Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

36
HYPERREALITAS DAN KEMATIAN INTELEKTUAL Oleh M. Yunis 1 ‘’...yang baik dan yang jahat adalah buatan sejarah. Baik jahat muncul dari sentimen orang-orang kalah secara moral, tidak obahnya merupakan pembalasan dendam yang menggumpal. Padahal moral sebelumnya adalah sesuatu yang kodrati datang dari langit, sekarang moral merupakan sesuatu yang dihidupi di dunia dan hanya lahir dari rahim-rahim kepentingan duniawi saja...’’ (Frederik Nietzche) Terkadang apa yang diimpikan dan apa yang dicita- citakan jarang bersesuaian, bukannya menyalahkan kemajuan teknologi dan bukan pula memberi dosa alam realitas. Memang, hidup itu berangkat dari sebuah kehancuran, ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena, itu setapak demi setapak kemapanan intelektual harus diakali untuk memcapai sebuah pencerdasan moral. Sebab, realitas yang awalnya dianggap sebuah ideologi moral itu berangsur berubah menjadi ideologi anarkis, Postmodern yang mulanya ditujukan untuk sebuah penerangan kini menjelma menjadi dua buah ideologi yang sangat bertentangan, ditakuti. Di satu sisi menertawakan kekacauan dan di sisi lain mencemooh ketentraman. Namun, kedua ideologi itu selalu linglung 1 Penulis dan Mahasiswa Pasca Linguistik Kebudayaan Unand. Seorang penulis dan sekarang bergabung dengan Pusat Study Humaniora Universitas Andalas Padang. Blog: www.sastraminangkabau.blogspot.com. 1

description

intelektaul lahir kembali

Transcript of Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

Page 1: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

HYPERREALITAS DAN KEMATIAN INTELEKTUAL

Oleh M. Yunis1

‘’...yang baik dan yang jahat adalah buatan sejarah. Baik jahat muncul dari

sentimen orang-orang kalah secara moral, tidak obahnya merupakan pembalasan

dendam yang menggumpal. Padahal moral sebelumnya adalah sesuatu yang

kodrati datang dari langit, sekarang moral merupakan sesuatu yang dihidupi di

dunia dan hanya lahir dari rahim-rahim kepentingan duniawi saja...’’ (Frederik

Nietzche)

Terkadang apa yang diimpikan dan apa yang dicita-citakan jarang

bersesuaian, bukannya menyalahkan kemajuan teknologi dan bukan pula memberi

dosa alam realitas. Memang, hidup itu berangkat dari sebuah kehancuran,

ekonomi, politik dan budaya. Oleh karena, itu setapak demi setapak kemapanan

intelektual harus diakali untuk memcapai sebuah pencerdasan moral. Sebab,

realitas yang awalnya dianggap sebuah ideologi moral itu berangsur berubah

menjadi ideologi anarkis, Postmodern yang mulanya ditujukan untuk sebuah

penerangan kini menjelma menjadi dua buah ideologi yang sangat bertentangan,

ditakuti. Di satu sisi menertawakan kekacauan dan di sisi lain mencemooh

ketentraman. Namun, kedua ideologi itu selalu linglung menentukan posisinya di

dalam realitas, memakan buah simalakama.

Namun, bukan hal itu yang diinginkan ataupun yang dicitakan dalam

tulisan ini, bukan menunjuk mengajari apa yang sudah terkukung di dalam sebuah

kebenaran dan bukan pula menaklukan dunia beserta isinya. Tetapi, intinya

bagaimana mensiasati agar idealisme bangkit dari mati suri dan menyingkirkan

dampak doktrin-doktrin yang ekstrim terhadap kepentingan duniawi sehingga

intelektual tersebut bangkit melakukan perlawanan dengan berpikir terus menerus

dan runtuhkanlah tembok hagemoni. Apa yang benar dan apa yang salah? Siapa

menyalahkan siapa?

1 Penulis dan Mahasiswa Pasca Linguistik Kebudayaan Unand. Seorang penulis dan sekarang bergabung dengan Pusat Study Humaniora Universitas Andalas Padang. Blog: www.sastraminangkabau.blogspot.com.

1

Page 2: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

Penulis sangat berterimaksih kepada teman-teman yang menyebut penulis

aliran sesat, karena di saat gelar itu dilabelkan maka di saat itu pulalah penulis

mendoktrin diri tidak akan berhenti berpikir untuk menyingkap kepalsuan alam

realitas. Sesungguhnya, kesemprunaan itu hanyalah akan menghambat cara

berpikir dan kesempurnaan hanyalah milik yang Illah.

1. Kerangka Berpikir

Awalnya hanya semiotika (Zoest, 1993)2, namun berangsur-angsur terlalu

langkah itu kian menjemukan, terlalu lama berkecimpung pada tataran struktural

sebab semiotik itu sebenarnya masih terputus setelah kematian Charles Sanders

Pierce, Sausure berhenti pada tataran Langue dan Parole dan begitu pula Barthes

tertumpu kepada mithologies. Padahal teori itu masih bisa dikembangkan seperti

yang direalisasikan Umberto Eko dalam pandangannya tentang dunia Hiperealitas

yang tercermin dalam bukunya Tamasya Dalam Hyperrealitas (1987)3. Sejalan

dengan itu, Piliang juga menyebutnya dengan Hipersemiotika, yang mana

penanda dan petanda bermutasi menjadi tanda lain. Ada yang dinamakan dengan

tanda sebenarnya yang mempunyai hubungan relatif simetris dengan realitas/tanda

kejujuran, tanda palsu atau tanda gadungan atau hanya menyerupai, tanda dusta

yang mana tanda yang menggunakan tanda dan penanda yang salah, sementara

realitas yang dicapai juga salah, tanda daur ulang tanda yang aneh tapi bermanfaat

bagi dunia kekinian, penipuan, tanda buatan yang sengaja diciptakan lewat

teknologi mutakhir, dan kemudian tanda ekstrim sebagai tanda yang hiperbola

(Piliang, 2003). Begitulah semiotik itu berkembang sesuai dengan kehendak

zaman dan realitas yang tampak di relung setiap pribadi.

Namun, sebelum Piliang dan Eco, Guattari dan Deleuze (Piliang, 2004)

juga telah mebahas konsep yang sama, mereka berbicara tentang keruntuhan

tembok transenden dengan immanen. Dua konsep ini tidak lagi dalam status

2 Menurut Pierce semiotika adalah Ilmu yang mempelajari tanda dan segala macam yang berkaitan dengannya. Adanya hungan tanda dengan Ground, hubungan tanda dengan Denotatum dan hubungan tanda dengan Interpretan (Pierce dalam Zoest, 1993 dan Kristomi, 2004).3 Eco menganalisis teknik Hologravi yang merupakan mukjizat teknik sinar laser yang paling mutakhir pada tahun 50 an oleh Dennis Gabor. Ia mampu menghadirkan representasi fotografis yang penoh makna lebih dari 3 dimensi . Menghadirkan bayangan semu wanita cantik sedang beradegan seks sesama jenis, sementara penonton dapat menikmatinya dari segala macam sudut pandangan, bahkan wanita yang dihasilkan dari representasi tersebut dapat tersenyum merayu bernafsu terhadap penontonnya ( Eco, 1987: 25).

2

Page 3: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

oposisi biner, dalam artian bahwa keduanya telah membaur. Kemudian Budrillar

dalam kerangka patafisika, istilah ini digunakannya untuk menjelaskan realitas

yang melampoi fikisa dan metafisika sekaligus. Lalu muncul pula simulakra yang

merangkan hal-hal yang tidak tercapai oleh pengetahuan dapat ditembus lewat

kecanggihan teknologi artifisial virtual. Menghadirkan Karl Marxs dalam dunia

simulasi sangat memungkin ataupun Plato di saat sekarang adalah wajar dan tuhan

pun dapat diserupai dalam simulasi. Budrillar menyebutnya sebagai solisi

imajiner yaitu proses menjadikan suatu yang non-empiris, mengobjekan lewat

kecanggihan teknologi simulasi sehingga menjadi sebuah fakta, dapat dilihat,

dirasakan, didiami meskipun tanpa melalui hukum fisika sebagai sebuah benda

(Piliang 2004;69). Inilah simulasi seperti yang dikatakan Budrillar itu, yang mana

realitas diciptakan tanpa pondasi dan realitas.

Bebicara soal kejenuhan itu, pas betul seperti konsep yang hasilkan oleh

Postmoderen, yang mana Piliang menjealaskan dalam Dunia yang Dilipat, bahwa

Postmoderen akan menghasilan dua buah konsep yang saling bertentangan,

pertama Ideologi yang timbul tanpa asal usul, tanpa pondasi, tanpa makna,

akhirnya mengarah kepada tindakan yang ekstrim dan tidak menghargai idelisme.

Berbahayanya ideologi ini telah merambah ke kota-kota besar di dunia, dalam

alam nyata, dampaknya masyarakat komsumer menolak aturan moral yang

mengikat, mereka berusaha membuat aturannya sendiri dalam dunianya sendiri,

beralih ke dalam isu-isu lokal dengan gaya dan corak anarkis yang berlainan.

Contohnya saja seks bebas yang melanda remaja di kota-kota besar,

pengkomsumsian obat-obatan diluar batas, menganiaya diri sendiri dengan

teknologi dan segala macamnya. Ini adalah pintu masuk ke dalam geneologi

moral yang pernah diungkit oleh Nietzche, dia menerangkan bahwa manusia

resentiment membenci, tapi takut bertindak, sehingga kebencian tersebut meresapi

segala yang dipikirkan dan diperbuatnya. Orang tahu cara memafaafkan tetapi

tidak tahu kekuatan melupakan dan akhirnya menimbulkan dendam, mengingat-

ingat masa lalu yang pernah terjadi. Akibatnya, kekuatan resentiment tersebut

berbalik ke dalam dan menciptakan seorang subjek emosi-emosi yang tidak

diungkapkan. Si aku (subjek moralitas) adalah objek yang dilahirkan dari

3

Page 4: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

kekecewaan, suatu hasrat yang lahir dari penyangkalan pengakuan (Poole, 1993;

58).

Membopong perjalanan idealis itu, Nietzche membebaskan moral tersebut

dari penjara sejarah lewat nalar putisnya. Sebab selama ribuan tahun moral telah

terpenjara di dalam sejarah. Baginya, matinya moral menandakan hidupnya nalar

puitis yang bekerja di atas tanah yang tidak berjejak antara yang relatif dan yang

mutlak. Memang Nietzche barangkat dari segala penderitaan yang

berkecenderungan balas dendam dari orang lemah untuk menciptaan penderitaan

yang penuh makna, sehingga melahirkan para budak yang berkuasa dengan gaya

moralnya sendiri. Apabila impul-impul itu itu tidak dicegah dan tidak dijinakan

akan terjadi subordinasi sehingga menimbulkan kefanatikan yang sangat

berbahaya. Dalam hal ini yang patut dipersalahkan adalah kontrol sosial dari

masyarakat, sebab kekuatan itu tidak hanya berakibat melemahkan individu yang

kuat malahan juga dapat melemahkan budaya luas (Ritzer, 2003: 42). Jadi, yang

dinginkan Nietzche sebenarnya adalah individu yang berdaulat untuk menciptakan

intelektual yang handal.

Sedangkan ideologi kedua yang munculkan adalah ideologi yang

berpondasi, berdasar, menghargai idelisme, menghargai perbedaan, multikultural?

dan segala macamnya. Masyarakat kembali kepada nilai-nilai tradisional yang

bersifat lokal dan beraturan konvensioanal. Jika seperti ini, apakah

Postmodernisme tersebut berhasil atau malah gagal mengembangkan sayapnya?

Sebab yang dicapai Postmoderen itu kurang lebih sama dengan yang

dikemukakan Guattari dan Deleuze atas keruntuhan tembok transenden dengan

immanen, Postmoderen menginginkan runtuhnya narasi besar dan melahirkan

narasi kecil yang bersifat lokal, menghilangkan konsep dunia Timur ataupun

Barat. Lalu bagaimana dengan Edwar Said yang mempertahankan dunia

Timurnya, dia menganggap bahwa Timur itu lebih mulia dari pada barat (Edward,

1977). Kemudian gagasan tersebut disambut baik oleh Hasan Hanfi dalam doktrin

Oksidentalism.

Memang konsep ini sudah sering penulis singgung baik di dalam tulisan

koran maupun saat presentasi di dalam mata kuliah Teori Linguistik Kebudayaan

dan Semiotika. Tetapi penulis rasa masih banyak yang harus dijelaskan, terlebih

4

Page 5: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

lagi terhadap ketidakmautahuan dan kesombongan model baru yang dimunculkan

para ego-ego yang memvonis dirinya sangat berdaulat. Penulis masih ingat atas

vonis yang penulis terima ‘’aliran sesat atau mungkin menyesatkan’’. Namun,

julukan itu dirasa sangat membantu, sebab setiap kali julukan itu dilabelkan, maka

setiap kali itu pula pengkajian lebih dalam terhadap realitas yang ingin penulis

singkap.

Satu hal lagi, di saat salah satu teman di Pasca Linguistk Kebudayaan

Unand mengemukan bahwa Hyperealiats itu belumlah terjadi dan masyarakat

yang mana yang tergolong kedalam Hyperealitas tersebut? Hal ini cukup menjadi

bukti betapa pentingnya kajian terhadap realitas kerkinian membutuhkan lampu-

lampu pijar, sebab jika tidak segera dimulai maka generasi intelektual setelahnya

akan terus berpikir perskeptif kata lain dari Postskeptif? atau benar salah. Menurut

penulis cara berpikir ini berkembang dari konsep skeptis yang dikemukana Rene

Des Cartes dengan konsep cogito orgosumnya4. Perskeptif adalah sebuah doktrin

yang sudah terlalu lama berkembang dan mendarah daging, anehnya cara berpikir

itu diwariskan dari generasi hingga generasi sekarang.

Seiring dengan itu, tebalnya tembok hagemoni membuat kita harus

memutar kincir otak. Bagaimana caranya menaklukan kekuasaan absolut dan

menghidupkan kembali intelektualitas? Untuk menjawab hal itu, terdapat 3 cara

berpikir yang layaknya dicoba. Pertama berpikir terbalik berguna untuk melawan

4 Tiga konsep yang Descartes; pertama mematuhi undang-undang dan adat-istiadat negeri tempat berada, sambil tetap berpegang teguh kepada agama, berkat karunia Tuhan, telah diajarkan kepada kita sejak masa anak-anak. Hal ini bertujuan untuk menguji kebenaran yang telah didapat, apakah kebenaran tersebut sesuai dengan agama dan aturan yang berlaku di negara itu, jika kebenaran yang ditemukan tidak sesuai dengan pranata yang telah ada tersebut berarti kebenaran itu masih keliru, dan terpaksa memulainya kembali dari awal. Kedua, bersikap setegas dan semantap mungkin dalam tindakan, dan mengikuti pendapat yang paling meragukan secara sama mantapnya sebagaimana mengikuti pendapat yang sangat meyakinkan, bila kita telah memutuskan untuk mengikutinya. Artinya, di sini diperlukan keyakinan yang tegas, tidak boleh plin-plan dalam bersikap, kalau perlu tekuni sebuah pendapat yang dianggap benar menurut nalar. Tujuan kita harus jelas dan terarah kedepan, tidak boleh berhenti di tengah jalan, tidak boleh berubah karena hal yang sepele. Seperti orang yang sedang memasuki hutan, lebih baik terus, tanpa berbelok-belok, paling tidak kita sampai di suatu tujuan dari pada tersesat di tengah hutan. Prinsip ketiga adalah selalu berusaha mengalahkan diri sendiri, mengubah keinginan-keinginan sendiri dan bukannya merombak tatanan dunia; serta membiasakan diri untuk meyakini bahwa tidak ada satu pun yang berada di bawah kekuasaan kita sepenuhnya kecuali pikiran kita. Artinya, walaupun kita gagal tetapi kita telah berusaha untuk lebih baik dari yang baik, jangan egois dalam menghadapi sesuatu, sebab bagimanapun juga kita tidak bisa menolak takdir yang datang dari tuhan. Bagaimanapun juga kita orang Asia tidak akan pernah menjadi bangsa Eropa, tetapi sekurang-kurangnya sudah berusaha untuk menjadi bagian dari apa yang lebih baik di Eropah, sekali lagi kita bukanlah Eropa. Dengan berusaha semaksimal mungkin tetapi masih gagal, toh kita tidak akan menyesali karena tidak dapat meraihnya, sebab kita telah mencoba (Rahayu S (Pen), 1995.

5

Page 6: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

para pembunuh idiologi, kedua berpikir menyimpang berguna untuk melawan

tembok hagemoni, dan ketiga berpikir melompat berguna untuk melawan pikiran

Perskeptif/Postskeptis di atas.

Namun begitu, untuk mencapai tiga pola pikir di atas kita harus

mengenyahkan dua cara berpikir yang dapat menghilangkan realitas itu, sebab hal

itu dapat menghambat perlawanan terhadap being yang diciptakan antologi citraan

yang selama ini telah bercokol dan membunuh intelektual itu sendiri, pertama

berpikir perskeptif seperti yang telah diterangkan di atas dan kedua tidak berpikir

sama sekali.

3. Politik Sejarah

Kita mulai dari yang sederhana, yaitu ‘’sejarah’’. Sejarah panjang negara

ini tentu ikut melatarbelakangi sistem pendidikan kedepan, seperti tindakan-

tindakan saparatis daerah terhadap pemerintahan pusat yang sentralistik,

muncullah PRRI di Sumatra tengah, DI/TII d, GAM di Aceh, RMS di Maluku,

PARMESTA dan lain sebagainya. Akibat dari itu muncullah Skhizofrenia

terhadap seluruh daerah di Indonesia. Kemudian pasca komunis di Indonesia

melahirkan orde baru yang selalu di dalam ketakutan tanpa batas, sehingga anak-

anak bekas PKI atau tertuduh PKI dideskriminasikan, larangan untuk menjadi

pegawai pun direalisasikan, barulah pasca kejatuhan Suharto sebagai simbol

kestabilan nasonal hukuman itu dihapuskan. Namun, di tingkat daerah-daerah,

sejarah itu tetap berlanjut seperti yang direncanakan dan sampai sekarang masih

diderita oleh para pahlawan yang tidak pernah dianggap itu. Baik keturunan PRRI

maupun PKI adalah sama-sama orang yang bersalah dan sekaligus sebagai korban

politik, adu domba, meskupun mereka tidak tahu apa-apa dengan masa lalu yang

baru saja kemaren terjadi. Natsir pernah menyatakan, ‘’Saya tidak takut dengan

ribuan tentara pusat, tapi yang saya takutkan OPR5, mereka itu tahu seluk beluk

hutan, tahu gang-gang kecil ataupun jalan-jalan setapak di tengah hutan, karena

OPR adalah dari kita!’’. Apa yang dinyatakan Natsir itu adalah benar, OPR adalah

korban, hansip yang dipersenjatai itu tidak mempunyai jalan lain untuk

5 Organisasi Perlawanan Rakyat adalah hansip yang dipersenjatai, suara dan sikapnya lebih keras dari pada tentara benaran, pada dirinyalah ideologi komunis tersebut mulai ditanamkan.

6

Page 7: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

menyelamatkan dirinya dari perang politik tanpa sedikit pun diketahui bahwa

meraka dikomandoi oleh PKI yang membonceng dengan tentara pusat6.

Kemuadian saat kedatangan Tentara Pusat ke Sumatra Tengah untuk

menumpas PRRI, ada sedikit kebanggan dari masyarakat karena yang datang itu

Devisi Barwijaya dan Siliwangi. Masyarakat merasakan tiada pelecehan atau pun

kekasaran tentara itu kaepada masyarakat. Namun, setelahnya devisi Diponegoro

pimpian A. Yani menggantikan posisi itu, prasangka yang masih sama terhadap

tentara pusat akhirnya berubah telak setelah para penduduk tidak bersalah

ditembaki, para wanita dilecehkan, diperkosa, laki-laki dipaksa menceraikan

istrinya kalau tidak ditembak, lalu istrinya dipakai layaknya istri sendiri tanpa

dinikahi7. Wajar saja seorang suami yang dipaksa bercerai dengan istrinya kalut

dan lari kehutan kemudian bergabung dengan tentara PRRI. Lalu Rumah Gadang

dijadikan pusat pelacuran yang mana wanita Minang dipaksa menjadi pekerjanya.

Alhasil, PRRI kalah yang ditutup dengan penyerahan diri M. Natsir yang

direncanakan turun 25 september 1962 jam 2, namun rencana itu meleset Natsir

sampai di bawah (di palembeyan) jam 4 sore, sebab di dalam perjalanan di waktu

menyeberangi sungai yang arusnya sangat deras (Batang Masang) Natsir hanyut.

Tetapi, hal itu jugalah yang menyelamatkan Natsir dari kematian, seandainya

Natsir sampai di bawah jam 2 siang dapat dipastikan Natsir tewas, sebab para

tentara sudah diperintahakan pinpinan pusat untuk menembak siapa saja yang

turun dari hutan pada jam 2 siang itu. Anehnya yang menjadi komando pos

penjagaan di sana adalah ajudan M. Natsir sendiri sewaktu beliau menjabat

Perdana Mentri di Yogyakarta, maka sibak tangis pun memecahkan suasana

ketika itu.

Berbeda dengan Dahlan Jambek, sebagai seorang Ustad, dia juga seorang

tentara yang idealis, tetap tidak mau menyerah dan menginginkan ditangkap

diadili atau ditembak di tempat. Akhirnya, Dahlan Jambek tewas di tangan OPR

pimpinan Sugandhi di Desa Lariang Aia Kijang, desa terakhir Agam termasuk

Kumpulan daerah Pasaman8. Selanjutnya, bekas-bekas pejuang PRRI hingga anak

cucunya dilabeli denga orang terlibat (PKI).

6 Sebagian menyebutnya dengan tentara Sukarno.7 Wawancara Hari Efendi dengan Abdul Samat di Bukittinggi saksi PPRI Tanggal 6 september 2008, Jam 10 pagi.8 Wawancara Hary Efendi dengan Tan Kabasaran di Bukittinggi, 6 September 2008, Jam 12 siang.

7

Page 8: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

Suatu kesalahan bagi OPR, sebagai hansip yang dipersenjatai merasa

mempunyai kekeuatan, bahkan lebih ganas daripada tentara benaran, penduduk

dipukul, ditembaki dan segala macamnya. Sikap seperti ini adalah sangatlah

keterlaluan, anarkis dan kejam. Setelah PRRI tamat, semua bekas OPR juga

dilabeli dengan orang-orang terlibat (PKI), dipenjara tanpa diadili dan bahkan

dibunuh. Pada saat itu barulah mereka sadar, ternyata selama ini mereka

dikendalikan oleh tangan-tangan yang tidak terliaht dari pusat. Siapakah PKI yang

sebenarnya?

Berbeda pula ceritanya dengan Suwardi Idris sebagai Jurnalis Vokal dari

Harian ‘’Nyata’’ ketika itu. Selaku wartawan yang idealis, dia mempunyai tugas

menyarakan hati nurani rakyat. Karena terlalu berani, dia pun ikut terjebak di

antara dua dunia, Suwardi Idris dicurigai apakah dia memihak pusat atau PRRI

dan akhirnya Harian Nyata9 terkubur atau dikuburkan hingga sekarang.

Namun, sekarang sejarah itu diputus dari realitasnya sendiri, ditegaskan

PRRI sebagai pemberontak telah kalah perang, padahal PRRI sesungguhnya

bukanlah pemberontak terhadap negara, Natsir sendiri menyatakan ‘’kita tidak

akan membuat negara di atas negara, sekurang-kurangnya ini peringatan terhadap

Sukarno yang telah melibatkan PKI di dalam pemerintahan, kita tidak melawan

APRI tetapi kita melawan tentara Sukarno dan antek-anteknya’’. Meskipun

Dewan Banteng mendesak untuk mendirikan sebuah negara yang terpisah, Natsir

tetap bersikeras pada prinsipnya. Di awali trauma PRRI inilah intelektual pertama

mati di Minangkabau.

Setelah PRRI menyerah, pandangan dialihakan kepada PKI sebagai

sasaran politik, PKI dideskreditkan, musuh persatuan dan kesatuan, dicap sebagai

perusak ideologi negara. Maka ditanamkanlah kebencian terhadap PKI dari segala

penjuru, media-media, seperti pemutaran filem G 30/SPKI setiap tanggal 30

September. Dilambanglan Gerwani menyayat-nyayat muka para jendral, menari-

nari bugil di hadapan para jendral, A. Yani termasuk salah satunya korbannya.

Sedangkan Nasution yang dulu berada dibelakang A. Yani semasa PRRI,

dihukum seumur hidup, disisihkan dari percaturan politik Indonesia. Nasution

9 Media yang berkembang pada saat itu, suaranya lantang tapi sayangnya dikubur oleh pemerintah. Di samping itu terdapat 2 buah media yaitu Penerangan dan Haluan yang sering lebih memilih diam dan cari keselamatan. Sekarang Haluan masih eksis, antara hidup dan mati.

8

Page 9: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

sebagai jendral hebat tetapi berlindung dibalik mayat Ade Irma Suryani yang

masih 5 tahunan. Nah, kematian kembali mengunjungi generasi intelektual kedua.

Barulah tahun 1998 yang dipelopori seluruh mahasiswa Indonesia

hancurnya simbol kestabilan nasional, Suharto jatuh tapai, namun beberapa orang

mahasiswa harus meregang nyawa ditangan peluru-peluru tajam aparat,

Reformasi!. Setelah itu para aktifis 98 mendapatkan tempat di dalam kekuasaan,

dihargai perujuangannya, tidak ada aktifis 98 yang gagal secara ekonomi,

kemudian terputuslah kembali sejarah itu hingga di sini. Orang lupa akan Natsir,

Siti Mangopoh, PDRI dan segala macamnya. Sekali lagi intelektual generasi ke

tiga mati.

Sebuah fakta bahwa realitas telah diwarnai kematian demi kematian

intelektual, dengan alasan trauma dan segala macamnya. Akibatnya, Minangkabau

sebagai ujung tombak kemerdekaan terputus dari akarnya sejarahnya dan semua

berkiblat kepada pusat. Ternyata keadaan itu melahirkan pemberontak baru, dialah

‘’seniman, penyair, budayawan, satrawan’’, kembali menorehkan ketajaman

ujung-ujung penanya untuk menggugat ketidakadilan dan meruntuhkan tembok

Hagemoni. Seiring waktu berjalan penguasa kembali risih terhadap kehadiran

mereka, maka dibentuklah DKSB10, yang mana di dalamnya tergabung para

seniman, budayawan dan segala macamnya itu. Sekali lagi intelektual ke empat

kembali mati. Nah, kematian demi kematian itu tetap terus belanjut hingga

sekarang, namun penamaan dan tingkatannya sudah agak berbeda dan sedikit

elite, dan sekarang kematian itu mulai merayap memasuki dunia akademis.

4. Tamasya Realitas

Kita kembali ke utopia akan kemajuan yang tidak pernah terealisasikan,

masyarakat komsumer dan nostalgia masa lalu, mengusung lahirnya kembali

tanda tanya? Tnda yang dihasilkan adalah tanda yang berhubungan relatif simetris

dengan realitas/tanda kejujuran, tanda palsu atau gadungan, tanda dusta yang

penanda salah dan realitas yang dicapai juga salah, tanda rekontruksi/Dekontruksi

aneh tapi bermanfaat bagi dunia sekarang, tanda ciptakan lewat teknologi

mutakhir dan tanda ekstrim yang dianggap tanda hiperbola (Piliang, 2003).

10 Dewan Kesenian Sumatra Barat.

9

Page 10: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

Sepaham dengan Jean Baudrillard, tiada salahnya kita menikmati hidup dalam

dunia simulasi, menikmati hidup dalam Hyperealitas, sebab simulasi itu sendiri

menurutnya tidak hanya melipatgandakan ada (being), tetapi sudah menciptakan

model yang tanpa asal usul atau realitas, Hiperealitas. Tanda tidak ada lagi

acuannya dalam realitas, semuanya berupa penanda. Inilah yang dikatakan Piliang

(2006) manusia terjebak dalam bujuk rayu dan ketersesatan tanpa bertujuan,

citraan adalah segala-galanya bagi manusia. Tanda menciptakan mitosnya sendiri

dalam nostalgia dan mengambil alih makna secara atuh, hayalan-hayalan semu

tetapi terlihat sangat nyata. Meskipun simulasi mulanya dianggap Baudrillard

sebagai strategi intelektual, tetapi perkembangannya membawa dampak menuju

hyperrealitas sebagai dampak dari pengalaman kebendaan.

Apakah maksud Piliang dengan terjebak ke dalam belantara bujuk rayu?

Berpijak pada awal pembahasan di atas bahwa tembok transenden dengan

immanen telah melebur, sulit membedakan mana yang benar mana yang salah,

mana yang baik ataupun buruk. Sesuatu itu buruk jika tidak sesuai dengan cita

pribadi, semua itu baik ketika bersesuaian dengan kepentingan duniawi, bukankah

Nietzche telah menjelaskan moral telah dilahirkan dari rahim-rahim kepentingan

duniawi? Tuhan dilahirkan lewat dunia citraan, seperti di media masa. Masyarakat

konsumer menggilai apa yang ditawarkan perkembangan teknologi, nafsu sebagai

objek. Masyarakat berani membayar mahal asalkan dapat tampil di hadapan orang

banyak, kalau perlu dengan harga diri, persoalan moral itu urusan pribadi.

Sejalan dengan apa yang dikatakan Heidegger dalam Piliang11 bahwa

dunia moderen telah dijajah oleh dunia citraan, yang diproduksi lewat kemajuan

teknologi sains untuk mengubah potret dunia dan teknologi tersebut menentukan

pandangan dunia (Word view) manusia moderen. Keberadaan being hanya dalam

representasi itu dianggap sebagai yang real. Tidak sebatas itu, manusia digiring ke

dalam sebuah dunia yang mana dikendalikan oleh antologi citra12 (Levin dalam

Piliang, 2004; 81), sebagai predator pamangsa yang berbahaya atas keberadaan

being, akhirnya being terputus dari sejarah dan asal muasalnya. Predator itu ialah

11 Piliang 2004; 8. Penulis menafsirkan bahwa penjajahan ini bisa dikatakan sebuah pembunuhan terhadap ideologi dan melahirkan ideologi paling baru yang dapat menyatukan konsumen di dalam satu kesenangan, nafsu akan dunia 12 Antologi citra adalah being di dunia kini telah dijajah oleh being dalam wujud citraan, being dalam wujud representasi (Piliang, 2004; 81).

10

Page 11: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

Media Massa yang telah mampu merepresentasikan dirinya dan terobsesi oleh

citarnya sendiri. Hal ini menurut Piliang terjadi karena kecendrungan

mendefinisiskan being lewat bahasa dan kategori adanya sendiri, Media telah

membentuk dunianya sendiri dengan manusianya sendiri, melampoi pandangan

dunia dan eksistensi manusia didefinisikan. Di saat Antogi citraan menguasai

pikiran-pikiran mangsanya maka pada saat itu pulalah eksistensi manusia itu mati,

yang dihasilkan manusia-manusia image dan dunia image dunia citraan.

Bayangkan, berapa banyak kepala yang terantai dan salah satu ujung rantai itu

terikat pada sauatu titik yang disebut mata bola raksasa, kita bisa

mengumpamakannya sebagai sebuah matahari sebagai pusat planet dikelelingi

terus menerus oleh planet-planet yang ingin mendapatkan cahayanya, seperti

itulah manusia yang digambarkan.

Layaknya media massa telah mampu memanajemen kerinduan masyarakat

konsumer akan kesenangan, kemapanan hidup dan harga diri di mata orang

banyak. Media menghadirkan dunia Hyper lewat teknologi simulasi virtualnya.

Iklan kondom, alat memperbesar dan memperindah tubuh agar tetap tampil

menarik, pemuas nafsu, Cyberspace, Holografi, peresmian lokalisasi, bahkan di

Sumbar sendiri telah dimunculkan wacana tersebut. Realitas seperti ini jelas

memperlihatkan ketidakkomitmenan terhadap aturan-aturan moral, sehingga

kepentingan berpindah ke dalam arena Postmoral itu sendiri. Inilah kebenaran

yang seharusnya ditakuti di dalam diskursus Potmoderen itu, perayaan besar-

besaran ideologi tanpa pondasi dan tanpa asal usul terealisasi sudah di tengah

masyarakat kita.

Sejalan dengan itu, yang patut menjadi perhatian adalah spiritualitas.

Masih adakah? Sekurang-kurangnya sebagai wacana? Nyatanya spiritual sudah

dimapatkan ke dalam program ISQ power, Postspiritual, pelatihan-pelatihan

spiritual, spiritual sudah dipisahkan dan sudah direncanakan di dalam dunia yang

berbeda. Mencapai titik spirittual di dalam dunia hampa makna dan ketiadaan

being adalah suatu yang sangat menjenuhkan, sebab alam pikiran bawah sadar

masyarakat simulasi telah terasah tajam kedalam ketersesatan hutan belantara

bujuk rayu virtual begitulah yang dikatakan Piliang. Sangat menyedihkan saat

melihat wajah Islam di televisi, kampungan, anarkis, bejat, hantu dan syetan sudah

11

Page 12: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

berwujud, syetan sudah mengambil profesi sebagai selebritis dan berhenti

mengganngu manusia, kemudian muncul syetan-syetan elit yang sangat

dibutuhkan tanda tangannya oleh para penggemar baik dari dunia manusia

maupun dikalangan dunia persetanan sendiri. Manusia bebas dari gangguan

syetan? Lalu menyelip pula gambaran syurga neraka yang juga dihadirkan lewat

media, alhasil masyarakat takut untuk berbuat keburukan karena takut menderita

seperti yang didakwahkan media, manusia tidak takut kepada tuhan yang

sebenarnya, tuhan berpindah pada citraan (ontologi citra).

Selanjutnya tindakan mengeksploitasi libido dan keindahan tubuh,

pinggul, paha, dada, betis dan kepuasan puncak hasrat. Hal itu menjadi unsur

utama dalam citra media, dengan gaya baru ini, produk yang ditawarkan laku

terjual, ideologi yang digambarkan dilumat habis oleh para penonton yang

berumur belasan tahun hingga penonton yang sudah uzur. Saat panggilan sholat

yang berwujud irama azan datang, sholat ditunda dulu karena Cinta Pitri masih

tergantung, mumpung sebentar lagi iklan. Di saat suasana sholat berlangsung

ingatan terus berpaling kepada sinetron yang sedang ditampilkan, takut

ketinggalan cerita dan lahirlah Imagologi.13

Hal di atas sebuah kenyataan bahwa dunia media telah dianggap sebagai

simbol perubahan zaman yang menjanjikan kemakmuran, kesenangan, dan

kekayaan. Orang sibuk dan berlomba mengikuti kuis berhadiah, limpahan durian

runtuh, kuis telkomsel, kursi panas melioner, ketiban mobil, dan LMN sangat

menjanjikan kemapanan. Lalu masyarakat lupa akan pentingnya berusaha

mengeluarkan keringat, lalu siapa yang akan berdagang, beladang dan bersawah,

jika masyarakat kita telah bertumpu pada dunia maya. Lalu didikan terhadap anak

pun sudah dimapatkan, bisa dilakukan lewat televisi. Kalau dulu keindahan

suasana mengaji di surau, hingar bingar seloroh teman sesama besar, belajar

mandiri secara alamiah hilang begitu saja setelah peran itu diambil alih oleh

media. Anak sudah dibuatkan kamar sendiri di rumah bercampur aduk antara anak

perempaun dan laki-laki, alhasil hilang rasa segan menyegani sesama saudara,

malahan bisa mempraktekkan apa yang dilihat anak dari media kepada saudara

13 Imagologi adalah penggunaan citra-citra tertentu untuk menciptakan imaji tentang realitas yang pada titik tertentu akan akan dianggap realitas itu sendiri (Piliang, dalam Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial, 2003; 150).

12

Page 13: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

perempuannya sendiri. Dulu, anak yang telah berumur 6 tahun ke atas sangat

dilarang tidur di rumah karena malu di rumah ada saudara perempuan, sekarang

anak laki-laki dilarang keluar rumah, dibilang oleh orangtua anak kecil dilarang

keluar rumah karena tidak baik.

Sejalan dengan itu, para ibu rumah tangga mau menangisi kematian tokoh

idola dari pada menangisi tetangga yang meninggal, atau salah satu keluarga yang

meninggal. Kehilangan tokoh panutan di media sangat menganggu semangat

hidup, setiap hari menangisi artis ngetop yang bercerai dengan suaminya

sementara ibu rumah tangga lupa mempererat tali perkawinannya sendiri dengan

sang suami. Akhirnya ala perceraian gaya bercerainya artis ngetop pun menjadi

komsumsi. Lalu simbol kemapanan harus dimiliki oleh setiap keluarga meskipun

kreditan, karena hal itu sudah berubah menjadi perjuangan harga diri, sementara

itu anak-anak memakai baju compang camping ke sekolah, iyuran sekolah belum

dibayar, sudah diusir guru tidak boleh ujian, makan dengan sayur kangkung

ditambah ikan 1 potong dibagi empat. Bagimana mau cerdas kalau makan telur

saja satu kali seminggu. Kemudian tidak malu mengemis meminta bantuan beras

miskin, bantuan BBM, sementara rumah sudah dilengkapi dengan motor, mobil

dan bahkan berstatus PNS.

Akibat dari itu, ujung-unjungnya masyarakat komsumer terpapah kearah

Postsosial14, yang mengusung kematian ruang sosial itu sendiri. Dimana

kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya raib sudah ditelan kepentingan,

tercerabutnya ruang-ruang sosial, tenggang rasa dan rasa tangung jawab. Sebauh

fatamorgana sosial15 yang dihasilkan media, mencari sahabat lewat internet,

mencari uang lewat internet, berkelahi lewat internet dan segala macamnya.

Sehingga silaturrahmi tatap muka tiada lagi, aura silaturrami tersebut hilang

ditelan ontologi citraan itu sendiri. Alhasil, ruang-ruang sosial itu mati dan

digantikan oleh ruang realitas media seperti internet, manusia sosial tidak ada lagi

karena sudah digantikan oleh manusia imajiner tanpa sosial (individual) dan

14 Postsosial adalah realitas sosial yang hadir dalam wujud media yang menghubungkan komponen-komponen sosial dalam relasi jarak jauh (Piliang 2005; 95)15 Fatamorgana adalah citraan yang dibentuk oleh penanda (signifier) yang berdasarkan persepsi orang yang melihatnya dikaitkan dengan sebuah penanda (signified), berupa konsep atau makna di baliknya (Piliang, 2003; 150).

13

Page 14: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

kebudayaan bermoral itu menjauh karena sudah digantikan budaya imaji (budaya

massa).

5. Postmoral

Geneologi moral itu diawali dengan runtuhnya ideologi, pujaan hanya

hayalan-hayalan akan nafsu, baik nafsu kebendaan, ekonomi, jabatan hingga nafsu

seks. Referensi yang tersisa hanyalah konsumen yang memamahbiak hasil dunia

citraan, norma baru hanya menjadi bingkai dalam sistem nilai dan akan terus

membingkai, sebab konsumen yang dihasilkan Hipereralitas ini pasif, terjebak

dalam lingkaran setan, terperangkap ke dalam dunia penampakan, terbongkar dari

akar spiritual, tercerabut dari ideologi dan jauh dari mitos-motos masa lalu yang

agamais. Derrida pernah menyatakan telah terjadi pemaknaan penanda sebagai

penanda dan bukan sebagai tinanda lagi, di sini tanda kehilangan loyalitas

kediriannya, membaur dengan nafsu serakah akan duniawi.

Sangat wajar di negara ini KKN tidak pernah terhapuskan, sebab

bagimana pun KKN itu adalah jiwa yang tidak takut dengan sosok Antasari Azar.

Dulu tahun 1998 pernah muncul wacana bahwa Mahasiswa takut kepada Dosen,

Dosen takut pada Presiden, dan presiden takut pada Mahasiswa’’, awal runtuhnya

simbol kestabilan Nasional yang berwujut orde baru. Nah, pasca reformasi realitas

sudah berlainan, ormas dan organisasi mahasiswa seperti yang dimiliki aktifis 98

itu ternodai oleh sonior-soniornya yang tidak lain adalah sebagian dari aktifis 98

itu sendiri? Dunia akademis diterobos oleh politik, mahasiswa ikut berkampenye

untuk calon Wali Kota atau legislatif, otonomi kampus dari pihak asing sudah

terlangkahi.

Beriringan dengan itu, sebuah sifat yang sudah teruji, kekeluargaan dan

kegotongroyongan pun menciptakan realitasnya sendiri. Kekeluargaan dimaknai

di dalam lapangan kerja, kegotongroyongan dibingkai dalam sebuah ‘’awak samo

awak’’, alhasil sitem lama terputus dan melahirkan sitem simulasi, Kolusi,

Nepotisme individual dan intrelektual tidak dihargai lagi. Kita tidak bisa

mengelak bahwa bantuan-bantuan pemerintah baik di bidang pendidikan maupun

kemasyarakatan sering tersampaikan dalam sasaran simulasi, contohnya beasiswa

lebih didahulukan untuk pegawai negri dibandingkan orang-orang yang tidak

14

Page 15: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

mampu tetapi ingin cerdas, pengangkatan PNS untuk kepentingan politik hingga

intervensi sebuah lembaga terhadap lembaga ain. Bagimana mau cerdas kalau

untuk makan sehari-hari sulit? Bagaimana mau pintar jika kesempatan untuk

belajar hanya diberikan untuk orang-orang mapan secara ekonomi? Inilah yang

diciptakan dunia simulasi, Hyperrealitas dalam pelipatan dunia yang digambarkan

Piliang tersebut.

Adanya bantuan pendidikan sebanyak 20 %, tetapi yang dibantu dan yang

menerima siapa? Hanya parsennya saja yang tersampaikan kepada orang yang

membutuhkan (kebohongan intelektual) sementara 20-nya masuk kekantong-

kantong yang sudah dipersiapkan, anak dosen, PNS, orang-orang kaya, atau

mempunyai orang dalam, mungkin pula keluarga yang diangap bersih dan sangat

dihargai di tengah masyarakat, itulah yang wajib dibantu dengan dana pendidikan

20 %. Padahal kemerdekaan negara ini didapatkan atas perjuangan orang-orang

yang terpinggirkan secara ekonomi, setelah merdeka jasa mereka tidak dihargai,

anak cucunya pun tidak tercatat sebagai anak veteran, mungkin pekerjaan mereka

sehari-hari tetap saja keladang, ke sawah atau menarik ojek. Lebih parahnya

sejarah mencapnya sebagai orang terlibat (PKI) karena sempat dipenjara tanpa

diadili atas tuduhan terlibat dan diasingkan dalam waktu yang cukup lama.

Sejalan dengan itu, lihat juga pergaulan antar remaja, gaya berpacaran,

zinah hati hingga zinah kelamin. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh remaja tetapi

peminpin terpilih pun tidak ketinggalan. Bermesraan di tempat ramai, di pantai, di

muka umum dan anak SMU yang membuat VCD porno? Kemudian berhubugan

layaknya suami istri, sudah memanggil papa mama. Di saat terjadi kehamilan di

luar nikah kedua pelaku dilindungi, bukannya hukum agama menegaskan bahwa

pelaku zinah itu dirajam sampai mati, di usir, bahkan pezinah hnya wajib nikah

hanya dengan pezinah pula. Bukankah peraturan juga ikut menyediakan sarana

bagi remaja untuk berzinah? Perhatikan di sepanjang panati Padang di saat magrib

datang, seiring azan dimesjid para remaja juga azan di pondok remang-remang,

yang mana para penjaga warung menurunkan tirai untuk menutupi dosa para

remaja itu, pakai jilbab juga, juga ikut organisasi mahasiswa islam, ikut nafsu

juga, tiada pembatas antara keduanya sehingga di antara remaja tersebut juga

tanpa pembatas, berhubungan layaknya suami istri. Lalu realitas yang melampoi

15

Page 16: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

itu terus berkembang sehingga bayi yang dilahirkan pun dilabelkan dengan nama

Muhammad, Muhammad Alfarezal anaknya Pingkam Mambo vokalis ratu? Hal

yang serupa tidak berhenti di sana, semua pengaruh itu merebak ke kampung

tradisional yang agamais, desa-desa tradisional, tiada lagi buang siriah bagi si

pezinah, tiada lagi memnyemblih seekor kerbau bagi yang hamil diluar nikah,

semua disamarkan atas nama menjaga malu, tetapi tiada malu kepada pencipta

yang mana matanya selalu terbuka.

Nah, realitas di atas sebuah kenyatan yang sedang menimpa masyarakat

kita, apalagi di era serba maju seperti sekarang ini, apakah itu namanya

Postmoderen atau Hyperrealitas? Serba menjanjikan, serba semu, fana, alam

mimpi, dunia hayal, menyatu dengan kebenaran, kebenaran menyatu dengan

kebohongan, mana yang benar, mana yang salah sudah membaur, apalagi bicara

soal moral? Moral hanyalah produksi dan dilahirkan dari rahim kepentingan

duniawi, Nietzche menyebutnya begitu.

6. Skizofrenia Tanda

Menerjemahkan alam relitas memang terlalu sulit, melalui pernak penik

tanda yang menjelma ke dalam bentuk berbagai macam rupa dan fungsi membuat

orang enggan menyadari malahan lebih memilih hanyut di dalam kesenangan,

kemalasan yang ditawarkan teknologi firtual. Dunia media yang digambarkan

telah menawarkan dunia baru, nafsu baru, ideologi baru hingga ke tuhan baru

(ontologi citra). Piliang dalam dunia yang berlari 2004, menjelaskan bahwa mesin

hasrat telah menyudutkan tuhan sebagai penguasa dunia, kursi ketuhanan diambil

alih, mungkin para malaikat digantikan jabatannya. Lihatlah kemanapun menoleh

dan kemanapun tujuan diarahkan selalu dihadapkan kepada permainan tanda,

haluisnasi dan kegilaan waham generasi dari skizofrenia.

Produk media ditawarkan dalam skala besar menjajikan dan berlebihan,

sehingga menjadi penguasa bagi konsumen, dikatakan piliang (2006, 73) sebuah

meme atau pesan kultural yang membentuk pikiran setiap orang dan itu dilakukan

berulang-ulang dan tersistem diwariskan dari generasi kegenerasi, di mulai dari

lingkungan keluarga, masyarakat, hingga dunia pendidiakan. Lebih parahnya

pemangsa tersebut merambah dunia akademis secara terang-terangan. Sikap

16

Page 17: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

merasa lebih dan merasa pintar telah menguasai individu yang memilikinya,

sehingga orang berada di bawahnya diangap bodoh dan tidak tahu apa-apa tentang

kefanaan dunia. Di saat kritikan dilemparkan atau terdapat kesempatan untuk

berbuat lebih memihak kepada orang lain, berontaklah virus mematikan tersebut,

penulis menyebutnya skizofrenia kadar menengah (waham). Skizofrenia

merupakan sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi

individu, termasuk berfikir dan berkomunikasi, menerima dan

mengenterprestasikan realitas, merasakan dan menunjukan emosi dan berprilaku

dengan sikap yang dapat diterima secara social (Ann Isaacs, 2005; 151).

Schizofrenia merupakan jenis gangguan jiwa yang paling berat dengan harapan

sembuh kecil sekali, selalu kambuh. Biasanya ditandai dengan pembicaraan yang

kacau tidak dapat dimengerti maksudnya oleh orang lain. Dengan tingkah laku

aneh yang terkadang memperlihatkan gerakan yang diulang atau dipertahankan.

Walaupun secara umum penyebab pasti skizofrenia masih belum jelas,

namun konsensus umum menyatakan bahwa gangguan ini disebabkan oleh

interaksi yang kompleks antara berbagai faktor, faktor tersebut di antaranya;

Faktor Genetik, meskipun genetika merupakan faktor yang signifikan, belum ada

penanda genetika tunggal yang di identifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai

gen seperti; Abnormalitas, perkembangan saraf yang menurut penelitian

menunjukkan bahwa malfarmasi janin minor yang terjadi pada awal gestasi

berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia.

Sejalan dengan itu, adanya proses psikososial dan lingkungan, sesuai

dengan teori perkembangan seperti yang dikemukan Freud, bahwa kurangnya

perhatian yang hangat dan penuh kasih sayang di tahun-tahun awal kehidupan

berperan dalam menyebabkan kurangnya identitas diri, salah interprestasi

terhadap realitas dan menarik diri dari hubungan pada penderita skizofrenia.

Biasanya adanya hubungan kuat antara skizofrenia dan status sosial ekonomi yang

rendah dan model kerentanan stres, yang mana model interaksional yang

menyatakan bahwa penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetik dan

biologik terhadap terhadap skizofrenia. Kerentanan ini, bila disertai dengan

pajanan stressor kehidupan, dapat menimbulkan gejala-gejala pada individu

tersebut.

17

Page 18: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

Sejalan dengan itu terdapat gejala umum terhadap skizofrenia ini, di

antaranya; Waham yaitu keyakinan keliru yang sangat kuat, yang tidak dapat

dikurangi dengan menggunakan logika. Sikap waham inilah yang sedang beranak

pinak, seperti meme yang digambarkan piliang. Dia hidup dan diwariskan kepada

generasi selanjutnya, sehingga terdapat waham terhadap ilmu, karya, jabatan,

kekuasaan, kecantikan, kegagahan dan menggagahi apa yng tidak menjadi hak.

Kemudian terjadinya asosiasi longgar yang mana menjadi penyebab utama adalah

kurangnya hubungan yang logis antara pikiran dan gagasan, yang dapat tercermin

pada berbagai gejala. Di ranah ini manusia dikendalikan oleh simbol kestabilan

dan kemapanan dunia, kolonialisasi hak dan berusaha membentuk tubuh yang

patuh terhadap aturan moral buatan segelintir orang, Nietzche menyebutnya moral

para budak.

Skizofrenia mampu menetaskan halusinasi yaitu persepsi sensorik yang

keliru dan melibatkan panca indra. Di sinilah utopia kemajuan tersebut diungkit-

ungkit, mimpi-mimpi postmoderenism diganyang habis. Sudah pada

tempatnyanya mercusuar hasrat menanamkan pengaruh baik di dalam pergaulan

akademis maupun masyarakat di tingkat akar rumput. Akibatnya, sistem tinggal

sistem yang sambil lalu tetap memangsa apa yang dapat dimangsa dan kemapanan

akan menghantui semua pikiran orang-orang yang terlecehkan secara intelektual.

Kemudian Intelektual digantikan oleh meme kemapanan dan berhenti berpikir?

Layaknya sebuah kesalahan menginterprestasikan stimulus lingkungan

(ilusi) yang diperparah dengan depersonalisasi/derealisasi, yaitu sikap yang

merasa bahwa “dirinya” sudah berubah secara mendasar. Oleh karena itu individu

tersebut tidak perlu lagi melakukan apa-apa sebab sudah adanya jaminan masuk

sorga atau sejenis surat aflat (penganmpunan dosa) atau ESQ power. Alhasil,

adanya; pertama ambivalensi yang berupa konfik atau pertentangan emosi yang

menyebabkan sulitnya individu menentukan pilihan atau keputusan. Kedua

avolisi, kurangnya motivasi untuk melanjutkan aktivitas yang berorientasi pada

tujuan. Ketiga alogia, berkurangnya pola bicara atau miskin kata-kata. Keempat

ekopraksia, meniru tindakan orang lain tanpa sadar. Kelima anhedonia, kurang

senang melakukan aktifitas dan hal-hal lain yang secara normal menyenangkan.

18

Page 19: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

Keenam pemikiran konkrit, kesulitan berpikir abstrak sehingga ia

menginterprestasikan komunikasi orang lain secara harfiah.

Dari gambaran di atas jelaslah skizofrenia itu sangat berbahaya di dalam

dunia keintelektualan. Kudeta kesempatan, rampas aklak menjadi pokok utama

untuk mencapai apa yang disebut dengan kemapanan, sehingga secara tidak

langsung ego kekuasaan telah menzalimi truktur di bawahnya, dan strukutur di

bawah akan melemparkannya ke segala penjuru dan begitulah seterusnya. Begitu

pula dengan media, melalui pemadatan bahasa mampu menjadi puncak

pengendali, virtualisasi lewat sarana langue dan parole merekayasa kebutuhan

konsumen akan kemapanan sehingga para konsumen berhenti berpikir untuk

sesuatu yang abadi dan mengorbankan hidup ke dalam kefanaan. Kegilaan yang

sangat berbahaya di dunia.

7. Simpulan

Sebagian orang mungkin akan berpikir, bahwa orang-orang cerdas

sebelumnya pernah ada seperti Plato, Socrates, Marxs adalah orang-orang latar

belakang ekonominya hancur lebur karena kondisi Hyperealitas tetapi menang

secara intelektual. Buktinya mereka itu masih hidup hingga sekarang melalui

karya intelektualnya. Namun, permasalahan akan muncul di saat zaman Plato,

Socrates maupun Marxs berbeda dengan kondisi sekarang, sekarang pendidikan

telah maju walaupun dalam tahapan wacana tetapi sekurang-kurangnya telah

meninggalkan masa Plato dan Socrates yang paceklik. Kalau boleh dibilang dari

satu sisi inilah kejahatan simulasi yang sangat berbahaya, sebab akan

memperextrim tindakan extrim yang pernah ada dan di sisi lain sebagai strategi

intelektual kuno yang harus diremajakan.

Sejalan dengan itu, di saat wacana tentang Hyperrealitas muncul seakan-

akan ketenangan masyarakat kita merasa terusik, sebab kebiasaan mereka

disinggung-singgung dalam sebuah wacana maupun catatan pinggir di koran-

koran lokal. Berbagai macam tuduhan akan dilempar secara serampangan,

penanaman ideologi, orang yang Hyper, aliran sesat oarng yang latar belakangnya

hancur dan apa saja kata-kata yang menunjukan kekalahan dalam bentuk

penolakan. Di sini perang urat leher akan berlangsung, hingga menimbulkan tidak

19

Page 20: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

bertegur sapaan selama berhari-hari, dunia intelektual yang aneh. Seharusnya

sebagai intelektual harus berpikir karena itu adalah kewajiban intelektual.

Terlepas dari itu, yang patut mendapatkan perhatian adalah asal muasal

kematian entektual yang digulung realitas tersebut. Berawal dari perkembangan

ilmu pengetahuan, perkembangan cita-cita realitas dan perkembangan ideologi

yang bergerak melampaui kodrat. Manusia beruasaha menciptakan dan

merealisasikan kemajuan yang dianggap tidak pernah terrealisasikan dalam

kehidupan realitas, masyarakat membentuk budayanya sendiri dalam ranah

budaya massa, masyarakat membatasi moralnya sendiri berdasarkan kepentingan

akan duniawi, nafsu benda. Sementara itu ketajaman intelektual tidak diasah dan

tali spiritual tidak dipertebal, kiranya sebuah kejenuhan dengan utopia politik,

sejarah dan budaya yang selalu menawarkan kemapanan baik di bidang

pendidikan maupun ekonomi. Masyarakat sebagai individu yang mandiri butuh

energi agar tetap hidup untuk bisa mencapai tahap itu, dilihat juga peraturan dan

norma yang disepakati berubah dari mengatur menjadi mengekor mengikuti ke

arah mana budaya masa berkembang. Maka, hiduplah geneologi moral yang

mengusung Hyperrealitas, yang setiap saat akan memangsa siapa saja yang

menderita, terlecehkan dan teraniaya.

Seiring dengan itu, dunia Hyper juga dilatari oleh perkembangan ilmu

pengetahuan dan kemajuan teknologi untuk memenuhi nafsu manusia yang tidak

pernah merasa mapan. Sehingga teori-teori ilmu pengetahuan itu pun ikut

berkembang melampoi realitasnya. Piliang menyebutnya dengan Posteori adalah

dimana teori-teori ilmu sosial maupun eksakta telah berreproduksi melampau

kodratnya, seperti posmetafikika, Postsemoitika dan segala macam bentuk post

dalam artian perlawanan terhadap teori asal.

Kenyataan yang senada, di dalam dunia Hyperrealitas itu akan serat

dengan eksploitasi terhadai tanda yang awalnya tanda (signifier) mengacu pada

petanda (signified) sekarang telah berreproduksi atas kepetingan, tanda itu sendiri

di dalam masyarakat tidak sebagai penanda tetapi tetap sebagai tanda. Siapa saja

yang mampu memepermainkan tanda, dengan mengangggap penanda (subjek)

sebagai pengauasa yang mengeksploitasi petanda (objek) dialah yang akan maju,

sementara bagi siapa yang cenderung diam akan tergilas dalam percaturan global

20

Page 21: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

kedua. Kedua Langue dan parole, juga telah berkembang melewati kodratnya,

bagi siapa yang dapat mempermain langue untuk kepentingan makna dia akan

menghasilkan penikmat parole sebanyak mungkin, semakin banyak permaian

terhadap parole maka semakin hancurlah dunia ini. Semua orang akan

dikendalikan bujuk rayu dan manisnya bahasa yang kemudian menghasilkan

tindakan yang membuat aturan moralnya sendiri. Inilah yang dapat disebut sebuah

kegagalan Postmoderen yang mana pada awalnya ingin meruntuhkan narasi besar

dan melahirkan narasi kecil yang bersifat isu lokal dan diikuti dengan kegagalan

intelektual dalam memanajemen tanda, langue dan parole.

Daftar Bacaan

Eco, Umberto. 1987. Tamasya Dalam Hyperrealitas. Yogyakarta: Jala Sutra

Idris, Soewardi. 2008. Perjalanan Dalam Kelam. Yogyakarta: Beranda.

Isaacs, Ann. 2005. Keperawatan Jiwa Dan Psikiatrik. Jakarta: EGC.

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melanpou Batas-batas

Kebudayaan. Yokyakarta: Jala Sutra.

-----------------------. 2004. Post-Realitas, Realitas Kebudayaan dalam Era

Postmetafisika. Yogyakarta: Jala Sutra.

-----------------------. 2004. Dunia Yang Berlari. Jakarta: Grasindo.

-----------------------. 2003. Hiper Semiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya

Makna. Bandung: Jala Sutra.

----------------------. 2003. Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial. Solo: Tiga

Serangkai.

Poole, Rose. 1993. Moralitas dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisus

Ritzer, George. 2003. Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Juxtapose Research

And Publication Study Club dan Kreasi Wacana.

21

Page 22: Hyperrealitas dan Kematian Intelektual (M.Yunis)

Wawancara Hari Efendi dengan Abdul Samat saksi PPRI, di Bukittingi, 6

september 2008, Jam 10 pagi.

Wawancara Hary Efendi dengan Tan Kabasaran saksi PPRI, di Bukittinggi, 6

September 2008, Jam 12 siang.

Yuwono, Untung dan T. Cristomy. 2004. Semiotika Budaya. Depok: Direktorat

Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia.

Zoest, Art Van. 1993. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

22