IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT...
Transcript of IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT...
i
IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT SERANGAN
EKTOPARASIT OCTOLASMIS SPP PADA KEPITING BAKAU SCYLLA
SPP DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN
MORPHOLOGY, MOLECULAR IDENTIFICATION AND INFESTATION
LEVEL OF ECTOPARASITE OCTOLASMIS SPP ON MUD CRAB SCYLLA
SPP IN SOUTH SULAWESI
SUTIANTO PRATAMA SUHERMAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
IDENTIFIKASI MORFOLOGI, MOLEKULER DAN TINGKAT SERANGAN
EKTOPARASIT OCTOLASMIS SPP PADA KEPITING BAKAU SCYLLA
SPP DI PERAIRAN SULAWESI SELATAN
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Ilmu Perikanan
Disusun dan diajukan oleh
SUTIANTO PRATAMA SUHERMAN
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Sutianto Pratama Suherman
Nomor Mahasiswa : P3300211415
Program Studi : Ilmu Perikanan
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambil alihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari
terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini
hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.
Makassar, 15 Oktober 2013
Yang Menyatakan
Sutianto Pratama Suherman
v
PRAKATA
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT berkat Rahmat dan
Hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan.
Tulisan ini merupakan hasil penelitian yang telah penulis lakukan sejak awal
bulan Juni 2013. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
dalam pengembangan budidaya, khususnya penanggulangan penyakit dan
parasit
Dalam penyusunan tesis ini penulis banyak menghadapi kendala
tetapi atas petunjuk, bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak
khususnya komisi penasehat, sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan
tepat pada waktunya. Untuk itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang tulus kepada bapak Dr. Ir. Hilal Anshary, M.Sc, sebagai ketua Komisi
Penasehat dan Prof. Dr. Ir. Yushinta Fujaya, M.Si, sebagai anggota Komisi
Penasehat yang telah banyak meluangkan waktu dan mencurahkan
perhatian dan pikiran untuk mengarahkan penulis mulai dari awal hingga
akhir penelitian dan penulisan tesis
Dengan segala kerendahan hati penulis juga meyampaikan terima
kasih kepada bapak Prof Ir Achmar Mallawa, DEA, selaku Ketua Program
Studi Pascasarjana Ilmu Perikanan, Bapak Prof. Dr. Ir. Alexander
vi
Ratetondok, M.Fish.Sc, Bapak Dr.Ir. Gunarto Latama, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Siti
Aslamyah. M.Si. selaku tim dosen penguji. Bapak dan ibu dosen-dosen
pengajar Program Studi Ilmu Perikanan Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin. Rekan-rekan Pascasarjana 2011 Ilmu Perikanan Terima kasih
atas semua dukungannya, serta tak kalah besar perannya Yulistiani Dumbi
yang telah memberikan support kepada penulis.
Akhirnya penulis dengan segala hormat mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada ayahanda Suherman Moonti dan Ibunda Drs. Tuti
Wantu, M.Pd, Kons., beserta adik-adikku Israwandi Suherman dan
Rahmawati Moonti, tak lupa pula Bino Moonti atas dorongan moril, Materil
dan doa yang tak putus-putusnya sehingga meringankan langka penulis
untuk menghadapi segala kesulitan.
Penulis menyadari bahwa keterbatasan penulis membuat tulisan ini
masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya tiada harapan selain Ridha Allah
SWT atas jerih payah dan jasa kita semua serta limpahan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya tetap tercurah pada kita sekalian. Amin.
Penulis
Sutianto Pratama Suherman
vii
viii
ix
RIWAYAT HIDUP
Sutianto Pratama Suherman, dilahirkan di Gorontalo
pada tanggal 14 Agustus 1987. Anak pertama dari 2
bersaudara, anak dari pasangan Suherman Moonti Amd.akt
dan Dra. Tuti Wantu M.Pd,kons. Penulis mengawali
pendidikan formal di TK Bustanul Atfal 2 dan melanjutkannya di SDN 59 Kota
Utara. Tahun 1999 penulis melanjutkan studi di Madrasah Tsanawiyah
Pondok Pesantren Hubulo dan tahun 2002 di MAN Insan Cendekia
Gorontalo. Pada tahun 2005 penulis diterima di Universitas Hasanuddin
Makassar melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru pada program
studi Budidaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan. Tahun 2007 penulis pindah di Universitas Muslim Indonesia pada
jurusan yang sama. Untuk menyelesaikan Studi penulis menyelesaikan
penelitian dengan judul “Pengaruh Pergiliran Probiotik Terhadap Kualitas Air
dan Sintasan Udang Windu Skala Laboratorium”. Pada Tahun 2011 penulis
melanjutkan pendidikan magister di program studi Ilmu Perikanan
Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Selama mengikuti program magister,
penulis telah mengikuti berbegai kegiatan seminar yang berhubungan
tentang budidaya perikanan
x
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang 1
B. Rumusan masalah 3
C. Tujuan Penelitian 4
D. Kegunaan Penelitian 5
E. Hipotesis 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi kepiting bakau 6
B. Penyebaran dan Habitat 8
C. Siklus Hidup dan Reproduksi 8
D. Pakan dan Kebiasaan Makan 9
E. Biologi Octolasmis spp 10
F. Siklus Hidup Octolasmis spp 15
xi
G. Infestasi larva cyprid (Octolasmis spp) 17
H. Pengaruh Bahan Organik Terhadap
Penyakit
17
I. Perkembangan Penelitian Molekuler
Octolasmis spp
18
J. Patologi Octolasmis spp 21
K. Kerangka Pikir 23
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan lokasi penelitian 25
B. Bahan dan metode 26
C. Analisis Data 31
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi karakteristik Morfologi 33
B. Karakterisasi Molekuler Octolasmis spp 38
C. Tingkat Serangan Parasit Octolasmis spp 41
D. Histopatologi Octolasmis spp 51
V. PENUTUP
A. Kesimpulan 55
B. Saran 55
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Kategori Prevalensi Serangan Parasit (Schmidt. 2008) 32 2
Klasifikasi konsentrasi bahan organik (Sulaeman.2005)
32
3
Jumlah total serangan parasit Octolasmis spp dan
parameter lingkungannya
46
xiii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Kepiting Bakau (Scylla spp)……………………………………
7
2 Siklus Hidup Kepiting Bakau………………………………….
9
3 Morfologi Octolasmis spp………………………………………
11
4 Beberapa jenis Octolasmis spp dari teluk sebelah utara Thailand (a) Octolasmis angulata; (b) O. cor; (c) O. lowei; (d) O. neptuni; (e) O. tridens; dan (f) O. warwickii. (Jeffries et al, 2005)…………………………………
13
5 Siklus Hidup Octolasmis spp……………………………………
16
6 Bentuk gen rDNA…………………………………………………
19
7 Bentuk gen mitokondria…………………………………………
20
8 Semen sel Octolasmis mulleri pada permukaan insang……
22
9 Kerangka Pikir……………………………………………………
23
10 Peta Pengambilan Sampel……………………………………..
25
11 Bagian-bagian morfologi Octolasmis spp……………………
27
12 Lokasi Pemotongan Histopatologi……………………………..
29
13 Infestasi parasit Octolasmis spp pada insang bagian dalam kepiting bakau yang tertangkap di 4 kabupaten di Sulawes Selatan……………………………………….
33
14 a) Morfologi Octolasmis cor pada kepiting bakau yang tertangkap di Sulawesi selatan, b) gambar O.cor (Chan et al .2012) ket: 1) scutum, 2) Carina………………………
35
15 a) Morfologi Octolasmis angulata pada kepiting bakau yang
xiv
tertangkap di Sulawesi Selatan b) gambar Octolasmis angulata (Chan et al .2012) ket 1) scutum, 2) Carina…….
36
16 Larva cyprid Octolasmis spp pada kepiting bakau…………..
37
17 Perbedaan morfologi (a) O.angulata (b) O.cor dan (c) Octolasmis spp yang………………………………………
37
18 Hasil amplifikasi DNA pada gel agarose 1,5 %......................
39
19 Histogram prevalensi serangan parasit Octolasmis spp pada 4 Kabupaten………………………………………………….
42
20 Histogram intensitas serangan parasit Octolasmis spp pada kepiting bakau (Scylla spp) di 4 kabupaten………………
44
21 Grafik hubungan panjang total karapaks kepiting bakau dengan jumlah parasit Octolasmis spp yang menginfestasi kepiting tersebut……………………………
49
22 Histopatologi Octolasmis spp pada insang kepiting bakau 1
52
23 Histopatologi parasit Octolasmis spp insang kepiting bakau 2………………………………………………………………
53
xv
DAFTAR LAMPIRAN
No Halaman
1 Hasil pensejajaran sekuens mtDNA O.angulata, O.cor, O.sp dan O.lowei pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan…………………..
62
2 Hasil pensejajaran sekuens 18s DNA O.angulata, O.cor, O.sp dan O.lowei pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan…………..
63
3 Hasil pensejajaran sekuens 28s DNA O.angulata, O.cor, O.sp dan O.lowei pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan………….
65
4 Data tingkat infestasi Octolasmis spp pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan
67
5 Hasil pengkuran parameter lingkungan di empat kabupaten pengambilan sampel kepiting bakau
76
6 Hasil Uji Chi-square prevalensi parasit Octolasmis spp pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan………………………………….
78
7 Hasil Uji Kruskal-Wallis intensitas parasit Octolasmis spp pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan…………………………………..
79
8 Hasil Uji intensitas Mann-Whitney parasit Octolasmis spp pada kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan…………………………………..
81
9 Hasil uji Korelasi Pearson antara panjang karapaks dan jumlah parasit yang terinfestasi……………..
87
10 Hasil uji Korelasi Pearson antara bahan organik dan prevalensi…………………………………………..
88
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Kepiting bakau (Scylla spp) merupakan salah satu komoditas
perikanan yang hidup diperairan pantai, khususnya di hutan-hutan bakau
(mangrove). Karena rasanya yang lezat, kepiting bakau banyak digemari
oleh konsumen domestik dan mancanegara, sehingga kepiting bakau
menjadi salah satu komoditas ekspor yang bernilai ekonomis (Fujaya,
2012).
Benih kepiting bakau untuk budidaya di Indonesia masih
mengandalkan hasil tangkapan alam, khususnya di wilayah Sulawesi
Selatan. Benih hasil tangkapan dari alam sangat mungkin terinfestasi
berbagai jenis parasit antara lain Octolasmis spp (Jeffries et al,. 2005)
Parasit dapat berkembang lebih cepat bila kepiting dipindahkan pada
lingkungan budidaya. Hal ini dikarenakan karena siklus hidup Octolasmis
tidak memerlukan inang perantaran untuk menepel pada inang (Jeffries et
al 1995). Kondisi budidaya dengan padat penebaran tinggi serta kualitas
air yang menurun, perkembangan parasit tersebut dalam populasi menjadi
sangat cepat. Tingkat intesitas serangan parasit Octolasmis spp dari benih
kepiting tangkapan alam di Sidoarjo mencapai 65,259 % ketika
dibesarkan dalam tambak (Irvansyah et al, 2012)
Octolasmis spp sering ditemukan menempel pada permukaan dan
celah-celah insang kepiting bakau (Jeffries et al. 1989). Kondisi ini
2
mengakibatkan terganggunya proses respirasi dan gangguan fisiologis
akibat pengurangan permukaan insang kepiting (Gannon et al., 1992).
Infestasi Octolasmis spp yang berat diduga merupakan potensi
ancaman terhadap perkembangan budidaya kepiting bakau, sehingga
dapat memberikan dampak negatif terhadap pendapatan ekonomi
masyarakat terutama petambak kepiting bakau. Tingkat serangan penyakit
disuatu perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dari perairan
tersebut, kondisi perairan yang buruk akan memicu terjadinya stress dan
mengakibatkan inang mudah diserang oleh berbagai macam penyakit
(Austin dan Austin, 1999). Oleh sebab itu analisis yang tepat tentang
pengaruh parameter lingkungan terhadap tingkat serangan penyakit di
suatu perairan sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat mortalitas
pada pemeliharaan kepiting bakau yang disebabkan oleh serangan
penyakit khususnya Octolamis spp .
Octolasmis spp terdiri atas beberapa spesies dan digolongkan
berdasarkan jumlah capitular, scutum, tergum dan carina (Jeffries et al.,
2005). Namun demikian teknik identifikasi Octolasmis spp secara
morfologi memiliki keterbatasan dan hanya bisa diaplikasikan pada saat
parasit ini memasuki fase remaja atau dewasa, sedangkan pada fase
larva atau cryprid teknik ini belum dapat diaplikasikan. Hal ini disebabkan
pada fase cypird karakteristik morfologi belum terbentuk sehingga cukup
sulit diidentifikasi. Pengetahuan terhadap spesies sangat dibutuhkan
karena setiap spesies memilki respon terhadap lingkungan maupun bahan
kimia yang berbeda. Untuk menyelesaikan masalah ini diperlukan
3
karakterisasi secara molekuler dari Octolasmis spp melalui PCR dan
sequencing. Saat ini, beberapa kerabat terdekat parasit Octolasmis spp
(subclass : Cirripedia) telah didentifikasi dengan menggunakan metode
PCR dan squencing pada daerah terkonservasi 18S rDNA (Glenner et al,
2006; P´erez-Losada et al, 2004)
Penelitian tentang jenis Octolasmis spp sebelumnya telah dilakukan
di perairan hangat dunia seperti di perairan Singapura ditemukan 7 jenis
Octolasmis spp (Jeffries et al., 1982), di teluk Mexico ditemukan 4 jenis
(Jeffries et al, 2005) dan ditemukan di teluk sebelah utara Thailand 6 jenis
(Jeffries et al, 2005). Sedangkan untuk wilayah Indonesia organisme ini
sering ditemukan akan tetapi jenis, tingkat infestasinya dan kerusakan
jaringan yang ditimbulkan belum diketahui secara pasti. terutama pada
perairan Sulawesi Selatan
B. Rumusan Masalah
Kepiting bakau merupakan salah satu komoditas perikanan yang
digemari oleh konsumen domestik dan macanegara. Namun dalam
perkembangannya usaha ini memilki berbagai kendala diantaranya adalah
infestasi parasit. Salah satu parasit yang menyerang kepiting bakau
adalah Octolasmis spp. Parasit ini sering ditemukan pada insang kepiting
dan diduga memliki efek patologi yang menyebabkan terganggunya
pernapasan
Serangan parasit dalam jumlah banyak dapat mengganggu sistem
respirasi, sehingga pengaruh penempelan Octolasmis spp pada insang
4
perlu dianalisa sejauh mana kerusakan sel yang diakibatkan. Kepadatan
parasit ini juga sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Pengaruh
salinitas dan pencemaran bahan organik yang ada pada lingkungan
diduga sangat mempengaruhi kepadatan atau tingkat serangan parasit
pada kepiting. Penyebarannya yang masih belum teridentifikasi secara
pasti jenis, jumlah dan karesteristik spesies di perairan Indonesia terutama
di wilayah Sulawesi Selatan sehingga menjadi salah satu masalah yang
harus diselesaikan.
C. Tujuan Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah diatas maka penelitian ini
bertujuan :
1. Mengidentifikasi jenis Octolasmis spp pada kepiting bakau secara
morfologi dan mengkarakterisasi secara molekuler pada daerah
mtDNA,18S rDNA dan 28S rDNA di Sulawesi Selatan
2. Mengalisis tingkat keberadaan parasit pada populasi kepiting bakau
di Sulawesi Selatan
3. Menganalis kerusakan sel pada kepiting yang disebabkan oleh
parasit Octolasmis spp
4. Menganalisi pengaruh bahan organik terhadap tingkat serangan
Octolasmis spp.
D. Kegunaan Penelitian
5
Penelitian ini akan menjadi informasi pengembangan usaha
budidaya untuk meningkatkan produktifitas khususnya dalam masalah
penanggulangan parasit pada kepiting Bakau dan menambah
pengetahuan tetang jenis-jenis parasit.
E. Hipotesis
1. Terdapat lebih dari satu jenis Octolasmis spp yang mengifestasi
Kepiting bakau pada perairan Sulawesi Selatan
2. Octolasmis spp memilki efek patologi pada insang kepiting bakau
3. Tingkat infestasi Octolasmis spp berbeda untuk setiap populasi
kepiting pada lokasi yang berbeda
4. Tingkat serangan Octolasmis spp dipengaruhi oleh konsentrasi
bahan organik pada perairan
.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi kepiting bakau
Kepiting bakau merupakan organisme yang hidup pada habitat
lumpur di hutan bakau sehingga kepiting ini sering disebut kepiting
lumpur (Fujaya, 2012). Adapun ciri-ciri biologinya sebagai berikut
Kepiting bakau memiliki ukuran lebar karapaks lebih besar dari ukuran
panjang tubuhnya dengan permukaan licin. Pada tepi karapaks
tersebut terdapat duri-duri dengan total 24 duri yakni 6 duri diantara
sepasang mata dan 9 duri samping kanan dan kiri. Kepiting jantan
memilki sepasang capit lebih panjang dari karapaksnya sedangkan
betina relatif lebih pendek. Kepiting bakau memiliki 3 pasang kaki jalan
dan sepasang kaki renang yang beruas-ruas sedangkan menurut
Fujaya (2012) capit pada kepiting bakau merupakan sepasang kaki
yang berfungsi sebagai alat pemegang.
Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla spp)
7
Berdasarkan morfologi tersebut maka kepiting bakau dapat
diklasifikasikan kedalam:
Filum : Arthopoda (berkaki ruas)
Class : Crustacea (udang-udangan)
Ordo : Decapoda (bertungkai sepuluh)
Family : Portunidae (sepasang kaki terakhir berbentuk dayung)
Genus : Scylla spp
Kepiting bakau mempunyai beberapa spesies, yang secara sekilias
memilki perbedaan dari segi warna karapaks dan abdomen, ukuran tubuh
serta bentuk duri (Fujaya.2012). Beberapa kepiting bakau tersebut antara
lain : giant mud crab (Scylla serrata) dikenal sebagai kepiting bakau hijau,
purple mud crab (Scylla tranqubarica), white mud crab (Scylla
paramamosain), dan orange/red mud crab (Scylla olivacea). Keempat
kepiting bakau ini ditemukan di Indonesia.
B. Penyebaran dan Habitat
Hewan ini memiliki sebaran geografik yang luas meliputi wilayah
Indo-Pasifik, mulai dari teluk Mossel di Afrika Selatan sampai pantai Timur
Afrika. Ke Timur, dari India, Srilanka, Malaysia, Indonesia terus ke Filipina.
Penyebaran-nya ke Utara meliputi Thailand, Cina, dan Taiwan, sedangkan
ke Selatan meliputi Papua Nugini, Australia, dan pulau-pulau Selandia
Baru. Kepiting bakau juga terdapat pada beberapa pulau di Lautan Pasifik,
dengan kisaran kedalaman 0 sampai 32 meter. (Fujaya, 2012)
8
kepiting bakau bersifat euryhaline atau dapat hidup di perairan
dengan kisaran salinitas yang luas, (Afrianto dan Liviawati, 1993). Karena
itu, kepiting-kepiting muda banyak ditemukan di pesisir pantai atau di
muara sungai yang memiliki salinitas relatif rendah, bahkan di sungai yang
jauh dari laut dengan salinitas sekitar 5 ppt. (Fujaya, 2012)
C. Siklus Hidup dan Reproduksi
Kepiting bakau merupakan organisme dioecious artinya mempunyai
jenis kelamin jantan dan betina pada masing-masing individu.
(Kasry,1984) kepiting bakau yang siap melakukan perkawinan akan
memasuki hutan bakau dan tambak, selanjutnya secara perlahan akan
beruaya ke laut untuk melakukan pemijahan (Kanna.2002).
Gambar 2. Siklus Hidup Kepiting Bakau
Perkembangan kepiting bakau terdiri dari beberaoa fase (Gambar
2) mulai dari telur hingga mencapai ukuran dewasa mengalami beberapa
kali perubahan (metamorfosis), yaitu dimulai dari zoea yang terdiri atas 5
tingkatan (zoea 1-5), megalopa, crablet, dan kepiting dewasa. Larva
9
kepiting bakau stadia zoea bersifat planktonik, namun setelah mencapai
stadia megalopa sampai dewasa bersifat bentik dan suka membenamkan
diri ke dalam pasir atau lumpur. (Fujaya, 2012)
D. Pakan dan Kebiasaan Makan
Kepiting bakau dewasa termasuk jenis hewan pemakan segala dan
bangkai (Omnivorous scavenger). Pada saat larva, kepiting bakau
memakan plankton, dan pada saat juvenile menyukai detritus, sedangkan
kepiting dewasa menyukai ikan, udang, dan moluska terutama
kekerangan. Kepiting juga menyukai potongan daun terutama daun
mangrove.(Fujaya, 2012)
Kepiting dapat memanfaatkan bahan pakan dari tanaman yang
mengandung serat. Menurut Anderson et al. (2004) digestibility
(kecernaan) kepiting pada serat dan semua bahan baku pakan sumber
nabati sangat tinggi, yaitu berkisar antara 94,4-96,1%. Hasil investigasi
kontribusi mikroflofa dalam saluran pencernaan kepiting bakau
menunjukkan keberadaan enzim selulase pada saluran pencernaan
kepiting bakau diduga merupakan kontribusi mikroflora saluran
pencernaan. Keberadaan enzim selulase inilah yang memungkinkan
kepiting bakau mampu mencerna serat pakan (Aslamyah dan Fujaya,
2011).
E. Biologi Octolasmis spp
Organisme ini memiliki sebuah tangkai yang disebut peduncle
dan sebuah capitulum, yang biasanya dilindungi oleh cangkang batu
10
kapur. Tangkai atau peduncle berbentuk memanjang, anterior, pada
daerah preoral tubuh. (Praptiasih, 2010) Organisme ini dapat berkembang
biak secara hermaprodit maupun dengan jenis kelamin terpisah (Yusa et
al, 2010)
Gambar 3. Morfologi Octolasmis spp
a. Klasifikasi Octolasmis spp
Adapun klasifikasi dari Octolasmis spp adalah sebagai Berikut :
Kingdom : Animalia
phylum :Arthropoda
class :Maxillopoda
subclass :Cirripedia
superorder :Thoracica
order :Lepadiformes Buckeridge & Newman, 2006
suborder :Lepadomorpha Pilsbry, 1916
family :Poecilasmatidae Annandale, 1909
genus Octolasmis, Gray, 1825
11
Jenis-jenis Octolasmis spp
Beberapa jenis octolasmis yang telah ditemukan di Asia antara lain
1. Octolasmis angulata
Ciri-ciri panjang capitula 2.40± 0.34 mm, 3 piringan capitular
yang tidak lengkap , 2 scutum dan 1 carina (Voris and Jeffries, 1997)
Disebut juga sebagai Dichelaspis angulata (Aurivillius, 1894) yang
ditemukan pada ruang insang Palinuridae dari Laut Jawa (Daniel
.1955). dan dari beberapa spesies dari family Calappidae, Palinuridae,
Portunidae, Majidae, Menippidae, Portunidae, dan Xanthidae).
Octolasmis angulata ditemukan juga dalam ruang insang Rajungan
Charybdis callianassa, Spesies ini umumnya ditemukan menempel
pada kutikula dinding bagian dalam dinding ruang anterior pada
lapisan epibranchial dan pada lembar insang. Octolasmis angulata
sering ditemukan juga melekat pada membran ruang insang kepiting
dan lobster Panulirus polyphagus (Jeffries et al., 1982)
2. Octolasmis cor
Ciri-ciri panjang capitula 2.53±0.43 mm, 3 piringan capitular
lengkap, 2 scutum dan 1 carina. Disebut juga sebagai Dichelaspis cor
(Aurivillius, 1894) dan ditemukan pada ruang insang decapoda Famili
Portunidae dan Scyllaridae (Jeffries et al., 1982)
3. Octolasmis lowei
Ciri-ciri panjang capitula 3.29±0.29 mm, 5 piringan capitular
kurang lengkap, 2 scutum 2 tergum dan 1 carina Dideskripsikan juga
sebagai Dichelaspis lowei (Darwin,1851). Species ini dapat ditemui
12
pada daerah insang Crustacea golongan Palinuridae, Portunidae dan
Scyllaridae (Jeffries et al, 2005)
Gambar 4. Beberapa jenis Octolasmis spp dari teluk sebelah utara
Thailand (a) Octolasmis angulata; (b) O. cor; (c) O. lowei; (d) O. neptuni; (e) O. tridens; and (f) O. warwickii. (Jeffries et al, 2005)
4. Octolasmis neptuni
Ciri-ciri panjang capitula 1.43±0.25 mm, 5 piringan capitular
kurang lengkap, 2 scutum 2 tergum dan 1 carina (Voris et al, 1997)
Disebut juga sebagai Dichelaspis neptuni oleh MacDonald (1869) yang
ditemukan pada insang dari golongan Portunidae. Species ini
ditemukan juga dalam ruang insang spesies dari family Menippidae
danScyllaridae (Jeffries et al., 1982).
5. Octolasmis tridens
13
Ciri-ciri panjang capitula 2.56±0.25 mm, 5 piringan capitular
lengkap, 2 scutum 2 tergum dan 1 carina (Voris et al., 1997) menurut
pengamatan Daniel (1955) spesies ini sering terdapat dalam jumlah
besar pada bagian luar; pada antenna mandibula, maksila dan
maksiliped, pada bagian luar mulut, pada pangkal chelae, di sekitar
bagian kaki, di dasar epipodit, podobranch dan arthrobranch dan pada
lapisan excurent branchial.dan pintu masuk ruang insang, pada bagian
dalam ditemukan pada karapas bagian dalam dan melekat pada
bagian dalam insang. Inang terdiri dari keluarga Portunidae,
Scyllaridae, dan Menippidae.
6. Octolasmis warwickii
Ciri-ciri panjang capitula 6.06±0.74mm, 5 piringan capitular
lengkap, 2 scutum 2 tergum dan 1 carina (Voris et al., 1997) Species
ini juga dikenal dengan nama Dichelaspis equina oleh Lanchester
(1902) pada spesies Portunidae. Biasanya dapat dijumpai pada
exoskeleton dari decapoda dari famili Dorippidae, Leucosiidae,
Majidae, Menippidae, Portunidae, Scyllaridae dan Xanthidae. (Jeffries
et al., 1982)
Octolasmis warwickii selalu menempel pada bagian eksternal
karapas, antenna, bagian proksimal kaki jalan, kadang ditemukan juga
pada bagian perut. Biasanya pada bagian dorsal carapace, ditemukan
sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil, dan kadang-kadang
menancap pada dasar anggota tubuh.
14
F. Siklus Hidup Octolasmis spp
Pertumbuhan Octolasmis terjadi melalui serangkaian moulting,
Siklus hidup spesies Octolasmis meliputi enam nauplius (N1 - N6) dan
satu tahap larva cyprid. Rata-rata diperlukan sembilan hari dari
kemunculan massa telur pada induk hingga pelepasan larva N1. Pada
kondisi tersebut diperlukan 27 hari dari kemunculan pertama massa telur
untuk larva cyprid pertama. Perubahan dari N1 – N6 terjadi hanya dalam
waktu delapan hari, namun terjadi peningkatan panjang yang cukup besar
hingga mencapai duabelas kali. (Jeffries et al 1995)
Menurut Praptiasih.(2010) dalam jangka waktu tersebut, naupliar
menangkap, menelan, mencerna, dan menyimpan cadangan makanan
yang cukup untuk:
1. mendukung metamorfosis tubuh menuju morfologi yang berbeda,
yaitu tahap larva cyprid, yang tidak makan;
2. menyediakan energi untuk kegiatan cyprid berenang dan
menjelajah, untuk pencarian dan identifikasi inang, pemukiman dan
perlekatan
3. mendukung metamorfosis ke bentuk morfologi selanjutnya.
Berakhirnya proses ini, siklus hidup akan terus berulang.
Metamorfosis Cirripedia diawali oleh larva cyprid yang berenang bebas.
Metamorfosis mengarah pada pembentukan Juvenile Octolasmis di bawah
carapas cyprid dengan ukuran lebih kecil daripada organisme dewasa.
15
Larva Ciprid melakukan penetrasi ke dalam kutikula inang, dan
menyuntikkan bahan parasit langsung ke haemolymph dari inang. Untuk
lebih jelas dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 5. Siklus Hidup Octolasmis spp G. Infestasi larva cyprid (Octolasmis spp)
Peran mendasar dari larva cyprid adalah dalam memilih spesies
inang yang sesuai, mencari tempat yang cocok pada inang, kemudian
menetap dan bermetamorfosis. Para Octolasmis spp remaja dan dewasa
akan secara permanen menempati lokasi yang telah dipilih cyprid. Larva
cyprid menancapkan dirinya ke exoskeleton dari inang dan menyaring
partikel makanan. Octolasmis sp dewasa secara permanen menancap
pada inang dan siklus hidup dikendalikan oleh periode moulting dari inang.
(Jeffries et al ,1995)
16
Keberhasilan reproduksi Octolasmis sp tergantung pada
kematangan Octolasmis sebelum inang mengalami moulting. Jadi untuk
mencapai keberhasilan reproduksi, sebuah cyprid larva harus memilih
inang dengan periode moulting yang cukup untuk menancapkan diri, dan
bermetamorfosis menuju bentuk dewasa, bertelur dan melepaskan nauplii.
(Praptiasih, 2010)
Umumnya spesies Octolasmis sp terjadi pada lebih dari satu
species dan hanya sedikit yang memiliki host spesifik. Sebagian besar
memiliki dua atau lebih species inang. (Kumaravel et al. 2009)
H. Pengaruh Bahan Organik Terhadap Penyakit
Lingkungan merupakan salah satu penyebab penyakit dari 3 faktor-
faktor yang menyebabkan penyakit yakni inang dan patogen itu sendiri
selain itu faktor lingkungan juga disebut sebagai faktor stessor eksternal
yang sangat mempengaruhi tingkat stress organisme perairan (Austin dan
Austin.1999)
Menurut Irianto (2004) ada 5 faktor lingkungan yang menyebabkan
perubahan parasit dan bakteri patogen menjadi patogenik antara lain
adanya perubahan dalam: konsentrasi oksigen, karbondioksida, amoniak,
kandungan materi organik dan populasi mikroba. Perubahan faktor
tersebut hingga batas waktu tertentu dapat mengakibatkan stress dan
timbulnya penyakit
Menurut Pariwono (1996), bahan organik merupakan pencemar
perairan yang paling umum dijumpai, dan dampak yang ditimbulkannya
17
tidak langsung. Masalah yang ditimbulkannya adalah menurunkan
kandungan oksigen terlarut dan terjadi proses eutrofikasi. Proses
eutrofikasi merupakan proses penyuburan (pengayaan) yang menstimulir
pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (Effendi, 2003)
Octolasmis spp merupakan organisme pemakan plankton dan detritus
(Newman, 1970). sehingga proses eutrofikasi diduga mengakibatkan
kepadatan Octolasmis spp diperairan yang disebabkan kelimpahan
makanan dari Octolasmis spp.
I. Perkembangan Penelitian Molekuler Octolasmis spp
Setiap organisme dibentuk oleh sel yang dibagi menjadi dua jenis
yakni organisme sel satu (prokariot) dan bersel banyak (eukariot).
Octolasmis spp merupakan organisme eukariot yang bahan genetiknya
atau DNA berada didalam suatu membran nukleus sehingga mempunyai
struktur nukleus jelas. Selain itu organisme eukariot memilki beberapa
organel penting seperti mitokondria, retikulum endoplasma, badan golgi
dan lain (Yuwono, 2002).
DNA merupakan materi genetik yang mengkode semua informasi
yang dibutuhkan untuk proses metabolisme dalam setiap organisme.
Informasi genetik pada eukaryot terletak pada kedua untaian ganda DNA.
Artinya masing-masing untaian DNA dapat berfungsi sebagai bagian yang
mengkode sesuatu.(coding region) maupun yang tidak membawa
informasi genetic (non-coding region) (Yuwono.2002).
18
Menurut Yuwono (2002) gen pada jasad eukaryot dapat
dikelompokan menjadi 3 kelas antara lain: gen kelas1 yakni :5,8S rRNA,
18S rRNA dan 28S rRNA, gen kelas 2; mRNA, gen kelas 3 tRNA dan 5S
rRNA. Pada gen kelas 1, ketiga molekul ini digunakan dalam
pembentukan ribosom dan memilki tingkat konservasi yang sangat tinggi
sehingga digunakan sebagai penanda karakterisasi gen suatu spesies.
Gambar 6. Bentuk gen rDNA
Selain itu informasi karakterisasi gen terletak juga pada bagian
mitokondria. Berbeda dengan organel sel lainnya, mitokondria memiliki
materi genetik sendiri yang karakteristiknya berbeda dengan materi
genetik di inti sel. Mitokondria, sesuai dengan namanya, merupakan
rantai DNA yang terletak di bagian sel yang bernama mitokondria. DNA
mitokondria memiliki ciri-ciri yang berbeda dari DNA nukleus ditinjau dari
ukuran, jumlah gen, dan bentuk. Di antaranya adalah memiliki laju mutasi
yang lebih tinggi, yaitu sekitar 10-17 kali DNA inti (Balaresque et al, 2010).
Selain itu DNA mitokondria terdapat dalam jumlah banyak (lebih dari 1000
kopi) dalam tiap sel, sedangkan DNA inti hanya berjumlah dua kopi. Tidak
seperti DNA nukleus yang berbentuk linear, mtDNa berbentuk lingkaran.
19
Sebagian besar mtDNA membawa gen yang berfungsi dalam proses
respirasi sel (gambar 6).
Gambar 7. Bentuk gen mitokondria
Saat ini perkembangan karakterasi Octolasmis spp berbasis
molekuler telah dilakukan oleh beberapa peneliti seperti Glener et al.,
(2006) telah berhasil menemukan karakteristik DNA pada Octolasmis
lowei (nomor akses GenBank : L26518) di daerah 18S rDNA dengan
menggunkan primer dari Abele et al. (1992) Hal yang sama dilakukan
Perez et.al (2004) yang menggunakan primer dari Whiting et al., (1997)
pada daerah 18S rDNA
J. Patologi Octolasmis spp
Parasit Octolasmis spp sering ditemukan menepel pada insang
bagian luar dan dalam kepiting bakau. Penempelan Octolasmis spp pada
insang diduga mempengaruhi proses respirasi, dengan menjadi
kompetitor oksigen dan mengurangi permukaan insang yang tersedia
untuk respirasi. Hasmi dan Zaidi (1964) melaporkan bahwa parasit ini
20
menjadi penyebab matinya kepiting bakau Scylla spp akibat berkurangnya
efisiensi respirasi. Ganon dan Wheatly (1992) mempelajari pengaruh
Octolasmis mulleri pada pertukaran gas pada kepiting biru Calinectec
sapidus. berdasarkan hasil yang ditemukan bahwa tidak terjadi
peningkatan konsumsi oksigen (sama dengan Kontrol) pada kepiting akan
tetapi denyut nadi dan bailers insang (Scaphognathites) mengalami
peningkatan. Tingkat infestasi yang tinggi dapat mengakibatkan stess
bahkan kematian, sedangkan infestasi yang rendah belum merupakan
ancaman serius bagi populasi (Ganon dan Wheatly. 1992).
Gambar 8. Semen sel Octolasmi mulleri pada permukaan insang (d)
(Walker et al .1974)
Walker et al (1974) menganalisis histopatologi Octolasmi mulleri
pada insang kepiting biru Calinectec sapidus (Gambar.6), berdasarkan
hasil pengamatan bahwa terjadi penutupan permukaan insang yang
disebabkan penempelan semen oleh Octolasmis spp. semen gland
21
merupakan sel yang dihasilkan semua organisme dari class cirripedia
yang digunakan untuk menepel pada substrat (Newman.1970).
f. Kerangka Pikir
Gambar 9. Kerangka Pikir Penelitian
Benih Tangkapan Alam
Penyakit
Bakteri Virus Parasit
Ektoparasit Endoparasit
Octolasmis spp
Infestasi (serangan)
Parameter
Lingkungan
Intensitas,
Prevalensi
dan
Kelimpahan
deskifti
INFORMASI
PENGEMBANGAAN
BUDIDAYA
Penanggulangan penyakit
Histopatologi
BUDIDAYA KEPITING BAKAU
Identifikasi
Karakteristik
Morfologi dan
Molekuler Bahan Organik Salinitas
22
Kepiting bakau merupakan komoditas perikanan yang menjadi
salah satu menu favorit restoran domestik dan mancanegara, karena
rasanya yang gurih menyebabkan permintaan akan komoditas ini cukup
tinggi. Namun dalam perkembangannya, benih kepiting bakau untuk
budidaya di Indonesia masih mengandalkan hasil tangkapan alam,
khususnya di wilayah Sulawesi Selatan. Benih hasil tangkapan dari alam
sangat mungkin terinfestasi dan terinfeksi berbagai jenis patogen yang
disebabkan virus, bakteri dan parasit.
Salah satau parasit yang mengifestasi kepiting bakau adalah
Octolasmis spp. parasit ini tergolong sebagai ektoparasit sebab ditemukan
mengifestasi pada permukaan atau bagian luar tubuh kepiting. Infestasi
yang besar parasit ini akan menjadi ancaman bagi budidaya kepiting
bakau sehingga perlu dilakukan identifikasi morfologi dan molekuler sebab
parasit ini belum diketahui secara pasti jenis dan jumlahnya di Indonesia
khususnya di Sulawesi Selatan. Dampak langsung serangan parasit ini
pada insang belum diketahui sehingga analisis kerusakan sel perlu
dilakukan dengan pengamatan histopatologi terhadap insang yang
terinfestasi Octolasmis spp perlu dianalisis
Tingkat serangan seperti prevalensi, intensitas dan kelimpahan
parasit ini belum diamati dan diduga dipengaruhi oleh faktor lingkungan
perairan salah satunya bahan organik. Hasil dari semua analisis ini akan
menjadi pedoman sebagai informasi penanggulangan penyakit dan akan
digunakan pengembangan budidaya untuk meningkatkan produktifitas
kepiting bakau.
23
24
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2013.
Pengambilan sampel dilakukan di 4 lokasi yakni: 1) Dusun Labili-
bili, Kelurahan Telumpanua, Kecamatan Suppa. Kabupaten
Pinrang. 2) kelurahan Bulete, Kecamatan Pitumpanua, kabupaten
Wajo. 3) Dusun Panaikang, Kelurahan Pajukukang Kecamatan
Bontoa Kabupaten Maros, 4) Desa Malili, kecamatan Malili,
kabupaten Luwu Timur
Gambar 10. Peta Pengambilan Sampel
Pengukuran tingkat infestasi Octolasmis spp, Morfologi dan
molekuler dilakukan di Laboratorium Pararsit dan Penyakit Ikan
Universitas Hasanuddin Makassar. Sedangkan parameter
25
lingkungan diukur di Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya
Air Payau Maros
B. Bahan dan Metode
1. Metode Pengambilan Sampel
Sampel kepiting bakau diambil dari 4 lokasi pesisir perairan
mangrove di Provinsi Sulawesi Selatan yakni kabupaten Pinrang, Maros,
Siwa dan Luwu Timur. dengan jumlah sampel 50 ekor untuk setiap lokasi.
Sehingga total semua sampel kepiting bakau 200 ekor. Setiap sampel
diperiksa jenis kelamin, berat, panjang karapaks dan tingkat infestasi yakni
intensitas dan prevalensi ektoparasit Octolasmis spp pada organ insang.
Parasit yang terifestasi pada setiap kepiting bakau dikumpulkan di dalam
botol eppendrof yang berisi etanol 90%.
Sampel air dan tanah diambil dari lokasi yang diduga memiliki
kandungan bahan organik tinggi dengan menggunakan plastik sampel
(untuk tanah) dan botol sampel (untuk air)
2. Identifikasi Parasit
Sampel yang telah dikumpulkan pada botol eppendorf diletakan
pada cawan petri kemudian diamati karakteristik morfologi Octolasmis
spp, dengan menggunakan metode Jeffries et al (2005) yakni dengan
mengamati jumlah capitular, scutum, tergum dan carina seperti Gambar
11 sebagai penentu spesies. Pengamatan ini dilakukan dengan
menggunakan stereo mikroskop.
26
Gambar 11. Bagian-bagian morfologi Octolasmis sp
3. Karakterisasi molekuler
Ekstrasi DNA parasit Octolasmis spp dilakukan dengan
menggunakan DNA mini kit (Qiagen) mengikuti prosedur. Amplifikasi
DNA parasit Octolasmis spp. menggunakan metode Reaksi Rantai
Polimerase (PCR) dengan menggunakan 3 primer yakni universal primer
LCO1490/HCO2198 dengan susunan nukleotida forward 5’-
taacttcagggtgaccaaaaaatca-3’ dan reverse HCO2198 dengan susunan
nukleotida 5’-ggtcaacaatcataaagatattgg-3’ dan kedua primer yang
dirancang dengan menggunakan software clustal w untuk indikasi daerah
yang terkonservasi berdasarkan sekuen referensi dari database GenBank
di situs NCBI dan selanjutnya menggunakan software pearlprimer untuk
menentukan primer dari daerah yang terkonservai tersebut dari region
18S dan 28S rDNA. Produk PCR yang akan dihasilkan memperlihatkan
band pada ukuran sekitar 1500 bp. PCR dilakukan dalam 20 µL reaktan
yang mengandung 1 µL ekstraksi DNA , 10 µL Mster-Mix yang
mengandung d NTP, MgCl2, buffer, dan Taq-polymerase, 1 µL dari
masing-masing primer, corallload 2 µL, dan Destiolled water 5 µL
dengan kondisi PCR 94 0C 5 menit (initial Denaturation), 30 siklus
denaturasi pada suhu 94 0C 1 menit, annealing pada suhu 45 0C 1
27
menit, dan ekstension pada suhu 72 0C 1,5 menit dan final
extension pada suhu 72 0C 7 menit
Produk PCR selanjutnya dielektroforesis dalam gel agarose 1%
dalam larutan TBE 0.5X. Sebanyak 10 μL DNA hasil PCR dicampur
dengan 2 μL loading dye kemudian dimasukkan dalam sumur gel
elektroforesis. Elekrtoforesis dijalankan pada tegangan 100 volt selama 30
menit. Selanjutnya gel hasil elektroforesis diletakkan diatas UV
transluminator dan didokumentasikan menggunakan GelDoc
DNA hasil PCR dipurifikasi menggunakan Qiagen PCR Purification
Kit. Cara purifikasi dilakukan dengan cara mengikuti petunjuk kit.
Kemudian hasil PCR yang sudah dipurifikasi disekuen dengan
menggunakan sekuensing otomatis mesin ABI 3130xl Genetic Analyzer di
Laboratorium 1st Base di Singapura. Hasil sekuensing dianalisis dengan
program genetyx 7 untuk mendapatkan sekuens DNA dari gen COI, 18S
dan 28S. Runutan nukleotida Octolasmis spp disejajarkan berdasarkan
masing-masing gen yakni COI, 18S dan 28S sehingga terbentuk 3
kelompok runutan DNA. Pensejajaran ini dilakukan untuk melihat apakah
ada perbedaan nukleotida pada Octolasmis spp yang diuji
4. Parameter lingkungan.
Parameter yang diukur pada penelitian ini adalah kandungan bahan
organik dan salinitas. Data kandungan bahan organik yang diperoleh
secara langsung dari lokasi penelitian, untuk pengambilan sampel
penetuan wilayah pengambilan diambil berdasarkan tempat peletakan
rakkang atau jaring, kemudian sampel tersebut diisi dalam kantong
28
sampel yang telah disiapkan. Hal yang sama dilakukan pada air laut,
untuk mengukur salinitasnya.
Setelah itu sampel yang diperoleh dibawa ke laboratorium untuk
mengetahui kadar bahan organik tanah dengan metode Walkey and
blacks dalam Menon (1972) dan salintas menggunakan refraktometer
5. Histopatologi
Studi histologi dilakukan pada organ insang yang terinfestasi dari
ektoparasit Octolasmis spp.Organ yang akan diamati dimasukan kedalam
larutan fiksatif Davidson (300 ml akuades, 200 ml formalin (37%
formaldehyde), 100 mL glacial acetic acid dan 300 mL 95% alcohol ).
Setelah itu, dimasukan ke dalam blok paraffin. Organ yang telah diparafini
dipotong tepat pada bagian yang terifestasi parasit dengan menggunakan
mikrotom pada ukuran pomotongan berkisar antara 3-5 µm, kemudian
diendapkan dalam gelatin (1% pada suhu 480 C) dan diletakan pada
obyek glass.
Gambar 12. Lokasi pemotongan histopatologi
29
Preparat sediaan jaringan direndam dengan xylol I dan II masing-
masing selama 2 menit.(Deparafinsasi). Alcohol absolute I danII masing-
masing 1 menit dilanjutkan dengan alcohol 95 % I dan II masing 1 menit
(Rehidrasi). Pewarnaan preparat mengggunakan Haematoxilin dan eosin
selama 10 dan 1 menit, setelah itu memasuki proses dehidrasi
menggunakan alcohol 95 % I dan II satu celup, absolute alcohol I satu
celup. Absolute alcohol II 1 menit dan diakhiri dengan xylon I, II dan III
masing 2 menit. Proses terakhir (mounting) yakni penutupan dengan deck
glass menggunakan etelan.
30
C. Analisis Data
Data morfologi dan histopatologi dari parasit Octolasmis spp yang
diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan gambar.
Sedangkan analisi molekuler dianalisi dengan Analisis filogeni
menggunakan Genetix 7 berdasarkan metode pensejajaran nukleotida.
Adapun tingkat keberadaan parasit dianalisis secara deskriptif dengan
menggunakan gambar dan tabel. berdasakan intensitas dan prevalensi :
Hubungan antara panjang total karapaks kepiting bakau dengan
jumlah parasit yang menginfestasi dianalisis menggunakan korelasi
pearson. Hubungan antara prevalensi parasit dengan parameter
lingkungan dianalisis secara deskiptif berdasarkan Tabel 1 dan 2
31
Tabel 1. Kategori Prevalensi Serangan Parasit (Schmidt. 2008)
Tabel 2. Klasifikasi konsentrasi bahan organik (Sulaeman.2005)
Klasifikasi Presentase (%)
Sangat rendah <1
Rendah 1-2
Sedang 2-3
Tinggi 3-5
Sangat Tinggi >5
Karakteristik Prosentase Keterangan
Prevalensi Tinggi
> 65% Parasit dapat menyebabkan stress hingga terjadi kematian pada inangnya.
Prevalensi Sedang
30 – 65% Parasit dapat menyebabkan stress, namun tidak dapat terjadi kematian pada inangnya.
Prevalensi Rendah
1 – 30 % Parasit tidak dapat menyebabkan stress dan kematian pada inangnya.
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi karakteristik Morfologi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa
parasit Octolasmis spp merupakan parasit yang menginfestasi organ
insang kepiting bakau. Parasit ini sering ditemukan pada organ insang
bagian dalam (Gambar 13). Hal sesuai dengan pengamatan yang
dilakukan oleh Jeffries et al (2001) terhadap kepiting bakau Scylla serrata
di daerah estuaria sungai Newport, carteret dekat dengan sebelah timur
Beaufort Carolina. Ditemukan sekitar lebih 1000 parasit terinfestasi dalam
satu ekor kepiting dan paling banyak ditemukan di permukaan insang
bagian dalam, sehingga hampir menutupi sebagian besar permukaan
insang yang digunakan untuk proses respirasi.
Gambar 13. Infestasi parasit Octolasmis spp pada insang bagian dalam kepiting bakau yang tertangkap di 4 kabupaten di Sulawesi Selatan
33
Kumaravel et al (2009) melakukan pengamatan terhadap 189 ekor
dari populasi kepiting di wilayah parangipettai India, berdasarkan hasil
penelitian tersebut sekitar 50 ekor kepiting terifestasi oleh parasit
Octolasmis spp. Parasit ini ditemukan menempel pada permukaan insang,
yakni pada permukaan epibranchial, scaphognathite dan paling banyak
ditemukan pada bagian hypobranchial.
Secara umum, parasit ini dapat diidentifikasi berdasarkan
karakteristik morfologi dengan menggunakan bantuan mikroskop. Jeffries
et al (2005) telah menentukan karakeristik setiap spesies parasit ini
berdasarkan jumlah scutum, tergum dan carina. selain itu bentuk dari
cabang scutum juga dapat menjadi penentu karakteristik morfologi dari
setiap spesies ini.
Berdasarkan hasil identifikasi karakteristik morfologi parasit
Octolasmis spp. pada kepiting bakau Scylla spp yang ditemukan dari 4
lokasi provinsi Sulawesi Selatan, diketahui bahwa kepiting tersebut
terifestasi parasit Octolasmis angulata dan Octolasmis cor. Hasil ini
dibuktikan dengan jumlah cabang scutum, tergum dan carina yang berada
pada kedua parasit itu. pada Octolasmis cor jumlah cabang scutum terdiri
dari 2 cabang dan 1 carina (Gambar 14a), bentuk cabang scutum agak
melebar, sesuai dengan Gambar 14b (Chan et al .2012). Sedangkan
Octolasmis angulata memilki jumlah cabang scutum dan carina yang
sama dengan O.cor yakni 2 cabang scutum dan 1 carina (Gambar 15a)
akan tetapi bentuk ujung cabang scutum agak meruncing sesuai Gambar
15b (Chan et al .2012)
34
Jeffries et al (1989) melakukan pengamatan terhadap kepiting
bakau Scylla serrata yang berasal dari Indonesia dan Srilangka.
Berdasarkan hasil pengamatan ditemukan dua jenis yang sama yakni
Octolasmis angulata dan Octolasmis cor . Hal yang sama ditemukan pada
kepiting bakau Scylla spp yang berada di hutan mangrove tepat 2 km dari
kota Phuket, Thailand (Jeffries et al .1992) sedangkan Kumaravel et al
(2009) menemukan 5 jenis Octolasmis spp yakni O.angulata, O. lewei,
O.cor, O.warwickii, dan O.neptuni, pada S. Serrata dan S.Tranquebarica
di wilayah Parangipettai, India
Gambar 14. a) Morfologi Octolasmis cor pada kepiting bakau yang tertangkap di Sulawesi selatan, b) gambar O.cor (Chan et al .2012) ket: 1) scutum, 2) Carina
35
Gambar 15 a) Morfologi Octolasmis angulata pada kepiting bakau yang tertangkap di Sulawesi Selatan b) gambar Octolasmis angulata (Chan et al .2012) ket: 1) scutum, 2) Carina
Teknik identifikasi Octolasmis spp secara morfologi memiliki
keterbatasan dan hanya bisa diaplikasikan pada saat parasit ini memasuki
fase remaja atau dewasa sedangkan pada fase larva atau cryprid belum
dapat diaplikasikan. Hal ini disebabkan pada fase cypird karakteristik
morfologi belum terbentuk sehingga cukup sulit menentukan jenis spesies
dari parasit ini. Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan identifikasi
berbasis molekuler dengan melihat karakteristik molekuler dari Octolasmis
spp
Gambar 16. Larva cyprid Octolasmis spp pada kepiting bakau
36
Gambar 17. Perbedaan morfologi (a) O.angulata (b) O.cor dan (c) Octolasmis spp yang ditemukan di perairan Sulawesi Selatan.
Berdasarakan hasil penelitian di 4 lokasi penangkapan kepiting
bakau ditemukan beberapa larva cyprid Octolasmis spp yang terinfestasi
insang kepiting bakau (Gambar 16). Selain itu ditemukan salah satu
spesies memiliki bentuk morfologi yang berbeda dengan Octolasmis spp
yang berada pada perairan Singapura (Jeffries et al. 2005). Parasit ini
memiliki 2 scutum, satu carina dan tidak memilki tergum, ciri-ciri tersebut
sama dengan O.cor dan O.angulata akan tetapi memiliki bentuk
tergumnya berbeda dengan kedua parasit tersebut (Gambar 17) sehingga
sangat sulit untuk diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologi.
37
B. Karakterisasi Molekuler Octolasmis spp.
Empat sampel DNA yang digunakan terdiri dari Octolasmis
angulata, Octolasmis cor , Octolasmis spp diambil dari 4 lokasi
pengambilan sampel sedangkan salah satu Octolasmis lowei berasal dari
Aceh yang ditemukan terifestasi pada lobster. Dari masing-masing
sampel tersebut diamplifikasi pada daerah COI mtDNA, 18S dan 28S
sehingga total sampel pada penelitian ini berjumlah 12 sampel. Hasil
amplifikasi ketiga daerah menghasilkan pita berukuran 700 bp untuk
daerah COI mtDNA, 1500 untuk daerah 18S dan 28S (Gambar 18),
semua sampel menghasilkan pita yang cukup tebal hal ini menunjukan
bahwa kosentrasi DNA tersebut tinggi. Menurut Sunandar (2010)
keberhasilan amplifikasi PCR ditentukan oleh ada tidaknya site DNA atau
situs penempelan DNA. Sebab primer akan menempel pada genom DNA
yang memiliki susunan basa nukleotida yang komplemen dengan susunan
basa primer. Kualitas dan kuantitas DNA sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan dari proses PCR. Salah satu kualitas dapat dilihat dari
kemurnian dan ukuran genom DNA. Kemurnian yang rendah, misalnya
karena adanya metabolit sekunder, akan menghabat penempelan primer
pada susunan basa dan rantai DNA (Padmalatha & Prasad, 2006).
Ukuran templat DNA yang kecil dapat mengurangi peluang penempelan
primer pada templat.
38
Gambar 18. Hasil amplifikasi DNA pada gel agarose 1,5 % Ket. A. Octolasmis cor 1. LCO/HCO B. Octolasmis angulata 2. 18S F/R
C. Octolasmis spp 3. 28S F/R D. Octolasmis lowei
PT Genetika Science melakukan pre-test semua sampel produk
PCR untuk cek kualitas sampel sebelum dilakukan proses cycle
sequencing. Penurutan DNA dilakukan melalui 2 arah, yaitu forward dan
reverse. Berdasarkan pensejajaran berganda hasil sekuensing yang
diperoleh semua sampel memilki panjang nukleotida kurang 700 bp untuk
daerah mtDNA sedangkan untuk daerah 18S dan 28S kurang dari 1500
bp. Pada keduabelas sampel tersebut saat dilakukan persejajaran ganda
beberapa sampel sangat sulit dianalisi yakni pada sampel 1A (Octolasmis
cor mtDNA COI) dan 1C (Octolasmis cor 18S rDNA). Hal ini diduga
dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas DNA dan primer dapat berubah
selama proses pengiriman dan adanya pita DNA yang lain selain pita DNA
yang dikehendaki.
39
faktor suhu juga menjadi salah satu faktor pertimbnagan sebab
penggunaan suhu penempelan primer juga merupakan hal yang penting
dalam proses amplifikasi, karena pada tahap ini memungkinkan primer
forward dan reverse akan menempel secara spesifik pada kedua ujung
DNA cetakan. Menurut Newton et al., (1997), jika suhu penempelan primer
terlalu tinggi dari suhu optimum, menyebabkan primer tidak menempel
dengan DNA cetakan. Jika suhu penempelan primer terlalu rendah dari
suhu penempelan optimum menyebabkan mispriming, yaitu penempelan
primer pada tempat yang salah pada DNA cetakan sehingga dihasilkan
produk non spesifik. Oleh karena itu, dilakukan optimasi terhadap suhu
penempelan primer.
Kesepuluh hasil sekuens tersebut disejajarkan berdasarkan daerah
konservasi gen yakni mtDNA, 18S dan 28S sehingga terbentuk 3
kelompok pensejajaran (lampiran 1, lampiran 2 dan lampiran 3)
Berdasarkan hasil pensejajaran gen mtDNA COI, 18S rDNA dan 28S
rDNA menunjukan bahwa pada region mtDNA spesies O.sp dan O.cor
memilki susunan nukleotida yang sangat convers (tidak ada perbedaan)
akan tetapi region ini berhasil membedakan O.lowei. berdasarkan hasil
pengamatan terdapat 116 pasangan nukleotida yang berbeda dari O.lowei
terhadap kedua Octolasmis spp yang ditemukan. Hal yang sama terjadi
pada 18S rDNA dan 28S rDNA pada region 18 rDNA spesies O.cor,
O.angulata dan O.sp. yang ditemukan menunujukan susunan nukleotida
yang sangat conserve pada level spesies atau tidak ada perbedaan
susunan nukleotida akan tetapi region ini dapat membedakan gen
40
O.lowei. hasil pengamatan menunjukan terdapat 8 pasangan basa yang
berbeda dari Octolasmis lowei terhadap ketiga Octolasmis spp selain itu
gen 18S ternyata berhasil memisahkan antar populasi pada ordo
Rhizocephala dan Thoracica (Glenner et al, 2006). Sedangkan pada
region 28S rDNA menunjukan hal yang sama dengan 54 pasang basa
yang berbeda dari Octolasmis lowei dari Octolasmis spp yang ditemukan.
C. Tingkat Serangan Parasit Octolasmis spp
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama 1 bulan
terhadap 200 ekor (50 ekor untuk masing-masing lokasi) kepiting bakau
(Scylla paramamosain, S.Tranqubarica dan Scylla olivacea) yang
ditangkap dari kabupaten Pinrang, Siwa, Maros dan Luwu Timur, maka
diperoleh sebanyak 38 ekor kepiting bakau terinfestasi parasit Octolasmis
spp yang berasal dari Kabupaten Pinrang, 42 ekor dari Kabupaten Siwa,
29 ekor dari kabupaten Pangkep dan 5 ekor dari Kabupaten Luwu Timur.
Hasil perhitungan prevalensi serangan parasit Octolasmis spp dari
4 daerah tersebut seperti terlihat pada Gambar 19 dibawah ini.
41
Gambar 19. Histogram prevalensi serangan parasit Octolasmis spp pada 4 Kabupaten
Dari Gambar 22. di atas dapat dilihat bahwa parasit Octolasmis spp
menyerang sebagian kepiting bakau di 4 lokasi pengambilan sampel.
Dimana tingkat serangan tertinggi (berdasarkan klasifikasi prevalensi
Schmidt. 2008) terdapat pada Kabupaten Wajo dengan prevalensi 78 %
dari spesies Octolasmis angulata . Walker et al (2001) melakukan
pengamatan terhadap tingkat infestasi parasit Octolasmis angulata pada
52 ekor ranjungan Charibdis callianassa yang diambil dari beberapa
lokasi di pantai Moreton ,Queensland Australia. Berdasarkan hasil
pengamatan ditemukan 33 ekor ranjungan (15 ekor betina dan 18 ekor
jantan) terinfestasi parasit Octolasmis angulata. Sehingga nilai prevalensi
yang diperoleh 63.5%. Prevalensi terendah terdapat pada kabupaten
Luwu Timur dari spesies Octolasmis cor dengan nilai prevalensi 4 %. Hal
yang sama terjadi pada pengamatan Jefries et al (1994) terhadap populasi
42
kepiting bakau di bagian selatan Thailand, dimana prevalensi Octolasmis
angulata lebih besar (50%) dibandingkan dengan prevalensi Octolasmis
cor (30%).
Perbedaan prevalensi antara kedua spesies ini tidak hanya terjadi
karena O.angulata dan O.cor berdistribusi dengan sendirinya. Menurut
Voris et al.(1994) perilaku distribusi ini bisa saja dipengaruhi oleh faktor
arus, tetapi faktor lain seperti faktor historis dan biotik, layak menjadi
pertimbangan dan perlu dilakukan pengujian. Contoh perbedaan distribusi
Octolasmis angulata dan Octolasmis cor dikarenakan salah satu spesies
bisa hidup dari beberapa spesies inang. O.angulata ditemukan dapat
hidup pada 17 spesies inang sedangkan O.cor ditemukan pada 6 spesies
inang (Jeffries et al., 1982)
Contoh lain yang menjadi pertimbangan adalah suhu dari perairan.
sebab suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi infestasi
suatu parasit (Hilma,1993). setiap spesies Octolasmis spp memiliki suhu
optimum yang berbeda untuk perkembangan. Hal ini sesuai dengan
pengamatan Jeffries et al (1985) terhadap pengamatan suhu optimum
O.cor, hasil pengamatan tersebut ditemukan bahwa suhu optimum O.cor
berkisar antara 28,4-30,8 0C. Lang et al (1976) pada O.mulleri berkisar
antara 24-29 0C. Kondisi suhu perairan di 4 lokasi pengambilan sampel
diduga mendukung perkembangan O.angulata dibandingkan dengan
O.cor.
Bedasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-square
(lampiran 7) menunjukan bahwa adanya perbedaan prevalensi parasit
43
Octolasmis spp antara keempat lokasi pengambilan sampel dengan nilai
P-Value lebih besar dari α=0,01 (P<0,01)
Tingkat intensitas serangan parasit Octolasmis spp dari 4
Kabupaten memilki juga perbedaan. Hal ini dapat diamati pada gambar 20
di bawah ini
Gambar 20. Histogram intensitas serangan parasit Octolasmis spp pada
kepiting bakau (Scylla spp) di 4 kabupaten
Pada Gambar 23 terlihat bahwa ada perbedaan intensitas
serangan parasit Octolasmis spp di 4 kabupaten. Dari Gambar 20 terlihat
bahwa intensitas tertinggi terdapat pada Kabupaten Wajo dengan nilai
intensitas 29,90 individu/ekor dari spesies Octolasmis angulata dan
intensitas terendah terdapat pada Kabupaten Maros dengan nilai
intensitas 1,75 individu/ekor dari spesies Octolasmis spp.
Berdasarkan hasil analisis uji Kruskal-Wallis (Lampiran 8)
menunjukan adanya perbedaan intensitas setiap spesies pada satu lokasi
pengambilan sampel (P<0,01). Begitupula hasil uji Mann-Whitney
44
(Lampiran 9-15) menunjukan adanya perbedaan intensitas parasit
(P<0,05) antar lokasi pengambilan sampel.kepiting bakau
Parasit Octolasmis spp merupakan parasit yang tidak
membutuhkan inang perantara (Jeffries et al 1995). Pada fase larva atau
cyprid Octolasmis spp berenang mencari substrat yang cocok untuk
diserang. Ketika cyprid siap menyerang pada substrat, antena yang
mengandung kelenjar semen langsung tertancap pada substrat dan
kemudian menjalani fase-fase metamorfosis (Newman.1970). Parasit ini
menyerang insang kepiting bakau dengan cara masuk melalui rongga
respirasi dan langsung menyerang pada organ insang bagian dalam.
Presentase serangan pada organ insang bagian dalam lebih besar
dibandingkan dengan organ insang bagian luar ( Jeffries et al, 2001)
Intensitas yang tinggi dapat membahayakan kelangsungan hidup
kepiting bakau sebab semakin luas permukaan insang yang akan tertutupi
oleh parasit ini . Hal ini sesuai dengan pendapat Ganon dan Wheatly.
(1992) bahwa intensitas yang tinggi dari Octolasmis spp dapat menjadi
ancaman besar bagi kelangsungan hidup kepiting bakau karena
menggangu proses respirasi sehingga berdampak pada kematian,
sedangkan intesitas yang rendah tidak memilki pengaruh yang sangat
besar terhadap proses respirasi sehingga belum menjadi ancaman besar
bagi kelangsungan hidup kepiting bakau.
Tingkat serangan parasit Octolasmis spp yang berbeda di tiap
Kabupaten diduga dipengaruhi oleh faktor musim. Lerssutthichawal (2013)
melakukan pengamatan terhadap tingkat infestasi Octolasmis spp pada
45
kepiting orange Scylla olivacea di area tambak kepiting bakau wilayah
Kantung. Provinsi Trang. Thailand Selatan selama 12 bulan atau 1 tahun.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, diketahui bahwa perubahan
musim berpengaruh terhadap tingkat serangan parasit. Pada musim hujan
tingkat serangan atau kepadatan parasit lebih rendah dibandingkan
dengan musim kemarau. Hal ini dapat disimpulkan bahwa parasit
Octolasmis sp memiliki toleransi salinitas disebabkan oleh perubahan
musim. Berdasarkan hasil pengukuran salinitas dengan refraktometer
yang dilakukan di 4 lokasi pengambilan sampel pada Tabel 3 menunjukan
tidak ada perbedaan salinitas yang signifikan antara 4 lokasi pengambilan
sampel hanya saja salinitas pada kabupaten Luwu Timur relatif rendah
dibandingkan dengan 3 lokasi sampel lainnya yakni 25-27 ppt.
Irvansyah et al (2012) melakukan pengamatan terhadap tingkat
infestasi parasit pada kepiting bakau di tambak kabupaten Sidoarjo,
berdasarkan hasil pengamatan ditemukan tingkat infestasi atau prevalensi
tertinggi pada Octolasmis sp yakni mencapai 65,259 % dengan salintas
berkisar antara 30-35 ppt
Tabel 3. Jumlah total serangan parasit Octolasmis spp dan parameter
lingkungannya
Lokasi Jumlah kepiting yang diperiksa
Jumlah Kepiting Yang terinfestasi
Jumlah Total Parasit Octlasmis spp
Jumlah rata-rata parasit persampel
Prevalensi parasit (%)
Intensitas parasit
Kandungan bahan organik (%)
salinitas
Pinrang 50 38 750 19,24 ± 35,94 56% 26,78 3,13 % 29-32
Siwa 50 42 2241 44,82 ± 64,71 84% 53,36 7,09 % 28-30
Maros 50 29 274 5,48 ± 11,99 58% 9,45 4,40 % 28-31
Luwu Timur
50 5 73 1,46 ± 6,28 10% 14.6 0,7 % 25-27
46
Selain itu konsentrasi kandungan bahan organik perairan juga
diduga menjadi faktor lain yang menyebabkan tingginya tingkat serangan
parasit. sebab bahan organik merupakan salah satu perubahan laten
penyebaran penyakit (Irianto, 2004)
Menurut Sasimartoyo (2002) keadaan perairan di Indonesia baik
yang berada di perkotaan maupun di pedesaan sebagian besar telah
tercemar oleh bahan organik. Hal ini disebabkan oleh sisa pembuangan
tinja dan urin yang dibuang di sembarang tempat seperti tanah, sungai
dan laut. Limbah tinja dan urin mengakibatkan penumpukan bahan
organik pada lingkungan perairan, sehingga memicu terjadinya proses
eutrofikasi. Proses eutrofikasi akan mempengaruhi densitas atau
kepadatan fitoplankton serta detritus yang ada dalam perairan (Rioz et
al.1998), karena Octolasmis spp merupakan organisme pemakan plankton
dan detritus (Newman.1970) maka kelimpahan plankton (blooming) dan
detritus diduga mempengaruhi kelimpahan dari parasit ini.
Selain itu bahan organik juga sangat mempengaruhi tingkat stress
dari kepiting bakau. Salah satu bahan organik yang telah diamonifikasi
adalah amoniak. Amoniak di perairan diduga berasal dari sisa feses atau
limbah dapur dan ekskresi amanonia langsung dari organisme air yang
ditambah dari hasil pembuangan urin. Menurut Fujaya (2012) akumulasi
amoniak tinggi menyebabkan peningkatan aminogenesis sehingga terjadi
peningkatan konsumsi oksigen. Kondisi ini dapat mengakibatkan kepiting
menjadi stress sehingga mudah diserang penyakit.
47
Hal ini terbukti pada pengamatan 4 lokasi pengambilan sampel
kepiting bakau yakni kabupaten Pinrang, Wajo, Maros dan Luwu Timur
(Tabel 3). Pada Tabel 3. menunjukan adanya pengaruh kosentrasi bahan
organik dengan tingkat serangan parasit pada setiap lokasi, seperti pada
kabupaten Wajo, tingkat serangan atau prevalensi mencapai 78 % dengan
kosentrasi bahan organik mencapai 7.09 %. Berdasarkan klasifikasi
tingkat serangan (Schmidt. 2008) pada Tabel 1. Menunjukan tingkat
serangan parasit pada kabupaten siwa digolongkan dalam tingkat
prevalensi yang tinggi yakni > 65 %, kondisi ini dapat mengakibatkan
kepiting menjadi stess hingga mati, sedangkan klasifikasi konsentrasi
bahan organik berdasarkan Sulaeman.(2005) pada Tabel 2. menunjukan
konsentrasi yang tinggi yakni lebih besar dari 5 %. Berdasarkan hasil
analisis Korelasi Pearson (lampiran 16) menunjukan adanya pengaruh
konsentrasi bahan organik terhadap prevalensi serangan parasit
Octolasmis spp (P<0,01) pada setiap kabupaten.
Penelitian tentang pengaruh bahan organik terhadap infestasi
Octolasmis spp untuk saat ini belum dilakukan akan tetapi kerabat dekat
dari Octolasmis spp (Cirripedia) yakni Amphibalanus amphitrite
(Darwin,1845) telah digunakan sebagai bioindicator polusi bahan organik
di daerah estuaria Pernambuco, Brazil. (Farrapeira et al. 2010)
48
Gambar 21. Grafik hubungan panjang total karapaks kepiting bakau
dengan jumlah parasit Octolasmis spp yang menginfestasi kepiting tersebut.
Kisaran panjang karapaks yang diamati pada penelitian ini yaitu
berkisar antara 3,7 -11,3 cm dengan rata-rata untuk kepiting bakau dari
kabupaten Pinrang 6,58 ± 1,70 cm, Siwa 7,55 ± 0,89 cm, Maros 7,59 ±
0,75 cm dan Luwu Timur 7,94 ± 0,66 cm. Berdasarkan Gambar 21 diatas,
dapat dilihat bahwa adanya hubungan antara panjang karapaks dengan
jumlah parasit yang menginfestasi kepiting bakau. Hasil analisis statistik
menggunakan metode korelasi pearson menunjukan adanya hubungan
korelasi positif (P<0,01) antara panjang karapaks dan jumlah infestasi
parasit Octolamis spp pada kepiting bakau (lampiran 8). Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Jeffries et al (1992) di kota Phuket, Thailand
menunjukan bahwa adanya hubungan antara panjang karapaks kepiting
bakau dengan jumlah infestasi parasit Octolasmis spp.
Ada beberapa pengaruh yang diduga menjadi bahan
pertimbangan antara hubungan panjang kaprapaks kepiting bakau (Scylla
spp) dan Octolasmis spp. antara lain faktor perbedaan hambatan fisik
49
seperti ukuran lubang saluran pernapasan, ukuran insang, distribusi
makrohabitat dan microhabitat dan perilaku kepiting (Behavior)
Untuk menjadi faktor pembatas lubang saluran pernapasan
kepiting harus lebih kecil sehingga mengakibatkan larva/cyprid tidak bisa
masuk ke dalam insang. Panjang rata-rata pada 26 cyprid Octolasmis spp
berdasarkan penelitian Jeffries et al (1995) adalah 697 µm. sebagai
perbandingan rata-rata lebar dan tinggi lubang respirasi pada 5 kepiting
terkecil pada penelitian ini dengan panjang karapaks 3,7-5,1 cm adalah
1,5 x 1,0 mm. Berdasarkan perbandingan ukuran diatas jelas bahwa
ukuran lubang saluran pernapasan bukan merupakan faktor pembatas.
Jika faktor ukuran insang menjadi faktor pembatas maka akan
terlihat pada Gambar 21 di atas bahwa penambahan ukuran akan diikuti
dengan jumlah infestasi parasit, kasus Gambar 21 diatas dapat dilihat
sebagian kepiting yang besar (panjang karapaks >6 cm) tidak terifestasi
oleh parasit ini Berdasarkan hasil analisis korelasi pearson nilai r2 =
0,225 artinya hanya sebesar 22,5 % panjang karapaks berpengaruh
terhadap jumlah parasit Octolasmis spp.
Sampel kepiting bakau pada penelitian ini diambil dari 4 lokasi
yang berbeda dan setiap daerah memiliki infestasi yang berbeda (Tabel
3), sehingga pengaruh makrohabitat kepiting bakau diduga menjadi salah
satu pertimbangan jumlah infestasi parasit. Sedangkan menurut Jeffries et
al (1992) pengaruh perbedaan infestasi diduga dipengaruhi oleh faktor
ontogenetik dalam mikrohabitat, pergeseran kadar hormon (kemotaksis)
atau perubahan perilaku. Heasman (1980) melaporkan bahwa kepiting
50
bakau remaja banyak ditemukan bersembunyi di bawah bebatuan di
daerah terbuka, sedangkan kepiting yang lebih tua banyak ditemukan
bersembunyi di dalam liang. Belum diketahui secara pasti apakah
perbedaan ini memiliki dampak terhadap jumlah infestasi Octolasmis spp
D. Histopatologi Octolasmis spp.
Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis histopatologi irisan
insang kepiting bakau (Scylla spp) pada bagian yang terinfestasi parasit
Octolasmis spp (gambar 10). Dapat dilihat adanya kerusakan jaringan
yang diakibatkan serangan parasit Octolasmis spp.
Gambar 22. Histopatologi Octolasmis spp pada insang kepiting bakau (100X, HE).
Ket : PA = Parasit DH = Distal Hiperflasia SS = Semen Sel LS = Lamela Sekunder
51
Pada Gambar 22 diatas menunjukan adanya kerusakan pada
lamella sekunder yaitu distal hiperflasia. Kerusakan jaringan ini
disebabkan tertutupnya permukaan insang oleh semen sel parasit
Octolasmis spp. pada pangkal lamella sekunder yang menyebabkan
jaringan insang tersebut membengkak. Menurut Health (1987) kerusakan
insang seperti nekrosis, hyperflasia dan lepasnya epithelium akan
menghambat proses pertukaran gas pada insang sehingga
mengakibatkan oksigen yang dapat diikat untuk kebutuhan metabolisme
sangat sedikit, hal ini diduga dapat mengakibatkan kematian.
Ditambahkan pula oleh Takashima dan Hibiya (1995) bahwa hyperflasia
disebabkan oleh adanya serangan parasit, tingginya kepadatan dan
tingginya kosentrasi bahan-bahan terlarut. Hyperflasia memacu
pertambahan produksi lendir yang dapat menyebabkan pembekakan dan
pengumpalan insang.
Gambar 23. Histopatologi parasit Octolasmis spp insang kepiting bakau (100X, HE)
52
Ket : PA = Parasit LS = Lamella Sekunder FU = Fusion DH = Distal Hiperflasia
Selain hyperflasia terdapat juga kerusakan lain yakni fusion. hal ini
bisa diamati pada Gambar 23 yaitu terjadinya fusion disebabkan oleh luka
akibat parasit pada lamella sekunder, hal ini memaksa organ tersebut
mengeluarkan banyak lendir untuk menutupi luka tersebut sehingga terjadi
pendempetan antara lamella sekunder yang satu dengan lamella
sekunder lainnya.
Dari Gambar 23 diatas dapat dilihat bahwa infestasi parasit
Octolasmis spp mengakibatkan kerusakan yang sangat parah pada
insang. Kerusakan yang disebabkan antara lain : pendempetan antara
lamella sekunder (fusion), pembengkakan pada ujung lamella sekunder
(basal Hyperflasia) dan terjadinya produksi lendir/mucus yang berlebihan.
Menurut Takashima dan Hibiya (1995), bahwa kelebihan sel mucus pada
lamella, fusion (pendempetan lamella) dan Hyperflasia pada lamella
sekunder merupakan tanda kerusakan yang parah yang disebabkan oleh
parasit, bakteri atau kerusakan akibat zat kimia.
Menurut Ganon dan Wheatly (1992) tingkat infestasi Octolasmis
spp yang tinggi pada kepiting dapat menggangu proses respirasi
sehingga mengakibatkan stress bahkan diduga kematian. Hasil
pengamatan yang dilakukan oleh Youlu et al (2002) tentang penyebab
kematian sebagian besar rajungan Portunus trituberculatus (Miers) yang
tertangkap dari Laut Cina Timur dan dibudidayakan di kolam. Hasil dari
penelitian menunjukkan adanya infeksi Vibrio spp di hati dan otot P.
trituberculatus serta infestasi yang tinggi Octolasmis lowei
53
Studi tentang histologi Octolasmis spp sebelumnya telah dilakukan
oleh Walker et al (1974) pada kepiting biru Callinectes sapidus yang
terinfestasi Octolasmis mulleri berdasarkan hasil penelitian tersebut
diketahui ukuran diameter semen sel pada O.mulleri 5 µm dengan
(panjang tangkai 2 mm).
54
BAB V
PENUTUP
a. Kesimpulan
Kesimpulan yang diambil pada penelitian ini adalah :
1. Secara morfologi, jenis parasit yang menginfestasi kepiting bakau
di Sulawesi Selatan adalah Octolasmis cor, Octolasmis angulata,
Octolamis sp. Secara molekuler pada region mtDNA COI, 18S dan
28S bukan merupakan region yang cocok untuk dapat
membedakan ketiga spesies Octolasmis spp pada kepiting bakau
tersebut. Namun region tersebut dapat digunakan sebagai marker
untuk membedakan ketiga spesies Octolasmis spp dengan
Octolasmis lowei.
2. Tingkat investasi Octolasmis spp setiap lokasi berbeda-beda
(P<0,01) untuk prevalensi, intesitas (P<0,01) dan (P<0,05)
3. Jumlah infestasi Octolasmis spp pengaruhi oleh parameter
lingkungan yakni bahan organik (P<0,01).
4. Terjadi kerusakan sel akibat penempelan dari parasit Octolasmis
spp
b. Saran
Untuk penelitian selanjutnya identifikasi karakteristik morfologi dilakukan
pengukuran panjang capitulum dan karakterisasi molecular pada region
yang lain . Pengamatan infestasi berdasarkan spesies dari kepiting,
55
Pengaruh parameter lingkungan terhadap infestasi parasit dilakukan pada
kondisi terkontrol dan histopatologi pada insang yang tidak terinfeksi
54
DAFTAR PUSTAKA
Abele, L.G., Spears, T., Kim, W., Applegate, M., 1992. Phylogeny of selected maxillopodan and other crustacean taxa based on 18S ribosomal nucleotide sequences: a preliminary analysis. Acta Zool. 73, 373–382.
Afrianto, Eddy dan Liviawaty, Evi. 1992. Pemeliharaan Kepiting. Kanisius.
Yogyakarta Austin, B dan Austin, D.A. 1999. Bacterial Fish Pathogens Desease of farmer
and Wild fish, 3rd (revised) ed Spriger-praxis, Goldaming. Andeson A, P. Mather, Ricardson. 2004. Nutrition of the mud crab Scylla
Serrata (Forskal). Dalam proceeding of Mud CrabAquaculture in Australia and Southeast Asia. Allan dan D.Fielder (editor): 57-59
Aslamyah S, Y.Fujaya. 2011. Stimulasi Molting dan Pertumbuhan kepiting
Bakau (Scylla. sp) melalui Aplikasi Pakan Buatan Berbahan Dasar Limbah Pangan yang Diperkaya ekstrak Bayam. Indonesia Jurnal of Marine Science. 15(3): 170-178
Aurivillius, C. W. S. 1892. Neue Cirripeden ausdem Atlantischen, Indischen
und Stillen Ocean. Kungliga Vetenskaps-Akademiens Forhandlingar. Stockholm, 3: 123-134.
Aurivillius, C. W. S. 1894. Studien űber Cirripieden. Kungliga Svenska
Vetenskaps- Akademiens Handlinger, Stockholm, 26: 1-107. Daniel, A., 1955. The Cirripedia of the Madras Coast. Bulletin Madras Government Museum, New Series –Natural History Section, 6: 1-40.
Balaresque P, Bowden GR, Adams SM, Leung H-Y, King TE,2010. A
Predominantly Neolithic Origin for European Paternal Lineages." journal.P.bio.285p
Chan, Benny KK.,Ling Ming Tsang., Fu-lung Shih. 2009. Morphological and
Genetic Defferentiation of The Stalked Barnacle Heteralepas japonica Aurivillius, 1892, With Description of a New Species of Heteralepas Pilsbry,1907, From the Philipinnes. The Rafless Bulletin Of Zoology. 20, 85-93
Chan, KK; Prabowo, Romanus; Lee, Kwen-Shen. 2012. Octolasmis cor
(Aurivillius, 1892). http://barnacle.biota.biodiv.tw/pages/1059 [diakses tanggal 14 agustus 2013]
55
Chan, KK; Prabowo, Romanus; Lee, Kwen-Shen. 2012. Octolasmis
angulata (Aurivillius, 1894) http://barnacle.biota.biodiv.tw/pages/1059 [diakses tanggal 14 agustus 2013]
Daniel, A., 1955. The Cirripedia of the Madras Coast. Bulletin Madras Government Museum, New Series –Natural History Section, 6: 1-40
Darwin, C., 1851. A monograph on the sub-class Cirripedia I. The Lepadidae:
1-400, 10 pls, Ray Society, London.
Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
Farrapeira, CMR., Mendes, ES.b, Dourado, J.b dan Guimarães,J.b, 2010,
Coliform accumulation in Amphibalanus amphitrite (Darwin, 1854)
(Cirripedia) and its use as an organic pollution bioindicator in the
estuarine area of Recife, Pernambuco, Brazil.
http://www.scielo.br/pdf/bjb/v70n2/11.pdf [diakses tanggal 20 oktober
2013]
Febriana A. 2011. Filogeni Berdasarkan Sekuens DNA Mitokondria Gen
Cytochrome Oxidase I (Gen COI) pada Beberapa Bangsa Sapi Lokal
Indonesia [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor.
Fujaya, Y. Aslamyah, St. Fujaya,L. Alam, Nur. 2012. Budidaya dan Bisnis
Kepiting Lunak. Brillian International. Surabaya. 2-16.
Gannon, A.T. 1990. Distribution Of Octolasmis Mulleri, An Ectocommensal Gill Barnacle, On The Blue Crab. Bulletin Of Marine Science, 46(1): 55-61
Gannon, A. T. and Wheatly, M. G. 1992. Physiological effects of an
ectocommensal gill barnacle, Octolasmis muelleri, on gas exchange in the blue crab Callinectes sapidus. Journal of Crustacean Biology, 12: 11-18.
Glenner. H, Martin Bay Hebsgaard. 2006. Phylogeny and evolution of life
history strategies of the Parasitic Barnacles (Crustacea, Cirripedia, Rhizocephala). Molecular Phylogenetics and Evolution 41 (2006) 528–538
56
Gray, J. D. 1825. A synopsis of the Genera of cirripedes arranged in natural families, with a description of some new species. Annals of Philosophy, 10: 97-107.
Hashmi SS and Zaidi SS. 1964. Incidence of Lepas Infestation on the gills of
Scylla serrata in Karachi Water. Agriculture Pakistan (16) 1, 117-127. Hilma, Seri. 1993. Pengaruh Suhu Terhadap Perkembangan Populasi
Gyrodactylus fernandoi Pada Benih Ikan Lele Dumbo. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor
Health,A.G.1987. Water Pollutan and Fish physiologi crc press. Florida. Heasman, M. P. 1988. Aspects of the general biology and fishery of the mud
crab Scyllu serratn (Forsm) in Moreton Bay, Queensland. Ph.D. Thesis No. 22 10, University of Queensland. 506 pp.
Irianto, Agus. 2005. Patologi Ikan Teleostei. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 102
Irvansyah. M.Y, Nurlita Abdulgani, dan Gunanti Mahasri. 2012. Identifikasi
dan Intensitas Ektoparasit pada Kepiting Bakau (Scylla serrata) Stadia
Kepiting Muda di Pertambakan Kepiting, Kecamatan Sedati,
Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Sains dan Seni ITS Vol. 1, No. 1
Jeffries, W. B., Voris, H. K., and Yang, C. M. 1982. Diversity and distribution of the pedunculate barnacle Octolasmis in the seas adjacent to Singapore. Journal of Crustacean Biology, 2: 562-569.
Jeffries, William, B. Harold K. Voris, Sombat Poovachiranon, dan L.C Heil.
1995. The Live Cycle Lepadhormorph Barnacle, Octolasmis cor and Methods for Their Laboratory Culture. Phuket Marine Biol. Cent. Bull. 29-35
Jeffries, William, B. Harold K. Voris dan Chang Man yang. 1989. A New
Mechanism Of Host Colonization: Penduculate Barnacles Of The Genus Octolasmis On the Mangrove Crab Scylla serrata. Ophelia 31 (1): 51-58
Jeffries, William, B. Harold K. Voris dan Chang Man yang. 1985. Growth Of
Octolasmis cor (Aurivillius, 1892) On The Gills Of Scylla Serrata (FORSKAL, 1755). BioL BulL 169: 291-296
57
Jeffries, William, B. Harold K. Voris Phaibul Naiyanetr dan Somsak Panha. 2005. Pedunculate Barnacles of the Symbiotic Genus Octolasmis (Cirripedia: Thoracica: Poecilasmatidae) from the Northern Gulf of Thailand The Natural History Journal of Chulalongkorn University 5(1): 9-13,
Jithendran. K.P, M. Poornima, C. P. Balasubramania dan S.
Kulasekarapandian. 2010. Diseases of mud crabs (Scylla spp.): an overview. Indian J. Fish., 57(3) : 55-63
Kanna, Iskandar. 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius. Yogyakarta Kasry, AS. 1984. Telaah Kegiatan Bertelur Kepiting Bakau Scylla serrata dan
Faktor-faktor yang Mempengaruhinya di Perairan Teluk Jakarta. Fakultas Perikanan IPB Bogor. 32 p
Kumaravel .k, S. Ravichandran and G. Rameshkumar. 2009. Distribution of
Barnacle Octolasmis on the Gill Region of Some Edible Crabs.
Academic Journal of Entomology 2 (1): 36-39,
Lanchester, F. 1902. On the Crustacea collected during the “Skeat Expedition” to the Malay Peninsula. Proceedings Zoological Society of London, 2: 363-381.
Lang,W. H. 1976. The larval development and metamorphosis of the
pedunculate barnacle Octolasmis mulleri (Coker, 1902) reared in the laboratory.BioLBulL 150:255-267
Lerrsuttichawal, Theerawoot and Norasingh Penprapai. 2013. Seasonal
Distribution and Host-Parasite Interaction of Pedunculate Barnacle,
Octolasmis spp. on Orange Mud Crab, Scylla olivacea. Walailak
Journal http://wjst.wu.ac.th [diakses tanggal 15 september 2013]
MacDonald, J. D., 1869. On an apparently new Genus of Minute Parasitic Cirripeds, between Lepas and Dichelaspis. Proceedings Zoological Society of London, pp. 440-444.
Newton CR, Graham A. 1997. PCR Introduction to Biotechnique. Second
Edition. Oxford: Bios Scientific Publisher Ltd. Newman, W. A. (1970). Five pedunculate cirripeds from the western Pacific,
including two new forms. Crustaceana. 1(2), 100-116.
58
Pariwono, J.I., 1996. Oseanografi Fisika dan Dinamika Perairan Pesisir. Materi Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (ICZPM). PKSPL-LP IPB kerjasama dengan Dirjen BANGDA-DEPDAGRI. Bogor.
Praptiasih, Indah. 2010. Mengenal Octolasmis, parasit leher angsa pada
Crustacea. Info Karikan, edisi ketujuh. Pusat Karantian Ikan. 28-33p P´erez-Losada Marco, Jens T. HØeg, and Keith A. Crandall. 2004. Unraveling
the Evolutionary Radiation of the Thoracican Barnacles Using Molecular and Morphological Evidence: A Comparison of Several Divergence Time Estimation Approaches. Society of Systematic Biologists. 53(2):244–264
Rios, A.F. F. Fraga, F.F. Perez and F.G. Figueras .1998. Chemical
composition of phytoplankton and Particulate Organic Matter in the Ría de Vigo (NW Spain). Scitiena Marina Journal 62 (3): 257-271
Yunowo,T. 2005. Biologi Molekuler. Erlangga. Jakarta Youlu, Wu dan Liu Shizhong. 2002. Studies on the causes of death of
Portunus trituberculatus (Miers). Dongahi Marine Science http://en.cnki.com.cn/Article_en/CJFDTOTAL-DHHY502.006.htm [diakses tanggal 1 september 2013]
Yusa, Y, Mayuko Takemura, Katsumi Miyazaki, Tetsuya Watanabe, And
Shigeyuki Yamato. 2010. Dwarf Males of Octolasmis warwickii (Cirripedia: Thoracica): The First Example of Coexistence of Males and Hermaphrodites in the Suborder Lepadomorpha. Bulletin Of Marine Science. 259–265
Sasimartoyo, Tri Prasetyo. 2002. Kajian Penerapan Sistem Eko-sanitasi
dalam Pemanfaatan Kembali Limbah Manusia yang Terlupakan. Media Litbang Kesehatan. Volume XXI nomor 1.
Schmidt.G. D. 2008. Essentials of Parasitology. Fifteenth Edition. Universal Book Stall : New Delhi
Sulaeman, Suparto, Eviati. 2005. Petunjuk Teknis. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, air dan Pupuk. Balai Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengambangan pertania, Departemen Pertanian
Sunandar,dadan dan Imron. 2010. Optimalisasi Templat DNA Udang Galah
Macrobracium rosebergii dalam proses PCR-RAPD. Prosiding Forum
59
Inovasi Teknologi Akuakultur. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya Air Tawar.
Takashima, F dan Hibiya, T. 1995. Fish Histology Normal and Pathological
features of Second Edition. Kadausha. Tokyo. Voris H.K and Jeffries. W.J. 2001.Distibution and Size of a Stalked Barnacle
(Octolasmis Muelleri) on The Blue Crab, Callinectes sapidus. Bulletin Of Marine Science, 68(2): 181–190
Voris, H. K. and Jeffries, W. B. 1997. Size distribution, and significance of
capitular plates in Octolasmis (Cirripedia: Poecilasmatidae). Journal of Crustacean Biology, 17: 217 – 226.
Voris, H. K., Jeffries, W. B. and Poovachiranon, S. 2000. Size and location
relationships of stalked barnacles of the genus Octolasmis on the mangrove crab, Scylla serrata. Journal of Crustacean Biology, 20: 485-496.
Voris .Harold K., Jeffries, William, B dan Sombat Poovachiranon . 1994.
Patterns of Distribution of Two Barnacle Species on the Mangrove Crab, Scylla serrata Biol. Bull. 187: 346-354
Walker, Graham. 1974. The Occurrence , Distribution and Attachment Of the
Pedunculate Barnacle Octolasmis Mulleri (Coker) On The Gills Of Crab, Particulary the blue crab. Callinectes Sapidus . Biol. Bull., 147 : 678-689.
Walker, Graham. 2001. Some Observations on the Epizoic Barnacle
Octolasmis angulata within the Branchial Chambers of an Australian Swimming Crab Journal of Crustacean Biology Vol. 21, No. 2 (May, 2001), pp. 450-455
Whiting, M. F., J. C. Carpenter, Q. D.Wheeler, and W. C. Wheeler. 1997. The
Strepsiptera problem: Phylogeny of the holometabolous insect orders inferred from 18S and 28S ribosomal DNA sequences and morphology. Syst. Biol. 46:1–68.
60
LAMPIRAN
61
Lampiran 1 Pensejajaran berganda nukleotida pada gen mtDNA COI
Octolasmis cor, Octolasmis angulata,Octolasmis spp dan
Octolasmis lowei
62
Lampiran 2 Pensejajaran berganda nukleotida pada gen 18 rDNA
Octolasmis cor, Octolasmis angulata,Octolasmis spp dan
Octolasmis lowei
63
64
Lampiran 3. Pensejajaran berganda nukleotida pada gen 28 rDNA
Octolasmis cor, Octolasmis angulata,Octolasmis spp dan
Octolasmis lowei
65
66
LAMPIRAN 4. Data tingkat infestasi Octolasmis spp pada kepiting bakau di
empat kabupaten di Sulawesi Selatan
Lokasi Jumlah kepiting yang diperiksa
Jumlah Kepiting Yang terinfestasi
Jumlah Total Parasit Octlasmis spp
Jumlah rata-rata parasit persampel
Prevalensi parasit (%)
Intensitas parasit
Kandungan bahan organik (%)
salinitas
Pinrang 50 38 750 19,24 ± 35,94 56% 26,78 3,13 % 29-32
Siwa 50 42 2241 44,82 ± 64,71 84% 53,36 7,09 % 28-30
pangkep 50 29 274 5,48 ± 11,99 58% 9,45 4,40 % 28-31
Malili 50 5 73 1,46 ± 6,28 10% 14.6 0,7 % 25-27
67
Data tingkat serangan pinrang
No Panjang Berat Crypid O.Angulata O.cor O. spp Jumlah
1 7.8 89.83 32 0 0 32
2 9.63 131.61 34 100 41 2 177
3 7.36 56.13 0 2 0 2
4 7.26 26.77 0 9 0 9
5 6.84 63.86 0 0 0 0
6 6.9 26.07 0 0 0 0
7 5.53 29.42 0 0 0 0
8 6.05 90.72 0 0 0 0
9 4.65 18.6 0 0 0 0
10 3.85 11.15 0 0 0 0
11 4.68 17.25 0 0 0 0
12 6.91 15.89 0 0 0 0
13 4.69 18.21 0 0 0 0
14 4.67 7.21 0 0 0 0
15 4.46 12.11 0 0 0 0
16 5.1 16.57 1 3 0 4
17 5.91 22.14 7 0 0 7
18 3.7 9.76 0 0 0 0
19 4.13 6.06 0 0 0 0
20 4.96 15.35 1 3 1 5
21 4.41 5.95 0 0 0 0
22 5.38 21.96 0 0 0 0
23 5.67 26.42 0 0 0 0
24 10.33 197.95 21 57 61 139
25 9.15 53.28 0 0 0 0
26 7.55 30.34 9 0 0 9
27 5.9 29.15 2 7 0 9
28 7.05 63.83 2 15 18 35
29 7.2 47.78 5 6 20 31
30 6.71 44.19 10 4 2 16
31 11.2 233.2 5 23 23 5 56
32 9.6 144.9 5 7 2 14
33 8.4 63.6 3 8 9 20
34 6.5 59.4 2 10 9 21
35 6.7 38 0 0 0 0 0
36 7.2 45.7 5 4 6 15
37 9.3 87.7 0 3 16 19
38 7.4 53.5 7 0 3 10
39 7.6 63.1 0 0 0 0
40 7.6 85.6 3 12 1 16
41 7.3 71.5 2 5 3 10
42 7.3 57.1 0 0 0 0
43 6.6 44 0 8 5 5 18
44 5.7 28.8 0 0 0 0
68
45 5.6 31.1 1 2 2 5
46 6.7 51.6 1 2 1 4
47 4.8 32.1 0 0 0 0
48 6.3 71.5 2 7 3 12
49 5.2 44.2 4 7 1 12
50 7.8 84.1 10 15 14 4 43
total 169 317 246 18 750
a) Intensitas
b) Prevalensi
69
Data tingkat serangan siwa
No Panjang Berat Crypid O.angulata O.cor O. spp jumlah
1 6.1 37.8 6 1 7
2 7.8 74.8 2 1 3
3 8.8 122.3 12 81 62 6 161
4 7.8 69.8 0
5 8.4 98.1 0
6 8.8 16.3 9 3 12
7 7.8 80.1 0
8 7.8 18.7 10 6 7 23
9 8.6 87.2 15 15
10 7.5 76.2 2 2
11 7.9 86.5 14 1 1 16
12 7.9 98 2 2
13 7.7 79.1 10 30 8 2 50
14 8.1 104.2 12 132 89 28 261
15 7.1 58.5 7 42 2 51
16 7.4 71.7 14 63 77
17 8.2 106.8 0
18 7.5 73.4 9 2 11
19 7.7 74 0
20 6.5 59.1 5 43 24 1 73
21 9.2 128.6 12 4 16
22 7.1 65.6 3 20 13 36
23 7.3 72.9 2 12 18 3 35
24 6.6 52 15 66 21 102
25 6.5 53.2 11 11
26 7.8 78.8 1 8 9
27 8.8 112.7 40 110 56 206
28 7.5 68.4 2 71 64 21 158
29 7 45.1 1 5 6
30 6.3 38.9 11 15 26
31 7.3 56.4 1 28 9 38
32 8 75.7 0
33 6.1 40.8 1 23 16 1 41
34 7.4 70 1 1 2
35 7.9 82.6 7 5 12
36 7.4 40.1 16 17 33
37 8 67.9 7 17 32 56
38 7.3 70.4 0
39 6.3 38.5 1 1 2
40 5.8 39 33 19 52
41 4.3 90.6 4 23 27
42 7.8 85.2 7 56 38 101
43 7.5 68 2 23 12 37
44 8.4 105.9 0
70
45 7.6 75.8 6 6
46 8.7 115.8 98 105 83 286
47 8 84.8 1 1 2
48 8.1 102.2 4 4
49 7.8 99 16 36 30 82
50 8.3 103.1 4 105 46 19 174
total 338 1166 737 83 2324
a) Intensitas
b) Prevalensi
71
Data tingkat serangan Pangkep
No Panjang Berat Crypid O.angulata O.cor O. spp Jumlah
1 7.4 81.3 5 17 4 26
2 7.3 62.3 1 1 2
3 8.4 82.2 1 1 2
4 8.1 74.2 6 10 1 17
5 8.3 85.6 0
6 8.5 97 0
7 7.3 60.6 0
8 7.4 67.3 3 4 1 8
9 7.8 67.7 0
10 7.4 67.3 3 9 12
11 8.1 90.9 0
12 7.2 86.6 0
13 6.8 54 4 4
14 7,8 73.1 0
15 7,9 70.7 5 28 7 2 42
16 8 99.5 0
17 7.6 67.6 0
18 6,3 46.9 4 4
19 7.1 60.8 1 1
20 6.8 52.1 2 4 2 8
21 6.9 54.1 4 4
22 6.6 46.1 1 1
23 7.5 70.9 0
24 7.9 79.9 4 4 8
25 6.9 58.2 2 5 7
26 7.6 66.9 6 1 7
27 7.2 50.9 0
28 7 47.8 0
29 8.1 84.6 0
30 8.6 115.5 2 2 4
31 7.6 69.9 10 27 35 3 75
32 7.5 86.1 1 1
33 8.8 100.7 11 1 12
34 7.8 76.7 1 1
35 7.7 89.3 1 4 5
36 7.9 87.9 1 5 2 8
37 7.8 89.7 1 1 2 4
38 8.1 81.7 0
39 8.3 92.1 1 1
40 8.4 105.9 3 3
72
41 6.5 57.4 1 3 1 5
42 7.6 97.8 0
43 9.1 147.8 2 3 1 6
44 6.6 62.9 0
45 6.3 52.4 0
46 8.8 117.8 0
47 5.6 30 0
48 6.3 47.4 0
49 7.7 79.7 1 1 1 3
50 8.6 135.3 0
Total 61 136 77 7 281
c) Intensitas
d) Prevalensi
73
Data tingkat serangan Malili
No Panjang Berat crypid O.Angulata O. Cor
O. spp Jumlah
1 7.85 90.93 0
2 7.74 83.92 0
3 8.07 98.68 0
4 7.85 99.70 0
5 7.57 94.17 0
6 7.35 80.99 0
7 8.26 111.45 0
8 8.16 111.96 6 34 40
9 7.92 74.68 0
10 7.68 80.68 0
11 7.88 84 0
12 9.3 118.7 2 1 3
13 7.9 81.5 0
14 7.8 78.13 0
15 7.9 69.5 0
16 7.4 64.6 0
17 8.6 110.6 2 8 10
18 9.7 166.2 1 1 2
19 7.8 91.2 0
20 7.7 78.1 0
21 8.3 82.1 0
22 7.3 42.2 0
23 7.6 71 0
24 8.4 58.2 1 7 10 18
25 8.1 81.4 0
26 7.9 69.5 0
27 7.9 64.6 0
28 8.6 110.6 0
29 9.0 104.3 0
30 9.7 166.2 0
31 7.8 91.2 0
32 7.7 78.1 0
33 8.3 82.1 0
34 7.3 42.2 0
35 7.6 71.0 0
36 8.4 58.2 0
37 8.1 81.4 0
38 7.0 63.7 0
39 8.1 79.0 0
40 9.1 131.4 0
41 8.1 75.9 0
42 8.5 111.7 0
43 7.1 102.4 0
74
44 6.8 60.0 0
45 7.4 42.9 0
46 7.9 96.3 0
47 7.1 72.1 0
48 7.9 80.1 0
49 6.5 7.21 0
50 7.3 81.1 0
total 10 52 11 73
e) Intensitas
f) Prevalensi
75
LAMPIRAN 5. Hasil pengkuran parameter lingkungan di empat kabupaten
pengambilan sampel kepiting bakau
a) Salinitas
1. Pinrang
Kode Sampel Salinitas
1 32.0
2 29.0
3 29.0
4 31.0
5 30.0
2. Siwa
Kode Sampel Salinitas
1 28.0
2 29.0
3 31.0
4 30.0
5 29.0
3. Malili
Kode Sampel Salinitas
1 25.0
2 25.0
3 26.0
4 27.0
5 25.0
4. Pangkep
Kode Sampel Salinitas
1 28.0
2 29.0
3 31.0
4 30.0
5 29.0
76
b) Bahan Organik
1. Pinrang
Kode Sampel Bahan Organik (%)
1 4,69
2 3,92
3 3,16
4 2,34
5 1,52
2. Siwa
Kode Sampel Bahan Organik (%)
1 7,14
2 6,61
3 7,27
4 7,54
5 6,88
3. Luwu Timur
Kode Sampel Bahan Organik (%)
1 0,7
2 0,7
3 0,7
4 0,7
5 0,7
4. Pangkep
Kode Sampel Bahan Organik (%)
1 4,47
2 4,59
3 4,5
4 4,36
5 4,1
77
Lampiran 6. Hasil Uji Chi-square prevalensi parasit Octolasmis spp pada
kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
lokasi * VAR00002 200 100.0% 0 .0% 200 100.0%
lokasi * VAR00002 Crosstabulation
Count
VAR00002
Total 1 2
lokasi Luwu Timur 45 5 50
Maros 22 28 50
Pinrang 21 29 50
Siwa 8 42 50
Total 96 104 200
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 56.891a 3 .000
Likelihood Ratio 63.841 3 .000
Linear-by-Linear
Association 50.005 1 .000
N of Valid Cases 200
78
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 56.891a 3 .000
Likelihood Ratio 63.841 3 .000
Linear-by-Linear
Association 50.005 1 .000
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 24.00.
Lampiran 7. Hasil Uji Kruskal-Wallis intensitas parasit Octolasmis spp pada
kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Parasit N Mean Rank
Pinrang crypid 23 32.04
Octolasmis angulata 24 42.75
Octolasmis cor 21 38.36
Octolasmis spp 5 26.50
Total 73
Wajo crypid 32 39.61
Octolasmis angulata 39 58.58
Octolasmis cor 26 68.04
Octolasmis spp 9 38.89
Total 106
Maros crypid 19 29.03
Octolasmis angulata 22 36.02
Octolasmis cor 17 30.68
Octolasmis spp 4 21.88
Total 62
Luwu Timur crypid 4 4.38
79
Octolasmis angulata 5 7.20
Octolasmis cor 2 6.25
Total 11
Test Statisticsa,b
Pinrang Wajo Maros Luwu Timur
Chi-Square 4.369 15.513 3.094 1.712
df 3 3 3 2
Asymp. Sig. .224 .001 .377 .425
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Parasit
Berdasarkan perhitungan diatas, maka hipotesis nol diterima pada daerah
wajo, hal ini karena signifikan asymtot yang dihasilkan lebih keci 0,001 dari
yang biasa digunakan yakni 0,05 (P<0,05) sehingga menunjukan ada
perbedaan intensitas setiap spesies antara keempat lokasi tersebut
80
Lampiran 8. Hasil Uji intensitas Mann-Whitney parasit Octolasmis spp pada
kepiting bakau di empat kabupaten di Sulawesi Selatan
Mann-Whitney Test
Ranks
grup N Mean Rank Sum of Ranks
Intensitas Maros 29 16.90 490.00
Luwu Timur 5 21.00 105.00
Total 34
Test Statisticsb
Intensitas
Mann-Whitney U 55.000
Wilcoxon W 490.000
Z -.855
Asymp. Sig. (2-tailed) .393
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .420a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: grup
81
Mann-Whitney Test
Ranks
Grup N Mean Rank Sum of Ranks
Intensitas Wajo 36 22.04 793.50
Luwu Timur 5 13.50 67.50
Total 41
Test Statisticsb
Intensitas
Mann-Whitney U 52.500
Wilcoxon W 67.500
Z -1.496
Asymp. Sig. (2-tailed) .135
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .139a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: grup
82
Mann-Whitney Test
Ranks
grup N Mean Rank Sum of Ranks
Intensitas Wajo 36 41.92 1509.00
Maros 29 21.93 636.00
Total 65
Test Statisticsa
Intensitas
Mann-Whitney U 201.000
Wilcoxon W 636.000
Z -4.241
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: grup
83
Mann-Whitney Test
Ranks
Grup N Mean Rank Sum of Ranks
Intensitas Pinrang 28 17.61 493.00
Luwu Timur 5 13.60 68.00
Total 33
Test Statisticsb
Intensitas
Mann-Whitney U 53.000
Wilcoxon W 68.000
Z -.855
Asymp. Sig. (2-tailed) .393
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .419a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: grup
84
Mann-Whitney Test
Ranks
grup N Mean Rank Sum of Ranks
Intensitas Pinrang 28 37.32 1045.00
Maros 29 20.97 608.00
Total 57
Test Statisticsa
Intensitas
Mann-Whitney U 173.000
Wilcoxon W 608.000
Z -3.727
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: grup
85
Mann-Whitney Test
Ranks
Grup N Mean Rank Sum of Ranks
Intensitas Pinrang 28 27.88 780.50
Wajo 36 36.10 1299.50
Total 64
Test Statisticsa
Intensitas
Mann-Whitney U 374.500
Wilcoxon W 780.500
Z -1.754
Asymp. Sig. (2-tailed) .079
a. Grouping Variable: grup
86
LAMPIRAN 9. Hasil uji Korelasi Pearson antara panjang karapaks dan jumlah
parasit yang terinfestasi
Correlations
panjang
karapaks jumlah investasi
panjang karapaks Pearson Correlation 1 .225**
Sig. (2-tailed) .001
N 200 200
jumlah investasi Pearson Correlation .225** 1
Sig. (2-tailed) .001
N 200 200
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari tabel correlations diatas terlihat bahwa korelasi Pearson Product
Moment r = 0,225 dan P-value = 0,001 lebih kecil dari α = 0,01 atau P<0,01.
Maka H0 = ditolak
Kesimpulan ada hubungan linier yang signifikan antara panjang karapaks dan
jumlah infestasi.
87
LAMPIRAN 10. Hasil uji Korelasi Pearson antara bahan organik dan
prevalensi
Correlations
panjang
karapaks jumlah investasi
panjang karapaks Pearson Correlation 1 .225**
Sig. (2-tailed) .001
N 200 200
jumlah investasi Pearson Correlation .225** 1
Sig. (2-tailed) .001
N 200 200
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Dari tabel correlations diatas terlihat bahwa korelasi Pearson Product
Moment r = 0,225 dan P-value = 0,001 lebih kecil dari α = 0,01 atau P<0,01.
Maka H0 = ditolak
Kesimpulan ada hubungan linier yang signifikan antara panjang karapaks dan
jumlah infestasi.