Elisabeth Ref Torch
description
Transcript of Elisabeth Ref Torch
Bagian Obstetri dan Ginekologi Referat Fakultas Kedokteran November 2015Universitas Halu Oleo
INFEKSI TORCH DALAM KEHAMILAN
Oleh :
Oleh:
Elisabeth Grety Rimporok, S.Ked
(K1A1 09 032)
Pembimbing :
dr. Indra Magda Tiara, Sp.OG
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN
KLINIK
PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GYNECOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2015
INFEKSI TORCH DALAM KEHAMILAN
Elisabeth Grety, Indra Magda Tiara
BAB IPENDAHULUAN
Infeksi dalam kehamilan adalah infeksi yang terjadi saat kehamilan
berlangsung, bisa didapatkan saat sebelum kehamilan terjadi atau
didapatkan saat kehamilan.
Besarnya pengaruh infeksi tersebut tergantung dari virulensi
agennya, umur kehamilan serta imunitas ibu bersangkutan saat infeksi
berlangsung.Dampak terhadap janin bisa berbeda bila kuman penyakit
masuk ditrimester yang berbeda pula Ibu hamil dengan janin yang
dikandungnya sangat peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa
di antaranya meskipun tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat
menimbulkan dampak pada janin dengan akibat antara lain abortus,
pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam kandungan, serta cacat
bawaan. Kebanyakan penyakit infeksi diperparah dengan terjadinya
kehamilan. Dan ada pula Penyakit yang nampaknya tidak terlalu
mengancam jiwa ibu hamil bahkan tidak nampak gejala tetapi bisa
membahayakan terhadap janin. Penyakit-penyakit intrauterin yang sering
menyebabkan dampak yang berbahaya pada janin yaitu Penyakit TORCH ;
merupakan singkatan dari T = Toksoplasmosis ; R = Rubela (campak
Jerman); C = Cytomegalovirus; H = Herpes simpleks. 1,2,3
Infeksi dalam kehamilan berdampak pada janin bisa berasal dari
infeksi tersebut saat janin didalam kandungan atau saat janin setelah
dilahirkan pervaginam karena kontak langsung dengan tempat yang
terinfeksi.1,3
Banyak penyakit infeksi intrauterin maupun yang didapat pada masa
perinatal yang berakibat sangat berat pada janin maupun bayi, bahkan
mengakibatkan kematian sehingga diperlukan diagnosa yang cepat dan
tindakan pengobatan serta pencegahan baik yang dapat dilakukan oleh
1
wanita hamil, suami, keluarganya maupun dari pemerintah sehingga
diharapkan menurunkan angka kematian ibu maupun bayi.2
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Toksoplasmosis
1. Definisi
Toxoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasmosis
Gondii. Yang merupakan parasit penyebab penyakit pada manusia dan
binatang. Pada manusia khususnya bayi dan anak-anak, dapat menimbulkan
beberapa masalah kesehatan.
2. Epidemiologi
Angka kejadian Toxoplasmosis di berbagai negara berbeda-beda dan
lebih sering ditemukan didaerah dataran rendah dengan kelembapan udara
yang tinggi.
Insiden penyakit ini, dilaporkan di berbagai Negara cukup tinggi dan
ada hubungannya dengan pola makanan serta adanya hospes definitive.
Namun, di Indonesia khususnya belum ada angka pasti, dan beberapa
hewan sudah banyak dilaporkan. Sebagian besar penyakit ini asimtomatik
dan bila ada, gejalanya sama dengan penyakit lain sehingga diagnosis
serologis sering dipakai sebagai patokan diagnosis penyakit ini.3
3. Etiologi
Toxoplasma gondii, suatu protozoa intraseluler obligat. Takizoitnya
oval atau seperti bulan sabit, bermultiplikasi hanya dalam sel hidup, dan
3
berukuran 2-4 x 4-7 µm. Kista jaringan, yang berdiameter 10-100 µm, dapat
mengandung beribu-ribu parasit dan menetap dalam jaringan, terutama SSS
dan otot skelet serta otot jantung, sepanjang umur hospes tersebut.1,2,3
4. Cara Penularannya
Cara penularan dapat terjadi melalui beberapa jalur :
1. Transmisi congenital
Infeksi pada pada plasenta dipengaruhi boleh saat terjadinya
infeksi pada neonatus. Namun hanya 30% infeksi terjadi pada
bayi dari ibu yang terinfeksi saat kehamilan. Transmisi infeksi
congenital sebagian besar (65%) terjadi pada trismester ketiga
dan makin muda usia kehamilan makin besar resiko terjadi
kelainan yang berat bahkan kadang-kadang berakhir dengan
abortus.3 Seorang ibu sering kali tidak mengetahui mendapat
infeksi toxoplasma pada saat kehamilan, walaupun kadang-
kadang masih dapat ditemukan pembesaran kelenjar servikal
pada saat melahirkan.4
2. Transmisi melalui makanan
Transmisi kemungkinan besar melalui daging yang mengandung
kista. Transmisi melalui daging yang tidak atau kurang matang
bukan merupakan jalur penularan yang penting dibandingkan
dengan penularan melalui makanan yang tercemar kista dari tinja
kucing.3,4
3. Melalui transfusi darah
Toxoplasma dapat ditemukan dalam darah donor yang
asimtomatik dan parasit ini dapat hidup dalam darah lengkap
dengan sitrat pada suhu 30º C selama 50 hari. Penularan lain
juga dapat terjadi melalui petugas laboratorium yang bertgas
memelihara binatang, dan alat suntik yang terkontaminasi.3,4
4
4. Manifestasi Klinis
Gejala yang dapat timbul pada toksoplsmosis adalah fatigue, nyeri
otot dan kadang-kadang limfadenopati, tetapi seringkali infeksi terjadi
subklinis. .Infeksi toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang
hamil atau pada orang dengan sistem kekebalan tubuh terganggu
(misalnya penderita AIDS, pasien transpalasi organ yang mendapatkan
obat penekan respon imun).1,2,3
Jika wanita hamil terinfeksi toxoplasma maka akibat yang dapat
terjadi adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau
bayi menderita toxoplasmosis bawaan. Pada toxoplasmosis bawaan,
gejala dapat muncul setelah dewasa, misalnya kelinan mata dan
telinga,retardasi mental, kejang-kejang dan ensefalitis. 1,2,3
Sedangkan bila janin lahir setelah ibu terinfeksi selama kehamilan,
bayi bisa lahir dalam keadaan hidrosefalus, berat bayi lahir rendah,
hepatospleenomegali, ikterus dan anemia. Gejala deficit neurologis
seperti kejang-kejang, kalsifikasi intracranial, retardasi mental dan
hidrosefalus atau mikrosefalus. Pada kedua kelompok biasanya terjadi
korioretinitis. 1,2,3
• First half of pregnancy: dapat menyebabkan malformation pada
CNS, microcephali, hydrocephalus dan perinatal lmortality.
• Secondhalf of pregnancy: Ringan/asymtomatic,demam(flu like
syndrome, limfadenopati servikal ataupun aksila, namun tidak
sakit. Gejala-gejala ini beberapa minggu s/d bulan. Anemia,
leukopenia, kadangleukositosis. Dapat terjadi chorioretinitis dan
kelainan pada CNS setelah beberapa bulan atau beberapa tahun
kemudian.
• Congenital Toxoplasmosis: Anak hidup dengan kemunduran
mental yang parah, kejang--‐kejang, strabismus dan kebutaan.
5. Diagnosis
Diagnosis Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan
14-27 minggu. Aktivitas diagnosis meliputi ; 1,2,3
5
1. Kordosentesis (pengambilan sampeldarah janin melalui tali pusat)
ataupun amniosentesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan
Ultrasonografi.
2. Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel
fibroblast, ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum dan
diikuti isolasi parasit. Pemeriksaan dengan PCR untuk mendeteksi
adanya DNA Toksoplasma gondii pada darah janin ataupun cairan
ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin guna
mendeteksi antibody IgM janin spesifik (antitoksoplasma)
3. Pemeriksaan Radiologis, kalsifikasi serebral merupakan salah satu
tanda toxoplasmosis congenital. Gambaran ini dapat noduler atau
linier. Pemeriksaan CT scan akan lebih jelas menunjukkan tingkat
beratnya kerusakan terjadi
6. Pencegahan
Pencegahan terutama untuk ibu hamil, yaitu dengan cara :
Mencegah terjadinya infeksi primer pada ibu-ibu hamil
6
- Memasak daging sampai 60º C
- Jangan menyentuh mukosa mulut bila sedang memegang
daging mentah
- Mencuci buah ayau sayur sebelum dimakan
- Kebersihan dapur
- Cegah kontak dengan kotoran kucing
- Siram bekas piring makanan kucing dengan air panas
Mencegah infeksi terhadap janin dengan jalan :
- Seleksi wanita hamil dengan tes serologis
- Pengobatan adekwat bila ada infeksi selama hamil
- Tindakan abortus terapeutik pada trimester I/II
- Vaksinasi pada kucing dengan tujuan untuk mencegah
sporulasi dan pelepasan ookista ke lingkungan, dapat
menurunkan secara drastis angka infeksi toxoplasma
pada binatang dan manusia.
7. Penatalaksanaan
Sampai saat ini pengobatan yang terbaik adalah kombinasi
pyrimethamine dengan trisulfapyrimidine. Kombinasi ke dua obat ini secara
sinergis akan menghambat siklus p-amino asam benzoat dan siklus asam
folat.
Dosis yang dianjurkan untuk pyrimethamine ialah 25 – 50 mg per hari
selama sebulan dan trisulfapyrimidine dengan dosis 2.000 – 6.000 mg sehari
selama sebulan. Karena efek samping obat tadi ialah leukopenia dan
trombositopenia, maka dianjurkan untuk menambahkan asam folat dan
yeast selama pengobatan.
Trimetoprinm juga ternyata efektif untuk pengobatan toxoplasmosis
tetapi bila dibandingkan dengan kombinasi antara pyrimethamine dan
trisulfapyrimidine, ternyata trimetoprim masih kalah efektifitasnya.
Spiramycin merupakan obat pilihan lain walaupun kurang efektif tetapi
efek sampingnya kurang bila dibandingkan dengan obat-obat sebelumnya.
Dosis spiramycin yang dianjurkan ialah 2 – 4 gram sehari yang di bagi
dalam 2 atau 4 kali pemberian. Beberapa peneliti mengajurkan pengobatan
7
wanita hamil trimester pertama dengan spiramycin 2 – 3 gram sehari selama
seminggu atau 3 minggu kemudian disusl 2 minggu tanpa obat. Demikian
berselang seling sampai sembuh. Pengobatan juga ditujukan pada penderita
dengan gejala klinis jelas dan terhadap bayi yang lahir dari ibu penderita
toxoplasmosis.
B. Cytomegalovirus
Cytomegalovirus (CMV) merupakan penyebab infeksi kongenital dan
perinatal yang paling umum di seluruh dunia. Prevalensi infeksi CMV
kongenital bervariasi luas di antara populasi yang berbeda, ada yang
melaporkan sebesar 0,2 –3% 5, ada pula sebesar 0,7 sampai 4,1%. Peneliti
lain mendapatkan angka infeksi 1%-2% dari seluruh kehamilan.
1. Transmisi CMV
Risiko mendapatkan sitomegalovirus (CMV) melalui kontak biasa
sangat kecil. Virus ini biasanya ditularkan dari orang yang terinfeksi kepada
orang lain melalui kontak langsung dari cairan tubuh, seperti urin, air liur,
atau ASI. CMV ditularkan secara seksual dan dapat menyebar melalui
organ-organ transplantasi dan transfusi darah (Karger, 2001).5
Meskipun CMV dapat ditularkan melalui ASI, infeksi yang terjadi dari
pemberian ASI biasanya tidak menimbulkan gejala atau penyakit pada bayi.
Karena infeksi CMV setelah lahir dapat menyebabkan penyakit pada bayi
lahir prematur atau rendah sangat berat, ibu bayi tersebut harus
berkonsultasi dengan penyedia layanan kesehatan mereka tentang menyusui
• Transmisi CMV selama Kehamilan
Untuk wanita hamil, dua transmisi yang paling umum untuk CMV
melalui hubungan seksual dan melalui kontak dengan urin atau air
liur yang terinfeksi CMV.5
• Penularan CMV ke Bayi sebelum Lahir
CMV dapat menular dari ibu hamil ke janinnya selama kehamilan.
Virus dalam darah ibu masuk lewat plasenta dan menginfeksi darah
janin. Antara bayi yang lahir dengan infeksi CMV (infeksi CMV
8
kongenital), sekitar 1 dari 5 akan memiliki cacat permanen, seperti
cacat perkembangan atau gangguan pendengaran
2. Patogenesis
CMV adalah virus litik yang menyebabkan efek sitopatik in vitro dan in
vivo. Efek patologis infeksi CMV adalah sel yang membesar dengan badan
inklusi virus (viral inclusion bodies). Secara mikroskopis, sebutan bagi sel
ini adalah mata burung hantu. Walaupun merupakan suatu dasar diagnosis,
tampilan histologis seperti ini hanya ada sedikit atau tidak ada pada organ
terinfeksi (Akhter & Wills, 2010).6
Gambar 2. Pewarnaan hematoxylin-eosin pada potongan paru
menunjukan inklusi mata burung hantu yang tipikal (Wiedbrauk, dalam
Akhter & Wills, 2010)
Virus CMV memasuki sel dengan cara terikat pada reseptor yang ada di
permukaan sel inang, kemudian menembus membran sel, masuk ke dalam
vakuole di sitoplasma, lalu selubung virus terlepas, dan nucleocapsid cepat
menuju ke nukleus sel inang (uncoating) (Budipardigdo, 2007)7
Riwayat infeksi CMV sangat kompleks, setelah infeksi primer, virus
diekskresi melalui beberapa tempat dan ekskresi virus dapat menetap
beberapa minggu, bulan, bahkan tahun sebelum virus hidup laten. Episode
infeksi ulang sering terjadi, karena reaktivasi dari keadaan laten dan terjadi
pelepasan virus lagi. Infeksi ulang juga dapat terjadi eksogen dengan strain
9
lain dari CMV. Infeksi CMV dapat terjadi setiap saat dan menetap
sepanjang hidup. ”Sekali terinfeksi, tetap terinfeksi”, virus hidup dormant
dalam sel inang tanpa menimbulkan keluhan atau hanya keluhan ringan
seperti common cold. Replikasi virus merupakan faktor risiko penting untuk
penyakit dengan manifestasi klinik infeksi CMV. Penyakit yang timbul
melibatkan peran dari banyak molekul baik yang dimiliki oleh CMV sendiri
maupun molekul tubuh inang yang terpacu aktivasi atau pembentukannya
akibat infeksi CMV. CMV dapat hidup di dalam bermacam sel seperti sel
epitel, endotel, fibroblas, leukosit polimorfonukleus, makrofag yang berasal
dari monosit, sel dendritik, limfosit T (CD4+ , CD8+), limfosit B, sel
progenitor granulosit-monosit. Dengan demikian berarti CMV
menyebabkan infeksi sistemik dan menyerang banyak macam organ antara
lain kelenjar ludah, tenggorokan, paru, saluran cerna, hati, kantong empedu,
limpa, pankreas, ginjal, adrenal, otak atau sistem syaraf pusat. Virus dapat
ditemukan dalam saliva, air mata, darah, urin, semen, sekret vagina, air susu
ibu, cairan amnion dan lain-lain cairan tubuh. Ekskresi yang paling umum
ialah melalui saliva, dan urin dan berlangsung lama, sehingga bahaya
penularan dan penyebaran infeksi mudah terjadi. Ekskresi CMV pada
infeksi kongenital sama seperti pada ibu, juga berlangsung lama
Reaktivasi, replikasi dan reinfeksi umum terjadi secara intermiten,
meskipun tanpa menimbulkan keluhan atau kerusakan jaringan. Replikasi
DNA virus dan pembentukan kapsid terjadi di dalam nukleus sel inang. Sel-
sel terinfeksi CMV dapat berfusi satu dengan yang lain, membentuk satu sel
besar dengan nukleus yang banyak. Endothelial giant cells (multinucleated
cells) dapat dijumpai dalam sirkulasi selama infeksi CMV menyebar. Sel
berinti ganda yang membesar ini sangat berarti untuk menunjukkan
replikasi virus, yaitu apabila mengandung inklusi intranukleus berukuran
besar seperti mata burung hantu (owl eye)
Respons imun seseorang memegang peran penting untuk mengeliminasi
virus yang telah menyebabkan infeksi. Pada kondisi kompetensi imun yang
baik (imunokompeten), infeksi CMV akut jarang menimbulkan komplikasi,
namun penyakit dapat menjadi berat bila individu berada dalam keadaan
10
immature (belum matang), immunosuppressed (respons imun tertekan) atau
immunocompromised (respons imun lemah), termasuk ibu hamil dan
neonatus, penderita HIV (human immunodeficiency virus), penderita yang
mendapatkan transplantasi organ atau pengobatan imunosupresan dan yang
menderita penyakit keganasan. Pada kondisi tersebut, sistem imun yang
tertekan atau lemah, belum mampu membangun respons baik seluler
maupun humoral yang efektif, sehingga dapat mengakibatkan nekrosis atau
kematian jaringan yang berat, bahkan fatal.
CMV kongenital terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi
(viremia) ibu menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada
kurang lebih 0,5– 1% dari kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren.
Viremia pada ibu hamil dapat menyebar melalui aliran darah (per
hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada infeksi primer
eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen, yang mungkin
akan menimbulkan risiko 6 tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang
serius. Risiko pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu
terinfeksi sebelum konsepsi. Infeksi transplasenta juga dapat terjadi, karena
sel terinfeksi membawa virus dengan muatan tinggi. Transmisi tersebut
dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun infeksi yang terjadi
sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih berat.
Respons imun pada fetus dan anak diperantarai sel yang terbentuk 1
minggu sebelum respons humoral, mencapai puncak sama dengan respons
humoral. Respons imun seluler mulai dapat terdeteksi dengan baik pada
umur fetus 22 minggu. Aktivasi dan diferensiasi sel T CD4+ dapat terjadi,
meskipun kemampuan untuk menghasilkan IFN-γ masih lemah. Hasil suatu
studi menyatakan bahwa peran sel T CD4+ spesifik dengan frekuensi yang
tinggi pada neonatus memungkinkan terjadi stimulasi terhadap imunitas
seluler, sehingga infeksi CMV kongenital bersifat asimtomatik. Respons
imun humoral dimulai pada 9 – 11 minggu kehamilan, namun kadar
antibodi dalam sirkulasi tetap rendah sampai pertengahan kehamilan,
kecuali terdapat virus dalam titer tinggi dan ada perkembangan reseptor
antigen di permukaan sel keadaan ini, kadar antibodi meningkat dengan
11
predominan IgM. Pada infeksi kongenital, IgG maternal dapat menembus
plasenta masuk ke sirkulasi fetus, sedangkan IgM atau IgA yang terdeteksi
pada darah tali pusat neonatus, menunjukkan bahwa antibodi tersebut
diproduksi oleh fetus atau bayi sendiri yang terinfeksi secara vertikal dari
ibu. Pada reaktivasi, antibodi anti-CMV terbentuk adekuat, sebaliknya
terjadi defek imunitas yang diperantarai sel dengan penurunan jumlah sel
NK dan T CD8+.
3. Manifestasi Klinis dan Komplikasi
a. Manifestasi klinis pada Ibu Hamil :
Umumnya >90% infeksi CMV pada ibu hamil asimptomatik,
tidak terdeteksi secara klinis. Gejala yang timbul tidak spesifik,
yaitu: demam, lesu, sakit kepala, sakit otot dan nyeri tenggorok.
Wanita hamil yang terinfeksi CMV akan menyalurkan pada bayi
yang dikandungnya, sehingga bayi yang dikandungnya akan
mendapatkan kelainan kongenital. Selain itu wanita yang hamil
dapat mengalami keguguran akibat infeksi CMV.
b. Manifestasi Klinis pada Bayi
Transmisi dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan,
Infeksi pada kehamilan sebelum 16 minggu dapat mengakibatkan
kelainan kongenital berat. Gejala klinik infeksi CMV pada bayi baru
lahir jarang ditemukan. Dari hasil pemeriksaan virologis, CMV
hanya didapat 5-10% dari seluruh kasus infeksi kongenital CMV.
Kasus infeksi kongenital CMV hanya 30-40% saja yang disertai
persalinan prematur. Dari semua yang prematur setengahnya disertai
Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT). 10% dari janin yang
menunjukkan tanda-tanda infeksi kongenital mati dalam dua minggu
pertama. infeksi kongenital pada anak baru lahir jelas gejalanya.
Gejala infeksi pada bayi baru lahir bermacam-macam, dari yang
tanpa gejala apa pun sampai berupa demam, kuning (jaundice),
gangguan paru, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran hati dan
limpa, bintik merah di sekujur tubuh, serta hambatan perkembangan
otak (microcephaly). Hal ini bisa menyebabkan buta, tuli, retardasi
12
mental bahkan kematian. Tetapi ada juga yang baru tampak
gejalanya pada masa pertumbuhan dengan memperlihatkan
gangguan neurologis, mental, ketulian dan visual. Komplikasi yang
dapat muncul pada infeksi CMV antara lain (Firman, 2009)8 :
i. Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) antara lain:
meningoencephalitis, kalsifikasi, mikrosefali, gangguan migrasi
neuronal, kista matriks germinal, ventriculomegaly dan
hypoplasia cerebellar). Penyakit SSP biasanya menunjukan
gejala dan tanda berupa: kelesuan, hypotonia, kejang, dan
pendengaran defisit.
ii. Kelainan pada mata meliputi korioretinitis, neuritis optik,
katarak, koloboma, dan mikroftalmia.
iii. Sensorineural hearing defisit (SNHD) atau kelainan
pendengaran dapat terjadi pada kelahiran, baik unilateral atau
bilateral, atau dapat terjadi kemudian pada masa kanak-kanak.
Beberapa pasien memiliki pendengaran normal untuk pertama 6
tahun hidup, tetapi mereka kemudian dapat mengalami
perubahan tiba-tiba atau terjadi gangguan pendengaran. Di
antara anak-anak dengan defisit pendengaran, kerusakan lebih
lanjut dari pendengaran terjadi pada 50%, dengan usia rata-rata
perkembangan pertama pada usia 18 bulan (kisaran usia 2-70
bulan). Gangguan pendengaran merupakan hasil dari replikasi
virus dalam telinga bagian dalam.
iv. Hepatomegali dengan kadar bilirubin direk transaminase serum
meningkat. Secara patologis dijumpai kolangitis intralobar,
kolestasis obstruktif yang akan menetap selama masa anak.
Inclusian dijumpai pada sel kupffer dan epitel saluran empedu.
Bayi dengan infeksi CMV kongenital memiliki tingkat mortalitas 20-
30%. Kematian biasanya disebabkan disfungsi hati, perdarahan, dan
intravaskuler koagulopati atau infeksi bakteri sekunder.
13
4. Diagnosis
Diagnosis Klinis
a. Riwayat Klinis
CMV adalah virus herpes double-stranded DNA dan
merupakan infeksi yang paling umum virus bawaan. Tingkat
seropositif CMV meningkat dengan usia. Lokasi geografis, kelas
sosial ekonomi dan bekerja pameran faktor lain yang mempengaruhi
risiko infeksi. Infeksi CMV membutuhkan kontak dekat melalui air
liur, urin dan cairan tubuh lainnya. Kemungkinan rute transmisi
termasuk kontak seksual, transplantasi organ, transmisi
transplasenta, penularan melalui ASI dan transfusi darah (jarang)
(Marino et al, 2010)9.
Reaktivasi primer atau infeksi berulang dapat terjadi selama
kehamilan dan dapat menyebabkan infeksi CMV kongenital. Infeksi
transplasental dapat mengakibatkan pembatasan pertumbuhan
intrauterin, gangguan pendengaran sensorineural, kalsifikasi
intrakranial, mikrosefali, hidrosefalus, hepatosplenomegali,
psikomotorik keterbelakangan dan atrofi optik
Masa inkubasi infeksi perinatal bervariasi antara 4 dan 12
minggu (rata-rata, 8 minggu). Jumlah virus pada bayi dengan infeksi
perinatal lebih sedikit dibandingkan yang berkembang di infeksi
kongenital, infeksi ini bersifat kronis, virus dapat bertahan selama
bertahun-tahun. Kebanyakan bayi dengan infeksi perinatal adalah
asimtomatik, karena bayi memiliki antibodi ibu (IgG) terhadap
CMV. Sebaliknya, 15-25% bayi prematur yang terinfeksi dapat
mengembangkan penyakit klinis, seperti pneumonia, hepatitis atau
penyakit sepsis dengan gejala apnea, bradikardia,
hepatosplenomegali, distensi usus, anemia, trombositopenia dan
fungsi hati yang abnormal. Infeksi CMV yang didapat karena
tranfusi pada bayi prematur dengan bayi lahir sangat rendah berat
badan mungkin mengalami gejala-gejala menyerupai CID.
14
Infeksi maternal lebih mungkin disebabkan reaktivasi virus
laten dan dengan demikian tidak menimbulkan gejala atau
bermanifestasi sebagai demam rendah, malaise dan mialgia. Infeksi
primer CMV biasanya tanpa gejala, tetapi nyata bisa sebagai gambar
mononukleosislike, dengan demam, kelelahan dan limfadenopati.
Perempuan yang berada dalam kontak yang dekat dengan anak-anak
atau anak-anak di prasekolah, pekerja penitipan atau pekerja
kesehatan berisiko lebih tinggi terhadap infeksi.
b. Pemeriksaan Penunjang
CMV biasanya diisolasi dari urin dan air liur, tetapi dapat
diisolasi dari cairan tubuh lainnya, termasuk ASI, sekresi leher
rahim, cairan ketuban, sel-sel darah putih, cairan serebrospinal,
sampel tinja dan biopsi. Tes terbaik untuk diagnosis infeksi bawaan
atau perinatal adalah isolasi virus atau demonstrasi reaksi berantai
materi CMV genetik (PCR) dari urin atau air liur bayi baru lahir.
Sensitivitas PCR dengan spesimen urin adalah 89% dan spesifisitas
96%. Sampel urine dapat didinginkan (4℃) tetapi tidak boleh beku
dan disimpan pada suhu kamar. Tingkat pemulihan virus 93% dalam
urin setelah 7 hari pendinginan, kemudian menurun menjadi 50%
setelah 1 bulan.
Peningkatan titer IgG empat kali lipat di dalam sera pasangan
atau anti-CMV IgM yang positif kuat berguna mendiagnosis infeksi,
tes serologis tidak dianjurkan untuk diagnosis infeksi pada bayi baru
lahir. Hal ini dikarenakan deteksi IgG anti-CMV pada bayi baru
lahir mencerminkan antibodi yang diperoleh dari ibu melalui
transplasental dan antibodi tersebut dapat bertahan sampai 18 bulan.
Uji IgM juga dapat bernilai positif palsu dan negatif palsu,
Computed tomography (CT) lebih sensitif untuk mendeteksi
kalsifikasi intracranial. MRI dapat digunakan untuk mendeteksi
gangguan migrasi neuronal dan lesi parenkim serebral.
Amniosentesis merupakan tes diagnostik prenatal tunggal yang
paling berharga, sedangkan PCR atau kultur virus dari cairan
15
ketuban, mempunyai tingkat spesifisitas dan sensitivitas yang sama.
Kuantitatif PCR menunjukkan 105 genom/mL cairan ketuban yang
mungkin mengandung prediktor gejala infeksi congenital.
Ultrasonografi kelainan janin pada wanita hamil dengan infeksi
primer atau berulang biasanya menunjukkan gejala infeksi janin.
Kelainan sonografi janin yang dilaporkan termasuk
oligohidroamnios, pembatasan pertumbuhan intrauterin,
microcephaly, ventriculomegaly, kalsifikasi intrakranial, hipoplasia
corpus callosum, asites, hepatosplenomegali, hypoechogenic bowel,
efusi pleura dan pericardial.
5. Penatalaksaan
Pilihan terapi terbaik dan pencegahan penyakit CMV yaitu gansiklovir
dan valgansiklovir. Pilihan lainnya merupakan lini kedua antara lain
foscarnet dan cidofovir . Konsensus yang menyatakan hal yang lebih baik
antara profilaksis dengan terapi preemptive yang lebih baik untuk
pencegahan infeksi CMV pada penerima organ transplan solid (Schleiss,
2010)10
Terapi medikamentosa
1. Gansiklovir
Gansiklovir terlisensi untuk terapi infeksi CMV. Nukleotida asiklik
sintetik secara struktural serupa dengan guanin. Struktur tersebut
serupa pada acyclovir yang membutuhkan fosforilasi aktivitas
antiviral. Enzim yang bertanggung jawab untuk fosforilasi adalah
produk gen UL97 virus, sebuah protein kinase. Resistensi dapat
terjadi pada penggunaan jangka panjang, secara umum terjadi karena
mutasi gen ini. Indikasi obat ini untuk anak immunocompromised
seperti infeksi HIV, postransplan, dan lain-lain jika secara klinis dan
virologis membuktikan penyakit spesifik berakhirnya organ yang
spesifik.
Pada balita, terapi antiviral dengan gansiklovir mungkin berguna
menurunkan prevalensi sekuel perkembangan neural, umumnya tuli
16
sensorineural. Sebuah penelitian mengenai penyakit alergi dan
infeksiinstitusi nasional di negara peneliti menunjukkan perbaikan
relatif pada pendengaran pada tuli simtomatik kongenital CMV yang
diterapi dengan gansiklovir. Meskipun demikian, terapi pada
neonatus harus dikonsultasikan oleh ahlinya.
2. Immunoglobulin
Imunoglobulin digunakan sebagai imunisasi pasif untuk mencegah
penyakit Cytomegalovirus simtomatik. Bukti pada kehamilan
menyarankan infus Ig CMV pada wanita dengan infeksi primer
dapat mencegah transmisi dan memeperbaiki kondisi kelahiran.
3. Valgansiklovir (VGCV)
Valgansiklovir (VGCV) adalah sebuah prodrug turunan valyl dari
gansiklovir. Setelah absorbsi di intestinum, moase valine cepat
diurai oleh hepar menghasilkan GCV. Zat ini inaktif dan
membutuhkan trifosforilasi untuk aktivitas virostatis.
6. Pencegahan
Seorang calon ibu hendaknya menunda untuk hamil apabila secara
laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir dari ibu
yang menderita infeksi CMV, perlu dideteksi IgM anti-CMV untuk
mengetahui infeksi kongenital.
C. Rubella
1. Definisi
Campak Jerman (Rubella, Campak 3 hari) adalah suatu infeksi virus
menular, yang menimbulkan gejala yang ringan (misalnya nyeri sendi dan
ruam kulit). Berbeda dengan campak, rubella tidak terlalu menular dan
jarang menyerang anak-anak. Jika menyerang wanita hamil (terutama pada
saat kehamilan berusia 8-10 minggu), bisa menyebabkan keguguran,
kematian bayi dalam kandungan atau kelainan bawaan pada bayi.
17
2. Etiologi
Rubella disebabkan oleh suatu RNA virus, genus Rubivirus, famili
Togaviridae. Virus dapat diisolasi dari biakan jaringan penderita. Infeksi
terjadi melalui droplet atau kontak langsung dengan penderita. Penyebab
rubella atau campak Jerman adalah virus rubella. Meski virus penyebabnya
berbeda, namun rubella dan campak (rubeola) mempunyai beberapa
persamaan. Rubella dan campak merupakan infeksi yang menyebabkan
kemerahan pada kulit pada penderitanya. Perbedaannya, rubella atau
campak Jerman tidak terlalu menular dibandingkan campak yang cepat
sekali penularannya. Penularan rubella dari penderitanya ke orang lain
terjadi melalui percikan ludah ketika batuk, bersin dan udara yang
terkontaminasi. Virus ini cepat menular, penularan dapat terjadi sepekan (1
minggu) sebelum timbul bintik-bintik merah pada kulit si penderita, sampai
lebih kurang sepekan setelah bintik tersebut menghilang. Namun bila
seseorang tertular, gejala penyakit tidak langsung tampak. Gejala baru
timbul kira-kira 14 – 21 hari kemudian. Selain itu, campak lebih lama
proses penyembuhannya sementara rubella hanya 3 hari, karena itu pula
rubella sering disebut campak 3 hari.
18
3. Manifestasi Klinis
Keluhan yang dirasakan biasanya lebih ringan dari penyakit campak.
Bercak-bercak mungkin juga akan timbul tapi warnanya lebih muda dari
campak biasa. Biasanya, bercak timbul pertama kali di muka dan leher,
berupa titik-titik kecil berwarna merah muda. Dalam waktu 24 jam, bercak
tersebut menyebar ke badan, lengan, tungkai, dan warnanya menjadi lebih
gelap. Bercak-bercak ini biasanya hilang dalam waktu 1 sampai 4 hari.
Tanda-tanda dan gejala Infeksi rubella dimulai dengan adanya demam
ringan selama 1 atau 2 hari (37.2 - 37.8 derajat celcius) dan kelenjar getah
bening yang membengkak dan perih, biasanya di bagian belakang leher atau
di belakang telinga. Pada hari kedua atau ketiga, bintik-bintik (ruam)
muncul di wajah dan menjalar ke arah bawah. Di saat bintik ini menjalar ke
bawah, wajah kembali bersih dari bintik-bintik. Bintik-bintik ini biasanya
menjadi tanda pertama yang dikenali oleh para orang tua. Ruam rubella
dapat terlihat seperti kebanyakan ruam yang diakibatkan oleh virus lain.
Terlihat sebagai titik merah atau merah muda, yang dapat berbaur menyatu
menjadi sehingga terbentuk tambalan berwarna yang merata. Bintik ini
dapat terasa gatal dan terjadi hingga tiga hari. Dengan berlalunya bintik-
bintik ini, kulit yang terkena kadangkala megelupas halus. Gejala lain dari
rubella, yang sering ditemui pada remaja dan orang dewasa, termasuk: sakit
kepala, kurang nafsu makan, conjunctivitis ringan (pembengkakan pada
kelopak mata dan bola mata), hidung yang sesak dan basah, kelenjar getah
bening yang membengkak di bagian lain tubuh, serta adanya rasa sakit dan
bengkak pada persendian (terutama pada wanita muda). Banyak orang yang
terkena rubella tanpa menunjukkan adanya gejala apa-apa.
Ketika rubella terjadi pada wanita hamil, dapat terjadi sindrom
rubella bawaan, yang potensial menimbulkan kerusakan pada janin yang
sedang tumbuh. Anak yang terkena rubella sebelum dilahirkan beresiko
tinggi mengalami keterlambatan pertumbuhan, keterlambatan mental,
kesalahan bentuk jantung dan mata, tuli, dan kelainan pada organ hati,
limpa dan sumsum tulang.
19
Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi
pada trisemester I. mula-mula replikasi virus terjadi dalam jaringan janin,
dan menetap dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin
sehingga menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain. Infeksi ibu pada
trisemester kedua juga dapat menyebabkan kelainan yang luas pada organ.
Menetapnya virus dan interaksi antara virus dan sel di dalam uterus dapat
menyebabkan kelainan yang luas pada periode neonatal, seperti anemia
hemolitika dengan hematopoiesis ekstra meduler, hepatitis, nefritis
interstitial, ensefalitis, pankreatitis interstitial dan osteomielitis.
Gejala rubella kongenital dapat dibagi dalam 3 kategori :
1. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu :
a Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila
infeksi terjadi sebelum umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini
dapat merupakan satu-satunya gejala yang timbul.
b Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis katup
pulmonal.
c Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang
berdiri sendiri.
d Retardasimental dan beberapa kelainan lain antara lain:
e Purpura trombositopeni (Blueberry muffin rash)
f Hepatosplenomegali, meningoensefalitis, pneumonitis, dan
lain-lain
2. Extended – sindroma rubella kongenital.. Meliputi cerebral palsy,
retardasi mental, keterlambatan pertumbuhan dan berbicara,
kejang, ikterus dan gangguan imunologi (hipogamaglobulin).
3. Delayed - sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis,
dan Diabetes Mellitus tipe-1, gangguan pada mata dan
pendengaran yang baru muncul bertahun-tahun kemudian.
Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah 14-21 hari. Tanda yang paling khas adalah
adenopati retroaurikuler, servikal posterior, dan di belakang oksipital. Ruam
20
ini terdiri dari bintik-bintik merah tersendiri pada palatum molle yang dapat
menyatu menjadi warna kemerahan jelas pada sekitar 24 jam sebelum ruam.
4. Diagnosis
Diagnosis klinis sering kali sukar dibuat untuk seorang penderita oleh
karena tidak ada tanda atau gejala yang patognomik untuk rubela. Seperti
dengan penyakit eksantema lainnya, diagnosis dapat dibuat dengan
anamnesis yang cermat. Rubela merupakan penyakit yang epidemik
sehingga bila diselidiki dengan cermat, dapat ditemukan kasus kontak atau
kasus lain di dalam lingkungan penderita. Sifat demam dapat membantu
dalam menegakkan diagnosis, oleh karena demam pada rubela jarang sekali
di atas 38,5ºC. Pada infeksi tipikal, makula merah muda yang menyatu
menjadi eritema difus pada muka dan badan serta artralgia pada tangan
penderita dewasa merupakan petunjuk diagnosis rubela. Perubahan
hematologik hanya sedikit membantu penegakan diagnosis. Peningkatan sel
plasma 5-20% merupakan tanda yang khas. Kadang-kadang terdapat
leukopenia pada awal penyakit yang dengan segera segera diikuti
limfositosis relatif. Sering terjadi penurunan ringan jumlah trombosit.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan serologik yaitu
adanya peningkatan titer anibodi 4 kali pada hemaglutination inhibition test
(HAIR) atau ditemukannya antibodi Ig M yang spesifik untuk rubela. Titer
antibodi mulai meningkat 24-48 jam setelah permulaan erupsi dan mencapai
puncaknya pada hari ke 6-12. selain pada infeksi primer, antibodi Ig M
spesifik rubela dapat ditemukan pula pada reinfeksi. Dalam hal ini adanya
antibodi Ig M spesifik rubela harus di interpretasi dengan hati-hati. Suatu
penelitian telah menunjukkan bahwa telah tejadi reaktivitas spesifik
terhadapp rubela dari sera yang dikoleksi, setelah kena infeksi virus lain.
Diagnosa klinis rubella kadang tidak akurat. Konfirmasi
laboratorium hanya bisa dipercaya untuk infeksi akut. Infeksi rubella dapat
dipastikan dengan adanya peningkatan signifikan titer antibodi fase akut dan
konvalesens dengan tes ELISA, HAI, pasif HA atau tes LA, atau dengan
adanya IgM spesifik rubella yang mengindikasikan infeksi rubella sedang
terjadi.
21
Diagnosa pada bayi baru lahir dipastikan dengan ditemukan adanya
antibodi IgM spesifik pada spesimen tunggal, dengan titer antibodi spesifik
terhadap rubella diluar waktu yang diperkirakan titer antibodi maternal IgG
masih ada, atau melalui isolasi virus yang mungkin berkembang biak pada
tenggorokan dan urin paling tidak selama 1 tahun. Virus juga bisa dideteksi
dari katarak kongenital hingga bayi berumur 3 tahun.
Diagnosis prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari
darah janin melalui CVS (chorionoc villus sampling) atau kordosentesis.
Konfirmasi infeksi fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan
adanya antigen spesifik rubella dan RNA pada CVS. Metode ini adalah
yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil konsepsi.
Berdasarkan gejala klinik dan temuan serologi, sindroma rubella
kongenital (CRS, Congenital Rubella Syndrome) dapat diklasifikasikan
sebagai berikut :
1. CRS confirmed. Defek dan satu atau lebih tanda/ gejala berikut :
Virus rubella yang dapat diisolasi.
Adanya IgM spesifik rubella
Menetapnya IgG spesifik rubella.
2. CRS compatible. Terdapat defek tetapi konfirmasi laboratorium
tidak lengkap. Didapatkan 2 defek dari item a , atau masing-
masing satu dari item a dan b.
a. Katarak dan/ atau glaukoma kongenital, penyakit jantung
kongenital, tuli, retinopati.
1. Purpura, splenomegali, kuning, mikrosefali, retardasi
mental, meningo ensefalitis, penyakit tulang radiolusen.
2. CRS possible. Defek klinis yang tidak memenuhi kriteria
untuk CRS compatible.
3. CRI ( Congenital Rubella Infection ). Temuan serologi
tanpa defek.
4. Stillbirths. Stillbirth yang disebabkan rubella maternal
5. Bukan CRS. Temuan hasil laboratorium tidak sesuai
dengan CRS:
22
Tidak adanya antibodi rubella pada anak umur < 24 bulan
dan pada ibu.
Kecepatan penurunan antibodi sesuai penurunan pasif dari
antibodi didapat.
5. Penatalaksaan
Jika tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simtomatis.
Adamantanamin hidrokhlorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro
dalam menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakkan.
Upaya untuk mengobati anak yang sedang menderita rubela kongenital
dengan obat ini tidak berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada
wanita hamil, penggunaannya amat terbatas. Interferon dan isoprinosin telah
digunakan dengan hasil yang terbatas.
E. Herpes Simplex
1. Definisi
Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes
simpleks (virus herpes hominis) tipe 1 atau tipe 2 yang ditandai oleh adanya
vesikel yang berkelompok di atas kulit eritematosa pada daerah dekat
mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekurens.
Virus herpes simpleks tipe 1 sebagian besar terkait dengan penyakit
orofacial, sedangkan virus herpes simpleks tipe 2 biasanya terkait dengan
infeksi perigenital. Tetapi, keduanya dapat menginfeksi daerah oral dan
genital.
2. Epidemiologi
Pada anak-anak berumur kurang dari 10 tahun, infeksi herpes sering
asimtomatik dan dengan type tersering adalah HSV-1 (80-90%). Analisis
yang dilakukan secara global telah menunjukkan adanya antibodi HSV-1
pada sekitar 90% dari individu berumur 20-40 tahun. HSV-2 merupakan
penyebab infeksi herpes genital yang paling banyak (70-90%), meskipun
23
studi terbaru menunjukkan peningkatan kejadian dapat disebabkan oleh
HSV-1 (10-30%). Antibodi untuk HSV-2 jarang ditemukan sebelum masa
remaja karena asosiasi HSV-2 terkait dengan aktivitas seksual.
HSV dapat menginfeksi janin dan menyebabkan kelainan. Seorang ibu
yang terinfeksi HSV dapat menularkan virus itu padanya baru lahir selama
persalinan vagina, terutama jika ibu memiliki infeksi aktif pada saat
pengiriman. Namun, 60 - 80% dari infeksi HSV didapat oleh bayi yang
baru lahir terjadi pada wanita yang tidak memiliki gejala infeksi HSV atau
riwayat infeksi HSV genital.
Usia dan jenis kelamin merupakan faktor risiko penting yang terkait
dengan didapatkannya infeksi genital HSV-2. Bahkan, prevalensi infeksi
HSV sangat rendah di masa kanak-kanak dan remaja awal tetapi meningkat
dengan usia, mencapai maksimum sekitar 40 tahun.
3. Etilogi
Kelompok virus herpes sebagian besar terdiri dari virus DNA.
Melakukan replikasi secara intranuklear dan menghasilkan inklusi
intranuklear khas yang terdeteksi dalam preparat pewarnaan. HSV-1 dan
HSV-2 adalah virus double-stranded DNA yang termasuk dalam
Alphaherpesvirinae, subfamily dari Herpes viridae. Kedua virus,
bertransmisi melalui sel epitel mukosa, serta melalui gangguan kulit,
bermigrasi ke jaringan saraf, di mana mereka tetap dalam keadaan laten.
HSV-1 lebih dominan pada lesi orofacial dan biasanya ditemukan di ganglia
trigeminal, sedangkan HSV-2 lebih dominan pada lesi genital dan paling
sering ditemukan di ganglia lumbosakral. Namun virus ini dapat
menginfeksi kedua daerah orofacial dan saluran genital melalui infeksi
silang HSV-1 dan HSV-2 melalui kontak oral-genital.
Transmisi dapat terjadi tidak hanya saat gejala manifestasi HSV aktif,
tetapi juga dari pengeluaran virus dari kulit dalam keadaan asimptomatis.
Puncak beban DNA virus telah dilaporkan terjadi setelah 48 jam, dengan
tidak ada virus terdeteksi di luar 96 jam setelah permulaan gejala. Secara
24
umum, gejala muncul 3-6 hari setelah kontak dengan virus, namun mungkin
tidak muncul sampai untuk satu bulan atau lebih setelah infeksi.
Manusia adalah reservoir alami dan tidak ada vektor yang terlibat dalam
transmisi. HSV ditularkan melalui kontak pribadi yang erat dan infeksi
terjadi melalui inokulasi virus ke permukaan mukosa yang rentan
(misalnya, oropharynx, serviks, konjungtiva) atau melalui luka kecil di
kulit. Virus ini mudah dilemahkan pada suhu kamar dan pengeringan.
4. Patogenesis
Infeksi virus Herpes simpleks ditularkan oleh dua spesies virus, yaitu
virus Herpes simpleks-I (HSV-1) dan virus Herpes simpleks II (HSV-2).
Virus ini merupakan kelompok virus DNA rantai ganda. Infeksi terjadi
melalui kontak kulit secara langsung dengan orang yang terinfeksi virus
tersebut. Transmisi tidak hanya terjadi pada saat gejala manifestasi HSV
muncul, akan tetapi dapat juga berasal dari virus shedding dari kulit dalam
keadaan asimptomatis.
Pada infeksi primer, kedua virus Herpeks simpleks , HSV 1 dan HSV-2
bertahan di ganglia saraf sensoris . Virus kemudian akan mengalami masa
laten, dimana pada masa ini virus Herpes simpleks inib tidak menghasilkan
protein virus, oleh karena itu virus tidak dapat terdeteksi oleh mekanisme
pertahanan tubuh host. Setelah masa laten, virus bereplikasi disepanjang
serabut saraf perifer dan dapat menyebabkan infeksi berulang pada kulit
atau mukosa.
Virus Herpes simpleks ini dapat ditularkan melalui sekret kelenjar dan
secret genital dari individu yang asimptomatik, terutama di bulan-bulan
setelah episode pertama penyakit, meskipun jumlah dari lesi aktif 100-1000
kali lebih besar.
25
Gambar 1: Herpes labialis. A. Infeksi virus herpes simpleks primer, virus bereplikasi di orofaringeal dan
naik dari saraf sensoris perifer ke ganglion trigeminal. B. Herpes simplex virus dalam fase latent dalam ganglion trigeminal
C. Berbagai rangsangan memicu reaktivasi virus laten, yang kemudian turun dari saraf sensorik ke daerah bibir atau perioral menyebabkan herpes labialis
rekuren.(Dikutip Dari Kepustakaan 2)
Herpes simplex virus sangat menular dan disebarkan langsung oleh
kontak dengan individu yang terinfeksi virus tersebut. Virus Herpes
simpleks ini dapat menembus epidermis atau mukosa dan bereplikasi di
dalam sel epitel.
Virus Herpes simpleks 1 (HSV-1) biasanya menyerang daerah wajah
(non genitalia) dan virus Herpes simpleks 2 (HSV-2) biasanya menyerang
alat kelamin. perubahan patologis sel epidermis merupakan hasil invasi
virus herpes dalam vesikel intraepidermal dan multinukleat sel raksasa. Sel
yang terinfeksi mungkin menunjukkan inklusi intranuklear.
5. Manifestasi Klinis
Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian
yang serius, karna melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal
serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi
neonatus mempunyai angka mortalitas 60%, separuh dari yang hidup,
menderita cacat neurologik atau kelainan pada mata.
26
Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis,
keratokonjungtivis, atau hepatitis; disamping itu dapat juga timbul lesi pada
kulit. Beberapa ahli kandungan mengambil sikap partus secara seksio
Caesaria, bila pada saat melahirkan sang ibu menderita infeksi ini. Tindakan
ini sebaiknya dilakukan sebelum ketubah pecah atau paling lambat enam
jam setelah ketuban pecah.
Bila transmisi terjadi pada trimester I cenderung terjadi abortus;
sedangkan bila pada trimester II, terjadi prematuritas. Selain itu dapat
terjadi transmisi pada saat intrapartum.
Infeksi HSV pada bayi baru lahir mungkin didapat selama dalam
kandungan, selama persalinan atau setelah lahir. Ibu merupakan sumber
infeksi tersering pada semua kasus. Herpes neonatus diperkirakan terjadi
pada sekitar satu dari 5.000 kelahiran setiap tahun. Bayi baru lahir
tampaknya tidak mampu membatasi replikasi dan penyebaran HSV
sehingga cenderung berkembang menjadi penyakit yang berat.
Jalur infeksi yang paling sering adalah penularan HSV bayi selama
pelahiran melalui kontak dengan lesi herpetik pada jalan lahir. Untuk
menghindari infeksi, dilakukan persalinan dengan seksio sesarea pada
perempuan hamil yang memilik herpes genital. Namun lebih banyak terjadi
infeksi HSV neonatal dari pada kasus herpes genital rekuren meskipun virus
ditemukan pada bayi cukup bulan.
Herpes neonatus dapat diperoleh pascalahir melalui pajanan terhadap
HSV-1 maupun HSV-2. Sumber infeksi mencakup anggota keluarga dan
petugas rumah sakit yang menyebarkan virus. Sekitar 75% infeksi herpes
neonatal disebabkan oleh HSV-2. Tidak tampak adanya perbedaan antara
sifat dan derajat berat herpes neonatus pada bayi prematur atau cukup bulan,
pada infeksi yang disebabkan ileh HSV-1 atau HSV-2, atau pada penyakit
ketika virus didapatkan selama persalinan atau pasca persalinan.
Infeksi herpes neonatus hampir selalu simtomatik. Angka mortalitas
keseluruhan pada penyakit yang tidak diobati adalah 50%. Bayi dengan
herpes neonatus terdiri dari tiga katagori penyakit : (1) lesi setempat di kulit,
mata dan mulut; (2) ensefalitis dengan atau tanpa terkenanya kulit setempat;
27
(3) penyakit diseminata yang mengenai banyak organ, termasuk sistem saraf
pusat. Prognosis terburuk (angka mortalitas sekitar 80%) terdapat pada bayi
dengan infeksi diseminata; banyak diantaranya mengalami ensefalitis.
Penyebab kematian bayi dengan penyakit diseminata biasanya pneumonitis
virus atau koagulopati intravaskular. Banyak yang selamat dari infeksi berat
dapat hidup dengan gangguan neurologi menetap.
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan sitologik untuk perubahan sel dari infeksi herpes virus
tidak sensitive dan tidak spesifik baik menggunakan pemeriksaan Tzank
(lesi genital) dan apusan serviks Papanicolaou dan tidak dapat diandalkan
untuk diagnosis konklusif infeksi herpes simpleks.
Jenis yang lebih tua dari pengujian virologi, tes Pap Tzanck,
mengorek dari lesi herpes kemudian menggunakan pewarnaan Wright dan
Giemsa. Pada pemeriksaan ditemukan sel raksasa khusus dengan banyak
nukleus atau partikel khusus yang membawa virus (inklusi)
mengindikasikan infeksi herpes. Tes ini cepat tapi akurat 50-70% dari
waktu. Hal ini tidak dapat membedakan antara jenis virus atau antara herpes
simpleks dan herpes zoster.
Tes kultur virus dilakukan dengan mengambil sampel cairan, dari
luka sedini mungkin, idealnya dalam 3 hari pertama manifestasi. Virus, jika
28
Gambar 9: Herpes simpleks : Sel Raksasa Berinti Banyak.
ada, akan bereproduksi dalam sampel cairan namun mungkin berlangsung
selama 1 - 10 hari untuk melakukannya. Jika infeksi parah, pengujian
teknologi dapat mempersingkat periode ini sampai 24 jam, tapi
mempercepat jangka waktu selama tes ini mungkin membuat hasil yang
kurang akurat. Kultur virus sangat akurat jika lesi masih dalam tahap blister
jelas, tetapi tidak bekerja dengan baik untuk luka ulserasi tua, lesi berulang,
atau latency. Pada tahap ini virus mungkin tidak cukup aktif.
Tes PCR yang jauh lebih akurat daripada kultur virus, dan CDC
merekomendasikan tes ini untuk mendeteksi herpes dalam cairan
serebrospinal ketika mendiagnosa herpes ensefalitis .PCR dapat membuat
banyak salinan DNA virus sehingga bahkan sejumlah kecil DNA dalam
sampel dapat dideteksi.
Tes serologi dapat mengidentifikasi antibodi yang spesifik untuk
virus dan jenis, Herpes Simplex Virus 1 (HSV-1) atau Virus Herpes
Simpleks 2 (HSV-2). Ketika herpes virus menginfeksi seseorang, sistem
kekebalan tubuh tersebut menghasilkan antibodi spesifik untuk melawan
infeksi. Adanya antibodi terhadap herpes juga menunjukkan bahwa
seseorang adalah pembawa virus dan mungkin mengirimkan kepada orang
lain.
Tes tes antibodi terhadap dua protein yang berbeda yang berkaitan
dengan virus herpes yaitu Glikoprotein GG-1 dikaitkan dengan HSV-1 dan
Glikoprotein GG-2 berhubungan dengan HSV-2.
Meskipun glikoprotein (GG) jenis tes-spesifik telah tersedia sejak
tahun 1999, banyak tes khusus nontipe tua masih di pasar. CDC
merekomendasikan hanya tipe-spesifik glikoprotein (GG) tes untuk
diagnosis herpes.
Pemeriksaan serologi yang paling akurat bila diberikan 12-16
minggu setelah terpapar virus. Fitur tes meliputi:
ELISA (immunosorbent assay enzim-link) atau Immunoblot. Tes
sangat akurat dalam mendeteksi kedua jenis virus herpes simpleks.
Biokit HSV-2 (juga dipasarkan sebagai SureVue HSV-2). Tes ini
mendeteksi HSV-2 saja. Keunggulan utamanya adalah bahwa hanya
29
membutuhkan tusukan jari dan hasil yang disediakan dalam waktu
kurang dari 10 menit. Hal ini juga lebih murah.
Western Blot Test adalah standar emas untuk peneliti dengan tingkat
akurasi sebesar 99%. Tes ini mahal, memakan waktu lama, dan tidak
tersedia secara luas sebagaimana tes lainnya.
Tes serologi herpes terutama dianjurkan untuk:
Orang yang memiliki gejala genital berulang tapi tidak ada kultur
virus negatif.
Konfirmasi infeksi pada orang yang memiliki gejala yang terlihat
herpes genital.
Menentukan jika pasangan seseorang didiagnosa menderita herpes
genital.
Orang-orang yang memiliki banyak pasangan seks dan yang perlu
diuji untuk berbagai jenis PMS (Penyakit Menular Seksual).
7. Diagnosis
Dalam kebanyakan kasus, diagnosis didasarkan pada karakteristik
tampilan klinis lesi. Diagnosis klinis dapat dibuat secara akurat ketika
beberapa karakteristik lesi vesikuler pada dasar eritema dan bersifat rekuren.
Namun, ulserasi herpes dapat menyerupai ulserasi kulit dengan etiologi
lainnya. Infeksi mukosa HSV juga dapat hadir sebagai uretritis atau
faringitis tanpa lesi kulit. Tanda-tanda dan simptom yang berhubungan
dengan HSV-II dapat sangat berbeda-beda. Ketersediaan pelayanan
kesehatan dapat mendiagnosa herpes genital dengan inspeksi visual jika
perjangkitannya khas, dan dengan mengambil sampel dari luka kemudian
mengetesnya di laboratorium. Tes darah untuk mendeteksi infeksi HSV-I
atau HSV-II, meskipun hasil-hasilnya tidak selalu jelas. Kultur dikerjakan
dengan kerokan untuk memperoleh material yang akan dipelajari dari luka
yang dicurigai sebagai herpes.
8. Pengobatan
Edukasi
30
Pasien dengan herpes genital harus dinasehati untuk menghindari hubungan
seksual selama gejala muncul dan selama 1 sampai 2 hari setelahnya dan
menggunakan kondom antara perjangkitan gejala. Terapi antiviral
supressidapat menjadi pilihan untuk individu yang peduli transmisi pada
pasangannya.
Agen Antiviral
Pengobatan dapat mengurangi simptom, mengurangi nyeri dan
ketidak nyamanan secara cepat yang berhubungan dengan perjangkitan,
serta dapat mempercepat waktu penyembuhan. Tiga agen oral yang akhir-
akhir ini diresepkan, yaitu Acyclovir, Famciclovir, dan Valacyclovir. Ketiga
obat ini mencegah multiplikasi virus dan memperpendek lama erupsi.
Pengobatan peroral, dan pada kasus berat secara intravena adalah lebih
efektif. Pengobatan hanya untuk menurunkan durasi perjangkitan.
Acyclovir menghambat aktivitas HSV 1 dan HSV-2. Pasien
mengalami rasa sakit yang lebih kurang dan resolusi yang lebih cepat dari
lesi kulit bila digunakan dalam waktu 48 jam dari onset ruam. Mungkin
dapat mencegah rekurensi.
Infeksi Primer HSV: 200 mg peroral 5 kali/hari untuk 10 hari atau
5 mg/kg/hari IV setiap 8 jam.
Herpes oral atau genital rekuren : 200 mg peroral 5 kali/hari untuk 5
hari (non-FDA : 400 mg peroral 3 kali/hari untuk 5 hari)
Supresi herpes genital : 400 mg peroral 2 kali/hari
Disseminated disease: 5-10 mg/kg IV setiap 8 jam untuk 7 hari jika
>12 tahun.
Famciclovir
Herpes labialis rekuren : 1500 mg peroral dosis tunggal pada saat
onset gejala.
Episode primer herpes Genitalis :250 mg peroral 3 kali/hari selama10
hari
Episode primer herpes Genitalis :1000 mg peroral setiap 12 jam selama
24 jam pada saat onst gejala (dalam 6 hari gejala pertama)
Supressi jangka panjang: 250 mg peroral 2kali/hari
31
HIV-positive individuals dengan infeksi HSV orolabial atau genital
rekuren : 500 mg peroral 2 kali/hari untuk 7 hari (sesuaikan dosis
untuk insufisiensi ginjal)
Supresi herpes simplex genital rekuren (pasien terinfeksi HIV): 500
mg peroral 2 kali/hari19
Valacyclovir
Herpes labialis: 2000 mg peroral setiap 12 jam selama 24 jam (harus
diberikan pada gejala pertama/prodromal)
Genital herpes, episode primer: 1000 mg peroral 2kali/hari selama 10
hari.
Herpes genital rekuren: 500 mg peroral 2 kali/hari selama 3 hari.
Suppressi herpes Genital (9 atau lebih rekurensi per tahun atau HIV-
positif): 500 mg peroral 1 kali/hari.
Herpes simplex genital rekuren , suppressi( pasien terinfeksi HIV): 500
mg peroral 2kali/hari, jika >9 rekurensi pertahun : 1000 mg peroral
peroral 1 kali/hari.
Foscarnet
HSV resisten Acyclovir: 40 mg/kg IV setiap 8-10 jam selama 10-21
hari
Mucocutaneous, resisten acyclovir: 40 mg/kg IV, selama 1 jam, setiap
8-12 jam selama 2-3 minggu atau hingga sembuh.
Topikal
Penciclovir krim 1% (tiap 2 jam selama 4 hari) atau Acyclovir krim
5% (5 kali sehari selama 5 hari). Idealnya, krim ini digunakan 1 jam setelah
munculnya gejala, meskipun juga pemberian yang terlambat juga dilaporkan
masih efektif dalam mengurangi gejala serta membatasi perluasan daerah
lesi.
32
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma gondii (Toxo), Others (HIV,
Sifilis), Rubella, Cyto Megalo Virus (CMV), Herpes Simplex Virus (HSV)
yang terdiri dari HSV1 dan HSV2 serta kemungkinan oleh virus lain yang
dampak klinisnya lebih terbatas (Misalnya Measles, Varicella, Echovirus,
Mumps, virus Vaccinia, virus Polio, dan virus Coxsackie-B).
Penyakit ini sangat berbahaya bagi ibu hamil karena dapat
mengakibatkan keguguran, cacat pada bayi, juga pada wanita belum hamil
bisa akan sulit mendapatkan kehamilan. Infeksi TORCH bersama dengan
paparan radiasi dan obat-obatan teratogenik dapat mengakibatkan kerusakan
pada embrio.
Beberapa kecacatan janin yang bisa timbul akibat TORCH yang
menyerang wanita hamil antara lain kelainan pada saraf, mata, kelainan
pada otak, paru-paru, mata, telinga, terganggunya fungsi motorik,
hidrosefalus, dan
lain sebagainya.
B. Saran
Untuk selalu waspada terhadap penyakit TORCH dengan cara
mengetahui media dan cara penyebaran penyakit ini kita dapat menghindari
kemungkinan tertular. Hidup bersih dan makan makanan yang dimasak
dengan matang. Rencanakan skrining TORCH.
33
Daftar Pustaka
1. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 volume II @ 1996 Penerbit
Buku Kedokteran EGC hal, 1204 - 1214.
2. Prof. Dr. T. H. Rampengan, SpA(K), Penyakit Infeksi Tropik pada
Anak edisi 2 @ 2005 Penerbit Buku Kedokteran EGC, hal 263 – 272
3. Sarwono Prawirohadjo, Ilmu Kebidanan edisi 3 cetakan 6 @ 2010
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, hal 572 – 574
4. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi II @ 2010 Badan
Penerbit IDAI Jakarta, hal 458 – 465
5. Griffiths PD, 2002: Emery VC. Cytomegalovirus. Dalam: Clinical
Virology. Washington: ASM Press. h.433-55
6. Akhter, Kauser dan Wills, Todd S. 2010. Cytomegalovirus.
eMedicine Infectious Disease. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/215702-overview. Diakses
29 September 2010.
7. Budipardigdo S, Lisyani. 2007. Kewaspadaan Terhadap Infeksi
Cytomegalovirus Serta Kegunaan Deteksi Secara Laboratorik.
Universitas Diponegoro: Semarang
8. Marino T, B Laartz, SE Smith, SG Gompf, K Allaboun, JE Marinez,
et al. 2010. Viral Infections and Pregnancy. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/235213-overview. Diakses
pada 28 September 2010
9. Schleiss, M.R., 2010. Cytomegalovirus Infection: Treatment &
Medication. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/963090-treatment. Diak
ses pada 29 September 2010
10. Kim CS. 2010. Congenital and Perinatal Cytomegalovirus Infection.
Korean Journal of Pediatrics. 53(1): 14-20.
11. Wiknojosastro H. , Saifudin B. A. dan Rachimhadhi T., Ilmu
Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Edisi 3
cetakan Kesembilan. Jakarta 2007.
34
12. Muchlastriningsih E. Pengaruh Infeksi TORCH terhadap
Kehamilan .Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan
Penyakit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran 2006
.(151).
13. Infeksi dalam kehamilan http://spesial-torch.com/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=129
14. Judarwanto W. Infeksi TORCH Pada kehamilan : Bahaya bagi Janin
dan Pentingnya Pemeriksaan Laboratorium Saat Kehamilan
http://koranindonesiasehat.wordpress.com/2009/12/03/infeksi-torch-
pada-kehamilan-bahaya-bagi-janin-dan-pentingnya-pemeriksaan-
laboratorium-saat-kehamilan/
15. Infeksi dalam kehamilan http://spesial-torch.com/index2.php?
option=com_content&do_pdf=1&id=129
35