PPK, sedangkan pembayaran termin dilakukan setelah ada kemajuan pekerjaan atau prestasi kerja. Uang muka diberikan paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari nilai kontrak untuk usaha kecil dan pal-ing tinggi 20% (dua puluh persen) dari nilai kontrak untuk usaha non-kecil; atau paling tinggi 15% (lima belas persen) dari nilai kontrak untuk Kontrak Tahun Jamak dan dapat diberikan dengan syarat bahwa penyedia barang/jasa menyerahkan jaminan uang muka kepada PPK sebesar uang muka berupa bank garansi (surety bond) sedangkan pembayaran termin kepada penyedia barang/jasa tidak disertai jaminan. Apabila uang muka tidak disebutkan secara jelas dalam kontrak berkenaan dengan pengembaliannya, maka pengembalian uang muka men-jadi pengurang untuk setiap tahapan pembayaran termin secara proporsional dan pada saat pembuatan faktur Pajak Pertambahan Nilai (PPN), maka uang muka men-jadi komponen pengurang pembayaran termin dalam menghitung Dasar Pengenaan Pajak (DPP).

Daftar Pustaka:

1. Peraturan Presiden nomor 16 Tahun 2018 tentang pen-gadaan barang/jasa pemerintah;

2. (http://akuntan-si.blogspot.com/2013/09/apakah-down-payment-dan-termin-pertama.html).

UANG MUKA?

TERMIN

Page 8: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

15BULETIN PENGAWASAN14 Volume 15-4

PIPK SEBAGAI INSPIRASI PENYELENGGARAAN SPIP

PENULIS :DWIANTO C. SUBANDRIOAUDITOR UTAMA - ITJEN KLHK

PIPK adalah singkatan dari Pengendalian Intern Pelaporan Keuangan. Itu diambil dari judul dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/PMK.09/2019 tentang Pedoman Penerapan, Penilaian, dan Reviu Pengendalian Intern Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat (selanjutnya di tulisan ini kita singkat menjadi PMK tentang PIPK). PIPK ini belum diterapkan di Kementerian LHK walau sudah sering diingatkan oleh Kementarian Keuangan, terakhir dengan Surat Dirjen Perbendaharaan kepada Setjen KLHK Nomor S-555/Pb/2020 tanggal 30 Juni 2020 perihal Jadwal Rekonsiliasi, Penyusunan, dan Penyampaian LK Kementerian/Lembaga Semester-I Tahun 2020 serta Rilis Panduan Teknisnya, khususnya pada butir 6.c agar menerapkan PIPK. Demikian juga ada rekomendasi dari BPKP yang melakukan evaluasi penerapan PIPK di semua K/L adalah agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera menerapkannya karena menjadi dasar bagi Menteri LHK (manajemen) untuk menandatangani Pernyataan Tanggung jawab atas Laporan Keuangan.PMK tentang PIPK itu bagus sebagai panduan bagi pelaksanaan pengendalian intern saat KLHK dan semua entitas akuntansinya menyusun Laporan Keuangan. Namun PMK itu juga bagus untuk diadaptasi bagi penyelenggaraan SPIP bagi semua kegiatan atau tugas pokok dan fungsi KLHK. Inspektorat Jenderal memainkan perannya di dalam proses PIPK sebagai PeReviu Hasil Penilaian atas efektivitas pengendalian intern di tingkat KLHK.

Rekomendasi agar PIPK segera diterapkan itu selain karena alasan praktis supaya Menteri LHK memiliki dasar untuk menandatangani Pernyataan Tanggung Jawab pada Laporan Keuangan, tapi setidaknya ada dua alasan lain, yaitu:a. Penerapan PIPK ini secara strategis dapat dijadikan

pendahulu bagi praktek penyelenggaraan SPIP atas semua tugas pokok dan fungsi KLHK; dan

b. Antara PIPK dengan SPIP yang ada di KLHK saat ini memiliki “musuh bersama”, yaitu terjadinya temuan-temuan, termasuk terjadinya TGR, dari hasil audit BPK-RI

atau dari hasil audit Itjen.Sesuai yang dinyatakan dalam PMK tentang PIPK tersebut, PIPK adalah pengendalian yang secara khusus dirancang agar Laporan Keuangan yang disusun menjadi andal, dan salah satu tujuan lainnya adalah untuk memberikan keyakinan yang memadai kepada pengguna Laporan Keuangan bahwa seluruh sumber daya keuangan telah diamankan dari kerugian material akibat kesalahan, kecurangan, pemborosan, penyalah-gunaan, atau sebab-sebab lainnya.

Yang tersebut dalam butir b itu sesuai dengan mereka yang memahami bahwa “SPIP adalah pagar anti temuan”. Dengan pemahaman semacam itu, maka semua Satker KLHK diminta menyusun disain SPIP yang isinya mengandung semua risiko yang digali dari semua sumber yang berpotensi menjadi temuan (RKA-K/L, tugas pokok dan fungsi, tugas lain, kegiatan pendukung, dan temuan hasil audit). Maksudnya adalah untuk menutup semua celah terjadinya temuan saat satker yang bersangkutan diaudit.

Maka, PIPK ini ‘seharusnya’ menjadi sesuatu yang menarik dan segera diterapkan oleh KLHK. Namun sangat disayangkan, sesuai penuturan narasumber Penulis di Biro Keuangan KLHK, pelaksanaan PIPK di Kementerian LHK sampai Semester I TA 2020 belum terlaksana dan anggaran untuk menerapkan PIPK di TA 2020 pun teramat sedikit. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Sekretaris Jenderal, mulai dari mengumpulkan semua eselon-1 untuk dilakukan sosialisasi, mengadakan workshop dengan mendatangkan nara sumber dari Kemenkeu namun semuanya belum dapat mendorong diterapkannya PIPK di KLHK.

Maka, Sekretariat Jenderal bersama Inspektorat Jenderal KLHK harus segera menggerakkan penerapan PMK tentang PIPK.

Dasar hukum pelaksanaan itu sangat mantap karena PMK tersebut berakar dari dua Undang-Undang (UU), yaitu Pasal 8 UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Pasal 55 ayat (2) huruf a dan ayat (4) UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Mengenal isi PMK tentang PIPK

Sebagai pedoman tentang pengendalian intern, prinsip PIPK sejalan dengan prinsip-prinsip yang disebutkan oleh PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP, dimana sistem yang terdiri dari lima unsur, yaitu 1) lingkungan pengendalian, 2) penilaian risiko, 3) kegiatan pengendalian, 4) informasi-komunikasi, dan 5) kegiatan pemantauan; demikian juga dengan prinsip-prinsip yang lain. Namun, struktur penyajian pedoman pengendalian intern di PMK ini tidak disampaikan secara berurutan sesuai urutan unsur-unsur dalam PP 60 Tahun 2008 sehingga isinya sulit dipahami. Secara garis besar, isi pedoman tentang PIPK ada tiga, yaitu:

1. Pedoman Penerapan PIPKPedoman Penerapan PIPK ini ditujukan bagi manajemen (yaitu pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengendalian dalam proses bisnis suatu unit kerja). Dalam pedoman ini antara lain disampaikan tentang:a. Framework SPIP yang dilaksanakan oleh setiap

satker, diuraikan secara ringkas tentang lima unsur SPIP seperti tersebut di atas. Uniknya, uraian yang disampaikan berasal dari framework pengendalian intern dari COSO 2013, beda dengan yang ada di PP 60 Tahun 2008 yang mengambil dari versi lawas, yaitu framework COSO 1992.

b. Pemahaman bahwa praktek pengendalian intern jaman now wajib memanfaatkan teknologi informasi. Ada penjelasan tentang Pengendalian Umum Teknologi Informasi dan Komunikasi. Menariknya, itu beda dengan PP Nomor 60 Tahun 2008 yang sangat tersamar dalam mengamanatkan penerapan teknologi informasi dalam pengendalian intern. Dalam PIPK ini dinyatakan secara gamblang bahwa pengendalian intern adalah termasuk penerapan teknologi informasi. Ini tidak mengherankan, karena proses pelaporan keuangan dan pelaporan BMN sudah sejak lama diselenggarakan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara masive, misalnya Sistem Informasi SPAN, aplikasi SAIBA, aplikasi Simak-BMN dan sistem informasi dan aplikasi lain yang serumpun.

c. Dalam prinsip Three Lines of Defences, manajemen yang menerapkan PIPK adalah the First Line of Defence-nya

2. Pedoman Penilaian PIPK.Pedoman Penilaian PIPK ini ditujukan bagi Tim Penilai PIPK yang merupakan bagian dari manajemen. Dalam pedoman ini antara lain disampaikan tentang:a. Dalam prinsip Three Lines of Defences, Tim Penilai

PIPK adalah the Second Line of Defence-nyab. Tujuan penilaian PIPK adalah memberikan umpan

balik bagi manajemen. Berdasarkan umpan balik itu, manajemen dapat mengetahui apakah pengendalian intern telah dirancang secara memadai dan telah diterapkan secara efektif.

c. Yang paling menarik dari kegiatan ini adalah adanya hasil penilaian atas efektivitas pengendalian intern yang diselenggarakan satker atau Kementerian, yaitu berupa predikat:Efektif; atauEfektif dengan pengecualian; atauMengandung kelemahan materialKegiatan penilaian ini mengajarkan kepada kita bahwa untuk menilai apakah SPIP yang kita selenggarakan itu efektif atau tidak memang harus ada prosedurnya.

d. Diperkenalkan istilah/pendekatan penilaian mandiri oleh manajemen (control self assessment, CSA). Dengan pendekatan ini, memungkinkan keterlibatan manajemen secara penuh dalam proses penilaian pengendalian intern yang dilaksanakan di instansinya. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa pihak manajemen lah yang paling paham akan proses bisnis dan praktek pengendalian intern yang dirancangnya.

e. Struktur Tim Penilai. Strukturnya berjenjang, mulai dari Tim Penilai PIPK di tingkat satker eselon-3, sampai dengan Tim Penilai PIPK tingkat kementerian. Ada arahan, agar Kementerian yang telah memiliki Satgas SPIP atau Unit Kepatuhan Intern, dan semacamnya dapat menggunakannya sebagai Tim Penilai penerapan PIPK.

f. Kegiatan penilaian pada dasarnya merupakan upaya terus-menerus sepanjang tahun (continous monitoring) untuk mendokumentasikan, menilai, dan memantau pengendalian intern dan memperbaiki kelemahannya. Meskipun demikian, satker hanya diharuskan melaporkan hasilnya secara tahunan.

g. Tim Penilai tingkat Kementerian harus merekomendasikan kepada manajemen (dalam hal ini bisa diwakili oleh Sekjen) tentang ruang lingkup Laporan Keuangan yang akan dinilai pengendalian internnya, termasuk pemilihan ‘akun-akun signifikan’ (istilah ini dapat dipadankan dengan risiko signifikan) yang seharusnya dikendalikan oleh menajemen.

h. Penilaian PIPK tingkat entitas (satker/unit kerja) dilakukan setiap tahun, atau jika terdapat perubahan kepemimpinan, perubahan proses bisnis, dan perubahan struktur organisasi.Menariknya, tidak semua satker/KPA harus melaksanakan penilaian PIPK. Sesuai Pasal 8 ayat (3) dan (4) dari PMK tentang PIPK menyebutkan

Page 9: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

17BULETIN PENGAWASAN16 Volume 15-4

bahwa Entitas Akuntansi yang melaksanakan Penilaian PIPK ditetapkan oleh Entitas Pelaporan (artinya ditetapkan oleh Kementerian) berdasarkan pertimbangan risiko. Artinya, kegiatan pemantauan efektivitas PIPK tidak harus dilakukan terhadap seluruh satker, melainkan hanya dilakukan terhadap satker-satker yang memiliki atau terkait dengan ‘akun-akun signifikan’.

3. Pedoman Reviu PIPK.Pedoman Reviu PIPK ini ditujukan bagi APIP. Dalam pedoman ini antara lain disampaikan tentang:a. Alasan dilakukannya Reviu atas PIPK adalah

pemikiran bahwa penilaian mandiri atas penerapan PIPK dapat dipengaruhi oleh subyektifitas manajemen. Oleh karena itu perlu dilakukan Reviu oleh APIP untuk memastikan bahwa hasil penilaian PIPK telah memenuhi standar. Dalam prinsip Three Lines of Defences, Itjen selaku Tim PeReviu nilai PIPK adalah the Third Line of Defence-nya

b. Pelaksanaan Reviu dapat dilakukan secara uji petik.c. Penentuan obyek uji petik. Reviu oleh APIP harus

mempertimbangkan manfaat dan biaya serta ketersediaan auditor.

d. Dalam prosedur reviu PIPK, auditor memeriksa kembali hasil penilaian oleh tim penilai, antara lain yaitu:1) hasil penilaian atas identifikasi risiko dan

kecukupan rancangan pengendaliannya dan perbaikan atas identifikasi risiko dan pengendaliannya;

2) hasil penilaian atas pengelolaan sistim informasi atau program aplikasi terkait pelaporan keuangan.

e. Urgensi dari adanya Reviu oleh APIP itu adalah bahwa Catatan Hasil Reviu-nya dipakai sebagai dasar Menteri membubuhkan tandatangannya pada “Pernyataan Tanggungjawab” pada halaman depan LK Kementerian.

Pengendalian Intern Tingkat Entitas dan Tingkat Proses/Transaksi

Istilah itu khas dalam PIPK. Istilah ‘pengendalian intern tingkat entitas’ dan ‘pengendalian intern tingkat proses/transaksi’ ini banyak digunakan baik di batang tubuh PMK maupun di Lampirannya. Kedua istilah itu telah ada batasannya. Namun, jujur, pada awalnya Penulis terlalu sulit memahami kedua istilah itu karena antara batasan yang ditulis dengan konteks pemakaiannya dalam suatu uraian tidak mudah dipahami. Namun setelah berkali-kali membaca PMK tersebut, Penulis menemukan bahwa yang hendak disampaikan dengan kedua istilah tersebut adalah sebagai berikut.a. Istilah pengendalian intern tingkat entitas adalah

penerapan SPIP secara umum sebagaimana kita

menerapkan SPIP sesuai PP Nomor 60 Tahun 2008 (penerapan lima unsur SPIP). Tujuannya adalah untuk menentukan efektivitas pengendalian intern secara umum di tingkat satker/unit kerja dalam menciptakan lingkungan yang mendukung efektivitas pengendalian intern tingkat proses/transaksi.

Ada dua hal yang menarik dalam PMK ini, yaitu:1) penerapan SPIP wajib dibarengi dengan penerapan/

pemanfaatan sistem informasi dan komunikasi; dan2) metoda penilaian yang dipakai dalam PMK tentang

PIPK ini sama dengan yang dipakai oleh PP Nomor 60 Tahun 2008, yaitu menggunakan check-list tapi referensi yang dipakai dalam PIPK adalah framework COSO-2013; dengan jumlah 252 pertanyaan, terdiri dari pertanyaan umum 48 buah, dan pertanyaan khusus penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) 204 buah (sementara check-list yang di PP menggunakan referensi COSO-1992 dengan jumlah pertanyaan 305 buah tanpa ada kelompok check-list khusus TIK)

b. Istilah pengendalian intern tingkat proses/transaksi adalah praktek pengendalian risiko tertentu di tingkat Kementerian (atau istilah populernya enterprise risk management, ERM, yaitu penerapan unsur kedua hingga kelima dari SPIP). Dalam PMK ini dijelaskan bahwa pengendalian intern tingkat proses/transaksi dirancang dan diterapkan untuk memitigasi risiko-risiko tertentu. Dalam pengendalian ini juga disebutkan adanya pengendalian aplikasi (TIK). Ini membuktikan betapa sistem informasi menjadi bagian integral (menyatu) dalam sistem pengendalian intern.

Ada tiga alasan mengapa Penulis mengemukakan dua istilah itu:a. Dalam tulisan ini, Penulis akan lebih menguraikan

tentang pengendalian intern tingkat proses/transaksi ketimbang tentang pengendalian intern tingkat entitas.

b. Di dalam PMK ini banyak arahan-arahan teknis penerapan pengendalian intern yang tidak ada di PP Nomor 60 Tahun 2008; dan

c. Arahan-arahan teknis itu dapat diadopsi oleh KLHK untuk diterapkan dalam pengendalian intern bagi kegiatan teknis (pelaksanaan tugas pokok dan fungsi).

Jadi, secara umum PMK tentang PIPK ini dapat dijadikan inspirasi bagi penyelenggaraan SPIP Kementerian LHK. Namun untuk lebih menonjolkan kelebihan dari PMK ini yang banyak memberi arahan teknis tentang pengelolaan risiko Kementerian (atau Enterprise Risk Management, ERM), maka dalam Bab 2 akan diuraikan hal-hal yang khusus terkait penerapan ERM yang mungkin dapat diadopsi oleh KLHK.

Bab 2. Arahan Lebih Rinci atas Penerapan ERM

Mengulangi lagi, bahwa ERM adalah penerapan SPIP minus unsur lingkungan pengendalian. Maka uraian yang berikut ini adalah terkait unsur kedua sampai unsur kelima dari SPIP.Sebelumnya, Penulis sampaikan bahwa dalam PMK tentang PIPK ini, arahan-arahan teknis yang berkaitan dengan penerapan pengelolaan risiko (risk management) tersebar di Bab-Bab yang berbeda sehingga pembacanya harus teliti dalam mengambil dan mengumpulkan sendiri penjelasan-penjelasan yang terkait dengan unsur-unsur tertentu dari SPIP. Penulis mengumpulkan penjelasan-penjelasan yang relevan, mulai dari penyelenggaraan unsur Penilaian Risiko sampai dengan unsur Monitoring Pengendalian, yang hasilnya dapat disajikan sebagai berikut.Karena uraian berikut diambil dari pedoman pengendalian intern pelaporan keuangan, banyak istilah-istilah yang berkenaan dengan sistem pelaporan keuangan. Walau demikian, jika pedoman tentang PIPK ini akan diadaptasi untuk kegiatan-kegiatan teknis di lingkungan Kementerian LHK, maka dapat digunakan istilah-istilah lain yang sepadan. Tapi jika pedoman ini diterapkan oleh Kementerian LHK untuk pelaporan keuangan, tentu saja istilah-istilah yang ada di dalamnya tetap relevan.Penyelenggaraan Unsur Penilaian Risiko (Risk Assessment)

Unsur penilaian risiko adalah proses intern di dalam manajemen untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengelola risiko untuk mencapai tujuan (dalam hal ini keandalan Laporan Keuangan sebagai salah satu dari empat tujuan SPIP).Pointer-pointer di unsur ini antara lain sebagai berikut.a. Manajemen menyusun dokumen Ikhtisar Risiko, yang

memuat:1) Daftar ‘akun signifikan’.

Isitilah ini dalam pengendalian intern bagi kegiatan teknis KLHK dapat dipadankan dengan nama sebuah Kegiatan (contohnya: Pengelolaan Taman Wisata Alam, Pengukuhan Kawasan Hutan, Pengendalian Pencemaran Udara, dlsb)

2) Saldonya. Saldo dalam Ikhtisar Risiko menggambarkan seberapa material sebuah temuan/kelemahan yang akan dikendalikan bagi Kementerian.

3) Asersi Laporan Keuangan-nyaAsersi adalah semacam aspek dalam pelaporan keuangan. Jenis-jenis asersi adalah sebagai berikut.a) Completeness (seluruh akun dan transaksi

yang seharusnya disajikan telah disajikan semua)

b) Existence and occurence (aset, kewajiban, ekuitas benar-benar ada pada saat tanggal neraca)

c) Valuation and allocation (nilai-nilai yang tersaji dalam akun aset, kewajiban, pendapatan, dan beban adalah tepat)

d) Right and obligation (aset yang tercantum di LK adalah hak satker dan utang adalah kewajiban satker)

e) Presentation and disclosure (LK disajikan secara jelas, lengkap dan dapat dipahami pembaca)

Istilah asersi ini dalam kegiatan teknis KLHK dapat juga diterapkan tapi tidak lazim. Misalnya dalam asersi completeness dalam laporan kegiatan RHL, Dirjen PDASHL harus memastikan bahwa seluruh lahan kritis di Indonesia sudah dimasukkan dalam data lahan kritis di laporan Dirjen.

4) Risiko yang mungkin terjadi. Ini terkait dengan proyeksi TGR jika ‘akun signifikan’ tidak dikendalikan dengan PIPK.

Dokumentasi atau data terakhir yang berkenaan dengan akun-akun tersebut harus disiapkan, termasuk print-out dari aplikasi terkait

b. Dokumentasi unsur penilaian risiko antara lain adalah Daftar Risiko, Ikhtisar Risiko dan lain-lain.Menariknya, PMK tentang PIPK ini adalah:1) Pemilik risiko pada kementerian/satker diminta

agar menyusun dokumen (tabel) risiko yang berisi rangkaian data logis dan relevan dengan pengendalian risiko.

2) Informasi pengendalian satu risiko harus disampaikan secara lengkap dan logis: Risikonya apa >> bentuk kegiatan pengendalian utamanya apa >> aplikasi apa yang dipakai >> siapa yang melaksanakan pengendalian >> tipe pegendaliannya apa >> dokumen pendukungnya apa.

3) Pada butir 3) sudah jelas tergambar bahwa pemanfaatan aplikasi (teknologi informasi) dalam PIPK menjadi alat bantu yang wajib.

c. Ikhtisar Risiko ini yang jadi obyek penilaian oleh Tim Penilai

d. Pemilik pengendalian (control owner) yaitu pejabat yang bertanggungjawab atas dilaksakannya suatu pengendalian intern di tingkat kementerian atau setingkat di bawahnya;

e. Proses/transaksi utama. Ini merujuk pada proses yang akan berpengaruh terhadap terjadinya salah saji dalam Laporan Keuangan, baik secara individual atau gabungan dengan proses lain.Isitilah ini dalam pengendalian intern bagi kegiatan teknis Kementerian LHK dapat dipadankan dengan proses tertentu dalam suatu Kegiatan (misalnya dalam Kegiatan Pengelolaan Taman Wisata Alam, ‘upaya pelestarian kawasan wisata alam’ bisa dianggap menjadi proses utamanya)

Page 10: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

19BULETIN PENGAWASAN18 Volume 15-4

f. Risiko utama, pada proses/transaksiIsitilah ini dalam pengendalian intern bagi kegiatan teknis Kementerian LHK dapat dipadankan dengan risiko signifikan dalam proses/transaksi utama (misalnya dalam upaya ‘pelestarian kawasan wisata alam’, maka risiko ‘tidak cukupnya daya-dukung daya-tampung kawasan’ bisa dianggap sebagai risiko utamanya)

Penyelenggaraan unsur Kegiatan Pengendalian (Control activities)

Kegiatan pengendalian adalah kebijakan/prosedur untuk memastikan bahwa arahan manajemen telah dilaksanakan oleh seluruh TINGKATAN. Penulis sengaja menonjolkan kata itu untuk menekankan bahwa kebijakan pengendalian yang ditetapkan Pimpinan bersifat mengikat bagi satker di bawahnya. Pointer-pointer di unsur ini antara lain sebagai berikut.a. Kegiatan pengendalian utama (key control) yaitu

kegiatan pengendalian yang - berdasarkan evaluasi - dapat memberikan pengaruh nyata (pengungkit, enabler) bagi tercapainya tujuan Kementerian. Atau dengan istilah yang lebih populer, kegiatan pengendalian utama disebut sebagai kegiatan untuk memitigasi risiko.

b. Dikenalkan bentuk-bentuk kegiatan pengendalian yang lebih rinci daripada yang disebutkan dalam PP Nomor 60 Tahun 2008, yaitu sebagai berikut.1) Bentuk kegiatan pengendalian preventif, yaitu yang

dirancang untuk menghindari kejadian yang tidak diharapkan (kesalahan): Pengendalian akses, Pemeriksaan fisik, Persetujuan (approval), Otorisasi (authorization) Pengamanan aset (security of asset) Pemisahan fungsi (segregation of duties) Validasi

2) Bentuk kegiatan pengendalian detektif, yaitu yang dirancang untuk menemukan kejadian yang tidak diharapkan (kesalahan):RekonsiliasiVerifikasi (verification) keakuratan akunReviu atas kinerja operasi (review of operating

performance)Reviu atas persetujuan,Monitoring,InventarisasiPenelitian lebih lanjutKlarifikasi

c. Atribut pengendalian, yaitu ciri/tanda/bukti yang menunjukkan bahwa pengendalian telah dilaksanakan. Contoh:1) BA Rekon (BAR)2) Paraf/tanda-tangan3) Tanda centrang4) Nomor urut pra-cetak5) Bentuk formulir6) dan lain-lain

d. Dokumentasi pengendalian dapat berbentuk Petunjuk Teknis, Standar Operating Prosedur (SOP), Pedoman Akuntansi, dan lain-lain.

e. Pelaksana pengendalian, yaitu pejabat/petugas yang melaksanakan kegiatan pengendalian, misalnya petugas yang membubuhkan paraf.

f. Dokumen pendukung kegiatan pengendalian, misalnya: kuitansi, kontrak, SPM, SP2D, dlsb

g. Tipe pengendalian, misalnya pengendalian secara manual, pengendalian dengan menggunakan aplikasi

Penyelenggaraan unsur Informasi-Komunikasi

Unsur ini berkaitan dengan bagaimana Kementerian memperoleh, menghasilkan, dan memanfaatkan informasi yang relevan dan bermutu untuk mendukung pengendalian intern. Kelebihan PMK tentang PIPK dibandingkan dengan PP Nomor 60 Tahun 2008 adalah bahwa amanat agar instansi Pemerintah memanfaatkan perkembangan teknologi informasi telah benar-benar ditunjukkan dengan praktek nyata. Kita semua sudah paham, bahwa di seluruh satker Pemerintah Pusat telah di-install berbagai bentuk program aplikasi yang bermuara dalam sistem pelaporan keuangan Pemerintah Pusat, misalnya Simak-BMN, SPAN, dsbPointer-pointer di unsur ini antara lain sebagai berikut.a. TIK memiliki peran vital di semua tingkatan dalam

mewujudkan Laporan Keuangan yang handal.b. Unsur informasi dan komunikasi dalam PIPK ini secara

gamblang diintegrasikan dalam sistem pelaporan keuangan. Maka dibutuhkan pengendalian TIK yang bertujuan untuk meyakinkan keamanan, kestabilan, dan keandalan kinerja perangkat keras dan perangkat lunak komputer dan sumber daya manusianya.

c. Secara umum, pengendalian TIK terdiri dari empat komponen, yaitu 1) manajemen risiko, 2) manajemen perubahan, 3) akses lojik, dan 4) operasional dan kelangsungan TIK.

d. Dokumentasi pengendalian dapat berbentuk Pedoman Penggunaan Aplikasi, Tata Cara Pengumpulan dan Penanganan Data, dan lain-lain.

Penyelenggaraan unsur Kegiatan Monitoring (Self Control Assessment)

Unsur kegiatan monitoring adalah unsur kelima dari SPIP. Menurut PP Nomor 60 Tahun 2008, unsur ini mengandung dua sub-unsur, yaitu:a. sub-unsur monitoring berkelanjutan atas kegiatan

pengendalian yang dilakukan oleh manajemen; b. sub-unsur evaluasi atas efektivitas pengendalian intern

yang dapat dilakukan oleh tim intern yang independen, atau oleh konsultan, atau oleh APIP.

Namun dalam PMK tersebut penyelenggaraan unsur ini ‘dimodifikasi’ menjadi dua kegiatan, yaitu:a. Kegiatan Penilaian PIPK oleh Tim Penilai internal (ada

Bab khusus yang berisi Pedoman Penilaian PIPK, lihat di uraian sebelumnya); dan

b. Kegiatan Reviu PIPK oleh APIP (ada Bab khusus yang berisi Pedoman Reviu bagi APIP, lihat di uraian sebelumnya).

Dalam Bab ini dapat disimpulkan bahwa PMK tentang PIPK ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan PP 60 Tahun 2008. Kelebihan yang menonjol adalah dipraktekkannya pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pengendalian intern, arahan dalam kegiatan pengendalian lebih rinci, dan arahan bagi pelaksanaan kegiatan monitoring juga lebih terstruktur.

Bab 3. Pengendalian Intern Tingkat Proses/Transaksi di KLHK

Pengendalian Intern Tingkat Proses/Transaksi adalah pengendalian yang dirancang dan diimplementasikan untuk memitigasi risiko-risiko dalam pemrosesan transaksi secara spesifik dan hanya terkait dan berdampak terhadap satu/sekelompok proses, transaksi, akun, atau asersi tertentu. Penulis sangat setuju bahwa dalam PIPK ini mengarahkan pengendalian intern dengan pendekatan pengendalian intern tingkat proses/transaksi. Mengapa demikian? Itu karena berarti pengendalian risiko ditangani “menurut jenis temuan”, tidak ditangani per satker tertentu. Pendekatan itu akan menggiring Pimpinan untuk menetapkan siapa pemilik risiko tertentu, dan siapa yang harus menyiapkan kegiatan pengendaliannya sampai tuntas. Pendekatan ini Penulis sebut jitu, karena pemilik risiko lah yang paling memahami proses bisnisnya, paling mengetahui pengendalian internnya, paling mengetahui alur informasi dari pelaksana tingkat bawah sampai tingkat paling atas. Dengan demikian, diharapkan penanganan suatu risiko dapat diselenggarakan secara lebih komprehensif, efektif, dan efisien.

Memilih ruang lingkup penilaian PIPK

Untuk urusan ini, ada arahan dari PMK tentang PIPK ini, yaitu agar Tim Penilai dan manajemen harus:a. Memahami perspektif BPK-RI untuk mengetahui

dan menenentukan akun signifikan, proses/transaksi utama, dan asersi tertentu yang menjadi temuan-temuan BPK-RI. Perbedaan perspektif antara KLHK dan BPK-RI mungkin saja terjadi, seperti perbedaan karena tingkat materialitas yang digunakan. Pihak KLHK biasanya dapat menilai tingkat materialitas yang disampaikan BPK-RI dalam temuan-temuannya (atau TGR) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan-nya.Dua contoh nyata bagi KLHK:• Akun Belanja Barang untuk Kegiatan RHL

dijadikan obyek pemeriksaan BPK-RI karena nilai proyeknya begitu sexy, dan besarnya TGR-nya juga sungguh material. Tak ada pilihan

lain bagi KLHK, akun ini harus dijadikan sebagai akun signifikan, artinya, KLHK harus merancang pengendalian intern untuk akun tersebut.

• Akun Persediaan untuk Diserahkan kepada Masyarakat (Mata Anggaran 526) dijadikan temuan BPK-RI karena materialitasnya lebih dari Rp 1 triliun. Tak ada pilihan lain bagi Kementerian LHK, akun ini harus dijadikan sebagai akun signifikan, artinya, KLHK harus merancang pengendalian intern untuk akun tersebut.

b. Ruang lingkup audit atas Laporan Keuangan oleh BPK-RI adalah pelaksanaan anggaran dalam DIPA dan pengelolaan BMN. Namun prakteknya, ruang lingkup audit oleh BPK-RI bisa meliputi semua urusan yang berkaitan dengan penggunaan anggaran, penerimaan Negara (misal, PNBP dari pinjam pakai kawasan hutan), dan semua urusan yang berkaitan dengan BMN (mulai dari BMN tidak ditemukan sampai revaluasi BMN).

c. Ruang lingkup audit oleh BPK-RI ternyata bisa menembus sampai ke dalam kegiatan teknis (pelaksanaan tugas pokok dan fungsi) satker eselon-1, misalnya kegiatan rehabilitas hutan dan lahan (RHL), pinjam pakai kawasan hutan, pengelolaan taman wisata alam, pengelolaan sampah, dan sebagainya. Singkatnya, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi semua eselon-1 di Kementerian LHK dapat menjadi obyek pemeriksaan BPK-RI dan semua berpeluang menjadi temuan BPK-RI, termasuk berpeluang ada TGR.

Ikhtisar Akun Signifikan KLHK Tahun 2020

Jika KLHK akan menerapkan PIPK, maka ruang lingkupnya dan tingkat materialitasnya dapat diambil dari temuan-temuan yang ada dalam Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan KLHK Tahun 2019 oleh BPK-RI. Alhamdulillah, KLHK memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian. Walau demikian masih tetap ada beberapa akun yang harus dilakukan penerapan PIPK karena materialitas temuan-temuannya.

Bab 4. PIPK Sebagai Inspirasi Penyelenggaraan SPIP KLHK

Penerapan Pengendalian Intern untuk Penyelenggaraan TUSI KLHK

PIPK dapat menjadi inspirasi bagi penyelenggaraan SPIP bagi KLHK. Mengulangi lagi, pelaksanaan PMK tentang PIPK dapat menjadi pendahulu bagi diselenggarakannya pengendalian intern atas pelaksanaan tugas pokok dan fungsi teknis KLHK. Prinsip-prinsip sistem pengendalian intern yang termuat dalam PMK tersebut dapat diterapkan bagi pelaksanaan SPIP bagi kegiatan-kegiatan teknis, misalnya RHL, Pinjam Pakai Kawasan Hutan, SIPPUH-Online, Pembangunan Infrastruktur Pembasahan Gambut, dll.

Page 11: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

21BULETIN PENGAWASAN20 Volume 15-4

Pemadanan istilah

Ruang lingkup PIPK adalah pengendalian intern tingkat entitas dan tingkat proses/transaksi. Istilah-istilah pada penerapan pengendalian intern tingkat entitas adalah seperti penerapan PP Nomor 60 Tahun 2008. Padanan istilah yang dapat Penulis sampaikan sebagai ilustrasi penerapan pengendalian intern tingkat proses/transaksi di lingkungan KLHK adalah Kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang diselenggarakan oleh Ditjen PDASHL, yaitu sebagai berikut.

No Istilah dalam PIPK Istilah Pengendalian Intern Pada Kegiatan RHL

1 Akun Signifikan, misalnya: Neraca Persediaan Piutang PNBP

Akun Signifikan, misalnya: Pengadaan Bibit Perencanaan Lokasi Evaluasi Tanaman

2 Proses/Transaksi Utama, misalnya: Pengadaan Barang dan Jasa Persediaan untuk Diserahkan kepada

Masyarakat

Proses/Transaksi Utama adalah proses/transaksi dari salah satu Akun Signifikan, misalnya kita pilih Pengadaan Bibit: Pembuatan bibit di persemaian

3 Risiko Utama, misalnya: Penyusunan HPS Memperoleh Surat Pernyataan Bersedia

Menerima Hibah

Risiko Utama adalah risiko-risiko dari proses/transaksi, misalnya kita pilih risiko dari proses pembuatan bibit di persemaian: Benih yang dipakai bukan yang bersertifikat Bibit yang akan didistribusikan tidak memenuhi syarat untuk

ditanam di lapangan4 Pengendalian Utama, misalnya:

Pengendalian akses, Persetujuan (approval), Pengamanan aset (security of asset)

Pengendalian Utama adalah bentuk pengendalian risiko yang dipakai oleh manajemen untuk mengelola risiko utamanya, misalnya kita pilih pengendalian atas risiko benih yang dipakai bukan yang bersertifikat:Persetujuan (approval) dari pengawas atas benih yang akan

dipakai, [sama dengan prosedur pada PIPK]

5 Aplikasi Pendukung, misalnya:SPANSAIBASimak-BMN

Aplikasi Pendukung adalah aplikasi yang dipakai sebagai sarana pencatatan dan monitoring, misalnya:Aplikasi Persediaan Sistem Informasi Perbenihan Tanaman Hutan

6 Pelaksana Pengendalian, misalnya: Operator SIMAN PP-SPM Operator SAIBA

Pelaksana Pengendalian adalah petugas yang diberi wewenang untuk melakukan kegiatan pengendalian, misalnya kita pilih pengendalian atas penggunaan benih yang akan dipakai: Mandor Pembibitan

7 Dokumen Pendukung, misalnya: Kontrak Kuitansi Tanda-terima Barang

Dokumen Pendukung adalah dokumen yang menjadi obyek pengendalian, misalnya yang terkait dengan penggunaan bibit bersertifikat: Dokumen Sertifikat Mutu Benih Dokumen Sertifikat Asal-Usul Benih Dokumen Sertifikat Sumber Benih

8 Tipe Pengendalian, misalnya: Manual Aplikasi

Tipe Pengendalian adalah tipe pengendalian yang dipraktekkan dalam mengendalikan risiko, misalnya kita pilih pengendalian atas risiko benih yang dipakai bukan yang bersertifikat: bisa memakai tipe manual, untuk pemeriksaan dokumen-

dokumen sertifikasi benih; dan bisa memakai tipe aplikasi, untuk mencatat jumlah bibit yang

diproduksi, misalnya menggunakan aplikasi Persediaan.

Semoga Kementerian LHK dapat segera menyelenggarakan SPIP sebagaimana yang diwajibkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 secara benar dengan melaksanakan PIPK ini sebagai pendahulunya. Tujuan utamanya adalah agar tujuan-tujuan KLHK dapat dicapai secara efektif dan kinerja KLHK dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat luas sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004.Bab 5. Simpulan

1. PIPK adalah SPIP khusus untuk pelaporan keuangan yang merupakan praktek nyata dari sistem pengendalian intern yang dimaksud oleh PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP. Semua prinsip dan ciri SPIP telah diakomodasi oleh PMK Nomor 17/PMK.09/2019 tentang PIPK, yaitu adanya prinsip peningkatan kinerja, prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, dan prinsip transparansi. Ciri penting dari sebuah SPIP semua ada, yaitu integral, dipergunakan oleh semua level pegawai/satker, dipakai sepanjang kegiatan (bukan dibuat per tahun), dan memanfaatkan teknologi informasi

2. PIPK seharusnya segera diterapkan di KLHK karena menjadi dasar bagi Menteri saat akan menandatangani Pernyataan Tanggungjawab atas Laporan Keuangan.

3. Itjen Kementerian LHK harus segera:a. ikut menggerakkan PIPK di lingkungan KLHK bersama Sekretariat Jenderal; dan b. menunaikan perannya sebagai PeReviu atas Penilaian Efektifitas PIPK.

4. Bagi Kementerian LHK, PIPK adalah sebuah contoh yang bagus dalam penerapan sistem pengendalian intern. Dengan segera diterapkannya PIPK, sekaligus dapat menjadi pendahulu bagi diselengarakannya SPIP bagi kegiatan teknis (tugas-pokok dan fungsi) KLHK.

5. KLHK dapat mengadopsi dan mengadaptasi prinsip-prinsip dan ciri-ciri yang ada di PIPK bagi pengendalian intern atas penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi teknis KLHK.

6. Itjen dapat membantu KLHK dengan mengadaptasi PMK 17/PMK.09/2019 sebagai model penyelenggaraan SPIP bagi semua tugas pokok dan fungsinya. Pelaksanaannya bisa bertahap, diprioritaskan untuk kegiatan yang dianggap paling berisiko bagi KLHK.

Daftar Pustaka

________; 2003. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

________; 2004. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

_________; 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4890);

_______: 2019. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.09/2019 tentang Pedoman Penerapan, Penilaian, dan Reviu Pengendalian Intern Atas Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 193)

Page 12: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

23BULETIN PENGAWASAN22 Volume 15-4

SEDIKIT MENGENAL PERSEKONGKOLan dalam pbj

HERYANAAUDITOR MADYA - ITJEN KLHK

DEDI MULYANAAUDITOR MUDA - ITJEN KLHK

PENULIS :

Diskusi, memang selalu membawa pencerahan dan perluasan ilmu pengetahuan, tak terkecuali diskusi tentang pengadaan barang/jasa. Pengadaan Barang/Jasa (PBJ) bukan sesuatu yang rumit, namun merupakan hal yang selalu menarik untuk dibahas, bukan karena ketidakjelasan namun lebih disebabkan karena dalam prakteknya “banyak pihak yang berkepentingan” terhadap pelaksanaan

PBJ. Selain itu banyak peraturan yang dapat menjelaskan hal-hal tertentu yang terdapat dalam peraturan PBJ, sebagai contoh adalah “persekongkolan”. Tulisan ini akan mencoba menterjemahkan persekongkolan dalam PBJ. Mudah-mudahan tulisan ini dapat membantu dalam pelaksanaan PBJ maupun untuk kepentingan efektivitas pengendalian intern.

Pengertian Persekongkolan

Penulis tidak menemukan arti secara langsung dari kata “persekongkolan”. Namun, padanan kata dari persokongkolan dalam kegiatan PBJ adalah “kolusi/pengaturan bersama/rekayasa”. Arti kolusi menurut Undang-undang 28 Tahun 1999 tentang Peny-elenggaraan Negara Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar- Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.

Dari pengertian tersebut setidaknya, persekongkolan dalam PBJ merupakan pemufakatan antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara. Berdasarkan pengalaman pada saat pelaksanaan pengawasan, praktek persekongkolan biasanya terjadi antara penyelenggara PBJ dengan satu pihak penyedia atau pihak penyelenggara dengan beberara pihak penyedia, atau digambarkan sebagaimana gambar sebagai berikut.

Gambar. 1 Model persekongkolan dalam PBJ

Indikasi persekongkolan

Dalam Perka LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pe-doman PBJ melalui Penyedia, dijelaskan indikasi persekongkolan adalah sebagai berikut:

a. terdapat kesamaan dokumen teknis, antara lain: metode kerja, bahan, alat, analisa pendekatan tek-nis, harga satuan, dan/atau spesifkasi barang yang ditawarkan (merek/tipe/jenis) dan/atau dukungan teknis.

b. seluruh penawaran dari Peserta mendekati HPS.

c. adanya keikutsertaan beberapa Peserta yang berada dalam 1 (satu) kendali.

d. adanya kesamaan/kesalahan isi dokumen penawaran, antara lain kesamaan/ kesalahan penge-tikan, susunan, dan format penulisan.

e. jaminan penawaran dikeluarkan dari penjamin yang sama dengan nomor seri yang berurutan.

Indikasi persekongkolan ini mungkin saja terjadi pada pada tahapan proses pemilihan atau memang sebelum-nya sudah ada pengaturan antar perusahaan.

a. Terjadi pada saat proses pemilihan.

1) Dokumen pemilihan yang di upload minim informasi, sedangkan informasi yang lengkap-nya diberikan kepada salah satu calon pe-nyedia. Sehingga dimungkinkan ada peyedia yang dokumen penawarannya sama dengan rincian kegiatan yang akan dilaksanakan, dan penawarannya mendekati HPS atau paling rendah;

2) Dalam proses evaluasi dan penetapan pemenang, Pokja mengabaikan evaluasi ter-hadap indikasi-indikasi persekongkolan yang tertuang dalam Perka LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman PB/J melalui penyedia.

b. Sudah ada pengaturan antar perusahaan. Indikasi adanya pengaturan antara perusahaan adalah doku-men penawaran yang disusun oleh pihak penyedia memiliki kesamaan/ kesalahan pengetikan, susu-nan, dan format penulisan) dan harga penawaran beberapa penyedia sama dan hanya ada satu pe-rusahaan yang menawar dengan harga yang relatif lebih rendah dari perusahaan lainnya

Dampak dan Pencegahan Persekongkolan

Persekongkolan memberikan dampak yang luar biasa dalam kegiatan pengadaan PB/J. kegiatan persekongkolan berten-tangan prinsip PB/J, pemberi kerja membayar dengan harga yang lebih mahal, barang/jasa yang diperoleh lebih rendah dan merugikan keuangan negara. Oleh sebab itu, apabila hal tersebut terjadi maka tindaklajutnya adalah rekomendasi daf-tar hitam dan pengenaan sanksi disiplin ASN, karena praktek persekongkolan menciderai dan melanggar prinsip PB/J.

Pencegahan persekongkolan bukanlah hal yang mudah, kare-na dia berbentuk pemufakatan/kerja sama dalam melawan hukum. Menurut penulis setidaknya ada 3 (tiga) langkah yang bisa di tempuh untuk pengendalian/mencegah terjadinya persekongkolan:

a. KPA harus memastikan bahwa paket pengadaan masuk dalam SIRUP;

b. KPA dan PPK harus memiliki keyakinan bahwa POKJA telah melakukan evaluasi secara benar terkait indikasi persekongkolan;

c. Instansi penyelenggara PB/J mengajukan probity audit kepada APIP terhadap pengadaan-pengadaan yang berisiko tinggi

Kesimpulan

Meskipun persaingan usaha tidak sehat dan/atau persekong-kolan merupakan salah satu penyebab gagal tender, namun dalam praktiknya jarang sekali “ditemukan” pada saat proses pemilihan. Perlu diketahui bahwa persekongkolan akan ber-akibat fatal apabila diketahui setelah ada penandatanganan kontrak dan atas dasar adanya laporan dari masyarakat.

Banyak faktor yang mempengaruhi tidak terdeteksinya prak-tik persekongkolan mulai dari faktor individu, kelompok, in-stansi internal, pihak eksternal maupun kepentingan lainnya. Semoga tulisan ini bermanfaat sebagai “tambahan amunisi” dalam mencegah praktek persokongkolan.

Daftar Pustaka

a. Undang-undang 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepo-tisme

b. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

c. Peraturan Kepala LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman PB/J melalui Swakelola

Page 13: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

25BULETIN PENGAWASAN24 Volume 15-4

TRANSFORMASI DI TENGAH PANDEMI

AWAL PRANOWOAUDITOR MUDA - ITJEN KLHK

DYAH PUJIHASTUTIAUDITOR MUDA - ITJEN KLHK

PENULIS :

PENDAHULUANPada akhir tahun 2019, dunia dihebohkan dengan adanya virus Covid-19, yang awal kemunculannya di Wuhan Tiongkok dan memasuki tahun 2020 virus tersebut mulai merambah ke Indonesia.

Sumber www.festo.comGambar 1. Penampakan virus corona

Dikutip dari id.wikipedia.org, dijelaskan bahwa koronavirus atau coronavirus atau virus corona adalah sekumpulan virus dari subfamili Orthocoronavirinae dalam keluarga Coronaviri-dae dan ordo Nidovorales. Kelompok virus ini dapat menye-babkan penyakit pada burung dan mamalia (termasuk manu-sia). Pada manusia, koronavirus menyebabkan infeksi saluran pernafasan yang umumnya ringan, seperti pilek meskipun beberapa bentuk penyakit seperti SARS, MERS dan COVID-19 sifatnya lebih mematikan.

Sumber www.covid19.go.idGambar 2. Jumlah Terpapar Covid-19

Data dari www.covid19.go.id sampai dengan tanggal 20 November 2020 terdapat 488.310 orang yang terpapar virus Covid-19 dengan 410.552 orang sembuh dan 15.678 orang meninggal. Berdasarkan data tersebut orang yang terkon-firmasi, sembuh dan meninggal karena Covid-19 mengalami peningkatan. Dengan meningkatnya penderita Covid-19 di Indonesia dan sulitnya memprediksi kapan pandemi ini akan berakhir, maka masyarakat sekarang ini dianjurkan untuk mener-apkan kebiasaan baru yaitu membiasakan senantiasa rajin mencuci tangan, menggunakan masker, menghindari keramaian, menjaga jarak antar manusia ketika berkomuni-kasi, menutup mulut ketika batuk/bersin, dan lain-lain. Hal tersebut kita kenal dengan adaptasi kebiasaan baru (New Normal). Anjuran ini terus digaungkan sinergi dengan upaya Pemerintah Indonesia untuk terus mengusahakan adanya vaksin Covid-19 bagi rakyatnya.

Tidak hanya kebiasaan baru seperti tersebut di atas, pandemi Covid-19 juga telah merubah konstelasi secara global, baik ekonomi, sosial, budaya ataupun pekerjaan kita saat ini termasuk kegiatan pengawasan baik audit, evaluasi, monitoring dll.Lalu sudahkah kita sebagai Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) berubah? atau beradaptasi dengan keadaan saat ini? ataukah kegiatan pengawasan harus mengalami stagnasi?

KENAPA KITA HARUS BERUBAH (TRANSFORMASI)?

Pandemi Covid-19 secara global telah memaksa kita un-tuk melakukan banyak perubahan pada berbagai hal dan berbagai sektor termasuk sektor pemerintahan, dalam hal ini kegiatan pengawasan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), transformasi memiliki pengertian pe-rubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya).Dampak Covid-19, di antaranya banyak kebiasaan yang berubah mulai dari perubahan pola kerja (Work From Home/WFH atau Work From Office/WFO), perubahan jam kerja (shift pagi atau shift siang) sampai perubahan pada tanggal cuti bersama.Selama pelaksanaan WFH banyak perkerjaan yang disele-saikan secara jarak jauh dengan menggunakan teknologi internet. Pekerjaan dikirim menggunakan e-mail, rapat-rapat atau pertemuan tatap muka digantikan dengan menggunakan aplikasi zoom meeting, google meets dan aplikasi tatap muka lainnya. Banyak riset yang dilakukan selama pandemi berlang-sung, tentunya selain riset terkait dengan virus Covid-19 ada pula riset tentang penggunaan internet dan aplikasi rapat non tatap muka seperti zoom meeting, google meets dll. Bahkan terdapat riset tentang peggunaan smartphone dalam kehidupan kita sehari-hari.Beberapa riset terkait dengan penggunaan internet atau smartphone untuk kepentingan pekerjaan atau pun untuk belanja online mulai dari belanja sayur mayur sampai dengan konsultasi dokter.

Sumber www.boc.web.idGambar 3. Device Usage

Berdasarkan data dari Hootsuite (perusahaan platform media sosial dari kanada), We are social (perusahaan media sosial dari Inggris) dan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), bahwa pengguna internet Indonesia sudah tembus 150 juta penduduk. Adapun alat yang digunakan untuk akses internet adalah menggunakan smartphone (60%), laptop atau desk computer (22%), dan tablet (8%). Artinya bahwa 60% dari populasi orang dawasa, saat ini mengakses internet via smart-phone, beberapa orang bahkan dapat bekerja menggunakan smartphone.

Sumber www.boc.web.idGambar 4. Time Spent With Media

Masih dari Hootsuite (perusahaan platform media sosial dari kanada), We are social (perusahaan media sosial dari Inggris) dan APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), dijelaskan bahwa rata-rata penggunaan internet dari desktop computer, smarthphone, etc yaitu 8 jam 36 menit sedangkan rata-rata penggunaan sosial media dari desktop computer, smarthphone, etc yaitu 3 jam 26 menit. Lalu bagaimana dengan penggunaan aplikasi rapat online?Berdasarkan press release Statqo Analytics (perusahaan Big Data Analytics Indonesia yang membantu para pe-mimpin mengubah institusi mereka melalui peningka-tan data), per 30 Maret 2020 – edisi ke-2 mengenai analisis digital terkait dengan dampak pandemi Covid-19 (updated Jun 26) diketahui sebagai berikut.

Sumber www.statqoanalytics.comGambar 5. Pengguna Aktif Aplikasi Online Meeting

Atau lebih rincinya sebagaimana tabel berikut.

Page 14: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

27BULETIN PENGAWASAN26 Volume 15-4

Tabel 1. Pengguna Aktif Aplikasi Online MeetingSumber www.statqoanalytics.com Dari data yang disampaikan oleh Statqoanalytics.com, terjadi peningkatan signifikan dalam pemanfaatan aplikasi zoom meeting sejak 6 – 26 Maret 2020 yaitu meningkat 183% atau dari 8.985 pengguna pada tanggal 6-12 Maret 2020 melonjak menjadi 257.953 pengguna pada tanggal 26 Maret 2020.Hal ini tentunya telah memaksa kita semua untuk berubah dan terpaksa berubah serta terpaksa belajar guna memenuhi tuntutan zaman atau untuk pelaksanaan tugas dan fungsi kita sehari-hari. Dengan adanya pandemi Covid-19 dan adanya data penggu-naan internet serta smartphone di Indonesia, menjadi alasan bahwa kita harus memikirkan cara-cara baru (transformasi) dalam melaksanakan tugas dan fungsi kita sebagai APIP.Berdasarkan bahan paparan Rico Usthavia Frans tahun 2018, dengan judul “Digital Distruptive Thinking in Preparing Business Plan” yang disampaikan pada acara seminar nasional Institute of Internal Auditors (IIA) di Solo.

Sumber bahan paparan “Digital Distruptive Thinking in Preparing Business Plan”Gambar 5. 5 domains that we need to focus on

Ada beberapa alasan mengapa kita harus berubah dan mari kita kaitkan perubahan tersebut dengan kegiatan kita sehari-hari yaitu.a. Pelanggan (Customer)

Pada tahapan ini terjadi perubahan yang significant pada pelanggan, kita perlu merubah paradigma dan cara memperlakukan pelanggan. Kita ambil contoh pada tiket masuk kawasan taman nasional, dimana objeknya adalah masyarakat. Bagaimana Ditjen KSDAE perlu menyikapi hal tersebut?1) Perubahan dari mass market menjadi dynamic net-

workSaat ini masuk kawasan konservasi masih meng-gunakan SIMAKSI atau menggunakan tiket manual (mass market). Seiring dengan kemajuan jaman, hal

ini harus berubah menjadi menggunakan electronic ticketing/online booking atau online payment/debet card (dynamic network).

2) Perubahan dari broadcast menjadi conversationPada tahapan broadcast, minim dimungkinkan adanya komunikasi namun saat ini ketika berubah menjadi conversation, perlu dan sangat dimungkink-an komunikasi dengan pelanggan.

Dahulu mungkin informasi mengenai masuk taman nasional masih menggunakan surat pengumuman atau diumumkan via iklan (broadcast) namun saat ini mungkin harus sudah berubah menjadi via apps store atau iklan dalam email atau internet yang langsung terpampang pada masing-masing handphone/personal computer/laptop (conversation) atau menampilkan aplikasi chat via WhatsApp pada laman situs taman nasional atau link chat pada Apps taman nasional sehingga dimung-kinkan adanya komunikasi antara orang yang ingin masuk taman nasional dengan operator selama 24 jam non stop. b. Kompetisi (Competition)

Pada tahapan ini kompetisi semakin kompetitif, dimana kompetisi sudah tidak ada batasan lagi. Sehingga kita perlu membangun perangkat lunak dan tidak cuma produk. Hal ini membuat perbedaan kawan dan lawan menjadi tidak jelas atau terjadi perubahan dari clear part-ners and rival menjadi blurred partners and rival.Contohnya, eticketing/online booking tidak hanya dapat dijual oleh satker KSDAE, namun bisa pula dijual melalui apps store khusus jual beli seperti bukalapak, tokopedia atau bahkan via gojek. Tentunya dengan kerja sama an-tara pemilik apps store dengan Ditjen KSDAE.

c. Data (Data)Pada tahapan ini kemampuan untuk mengumpulkan, menafsirkan, dan menggunakan data adalah kunci untuk menciptakan nilai. Dimana kita perlu merubah data men-jadi aset.Dahulu data yang bersifat mahal menjadi murah atau data exist in silo menjadi connected atau dengan kata lain data yang dahulu dikuasai oleh segelintir orang menjadi bersifat umum/siapa saja boleh mengakses data ini.Hal ini sering kita jumpai pada pemakaian aplikasi LAN perkantoran atau pembuatan database manajemen.

d. Inovasi (Innovation)Pada tahapan ini, kita memerlukan berbagai inovasi pada produksi. Dahulu inovasi ditentukan berdasarkan instinct namun saat ini inovasi ditentukan berdasarkan perhitun-gan-perhitungan.Dahulu mungkin tidak terbayangkan bagaimana kita membeli tiket masuk taman nasional menggunakan eticketing/online booking, dimana kita harus datang ke lokasi taman nasional yang kita tuju dan membeli tiket-nya. Namun penggunaan gadget menunjukkan bahwa belanja online meningkat tiap tahunnya, maka kita harus merubah pola kita dari yang manual ke mekanisme ap-likasi/sistem.

e. Nilai Penting (Value)Nilai penting yang dapat kita ambil dari semua point di atas, salah satunya adalah dahulu bisnis ditentukan oleh indus-tri namun saat ini bisnis ditentukan oleh kebutuhan pelanggan.

Contoh jika kita membutuhkan sesuatu kita harus datang ke toko, namun seiring dengan berjalannya waktu dan peningkatan angka penggunaan gadget maka semua dapat diselesaikan hanya dengan sekali klik tanpa harus keluar rumah. Semua ada dan terselesaikan dari genggaman anda (on your handphone).

Itulah 5 alasan penting mengapa kita harus berubah atau dipaksa untuk berubah di karenakan pandemi Covid-19 yang sedang terjadi. Lalu sudahkah kita sebagai APIP melakukan perubahan-perubahan atau beradaptasi secara cepat?.

Berdasarkan pengamatan penulis, ada beberapa hal yang perlu di perbaiki terkait pelaksanaan audit di era pandemi yang harus segera diselesaikan agar kegiatan audit tidak mengalami stagnasi yaitu.Tabel 2. Kendala Audit Setelah Covid-19

No Hal yang perlu berubahAudit

KendalaSebelum Covid-19 Setelah Covid-19

1 Dokumen Print Out Softcopy Softcopy tidak lengkap

2 Pengecekan dokumen Print Out Softcopy Softcopy tidak lengkap

3 Konfirmasi Tatap Muka Via Telp/WA/Zoom Meeting/dll

- Sinyal tidak stabil

- Informasi tidak lengkap

4 Pembahasan Hasil Audit Tatap Muka Via Zoom Meeting/dll - Sinyal tidak stabil

- Informasi tidak lengkap

5 Pengecekan Fisik Lapangan Langsung Turun La-pangan

Hanya Spot Tertentu Tidak dapat membandingkan dengan lokasi lain

6 Protocol Covid-19 dalam pelak-sanaan Audit

Tidak Ada - Belum di pikirkan/terpikirkan

7 Standar Audit Mengacu ke AAIPI - Belum ada standar untuk e-Audit

Terhadap hal tersebut, awal tahun 2020 Inspektorat Jenderal KLHK mencoba untuk melakukan terobosan dengan melak-sanakan kegiatan via daring yaitu elektronik audit/e-Audit dan elektronik evaluasi/e-Evaluasi. Seperti e-Audit RHL, e-Evaluasi BMN dan lain-lain tentunya hal ini bukan tanpa kendala. Terdapat beberapa kendala yang dihadapi selama pelaksanaan kegiatan, sehingga perlu dilakukan evaluasi secara berkala guna meningkatkan kinerja dan efisiensi baik waktu maupun biaya.

LESSONS LEARNEDMenurut pandangan penulis, terdapat pembelajaran yang perlu kita ambil dan kita persiapkan dari masa pandemi sekarang ini untuk diterapkan di masa yang akan datang, yaitu. 1. Mulai dengan kenapa dan siapa

Saat ini kita harus bisa menjelaskan kenapa dan siapa yang harus berubah. Kita harus tahu secara pasti alasan dan siapa yang harus berubah. Sehingga perubahannya menjadi fokus.Sebagai contoh Inspektorat Jenderal KLHK memulai dengan adanya elektronik audit/e-Audit dan elektronik evaluasi/e-Evaluasi, karena kegiatan audit dan evaluasi harus tetap berjalan dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan perjalanan dinas karena pandemi Covid-19.

Page 15: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

29BULETIN PENGAWASAN28 Volume 15-4

Kendala yang dihadapi pada saat e-Audit dan e-Evaluasi yaitu.a. Tidak apple to apple

Dalam pelaksanaan kegiatan e-Audit/e-Evaluasi se-harusnya data yang di butuhkan sudah dalam bentuk elektronik untuk kedua belah pihak baik auditor atau auditee. Namun ternyata data yang tersedia masih berbentuk berkas-berkas yang belum di scan (secara elektronik), akibatnya cukup menyita waktu audit.Terhadap permasalahan ini, perlu adanya kesamaan pandangan antara auditor dan auditee terkait den-gan data-data apa saja yang perlu di dokumentasikan secara digital atau perlu di scan. Minimal data terkait dengan tugas fungsi utama dari satker, tapi tentunya perlu ada identifikasi terlebih dahulu data apa saja.

b. Tidak tepat sasaranAdanya perbedaan dalam penafsiran data dan infor-masi yang diminta oleh pemeriksa/auditor dengan auditee/auditan. Hal ini terjadi karena tidak ada penapisan data yang diminta oleh auditor ke auditee. Agar tepat sasaran, minimal dilakukan penapisan data dan informasi yang diminta serta sebaiknya hal ini di sampaikan dari pihak auditor ke auditee H-1 sebelum DIPA di sahkan. Data dan informasi yang di tapis adalah data yang sudah di identifikasi.

c. Perlunya payung hukum untuk kegiatan pengawasan yang berbasis elektronik Saat ini kegiatan audit mengacu pada standar audit yang dibuat oleh AAIPI, namun bagaimana jika audit dilaksanakan secara elektronik dan jarak jauh? Perlukah ada standar atau pedoman khusus atau bagaimana?Terkait dengan hal ini, sebaiknya AAIPI sudah mulai memikirkan cara-cara baru dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan. Sehingga tugas dan fungsi pengawasan tetap berjalan dala kondisi apa-pun juga.

2. Pengembangan Information Technology (IT)Pengembangan IT di sini, menurut pandangan penulis ha-rus mulai dipikirkan penggunaan IT dalam melaksanakan kegiatan tugas dan fungsi. Namun perlu diperhatikan juga input dan output datanya, jangan sampai sudah-ma-hal-mahal membangun sistem IT namun tidak terjamin kerterlangsungan sistemnya.Sebagai contoh penggunaan Audit Command Language (ACL) yang merupakan sebuah software Computer As-sisted Audit Techniques (CAAT) yang sangat populer untuk melakukan analisa terhadap data dari berbagai macam sumber.Penggunaan ACL atau CAAT hanya bisa dilakukan jika basis datanya sudah elektronik, jika data-datanya masih berupa tumpukan laporan dan kertas-kertas, maka ACL atau CAAT belum dapat digunakan.

Sehingga yang perlu diubah adalah input datanya seperti apa dan output data yang diharapkan. Jika kita masih bingung akan hal tersebut, maka pengembangan IT masih berupa mimpi atau jangan-jangan masih belum terpikirkan.

3. Komitmen semua pihakMengingat mahalnya membangun sebuah sistem IT, maka diperlukan komitmen dari seluruh pemangku ke-pentingan baik dari level Menteri ataupun masing-masing Eselon I.Sebagai contoh yaitu pada tahun 2018, penulis melak-sanakan kegiatan telaah sejawat pada Inspektorat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Telaah se-jawat dilakukan mengacu pada standar yang diterbitkan AAIPI (Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia). Ada yang menarik disini yaitu ternyata pada tahun itu pula Inspektorat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membuat Aplikasi SIMPATI (Sistem Manajemen Penga-wasan Terintegrasi). Berdasarkan wawancara dengan salah satu pegawai Inspektorat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, SIMPATI dibangun dengan anggaran senilai ± 5 s.d. 6 Milyar (software, hardware dan license) dari 3 bagian yaitu anggaran Inspektorat, Biro Umum dan Biro Perencanan dan Keuangan. Aplikasi tersebut terintegrasi dengan aplikasi internal (simpeg, rka k/l, e-performance dll), dan aplikasi eksternal (SiPTL BPK, SIRUP dll). Aplikasi ini bisa diakses melalui laptop, desk computer, HP berbasis Android, Apple. Pembangunan aplikasi ini memerlukan waktu ± 6 bulan s.d. 1 tahun, dan terus menerus dikem-bangkan.

Sumber Bahan Paparan SIMPATI Gambar 6. Dashboard SIMPATI

Dari gambar 6 di atas, menggambarkan mengenai tampi-lan apa saja yang dapat diakses pada Dashboard SIMPATI. Sedangkan untuk Arsitektur modul pengawasan SIMPATI dan ouput yang diharapkan dari aplikasi SIMPATI ini adalah sebagai berikut.

Sumber Bahan Paparan SIMPATI Gambar 7. Arsitektur Modul Pengawasan SIMPATI

Arsitektur modul pengawasan SIMPATI menggambarkan secara garis besar mengenai hal-hal apa saja yang dapat menjadi input pada aplikasi SIMPATI.

Sumber Bahan Paparan SIMPATI Gambar 8. Output Kegiatan Pengawasan

Output kegiatan pengawasan menggambarkan mengenai hal-hal apa saja yang di hasilkan dari aplikasi SIMPATI baik untuk kepentingan internal maupun kepentingan eksternal. Aplikasi SIMPATI dapat tercapai atas adanya komitmen bersama antara Menteri selaku Pengguna Anggaran dan masing-masing Eselon 1 selaku Kuasa Pengguna Angga-ran. Lalu sudahkah kita (Menteri dan Eselon I) berkomitmen untuk membuat dan mengembangkan IT pada institusi kita? Berapakah anggaran pembangunan IT kita?

4. Modernisasi langkah kerjaSebelum melaksanakan transformasi dalam bidang IT, sebaiknya kita melakukan perancangan ulang terlebih dahulu. Hal-hal apa saja yang kita perlukan dalam pelak-sanaan pengawasan sehingga dapat dilaksanakan secara elektronik, selain itu hal ini juga perlu disosialisasikan serta dipedomani oleh auditan kita.

5. Peningkatan kompetensi Pandemi Covid-19 memaksa kita semua untuk mening-katkan kompetensi dalam bidang IT, seperti kita belajar terkait dengan zoom meeting, pemanfaatan teknologi

cloud dalam menyimpan data dan lain sebagainya. Transformasi ini harus diimbangi dengan peningkatan kompetensi dalam pemanfaatan teknologi, diperlukan pelatihan-pelatihan dalam pemanfaatan dan pengawasan teknologi seperti pelatihan Audit Berbasis Komputer (ABK), pelatihan dalam pengawasan terkait dengan berbagai aplikasi yang dibuat oleh auditan dan lain seb-againya.Sudah siapkah kita meningkatkan kompetensi auditor dalam pengawasan berbasis komputer dan aplikasi? Mengingat transformasi tentunya membawa ketidaknya-manan bagi kita semua, namun ketika sebuah transfor-masi ke arah yang lebih baik lagi sudah dimulai, maka kita dipaksa dan terpaksa berubah.

6. Revisi peraturan yang tidak sejalanSebuah kegiatan yang baru tentunya perlu ditunjang oleh aturan hukum yang memayunginya sehingga kegiatan berbasis elektronik bersifat legal. Kita berkaca pada sistem pendaftaran perizinan secara online yang didu-kung dengan Peraturan Pemerintah tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik.Lalu sudahkah kita memiliki payung hukum terkait keg-iatan berbasis elektonik (tiket online, online booking dll)?

7. IntegratedDengan adanya komitmen semua pihak (Menteri dan Eselon I), diharapkan dapat tercipta sebuah sistem IT yang integrated antar eselon I, bukannya masing-masing aplikasi berdiri sendiri dan tidak saling terkoneksi. Dalam hal ini kita perlu berkaca dari Kementerian Keuangan dengan berbagai aplikasinya seperti aplikasi RKBMN, aplikasi SAS, Aplikasi SPM, dll.

PENUTUPBerdasarkan uraian di atas, pandemi Covid-19 memaksa kita untuk berubah dalam hal pelaksanaan tusi pengawasan. Namun perubahan tersebut perlu diimbangi dengan investasi pada IT dan Sumber Daya Manusia (SDM) di lingkungan Ins-pektorat Jenderal. Peningkatan SDM tersebut tentunya dalam pelaksanaan pengawasan yang berbasis teknologi atau kom-puter atau aplikasi. Siap tidak siap, manajemen Inspektorat Jenderal harus sudah memikirkan dan memulai peningkatan kapasitas SDM dalam pengawasan berbasis teknologi.Penulis berharap dengan adanya pandemi Covid-19, manaje-men dapat memanfaatkan momentum dengan melakukan restrukturisasi di bidang peningkatan kapasitas SDM dalam pengawasan berbasis komputer, meningkatkan investasi di bidang teknologi, dan menciptakan aplikasi-aplikasi yang berguna untuk pelaksanaan tusi pengawasan. Referensi :

Paparan Rico Usthavia Frans : “Digital Distruptive Thinking in Preparing Business Plan”.

Page 16: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

31BULETIN PENGAWASAN30 Volume 15-4

SUBKONTRAK DALAM PENGADAAN BARANG / JASA

PENULIS :HERYANA

AUDITOR MADYA - ITJEN KLHK

Kita semua mengetahui bahwa subkontrak adalah perjanjian pengalihan pekerjaan. Oleh sebab itu, kita juga mungkin sepakat kalau subkontrak bukan kata/istilah yang asing, namun kata subkontrak merupakan “kata yang seksi” dalam kegiatan pengawasan, baik pengawasan yang dilakukan oleh internal, eksternal, masyarakat, atau mungkin dalam persidangan.

Sebagai contoh, ketika ada pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu atau tidak sesuai spesifikasi teknis, mungkin salah satu dugaannya adalah “mungkin kegiatan tersebut disubkontrakkan”, atau mungkin ada hasil kegiatan pengawasan, yang mel-aporkan hasil pengawasannya dengan kalimat “terdapat indikasi subkontrak tanpa SPK dalam pelaksanaan kegiatan XXXX senilai RpXX Milyar, atau terdapat indikasi KKN dalam kegiatan XXX melalui subkontrak”. Dugaan-dugaan atau informasi terse-but tidak salah, karena semua menginginkan akuntabilitas dari sebuah kegiatan.

Tentunya ada hal yang harus menjadi perhatian terkait hal tersebut yaitu, “ tentang subkontrak itu sendiri”, kemudian “apakah subkontrak boleh dilaksanakan?” dan “bagaimana pelaksanaannya?”. Topik inilah yang akan kita coba ulas sedikit dalam tulisan ini.

Sedikit Mengenal Subkontrak

a. Subkontrak

Sebelum kita membahas subkontrak, ada baiknya kita cermati penggalan-penggalan kalimat dalam peraturan pengadaan barang/jasa terkait “kata subkontrak”, sebagai berikut:

No Peraturan Pasal Penggalan Kalimat

1 Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Pasal 65 ayat (6)

…..dapat melakukan kerja sama usaha dengan usaha kecil dalam bentuk kemitraan, subkontrak, atau bentuk kerja sama lainnya

2 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Pngadaan Barang/Jasa Pemerintah Untuk Percepatan Pem-bangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2)

…….wajib melakukan pemberdayaan Pelaku Usaha Papua dalam bentuk kemitraan dan Subkontrak.

3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2020

Pasal 126 …….wajib melakukan pemberdayaan Pelaku Usaha Papua dalam bentuk kemitraan dan/atau subkon-trak.

Dari penggalan kalimat tersebut di atas, kata subkontrak selalu berbarengan dengan kata kemitraan, namun dalam po-sisinya ada yang menunjukkan “berbeda tapi setara” dan ada juga yang menunjukan “sama”.

Merujuk pada pasal 28 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM, menyatakan bahwa pelaksanaan kemitraan usaha dengan pola sub-kontrak dimaksud untuk memproduksi barang dan/atau jasa, usaha besar memberi dukungan berupa:

1) kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan/atau komponennya;

2) kesempatan memperoleh bahan baku yang diproduksi secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga wajar;

3) bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen;

4) perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan;

5) pembiayaan dan pengaturan sistem pembayaran yang tidak merugikan salah satu pihak;

6) upaya untuk tidak melakukan pemutusan hubun-gan sepihak.

Berdasarkan Undang-undang 20 Tahun 2008 terse-but jelas bahwa, subkontrak merupakan salah satu bentuk pelaksanaan kemitraan usaha. Undang-Un-dang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM menjadi rujukan dalam menggambarkan posisi subkontrak, karena salah satu kebijakan pengadaan barang/jasa adalah memberikan kesempatan kepada Usaha Mi-kro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah (UMKM).

b. Tujuan subkontrak

Apabila kita cermati ketentuan-ketentuan tentang pengadaan barang/jasa, tujuan subkontrak adalah :

a. alternatif solusi dalam kegiatan pengadaan barang/jasa, apabila dalam lingkup pekerjaan yang terlalu luas, dan tidak dapat dilakukan oleh 1 (satu) Penyedia.

b. pemberdayaan/peningkatan peran Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.

Tentunya tidak semua pengadaan dapat disubkon-trakkan karena menurut klasifikasi usaha, pengadaan ada juga yang dapat diikuti oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. Namun, apabila ada pelaku usaha non kecil melakukan subkontrak tentunya harus sesuai dengan ketentuan pengadaan barang/jasa.

Apakah Subkontrak Boleh Dilaksanakan

Ketika ada pertanyaan, apakah subkontrak diperbolehkan dalam kegiatan Pengadaan Barang/Jasa?, tentu jawaban-nya adalah subkontrak dapat dilaksanakan dalam kegiatan Pengadaan Barang/Jasa. Namun demikian, tentunya jawaban tersebut harus bersandar ada peraturan Pengadaan Barang/Jasa, antara lain adalah :

a. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pen-gadaan Barang/Jasa Pemerintah, Bab Peran Serta Usaha Kecil (Pasal 65 ayat 6 menyatakan, bahwa penyedia usaha non-kecil yang melaksanakan pekerjaan dapat melaku-kan kerja sama usaha dengan usaha kecil dalam bentuk kemitraan, subkontrak, atau bentuk kerja sama lainnya, jika ada usaha kecil yang memiliki kemampuan dibidang yang bersangkutan).

b. Peraturan Kepala LKPP Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Melalui Penyedia menjelaskan bahwa, dalam hal sifat dan lingkup pekerjaan yang terlalu luas, atau jenis keahlian yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan tidak dapat dilakukan oleh 1 (satu) Penyedia, maka:

1) diberikan kesempatan yang memungkinkan para penyedia saling bergabung dalam suatu konsorsium/kerja sama operasi/kemitraan/bentuk kerja sama lain; dan/atau

2) diberikan kesempatan yang memungkinkan penye-dia atau konsorsium/kerja sama operasi/kemitraan/bentuk kerja sama lain penyedia untuk menggunakan tenaga ahli asing.

Tenaga ahli asing digunakan sepanjang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan jenis keahlian yang belum dimil-iki dan untuk meningkatkan kemampuan teknis guna menangani kegiatan atau pekerjaan.

c. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Standar dan Pedo-man Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia, salah satunya ada di pasal 126 yang menyatakan bahwa pelaku usaha non kecil yang mengikuti pengadaan Jasa Kon-struksi di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat wajib melakukan pemberdayaan Pelaku Usaha Papua dalam bentuk kemitraan dan/atau subkontrak.

d. Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Pen-gadaan Barang/Jasa Pemerintah untuk Percepatan Pem-bangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, pasal 18 ayat (1) dan (2), menjelaskan bahwa pelaku usaha non-kecil yang mengikuti Pengadaan Barang/Jasa di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat wajib melakukan pemberdayaan Pelaku Usaha Papua dalam bentuk kemitraan dan Subkontrak.

Page 17: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

33BULETIN PENGAWASAN32 Volume 15-4

Jadi, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut sudah cukup kiranya untuk meyakini bahwa “kemitraan dengan pola subkon-trak adalah kegiatan yang dapat dilakukan (alternatif), bahkan wajib dilakukan bagi pelaku usaha non kecil yang mengikuti pengadaan Jasa Konstruksi di Provinsi Papua dan rovinsi Papua Barat.

Pelaksanaan Subkontrak

Secara teknis, pelaksanaan pengadaan barang/jasa digambarkan sebagai berikut:

Dari gambar tersebut, setidaknya ada 6 (enam) tahapan yang perlu diperhatikan pada saat melakukan subkon-trak, yaitu:

a. Pada saat kegiatan perencanaan :

1) Pada saat melakukan reviu KKA/Spesifikasi teknis, sebaiknya PPK :

o mensimulasikan pekerjaan-pekerjaan yang akan dilaksanakan.

o mengidentifikasi jenis-jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh penyedia spesialis.

o Mengidentifikasi jenis-jenis perkerjaan yang karena luas dan sifatnya harus dilaku-kan subkontrak/akan disubkontrakkan.

2) KAK/Spesifikasi teknis, rancangan kontrak dan HPS yang ditetapkan oleh PPK, telah menjelas-kan jenis pekerjaan yang disubkontrakkan;

b. Pada saat proses pemilihan

Pokja mencantumkan daftar pekerjaan yang dapat disubkontrakkan dalam Lembar Data Pemilihan.

c. Pada saat penawaran

Peserta pemilihan menyebutkan pekerjaan yang akan disubkontrakkan sebagai bagian dari penawaran teknis.

d. Pada Saat Penyusunan dan Penandatanganan Dokumen Kontrak

1) PPK membuat lampiran SSKK yang berisi daf-tar pekerjaan yang disubkontrakkan, beserta nama Subpenyedia berikut uraian personilnya seperti uraian detil tanggung jawab kerja, mini-mum kualifikasi, dan jumlah orang bulan.

2) PPK memberikan persetujuan terhadap Kon-trak yang dibuat antara Penyedia dan Subpe-nyedia guna memastikan kesesuaian volume dan mutu hasil pekerjaan.

e. Pelaksanaan Kontrak

Pada saat pelaksanaan pekerjaan oleh Subpenyedia, berlaku seluruh ketentuan menyangkut Spesifi-kasi Teknis atau Rencana Kerja dan Syarat dalam pekerjaan dimaksud. Penyedia bertanggungjawab atas mutu hasil pekerjaan yang dilaksanakan oleh Subpenyedia sampai dengan berakhirnya masa pemeliharaan.

f. Pembayaran

1) Penyedia melakukan pembayaran kepada Sub-penyedia sesuai Kontrak diantara mereka.

2) Penyedia mengajukan permintaan pembayaran kepada PPK dengan dilengkapi copi/salinan bukti pembayaran kepada Subpenyedia.

Selain hal-hal yang perhatikan dalam tahapan pelak-sanaan kontrak, kita juga harus mempedomani Kepu-

tusan Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 3 Tahun 2018, yang secara tegas menjelaskan bahwa subkontrak/pengalihan pekerjaan dapat dilaksanakan, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Pengalihan seluruh Kontrak hanya diperbolehkan dalam hal pergantian nama Penyedia, baik sebagai akibat pele-buran (merger), konsolidasi, atau pemisahan.

b. Penyedia dapat bekerja sama dengan pelaku usaha lain antara lain dengan mensubkontrakkan sebagian peker-jaan, kecuali pekerjaan utama dalam kontrak ini seb-agaimana diatur dalam SSKK.

c. Penyedia hanya boleh mensubkontrakkan sebagian pe-kerjaan dan dilarang mensubkontrakkan seluruh peker-jaan.

d. Penyedia hanya boleh mensubkontrakkan pekerjaan apabila pekerjaan tersebut sejak awal di dalam Dokumen pemilihan dan dalam Kontrak diizinkan untuk disubkon-trakkan.

e. Penyedia hanya boleh mensubkontrakkan pekerjaan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Pejabat Pen-andatangan Kontrak. Penyedia tetap bertanggungjawab atas bagian pekerjaan yang disubkontrakkan.

f. Jika ketentuan di atas dilanggar maka Penyedia dikena-kan sanksi yang diatur dalam SSKK.

Deteksi Cepat Kegiatan Subkontrak Illegal

Subkontrak illegal diartikan sebagai kegiatan pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan kepada penyedia lain namun tidak ada dalam kontrak. Berdasarkan pengalaman, ada beberapa hal yang dapat dijadikan indikasi subkontrak illegal antara lain:

a. “Tenaga teknis (pekerjaan konstruksi)” menyebut nama pemberi pekerjaan, namun nama tersebut tidak ada dalam struktur organisasi perusahaan;

b. “Tenaga teknis (pekerjaan konstruksi)” salah menyebut nama /lupa / tidak tahu nama perusahaan yang tercan-tum dalam kontrak;

c. “Penyedia”, tidak mengetahui nilai kontrak bahkan nama instansi pemberi pekerjaan.

d. Ada perbedaan “cap / cop perusahaan” antara satu doku-men dengan dokumen lainnya.

Pelaksanaan subkontrak illegal tentunya sangat merugikan negara karena :

a. merupakan salah satu bentuk pelecehan terhadap per-aturan;

b. motif subkontrak illegal biasanya mencari “keuntungan” tanpa harus mengerjakan pekerjaan;

c. berpotensi adanya kerugian negara yang sumber dari pengurangan volume dan/atau spesifikasi teknis barang;

d. berpotensi pekerjaan tidak selesai tepat waktu dan bah-kan tidak selesai;

Page 18: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

35BULETIN PENGAWASAN34 Volume 15-4

e. indikasi adanya KKN, apabila kegiatan subkontrak illegal sebenarnya diketahui oleh instansi penyelenggara kegiatan pengedaan barang/jasa.

Masih berdasarkan pengalaman pada saat melaksanakan kegiatan pengawasan, pelaksanaan subkontrak illegal biasanya dilakukan tanpa sepengetahuan instansi penyelenggara PBJ dan PPK/KPA, dan/atau subkontrak illegal dengan sepengetahuan instansi penyelenggara PBJ atau PPK/KKA namun tidak dituangkan dalam kontrak. Tentunya kondisi tersebut berpengaruh ter-hadap perlakukan/tindakan yang dapat dilakukan oleh PPK/KPA atau aparat pengawas intern, terhadap hal tersebut alternatif yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Kegiatan subkontrak illegal yang tidak diketahui oleh instansi penyelenggara.

Perlakukan/tindakan yang dapat dilakukan oleh PPK/KPA dan rekomendasi yang dapat diberikan APIP adalah sebagaimana tabel berikut.

Ket : V = menidalanjuti Surat peringatan dan memperbaiki kinerja

- = tidak dilakukan

X = tidak menindaklanjuti Surat Peringatan I, II dan III dan tidak memperbaiki kinerja

b. Kegiatan subkontrak illegal namun diketahui oleh instansi penyelenggara.

Perlakukan/tindakan yang dapat dilakukan oleh Aparat Pengawas Intern adalah sebagaimana tabel berikut.

Ket : V = menidalanjuti Surat peringatan dan memperbaiki kinerja

- = tidak dilakukan

X = tidak menindaklanjuti Surat Peringatan I, II dan III dan tidak memperbaiki kinerja

Selain perlakuan/tindakan tersebut di atas, tentunya potensi kelebihan bayar harus juga diteliti dan diyakini bahwa dalam kegiatan subkontrak illegal tersebut apakah ada kerugian negara dalam bentuk uang atau tidak. Terkait dengan kerugian negara penulis berpendapat “kerugian negara dihitung berdasarkan selisih volume/spesifikasi teknis” atau prestasi kerja.

SIMPULAN

Subkontrak dalam kegiatan pengadaan barang/jasa bukan sesuatu yang diharamkan, bahkan subkontrak merupakan alternatif solusi yang ditawarkan kepada pelaksana kegiatan pengadaan barang/jasa. Subkontrak sering menjadi hal yang berkonotasi negatif karena tidak sedikit yang melaksanakan “subkontrak keblalasan”, bahkan tidak sedikit dalam prak-teknya terdapat jual beli kontrak antar pengusaha atau mungkin PPK “meminjam bendera penyedia” padahal pekerjaan dilaksanakan secara swakelola.

Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat sebagai bahan bacaan di waktu senggang.

Daftar Pustaka

1. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

2. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

3. Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2019 Tentang Pngadaan Barang/Jasa Pemerintah Untuk Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat

4. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2020

5. Keputusan Deputi Bidang Pengembangan Strategi dan Kebijakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemer-intah Nomor 3 Tahun 2018

6. Materi pengenalan SPSE LKPP tahun 2018

Page 19: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

37BULETIN PENGAWASAN36 Volume 15-4

RETROSPEKSI PENGAWASAN INVESTIGATIF

PENULIS :ANDY WIDODO

AUDITOR MUDA*) - ITJEN KLHKProlog

Tak ada yang benar-benar ‘baru’ di dunia ini, pun jabatan Inspektur Investigasi, tapi pejabatnya pasti akan selalu baru. Akankah ‘kebaruannya’ memperkokoh eksistensi atau semakin menjenuhkan keterasingan pengawasan investigatif? Pertanyaan ini menjadi absurd jika dalam benak auditor tak pernah terlintas pertanyaan ini?Pengalaman keterasingan, misal perbedaan antara kondisi yang diharapkan dengan realitas. Kondisi ini saat tatanan ditandai dengan formalisme. Ketika manusia mengalami kebingungan terhadap dirinya sendiri saat berada di dalam kerumunan dan cenderung mengikuti arus rutinitas massa. Keterasingan yang disebabkan anonimitas. Atau kesantunan semu seolah menjadi kebutuhan dibanding etika substansial. Keterasingan ini bisa disebut tipu diri.Kierkegaard (seorang pemikir eksistensialis) menyatakan kehidupan harus dipahami ke belakang dengan memandang masa lalu namun kehidupan harus dijalani ke depan menuju masa mendatang (Tjaya. Kierkegaard, 2004). Sebuah retrospeksi men-jadi pilihan penting dalam rangka mengetahui apa yang telah dilalui dan bagaimana sikap/posisi sebuah subyek baik individu maupun entitas organisasi dalam menetapkan dan menjalani pilihan-pilihan.Momentum bidding jabatan Inspektur Investigasi dan Hari Anti Korupsi (Hakordia) sedunia yang diperingati pada tanggal 9 Desember 2020, menjadi saat yang tepat untuk menengok sebentar sejarah pengawasan investigatif. Kenapa sebentar? Sebab eksistensi temporal Inspektorat Investigasi takkan pernah dipahami jika kita semakin lama dan senang memikirkan masa lalu. Namun tanpa sebuah pandang balik, tidak tersedia pijakan sejarah menjalani masa depan dan rentan masuk jebakan lingkaran formalitas dan anonimitas.Mitigasi kerentanan dalam konteks pengawasan internal disebut dengan manajemen risiko. Evaluasi terhadap impelementasi desain manajemen risiko pengawasan investigatif merupakan retrospeksi untuk memberikan baseline bagi Inspektur Investi-gasi yang benar-benar ‘baru’.

Risiko

Tanpa tujuan tidak ada risiko tapi tak sebaliknya. Risiko hanya satu hal tentang selera- sesuatu yang selalu dapat direvisi, dinamis, dan selalu tertunda maknanya. Namun apa bedanya untuk mengesampingkan atau mengendalikannya, jika justru esensi tujuannya dianggap bukan masalah. Kilas balik pencapaian target/tujuan rentang waktu 2015 s.d 2019, Inspektorat Investigasi mendapatkan target penangan-an pengaduan masyarakat 100%. Laporan kinerja Inspektorat Jenderal Tahun 2019 menyatakan pencapaian kinerja sebesar 100% atas penangangan pengaduan masarakat. Klaim terse-but secara formal dapat diterima tetapi diperlukan perbaikan strategi untuk menegaskan bahwa esensi tujuan telah ‘terca-pai’. Assesment risiko dalam pengawasan investigatif menjadi sebuah upaya penting dalam menyangggah premis: ‘fraud tak pernah terasing’.

Dalam Rencana Strategis Kementerian LHK 2020 s.d 2024 ditetapkan target bagi Inspektorat Jenderal antara lain: Penanganan Dumas 100%. Penilaian risiko perlu mende-teksi faktor-faktor terkait problem inti yaitu legitimasi hasil pengawasan investigatif.

Irjen Kementerian Keuangan menyatakan strategi utama pengawasan terkait fraud adalah investigasi, edukasi, perbaikan sistem (Webinar Takshow Memahami Mo-dus Fraud di Masa Pandemi Covid 19 tanggal 1 Desem-ber 2020). Kenapa investigasi menjadi penting?. Hasil investigasi/pengungkapan fraud menjadi urgensi tahap edukasi dan perbaikan sistem. Sebab jika tidak diungkap-kan seakan fraud dianggap tidak nyata. Maka likelyhood nya nihil dan lantas hanya sekadar risiko terdeteksi bagi kebutuhan dokumen desain pengendalian.Dalam konteks pengawasan investigatif di Kementerian LHK, potensi kendala dan risiko yang menyertainya didedahkan setidaknya 5 hal sebagai berikut.

Potensi kendala pertama terkait proses bisnis pen-gawasan investigatif (wastif). Prosedur wastif diatur setidaknya dalam 3 peraturan yaitu PermenLHK P.4/MENLHK/ SETJEN/KUM.1/2/2018 Tentang Tata Cara Pengelolaan Pengaduan Atas Dugaan Pelanggaran Oleh ASN Lingkup Kementerian LHK, Perirjen P.05/ITJEN/ SETITJEN/11/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Iden-tifikasi Khusus, Perirjen P.03/ITJEN/SETITJEN/VII/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Audit Investigatif.

Terkait proses bisnis wastif, terdapat potensi keber-agaman pemaknaan definisi tahap Pulbaket dengan Identifikasi Khusus (Idensus). Kedua tahap tersebut diatur dalam PermenLHK P.4/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2018. Pada praktiknya kedua tahapan tersebut sekilas tidak berbeda sama, yaitu tahapan pengumpu-lan data/informasi. Hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa tahap Pulbaket merupakan bagian dari penelaa-han awal dumas. Sedangkan tahap Identifikasi Khusus merupakan pengumpulan data/informasi dalam rangka penetapan simpulan apakah sebuah kasus perlu/tidak ditindaklanjuti audit investigatif. Risiko tumpang tindih penerapan prosedur dalam pelaksanaan kedua tahap tersebut berimplikasi pada penggunaan sumber daya wastif. Prosedur ekpose merupakan pemaparan hasil wastif (Idensus dan Audit Investigatif). Berdasarkan definisi, prosedur ekspos hasil Idensus dilakukan tergantung dari urgensi dan substansi permasalahannya. Terdapat potensi berupa bervariasinya waktu pelaksanaan ekpose untuk tiap kegiatan wastif yang berbeda. Hal tersebut menimbulkan risiko pada kemanfaatan hasil audit.Potensi dampak yang ditimbulkan adalah tergang-gunya pencapaian tujuan audit yaitu memberikan ‘add value’ dan meningkatkan operasional organisasi (klien pengawasan). Terlebih dalam konteks dumas yang membutuhkan kecepatan rekomendasi. Pada prinsipnya rekomendasi audit dibutuhkan dalam rangka menganti-sipasi permasalahan (menghilangkan sebab dan me-minimalkan akibat). Mitigasi terhadap kecepatan daya rusak sebuah risiko yang ditemukan dalam suatu audit

adalah dengan penyampaian rekomendasi secara cepat. Jika tidak maka rekomendasi berpotensi tidak berdaya guna. Hal tersebut disebabkan keterbatasan waktu yang tidak memiliki oleh klien pengawasan untuk memitigasi risiko dengan berb-agai alternatif pilihan kebijakan.Alternatif lainnya adalah dengan pemberian rekomendasi berdasarkan hasil Idensus. Namun terdapat risiko lain yang cukup dilematis bagi klien pengawasan. Sebagai ilustrasi, pemberian rekomendasi gagal tender yang disebabkan kesalahan prosedur dan perbuatan curang dalam pemilihan penyedia. Prosedur tender memberikan waktu 14 hari kepada PPK untuk menandatangani kontrak setelah Surat Penetapan Penyedia Barang dan Jasa (SPPBJ). Jika dumas dan Idensus dilaksanakan paska penetapan SPPBJ maka tahapan lebih lanjut berupa hasil audit investigatif perlu diberikan sebelum penandatangan kontrak. Di sisi lain klien pengawasan menghadapi risiko tuntutan hukum oleh penyedia sebab hasil Idensus secara formal masih bersifat ‘indikasi’. Risiko tuntutan hukum berupa administrasi pemerintahan maupun perdata akan menguras energi dan sumberdaya klien pengawasan sehingga kontradiktif dengan pencapaian tujuan/kinerja.Potensi kelemahan prosedur audit di atas secara umum dapat menimbulkan potensi dampak pada ketidakefektifan pelak-sanaan audit. Standar Audit Internal Pemerintah Inddonesia (SAIPI) 3040.09 mengatur kebijakan dan prosedur kegiatan audit intern dibuat untuk memastikan bahwa pengelolaan APIP serta pelaksanaan kegiatan audit intern dapat dilakukan secara ekonomis, efisien, dan efektif.Kendala kedua berupa permasalahan teknis pengungkapan/clearance dumas. Konteks utama dalam pengawasan inves-tigatif dumas adalah fraud, yang penulis pahami sebagai kecurangan untuk kepentingan pribadi dan atau kelompok tertentu. Data Inspektorat Investigasi menyatakan sebanyak 35% hasil audit investigatif berhubungan dengan pelanggaran beranasir fraud.Kendala teknis yang dihadapi terkait dengan potensi kebo-coran informasi penugasan wastif, kewenangan, dan sumber-daya pendukung (peralatan/sistem) yang masih kurang. Seti-daknya tiga kendala itu cukup untuk mengafirmasi aksioma fraud (Association of Certified Fraud Examiners): ‘fraud selalu tersembunyi’.

Page 20: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

39BULETIN PENGAWASAN38 Volume 15-4

Potensi arus informasi terkait penugasan wastif yang tidak terkendali sudah barang tentu akan sedikit banyak me-nimbulkan distraksi dalam proses dan teknis wastif. Dari perspektif tim audit menimbulkan risiko gangguan terha-dap independensi tim audit. Di sisi lainnya, muncul risiko penyalahgunaan informasi yang memicu potensi benturan kepentingan. SAIPI 1200.22 mengatur prinsip kerahasiaan bagi auditor, sehingga perlu penetapan tingkatan keraha-siaan penugasan wastif dan mekanisme kontrol mulai dari pengurusan administrasi hingga hasil wastif.Sifat dumas yang tidak bisa dikendalikan baik aspek materi maupun tuntutan merupakan kendala yang jamak dialami. Sebagai ilustrasi adalah dumas terkait perizinan KLHK yang proses bisnisnya lintas stakeholder instansi pusat dan pemda. Terdapat potensi pengungkapan dalam wastif yang bersifat parsial sehingga rekomendasi gagal dalam mem-berikan ‘resep obat’. Upaya koordinasi dengan stakeholder pengawasan internal lain perlu dilakukan dalam rangka memitigasi potensi dam-pak pada reputasi intansi KLHK akibat risiko berulangnya dumas. Perihal sumberdaya peralatan/sistem menjadi prob-lem klasik dalam pengawasan investigatif. Penggunaan teknologi informasi semisal analis metadata/data analitic menjadi salah satu proyeksi teknik pencarian evidence audit ke depan. Kenapa bisa begitu? Tentu jawabannya adalah perkembangan teknologi. Pada zaman kiwari, pusaran in-formasi seiring berkembangnya teknologi informasi/media sosial dan lain sebagainya, bukti-bukti bukan lagi sekadar catatan tulis tangan tetapi jejak digital yang tersembunyi. Investasi infrastruktur audit niscaya menjadi kebutuhan jika tidak ingin tujuan audit untuk ‘add value’ dan meningkatkan operasional organisasi menjadi seolah tumpul saat evin-dence yang didapatkan tidak lengkap. Hal ini sinkron dengan kebijakan pemerintah berupa Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).Keadilan tak pernah sempurna, tetapi setidaknya keberpi-hakan pada keadilan menjadi arus utama. Kendala ketiga adalah potensi penetapan rekomendasi sanksi yang bersifat subyektif. Penetapan sanksi yang obyektif merupakan alat penting bagi audit, satu sisi memberikan deterence efect di sisi lainnya memberikan pendidikan budaya perbaikan. Idealnya seperti itu. Potensi subyektivitas dalam penerapan rekomendasi sanksi oleh Tim Audit turut berkontribusi pada keyakinan pe-mimpin APIP dalam menetapkan keputusan. Hal tersebut menimbulkan risiko obyektivitas dan benturan kepentingan dalam pelaporan hasil audit. Dampaknya adalah pudarnya kepercayaan kepada auditor, aktivitas audit intern, dan profesi. SAIPI secara tegas mengatur prinsip obyektivitas dan pengendalian konflik kepentingan (SAIPI 1100.06 dan 1120.13). Baseline sanksi dibutuhkan sebagai kontrol pengendalian se-cara makro dan dalam penerapannya tergantung dari kon-teks sebuah pelanggaran. Baseline dimaksud dapat disusun melalui interpolasi data-data yang bersumber dari misalnya: kriteria sanksi generik dalam PP 53 Tahun 2010, sanksi hasil

wastif sebelumnya, kriteria bobot fraud, faktor pemberat dan peringan, dan variabel lain yang relevan.Manfaat audit tidak hanya terletak pada banyaknya fakta yang dilaporkan tetapi juga pada efektifitas tindak lanjut rekomendasi tersebut (SAIPI 4100.41). Rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti merupakan indikasi lemahnya pengen-dalian auditi dalam mengelola sumber daya yang diserahkan kepadanya. Namun dapat juga karena kurang efektinya pemantauan tindak lanjut. Problem dalam penuntasan tindak lanjut rekomendasi potensial memengaruhi legitimasi hasil audit investigatif. Ini menjadi potensi kendala keempat.Instrumen pengendalian berupa Perirjen Nomor P.02/Itjen/Setitjen/Set/02/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peman-tauan Tindak Lanjut Hasil Audit Investigasi telah ditetapkan pada Januari 2017. Namun diperlukan penguatan pada akti-vitas pengendalian pada kegiatan pemantauan tindak lanjut hasil audit investigatif. Risiko ‘pembiaran’ rekomendasi akan mengakibatkan mo-mentum kemanfaatannya terlewat. Di sisi lain terlewatnya masa efektif rekomendasi sehingga harus ditempuh prose-dur klasifikasi ‘tidak dapat ditindaklanjuti’ (TATD), potensial memberi kesan afirmasi pihak Inspektorat Jenderal terhadap indikasi ‘modus’ resistensi klien pengawasan. Sebuah penyelesaian tindak lanjut bukan melulu terletak pada kesesuaian cara/langkah dari rekomendasi tapi pada efektivitasnya meski menggunakan cara/langkah lain. SAIPI 4100.42 mengatur prosedur tersebut. Maka dengan aktivi-tas pemantauan hasil audit investigasi yang proaktif akan didapatkan informasi status rekomendasi beserta penjelas-annya. Informasi tersebut sebagai dasar penilaian terhadap pengaruh yang ditimbulkan dan kebijakan audit yang akan diambil selanjutnya.Potensi kendala kelima yaitu kompetensi dasar auditor. Kemampauan dasar investigatif auditor sebenarnya beririsan dengan sumbatan kendala teknis. Setidaknya terdapat 2 as-pek terkait kompetensi yaitu permasalahan teknis investigatif dan legalitas hasil audit. Sumber daya manusia auditor yang mumpuni teknis dasar investigatif akan meningkatkan kom-petensi kolektif dalam pengungkapan tugas audit. Berbagai teknik/metode yang dikuasai berpengaruh pada kualitas evidence yang dikumpulkan. Sekaligus secara formal, legali-tas hasil audit akan kuat. Kualitas hasil audit yang memenuhi kriteria substansi dan legalitas akan meningkatkan legitimasi hasil audit.

Kompetensi dasar auditor akan terkait dengan risiko hukum, kerugian keuangan negara, dan reputasi organisasi. Beberapa kemampuan yang cukup relevan untuk dimiliki adalah in-vestigasi forensik, Certified Forensic Auditor, Certified Fraud Examiner, dan sertifikasi ISO 37001:2016 (Sistem Manaje-men Anti Suap). Dengan peningkatan kompetensi auditor diharapkan pengungkapan fraud akan tuntas. Sehingga langkah mitigasi melalui upaya deteksi dan pencegahan fraud menggunakan baseline faktual.

Manajemen Risiko

Manajemen risiko pengawasan investigatif ke depan perlu digagas dengan pondasi komitmen. Kehendak pemimpin yang kuat (tone at the top) dan konsistensi ucapan/kehendak dengan yang dijalankan (walk the talk) menjadi esensi dari lingkungan pengendalian sebagai prakondisi pengendalian risiko. Dari risiko-risiko terdeteksi terkait 5 kendala legitimasi hasil pegawasan investigatif dapat diberikan alternatif pengendalian. Yang pertama adalah perbaikan bisnis proses pengawasan investgatif melalui revisi petunjuk pelaksanaan. Setidanya diperlukan beberapa pengaturan antara lain:

*) Auditor Muda pada Inspektorat Investigasi yang belum ingin menjadi tua

a. Definisi dan kriteria Pulbaket, Identifikasi Khusus, Audit Investigatif ke dalam satu petunjuk pelaksa-naan secara komprehensif.

b. Urgensi tahap ekspose hasil Idensus secara lebih jelas dan fleksibel. Pengaturan tahapan ekpose dapat memberikan ruang penugasan audit investi-gatif secara langsung saat hasil identifikasi khusus memenuhi syarat tertentu, misal tingkat kelengka-pan bukti pengungkapan dumas.

c. Mekanisme kontrol yang menjamin kerahasiaan keputusan pemimpin, penugasan tim, administrasi pendukung penugasan untuk dumas dalam tingkat prioritas tertentu.

d. Standarisasi rekomendasi sanksi sebagai mekanisme kontrol obyektifitas dan benturan kepentingan.

Sistem pengendalian kedua terkait dengan penguatan koordinasi dan kerjasama pengawasan dengan pihak in-ternal auditor kementerian lain dan pihak eksternal. Koor-dinasi pengawasan antar APIP dapat dilakukan konteks pengawasan daerah sebagaimana mandat Pasal 10 ayat (8) dan (12) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Sedangkan kerjasama pengem-bangan whistleblowing sistem dengan pihak eksernal dapat dilakukan dengan KPK dalam konteks pertukaran data untuk menghindari duplikasi dan peningkatan kom-petensi/sistem.Ketiga adalah pengembangan infrastruktur audit dan kompetensi auditor. Investasi pengembangan infrastruktur audit antara lain melalui audit manajemen sistem, dashboard pengawasan, dan laboratorium pengawasan. Hasil studi band-ing ke APIP Kementerian lain yang telah maju segera ditetapkan dalam rencana operasi yang berkelanjutan. Sedangkan kompetensi auditor dapat ditingkatkan dengan berbagai diklat dan sertifikasi antara lain investigasi forensik, Certi-fied Forensic Auditor, Certified Fraud Examiner,

dan sertifikasi ISO 37001:2016 (Sistem Manajemen Anti Suap).Pengendalian keempat berupa perencanaan kegiatan pemantauan tindak lanjut hasil audit investigasi dan penyusunan peta permasalahan (klasifikasi tipologi dan waktu) tindak lanjut rekomendasi hasil audit investigatif yang belum tuntas untuk memilah prioritas penyelesaian dan klasifikasi TATD.

Epilog

Retrospeksi ini hanya sekadar pemicu ‘keributan pikir’ yang diharapkan memantik ide segar lainnya, strategi jitu, dan komitmen tangguh. Sebagaimana definisi makna bagi Derrida: Tidak ada teks luar (O.Donnell, Postmod-ernisme, 2009). Kuasa penulis hanya sebatas tulisan, dan pemaknaan terserah kepada yang berkenan membaca.

Referensi

1. Rencana Strategis Kementerian LHK Tahun 2020-2024 (https://www.menlhk.go.id/)

2. Dewan Pengurus Nasional AAIPI. Standar Audit Inter-nal Pemerintah Indonesia. AAIPI. 2014

3. Laporan kinerja Inspetorat Jenderal KLHK Tahun 2019 (http://itjen.menlhk.go.id/)

4. O’Donnell, Kevin. Postmodernisme. Penerbit Kanisius. 209

5. Tjaya, Hidya. Kierkegaard dan pergulatan menjadi diri sendiri. Kepustakaan Populer Gramedia. 2004

6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 ten-tang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

...keadilan tak pernah sempurna, tetapi setidaknya keberpihakan pada keadilan menjadi arus utama ...

Page 21: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

BULETIN PENGAWASAN40 41Volume 15-4

APIP MERECOKI PROGRAM PKPM ?

JOKO YUNIANTOAUDITOR MADYA - ITJEN KLHK

TAUFIK MUHAMADSYAHAUDITOR MUDA - ITJEN KLHK

PENULIS :

Presiden Joko Widodo memerintahkan kepada jajaran Polri, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta lembaga pengawas internal pemerin-

tahan untuk memperkuat sinergi dan kerjasama di tengah pandemi Corona Virus Disease-19 (COVID-19). Aspek pencegahan harus lebih dikedepankan. Jangan menunggu sampai terjadi masalah. “Kalau ada potensi masalah segera ingatkan, tapi kalau sudah ada niat buruk untuk korupsi....ya harus ditindak. Silakan digigit saja apalagi dalam situasi krisis sekarang ini tidak boleh ada satupun yang main-main,” Hal ini dikatakan Jokowi dalam amanat Peringatan Hari Bhayangkara ke-74 di Istana Negara, Rabu (1/7/2020). Pandemi COVID-19 telah membawa dampak resesi ekonomi masyarakat antara lain PHK bertambah, daya beli masyarakat menurun. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan telah mengambil kebijakan dan langkah-langkah luar biasa (extra ordinary) di bidang keuangan negara dalam rangka penyelamatan kesehatan dan pereko-

nomian nasional dengan mengalokasikan anggaran program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Konteks untuk program PEN di KLHK adalah Ketahanan Pangan Terpadu (Food Estate) dan Padat Karya Penanaman Mangrove (PKPM). Konteks tu-lisan ini akan mencoba mengungkapkan eksistensi peran APIP dalam mendorong percepatan, efektivitas dan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan PKPM serta mampu mengidentifikasi hambatan sesegera mungkin dan membantu memberikan solusi nyata, bukan untuk memperpanjang atau menghambat proses bisnis program PKPM atau dikenal istilah “merecoki” khususnya terkait padat karya penanaman mangrove. Menu-rut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti dari merecok /me·re·cok/ v/ membuat gaduh; mengganggu; membuat ribut (gaduh).

Pendahuluan

Pandemi Covid-19 telah membawa dampak pada menurun-nya perekonomian nasional yang membawa pengaruh nyata terhadap penurunan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini telah mengambil kebijakan dan langkah- lang-kah luar biasa (extra ordinary) di bidang keuangan negara dalam rangka penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), dan pemulihan perekono-mian termasuk untuk dunia usaha dan masyarakat yang ter-dampak, serta menjaga stabilitas sektor keuangan. Kebijakan dan langkah extra ordinary tersebut adalah melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program PEN tersebut merupakan respon kebijakan yang ditempuh oleh Pemerintah dalam upaya untuk menjaga dan mencegah aktivitas usaha agar tidak memburuk, mempercepat pemulihan ekonomi nasional, serta untuk mendukung kebijakan keuangan negara. Kementerian LHK telah mendapatkan gelontoran dana dari Bendahara BUN yang telah menerbitkan Surat Penetapan Satuan Bagian Anggaran (SABA) dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Belanja Lainnya (BA.999.08) ke BA Kementerian LHK (BA.029) untuk Ketahanan Pangan Terpadu (Food Estate) dan Penanaman Mangrove. Dengan terbit-nya surat penetapan dimaksud, dengan kata lain Menkeu telah menyetujui penyediaan dan realokasi anggaran dari BA.999.08 ke BA.029 senilai Rp812.435.436.000,00 dengan perincian Rp406.257.936.000,00 untuk kegiatan ketahanan pangan terpadu (Food Estate) dan Rp406.177.500.000,00 untuk Penanaman Mangrove. Pelaksanaan seluruh kegiatan yang tercantum dalam penetapan SABA 999.08 ini sepenuh-nya merupakan tanggung jawab dan kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku Pengguna Angga-ran (PA) dan pejabat yang ditunjuk selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)/Kepala Satuan Kerja Penanggung Jawab kegiatan dimaksud, dan dalam pelaksanaannya agar seluruh proses dilakukan secara profesional, bersih dari korupsi, tidak ada konflik kepentingan, dan harus ada pertanggungjawaban yang jelas dari Kementerian Negara/Lembaga yang melak-sanakan kegiatan tersebut, serta tetap menerapkan prinsip kehati-hatian dan berpedoman pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Program Padat Karya Penanaman Mangrove

Salah satu program PEN di KLHK dilaksanakan melalui kegiatan Padat Karya Penanaman Mangrove (PKPM). Hu-tan mangrove menjadi salah satu sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir yang dalam masa pandemi ini merasakan dampak penurunan ekonomi yang paling signifikan. Oleh karena itu, melalui kegiatan PKPM ini diharapkan dapat menjadi stimulus perekonomian bagi masyarakat di sekitar ekosistem mangrove dan sekaligus mempercepat pemulihan ekonomi nasional, melalui pemberian kesempatan untuk berusaha dan melakukan aktivitas yang dapat memperbaiki keadaan ekonomi masyarakat sekitar ekosistem mangrove. Kegiatan padat karya ini diharapkan dapat menyerap tenaga kerja untuk penanaman mangrove seluas 15.000 ha.Kegiatan PKPM ini selain sebagai upaya percepatan pemuli-han ekonomi nasional, sekaligus menjadi bagian dari correc-tive measures di era Kabinet Kerja 2019 – 2024 to make real and shape the future. Hal ini dilakukan antara lain melalui upaya pengendalian perlindungan dampak perubahan iklim secara fisik, pemanfaatan ekonomi secara berkelanjutan, ke-berpihakan kepada masyarakat dengan perhutanan sosial dan masyarakat sebagai driver pembangunan, penguatan kapa-sitas kelembagaan di tingkat tapak dan grass root/kelompok, dan pengamanan ekosistem melalui rehabilitasi/penanaman.

Rules of the Games PKPM

Salah satu keyword program PKPM ini adalah bahwa Kemen-terian LHK yang mengajukan usulan atau “minta” tersebut kepada Kementerian Keuangan. Tak beberapa lama setelah diterbitkan Surat Penetapan Satuan Bagian Anggaran (SABA) dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Belanja Lainnya (BA.999.08) ke BA Kementerian LHK (BA.029) untuk Ketahanan Pangan Terpadu (Food Estate) dan Penanaman Mangrove, langkah selanjutnya yang ditempuh oleh KLHK adalah membuat “aturan main” pelaksanaan PKPM. Sing-kat Cerita setelah melalui proses pembahasan dan diskusi maka ditetapkan organisasi pelaksana PKPM sesuai SK Dirjen PDASHL Nomor SK.33/PDASHL/SET/DAS.1/9/2020 tentang Tim Padat Karya Penanaman Mangrove Tahun 2020. Organisasi pelaksana Padat Karya Penanaman Mangrove Tahun 2020 terdiri atas Pengarah, Tim PEN KLHK, Tim Padat Karya, Tim Pelaksana Kegiatan/UPT In Charge, Pendamping Lapangan, dan Pelaksana Penanaman. Organisasi pelaksana ini ditetapkan untuk menjamin pelaksanaan kegiatan padat karya dapat berjalan sesuai dengan maksud dan tujuan yang telah ditentukan.

... di saat sudah “dipusingkan” oleh anggaran yang harus direalisasikan dalam waktu singkat, pelaksana justru “dipusingkan” kembali atas permintaan data/dokumen oleh APIP.

Page 22: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

43BULETIN PENGAWASAN42 Volume 15-4

Sedangkan panduan operasional pelaksanaan di lapangan telah ditetapkan Rencana Operasional PKPM sebagaimana tertuang dalam SE Menteri LHK nomor SK.353/menlhk/Setjen/DAS.1/8/2020 tentang Rencana Operasional Pa-dat Karya Penanaman Mangrove Tahun 2020. Di dalam aturan tersebut meliputi: pertama rencana pelaksanaan, meliputi organisasi pelaksana, sasaran lokasi, tata waktu, dan anggaran; kedua Pelaksanaan, meliputi mekanisme, penyusunan rancangan teknis sederhana, penanaman, pembayaran, dan penyebarluasan informasi; dan ketiga monitoring, evaluasi dan pelaporan. Hal menarik yan diatur di dalam Rencana Operasional tersebut adalah terkait me-kanisme pembayaran. Pelaksanaan PKM dilaksanakan secara swakelola, dengan mekanisme pembayaran secara account to account ke rekening anggota kelompok, dibayarkan sesuai dengan prestasi pekerjaan dan/atau jumlah hari orang kerja (HOK). Pembayaran dapat dilakukan secara simultan

terhadap kegiatan penanaman, penyediaan bibit/benih, penyediaan bahan maupun kegiatan lain. Penyediaan bibit/benih, penyediaan bahan atau kegiatan lainnya yang tidak dapat dibayarkan melalui rekening anggota kelompok, dapat dibayarkan melalui rekening atas nama kelompok.

Tantangan Pengawasan Intern Program PEN

Seluruh anggaran yang disiapkan pemerintah dalam program PEN jika dieksekusi akan meningkatkan demand (konsumsi) dan mendorong sisi supply (produksi) sehingga roda perekonomian dapat berjalan dengan lebih baik. Untuk itu, APIP K/L dalam melakukan pengawasan intern, tidak boleh malah menghambat eksekusi anggaran yang sudah disiapkan atau pihak pelaksana merasa direcoki oleh kegiatan yang dilakukan APIP. Stigma tersebut “suka tidak suka mau tidak

mau” akan muncul dibenak pelaksana, di saat sudah “dipusingkan” oleh anggaran yang harus direalisasi-kan dalam waktu singkat justru “dipusingkan” kembali atas permintaan data/dokumen oleh APIP. Hal tersebut menjadi tantangan pertama atas pengawasan intern program PEN yang harus diatur strategi pengawasannya. Adapun tantangan kedua adalah pengawasan intern harus mampu memastikan ketepatan sasaran, jumlah, waktu, kualitas, dan administrasi. Sedangkan tantangan ketiga adalah bagaimana hasil pengawasan intern harus disampaikan tepat waktu agar bermanfaat dalam pen-gambilan keputusan. Akuntabilitas merupakan hal yang penting, tapi kecepatan pelaksanaan juga hal yang tidak boleh dikesampingkan.

Strategi Pengawasan Intern Program PEN

Sebelum menyusun strategi pengawasan intern yang tepat untuk menjawab tantangan yang dijelaskan dalam tulisan sebelumnya adalah perlu diperhatikan bahwa tujuan pengawalan APIP atas program PEN bukan hanya menjaga akuntabilitas pengelolaan, tapi juga mendorong bergulirnya anggaran ke masyarakat. Ibarat dalam pertandingan seorang manajer harus menyusun strategi untuk memenangkan pertandingan dengan terlebih dahulu mempelajari pola bermain lawan yang akan dihadapi sehingga dapat disusun strategi yang tepat. Demikian pula jika dianalogikan dengan penga-wasan intern program PEN kita harus menyusun strategi dengan melakukan pemetaan terhadap core bisnis dari program padat karya penanaman mangrove. Strategi pertama APIP harus menyusun audit universe sebagai acuan pengawasan intern yang akan dilaksanakan dan merupakan tahapan dalam penyusunan audit intern berbasis risiko. APIP harus melihat universe-nya, Rimba rayanya apa saja. Audit universe harus benar-benar kita petakan sehingga setiap petak lahan yang ada di rimba raya tersebut dapat kita kawal secara berjenjang. Audit universe yang disusun terkait dengan program PEN padat karya penanaman mangrove menggunakan pendekatan proses bisnisnya. Dasar pelaksanaan pengawasan intern program PEN adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.09/2020 tentang Pedoman Pengawasan Pelaksa-naan Program PEN dalam rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.Strategi kedua adalah dengan menetapkan rencana pen-gawasan yang diejawantahkan dalam dokumen Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT) akan dilakukan. In-strument pengawasan yang digunakan bersifat terbatas, yaitu melalui mekanisme reviu, reviu dilaksanakan den-gan melakukan penelaahan atas penyusunan dokumen perencanaan teknis dan penelusuran rancangan teknis ke dokumen sumber yang dilakukan secara terbatas

pada hasil ground check. Perlu dibatasi bahwa ruang lingkup reviu tidak mencakup pengujian atas sistem pengendalian intern dan pengujian atas respon permintaan keterangan yang biasanya dilaksanakan dalam suatu audit. Dari hasil reviu selanjutnya dilaksanakan pemantauan lapangan yang bersifat sampling ground check dengan fokus pada 3 (tiga) kriteria risiko yang diawasi, pertama perencanaan dan pergeseran anggaran tidak sesuai kebutuhan, kedua Realisasi: tidak tepat sasaran, tidak tepat waktu, tidak tepat jumlah, tidak tepat kualitas, dan fraud, ketiga Pertanggungjawaban tidak benar atau tidak didukung bukti memadai.Strategi ketiga adalah dengan melalui sinergi antara APIP, Pengawasan eksternal (BPK-RI maupun BPKP) dan bahkan Aparat Penegak Hukum. Sinergi bermakna bahwa bergerak menuju tujuan yang sama, saling memberikan kontribusi ter-baik dan saling mengisi kelemahan. Tapi yang perlu menjadi point penting bahwa sinergi hal yang mudah diucapkan tapi menjadi sulit untuk dilaksanakan. Dalam membangun sinergi, diperlukan antara lain: pemahaman mengenai tujuan ber-sama cara pandang yang sama dalam upaya mencapai tujuan, pemahaman mengenai keunggulan dan kelemahan satu sama lain, kejelasan mengenai pembagian tugas atau area peran serta proses komunikasi yang baik, dan unsur saling percaya.

Penutup

Mengingat kegiatan ini padat karya, untuk memulihkan roda perekonomian, sehingga perlu diberikan instrumen yang pas dan tidak menjadi satu kesalahan di kemudian hari. Inspektorat Jenderal telah menyampaikan disetiap kesempa-tan bahwa akuntabilitasnya terpenuhi dengan data dan do-kumentasi pelaksanaan yang memadai. Baseline info menjadi penting seperti bukti awal penanaman berupa dokumentasi (foto). Sehingga Ketika APIP melakukan reviu perencanaan terutama perencanaan teknis dipastikan clear and clean sehingga risiko kegagalan dapat dimitigasi melalui kegiatan reviu ini. Hasil desk analysis reviu akan digunakan oleh Inspe-ktorat Jenderal sebagai bahan pendalaman lebih lanjut dalam pelaksanaan pemantauan padat karya penanaman mangrove. Dalam pelaksanaan pemantauan lapangan perlu mempertim-bangkan beberapa ruang lingkup pemantauan lapangan yaitu bahwa pembayaran account to account telah sampai by name by address, penanaman telah dilakukan sesuai pola penana-man dan penguatan kelembagaan masyarakat pelaksana PKPM. Ketika hal-hal tersebut sudah dilaksanakan benar-benar oleh APIP dan secara umum mematuhi kodeti etik dan standar audit yang ditetapkan oleh Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia (AAIPI) maka stigma merecoki tentu saja akan hilang dengan sendiri dan justru selalu “dirindukan kehadirannya. Salam Rindu untuk APIP yang berkompeten.!!!

Daftar Pustaka………, Peraturan Pemerintah RI Nomor 60 Tahun 2008 ten-

tang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah………, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Nomor SK.35/MENLHK/SETJEN/DAS.1/8/2020 ten-tang Rencana Operasional Padat Karya Penanaman Mangrove

Page 23: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

45BULETIN PENGAWASAN44 Volume 15-4

Tim Itjen KLHK melakukan pemantauan areal lokasipenanaman mangrove menggunakan drone pada November 2020 di Desa Muntai Barat Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Riau

Pemantauan Lapangan Padat Karya Penanaman Mangrove Karang Taruna Sadang Sadai pada malam hari saat air pantai surut di wilayah kerja BPDASHL Baturusa Cerucuk

wawancara

air surut

- drone -

Tim Itjen KLHK melakukan wawancara dengan KTH Bangka Ban Timoh sebagai pelaksana penanaman mangrove di wilayah kerja BPDASHL Krueng Aceh

Page 24: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

Pengambilan sampling petak ukur penanaman mangrove oleh Tim Pemantauan Itjen KLHK pada November 2020di wilayah kerja BPDASHL Benain Noelmina NTT (atas) dan BPDASHL Indragiri Rokan Provinsi Riau (bawah)

- Sumber Foto : Joko Yunianto, Itjen KLHK -

Page 25: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

Salah satu rangkaian Acara Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) 2020 di Kementerian LHK yang dilaksanakan secara virtual pada tanggal 8 Desember 2020 oleh Tim Inspektorat Jenderal KLHK

Unsur pimpinan Kementerian LHK mendampingi Menteri LHK dalam rangka Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA) 2020 pada saat acara Penandatanganan Pakta Integritas oleh

seluruh Pejabat Eselon I, II dan Kepala Unit Pelaksana Teknis serta Deklarasi Anti Korupsi, Anti Suap dan Anti Gratifikasi

Page 26: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

45Volume 15-4

Rapat Pleno Penjurian Lomba Desain Poster tanggal 7 Desember 2020 di Ruang Rapat Inspektorat Jenderal KLHK Manggala Wanabhakti yang dihadiri oleh Kepala Bagian Umum

Itjen KLHK (Bapak Marjoko), Deputi Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK dan Biro Humas KLHK

Penyerahan Cinderamata Acara Rapat Pleno Penjurian Lomba Desain Poster dari Kepala Bagian Umum Itjen KLHK (Bapak Marjoko) mewakili Itjen KLHK kepada Deputi Pendidikan

dan Pelayanan Masyarakat KPK serta perwakilan Biro Humas KLHK

Page 27: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK
Page 28: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

Kegiatan Pengecekan Lapangan Tim Itjen KLHK di wilayah kerja BPDASHL Sampara Sulawesi Tenggara

princesslewat

Page 29: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tanggal 18 Desember 2020 bertempat di Auditorium Gedung Manggala Wanabhakti Jakarta melantik :1. Ibu Laksmi Wijayanti sebagai Inspektur Jenderal KLHK (Pimpinan Tinggi Madya - Eselon I);2. Bapak Ade Tri Ajikusumah sebagai Inspektur Wilayah IV (Pimpinan Tinggi Pratama-Eselon II);3. Bapak Ardyanto Nugroho sebagai Inspektur Investigasi(Pimpinan Tinggi Pratama-Eselon II).

sumpah jabatan

Pelatikan dan Pengambilan Sumpah Jabatan Ibu Laksmi Wijayanti sebagai Inspektur Jenderal KLHK (kanan atas) dan tangkapan layar foto bersama Bapak Ade Tri Ajikusumah - Inspektur Wilayah IV dan

Bapak Ardyanto Nugroho - Inspektur Investigasi (kacamata)

Page 30: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

Inspektur Jenderal KLHK (keempat dari kiri) menandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS)Penanganan Pengaduan dalam Upaya Pemberantasan Korupsi antara KPK dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Penandatangan PKS disaksikan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Wakil Menteri LHK yang dilaksanakan tanggal 21 Desember 2020 bertempat di Gedung Merah Putih KPK Jakarta

Page 31: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

61Volume 15-4

Selamat kepada 4 (empat) Satuan Kerja Penerima Penghargaan sebagai

Unit Kerja Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) Tahun 2020

pada Kementerian LHK

1. Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Yogyakarta2. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Serat Tanaman Hutan3. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam4. Pusat Perencanaan dan Pengembangan SDM KLHK

Pencapaian ini merupakan wujud komitmen KLHK dalam pengendalian korupsi. Semoga predikat tersebut dapat dipertahankan dan ditingkatkan kinerjanya

menuju WBBM (Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani)

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) pada tanggal 21 Desember 2020 melaksanakan acara Apresiasi dan Penganugerahan Zona Integritas Menuju WBK / WBBM Tahun 2020. Acara dilaksanakan di Jakarta yang dihadiri oleh perwakilan Kementerian / Lembaga dan secara virtual.

Page 32: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

63Volume 15-4

PENGAWASAN PENGGUNAAN BIAYA PIHAK KETIGA

PADA KEGIATAN SUPERVISI DAN PENGAWASAN TATA BATAS AREAL

IZIN

PENULIS :SUGENG PARMONO

AUDITOR MADYA - ITJEN KLHK

Dalam kegiatan tata batas kawasan hutan kita kenal adanya beberapa perizinan yang dikeluarkan oleh KLHK. Salah satunya terkait dengan izin pemanfaatan hutan yang diterbitkan oleh menteri yang terdiri dari izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau bukan kayu pada areal hutan yang telah ditentukan.

Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2013 tanggal 19 Agustus 2013 tentang Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan, Persetujuan Prinsip Penggunaan Kawasan Hutan (KH), Persetujuan Prinsip Pelepasan Kawasan Hutan dan Pengelolaan Kawasan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan dan Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK), antara lain diatur sebagai berikut.

Pasal 5Para pemegang izin ini wajib melaksanakan penataan batas paling lambat 1 (satu) tahun sejak diberikan izin pemanfaatan hutan, persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan, persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan dan/atau pengelolaan kawasan hutan untuk wilayah KPH dan KHDTK. Apabila hal ini tidak dilakukan maka pemegang izin dapat dikenakan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan di lapangan.

Pasal 24

1) Biaya penataan batas, pemeliharaan dan pengamanan batas areal kerja dibebankan kepada pemegang izin pemanfaatan hutan, persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan, persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan atau pengelolaan KPH dan KHDTK.

2) Penataan batas areal kerja yang sekaligus merupakan batas luar dan/atau batas fungsi kawasan hutan, perhitungan besarnya biaya sesuai dengan standar biaya di bidang pengukuhan kawasan hutan.

Kegiatan penataan batas areal kerja yang harus dipenuhi para pemegang izin pemanfaatan hutan yang dikoordinasikan oleh Kepala Balai Pemanfaatan Kawasan Hutan (BPKH) sangat penting dalam pengelolaan suatu kawasan, karena menjadi dasar kegiatan operasional di lapangan, dan memberikan kejelasan dan kepastian hukum atas batas hak pengelolaan/pemanfaatan.

Sebagaimana kita ketahui, penataan batas areal kerja kawasan hutan dapat dilakukan oleh pemegang izin maupun rekanan pelaksana yang mempunyai kompetensi di bidang pengukuran dan pemetaan, namun prosesnya harus melalui beberapa tahapan sebagai berikut:1) pembuatan rencana penataan batas dan peta kerja;2) pembuatan instruksi kerja penataan batas;3) pengukuran batas dan pemasangan tanda batas;4) pemetaan hasil penataan batas;5) pembuatan dan penandatanganan berita acara dan

peta hasil tata batas;6) pelaporan kepada Menteri.

Kegiatan-kegiatan tersebut di atas pelaksanaannya dilakukan oleh tim pelaksana yang terdiri dari: 1) BPKH sebagai pihak yang melakukan supervisi

(supervisor) dan pengawasan;2) Dinas Provinsi dan kabupaten/kota sebagai

pembimbing teknis;3) Pemegang izin dan/atau pengelola kawasan hutan

atau rekanan sebagai pelaksana;4) Kecamatan dan/atau desa/kelurahan sebagai

pendamping5) Pemegang izin sebagai saksi

Pembahasan dalam tulisan ini akan lebih fokus pada pelaksanaan tugas supervisi dan pengawasan tata batas areal izin, yang menjadi salah satu tugas layanan dari unit kerja KLHK di daerah.

Dalam kegiatan supervisi, supervisor melakukan penilaian terhadap rencana dan hasil penataan batas areal kerja. Adapun pengawas, bertugas untuk melakukan pemeriksaan kelayakan alat ukur yang digunakan, pengawasan terhadap pelaksanaan, dan melaporkan apabila terdapat ketidaksesuaian antara instruksi kerja dengan keadaan lapangan serta menandatangani berita acara pelaksanaan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini, biaya kegiatan penataan batas areal kerja (termasuk di dalamnya biaya kegiatan supervisi dan pengawasan oleh unit kerja KLHK di daerah), dibebankan kepada pihak pemohon, baik untuk pemegang izin pemanfaatan hutan, persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan, persetujuan prinsip pelepasan kawasan hutan atau pengelolaan KPH dan KHDTK. Perhitungan besarnya biaya sesuai dengan standar biaya di bidang pengukuhan kawasan hutan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan

2020

BULETIN PENGAWASAN62

Page 33: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

65Volume 15-4

dan Tata Lingkungan (PKTL). Kecuali untuk batas areal kerja yang sekaligus merupakan batas luar dan/atau batas fungsi kawasan hutan yang telah ditata batas menggunakan dana Pemerintah, maka untuk penataan batas kawasan hutan yang telah dilaksanakan sebelum 5 (lima) tahun pemegang izin wajib mengganti biaya pelaksanaan penataan batas kawasan tersebut, sebagaimana Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2013 tanggal 19 Agustus 2013 Pasal 24 ayat (3) huruf a.

Dalam pelaksanaannya terdapat potensi penyalahgunaan wewenang yang dapat berujung pada tindakan fraud/ kecurangan akibat belum diaturnya mekanisme pengawasan internal yang baik. Di satu sisi pihak pemegang izin/pemohon dibebani biaya pelaksanaan, di sisi lainnya pelaksana kegiatan melihat ada celah kelonggaran atas biaya tersebut, mengingat sumber anggarannya bukan berasal dari anggaran negara.

Dari salah satu hasil kegiatan pengawasan Inspektorat Jenderal selaku Aparat Pengawasan intern Pemerintah (APIP), pernah ditemukan kejadian penyalahgunaan wewenang yang berujung fraud/ kecurangan, terjadi pada kegiatan supervisi dan pengawasan, di salah satu unit kerja daerah pada tahun 2019. Beberapa perusahaan pemegang izin dan Pemda Kabupaten mengajukan permohonan supervisi dan pengawasan penataan batas areal izin. Setelah kegiatan penataan batas selesai dilaksanakan, ternyata pertanggungjawaban keuangannya tidak tertib. Terdapat biaya senilai puluhan juta rupiah yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang berasal dari markup biaya dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang melebihi standar. Modus yang terjadi, dengan menambah item kegiatan atau dengan manaikkan harga satuan untuk item biaya tertentu yang sebenarnya telah diatur standarnya. Modus penambahan item kegiatan di luar ketentuan standar biaya, misalnya dengan menyisipkan biaya perjalanan dinas supervisi ke pusat. Dalam pelaksanaannya kegiatan tersebut tidak pernah direalisasikan, dan saat kegiatan sudah selesai, dananya yang berasal dari pihak pemohon izin, tidak dikembalikan dan masih disimpan, tersisa dalam jumlah yang besar. Dana tersebut kemudian menjadi rawan disalahgunakan, jumlahnya besar tetapi keberadaannya hanya diketahui sedikit orang di unit kerja tersebut. Saat waktu telah berlalu dan ternyata “dirasa aman” dana dimaksud akan dapat digunakan untuk kepentingan lain yang tidak sesuai dengan peruntukannya, bahkan untuk kepentingan yang bersifat pribadi. Kejadian serupa sangat mungkin terjadi pula pada unit kerja lainnya yang memiliki karakter layanan sejenis.

Secara lebih rinci, berikut beberapa temuan kelemahan dalam penatausahaan biaya kegiatan supervisi dan pengawasan tata batas areal izin yang dananya berasal dari pemohon layanan.

1) Pelaksanaan supervisi/pengawasan dan peninjauan lapangan terhadap kegiatan tata batas hanya diketahui oleh beberapa personil yang ditugaskan saja, sehingga kontrolnya menjadi lemah.

2) Pelaksana kegiatan di lapangan tidak mengetahui detil komponen biaya yang tercantum dalam rencana anggaran yang dibuat oleh petugas kantor, mereka hanya ditugasi melaksanakan kegiatan lapangan dan dibayar sebatas “uang harian”-nya saja.

3) Realisasi biaya kegiatan untuk operasional di lapangan umumnya tidak diketahui secara detail oleh pihak perusahaan/pemohon pelayanan.

4) Tidak ada dokumen pertanggungjawaban penggunaan biaya dari pelaksana kegiatan, termasuk untuk biaya kegiatan administratif, antara lain untuk pembuatan laporan, fotocopy, pengiriman, perjalanan dinas, dan operasional lainnya, dimana pihak penerima layanan tidak mengetahui secara detail.

5) Terhadap sisa biaya kegiatan yang tidak direalisasikan, tidak pernah dikembalikan dan/atau dilaporkan kepada pihak pemohon sebagai penyedia dana.

6) Pengelolaan biaya yang diterima dari pihak ketiga/pemohon tidak dilakukan penatausahaan dan pencatatannya.

Hal ini disebabkan pengaturan biaya pelaksanaan yang dibebankan kepada pihak pemohon selaku pihak penerima pelayanan perizinan, belum dilengkapi dengan pengaturan prosedur penggunaan/ mekanisme pencairan, pengelolaan, dan pertanggungjawabannya secara rinci, sehingga pengendaliannya menjadi lemah.Dari sisi pemohon, terdapat kepentingan agar kegiatan tata batas yang supervisi/pengawasannya dilakukan oleh unit kerja secepat mungkin selesai, dan jarang mempedulikan pertanggungjawaban atas penggunaan biaya yang telah diberikan kepada pihak pelaksana. Sementara dari sisi unit kerja pelaksana supervisi dan pengawasan, terdapat keleluasaan untuk menggunakan biaya tersebut karena kurangnya pengawasan.

Untuk meminimalisir potensi kecurangan-kecurangan terkait pelaksanaan kegiatan supervisi dan pengawasan tata batas areal izin, dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut.

1) Meningkatkan pengawasan secara berjenjang pada unit kerja di daerah, dan membangun sistem pengawasan pihak pusat terhadap unit kerja daerah, khususnya terkait dengan pertanggungjawaban hasil pekerjaan yang didanai pihak pemohon.

2) Pertanggungjawaban keuangan harus diatur dengan jelas prosedur/ mekanismenya, walaupun anggarannya bukan dari negara. Setiap kegiatan yang menggunakan biaya

harus ada pertanggung jawaban keuanganya, selain pertanggung jawaban dari segi hasil, sehingga pihak pemohon pelayanan tidak dirugikan secara material dalam pelaksanaannya.

Terkait Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 43/Menhut-II/2013 tentang Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan, Persetujuan Prinsip Penggunaan KH, Persetujuan Prinsip Pelepasan KH dan Pengelolaan KH pada KHDTK, Penulis mengusulkan agar ketentuan tersebut segera disempurnakan, khususnya pasal 24 yang mengatur bahwa biaya penataan batas areal kerja, dibebankan kepada pemohon/pemegang izin, perlu didetailkan pengaturannya. Untuk kegiatan supervisi dan pengawasan yang merupakan tupoksi dari unit kerja KLHK di daerah, seyogyanya dibiayai oleh negara karena merupakan bagian dari tugas pelayanan. Terdapat risiko terjadinya konflik kepentingan yang dapat berujung fraud, jika biaya supervisi dan pengawasan tata batas areal izin masih dibebankan kepada pihak pemohon/ pemegang izin.

Daftar Pustaka;

1. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 43/Menhut-II/2013 tentang Penataan Batas Areal Kerja Izin Pemanfaatan Hutan, Persetujuan Prinsip Penggunaan KH, Persetujuan Prinsip Pelepasan KH dan Pengelolaan KH pada KHDTK.

BULETIN PENGAWASAN64

2. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.64/MenLHK/ Setjen /Kum.1/7.2016 Kode Etik Revolusi Mental ASN Lingkup KLHK

3. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 97/MenLHK/ Setjen/Kum-1/2018 tentang Tukar Menukar Kawasan Hutan

Page 34: ISSN 1907-4891 - Itjen KLHK

1. Redaksi menerima tulisan yang berkaitan dengan pengawasan dan atau pembinaan bidang lingkungan hidup dan kehutanan. 2. Redaksi berhak menolak dan atau menyunting artikel tanpa mengubah

maksud / substansi. 3. Artikel atau tulisan yang dimuat akan diberikan honor sesuai standar yang

berlaku (pembayaran honor berdasarkan hasil penyuntingan akhir Redaksi yang dicetak dalam kertas ukuran A4 dan bukan berdasarkan jumlah halaman yang dimuat cetak di Buletin dengan besaran nilai sesuai standar biaya).

4. Naskah dapat dikirim ke alamat redaksi baik dalam bentuk hardcopy dan atau bentuk softcopy format MS Word ke alamat email : [email protected]

dengan gaya penulisan feature, ilmiah populer serta dilengkapi sumber informasi / daftar pustaka, dengan format sebagai berikut.

KETENTUAN NASKAH

a. Ukuran kertas A4 (21 X 29,7 cm) dan berat 70 -80 gram.b. Ukuran margin : atas 2,5 cm; bawah 2,5 cm; kanan 2,5 cm dan kiri 3 cm.c. Jenis huruf Times New Roman ukuran 12 pt.d. Diketik dengan spasi satu setengah (1,5) dan 1 (satu) sisi halaman saja

(tidak bolak-balik)e. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dengan menggunakan

angka arab (dari halaman pertama hingga halaman terakhir).f. Naskah dalam bentuk hardcopy tidak dijilid, cukup disatukan dengan

binder clip.

KONSEP NASKAHBULETIN PENGAWASAN

67Volume 15-4

Inspektur Jenderal KLHK memimpin acara penandatanganan serah terima jabatan Inspektur Wilayah IV (dari Bapak Muhammad Yunus kepada Bapak Ade Tri Ajikusumah) dan jabatan Inspektur Investigasi (dari Bapak Tri Bangun Laksana kepada Bapak Ardyanto Nugroho) sebagai Inspektur Investigasi. Acara dilaksanakan 22 Desember 2020 bertempat di Ruang Rapat Itjen KLHK Manggala Wanabhakti.