ipi62054

9
63 Penerapan Terumbu Karang Buatan (Rumpon)..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 63 - 71 J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.2 Hal. 63 - 71 Jakarta, Agustus 2010 ISSN 1907-1043 Abstract Artificial reef (rumpon) are tools in the form fish collecting objects or structures that are designed made from natural or artificial materials that are placed permanently in marine waters. Many oil rigde spread in coastal area. Majority of fisherman from Kutai Kartanegara catch a fish around oil ridge and very dangerous. The Application of artificial reef technology as coral reefs have been set at Kutai Kartanegera waters in 2009. Activities are particularly in assessment site selection survey for deployment the artificial reef depand the quality and depth water. Artificial reef made of concrete with a total 60 pieces and has a size of 2 x 2.5 meters. The results of physical and chemical analysis such as water temperature, depth, salinity, turbidity, based material and dissolved oxygen in the normal condition. The dominat of sediment in a sand bed is muddy and has a marine topography a slope, because there is still considerable influence of the Mahakam delta. There are six potential locations for mooring artificial reef at position UTM 1.555000/9975100; 2.555823/997 8221;3.559711/9981510;4.562515/9986117;5.558448/9991855; 6.557506/9987513. Artificial reef placement depths ranging 15 - 25 meters. Key words : Artificial reef, fisherman, water quality, kutai kartanegara waters PENERAPAN TERUMBU KARANG BUATAN (RUMPON) DI PERAIRAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara administratif, Kabupaten Kutai Kartanegara terbagi dalam 18 wilayah kecamatan dan 182 desa/kelurahan. Dengan pertumbuhan penduduk 4,13% per tahun, penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara mencapai 481.179 jiwa (2001) dengan kepadatan penduduk rata-rata 17,6 jiwa/ km 2 . Sektor migas memegang peranan penting di dalam pendapatan daerah dan sumber minyak dan gas bumi yang ada di daerah Kutai Kartanegara sebagian besar berlokasi di pantai dan lepas pantai. Kenyataan pada saat ini banyak nelayan yang menangkap ikan di daerah ridge tersebut dan terkadang menimbulkan konflik antara nelayan dan pengelola migas. Ridge yang masih aktif tersebut merupakan daerah potensi perikanan, karena bentuk dan komposisinya menyerupai rumpon (terumbu karang buatan) yang sebenarnya. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang ini bisa hidup lebih dari 480 jenis karang, yang terdiri dari sekitar Korespodensi Penulis [email protected] Agung Riyadi Peneliti Hidrologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Naskah di Terima : 1 Juli 2010 ; Revisi Terakhir 29 Juli 2010

description

jurnal perikanan

Transcript of ipi62054

  • 63 Penerapan Terumbu Karang Buatan (Rumpon)..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 63 - 71

    J. Hidrosfir Indonesia Vol. 5 No.2 Hal. 63 - 71 Jakarta, Agustus 2010 ISSN 1907-1043

    Abstract

    Artificial reef (rumpon) are tools in the form fish collecting objects or structures that are designed made from natural or artificial materials that are placed permanently in marine waters. Many oil rigde spread in coastal area. Majority of fisherman from Kutai Kartanegara catch a fish around oil ridge and very dangerous. The Application of artificial reef technology as coral reefs have been set at Kutai Kartanegera waters in 2009. Activities are particularly in assessment site selection survey for deployment the artificial reef depand the quality and depth water. Artificial reef made of concrete with a total 60 pieces and has a size of 2 x 2.5 meters. The results of physical and chemical analysis such as water temperature, depth, salinity, turbidity, based material and dissolved oxygen in the normal condition. The dominat of sediment in a sand bed is muddy and has a marine topography a slope, because there is still considerable influence of the Mahakam delta. There are six potential locations for mooring artificial reef at position UTM 1.555000/9975100; 2.555823/9978221;3.559711/9981510;4.562515/9986117;5.558448/9991855; 6.557506/9987513. Artificial reef placement depths ranging 15 - 25 meters.

    Key words : Artificial reef, fisherman, water quality, kutai kartanegara waters

    PENERAPAN TERUMBU KARANG BUATAN (RUMPON) DI PERAIRAN KUTAI KARTANEGARA KALIMANTAN TIMUR

    1. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Secara administratif, Kabupaten Kutai Kartanegara terbagi dalam 18 wilayah kecamatan dan 182 desa/kelurahan. Dengan pertumbuhan penduduk 4,13% per tahun, penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara mencapai 481.179 jiwa (2001) dengan kepadatan penduduk rata-rata 17,6 jiwa/km2.

    Sektor migas memegang peranan penting di dalam pendapatan daerah dan sumber minyak dan gas bumi yang ada di daerah Kutai Kartanegara sebagian besar berlokasi di pantai

    dan lepas pantai. Kenyataan pada saat ini banyak nelayan yang menangkap ikan di daerah ridge tersebut dan terkadang menimbulkan konflik antara nelayan dan pengelola migas. Ridge yang masih aktif tersebut merupakan daerah potensi perikanan, karena bentuk dan komposisinya menyerupai rumpon (terumbu karang buatan) yang sebenarnya.

    Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu karang ini bisa hidup lebih dari 480 jenis karang, yang terdiri dari sekitar

    Korespodensi [email protected]

    Agung Riyadi

    Peneliti Hidrologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

    Naskah di Terima : 1 Juli 2010 ; Revisi Terakhir 29 Juli 2010

  • 64

    1650 jenis ikan dan berpuluh-puluh jenis moluska, crustacean, sponge, alga, lamun dan biota lainnya(1). Selain itu terumbu karang juga mempunyai fungsi yang tidak kalah pentingnya yaitu sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi.

    Potensi dan kondisi terumbu karang di perairan Kutai Kartanagera dan sekitarnya telah banyak diteliti oleh peneliti Indonesia. Menurut(2) dalam laporannya menyebutkan bahwa berdasarkan data dari citra Landsat-TM terumbu karang di perairan ini ditemukan di sekitar pantai Bontang dengan dominasi karang bertipe karang pingir (fringing reef) dengan lebar rataan sekitar 2,14 km2. Di beberapa areal seperti sekitar Delta Mahakam juga ditemukan sebaran karang namun kondisinya banyak yang sudah rusak karena tingginya endapan lumpur di areal tersebut.

    Usaha nelayan dalam meningkatkan pendapatannya dengan melakukan penangkapan yang cenderung berdekatan dengan ridge minyak, dikawatirkan akan merusak atau mengganggu kegiatan perminyakan dan kerusakan terutama pada daerah terumbu karang karena menggunakan bahan peledak, bahan kimia dan lainnya sehingga mengurangi fungsi terumbu karang.

    Hasil pengamatan Tim Perikanan Kukar di perairan Kutai Kartanegara mendapatkan bahwa kondisi terumbu karang di daerah ini tidak terlalu banyak dan kondisinya tidak terlalu baik dimana didapatkan persentase terumbu karang hanya terdapat di daerah Marang Kayu dan Kersik. Sedangkan potensi perikanan di daerah sekitar ridge minyak juga cukup banyak, tetapi ada larangan nelayan tidak diperbolehkan mengambil ikan disekitar daerah tersebut.Untuk mengurangi laju pengrusakan karang dan gangguan pada ridge oleh nelayan maka sangat perlu dilakukan upaya-upaya penanggulangan yaitu memberi kepada nelayan usaha perikanan alternatif dengan teknologi yang mudah dilakukan, murah dan dapat memberikan pendapatan yang tinggi bagi nelayan(3).

    Salah satu diantaranya yaitu dengan usaha rumponisasi. Rumpon adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut(4). Rumpon juga sebagai alat bantu pengumpul ikan berupa benda atau struktur yang dirancang atau dibuat dari bahan alami

    atau buatan yang ditempatkan secara tetap atau sementara pada perairan laut. Dalam SK Mentan No. 51/Kpts/IK.250/I/97 tentang pemasangan dan pemanfaatan rumpon menjelaskan bahwa terdapat 3 jenis rumpon yaitu: (a) rumpon perairan dasar: adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada dasar perairan laut, (b) rumpon perairan dangkal: adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman laut sampai 200 meter dan (c) rumpon perairan dalam: adalah alat bantu penangkapan ikan yang dipasang dan ditempatkan pada perairan laut dengan kedalaman diatas 200 meter. Pembangunan rumpon ikan juga bertujuan untuk tempat berlindung dan berkembangbiak ikan sehingga program ini selain memiliki dampak ekonomi juga memiliki misi konservasi terhadap sumberdaya ikan dapat juga dipakai sebagai wisata pancing. Penggunaan serta pemanfaatan rumpon yang semakin meningkat dan berkembang dewasa ini di kalangan nelayan memerlukan pengaturan dengan tujuan terhindarinya kerusakan pola ruang ikan dan tetap terjaganya kelestarian sumber daya ikan di samping untuk menghindari terjadinya ketegangan sosial di antara nelayan.

    1.2. Tujuan

    Kegiatan penelitian ini dimaksudkan untuk menentukan lokasi yang sesuai untuk penempatan rumpon dalam rangka mengurangi konflik horisontal dan menunjang kelestarian terumbu karang.

    II. METODOLOGI

    Lokasi penelitian ini dilakukan di Perairan Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, tepatnya di sebelah utara Delta Mahakam hingga berbatasan dengan Kodya Bontang. Penelitian ini dilakukan secara bertahap yaitu koordinasi dengan Dinas Perikanan dan Kelautan. Kemudian sosialisasi dengan masyarakat terhadap rencana penempatan rumpon, survei detail kondisi hidro-oseanografi meliputi kedalaman dan sifat fisik dan kimia laut untuk lokasi penempatan terumbu serta konstruksi terumbu karang buatan.

    Riyadi, A., 2010

  • 65

    2.1. Penentuan Lokasi Penempatan Rumpon Buatan

    Di perairan Kutai Kartanegara sedimen dasarnya didominasi oleh lumpur berpasir yang berasal dari transport sedimen dari Delta Mahakam. Beberapa lokasi masih dijumpai gosong pasir yang memungkinkan untuk penempatan rumpon. Penentuan lokasi penempatan rumpon juga disesuaikan dengan tingkat kedalaman dan faktor fisik perairan seperti suhu, salinitas, kecerahan perairan, tubiditas serta arus..

    2.2. Konstruksi Rumpon Buatan

    Kontruksi rumpon buatan terbuat dari beton (concrete) yang diharpkan dapat lebih tahan lama dan stabil di dasar perairan. Bahan material yang berasal dari beton ini juga ramah lingkungan, meminimalkan unsur resiko pencemaran lingkungan, seperti halnya dari ban bekas atau becak yang rawan terhadap logam berat.Bentuk rumpon buatan yang dibuat yaitu tipe kubus (Gambar 1) dengan ukuran 2.5 m x 2 meter.

    Gambar 1. Bentuk rumpon yang digunakan

    Gambar 2. Lokasi survey pengambilan sampel fisik dan kimia perairan

    III. HASIL DAN PEMBAHASAN

    Hasil dan pembahasan penelitian ini terbagi atas: deskripsi wilayah pesisir Kutai Kartanegara; kualitas fisik dan kimia perairan; kajian lokasi penempatan rumpon buatan.

    3.1. Deskripsi Wilayah Pesisir Kutai Kartanegara

    Perairan Kutai Kartanegara bagian utara Delta Mahakam terdiri atas 5 desa, yaitu: Muara Badak Ilir, Tanjung Limau, Bunga Putih, Sebuntal dan Kersik. Semakin ke arah utara atau desa Kersik perairannya relatif lebih bagus daripada di daerah selatan karena lebih jauh dari pengaruh Delta Mahakam. Kedalaman perairan di bawah 4 mill berkisar 10 40 meter. Potensi perikanan laut 2.529,3 ha, yang telah dimanfaatkan 484,5 ha (19,16%). Lahan potensial untuk dijadikan pertambakan seluas 4.523,2 ha dan baru diusahakan seluas 1.690,7 ha. Tingkat pertumbuhan rata-rata 20,50%. Kapal yang digunakan relatif kecil dan jarak terjauh penangkapan hingga 5 mill laut. Jenis-jenis ikan yang tertangkap di sekitar perairan antara lain udang, ikan putih, bawal, kakap dan belanak. Komposisi hasil tangkapan umumnya berbeda

    2.3. Penempatan Terumbu Buatan

    Sebelum dilakukan penempatan rumpon, terlebih dahulu dilakukan survey kesesuaian perairan untuk lokasi terpilih (Gambar 2). Survey menggunakan kapal dan beberapa peralatan pendukung, dimulai dari Kecamatan Muara Badak kearah utara hingga mendekati perbatasan dengan Bontang. Lokasi terpilih diharapkan

    mendapatkan sedimen dasar berupa pasir atau pasir berlumpur. Pemilihan lokasi ini juga mempertimbangkan pendapat dari masyarakat setempat dan sentra nelayan.

    Penerapan Terumbu Karang Buatan (Rumpon)..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 63 - 71

  • 66

    Gambar 3. Titik pengukuran dan lintasan (line) 1 dan lintasan (line) 2 di perairan Kutai Kartanegara

    A. Suhu Permukaan Laut

    Distribusi horisontal dan vertikal suhu air di perairan Kutai Kartanegara menunjukkan nilai yang bervariasi. Gambar lintasan (line) 1 dan line 2 dapat dilihat pada Gambar 3. di atas. Suhu tertinggi tercatat di areal stasiun M14 sekitar 29.15 oC dan di sekitar M7 29.23 oC. Suhu terdistribusi dan mengalami penurunan seiiring dengan meningkatnya kedalaman dan menurun ke arah lepas pantai. Kisaran suhu pada lintasan 1 adalah 28.15 29.15 (28.475)

    Gambar 4. Penampang Melintang Suhu pada lintasan 1 di Perairan Kutai Kartanegara

    Gambar 5. Penampang Melintang Suhu pada lintasan 2 di Perairan Kutai Kartanegera

    setiap musimnya. Pemasaran hasil masih digunakan untuk konsumsi lokal dan dipasarkan di TPI Marang Kayu dan Toko Lima di Muara Badak.

    3.2. Kualitas Fisik dan Kimia Perairan

    Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh l imbah terhadap lingkungan biotik perairan Kalimantan Timur. Lebih detail dari tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui lingkungan perairan di sekitar perairan Kalimantan Timur yang potensial untuk mendukung pertumbuhan terumbu karang buatan (rumpon) dalam upaya untuk meningkatkan produktivitas sumberdaya kelautan di peraian Kutai Kartanegara. Gambar 3 di bawah ini memperlihatkan titik titik pengukuran dan digambarkan ke dalam garis (line) beberapa parameter fisik perairan.

    oC sedangkan variasi suhu pada lintasan 2 adalah 28.4 29.23 (28.604)oC. Tingginya suhu di daerah pantai dimungkinkan disebabkan karena adanya pemasukan air dari sungai yang ada di sekitar Pantai Kalimantan Timur, dan juga disebabkan oleh topografi pantai yang dangkal sehingga penetrasi cahaya dapat maksimal menembus dasar perairan. Menurut(2) menyatakan bahwa suhu perairan di sekitar sungai Mahakam sekitar 29.4 oC disebabkan intensitas kegiatan pengeboran gas dan minyak yang ada di areal tersebut.

    Pada areal tengah (M1,M2, M3 dan M4) pola suhu menunjukkan distribusi yang hampir homogen, hal ini dikarenakan adanya pola pengadukan massa air yang sempurna akibat topografi pantai yang dangkal. Menurut Suharsono,

    Riyadi, A., 2010

  • 67

    B. Salinitas

    Distribusi horisontal salinitas di lapisan permukaan menunjukkan bahwa pada lintasan 1, kisaran salinitas berflutuatif sedangkan pada lintasan 2 realtif homogen. Secara umum variasi salinitas pada lintasan 1 adalah 33.71 34,2 ( 34.046) psu sedangkan pada lintasan 2 adalah 33.84 34,2 ( 34.027) psu dapat dilihat pada Gambar 6 dan Gambar 7. Pola distribusi salinitas pada perairan ini yang dapat dirangkum adalah nilai salinitas pada areal pantai yang dekat dengan muara sungai cenderung rendah akibat pengaruh input massa air dari sungai yang bersalinitas rendah. Nilai salinitas kemudian meningkat ke arah lepas pantai seiiring dengan semakin rendahnya pengaruh dari massa air dari sungai/daratan.

    Kisaran salinitas dimana terumbu karang dapat hidup yaitu 27 40 psu, tetapi mereka hidup paling baik pada salinitas normal air laut yakni 36 %. Yang perlu mendapat perhatian bahwa perairan ini akan terus - menerus mengalami pemasukan air tawar secara teratur dari aliran sungai, sehingga salinitasnya berkurang yang akan mengakibatkan kematian terumbu karang, yang juga membatasi sebaran karang secara lokal.

    Gambar 6. Penampang Melintang Salinitas pada lintasan 1 di Perairan Kutai Kartanegara

    Gambar 7. Penampang Melintang Salinitas pada lintasan 2 di Perairan Kutai Kartanegara

    C. Derajat Keasaman (pH)

    Derajat keasaman (pH) menunjukan jumlah ion hidrogen dalam air laut yang dinyatakan dalam aktivitas hidrogen. Derajat keasaman ini mempunyai peranan penting terhadap proses-proses biologis dan kimia dalam perairan. Derajat keasaman (pH) di sekitar lokasi penelitian berkisar 8,0. pH perairan ini tergolong normal dan cukup produktif serta ideal untuk kehidupan biota perairan, pH air laut sekitar 8,0.

    D. Kekeruhan

    Kekeruhan diukur dengan dengan metode Nephelometric, yaitu sumber cahaya dilewatkan pada sampel dan intensitas cahaya yang dipantulkan oleh polimer formazin sebagai laruran standar. Pengukuran kekeruhan tersebut menggunakan alat Chlorotech Probe. Satuan kekeruhan yang diukur adalah NTU (Nephelometric Turbidity Unit) (APHA, 1976). Kekeruhan perairan berkisar antara 0,3- 7.2 NTU, kekeruhan tinggi dijumpai di perairan dekat muara sungai dan di kedalaman mendekati dasar. Kekeruhan yang tinggi sangat mempengaruhi pertumbuhan karang dan dapat mematikan hewan karang. Kondisi turbiditas di perairan ini relatif baik dengan kisaran 0.3 7.2 (1.096) ntu pada lintasan 1 dan 0.3 13 (1.452) ntu pada lintasan 2 dapat dilihat pada Gambar 4.6

    1989(5) suhu terbaik untuk pertumbuhan karang batu adalah 25 oC - 31 oC. Dan masih dapat hidup pada suhu 15 oC, tetapi perkembangangbiakan, metabolisme dan pengapuran akan terganggu.

    Penerapan Terumbu Karang Buatan (Rumpon)..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 63 - 71

  • 68

    dan kualitas cahaya yang dapat menembus air laut sangat penting dalam menentukan sebaran vertikal karang batu yang mengandungnya. Semakin dalam laut, semakin kurang intensitas cahaya yang didapat atau dicapai yang berarti semakin kecil produksi oksigen. Kedalaman laut maksimum untuk karang batu pembentuk terumbu karang adalah 45 meter. Lebih dari itu cahaya terlalu lemah untuk zooxanthella yang merupakan alga mikroskopik bersel tunggal dalam menghasilkan oksigen yang cukup bagi karang batu.

    Gambar 8. Penampang Melintang Turbiditas pada lintasan 1di Perairan Kutai Kartanegara

    Gambar 9. Penampang Melintang Turbiditas pada lintasan 2 di Perairan Kutai Kartanegara

    E. Kecepatan Arus

    Kecepatan arus yang dapat direkam pada lapisan permukaan berkisar 12-26 cm/det dengan dominasi arah ke Barat Daya dan Timur Laut. Kondisi ini hampir sama ditemukan baik pada lintasan 1 dan lintasan 2. Hasil analisis yang dilakukan oleh Banjarnahor dkk, 2000 yang menguji pengaruh arus pasang surut menyatakan bahwa arus di perairan ini diindikasikan disebabkan oleh pengaruh adanya pasang surut dan pengaruh dari arus dari areal lain. Arus lain yang dimaksud adalah arus angin (wind drift current) dan arus dinamis. Pada arus angin, pengaruh yang ditimbulkan relatif kecil karena kecilnya angin dan variasi arah angin. Demikian pula dengan pengaruh arus dinamis juga diindikasikan kecil karena secara global

    dan Gambar 4.7. Nilai turbiditas tertinggi dicatat pada areal stasiun M2 dan M3 sekitar 13 ntu. Pada areal dekat muara sungai diindikasikan akan rawan mengalami turbiditas yang ekstreem akibat limpasan air sungai yang mempunyai tingkat kekeruhan yang tinggi pada musim penghujan. Oleh karena itu penempatan lokasi rehabilitasi terumbu karang diusahkan sedikit menjauhi dari areal tersebut. Gambar 8 di bawah ini memperlihatkan distribusi kekeruhan yang berada di Perairan Kutai Kartanegara.

    Terumbu karang hidup di bawah permukaan air, memerlukan air laut yang bersih dari kotoran atau partikel melayang di atasnya. Oleh karena benda - benda yang terdapat di dalam air dapat menghalangi masuknya cahaya matahari yang diperlukan untuk hidup zooxanthella. Di samping itu, endapan lumpur atau pasir yang terkandung di dalam air yang diendapkan oleh arus dapat mengakibatkan kematian pada terumbu karang. Untuk itu kondisi turbiditas dan pola arus yang mempengaruhi penetrasi cahaya matahari di perairan sangat penting untuk diperhatikan dalam penetapan areal rehabilitasi terumbu karang. Kedalaman optimum untuk tumbuhnya terumbu karang berkisar antara 10-20 m(6).

    Cahaya adalah salah satu faktor yang paling penting yang membatasi terumbu karang, karena cahaya diperlukan bagi proses fotosintesis. Kedalaman panetrasi sinar mempengaruhi kedalaman pertumbuhan karang. Intensitas

    Riyadi, A., 2010

  • 69

    Gambar 10. Penampang Melintang Oksigen Terlarut (DO) pada lintasan 1 di Perairan Kutai Kartanegara

    Gambar 11. Penampang Melintang Oksigen Terlarut (DO) pada lintasan 2 di Perairan Kutai Kartanegara

    G. Dasar Perairan

    Dari survei sebanyak 14 stasiun, menyatakan rata-rata kedalaman lokasi stasiun sekitar 20 meter. Selain kedalaman, faktor yang penting sebagai dasar penentuan lokasi terumbu karang adalah kondisi dasar perairan. Tipe dasar perairan yang baik untuk terumbu karang adalah berpasir dengan kandungan lumpur yang rendah. Dari stasiun yang diamati, tipe kondisi dasarnya semua berlumpur dengan derajat kandungan pasir yang bervariasi. Untuk itu, harus diseleksi lagi lokasi yang mempunyai dasar dengan kandungan pasir yang tinggi. Karang batu hidup subur pada kedalaman tidak lebih dari 40 meter.

    3.3. Lokasi Penempatan Rumpon Buatan

    Pemilihan lokasi penempatan rumpon sangat tergantung kepada parameter fisik dan kimia perairan laut seperti kedalaman, material dasar, bebas dari lokasi yang tingkat sedimentasinya tinggi, kadar garam atau salinitas dan diupayakan di daerah yang subur atau merupakan daerah ruaya ikan. Menurut Subani (1986)(7), peningkatan teknologi rumpon laut dangkal diperlukan agar pemanfaatannya lebih berdaya guna dalam usaha peningkatan produksi penangkapan dan peningkatan penghasilan nelayan.

    Dari survey lebih dari 15 lokasi yang tersebar di antara perairan Muara Badak hingga Kersik dan Marang Kayu, rata-rata kedalaman lokasi stasiun berkisar 15 25 meter meter. Di daerah Muara Badak tidak dijumpai material dasar

    kondisi oseanografis perairan di Kalimantan Timur dan sekitarnya relatif homogen.

    F. Oksigen Terlarut

    Konsentrasi oksigen terlarut terendah ditemukan di lapisan dasar perairan baik pada lintasan 1 maupun lintasan 2 yakni sekitar 5.16 5.31 mg/L. Secara umum konsentrasi oksigen terlarut di perairan ini relatif baik, pada lintasn 1 kisaran oksigen terlarut adalah 5.31 7.16 (5.780) mg/L sementara pada lintasan 2 adalah 5.16 6.7 (5.697) mg/L dapat dilihat pada Gambar 10 dan Gambar 11

    di bawah ini. Tingginya kandungan oksigen terlarut di daerah estuary mungkin disebabkan karena proses fotosintesa phitoplankton dan tumbuhan air lainnya berlangsung optimal karena supply cahaya matahari yang cukup dan suplay nutrient yang masuk dari sungai. Proses lain yang mendukung tingginya proses fotosintesa adalah di daerah pantai air dasar perairan yang mengandung banyak nutrien mudah teraduk ke badan air yang lebih atas sehingga nutrien tersebut dapat dimanfaatkan oleh phytoplankton untuk berfotosintesis.

    Penerapan Terumbu Karang Buatan (Rumpon)..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 63 - 71

  • 70

    Gambar 4.12. Lokasi potensial penempatan rumpon di perairan Kutai Kartanegara

    Tabel 1. Koordinat (UTM) Lokasi Penempatan Rumpon

    No MT MU

    1 555000 9975100

    2 555823 9978221

    3 559711 9981510

    4 562515 9986117

    5 558448 9991855

    6 557506 9987513

    Teknologi penangkapan ikan bukan saja ditujukan untuk meningkatkan hasil tangkapan, tetapi juga memperbaiki proses penangkapan untuk meminimumkan dampak penangkapan ikan terhadap l ingkungan perairan dan biodiversitinya(1).

    KESIMPULAN

    Beberapa kesimpulan yang dapat tarik dari hasil penelitian ini adalah:1. Secara fisik dan kimia, kualitas air perairan

    Kutai Kartanegara cukup baik, hal ini terlihat dari beberapa titik pengukuran seperti parameter disolved oxigen (DO), tingkat kesuburan, dan pH relatif di atas baku mutu yang ditetapkan, sedangkan kekeruhan cukup mengkhawatirkan hampir di sepanjang pantai hingga mendekati daerah Sebuntal, sedangkan ke arah laut tingkat kekeruhan berkurang.

    2. Kondisi material dasar didominasi oleh campuran lumpur dan pasir, terutama di sepanjang pantai hingga daerah Tanjung Limau material dasarnya berupa Lumpur. Di daerah Kersik dan Santan Ilir sudah terjadi perubahan material dasarnya, banyak dijumpai pasir meskipun masih bercampur dengan lumpur hijau. Daerah tersebut masih memungkinkan untuk penempatan rumpon.

    3. Rekomendasi rencana penempatan rumpon di daerah Marang Kayu dan Kersik, dan ada beberapa lokasi yang bisa di daerah Tanjung Limau, terutama di daerah gosong pasir, dimana masih dijumpai material dasar berupa pasir yang relative baik dan terdapat pecahan pecahan karang yang sudah mati. Lebih kurang terdapat 6 titik lokasi yang sesuai untuk mooring rumpon yang tersebar di daerah tersebut (Gambar 12).

    perairan yang mempunyai kandungan lumpur yang rendah, kedalaman lumpur lebih dari 40 cm, sehingga lokasi yang lebih sesuai dilihat dari material dasar sebaiknya lebih ke utara. Daerah perairan sekitar Muara Badak masih dipengaruhi oleh sedimentasi dari Delta Mahakam. Tingkat Salinitas di daerah tersebut relative rendah berkisar 20 25 permil.

    Rekomendasi rencana penempatan rumpon di daerah Marang Kayu dan Kersik, dan ada beberapa lokasi yang bisa di daerah Tanjung Limau. Lebih kurang terdapat 12 titik lokasi yang sesuai untuk mooring rumpon. Dari kedua belas titik tersebut masih bisa dikurangi menjadi beberapa titik yang paling sesuai. Kondisi material dasar relatif sama, semakin kearah Marang Kayu atau Kersik metarial dasarnya lebih didominasi oleh pasir berlumpur, sedangkan di daerah Muara Badak kondisi material dasarnya lumpur berpasir. Sedangkan kualitas airnya relatif sama, semakin dekat kearah

    darat yang mempunyai mauar sungai semakin rendah tingkat salinitasnya. Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan titik titik posisi rekomendasi untuk penempatan rumpon, sedangkan Gambar 4.12. memperlihatkan sebaran titik rekomendasi penempatan rumpon.

    Riyadi, A., 2010

  • 71

    Sinjai Sulawesi Selatan. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol 8 No.2, Juli 2003, hal 223-231.

    4. Barus, H.R., M. Linting, N. Naamin, S.Ilyas, M.Badruddin, C.Nasution, E.M. Amin, B. Gafa dan Sarjana, 1992. Pedoman Teknis Peningkatan Produksi dan Efisiensi melalui Penerapan Teknologi Rumpon. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Jakarta 7 hal.

    5. Suharsono, 2000. Laporan Penelit ian Sumberdaya Kelautan di Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Laut Pantai Kalimantan Timur, Bidang Oseanografi. Proyek Pengembangan dan Penerapan IPTEK Kelautan .Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 66 hal.

    6. Rinkevich, B. 1995. Restoration strategies for coral reef damaged by recreational activities: The use of sexual and asexual recruits. Restoration Ecology. 3:41-251.

    7. Subani, W. 1986. Telaah Penggunaan Rumpon dan Payaos dalam Perikanan Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut, BPPL, Jakarta, 35:35-45

    Saran

    Dengan adanya program pembuatan rumpon buatan ini dapat digunakan sebagai alternatif lokasi potensi perikanan di kawasan pesisir khususnya Perairan Kutai Kartanegara dan dapat dipakai sebagai daerah perlindungan laut dan kawasan rehabilitasi pesisir dan laut.

    Keberhasi lan program penanaman teknologi rumpon buatan dalam jangka panjang perlu dilakukan dengan kegiatan monitoring, untuk mengetahui kemampuan laju pertumbuhan terumbu beserta dengan populasi ikan yang berada di sekitar rumpon.

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Reefs at Risk: Analysis of Threats to Coral Reefs, World Resources Institute (WRI), 2002

    2. Banjarnahor, J. dan Suyarso, 2000. Profil Sumberdaya Kelautan. Kawasan Pengembangan dan Pengelolaan Laut (KAPPEL) Kalimantan Timur. Proyek P e n g e m b a n g a n d a n P e n e r a p a n IPTEK Kelautan .Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 93 hal.

    3. Jamal, M., 2003. Studi Penggunaan Rumpon untuk Meningkatkan Produksi Hasil Tangkapan Gillnet dan Bubu Dasar yang dioperasikan di Perairan Kabupaten

    Penerapan Terumbu Karang Buatan (Rumpon)..... J. Hidrosfir. Vol. 5 (2) 63 - 71