Deep Vein Thrombosis

20
DEEP VEIN THROMBOSIS Definisi Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena (Wakefield, 2008). DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow (JCS Guidelines, 2011; Bailey, 2009; Hirsh, 2002). DVT merupakan kelainan kardiovaskular tersering nomor tiga setelah penyakit koroner arteri dan stroke (Patterson, 2011). DVT terjadi pada kurang lebih 0,1% orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang lalu. Insiden tahunan DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50/100.000 populasi/tahun (JCS Guidelines, 2011). Faktor resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama), kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid) (JCS Guidelines, 2011; Goldhaber, 2010; Sousou, 2009; Bailey, 2009). Meskipun DVT umumnya timbul karena adanya faktor resiko tertentu, DVT juga dapat timbul tanpa etiologi yang jelas (idiopathic DVT) (Bates, 2004; Hirsh, 2002). Untuk meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan. Kematian dan

Transcript of Deep Vein Thrombosis

Page 1: Deep Vein Thrombosis

DEEP VEIN THROMBOSIS

Definisi

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena

dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan

perivena (Wakefield, 2008). DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah,

hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan trias virchow

(JCS Guidelines, 2011; Bailey, 2009; Hirsh, 2002). DVT merupakan kelainan kardiovaskular

tersering nomor tiga setelah penyakit koroner arteri dan stroke (Patterson, 2011). DVT terjadi

pada kurang lebih 0,1% orang/tahun. Insidennya meningkat 30 kali lipat dibanding dekade yang

lalu. Insiden tahunan DVT di Eropa dan Amerika Serikat kurang lebih 50/100.000

populasi/tahun (JCS Guidelines, 2011). Faktor resiko DVT antara lain faktor

demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas yang lama), kelainan patologi (trauma,

hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah,

obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan), kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan

(kontrasepsi hormonal, kortikosteroid) (JCS Guidelines, 2011; Goldhaber, 2010; Sousou, 2009;

Bailey, 2009). Meskipun DVT umumnya timbul karena adanya faktor resiko tertentu, DVT juga

dapat timbul tanpa etiologi yang jelas (idiopathic DVT) (Bates, 2004; Hirsh, 2002). Untuk

meminimalkan resiko fatal terjadinya emboli paru diagnosis dan panatalaksanaan yang tepat

sangat diperlukan. Kematian dan kecacatan dapat terjadi sebagai akibat kesalahan diagnosa,

kesalahan terapi dan perdarahan karena penggunaan antikoagulan yang tidak tepat, oleh karena

itu penegakan diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat diperlukan (Bates, 2004; Hirsh,

2002).

 

Diagnosis

DVT dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe sentral (iliac DVT dan femoral DVT) dan tipe

perifer (DVT pada vena poplitea dan daerah distal). Berdasarkan gejala dan tanda klinis serta

derajat keparahan drainase vena DVT dibagi menjadi DVT akut dan kronis. Diagnosis DVT

ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala dan tanda yang ditemukan pada pemeriksaan fisik

serta ditemukannya faktor resiko (Bates, 2004). Tanda dan gejala DVT antara lain :

Page 2: Deep Vein Thrombosis

Edema (Oedem)

Nyeri (Pain)

Perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg, phlegmasia cerulea

dolens/blue leg) (JCS Guidelines, 2011).

Skor dari Wells (tabel 1) dapat digunakan untuk stratifikasi (clinical probability) menjadi

kelompok resiko ringan, sedang atau tinggi (JCS Guidelines, 2011; Hirsh, 2002).

Tabel-1. Skor Wells (Hirsh, 2002)

Pasien dengan DVT dapat memiliki gejala dan tanda yang minimal dan tidak khas

karenanya pemeriksaan tambahan seringkali diperlukan untuk menegakkan diagnosa (Hirsh,

2002). Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Nilai prediktif

negatif pemeriksaan D-dimer pada DVT lebih dari 95%, pemeriksaan ini bersifat sensitif tapi

tidak spesifik, sehingga tidak dapat dipakai sebagai tes tunggal untuk diagnosis DVT (Adam,

2009; Wolberg, 2009). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan pemeriksaan baku yang

paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive ultrasound (USG Doppler)

dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu. USG Doppler memberikan

sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk mendiagnosa DVT yang simptomatis dan terletak

pada bagian proksimal akan tetapi pada isolated calf vein thrombosis sensitivitasnya hanya 60%

dan spesifisitasnya kurang lebih 70% (JCS Guidelines, 2011; Righini, 2007; Hirsh, 2002: Ramzi,

2004). Jika dengan metode pemeriksaan USG doppler dan D-dimer diagnosis DVT belum dapat

Page 3: Deep Vein Thrombosis

ditegakkan maka magnetic resonance venography (MRV) harus dilakukan (JCS Guidelines,

2011). Algoritme diagnosis DVT dapat dilihat pada gambar-1.

Gambar-1. Algoritme diagnosis DVT  (Hirsh, 2002)

Terapi InisialTujuan terapi jangka pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin

luas dan emboli paru. Tujuan jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya

sindrom post trombotik. Kombinasi heparin dan antikoagulan oral merupakan terapi inisial dan

drug of choice DVT (Key, 2010; Scarvelis , 2006; Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Unfractionated Heparin (UFH)

Unfractionated heparin (UFH) memiliki waktu mula kerja yang cepat tapi harus

diberikan secara intravena. UFH berikatan dengan antitrombin dan meningkatkan

kemampuannya untuk menginaktivasi faktor Xa dan trombin (Mackman, 2010; Deitcher, 2009).

Dosis Unfractionated heparin berdasarkan berat badan dan dititrasi sesuai kadar activated

partial-thromboplastin time (APTT). Dosis heparin yang disesuaikan berdasarkan berat badan

dan APTT dapat dilihat pada tabel-2. Target APTT yang diinginkan adalah antara 1,5 sampai 2,3

kali kontrol. Respon antikoagulan dari UFH berbeda pada tiap-tiap individu karena obat ini

berikatan secara nonspesifik dengan plasma dan protein sel. Efek samping meliputi perdarahan

dan trombositopeni. Pada terapi inisial resiko terjadinya perdarahan kurang lebih 7%, hal ini

tergantung pada dosis, usia, penggunaan bersama dengan antitrombotik atau trombolitik.

Trombositopeni transien terjadi pada 10-20% pasien. Pemberian heparin dapat dihentikan 4-5

Page 4: Deep Vein Thrombosis

hari setelah penggunaanya bersama warfarin jika target International Normalized Ratio (INR) 

dari prothrombin clotting time lebih dari 2,0 (Ramzi, 2004; Bates, 2004).

Low Molecular Weight heparin (LMWH)

Low Molecular Weight Heparin (LMWH)   bekerja dengan cara menghambat faktor Xa

melalui ikatan dengan antitrombin (Mackman, 2011). LMWH merupakan antikoagulan yang

memiliki beberapa keuntungan dibanding UFH antara lain respon antikoagulan yang lebih dapat

diprediksi, waktu paruh yang lebih panjang, dapat diberikan sub kutan satu sampai dua kali

sehari, dosis yang tetap, tidak memerlukan monitoring laboratorium. LMWH banyak

menggantikan peranan UFH sebagai antikoagulan (Deitcher, 2009; Hirsh, 2002).

Tabel-2. Dosis heparin berdasarkan berat badan dan APTT(Ramzi, 2004)

Efek samping trombositopeni dan osteoporosis LMWH lebih jarang terjadi dibanding

penggunaan UFH. Kontraindikasi terapi antikoagulan antara lain kelainan darah, riwayat stroke

perdarahan, metastase ke central nervous system (CNS), kehamilan peripartum, operasi abdomen

atau ortopedi dalam tujuh hari dan perdarahan gastrointestinal. Penggunaan LMWH pada pasien

rawat jalan aman dan efektif terutama jika pasien edukatif serta ada sarana untuk memonitor.

Penggunaan LMWH pada pasien rawat jalan sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan

trombosis masif, memiliki kecenderungan perdarahan yang tinggi seperti usia tua, baru saja

Page 5: Deep Vein Thrombosis

menjalani pembedahan, riwayat penyakit ginjal dan liver  serta memiliki penyakit penyerta yang

berat (Hirsh, 2002; Bates, 2004; Ramzi, 2004). LMWH diekskresikan melalui ginjal, oleh karena

itu pada penderita ganguan fungsi ginjal perannya dapat digantikan oleh UFH (Mackman, 2011;

Key, 2010).

Seperti UFH pemberian LMWH juga dikombinasikan dengan warfarin selama empat

sampai lima hari dan dihentikan jika kadar INR setelah penggunaanya bersama warfarin

mencapai 2 atau lebih. Enoxaparin (lovenox) adalah LMWH pertama yang dikeluarkan oleh U.S.

Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi DVT dengan dosis 1 mg/kgBB, dua kali

sehari. Dalteparin (Fragmin) hanya digunakan untuk terapi profilaksis dengan dosis 200

IU/kgBB/hari  dalam dosis terbagi dua kali sehari. Tinzaparin (Innohep) diberikan dengan dosis

175 IU/kgBB/hari (Ramzi, 2004). Pilihan lain adalah penggunaan fondaparinux (Arixtra).

Fondaparinux adalah pentasakarida sintetik yang bekerja menghambat faktor Xa dan trombin

(Mackman, 2011). Dapat digunakan sebagai profilaksis dan terapi pada kondisi akut dengan

dosis 5 mg (BB <50 kg), 7,5 mg (BB 50-100 kg),  atau 10 mg (BB >100 kg) secara subkutan,

satu kali perhari (Mackman, 2011; Buller, 2004).  Terapi Jangka Panjang

Setelah terapi inisial dengan UFH atau LMWH, terapi antikoagulan dilanjutkan dengan

pemberian derivat kumarin sebagai profilaksis sekunder untuk mencegah kekambuhan (Bates,

2004). Warfarin adalah obat yang paling sering diberikan. Warfarin adalah antagonis vitamin K

yang menghambat vitamin K-dependent clotting factor (faktor II, VII, IX, X) melalui hambatan

terhadap enzim vitamin K epoxide reductase (Dietrich, 2009). Dosis awal yang diberikan adalah

5 mg pada hari pertama sampai hari keempat, dosis dititrasi tiap 3 sampai 7 hari dengan target

kadar INR berkisar 2,0 sampai 3,0. Dosis yang lebih kecil (2-4 mg) diberikan pada usia tua, BB

rendah dan kondisi malnutrisi (Bates, 2004; Hirsh, 2002).

Therapeutic window warfarin sangat sempit sehingga monitoring INR secara berkala

diperlukan untuk mencegah trombosis rekuren dan efek samping perdarahan. INR sebaiknya

diperiksa 2 kali per minggu selama 1 sampai 2 minggu awal penggunaan, diikuti 1 kali

perminggu untuk 4 minggu berikutnya, lalu tiap 2 minggu sekali untuk 1 bulan berikutnya dan

akhirnya tiap sebulan sekali jika target INR tercapai dan pasien dalam kondisi optimal (Bates,

2004; Hirsh, 2002). Penggunaan LMWH sebagai terapi alternatif jangka panjang sedang

Page 6: Deep Vein Thrombosis

dievaluasi. LMWH memiliki beberapa keuntungan dibanding warfarin yaitu tidak memerlukan

monitoring INR sehingga cost effective dan dapat digunakan jika ada kesulitan akses

laboratorium, LMWH juga memiliki onset dan offset of action yang lebih cepat daripada

warfarin, lebih efektif pada trombosis pasien kanker dan kasus rekurensi trombosis pada

penggunaan warfarin jangka lama. Akan tetapi kelemahan LMWH adalah penggunaannya yang

tidak nyaman bagi pasien karena harus diberikan subkutan disamping harganya yang mahal

(Hirsh, 2002: Bates, 2004).

Warfarin sebagai terapi jangka panjang DVT memiliki banyak kelemahan antara lain

onset of action yang lambat, dosis yang bervariasi antar individu, interaksi dengan banyak jenis

obat dan makanan, therapeutic window yang sempit sehingga membutuhkan monitoring ketat.

Oleh karenanya dibutuhkan agen antikoagulan oral yang baru dan lebih baik untuk

menggantikannya. Ada beberapa macam antikoagulan baru yang telah banyak dipakai sebagai

profilaksis DVT seperti rivaroxaban (inhibitor faktor Xa), apixaban (inhibitor faktor Xa) dan

dabigatran etexilate (inhibitor trombin) tetapi belum ada yang digunakan sebagai terapi pada

DVT akut. Secara teori obat antikoagulan baru memiliki kelebihan dibanding warfarin antara

lain onset of action yang cepat dan tidak membutuhkan terapi inisial dengan antikoagulan

parenteral, tapi belum ada penelitian tentang hal ini. Kekurangan obat antikoagulan baru adalah

tidak adanya antidotum yang spesifik terehadap efek samping perdarahan sehingga penggunaan

obat-obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, selain itu harganya jauh lebih mahal dari

warfarin (Key, 2010; Garcia, 2010; Mackman, 2010).

Durasi Penggunaan Antikoagulan

Durasi penggunaan antikoagulan tergantung pada resiko terjadinya perdarahan dan

rekurensi dari trombosis. Resiko perdarahan selama terapi inisial dengan UFH atau LMWH

kurang lebih 2-5%, sedangkan pada penggunaan warfarin kurang lebih 3% pertahun. Annual

case fatality rate pada penggunaan antikoagulan adalah 0,6%. Case fatality rate rekurensi DVT

kurang lebih 5% (Hirsh, 2002). Banyak studi membandingkan keuntungan dan kekurangan

pemberian oral vitamin K antagonis jangka panjang (>3 bulan) karena adanya fakta bahwa

kejadian DVT sebenarnya merupakan kasus kronik dengan angka rekurensi jangka panjang yang

cukup signifikan (<50% setelah 10 tahun penghentian antikoagulan) (Key, 2010; Zhu, 2009).

Page 7: Deep Vein Thrombosis

Terapi antikoagulan yang inadekuat dapat meningkatkan resiko terjadinya rekurensi dan

sindroma post trombotik (Zhu, 2009).

Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Pasien dengan faktor

resiko reversibel memiliki resiko rekurensi yang rendah setelah terapi antikoagulan selama 3

bulan, sebaliknya pada pasien DVT idiopatik/unprovoked yang hanya diterapi selama 3 bulan

memiliki resiko rekurensi sekitar 10-27%. Berdasarkan hasil penelitian prospektif dan

ekstrapolasi dari penelitian terhadap resiko rekurensi setelah episode awal trombosis, pasien

dapat diklasifikasikan menjadi kelompok resiko rendah, sedang, tinggi dan sangat tinggi (Bates,

2004; Hirsh, 2002)

Tabel-4. Kategori resiko rekurensi dan rekomendasi durasi terapi (Hirsh, 2002)

Terapi Trombolitik

Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi

vena lebih cepat daripada antikoagulan (Bates, 2004). Trombolitik dapat diberikan secara

sistemik atau lokal dengan catheter-directed thrombolysis (CDT). Terapi trombolitik pada

episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi dan post thrombotic syndrome

(PTS) (Key, 2010; Kahn, 2009). Serine protease inhibitor endogen seperti urokinase dan

rekombinan tissue plasminogen activator (r-TPA) menggantikan fungsi streptokinase sebagai

obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang lebih minimal, akan

tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase (Patterson, 2010).

Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan juga

tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih

Page 8: Deep Vein Thrombosis

tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan

menurunkan resiko perdarahan (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates, 2004).

Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding

penggunaan heparin (Bates, 2004; Patterson, 2010). Indikasi dilakukan trombolisis antara lain

trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal, threatened limb

viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun),

harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada kontraindikasi dilakukan

trombolisis (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006). Kontraindikasi trombolisis antara lain bleeding

diathesis/trombositopeni, resiko perdaraham spesifik organ (infark miokard akut, trauma

serebrovaskular, perdarahan gastrointestinal, pembedahan, trauma), gagal hati atau gagal ginjal,

keganasan (metastase otak), kehamilan, stroke iskemi dalam waktu 2 bulan, hipertensi berat yang

tidak terkontrol (SBP>180 mmHg, DBP>110 mmHg) (JCS Guiedelines, 2011; Patterson, 2010).

CDT dilakukan dengan tuntunan ultrasound sehingga dapat meminimalkan terjadinya

komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah (Patterson, 2010). Protokol tindakan trombolisis

dapat dilihat pada tabel 3.

Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik,

penggunaan venous stenting tambahan dan inferior vena cava filter (IVC) berbeda-beda pada

tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara,

penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan

antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus

melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus (Patterson, 2010; Scarvelis, 2006; Bates,

2004). Pemasangan stent endovaskular  pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus

tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT (May-Thurner

syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga

terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah

pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor

uterus (Patterson, 2010). Aspiration thrombectomy juga dapat dilakukan bersama CDT pada

kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis untuk

mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus (JCS Guidelines, 2011; Patterson,

2010).

Page 9: Deep Vein Thrombosis

Terapi Non FarmakologisTerapi non farmakologis / physical therapy hanya sedikit evidence based nya. Latihan dan

compression dapat mengurangi pembengkakan, nyeri serta mengurangi insiden terjadinya post

thrombotic syndrome (PTS). Penggunaan compression stockings selama kurang lebih 2 tahun

dimulai 2-3 minggu ketika diagnosa DVT ditegakkan menurunkan resiko timbulnya PTS.

Peranan compression stockings atau intermitten pneumatic compression (IPC)  dalam mencegah

PTS belum sepenuhnya dimengerti, namun penggunaannya telah digunakan secara luas.

Compression stockings sebaiknya digunakan pada pasien dengan gejala berat dan mereka yang

memiliki fungsi vena yang jelek (JCS Guidelines, 2011; Kahn, 2009; Bates, 2004).

Tabel-3. Protokol  trombolisis pada DVT (Patterson, 2010)

Trombektomi

Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat

kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun mechanical thrombectomy, lesi

yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang

dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah

dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus

dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch bandage.

Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah tindakan

pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari

setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal

Page 10: Deep Vein Thrombosis

tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan

phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen dan

perbaikan sirkulasi (JCS Guidelines, 2011).

Postthrombotic Syndrome (Pts)

Postthrombotic syndrome adalah komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga dari

pasien DVT akan timbul komplikasi PTS, 5-10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi vena

(Kahn, 2009). Diagnosis PTS merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada timbulnya gejala

berupa kelemahan tungkai, nyeri, edema, gatal, kram, parestesi pada tungkai bawah, memberat

pada aktivitas, berdiri, berjalan dan membaik dengan istirahat. Gejala ini disebabkan karena

hipertensi vena yang persisten (karena obstruksi intravena residual) atau insufisiensi valvular

vena (Key 2010; Kahn, 2009). Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi peri-

malleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi, kemerahan, sianosis, ulkus. The Subcommittee on

Control of Anticoagulation of the Scientific and Standardization Committee of the International

Society on Thrombosis and Hemostasis merekomendasikan penggunaan skala villalta untuk

diagnosis PTS. Compression Ultrasonography dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis

pada pasien dengan kecurigaan PTS tanpa ada riwayat DVT sebelumnya (Kahn, 2009).

Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic compression stockings (ECS) untuk

mengurangi edema dan keluhan, intermitten pneumatic compression efektif untuk PTS

simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala

jangka pendek. Compression therapy, perawatan kulit dan topical dressings digunakan untuk

ulkus vena (Kahn, 2009). PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien

resiko tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat

dosis dan durasi, menggunakan elastic compression stocking selama kurang lebih 2 tahun setelah

diagnosis DVT ditegakkan. Peran trombolisis pada pencegahan PTS belum diketahui secara

jelas. Peranan CDT dalam rangka prevensi PTS juga membutuhkan evaluasi lebih lanjut (Kahn,

2009).

Tabel-5. Skala PTS Villalta

Page 11: Deep Vein Thrombosis

  Ringkasan

Deep vein thrombosis (DVT) merupakan pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam

(deep vein) yang diikuti oleh reaksi inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena,

disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran

darah vena. Faktor resiko DVT antara lain faktor demografi/lingkungan (usia tua, imobilitas

yang lama), kelainan patologi (trauma, hiperkoagulabilitas kongenital, antiphospholipid

syndrome, vena varikosa ekstremitas bawah, obesitas, riwayat tromboemboli vena, keganasan),

kehamilan, tindakan bedah, obat-obatan (kontrasepsi hormonal, kortikosteroid). Tanda dan gejala

DVT antara lain edema, nyeri dan perubahan warna kulit (phlegmasia alba dolens/milk leg,

phlegmasia cerulea dolens/blue leg). Angiografi (venografi atau flebografi) merupakan

pemeriksaan baku yang paling bermakna (gold standard), namun pemeriksaan non invasive

ultrasound (USG Doppler) dapat menggantikan peran angiografi pada kondisi tertentu.

Pemeriksaan D-dimer <0,5 mg/ml dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Tujuan terapi jangka

pendek DVT adalah mencegah pembentukan trombus yang makin luas dan emboli paru. Tujuan

jangka panjangnya adalah mencegah kekambuhan dan terjadinya sindrom post trombotik.

Kombinasi heparin dan antikoagulan oral (warfarin) merupakan terapi inisial dan drug of choice

DVT. Secara umum antikoagulan diberikan selama minimal 3 bulan. Indikasi dilakukan

trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal,

threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik

(usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala <14 hari, tidak ada

Page 12: Deep Vein Thrombosis

kontraindikasi dilakukan trombolisis. Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT

iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun

mechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar

dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Terapi non

farmakologis/physical therapy hanya sedikit evidence based nya.

Page 13: Deep Vein Thrombosis

DAFTAR PUSTAKA

1.      Adam S, Key N, Greenberg C (2009). D-dimer antigen: current concepts and future prospects.

Blood, 113:2878-87

2.      Bailey A, Scantlebury D, Smyth S (2009). Thrombosis and antithrombotic in women.

Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:284-88

3.      Bates S, Ginsberg G (2004). Treatment of deep vein thrombosis. N Engl J Med, 351:268-77

4.      Buller H, Davidson B, Decousus H, Gallus A, Gent M (2004). Fondaparinux or enoxaparin for

the initial treatment of symptomatic deep vein thrombosis. Ann Intern Med, 140:867-73

5.      Deitcher S, Rodgers D (2009). Thrombosis and antithrombotic therapy. In: Greer J. Wintrobe’s

clinical hematology,12th ed, Lippincott william and wilkins. Philadhelphia: p 1465-99

6.      Garcia D, Libby E, Crowther M (2010). The new oral anticoagulants. Blood, 115:15-20

7.      Goldhaber S (2010). Risk factors for venous thromboembolism. Journal of the American

College of Cardiology, 56:1-7

8.      Hirsh J, Lee A (2002). How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood, 99: 3102-3110

9.      JCS Guidelines (2011). Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of pulmonary

thromboembolism and deep vein thrombosis (JCS 2009). Circ J; 75: 1258-1281

10.  Kahn S (2009). How I treat postthrombotic syndrome. Blood, 114:4624-4631

11.  Key NS, Kasthuri RS. Current treatment of venous thromboembolism. Arterioscler Thromb

Vasc Biol, 30: 372-375

12.  Mackman N, Becker R (2010). DVT: a new era in anticoagulant therapy. Arterioscler Thromb

Vasc Biol, 30: 369-371

13.  Patterson B, Hinchliffe R, Loftus I (2010). Indications for catheter-directed thrombolysis in the

management of acute proximal deep venous thrombosis. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 30:

669-674

14.  Ramzi D, Leeper K (2004). DVT and pulmonary embolism: part II. treatment and prevention.

Am Fam Physician, 69:2841-48

15.  Righini M (2007). Is it worth diagnosing and treating distal vein thrombosis? no. J Thromb

Haemost, 5:55-9

16.  Scarvelis D, Wells P (2006). Diagnosis and treatment of deep vein thrombosis. CMAJ,

175:1087-92

Page 14: Deep Vein Thrombosis

17.  Sousou T, Khorana A (2009). New insights into cancer-associated thrombosis. Arterioscler

Thromb Vasc Biol, 29:316-20

18.  Wakefield T, Myers D, Henke P (2008). Mechanisms of venous thrombosis and resolution.

Arterioscler Thromb Vasc Biol, 28:387-91

19.  Wolberg A, Mackman N (2009). Venous thromboembolism: risk factors, biomarkers, and

treatment. Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:296-297

20.  Zhu T, Isabelle M, Emmerich J (2009). Venous thromboembolism: risk factor for reccurence.

Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:298-310