Diktat Virologi
-
Upload
ida-ayu-sinthia-pradnyaswari -
Category
Documents
-
view
254 -
download
6
description
Transcript of Diktat Virologi
BAB I
REPLIKASI VIRUS
Virus merupakan parasit obligat intraseluler dimana dalam replikasinya sangat
bergantung pada system metabolisme sel inang. Pengetahuan mengenai replikasi virus
saat ini sangat rinci dan terus berkembang, sehingga kini kita ketahui bahwa setiap
keluarga virus memiliki strategi replikasi yang unik, dan untuk mengetahui strategi
replikasi tersebut dapat dilakukan dengan mempelajari siklus replikasi virus melalui
One Step Growth curve (pola pertumbuhan satu langkah)
Gambaran unik perkembangbiakan virus adalah segera setelah interaksi
dengan sel inang, virion yang menginfeksi dirusak dan infektivitas virus yang dapat
diukur hilang. Fase siklus pertumbuhan ini disebut fase eklipsis, lamanya bervariasi
tergantung pada virus maupun sel inang. Fase ini diikuti oleh interval kecepatan
akumulasi dari keturunan partikel virus yang infeksius. Fase eklipsis sesungguhnya
merupakan satu dari aktivitas sintesis intensif karena sintesis sel dialihkan untuk
memenuhi kebutuhan virus. Pada beberapa kasus segera setelah asam nukleat virus
memasuki sel inang, metabolisme seluler dialihkan secara eksklusif kepada sintesis
partikel virus baru dan sel akan dirusak.
One step growth curve merupakan kajian klasik, seluruh sel di dalam biakan
ditulari secara bersamaan menggunakan infeksi keberagaman yang tinggi, selanjutnya
dilakukan pengamatan terhadap peningkatan jumlah virus menular sepanjang waktu
melalui penghitungan titer, kemudian dititrasi secara berurutan. Virus yang bebas di
dalam media dapat dititrasi secara sepihak dari virus yang tetap terikat sel. Segera
sesudah infeksi, virus yang diinokulasikan “menghilang”, partikel menular tidak dapat
dideteksi pada media (intrasel). Fase eklipsis ini berlanjut sampai virion turunan
pertama dapat dideteksi beberapa jam kemudian. Masa eklipsis biasanya berkisar
1
antara 3 sampai 12 jam untuk virus dari berbagai famili. Diketahui bahwa fase
eklipsis Orthomyxoviridae adalah 4 jam.
Kajian awal yang bergantung atas pengujian virion menular secara kuantitatif
dengan mikroskop elektron dan uji virion menular, memberikan informasi tentang
peristiwa awal dan akhir dari siklus replikasi (pelekatan, penembusan, pendewasaan
dan pelepasan) tetapi tidak mengenai apa yang terjadi pada fase eklipsis. Penyidikan
mengenai ekspresi dan replikasi genom virus dimungkinkan hanya dengan pengenalan
metode biokimia untuk menganalisis asam nukleat virus dan protein, dan kini semua
teknik biologi molekuler yang canggih sudah digunakan untuk memecahkan masalah
ini. Tujuan akhir dari one step growth curve adalah untuk mengukur waktu yang
diperlukan dari replikasi virus hingga keluarnya virus per sel selama putaran infeksi
setahap.
Peristiwa yang terjadi selama fase eklipsis meliputi :
1.1 Transkripsi
Setelah proses adsorbsi, penetrasi dan uncoating berjalan sempurna, partikel
infeksius virus tidak dapat ditemukan pada biakan infeksi. Ketidakmampuan
dalam mendeteksi virus infeksius ini merupakan tanda dimulainya masa
eklipsis dari replikasi virus. Masa eklipsis ini akan berakhir saat pelepasan
(release) turunan virus baru ke luar sel.
Transkripsi merupakan fase sintesis dalam siklus replikasi virus yang terjadi
setelah pelepasan selubung genom. Bagian utama dalam replikasi virus adalah
mRNA harus ditranskripsikan dari asam nukleat virus demi keberhasilan
ekspresi dan duplikasi informasi genetik.
2
Berbagai kelompok virus menggunakan jalur yang berbeda dalam mensintesis
mRNA, bergantung atas struktur asam nukleat virus. Pada virus RNA sangat
unik karena informasi genetik yang dimilikinya tersandi dalam RNA. Virus
ssRNA berpolaritas negatif, pertama kali harus ditranskripsi menjadi mRNA
dan membawa polimerase RNA-tergantung-ssRNA dalam virionnya.
Orthomyxovirus mempunyai polimerase RNA untuk mensintesis mRNA.
Genom virus RNA berpolaritas negatif perlu ditranskripsikan ke dalam mRNA
berpolaritas positif (ekivalen mRNA) sebelum dimulai proses sintesis protein
virus. Pada Orthomyxovirus, mRNA berpolaritas positif (+mRNA) direkam
(disalin) dari masing-masing segmen.
RNA virus berpolaritas negatif (Orthomyxovirus) akan mensintesis RNA
pelengkap berpolaritas positif, dan polimerase RNA melibatkan transkriptase
terkait-virion serupa yang digunakan untuk mentranskripsi primer dari mRNA.
Namun, sebagian besar transkrip dari RNA virus seperti itu merupakan
molekul RNA subgenom, sehingga beberapa untai penuh berpolaritas positif
juga dibuat, agar bertindak sebagai cetakan untuk sintesis RNA virus
(replikasi).
Beberapa molekul RNA virus dapat ditranskripsi secara sinambung dari satu
cetakan RNA pelengkap. Setiap transkrip RNA merupakan hasil dari molekul
polimerase yang terikat secara terpisah. Struktur yang dihasilkan, dikenal
sebagai perantara replikatif, sebagian darinya merupakan untai-ganda, dengan
ekor untai-tunggal.
3
1.2.Translasi
Setelah proses transkripsi tercapai, virus menggunakan komponen sel untuk
mentranslasikan mRNA. Selama replikasi virus, semua makromolekul khusus
virus disintesis dalam urutan yang sangat teratur.
Transkripsi mRNA virus berguna untuk translasi protein virus (NP dan NS1)
sedangkan translasi mRNA hospes diblok. Sintesis RNA virus berguna
sebagai cetakan transkripsi kedua mRNA virus sehingga dihasilkan M1, HA,
dan NA. Selanjutnya HA dan NA menuju permukaan sel dan menyatukan diri
dengan membran sel.
Rantai RNA pendek berpolaritas negatif ditranslasikan ke dalam beberapa
protein virus dan proses itu memerlukan enzim untuk pembentukan partikel
virus baru, sedangkan RNA rantai penuh berpolaritas positif berfungsi sebagi
template untuk pembentukan progeni. RNA berpolaritas negatif yang
berakumulasi dan dapat sekaligus digunakan sebagai template untuk
penambahan RNA rantai pendek berpolaritas positif, hal itu nantinya
dibutuhkan untuk sintesis struktur protein dan polimerase virus yang akan
digabungkan dalam partikel progeni.
Kebanyakan protein virus mengalami beragam modifikasi pasca translasi,
seperti fosforilasi (untuk pengikatan asam nukleat), asilasi asam lemak (untuk
penyisipan membran), glikosilasi, atau penyibakan proteolitik. Protein virus
yang baru disintesis harus diangkut ke berbagai lokasi di dalam sel tempat
mereka diperlukan.
4
1.3 Replikasi Asam Nukleat
Tempat di dalam sel (intrasel) yang menjadi ajang berlangsungnya berbagai
peristiwa replikasi virus berbeda antar kelompok virus. 5anilla5 RNA terjadi
di nukleus, sedangkan 5anilla5 partikel virus 5anilla terjadi di sitoplasma.
Virus RNA berpolaritas negatif dari keluarga orthomyxoviridae memiliki
genom bersegmen, tiap segmen ditranskripsi oleh transkriptase yang ada di
dalam virion untuk menghasilkan Mrna. Mrna akan ditranslasi menjadi satu
protein atau lebih. Khusus pada orthomyxovirus, kebanyakan segmen
menyandi protein tunggal.
Proses replikasi RNA merupakan fenomena yang unik untuk virus. Transkripsi
RNA dari cetakan RNA memerlukan enzim polimerase RNA tergantung-
RNA. Enzim itu merupakan enzim tersandi-virus yang tidak ditemukan pada
sel yang terinfeksi. Pada proses awal replikasi virus RNA diperlukan sintesis
dari RNA pelengkap, yang selanjutnya bertindak sebagai cetakan untuk
membuat lebih banyak RNA virus.
5
BAB II
EPIDEMIOLOGI INFEKSI VIRUS
Epidemiologi adalah kajian mengenai penentu (determinan), dinamika dan
penyebaran penyakit pada populasi. Resiko infeksi penyakit pada seekor hewan atau
pada populasi hewan ditentukan oleh :
1. Sifat virus, misalnya keragaman antigenik
2. Inang dan populasi inang, misalnya kekebalan bawaan dan kekebalan
perolehan.
3. Lingkungan dan ekologi.
Epidemiologi dapat dipandang sebagai bagian dari biologi lingkungan yang berusaha
menggabungkan berbagai faktor itu menjadi satu kesatuan.
Kajian epidemiologi juga efektif untuk :
1. memastikan peran virus dalam etiologi penyakit
2. memahami interaksi virus dengan penentu lingkungan dari penyakit
3. menentukan faktor yang mempengaruhi kerentanan inang
4. memahami cara penularan virus
5. pengukuran skala besar dari vaksin dan obat.
6
2.1 Penggunaan Data dalam Epidemiologi
Tingkat Kejadian
Kejadian adalah ukuran dari frekuensi dalam suatu waktu. Misalnya tingkat
kejadian bulanan atau tahunan dan sangat penting artinya untuk penyakit akut dalam
waktu singkat.
Untuk infeksi akut, ada tiga parameter dalam menentukan tingkat kejadian infeksi:
1. Proporsi hewan yang rentan
2. Proporsi hewan rentan yang terinfeksi
3. Persentase hewan terinfeksi yang menjadi sakit
Proporsi hewan pada populasi yang rentan terhadap virus tertentu menunjukan
riwayat pendedahan terdahulu terhadap virus dan jangka waktu imunitas. Proporsi
hewan rentan yang terinfeksi selama setahun atau satu musim dapat sangat beragam,
ditentukan oleh faktor seperti jumlah dan kerapatan, infeksi arbovirus dan populasi
vektor. Dari jumlah hewan yang terinfeksi, hanya beberapa yang mudah diketahui .
Tingkat Kejadian = jumlah kasus x 10n
__________________ pada periode tertentu
Populasi yang riskan
Keterangan : 10n = 1000, 100.000, 1000.000, dst nya.
7
Prevalensi
Adalah gambaran kilat dari frekuensi suatu penyakit, yang berlaku pada suatu
saat tertentu. Ini merupakan fungsi dari kejadian dan jangka waktu penyakit.
Seroprevalensi berkaitan dengan proporsi hewan dalam populasi yang mempunyai
antibodi terhadap virus tertentu. Karena antibodi penetral seringkali tetap ada sampai
beberapa tahun, maka tingkat seroprevalensi dapat menunjukkan pengalaman
kumulatif terpapar virus.
Tingkat Prevalensi = Jumlah kasus x 10n
___________________ pada saat tertentu
Populasi yang riskan
Tingkat Kematian
Kematian karena penyakit dapat dikatagorikan dalam dua bentuk :
1. Angka kematian spesifik-penyebab.
Jumlah kematian karena penyakit pada tahun tertentu, dibagi dengan
keseluruhan populasi pada pertengahan tahun. Biasanya dinyatakan per
100.000.
2. Angka fatalitas-kasus.
Persentase hewan penderita penyakit tertentu yang mati karena penyakit itu
sendiri.
2.2 Sumber Data
Sumber data dipengaruhi oleh :umur, jenis kelamin, genetik, status imun, gizi,
dan berbagai parameter prilaku. Yang paling luas berpengaruh adalah umur, yang
8
mana dapat mengacaukan status imunologi dan berbagai peubah fisiologi. Pengupulan
data yang cermat tetang terjadinya penyakit adalah cukup sulit. Bahkan data untuk
denominator, yaitu populasi keseluruhan seringkali tidak tersedia. Yang ada hanya
informasi mengenai jumlah kasus.
2.3 Istilah – Istilah dalam Epidemiologi
Endemik
Pada hewan dipakai istilah enzootik, yaitu suatu penularan penyakit yang
mengakibatkan terjadinya penyakit secara berkesinambungan pada populasi disuatu
daerah terbatas selama periode waktu tertentu.
Epidemik
Pada hewan dipakai istilah epizootik, yaitu puncak dari kejadian penyakit
yang melampaui batas endemik atau tingkat penyakit yang diperkirakan.
Besarnya puncak yang diperlukan untuk membentuk epizootik hanya berdasarkan
perkiraan saja dan dikaitkan dengan latar belakang tingkat enzootik, seperti angka
morbiditas (angka kesakitan) dan pengetahuan bahwa penyakit timbul karena tingkat
keganasannya. Sebagai contoh penyakit Newcastle tipe velogenik pada unggas dapat
dianggap sebagai enzootik, sedangkan sejumlah kecil kasus bronkitis menular tidak
dianggap sebagai enzootik.
Pandemik
9
Pada hewan dipakai istilah panzootik, yaitu epizootik yang terjadi diseluruh
dunia. Seperti panzootik parvovirus anjing yang terjadi diseluruh dunia diawal tahun
1980-an.
Masa Inkubasi
Adalah jangka waktu antara infeksi dgn mulai terjadinya gejala klinis
penyakit. Pada banyak penyakit, sperti influenza unggas, masa inkubasi sangat
singkat, kurang lebih hanya sehari akan muncul gejala klinis. Hewan yang terinfeksi
akan mengeluarkan virus dan tetap menular dalam jangka waktu tertentu. Periode
kemenularan (infektifitas), tergantung pada macam penyakitnya.
Infektifitas biasanya singkat pada penyakit akut dan sangat lama pada infeksi kronis.
Sebagai contoh pada infeksi lentivirus seperti infeksi virus imunodefisiensi kucing,
masa inkubasinya berlangsung sampai tahunan, tetapi hewan yang terinfeksi bersifat
menular jauh sebelum munculnya gejala penyakit. Pada infeksi yang demikian,
tingkat penularanya munkin rendah, tapi karena masa menularnya sedemikian lama,
virus dengan mudah dipertahankan dalam populasi.
2.4 Tipe Penyidikan Epidemiologi
Penyidikan atas penyebab
Metode epidemiologi digunakan untuk menentukan kejadian dan prevalensi
penyakit menular, hubunga antara penyebab dan pengaruh dan evaluasi atas
faktor resiko penyakit yang meliputi kajian seksi – silang , kajian
pengendalian kasus dan kajian prospektif (kohort).
10
Kajian seksi-silang
Dapat dilakukan dengan cepat dan menyajikan data tentang prevalensi
penyakit tertentu pada populasi.
Kajian pengendalian kasus
Penyidikan dimulai setelah penyakit berjangkit dan diupayakan untuk
mengidentifikasi penyebabnya. Jadi ini adalah kajian retrospektif. Keuntungan
dari kajian retrospektif ini adalah dapat dimanfaatkannya data yang ada dan
biaya pelaksanaanya murah.
Kajian prospektif
Penyidikan dimulai dengan adanya perkiraan penyebab penyakit dan populasi
yang terpapar oleh virus. Penyebab yang diperkirakan itu dipantau untuk
adanya bukti penyakit.
Tipe kajian ini memerlukan pembuatan data baru dan pemilihan kelompok
kontrol yang semirip mungkin dengan kelompok terpapar, kecuali tidak ada
kontak dengan virus penyebab yang diperkirakan itu.
Kajian prospektif, tidak menghasilkan analisis yang cepat, karena hasil harus
diikuti sampai penyakit dapat diamati , seringkali dalam jangka waktu lama
sehingga menyebabkan kajian ini mahal. Namun, bila kajian prospektif
berhasil dengan baik, pembuktian hubungan penyebab dan pengaruhnya tidak
dapat dibantah.
11
Kajian epidemiologi lain yang digunakan untuk mengetahui manfat vaksin
atau obat, disebut kajian sentinel.
Kajian sentinel
Dapat digunakan untuk mempelajari secara luas prevalensi dari infeksi
arbovirus. Bila digunakan untuk mengevalasi vaksin atau obat, kajian jangka
panjang itu mempunyai keuntunan yaitu menyangkut semua peubah yang
berpengaruh pada sitem peternakan secara keseluruhan.
2.5 Infeksi Menetap
Pada infeksi virus akan terjadi penyebaran virus baik secara local maupun
secara sistemik. Perkembangan dan penyebaran virus akan mengakibatkan pentakit
akut dan berakhir dengan kematian atau kesembuhan dengan musnahnya virus dari
dalam tubuh. Tetapi beberapa virus dapat bertahan sampai beberapa bulan bahkan
beberapa tahun yang dapat menyebabkan penyakit dikemudian hari misalnya,
penyakit distember anjing. Herpes virus bahkan dapat mengakibatkan infeksi yang
bertahan seumur hidup inveksi ini disebut dengan infeksi menetap.
Infeksi menetap akan mengakibatkan :
1. Berfungsi sebagai karier sehingga memungkinkan virus tetap ada dalam
populasi walaupun dengan intekvititas yang rendah.
2. Infeksi dapat aktif kembali menjadi penyakit akut
3. dapat mengakibatkan penyakit imunopatologi
4. Dapat mengakibatkan neoplasma
Infeksi menetap dapat dikelompokan menjadi 3 kategori :
12
1. Infeksi laten
2. Infeksi kronis
3. Infeksi lambat
1. Infeksi Laten
Suatu infeksi dimana virus menular tiadk dapat diamati kecuali apabila terjadi
pengaktifan kembali. Infeksi Laten biasanya terjadi setelah kesembuahn
hewan dari suatu penyakit namun virus masih bertahan dalam beberapa organ
tubuhnya.
Contohnya :
- Pada penyakit Rhinotracheitis sapi
Virion dari virus berpndah ke ganglion otak atau sumsum tulang
belakang. Gerakan virus secara berkala diaktifkan kemabali dan
kemudian virus menular terbentuk dan berpindah sepanjang saraf
sensoris sampai mencapai membran mukosa hidung atau kulit dengan
disertai pengeluaran virus
- Herpes virus
- Pseudorabies
2. Infeksi Kronis
Suaru kejadian dimana virus menular selalu dapat diamati dan sering kali
dikeluarkan walaupun penyakitnya sendiri tidak dapat diamati.
Contoh penyakit virus yang bersifat kronis :
- Penyakit mulut dan kuku
- Demam babi Afrika
- Ensepalitis anjing setelah diserang distemper
13
- Virus korela babi
3. Infeksi Lambat
Adalah suatu infeksi virus menular yang secara berangsur-angsur meningkat
selama fase praklinis yang sangat panjang dan pada akhirnya mengakibatkan
penyakit yang mematikan.
Contoh :
- Infeksi lenti virus
- Ensepalopan virus spongioporm sub akut
14
BAB III
ONKOGENESIS VIRUS
3.1 Onkologi
Adalah ilmu yang mempelajari mengenai Tumor. Tumor dapat dibedakan menjadi :
1. Tumor Tenang
Adalah pertumbuhan yang disebabkan olehperbanyakan sel tidak semetinya,
yang tetap terbatas dan tidak menyerang jaringan sekitarnya
2. Tumor Ganas
Merupakan perbanyakan sela yang tidak semestinya, yang biasanya menyebar
secara local mungkin bersifat metastasis yaitu dapat menyebar keseluruh
bagian tubuh melalui pembuluh darah atau system limfe. Tumor ganas sering
disebut kanker. Tumor ganas bersal dari sel epitel disebut Kasinoma, yang
berasal dari sel masenkin → sarcoma. Dan yang bersal dari leukosit →
limfoma (Jika hanya terdiri dari sel-sel tumor) atau leukemia (Jika sel yang
beredar terlibat).
3.2 Onkogenesis
Tumor dirangsang oleh perubahan salah satu, dari banyak gen yang mengatur
pertumbuhan asam pembelahn sel.
Perubahan secara genetis mungkin disebabkan oleh :
- Bahan kimia
- Fisik
- Virus tertentu
Proses perkembangan dari tumor disebut dengan Ongkogenesis atau tumorgenesis
atau karsinogenesis
15
Onkogen adalah setiap elemen genetic yang terkait dengan pertumbuhan tumor.
3.3 Transformasi Sel
Virus onkogen sangat mengubah sifat pertumbuhan dari biakan sel dan proses
ini disebut dengan transformasi sel yang secara invito sama denagn pembentukan
tumor. Transformasi oleh virus DNA biasanya tidak produktif yaitu sel yang
bertransformasi tidak menghasilkan virus turunan yang menular sedangkan
taransformasi oleh retrovirus sering bersifat produktif DNA virus atau provirus pada
sel yang bertransformasi terintergrasi ke dalam DNA sel, kecuali pada kasus DNA
papiloma virus dan herves virus yang tetap bersifat episoma
Sel yang bertranformasi dalam banyak hal akan berbeda denagn sel normal.
Salah satu perubahannya adalah kehilangan kendali untuk pertumbuhan sel. Sel
tersebut akan memiliki kemampuan untuk berbelah secara tanpa batas.
Sifat-sifat sel yang bertransformasi secara invito oleh virus :
1. Terdapat urutan DNA virus yang terpadukan dalam DNA sel atau sebagai
episom
2. Berpotensi tumbuh lebih besar
3. Morfologi selnya mengalami perubahan
4. Metabolisme sel berubah
5. Kromosom tidak normal
6. Terdapat antigen terkait tumor spesifik virus
7. Mempunyai kemampuan untuk menghasilkan neoplasma ganas ketika
diinokulasikan dengan hewan yang bergenetik sama atau hewan yang
memiliki penekan imun yang hebat
Tumor ganas atau sel yang bertransformasi menghasilkan antigen yang khas disebut
Antigen terkait Virus
Contoh virus yang dapat merangsang tumor pada hewan piara atau hewan
laboraturium
- Virus DNA
F Papovavirdae :
Polyomarivus : Tumor masif pada hewan pengerat baru lahir
Papilomavirus : Tumor masif pada hewan pengerat baru lahir
Adenovirus : Tumor masif pada hewan pengerat baru lahir
F Hepadnaviridae : Karsinoma hati pada inang alami
16
F Herpesviridae
Alphaherpesviridae : Virus penyakit marek (limfoma)
Rhadinovirus : Limfoma, leukimia pada primata
F Poxviridae
Leporipoxvirus : fibroma kelinci
- Virus RNA
Retroviridae : Virus leukemia sapi
Kelompok HTLV-BLV : virus leukemia sapi
Tipe mamalia : virus leukemia pada kucing
Tipe unggas : virus leukemia pada unggas
BAB IV
17
DASAR-DASAR DIAGNOSIS PENYAKIT VIRUS
Diagnosis penyakit virus sangat bermanfaat dalam penentuan :
Penyakit eksotiki
Penyakit zoonosis
Penyidikan kesehatan veteriner
Manajemen klinis yang ditentukan dengan diagnosis yang tepat
Inseminasi buatan, transfer embrio dan transfusi darah
Surat keterangan bebas dari infeksi tertentu
Program pengujian dan pengeluaran
4.1 Pengumpulan, Pengemasan dan Pengiriman Sediaan
Sebagai tindakan awal dari diagnosis diperlukan pengetahuan, perawatan dan
perhatian dari dokter hewan yang mengambil sediaan atau spesimen. Spesimen harus
diambil dari tempat dan waktu yang tepat. Waktu yang tepat adalah secepat mungkin
setelah mulainya gejala klinis karena virus biasanya terdapat dalam jumlah yang
banyak dan akan menurun pada hari-hari berikutnya.
Tempat pengambilan spesimen dipengaruhi oleh gejala klinis dan pemahaman
patogenesis dari penyakit yang dicurigai. Spesimen harus diberi tanda dan dikirim
kelaboratorium, dengan diberi keterangan dan diagnosis sementara. Apabila
pengiriman kurang dari satu hari maka spesimen dikirim dalm kotak berisolasi yang
diisi dengan bongkah es atau bungkus pendingin dengan temperatur 4oC. Pengiriman
yang memerlukan waktu lebih dari satu hari harus menggunakan es kering dengan
temperatur -70oC.
Spesimen yang tepat untuk diagnosis laboratorium dari berbagai gejala klinis
suatu hewan seperti tabel dibawah ini :
18
Gejala Spesimen
Pernapasan Usapan hidung, tenggorokan, sedotan nasofaring
Pencernaan Tinja
Kelamin Usapan kelamin
Mata Usapan konjungtiva
Kulit Usapan atau kerokan vesikel, biopsi lesi padat
Sistem saraf pusat Cairan serebrospinalis, tinja dan usapan hidung
Umum Usapan hidung, tinja, leukosit darah
___________________________________________________________________________
4.2 Metode Diagnosis Virus
Diagnosis infeksi virus pada hewan meliputi :
1. Pengujian adanya virus menular, antigen virus atau urutan gen virus.
2. Pengujian adanya antibodi virus yang spesifik.
Untuk mendeteksi virus, antigen virus atau asam nukleat virus dapat dilakukan
dengan berbagai cara uji laboratorium. Uji laboratorium harus memenuhi lima kriteria
yaitu : cepat, sederhana, sensitif, spesifik dan murah. Beberapa cara deteksi virus
adalah:
1. Deteksi Virion dengan mikroskop elektron.
2. Deteksi Antigen Virus dengan :
Uji Imunosorben terkait Enzim (ELISA)
Radioimunoasai
Imunofluoresensi
Pewarnaan imunoperoksidase
19
Presipitasi
Fiksasi komplemen
3. Deteksi Asam Nukleat Virus dengan :
Reaksi rantai polimerase (PCR)
Masing-masing uji laboratorim diatas mempunyai keuntungan dan kekurangan seperti
tertera dalam tabel dibawah ini :
Metode diagnostik Keuntungan Kerugian
Isolasi virus Memungkinkan kajian agen Lambat, makan waktu
Lebih jauh; biasanya sangat mungkin sulit; tidak
sensitif; gampang diperoleh berguna bagi virus yang
tidak berdaya hidup;
pemilihan tipe sel,dll,
mungkin sangat penting
artinya.
Observasi langsung dengan Cepat; mendeteksi virus biayanya mahal, karena
mikroskop elektron yang tidak mampu itu mungkin tidak tersedia;
termasuk mikroskop diisolasi; mendeteksi virus relatif tidak sensiif,
imunoelektron yang tidak berdaya hidup terbatas pada beberapa
infeksi virus
Indentifikasi serologi dari Cepat dan sensitif; Tidak dapat diterapkan
Virus atau antigen memberikan informasi pada semua virus; penaf-
Misalnya, ELISA tentang serotipe; gampang sirannya mungkin sulit
diperoleh, seringkali
20
berupa kit diagnostik
Pelacak (probe) asam Cepat; sangat sensitif, Mungkin tidak gampang
nukleat (dengan atau khususnya setelah PCR; diperoleh; risiko terce-
tanpa pengadaan gen dapat diterapkan pada marnya DNA pada PCR
dengan PCR) semua virus
Pengenalan patalogi sel Cepat, gampang diperoleh Terbatas pada beberapa
dengan mikroskop biasa infeksi virus
Perimbangan antibodi Berguna dalam mengaitkan Lambat, penafsiran
(serum akut dan kasus dengan wabah terlambat (retrospektif)
kesembuhan) penyakit mungkin sulit
4.3 Isolasi Virus
Isolasi virus masih merupakan ”standar emas” sebagai pembanding bagi
metode diagnosis yang baru. Isolasi virus merupakan satu-satunya metode yang dapat
mendeteksi, mengidentifikasi virus yang tidak diketahui sebelumnya, bahkan
menemukan agen yang sepenuhnya baru. Pada laboratorium dengan peralatan
canggih, kadang-kadang juga dilakukan inokulasi biakan sel dalam upaya mengisolasi
virus walaupun diperlukan waktu berminggu-minggu dengan biaya yang cukup
mahal. Pada labratorium penelitian dan rujukan, isolasi virus sangat diperlukan untuk
menyediakan materi bagi kajian lebih mendalam.
Spesimen untuk inokulasi makin cepat dikerjakan akan makin baik hasilnya.
Apabila spesimen tertunda lebih dari satu hari hendaknya disimpan pada suhu -700C.
Spesimen usapan diolah dengan mengaduknya dalam medium pengangkut, tinja
21
dengan diaduk berputar dan spesimen organ/jaringan dicincang halus dan
dihomogenkan pada centrifuge. Sebelum diinokulasikan, untuk menghilangkan
bakteri dan jamur pencemar disaring dengan membran dengan diameter pori 0,45
mikron atau dengan dengan penembahan antibiotika. Inokulum hendaknya
dipertahankan pada suhu 4oC sampai isolasi siap dilakukan.
Pertumbuhan Virus pada Biakan Sel
Setelah dilakukan inokulasi/penanaman virus pada biakan sel, diinkubasikan
pada suhu 35o-37oC dan diamati pengaruh merusak sel nya (sitopati) setiap hari.
Kecepatan sitopati tidak sama untuk setiap virus. Bila sitopati diragukan dilakukan
penyepihan ke dua atau bahkan ketiga. Sitopati selalu dibandingkan dengan kontrol.
Kecepatan dan penampakan dari sitopati, digabungkan dengan keterangan kasusnya
maka dapat ditegakan diagnosisnya.
Pertumbuhan Virus pada Hewan Laboratorium
Isolasi virus banyak dilakukan pada telur ayam bertunas dan jarang dilakukan
pada anak mencit. Inokulsi intra amnion pada embrio ayam merupakan metode yang
paling sensitif untuk mengisolasi virus influenza dan beberapa virus unggas lainnya.
Spesies inang alami, khususnya hewan muda yang rentan dan bebas antibodi
(misalnya : pedet, anak babi dan anak ayam), dapat digunakan untuk isolasi virus
yang belum dapat dibiakkan secara in vitro, tetapi terbatas pada studi patogenesis atau
pengujian vaksin, mengingat terjadinya infeksi yang serius bila diagnosisnya meleset.
Identifikasi Isolat Virus
22
Virus yang baru diisolasi dikelompokan kedalam keluarga tertentu dan
kadang-kadang kedalam suatu genus atau spesies, berdasarkan pada temuan klinis,
tipe sel yang menghasilkan isolat virus dan hasil dari pertumbuhan virus. Tetapi
identifikasi yang pasti, tergantung kepada penentuan sifat antigen dengan antiserum
yang telah diketahui, dengan menggunakan teknik yang mirip dengan identifikasi
langsung dari virus pada bahan pemeriksaan klinis. Setelah digolongkan kedalam
keluarga tertentu (misalnya Adenoviridae), misalnya dengan teknik ELISA,
selanjutnya ditentukanspesies atau serotipenya (misalnya Adenovirus anjing).
Teknik identifikasi saat ini sangat beragam. Tiap laboratorium dapat memilih
prosedur yang disukai berdasarkan pertimbangan kesensitifan, kespesifikan,
kecepatan, kenyamanan dan kemampuan biaya.
Prosedur virologi utama yang digunakan dalam virologi
Teknik Prinsip
_____________________________________________________________________
Imunoasai enzim Antibodi berikatan pada antigen; anti Ig-
G berlabel-enzim berikatan dengan
antibodi; substrat berubah warna.
Radioimunoasai Antibodi berikatan dengan antigen;anti-
lgG berlabel-radioaktif berkaitan dengan
antibodi dan dapat dihitung.
Western blot Virus dihancurkan; protein dipisahkan
dengan elektroforesis gel poliakrilamid,
23
dipindahkan (blotted) ke dalam membran
nilon; antiserum berikatan dengan protein
virus; anti-lgG berlabel berkaitan pada pita
tertentu; ditunjukan oleh ELIZA atau
autoradiografi.
Panetralan virus Antibodi menetralkan kemenularan
virion; menghabat sitopalogi, mengurangi
plak, atau melindungi hewan.
Hambatan hemaglutinasi Antibodi menghambat hemaglutinasi
virus.
Imunofluoresensi Antibodi berkaitan dengan antigen pada
sel yang difiksasi; berkaitan dengan anti-
lgG berlabel –fluorensein; berpendar fluor
dengan mikroskop uv.
Imunodifusi Antibodi dan antigen terlarut
menghasilkan garis presipital yang dapat
dilihat pada gel.
_____________________________________________________________________
24
Antibodi monoklonal dengan spesifisitas yang telah diketahui, memungkinkan
diagnosis dilakukan secara cepat, spesifik, bahkan sampai tingkat sub tipe, galur atau
varian.
Hemaglutinasi dan Penghambatan Hemaglutinasi.
Virion dari beberapa virus dapat berikatan dengan sel darah merah dan
menyebabkan hemaglutinasi. Bila antibodi spesifik dan virus dicampur sebelum
ditambahi sel darah merah, hemaglutnasi dapat dihambat. Uji penghambatan
hemaglutinasi ternyata sensitif (kecuali untuk toga virus) dan sangat spesifik
karenadapat mengukur antibodi yang berikatan dengan protein permukaan yang
paling gampang mengalami perubahan antigenik. Disamping itu uji ini sederhana,
murah, dan cepat sehingga menjadi pilihan untuk mengidentifikasi isolat dari virus
yang menyebankan hemaglutinasi.
BAB V
INAKTIVASI VIRUS
Beberapa bahan antivirus dapat digolongkan menjadi :
1. Bahan Nukleotropik
25
2. Bahan Proteotropik
3. Bahan Lipotropik
4. Bahan tidak selektif (bersifat umum)
5.1 Bahan Nukleotropik antara lain :
- Sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 2600A
- Formalin
- Asam nitrat
- Hidroksilamin
5.2 Bahan Proteotropik antara lain :
- Sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 2350 A
- Suhu panas
- PH asam
- Enzim proteotropik seperti tripsin
5.3 Bahan Lipotropik antara lain :
- Berbagai bahan pelarut lemak (ether, alkohol, kloroform, garam
empedu dan lipase)
5.4 Bahan yang tidak selektif meliputi :
- Sinar X
- Bahan pengakil (etilen oksida, formalidehid dan glutaraldehid)
- Reaksi fotodinamik
26
Sifat-sifat dari bahan-bahan tersebut diatas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Suhu dan Tempratur
Sebagian besar virus`sangat labil dan dapat hidup diluar tubuh induk semang
hanya beberapa jam. Di dalam laboraturium harus diusahakan agar suspensi
virus dan jaringan tubuh yang mengandung virus secepatnya disimpan pada
suhu -40oC atau akan lebih bagus pada suhu -70oC. Beberapa virus ada yang
atabil pada tempratur kamar dapat hidup dalam waktu yang cukup lama.
Misalnya, virus Pox dan virus Entero.
pengawetan virus`yang terbaik adalah melalui proses pengeringan dalam
keadaan beku, yang disebut dengan freeze drying. Kebanyakan virus dapat
disimpan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun pada ampul gelas hama udara
dalam nitrogen cair (-196oC), atau pada suhu -70o C sampai -90oC.
Material penyakit yang mengandung virus`harus ditempatkan dalam tabung
tertutup kedap udara bila didinginkan dengan CO2 padat (es kering) untuk
menghindari perusakan virus oleh gas CO2 . sejumlah virus dapat diinaktifkan
oleh proses pembekuan pencairan (feezing-thawing).
Sebagian besar virus dapat diinaktifkan pada suhu 56oC selama 30 menit atau
100oC selam beberapa detik karena terjadi proses denaturasi proses virus.
Perbedaan ketahanan terhadap suhu panas dipakai sebagai patokan dalam
mengklasifikasikan virus.
27
Penambahan garam yang mengandung kation bivalen atau sedikit protein
dapat meningkatkan kestabilan virus terhadap tempratur yang tinggi
2. Perubahan pH
Secara umum sebagian besar virus tetap vidup pada pH 5-9. akan tetapi virus
akan cepat rusak atau inaktif pada pHyang terlalu asam atau terlalu basa.
Beberapa perkecualian sepertivirus Rhimo akan rusak pada pH 5,3 sedangkan
virus entero tetap aktif pada pH 2,2.
Asam kuat dan basa kuat menyebabkan denaturasi protein virus dank arena itu
sangat efektif untuk membasmi virus. Misalnya Natrium hidroksida 2%
(caustic soda) digunakan untuk disenfeksi virus Penyakit Mulut dan Kuku.
3. Radiasi Ultraviolet
Sinar matahairi langsung mematikan mikroorganisme karena mengandung
sinar ultraviolet. Berdasarkan panjang gelombangnya sinar ultraviolet dapat
dikelompokan menjadi : 3150-4000A, 2800-3150A dan kurang dari 2800A.
Sinar ultraviolet kurang dari 2800A, mempunyai efek fermisidal (merusak
mokroorganisme ) dan dapat menyebabkan peradangan kulit (erythema) dan
peradangan mata (conjuctivitis).
Sinar ultraviolet 2600A merusak asam inti, sedangkan yang paling panjang
gelombangnya 2350A merusak protein virus.
Sinar ultraviolet dengan gelombang pendek, dipakai untuk mensterilkan udara
dalam ruangan dan tidak dapat digunakan untuk membunuh mikroorganisme
dalam cairan kerena mudah diserap oleh bahan-bahan biologic lainnya.
28
4. Formaldehid
Larutan formaldehid, yaitu fermalin yang banyak digunakn untuk pembuatan
vaksin inaktif. Bahan ini bereaksi terutama dengan mengganti atom H pada
gugus amino dari asam inti dan protein. Akan tetapi karena asam inti serabut
ganda biasanya tidak memiliki gugus amino bebas untuk kontak dengan
formalin, maka hanya asam inti serabut tunggal (RNA) yang dapat
diinaktifkan dengan formalin.
Pada virus yang asam intinya DNA, inaktifasi oleh formalin terjadi melalui
reaksi dengan proteinnya.
5. Pelarut lemak
Virus-virus yang mengandung lemak pada amplopnya dapat diinaktifkan
oleh : ether, kloroform, natrium deoksikolat, fosfolifase dan bahan pelarut
lemak lainnya.
6. Desinfektan
Desinfektan adalah bahan kimia yang digunakan untuk mendesinfeksi
(mensicihamakan). Desinfektan dapat digolongkan menjadi :
a. Oxidizing agent
Yaitu bahan kimia mengosidasikan gugus sulfadril. Misalnya chlor
dalam hypochlorite, yodium tincture, hydrogen peroksida, kalium
permanganat, dan uap asam.
29
b. Alkylating agent
Bahan ini merusak asam inti da protein dengan cara mengganti atom H
yang bebas pada gugus NH2 dan OH. Contohnya formalin
(formaldehind) dan glutaraldehind.
c. Protein denaturant
Bahan ini kurang baik sebagai desinfektan , karena hanya protein yang
berdenaturasi, sedangkan asam inti tetap infeksius. Misalnya alkohol
dan fenol. Devirat lipofilik, yaitu insopropil alkohol dan lisol, lebih
baik daya kerjanya tetapi kurang efektif dalam membunuh virus-virus
yang tidak memiliki amplop.
d. Nucleieacid denaturant
Bahan ini tidak menyebabkan protein rusak, tetapi bereaksi dengan
asam inti. Oleh karena itu bahan-bahan tersebut sangat cocok untuk
pembuatan vaksin inaktif. Contoh bahan ini : Beta propiolakton
(BPL), Asetil etilenimin (AEI) dan Etil etilenimin (EEI). Hanya
kekurangannya, bahan tersebut mengeluarkan gas yang sangat beracun
dan menyebabkan kanker, kecuali pada konsentrasi rendah sekali
(working solution) misalnya 1:4000 untuk BPL dan 1:2000 untuk AEI
untuk menetralisir sisa EEI dalam vaksi dapat diinaktifkan dengan
pemanasan.
e. Deterjen
Terdapat dua macam deterjen yaitu ionik dan non-ionik.
Deterjen ionic bereaksi dengan lemak dan struktur polar. Deterjen
lebih berguna sebagai pembersih daripada sebagai dsinfektan,
30
walaupun dapat menginaktifkan virus-virus beramplop. Untuk
meningkatkan daya penetrasi deterjen dapat di campur dengan
formalin atau glutaraldehid.
BAB VI
CARA MENGAWETKAN VIRUS
Untuk tujuan penelitian, pembuatan vaksin, dan keperluan lainnya, maka virus
perlu diawetkan sehingga bisa disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Beberapa cara yang dapat digunakan supaya kualitas partikel virus tidak berubah
adalah :
1. Temperatur
31
2. Bahan kimia
3. Proses kering beku
6.1 Temperatur
Kebanyakan virus tahan hidup selama beberapa hari dalam tempratur 4oC.
Keuntungan penyimpanan virus dalam suhu ini ialah dapat menghindari proses
pembekuan dan pencairan(freeze-thawing) suspensi virus yang dapat merusak partikel
virus. Untuk penyimpanan virus dalam waktu lama (berbulan-bulan atau sampai
bertahun-tahun ) digunakan tempratur -70oC (dalam freezer) atau -196oC (dalam
tabung berisi nitrogen cair. Bagi virus-virus yang berada dalam sel (Cell associated)
perlu ditambahkan serum atau gliserol sampai 10% untuk mengawetkan sel-sel
tersebut sehingga virus tetap hidup.
1. Bahan Kimia
a. Jika virus disimpan pada tempratur -70oC, bahan kimia yang dapat
dipakai untuk mengurangi kerusakan virus adalah DMSO dengan
konsentrasi 10%
b. Bila virus tersebut Cell associated, disamping DMSO 10%, pada
media penyimpanan virus ditambahkan pula serum sampai
10%untuk menjaga keutuhan sel.
c. Gliserol sebagai alcohol polihidrat dapat menstabilkan dinding sel
dan partikel virus. Pada konsentrasi 50%, gliserol digunakan untuk
mengawetkan virus pox dan sel epitel yang mengandung virus
PMK.
32
6.2 Proses Kering Beku (Freeze-Drying).
Cara ini juga disebut liofilisasi dan merupakan yang terbaik dalam mengawetkan
virus, terutama bila sebelumnya suspensi virus tersebut mengandung 10% serum anak
sapi. Virus yang sudah kering beku dapat disimpan dalam tempratur 4oC selama
berbulan-bulan. Metode ini digunakan dalam penyimpanan vaksi aktif
BAB VII
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN PENYAKIT VIRUS
Pengobatan pada ternak yang terinfeksi virus tidak memberikan hasil yang
efektif. Pemberian antibiotika termasuk dosis tinggi juga tidak memberikan hasil yang
baik, maka tindakan pencegahan menjadi prioritas utama. Pencegahan penyakit virus
yang efektif pada hewan adalah melalui vaksinasi.
33
7.1 Vaksinasi
Adalah tindakan memasukkan bibit penyakit atau antigen yang sudah
dilemahkan atau dimatikan virulensinya kedalam tubuh dengan tujuan menggertak
tubuh agar secara aktif
membentuk zat kebal.
Vaksin
Adalah sediaan yang mengandung antigen (virus, bakteri dan protozoa), baik
merupakan kuman mati ataupun hidup, yang dilumpuhkan virulensinya tanpa merusak
potensi antigennya, dengan maksud untuk menimbulkan kekebalan aktif yang spesifik
terhadap kuman atau toxinnya.
Ada dua jenis vaksin yang dikenal yaitu vaksin aktif dan vaksin inakif. Vaksin aktif
yaitu vaksin yang mengandung virus hidup atau virus yang telah dilemahkan.Vaksin
inaktif yaitu vaksin yang virusnya telah dimatikan.
VAKSIN AKTIF
Mengandung virus hidup atau virus yang telah dilemahkan virulensinya
Dibuat dengan pasase berulang-ulang pada telur ayam bertunas
Setelah masuk kedalam tubuh, harus berkembangbiak dalam sel target, baru
kemudian menggertak terbentuknya antibodi seperti halnya pada infeksi alam.
Kekebalan yang terbentuk lebih cepat, tapi tidak bertahan lama, sehingga
memerlukan vaksinasi ulangan.
34
Umumnya berbentuk kering beku dan dapat diberikan secara massal melalui
air minum,spray, tetes mata/tetes hidung/tetes mulut dan suntikkan
VAKSIN INAKTIF
Mengandung virus mati yang telah dimatikan virulensinya
Setelah masuk kedalam tubuh tidak perlu bereplikasi, tapi langsung
menggertak terbentuknya antibodi.
Di inaktifkan dengan penambahan Beta propiolakton (BPL), Asetil
etilenimin (AEI) dan Etil etilenimin (EEI).
Kekebalan yang terbentuk relatif lebih lama, tetapi kekebalan yang terbentuk
bertahan lebih lama.
Umumnya ditambahkan adjuvant, yaitu bahan tambahan yang mampu
meningkatkan daya kerja mikroorganisme dalam vaksin dan juga berfungsi
agar mikroorganisme dalam vaksin dilepaskan sedikit demi sedikit sehingga
proses pembentukan antibodi lebih lama dan kekebalan yang terbentuk juga
bertahan lebih lama.
Biasanya berbentuk emulsi, dan diberikan melalui suntikan intramuskuler atau
sub cutan.
Aplikasi Vaksin
1. Tetes mata / Tetes hidung
Dilakukan pada unggas umur 1-4 hari
Pelarut disediakan khusus bersama vaksin
Dosis 1-2 tetes, intra oculer atau intra nasal
Tidak mengandung maternal antibodi
35
Menggertak kekebalan lokal (Ig A), pada saluran pernapasan atas.
Kekebalan bertahan selama 3 minggu
2. Melalui Air Minum
Air tidak boleh mengandung chlorine
Ayam dipuasakan 2 – 3 jam
Untuk memberikan hasil yang lebih baik, vaksin diberikan dalam 2 pase,
dengan selang waktu 1- 2 jam.
Diberikan pada ayam umur lebih dari 3 minggu, untuk ampul 1000 dosis,
dilarutkan dengan 10-15 lt, sehingga tiap ekor mendapatkan 10 -15 ml.
Untuk mencapai hasil yang lebih baik, perlu ditambahkan susu skim,
dengan dosis 29 gram dalam 10 liter air.
3. Dengan Semprotan / Spray
Gunakan automatic electric sprayer khusus
Untuk kandang terbuka, dilakukan pagi hari (early morning), atau sesudah
matahari terbenam (late evening)
Dapat dilakukan pada unggas umur 1 hari keatas
4. Disuntikkan
Dalam daging (intramuscular), dibawah kulit (sub cutan)
Dosis sesuai dengan jumlah pelarut
Dilakukan pada unggas umur 3 minggu keatas
Pada hewan lain sesuai dengan, jenis hewan dan jenis vaksin
36
Catatan :
Perlu diperhatikan sebelum dan sesudah vaksinasi dilakukan ” test Antibodi”
Aplikasi diatas mempunyai keuntungan dan kerugian. Misalnya aplikasi
melalui air minum dan spray, mempunyai keuntungan tidak usah menangkap
ayam satu persatu, sehingga dapat menghindari cekaman/stress, tetapi
kekurangannya dosis vaksin tidak merata untuk setiap individu.
Sedangkan aplikasi melalui suntikan, dapat memberikan dosis vaksin dengan
tepat, tetapi kekurangannya dapat menimbulkan cekaman sehingga
mengganggu respon imun.
7.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Vaksinasi
1. Faktor vaksinnya
2. Faktor hewannya
3. Faktor Vaksinatornya
1. Faktor Vaksinnya
Untuk mengetahui mutu / kualitas vaksin perlu dilakukan uji vaksin seperti :
Kevakuman
Kevakuman vial vaksin dapat diuji dengan electrotester coil dalam ruang
gelap. Bila sinar ultra violet masuk kedalam vial, berarti vial vaksin
vakum.
Fisik
37
Dilakukan pemeriksaan warna, bau dan keutuhan vaksin yang dibeku
keringkan (freese dried) serta daya larutnya dalam bahan pengencer.
Sterilitas
Diuji dengan cara membiakkan vaksin yang telah diencerkan pada media
blood agar dan Mc conkey agar dan setelah diinkubasikan 24 jam media
diperiksa untuk mengetahui ada tidaknya koloni kuman kontaminan.
Identifikasi
Vaksin ditumbuhkan pada telur ayam berembrio, kemudian cairan
alantoisnya diuji dengan uji HA dan selanjutnya diidentifikasi dengan
uji HI menggunakan antisera .
Kandungan Virus (Virus Content)
Kandungan virus dalam vaksin, dapat diketahui dengan cara menentukan
Embrio Infective Doses 50 % (EID50) pada telur ayam berembrio dengan
metode Reed dan Muench.
Keamanan (Safety)
Dengan mengamati keadaan ayam-ayam yang telah divaksin, terhadap
timbulnya gejala-gejala klinis.
Potensi
Dengan memeriksa serum darah hewan yang telah divaksin, dengan uji HI
untuk mengetahui adanya titer antibodi.
1. Faktor Hewannya
Maternal antibodi
Vaksinasi pada hewan yang masih memiliki kekebalan asal vaksinasi
sebelumnya / kekebalan bawaan (maternal antibodi) yang masih tinggi,
38
tidak akan memberikan kekebalan yang sempurna karena akan terjadi
netralisasi vaksin.
Kondisi kesehatan ayam
Vaksinasi pada hewan yang terinfeksi parasit berat, stress, malnutrisi,
sakit atau dalam masa inkubasi penyakit, akan mengganggu respon
imun.
Bahkan vaksinasi akan memicu terjadinya gejala klinis, yang memang
sudah terserang penyakit.
Ganguan pembentukan kekebalan
Pertama karena ternak secara genetis tidak mampu membentuk
kekebalan. Ke dua ternak sebenarnya mampu membentuk kekebalan,
tapi proses pembentukan kekebalan tertekan. Gangguan ini terjadi
karena adanya faktor immunosupressant. Immunosupressant adalah
semua hal yang dapat menekan kerja sistem pertahanan tubuh sehingga
tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Faktor-faktor penyebab
immunosupressant ;
-Penyakit infeksius
Sebagian besar penyebabnya adalah virus. Misalnya
Gumboro, Marek, Limphoid leukosis, Reticuloendotheliosis,
Inclusion Body Hepatitis. Disebabkan oleh bakteri; E. Coli
dan Koksidiosis.
-Tidak infeksius
39
Bisa terjadi karena : tatalaksana pemeliharaan yang jelek,
stress, racun jamur yang sering terdapat pada ransum yang
lembab, antibiotika yang bekerja mengganggu sintesa protein
bakteri.
2. Faktor Vaksinatornya
Vaksinator harus memiliki dasar-dasar ilmu kedokteran hewan. Khususnya
ilmu imunologi. Vaksinasi tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang.
Vaksinator yang tidak memiliki dasar ilmu kedokteran hewan akan merusak
program vaksinasi.
Vaksinator harus memahami cara :
- memilih vaksin
- mengangkut vaksin
- mencampur/melarutkan vaksin
- aplikasi vaksin
- dosis vaksin
- monitoring hasil vaksinasi
- mengetahui gejala klinis penyakit
BAB VIII
KEMOTERAPI INFEKSI VIRUS
Secara teoritis bahan-bahan penghambat pertumbuhan virus dapat bekerja dengan
berbagai cara yaitu : melalui penghambatan adsorbsi dan penetrasi virus kedalam sel,
penghambatan proses biosintesis, atau penghambatan proses perakitan dan
pematangan virus.
40
Pembiakan virus tergantung pada metabolisme sel induk semang, jadi obat
penghambat infeksi virus harus dapat menghambat proses biosintesis virus tanpa
merusak sel, misalnya dengan cara merusak enzim yang spesifik virus yang hanya
dibutuhkan oleh virus untuk pembiakannya.
Selain interferon, terdapat sejumlah bahan kimia yang menghambat multiplikasi virus
dan dapat digunakan mengobati infeksi virus antara lain :
1. Amantadine ( Adamantanamine).
Bahan ini menghambat multiflikasi virus, seperti virus Influenza dan Rubella
dengan cara mengganggu proses pelepasan asam inti virus (uncoating). Bila
diberikan pada awal infeksi dapat menghambat infeksi virus.
2. Cyclooctylamine hydrochloride
Bahan ini memiliki sifat yang mirip dengan amantadine hydrochloride dan karena
itu juga menghambat pertumbuhan virus-virus ARN.
3. Isoquinolines
In vitro bahan ini menghambat enzim neuraminidase yang terdapat pada
permukan Myxovirus dan bereaksi dengan amplop virus sehingga menghambat
”uncoating” dan pelepasan ARN dari partikel virus.
4. Iododeoxyuridine (IUDR)
41
Senyawa halogen pirimidin telah lama diketahui menghambat sintesis asam inti
sel jaringan dan virus dengan cara menghambat masuknya basa thymine ke dalam
serabut ADN atau mengganti thyme dalam serabut ADN sehingga terbentuk
serabut ADN palsu yang tidak berfungsi. IUDR biasanya bekerja pada tingkat
akhir replikasi virus karena itu ia dapat juga menghambat daya keja enzim DNA-
dependent RNA polymerase dam pembentukan messeger RNA (m-RNA) dengan
akibat terbentuknya enzim yang tidak sempurna dan protein kapsid yang tidak
lengkap. Dalam gambaran mikroskop elektron dari sel terinfeksi virus Herpes
yang telah diberikan IUDR, terlihat banyak partikel virus yang kosong
ditengahnya menujukan kemungkinan kesalahan dalam proses perakitan
komponen-komponen virus. Disayangkan bahwa IUDR tidak dapat dipakai dalam
pengobatan penyakit viral secara sistematik karena sangat toksik.
IUDR hanya dapat digunakan secara lokal pada pengobatan penyakit mata yang
disebabkan oleh infeksi virus Herpes. Kegunaan IUDR semakin berkurang setelah
diketahui adanya virus Herpes dan Vaksinia yang risisten terhadap IUDR.
5. Methisazone
Bahan ini disebut juga ”marboran”, telah terbukti berhasil mencegah timbulnya
gejala penyakit Cacar pada orang yang berhubungan atau kontak dengan orang
penderita Penyakit Cacar (Small Pox). Akan tetapi pada orang yang telah
menunjukan gejala penyakit, marboran tidak bermanfaat karena sudah terlalu
banyak sel jaringan yang rusak.
6. Aranotin
42
Bahan ini diperoleh dari jamur Arachniotus aureus, dapat menghambat replikasi
virus Polio invitro dan invivo dengan hanya sedikit efek toksik terhadap sel
mamalia. Bahan yang sama yang diperoleh dari Aspergillus terrens, menghambat
multiplikasi virus Coxsackie, Parainfluensa tipe 1,2 dan 3 serta sejumlah anggota
genus Rhinovirus. In vivo bahan ini melindungi tikus terhadap infeksi yang
mematikan oleh virus Coxsackie dan Influensa.
Aranotin , dan menghambat ARN yang dihasilkan virus yaitu RNA-dependent
RNA polymerase tanpa mengganggu enzim DNA dependent RNA polymerase
yang terdapat pada sel normal.
7. Adenine arabinose (Ara-A)
Dalam biakan jaringan Ara-A menghambat pertumbuhan virus Herpes Hominis
pada pemberian secara local atau tropical, dan secara sistemik dapat menghambat
Ensefalitis dan virus Vaccinia atau Herpes Hominis. Bahan ini tidak berfungsi
terhadap virus ARN.
8. Arabinose Cytosine (Ara-C)
Disamping dapat menyembuhkan keratitis oleh Herpes Simplex pada orang, bahan
ini dapat menghambat perkembangan tumor pada manusia, tikus dan mencit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Butter M. (1987) Animal cell Tecnology : Principles and Products. Open University Press, U.K.
43
2. Durham PJK (1988) Veterinary Serology – A Short Introductory Course. Prepared for Canadian International Development Agency.
3. Hitchner SB, Domermuth, C.H, Purchase, H.G and Williams (1980) Isolation and Identification of Avian Pathogens. The American Association of Avian Pathologis.
4. Fenner FJ, Gibbs EPJ, Murphy FA, Root R, Studdert MJ and White DO, (1993). Veterinary Virology. Academic Press. California.
44