deep vein thrombosis

24
PRESENTASI KASUS DEEP VEIN THROMBOSIS Disusun oleh: Amajida Fadia 11060070 16 Atikah Sayogo Putri 11060019 90

description

case based

Transcript of deep vein thrombosis

Page 1: deep vein thrombosis

PRESENTASI KASUS

DEEP VEIN THROMBOSIS

Disusun oleh:

Amajida Fadia 1106007016Atikah Sayogo Putri 1106001990

MODUL PRAKTIK KLINIK BEDAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA

SEPTEMBER 2015

Page 2: deep vein thrombosis

BAB 1

ILUSTRASI KASUS

1. Identitas

Nama : Ny. RE Tanggal lahir : 17 November 1968Usia : 46 thAlamat : Karet Raya, Jakarta Agama : Islam Tanggal masuk : 10 September 2015

2. Anamnesis2.1 Keluhan Utama

Bengkak dan nyeri pada tungkai kanan sejak 1 hari SMRS.

2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

7 hari SMRS di kaki kanan, bengkak mulai terlihat di kaki kanan. 4 hari SMRS, bengkak bertambah sampai betis dan lutut, namun pasien masih mampu beraktivitas. 1 hari SMRS, bengkak mencapai seluruh tungkai kanan, teraba keras, dan disertai nyeri. Nyeri (VAS 8-9) dirasakan terus-menerus, diperberat dengan gerakan. Nyeri tidak dapat berkurang dengan konsumsi asam mefenamat. Pasien tidak dapat beraktivitas, hanya mampu berbaring di tempat tidur. Pada tungkai kanan, tampak “garis urat” berwarna merah kehitaman mulai dari pangkal paha kanan sisi dalam, melewati lutut kanan sisi dalam, hingga ke mata kaki kanan sisi dalam. Tungkai kanan terutama bagian kaki tampak biru kehitaman. Pasien tidak dalam kondisi hamil atau pasca persalinan. Riwayat mengonsumsi pil KB disangkal. Riwayat luka dan luka pada tungkai kanan disangkal.

2 hari SMRS, pasien merasa sesak dan nyeri di bagian dada bawah kanan terutama saat menarik napas. Sesak berkurang saat posisi duduk dibandingkan posisi berbaring. Pasien sempat terbangun saat tidur akibat sesak. Tidak ada batuk dan demam.

2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien didiagnosis Ca serviks stadium IIA sejak Agustus 2014, dan menjalani operasi angkat rahim pada Februari 2015. Oleh dokter dinyatakan pasien masih harus menjalani terapi radiasi karena masih ada sel kanker yang tersisa. Namun, pasien belum menjalani terapi dan belum kontrol ke dokter.

Pasien didiagnosis DVT tungkai kiri pada Agustus 2015. Pasien sempat dirawat selama 12 hari, dan diberi heparin, warfarin, dan asam mefenamat. Setelah dirawat, pasien rutin kontrol ke polliklinik dan rutin mengonsumsi warfarin dan asam mefenamat saat nyeri.

Page 3: deep vein thrombosis

Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia, dan penyakit jantung disangkal.

2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat DVT dan kanker pada keluarga pasien disangkal.

2.5 Riwayat Ekonomi Sosial

Sebelum menjalani operasi pengangkatan rahim, pasien beraktivitas sebagai penjaga warung yang cukup sering berjalan kaki. Setelah menjalani operasi, aktivitas pasien berkurang. Pasien lebih sering menghabiskan waktu di rumah.

Pasien tidak merokok, tetapi suami pasien seorang perokok berat dengan konsumsi 3-4 bungkus per hari. Suami sering merokok dekat pasien.

3. Pemeriksaan Fisik 3.1 Keadaan Umum

Kondisi umum : tampak sakit sedang Kesadaran : kompos mentis

3.2 Tanda Vital

Tekanan darah : 140/90 mmHgFrekuensi nadi : 92 kali/menitFrekuensi nafas : 22 kali/menitSuhu : afebris

3.3 Antropometri

Berat badan (BB) : 65 kg Tinggi badan (TB) : 150 cm IMT : Obesitas gr II

3.4 Status Generalis

Kepala : normocephalMata : conjungtiva pucat +/+, sklera tidak ikterik. Mulut : tonsil T1/T1, tidak hiperemis. Leher : tidak teraba kelenjar getah bening. Jantung : bunyi jantung I/II regular, tidak ada murmur maupun gallop.Paru : bunyi nafas vesikular/vesikular, rhonki +/-, wheezing -/-.Abdomen : datar, lemas, bising usus (+) normal, hepar dan lien tidak teraba,

tanda inflamasi (-), nyeri tekan (-), terdapat luka parut post-op dari iliaka kiri sampai iliaka kanan.

Ekstremitas : akral hangat, CRT <2 detik, edema tungkai kanan, Homan’s sign -/-

Page 4: deep vein thrombosis

3.5 Status Lokalis

Tungkai kanan tampak terbungkus perban elastis. Setelah dibuka, tampak tungkai kanan bengkak, berwarna kebiruan di bagian distal, disertai pelebaran vena superfisial di lateral paha kanan. Pitting edema terdapat pada kaki sampai lutut kanan. Tungkai kanan tidak teraba hangat dan tidak teraba keras. CRT <2 deik. Sensorik sentuhan baik. Seluruh sendi tungkai kanan dapat digerakkan.

Modifikasi criteria Wells Skor Skor pasienMengidap kanker yang aktif (pasien menerima tatalaksana kanker dalam 6 bulan terakhir / sedang menggunakan terapi paliatif)

+1 1

Terdapat paralisis, paresis, atau imobilisasi dari tungkai bawah

+1 1

Tirah baring >3 hari , atau menjalani operasi mayor dalam 12 minggu terakhir yang membutuhkan anestesi umum atau regional

+1 0

Edema pitting pada tungkai yang simtomatis

+1 1

Local tenderness sepanjang distribusi vena dalam

+1 1

Page 5: deep vein thrombosis

Pembengkakan seluruh tungkai

+1 1

Pembengkakan betis >3cm dibandingkan tungkai asimtomatis

+1 1

Pelebaran non varikosa pada vena superficial pada sisi yang simtomatis

+1 1

Riwayat DVT sebelumnya +1 1Adanya diagnosis alternatif yang menyerupai DVT

-2 0

Total Wells’ score = 8

4. Pemeriksaan Penunjang4.1 Laboratorium (14/9/15)

14/9/15 Nilai normal

HEMOSTASIS

Masa Protrombin

Pasien 41,7 s 11,2 – 18 s

Kontrol 15,7 s 11 – 16,7 s

APTT

Pasien 59,3 s 27-42 s

Kontrol 32, 4 s 29,4 – 40,8 s

INR 3,08

Page 6: deep vein thrombosis

4.2 Pemeriksaan Penunjang: Radiologi

Foto polos toraks (28 Agustus 2015)

Interpretasi :

Trakea di garis tengah. Jantung kesan membesar (CTR >50%). Aorta melebar. Kedua hilus menebal. Corakan vaskular kedua paru meningkat. Terdapat kranialisasi vaskuler. Apeks tertanam ke diafragma. Tampak infiltrat di daerah basal paru kanan dengan gambaran fibrosis intersisial. Lengkung diafragma kanan tidak terlihat, sinus kostofrenikus kanan tampak suram. Tulang-tulang kesan baik.

Kesimpulan: Kardiomegali, edema paru

5. Diagnosis - Deep vein thrombosis tungkai kanan - left ventricular hypertrophy- susp. community acquired pneumonia- susp. anemia- hipertensi gr I- post-op Ca serviks stadium IIa

Page 7: deep vein thrombosis

BAB 2TINJAUAN PUSTAKA

DefinisiDeep vein thrombosis (DVT) merupakan manifestasi tersering dari venous thromboembolism (VTE), yang merujuk pada semua bentuk trombosis patologis yag terjadi di sirkulasi vena.1

Epidemiologidi Amerika Serikat, 900.000 kasus DVT dilaporkan setiap tahunnya, dengan insiden sebesar 56:100.000 person-years. DVT lebih banyak menyerang laki-laki dibandingkan dengan wanita (134:116), ras negroid dibandingkan ras mongoloid dan kaukasian. DVT memiliki angka rekurensi yang tinggi. Sekitar 30% pasien DVT mengalami rekurensi DVT dalam jangka waktu 10 tahun. Kematian yang terjadi seringkali disebabkan akibat komplikasi dari DVT, misalnya emboli paru, dengan angka mortalitas sebesar 1-5%. 1

Etiologi dan Faktor RisikoDVT yang diketahui faktor risikonya disebut DVT sekunder, sementara yang tidak dikeahui faktor risikonya disebut DVT primer. beberapa faktor risiko yang telah diketahui adalah riwayat imobilisasi akibat perjalanan, tirah baring, atau paresis. Faktor risiko lain adalah riwayat operasi, trauma, neoplasma, iatrogenik (kemoterapi, pemasangan kateter vena sentral atau alat pacu jantung), riwayat DVT, varises, gagal jantung, penyakit trombofilia bawaan, hamil, terapi hormonal atau kontrasepsi, penyakit autoimun.1,2

Pada pasien yang akan menjalani operasi, dapat ditentukan kategori risiko terjadinya DVT post-operatif berdasarkan beberapa faktor, yang terangkum dalam tabel 1.1

Kategori KarakterRendah Usia <40 th

Tidak ada faktor risiko DVT lainnyaOperasi abdomen/toraks tanpa komplikasiUsia >40 thTidak ada faktor risiko DVT lainnyaOperasi elektif abdomen/toraks <30 menit

Sedang Usia >40 thOperasi abdomen/toraks >30 menit

Tinggi Riwayat DVT/VTEOperasi abdomen/pelvis pada kasus malignansiOperasi mayor pada ekstremitas bawah

Tabel 1 Risiko DVT post-operatif

Page 8: deep vein thrombosis

PatofisiologiTrias Virchow

Sesuai dengan hukum Virchow, terdapat tiga faktor yang berperan dalam thrombosis vena: stasis, hiperkoagulasi, dan kelainan dinding vaskular. Stasis vena dapat diakibatkan oleh segala sesuatu yang memperlambat atau menghambat aliran vena, baik karena peningkatan viskositas atau pembentukan mikrotrombus yang tumbuh dan bersatu . Hiperkoagulasi dapat terjadi karena ketidakseimbangan dari faktor koagulasi yang ada di sirkulasi baik karena peningkatan kadar tissue factor ataupun penurunan kadar antitrombin dan fibrinolisin. Kerusakan endotel dapat berasal dari intrinsik atau trauma eksernal. Endotel secara fisiologis memiliki aktivitas vasodilatasi dan fibrinolitik lokal, terkait produksi trombomodulin, heparin sulfat, tissue factor inhibitor, tissue plasminogen activator. Jika aktivitas ini terganggu, maka akan terjadi inflamasi dan trombosis. Interaksi antara trombus dengan endotel juga akan menstimulasi produksi sitokin dan memfasilitasi adhesi leukosit ke endotel, yang akan memicu trombosis.1,3

Pembentukan Trombosis

Gambar 1 Jalur koagulasi

Trombosis pada dasarnya adalah mekanisme tubuh untuk mencapai hemostasis setelah terjadi luka. Pembentukan trombus mikroskopik dan trombolisis merupakan kejadian yang kontinu dan dipertahankan dalam kondisi seimbang. Namun dengan adanya gangguan dari peningkatan stasis, faktor koagulan, dan jejas vaskular, maka keseimbangan terganggu dan akan terjadi trombus obstruktif. 3

Proses koagulasi terbagi menjadi dua jalur, yakni sistem intrinsik dan ekstrinsik. Sistem ekstrinsik teraktivasi pada jejas mekanik atau trauma, sementara sistem intrisik melibatkan faktor plasma yang bersirkulasi. Keduanya akan bertemu di aktivasi faktor X yang akan teraktivasi menjadi faktor Xa dan memfasilitasi konversi protrombin ke trombin. Setelah fibrin terbentuk dan hemostasis tercapai, maka tubuh akan melisis fibrin dengan aktivitas

Page 9: deep vein thrombosis

fibrinolisin, plasmin, dan inaktivasi faktor V dan VIII. ATIII, protein C, dan trombomodulin protein S merupakan antikoagulan natural.

Pada vena, trombus biasanya terbentuk di balik katup atau percabangan. Dilatasi vena menyebabkan tereksposnya subendotel akibat kerusakan barrier endotel. Eksposur subendotel ini menjadi lokasi adhesi platelet yang difasilitasi oleh faktor von Willebrand atau fibrinogen, yang dilanjutkan dengan aktivasi neutrofil dan platelet, pelepasan mediator inflamasi dan prokoagulan. Leukosit yang teraktivasi juga akan berikatan dengan reseptor endotel dan ekstravasasi ke dinding vena, mengakibatkan respon inflamasi ke dinding vena.

Pembuluh vena yang dapat mengalami DVT antara lain vena tibialis, venaa poplitea, vena ileofemoral, vena cava, dan vena aksilaris. Predileksi terjadinya DVT di tungkai kiri dikaitkan dengan kompresi vena iliaka sinistra oleh arteri iliaka kanan dan arteri L5. Katup vena yang avaskular mendukung terjadinya hipoksemia dan jejas. Pada ekstremitas bawah, otot gastrocnemius membantu pencegahan DVT dengan kontraksinya yang membantu aliran balik. Adanya imobilisasi menghalangi mekanisme ini, dan mendukung terjadinya stasis. 3,4

Mekanisme munculnya DVT pada pasien malignansi dikaitkan dengan adanya kompresi vena sekunder dari pertumbuhan tumor, trombositosis terkait kanker, imobilisasi, dan terapi radiasi atau kemoterapi. Respon protrombotik pada maligansi dimediasi oleh sitokin, inhibitor fibrinolisis, dan prokoagulan. Sel tumor dapat menginisiasi hemostasis melalui ekspresi tissue factor untuk mengikat faktor VII dan VIIa, yang kemudian kompleks ini akan mengaktivasi faktor X dan CI melalui proteolisis, dan memproduksi thrombin. Sel kanker juga menghasilkan zat prokoagulan yang dapat mengaktivasi faktor X secara independen tanpa perlu adanya faktor VIIa. Sel kanker juga memiliki molekul adhesi platelet glikoprotein Ib dan IIb/IIIa yang memungkinkan terjadinya aktivasi dan agregrasi platelet. Sitokin-sitokin protrombotik, seperti VEGF, TNF-a, dan IL-1, berperan dalam menginduksi tissue factor di endotel vaskular, monosit, dan leukosit, yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah kompleks trombin-trombomodulin yang berfungsi sebagai activator antikoagulan protein C.1

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis bervariasi, mulai dari asimptomatis hingga gangrene. Gejala biasanya lebih parah pada DVT proksimal dan lebih ringan pada DVT di betis. Manifestasi klinis pada DVT yang sering adalah nyeri tumpul pada kaki, kaku, edema mulai dari sisi distal, eritema, sianosis, dan demam.3

Pada pemeriksaan fisik, nyeri di daerah betis dapat disitimulasi dengan melakukan maneuver Homans sign, dengan cara melakukan dorsifleksi pada kaki, namun pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesivitas rendah.Pasien DVT juga dapat memiliki tromboflebitis superfisial yang ditandai oleh segmen vena yang terpalpasi. Emboli paru sebagai manifestasi klinis terjadi pada 10% pasien DVT, yang ditandai oleh batuk, diforesis, dispnea, takipnea, takikardi, hemoptisis, nyeri dada pleuritik, hipotensi, dan sianosis.1

Page 10: deep vein thrombosis

Penegakan DiagnosisPenegakan diagnosis dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik. Skor Wells dapat digunakan sebagai prediktor klinis. Interpretasi skor Wells adalah sebagai berikut:4

-2 – 0 : lowprobability 1 – 2 : moderate probability 3 – 8 : high probability

Pada pasien dengan pretest probability DVT yang sedang-tinggi, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi Duplex dan dinilai adanya peningkatan ekogenitas intraluminal, diameter vena, vena yang tidak kolaps saat diberikan kompresi,dan tidak ada aliran darah. USG merupakan pemeriksaan yang non invasif, sensitive dan spesifik untuk DVT proksimal, namun kurang sensitive pada DVT yang asimptomatik.

Sementara itu, pasien dengan pretest probability DVT yang rendah dapat dilakukan pemeriksaan kadar D-Dimer . D-Dimer merupakan produk dari proteolisis fibrin, sehingg peningkatan kadar D-Dimer menandakan sedang terjadinya fibrinolisis. Pemeriksaan laboratorium lainnya yang dapat membantu penegakan diagnosis adalah ATIII, protein S, protein C, faktor V Leiden, antibody antifosfolipid, kadar homosistein.

Sampai saat ini, gold standard dari pemeriksaan penunjang untuk DVT adalah venografi, namun pemeriksaan ini mahal. Pada venografi, kontras diinjeksikan melalui vena di dorsal kaki dan dilalukan CT Scan atau MRI. 4

Karakteristik klinis SkorKanker (sedang menjalai terapi dalam 6 bulan terakhir atau paliatif) 1Paralisis, paresis, atau imobilisasi dari ekstremitas bawah 1Riwayat tirah baring>3 hari atau operasi mayor dalam 12 minggu dengan anestesi

1

Kekakuan sepanjang jalur vena dalam 1Bengkak seluruh tungkai 1Bengkak pada betis >3cm lebih besar dibandingkan sisi yang asimptomatis 1Pitting edema pada kaki yang simptomatis 1Vena kolateral superfisial 1Riwayat DVT 1Diagnosis alternatif selain DVT -2Tabel 2 Prediktor klinis Skor Wells

Untuk menentukan adanya emboli paru sebagai salah satu komplikasi dari DVT, dapat menggunakan prediktor criteria Wells yang dikonfirmasi dengan C Scan tau V/Q Scan jika terdapat kecurigaan tinggi. Interpretasi dari criteria Wells untuk emboli paru adalah:3

<2 : risiko rendah 2 – 6 : risiko sedang >6 : risiko tinggi

Karakteristik klinis SkorManifestasi klinis DVT 3

Page 11: deep vein thrombosis

Tidak ada diagnosis banding selain emboli paru 3Takikardi 1,5Imoblisasi >3 hari atau riwayat pembedahan dalam 4 minggu 1,5Riwayat DVT atau emboli paru 1,5Hemoptisis 1Malignansi 1

TatalaksanaTujuan terapi DVT adalah mengurangi morbiditas, mencegah ekstensi trombus, rekurensi dini, dan kematian akibat emboli pulmoner.1

Mobilisasi dan Elevasi Tungkai Pada pasien dengan tungkai bengkak akut akibat DVT, elevasi tungkai dapat mengurangi nyeri dan tenderness. Elevasi tungkai memiliki efek fisiologis berupa mengurangi bengkak dengan cara meningkatkan venous return dan mengurangi venous pressure akibat efek gravitasi. Nyeri dan bengkak pulih lebih cepat pada pasien dengan ambulasi dini dan kompresi kaki dibandingkan pasien dengan bed rest.1

Antikoagulan1

Terapi antikoagulan dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan. Terdapat 2 pilihan terapi antikoagulan inisial, yakni: 1) heparin unfractioned IV atau subkutan, 2) LMWH subkutan.

Heparin unfractioned Dosis inisial heparin IV untuk DVT adalah 80U/kg bolus diikuti 18U/kg/jam IV kontinyu. Pengecekan aPTT diulang 6 jam setelah bolus heparin pertama kemudian infus IV disesuaikan berdasarkan hasil. Heparin IV diberikan selama 5-10 hari kemudian diikuti antikoagulan oral sangat efektif untuk pengobatan DVT, tetapi membutuhkan monitoring berulang untuk menyesuaikan dosis heparin agar mencapai aPTT dalam rentang terapeutik, yakni 1.5-2.5 kali kontrol dalam 24 jam.1,5

Tabel 1. Penyesuaian Dosis Heparin berdasarkan aPTT

LMWH Bioavailibilitas lebih baik, respon lebih konsisten, farmakokinetik dan farmakodinamik lebih dapat diprediksi dibandingkan heparin bila pemberian subkutan sehingga tidak membutuhkan monitoring rutin. Preparat yang tersedia di US adalah 100 anti-Xa U/kg per 12 jam atau 150 anti-Xa U/kg per

Page 12: deep vein thrombosis

24 jam untuk enoxaparin. Untuk dalteparin, 100 anti-Xa U/kg 2 kali sehari atau 200 anti-Xa U/kg 1 kali sehari.1

Rekomendasi terkini adalah mulai terapi dengan heparin atau LMWH dan VKA (vitamin K antagonis) bersamaan saat didiagnosis, kemudian berikan secara bersamaan selama paling tidak 5 hari (5-10 hari), lalu hentikan pemberian heparin unfractioned atau LMWH apabila INR telah dalam rentang target (2.0-3.0) selama 2 hari berturut-turut. INR yang terlampau tinggi dapat menyebabkan efek samping pendarahan, sedangkan INR yang terlalu rendah dapat menyebabkan rekurensi clotting. Dosis awal warfarin adalah 5-10 mg. Untuk pasien rawat jalan, dosis 10 mg lebih efektif untuk mencapai INR terapeutik. Pemberian antikoagulan jangka panjang hingga 3 bulan diperlukan untuk mencegah ekstensi trombus dan rekurensi DVT. 1,5

Pencegahan

Metode pencegahan disesuaikan dengan level risiko pasien. Tabel 2 menunjukkan insidensi kejadian DVT pada pasien tanpa profilaksis berdasarkan skor Caprini. Skor minimal 5 berasosiasi dengan 6% insidensi DVT. Metode asesmen ini direkomendasikan oleh

ACCP 2012 sebagai salah satu cara untuk menilai risiko dan mempertimbangkan penggunaan profilaksis. Sebagai tambahan dari sistem skoring tersebut, pasien dengan skor >8 memiliki insidensi DVT 6.5% pada pasien operasi umum

dan vaskular 30 hari post discharge; pasien yang menjalani prosedur operasi platik elektif memiliki risiko 11.3% setelah 60 hari post operasi; pasien yang menjalani prosedur operasi kepala leher, insidensi 18,3% 30 hari post operasi apabila skor >8. 1

Page 13: deep vein thrombosis

Gambar 1. Skoring Caprini

Metode Profilaksis Mekanik Kompresi pasif: Stoking kompresi elastik1

Graduated compression stocking (GCS) meningkatkan kecepatan aliran darah vena melalui gradien tekanan yang diberikan dari pergelangan kaki hingga lutut atau paha dan mencegah distensi vena intraoperatif pada pasien dengan anastesi umum. GCS berbeda dengan therapeutic graduated stocking yang memberi tekanan 30-40 mmHg pada betis dan digunakan sebagai prevensi sekunder.

GCS sendiri efektif untuk pasien operasi umum risiko moderat, tetapi untuk pasien risiko tinggi seperti pasien operasi kanker atau ortopedi masih kurang data. Keterbatasan GCS adalah tidak ada standar internasional mengenai profil tekanan yang diberikan, sulit digunakan untuk pasien dengan bentuk dan ukuran kaki yang tidak biasa, dan kepatuhan yang buruk. Kelebihannya dapat dikombinasikan dengan metode farmakologis pada pasien dengan risiko DVT sangat tinggi.

Kompresi aktif: Intermittent pneumatic compression (IPC) 1

IPC merupakan metode profilaksis mekanik yang paling efektif. Studi hemodinamik menunjukkan bahwa IPC dengan kompresi sekuensial intermiten lebih baik dibanding IPC uniform. IPC mencegah stasis vena melalui pompa intermiten vena tungkai. Tekanan maksimum bervariasi dari 35-55 mmHg dan waktu inflasi bervariasi dari 10-35 detik dengan periode deflasi sekitar 1 menit untuk memberi waktu vena agar terisi darah kembali. IPC sebaiknya dihindari pada pasien dengan infeksi kulit seperti selulitis dan erisipelas serta pada pasien dengan edema tungkai masif sekunder akibat gagal jantung kongestif karena berisiko meningkatkan preload

Page 14: deep vein thrombosis

jantung. IPC dikontraindikasikan pada pasien yang tegak diagnosis DVT karena trombus dapat lepas parsial atau komplit dari dinding pembuluh vena dan menyebabkan emboli paru dan juga pada pasien PAD karena berisiko mengganggu viabilitas jaringan dan menyebabkan nekrosis.

Metode Profilaksis Farmakologi1

Heparin unfractioned (UFH)UFH subkutan low-dose, yakni 5000 U diberikan 2 jam sebelum operasi diikuti 10.000-15.000 U/24 jam. Beberapa metaanalisis menunjukkan bahwa UFH mengurangi risiko DVT postoperatif hingga >50% pada pasien operasi umum dengan risiko komplikasi pendarahan minor.

LMWHDosis enoksaparin (MEDENOX) 20 atau 40 mg subkutan 1 kali sehari.

Antagonis vitamin K oralBisa diberikan dengan fixed low dose sehingga tidak diperlukan monitoring laboratorium atau dengan adjusted dose dengan tujuan mencapai kadar antikoagulasi terapeutik (INR 2.0-3.0 dianggap adekuat untuk profilaksis DVT pada pasien risiko tinggi). Obat ini butuh waktu 3-4 hari untuk mencapai efek antikoagulan maksimum sehingga biasanya dimulai pada malam saat operasi atau post-operasi hari pertama. Kekurangan utama obat ini adalah risiko pendarahan, diperlukan monitoring dan banyak interaksi dengan obat lain dan makanan.

Komplikasi Emboli pulmoner (PE)

PE terjadi saat bekuan darah terlepas dari dinding vena dan bergerak melalui jantung menuju arteri pulmoner. Sebagian besar PE yang berasosisasi dengan DVT asimtomatik (pasien dengan DVT simtomatik 50-80%nya mengalami PE asimtomatik dengan 90% tromboemboli berasal dari vena ekstrimitas bawah. Tanda bahaya PE, antara lain:- sesak napas yang tidak dapat dijelaskan (gejala PE tersering)- rasa tidak nyaman pada dada, biasanya memburuk dengan napas dalam atau batuk- kecemasan- lightheadedness atau blacking out- riwayat DVT Pada pasien dengan suspek PE rendah hingga moderat, kadar D-dimer normal cukup untuk mengeksklusi kemungkinan PE trombotik PE biasanya diterapi di RS dengan UFH IV baru kemudian bridging ke warfarin oral. Durasi pemberian warfarin yang direkomendasikan paling tidak 6 bulan, tetapi dapat lebih lama bergantung pada kondisi pasien.6

Sindrom posttrombotik (PTS)PTS merupakan masalah yang dapat terjadi pada hampir setengah pasien yang mengalami DVT pada tungkai bawah. Gejala PTS meliputi nyeri tungkai kronik, bengkak, kemerahan, dan ulkus. PTS terjadi apabila bekuan darah pada vena tungkai menyebabkan inflamasi dan memblok aliran darah sehingga menyebabkan kerusakan

Page 15: deep vein thrombosis

pada katup vena. Katup vena yang rusak menjadi bocor dan memungkinkan cairan terkumpul di sekitar pergelangan kaki sementara bekuan darah yang tidak sepenuhnya sembuh juga dapat memblok aliran darah. Hal ini menimbulkan nyeri, bengkak, dan kemerahan pada kaki, hingga ulkus (terjadi pada 5-10% pasien dengan DVT). Faktor risiko PTS, antara lain7:- usia >65 tahun- DVT proksimal (bekuan darah di atas lutut)- memiliki gejala bekuan darah 1 bulan setelah didiagnosis dengan bekuan darah- obesitas- bermasalah dalam menjaga kadar kekentalan darah tetap stabil selama 3 bulan

pertama terapi Hipertensi pulmoner

Gejala yang umum ditemukan adalah dyspneau eksersional progresif (gejala klasik) dengan perburukan gagal ventrikel kanan, edema, nyeri dada, lightheadedness, dan sinkop seiring dengan progresi penyakit. 1

Page 16: deep vein thrombosis

BAB 4Pembahasan

Pasien datang dengan keluhan bengkak di kaki kanan yang berprogresi dari distal ke proksimal, disetai dengan nyeri dan kaku. Nyeri yang dirasakan memiliki VAS tinggi dan diperberat dengan gerakan ekstremitas. Ekstremitas pasien berwarna kebiruan dan disertai gambaran “garis urat” yang dicurigai sebagai tromboflebitis superfisial. Pasien juga mengeluhkan adanya sesak disertai nyeri yang lebih berat saat menarik napas (pleuritic pain). Keluhan pasien merupakan keluhan yang khas untuk DVT, disertai dengan adanya kecurigaan emboli paru. Faktor risiko yang dimiliki pasien antara lain pasien didiagnosis kanker serviks dan riwayat DVT sebelumnya.

Dari pemeriksaan fisik, didapatkan status gizi pasien obesitas, dan status lokalis pada tungkai kanan berupa bengkak seluruh tungkai, berwarna kebiruan di bagian distal, pelebaran vena superfisial, dan pitting edema.

Dari hasil penghitungan predictor skor Wells, didapatkan hasil skor 8, dengan kesimpulan memiliki kemungkinan tinggi untuk mengalami DVT. Untuk menegakkan diagnosis, pasien direkomendasikan untuk menjalani pemeriksaan usg Doppler. Hasil skor kriteria Wells untuk emboli paru adalah 4,5, masuk dalam kategori sedang, dan direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan CT Scan atau V/Q Scan.

Saat dilakukan pemeriksaan, pasien pada kasus telah masuk hari perawatan ke-4. Pasien masih mendapatkan terapi heparin via infusion pump. Heparin pada pasien ditargetkan diberi selama 5 hari dengan monitoring PT dan APTT per 6 jam. Setelah dosis inisial heparin 80 U/kg bolus, dosis heparin diikuti dengan 18U/kg/jam IV kontinyu. Heparin yang diberikan kemudian diesuaikan berdasarkan hasil PT dan aPTT. 1,5 Hasil pemeriksaan laboratorium 14 September 2015 (hari ke-4) menunjukkan bahwa aPTT pasien adalah 59,3 detik atau 1.83 kali kontrol. Dengan demikian pemberian dosis heparin berikutnya tidak ada perubahan, yakni 18 U/kg/jam. Dengan berat badan pasien 65 kg, maka dosis yang diresepkan kemudian adalah: 65 kg x 18 U/kg/jam = 1170 U/jam

= 1170 U/jam x24 jam = 28.080 U/24 jam Pada pasien monitor heparin dilakukan dengan pemeriksaan aPTT karena heparin mengurangi aktivitas 4 faktor koagulasi pada jalur intrinsik (faktor IX, X, XI, XII). Target aPTT adalah 1.5-2.5 kali kontrol.1,5 Selama pemberian heparin dicek ada tidaknya efek samping berupa trombositopenia dan pendarahan. Pada pasien, apabila setelah pemberian 5 hari target tercapai, dilanjutkan dengan terapi kombinasi dengan warfarin 5 mg selama 3-7 hari hingga tercapai INR 2.0-3.0 selama 24-48 jam. Apabila sudah tercapai, pemberian heparin kemudian dihentikan. 1,5

Page 17: deep vein thrombosis

REFERENSI

1. Cronnenwelt JL, Johnston KW. Rutherford’s vascular surgery references. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014.

2. Patel K. Deep Vonous Thrombosis. [internet]. September 2015. diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1911303-clinical#b1

3. Wong E, Chaudhry S. Venous thromboembolism. [internet]. September 2015. diakses dari http://www.pathophys.org/vte/#Diagnosis_of_DVT

4. Scarvelis D, Wells P. Diagnosis and treatment of deep vein thrombosis. CMAJ 2006: 175(9); 1087.

5. Ramzi DW, Leeper KV. DVT and pulmonary embolism: Part II. Treatment and prevention. Am Fam Physician. 2004 Jun 15;69(12): 2841-2848.

6. Goldhaber SZ, Morrison RB. Pulmonary embolism and deep vein thrombosis. Circulation. 2002;106:1436-1438.

7. Vazquez SR, Kahn SR. Postthrombotic syndrome. Circulation. 2010;121:e217-e219.