IPD.doc
-
Upload
hega-obra-maestra-septiagi -
Category
Documents
-
view
163 -
download
3
Transcript of IPD.doc
MILK FEVER
A. Abstrak
Milk fever ditemukan pada penyakit metabolis yang paling benyak ditemukan pada sapi
perah setelah melahirkan. Dan terutama pada sapi yang berproduksi tinggi. Kadar kalsium
dalam darah akan menurun dari 9-12 mg/dl menjadi kurang dari 4mg/dl. Pada milk fever juga
ditandai dengan hypofosfatemia, hypomagnesia, dan hypokalsemia (Kronfeld, 1980).
Kejadian paling banyak ditemukan setelah 48 jam setelah melahirkan. Milk fever jarang
ditemukan pada sapi perah sebelum beranak yang ketiga (Payne, 1964), dan peningkatan
umur maka disertai dengan peningkatan penyakit ini. Pada sapi umur lebih 5 tahun penyakit
milk fever paling banyak terjadi (Mayer dkk, 1969). Kejadian sebagian besar terjadi 2-3 hari
setelah melahirkan (Edward, 2005).
Kadar kalsium pada darah dikontrol oleh hormone parathyroid dan hormone calcitonin.
Kadar kalsium yang rendah pada saat sapi melahirkan menjadi pemicu Milk Fever. Kalsium
dalam darah sebagian terikat dengan protein dan sebagian lagi beberbentuk ion. Bagian
terpenting adalah proporsi perbandingan Ca dengan P. (Edward, 2005)
B. Riwayat Kasus
1. No : 2
2. Tanggal : 23 Desember 2009
3. Macam hewan : Sapi PFH
4. Nama dan alamat pemilik : Bp. Munir
5. Nama hewan : Beauty
6. Sinyalemen : umur 5 tahun, belang hitam putih
7. Anamnesis : 2 hari yang lalu sapi ambruk, eksitasi, terengah-engah, anggota gerak
tremor, kaki kadang-kadang kejang, nafsu makan dan minum turun
8. Status praesens
a. Keadaan umum : kurus, kulit kusam, alopecia, gelisah, eksitasi, peka terhadap
rangsangan lingkungan
b. Frekuensi nafas : 60-80 kali/menit
c. Frekuensi pulsus : 90-100 kali/menit
d. Temperatur : 40 derajat Celcius
e. Kulit dan rambut : kering dan kusam
f. Selaput lendir : hiperemi
g. Kelenjar-kelenjar limfe : tidak ada pembengkakan
h. Pernafasan : keluar leleran serous dari lubang hidung, suara vesikuler meningkat,
nafas torachoabdominal
i. Peredaran darah : cepat, sistole dan diastole hampir tidak ada jeda
j. Pencernaan : tonus rumen lemah (4 kali/menit), palpasi pada legok lapar seperti
papan dan padat.
k. Kelamin dan perkencingan : ambing besar
l. Saraf : sensitif terhadap rangsangan
m.Anggota gerak : gemetar
n. Lain-lain
Kadar Mg : 2-3 mg/kg (normal) menjadi < 1 mg/kg
Kadar Ca : 9-12 mg/kg (normal) menjadi < 5 mg/kg
Berat badan : 400 kg
C. Diskusi dan Pembahasan
Etiologi
Penyebab dari milk fever terdapat beberapa teori yaitu :
Penurunan kadar kalsium dari 9-12 mg menjadi 3-7 mg. penurunan kadar P dari 5-6 mg
menjadi 1 mg/dl. Hal karena metabolism Ca dan P ke dalam kolostrum secara tiba-tiba
saat menjelang melahirkan.
Teori defiseinsi hormone paratiroid. Pada milk fever diketahui terjadi penurunan hormone
paratiroid tetapi penelitian lanjut menyatakan penurunan hormone paratiroid dalam darah
akan diikuit kenaikan dengan cepat. (Kronfeld, 1971)
Teori hormone tirokalsitonin, hormone ini mampu mengatur penyerapan Ca dan kadar Ca
di dalam darah. Jika sapi kelebihan Ca saat bunting maka saat melahirkan kemungkinan
besar menderita milk fever, karena hormone tirokalsitonin terbiasa mengatur Ca dalam
kadar rendah. (Kronfeld, 1971)
Milk fever disebabkan gangguan absorbs kalsum, dugaan tersebut didukung alasan
sebagai berikut : sapi yang nafsu makannya turun kalsium yang diserap turun; absorsi
kalsium yang turun karena tingginya pH, kadar lemak tinggi dalam usus sapi tua, dan
kemampuan menyerap kalsium menurun pada sapi tua; mobilisasi Ca dari tulang
menurun setingkat dengan penambahan usia.
Gangguan produksi vitamin D.
Hormone estrogen dan steroid kelenjar adrenal dapat menurunkan absorpsi kalsium dari
usus dan mobilisasi Ca ke tulang.
Pathogenesis
Sapi yang melahirkan mengalami stress dengan kadar hormone steroid meningkat. Kadar
kalsium dalam darah akan terjadi ketidakseimbangan sehingga kemungkinan terjadi
penurunan Ca dalam darah. Kadar Ca akan mengalami penuruanan dalam waktu singkat
hingga 4 mg/dl. Hypokalsemia akan mengakibatkan :
Terpengaruhnya tonus otot;
Penurunan Ca menghambat asetilkolin, dan terbebasnya ion Ca akan
mengakibatkan kontraksi otot;
Penghambatan insulin sehingga akan terjadi hyperglisemia.
Gejala klinis
Menurut Kronfeld, 1980 stadium milk fever terbagi menjadi tiga yaitu stadium
prodromal, stadium recumbent, dan stadium koma. Pertama sapi akan terlihat eksitasi, sapi
akan menendang-nendangkan kaki belakangnya, tatapan matanya ketakutan, pupil dilatasi.
Beberapa waktu sapi akan jalan sempoyongan, kehilangan keseimbangan, dan jatuh. Pada
tahap ringan sapi akan berusaha untuk berdiri, hingga akhirnya usahanya menjadi sia-sia.
Tanda yang paling khas adalah kepala sapi akan tertarik dan menoleh ke belakang, sapi
mengalami paralisa, sehingga menyebabkan hipersalivasi. Sapi mengalami dypsnoe yang
dalam dan pelan, pulsus cepat dan berat, extremitas terasa dingin, ditandai dengan penurunan
suhu 4-5o di bawah normal. Selanjutnya, sapi mengalami koma dan kematian. (Edward,
2005)
Diagnose
Diagnose dapat melihat gejala klinis yang terjadi. Selain itu dapat dilakukan pemeriksaan
serum, dan melihat adanya penurunan Ca dalam darah, penurunan P dan Mg. Hormone
corticosteroid pada darah akan terlihat naik kadarnya.
Prognosis
Milk fever yang segera memperoleh pertolongan akan berakhir dengan kesembuhan.
Kesembuhan spontan hampir tidak mungkin. Jika ternak mengalami muntah maka ada
kemungkinan akan terjadi pneumonia yang berakhir dengan porgnosisi infausta.
Diferensial diagnose
Milk fever pada tahap awal mirip dengan rabies, terutama gejala rebah, dan kepala
tertarik ke balakang (Edward, 2005). Selain itu penyekit lain yang gejalanya mirip dengan
milks fever adalah mastitis, metritis, peritonitis, ketosis, enzootic bovine leukosis, dan
paralisisnervus obturatorius.
Terapi
Sapi yang sudah tidak dapat bangun perlu diubah posisi tidurnya, sehingga sirkulasi darah
pada kaki-kaki belakang dapat berlangsung dengan baik.
Pengobatan dapat juga dengan menggunakan pemompaan (insufflasi) udara ke dalam
keempat kuartir ambing, sehingga tekanan intra mamer meningkat dan menghentikan
pengeluaran air susu selanjutnya, yang berarti menghentikan pengurasan unsur kalsium ke
dalam ambing.Pengobatan ini terbukti telah mengurangi kematian sebesar 15% (Payne,
1964).
Hasil yang memuaskan diperoleh dengan penyuntikan garam kalsium, yang dapat segera
membangunkan sapi penderita dalam stadium berbaring (Hibbs, 1950).
Sediaan kalsium yang dipakai adalah sebagai berikut :
a. Larutan kalsium klorida 10% atau lebih. Sediaan ini kalau tidak sangat terpaksa
sebaiknya tidak digunakan, karena bila terlalu banyak atau terlalu cepat
pemberiannya dapat mengakibatkan heart block. Larutan ini harus disuntikkan
intraena, karena bila disuntikkan subkutan atau intramuskuler bersifat sangat
mengiritasi, hingga dapt tejadi radang atau abses.
b. Larutan kalsium boroglukonat 20-30% sebanyak 500ml, diberikan intravena, vena
jugulris atau intramamaria untuk sapi seberat ±500 kg. Larutan ini disuntikkan
selama 10-15 menit dengan jarum ukuran 16 G. Jika pemberian terlalu cepat dapat
menyebaban bradikardi yang mungkin diikuti berhentinya kerja jantung.
c. Campuran berbagai sediaan kalsium dengan garam-garam lainnya, antara lain :
Sediaan Calphonn Forte® yang merupakan kombinasi antara kalsium glukonat,
kalsium glukoheptonat dan kalsium sakarat, hingga kadar kalsiumnya mencapai
50%.
Sediaan Calfosals® mengandung kalsium 22%, fosfor, magnesium dan vitamin
D3.
Sediaan Calcitad® yang mengandung kalsium, magnesium, dan fosforil
etanolamida.
Pada tanggal 23 Desember 2009 datang seekor sapi betina PFH milik Bapak Munir
bernama Beauty yang memiliki ciri belang hitam putih. Sapi umur 5 tahun ini datang dengan
menunjukkan gejala klinis eksitasi, terengah-engah, anggota gerak tremor, kaki kadang-
kadang kejang, nafsu makan dan minum turun. Dokter melakukan pemeriksaan darah, hasil
pemeriksaan laboratoris menunjukkan adanya perubahan konsentrasi beberapa mineral. Dari
anamnesa diketahui sapi dalam masa laktasi dan memproduksi susu sangat banyak, Bp.
Munir mengaku hanya memberi pakan sesuai dengan keadaan sahari-hari pada waktu belum
laktasi.
Pada gejala milk fever, sapi akan ambruk dan mengalami kejang karena tonus otot
meningkat (Subronto, 2003). Sapi menjadi gelisah dengan ekspresi muka tampak beringas
(Subronto, 2003). Jika dibarengi penurunan kadar magnesium yang berat akan terlihat
stadium tetani yang panjang (Subronto, 2003). Ini baru merupakan stadium awal (prodormal).
Apabila tidak segera ditangani maka akan melanjut ke stadium rekumben. Pada stadium ini
Sapi tidak mampu berdiri dan berbaring pada sternumnya, dengan kepala mengarah ke
belakang, hingga dari belakang seperti membentuk huruf “S”. Di samping itu, sapi juga
mengalami dehidrasi, sehingga kulit tampak kering, sapi nampak lesu, pupil mata normal
atau membesar, dan reaksi terhadap rangsangan sinar menjadi lambat atau hilang sama sekali
(Subronto, 2003). Sapi tetap memiliki nafsu makan meski intensitasnya berkurang (Subronto,
2003). Dan jika sudah sampai stadium koma di mana sapi tampak lemah, tidak mampu
bangun dan berbaring pada salah satu sisinya (lateral recumbency), pulsus lemah
(120x/menit) dan suhu tubuh turun di bawah normal, pupil melebar dan refleks terhadap sinar
menghilang, dan proses ruminasi dan nafsu makan hilang,sapi makin tambah lesu maka
statusnya bisa menjadi infausta (Subronto, 2003). Diagnosa milk fever di lapangan ditentukan
berdasar waktu kejadian penyakit dan gejala yang diamati. Untuk lebih meyakinkan perlu
diukur kadar kalsium di dalam darahnya, yang digunakan untuk digunakan di lapangan
caranya adalah sebagai berikut :
Masukkan K-EDTA sebanyak masing-masing 0,1 ml ke 5 dalam tabung reaksi. Darah
sebanyak 35 ml diambil dari vena jugularis dengan cepat dan dimasukkan ke dalam 5 tabung
sampai pada batas kalibrasi. Setelah ditutup, dikocok kuat-kuat, dimasukkan ke dalam
waterbath dengan suhu 115oF (46,1oC), dan diamati selama 15 dan 20 menit. Setelah waktu
tersebut rak diangkat dan jumlah tabung yang darahnya menggumpal dihitung (Subronto,
2003).
Setelah didapatkan diagnosa yang tepat maka segera dilakukan pengobatan atau terapi
pada si sapi. Sapi yang sudah tidak dapat bangun perlu diubah posisi tidurnya, sehingga
sirkulasi darah pada kaki-kaki belakang dapat berlangsung dengan baik. Pengobatan dapat
juga dengan menggunakan pemompaan (insufflasi) udara ke dalam keempat kuartir ambing,
sehingga tekanan intra mamer meningkat dan menghentikan pengeluaran air susu
selanjutnya, yang berarti menghentikan pengurasan unsur kalsium ke dalam
ambing.Pengobatan ini terbukti telah mengurangi kematian sebesar 15%. Hasil yang
memuaskan diperoleh dengan penyuntikan garam kalsium, yang dapat segera membangunkan
sapi penderita dalam stadium berbaring.
Sediaan kalsium yang dipakai adalah sebagai berikut :
a. Larutan kalsium klorida 10% atau lebih. Sediaan ini kalau tidak sangat terpaksa
sebaiknya tidak digunakan, karena bila terlalu banyak atau terlalu cepat
pemberiannya dapat mengakibatkan heart block. Larutan ini harus disuntikkan
intraena, karena bila disuntikkan subkutan atau intramuskuler bersifat sangat
mengiritasi, hingga dapt tejadi radang atau abses.
b. Larutan kalsium boroglukonat 20-30% sebanyak 500ml, diberikan intravena, vena
jugulris atau intramamaria untuk sapi seberat ±500 kg. Larutan ini disuntikkan
selama 10-15 menit dengan jarum ukuran 16 G. Jika pemberian terlalu cepat dapat
menyebaban bradikardi yang mungkin diikuti berhentinya kerja jantung.
c. Campuran berbagai sediaan kalsium dengan garam-garam lainnya, antara lain :
Sediaan Calphonn Forte® yang merupakan kombinasi antara kalsium glukonat,
kalsium glukoheptonat dan kalsium sakarat, hingga kadar kalsiumnya mencapai
50%.
Sediaan Calfosals® mengandung kalsium 22%, fosfor, magnesium dan vitamin
D3.
Sediaan Calcitad® yang mengandung kalsium, magnesium, dan fosforil
etanolamida.
Untuk tindakan pencegahannya, dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Pemberian kalsium hendaknya sekedar untuk pemeliharaan fungsi faali (2,5g/ 100
lb). Jumlah Ca yang ideal dalam pakan sehari adalah 20 g. Kebutuhan kalsium dan
fosfor adalah sebagai berikut :
Kegunaan Ca P
Pemeliharaan (g/100 lb)
Laktasi (g/ lb air susu++)
2,5
1,0
2,0
0,8
++kadar lemak terkoreksi 4%
b. Pemberian mineral block yang mengandung dikalsium fosfat tidak dianjurkan untuk
sapi yang bunting sarat di daerah yang cukup kandungan kalsiumnya dalam pakan
sehari-hari. Pemberian garam kalsium harus ditingkatkan setelah melahirkan.
c. Pemberian vitamin D2 secara oral, 20-30 juta IU/ hari, 2-3 hari sebelum melahirkan
mampu menurunkan kejadian milk fever secara nyata.
d. Pemberian vitamin D3 sebanyak 10 juta IU yang disuntikkan intravena, sekali saja,
2-3 hari sebelum melahirkan dapat juga menurunkan milk fever tanpa diikuti oleh
deposisi kalsium di alat-alat tubuh yang disebutkan di atas.
e. Penambahan 25-OH-cholecalciferol (vitamin D3) pada sapi yang hanya mendapatkan
fosfor kurang dari 40g/ hari dapat menceah terjadinya milk fever pada hewan
tersebut.
D. Kesimpulan
Diagnose pada sapi Bp. Munir dengan meligat gejala klinis, anamnesa, dan pemeriksaan
laboratory menunjukkan sapi menderita Milk fever.
Pengobatan melalui pemberian suplemen kalsium, yaitu calcium borogluconat 20-30%
sebanyak 500 ml secara IV, pada vena jugularis dan vena mamliaris, pada sapi dengan BB
500 kg disuntikkan selama 15 menit jika terlalu cepat dapat terjadi bradikardidan vitamin E.
Dalam pengobatan milk fever juga harus memperhatikan tingkat kompleksitasnya jika
terdapat perlu pemberian P 85 g dengan sediaan sodium acid phospahate deiberikan melalui
mulut dua kali sehari.
Kejadian milk fever dipengaruhi pada jumlah kalsium yang diserap dan bukan pada
kesimbangan Ca dan P. Jumlah ideal Ca dalam pakan 20 g. Pemberian vitamin D2 20-30 juta
IU/hari, selam 3-8 hari sebelum melahirkan dapat mengurangi kejadian milk fever.
Pemberian jangan terlalu lama karena dapat membahayakan karena dapat menyebabkan
anoreksi, stasis usus, dieresis, dantimbunan mineral di dalam jantung, ginjal dan arteri.
(Subronto, 2004)
DAFTAR PUSTAKA
Edward, B. 2005. Black’s Veterinary Dictionary 21st Edition. A & C Black Publishers
Limited : London.
Subronto., Tjahajati, ida. 2004. Ilmu penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press :
Yogyakarta.
INDIGESTI SEDERHANA
A. Abstrak
Penyakit indigesti pada sapi diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu indigesti
primer dan indigesti sekunder. Indigesti primer disebabkan oleh gangguan saraf pada
retikuloruminal pada dinding rumen atau disebabkan karena proses fermentasi yang
mengalami gangguan. Indigesti sekunder disebabkan karena lanjutan indigesti primer atau
penyakit sistemik lainnya. (Smith, 2002)
Indigesti mempunyai arti penyakit yang disfungsi pada retikulominal. Gangguan pada
rumen yang dapat menyebabkan indigesti meliputi abnormalitas fungsi motorik karena ada
gangguan dari fermentasi atau keseimbangan mikroorganisme rumen. Hal tersebut
mengakibatkan bermacam-macam indigesti pada ruminant. (Smith, 2002)
B. Riwayat Kasus
1. No : 2
2. Tanggal : 23 Desember 2009
3. Macam hewan : Sapi PFH
4. Nama dan alamat pemilik : Bp. Munir
5. Nama hewan : Beauty
6. Sinyalemen : umur 5 tahun, belang hitam putih
7. Anamnesis : nafsu makan dan minum turun, kotoran keras, lesu, malas bergerak,
penurunan frekuensi gerak dan tonus rumen, isi rumen padat (dengan eksplorasi
rektal)
8. Status praesens
a. Keadaan umum : malas bergerak, lesu, anoreksia
b. Frekuensi nafas : 30-40 kali/menit
c. Frekuensi pulsus : 70-80 kali/menit
d. Temperatur : 39 derajat Celcius
e. Kulit dan rambut : kering dan kusam
f. Selaput lendir : hiperemi
g. Kelenjar-kelenjar limfe : tidak ada pembengkakan
h. Pernafasan : normal
i. Peredaran darah : normal
j. Pencernaan : tonus rumen turun
k. Kelamin dan perkencingan : normal
l. Saraf : normal
m. Anggota gerak : normal
n. Lain-lain
Feses sedikit dan konsistensinya lunak
C. Diskusi dan Pembahasan
Etiologi
Penyebab dari simple indigesti adalah perubahan pakan yang tiba-tiba dan berlebihan
(terutama konsentrat) sehingga mikroba alami tidak dapat beradaptasi; mampu beradaptasi
tapi kurang mampu menyamai keadaan normal; dan pakan mengandung produk atau
menghasilkan produk yang dapat menghambat fermentasi. Hal tersebut menghasilkan
ketidakseimbangan mikroba. Selain itu sapi yang menderita pneumonia dan metritis dapat
menyebabkan indigesti. (Anonym, 2004)
Patogensis
Sapi yang memakan pakan yang mempunyai karbohidrat tinggi (serat kasar)
mengakibatkan rumen berusaha mencerna ingesta dengan motilitas gerak rumen yang tinggi,
kegiatan tersebut berlangsung lama dan terus-menerus sebagai usaha rumen dalam mengatasi
timbunan ingesta. Berangsur-angsur rumen mengalami hypomotilitas hingga mengalami
atoni. (Anonym, 2004)
Sapi yang memakan pakan berprotein tinggi memacu gerakan mengkosongkan rumen
dengan cara meningkatkan gerak dan tonus rumen, hingga rumen tidak mampu lagi. Hal
tersebut mengakibatkan pakan tertimbun dalam rumen dan menyebabkan dekomposisi
protein menjadi ammonia. Kandungan ammonia yang tinggi menyebabkan pH naik dan
keadaan rumen menjadi alkalis. Bakteri yang tidak tahan alkalis akan mati sehingga proses
pencernaan secara biokimiawi tidak berjalan efisien. Ingesta menjadi tidak tercerna dan
mengendap. pH yang tinggi mengakibatkan iritasi, rumen yang akan mengalami
hypomotilitas hingga atoni. (Smith, 2002)
Gejala klinis
Sapi akan mengalami penurunan nafsu makan dan terjadi anoreksia, terlihat 1-2 hari
setelah pemberian pakan. Sapi terkadang mengalami diare terlihat 24 jam setelah pemeberian
pakan. Motilitas rumen menurun dan isi rumen tidak berubah. Hal ini dapat memicu
terjadinya bloat. (Smith, 2002)
Prognosa
pengobatan secara konvensional bisa sembuh dalam waktu 24-48 jam. bahkan dapat
sembuh secara spontan yaitu di mana hewan yang mengalami indigesti akan tidak mau
makan, namun masih mau minum. Hal mi menunjukkan adanya usaha mengosongkan isi
rumen. (Smith, 2002)
Pengobatan
Prinsip pengobatan tujuannya adalah mengosongkan isi rumen.
Caranya:
• puasa/dengan sendirinya tidak man makan 24 jam
• minum air ad libitum
• garam dapur secukupnya/garam oralit (3 — 5x dosis manusia)
• obat : parasimpatiko mimetika - meningkatkan peristaltik rumen, retikulum dan usus.
(Hungerford, 1967)
Contoh:
• carbamyl — choline (carbachol)
• lentin 2—4 ml pada sapi/kerbau, suntik SC
• physostigmin
• neostigmin 5mg/iQO kg BB sapi/kerbau SC
• garam dapur (MgSO dosis rendah 50-100 mg/ekor
• *dosis tinggi 100-400mg/ekor hati — hati. Karena bila memang denyutjantung sudah
frekuen
• dan rumen atonia - tidak bolèh diberi dosis tinggi karena terabsorbsi sehingga bisa
menyebabkan kealfaanjantung dan bisa mengeuthanasi. (Hungerford, 1967)
Pada tanggal 23 Desember 2009 datang seekor sapi betina PFH milik Bapak Munir
bernama Beauty yang memiliki ciri belang hitam putih. Sapi umur 5 tahun ini datang dengan
kondisi nafsu makan dan minum turun, lesu, dan malas bergerak. Selain itu juga terjadi
penurunan frekuensi gerak dan tonus rumen. Ketika dilakukan eksplorasi rektal untuk
memeriksa rumen ternyata didapati bahwa isi rumen padat. Feses yang dikeluarkan pun
berwarna gelap dan berlendir dengan konsistensi lunak. Frekuensi pulsus dan napasnya masih
relatif normal. Pada kejadian indigesti sapi akan nampak lesu dan malas bergerak, nafsu
makan hilang sedang nafsu minum mungkin masih ada. Pada hewan yang sedang
menghasilkan air susu, akan mengalami penurunan produksi air susu.
Kejadian indigesti terkadang dapat sembuh secara spontan dengan pemberian makanan
yang seimbang. Pemberian konsentrat terus-menerus dapat memperparah indigesti. Indigesti
berujung pada atoni rumen sehingga proses digesti akan terhambat. Diagnosa indigesti
melalui gejala klinis atau dengan pemeriksaan laboratoris. Pemeriksaan cairan rumen dapat
berguna untuk mengetahui status mikroba dalam rumen dan mengetahui pH rumen, sehingga
dapat menguatkan diagnosa indigesti.
Penanganan kasus indigesti pertama dengan memuasakan sapi dan diberi air ad libitum.
Pengobatan dengan obat simtomatik (caqrbamyl cholin) secara intravena berguna untuk
merangsang gerak rumen. Pemberian MgSO4 berguna sebagai ruminatoria. Obat bersifat
karminativa berguna untuk mengencerkan feses dan isi rumen sehingga proses digesti dapat
berjalan normal. Obat yang mimetika berguna untuk merangsang peristaltik usus dan gerak
rumen.
Saran bagi peternak sebaiknya pemberian konsentrat tidak terlalu banyak. Perbandingan
konsentrat dengan pakan hijauan sebesar 30 : 70, maksimal 40 : 60. pemberian pakan juga
sebaiknya melihat perkembangan berat badan dan kondisi sapi waktu itu.
D. Kesimpulan
Sapi milik Bp. Munir melalui anamnesa, gejala klinis, dan pemeriksaan lab di diagnosa
menderita indigesti sederhana.
Penanganan kasus indigesti pertama-tama dengan dipuasakan dan pemberian air ad
libitutm dan pemberian obat ruminatoria serta obat suportif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2004. Bovine Medicine Disease dan Husbandry of Cattle 2nd edition. Edited Andrews, A.H., Blowey, R.W., Boyd, H., Eddy, R.G. Blackwell Publishing : USA.
Hungerford, T.G. 1967. Disease of Livestock. Angus and Robertson : Sydney.
.Smith, P.B. 2002. Large Animal Internal Medicine 3th edition. Mosby, Inc : St. Louis,
Missouri.
LEFT DYSPLASIA OF ABOMASUM
A. Abstrak
Displasi abomasum (DA) adalah gangguan pencernaan pada ruminansia yang disebabkan
oleh tergesernya abomasum dari tempat aslinya, ditandai dengan anoreksia total atau parsial,
berkurangnya jumlah tinja yang dikeluarkan, dan pada kebanyakan kejadian ditandai dengan
ketonuria yang persisten. Pergeseran abomasum pada sebagian besar kejadian (sekitar 90%)
mengarah ke kiri, hingga sebagian besar abomasum tergeser dan terletak di sebelah kiri dari
rumen, di belakang omasum, dengan kurvatora mayor abomasum yang terjepit di antara
rumen dan dinding perut sebelah ventral. Pada pergeseran abomasum ke arah kanan lambung
tersebut terjepit di antara hati dan dinding perut sebelah kanan. Dapat juga pada penggeseran
ke arah kanan tersebut abomasum tergeser ke belakang sampai di daerah panggul sebelah
kanan.
B. Riwayat Kasus
1. No : 2
2. Tanggal : 23 Desember 2009
3. Macam hewan : Sapi PFH
4. Nama dan alamat pemilik : Bp. Munir
5. Nama hewan : Beauty
6. Sinyalemen : umur 5 tahun, belang hitam putih
7. Anamnesis : sapi diberikan konsentrat berlebih agar produksi susu meningkat, 2 hari
yang lalu sapi tidak mau makan dan tampak lesu, sapi mengeluarkan kotoran yang
cair
8. Status praesens
a. Keadaan umum : kurus, gelisah, eksitasi, anoreksia, distensi abdomen
b. Frekuensi nafas : 20-30 kali/menit
c. Frekuensi pulsus : 100 kali/menit
d. Temperatur : 39 derajat Celcius
e. Kulit dan rambut : kering dan kusam
f. Selaput lendir : hiperemi
g. Kelenjar-kelenjar limfe : tidak ada pembengkakan
h. Pernafasan : normal
i. Peredaran darah : cepat dan kuat
j. Pencernaan : atoni abomasum, mencret
k. Kelamin dan perkencingan : normal
l. Saraf : sensitif terhadap rangsangan
m. Anggota gerak : gemetar
C. Diskusi dan Pembahasan
Etiologi
Kejadian LDA paling banyak ditemukan pada saat sapi pada masa bunting hingga setelah
partus. Kondisi setelah partus dapat menyebabkan sapi mengalami LDA, karena uterus yang
membesar menyebabkan organ dalam sapi tergesar. Rumen menjadi terangkat dan
abomasums tergeser ke kiri dan terangkat. (Smith, 2002)
Factor lain adalah gerakan sapi saat menaiki sapi lain pada masa birahi. Sapi yang
terjatuh kerap kali dapat mengalami LDA. Sapi yang mempunyai badan (BCS 4,5-5) besar
lebih mudah mengalami LDA, karena rongga badannya besar. Sapi yang kurang exercise dan
hanya di dalam kandang juga lebih mudah mengalami LDA.
Kejadian kekurangan nutrisi juga dapat menjadi factor pemicu LDA. Pada kasus indigesti
dapat menjadi factor yang memicu LDA. Pemberian konsentrat yang terlalu banyak menjadi
sebab LDA pada masa setelah partus.
Penyebab utama dari LDA bila ditinjau dari klinis adalah adanya gas dan atoni pada
abomasums. Gas dan atoni abomasums mengakibatkan abomasums tidak dapat kembali
semula terjadi displacement. Pada masa kelahiran desakan dari uterus yang berisi janin akan
mendesak abomasums sehingga mengalami displacement. Menurut Eddy (2004), Pada
normalnya abomasums akan kembali ke semula setelah partus tetapi karena adanya gas dan
atoni pada abomasums menyebabkan proses tersebut terhambat atau tidak dapat berlangsung.
Pathogenesis
Kejadian Left Displacement of Abomasum hampir 90% terjadi pada masa post partus,
selang waktu antara 2 hari hingga 2 minggu setelah partus. Pemberian pakan yang
mengandung terlalu banyak konsentrat akan memperburuk kejadian sehingga sapi akan
mengalami displacement abomasums. Pada masa kehamilan, uterus akan terisi oleh fetus dan
perkembangan fetus dari hari ke hari menyebabkan organ dalam terutama rumen dan
abomasums mengalami pendesakan dan pergeseran. Rumen akan terdesak ke atas dan
abomasums terdesak ke kiri dan sedikit ke atas. Normalnya abomasums akan kembali ke
semula karena adanya gerak abomasums dan tarikkan omentum (Eddy, 2004). Proses tersebut
akan terganggu bila abomasums mengalami atoni dan terdapat gas sehingga gerakan
abomasums terhenti.
Menurut Svendson (1969), penghambatan motilitas abomasums terjadi karena kelebihan
pemberian pakan konsentrat yang menandung karbohidrat sehingga produksi VFAs akan
menumpuk pada rumen dan melalui proses peristaltic akan masuk ke dalam abomasums
sehingga menyebabkan penghambatan rangsang saraf. Selain itu kekuangan Ca
(hypocalcaemia) juga menyebabkan atoni abomasums.
Gas akan terbentuk karena fermentasi yang terlalu banyak karena pemberian konsentrat
yang kaya karbohidrat dapat memproduksi gas pada rumen atau abomasums. Gas yang
terdapat pada abomasums menyebabkan menyebabkan membesarnya ukuran abomasums
sehingga abomasums semakin terjepit diantara rumen dan dinding abdomen. Selain itu
abomasums juga dapat mengalami obstruksi dan menambah nyeri pada sapi. (Smith, 2002)
Gas di dalam abomasum itulah yang menciptakan suara ping (ping sound). Selain itu,
obstruksi ini menyebabkan terhentinya aliran makanan sehingga gejala yang muncul adalah
sapi kehilangan nafsu makan, tidak ada defekasi atau diare cair (hanya air yang keluar) dan
berbau sangat menyengat. Akhirnya sapi semakin kurus, mata cekung dan jika dibiarkan
dalam beberapa hari sapi akan mengalami kematian.
Pada kasus endotoxaemia, terjadi pada metritis, mastitis, dan retensi placenta. Kejadian
tersebut akan menghasilkan Interleukin-1 (endogenous pyrogen) yang berpengaruh terhadap
motilitas organ pencernaan. Rangsang saraf akan terhambat karena IL-1 akibat inflamasi pada
metritis, mastitis, dan retensi placenta. Endotoxis dan septis juga dapat menurunkan kadar Ca
dalam darah, yang berujung pada hypomotilitas abomasums. Adanya benda keton dalam
darah (ketonemia) dapat mendepress motilitas gastrointestinal. (Smith, 2002)
Gejala klinis
Nafsu makan terhenti;
Distensi perut sebelah kiri;
Nyeri abdomen sebelah kiri;
Suhu tidak mengalami perubahan yang berarti;
Pulsus meningkat (100 kali/menit);
Frekuensi dan gerak rumen mengalami penurunan;
Tinja berbentuk pasta atau tertutup cairan kental.
Diagnose
Diagnose dilakukan dengan melihat gejala klinis dan anamnesa. Selain itu dengan
auskulasi dan perkusi.
Area auskultasi dimulai dari fossa padalumbar ditarik garis bayangan hingga menembus
costae dan berakhir pada olekranon. Area auskultasi terletak pada costae 8-13.
Area perkusi terletak pada daerah antar costae ke-13 dengan luas daerah kira-kira 20 cm
(Smith, 2002)
Pengobatan
Pengobatan secara oral atau injeksi tidak akan membantu recovery sapi. penanganan
dilakukan dengan atau tanpa operasi. Penanganan tanpa operasi yaitu dengan rolling.
Penanganan dengan operasi yaitu dengan atau tanpa pembedahan.
o Rolling Technique
Teknik rolling yaitu menyentak sapi dari kiri ke kanan. Sapi terlebih dahulu dilakukan
casting dengan teknik Barlley. Ikat kaki sapi, dan setelah sapi direbahkan secara rebah dorsal.
Sentak sapi dari kiri ke kanan, beberapa kali. Lalu lepas ikatan pada kaki dan biarkan sapi
berdiri dan ajak jalan-jalan.
o Teknik operasi
Teknik operasi dilakukan dengan atau tanpa pembedahan. Teknik tanpa pembedahan
dilakukan dengan Roll and Toggle Technique, sedangkan dengan pembedahan dilakukan
dengan cara Right Flank Omentopexy, Ventral Paramedian Abomasopexy, Right Flank
Abomasopexy, dan Left Flank Abomasopexy.
o Roll and Toggle Technique
sapi terlebih dahulu direbah dorsalkan melalui casting. Restrain keempat kakinya.
Auskultasi abdomen sebelah kanan midline dan perkusi. Pada daerah yang berbunyi ping,
lalu lakukan trokarisasi melewati kulit, otot, dan peritoneum, trokarisasi dilakukan pada 10
cm sebelah kanan midline dan 10 cm caudal prosesus xypoideus hingga menembus
abomasums. Setelah itu ambil trokar dan segera masukkan toggle yang telah terikat dengan
benang melalui canula. Sejumlah gas akan terbuang saat proses tersebut. Trokarisasi yang
kedua dilakukan 5 cm cranial dari trokar yang pertama, maka sejumlah gas akan segera
keluar dan tekanan gas pada abdomen menjadi berkurang. Cara yang sama dengan trokar
pertama dilakukan pada trokar yang kedua. Setelah selesai suture (benang) pada toggle diikat
bersama. Sapi dapat diberdirikan lagi. (Turner, 1989).
o Right Flank Omentopexy
Right Flank Omentopexy dilakukan untuk mengobati LDA, RDA atau RTA. Right Flank
Omentopexy adalah adalah teknik untuk memperbaiki letak abomasums dan sekaligus
menfiksasinya agar tidak terjadi hal yang serupa dikemudian hari. Anestesi dilakukan secara
paravertebral blok, L blok atau line blok.
Pertama sapi dilakukan anestesi. Lalu incisisi daerah 4-5 cm dari fossa paralumbar
sebesar 20 cm secara vertical, dari processus transversum vertebrae lumbar. Setelah itu
dengan sarung tangan stresil masukkan tangan hingga ke bagian kiri abdomen dengan
melewati omentum bagian cranial, setelah melewati omentum dan rumen maka pada bagian
caudal akan terpalpasi abomasums yang mengalami distensi pada sebelah kiri rumen.
(Turner, 1989)
Gas dikeluarkan dengan gauge 12-13 dan tube steril. Jarum dan tube dimasukkan ke
dalam rongga abdomen hingga melewati caudal rumen dan ditusukkan pada bagian dorsal
abomasums dan penusukkan secara miring terhadap dinding abomasums. (Turner, 1989)
Setelah selesai, cabut tube. Proses selanjutnya kembalikan posisi abomasums ke posisi
normal dengan tangan. Dengan hati-hati, tangan memindahkan abomasums dengan
menariknya secara perlahan. Hal tersebut dapat terbantu juga dengan menarik omentum kea
rah dorsoventral dengan perlahan. Jika rumen penuh makanan, angkat bagian caudal ventral
blind sac dengan siku. Setelah abomasums kembali ke posisi semula maka duodenum akan
pada posisi horizontal dan biasanya terisi gas dari abomasums. (Turner, 1989)
Langkah selantnya, omentum ditarik keluar melalui melewati incisisi. Tarik ke arah
dorsal dan caudal hingga pylorus terlihat. Kantung omentum dipegang untuk sementara
waktu dan usahakan sedikit ditarik, dengan catgut chromic no 3 jahit omentum satu pada sisi
caudal incise dan satu pada sisi cranial incises, bersamaan dengan muskulus pada dinding
peritoneum dan M. tranversus abdominalis (mattres sutures. Penjahitan tersebut harus 3 cm
dari pylorus. (Turner, 1989)
Langkah selanjutnya jahit (pattern sutures) dengan catgut no 2 atau 3, dinding peritoneum
,M. tranversus abdominalis, dan omentum sambil omentum secara perlahan dimasukkan
kembali ke rongga tubuh. Jahit muskulus internal dan eksternal obliqus abdominalis, lalu
jahit kulit sama dengan teknik flank laparotomi. (Turner, 1989)
o Left Flank Abomasopexy
Teknik ini hanya untuk penanganan LDA saja. Abomasums difiksasi pada baian ventral
dinding abdomen. Bagian kiri flank terlebih dahulu dilakukan anestesi secara paraventral
block, inverted block, atau line block. flank bagian kiri dibuka dengan teknik left flank
laparotomy, incisisi 20-25 cm pada daerah fossa paralumbar. Saat membuka abdomen akan
tampak abomasums yang mengalami distensi. Gas pada abomasums dikeluarkan dengan 12-
gauge dan rubber tube. Tube ditusukan pada bagian dorsal abomasums, penusukan pada
bagian dorsal berguna agar gas tidak kembali lagi ke dalam. (Turner, 1989)
Usahakan abomasums tidak collaps saat pengeluaran gas. Jahit pyloruis abomasums
secara continous suture line sepanjanng 8-12 cm dengan heavy polymerized caprolactam
(Vetafil), pada greater curavature sekitar 5-7 cm dari perlekatan omentum dengan
abomasums. Tandai benang dengan penanda agar dapat dibedakan cranial dan caudalnya.
Reposisi abomasums ke posisi normal, dengan mendorong secara perlahan. Pastikan posisi
abomasums telah kembali ke semula. Lalu tusukkan jarum yang telah terhubung dengan
abdomen melewati bagian ventral dinding abdomen dan ikat dengan kuat. (Turner, 1989)
Setelah selesai keluarkan tangan dan beri antibiotic (penstrep) yang telah diencerkan
dengan NaCl fisiologis umtuk mencegah infeksi rongga abdomen. Tutup luka dengan metode
flank Laparatomi. (Turner, 1989)
Teknik ini digunakan untuk penanganan LDA, RDA, dan RTA. Posisi sapi saat dilakukan
Ventral Paramedian Abomasopexy adalah rebah dorsal. Sapi dilakukan anestesi dengan jenis
sedative (Chloral hydrate secara IV, atau dengan peroral dengan capsul yang bersisi Chloral
hydrate).
Incisisi dilakukan pada daerah sepanjang 20 cm antara midline dan vena abdominal
subcutaneous dexter. Incisi kira-kira 8 cm dari prosesus xyphoideus hingga cranial umbilicus.
Sejumlah cabang vena abdominal subcutaneous jangan sampai terpotong karena dapat
mengganggu homeostasis jaringan dan menyebabkan hematom. Setelah incises pada kulit
dilanjutkan incises pada m. obliqus abdominal external dan internal dan juga m. rectus
abdominalis. (Turner, 1989)
Pada kasus LDA, sebaiknya dilakukan rolling terlebih dahulu sebelum dilakukan
pembedahan agar abomasums kembali ke posisi semula. Pengeluaran gas, dilakukan pada
kasus LDA tidak jarang pada kasus RDA dan RTA juga dilakukan juga. (Turner, 1989)
Setelah abomasums kembali pada posisi normal, selanjutnya menfiksasi pada bagian
greater curvature (daerah yang bebas omentum). Abomasums dijahit pada dinding
peritoneum dan m. obliqus abdominalis internal sebelah kiri dengan catgut no 2, pada 2 cm
dari jarak incisisi, jahit sebanyak 3 kali secara paramedian dari incisisi. Setelah itu tutup
incises dengan menjahit secara bersamaan dinding peritoneum dan m. obliqus abdominalis
internal dan juga abomasums menjadi satu jahitan menggunakan catgut. Setelah selesai, m.
obliqus abdominalis external jahit dengan catgut no 3 dan kulit dengan 0,6 mm polymerized
caprolactam. Setelah selesai, baringkan sapi secara rebah lateral, lalu rebah sterna. (Turner,
1989)
Pada tanggal 23 Desember 2009 datang seekor sapi betina PFH milik Bapak Munir
bernama Beauty yang memiliki ciri belang hitam putih. Sapi umur 5 tahun ini datang dengan
kondisi lesu dan tidak mau makan. Ketika defekasi, feses yang keluar nampak cair.
Pada kasus LDA, sapi akan mengalami penurunan nafsu makan, terutama konsentrat atau
malah nafsu makan hilang sama sekali. Produksi susu turun, feses biasanya sedikit dan
lembek, suhu tubuh dan pernafasan relatif normal.
Ketika dilakukan auskultasi sebelah kiri sisi tubuh terdengar bunyi ping dan suara
cairan yang mengalir pada costae 9-13 dan saat perkusi suara tersebut semakin jelas
terdengar. Dari hal tersebut dapat dipastikan sapi mengalami LDA.
Penanganan pertama dengan rolling, tetapi tidak menunjukkan hasil yang positif karena
sapi masih mengalami LDA. Penanganan lanjut dilakukan operasi dengan left flank
abomasopexy, yaitu dengan membuka rongga tubuh dan menfiksasi abomasum.
D. Kesimpulan
Sapi Bp. Munir setelah dilihat dari gejala klinis, anamnesa, dan pemeriksaan fisik
menunjukkan bahwa sapi menderita LDA.
Penanganan LDA dilakukan dengan penanganan fisik yaitu dengan rolling atau dengan
operasi, penanganan dengan obat atau injeksi tidak memberikan hasil yang positif.
DAFTAR PUSTAKA
Anonym. 2004. Bovine Medicine Disease dan Husbandry of Cattle 2nd edition. Edited
Andrews, A.H., Blowey, R.W., Boyd, H., Eddy, R.G. Blackwell Publishing : USA.
Smith, P.B. 2002. Large Animal Internal Medicine 3th edition. Mosby, Inc : St. Louis,
Missouri.
Turner, A.Simon., McIlwraith, C.W. 1989. Techiques in Large Animal Surgery 2nd. Lea &
Febiger : London.
LAPORAN PRAKTIKUM
ILMU PENYAKIT DALAM
BLOK 15
Oleh:
HEGA SEPTIAGI
07/255003/KH/5889
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2009