IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT...

104
IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT SERANGAN EKTOPARASIT OCTOLASMIS SPP PADA KEPITING BAKAU SCYLLA SPP DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN MORPHOLOGY, MOLECULAR IDENTIFICATION AND INFESTATION LEVEL OF ECTOPARASITE OCTOLASMIS SPP ON MUD CRAB SCYLLA SPP IN SOUTH SULAWESI SUTIANTO PRATAMA SUHERMAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

Transcript of IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT...

Page 1: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

i

IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT SERANGAN

EKTOPARASIT OCTOLASMIS SPP PADA KEPITING BAKAU SCYLLA

SPP DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN

MORPHOLOGY, MOLECULAR IDENTIFICATION AND INFESTATION

LEVEL OF ECTOPARASITE OCTOLASMIS SPP ON MUD CRAB SCYLLA

SPP IN SOUTH SULAWESI

SUTIANTO PRATAMA SUHERMAN

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 2: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

ii

IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT SERANGAN

EKTOPARASIT OCTOLASMIS SPP PADA KEPITING BAKAU SCYLLA

SPP DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Ilmu Perikanan

Disusun dan diajukan oleh

SUTIANTO PRATAMA SUHERMAN

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2013

Page 3: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

iii

Page 4: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Sutianto Pratama Suherman

Nomor Mahasiswa : P3300211415

Program Studi : Ilmu Perikanan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini

benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan

pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari

terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini

hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan

tersebut.

Makassar, 15 Oktober 2013

Yang Menyatakan

Sutianto Pratama Suherman

Page 5: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

v

PRAKATA

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT berkat Rahmat dan

Hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah penulis lakukan sejak awal

bulan Juni 2013. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

dalam pengembangan budidaya, khususnya penanggulangan penyakit dan

parasit

Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak menghadapi kendala

tetapi atas petunjuk, bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak

khususnya komisi penasehat, sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan

tepat pada waktunya. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih

yang tulus kepada bapak Dr. Ir. Hilal Anshary, M.Sc, sebagai ketua Komisi

Penasehat dan Prof. Dr. Ir. Yushinta Fujaya, M.Si, sebagai anggota Komisi

Penasehat yang telah banyak meluangkan waktu dan mencurahkan

perhatian dan pikiran untuk mengarahkan penulis mulai dari awal hingga

akhir penelitian dan penulisan tesis

Dengan segala kerendahan hati penulis juga meyampaikan terima

kasih kepada bapak Prof Ir Achmar Mallawa, DEA, selaku Ketua Program

Studi Pascasarjana Ilmu Perikanan, Bapak Prof. Dr. Ir. Alexander

Page 6: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

vi

Ratetondok, M.Fish.Sc, Bapak Dr.Ir. Gunarto Latama, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Siti

Aslamyah. M.Si. selaku tim dosen penguji. Bapak dan ibu dosen-dosen

pengajar Program Studi Ilmu Perikanan Program Pascasarjana Universitas

Hasanuddin. Rekan-rekan Pascasarjana 2011 Ilmu Perikanan Terima kasih

atas semua dukungannya, serta tak kalah besar perannya Yulistiani Dumbi

yang telah memberikan support kepada penulis.

Akhirnya penulis dengan segala hormat mengucapkan terima kasih

yang tak terhingga kepada ayahanda Suherman Moonti dan Ibunda Drs. Tuti

Wantu, M.Pd, Kons., beserta adik-adikku Israwandi Suherman dan

Rahmawati Moonti, tak lupa pula Bino Moonti atas dorongan moril, Materil

dan doa yang tak putus-putusnya sehingga meringankan langka penulis

untuk menghadapi segala kesulitan.

Penulis menyadari bahwa keterbatasan penulis membuat tulisan ini

masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya tiada harapan selain Ridha Allah

SWT atas jerih payah dan jasa kita semua serta limpahan rahmat, taufik dan

hidayah-Nya tetap tercurah pada kita sekalian. Amin.

Penulis

Sutianto Pratama Suherman

Page 7: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

vii

Page 8: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

viii

Page 9: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

ix

RIWAYAT HIDUP

Sutianto Pratama Suherman, dilahirkan di Gorontalo

pada tanggal 14 Agustus 1987. Anak pertama dari 2

bersaudara, anak dari pasangan Suherman Moonti Amd.akt

dan Dra. Tuti Wantu M.Pd,kons. Penulis mengawali

pendidikan formal di TK Bustanul Atfal 2 dan melanjutkannya di SDN 59 Kota

Utara. Tahun 1999 penulis melanjutkan studi di Madrasah Tsanawiyah

Pondok Pesantren Hubulo dan tahun 2002 di MAN Insan Cendekia

Gorontalo. Pada tahun 2005 penulis diterima di Universitas Hasanuddin

Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru pada program

studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan. Tahun 2007 penulis pindah di Universitas Muslim Indonesia pada

jurusan yang sama. Untuk menyelesaikan Studi penulis menyelesaikan

penelitian dengan judul “Pengaruh Pergiliran Probiotik Terhadap Kualitas Air

dan Sintasan Udang Windu Skala Laboratorium”. Pada Tahun 2011 penulis

melanjutkan pendidikan magister di program studi Ilmu Perikanan

Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Selama mengikuti program magister,

penulis telah mengikuti berbegai kegiatan seminar yang berhubungan

tentang budidaya perikanan

Page 10: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

x

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK

ABSTRACT

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang 1

B. Rumusan masalah 3

C. Tujuan Penelitian 4

D. Kegunaan Penelitian 5

E. Hipotesis 5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Biologi kepiting bakau 6

B. Penyebaran dan Habitat 8

C. Siklus Hidup dan Reproduksi 8

D. Pakan dan Kebiasaan Makan 9

E. Biologi Octolasmis spp 10

F. Siklus Hidup Octolasmis spp 15

Page 11: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

xi

G. Infestasi larva cyprid (Octolasmis spp) 17

H. Pengaruh Bahan Organik Terhadap

Penyakit

17

I. Perkembangan Penelitian Molekuler

Octolasmis spp

18

J. Patologi Octolasmis spp 21

K. Kerangka Pikir 23

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan lokasi penelitian 25

B. Bahan dan metode 26

C. Analisis Data 31

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi karakteristik Morfologi 33

B. Karakterisasi Molekuler Octolasmis spp 38

C. Tingkat Serangan Parasit Octolasmis spp 41

D. Histopatologi Octolasmis spp 51

V. PENUTUP

A. Kesimpulan 55

B. Saran 55

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 12: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

xii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1 Kategori Prevalensi Serangan Parasit (Schmidt. 2008) 32 2

Klasifikasi konsentrasi bahan organik (Sulaeman.2005)

32

3

Jumlah total serangan parasit Octolasmis spp dan

parameter lingkungannya

46

Page 13: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

xiii

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Kepiting Bakau (Scylla spp)……………………………………

7

2 Siklus Hidup Kepiting Bakau………………………………….

9

3 Morfologi Octolasmis spp………………………………………

11

4 Beberapa jenis Octolasmis spp dari teluk sebelah utara Thailand (a) Octolasmis angulata; (b) O. cor; (c) O. lowei; (d) O. neptuni; (e) O. tridens; dan (f) O. warwickii. (Jeffries et al, 2005)…………………………………

13

5 Siklus Hidup Octolasmis spp……………………………………

16

6 Bentuk gen rDNA…………………………………………………

19

7 Bentuk gen mitokondria…………………………………………

20

8 Semen sel Octolasmis mulleri pada permukaan insang……

22

9 Kerangka Pikir……………………………………………………

23

10 Peta Pengambilan Sampel……………………………………..

25

11 Bagian-bagian morfologi Octolasmis spp……………………

27

12 Lokasi Pemotongan Histopatologi……………………………..

29

13 Infestasi parasit Octolasmis spp pada insang bagian dalam kepiting bakau yang tertangkap di 4 kabupaten di Sulawes Selatan……………………………………….

33

14 a) Morfologi Octolasmis cor pada kepiting bakau yang tertangkap di Sulawesi selatan, b) gambar O.cor (Chan et al .2012) ket: 1) scutum, 2) Carina………………………

35

15 a) Morfologi Octolasmis angulata pada kepiting bakau yang

Page 14: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

xiv

tertangkap di Sulawesi Selatan b) gambar Octolasmis angulata (Chan et al .2012) ket 1) scutum, 2) Carina…….

36

16 Larva cyprid Octolasmis spp pada kepiting bakau…………..

37

17 Perbedaan morfologi (a) O.angulata (b) O.cor dan (c) Octolasmis spp yang………………………………………

37

18 Hasil amplifikasi DNA pada gel agarose 1,5 %......................

39

19 Histogram prevalensi serangan parasit Octolasmis spp pada 4 Kabupaten………………………………………………….

42

20 Histogram intensitas serangan parasit Octolasmis spp pada kepiting bakau (Scylla spp) di 4 kabupaten………………

44

21 Grafik hubungan panjang total karapaks kepiting bakau dengan jumlah parasit Octolasmis spp yang menginfestasi kepiting tersebut……………………………

49

22 Histopatologi Octolasmis spp pada insang kepiting bakau 1

52

23 Histopatologi parasit Octolasmis spp insang kepiting bakau 2………………………………………………………………

53

Page 15: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

xv

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1 Hasil pensejajaran sekuens mtDNA O.angulata, O.cor, O.sp dan O.lowei pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan…………………..

62

2 Hasil pensejajaran sekuens 18s DNA O.angulata, O.cor, O.sp dan O.lowei pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan…………..

63

3 Hasil pensejajaran sekuens 28s DNA O.angulata, O.cor, O.sp dan O.lowei pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan………….

65

4 Data tingkat infestasi Octolasmis spp pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan

67

5 Hasil pengkuran parameter lingkungan di empat kabupaten pengambilan sampel kepiting bakau

76

6 Hasil Uji Chi-square prevalensi parasit Octolasmis spp pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan………………………………….

78

7 Hasil Uji Kruskal-Wallis intensitas parasit Octolasmis spp pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan…………………………………..

79

8 Hasil Uji intensitas Mann-Whitney parasit Octolasmis spp pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan…………………………………..

81

9 Hasil uji Korelasi Pearson antara panjang karapaks dan jumlah parasit yang terinfestasi……………..

87

10 Hasil uji Korelasi Pearson antara bahan organik dan prevalensi…………………………………………..

88

Page 16: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kepiting bakau (Scylla spp) merupakan salah satu komoditas

perikanan yang hidup diperairan pantai, khususnya di hutan-hutan bakau

(mangrove). Karena rasanya yang lezat, kepiting bakau banyak digemari

oleh konsumen domestik dan mancanegara, sehingga kepiting bakau

menjadi salah satu komoditas ekspor yang bernilai ekonomis (Fujaya,

2012).

Benih kepiting bakau untuk budidaya di Indonesia masih

mengandalkan hasil tangkapan alam, khususnya di wilayah Sulawesi

Selatan. Benih hasil tangkapan dari alam sangat mungkin terinfestasi

berbagai jenis parasit antara lain Octolasmis spp (Jeffries et al,. 2005)

Parasit dapat berkembang lebih cepat bila kepiting dipindahkan pada

lingkungan budidaya. Hal ini dikarenakan karena siklus hidup Octolasmis

tidak memerlukan inang perantaran untuk menepel pada inang (Jeffries et

al 1995). Kondisi budidaya dengan padat penebaran tinggi serta kualitas

air yang menurun, perkembangan parasit tersebut dalam populasi menjadi

sangat cepat. Tingkat intesitas serangan parasit Octolasmis spp dari benih

kepiting tangkapan alam di Sidoarjo mencapai 65,259 % ketika

dibesarkan dalam tambak (Irvansyah et al, 2012)

Octolasmis spp sering ditemukan menempel pada permukaan dan

celah-celah insang kepiting bakau (Jeffries et al. 1989). Kondisi ini

Page 17: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

2

mengakibatkan terganggunya proses respirasi dan gangguan fisiologis

akibat pengurangan permukaan insang kepiting (Gannon et al., 1992).

Infestasi Octolasmis spp yang berat diduga merupakan potensi

ancaman terhadap perkembangan budidaya kepiting bakau, sehingga

dapat memberikan dampak negatif terhadap pendapatan ekonomi

masyarakat terutama petambak kepiting bakau. Tingkat serangan penyakit

disuatu perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dari perairan

tersebut, kondisi perairan yang buruk akan memicu terjadinya stress dan

mengakibatkan inang mudah diserang oleh berbagai macam penyakit

(Austin dan Austin, 1999). Oleh sebab itu analisis yang tepat tentang

pengaruh parameter lingkungan terhadap tingkat serangan penyakit di

suatu perairan sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat mortalitas

pada pemeliharaan kepiting bakau yang disebabkan oleh serangan

penyakit khususnya Octolamis spp .

Octolasmis spp terdiri atas beberapa spesies dan digolongkan

berdasarkan jumlah capitular, scutum, tergum dan carina (Jeffries et al.,

2005). Namun demikian teknik identifikasi Octolasmis spp secara

morfologi memiliki keterbatasan dan hanya bisa diaplikasikan pada saat

parasit ini memasuki fase remaja atau dewasa, sedangkan pada fase

larva atau cryprid teknik ini belum dapat diaplikasikan. Hal ini disebabkan

pada fase cypird karakteristik morfologi belum terbentuk sehingga cukup

sulit diidentifikasi. Pengetahuan terhadap spesies sangat dibutuhkan

karena setiap spesies memilki respon terhadap lingkungan maupun bahan

kimia yang berbeda. Untuk menyelesaikan masalah ini diperlukan

Page 18: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

3

karakterisasi secara molekuler dari Octolasmis spp melalui PCR dan

sequencing. Saat ini, beberapa kerabat terdekat parasit Octolasmis spp

(subclass : Cirripedia) telah didentifikasi dengan menggunakan metode

PCR dan squencing pada daerah terkonservasi 18S rDNA (Glenner et al,

2006; P´erez-Losada et al, 2004)

Penelitian tentang jenis Octolasmis spp sebelumnya telah dilakukan

di perairan hangat dunia seperti di perairan Singapura ditemukan 7 jenis

Octolasmis spp (Jeffries et al., 1982), di teluk Mexico ditemukan 4 jenis

(Jeffries et al, 2005) dan ditemukan di teluk sebelah utara Thailand 6 jenis

(Jeffries et al, 2005). Sedangkan untuk wilayah Indonesia organisme ini

sering ditemukan akan tetapi jenis, tingkat infestasinya dan kerusakan

jaringan yang ditimbulkan belum diketahui secara pasti. terutama pada

perairan Sulawesi Selatan

B. Rumusan Masalah

Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang

digemari oleh konsumen domestik dan macanegara. Namun dalam

perkembangannya usaha ini memilki berbagai kendala diantaranya adalah

infestasi parasit. Salah satu parasit yang menyerang kepiting bakau

adalah Octolasmis spp. Parasit ini sering ditemukan pada insang kepiting

dan diduga memliki efek patologi yang menyebabkan terganggunya

pernapasan

Serangan parasit dalam jumlah banyak dapat mengganggu sistem

respirasi, sehingga pengaruh penempelan Octolasmis spp pada insang

Page 19: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

4

perlu dianalisa sejauh mana kerusakan sel yang diakibatkan. Kepadatan

parasit ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pengaruh

salinitas dan pencemaran bahan organik yang ada pada lingkungan

diduga sangat mempengaruhi kepadatan atau tingkat serangan parasit

pada kepiting. Penyebarannya yang masih belum teridentifikasi secara

pasti jenis, jumlah dan karesteristik spesies di perairan Indonesia terutama

di wilayah Sulawesi Selatan sehingga menjadi salah satu masalah yang

harus diselesaikan.

C. Tujuan Penelitian

Untuk menjawab rumusan masalah diatas maka penelitian ini

bertujuan :

1. Mengidentifikasi jenis Octolasmis spp pada kepiting bakau secara

morfologi dan mengkarakterisasi secara molekuler pada daerah

mtDNA,18S rDNA dan 28S rDNA di Sulawesi Selatan

2. Mengalisis tingkat keberadaan parasit pada populasi kepiting bakau

di Sulawesi Selatan

3. Menganalis kerusakan sel pada kepiting yang disebabkan oleh

parasit Octolasmis spp

4. Menganalisi pengaruh bahan organik terhadap tingkat serangan

Octolasmis spp.

D. Kegunaan Penelitian

Page 20: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

5

Penelitian ini akan menjadi informasi pengembangan usaha

budidaya untuk meningkatkan produktifitas khususnya dalam masalah

penanggulangan parasit pada kepiting Bakau dan menambah

pengetahuan tetang jenis-jenis parasit.

E. Hipotesis

1. Terdapat lebih dari satu jenis Octolasmis spp yang mengifestasi

Kepiting bakau pada perairan Sulawesi Selatan

2. Octolasmis spp memilki efek patologi pada insang kepiting bakau

3. Tingkat infestasi Octolasmis spp berbeda untuk setiap populasi

kepiting pada lokasi yang berbeda

4. Tingkat serangan Octolasmis spp dipengaruhi oleh konsentrasi

bahan organik pada perairan

.

Page 21: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Biologi kepiting bakau

Kepiting bakau merupakan organisme yang hidup pada habitat

lumpur di hutan bakau sehingga kepiting ini sering disebut kepiting

lumpur (Fujaya, 2012). Adapun ciri-ciri biologinya sebagai berikut

Kepiting bakau memiliki ukuran lebar karapaks lebih besar dari ukuran

panjang tubuhnya dengan permukaan licin. Pada tepi karapaks

tersebut terdapat duri-duri dengan total 24 duri yakni 6 duri diantara

sepasang mata dan 9 duri samping kanan dan kiri. Kepiting jantan

memilki sepasang capit lebih panjang dari karapaksnya sedangkan

betina relatif lebih pendek. Kepiting bakau memiliki 3 pasang kaki jalan

dan sepasang kaki renang yang beruas-ruas sedangkan menurut

Fujaya (2012) capit pada kepiting bakau merupakan sepasang kaki

yang berfungsi sebagai alat pemegang.

Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla spp)

Page 22: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

7

Berdasarkan morfologi tersebut maka kepiting bakau dapat

diklasifikasikan kedalam:

Filum : Arthopoda (berkaki ruas)

Class : Crustacea (udang-udangan)

Ordo : Decapoda (bertungkai sepuluh)

Family : Portunidae (sepasang kaki terakhir berbentuk dayung)

Genus : Scylla spp

Kepiting bakau mempunyai beberapa spesies, yang secara sekilias

memilki perbedaan dari segi warna karapaks dan abdomen, ukuran tubuh

serta bentuk duri (Fujaya.2012). Beberapa kepiting bakau tersebut antara

lain : giant mud crab (Scylla serrata) dikenal sebagai kepiting bakau hijau,

purple mud crab (Scylla tranqubarica), white mud crab (Scylla

paramamosain), dan orange/red mud crab (Scylla olivacea). Keempat

kepiting bakau ini ditemukan di Indonesia.

B. Penyebaran dan Habitat

Hewan ini memiliki sebaran geografik yang luas meliputi wilayah

Indo-Pasifik, mulai dari teluk Mossel di Afrika Selatan sampai pantai Timur

Afrika. Ke Timur, dari India, Srilanka, Malaysia, Indonesia terus ke Filipina.

Penyebaran-nya ke Utara meliputi Thailand, Cina, dan Taiwan, sedangkan

ke Selatan meliputi Papua Nugini, Australia, dan pulau-pulau Selandia

Baru. Kepiting bakau juga terdapat pada beberapa pulau di Lautan Pasifik,

dengan kisaran kedalaman 0 sampai 32 meter. (Fujaya, 2012)

Page 23: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

8

kepiting bakau bersifat euryhaline atau dapat hidup di perairan

dengan kisaran salinitas yang luas, (Afrianto dan Liviawati, 1993). Karena

itu, kepiting-kepiting muda banyak ditemukan di pesisir pantai atau di

muara sungai yang memiliki salinitas relatif rendah, bahkan di sungai yang

jauh dari laut dengan salinitas sekitar 5 ppt. (Fujaya, 2012)

C. Siklus Hidup dan Reproduksi

Kepiting bakau merupakan organisme dioecious artinya mempunyai

jenis kelamin jantan dan betina pada masing-masing individu.

(Kasry,1984) kepiting bakau yang siap melakukan perkawinan akan

memasuki hutan bakau dan tambak, selanjutnya secara perlahan akan

beruaya ke laut untuk melakukan pemijahan (Kanna.2002).

Gambar 2. Siklus Hidup Kepiting Bakau

Perkembangan kepiting bakau terdiri dari beberaoa fase (Gambar

2) mulai dari telur hingga mencapai ukuran dewasa mengalami beberapa

kali perubahan (metamorfosis), yaitu dimulai dari zoea yang terdiri atas 5

tingkatan (zoea 1-5), megalopa, crablet, dan kepiting dewasa. Larva

Page 24: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

9

kepiting bakau stadia zoea bersifat planktonik, namun setelah mencapai

stadia megalopa sampai dewasa bersifat bentik dan suka membenamkan

diri ke dalam pasir atau lumpur. (Fujaya, 2012)

D. Pakan dan Kebiasaan Makan

Kepiting bakau dewasa termasuk jenis hewan pemakan segala dan

bangkai (Omnivorous scavenger). Pada saat larva, kepiting bakau

memakan plankton, dan pada saat juvenile menyukai detritus, sedangkan

kepiting dewasa menyukai ikan, udang, dan moluska terutama

kekerangan. Kepiting juga menyukai potongan daun terutama daun

mangrove.(Fujaya, 2012)

Kepiting dapat memanfaatkan bahan pakan dari tanaman yang

mengandung serat. Menurut Anderson et al. (2004) digestibility

(kecernaan) kepiting pada serat dan semua bahan baku pakan sumber

nabati sangat tinggi, yaitu berkisar antara 94,4-96,1%. Hasil investigasi

kontribusi mikroflofa dalam saluran pencernaan kepiting bakau

menunjukkan keberadaan enzim selulase pada saluran pencernaan

kepiting bakau diduga merupakan kontribusi mikroflora saluran

pencernaan. Keberadaan enzim selulase inilah yang memungkinkan

kepiting bakau mampu mencerna serat pakan (Aslamyah dan Fujaya,

2011).

E. Biologi Octolasmis spp

Organisme ini memiliki sebuah tangkai yang disebut peduncle

dan sebuah capitulum, yang biasanya dilindungi oleh cangkang batu

Page 25: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

10

kapur. Tangkai atau peduncle berbentuk memanjang, anterior, pada

daerah preoral tubuh. (Praptiasih, 2010) Organisme ini dapat berkembang

biak secara hermaprodit maupun dengan jenis kelamin terpisah (Yusa et

al, 2010)

Gambar 3. Morfologi Octolasmis spp

a. Klasifikasi Octolasmis spp

Adapun klasifikasi dari Octolasmis spp adalah sebagai Berikut :

Kingdom : Animalia

phylum :Arthropoda

class :Maxillopoda

subclass :Cirripedia

superorder :Thoracica

order :Lepadiformes Buckeridge & Newman, 2006

suborder :Lepadomorpha Pilsbry, 1916

family :Poecilasmatidae Annandale, 1909

genus Octolasmis, Gray, 1825

Page 26: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

11

Jenis-jenis Octolasmis spp

Beberapa jenis octolasmis yang telah ditemukan di Asia antara lain

1. Octolasmis angulata

Ciri-ciri panjang capitula 2.40± 0.34 mm, 3 piringan capitular

yang tidak lengkap , 2 scutum dan 1 carina (Voris and Jeffries, 1997)

Disebut juga sebagai Dichelaspis angulata (Aurivillius, 1894) yang

ditemukan pada ruang insang Palinuridae dari Laut Jawa (Daniel

.1955). dan dari beberapa spesies dari family Calappidae, Palinuridae,

Portunidae, Majidae, Menippidae, Portunidae, dan Xanthidae).

Octolasmis angulata ditemukan juga dalam ruang insang Rajungan

Charybdis callianassa, Spesies ini umumnya ditemukan menempel

pada kutikula dinding bagian dalam dinding ruang anterior pada

lapisan epibranchial dan pada lembar insang. Octolasmis angulata

sering ditemukan juga melekat pada membran ruang insang kepiting

dan lobster Panulirus polyphagus (Jeffries et al., 1982)

2. Octolasmis cor

Ciri-ciri panjang capitula 2.53±0.43 mm, 3 piringan capitular

lengkap, 2 scutum dan 1 carina. Disebut juga sebagai Dichelaspis cor

(Aurivillius, 1894) dan ditemukan pada ruang insang decapoda Famili

Portunidae dan Scyllaridae (Jeffries et al., 1982)

3. Octolasmis lowei

Ciri-ciri panjang capitula 3.29±0.29 mm, 5 piringan capitular

kurang lengkap, 2 scutum 2 tergum dan 1 carina Dideskripsikan juga

sebagai Dichelaspis lowei (Darwin,1851). Species ini dapat ditemui

Page 27: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

12

pada daerah insang Crustacea golongan Palinuridae, Portunidae dan

Scyllaridae (Jeffries et al, 2005)

Gambar 4. Beberapa jenis Octolasmis spp dari teluk sebelah utara

Thailand (a) Octolasmis angulata; (b) O. cor; (c) O. lowei; (d) O. neptuni; (e) O. tridens; and (f) O. warwickii. (Jeffries et al, 2005)

4. Octolasmis neptuni

Ciri-ciri panjang capitula 1.43±0.25 mm, 5 piringan capitular

kurang lengkap, 2 scutum 2 tergum dan 1 carina (Voris et al, 1997)

Disebut juga sebagai Dichelaspis neptuni oleh MacDonald (1869) yang

ditemukan pada insang dari golongan Portunidae. Species ini

ditemukan juga dalam ruang insang spesies dari family Menippidae

danScyllaridae (Jeffries et al., 1982).

5. Octolasmis tridens

Page 28: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

13

Ciri-ciri panjang capitula 2.56±0.25 mm, 5 piringan capitular

lengkap, 2 scutum 2 tergum dan 1 carina (Voris et al., 1997) menurut

pengamatan Daniel (1955) spesies ini sering terdapat dalam jumlah

besar pada bagian luar; pada antenna mandibula, maksila dan

maksiliped, pada bagian luar mulut, pada pangkal chelae, di sekitar

bagian kaki, di dasar epipodit, podobranch dan arthrobranch dan pada

lapisan excurent branchial.dan pintu masuk ruang insang, pada bagian

dalam ditemukan pada karapas bagian dalam dan melekat pada

bagian dalam insang. Inang terdiri dari keluarga Portunidae,

Scyllaridae, dan Menippidae.

6. Octolasmis warwickii

Ciri-ciri panjang capitula 6.06±0.74mm, 5 piringan capitular

lengkap, 2 scutum 2 tergum dan 1 carina (Voris et al., 1997) Species

ini juga dikenal dengan nama Dichelaspis equina oleh Lanchester

(1902) pada spesies Portunidae. Biasanya dapat dijumpai pada

exoskeleton dari decapoda dari famili Dorippidae, Leucosiidae,

Majidae, Menippidae, Portunidae, Scyllaridae dan Xanthidae. (Jeffries

et al., 1982)

Octolasmis warwickii selalu menempel pada bagian eksternal

karapas, antenna, bagian proksimal kaki jalan, kadang ditemukan juga

pada bagian perut. Biasanya pada bagian dorsal carapace, ditemukan

sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil, dan kadang-kadang

menancap pada dasar anggota tubuh.

Page 29: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

14

F. Siklus Hidup Octolasmis spp

Pertumbuhan Octolasmis terjadi melalui serangkaian moulting,

Siklus hidup spesies Octolasmis meliputi enam nauplius (N1 - N6) dan

satu tahap larva cyprid. Rata-rata diperlukan sembilan hari dari

kemunculan massa telur pada induk hingga pelepasan larva N1. Pada

kondisi tersebut diperlukan 27 hari dari kemunculan pertama massa telur

untuk larva cyprid pertama. Perubahan dari N1 – N6 terjadi hanya dalam

waktu delapan hari, namun terjadi peningkatan panjang yang cukup besar

hingga mencapai duabelas kali. (Jeffries et al 1995)

Menurut Praptiasih.(2010) dalam jangka waktu tersebut, naupliar

menangkap, menelan, mencerna, dan menyimpan cadangan makanan

yang cukup untuk:

1. mendukung metamorfosis tubuh menuju morfologi yang berbeda,

yaitu tahap larva cyprid, yang tidak makan;

2. menyediakan energi untuk kegiatan cyprid berenang dan

menjelajah, untuk pencarian dan identifikasi inang, pemukiman dan

perlekatan

3. mendukung metamorfosis ke bentuk morfologi selanjutnya.

Berakhirnya proses ini, siklus hidup akan terus berulang.

Metamorfosis Cirripedia diawali oleh larva cyprid yang berenang bebas.

Metamorfosis mengarah pada pembentukan Juvenile Octolasmis di bawah

carapas cyprid dengan ukuran lebih kecil daripada organisme dewasa.

Page 30: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

15

Larva Ciprid melakukan penetrasi ke dalam kutikula inang, dan

menyuntikkan bahan parasit langsung ke haemolymph dari inang. Untuk

lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 5. Siklus Hidup Octolasmis spp G. Infestasi larva cyprid (Octolasmis spp)

Peran mendasar dari larva cyprid adalah dalam memilih spesies

inang yang sesuai, mencari tempat yang cocok pada inang, kemudian

menetap dan bermetamorfosis. Para Octolasmis spp remaja dan dewasa

akan secara permanen menempati lokasi yang telah dipilih cyprid. Larva

cyprid menancapkan dirinya ke exoskeleton dari inang dan menyaring

partikel makanan. Octolasmis sp dewasa secara permanen menancap

pada inang dan siklus hidup dikendalikan oleh periode moulting dari inang.

(Jeffries et al ,1995)

Page 31: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

16

Keberhasilan reproduksi Octolasmis sp tergantung pada

kematangan Octolasmis sebelum inang mengalami moulting. Jadi untuk

mencapai keberhasilan reproduksi, sebuah cyprid larva harus memilih

inang dengan periode moulting yang cukup untuk menancapkan diri, dan

bermetamorfosis menuju bentuk dewasa, bertelur dan melepaskan nauplii.

(Praptiasih, 2010)

Umumnya spesies Octolasmis sp terjadi pada lebih dari satu

species dan hanya sedikit yang memiliki host spesifik. Sebagian besar

memiliki dua atau lebih species inang. (Kumaravel et al. 2009)

H. Pengaruh Bahan Organik Terhadap Penyakit

Lingkungan merupakan salah satu penyebab penyakit dari 3 faktor-

faktor yang menyebabkan penyakit yakni inang dan patogen itu sendiri

selain itu faktor lingkungan juga disebut sebagai faktor stessor eksternal

yang sangat mempengaruhi tingkat stress organisme perairan (Austin dan

Austin.1999)

Menurut Irianto (2004) ada 5 faktor lingkungan yang menyebabkan

perubahan parasit dan bakteri patogen menjadi patogenik antara lain

adanya perubahan dalam: konsentrasi oksigen, karbondioksida, amoniak,

kandungan materi organik dan populasi mikroba. Perubahan faktor

tersebut hingga batas waktu tertentu dapat mengakibatkan stress dan

timbulnya penyakit

Menurut Pariwono (1996), bahan organik merupakan pencemar

perairan yang paling umum dijumpai, dan dampak yang ditimbulkannya

Page 32: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

17

tidak langsung. Masalah yang ditimbulkannya adalah menurunkan

kandungan oksigen terlarut dan terjadi proses eutrofikasi. Proses

eutrofikasi merupakan proses penyuburan (pengayaan) yang menstimulir

pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (Effendi, 2003)

Octolasmis spp merupakan organisme pemakan plankton dan detritus

(Newman, 1970). sehingga proses eutrofikasi diduga mengakibatkan

kepadatan Octolasmis spp diperairan yang disebabkan kelimpahan

makanan dari Octolasmis spp.

I. Perkembangan Penelitian Molekuler Octolasmis spp

Setiap organisme dibentuk oleh sel yang dibagi menjadi dua jenis

yakni organisme sel satu (prokariot) dan bersel banyak (eukariot).

Octolasmis spp merupakan organisme eukariot yang bahan genetiknya

atau DNA berada didalam suatu membran nukleus sehingga mempunyai

struktur nukleus jelas. Selain itu organisme eukariot memilki beberapa

organel penting seperti mitokondria, retikulum endoplasma, badan golgi

dan lain (Yuwono, 2002).

DNA merupakan materi genetik yang mengkode semua informasi

yang dibutuhkan untuk proses metabolisme dalam setiap organisme.

Informasi genetik pada eukaryot terletak pada kedua untaian ganda DNA.

Artinya masing-masing untaian DNA dapat berfungsi sebagai bagian yang

mengkode sesuatu.(coding region) maupun yang tidak membawa

informasi genetic (non-coding region) (Yuwono.2002).

Page 33: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

18

Menurut Yuwono (2002) gen pada jasad eukaryot dapat

dikelompokan menjadi 3 kelas antara lain: gen kelas1 yakni :5,8S rRNA,

18S rRNA dan 28S rRNA, gen kelas 2; mRNA, gen kelas 3 tRNA dan 5S

rRNA. Pada gen kelas 1, ketiga molekul ini digunakan dalam

pembentukan ribosom dan memilki tingkat konservasi yang sangat tinggi

sehingga digunakan sebagai penanda karakterisasi gen suatu spesies.

Gambar 6. Bentuk gen rDNA

Selain itu informasi karakterisasi gen terletak juga pada bagian

mitokondria. Berbeda dengan organel sel lainnya, mitokondria memiliki

materi genetik sendiri yang karakteristiknya berbeda dengan materi

genetik di inti sel. Mitokondria, sesuai dengan namanya, merupakan

rantai DNA yang terletak di bagian sel yang bernama mitokondria. DNA

mitokondria memiliki ciri-ciri yang berbeda dari DNA nukleus ditinjau dari

ukuran, jumlah gen, dan bentuk. Di antaranya adalah memiliki laju mutasi

yang lebih tinggi, yaitu sekitar 10-17 kali DNA inti (Balaresque et al, 2010).

Selain itu DNA mitokondria terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari 1000

kopi) dalam tiap sel, sedangkan DNA inti hanya berjumlah dua kopi. Tidak

seperti DNA nukleus yang berbentuk linear, mtDNa berbentuk lingkaran.

Page 34: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

19

Sebagian besar mtDNA membawa gen yang berfungsi dalam proses

respirasi sel (gambar 6).

Gambar 7. Bentuk gen mitokondria

Saat ini perkembangan karakterasi Octolasmis spp berbasis

molekuler telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Glener et al.,

(2006) telah berhasil menemukan karakteristik DNA pada Octolasmis

lowei (nomor akses GenBank : L26518) di daerah 18S rDNA dengan

menggunkan primer dari Abele et al. (1992) Hal yang sama dilakukan

Perez et.al (2004) yang menggunakan primer dari Whiting et al., (1997)

pada daerah 18S rDNA

J. Patologi Octolasmis spp

Parasit Octolasmis spp sering ditemukan menepel pada insang

bagian luar dan dalam kepiting bakau. Penempelan Octolasmis spp pada

insang diduga mempengaruhi proses respirasi, dengan menjadi

kompetitor oksigen dan mengurangi permukaan insang yang tersedia

untuk respirasi. Hasmi dan Zaidi (1964) melaporkan bahwa parasit ini

Page 35: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

20

menjadi penyebab matinya kepiting bakau Scylla spp akibat berkurangnya

efisiensi respirasi. Ganon dan Wheatly (1992) mempelajari pengaruh

Octolasmis mulleri pada pertukaran gas pada kepiting biru Calinectec

sapidus. berdasarkan hasil yang ditemukan bahwa tidak terjadi

peningkatan konsumsi oksigen (sama dengan Kontrol) pada kepiting akan

tetapi denyut nadi dan bailers insang (Scaphognathites) mengalami

peningkatan. Tingkat infestasi yang tinggi dapat mengakibatkan stess

bahkan kematian, sedangkan infestasi yang rendah belum merupakan

ancaman serius bagi populasi (Ganon dan Wheatly. 1992).

Gambar 8. Semen sel Octolasmi mulleri pada permukaan insang (d)

(Walker et al .1974)

Walker et al (1974) menganalisis histopatologi Octolasmi mulleri

pada insang kepiting biru Calinectec sapidus (Gambar.6), berdasarkan

hasil pengamatan bahwa terjadi penutupan permukaan insang yang

disebabkan penempelan semen oleh Octolasmis spp. semen gland

Page 36: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

21

merupakan sel yang dihasilkan semua organisme dari class cirripedia

yang digunakan untuk menepel pada substrat (Newman.1970).

f. Kerangka Pikir

Gambar 9. Kerangka Pikir Penelitian

Benih Tangkapan Alam

Penyakit

Bakteri Virus Parasit

Ektoparasit Endoparasit

Octolasmis spp

Infestasi (serangan)

Parameter

Lingkungan

Intensitas,

Prevalensi

dan

Kelimpahan

deskifti

INFORMASI

PENGEMBANGAAN

BUDIDAYA

Penanggulangan penyakit

Histopatologi

BUDIDAYA KEPITING BAKAU

Identifikasi

Karakteristik

Morfologi dan

Molekuler Bahan Organik Salinitas

Page 37: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

22

Kepiting bakau merupakan komoditas perikanan yang menjadi

salah satu menu favorit restoran domestik dan mancanegara, karena

rasanya yang gurih menyebabkan permintaan akan komoditas ini cukup

tinggi. Namun dalam perkembangannya, benih kepiting bakau untuk

budidaya di Indonesia masih mengandalkan hasil tangkapan alam,

khususnya di wilayah Sulawesi Selatan. Benih hasil tangkapan dari alam

sangat mungkin terinfestasi dan terinfeksi berbagai jenis patogen yang

disebabkan virus, bakteri dan parasit.

Salah satau parasit yang mengifestasi kepiting bakau adalah

Octolasmis spp. parasit ini tergolong sebagai ektoparasit sebab ditemukan

mengifestasi pada permukaan atau bagian luar tubuh kepiting. Infestasi

yang besar parasit ini akan menjadi ancaman bagi budidaya kepiting

bakau sehingga perlu dilakukan identifikasi morfologi dan molekuler sebab

parasit ini belum diketahui secara pasti jenis dan jumlahnya di Indonesia

khususnya di Sulawesi Selatan. Dampak langsung serangan parasit ini

pada insang belum diketahui sehingga analisis kerusakan sel perlu

dilakukan dengan pengamatan histopatologi terhadap insang yang

terinfestasi Octolasmis spp perlu dianalisis

Tingkat serangan seperti prevalensi, intensitas dan kelimpahan

parasit ini belum diamati dan diduga dipengaruhi oleh faktor lingkungan

perairan salah satunya bahan organik. Hasil dari semua analisis ini akan

menjadi pedoman sebagai informasi penanggulangan penyakit dan akan

digunakan pengembangan budidaya untuk meningkatkan produktifitas

kepiting bakau.

Page 38: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

23

Page 39: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

24

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2013.

Pengambilan sampel dilakukan di 4 lokasi yakni: 1) Dusun Labili-

bili, Kelurahan Telumpanua, Kecamatan Suppa. Kabupaten

Pinrang. 2) kelurahan Bulete, Kecamatan Pitumpanua, kabupaten

Wajo. 3) Dusun Panaikang, Kelurahan Pajukukang Kecamatan

Bontoa Kabupaten Maros, 4) Desa Malili, kecamatan Malili,

kabupaten Luwu Timur

Gambar 10. Peta Pengambilan Sampel

Pengukuran tingkat infestasi Octolasmis spp, Morfologi dan

molekuler dilakukan di Laboratorium Pararsit dan Penyakit Ikan

Universitas Hasanuddin Makassar. Sedangkan parameter

Page 40: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

25

lingkungan diukur di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya

Air Payau Maros

B. Bahan dan Metode

1. Metode Pengambilan Sampel

Sampel kepiting bakau diambil dari 4 lokasi pesisir perairan

mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan yakni kabupaten Pinrang, Maros,

Siwa dan Luwu Timur. dengan jumlah sampel 50 ekor untuk setiap lokasi.

Sehingga total semua sampel kepiting bakau 200 ekor. Setiap sampel

diperiksa jenis kelamin, berat, panjang karapaks dan tingkat infestasi yakni

intensitas dan prevalensi ektoparasit Octolasmis spp pada organ insang.

Parasit yang terifestasi pada setiap kepiting bakau dikumpulkan di dalam

botol eppendrof yang berisi etanol 90%.

Sampel air dan tanah diambil dari lokasi yang diduga memiliki

kandungan bahan organik tinggi dengan menggunakan plastik sampel

(untuk tanah) dan botol sampel (untuk air)

2. Identifikasi Parasit

Sampel yang telah dikumpulkan pada botol eppendorf diletakan

pada cawan petri kemudian diamati karakteristik morfologi Octolasmis

spp, dengan menggunakan metode Jeffries et al (2005) yakni dengan

mengamati jumlah capitular, scutum, tergum dan carina seperti Gambar

11 sebagai penentu spesies. Pengamatan ini dilakukan dengan

menggunakan stereo mikroskop.

Page 41: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

26

Gambar 11. Bagian-bagian morfologi Octolasmis sp

3. Karakterisasi molekuler

Ekstrasi DNA parasit Octolasmis spp dilakukan dengan

menggunakan DNA mini kit (Qiagen) mengikuti prosedur. Amplifikasi

DNA parasit Octolasmis spp. menggunakan metode Reaksi Rantai

Polimerase (PCR) dengan menggunakan 3 primer yakni universal primer

LCO1490/HCO2198 dengan susunan nukleotida forward 5’-

taacttcagggtgaccaaaaaatca-3’ dan reverse HCO2198 dengan susunan

nukleotida 5’-ggtcaacaatcataaagatattgg-3’ dan kedua primer yang

dirancang dengan menggunakan software clustal w untuk indikasi daerah

yang terkonservasi berdasarkan sekuen referensi dari database GenBank

di situs NCBI dan selanjutnya menggunakan software pearlprimer untuk

menentukan primer dari daerah yang terkonservai tersebut dari region

18S dan 28S rDNA. Produk PCR yang akan dihasilkan memperlihatkan

band pada ukuran sekitar 1500 bp. PCR dilakukan dalam 20 µL reaktan

yang mengandung 1 µL ekstraksi DNA , 10 µL Mster-Mix yang

mengandung d NTP, MgCl2, buffer, dan Taq-polymerase, 1 µL dari

masing-masing primer, corallload 2 µL, dan Destiolled water 5 µL

dengan kondisi PCR 94 0C 5 menit (initial Denaturation), 30 siklus

denaturasi pada suhu 94 0C 1 menit, annealing pada suhu 45 0C 1

Page 42: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

27

menit, dan ekstension pada suhu 72 0C 1,5 menit dan final

extension pada suhu 72 0C 7 menit

Produk PCR selanjutnya dielektroforesis dalam gel agarose 1%

dalam larutan TBE 0.5X. Sebanyak 10 μL DNA hasil PCR dicampur

dengan 2 μL loading dye kemudian dimasukkan dalam sumur gel

elektroforesis. Elekrtoforesis dijalankan pada tegangan 100 volt selama 30

menit. Selanjutnya gel hasil elektroforesis diletakkan diatas UV

transluminator dan didokumentasikan menggunakan GelDoc

DNA hasil PCR dipurifikasi menggunakan Qiagen PCR Purification

Kit. Cara purifikasi dilakukan dengan cara mengikuti petunjuk kit.

Kemudian hasil PCR yang sudah dipurifikasi disekuen dengan

menggunakan sekuensing otomatis mesin ABI 3130xl Genetic Analyzer di

Laboratorium 1st Base di Singapura. Hasil sekuensing dianalisis dengan

program genetyx 7 untuk mendapatkan sekuens DNA dari gen COI, 18S

dan 28S. Runutan nukleotida Octolasmis spp disejajarkan berdasarkan

masing-masing gen yakni COI, 18S dan 28S sehingga terbentuk 3

kelompok runutan DNA. Pensejajaran ini dilakukan untuk melihat apakah

ada perbedaan nukleotida pada Octolasmis spp yang diuji

4. Parameter lingkungan.

Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah kandungan bahan

organik dan salinitas. Data kandungan bahan organik yang diperoleh

secara langsung dari lokasi penelitian, untuk pengambilan sampel

penetuan wilayah pengambilan diambil berdasarkan tempat peletakan

rakkang atau jaring, kemudian sampel tersebut diisi dalam kantong

Page 43: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

28

sampel yang telah disiapkan. Hal yang sama dilakukan pada air laut,

untuk mengukur salinitasnya.

Setelah itu sampel yang diperoleh dibawa ke laboratorium untuk

mengetahui kadar bahan organik tanah dengan metode Walkey and

blacks dalam Menon (1972) dan salintas menggunakan refraktometer

5. Histopatologi

Studi histologi dilakukan pada organ insang yang terinfestasi dari

ektoparasit Octolasmis spp.Organ yang akan diamati dimasukan kedalam

larutan fiksatif Davidson (300 ml akuades, 200 ml formalin (37%

formaldehyde), 100 mL glacial acetic acid dan 300 mL 95% alcohol ).

Setelah itu, dimasukan ke dalam blok paraffin. Organ yang telah diparafini

dipotong tepat pada bagian yang terifestasi parasit dengan menggunakan

mikrotom pada ukuran pomotongan berkisar antara 3-5 µm, kemudian

diendapkan dalam gelatin (1% pada suhu 480 C) dan diletakan pada

obyek glass.

Gambar 12. Lokasi pemotongan histopatologi

Page 44: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

29

Preparat sediaan jaringan direndam dengan xylol I dan II masing-

masing selama 2 menit.(Deparafinsasi). Alcohol absolute I danII masing-

masing 1 menit dilanjutkan dengan alcohol 95 % I dan II masing 1 menit

(Rehidrasi). Pewarnaan preparat mengggunakan Haematoxilin dan eosin

selama 10 dan 1 menit, setelah itu memasuki proses dehidrasi

menggunakan alcohol 95 % I dan II satu celup, absolute alcohol I satu

celup. Absolute alcohol II 1 menit dan diakhiri dengan xylon I, II dan III

masing 2 menit. Proses terakhir (mounting) yakni penutupan dengan deck

glass menggunakan etelan.

Page 45: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

30

C. Analisis Data

Data morfologi dan histopatologi dari parasit Octolasmis spp yang

diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan gambar.

Sedangkan analisi molekuler dianalisi dengan Analisis filogeni

menggunakan Genetix 7 berdasarkan metode pensejajaran nukleotida.

Adapun tingkat keberadaan parasit dianalisis secara deskriptif dengan

menggunakan gambar dan tabel. berdasakan intensitas dan prevalensi :

Hubungan antara panjang total karapaks kepiting bakau dengan

jumlah parasit yang menginfestasi dianalisis menggunakan korelasi

pearson. Hubungan antara prevalensi parasit dengan parameter

lingkungan dianalisis secara deskiptif berdasarkan Tabel 1 dan 2

Page 46: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

31

Tabel 1. Kategori Prevalensi Serangan Parasit (Schmidt. 2008)

Tabel 2. Klasifikasi konsentrasi bahan organik (Sulaeman.2005)

Klasifikasi Presentase (%)

Sangat rendah <1

Rendah 1-2

Sedang 2-3

Tinggi 3-5

Sangat Tinggi >5

Karakteristik Prosentase Keterangan

Prevalensi Tinggi

> 65% Parasit dapat menyebabkan stress hingga terjadi kematian pada inangnya.

Prevalensi Sedang

30 – 65% Parasit dapat menyebabkan stress, namun tidak dapat terjadi kematian pada inangnya.

Prevalensi Rendah

1 – 30 % Parasit tidak dapat menyebabkan stress dan kematian pada inangnya.

Page 47: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

32

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Identifikasi karakteristik Morfologi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa

parasit Octolasmis spp merupakan parasit yang menginfestasi organ

insang kepiting bakau. Parasit ini sering ditemukan pada organ insang

bagian dalam (Gambar 13). Hal sesuai dengan pengamatan yang

dilakukan oleh Jeffries et al (2001) terhadap kepiting bakau Scylla serrata

di daerah estuaria sungai Newport, carteret dekat dengan sebelah timur

Beaufort Carolina. Ditemukan sekitar lebih 1000 parasit terinfestasi dalam

satu ekor kepiting dan paling banyak ditemukan di permukaan insang

bagian dalam, sehingga hampir menutupi sebagian besar permukaan

insang yang digunakan untuk proses respirasi.

Gambar 13. Infestasi parasit Octolasmis spp pada insang bagian dalam kepiting bakau yang tertangkap di 4 kabupaten di Sulawesi Selatan

Page 48: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

33

Kumaravel et al (2009) melakukan pengamatan terhadap 189 ekor

dari populasi kepiting di wilayah parangipettai India, berdasarkan hasil

penelitian tersebut sekitar 50 ekor kepiting terifestasi oleh parasit

Octolasmis spp. Parasit ini ditemukan menempel pada permukaan insang,

yakni pada permukaan epibranchial, scaphognathite dan paling banyak

ditemukan pada bagian hypobranchial.

Secara umum, parasit ini dapat diidentifikasi berdasarkan

karakteristik morfologi dengan menggunakan bantuan mikroskop. Jeffries

et al (2005) telah menentukan karakeristik setiap spesies parasit ini

berdasarkan jumlah scutum, tergum dan carina. selain itu bentuk dari

cabang scutum juga dapat menjadi penentu karakteristik morfologi dari

setiap spesies ini.

Berdasarkan hasil identifikasi karakteristik morfologi parasit

Octolasmis spp. pada kepiting bakau Scylla spp yang ditemukan dari 4

lokasi provinsi Sulawesi Selatan, diketahui bahwa kepiting tersebut

terifestasi parasit Octolasmis angulata dan Octolasmis cor. Hasil ini

dibuktikan dengan jumlah cabang scutum, tergum dan carina yang berada

pada kedua parasit itu. pada Octolasmis cor jumlah cabang scutum terdiri

dari 2 cabang dan 1 carina (Gambar 14a), bentuk cabang scutum agak

melebar, sesuai dengan Gambar 14b (Chan et al .2012). Sedangkan

Octolasmis angulata memilki jumlah cabang scutum dan carina yang

sama dengan O.cor yakni 2 cabang scutum dan 1 carina (Gambar 15a)

akan tetapi bentuk ujung cabang scutum agak meruncing sesuai Gambar

15b (Chan et al .2012)

Page 49: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

34

Jeffries et al (1989) melakukan pengamatan terhadap kepiting

bakau Scylla serrata yang berasal dari Indonesia dan Srilangka.

Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan dua jenis yang sama yakni

Octolasmis angulata dan Octolasmis cor . Hal yang sama ditemukan pada

kepiting bakau Scylla spp yang berada di hutan mangrove tepat 2 km dari

kota Phuket, Thailand (Jeffries et al .1992) sedangkan Kumaravel et al

(2009) menemukan 5 jenis Octolasmis spp yakni O.angulata, O. lewei,

O.cor, O.warwickii, dan O.neptuni, pada S. Serrata dan S.Tranquebarica

di wilayah Parangipettai, India

Gambar 14. a) Morfologi Octolasmis cor pada kepiting bakau yang tertangkap di Sulawesi selatan, b) gambar O.cor (Chan et al .2012) ket: 1) scutum, 2) Carina

Page 50: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

35

Gambar 15 a) Morfologi Octolasmis angulata pada kepiting bakau yang tertangkap di Sulawesi Selatan b) gambar Octolasmis angulata (Chan et al .2012) ket: 1) scutum, 2) Carina

Teknik identifikasi Octolasmis spp secara morfologi memiliki

keterbatasan dan hanya bisa diaplikasikan pada saat parasit ini memasuki

fase remaja atau dewasa sedangkan pada fase larva atau cryprid belum

dapat diaplikasikan. Hal ini disebabkan pada fase cypird karakteristik

morfologi belum terbentuk sehingga cukup sulit menentukan jenis spesies

dari parasit ini. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan identifikasi

berbasis molekuler dengan melihat karakteristik molekuler dari Octolasmis

spp

Gambar 16. Larva cyprid Octolasmis spp pada kepiting bakau

Page 51: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

36

Gambar 17. Perbedaan morfologi (a) O.angulata (b) O.cor dan (c) Octolasmis spp yang ditemukan di perairan Sulawesi Selatan.

Berdasarakan hasil penelitian di 4 lokasi penangkapan kepiting

bakau ditemukan beberapa larva cyprid Octolasmis spp yang terinfestasi

insang kepiting bakau (Gambar 16). Selain itu ditemukan salah satu

spesies memiliki bentuk morfologi yang berbeda dengan Octolasmis spp

yang berada pada perairan Singapura (Jeffries et al. 2005). Parasit ini

memiliki 2 scutum, satu carina dan tidak memilki tergum, ciri-ciri tersebut

sama dengan O.cor dan O.angulata akan tetapi memiliki bentuk

tergumnya berbeda dengan kedua parasit tersebut (Gambar 17) sehingga

sangat sulit untuk diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologi.

Page 52: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

37

B. Karakterisasi Molekuler Octolasmis spp.

Empat sampel DNA yang digunakan terdiri dari Octolasmis

angulata, Octolasmis cor , Octolasmis spp diambil dari 4 lokasi

pengambilan sampel sedangkan salah satu Octolasmis lowei berasal dari

Aceh yang ditemukan terifestasi pada lobster. Dari masing-masing

sampel tersebut diamplifikasi pada daerah COI mtDNA, 18S dan 28S

sehingga total sampel pada penelitian ini berjumlah 12 sampel. Hasil

amplifikasi ketiga daerah menghasilkan pita berukuran 700 bp untuk

daerah COI mtDNA, 1500 untuk daerah 18S dan 28S (Gambar 18),

semua sampel menghasilkan pita yang cukup tebal hal ini menunjukan

bahwa kosentrasi DNA tersebut tinggi. Menurut Sunandar (2010)

keberhasilan amplifikasi PCR ditentukan oleh ada tidaknya site DNA atau

situs penempelan DNA. Sebab primer akan menempel pada genom DNA

yang memiliki susunan basa nukleotida yang komplemen dengan susunan

basa primer. Kualitas dan kuantitas DNA sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan dari proses PCR. Salah satu kualitas dapat dilihat dari

kemurnian dan ukuran genom DNA. Kemurnian yang rendah, misalnya

karena adanya metabolit sekunder, akan menghabat penempelan primer

pada susunan basa dan rantai DNA (Padmalatha & Prasad, 2006).

Ukuran templat DNA yang kecil dapat mengurangi peluang penempelan

primer pada templat.

Page 53: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

38

Gambar 18. Hasil amplifikasi DNA pada gel agarose 1,5 % Ket. A. Octolasmis cor 1. LCO/HCO B. Octolasmis angulata 2. 18S F/R

C. Octolasmis spp 3. 28S F/R D. Octolasmis lowei

PT Genetika Science melakukan pre-test semua sampel produk

PCR untuk cek kualitas sampel sebelum dilakukan proses cycle

sequencing. Penurutan DNA dilakukan melalui 2 arah, yaitu forward dan

reverse. Berdasarkan pensejajaran berganda hasil sekuensing yang

diperoleh semua sampel memilki panjang nukleotida kurang 700 bp untuk

daerah mtDNA sedangkan untuk daerah 18S dan 28S kurang dari 1500

bp. Pada keduabelas sampel tersebut saat dilakukan persejajaran ganda

beberapa sampel sangat sulit dianalisi yakni pada sampel 1A (Octolasmis

cor mtDNA COI) dan 1C (Octolasmis cor 18S rDNA). Hal ini diduga

dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas DNA dan primer dapat berubah

selama proses pengiriman dan adanya pita DNA yang lain selain pita DNA

yang dikehendaki.

Page 54: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

39

faktor suhu juga menjadi salah satu faktor pertimbnagan sebab

penggunaan suhu penempelan primer juga merupakan hal yang penting

dalam proses amplifikasi, karena pada tahap ini memungkinkan primer

forward dan reverse akan menempel secara spesifik pada kedua ujung

DNA cetakan. Menurut Newton et al., (1997), jika suhu penempelan primer

terlalu tinggi dari suhu optimum, menyebabkan primer tidak menempel

dengan DNA cetakan. Jika suhu penempelan primer terlalu rendah dari

suhu penempelan optimum menyebabkan mispriming, yaitu penempelan

primer pada tempat yang salah pada DNA cetakan sehingga dihasilkan

produk non spesifik. Oleh karena itu, dilakukan optimasi terhadap suhu

penempelan primer.

Kesepuluh hasil sekuens tersebut disejajarkan berdasarkan daerah

konservasi gen yakni mtDNA, 18S dan 28S sehingga terbentuk 3

kelompok pensejajaran (lampiran 1, lampiran 2 dan lampiran 3)

Berdasarkan hasil pensejajaran gen mtDNA COI, 18S rDNA dan 28S

rDNA menunjukan bahwa pada region mtDNA spesies O.sp dan O.cor

memilki susunan nukleotida yang sangat convers (tidak ada perbedaan)

akan tetapi region ini berhasil membedakan O.lowei. berdasarkan hasil

pengamatan terdapat 116 pasangan nukleotida yang berbeda dari O.lowei

terhadap kedua Octolasmis spp yang ditemukan. Hal yang sama terjadi

pada 18S rDNA dan 28S rDNA pada region 18 rDNA spesies O.cor,

O.angulata dan O.sp. yang ditemukan menunujukan susunan nukleotida

yang sangat conserve pada level spesies atau tidak ada perbedaan

susunan nukleotida akan tetapi region ini dapat membedakan gen

Page 55: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

40

O.lowei. hasil pengamatan menunjukan terdapat 8 pasangan basa yang

berbeda dari Octolasmis lowei terhadap ketiga Octolasmis spp selain itu

gen 18S ternyata berhasil memisahkan antar populasi pada ordo

Rhizocephala dan Thoracica (Glenner et al, 2006). Sedangkan pada

region 28S rDNA menunjukan hal yang sama dengan 54 pasang basa

yang berbeda dari Octolasmis lowei dari Octolasmis spp yang ditemukan.

C. Tingkat Serangan Parasit Octolasmis spp

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 1 bulan

terhadap 200 ekor (50 ekor untuk masing-masing lokasi) kepiting bakau

(Scylla paramamosain, S.Tranqubarica dan Scylla olivacea) yang

ditangkap dari kabupaten Pinrang, Siwa, Maros dan Luwu Timur, maka

diperoleh sebanyak 38 ekor kepiting bakau terinfestasi parasit Octolasmis

spp yang berasal dari Kabupaten Pinrang, 42 ekor dari Kabupaten Siwa,

29 ekor dari kabupaten Pangkep dan 5 ekor dari Kabupaten Luwu Timur.

Hasil perhitungan prevalensi serangan parasit Octolasmis spp dari

4 daerah tersebut seperti terlihat pada Gambar 19 dibawah ini.

Page 56: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

41

Gambar 19. Histogram prevalensi serangan parasit Octolasmis spp pada 4 Kabupaten

Dari Gambar 22. di atas dapat dilihat bahwa parasit Octolasmis spp

menyerang sebagian kepiting bakau di 4 lokasi pengambilan sampel.

Dimana tingkat serangan tertinggi (berdasarkan klasifikasi prevalensi

Schmidt. 2008) terdapat pada Kabupaten Wajo dengan prevalensi 78 %

dari spesies Octolasmis angulata . Walker et al (2001) melakukan

pengamatan terhadap tingkat infestasi parasit Octolasmis angulata pada

52 ekor ranjungan Charibdis callianassa yang diambil dari beberapa

lokasi di pantai Moreton ,Queensland Australia. Berdasarkan hasil

pengamatan ditemukan 33 ekor ranjungan (15 ekor betina dan 18 ekor

jantan) terinfestasi parasit Octolasmis angulata. Sehingga nilai prevalensi

yang diperoleh 63.5%. Prevalensi terendah terdapat pada kabupaten

Luwu Timur dari spesies Octolasmis cor dengan nilai prevalensi 4 %. Hal

yang sama terjadi pada pengamatan Jefries et al (1994) terhadap populasi

Page 57: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

42

kepiting bakau di bagian selatan Thailand, dimana prevalensi Octolasmis

angulata lebih besar (50%) dibandingkan dengan prevalensi Octolasmis

cor (30%).

Perbedaan prevalensi antara kedua spesies ini tidak hanya terjadi

karena O.angulata dan O.cor berdistribusi dengan sendirinya. Menurut

Voris et al.(1994) perilaku distribusi ini bisa saja dipengaruhi oleh faktor

arus, tetapi faktor lain seperti faktor historis dan biotik, layak menjadi

pertimbangan dan perlu dilakukan pengujian. Contoh perbedaan distribusi

Octolasmis angulata dan Octolasmis cor dikarenakan salah satu spesies

bisa hidup dari beberapa spesies inang. O.angulata ditemukan dapat

hidup pada 17 spesies inang sedangkan O.cor ditemukan pada 6 spesies

inang (Jeffries et al., 1982)

Contoh lain yang menjadi pertimbangan adalah suhu dari perairan.

sebab suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi infestasi

suatu parasit (Hilma,1993). setiap spesies Octolasmis spp memiliki suhu

optimum yang berbeda untuk perkembangan. Hal ini sesuai dengan

pengamatan Jeffries et al (1985) terhadap pengamatan suhu optimum

O.cor, hasil pengamatan tersebut ditemukan bahwa suhu optimum O.cor

berkisar antara 28,4-30,8 0C. Lang et al (1976) pada O.mulleri berkisar

antara 24-29 0C. Kondisi suhu perairan di 4 lokasi pengambilan sampel

diduga mendukung perkembangan O.angulata dibandingkan dengan

O.cor.

Bedasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square

(lampiran 7) menunjukan bahwa adanya perbedaan prevalensi parasit

Page 58: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

43

Octolasmis spp antara keempat lokasi pengambilan sampel dengan nilai

P-Value lebih besar dari α=0,01 (P<0,01)

Tingkat intensitas serangan parasit Octolasmis spp dari 4

Kabupaten memilki juga perbedaan. Hal ini dapat diamati pada gambar 20

di bawah ini

Gambar 20. Histogram intensitas serangan parasit Octolasmis spp pada

kepiting bakau (Scylla spp) di 4 kabupaten

Pada Gambar 23 terlihat bahwa ada perbedaan intensitas

serangan parasit Octolasmis spp di 4 kabupaten. Dari Gambar 20 terlihat

bahwa intensitas tertinggi terdapat pada Kabupaten Wajo dengan nilai

intensitas 29,90 individu/ekor dari spesies Octolasmis angulata dan

intensitas terendah terdapat pada Kabupaten Maros dengan nilai

intensitas 1,75 individu/ekor dari spesies Octolasmis spp.

Berdasarkan hasil analisis uji Kruskal-Wallis (Lampiran 8)

menunjukan adanya perbedaan intensitas setiap spesies pada satu lokasi

pengambilan sampel (P<0,01). Begitupula hasil uji Mann-Whitney

Page 59: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

44

(Lampiran 9-15) menunjukan adanya perbedaan intensitas parasit

(P<0,05) antar lokasi pengambilan sampel.kepiting bakau

Parasit Octolasmis spp merupakan parasit yang tidak

membutuhkan inang perantara (Jeffries et al 1995). Pada fase larva atau

cyprid Octolasmis spp berenang mencari substrat yang cocok untuk

diserang. Ketika cyprid siap menyerang pada substrat, antena yang

mengandung kelenjar semen langsung tertancap pada substrat dan

kemudian menjalani fase-fase metamorfosis (Newman.1970). Parasit ini

menyerang insang kepiting bakau dengan cara masuk melalui rongga

respirasi dan langsung menyerang pada organ insang bagian dalam.

Presentase serangan pada organ insang bagian dalam lebih besar

dibandingkan dengan organ insang bagian luar ( Jeffries et al, 2001)

Intensitas yang tinggi dapat membahayakan kelangsungan hidup

kepiting bakau sebab semakin luas permukaan insang yang akan tertutupi

oleh parasit ini . Hal ini sesuai dengan pendapat Ganon dan Wheatly.

(1992) bahwa intensitas yang tinggi dari Octolasmis spp dapat menjadi

ancaman besar bagi kelangsungan hidup kepiting bakau karena

menggangu proses respirasi sehingga berdampak pada kematian,

sedangkan intesitas yang rendah tidak memilki pengaruh yang sangat

besar terhadap proses respirasi sehingga belum menjadi ancaman besar

bagi kelangsungan hidup kepiting bakau.

Tingkat serangan parasit Octolasmis spp yang berbeda di tiap

Kabupaten diduga dipengaruhi oleh faktor musim. Lerssutthichawal (2013)

melakukan pengamatan terhadap tingkat infestasi Octolasmis spp pada

Page 60: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

45

kepiting orange Scylla olivacea di area tambak kepiting bakau wilayah

Kantung. Provinsi Trang. Thailand Selatan selama 12 bulan atau 1 tahun.

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, diketahui bahwa perubahan

musim berpengaruh terhadap tingkat serangan parasit. Pada musim hujan

tingkat serangan atau kepadatan parasit lebih rendah dibandingkan

dengan musim kemarau. Hal ini dapat disimpulkan bahwa parasit

Octolasmis sp memiliki toleransi salinitas disebabkan oleh perubahan

musim. Berdasarkan hasil pengukuran salinitas dengan refraktometer

yang dilakukan di 4 lokasi pengambilan sampel pada Tabel 3 menunjukan

tidak ada perbedaan salinitas yang signifikan antara 4 lokasi pengambilan

sampel hanya saja salinitas pada kabupaten Luwu Timur relatif rendah

dibandingkan dengan 3 lokasi sampel lainnya yakni 25-27 ppt.

Irvansyah et al (2012) melakukan pengamatan terhadap tingkat

infestasi parasit pada kepiting bakau di tambak kabupaten Sidoarjo,

berdasarkan hasil pengamatan ditemukan tingkat infestasi atau prevalensi

tertinggi pada Octolasmis sp yakni mencapai 65,259 % dengan salintas

berkisar antara 30-35 ppt

Tabel 3. Jumlah total serangan parasit Octolasmis spp dan parameter

lingkungannya

Lokasi Jumlah kepiting yang diperiksa

Jumlah Kepiting Yang terinfestasi

Jumlah Total Parasit Octlasmis spp

Jumlah rata-rata parasit persampel

Prevalensi parasit (%)

Intensitas parasit

Kandungan bahan organik (%)

salinitas

Pinrang 50 38 750 19,24 ± 35,94 56% 26,78 3,13 % 29-32

Siwa 50 42 2241 44,82 ± 64,71 84% 53,36 7,09 % 28-30

Maros 50 29 274 5,48 ± 11,99 58% 9,45 4,40 % 28-31

Luwu Timur

50 5 73 1,46 ± 6,28 10% 14.6 0,7 % 25-27

Page 61: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

46

Selain itu konsentrasi kandungan bahan organik perairan juga

diduga menjadi faktor lain yang menyebabkan tingginya tingkat serangan

parasit. sebab bahan organik merupakan salah satu perubahan laten

penyebaran penyakit (Irianto, 2004)

Menurut Sasimartoyo (2002) keadaan perairan di Indonesia baik

yang berada di perkotaan maupun di pedesaan sebagian besar telah

tercemar oleh bahan organik. Hal ini disebabkan oleh sisa pembuangan

tinja dan urin yang dibuang di sembarang tempat seperti tanah, sungai

dan laut. Limbah tinja dan urin mengakibatkan penumpukan bahan

organik pada lingkungan perairan, sehingga memicu terjadinya proses

eutrofikasi. Proses eutrofikasi akan mempengaruhi densitas atau

kepadatan fitoplankton serta detritus yang ada dalam perairan (Rioz et

al.1998), karena Octolasmis spp merupakan organisme pemakan plankton

dan detritus (Newman.1970) maka kelimpahan plankton (blooming) dan

detritus diduga mempengaruhi kelimpahan dari parasit ini.

Selain itu bahan organik juga sangat mempengaruhi tingkat stress

dari kepiting bakau. Salah satu bahan organik yang telah diamonifikasi

adalah amoniak. Amoniak di perairan diduga berasal dari sisa feses atau

limbah dapur dan ekskresi amanonia langsung dari organisme air yang

ditambah dari hasil pembuangan urin. Menurut Fujaya (2012) akumulasi

amoniak tinggi menyebabkan peningkatan aminogenesis sehingga terjadi

peningkatan konsumsi oksigen. Kondisi ini dapat mengakibatkan kepiting

menjadi stress sehingga mudah diserang penyakit.

Page 62: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

47

Hal ini terbukti pada pengamatan 4 lokasi pengambilan sampel

kepiting bakau yakni kabupaten Pinrang, Wajo, Maros dan Luwu Timur

(Tabel 3). Pada Tabel 3. menunjukan adanya pengaruh kosentrasi bahan

organik dengan tingkat serangan parasit pada setiap lokasi, seperti pada

kabupaten Wajo, tingkat serangan atau prevalensi mencapai 78 % dengan

kosentrasi bahan organik mencapai 7.09 %. Berdasarkan klasifikasi

tingkat serangan (Schmidt. 2008) pada Tabel 1. Menunjukan tingkat

serangan parasit pada kabupaten siwa digolongkan dalam tingkat

prevalensi yang tinggi yakni > 65 %, kondisi ini dapat mengakibatkan

kepiting menjadi stess hingga mati, sedangkan klasifikasi konsentrasi

bahan organik berdasarkan Sulaeman.(2005) pada Tabel 2. menunjukan

konsentrasi yang tinggi yakni lebih besar dari 5 %. Berdasarkan hasil

analisis Korelasi Pearson (lampiran 16) menunjukan adanya pengaruh

konsentrasi bahan organik terhadap prevalensi serangan parasit

Octolasmis spp (P<0,01) pada setiap kabupaten.

Penelitian tentang pengaruh bahan organik terhadap infestasi

Octolasmis spp untuk saat ini belum dilakukan akan tetapi kerabat dekat

dari Octolasmis spp (Cirripedia) yakni Amphibalanus amphitrite

(Darwin,1845) telah digunakan sebagai bioindicator polusi bahan organik

di daerah estuaria Pernambuco, Brazil. (Farrapeira et al. 2010)

Page 63: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

48

Gambar 21. Grafik hubungan panjang total karapaks kepiting bakau

dengan jumlah parasit Octolasmis spp yang menginfestasi kepiting tersebut.

Kisaran panjang karapaks yang diamati pada penelitian ini yaitu

berkisar antara 3,7 -11,3 cm dengan rata-rata untuk kepiting bakau dari

kabupaten Pinrang 6,58 ± 1,70 cm, Siwa 7,55 ± 0,89 cm, Maros 7,59 ±

0,75 cm dan Luwu Timur 7,94 ± 0,66 cm. Berdasarkan Gambar 21 diatas,

dapat dilihat bahwa adanya hubungan antara panjang karapaks dengan

jumlah parasit yang menginfestasi kepiting bakau. Hasil analisis statistik

menggunakan metode korelasi pearson menunjukan adanya hubungan

korelasi positif (P<0,01) antara panjang karapaks dan jumlah infestasi

parasit Octolamis spp pada kepiting bakau (lampiran 8). Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian Jeffries et al (1992) di kota Phuket, Thailand

menunjukan bahwa adanya hubungan antara panjang karapaks kepiting

bakau dengan jumlah infestasi parasit Octolasmis spp.

Ada beberapa pengaruh yang diduga menjadi bahan

pertimbangan antara hubungan panjang kaprapaks kepiting bakau (Scylla

spp) dan Octolasmis spp. antara lain faktor perbedaan hambatan fisik

Page 64: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

49

seperti ukuran lubang saluran pernapasan, ukuran insang, distribusi

makrohabitat dan microhabitat dan perilaku kepiting (Behavior)

Untuk menjadi faktor pembatas lubang saluran pernapasan

kepiting harus lebih kecil sehingga mengakibatkan larva/cyprid tidak bisa

masuk ke dalam insang. Panjang rata-rata pada 26 cyprid Octolasmis spp

berdasarkan penelitian Jeffries et al (1995) adalah 697 µm. sebagai

perbandingan rata-rata lebar dan tinggi lubang respirasi pada 5 kepiting

terkecil pada penelitian ini dengan panjang karapaks 3,7-5,1 cm adalah

1,5 x 1,0 mm. Berdasarkan perbandingan ukuran diatas jelas bahwa

ukuran lubang saluran pernapasan bukan merupakan faktor pembatas.

Jika faktor ukuran insang menjadi faktor pembatas maka akan

terlihat pada Gambar 21 di atas bahwa penambahan ukuran akan diikuti

dengan jumlah infestasi parasit, kasus Gambar 21 diatas dapat dilihat

sebagian kepiting yang besar (panjang karapaks >6 cm) tidak terifestasi

oleh parasit ini Berdasarkan hasil analisis korelasi pearson nilai r2 =

0,225 artinya hanya sebesar 22,5 % panjang karapaks berpengaruh

terhadap jumlah parasit Octolasmis spp.

Sampel kepiting bakau pada penelitian ini diambil dari 4 lokasi

yang berbeda dan setiap daerah memiliki infestasi yang berbeda (Tabel

3), sehingga pengaruh makrohabitat kepiting bakau diduga menjadi salah

satu pertimbangan jumlah infestasi parasit. Sedangkan menurut Jeffries et

al (1992) pengaruh perbedaan infestasi diduga dipengaruhi oleh faktor

ontogenetik dalam mikrohabitat, pergeseran kadar hormon (kemotaksis)

atau perubahan perilaku. Heasman (1980) melaporkan bahwa kepiting

Page 65: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

50

bakau remaja banyak ditemukan bersembunyi di bawah bebatuan di

daerah terbuka, sedangkan kepiting yang lebih tua banyak ditemukan

bersembunyi di dalam liang. Belum diketahui secara pasti apakah

perbedaan ini memiliki dampak terhadap jumlah infestasi Octolasmis spp

D. Histopatologi Octolasmis spp.

Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis histopatologi irisan

insang kepiting bakau (Scylla spp) pada bagian yang terinfestasi parasit

Octolasmis spp (gambar 10). Dapat dilihat adanya kerusakan jaringan

yang diakibatkan serangan parasit Octolasmis spp.

Gambar 22. Histopatologi Octolasmis spp pada insang kepiting bakau (100X, HE).

Ket : PA = Parasit DH = Distal Hiperflasia SS = Semen Sel LS = Lamela Sekunder

Page 66: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

51

Pada Gambar 22 diatas menunjukan adanya kerusakan pada

lamella sekunder yaitu distal hiperflasia. Kerusakan jaringan ini

disebabkan tertutupnya permukaan insang oleh semen sel parasit

Octolasmis spp. pada pangkal lamella sekunder yang menyebabkan

jaringan insang tersebut membengkak. Menurut Health (1987) kerusakan

insang seperti nekrosis, hyperflasia dan lepasnya epithelium akan

menghambat proses pertukaran gas pada insang sehingga

mengakibatkan oksigen yang dapat diikat untuk kebutuhan metabolisme

sangat sedikit, hal ini diduga dapat mengakibatkan kematian.

Ditambahkan pula oleh Takashima dan Hibiya (1995) bahwa hyperflasia

disebabkan oleh adanya serangan parasit, tingginya kepadatan dan

tingginya kosentrasi bahan-bahan terlarut. Hyperflasia memacu

pertambahan produksi lendir yang dapat menyebabkan pembekakan dan

pengumpalan insang.

Gambar 23. Histopatologi parasit Octolasmis spp insang kepiting bakau (100X, HE)

Page 67: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

52

Ket : PA = Parasit LS = Lamella Sekunder FU = Fusion DH = Distal Hiperflasia

Selain hyperflasia terdapat juga kerusakan lain yakni fusion. hal ini

bisa diamati pada Gambar 23 yaitu terjadinya fusion disebabkan oleh luka

akibat parasit pada lamella sekunder, hal ini memaksa organ tersebut

mengeluarkan banyak lendir untuk menutupi luka tersebut sehingga terjadi

pendempetan antara lamella sekunder yang satu dengan lamella

sekunder lainnya.

Dari Gambar 23 diatas dapat dilihat bahwa infestasi parasit

Octolasmis spp mengakibatkan kerusakan yang sangat parah pada

insang. Kerusakan yang disebabkan antara lain : pendempetan antara

lamella sekunder (fusion), pembengkakan pada ujung lamella sekunder

(basal Hyperflasia) dan terjadinya produksi lendir/mucus yang berlebihan.

Menurut Takashima dan Hibiya (1995), bahwa kelebihan sel mucus pada

lamella, fusion (pendempetan lamella) dan Hyperflasia pada lamella

sekunder merupakan tanda kerusakan yang parah yang disebabkan oleh

parasit, bakteri atau kerusakan akibat zat kimia.

Menurut Ganon dan Wheatly (1992) tingkat infestasi Octolasmis

spp yang tinggi pada kepiting dapat menggangu proses respirasi

sehingga mengakibatkan stress bahkan diduga kematian. Hasil

pengamatan yang dilakukan oleh Youlu et al (2002) tentang penyebab

kematian sebagian besar rajungan Portunus trituberculatus (Miers) yang

tertangkap dari Laut Cina Timur dan dibudidayakan di kolam. Hasil dari

penelitian menunjukkan adanya infeksi Vibrio spp di hati dan otot P.

trituberculatus serta infestasi yang tinggi Octolasmis lowei

Page 68: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

53

Studi tentang histologi Octolasmis spp sebelumnya telah dilakukan

oleh Walker et al (1974) pada kepiting biru Callinectes sapidus yang

terinfestasi Octolasmis mulleri berdasarkan hasil penelitian tersebut

diketahui ukuran diameter semen sel pada O.mulleri 5 µm dengan

(panjang tangkai 2 mm).

Page 69: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

54

BAB V

PENUTUP

a. Kesimpulan

Kesimpulan yang diambil pada penelitian ini adalah :

1. Secara morfologi, jenis parasit yang menginfestasi kepiting bakau

di Sulawesi Selatan adalah Octolasmis cor, Octolasmis angulata,

Octolamis sp. Secara molekuler pada region mtDNA COI, 18S dan

28S bukan merupakan region yang cocok untuk dapat

membedakan ketiga spesies Octolasmis spp pada kepiting bakau

tersebut. Namun region tersebut dapat digunakan sebagai marker

untuk membedakan ketiga spesies Octolasmis spp dengan

Octolasmis lowei.

2. Tingkat investasi Octolasmis spp setiap lokasi berbeda-beda

(P<0,01) untuk prevalensi, intesitas (P<0,01) dan (P<0,05)

3. Jumlah infestasi Octolasmis spp pengaruhi oleh parameter

lingkungan yakni bahan organik (P<0,01).

4. Terjadi kerusakan sel akibat penempelan dari parasit Octolasmis

spp

b. Saran

Untuk penelitian selanjutnya identifikasi karakteristik morfologi dilakukan

pengukuran panjang capitulum dan karakterisasi molecular pada region

yang lain . Pengamatan infestasi berdasarkan spesies dari kepiting,

Page 70: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

55

Pengaruh parameter lingkungan terhadap infestasi parasit dilakukan pada

kondisi terkontrol dan histopatologi pada insang yang tidak terinfeksi

Page 71: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

54

DAFTAR PUSTAKA

Abele, L.G., Spears, T., Kim, W., Applegate, M., 1992. Phylogeny of selected maxillopodan and other crustacean taxa based on 18S ribosomal nucleotide sequences: a preliminary analysis. Acta Zool. 73, 373–382.

Afrianto, Eddy dan Liviawaty, Evi. 1992. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius.

Yogyakarta Austin, B dan Austin, D.A. 1999. Bacterial Fish Pathogens Desease of farmer

and Wild fish, 3rd (revised) ed Spriger-praxis, Goldaming. Andeson A, P. Mather, Ricardson. 2004. Nutrition of the mud crab Scylla

Serrata (Forskal). Dalam proceeding of Mud CrabAquaculture in Australia and Southeast Asia. Allan dan D.Fielder (editor): 57-59

Aslamyah S, Y.Fujaya. 2011. Stimulasi Molting dan Pertumbuhan kepiting

Bakau (Scylla. sp) melalui Aplikasi Pakan Buatan Berbahan Dasar Limbah Pangan yang Diperkaya ekstrak Bayam. Indonesia Jurnal of Marine Science. 15(3): 170-178

Aurivillius, C. W. S. 1892. Neue Cirripeden ausdem Atlantischen, Indischen

und Stillen Ocean. Kungliga Vetenskaps-Akademiens Forhandlingar. Stockholm, 3: 123-134.

Aurivillius, C. W. S. 1894. Studien űber Cirripieden. Kungliga Svenska

Vetenskaps- Akademiens Handlinger, Stockholm, 26: 1-107. Daniel, A., 1955. The Cirripedia of the Madras Coast. Bulletin Madras Government Museum, New Series –Natural History Section, 6: 1-40.

Balaresque P, Bowden GR, Adams SM, Leung H-Y, King TE,2010. A

Predominantly Neolithic Origin for European Paternal Lineages." journal.P.bio.285p

Chan, Benny KK.,Ling Ming Tsang., Fu-lung Shih. 2009. Morphological and

Genetic Defferentiation of The Stalked Barnacle Heteralepas japonica Aurivillius, 1892, With Description of a New Species of Heteralepas Pilsbry,1907, From the Philipinnes. The Rafless Bulletin Of Zoology. 20, 85-93

Chan, KK; Prabowo, Romanus; Lee, Kwen-Shen. 2012. Octolasmis cor

(Aurivillius, 1892). http://barnacle.biota.biodiv.tw/pages/1059 [diakses tanggal 14 agustus 2013]

Page 72: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

55

Chan, KK; Prabowo, Romanus; Lee, Kwen-Shen. 2012. Octolasmis

angulata (Aurivillius, 1894) http://barnacle.biota.biodiv.tw/pages/1059 [diakses tanggal 14 agustus 2013]

Daniel, A., 1955. The Cirripedia of the Madras Coast. Bulletin Madras Government Museum, New Series –Natural History Section, 6: 1-40

Darwin, C., 1851. A monograph on the sub-class Cirripedia I. The Lepadidae:

1-400, 10 pls, Ray Society, London.

Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan

Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Farrapeira, CMR., Mendes, ES.b, Dourado, J.b dan Guimarães,J.b, 2010,

Coliform accumulation in Amphibalanus amphitrite (Darwin, 1854)

(Cirripedia) and its use as an organic pollution bioindicator in the

estuarine area of Recife, Pernambuco, Brazil.

http://www.scielo.br/pdf/bjb/v70n2/11.pdf [diakses tanggal 20 oktober

2013]

Febriana A. 2011. Filogeni Berdasarkan Sekuens DNA Mitokondria Gen

Cytochrome Oxidase I (Gen COI) pada Beberapa Bangsa Sapi Lokal

Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam, Institut Pertanian Bogor.

Fujaya, Y. Aslamyah, St. Fujaya,L. Alam, Nur. 2012. Budidaya dan Bisnis

Kepiting Lunak. Brillian International. Surabaya. 2-16.

Gannon, A.T. 1990. Distribution Of Octolasmis Mulleri, An Ectocommensal Gill Barnacle, On The Blue Crab. Bulletin Of Marine Science, 46(1): 55-61

Gannon, A. T. and Wheatly, M. G. 1992. Physiological effects of an

ectocommensal gill barnacle, Octolasmis muelleri, on gas exchange in the blue crab Callinectes sapidus. Journal of Crustacean Biology, 12: 11-18.

Glenner. H, Martin Bay Hebsgaard. 2006. Phylogeny and evolution of life

history strategies of the Parasitic Barnacles (Crustacea, Cirripedia, Rhizocephala). Molecular Phylogenetics and Evolution 41 (2006) 528–538

Page 73: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

56

Gray, J. D. 1825. A synopsis of the Genera of cirripedes arranged in natural families, with a description of some new species. Annals of Philosophy, 10: 97-107.

Hashmi SS and Zaidi SS. 1964. Incidence of Lepas Infestation on the gills of

Scylla serrata in Karachi Water. Agriculture Pakistan (16) 1, 117-127. Hilma, Seri. 1993. Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Populasi

Gyrodactylus fernandoi Pada Benih Ikan Lele Dumbo. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor

Health,A.G.1987. Water Pollutan and Fish physiologi crc press. Florida. Heasman, M. P. 1988. Aspects of the general biology and fishery of the mud

crab Scyllu serratn (Forsm) in Moreton Bay, Queensland. Ph.D. Thesis No. 22 10, University of Queensland. 506 pp.

Irianto, Agus. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press.

Yogyakarta. 102

Irvansyah. M.Y, Nurlita Abdulgani, dan Gunanti Mahasri. 2012. Identifikasi

dan Intensitas Ektoparasit pada Kepiting Bakau (Scylla serrata) Stadia

Kepiting Muda di Pertambakan Kepiting, Kecamatan Sedati,

Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Sains dan Seni ITS Vol. 1, No. 1

Jeffries, W. B., Voris, H. K., and Yang, C. M. 1982. Diversity and distribution of the pedunculate barnacle Octolasmis in the seas adjacent to Singapore. Journal of Crustacean Biology, 2: 562-569.

Jeffries, William, B. Harold K. Voris, Sombat Poovachiranon, dan L.C Heil.

1995. The Live Cycle Lepadhormorph Barnacle, Octolasmis cor and Methods for Their Laboratory Culture. Phuket Marine Biol. Cent. Bull. 29-35

Jeffries, William, B. Harold K. Voris dan Chang Man yang. 1989. A New

Mechanism Of Host Colonization: Penduculate Barnacles Of The Genus Octolasmis On the Mangrove Crab Scylla serrata. Ophelia 31 (1): 51-58

Jeffries, William, B. Harold K. Voris dan Chang Man yang. 1985. Growth Of

Octolasmis cor (Aurivillius, 1892) On The Gills Of Scylla Serrata (FORSKAL, 1755). BioL BulL 169: 291-296

Page 74: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

57

Jeffries, William, B. Harold K. Voris Phaibul Naiyanetr dan Somsak Panha. 2005. Pedunculate Barnacles of the Symbiotic Genus Octolasmis (Cirripedia: Thoracica: Poecilasmatidae) from the Northern Gulf of Thailand The Natural History Journal of Chulalongkorn University 5(1): 9-13,

Jithendran. K.P, M. Poornima, C. P. Balasubramania dan S.

Kulasekarapandian. 2010. Diseases of mud crabs (Scylla spp.): an overview. Indian J. Fish., 57(3) : 55-63

Kanna, Iskandar. 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius. Yogyakarta Kasry, AS. 1984. Telaah Kegiatan Bertelur Kepiting Bakau Scylla serrata dan

Faktor-faktor yang Mempengaruhinya di Perairan Teluk Jakarta. Fakultas Perikanan IPB Bogor. 32 p

Kumaravel .k, S. Ravichandran and G. Rameshkumar. 2009. Distribution of

Barnacle Octolasmis on the Gill Region of Some Edible Crabs.

Academic Journal of Entomology 2 (1): 36-39,

Lanchester, F. 1902. On the Crustacea collected during the “Skeat Expedition” to the Malay Peninsula. Proceedings Zoological Society of London, 2: 363-381.

Lang,W. H. 1976. The larval development and metamorphosis of the

pedunculate barnacle Octolasmis mulleri (Coker, 1902) reared in the laboratory.BioLBulL 150:255-267

Lerrsuttichawal, Theerawoot and Norasingh Penprapai. 2013. Seasonal

Distribution and Host-Parasite Interaction of Pedunculate Barnacle,

Octolasmis spp. on Orange Mud Crab, Scylla olivacea. Walailak

Journal http://wjst.wu.ac.th [diakses tanggal 15 september 2013]

MacDonald, J. D., 1869. On an apparently new Genus of Minute Parasitic Cirripeds, between Lepas and Dichelaspis. Proceedings Zoological Society of London, pp. 440-444.

Newton CR, Graham A. 1997. PCR Introduction to Biotechnique. Second

Edition. Oxford: Bios Scientific Publisher Ltd. Newman, W. A. (1970). Five pedunculate cirripeds from the western Pacific,

including two new forms. Crustaceana. 1(2), 100-116.

Page 75: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

58

Pariwono, J.I., 1996. Oseanografi Fisika dan Dinamika Perairan Pesisir. Materi Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (ICZPM). PKSPL-LP IPB kerjasama dengan Dirjen BANGDA-DEPDAGRI. Bogor.

Praptiasih, Indah. 2010. Mengenal Octolasmis, parasit leher angsa pada

Crustacea. Info Karikan, edisi ketujuh. Pusat Karantian Ikan. 28-33p P´erez-Losada Marco, Jens T. HØeg, and Keith A. Crandall. 2004. Unraveling

the Evolutionary Radiation of the Thoracican Barnacles Using Molecular and Morphological Evidence: A Comparison of Several Divergence Time Estimation Approaches. Society of Systematic Biologists. 53(2):244–264

Rios, A.F. F. Fraga, F.F. Perez and F.G. Figueras .1998. Chemical

composition of phytoplankton and Particulate Organic Matter in the Ría de Vigo (NW Spain). Scitiena Marina Journal 62 (3): 257-271

Yunowo,T. 2005. Biologi Molekuler. Erlangga. Jakarta Youlu, Wu dan Liu Shizhong. 2002. Studies on the causes of death of

Portunus trituberculatus (Miers). Dongahi Marine Science http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-DHHY502.006.htm [diakses tanggal 1 september 2013]

Yusa, Y, Mayuko Takemura, Katsumi Miyazaki, Tetsuya Watanabe, And

Shigeyuki Yamato. 2010. Dwarf Males of Octolasmis warwickii (Cirripedia: Thoracica): The First Example of Coexistence of Males and Hermaphrodites in the Suborder Lepadomorpha. Bulletin Of Marine Science. 259–265

Sasimartoyo, Tri Prasetyo. 2002. Kajian Penerapan Sistem Eko-sanitasi

dalam Pemanfaatan Kembali Limbah Manusia yang Terlupakan. Media Litbang Kesehatan. Volume XXI nomor 1.

Schmidt.G. D. 2008. Essentials of Parasitology. Fifteenth Edition. Universal Book Stall : New Delhi

Sulaeman, Suparto, Eviati. 2005. Petunjuk Teknis. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengambangan pertania, Departemen Pertanian

Sunandar,dadan dan Imron. 2010. Optimalisasi Templat DNA Udang Galah

Macrobracium rosebergii dalam proses PCR-RAPD. Prosiding Forum

Page 76: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

59

Inovasi Teknologi Akuakultur. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air Tawar.

Takashima, F dan Hibiya, T. 1995. Fish Histology Normal and Pathological

features of Second Edition. Kadausha. Tokyo. Voris H.K and Jeffries. W.J. 2001.Distibution and Size of a Stalked Barnacle

(Octolasmis Muelleri) on The Blue Crab, Callinectes sapidus. Bulletin Of Marine Science, 68(2): 181–190

Voris, H. K. and Jeffries, W. B. 1997. Size distribution, and significance of

capitular plates in Octolasmis (Cirripedia: Poecilasmatidae). Journal of Crustacean Biology, 17: 217 – 226.

Voris, H. K., Jeffries, W. B. and Poovachiranon, S. 2000. Size and location

relationships of stalked barnacles of the genus Octolasmis on the mangrove crab, Scylla serrata. Journal of Crustacean Biology, 20: 485-496.

Voris .Harold K., Jeffries, William, B dan Sombat Poovachiranon . 1994.

Patterns of Distribution of Two Barnacle Species on the Mangrove Crab, Scylla serrata Biol. Bull. 187: 346-354

Walker, Graham. 1974. The Occurrence , Distribution and Attachment Of the

Pedunculate Barnacle Octolasmis Mulleri (Coker) On The Gills Of Crab, Particulary the blue crab. Callinectes Sapidus . Biol. Bull., 147 : 678-689.

Walker, Graham. 2001. Some Observations on the Epizoic Barnacle

Octolasmis angulata within the Branchial Chambers of an Australian Swimming Crab Journal of Crustacean Biology Vol. 21, No. 2 (May, 2001), pp. 450-455

Whiting, M. F., J. C. Carpenter, Q. D.Wheeler, and W. C. Wheeler. 1997. The

Strepsiptera problem: Phylogeny of the holometabolous insect orders inferred from 18S and 28S ribosomal DNA sequences and morphology. Syst. Biol. 46:1–68.

Page 77: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

60

LAMPIRAN

Page 78: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

61

Lampiran 1 Pensejajaran berganda nukleotida pada gen mtDNA COI

Octolasmis cor, Octolasmis angulata,Octolasmis spp dan

Octolasmis lowei

Page 79: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

62

Lampiran 2 Pensejajaran berganda nukleotida pada gen 18 rDNA

Octolasmis cor, Octolasmis angulata,Octolasmis spp dan

Octolasmis lowei

Page 80: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

63

Page 81: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

64

Lampiran 3. Pensejajaran berganda nukleotida pada gen 28 rDNA

Octolasmis cor, Octolasmis angulata,Octolasmis spp dan

Octolasmis lowei

Page 82: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

65

Page 83: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

66

LAMPIRAN 4. Data tingkat infestasi Octolasmis spp pada kepiting bakau di

empat kabupaten di Sulawesi Selatan

Lokasi Jumlah kepiting yang diperiksa

Jumlah Kepiting Yang terinfestasi

Jumlah Total Parasit Octlasmis spp

Jumlah rata-rata parasit persampel

Prevalensi parasit (%)

Intensitas parasit

Kandungan bahan organik (%)

salinitas

Pinrang 50 38 750 19,24 ± 35,94 56% 26,78 3,13 % 29-32

Siwa 50 42 2241 44,82 ± 64,71 84% 53,36 7,09 % 28-30

pangkep 50 29 274 5,48 ± 11,99 58% 9,45 4,40 % 28-31

Malili 50 5 73 1,46 ± 6,28 10% 14.6 0,7 % 25-27

Page 84: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

67

Data tingkat serangan pinrang

No Panjang Berat Crypid O.Angulata O.cor O. spp Jumlah

1 7.8 89.83 32 0 0 32

2 9.63 131.61 34 100 41 2 177

3 7.36 56.13 0 2 0 2

4 7.26 26.77 0 9 0 9

5 6.84 63.86 0 0 0 0

6 6.9 26.07 0 0 0 0

7 5.53 29.42 0 0 0 0

8 6.05 90.72 0 0 0 0

9 4.65 18.6 0 0 0 0

10 3.85 11.15 0 0 0 0

11 4.68 17.25 0 0 0 0

12 6.91 15.89 0 0 0 0

13 4.69 18.21 0 0 0 0

14 4.67 7.21 0 0 0 0

15 4.46 12.11 0 0 0 0

16 5.1 16.57 1 3 0 4

17 5.91 22.14 7 0 0 7

18 3.7 9.76 0 0 0 0

19 4.13 6.06 0 0 0 0

20 4.96 15.35 1 3 1 5

21 4.41 5.95 0 0 0 0

22 5.38 21.96 0 0 0 0

23 5.67 26.42 0 0 0 0

24 10.33 197.95 21 57 61 139

25 9.15 53.28 0 0 0 0

26 7.55 30.34 9 0 0 9

27 5.9 29.15 2 7 0 9

28 7.05 63.83 2 15 18 35

29 7.2 47.78 5 6 20 31

30 6.71 44.19 10 4 2 16

31 11.2 233.2 5 23 23 5 56

32 9.6 144.9 5 7 2 14

33 8.4 63.6 3 8 9 20

34 6.5 59.4 2 10 9 21

35 6.7 38 0 0 0 0 0

36 7.2 45.7 5 4 6 15

37 9.3 87.7 0 3 16 19

38 7.4 53.5 7 0 3 10

39 7.6 63.1 0 0 0 0

40 7.6 85.6 3 12 1 16

41 7.3 71.5 2 5 3 10

42 7.3 57.1 0 0 0 0

43 6.6 44 0 8 5 5 18

44 5.7 28.8 0 0 0 0

Page 85: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

68

45 5.6 31.1 1 2 2 5

46 6.7 51.6 1 2 1 4

47 4.8 32.1 0 0 0 0

48 6.3 71.5 2 7 3 12

49 5.2 44.2 4 7 1 12

50 7.8 84.1 10 15 14 4 43

total 169 317 246 18 750

a) Intensitas

b) Prevalensi

Page 86: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

69

Data tingkat serangan siwa

No Panjang Berat Crypid O.angulata O.cor O. spp jumlah

1 6.1 37.8 6 1 7

2 7.8 74.8 2 1 3

3 8.8 122.3 12 81 62 6 161

4 7.8 69.8 0

5 8.4 98.1 0

6 8.8 16.3 9 3 12

7 7.8 80.1 0

8 7.8 18.7 10 6 7 23

9 8.6 87.2 15 15

10 7.5 76.2 2 2

11 7.9 86.5 14 1 1 16

12 7.9 98 2 2

13 7.7 79.1 10 30 8 2 50

14 8.1 104.2 12 132 89 28 261

15 7.1 58.5 7 42 2 51

16 7.4 71.7 14 63 77

17 8.2 106.8 0

18 7.5 73.4 9 2 11

19 7.7 74 0

20 6.5 59.1 5 43 24 1 73

21 9.2 128.6 12 4 16

22 7.1 65.6 3 20 13 36

23 7.3 72.9 2 12 18 3 35

24 6.6 52 15 66 21 102

25 6.5 53.2 11 11

26 7.8 78.8 1 8 9

27 8.8 112.7 40 110 56 206

28 7.5 68.4 2 71 64 21 158

29 7 45.1 1 5 6

30 6.3 38.9 11 15 26

31 7.3 56.4 1 28 9 38

32 8 75.7 0

33 6.1 40.8 1 23 16 1 41

34 7.4 70 1 1 2

35 7.9 82.6 7 5 12

36 7.4 40.1 16 17 33

37 8 67.9 7 17 32 56

38 7.3 70.4 0

39 6.3 38.5 1 1 2

40 5.8 39 33 19 52

41 4.3 90.6 4 23 27

42 7.8 85.2 7 56 38 101

43 7.5 68 2 23 12 37

44 8.4 105.9 0

Page 87: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

70

45 7.6 75.8 6 6

46 8.7 115.8 98 105 83 286

47 8 84.8 1 1 2

48 8.1 102.2 4 4

49 7.8 99 16 36 30 82

50 8.3 103.1 4 105 46 19 174

total 338 1166 737 83 2324

a) Intensitas

b) Prevalensi

Page 88: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

71

Data tingkat serangan Pangkep

No Panjang Berat Crypid O.angulata O.cor O. spp Jumlah

1 7.4 81.3 5 17 4 26

2 7.3 62.3 1 1 2

3 8.4 82.2 1 1 2

4 8.1 74.2 6 10 1 17

5 8.3 85.6 0

6 8.5 97 0

7 7.3 60.6 0

8 7.4 67.3 3 4 1 8

9 7.8 67.7 0

10 7.4 67.3 3 9 12

11 8.1 90.9 0

12 7.2 86.6 0

13 6.8 54 4 4

14 7,8 73.1 0

15 7,9 70.7 5 28 7 2 42

16 8 99.5 0

17 7.6 67.6 0

18 6,3 46.9 4 4

19 7.1 60.8 1 1

20 6.8 52.1 2 4 2 8

21 6.9 54.1 4 4

22 6.6 46.1 1 1

23 7.5 70.9 0

24 7.9 79.9 4 4 8

25 6.9 58.2 2 5 7

26 7.6 66.9 6 1 7

27 7.2 50.9 0

28 7 47.8 0

29 8.1 84.6 0

30 8.6 115.5 2 2 4

31 7.6 69.9 10 27 35 3 75

32 7.5 86.1 1 1

33 8.8 100.7 11 1 12

34 7.8 76.7 1 1

35 7.7 89.3 1 4 5

36 7.9 87.9 1 5 2 8

37 7.8 89.7 1 1 2 4

38 8.1 81.7 0

39 8.3 92.1 1 1

40 8.4 105.9 3 3

Page 89: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

72

41 6.5 57.4 1 3 1 5

42 7.6 97.8 0

43 9.1 147.8 2 3 1 6

44 6.6 62.9 0

45 6.3 52.4 0

46 8.8 117.8 0

47 5.6 30 0

48 6.3 47.4 0

49 7.7 79.7 1 1 1 3

50 8.6 135.3 0

Total 61 136 77 7 281

c) Intensitas

d) Prevalensi

Page 90: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

73

Data tingkat serangan Malili

No Panjang Berat crypid O.Angulata O. Cor

O. spp Jumlah

1 7.85 90.93 0

2 7.74 83.92 0

3 8.07 98.68 0

4 7.85 99.70 0

5 7.57 94.17 0

6 7.35 80.99 0

7 8.26 111.45 0

8 8.16 111.96 6 34 40

9 7.92 74.68 0

10 7.68 80.68 0

11 7.88 84 0

12 9.3 118.7 2 1 3

13 7.9 81.5 0

14 7.8 78.13 0

15 7.9 69.5 0

16 7.4 64.6 0

17 8.6 110.6 2 8 10

18 9.7 166.2 1 1 2

19 7.8 91.2 0

20 7.7 78.1 0

21 8.3 82.1 0

22 7.3 42.2 0

23 7.6 71 0

24 8.4 58.2 1 7 10 18

25 8.1 81.4 0

26 7.9 69.5 0

27 7.9 64.6 0

28 8.6 110.6 0

29 9.0 104.3 0

30 9.7 166.2 0

31 7.8 91.2 0

32 7.7 78.1 0

33 8.3 82.1 0

34 7.3 42.2 0

35 7.6 71.0 0

36 8.4 58.2 0

37 8.1 81.4 0

38 7.0 63.7 0

39 8.1 79.0 0

40 9.1 131.4 0

41 8.1 75.9 0

42 8.5 111.7 0

43 7.1 102.4 0

Page 91: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

74

44 6.8 60.0 0

45 7.4 42.9 0

46 7.9 96.3 0

47 7.1 72.1 0

48 7.9 80.1 0

49 6.5 7.21 0

50 7.3 81.1 0

total 10 52 11 73

e) Intensitas

f) Prevalensi

Page 92: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

75

LAMPIRAN 5. Hasil pengkuran parameter lingkungan di empat kabupaten

pengambilan sampel kepiting bakau

a) Salinitas

1. Pinrang

Kode Sampel Salinitas

1 32.0

2 29.0

3 29.0

4 31.0

5 30.0

2. Siwa

Kode Sampel Salinitas

1 28.0

2 29.0

3 31.0

4 30.0

5 29.0

3. Malili

Kode Sampel Salinitas

1 25.0

2 25.0

3 26.0

4 27.0

5 25.0

4. Pangkep

Kode Sampel Salinitas

1 28.0

2 29.0

3 31.0

4 30.0

5 29.0

Page 93: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

76

b) Bahan Organik

1. Pinrang

Kode Sampel Bahan Organik (%)

1 4,69

2 3,92

3 3,16

4 2,34

5 1,52

2. Siwa

Kode Sampel Bahan Organik (%)

1 7,14

2 6,61

3 7,27

4 7,54

5 6,88

3. Luwu Timur

Kode Sampel Bahan Organik (%)

1 0,7

2 0,7

3 0,7

4 0,7

5 0,7

4. Pangkep

Kode Sampel Bahan Organik (%)

1 4,47

2 4,59

3 4,5

4 4,36

5 4,1

Page 94: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

77

Lampiran 6. Hasil Uji Chi-square prevalensi parasit Octolasmis spp pada

kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

lokasi * VAR00002 200 100.0% 0 .0% 200 100.0%

lokasi * VAR00002 Crosstabulation

Count

VAR00002

Total 1 2

lokasi Luwu Timur 45 5 50

Maros 22 28 50

Pinrang 21 29 50

Siwa 8 42 50

Total 96 104 200

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Pearson Chi-Square 56.891a 3 .000

Likelihood Ratio 63.841 3 .000

Linear-by-Linear

Association 50.005 1 .000

N of Valid Cases 200

Page 95: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

78

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-

sided)

Pearson Chi-Square 56.891a 3 .000

Likelihood Ratio 63.841 3 .000

Linear-by-Linear

Association 50.005 1 .000

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum

expected count is 24.00.

Lampiran 7. Hasil Uji Kruskal-Wallis intensitas parasit Octolasmis spp pada

kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan

Kruskal-Wallis Test

Ranks

Parasit N Mean Rank

Pinrang crypid 23 32.04

Octolasmis angulata 24 42.75

Octolasmis cor 21 38.36

Octolasmis spp 5 26.50

Total 73

Wajo crypid 32 39.61

Octolasmis angulata 39 58.58

Octolasmis cor 26 68.04

Octolasmis spp 9 38.89

Total 106

Maros crypid 19 29.03

Octolasmis angulata 22 36.02

Octolasmis cor 17 30.68

Octolasmis spp 4 21.88

Total 62

Luwu Timur crypid 4 4.38

Page 96: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

79

Octolasmis angulata 5 7.20

Octolasmis cor 2 6.25

Total 11

Test Statisticsa,b

Pinrang Wajo Maros Luwu Timur

Chi-Square 4.369 15.513 3.094 1.712

df 3 3 3 2

Asymp. Sig. .224 .001 .377 .425

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Parasit

Berdasarkan perhitungan diatas, maka hipotesis nol diterima pada daerah

wajo, hal ini karena signifikan asymtot yang dihasilkan lebih keci 0,001 dari

yang biasa digunakan yakni 0,05 (P<0,05) sehingga menunjukan ada

perbedaan intensitas setiap spesies antara keempat lokasi tersebut

Page 97: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

80

Lampiran 8. Hasil Uji intensitas Mann-Whitney parasit Octolasmis spp pada

kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan

Mann-Whitney Test

Ranks

grup N Mean Rank Sum of Ranks

Intensitas Maros 29 16.90 490.00

Luwu Timur 5 21.00 105.00

Total 34

Test Statisticsb

Intensitas

Mann-Whitney U 55.000

Wilcoxon W 490.000

Z -.855

Asymp. Sig. (2-tailed) .393

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .420a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: grup

Page 98: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

81

Mann-Whitney Test

Ranks

Grup N Mean Rank Sum of Ranks

Intensitas Wajo 36 22.04 793.50

Luwu Timur 5 13.50 67.50

Total 41

Test Statisticsb

Intensitas

Mann-Whitney U 52.500

Wilcoxon W 67.500

Z -1.496

Asymp. Sig. (2-tailed) .135

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .139a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: grup

Page 99: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

82

Mann-Whitney Test

Ranks

grup N Mean Rank Sum of Ranks

Intensitas Wajo 36 41.92 1509.00

Maros 29 21.93 636.00

Total 65

Test Statisticsa

Intensitas

Mann-Whitney U 201.000

Wilcoxon W 636.000

Z -4.241

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Grouping Variable: grup

Page 100: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

83

Mann-Whitney Test

Ranks

Grup N Mean Rank Sum of Ranks

Intensitas Pinrang 28 17.61 493.00

Luwu Timur 5 13.60 68.00

Total 33

Test Statisticsb

Intensitas

Mann-Whitney U 53.000

Wilcoxon W 68.000

Z -.855

Asymp. Sig. (2-tailed) .393

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .419a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: grup

Page 101: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

84

Mann-Whitney Test

Ranks

grup N Mean Rank Sum of Ranks

Intensitas Pinrang 28 37.32 1045.00

Maros 29 20.97 608.00

Total 57

Test Statisticsa

Intensitas

Mann-Whitney U 173.000

Wilcoxon W 608.000

Z -3.727

Asymp. Sig. (2-tailed) .000

a. Grouping Variable: grup

Page 102: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

85

Mann-Whitney Test

Ranks

Grup N Mean Rank Sum of Ranks

Intensitas Pinrang 28 27.88 780.50

Wajo 36 36.10 1299.50

Total 64

Test Statisticsa

Intensitas

Mann-Whitney U 374.500

Wilcoxon W 780.500

Z -1.754

Asymp. Sig. (2-tailed) .079

a. Grouping Variable: grup

Page 103: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

86

LAMPIRAN 9. Hasil uji Korelasi Pearson antara panjang karapaks dan jumlah

parasit yang terinfestasi

Correlations

panjang

karapaks jumlah investasi

panjang karapaks Pearson Correlation 1 .225**

Sig. (2-tailed) .001

N 200 200

jumlah investasi Pearson Correlation .225** 1

Sig. (2-tailed) .001

N 200 200

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari tabel correlations diatas terlihat bahwa korelasi Pearson Product

Moment r = 0,225 dan P-value = 0,001 lebih kecil dari α = 0,01 atau P<0,01.

Maka H0 = ditolak

Kesimpulan ada hubungan linier yang signifikan antara panjang karapaks dan

jumlah infestasi.

Page 104: IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/DigitalCollection/MzVkZ… · Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

87

LAMPIRAN 10. Hasil uji Korelasi Pearson antara bahan organik dan

prevalensi

Correlations

panjang

karapaks jumlah investasi

panjang karapaks Pearson Correlation 1 .225**

Sig. (2-tailed) .001

N 200 200

jumlah investasi Pearson Correlation .225** 1

Sig. (2-tailed) .001

N 200 200

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari tabel correlations diatas terlihat bahwa korelasi Pearson Product

Moment r = 0,225 dan P-value = 0,001 lebih kecil dari α = 0,01 atau P<0,01.

Maka H0 = ditolak

Kesimpulan ada hubungan linier yang signifikan antara panjang karapaks dan

jumlah infestasi.