Hubungan Defisiensi vitamin D dengan Sindrom Metabolik...
Transcript of Hubungan Defisiensi vitamin D dengan Sindrom Metabolik...
Hubungan Defisiensi vitamin D dengan Sindrom
Metabolik Pada Anak Obes
Relationship Between Vitamin D Deficiency and
Metabolic Syndrome in Obese Children
Dina Kurniasih
P1507213126
KONSENTRASI PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS TERPADU
PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
M A K A S S A R
2017
TESIS
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu
wata’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hasil penelitian
ini.
Penulisan ini merupakan salah satu persyaratan dalam rangka
penyelesaian Program Pendidikan Dokter Spesialis di IPDSA (Institusi
Pendidikan Dokter Spesialis Anak) pada Pascasarjana Kedokteran Program
Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu (Combined Degree) Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hasil penelitian ini
tidak akan terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus
kepada Dr. dr. Aidah Juliaty A. Baso, Sp.A(K) sebagai pembimbing materi
yang dengan penuh perhatian dan kesabaran senantiasa membimbing dan
memberikan dorongan kepada penulis sejak awal penelitian hingga penulisan
hasil penelitian ini.
Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada Prof.
Dr. dr. H.Dasril Daud,SpA (K) sebagai pembimbing metodologi yang di tengah
kesibukannya telah memberikan waktu dan pikiran beliau untuk membantu
penulis dalam menyelesaikan penulisan hasil penelitian ini. Penulis juga
mengucapkan banyak terima kasih kepada para penguji yang telah
memberikan banyak masukan dan perbaikan untuk tesis ini, yaitu (Alm) Prof.
iii
Dr.dr. R. Satriono, Sp.A(K), Sp.GK, Dr. dr. Martira Maddeppungeng,
SpA(K), dan dr.Ratna Dewi, Sp.A(K), MARS
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada :
1. Ibu Rektor, Direktur Program Pascasarjana dan Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin atas kesediaannya menerima penulis
sebagai peserta pendidikan di Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin.
2. Ibu Koordinator Program Pendidikan Dokter Spesialis I Universitas
Hasanuddin yang senantiasa memantau dan membantu kelancaran
pendidikan penulis.
3. Ibu Ketua Bagian dan Ibu/Bapak Ketua serta sekertaris Program Studi Ilmu
Kesehatan Anak beserta seluruh staf pengajar (supervisor) atas bimbingan
dan asuhannya selama penulis menjalani pendidikan.
4. Semua teman sejawat peserta Pendidikan Pascasarjana di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak atas bantuan, kebersamaan dan kerjasama yang baik
selama penulis menjalani pendidikan.
5. Semua paramedis di RS dr. Wahidin Sudirohusodo dan rumah sakit satelit
yang lain atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis menjalani
pendidikan.
6. Semua staf administrasi di Departemen Ilmu Kesehatan Anak, bagian
PPDS dan Program Pascasarjana FK UNHAS atas bantuan dan
kerjasamanya selama masa pendidikan penulis.
iv
7. Orang tua tercinta, (Alm) Kamaruddin dan Hj. Darmawati yang senantiasa
mendukung dalam doa, memberikan dorongan dan semangat yang sangat
berarti bagi penulis selama mengikuti pendidikan.
8. Teman – teman satu angkatan Januari 2014, Herlina, Ati Salami, Haryati
Indra Hatta, Haryanti Kartini Huntoyungo, Dyah Aditya I.K.P, Ati Rahmi,
Rahmi Utami, Ira Megsari, Adi Prakoso, Ismail Sabrin, Asrul Salam dan Ade
Malikul yang bersama-sama melalui pendidikan dan berbagi suka-duka di
DIKA tercinta ini.
9. Akhirnya dari lubuk hati yang dalam penulis ucapkan terima kasih yang
tulus untuk suami tercinta, Astari Yahya, atas pengertian, pengorbanan,
dukungan dan kesabaran yang tak ternilai kepada penulis saat menjalani
pendidikan ini serta ananda tercinta Ahmad Ardhi Sulaiman dan Akhliyah
Kamilah sebagai pemacu semangat penulis agar dapat menyelesaikan
hasil penelitian ini.
10. Semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu yang turut
membantu menyelesaikan hasil penelitian ini.
Dan akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan
manfaat bagi perkembangan Ilmu Kesehatan Anak di masa mendatang.
Tak lupa penulis mohon maaf untuk hal-hal yang tidak berkenan dalam
penulisan ini karena penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hasil
penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan
Makassar, November 2017
Dina Kurniasih
v
ABSTRAK
Latar Belakang. Peningkatan prevalensi sindrom metabolik pada anak obes merupakan tantangan kesehatan masyarakat terkait perkembangan selanjutnya penyakit serebrovaskuler. Tren peningkatan ini dikaitkan dengan peranan vitamin D pada berbagai reseptor non skeletal meliputi otot polos, sel beta pankreas dan berbagai sel. Sehingga deficiency vitamin D pada anak obes mengakibatkan morbiditas dan mortalitas premature oleh karena sindrom metabolik. Tujuan. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan defisiensi vitamin D dengan kejadian sindrom metabolik pada anak obes. Metode. Penelitian ini merupakan jenis penelitian potong lintang. Penelitian dilakukan pada Juni – Agustus 2017 dengan sasaran siswa SD, SMP dan SMA di kota Makassar berusia 6 sampai 18 tahun. Sampel penelitian dibagi dalam dua kelompok yaitu 43 anak dengan sindrom metabolik dan 40 anak bukan sindrom metabolik berdasarkan kriteria Ikatan Dokter Anak Indonesia. Hasil. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi kejadian sindrom metabolik pada kelompok anak dengan defisiensi vitamin D sebesar 36 (70,6%), dibandingkan anak dengan status vitamin D normal sebanyak 7 (21,9%). Analisis statistik ditemukan frekuensi kejadian sindrom metabolik pada kelompok anak defisiensi vitamin D (kadar 25 (OH)D < 20 ng/mL) lebih banyak dibandingkan kelompok anak obes dengan status vitamin D normal dengan nilai p = 0,000 (p< 0,05) OR=8,571 (CI 95% 3,054 – 24,060). Kesimpulan. Anak obes dengan defisiensi vitamin D memiliki risiko 8,571 kali mengalami sindrom metabolik dibandingkan anak obes denga status vitamin D normal. Kata kunci : sindrom metabolik, anak obes, defisiensi vitamin D
vi
ABSTRACT
Background. The prevalence metabolic syndrome in obese children has increased and makes it serious public health challenges that associated with subsequent development of cerebrovascular diseases. This trend is associated with the action of vitamin D through its non skeletal receptor including smooth muscle, pancreatic B cell and also various cell. Hence, low vitamin D level in obese children causes premature morbidity and mortality due to metabolic syndrome. Objective. The aim of the research was to examine the correlation between Vitamin D deficiency and metabolic syndrome in obese children. Methods. This research was cross sectional study conducted from June to August 2017. The data were obtained from Elementary School, Junior High School, and Senior High School students in Makassar ranging from 6 to 18 years old. The samples were divided into two groups, i.e. 43 children with metabolic syndrome and 40 children without metabolic syndrome. They were determined based on Indonesian Pediatric Association criteria. Results. The results of the research indicate that metabolic syndrome in children with vitamin D deficiencyis 36 (70,6%) compared to children with normal vitamin D, i.e. 7 (21,9%). Statistic analysis indicates that children with vitamin D deficiency (level 25 (OH)D < 20 ng/mL) has more metabolic syndrome frequency compared to obese children with normal vitamin D with the value p = 0,000 (p<0,05) OR= 8,571 (CI 95% 3,054 – 24,060). Conclusion. Metabolic syndrome 8,561 times in obese children with vitamin D deficiency than normally vitamin D. Key words : metabolic syndrome, obese children, vitamin D deficiency
vii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN PENGESAHAN i KATA PENGANTAR ii ABSTRAK v ABSTRACT vi DAFTAR ISI vii DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR x DAFTAR SINGKATAN xi BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar belakang masalah 1 I.2. Rumusan masalah 5 I.3. Tujuan penelitian 6 I.3.1. Tujuan umum 6 I.3.2. Tujuan khusus 6 I.4. Hipotesis penelitian 7 I.5. Manfaat penelitian 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9 II.1. Obesitas 9 II.1.1. Definisi 9 II.1.2. Kriteria Obesitas 10 II.1.3. Epidemiologi 12 II.1.4. Etiologi dan Patogenesis 14 II.2.Vitamin D 20 II.2.1. Sumber Vitamin D 20 II.2.2. Metabolisme Vitamin D 21 II.2.3. Reseptor Vitamin D 22 II.2.4 Defisiensi Vitamin D 25 II.3. Sindrom Metabolik 25 II.3.1 Definisi 25 II.3.2 Vitamin D dan Obesitas 27 II.3.3 Lipid 31 II.3.3.1 Profil Lipid 31 II.3.3.2 Metabolisme Lipid 36 II.3.4 Peran Vitamin D pada Metabolisme Lipid 41 II.3.5 Peran Vitamin D dan Resistensi Insulin 42 II.4. Lingkar Pinggang II.4.1 Distribusi Lemak 43 II.4.2 Lemak Visceral 44 II.4.3 Ukuran Lingkar Pinggang 45 II.5. Tekanan Darah 48 II.5.1 Definisi Tekanan Darah 48 II.5.2 Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah 48 II.5.3 Pengaturan Tekanan Darah pada Anak 53
viii
II.5.4 Hubungan Vitamin D dan Hipertensi 55 II.6 Hubungan Vitamin D dan Sindrom Metabolik 57 BAB III KERANGKA KONSEP 60 BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 62 IV.1. Desain penelitian 62 IV.2. Tempat dan waktu penelitian 62 IV.3. Populasi penelitian 62 IV.4. Sampel dan cara pengambilan sampel 63 IV.4.1 Pemilihan Sampel 63 IV.4.2 Perkiraan Besar Sampel 64 IV.5. Kriteria inklusi dan eksklusi 65 IV.6.1 Kriteria inklusi 65 IV.6.2. Kriteria eksklusi 65 IV.6. Izin penelitian dan ethical clearance 66 IV.7. Cara kerja 66 IV.7.1. Alokasi subyek 66 IV.7.2. Cara penelitian 67 IV.7.2.1 Prosedur pemeriksaan 67 IV.7.3. Alur penelitian 70 IV.8. Identifikasi dan klasifikasi variabel 71 IV.9.1. Identifikasi variabel 71 IV.9.2. Klasifikasi variabel 71 IV.9. Definisi operasional dan kriteria obyektif 72 IV.9.1. Definisi operasional 72 IV.9.2. Kriteria obyektif 74 IV.10 Pengolahan dan analisis data 75 IV.10.1. Analisis univariat 76 IV.10.2. Analisis bivariat 76 IV. 10.3 Penilaian Hasil Uji Hipotesis 76 BAB V HASIL PENELITIAN 78 V.1. Jumlah Sampel 78 V.2. Karakteristik Sampel 79 V.3. Analisis Uji Realibilitas dan Validitas Dalam Mengukur Tinggi Badan, Berat Badan dan Lingkar Perut 81 V.4 Hubungan Antara Jenis Kelamin dan Defisiensi Vitamin D 90 V.5 Hubungan Antara Jenis Kelamin dan Sindrom Metabolik 91 Hubungan Antara Status Pubertas dan Defisiensi Vitamin D 92 V.5 Hubungan Antara Status Pubertas dan Sindrom Metabolik 93 V.6 Hubungan Antara Defisiensi Vitamin D dengan Sindrom Metabolik 94 BAB VI PEMBAHASAN 97 BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 109 VII.1 Kesimpulan 109 VII.2 Saran 110 DAFTAR PUSTAKA 112
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Nilai batasan untuk mengidentifikasi massa lemak batang tubuh dan
lingkar pinggang
48
2. Klasifikasi hipertensi pada anak usia 1 tahun atau lebih dan usia
remaja
55
3. Karakteristik sampel penelitian 78
4. Uji realibilitas intra-examiner dalam mengukur tinggi badan 80
5. Analisis valditas pengukuran tinggi badan inter-examiner 81
6. Uji korelasi Pearson verifikator dan peneliti 81
7. Uji realibilitas intra-examiner dalam mengukur berat badan 83
8. Analisis valditas pengukuran berat badan inter-examiner 84
9. Uji korelasi Pearson verifikator dan peneliti 84
10. Uji realibilitas intra-examiner dalam mengukur lingkar perut 86
11. Analisis valditas pengukuran berat badan inter-examiner 87
12. Uji korelasi Pearson verifikator dan peneliti 87
13. Nilai rerata kadar 25 (OH)D pada kelompok sindrom metabolic dan
tidak sindrom metabolik
89
14. Analisis frekuensi defisiensi vitamin D berdasarkan jenis kelamin 90
15. Analisis frekuensi sindrom metabolik berdasarkan jenis kelamin 91
16. Analisis frekuensi defisiensi vitamin D berdasarkan status pubertas 92
17. Analisis frekuensi sindrom metabolik berdasarkan status pubertas 93
18. Analisis hubungan defisiensi vitamin D dengan sindrom metabolik 94
19. Analisis hubungan status vitamin D dengan sindrom metabolik 95
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Metabolisme Vitamin D 22
2. Reseptor Vitamin D pada membran sel 24
3. Efek vitamin D pada berbagai organ target 24
4. Mekanisme antihipertensi vitamin D 57
xi
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Arti dan Keterangan
1,25 (OH) 2D3 : 1, 25-dihidroksikolekalsiferol
25 (OH)D3 : 25-hidroksikolekalsiferol
AAP : American Academy of Pediatrics
ACE : Angiotensin Converting Enzyme
APO : Apo protein
BB : Berat Badan
BMI : Body Mass Index
BP : Blood Pressure
CDC : Center for Disease Control and Prevention
CVD : Cerebrovascular Disease
CYP24 : Sitokrom P24
CYP27B1 : Sitokrom P27B1
CYP2J2 : Sitokrom P2J2
DEXA : Dual-Energy X-Ray Absorptiometry
Dkk : Dan kawan-kawan
DM : Diabetes Melitus
DMT2 : Diabetes Mllitus Tipe 2
FBG : Fasting Blood Glucose
FGF : Fibroblast Growth Factor
xii
FK : Fakultas Kedokteran
HDL : High Density Lipoprotein
HDL-C : High density lipoprotein-cholesterol
IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia
IDF : International Diabetes Federation
IDL : intermediate density lipoprotein
IFG : Impaired Fasting Glucose
IL-6 : Interleukin-6
IL-8 : Interleukin -8
IMT : Indeks Massa Tubuh
KMr : chylomicron remnant
LDL : Low Density Lipoprotein
LDL-C : Low Density Lipoprotein-Cholesterol
LLA : Lingkar Lengan Atas
LP : Lingkar Pinggang
LPS : Lipopolisakarida
MAPK : Mitogen Activating Protein Kinase
MCP-1 : Monocyte Chemoattractant Protein-1
NCEP : National Cholesterol Education Program
NCHS : National Centel for Health Statistics
NF-kB : Nuclear Factor kB
NHANES : National Health and Nutrition Examination Surveys
NIH : National Institutes of Health
OGTT : Oral Glucose Tolerance Test
xiii
OSA : Obstructive sleep apnea
PDAY : Pathological Determination of Atheroslerosis in Youth
PJK : Penyakit Jantung Koroner
PTH : Parathyroid Hormone
RAA : Renin-angiotensin-aldosteron
RAS : Renin-Angiotensin-System
RSCM : Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
SD : Sekolah Dasar
SMA : Sekolah Menengah Atas
SMP : Sekolah Menengah Pertama
SRA : Scavenger Receptor A
SSO : Sistem Saraf Otonom
SSP : Sistem Saraf Parasimpatis
SSS : Sistem Saraf Simpatis
TB : Tinggi Badan
TD : Tekanan Darah
T G : Trigliserida
TH : Sel T Helper
TLK : Tebal Lipatan Kulit
TNF : Tumor Necrosis Factor
UI : Universitas Indonesia
USG : Ultrasonografi
UVB : Ultraviolet B
UWL : Unstirred water layer
xiv
VDR : Vitamin D Receptor
VLDL : Very low density lipoprotein
WC : Waist Circumference
WHO : World Health Organization
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Sindrom metabolik adalah kelompok gejala abdominal, dislipidemia,
hiperglikemia, dan hipertensi. Sindrom ini merupakan kondisi yang sering
ditemukan pada dewasa. Peningkatan prevalensi sindrom metabolik pada
anak dan remaja sejalan dengan peningkatan prevalensi obesitas.
(Pulungan AB, 2014)
Obesitas atau gemuk didefinisikan sebagai suatu kelainan atau
penyakit yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh secara
berlebihan. Overweight adalah kelebihan berat badan dibandingkan
dengan berat badan ideal yang dapat disebabkan oleh penimbunan
jaringan lemak atau jaringan non lemak. (Sjarif D, 2014)
Vitamin D yang termasuk vitamin larut dalam lemak, merupakan
prohormon yang memiliki fungsi utama mengatur keseimbangan kalsium
untuk tubuh. Status vitamin D dalam tubuh ditentukan berdasarkan kadar
25(OH)D. Hal ini disebabkan karena masa paruh 25(OH)D cukup panjang
yaitu 2-3 minggu. Di samping itu 25(OH)D mudah diperiksa dan memiliki
kadar paling tinggi diantara metabolit vitamin D lainnya serta memiliki
korelasi yang kuat antara keadaan defisiensi 25(OH)D dengan gejala
klinis. Vitamin D dikatakan normal apabila kadar 25(OH)D berkisar antara
2
20-100 ng/mL. Dikatakan defisiensi berat apabila kadar 25(OH)D ≤ 5
ng/mL, defisiensi bila kadar 25(OH)D ≤ 15 ng/mL, dan insufisiensi bila
kadar 25(OH)D 15 – 20 ng/mL.(Sjarif D, 2014)
Anak obesitas adalah salah satu tantangan kesehatan masyarakat
paling serius pada abad ke-21. Peningkatan prevalensi ini sudah pada
tingkat yang mengkhawatirkan. Secara global, pada tahun 2010 jumlah
anak yang kelebihan berat badan di bawah usia lima tahun, diperkirakan
lebih dari 42 juta. Hampir 35 juta di antaranya hidup di negara
berkembang. (WHO, 2014) Prevalensi seluruh dunia masa kanak-kanak
kelebihan berat badan dan obesitas meningkat dari 4,2% pada tahun 1990
menjadi 6,7% pada tahun 2010. Tren ini diperkirakan akan mencapai
9,1% atau 60 juta, pada tahun 2020. Diperkirakan prevalensi dari masa
kanak-kanak kelebihan berat badan dan obesitas di Afrika pada tahun
2010 adalah 8,5% dan diperkirakan akan mencapai 12,7% pada tahun
2020. Prevalensi lebih rendah di Asia dibandingkan di Afrika (4,9% pada
tahun 2010), tetapi jumlah anak yang terkena (18 juta) lebih tinggi pada
Asia.(Onis M, 2010) Tingginya prevalensi overweight dan obesitas
memiliki konsekuensi kesehatan yang serius. Peningkatan indeks massa
tubuh merupakan faktor risiko utama untuk penyakit seperti penyakit
jantung, diabetes tipe 2 dan kanker (termasuk kanker kolorektal, kanker
ginjal dan kanker esofagus). Penyakit ini, sering disebut sebagai penyakit
tidak menular (non Communicable diseases), tidak hanya menyebabkan
kematian prematur tetapi juga morbiditas jangka panjang. Selain itu,
3
kelebihan berat badan dan obesitas pada anak dikaitkan dengan
penurunan kualitas hidup yang signifikan dan risiko mengalami intimidasi
dan isolasi sosial. Karena peningkatan prevalensi obesitas yang pesat,
gangguan dan konsekuensi kesehatan yang serius, obesitas menjadi
salah satu tantangan masalah kesehatan yang paling serius dari awal
abad ke-21.(WHO, 2012) Kekurangan vitamin D, seperti yang ditunjukkan
oleh konsentrasi serum 25 (OH) D di bawah 20 ng / mL, umumnya
ditemukan pada anak dengan obesitas, dan menjadi risiko terjadinya
sindrom metabolik. Dengan meningkatnya prevalensi obesitas dan
kelebihan berat badan di seluruh dunia, terutama pada anak-anak dan
remaja, “ prematur metabolik sindrom” menjadi pusat perhatian dari
perspektif kesehatan masyarakat. Sindrom metabolik diakui sebagai
pengelompokan faktor risiko obesitas, resistensi insulin, dislipidemia dan
hipertensi terkait dengan perkembangan selanjutnya penyakit
serebrovaskular dan diabetes mellitus tipe 2 (DMT2). (Alfawaz, 2013)
Prevalensi sindrom metabolik berkisar 2-9,4%, pada remaja dan 12,4
– 44,2% pada remaja obes di Amerika Serikat berdasarkan National
Health and Nutrition Examination Survey 1999-2002, tergantung definisi
yang digunakan, sedangkan penelitian De Armas dkk, mendapatkan
prevalensi sindrom metabolik pada anak dan remaja obes di Spanyol
19,6% dengan menggunakan kriteria International Diabetes Federation
(IDF). Tiga penelitian mengenai prevalensi sindrom metabolik pada anak
overweight dan obesitas telah dilakukan di Indonesia dengan
4
menggunakan kriteria NCEP-ATP III dan kriteria IDF. Penelitian di Jakarta
mendapatkan prevalensi sindrom metabolik 34% pada remaja obes
berusia 10-19 tahun dan di Manado mendapatkan prevalensi 23% pada
anak remaja overweight dan obes usia 10-14 tahun dengan menggunakan
kriteria NCEP-ATP III. Penelitian lain di Jakarta mendapatkan prevalensi
sindrom metabolik 19,6 % pada remaja obes usia 12-15 tahun dengan
menggunakan kriteria IDF. (Pulungan AB, 2014)
Bioavaibilitas vitamin D pada subyek obesitas rendah karena
deposisi atau sekuestrasi dalam jaringan lemak dan massa lemak tubuh
yang lebih tinggi dikaitkan dengan risiko kekurangan vitamin D.
Peningkatan jaringan lemak pada obesitas akan meningkatkan sekresi
leptin yang selanjutnya akan menstimulai fibroblast growth factor 23 (FGF
23). FGF 23 akan menghambat sintesis enzim 1 hydroksilase dengan
konsekuensi gangguan produksi 1,25(OH)D3. (Souza, 2015) Mekanisme
tersebut mengakibatkan rendahnya kadar vitamin D dalam sirkulasi.
Reseptor vitamin D merupakan kelompok reseptor nuklir hormon steroid
yang mengikat 1,25 (OH)2D3 dengan afinitas tinggi dan memediasi
regulasi transkripsi gen menghasilkan respon genomik. (Hollick, 2006)
VDR pada membran plasma memediasi kerja dari 1,25 (OH)2D3 VDR dan
telah diidentifikasi terdapat di sebagian besar jaringan manusia, termasuk
jaringan yang berkaitan dengan homeostasis kalsium dan metabolisme
tulang. Termasuk osteoblas, keratinosit kulit, limfosist, sel dendritik, otot
skeletal, jaringan adiposit, makrofag, otot polos, sel β pankreas dan sel
5
epitel dan juga berbagai sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk
diabetes mellitus tipe 1. Metabolit vitamin D berperan pula dalam menekan
ekspresi gen renin melalui pengurangan aktivitas elemen respon cAMP.
Pengaruh metabolit vitamin D pada kedua fungsi endotel dan RAS
menunjukkan peran penting dalam kontrol fisiologis tonus pembuluh darah
dan tekanan darah yang berperanan pada patofisiologi terjadinya
hipertensi yang merupakan salah satu komponen sindrom metabolik.
Berbagai tempat ekspresi VDR mendasari efek beragam vitamin D dan
memberikan dasar mekanistik hubungan antara kekurangan vitamin D dan
sejumlah gangguan, termasuk penyakit kardiovaskuler, diabetes (tipe 1
dan tipe 2 ), resistensi insulin dan sindrom metabolik. (Hollick, 2006, Roth
C et.al, 2011). Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penting dilakukan
penelitian mengenai hubungan antara defisiensi vitamin D dengan
sindrom metabolik pada anak obes.
Hasil –hasil penelitian sebelumnya, masih memberikan hasil yang
beragam terhadap hubungan defisiensi vitamin D dengan sindrom
metabolik sehingga penelitian yang berhubungan dengan hal tersebut di
atas masih perlu dilakukan. Pemeriksaan kadar vitamin D dan komponen
sindrom metabolik juga dilakukan untuk mengenali secara dini dan
mendeteksi gangguan organ yang terjadi sehingga prematur sindrom
metabolik dapat dicegah terkait sehubungan dengan meningkatnya angka
morbiditas dan mortalitas terkait sindrom metabolik pada anak, sehingga
penulis menganggap perlu dilakukan penelitian untuk menilai hubungan
6
antara defisiensi vitamin D dengan sindrom metabolik pada anak dengan
obesitas. Sepengetahuan penulis penelitian tersebut belum pernah
dilakukan di Indonesia.
I.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Berapa kadar (25(OH)D pada anak obes dengan sindrom
metabolik ?
2. Berapa kadar (25(OH)D pada anak obes tanpa sindrom metabolik ?
3. Berapa frekuensi kejadian sindrom metabolik pada anak obes
dengan defisiensi vitamin D ?
4. Berapa frekuensi kejadian sindrom metabolik pada anak obes
dengan status vitamin D normal ?
5. Apakah ada hubungan antara defisiensi vitamin D dengan sindrom
metabolik pada anak obes ?
I.3 Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara defisiensi vitamin D dengan
sindrom metabolik pada anak obes.
7
I.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengukur kadar 25 (OH)D pada anak obes dengan
sindrom metabolik
2. Mengukur kadar 25 (OH)D pada anak obes tanpa sindrom
metabolik
3. Menentukan frekuensi kejadian sindrom metabolik pada
anak obes dengan defisiensi vitamin D
4. Menentukan frekuensi kejadian sindrom metabolik pada
anak obes dengan status vitamin D normal
5. Membandingkan kadar 25 (OH)D antara anak obes dengan
sindrom metabolik dengan anak obes tanpa sindrom
metabolik
6. Membandingkan frekuensi kejadian sindrom metabolik antara
anak obes dengan defisiensi vitamin D dengan anak obes
dengan status vitamin D normal.
I. 4 Hipotesis Penelitian
Kadar 25 (OH)D pada anak obes dengan sindrom metabolik
lebih rendah dibandingkan pada anak obes tanpa sindrom
metabolik
Frekuensi kejadian sindrom metabolik lebih tinggi pada
kelompok anak obes dengan defisiensi vitamin D
dibandingkan kelompok anak obes dengan status vitamin D
normal
8
I.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai
berikut :
1. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
a. Meningkatkan pengetahuan kita tentang hubungan
antara kadar vitamin D dengn obesitas pada anak
b. Memberikan informasi baru tentang anak obes
dengan sindrom metabolik akibat defisiensi vitamin D
c. Sebagai dasar penelitian lebih lanjut dalam bidang
patomekanisme dan patobiologik terjadinya sindrom
metabolik pada anak obes dengan defisiensi vitamin D
2. Manfaat untuk pengembangan / pemecahan masalah
medis
a. Memberikan informasi dasar tentang frekuensi
defisiensi vitamin D pada anak obes dengan sindrom
metabolik yang dapat digunakan sebagai sasaran
pengobatan di masa depan sekaligus mampu
mencegah berbagai efek yang diakibatkan oleh
masalah tersebut.
b. Mengurangi menurunkan angka kesakitan dan
kematian yang berkaitan dengan sindrom metabolik
akibat defisiensi vitamin D dengan perbaikan stus gizi
anak dan suplementasi vitamin D.
9
3. Data Penelitian selanjutnya
Sebagai tambahan data untuk penelitian-penelitian
selanjutnya di bidang nutrisi dan metabolik dan khususnya
yang berhubungan dengan long term comorbidity yang
disebabkan oleh defisiensi vitamin D pada usia kanak-kanak
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Obesitas
II.1.1 Definisi
Obesitas dan overweight merupakan dua istilah yang menyatakan
adanya kelebihan berat badan. Saat ini, obesitas atau gemuk
didefinisikan sebagai suatu kelainan atau penyakit yang ditandai dengan
penimbunan jaringan lemak tubuh secara belebihan. Overweight adalah
kelebihan berat badan dibandingkan dengan berat ideal yang dapat
disebabkan oleh penimbunan jaringan lemak atau jaringan non lemak,
misalnya pada atlit binaragawan kelebihan berat badan dapat disebabkan
oleh hipertrofi otot. (Sjarif D,2014)
Saat lahir, bayi manusia mengandung lemak tubuh sekitar 12%.
Selama tahun-tahun pertama kehidupan, lemak tubuh meningkat dengan
cepat mencapai puncak sekitar 25% usia 6 bulan dan kemudian menurun
menjadi 18% selama 10 tahun ke depan. Pada masa pubertas, ada
peningkatan yang signifikan dalam persentase lemak tubuh pada wanita
dan jarang pada laki-laki. Tubuh manusia mengandung lemak esensial
dan non esensial dalam bentuk trigliserida yang disimpan dalam sel-sel
jaringan lemak dikenal sebagai adiposit. Obesitas didefinisikan sebagai
kondisi kelebihan patologis dari lemak tubuh. Obesitas terjadi ketika ada
perbedaan antara asupan energi dan keluaran energi. Pengukuran
11
langsung dari kandungan lemak tubuh, yaitu dengan hidrodensitometri,
bio impedansi atau DEXA. Namun,dengan menghitung indeks massa
tubuh (IMT) yaitu berat dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi dalam
meter, dinilai cukup untuk menentukan kegemukan. Oleh karena itu,
indeks massa tubuh sering digunakan untuk mendefinisikan obesitas
klinis. (Aycan Z, 2009)
II.1.2 Kriteria Obesitas
Bentuk fisik obesitas dibedakan menurut distribusi lemak yaitu bila
lebih banyak lemak di bagian atas tubuh (dada dan pinggang) maka
disebut apple shape body (android), dan bila lebih banyak lemak dibagian
bawah tubuh pinggul dan paha disebut pear shape body (gynoid). Bentuk
yang pertengahan adalah intermediate apple shape cenderung berisiko
lebih besar mengalami penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan diabetes
dibandingkan pear shape. Berdasarkan antropometris, umumnya obesitas
pada anak ditentukan berdasarkan tiga metode pengukuran sebagai
berikut :
1. Mengukur berat badan dan hasilnya dibandingkan dengan berat
badan ideal sesuai tinggi badan (BB/TB). Obesitas pada anak
didefinisikan sebagai berat badan menurut tinggi badan di atas
persentil 90, atau 120% dibandingkan berat badan ideal.
Sedangkan berat badan lebih besar daripada 140% berat badan
ideal didefinisikan sebagai superobesitas.(Sjarif D,2014)
12
2. The world Health Organization (WHO) pada tahun 1997, The
National Institutes of Health (NIH) pada tahun 1998 dan The Expert
Committee on Clinical Guidelines for Overweight in adolescent
Services telah merekomendasikan Body Mass Index atau indeks
massa tubuh (IMT) sebagai baku pengukuran obesitas pada anak
dan remaja di atas usia 2 tahun. Anak-anak dengan IMT terhadap
usia terletak pada atau di atas persentil ke-95 dianggap obesitas,
dan untuk kelebihan berat badan (overweigth), IMT terletak antara
persentil ke-85 hingga 95 (Polhamus, 2009)
Pada tahun 2006, WHO mengeluarkan kurva baru IMT menurut
umur dan jenis kelamin usia 0-5 tahun berdasarkan hasil
pengamatan jangka panjang anak-anak yang tumbuh dalam
lingkungan yang optimal di benua Asia, Afrika, Eropa, Amerika
Latin dan Amerika Utara. Klasifikasi yang digunakan adalah
berdasarkan Z score sebagai berikut : 0 – 5 tahun Z score ≥ + 1
berpotensi gizi lebih, ≥ +2 gizi lebih (overweight) dan ≥ +3 obesitas.
Sedangkan untuk usia 5 – 19 tahun menggunakan WHO Reference
2007 yaitu Z score ≥ +1 diklasifikasikan sebagai gizi lebih
(overweight) dan Z score ≥ +2 sebagai obesitas.(Sjarif D, 2014)
3. Pengukuran langsung lemak subkutan yaitu dengan mengukur
tebal lipatan kulit (TLK). Terdapat empat macam cara pengukuran
TLK yang ideal untuk mendapatkan proporsi lemak tubuh yaitu TLK
biseps, triseps, subkapsular, dan suprailiaka. Tebal lipatan kulit
13
triseps di atas persentil ke- 85, merupakan indikator adanya
obesitas. (Sjarif, 2014)
Lingkar pinggang, sebagai penanda obesitas viseral, telah
ditambahkan untuk memperbaiki ukuran risiko obesitas terkait.
Lingkar pinggang tampaknya lebih akurat untuk anak-anak karena
target obesitas sentral, yang merupakan faktor risiko untuk diabetes
tipe II dan penyakit jantung koroner. Meskipun mekanisme
perkembangan obesitas tidak sepenuhnya dipahami, hal ini
menegaskan bahwa obesitas terjadi ketika asupan energi melebihi
pengeluaran energi. (Dehghan, 2005)
II.1.2 Epidemiologi
Anak obesitas adalah salah satu tantangan kesehatan masyarakat
paling serius dari abad ke-21. Prevalensi meningkat pada tingkat yang
mengkhawatirkan. Secara global, pada tahun 2010 jumlah anak yang
kelebihan berat badan di bawah usia lima tahun, diperkirakan lebih dari 42
juta. Hampir 35 juta di antaranya hidup di negara berkembang. (WHO,
2012) Prevalensi seluruh dunia, pada masa kanak-kanak, kelebihan berat
badan dan obesitas meningkat dari 4,2% pada tahun 1990 menjadi 6,7%
pada tahun 2010. Tren ini diperkirakan akan mencapai 9,1% atau 60 juta,
pada tahun 2020. Diperkirakan prevalensi dari masa kanak-kanak
kelebihan berat badan dan obesitas di Afrika pada tahun 2010 adalah
8,5% dan diperkirakan akan mencapai 12,7% pada tahun 2020.
14
Prevalensi lebih rendah di Asia dibandingkan di Afrika (4,9% pada tahun
2010), tetapi jumlah anak yang terkena (18 juta) lebih tinggi pada Asia.
(WHO, 2012) Di Indonesia, prevalensi obesitas pada balita menurut
SUSENAS menunjukkan peningkatan, pada tahun 1992 prevalensi
obesitas 4,6% laki-laki dan 5,9% perempuan. Prevalensi obesitas tahun
1995 di 27 provinsi adalah 4,6%. Penelitian yang dilakukan oleh Tinuk
(2002) menunjukkan prevalensi obesitas anak di tiga SD swasta di
kawasan Jakarta Timur sebesar 27,5%. Data penelitian multisenter tahun
2004 yang dilakukan di 10 kota didapatkan prevalensi obesitas pada anak
usia sekolah dasar sekitar 12%. (Sjarif, 2014)
Tingginya prevalensi obesitas memiliki konsekuensi kesehatan yang
serius. Indeks massa tubuh yang berlebih merupakan faktor risiko utama
untuk penyakit seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2 dan kanker
(termasuk kanker kolorektal, kanker ginjal dan kanker esofagus). Penyakit
ini, sering disebut sebagai penyakit tidak menular (non communicable
diseases), tidak hanya menyebabkan kematian prematur tetapi juga
morbiditas jangka panjang. Selain itu, obesitas pada anak dikaitkan
dengan peunurunan kualitas hidup yang signifikan dan risiko mengalami
intimidasi dan isolasi sosial. Karena peningkatan prevalensi obesitas yang
pesat, dan konsekuensi kesehatan yang serius, obesitas menjadi salah
satu tantangan masalah kesehatan yang paling serius dari awal abad ke-
21. (WHO 2012)
15
II.1.3 Etiologi dan Patogenesis Obesitas
Menurut teori termodinamik, obesitas terjadi karena
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi (energy
expenditure) sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya disimpan
dalam bentuk jaringan lemak. Ada beberapa etiologi untuk
ketidakseimbangan ini, sehingga peningkatan prevalensi obesitas tidak
dapat di atasi dengan etiologi tunggal. Faktor genetik mempengaruhi
kerentanan anak terhadap lingkungan obesitas. Namun, faktor lingkungan,
preferensi gaya hidup, dan lingkungan budaya tampaknya memainkan
peran utama dalam meningkatnya prevalensi obesitas di seluruh dunia.
Dalam sejumlah kecil kasus, obesitas disebabkan penyebab medis seperti
hipotiroidisme dan defisiensi hormon pertumbuhan atau efek samping
akibat obat misalnya steroid, namun pilihan gaya hidup pribadi dan
budaya lingkungan berpengaruh secara signifikan terhadap obesitas.
Obesitas dapat dibagi dalam dua macam menurut patogenesis, yaitu
regulatory obesity dan metabolic obesity. Pada regulatory obesity,
gangguan primernya terletak pada pusat yang mengatur masukan
makanan (central mechanism regulating food intake), misalnya gangguan
pada hipotalamus, sedangkan pada metabolik obesity terdapat kelainan
pada metabolisme lemak dan karbohidrat, misalnya pada obesitas karena
kelainan genetik (Subardja dkk, 2010).
Telah dihipotesiskan bahwa penurunan aktivitas fisik di antara
semua kelompok umur telah banyak memberikan kontribusi untuk
16
peningkatan tingkat obesitas di seluruh dunia. Aktivitas fisik sangat
dipengaruhi kenaikan berat badan dalam studi kembar monozigot.
Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa perilaku menetap seperti
menonton televisi dan bermain game komputer yang berhubungan
dengan peningkatan prevalensi obesitas. (Dehghan dkk, 2005)
Secara garis besar, penyebab obesitas antara lain :
1. Faktor Genetik
Faktor genetik telah diketahui mempunyai peranan kuat yaitu parental
fatness, anak yang obes biasanya berasal dari keluarga dengan
obesitas. Bila kedua orang tua obes, 80% anaknya menjadi obes, bila
salah satu orang tua obes, kejadian obes menjadi 40% dan bila kedua
orang tua tidak obes maka prevalensinya menjadi 14% (Skelton
danRudolph, 2007) (Robinson dan Dietz, 2006). Peningkatan risiko
menjadi obes tersebut kemungkinan disebabkan oleh pengaruh gen
atau faktor lingkungan dalam keluarga. Ada tujuh gen diketahui
menyebabkan obesitas pada manusia yaitu gen leptin receptor,
melanocortin receptor-4 (MC4R), alpha-melanocyte stimulating
hormone (alpha-MSH), prohormone convertase-1 (PCI), Leptin,
Bardert-Biedl, dan Dunnigan partial lypodystrophy (Skelton, Rudolph,
2007). Faktor genetik yang secara langsung meyebabkan obesitas
adalah pada penyakit seperti Prader-Willi syndrome, Bardet-Biedl
synndrome dan Cohen syndrome. (AAP, 2003)
17
Pada bangsa atau suku tertentu, kadang terlihat banyak warganya
yang menderita obesitas. Dalam hal ini sukar untuk menentukan faktor
yang lebih menonjol, merupakan pengaruh genetik atau latar belakang
kebudayaannya seperti makan makanan yang mengandung banyak
energi.(Pudjadi, 2000) Mekanisme kerentanan genetik terhadap
obesitas berefek pada resting metabolik rate, thermogenesis non
exercise, kecepatan oksidasi lipid, dan kontrol nafsu makan yang
jelek. Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan
secara genetik sedangkan lingkungan menentukan ekspresi fenotip.
(Harrison dkk., 2005; Skelton dan Rudolph, 2007).
2. Faktor Endokrin
Faktor endokrin sebagai penyebab ditemukan hanya sekitar kurang
dari 1% obesitas anak dan remaja, beberapa di antaranya adalah
hipotiroid, kelebihan kortisol (penggunaan kortikosteriod, Sindrom
Cushing), defisiensi hormon pertumbuhan, dan lesi hipotalamus
(infeksi, malformasi vaskuler, neoplasma atau trauma). Selain itu,
meningkatnya angka kejadian diabetes melitus pada kehamilan dapat
mengakibatkan meningkatnya kejadian obesitas anak. (Nurul, 2009).
3. Faktor Nutrisional
Peranan faktor nutrisional terhadap obesitas sangat besar, terutama
asupan tinggi kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak. Faktor
nutrisional mulai berperan sejak dalam kandungan (Harrison dkk.,
18
2005). Jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi saat
pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari
karbohidrat dan lemak, serta kebiasaan makan makanan yang
mengandung kalori tinggi (Maffeis dkk., 2001). Penelitian di Amerika
dan Finlandia menunjukkan bahwa kelompok dengan asupan lemak
yang tinggi mempunyai risiko peningkatan berat badan lebih besar
dibandingkan kelompok asupan lemak yang rendah. Keadaan ini
disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density
lebih besar dan tidak mengenyangkan, serta mempunyai efek
termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak
mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak mempunyai
rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang
akhirnya menyebabkan makan berlebihan (Hidayati, Irawan, Hidayat,
2004; Harrison dkk.,2005).
Anak-anak zaman sekarang mempunyai kebiasaan makan makanan
instan, makanan cepat saji, dan minuman yang mengandung kaya
gula, dibandingkan makanan sehat dan segar seperti sayur-sayuran
dan buah-buahan. Kebiasaan lain adalah makan makanan camilan
yang banyak mengandung gula sambil menonton televisi dan makan
tidak pada saat lapar sehingga menyebabkan anak mudah menderita
obesitas.(Pandher dkk., 2004; Styne, 2001).
19
4. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan komponen utama dari energy expenditure,
yaitu sekitar 20-50% dari total energy expenditure. Penelitian di
negara maju menemukan adanya hubungan antara aktivitas fisik yang
rendah dengan kejadian obesitas (Harrison dkk., 2005). Phander,
dkk. melakukan penelitian pada anak sekolah umur 7-9 tahun dan
menemukan bahwa anak yang kurang aktivitas cenderung menderita
overweight atau obesitas (Pandher dkk., 2004).
Pada beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup
yang menjurus pada penurunan aktivitas fisik seperti ke sekolah
dengan naik kendaraan, kurangnya aktivitas bermain dengan teman,
dan lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain
di luar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer /
games, nonton televisi atau video dibandingkan melakukan aktivitas
fisik (AAP, 2003; Harrison dkk., 2005).
5. Faktor Psikologis
Gangguan psikologis merupakan salah satu penyebab penting pada
obesitas anak dan remaja. Ada sebagian anak yang makan terlalu
banyak sebagai pelampiasan dan kompensasi terhadap masalahnya
terutama masalah emosi, stres atau kebosanan.(Pudjadi, 2000)
20
6. Sosial Ekonomi
Di negara maju, obesitas banyak terjadi pada tingkat sosial ekonomi
yang rendah, sedangkan di negara berkembang, kejadian obesitas
meningkat sesuai dengan tingkatan sosialnya. Perubahan
pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta
peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah
makanan yang dikonsumsi (Hidayati dkk., 2004). Di daerah perkotaan
saat ini, banyak ditemukan ibu yang berperan ganda sebagai ibu
rumah tangga dan sekaligus sebagai wanita karir. Keadaan ini
berpengaruh pada pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi
anggota keluarga. Frekuensi makan di luar rumah cenderung
meningkat, dan tersedianya makanan cepat saji yang mengandung
kalori dan lemak yang tinggi sering menjadi pilihan para orangtua
maupun anak. (Styne, 2001)
II.2 Vitamin D
II.2.1 Sumber Vitamin D
Vitamin D merupakan vitamin yang larut dalam lemak, merupakan
prohormon yang memiliki fungsi utama mengatur keseimbangan kalsium
tubuh. Dua bentuk utama vitamin D adalah vitamin D2 (ergocalciferol) dan
vitamin D3 (cholecalciferol). Namun, vitamin D3 adalah satu-satunya
bentuk yang ditemukan secara alami pada manusia dan hewan lainnya.
Selain bersumber dari bahan hewani, vitamin D3 bisa diproduksi oleh
21
tubuh sendiri melalui paparan sinar ultraviolet B (UVB) yang memiliki
panjang gelombang 290-320 nm, yang berasal dari sinar matahari yang
mengkonversi 7-dehydrocholesterol di kulit menjadi pre vitamin D3.
Sumber makanan utama vitamin D termasuk ikan berminyak, kuning telur
dan susu yang diperkaya vitamin D. American Academy of Pediatrics
tahun 2008 merekomendasikan asupan vitamin D sebesar 400 IU per hari
untuk mempertahankan kadar 25 (OH) D3 serum > 50 nmol/L. (Wagner
dan Greer, 2008)
Vitamin D diketahui diperlukan untuk metabolisme tulang. Namun,
ada beberapa Vitamin D dari sumber makanan yang tersedia untuk
memenuhi kebutuhan harian yang direkomendasikan. Selain itu, banyak
faktor individu dan lingkungan yang mengganggu paparan sinar matahari
yang cukup untuk memproduksi vitamin D endogen. Selama empat
dekade terakhir, semakin banyak bukti ilmiah yang menghubungkan
kekurangan vitamin D terhadap berbagai penyakit kronis termasuk
hipertensi, disfungsi kekebalan tubuh, kanker, diabetes, dan penyakit
kardiovaskular. Pada remaja, hubungan ini baru mulai dieksplorasi. Oleh
karena banyak akibat yang ditemukan sebagai konsekuensi dari
kekurangan vitamin D yang terjadi dari waktu ke waktu, pencegahan harus
dimulai di masa kanak-kanak. (Santonge dkk., 2009)
22
II.2.2 Metabolisme Vitamin D
Vitamin D3 disintesis di kulit dari 7-dehydrocholesterol melalui
paparan radiasi ultraviolet B menjadi pre-vitamin D (pre cholecalciferol)
kemudian dikonversi menjadi vitamin D3 (cholecalciferol) melalui
isomerisasi termal. Meskipun sumber utama vitamin D3 adalah melalui
sintesis endogen di kulit, vitamin ini juga bisa diperoleh dari makanan dan
ini penting bagi mereka yang jarang terpapar sinar matahari. Vitamin D3,
apakah berasal dari sinar matahari maupun dari diet, memasuki sirkulasi
berikatan dengan protein yang mengikat vitamin D dan diangkut ke hati.
Vitamin D3 mengalami hidroksilasi di hati untuk membentuk 25-
hidroksikolekalsiferol (25 (OH) D3), sebagai metabolit utama yang berada
di sirkulasi, 25 (OH) D3 kemudian dihidroksilasi oleh enzim 1-
hidroksilase (gen: CYP27B1), dan ini terjadi terutama di ginjal untuk
menghasilkan 1, 25-dihidroksikolekalsiferol (1,25 (OH) 2D3), bentuk
biologis aktif vitamin D. Dalam studi in vivo telah menunjukkan bahwa
katabolisme vitamin D dan metabolitnya kebanyakan terjadi di hati melalui
berbagai enzim sitokrom P450 yang menghasilkan sejumlah katabolit 24-
hidroksilase (gen: CYP24), sitokrom enzim P450 yang mengandung
mitokondria, mengkatalisis beberapa tahap degradasi 1,25 (OH) 2D3
melalui 24-hidroksilasi dan pembentukan asam calcitrioic. (Dong Y,
Jorgensen, 2010, Christakos dan Ajibade, 2010, Strange RC dkk., 2015)
23
II.2.2 Reseptor Vitamin D
Reseptor vitamin D (VDR) adalah reseptor nuklir hormon steroid
yang mengikat 1,25 (OH)2D3 dengan afinitas tinggi dan memediasi
regulasi transkripsi gen. (Hollick, 2006) VDR mengikat 1,25 (OH)2D3
dengan afinitas dan spesifitas yang tinggi, yang kemudian mengalami
heterodimerisasi dengan reseptor retinoid X. Setelah heterodimer yang
mengikat dengan elemen respon vitamin D dalam gen target,
menghasilkan respon genomik. Selain itu, ada juga VDR pada membrane
plasma yang memediasi kerja dari 1,25 (OH)2D3 VDR dan telah
diidentifikasi terdapat di sebagian besar jaringan manusia, termasuk
jaringan yang berkaitan dengan homeostasis kalsium dan metabolisme
Gambar 1. Metabolisme vitamin D (Dong Y, Jorgensen, 2010)
24
tulang. Termasuk osteoblas, keratinosit kulit, limfosist, sel dendritik, otot
skeletal, jaringan adiposit, makrofag, otot polos, sel β pankreas dan sel
epitel dan juga berbagai sel-sel sistem kekebalan tubuh. Varian genetik
dari gen yang mengkode VDR juga telah dikaitkan dengan risiko besar
menderita kanker dan gangguan kekebalan tubuh, termasuk diabetes
mellitus tipe 1. Berbagai tempat ekspresi VDR mungkin mendasari efek
beragam vitamin D dan memberikan dasar mekanistik hubungan antara
kekurangan vitamin D dan sejumlah gangguan, termasuk jenis kanker
tertentu, penyakit radang usus, penyakit kardiovaskuler, diabetes (tipe 1
dan tipe 2 ), resistensi insulin dan sindrom metabolik. (Hollick, 2006, Roth
C dkk., 2011)
Gambar 2. Reseptor vitamin D pada membran sel (Hollick, 2006)
25
II.2.4 Defisiensi Vitamin D
Status klinis vitamin D biasanya dinilai dengan pengukuran kadar
serum 25 (OH) D3, bentuk utama vitamin D dalam sirkulasi, dengan waktu
paruh antara 15 sampai 50 hari. (Ding C, 2012) Vitamin D dikatakan
normal apabila kadar 25(OH)D3 berkisar antara 20-250 nmol/L atau 20-
100 ng/mL. Dikatakan defisiensi berat apabila kadar 25(OH)D ≤ 12,5
nmol/L (5 ng/mL), defisiensi bila kadar kadar 25(OH)D < 37,5 nmol/L (15
ng/mL), dan insufisiensi bila kadar 25(OH)D 37,5 -50 nmol/L (15 – 20)
ng/mL.(Sjarif D, 2014). Kadar 25-hydroxyvitamin D 20 ng / mL terkait
dengan tidak adanya rakhitis dan osteomalacia pada 98% dari populasi di
semua kelompok umur. Mengingat bahwa kadar optimal 25-
Gambar 3. Efek vitamin D pada berbagai organ target (Hollick, 2006)
26
hydroxyvitamin-D untuk menentukan kekurangan vitamin D mungkin
berbeda untuk hasil non skeletal, Bogacka dkk memperkiraan prevalensi
kekurangan vitamin D pada kadar < 30 ng / mL dan defisiensi berat
pada kadar < 12 ng / mL. (Bogacka, 2011)
II.3. Sindrom Metabolik
II.3.1 Definisi
Sindrom metabolik adalah kelompok gejala abdominal, dislipidemia,
hiperglikemia dan hipertensi. Sindrom ini merupakan kondisi yang sering
ditemukan pada dewasa. Peningkatan prevalensi sindrom metabolik pada
anak dan remaja sejalan dengan peningkatan prevalensi obesitas.
Prevalensi sindrom metabolik berkisar 2 – 9,4% pada remaja dan 12,4 –
44,2% pada remaja obes di Amerika Serikat berdasarkan National Health
and Nutrition Examination Survey 1999-2000, tergantung definisi yang
digunakan, sedangkan penelitian de Armas dkk mendapatkan prevalensi
sindrom metabolik pada anak dan remaja obes di Spanyol 19,6%, dengan
menggunakan kriteria International Diabetes Federation (IDF).(Pulungan
A, 2014)
Kriteria sindrom metabolik yang dimodifikasi menurut IDAI adalah
obesitas abdominal yang ditandai dengan lingkar pinggang ≥ P80 menurut
Taylor dkk dan ditambah dengan lebih atau sama dengan dua parameter
berikut:
27
1. Tekanan darah :
Hipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau
diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia, dan
tinggi badan (The Fourth Report on the Diagnosis, Evaluation, and
Treatment of High Blood Pressure in Children and Adolescent).
2. Kadar kolesterol HDL
Kadar kolesterol HDL ≤ 40 mg/dL (semua usia/jenis kelamin, NCEP)
3. Kadar trigliserida
Kadar trigliserida ≥ 110 mg/dL (spesifik terhadap usia, NCEP)
4. Kadar glukosa darah puasa
Glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL atau terdiagnosis DMT2 (IDF).
Kadar glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL menunjukkan bahwa
anak/remaja tersebut telah mengalami gangguan kadar glukosa darah
puasa (impaired fasting glucose), suatu kondisi yang termasuk dalam
diagnosis pra-diabetes. Anak atau remaja ini perlu menjalani tes
toleransi glukosa oral/oral glucose tolerance test (OGTT) untuk
menyingkirkan kemungkinan anak atau remaja tersebut sudah
menderita DMT2. Bila anak belum mampu puasa ≥ 8 jam, sebagai ganti
kadar glukosa darah puasa dapat dilakukan pemeriksaan HbA1c. Anak
tersebut didiagnosis menderita pra-diabetes bila mempunyai kadar
HbA1c ≥ 5,7%. (Pulungan A, 2009)
28
II.3.2 Vitamin D dan Obesitas
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa adanya hubungan
antara obesitas dengan defisiensi vitamin D. Yao dkk 2015, melalui suatu
penelitian meta analisis terhadap 3867 subyek obesitas dari berbagai
subkelompok dan 9342 subyek tanpa obesitas. Meta analisis ini
menunjukkan adanya hubungan defisiensi vitamin D dengan obesitas
dengan odds ratio 3,43 (2,33 – 5,06) dibadingkan dengan kelompok
kontrol . (Yao Y dkk., 2015)
Seseorang dengan obesitas cenderung memiliki kadar serum 25 (OH)
D3 yang rendah. Serum 25 (OH) D3 yang ditemukan berbanding terbalik
dengan pengukuran obesitas, termasuk indeks massa tubuh, massa
lemak dan lingkar pinggang. Kadar 25 (OH) D3 yang lebih rendah pada
individu dengan obesitas disebabkan oleh karena penyerapan yang lebih
besar oleh jaringan adiposa, hal ini sesuai dengan hipotesis bahwa karena
vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak, sehingga vitamin D
tersebut diasingkan dan disimpan dalam jaringan lemak dan otot dan
kemudian dilepaskan secara perlahan ke dalam sirkulasi sehingga
kadarnya dalam sirkulasi rendah. Salah satu mekanisme kerja utama vitamin
D dalam jaringan adiposa manusia adalah melalui ekspresi enzim metabolisme
vitamin D seperti enzim 25-hidroksilase CYP2J2, CYP27B1, dan CYP24. Enzim
tersebut memiliki kapasitas untuk metabolisme vitamin D secara lokal. Hal ini
dibuktikan, setelah penurunan berat badan pada pasien obesitas, kadar 25
(OH) D3 serum meningkat dan tingkat ekspresi 25-hidroksilase CYP2J2 dan 1α-
hidroksilase CYP27B1 menurun dalam jaringan adiposa. Pada penelitian
29
double-blind terkontrol plasebo terkini, suplemen diet dengan Ca dan
vitamin D selama 16 minggu dikaitkan dengan penurunan lemak viseral
pada orang dewasa dengan overweight dan obesitas. Hubungan antara
obesitas dan bentuk aktif dari vitamin D, 1,25 (OH)2D3 (yang memiliki
paruh pendek sekitar 15 jam di sirkulasi) kurang jelas, dan ini mungkin
karena sifat dinamis dari produksi dan regulasi hormon aktif. Namun, pada
orang dewasa yang sehat, kadar serum 1,25 (OH)2D3 yang rendah
berhubungan dengan indeks massa tubuh yang lebih tinggi dan massa
lemak tubuh. (Ding C, 2012)
Beberapa hipotesis lain yang diduga menjadi penyebab rendahnya kadar vitamin
D pada obesitas antara lain :
kegiatan di luar ruangan dan eksposur terhadap sinar matahari lebih
rendah dibandingkan dengan populasi umum, sehingga terjadi penurunan
sintesis vitamin D.
terjadinya sekuestrasi vitamin D pada jaringan adiposit, penyimpanan
vitamin D pada adiposit meningkat sebelum dikonversi menjadi 25(OH)D.
kelebihan jaringan adiposa merusak kadar vitamin D. Dalam mekanisme
ini, leptin merangsang osteocytic fibroblast growth factor 23 (FGF23).
FGF23 menghambat sintesis 1α-hidroksilase di ginjal, dan akibatnya
mengganggu produksi 1,25 (OH) D. Di sisi lain, 1,25 (OH)D merangsang
sinyal adipogenesis dan sekresi leptin.
30
Hipotesis lain menyebutkan bahwa sintesis 25-hydroxyvitamin D oleh hati
dapat terjadi pada tingkat yang lebih rendah pada individu dengan
obesitas karena steatosis hati.(Roth C, 2011)
Meskipun hasil dari beberapa penelitian observasional mengkonfirmasi
hubungan antara obesitas dan 25 (OH) D, ini dengan sendirinya tidak cukup
untuk menentukan bahwa kekurangan vitamin D disebabkan oleh obesitas. Studi
pengacakan Mendel, model di mana kausalitas mungkin disimpulkan menurut
asosiasi antara variasi genetik, dapat lebih menjelaskan kausalitas ini. Sebuah
studi Mendel acak baru-baru ini terhadap 42.024 subyek menemukan bahwa
setiap kenaikan 10% indeks massa tubuh, terjadi penurunan 4,2% kadar 25
(OH) D serum. Di sisi lain, para peneliti menunjukkan bahwa baik skor alel 25
(OH) D3 (berdasarkan gen yang mengkode sintesis atau metabolisme) maupun
kadar 25 (OH)D3 dikaitkan dengan indeks massa tubuh. Hasil ini menjadi bukti
bahwa vitamin D bukan komponen kausal dalam perkembangan obesitas.
Namun, obesitas adalah komponen kausal dalam terjadinya defisiensi vitamin
D. (Souza WN dan Martini LA, 2015)
Pada obesitas, terjadi hipertrofi jaringan adiposa, yang mengakibatkan
ketidakseimbangan aliran darah sehingga terjadi hipoksia, peradangan,
dan infiltrasi makrofag. Peningkatan sekresi interleukin 6 dan 8 (IL-6, IL-8),
resistin, tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan monosit chemoattractant
(MCP1) (sitokin proinflamasi) adalah salah satu karakteristik yang terjadi
oleh karena hipertrofi adiposit serta mengurangi sekresi adiponektin. Efek
dari Vitamin D pada sistem kekebalan tubuh adaptif dapat diamati melalui
diferensiasi sel T helper, mitogen-diaktifkan protein kinase (MAPK) serta
31
faktor-kB nuklir (NF-kB). Dengan demikian, vitamin D menekan proses
penyakit autoimun dengan mengatur diferensiasi dan aktivitas sel CD4Þ T,
menghasilkan respon TH1 / TH2 lebih seimbang yang mendukung
penekanan sel T reaktif autoimunitas. Telah terbukti bahwa 1,25 (OH) D
dan 25 (OH)D3 dapat mengurangi lipopolisakarida (LPS) yang
menginduksi produksi TNF-α dan IL-6 , kemungkinan dengan cara
menghambat aktivasi p38 MAPK di monosit / makrofag. (Souza WN dan
Martini LA, 2015)
Seseorang dengan obesitas, terjadi penurunan kadar adiponektin,
sementara itu adiponektin berperanan pada pencegahan terjadinya
resistensi insulin dan menurunkan progresfifitas atherosklerosis. Penelitian
yang dilakukan oleh Stokic dkk (2015) menunjukkan adanya korelasi
negatif antara kadar vitamin D dengan indeks massa tubuh. Selanjutnya
ditemukan pula hubungan negatif antara kadar leptin dengan vitamin D,
serta ditemukan pula hubungan positif antara kadar adiponektin dengan
vitamin D, demikian pula dengan produk anti inflamasi adiposity. (Stokic E
dkk., 2015)
II.3. 3 LIPID
II.3.3. 1 Profil Lipid
Lemak (disebut juga lipid) merupakan salah satu zat gizi yang
sangat diperlukan oleh tubuh selain zat gizi lain seperti karbohidrat,
protein, vitamin dan mineral. Lemak adalah salah satu sumber energi yang
memberikan kalori paling tinggi dan berfungsi sebagai sumber energi
32
utama untuk proses metabolisme tubuh. Lemak dan produk metaboliknya
memberi rasa enak pada makanan dan berperan sebagai pengangkut
vitamin A, D, E dan K yang larut dalam lemak (Harper dkk, 2005).
Lipid plasma terdiri atas trigliserida, kolesterol, fosfolipid dan
asam lemak bebas. Lipid plasma berasal dari makanan (eksogen), dan
dari proses biosintesis hepatik dan ekstrahepatik (endogen). Asupan
lemak yang dianjurkan adalah 20-30% dari total energi. Adanya kelebihan
lemak dalam makanan mempunyai risiko terhadap penimbunan energi
yang berlebihan sehingga menyebabkan obesitas (Almatsier, 2001).
Profil lipid terdiri dari kolesterol total, trigliserida, kolesterol LDL,
dan kolesterol HDL sebagai berikut (Almatsier, 2001) :
a. Kolesterol total
Kolesterol merupakan metabolit yang mengandung lemak sterol.
Sterol adalah sekelompok senyawa yang mempunyai karakteristik
struktur cincin kompleks steroid, yang terdiri atas empat cincin atom
karbon (Almatsier, 2001). Kolesterol diperlukan untuk sintesis asam
empedu dan berfungsi sebagai prekursor dari beberapa senyawa
steroid seperti kortikosteroid, hormon steroid dalam kelenjar adrenal,
hormon seks, asam empedu dan vitamin D (Colpo, 2005). Kolesterol
ditemukan pada membran sel dan disirkulasikan dalam plasma darah.
Pada tahun 2006, Kritchevsky menyatakan bahwa kolesterol mewakili
sekitar 0,2% dari total berat badan. Otak, sistem saraf pusat, jaringan
ikat, otot, dan kulit meliputi sekitar 75% kolesterol tubuh (Colpo, 2005).
33
Kebanyakan sel dalam tubuh dapat mensintesis kolesterol, tetapi
sebagian besar kolesterol disintesis dalam hati (kolesterol endogen)
(Harper dkk, 2005). Kira-kira 80% kolesterol yang disintesis di dalam
hati akan diubah menjadi garam empedu, yang kemudian disekresikan
ke dalam empedu dan sisanya diangkut oleh lipoprotein dalam
sirkulasi darah ke semua sel jaringan tubuh (Tershakovee dan Coutes,
2000).
Lebih dari separuh jumlah kolesterol tubuh berasal dari sintesis
(sekitar 700 mg/hari), dan sisanya berasal dari makanan sehari-hari
(kolesterol eksogen). Kadar kolesterol bisa meningkat akibat asupan
tinggi dari bahan makanan yang kaya kolesterol yaitu lemak hewani
yang terdapat pada daging, hati, otak, dan kuning telur. Kolesterol
memiliki peranan utama dalam proses patologis pembentukan
aterosklerosis yaitu penyempitan atau pengerasan pembuluh darah
akibat tertimbunnya kolesterol dalam tubuh yang berlebihan pada
dinding pembuluh darah. Keadaan ini merupakan cikal bakal
terjadinya penyakit jantung dan stroke di kemudian hari (Harper dkk.,
2005).
b. Trigliserida
Sekitar 98% dari lemak alamiah adalah trigliserida Trigliserida
(triasilgliserol atau triasilgliserida) adalah lemak netral yang
merupakan bentuk esterifikasi dari gliserol dengan 3 molekul asam
34
lemak melekat padanya Trigliserida berfungsi sebagai sumber dan
cadangan energi utama dalam tubuh yang disimpan dalam jaringan
adiposa, melindungi tulang dan organ-organ penting lainnya dari
cedera. Asam lemak yang dimilikinya bermanfaat bagi metabolisme
tubuh. Trigliserida merupakan simpanan lemak yang utama pada
manusia dan 95% jaringan lemak tubuh (Harper dkk, 2005).
Tahap pertama dalam penggunaan trigliserida untuk energi adalah
hidrolisis oleh lipase lidah dan diemulsikan dalam lambung. Di
duodenum, lipase pankreas menghidrolisis trigliserida menjadi
monogliserida dan asam lemak, selanjutnya dengan garam empedu
membentuk misel yang akan meningkatkan daya larut lemak sehingga
mudah diserap oleh usus (Tershakovee dan Coutes, 2000). Setelah
masuk ke dalam plasma, trigliserida akan ditranspor menuju sel-sel di
dalam tubuh oleh dua partikel utama yaitu kilomikron yang berasal dari
penyerapan usus setelah konsumsi makanan berlemak dan VLDL
(very low density lipoprotein) yang dibentuk di hati dengan bantuan
insulin dari dalam tubuh (Sementara itu, trigliserida yang terdapat di
luar hati dan berada dalam jaringan (pembuluh darah, otot, jaringan
lemak) akan dihidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase. Sisa hidrolisis
kemudian akan dimetabolisme oleh hati menjadi kolesterol LDL
(Harper dkk, 2005).
35
c. Kolesterol LDL
Kolesterol LDL (low density lipoprotein) adalah salah satu bentuk
lipoprotein (gabungan molekul lemak dan protein) yang disintesa di
hati dengan densitas hidrasi 1,019-1,063 g/mL, mengandung 22%
protein dan 78% lemak (Robinson dan Dietz, 2006; Almatsier, 2001).
Protein utama yang membentuk LDL adalah apoprotein-B (Gropper
dkk, 2005).
Sebagian kolesterol akan dibuang ke dalam empedu sebagai asam
empedu, sebagian lagi bersama dengan trigliserida akan bergabung
dengan apoprotein-B membentuk VLDL. VLDL akan dipecah oleh
enzim lipoprotein lipase menjadi LDL (Harper dkk, 2005).
LDL berperan dalam pengangkutan lipid melalui jalur endogen
(nondietetik) (Gropper dkk, 2005). Fungsi utama LDL adalah
mengangkut kolesterol dari hati ke jaringan yang mempunyai afinitas
spesifik tinggi, yang disebut sebagai reseptor LDL. Melalui reseptor
inilah kebutuhan kolesterol tubuh akan terpenuhi dan juga sebagai
penghambat sintesis kolesterol di dalam sel-sel tubuh (Colpo, 2005).
LDL sering disebut sebagai kolesterol jahat karena kadar kolesterol
LDL yang tinggi berhubungan dengan penyakit kardiovaskuler. LDL
yang dioksidasi akan diambil oleh makrofag dan membentuk sel busa
(foam cell) yang nantinya menjadi fatty streaks. Sel T akan
melepaskan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel otot polos
pembuluh darah dan menimbulkan kolagen serta molekul matriks
36
yang lain sehingga timbul lesi aterosklerotik (Almatsier, 2001; Ganong,
2003).
d. Kolesterol HDL
Kolesterol HDL (high density lipoprotein) adalah salah satu bentuk
lipoprotein dengan densitas hidrasi 1,063-1,21 g/mL, mengandung
52% protein dan 48% lemak (Robinson dan Dietz, 2006; Almatsier,
2001). Protein utama kolesterol HDL adalah apoprotein A-I dan A-II
(Mayes, 2003).
Kilomikron dari usus halus dan VLDL hati dapat membentuk prekursor
HDL diskoidal bebas, tetapi HDL juga dapat dilepaskan langsung dari
hati dalam bentuk partikel-partikel diskoidal . Esterifikasi dari kolesterol
bebas yang diakumulasi dalam prekusor ini selanjutnya menyebabkan
pembentukan partikel-partikel HDL spherical (Mayes, 2003).
HDL akan membawa kolesterol bebas dari pembuluh darah atau
jaringan lain seperti sel makrofag, kemudian membawanya ke hati
untuk dikeluarkan melalui saluran empedu, oleh karena itu HDL sering
disebut sebagai kolesterol baik (Colpo, 2005). Jadi, kelebihan
kolesterol dalam jaringan perifer akan diangkut oleh HDL sehingga
mencegah penumpukan kolesterol di sel perifer (Gropper dkk, 2005).
Kadar kolesterol HDL harus melebihi 25% dari kadar kolesterol total.
Kolesterol HDL yang tinggi merupakan faktor protektif fisiologis atau
faktor anti aterogenik (Mayes, 2003).
37
II.3.3.2 Metabolisme Lipid
a. Pencernaan Lipid
Mulut mengunyah berperan dalam memisahkan lemak. Kelenjar Ebner
mengeluarkan enzim lipase lingual yang memulai proses hidrolisis
lemak. Di lambung, asam hidroklorid memisahkan lemak dari
makanan dan terjadi pencernaan lemak yang mengandung asam
lemak rantai pendek oleh lipase lingual dari mulut (Mayes, 2003).
Pencernaan lemak yang mengandung asam lemak rantai panjang
terjadi di usus halus oleh lipase pankreas yang dibantu oleh garam
empedu, bikarbonat dan protein kolipase. Garam empedu dengan sifat
amfipatik yang dimilikinya bersama-sama dengan gerakan peristaltik
usus membentuk emulsi lemak. Bikarbonat berfungsi agar suasana
lingkungan menjadi kurang asam, sedangkan protein kolipase
mempunyai sifat hidrofobik dan merupakan tempat bagi enzim
pankreas (lipase) untuk mengikatkan diri dengan garam empedu
sehingga aktivitas enzim dapat maksimal (Ganong, 2003).
Trigliserida dipecah menjadi gliserol, diasilgliserol, mono asil gliserol
dan asam lemak bebas oleh lipase pankreas. Hanya sebagian
trigliserida yang dapat dipecah menjadi gliserol dan asam lemak
bebas. Kolesterol ester dipecah menjadi kolesterol dan asam lemak
bebas oleh kolesterol esterase. Lesitin oleh fosfolipase A2, dipecah
menjadi lisolesitin dan asam lemak bebas. Hasil pencernaan tersebut
bersama garam empedu membentuk misel-misel, dengan diameter
38
kurang lebih 5 nm sehingga dapat melewati “intramicrovilus spaces”
dari membran usus halus yang berdiameter kurang lebih 100 nm
(Mayes, 2003).
b. Absorbsi Lipid
Sebagian besar hasil pencernaan diabsorbsi ke dalam membran
mukosa usus halus dengan cara difusi pasif. Misel-misel yang
distabilkan oleh bagian polar garam empedu menjadi partikel yang
larut air dan dapat menembus unstirred water layer (UWL) yang
menyelubungi sel-sel mukosa usus halus (sel enterosit), kemudian
misel-misel menempel di brushborder enterosit dan masuk ke dalam
enterosit. Garam empedu mengalami absorbsi di ileum dan melalui
vena porta menuju hati untuk diresekresi dalam kandung empedu.
Asam lemak rantai panjang (C12 atau lebih) pertama kali diaktifkan
berikatan dengan koenzim A melalui enzim asil coA sintetase,
kemudian di dalam enterosit mengalami reesterifikasi menjadi
trigliserida, fosfatidil kolin dan kolesterol ester. Asam lemak dengan
rantai pendek melewati sel enterosit langsung ke peredaran darah
diangkut oleh albumin ke jaringan lain untuk proses selanjutnya
(Ganong, 2003; Mayes, 2003).
Lipid yang diresintesis dalam enterosit, bersama dengan vitamin larut
dalam lemak dikumpulkan dalam retikulum endoplasma sebagai
partikel lemak besar yang akan dilapisi oleh protein pada
permukaannya sehingga bersifat stabil dalam lingkungan berair saat
39
masuk sirkulasi. Selanjutnya masuk ke dalam aparatus golgi dan
membentuk kilomikron yang akan ditransportasikan ke membran sel
dan keluar menuju sirkulasi untuk ditranspor lebih lanjut (Mayes,
2003).
c. Transpor Lipid
Lipid bergabung dengan protein (lipoprotein) selama ditranspor dalam
aliran darah dan diambil oleh jaringan. Pengangkutan lipid plasma
oleh lipoprotein dapat dibagi menjadi jalur eksogen dan endogen
(Robinson dan Dietz, 2006).
1. Jalur eksogen (dari usus ke hati)
Dalam sehari lipoprotein mengangkut minimal 100 gram
trigliserida dan 1 gram kolesterol dari makanan. Di dalam usus,
trigliserida dan kolesterol dikemas dalam partikel lipoprotein besar
yang disebut kilomikron yang mengandung apoB48, apoC-II,
apoA dan apoE. Sebagian trigliserida dipecah menjadi asam
lemak dengan perantaraan lipoprotein lipase. Asam lemak rantai
panjang akan diangkut oleh pembuluh limfe. Asam lemak bebas
ini masuk ke otot sebagai sumber energi. ApoA dan apoC akan
membentuk kolesterol HDL. Trigliserida yang tidak dipecah akan
menjadi chylomicron remnant (KMr) yang mengandung apoB48
dan apoE, yang kemudian akan diikat oleh reseptor KMr masuk ke
dalam hati untuk dipecah menjadi asam lemak dan kolesterol.
40
Sebagian besar kolesterol akan memasuki sirkulasi enterohepatik
(Robinson dan Dietz, 2006; Mayes, 2003).
2. Jalur endogen (dari hati ke jaringan perifer atau sebaliknya)
Hati mempunyai peran penting dalam metabolisme lemak yaitu
sintesis garam empedu yang penting untuk pencernaan dan
absorbsi lemak, serta berperan dalam transpor lemak karena hati
sebagai tempat sintesis lipoprotein dari lemak endogen (Harper
dkk, 2005). Jalur endogen lipid terdiri dari 3 komponen yang saling
berhubungan yaitu :
- Komponen pertama adalah VLDL, IDL dan LDL yang
mengangkut lipid ke perifer. Trigliserida dan kolesterol yang
disintesis di hati kemudian disekresi ke dalam sirkulasi sebagai
VLDL. Apolipoprotein yang terkandung dalam VLDL adalah
apolipoprotein B100. Dalam sirkulasi, trigliserida dalam VLDL
akan mengalami hidrolisis oleh enzim lipoprotein lipase berubah
menjadi IDL yang juga akan mengalami hidrolisis menjadi LDL.
Sebagian dari VLDL, IDL, dan LDL akan mengangkut kolesterol
ester kembali ke hati. Sebagian dari LDL akan dibawa ke hati
dan jaringan steroidogenik lainnya seperti kelenjar adrenal,
testis, dan ovarium yang mempunyai reseptor untuk LDL.
Sebagian lagi dari LDL akan mengalami oksidasi dan ditangkap
oleh reseptor scavenger-A (SRA) di makrofag dan akan
menjadi sel busa (foam cell). Semakin banyak kadar kolesterol
41
LDL dalam plasma maka semakin banyak yang akan
mengalami oksidasi dan ditangkap oleh sel makrofag (Harper
dkk, 2005; Robinson dan Dietz, 2006).
- Komponen kedua adalah HDL yang mengangkut kolesterol dari
jaringan perifer ke hati untuk diekskresi (transpor balik
kolesterol). Lingkaran kejadian ini menegaskan bahwa
peningkatan kolesterol HDL berhubungan dengan penurunan
risiko penyakit kardiovaskuler (Mayes, 2003; Robinson dan
Dietz, 2006).
- Komponen ketiga adalah komponen nonlipoprotein
berhubungan dengan asam lemak bebas dalam sirkulasi. Asam
lemak dihasilkan dari hidrolisis trigliserida seluler yang
disekresikan dari jaringan adiposa menuju plasma melalui
ikatan dengan albumin (Mayes, 2003; Robinson dan Dietz,
2006).
II.3.4 Peran Vitamin D pada Metabolisme Lipid
Hubungan positif antara kadar 25 (OH) D yang rendah dengan
kadar HDL yang rendah kemungkinan disebabkan oleh peran vitamin D
dalam menjaga konsentrasi apolipoprotein A-1 yang memadai, yang
merupakan komponen utama HDL, dan regulasi aktivitas enzim lipase
lipoprotein sehingga mempengaruhi kadar trigliserida dalam darah. 25
(OH)D juga berperan dalam regulasi kalsium intraseluler adiposit pada
42
proses lipogenesis dalam jaringan adiposa. Dengan demikian kekurangan
vitamin D dapat menurunkan penyerapan kalsium pada jaringan adiposa,
sehingga terjadi lipolisis dan asam lemak bebas meningkat, sintesis VLDL
dan LDL hati juga meningkat. Penurunan konsentrasi apolipoprotein A-1
telah dilaporkan pada orang dewasa dengan hypovitaminosis D.
(Shivaprakash, 2014; Chauduri,2013)
II.3.5 Peran Vitamin D dan Resistensi Insulin
1,25 (OH) 2D bertindak sebagai modulator imun, mengurangi
produksi sitokin dan proliferasi limfosit, yang telah terlibat dalam
penghancuran sel pensekresi insulin di pankreas dan berkembang
menjadi diabetes mellitus tipe 1. Selain itu, sel-sel β Langerhans, memiliki
VDR dan menagkap 1,25 (OH) 2D dengan meningkatkan produksi insulin.
Percobaan pada hewan, pemberian 1,25 (OH) 2D mampu mencegah
perkembangan diabetes mellitus tipe 1. Zella dan DeLuca juga telah
menunjukkan bahwa dosis yang sangat besar vitamin D mampu menekan
perkembangan insulitis dan diabetes pada tikus diabetes non obesitas,
model tipe manusia 1 diabetes mellitus. Sebuah studi kelompok kelahiran
yang melibatkan 10.366 anak-anak yang dilakukan di Finlandia
menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D yang lebih tinggi dikaitkan
dengan penurunan risiko diabetes mellitus tipe 1. (Hollick MF, 2006) Ada
beberapa mekanisme efek vitamin D: kehadiran reseptor vitamin D pada
sel β pankreas, vitamin D mengaktifkan hidroksilase 1α dalam sel β
pankreas, adanya elemen respon vitamin D pada gen insulin, kehadiran
43
reseptor vitamin D di otot rangka dan fakta bahwa 1,25 (OH) D
meningkatkan transkripsi gen reseptor insulin, dan juga menekan gen
renin mengurangi kenaikan hiperglikemik-diinduksi pada tingkat renin di
sel β pankreas dan blokade aktivitas rennin angiotensin telah diusulkan
sebagai target baru untuk pengobatan diabetes. (Shivaprakash, 2014;
Pyrzak, 2015; Norman, 2014)
Beberapa studi klinis telah dikaitkan dengan kadar vitamin D yang
rendah dengan perkembangan resistensi insulin pada orang dewasa dan
anak-anak. Kadar 25 (OH) D3 telah ditemukan untuk memprediksi fungsi
sel β yang lebih baik dan glikemia rendah .Pada tikus, defisiensi vitamin D
merusak pelepasan insulin dari pankreas dan mengurangi toleransi
glukosa. Sebuah uji klinis terbaru menunjukkan bahwa suplemen
cholecalciferol (2000 IU per hari) selama 16 minggu meningkatkan fungsi
sel β pancreas pada orang dewasa dengan risiko tinggi diabetes. Pada
pasien diabetes tipe 2 dengan defisiensi vitamin D, asupan harian
minuman yogurt yang diperkaya vitamin D dapat meningkatkan kadar
serum 25 (OH)D3 dan memperbaiki status glikemik. Oleh karena itu,
vitamin D mungkin memiliki efek pada sekresi insulin dari sel β pankreas.
(Ding C, 2012)
II. 4. Lingkar Pinggang (waist circumference)
II.4.1. Distribusi Lemak
Jaringan lemak berkumpul di dua tempat utama, intra-abdominal
dan subcutaneous. Sekitar 80% dari seluruh lemak tubuh terdapat pada
44
area subkutan, sedangkan lemak visceral sekitar 10-20% dari total lemak
tubuh pada laki-laki dan 5-8% pada wanita. Jumlah lemak visceral
meningkat sesuai umur pada kedua jenis kelamin. Secara anatomi, lemak
intra-abdominal terdiri atas lemak visceral yang meliputi omentum dan
mesenterium, bersama dengan sejumlah kecil lemak retroperitoneal yang
secara langsung melalui sirkulasi portal ke hati, sementara lemak
subkutan tersebar di seluruh tubuh dan melalui vena sistemik. Lemak
visceral membawa asam lemak bebas dan adipokin yang disekresi oleh
lemak visceral secara langsung ke hati melalui sirkulasi portal. Lemak
subkutaneus terdapat di daerah femerogluteal, punggung dan dinding
anterior abdomen. Fungsi endokrin, aktivitas lipolitik dan respon terhadap
insulin dan hormon-hormon lain juga berbeda antara lemak visceral dan
lemak subkutaneus. Sel-sel inflamasi (makrofag) lebih banyak pada lemak
visceral dibandingkan dengan lemak subkutaneus.(Slyper AH, 1998)
Sejumlah besar lemak disimpan dalam dua jaringan tubuh utama,
jaringan adiposa dan jaringan hati. Jaringan adiposa biasanya disebut
deposit lemak. Bila karbohidrat yang memasuki tubuh terlalu banyak,
maka akan disimpan dalam bentuk glikogen. Kelebihan karbohidrat
dengan cepat diubah menjadi trigliserida dan kemudian disimpan di dalam
jaringan adiposa. Fungsi utama jaringan adiposa adalah menyimpan
trigliserida sampai diperlukan untuk membentuk energi dalam tubuh.
(Harper dkk., 2005)
45
II.4.2. Lemak Visceral
Pada laki-laki, lemak umumnya berkumpul di bagian atas tubuh. Ini
tampak sebagai perut yang buncit berbentuk apel. Pada wanita, jaringan
lemak menumpuk di subkutan, terutama di paha membentuk seperti buah
pir. Namun pola distribusi lemak yang menumpuk di bagian atas dapat
juga terjadi pada wanita, terutama setelah menopause. Lemak visceral
memberikan risiko gangguan kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan
lemak di bagian paha dan bagian tubuh lainnya (Himah R, 2008).
II.4.3. Ukuran Lingkar Pinggang
Lemak yang berada di sekitar perut memberikan risiko gangguan
kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan lemak di bagian paha dan
bagian tubuh lainnya. Pada orang dewasa, rasio LP dan lingkar paha
(waist-hip circumference ratio) merupakan pengukuran tidak langsung
yang digunakan untuk menilai lemak visceral seseorang. Bahkan LP
merupakan indikator risiko gangguan kardiovaskular dan diabetes mellitus
yang lebih baik daripada IMT (Indeks Massa Tubuh).Untuk menentukan
distribusi lemak visceral pada anak juga dilakukan pengukuran ketebalan
lipatan kulit (TLK) dan mengukur Lingkar Pinggang (LP). Pada orang
dewasa, the waist-hip ratio (rasio LP dan lingkar paha) yang paling banyak
digunakan sebagai cara tidak langsung mengukur lemak visceral. LP dan
ukuran sagital diameter abdomen menunjukkan korelasi yang lebih baik
dengan lemak visceral, seperti yang diperlihatkan oleh CT-Scan,namun
memerlukan alat yang canggih, berbiaya mahal dan tidak praktis. Selain
46
itu, the waist-hip ratio menunjukkan distribusi relatif jaringan lemak antara
lemak visceral dan subkutan. Sedangkan, pada anak tidak ada korelasi
antara the waist-hip ratio dan lemak visceral. Lebih jauh lagi, pengukuran
antropometrik yang konvensional, seperti tebal lipatan kulit dan lingkar
lengan atas (LLA) secara klinis kurang sensitif dalam menilai lemak intra-
abdomen. Hanya metode radiologis seperti Magnetic Resonance Imaging
(MRI) atau CT-Scan abdomen yang dapat menilai secara akurat lemak
visceral pada anak. (Slypher AH, 1998)
Anak obesitas dengan lingkar pinggang ≥ persentil 90 memiliki
risiko dislipidemia dan resistensi insulin lebih tinggi dibandingkan anak
obesitas dengan LP normal. Hasil ini menunjukkan bahwa pemantauan
terhadap LP anak obes membantu para klinisi untuk mengidentifikasi anak
obes yang memiliki risiko lebih besar mengalami diabetes dan penyakit
kardiovaskular. Lemak intra-abdominal pada anak perempuan obes, dua
hingga tiga kali lebih besar dibandingkan anak yang tidak obes. (Slypher
AH, 1998).
Pengukuran antropometri LP masih belum ada standarnya, IDF
menyatakan bahwa LP anak laki-laki dan perempuan usia 10-16 tahun di
atas persentil 90 sebagai risiko penyakit sindrom metabolik. (IDF, 2011).
Sedangkan Maffeis,dkk, berkesimpulan bahwa anak obes laki-laki dan
perempuan 3-11 tahun dengan LP > 90, memiliki risiko kardiovaskular
lebih tinggi dibandingkan anak dengan LP < persentil 90. Sedangkan
47
penelitian Taylor, dkk menyimpulkan bahwa anak dengan LP > persentil
80, sudah berisiko untuk penyakit kardiovaskular. (Maffeis C dkk., 2001).
Namun penelitian Liu A,dkk. 2010, pada anak sekolah usia 6-12
tahun di Cina menyimpulkan bahwa anak laki-laki dengan LP lebih dari
persentil 90 dan anak perempuan dengan LP lebih dari persentil 84
merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular. (Liu A, 2010).
Standar pengukuran antropometri lingkar pinggang yang terbaik
adalah yang sesuai standar nasional masing-masing negara. Menurut
IDAI, ukuran lingkar pinggang yang digunakan dalam kriteria sindrom
metabolik dipilih berdasarkan perbandingan prevalensi sindrom metabolik
berbagai kriteria yang menunjukkan bahwa lingkar pinggang menurut
Taylor dkk memberikan hasil yang lebih besar dibandingkan National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES), seperti pada tabel 1
(Pulungan, Nanis A,dkk, 2014)
48
II.5. Tekanan Darah
II.5.1. Definisi Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
pembuluh darah saat darah bersirkulasi dalam pembuluh darah
(Goonasekera, Dillon, 2000). Organ jantung dan pembuluh darah
berperan penting dalam proses ini, yaitu jantung sebagai pompa muskular
yang memberikan tekanan untuk menggerakkan darah, serta pembuluh
darah yang memiliki dinding elastis dan ketahanan yang kuat. Tekanan
darah adalah hasil kali tahanan vaskuler perifer dan curah jantung.
Tekanan tertinggi saat jantung berkontraksi disebut tekanan sistolik,
sedangkan tekanan terendah saat jantung beristirahat disebut tekanan
Gambar 4. Nilai batasan untuk mengidentifikasi massa lemak batang tubuh dan lingkar pinggang
pada anak dalam pertumbuhan menurut Taylor dkk
49
diastolik. Tekanan darah dinyatakan sebagai rasio tekanan sistolik
terhadap tekanan diastolik, dan diukur dalam satuan milimeter air raksa
(mmHg). Peningkatan tekanan darah sistolik maupun diastolik merupakan
faktor risiko independen terhadap penyakit kardiovaskuler (Goonasekera,
Dillon, 2000).
II.5.2. Mekanisme Pengaturan Tekanan Darah
Tekanan darah bergantung pada kontraksi otot jantung dan
tahanan pembuluh darah perifer untuk mengalirkan darah ke seluruh
tubuh. Curah jantung dan tahanan pembuluh darah perifer dipengaruhi
oleh beberapa faktor baik secara langsung maupun tidak langsung
sehingga akan mempengaruhi nilai tekanan darah(Sherwood, 2001).
Faktor-faktor tersebut yaitu :
a. Volume sekuncup
Volume sekuncup adalah volume darah yang sanggup dipompakan
oleh jantung dalam satu kali kontraksi. Makin besar volume sekuncup,
makin besar curah jantung. Volume sekuncup dipengaruhi oleh
kontraksi otot jantung dan jumlah darah yang kembali ke jantung
(venous-return). Kontraksi otot jantung dan venous return berbanding
lurus dengan curah jantung. Kontraksi otot jantung dipengaruhi oleh
kekuatan otot jantung, aktivitas yang rutin dan lama, sistem saraf
otonom dan hormonal. (Sherwood, 2001).
50
b. Frekuensi jantung
Frekuensi jantung adalah jumlah kontraksi otot jantung dalam satu
menit. Frekuensi jantung berpengaruh langsung terhadap curah
jantung. Faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi jantung adalah
umur, aktivitas sesaat, sistem saraf otonom dan hormonal, yang akan
menentukan besarnya curah jantung (Sherwood, 2001).
c. Pembuluh darah kecil
Pembuluh darah kecil yang berperan penting dalam pengaturan
tekanan darah adalah arteriol. Bila terjadi vasokonstriksi arteriol, maka
akan terjadi peningkatan tahanan pembuluh darah perifer sehingga
akan meningkatkan curah jantung dan secara tidak langsung
meningkatkan tekanan darah (Sherwood, 2001).
d. Ginjal
Ginjal berperan dalam pengaturan tekanan darah melalui mekanisme
pengaturan cairan tubuh dan sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAA). Bila asupan cairan dan garam bertambah, maka akan
meningkatkan jumlah cairan ekstrasel. Selanjutnya terjadi peningkatan
volume plasma yang akan meningkatkan aliran darah balik dan
memperbesar curah jantung sehingga tekanan darah meningkat.
Tekanan darah yang meningkat melalui mekanisme ini akan
dikompensasi oleh ginjal dengan cara memperbanyak pengeluaran urin
sehingga volume plasma akan berkurang yang pada akhirnya akan
51
menurunkan tekanan darah (Sherwood, 2001). Mekanisme pengaturan
tekanan darah oleh ginjal juga dilakukan melalui sistem RAA. Renin
merupakan enzim yang dihasilkan oleh sel juxta glomerulus ginjal, yang
akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Selanjutnya
angiotensin I akan diubah menjadi angiotensin II dengan pengaruh
Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II menyebabkan
peningkatan kontraksi otot jantung dan sekresi hormon aldosteron yang
menyebabkan retensi natrium dan air. (Sherwood, 2001)
e. Sistem saraf otonom
Sistem saraf otonom (SSO) yang berperan dalam pengaturan tekanan
darah adalah sistem saraf simpatik (SSS) dan sistem saraf
parasimpatik (SSP). SSS dan SSP mempunyai efek yang antagonis
terhadap frekuensi jantung dan kekuatan kontraksi otot jantung. SSS
akan meningkatkan frekuensi dan kekuatan kontraksi otot jantung,
sedangkan SSP sebaliknya. SSS dan SSP juga berpengaruh pada
arteriol dengan efek antagonis. Rangsangan pada SSS menyebabkan
terjadinya vasokonstriksi arteriol, sehingga meningkatkan tahanan
pembuluh darah perifer, sedangkan rangsangan pada SSP bereaksi
sebaliknya.(Sherwood, 2001).
f. Sistem hormonal
Hormon-hormon yang berperan dalam pengaturan tekanan darah
adalah epinefrin dan norepinefrin, angiotensin II, aldosteron, vasopresin
(ADH) dan prostaglandin. Epinefrin dan norepinefrin yang dihasilkan
52
oleh medula kelenjar adrenal akan dilepaskan ke sirkulasi bila ada
rangsangan terhadap SSS yang menyebabkan peningkatan kontraksi
dan frekuensi jantung, serta vasokonstriksi arteriol yang berperan
dalam meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer. Stres
merupakan salah satu faktor yang merangsang SSS dan terjadinya
pelepasan kedua hormon tersebut.Hormon lain yang dihasilkan oleh
korteks kelenjar adrenal dan turut mempengaruhi tekanan darah adalah
hormon glukokortikoid (Sherwood, 2001).
Angiotensin II merupakan hormon vasokonstriksi sangat kuat yang
terdapat dalam darah melalui mekanisme di ginjal. Bila terjadi
penurunan perfusi ginjal dan atau penurunan tekanan darah maka
ginjal akan mengeluarkan renin. Selanjutnya terjadi mekanisme RAA
yang akhirnya akan menghasilkan angiotensin II. Hormon ini
menyebabkan vasokonstriksi arteriol sehingga terjadi peningkatan
tahanan pembuluh darah perifer. Selain itu angiotensin II juga
meningkatkan kontraksi otot jantung, menyebabkan penurunan ekskresi
garam dan air, serta merangsang sekresi aldosteron. (Sherwood, 2001)
Aldosteron adalah hormon mineralkortikoid yang dihasilkan oleh korteks
kelenjar adrenal yang akan menyebabkan peningkatan retensi air dan
garam oleh ginjal sehingga meningkatkan volume plasma dan curah
jantung (Sherwood, 2001).
Vasopresin (ADH) merupakan hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar hipofise posterior, yang menyebabkan vasokonstriksi arteriol
53
sehingga dapat meningkatkan tahanan pembuluh darah perifer. Selain
itu vasopresin juga berpengaruh pada ginjal dengan menurunkan
ekskresi air, yang dapat meningkatkan volume plasma jika tekanan
darah turun secara tiba-tiba (Sherwood, 2001).
Hormon lain yang berpengaruh pada tekanan darah adalah
prostaglandin. Prostaglandin A2 menyebabkan dilatasi pembuluh
darah, sedangkan prostaglandin E menyebabkan konstriksi pembuluh
darah kecil dan merangsang mekanisme RAA . (Sherwood, 2001)
II.5.3. Pengukuran Tekanan Darah pada Anak
Pengukuran tekanan darah yang tepat tergantung pada keadaan
anak saat diperiksa, kualitas peralatan, dan keterampilan pemeriksa.
Pengukuran tekanan darah pada anak memerlukan ruang pemeriksaan
dan keadaan anak yang tenang agar tidak mempengaruhi hasil
pengukuran. Anak dapat berbaring dengan tangan lurus di samping badan
atau duduk setelah beristirahat selama 5 menit, duduk dengan sandaran
punggung, kaki menempel di lantai, dan lengan bawah yang diletakkan di
atas meja sehingga lengan atas berada setinggi jantung. Tekanan darah
diukur dengan menggunakan sfigmomanometer air raksa. Osilometrik
otomatis merupakan alat pengukur tekanan darah yang sangat baik untuk
bayi dan anak kecil, karena saat istirahat teknik auskultasi sulit dilakukan
pada kelmpok usia ini. Panjang cuff manset harus melingkupi minimal
80% lingkar lengan atas, sedangkan lebar cuff harus lebih dari 40%
54
lingkar lengan atas (jarak antara akromion dan olekranon). Tekanan darah
akan terlalu tinggi apabila manset yang dipakai terlalu kecil, dan terlalu
rendah bila ukuran manset terlalu besar. Tekanan darah diukur setelah
istirahat selama 3-5 menit, suasana sekitarnya dalam keadaan tenang.
Jika tekanan darah menunjukkan angka di atas persentil ke 90, tekanan
darah harus diulang dua kali pada kunjungan yang sama ntuk menguji
kesahihan hasil pengukuran. Tekanan darah sistolik ditentukan saat mulai
terdengarnya bunyi Korotkoff ke 1. Tekanan darah diastolik
sesungguhnya terletak antara mulai mengecil sampai menghilangnya
bunyi Korotkoff. Teknik palpasi berguna untuk mengukur tekanan darah
sistolik secara cepat, meskipun nilai tekana darah palpasi biasanya sekitar
10 mmHg lebih rendah dibandingkan dengan auskultasi . (Nanan S, 2011)
Batasan hipertensi menurut The Fourth Report on the Diagnosis,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in Children and
Adolescent adalah sebagai berikut :
Hipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau
diastolik lebih dari persentil ke 95 berdasarkan jenis kelamin, usia,
dan tinggi badan pada pengukuran sebanyak 3 kali atau lebih
Pre hipertensi adalah nilai rat-rata tekanan darah sistolik dan atau
diastolik antara persentil ke 90 dan 95. Pada kelompok ini harus
diperhatikan secara teliti adanya factor risiko seperti obesitas.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kelompok ini memiliki
55
kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi hipertensi pada masa
dewasa dibandingkan dengan anak yang normotensi
Anak remaja dengan nilai tekanan darah di atas 120/80 mmHg
harus dianggap suatu prehipertensi .
Pada tabel 2, diperlihatkan klasifikasi hipertensi anak di atas usia 1 tahun
dan remaja. Sedangkan nilai tekanan darah berdasarkan usia, jenis
kelamin dan tinggi bdan diperlihatkan pada lampiran 1,2 dan 3 (Nanan S,
2011).
Klasifikasi Batasan
Tekanan darah normal Sistolik dan diastolik kurang dari persentil ke 90
Prehipertensi Sistolik atau diastolik lebih besar atau sama dengan persentil ke 90 tetapi lebih kecil dari persentil ke 95
Hipertensi Sistolik atau diastolik lebih besar atau sama dengan persentil ke 95
Hipertensi tingkat 1 Sistolik dan diastolik antara persentil ke 95 dan 99 ditambah 5 mmHg
Hipertensi tingkat 2 Sistolik dan diastolik di atas persentil ke 99 ditambah 5 mmHg
II.5.4 Hubungan Vitamin D dan Hipertensi
Vitamin D dapat mengatur tekanan darah dengan mengatur sistem
renin-angiotensin. 1,25 (OH)2D terlibat dalam mengendalikan produksi
Tabel 2 Klasifikasi Hipertensi pada Anak Usia 1 tahun atau Lebih dan Usia Remaja
56
renin, salah satu hormon yang paling penting untuk mengatur tekanan
darah. (Holick, 2014; Martini, 2014) Beberapa mekanisme dapat
menjelaskan hubungan antara kekurangan vitamin D dan penyakit
kardiovaskular. Pertama, penelitian eksperimental menunjukkan bahwa 1,
25 (OH)2D berperanan dalam regulasi aksis renin-angiotensin dengan
secara langsung menekan ekspresi gen renin. Ekspresi yang berlebihan
dari renin dapat ditemukan pada percobaan dengan tikus liar dengan cara
menghambat sintesis vitamin D. Kedua, pembuluh darah sel-sel otot polos
dan sel endotel mengekspresikan reseptor untuk vitamin D dan memiliki
kemampuan untuk mengkonversi kadar 25 (OH)D sirkulasi ke 1, 25
(OH)2D. Efek putatif vaskular dari vitamin D yang luas termasuk
memodulasi proliferasi sel otot polos, peradangan, dan trombosis.
Menariknya, tikus transgenik secara konstitutif mengekspresikan vitamin
D-24-hydroxlyase, suatu enzim yang mengkatalisis pemecahan 1,25
(OH)2D, dan mengembangkan terjadinya atherosclerosis secara
substansial. Ketiga, kekurangan vitamin D memicu hiperparatiroidisme
sekunder, hormon paratiroid (PTH) mempromosikan hipertrofi miosit dan
remodeling vaskuler. Penelitian lain menunjukkan bahwa PTH memiliki
efek proinflamasi, merangsang pelepasan sitokin oleh sel otot polos
pembuluh darah. Hipertensi memainkan peran kunci dalam terjadinya
hipertrofi ventrikel kiri dan remodeling vaskuler. Karena kekurangan
vitamin D juga dapat mempengaruhi remodeling jantung dan pembuluh
darah, hipertensi bisa memperbesar efek merugikan dari defisiensi vitamin
57
D pada sistem kardiovaskular. Hal ini berkaitan dengan kejadian penyakit
kardiovaskuler di berbagai tingkat. Ekspresi gen rennin ditekan oleh 1,25
(OH)2D melalui pengurangan aktivitas elemen respon cAMP dalam
promoter gen renin. Pengaruh metabolit vitamin D pada kedua fungsi
endotel dan RAS menunjukkan peran penting dalam kontrol fisiologis
tonus pembuluh darah dan tekanan darah yang berperanan pada
patofisiologi terjadinya hipertensi. (Kienreich K dkk, 2013)
II.6. Hubungan Vitamin D dan Sindrom metabolik
Terdapat beberapa penelitian prospektif terhadap orang dewasa
yang menunjukkan hubungan antara defisiensi vitamin D dengan resiko
terjadinya sindrom metabolik. Gagnon dkk (2012) meneliti terhadap 4164
dewasa, selama pemantauan 5 tahun ditemukan prevalensi sindrom
metabolik sebesar 12,7%. Risiko sindrom metabolik signifikan terjadi pada
Gambar 5. Mekanisme antihipertensi Vitamin D (Kienrich K, 2013)
58
kadar 25 (OH)D < 18 ng/ml dengan odds ratio 1,41 (95%CI : 1,02-1,95).
Kadar vitamin D memiliki korelasi negaatif terhadap lingkar pinggang,
kadar gula darah puasa dan trigliserida dengn p< 0,001. Song dkk (2013)
melaporkan hasil penelitian cross sectional terhdap 778 orang dewasa
Korea, prevalensi sindrom metabolik ditemukan sebesar 18,9%. Diperoleh
odds ratio sindrom metabolik 2,44 (95% CI : 1,32-4,48) pada kadar
25(OH)D 4,2 -9,7 ng/mL. Pada kuartil intermediate (9,8 – 14,1 ng/mL) dan
(14,3 – 19,8 ng/mL) masing –masing odds ratio sindrom metabolik
sebesar 2,20 (95% CI : 1,24 – 3,90) dan 1,81 (95%CI : 1,02 – 3,20).
(Strange dkk., 2015)
Penelitian serupa pada anak dan remaja sangat sedikit. Reis dkk
pada studi cross sectional terhadapt 3577 remaja yang berparitsipasi pada
penelitian oleh NHANES periode 2001 – 2004 menyimpulkann terdapat
hubungan antara defisiesni vitamin D dengan hipertensi, hiperglikemia,
dan sindrom metabolik. (Cabral, 2013)
59
Kerangka Teori
.
Vitamin D (berikatan dengan Vitamin D Binding Protein) 7-DHC kulit Vitamin D3
Diit (Vitamin D2, Vitamin D3
25-OHase Hepar
1-OH ase Ginjal
1,25 dihidroxyvitamin D 1,25 (OH)2 D menurun
Sel endotel Lipoprotein lipase Apo lipoprotein A-1
adiponektin
renin
Angiotensin II
Tekanan Darah
Proliferasi Otot polos vaskuler
HDL-C
LDL, Trigliserida
Resistensi insulin
Insulin resptor
GDP
Inflamasi kronik Dinding arteri
Lingkar Pinggang (LP)
Sindrom Metabolik
Influx Kalsium
RAAS
Sel-sel Adiposit meningkat/Distorsi
Obesitas
Lemak Visceral Lemak Subkutan
IMT
Kelenjar paratiroid
PTH
FGF 23
Leptin
TNF , IL 6, MCP-1
Sinar UV
Proses balans energy positif Pubertas Penyakit endokrin, Genetik Kelainan metabolik
Genetik
Recruitment makrofag
TNFRI
Protein Kinase A
Lipolisis
Asam Lemak Bebas
Ekternal : diit, merokok, stres, aktivitas Fisik Internal : umur, jenis kelamin, ras, genetik, hormonal
Gangguan fungsi & struktur vaskuler
25-hydroxyvitamin D [25 (OH)D] menurun
Ekternal : diit, merokok, stres, aktivitas Fisik Internal : umur, jenis kelamin, ras/ suku, genetik/ riwayat keluarga dislipidemia, pubertas
VDR sel β
pankreas
sekresi insulin
Aktivitas fisik Pubertas Penyakit endokrin Kelainan metabolik
Aktivitas fisik Jenis kelamin
Pubertas
60
61
62
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
IV.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross
sectional untuk menganalisis hubungan antara defisiensi vitamin D
dengan sindrom metabolik pada anak obes.
IV.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada Juni – Agustus 2017 terhadap
siswa SD, SMP dan SMA di Kota Makassar. Pemeriksaan sampel darah
dilakukan di laboratorium NECHRI Universitas Hasanuddin Makassar.
IV.3. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah anak obes umur 6 hingga 18 tahun yang
tersebar pada SD, SMP dan SMA di kota Makassar yang berasal dari
sekolah swasta dengan status ekonomi menengah ke atas berdasarkan
kriteria yang ditentukan oleh Dinas Pendidikan kota Makassar
mendapatkan probabilitas obesitas yang tinggi.
63
IV.4. Sampel dan Cara Pemilihan Sampel
Sampel penelitian adalah semua populasi terjangkau yang
memenuhi kriteria penelitian. Selanjutnya dilakukan pengukuran berat
badan dan tinggi badan, kemudian di hitung IMT untuk menentukan
obesitas serta dilakukan pengukuran lingkar pinggang, tekanan darah dan
pemeriksaan profil lipid dan menghasilkan dua kelompok yaitu kelompok
anak obes dengan sindrom metabolik dan tanpa sindrom metabolik. Cara
pengambilan sampel adalah cluster random sampling.
IV.4.1. Pemilihan Sampel
Sampel dipilih secara cluster random sampling. Langkah-langkah
yang dilakukan dalam pemilihan sampel adalah sebagai berikut :
1. Pendataan
Membuat data SD, SMP, SMA di Kota Makassar
Identifikasi SD, SMP, SMA berdasarkan sosial ekonomi, dipilih
golongan ekonomi menengah ke atas.
Pencatatan jumlah siswa yang dipilih setiap sekolah.
2. Pembentukan klaster
Setiap SD, SMP dan SMA yang terdaftar merupakan
suatu klaster yang akan dipilih secara random.
Dari kelompok tersebut dirandom tiga SD, tiga SMP dan
SMA yang mewakili kelompok (SD Islam Atirah, SD
64
Frater, SD Nusantara, SMP Islam Atirah, SMP Frater,
SMP Nusantara, SMA Athirah, dan SMA Frater).
Melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan
untuk menentukan obesitas, serta pengukuran tekanan
darah dan lingkar pinggang.
Pemberian lembar informasi penelitian kepada orang tua
siswa obes untuk menjadi sampel penelitian
Menentukan jumlah siswa obes yang akan dijadikan
sampel penelitian pada tiap SD, SMP dan SMA yang
terpilih secara proporsional, contoh :
A = jumlah total sampel
B = jumlah total siswa (SD, SMP, SMA) yang terpilih
C = jumlah siswa di masing-masing SD, SMP, maupun
SMA
Jadi jumlah sampel setiap sekolah = C/B x A
3. Selanjutnya diambil sampel darah untuk pemeriksaan GDP,
HDL, trigliserida, vitamin D (25(OH)D) dari setiap siswa
kemudian diperiksa ke laboratorium NECHRI Universitas
Hasanuddin Makassar.
IV.4.2. Perkiraan Besar Sampel
Perkiraan besar sampel untuk uji hipotesis terhadap 2 proporsi data
nominal. Dengan desain cross sectional, diperkirakan odds ratio (OR) = 2,
65
proporsi efek pada kelompok kontrol sebesar 0,2 dengan nilai kemaknaan
sebesar 0,05 dan power sebesar 80% maka perkiraan besar sampel
dapat dihitung sebagai berikut :
n = ( Zα √2 PQ + Zβ √P1Q1 + P2Q2 )2
(P1 – P2 )2
n = (1,96√2(0,1x0,99)+ 0,842√(0,006x0,8) + (0,2x0,99)2
(0,2- 0,006)2
N = 40
Keterangan :
P2 = 0,2
Zα = 1,96
Zβ = 0,84
OR = 2
P1 = 0,006
P = ½ (P1+P2) = 0,1
Q = 1 – P = 0,99
Q1 = 1 – P1 = 0,8
Q2 = 1 – P2 = 0,99
Dengan demikian berdasarkan hasil perhitungan didapatkan jumlah
sampel minimal sebanyak 40 orang anak obes dengan sindrom metabolik
dan 40 orang anak obes tanpa sindrom metabolik.
66
IV.5 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
IV.5.1 Kriteria Inklusi
Anak obes usia 6 hingga 18 tahun dengan sindrom metabolik dan
tanpa sindrom metabolik yang terdaftar pada SD, SMP dan SMA Swasta
di kota Makassar 2017 dan orang tua mereka setuju untuk berpartisipasi
dengan penelitian ini.
IV.5.2. Kriteria Eksklusi
1. Anak-anak tidak kooperatif
2. Menderita gangguan fungsi hati dan atau ginjal
3. Menderita gangguan endokrinologi, seperti hipo atau
hiperparatiroidisme, dan diabetes mellitus.
4. Anak sakit saat penelitian.
5. Mendapat pengobatan kortikosteroid jangka panjang, sitostatika
atau obat lain yang mempengaruhi berat badan.
IV.6. Izin penelitian dan ethical clearance
Dalam melaksanakan penelitian ini, setiap tindakan dilakukan
setelah mendapatkan izin dari Kepala Sekolah bersangkutan , orang tua
subyek penelitian dan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Biomedis
pada Manusia Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.
67
IV.7. Cara Kerja
IV. 7.1. Alokasi Subyek
Subyek penelitian adalah anak yang sudah teridentifikasi dan memenuhi
kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
antropometrik (berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang, tekanan darah.
Kemudian berdasarkan hasil perhitungan indeks massa tubuh, anak dengan
obesitas yang menjadi subyek penelitian. Anak dengan obesitas kemudian
dilakukan pemeriksaan profil lipid, kemudian dikelompokkan menjadi dua
kelompok yaitu anak obes dengan sindrom metabolik dan anak obes tanpa
sindrom metabolik. Kemudian masing-masing subyek dari kedua kelompok di
periksa kadar vitamin D.
IV.7.2. Cara Penelitian
Semua penderita yang memenuhi syarat dicatat umur, jenis
kelamin, hasil pemeriksaan antropometrik untuk menentukan status gizi
dan tekanan darah serta hasil pemeriksaan laboratorium.
1. Data-data klinik meliputi:
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Status Gizi (obesitas)
4. Tekanan darah
5. Lingkar pinggang.
2. Data-data pemeriksaan laboratorium
1. Kadar vitamin D 25 (OH)D
68
2. Profil lipid (trigliserid, HDL)
3. Gula darah puasa
IV.7.2.1. Prosedur Pemeriksaan
1. Pengambilan sampel didahului dengan pemberian penjelasan kepada
orang tua siswa tentang tujuan dan manfaat penelitian, cara
pengukuran status gizi, pengukuran tekanan darah, pengukuran
lingkar pinggang dan cara pengambilan darah. Kemudian orang tua
diminta untuk mengisi dan menandatangani surat persetujuan sebagai
tanda persetujuan untuk dilakukannya penelitian ini.
2. Pengukuran berat badan menggunakan timbangan injak yang sudah
ditera dengan ketelitian 0,1 kg dan menggunakan pakaian ringan.
3. Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoise dengan ketelitian
0,1cm dan tanpa menggunakan alas kaki.
4. Menghitung BB/TB dan IMT (Indeks Massa Tubuh) yang dihitung dari
berat badan dibagi dengan tinggi badan badan kuadrat (kg/m2).
Kemudian hasil pengukuran IMT diplotkan ke dalam kurva NCHS dan
kurva IMT persentil ke-95 yang sesuai umur dan jenis kelamin.
5. Tekanan darah diukur dengan menggunakan sphygmomanometer air
raksa sesuai dengan cara baku National High Blood Pressure
Education Program Working Group on High Blood Pressure in
Children and Adolescents tahun 2004.
69
Pengukuran tekanan darah dilakukan setelah anak beristirahat dalam
posisi duduk minimal selama 5 menit, tekanan darah diukur pada
lengan kanan dalam posisi duduk dengan sandaran punggung, kaki
menempel di lantai, dan lengan bawah yang diletakkan di atas meja
sehingga lengan atas berada setinggi jantung. Pengukuran dilakukan
dengan cara auskultasi dan menggunakan manset (cuff) yang sesuai
dengan ukuran lengan atas. Dilakukan 3 kali pengukuran dengan
interval 1 menit dan diambil nilai rata-ratanya. Hasil rata-rata tekanan
darahnya kemudian disesuaikan dengan tabel tekanan darah
berdasarkan jenis kelamin, umur, dan persentil tinggi badan.
6. Lingkar Pinggang diukur pada posisi berdiri. Pengukuran dilakukan
pada pertengahan antara lengkung paling rendah dari kosta dan
puncak paling atas dari krista iliaka pada saat akhir ekspirasi normal.
7. Pemeriksaan kadar gula darah puasa, kolesterol HDL, dan trigliserida
dengan blood analyser menggunakan alat Cobas Integra 400 Plus
dengan metode Chemilumenescence.
8. Pemeriksaan kadar 25 (OH)D menggunakan metode
Chemiluminescence Immune Assay dengan Dia Sorin Liaison.
70
IV.7.3 Alur Penelitian
Tidak memenuhi kriteria
inklusi (n = 13 )
tidak mendapatkan ijin
dari orang tua
tidak puasa saat pengambilan sampel
darah
IMT ≥ persentil ke – 95 ( n = 96)
Pengukuran tekanan darah, lingkar pinggang kadar trigliserida, HDL, gula darah
puasa, 25 (OH)D3 (n= 83)
status vitamin D normal (n = 32)
Siswa SD, SMP dan SMA (Frater, Nusantara, Athirah)
n = 180
Defisiensi vitamin D (n= 51)
ANALISIS
Total sampel yang dianalisis (83 siswa) → 43 siswa (sindrom metabolik) dan 40 siswa (tidak
sindrom metabolik)
bukan sindrom metabolik (n= 15)
sindrom metabolik (n = 36)
bukan sindrom metabolik (n= 25)
sindrom metabolik (n= 7)
71
IV.8. Identifikasi dan klasifikasi variabel
IV.8.1. Identifikasi variabel
1. Umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, status pubertas
2. Sindrom metabolik (profil lipid, lingkar pinggang, gula darah
puasa,tekanan darah)
3. Kadar vitamin 25 (OH)D
IV.8.2. Klasifikasi Variabel
1. Variabel bebas adalah kadar vitamin D serum 25(OH)D yang
merupakan variabel numerik yang di adjusted menjadi variabel
kategorik
2. Variabel tergantung adalah sindrom metabolik yang merupakan
variabel kategorik
3. Variabel kendali adalah umur, gangguan fungsi hati, ginjal dan
hormon paratiroid
4. Variabel moderator jenis kelamin, diet, status pubertas, faktor
genetik dan aktivitas fisik
5. Variabel antara adalah proses biologis metabolisme vitamin D
pada reseptor organ target yang tidak dapat diukur
72
IV.9. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif
IV.9.1. Definisi Operasional
1. Kadar Vitamin D adalah kadar 25 (OH) D pada serum yang diukur
dengan metode Chemiluminescence Immune Assay dengan Dia
Sorin Liaison.
2. Indeks massa tubuh: adalah perhitungan indeks massa tubuh
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
IMT = BB/ TB2 (m)
Interpretasi oleh CDC -NCHS grafik pertumbuhan untuk obesitas
usia > 2 tahun sesuai usia dengan seks
3. Berat badan adalah ukuran berat badan dengan menggunakan
skala digital tanpa sepatu (kg)
4. Tinggi badan adalah ukuran tinggi menggunakan mikrotois dengan
skala terdekat 0,1 sentimeter
5. Lingkar pinggang adalah ukuran LP yang diperoleh dengan
mengukur lingkar pinggang pada pertengahan antara lengkung
paling rendah dari kosta dan puncak paling atas dari krista iliaka
pada saat akhir ekspirasi normal.
6. Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
pembuluh darah saat darah bersirkulasi, merupakan hasil kali
tahanan vaskuler perifer dan curah jantung, dinyatakan sebagai
rasio tekanan sistolik terhadap tekanan diastolik, dan diukur dalam
satuan milimeter air raksa (mmHg).
73
7. Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan yang ditentukan
berdasarkan keterangan orang tua dan konfirmasi pemeriksaan
fisik.
8. Umur adalah usia kronologis yang dihitung berdasarkan
pengurangan tanggal, bulan dan tahun saat diambil sebagai
sampel dengan tanggal,bulan dan tahun kelahiran.
9. Status pubertas adalah tahapan maturitas seksual anak
berdasarkan skala Tanner. Pada anak perempuan dilakukan
inspeksi dan palpasi payudara, dan inspeksi rambut pubis. Hasil
pemeriksaan dinilai dengan skala Tanner I-V. Pada anak laki-laki
penentuan tahapan pubertas dilakukan melaluipengukuran volume
testis dengan menggunakan Orchidometer Prader. Hasil
pemeriksaan dinilai dengan skala Tanner I-V.
10. Trigliserida adalah fraksi lemak terbesar makanan (98%),
merupakan indikator banyaknya lemak yang dimakan.Trigliserida
tersimpan dalam jaringan adiposa sebagai simpanan energi.
Trigliserida diukur dengan blood analyser (metode Homogeneous)
dan menggunakan alat Cobas e501.
11. Kolesterol HDL adalah lipoprotein pengangkut kelebihan kolesterol
yang tidak terpakai di jaringan. Kelebihan lipoprotein tersebut
kemudian diangkut kembali ke hati untuk diekskresi ke empedu.
Kadar HDL diukur dengan blood analyser (metode Homogeneous)
dan menggunakan alat Cobas e501.
74
12. Gula darah puasa adalah kadar gula darah plasma yang diperiksa
setelah seseorang berpuasa minimal 6 jam sebelum pemeriksaan.
13. Penyakit hati adalah kondisi yang menyebabkan gangguan fungsi
hati dengan gejal antara lain, ikterus, ascites maupun edema.
14. Penyakit ginjal adalah kondisi yang menyebabkan gangguan fungsi
ginjal yang memberikan gejala antara lain sesak, edema palpebra,
pretibial, dorsum pedis, hematuria maupun oligouria.
15. Penyakit endokrin adalah kondisi yang menunjukkan gangguan
fungsi hormon paratiroid yang memberikan gejala antara lain
kejang, gerakan involunter otot.
16. Sindrom metabolik adalah suatu kondisi yang menunjukkan
gangguan metabolisme berdasarkan kriteria yang dimodifikasi IDAI,
setidaknya terdapat tiga dari lima kriteria gejala yaitu lingkar
pinggang P ≥ 80 menurut Taylor dkk, tekanan darah lebih dari
persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia, tinggi badan, kadar
gula darah puasa ≥100 mg/dl, kadar HDL ≤ 40 mg/dl, dan kadar
trigliserida ≥110 mg/dl.
IV.9.2. Kriteria Obyektif
1. Indeks massa tubuh
Interpretasi :
<5 persentil: underweight
persentil ke-85 - 95: normoweight
persentil 85 - 95 persen: overweight
75
≥ persentil ke-95: obesitas
2. Lingkar pinggang: berdasarkan tabel menurut Taylor dkk sesuai
usia dan jenis kelamin
3. Vitamin D 25 (OH) D
Normal: 20-100 ng / mL (50-250 nmol / L)
Insufisiensi: 15-20 ng / mL (37,5-50 nmol / L)
Defisiensi : < 15 ng / mL ( < 37,5 nmol / L)
Defisiensi berat: <5 ng / mL (≤ 12,5 nmol / L)
4. Tekanan darah: hipertensi jika sistolik dan atau tekanan darah
diastolik > persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia dan
tinggi badan
5. Status pubertas dibedakan atas :
Prepubertas : Skala I Tanner
Pubertas : Skala II – V Tanner
6. Kolesterol HDL
Dikatakan rendah : ≤ 40 mg/100 ml
Dikatakan tinggi : ≥ 60 mg/100 ml
Cut off point yang digunakan yaitu ≤ 40 mg/100 ml.
7. Trigliserida
Dikatakan normal :< 110 mg/dL
Dikatakan tinggi : ≥ 110-199 mg/ dL
Cut off point yang digunakan yaitu ≥ 110 mg/ dL
76
8. Gula darah puasa
Dikatakan normal :< 100 mg/dl
Dikatakan tinggi : ≥ 100mg/dl
Cut off point yang digunakan yaitu ≥ 100 mg/dl.
9. Sindrom metabolik, jika lingkar pinggang ≥ persentil ke-80 ditambah
dua atau lebih dari indeks berikut untuk semua anak laki-laki dan
perempuan:
Trigliserida ≥ 110 mg / dL
Tekanan darah diatas persentil 95
Glukosa darah puasa ≥ 100 mg / dL (5,6 mmol / L)
HDL-C ≤ 40 mg / dL (1,03 mmol / L)
IV.10. Pengolahan dan analisis data
Semua data yang diperoleh dicatat dalam formulir data penelitian,
kemudian dikelompokkan berdasarkan tujuan dan jenis data. Selanjutnya
dipilih metode statistik yang sesuai, yaitu :
IV.10.1. Analisis Univariat
Digunakan untuk deskripsi data-data berupa deskripsi frekuensi,
nilai rata-rata, simpang baku dan rentangan.
77
IV.10.2. Analisis Bivariat
1. Uji Mann Whitney
Digunakan untuk membandingkan variabel berskala ordinal atau
numerik yang datanya tidak terdistribusi normal dan varians berbeda
antara dua kelompok yang tidak berpasangan.
2. Uji x2 (chi square)
Untuk membandingkan variabel berskala nominal antara dua
kelompok atau lebih yang tidak berpasangan. Dalam hal ini untuk
menentukan kemaknaan hubungan defisiensi vitamin D dengan angka
kejadian sindrom metabolik. Menghitung crude odds ratio dengan
confidence interval 95% untuk menentukan besarnya peluang
mengalami sindrom metabolik bila mempunyai status defisiensi
vitamin D.
IV.11. Penilaian Hasil Uji Hipotesis
Hasil uji hipotesis ditetapkan sebagai berikut :
1. Tidak bermakna bila p > 0,05.
2. Bermakna bila p ≤ 0,05.
3. Sangat bermakna bila p ≤ 0,01
4. Odd ratio dengan CI 95 % > 1 menunjukkan bahwa faktor yang
diteliti memang faktor risiko.
78
BAB V
HASIL PENELITIAN
V.1. Jumlah Sampel
Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Juni 2017 sampai
Agustus 2017 di tiga sekolah terpilih, yaitu SD, SMP dan SMA (Frater,
Nusantara dan Athirah) berdasarkan probabilitas untuk mendapatkan
sampel obesitas yang besar. Setelah dilakukan pengukuran berat badan
dan tinggi badan terhadap 180 siswa, didapatkan total sampel obesitas
sebanyak 96 siswa. Dari 96 siswa obesitas yang dieksklusi sebanyak 13
orang karena tidak mendapat ijin dari orang tua dan anak tidak puasa
pada saat pengambilan sampel darah. Sehingga yang memenuhi kriteria
inklusi sebanyak 83 siswa. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan LP, TD,
GDP, HDL dan Trigliserida pada 83 siswa. Berdasarkan hasil tersebut
diperoleh kelompok anak obes dengan sindrom metabolik sebanyak 43
orang dan kelompok anak obes tidak sindrom metabolik sebanyak 40
orang, sesuai dengan jumlah sampel minimal sampel penelitian.
V.2. Karakteristik Sampel
Pada penelitian ini terdapat total 83 subyek. Dari seluruh sampel
yang ada (83) siswa terdiri dari 29 siswa SD, 42 siswa SMP dan 12 siswa
SMA .
79
Pada kelompok sindrom metabolik terdapat 24 (52,2%) siswa laki-
laki dan 22 (47,8%) siswa laki-laki pada kelompok tidak sindrom
metabolik.
Adapun karakteristik sampel penelitian dapat dilihat pada tabel 3
berikut.
Tabel 3. Karakteristik sampel penelitian
No. Karakteristik Sampel
Sindrom Metabolik (n= 43)
Tidak Sindrom Metabolik (n= 40)
Nilai p
1 2 3 4 5
Jenis Kelamin Laki-laki (%) Perempuan (%)
Umur (tahun) Mean Median Minimum-maksimum Standar Deviasi
Indeks Masa Tubuh (kg/m2)
Mean Median Minimum-maksimum StandarDeviasi
Kadar 25 (OH)D (ng/mL) Mean Median Minimum-maksimum Standar Deviasi
Status Pubertas Pre-pubertas Pubertas
24 (52,2%) 19 (51,3%) 12,97 13,58 6,67 – 17,08 1,89 28,79 28,62 19,24 – 35,06 3,06 14,55 12,50 8,30 – 33,30 6,55 3 (33,3%) 40 (54,1%)
22 (47,8%) 18 (48,7%) 12,49 12,46 7,75 – 17,25 2,53 26,09 25,32 19,63 – 33,91 3,62 22,78 23,25 8,37 – 35,75 6,51 6 (66,7%) 34 (45,9%)
0,129*
0,941**
0,00*
0,24**
* Uji Mann-Whitney U ** Uji Chi Square
80
V.3. ANALISIS UJI RELIABILITAS DAN VALIDITAS DALAM
MENGUKUR BERAT BADAN, TINGGI BADAN DAN LINGKAR
PINGGANG
V.3.1 Analisis uji reliabilitas dalam mengukur berat badan
Pengkuran realibilitas dilakukan intra examiner mengukur tinggi
badan pada subyek penelitian untuk peneliti dalam waktu yang berbeda,
yang ditentukan berdasarkan nilai koefisien variasi. Penilaian ini dilakukan
secara triplikat oleh peneliti pada 20 subyek. Koefisien variasi intra
examiner diperoleh dari hasil perhitungan simpangan baku dibagi nilai
rerata berat badan dikalikan 100%. Hasil analisis uji reliabilitas dalam
mengukur berat badan dapat dilihat pada tabel berikut.
81
Tabel 4. Uji realibilitas intra-examiner dalam mengukur berat badan
Subyek Berat
Badan1
(kg)
Berat
Badan 2
(kg)
Berat
Badan 3
(kg)
SD mean CfVar
1 51.00 51.00 51.00 .00 51.00 .00
2 52.00 52.10 52.00 .06 52.03 .00
3 53.00 53.20 53.00 .12 53.07 .00
4 72.00 72.00 72.10 .06 72.03 .00
5 67.00 67.00 67.00 .00 67.00 .00
6 62.00 62.50 62.50 .29 62.33 .00
7 52.80 52.50 52.80 .17 52.70 .00
8 80.00 80.00 80.00 .00 80.00 .00
9 65.20 65.20 65.20 .00 65.20 .00
10 61.50 61.50 61.50 .00 61.50 .00
11 73.00 73.20 73.20 .12 73.13 .00
12 55.00 55.00 55.00 .00 55.00 .00
13 53.40 53.50 53.50 .06 53.47 .00
14 80.10 80.10 80.00 .06 80.07 .00
15 73.10 73.10 73.10 .00 73.10 .00
16 71.00 71.20 71.20 .12 71.13 .00
17 81.50 81.50 81.50 .00 81.50 .00
18 76.80 76.80 76.80 .00 76.80 .00
19 73.00 73.00 73.00 .00 73.00 .00
20 89.00 88.50 88.50 .29 88.67 .00
0.0664 67.1367 0.0010
Dari tabel diatas diperoleh nilai koefisien variasi 0,0063 x 100% = 0,1%
(CoV < 10%)
82
V.3.2 Analisis uji validitas dalam mengukur berat badan
Pengukuran validitas dilakukan pada inter-examiner yang
mengukur berat badan antara verifikator dan peneliti yang ditentukan
dengan uji-t berpasangan dan uji korelasi Pearson. Hasil pengukuran
validitas dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5. Analisis validitas pengukuran berat badan interexaminer
Peneliti Verifikator
Mean 67,12 67,19
Median 69,00 69,10
Standar Deviasi 11,577 11,495
Min-Max 51 – 89 51,50 – 88,70
Uji-t p = 0,142(p> 0,05)
Tabel 6. Uji korelasi Pearson verifikator dan peneliti
Verifikator
Peneliti r = 1,000
p = 0,000
n = 20
Uji Pearson
Dari hasil analisis didapatkan nilai mean antara peneliti dan
verifikator masing-masing 67,12 dan 67,19. Dengan uji-t berpasangan,
83
nilai p=0,142 > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna
pengukuran berat badan antara peneliti dan verifikator (Tabel 5). Nilai
korelasi Pearson didapatkan nilai significancy yang menunjukkan korelasi
antara peneliti dan verifikator bermakna. Nilai korelasi Pearson sebesar
1,000 menunjukkan arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi
sempurna (Tabel 6).
V.3.3 Analisis uji reliabilitas dalam mengukur tinggi badan
Pengkuran realibilitas dilakukan intra examiner mengukur tinggi
badan pada subyek penelitian untuk peneliti dalam waktu yang berbeda,
yang ditentukan berdasarkan nilai koefisien variasi. Penilaian ini dilakukan
secara triplikat oleh peneliti pada 20 subyek. Koefisien variasi intra
examiner diperoleh dari hasil perhitungan simpangan baku dibagi nilai
rerata tinggi badan dikalikan 100%. Hasil analisis uji reliabilitas dalam
mengukur tinggi badan dapat dilihat pada tabel berikut.
84
Tabel 7. Uji realibilitas intra-examiner dalam mengukur tinggi badan
Subyek Tinggi
Badan1
(cm)
Tinggi
Badan 2
(cm)
Tinggi
Badan 3
(cm)
SD Mean CfVar
1 1.45 1.40 1.50 .05 1.45 .03
2 1.51 1.52 1.51 .01 1.51 .00
3 1.48 1.50 1.48 .01 1.49 .01
4 1.62 1.62 1.62 .00 1.62 .00
5 1.47 1.50 1.47 .02 1.48 .01
6 1.59 1.60 1.55 .03 1.58 .02
7 1.37 1.37 1.37 .00 1.37 .00
8 1.56 1.58 1.58 .01 1.57 .01
9 1.54 1.55 1.54 .01 1.54 .00
10 1.45 1.48 1.45 .02 1.46 .01
11 1.56 1.56 1.58 .01 1.57 .01
12 1.46 1.46 1.46 .00 1.46 .00
13 1.48 1.48 1.48 .00 1.48 .00
14 1.62 1.60 1.60 .01 1.61 .01
15 1.46 1.46 1.46 .00 1.46 .00
16 1.56 1.55 1.56 .01 1.56 .00
17 1.56 1.55 1.56 .01 1.56 .00
18 1.65 1.65 1.65 .00 1.65 .00
19 1.50 1.50 1.50 .00 1.50 .00
20 1.62 1.60 1.62 .01 1.61 .01
0.0096 1.5263 0.0063
Dari tabel diatas diperoleh nilai koefisien variasi 0,0063 x 100% = 0,6%
(CoV < 10%)
V.3.4 Analisis uji validitas dalam mengukur tinggi badan
Pengukuran validitas dilakukan pada inter-examiner yang
mengukur tinggi badan antara verifikator dan peneliti yang ditentukan
85
dengan uji-t berpasangan dan uji korelasi Pearson. Hasil pengukuran
validitas dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 8. Analisis validitas pengukuran tinggi badan inter examiner
Peneliti Verifikator
Mean 1,52 1,52
Median 1,52 1,53
Standar Deviasi 0,073 0,073
Min-Max 1,37– 1,65 1,37 – 1,65
Uji-t p = 0,810 (p> 0,05)
Tabel 9. Uji korelasi Pearson verifikator dan peneliti
Verifikator
Peneliti r = 0,969 p = 0,000 n = 20
Uji Pearson
Dari hasil analisis didapatkan nilai mean antara peneliti dan
verifikator masing-masing 1,52 dan 1,52. Dengan uji-t berpasangan, nilai
p=0,810 > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna pengukuran
tinggi badan antara peneliti dan verifikator (Tabel 8). Nilai korelasi
Pearson didapatkan nilai significancy yang menunjukkan korelasi antara
peneliti dan verifikator bermakna. Nilai korelasi Pearson sebesar 0,969
menunjukkan arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi sangat kuat
(Tabel 9).
86
V.3.5 Analisis uji reliabilitas dalam mengukur lingkar pinggang
Pengkuran realibilitas dilakukan intra examiner mengukur lingkar
pinggang pada subyek penelitian untuk peneliti dalam waktu yang
berbeda, yang ditentukan berdasarkan nilai koefisien variasi. Penilaian ini
dilakukan secara triplikat oleh peneliti pada 20 subyek. Koefisien variasi
intra examiner diperoleh dari hasil perhitungan simpangan baku dibagi
nilai rerata lingkar pinggang dikalikan 100%. Hasil analisis uji reliabilitas
dalam mengukur lingkar pinggang dapat dilihat pada tabel berikut.
87
Tabel 10. Uji realibilitas intra-examiner dalam mengukur lingkar pinggang
Subyek Lingkar
Pinggang
1
(cm)
Lingkar
Pinggang
2
(cm)
Lingkar
Pinggang
3
(cm)
SD Mean CfVar
1 81.00 80.50 81.00 .29 80.83 .00
2 78.00 78.00 78.00 .00 78.00 .00
3 71.00 71.00 71.00 .00 71.00 .00
4 98.00 98.50 98.50 .29 98.33 .00
5 78.00 78.00 77.50 .29 77.83 .00
6 97.00 97.00 97.00 .00 97.00 .00
7 69.00 70.00 70.00 .58 69.67 .01
8 98.00 98.50 98.50 .29 98.33 .00
9 83.00 83.00 83.50 .29 83.17 .00
10 92.00 92.30 92.00 .17 92.10 .00
11 99.00 99.00 99.00 .00 99.00 .00
12 78.00 78.00 78.00 .00 78.00 .00
13 80.00 80.00 80.00 .00 80.00 .00
14 98.00 98.50 98.50 .29 98.33 .00
15 92.00 92.50 92.50 .29 92.33 .00
16 66.00 66.00 66.00 .00 66.00 .00
17 104.00 104.00 104.00 .00 104.00 .00
18 90.00 90.00 90.00 .00 90.00 .00
19 105.00 104.00 104.00 .58 104.33 .01
20 104.00 104.50 104.50 .29 104.33 .00
0.1819 88.1300 0.0021
Dari tabel diatas diperoleh nilai koefisien variasi 0,0021 x 100% = 0,21%
(CoV < 10%)
88
V.3.6 Analisis uji validitas dalam mengukur lingkar pinggang
Pengukuran validitas dilakukan pada inter-examiner yang
mengukur lingkar pinggang antara verifikator dan peneliti yang ditentukan
dengan uji-t berpasangan dan uji korelasi Pearson. Hasil pengukuran
validitas dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 11. Analisis validitas pengukuran lingkar pinggang inter examiner
Peneliti Verifikator
Mean 88,05 88,21
Median 91,00 91,15
Standar Deviasi 12,377 12,240
Min-Max 66 – 105 66 - 104
Uji-t p = 0,104(p> 0,05)
Tabel 12. Uji korelasi Pearson verifikator dan peneliti
Verifikator
Peneliti r = 0,999
p = 0,000
n = 20
Uji Pearson
Dari hasil analisis didapatkan nilai mean antara peneliti dan
verifikator masing-masing 88,05 dan 88,21. Dengan uji-t berpasangan,
nilai p=0,104 > 0,05 menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna
pengukuran berat badan antara peneliti dan verifikator (Tabel 11). Nilai
korelasi Pearson didapatkan nilai significancy yang menunjukkan korelasi
antara peneliti dan verifikator bermakna. Nilai korelasi Pearson sebesar
89
0,999 menunjukkan arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi sangat
kuat (Tabel 12).
V.4 EVALUASI HASIL PEMERIKSAAN KADAR 25 (OH)D
Pada uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk
kadar 25 (OH)D didapatkan distribusi data tidak normal (< 0,05), sehingga
digunakan uji Mann Whitney.
Nilai rerata kadar 25(OH)D pada kelompok sindrom metabolik dan
tidak sindrom metabolik dapat dilihat pada tabel 13.
Tabel 13. Nilai rerata kadar 25 (OH)D pada kelompok sindrom metabolik
dan tidak sindrom metabolik
Kadar 25 (OH)D (ng/mL) Sindrom Metabolik (n = 43)
Tidak Sindrom Metabolik (n = 40)
Mean 14,55 22,78
Median 12,50 23,25
Standar Deviasi 6,55 6,51
Minimum – maksimum 8,30 – 33,30 8,37 – 35,75
Uji Mann Whitney p= 0,000 (p< 0,05)
Pada tabel 13, menunjukkan rerata kadar 25 (OH)D pada kelompok
sindrom metabolik 14,55 ng/ml, nilai median 12,50 ng/ml dan rentangan
8,30 – 33,30 ng/ml. Sedangkan pada kelompok tidak sindrom metabolik,
nilai rerata kadar 25(OH)D 22,78 ng/ml, nilai median 23,25 ng/ml dengan
rentangan 8,37 – 35,75 ng/ml. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kedua kelompok ini dengan
nilai p = 0,000 (p< 0,001)
90
V.4 HUBUNGAN ANTARA JENIS KELAMIN DAN DEFISIENSI VITAMIN
D
Frekuensi defisiensi vitamin D berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 14. Analisis frekuensi defisiensi vitamin D berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Vitamin D Total
Defisiensi + Insufisiensi Normal
Laki-laki 27 (58,7%) 19 (41,3%) 46 (100%)
Perempuan 24 (64,9%) 13 (35,1%) 37 (100%)
Total 51 (61,4%) 32 (38,6%) 83 (100%)
Uji chi-square p = 0,56 OR = 1,29 (95%CI 0,53 – 3,17)
Pada kelompok laki-laki, 27 anak (58,7%) mengalami defisiensi
vitamin D sedangkan pada kelompok perempuan, sebanyak 24 anak
(64,9%) yang mengalami defisiensi vitamin D. Analisis statistik pada tabel
14 berdasarkan uji chi-square menunjukkan tidak ada pebedaan
bermakna frekuensi defisiensi vitamin D berdasarkan jenis kelamin,
dengan nilai p=0,56 (p>0,05).
Analisis besar risiko jenis kelamin terhadap defisiensi vitamin D
menunjukkan bahwa jenis kelamin bukanlah faktor risiko maupun protektif
untuk terjadinya defisiensi vitamin D, nilai Crude Odds Ratio (COR) = 1,29
dengan 95% CI (0,53 – 3,17).
91
V.5 HUBUNGAN ANTARA JENIS KELAMIN DAN SINDROM
METABOLIK
Frekuensi sindrom metabolik berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat
pada tabel berikut :
Tabel 15 . Analisis frekuensi sindrom metabolik berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Sindrom Metabolik Total
Ya Tidak
Laki-laki 24 (52,2%) 22 (47,8%) 46 (100%)
Perempuan 19 (51,3%) 18 (48,7%) 37 (100%)
Total 43 (51,8%) 40 (48,2%) 83 (100%)
Uji chi-square p = 0,941 OR = 0,968 (95%CI 0,407 – 2,301)
Pada kelompok laki-laki, 24 anak (52,2%) mengalami sindrom
metabolik sedangkan pada kelompok perempuan, sebanyak 19 anak
(51,3%) yang mengalami sindrom metabolik. Analisis statistik pada tabel
15 berdasarkan uji chi-square menunjukkan tidak ada pebedaan
bermakna frekuensi sindrom metabolik berdasarkan jenis kelamin, dengan
nilai p=0,941 (p>0,05).
Analisis besar risiko jenis kelamin terhadap kejadian sindrom
metabolik menunjukkan bahwa jenis kelamin bukanlah faktor risiko
maupun protektif untuk terjadinya sindrom metabolik, nilai Crude Odds
Ratio (COR) = 0,968 dengan 95% CI (0,407 – 2,301).
92
V.6 HUBUNGAN ANTARA STATUS PUBERTAS DAN DEFISIENSI
VITAMIN D
Frekuensi defisiensi vitamin D berdasarkan status pubertas dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 16. Analisis frekuensi defisiensi vitamin D berdasarkan status
pubertas
Status Pubertas Vitamin D Total
Defisiensi + Insufisiensi Normal
Pre-pubertas 6 (66,7%) 3 (33,3%) 9 (100%)
Pubertas 45 (60,8%) 29 (39,2%) 74 (100%)
Total 51 (61,4%) 32 (38,6%) 83 (100%)
Uji chi-square p = 0,73 OR = 1,28 (95%CI 0,29 – 5,56)
Pada kelompok pre-pubertas, 6 anak (66,7%) mengalami defisiensi
vitamin D sedangkan pada kelompok pubertas, sebanyak 45 anak (60,8%)
yang mengalami defisiensi vitamin D. Analisis statistik pada tabel 16
berdasarkan uji chi-square menunjukkan tidak ada pebedaan bermakna
frekuensi defisiensi vitamin D berdasarkan status pubertas, dengan nilai
p=0,73 (p>0,05).
Analisis besar risiko status pubertas terhadap defisiensi vitamin D
menunjukkan bahwa status pubertas bukanlah faktor risiko maupun
protektif untuk terjadinya defisiensi vitamin D, nilai Crude Odds Ratio
(COR) = 1,28 dengan 95% CI (0,29 – 5,56).
93
V.7 HUBUNGAN ANTARA STATUS PUBERTAS DAN SINDROM
METABOLIK
Frekuensi sindrom metabolik berdasarkan status pubertas dapat
dilihat pada tabel berikut :
Tabel 17 . Analisis frekuensi sindrom metabolik berdasarkan status
pubertas
Status Pubertas Sindrom Metabolik Total
Ya Tidak
Pre-pubertas 3 (33,3%) 6 (66,7%) 9 (100%)
Pubertas 40 (54,1%) 34 (45,9%) 74 (100%)
Total 43 (51,8%) 40 (48,2%) 83 (100%)
Uji chi-square p = 0,24 OR = 0,425 (95%CI 0,09 – 1,82)
Pada kelompok pre-pubertas, 3 anak (33,3%) mengalami sindrom
metabolik sedangkan pada kelompok pubertas, sebanyak 40 anak
(54,1%) yang mengalami sindrom metabolik. Analisis statistik pada tabel
17 berdasarkan uji chi-square menunjukkan tidak ada pebedaan
bermakna frekuensi sindrom metabolik berdasarkan status pubertas,
dengan nilai p=0,24 (p>0,05).
Analisis besar risiko status pubertas terhadap kejadian sindrom
metabolik menunjukkan bahwa status pubertas bukanlah faktor risiko
maupun protektif untuk terjadinya sindrom metabolik, nilai Crude Odds
Ratio (COR) = 0,425 dengan 95% CI (0,09 – 1,82).
94
V.8 HUBUNGAN ANTARA DEFISIENSI VITAMIN D DENGAN
SINDROM METABOLIK
Frekuensi defisiensi vitamin D yang mengalami sindrom metabolik
dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 18 . Analisis hubungan defisiensi vitamin D dengan sindrom
metabolik
Status vitamin D Sindrom Metabolik Total
Ya Tidak
Defisiensi + insufisiensi 36 (70,6%) 15 (29,4%) 51 (100%)
Normal 7 ( 21,9%) 25 (78,1%) 32 100%)
Total 43 (51,8%) 40 (48,2%) 83 (100%)
Uji chi-square p= 0,000 OR=8,571 (CI 95% 3,054 – 24,060)
Frekuensi kejadian sindrom metabolik pada kelompok anak dengan
defisiensi vitamin D sebesar 36 (70,6%), sedangkan pada kelompok anak
dengan status vitamin D normal, sebanyak 7 (21,9%) yang mengalami
sindrom metabolik. Hasil analisis statistik pada tabel 18 menunjukkan
terdapat perbedaan bermakna kejadian sindrom metabolik antara
kelompok defisiensi vitamin D dengan status vitamin D normal dengan
nilai p= 0,000 (p<0,05).
Nilai odd ratio (OR) = 8,571 (CI 95% 3,054 – 24,060), yang berarti
risiko kejadian sindrom metabolik pada anak obesitas yang mengalami
95
defisiensi vitamin D, dibandingkan tidak defisiensi untuk mengalami
sindrom metabolik sebesar 8,57 kali.
Tabel 19 . Analisis hubungan status vitamin D dengan sindrom metabolik
Status vitamin D Sindrom Metabolik Total
Ya Tidak
Defisiensi 29 (82,9%) 6 (17,1%) 35 (100%)
Insufisiensi 7 (43,7%) 9 (56,3%) 16 (100%)
Normal 7 ( 21,9%) 25 (78,1%) 32 (100%)
Total 43 (51,8%) 40 (48,2%) 83 (100%)
Uji chi-square p= 0,000
Analisis statistik berdasarkan uji chi-square menunjukkan pada
kelompok anak obes dengan defisiensi vitamin D, kejadian sindrom
metabolik sebesar 29 (82,9%), dan pada kelompok insufisiensi vitamin D
angka kejadian sindrom metabolik sebesar 7 (41,2%), sedangkan pada
kelompok status vitamin D normal, kejadian sindrom metabolik sebesar 7
(22,6%). Hasil analisis statistik pada tabel 19 menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan kejadian sindrom metabolik anatara kelompok anak
dengan defisiensi, insufisiensi maupun status vitamin D normal. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara status vitamin D dengan
kejadian sindrom metabolik pada anak obes dengan nilai p= 0,000
(p<0,05).
96
BAB VI
PEMBAHASAN
Peningkatan prevalensi anak dengan obesitas secara global telah
mencapai pada tingkat yang mengkhawatirkan dan menjadi suatu
tantangan kesehatan masyarakat yang serius dari abad ke -21. Tren ini
diperkirakan mencapai 60 juta jiwa pada tahun 2020. (WHO, 2012) Hal ini
diringi pula dengan peningkatan frekuensi defisiensi vitamin D (yang
ditunjukkan dengan kadar serum 25 (OH) D dibawah 20 ng/mL) oleh
karena deposisi atau sekuestrasi dalam jaringan lemak, demikian pula
oleh karena sekresi leptin yang akan menstimulasi fibroblast growth factor
23 yang akan menghambat sintesis enzim 1 hidroksilase dengan
konsekuensi gangguan produksi 1,25 (OH)D3. (Souza, 2015) Reseptor
vitamin D merupakan kelompok reseptor nuklir hormon steroid yang
mengikat 1,25 (OH)2D3 dengan afinitas tinggi dan memediasi regulasi
transkripsi gen menghasilkan respon genomik. (Hollick, 2006) Reseptor
vitamin D pada membran plasma memediasi kerja dari 1,25 (OH)2D3 dan
telah diidentifikasi terdapat di sebagian besar jaringan manusia, termasuk
jaringan yang berkaitan dengan homeostasis kalsium dan metabolisme
tulang. Termasuk otot polos, sel β pankreas dan sel epitel dan juga
berbagai sel-sel sistem kekebalan tubuh termasuk diabetes mellitus tipe 1.
Berbagai tempat ekspresi VDR mendasari efek beragam vitamin D dan
97
memberikan dasar mekanistik hubungan antara kekurangan vitamin D dan
sejumlah gangguan, termasuk penyakit kardiovaskuler, diabetes (tipe 1
dan tipe 2 ), resistensi insulin dan sindrom metabolik. (Hollick, 2006, Roth
C et.al, 2011) Penyakit ini, sering disebut sebagai penyakit tidak menular
(non communicable diseases), tidak hanya menyebabkan kematian
prematur tetapi juga morbiditas jangka panjang.
Kriteria sindrom metabolik yang dimodifikasi menurut IDAI adalah
obesitas abdominal yang ditandai dengan lingkar pinggang ≥ P80 menurut
Taylor dkk dan ditambah dengan lebih atau sama dengan dua parameter
berikut:
1. Tekanan darah :
Hipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau
diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia, dan
tinggi badan
2. Kadar kolesterol HDL
Kadar kolesterol HDL ≤ 40 mg/dL (semua usia/jenis kelamin, NCEP)
3. Kadar trigliserida
Kadar trigliserida ≥ 110 mg/dL (spesifik terhadap usia, NCEP)
4. Kadar glukosa darah puasa
Glukosa darah puasa ≥ 100 mg/dL atau terdiagnosis DMT2 (IDF).
(Pulungan A, 2009)
98
Penelitian ini dilakukan di tiga sekolah yaitu SD, SMP dan SMA
(Frater, Nusantara dan Athirah). Pemilihan ketiga sekolah tersebut
berdasarkan persamaan karakteristik siswa-siswa yang berasal dari status
sosial ekonomi menengah ke atas sehingga didapatkan sampel anak obes
yang besar. Penelitian ini merupakan penelitian studi cross sectional, yang
bertujuan untuk membandingkan angka kejadian sindrom metabolik
antara anak obes yang mengalami defisiensi vitamin D dengan anak obes
dengan status vitamin D normal.
Uji realibilitas dan validitas data telah dilakukan terhadap 20 anak
sebelum dimulai penelitian. Pada analisis uji validitas dalam mengukur
tinggi badan, tidak didapatkan perbedaan antara pengukuran yang
dilakukan oleh peneliti dan verifikator (p=0,810), juga didapatkan adanya
korelasi antara peneliti dan verifikator yang bermakna dan signifikan
dengan nilai korelasi Pearson sebesar 0,969 dengan nilai p <0,000, yang
menunjukkan arah korelasi positif dengan kekuatan korelasi sangat kuat.
Pada analisis uji validitas dalam mengukur berat badan, tidak
didapatkan perbedaan antara pengukuran yang dilakukan oleh peneliti
dan verifikator (p= 0,142), juga didapatkan adanya korelasi antara peneliti
dan verifikator yang bermakna dan signifikan dengan nilai korelasi
Pearson sebesar 1,000, dengan nilai p <0,000, yang menunjukkan arah
korelasi positif dengan kekuatan korelasi sempurna.
Pada analisis uji validitas dalam mengukur lingkar pinggang, tidak
didapatkan perbedaan antara pengukuran yang dilakukan oleh peneliti
99
dan verifikator (p= 0,104), juga didapatkan adanya korelasi antara peneliti
dan verifikator yang bermakna dan signifikan dengan nilai korelasi
Pearson sebesar 0,999, dengan nilai p <0,000, yang menunjukkan arah
korelasi positif dengan kekuatan korelasi sangat kuat.
Didapatkan jumlah sampel 83 anak obes yaitu 43 (51,8%) anak
obes dengan sindrom metabolik dan 40 (48,2%) anak obes tanpa sindrom
metabolik. Analisis dilakukan untuk membandingkan frekuensi kejadian
sindrom metabolik antara anak obes dengan defisiensi vitamin D dengan
anak obes dengan status vitamin D normal.
Pada penelitian ini didapatkan frekuensi defisiensi vitamin D
(<20ng/mL) pada anak laki-laki obes dibandingkan dengan anak
perempuan obes tidak bermakna signifikan dengan nilai p= 0,56 (p> 0,05).
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hassan dkk (2014)
terhadap 65 anak obes di Mesir yang mendapatkan hasil tidak ada
perbedaan signifikan frekuensi defisiensi vitamin D berdasarkan jenis
kelamin, dengan nilai p= 0,083 (p<0,05). Hasil ini serupa pula dengan
yang ditemukan oleh Kardas dkk (2013) di Turki yang menemukan tidak
ada hubungan bermakna antara status vitamin D dengan jenis kelamin.
Demikian pula serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh
Shivaprakash dan Joseph di India (2012) dan penelitian oleh Johnson dkk
(2010) yang tidak menemukan hubungan antara status vitamin D dengan
jenis kelamin.
100
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Shady dkk (2015)
terhadap 200 anak-anak usia 9 hingga 11 tahun menemukan frekuensi
defisiensi vitamin D lebih banyak pada kelompok anak perempuan secara
bermakna dengan nilai p = 0,016. Hal ini diduga akibat perbedaan gaya
hidup antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan, seperti anak
perempuan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan tertutup
dan memakai pakaian yang tertutup yang akan mempengaruhi paparan
sinar matahari yang berperan pada sintesis vitamin D di kulit.
Pada penelitian ini secara statistik tidak ditemukan perbedaan
bermakna frekuensi kejadian sindrom metabolik berdasarkan jenis kelamin
dengan nilai p = 0,941 (p>0,05), yang berarti bahwa jenis kelamin tidak
berpengaruh terhadap kejadian sindrom metabolik. Ini berarti jenis kelamin
tidak memberikan bias pada analisis antara kelompok anak obes dengan
sindrom metabolik dan anak obes tanpa sindrom metabolik. Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Sangun dkk (2011) terhadap 307
anak laki-laki dan 307 anak perempuan terhadap kejadian sindrom
metabolik tidak ditemukan hubungan yang bermakna dengan nilai p=0,1
(p<0,05). Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sewaybricker dkk (2013) terhadap 65 anak obes usia 10 hingga 18 tahun
di Brasil, tidak menemukan perbedaan bermakana kejadian sindrom
metabolik berdasarkan jenis kelamin dengan nilai p = 0,3 (p<0,05).
Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sarrafzadegan dkk (2013) terhadap 1039 anak SMP dan 953 anak SMA,
101
menemukan bahwa kejadian sindrom metabolik lebih banyak pada
kelompok anak laki-laki di bandingkan perempuan dengan nilai p <0,001
(p<0,05).
Pada penelitian ini secara statistik tidak ditemukan perbedaan
bermakna frekuensi kejadian defisiensi vitamin D berdasarkan status
pubertas dengan nilai p = 0,73 (p>0,05), yang berarti bahwa status
pubertas tidak berpengaruh terhadap kejadian defisiensi vitamin D. Hal ini
berarti status pubertas tidak memberikan bias pada analisis kejadian
defisiensi vitamin D berdasarkan status pubertas. Hal ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Khadgawat dkk (2012) terhadap 62 subyek
penelitian, tidak ditemukan hubungan bermakna status vitamin D antara
kelompok pre-pubertas dan pubertas.
Pada penelitian ini secara statistik tidak ditemukan perbedaan
bermakna frekuensi kejadian sindrom metabolik berdasarkan status
pubertas dengan nilai p = 0,24 (p>0,05), yang berarti bahwa status
pubertas tidak berpengaruh terhadap kejadian sindrom metabolik. Ini
berarti status pubertas tidak memberikan bias pada analisis antara
kelompok anak obes dengan sindrom metabolik dan anak obes tanpa
sindrom metabolik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Khadgawat dkk (2012) terhadap 62 subyek penelitian, tidak ditemukan
hubungan bermakna antara kelompok pre-pubertas dan pubertas
terhadap komponen sindrom metabolik.
102
Saat pubertas, terjadi perubahan dinamik pada antropometrik anak.
Lingkar pinggang perempuan pada masa pubertas akan lebih lebar
dibandingkan pre pubertal. Juga kadar lipid serum yang merupakan salah
satu komponen dari sindrom metabolik yang mencapai puncak saat usia
9-10 tahun dan kemudian kadarnya menurun. Kadar kolesterol total serum
menurun antara usia 10-16 tahun pada anak laki-laki dan usia 9-14 tahun
pada anak perempuan. Penurunan kadar kolesterol HDL dan kolesterol
LDL dikaitkan dengan peningkatan hormon testosteron pada anak laki-laki
dan peningkatan estradiol pada anak perempuan. Korelasi positif antara
kadar testosteron dengan kolesterol HDL, dan antara testosteron dan
kadar apo A1 ditemukan pada remaja laki-laki dengan status pubertasnya
pada stadium yang lebih tinggi menurut Tanner. Kadar testosteron yang
menurun mengakibatkan peningkatan aktivitas lipoprotein lipase sehingga
terjadi peningkatan ambilan trigliserida (Fujita et al., 2011; Ruiz et al.,
2006; Saad F,2009).
Namun hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh
Sangun dkk (2010) terhadap 614 anak di Turki usia 7 hingga 18 tahun,
menemukan perbedaan bermakna kejadian sindrom metabolik antara
kelompok pre-pubertas dan pubertas dengan nilai p=0,00 (p<0,05).
Hubungan defisiensi vitamin D terhadap kejadian sindrom
metabolik pada anak obes secara statistik didapatkan perbedaan
bermakna dengan nilai p=0,000 (p<0,001). Frekuensi kejadian sindrom
metabolik ditemukan lebih banyak pada kelompok anak obes dengan
103
defisiensi vitamin D (< 20ng/mL) yaitu 70,6% dibandingkan pada
kelompok dengan status vitamin D normal yaitu sebanyak 21,9%. Nilai
OR= 8,571 (CI 95% 3,054 – 24,060), ini berarti bahwa anak obes dengan
defisiensi vitamin D memiliki 8,57 kali risiko lebih besar untuk mengalami
sindrom metabolik dibandingkan anak obes dengan status vitamin D
normal, sehingga dapat dianjurkan pemeriksaan kadar vitamin D pada
semua anak obesitas yang mengalami sindrom metabolik maupun yang
belum mengalami sindrom metabolik.
Hubungan yang bermakna antara defisiensi vitamin D dan
peningkatan kejadian sindrom metabolik dikaitkan dengan peranan
metabolit vitamin D pada berbagai reseptornya yang ditemukan pada
banyak organ, antara lain peranannya sebagai regulator sistem renin
angiotensin. Sehingga penurunan kadar vitamin D dapat mengakibatkan
peningkatan angiotensinogen II. Demikian pula peranan vitamin D pada
sel endotel, peranan pada influx kalsium dan proliferasi sel otot polos
vaskuler, melalui reseptornya pula, defisiensi vitamin D mengakibatkan
inflamasi kronik dinding arteri sehingga mekanisme tersebut
mengakibatkan gangguan fungsi dan struktur vaskuler sehngga terjadi
peningkatan tekanan darah yang merupakan salah satu komponen
sindrom metabolik. (Kienrich et al., 2013) Demikian pula peranan vitamin
D melalui reseptor vitamin D pada sel β pankreas, dengan mengaktifkan
hidroksilase 1 dalam sel β pankreas. Sehingga kondisi defisiensi vitamin
D dapat mengganggu pelepasan insulin dari pankreas dan mengurangi
104
toleransi glukosa dan mengakibatkan kondisi hiperglikemia dan resistensi
insulin yang merupakan komponen sindrom metabolik. (Ding et al., 2012 ;
Shivaprakash & Joseph, 2014)
Hasil penelitian ini menunjukkan tren penurunan status vitamin D
seiring dengan peningkatan frekuensi kejadian sindrom metabolik.
Semakin rendah kadar vitamin D, makin semakin tinggi frekuensi kejadian
sindrom metabolik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian cross sectional yang
dilakukan oleh Al-Dabhani dkk (2017) pada 1205 subyek di Qatar,
ditemukan bahwa serum vitamin D 8% lebih rendah pada subyek dengan
sindrom metabolik dengan nilai p= 0,01 (RR : 0,92, 95%CI : 0,87 – 0,98)
dibandingkan subyek tanpa sindrom metabolik. Jang dkk pada tahun 2013
melakukan penelitian terhadap 320 anak sekolah menengah usia 13 tahun
di kota Gwacheon, Korea. Penelitian tersebut menemukan korelasi
negatif antara kadar serum 25(OH)D dengan skor risiko metabolik (r = -
0,141, p= 0,012). Alfawaz dkk (2013) di Arab Saudi menemukan korelasi
negatif antara kadar vitamin D dengan komponen dari sindrom metabolik
antara lain kadar gula darah puasa, trigliserida dan tekanan darah sistolik
maupun diastolik, dan korelasi positif antara kadar vitamin D dengan kadar
HDL. Metabolit vitamin D berkaitan dengan peningkatan tekanan darah
melalui peranannya pada sistem renin angiotensin, beberapa penelitian
menunjukkan peranan vitamin D sebagai inhibitor sisitem renin
angiotensin melalui VDR. Demikian pula VDR dan enzim 1 hidroksilase
105
yang ditemukan pada otot polos dan sel endotel mngindikasikan peranan
vitamin D terhdap kejadian hipertensi yang merupakan salah satu
komponen dari sindrom metabolik. Nikooyeh dkk (2014) menemukan
hubungan yang bermakna antara defisiensi vitamin D dengan kejadian
sindrom metabolik dengan nilai p=0,026 (p<0,05), namun penelitian
tersebut dilakukan pada 101 penderita diabetes mellitus dewasa. Gagnon
dkk (2012) meneliti terhadap 4164 dewasa, selama pemantauan 5 tahun
ditemukan prevalensi sindrom metabolik sebesar 12,7%. Risiko sindrom
metabolik signifikan terjadi pada kadar 25 (OH)D < 18 ng/ml dengan odds
ratio 1,41 (95%CI : 1,02-1,95). Kadar vitamin D memiliki korelasi negatif
terhadap lingkar pinggang, kadar gula darah puasa dan trigliserida dengan
p< 0,001. Penelitian serupa pada anak dan remaja sangat sedikit. Reis
dkk pada studi cross sectional terhadapt 3577 remaja yang berparitisipasi
pada penelitian oleh NHANES periode 2001 – 2004 menyimpulkan
terdapat hubungan antara defisiensi vitamin D dengan hipertensi,
hiperglikemia, dan sindrom metabolik. (Cabral, 2013)
Namun dilain pihak Samingan dkk (2014), melakukan penelitian
cross sectional terhadap 543 anak multi etnis di Malaysia dengan status
gizi obes dan gizi lebih usia 13 hingga 17 tahun. Kebanyakan dari mereka
(62%) mengalami defisiensi vitamin D, dan sindrom metabolik ditemukan
pada kelompok obes sebanyak 22%, namun tidak ditemukan hubungan
bermakna antara defisiensi vitamin D dengan kejadian sindrom metabolik.
106
Pada penelitian ini terdapat 17,1% anak obes dengan defisiensi
vitamin D, namun kelompok tersebut belum mengalami sindrom metabolik.
Oleh karena pada penelitian ini tidak dianalisis berapa lama subyek
penelitian mengalami obesitas. Pada subyek ini pula tidak diketahui
berapa lama mengalami defisiensi vitamin D. Namun kelompok tersebut
memiliki risiko kejadian sindrom metabolik di kemudian hari. Suatu
penelitian kohort prospective oleh Gagnon dkk tahun 2012, selama
pemantauan 5 tahun ditemukan risiko sindrom metabolik signifikan terjadi
pada kadar 25(OH)D < 18 ng/ml.
Demikian pula sebaliknya ditemukan 21,9% anak dengan status
vitamin D normal namun mengalami sindrom metabolik. Kejadian sindrom
metabolik, dapat melalui beberapa mekanisme, selain mekanisme
peranan vitamin D, sindrom metabolik dapat terjadi oleh karena
abnormalitas profil lipid akibat distorsi sel-sel adiposit akibat obesitas.
Kerusakan sel adiposit yang kronik mengakibatkan pelepasan mediator
inflamasi yang kompleks, terjadi peningkatan TNF , IL-6 dan leptin serta
penurunan kadar adiponektin. Peningkatan ini mengakibatkan
peningkatan pelepasan asam lemak bebas. Peningkatan kadar asam
lemak dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan
terhadap respon sel β pankreas terhadap glukosa. Sehingga terjadi
peningkatan kadar gula darah. Insulin menghambat lipolisis dalam
jaringan lemak dan memicu transfer asam lemak bebas dari lipoprotein
sirkulasi ke jaringan lemak. Oleh karena itu kondisi resistensi insulin
107
menyebabkan kadar asam lemak bebas meningkat dalam sirkulasi akibat
lipolisis yang tidak terkendali dan menurunkan bersihan asam lemak
bebas di perifer. Peningkatan sirkulasi asam lemak bebas ke hati lebih
sering terjadi pada anak obesitas menyebabkan peningkatan sekresi
VLDL yang kaya akan trigliserida yang secara klinis bermanifestasi
sebagai peningkatan kadar trigliserida puasa.
Kejadian hipertensi yang merupakan salah satu komponen sindrom
metabolik, pada anak dengan status vitamin D normal, diduga dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain di luar proses yang terjadi antara lain faktor diit,
stress, merokok, ras dan genetik yang tidak dianalisis dalam penelitian ini.
Mekanisme tersebut diduga sebagai penyebab kejadian sindrom
metabolik pada kelompok anak obes dengan status vitamin D normal.
Abnormalitas lipid ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal antara lain
aktivitas fisik, stres dan pola diit, serta faktor internal seperti ras/suku,
hormonal, dan genetik (riwayat keluarga dislipidemia). Namun pada
kelompok anak dengan defisiensi vitamin D dan belum mengalami
sindrom metabolik, perlu mendapatkan perhatian dan intervensi dini untuk
mencegah kejadian sindrom metabolik di kemudian hari. Suatu penelitian
prospektif yang dilakukan oleh Gagnon dkk, selama pemantauan 5 tahun,
kejadian sindrom metabolik lebih banyak pada kelompok dengan kadar
25(OH)D < 18 ng/mL, kemudian pada kelompok kadar 25 (OH)D 18 -23
ng/mL [OR = 1.41 (95%CI: 1.02-1.95) and 1.74 (95%CI:1.28-2.37).
108
Keterbatasan pada penelitian ini adalah tidak dilakukannya analisis
diit. Faktor diit sebagai sumber vitamin D baik vitamin D2 dari nabati
maupun vitamin D3 dari hewani dapat memepngaruhi kadar vitamin D
dalam tubuh. Selain itu terdapat pula peranan paparan matahari yang
berperan pada pembentukan vitamin D3 dari sel keratinosit. Sehingga
diperlukan penelitian lanjutan yang menganalisi hal tersebut. Selain itu,
perlu penelitian lanjut yang melibatkan kelompok anak dengan indeks
masa tubuh normal untuk memperkuat peranan vitamin D terhadap
kejadian sindrom metabolik.
Pada penelitian ini, peneliti hanya dapat melakukan kontrol parsial
asupan makanan dengan melakukan prosedur puasa dan pemeriksaan
dilakukan secara homogen yaitu jam 08.00 pagi pada saat anak telah
diistirahatkan dan belum melakukan aktivitas fisik sebelum pengambilan
sampel darah. Namun perubahan profil lipid membutuhkan waktu, hingga
besarnya nilai profil lipid yang terukur secara cross-sectional dapat
merupakan pencerminan proses yang sudah terjadi jauh sebelumnya.
Kekuatan penelitian ini pada kepatuhan anak terhadap prosedur
pengambilan sampel. Anak sudah cukup mengerti dan sangat kooperatif
dalam pemeriksaan fisik maupun pengambilan darah. Prosedur puasa
sebelum pengambilan darah selama 6 jam tidak menjadi kesulitan berarti
bagi anak-anak tahapan usia ini. Selain itu, penelitian ini melakukan
pemeriksaan status pubertas, berbeda dari penelitian sebelumnya. Saat
pubertas, terjadi perubahan dinamik pada antropometrik dan hormonal
109
yang mempengaruhi kadar profil lipid, tekanan darah dan kadar gula
darah yang merupakan komponen sindrom metabolik. Sehingga hal
tersebut mengurangi bias pada hasil penelitian dan menjadi salah satu
kekuatan pada penelitian ini.
Kekuatan lainnya adalah sekolah yang terpilih mempunyai Usaha
Kesehatan Sekolah (UKS) yang berjalan lancar sehingga baik guru, orang
tua murid, maupun murid mempunyai perhatian terhadap kesehatan
sehingga hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi warning bagi
semua pihak yang terkait akan bahaya sindrom metabolik akibat defisiensi
vitamin D yang sudah terjadi pada usia kanak-kanak. Sehingga dapat
memberikan umpan balik kepada sekolah dan orang tua murid untuk
meningkatkan usaha-usaha preventif terhadap defisiensi vitamin D dan
kejadian sindrom metabolik.
110
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
VII.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa :
1. Kadar 25 (OH)D pada kelompok anak obes dengan sindrom
metabolik lebih rendah dibandingkan anak obes yang tidak
mengalami sindrom metabolik
2. Frekuensi kejadian sindrom metabolik pada kelompok anak obes
dengan defisiensi vitamin D lebih besar (70,6%) dibandingkan
kelompok anak obes dengan status vitamin D normal (21,9%)
dengan nilai OR = 8,571 (CI 95% 3,054 – 24,060)
VII.2. Saran
Berdasarkan penelitian ini maka dapat disarankan :
1. Perlu pengawasan lanjut terhadap anak obes dengan defisiensi
vitamin D berisiko terhadap kejadian sindrom metabolik sehingga
dapat dilakukan upaya pencegahan dan intervensi dini berupa
kebijakan pemberian vitamin D untuk menurunkan angka
morbiditas dan kematian prematur.
2. Data penelitian ini dapat dijadikan dasar kepada orang tua, petugas
kesehatan, dan pemerintah sebagai pemegang kebijakan, untuk
111
memahami pentingnya pemeriksaan vitamin D pada anak obesitas
sebagai pencegahan terhadap kejadian sindrom metabolik.
3. Data penelitian ini dapat dijadikan dasar masukan kepada unit
pendidikan dalam rangka menyusun strategi di sekolah dalam hal
pencegahan kejadian defisiensi vitamin D dan sindrom metabolik.
4. Pada anak obes dengan defisiensi vitamin D dan mengalami
sindrom metabolik perlu mendapatkan perhatian khusus dan
intervensi secara proaktif untuk mengatasi sindrom metabolik.
5. Perlu penelitian lebih lanjut dengan desain penelitian kohort untuk
melibatkan faktor-faktor lain yang berpengaruh terhdap kejadian
defisiensi vitamin D dan sindrom metabolik seperti faktor
suku/genetik dan nutrisi.
KUISIONER PENELITIAN HUBUNGAN DEFISIENSI VITAMIN D DENGAN SINDROM METABOLIK
Nama : Laki-laki Tanggal Lahir : Perempuan Alamat / Tlp Orang tua : Berat badan lahir :
1. Apakah Anak pernah mengalami obesitas/kegemukan? □ Tidak pernah □ Pernah, jika pernahKapan mulai timbulnya obesitas/kegemukan :
□ Saat dalam kandungan (dikatakan berat badan berlebihan oleh dokter saat dalam kandungan) □ Usia < 5 tahun □ Usia 5-8 th □ Usia >9 th
2. Riwayat kegemukan/obesitas dalam keluarga □ Ada, sebutkan anggota kelurga yang gemuk : ____________________________________ □ Tidak ada
3. Apakah ada anggota keluarga yang menderita Diabetes Melitus/Kencing Manis? □ Ada, sebutkan anggota kelurga yang kencing manis: ______________________________ □ Tidak ada
4. Apakah Anda sedang menderita Diabetes Melitus/Kencing Manis? □ Ada, sebutkan pengobatan: ______________________________ □ Tidak ada
5. Riwayat anak mengkonsumsi obat golongan steroid (contoh : prednison/metilprednisolon/dexametason,dll)
□ Tidak □ Ya, mengkonsumsi obat tersebut selama ............. hari/bulan/tahun
6. Riwayat penyakit anak (boleh memilih lebih dari satu penyakit) □ Kemoterapi □ Radiasi □ Diabetes □ Trauma kepala □ Infeksi Susunan Saraf Pusat □ Lain-lain, sebutkan jenis penyakit __________________________________________
7. Apakah Anda pernah memperoleh pengobatan hormonal ? □ Tidak □ Ya, jenis pengobatan hormonal yang diperoleh __________________________________
8. Apakah Anda pernah menderita gangguan fungsi hati dalam 3 bulan terakhir? □ Tidak □ Ya, jenis pengobatan yang diperoleh __________________________________
9. Apakah Anda pernah menderita gangguan fungsi ginjal dalam 3 bulan terakhir? □ Tidak □ Ya, jenis pengobatan yang diperoleh __________________________________
10. Apakah Anda pernah atau sering mengeluhkan keram-keram atau kejang dalam 3 bulan terkahir?
□ Tidak □ Ya, jenis pengobatan yang diperoleh __________________________________
LAMPIRAN 2
(pengisian kuisioner didampingi oleh orang tua siswa)
Lampiran3.Grafik NCHS untuk penentuan status gizi
Lampiran 4.Grafik IMT untuk penentuan obesitas
LAMPIRAN 5.
Lampiran 5. Tabel tekanan darah
Tabel Tekanan Darah Anak Laki-laki Berdasarkan Persentil Usia dan Tinggi Badan
2. Tabel Tekanan Darah Anak Perempuan Berdasarkan Persentil Usia dan Tinggi
Badan