CEDERA PLEKSUS BRAKHIALIS

36
CEDERA PLEKSUS BRAKHIALIS A. PENDAHULUAN Pleksus brakhialis merupakan saraf-saraf yang keluar dari vertebra servikalis dan menuju ke pundak dan tangan. Terdapat lima saraf yang mencakup dalam pleksus brachialis berupa C5, C6, C7, C8, dan T1. [1] Data mengenai insiden trauma pleksus brachialis sulit diketahui dengan pasti, Goldie dan Coates melaporkan 450-500 kasus cedera supraklavikular tertutup terjadi setiap tahun di Inggris. Pada laporan yang lain, Narakas membuat suatu pedoman "seven seventies " dengan mengacu pada pengalaman menangani 1068 pasien selama 18 tahun yang salah satunya berisi 70% kecelakaan pengendara sepeda motor dengan trauma multipel akan berimplikasi 70% diantara berupa cedera supraklavikuler, 70% cedera supraklavikuler merupakan avulsi saraf yang melibatkan C7, C8, T1. [1] Enam puluh satu kasus kelumpuhan pleksus brachialis akibat persalinan tercatat dalam 30.451 persalinan hidup di rumah sakit hibah Kaiser, San Francisco, antara Januari 1972 hingga Desember 1982 dengan insiden 2.0/1,000 kelahiran. Tiga puluh delapan pasien dievaluasi dalam kurun waktu 1 tahun hingga 11,5 tahun. Penyebab trauma jalan lahir terkait cedera pleksus brachialis adalah kelumpuhan wajah, fraktur klavikula, ekimosis tangan, dan cephalohematoma. [2] Selain itu pada data lainnya dalam populasi Amerika ditemukan bahwa cedera pleksus brachialis teridentifikasi sebanyak 113 (0.1%) dari 103,434 anak dengan trauma yang masuk 1

description

baca aja

Transcript of CEDERA PLEKSUS BRAKHIALIS

CEDERA PLEKSUS BRAKHIALIS

A. PENDAHULUAN

Pleksus brakhialis merupakan saraf-saraf yang keluar dari vertebra servikalis dan menuju

ke pundak dan tangan. Terdapat lima saraf yang mencakup dalam pleksus brachialis berupa

C5, C6, C7, C8, dan T1. [1]

Data mengenai insiden trauma pleksus brachialis sulit diketahui dengan pasti, Goldie dan

Coates melaporkan 450-500 kasus cedera supraklavikular tertutup terjadi setiap tahun di

Inggris. Pada laporan yang lain, Narakas membuat suatu pedoman "seven seventies " dengan

mengacu pada pengalaman menangani 1068 pasien selama 18 tahun yang salah satunya berisi

70% kecelakaan pengendara sepeda motor dengan trauma multipel akan berimplikasi 70%

diantara berupa cedera supraklavikuler, 70% cedera supraklavikuler merupakan avulsi saraf

yang melibatkan C7, C8, T1. [1]

Enam puluh satu kasus kelumpuhan pleksus brachialis akibat persalinan tercatat dalam

30.451 persalinan hidup di rumah sakit hibah Kaiser, San Francisco, antara Januari 1972

hingga Desember 1982 dengan insiden 2.0/1,000 kelahiran. Tiga puluh delapan pasien

dievaluasi dalam kurun waktu 1 tahun hingga 11,5 tahun. Penyebab trauma jalan lahir terkait

cedera pleksus brachialis adalah kelumpuhan wajah, fraktur klavikula, ekimosis tangan, dan

cephalohematoma. [2]

Selain itu pada data lainnya dalam populasi Amerika ditemukan bahwa cedera pleksus

brachialis teridentifikasi sebanyak 113 (0.1%) dari 103,434 anak dengan trauma yang masuk

rumah sakit antara bulan April 1985 hingga Maret 2002. Enam puluh satu persen diantaranya

merupakan anak laki-laki. Kebanyakan penyebab cedera adalah kecelakaan motor dengan

membawa penumpang dibelakangnya (36 kasus [32%]) atau kecelakaan pada pejalan kaki

(19 kasus [17%]). Trauma kepala didiagnosis pada 47% anak dan 27% diantaranya

mengalami konkusi, perdarahan intrakranial 21%, dan fraktur tulang kepala 14%. Trauma

vaskuler ekstremitas atas terjadi pada 16% pasien. Cedera muskuloskeletal yang terbanyak

antara lain fraktur humerus (16%), tulang iga (16%), klavikula (13%), dan skapula (11%).

Fraktur spinal terjadi pada 12% pasien, dan cedera medulla spinalis terjadi 4%. The Injury

Severity Score berkisar antara 1 sampai 75, dengan skor rata-rata 10 dan 6 pasien meninggal

karena adanya cedera yang berkepanjangan selama periode trauma. [3]

Data epidemiologi cedera pleksus brachialis pada populasi multitrauma tercatat sebanyak

54 dari 4538 (1.2%) pasien yang terdapat pada berbagai fasilitas trauma regional. Pasien

1

didominasi laki-laki usia muda. Penyebab tersering berupa kecelakaan motor namun hanya

0.67% dari kecelakaan ini yang kemudian menyebabkan keadaan cedera pleksus.

Sebaliknya, 4.2% korban kecelakaan roda dua dan 4.8% korban kecelakaan snow mobile

menderita cedera pleksus. Cedera pada supraklavikula terjadi pada 62% pasien dan 38%

pasien memiliki cedera infraklavikula. Cedera supraklavikula nampaknya lebih berat

dibandingkan cedera infraklavikula, dikarenakan adanya resiko neuropraksi pada 50% kasus. [4]

2

B. ANATOMI dan HISTOLOGI

Plexus brachialis berada dalam region colli posterior, dibatasi di sebelah caudal oleh

clavicula dan terletak di sebelah posterolateral M. Sternocleidomastoideus, berada di sebelah

cranial dan dorsal a. Subclavia, disilangi oleh M. Omohyoideus venter inferior. Struktur yang

berada di superficial adalah M. Platysma myoides, N. Supraclavicularis, V. Jugularis Externa,

venter inferior M. Omohyoideus, M. Scalaneus Anterior, dan A. Transversa Colli. [5]

Plexus brachialis masuk ke dalam fossa axillaris bersama-sama A. Axillaris, pada sisi

inferolateral M. Pectoralis minor, di sebelah ventral M. Subscapularis, tampak percabangan

terminal dari plexus ini. [5]

Ramus anterior nervus spinalis C5-C6 bersatu membentuk truncus superior. Truncus

medius hanya dibentuk oleh nervus spinalis C7, dan truncus inferior dibentuk oleh nervus

spinalis C8 dan T1. Setiap truncus terbagi dua menjadi cabang anterior dan cabang dorsal

yang masing-masing mempersarafi bagian anterior dan posterior eksteremitas superior. [5]

Cabang anterior dari truncus superior dan truncus medius bersatu membentuk

fasciculus lateralis, terletak di sebelah lateral arteri axillaris. Cabang anterior dari truncus

inferior membentuk fasciculus medialis, terletak di sebelah medial arteri axillaris. Dan

cabang posterior dari ketiga truncus tersebut membentuk fasciculus posterior, berada di

sebelah posterior A. Axillaris. [5]

Ketiga fasciculus plexus brachialis terletak di atas dan lateral terhadap bagian pertama

A. Aksillaris ( bagian pertama A. Aksillaris terletak dari pinggir lateral iga 1 sampai batas

atas M. Pectoralis minor, dan bagian III terletak dari pinggir bawah M. Pectoralis minor

sampai pinggir bawah M. Teres Major). Fasciculus medialis menyilang di belakang arteri

untuk mencapai sisi medial bagian II arteri. Fasciculus posterior terletak di belakang bagian

kedua arteri, dan fasciculus lateralis terletak bagian II arteri. Jadi fasciculus pleksus

membatasi bagian kedua A. Axillaris yang dinyatakan seperti namanya. Sebagian besar

cabang fasciculus yang membentuk trunkus saraf utama ekstremitas superior melanjutkan

hubungan dengan bagian kedua A. Aksillaris.[5]

Pleksus brachialis menerima komponen simpatis melalui ganglion stellatum untuk nervus

spinalis C6-7-8, dan melalui ganglion paravertebra T1-T2 untuk nervus spinalis T1-dan T2.

Terdapat enam saraf penting yang keluar dari pleksus brachialis, saraf-saraf tersebut adalah : [5]

3

1. N. Torakalis Longus berasal dari radiks pleksus brachialis di leher dan masuk aksilla

dengan berjalan turun melewati pinggir lateral iga I di belakang A. Aksillaris dan pleksus

brachialis. Saraf ini berjalan turun melewati permukaan lateral M. Serratus Anterior yang

dipersarafinya.

2. N. Aksillaris merupakan cabang yang besar dari fasciculus posterior. Berada di sebelah

dorsal a. aksillaris. Meninggalkan fossa aksillaris tanpa memberi persarafan di sisi N

aksillaris berjalan di antara M. Subscapularis dan M. Teres Minor, berada di sebelah

lateral caput longum M. Triceps Brachii, berjalan melaui fissure aksillaris lateralis

bersama-sama dengan arteri circumflexa humeri posterior, n aksillaris terletak bersandar

pada column chirurgicum humeri.

3. N. Radialis merupakan lanjutan langsung fasciculus posterior pleksus brachialis dan

terletak di belakang A. Aksillaris. N Radialis adalah cabang terbesar pleksus brachialis.

Sebelum meninggalkan aksilla, saraf ini mempercabangkan saraf untuk caput longum dan

caput medial M. Triceps dan N. Cutaneus brachii posterior.

4. N. Musculocutaneus merupakan cabang dari fasciculus lateralis dan berpusat pada

medulla spinalis segmen C5-C7, mempersarafi M. Coracobrachialis, dan meninggalkan

aksilla dengan menembus otot tersebut. Saraf ini meninggalkan tepi lateral M. Biceps

Brachii, menembus fascia dan melanjutkan diri sebagai N. Cutaneus antebrachii lateralis,

yang mempersarafi permukaan lateral region antebrachium.

5. N. Medianus dibentuk oleh radiks superior dan fasciculus lateralis dan radiks inferior dan

fasciculus medialis, berada di sebelah lateral a. aksillaris. Menerima serabut-serabut yang

berpusat pada medulla spinalis segmen C5-T1. Sepanjang brachium, n medianus berjalan

berdampingan dengan a. brachialis, mula-mula di sebelah lateral, lalu menyilang di

sebelah ventralarteri tersebut kira-kira pada pertengahan brachium, selanjutnya memasuki

fossa cubiti dan berada di sebelah medial a brachialis. Nervus ini tidak member

percabangan di daerah brachium. Memasuki daerah antebrachium, nervus ini berjalan di

antara kedua kaput m. pronator teres, berjalan ke distal di bagian mediana (tengah-tengah)

antebrachium, oleh karena itu disebut n. medianus.

6. N. Ulnaris adalah cabang utama dari fasciculus medialis, berjalan turun antara a. aksillaris

dan v. aksillaris. Pada pertengahan brachium saraf ini berjalan kea rah dorsal menembusi

septum intermusculare mediale, berjalan terus ke caudal dan berada pada permukaan

dorsal epicondylus medialis humeri, yaitu di dalam sulcus nervi ulnaris. Di tempat ini n.

ulnaris ditutupi oleh kulit sehingga dapat dipalpasi. Di daerah brachium, n ulnaris tidak

member percabangan.

4

Gambar diambil dari kepustakaan no. [6]

HISTOLOGI

Sistem saraf tepi tersusun atas akson-akson yang keluar menuju organ efektor dan

diorganisasikan menjadi saraf. Akson SST pada umumnya termielininasi sehingga terlihat

berwarna putih. [7], [8]

Gambar diambil dari kepustakaan no. [7], [8]

Organisasi akson-akson saraf tepi menjadi berkas saraf melalui jaringan pengikat. Saraf-

saraf tepi terdiri atas serabut-serabut saraf (akson) yang saling berkumpul bersama, dan

disatukan melalui jaringan penyambung sehingga menghasilkan kumpulan serabut saraf,

disebut dengan fasikulus. Dalam satu fesikel pada umumnya mengandung persarafan baik

sensorik maupun motorik. Beberapa fasikulus membentuk bundel berkas serat saraf. Bundel

5

berkas serat saraf ini diikat oleh Epineurium, yakni suatu jaringan ikat yang padat, tidak

beraturan, tersusun mayoritas oleh kolagen dan sel-sel fibroblas. Epineurium menyelimuti

beberapa fasikulus yang bersatu membentuk saraf. Di epineurium pula bisa ditemukan

pembuluh darah. Ketebalan epineurium bervariasi, paling tebal di daerah dura yang dekat

dengan SSP, makin tipis hingga percabangan saraf-saraf ke arah distal. [7], [8]

Gambar diambil dari kepustakaan no. [7], [8]

Perineurium adalah selaput pembungkus satu fasikulus yang tersusun atas jaringan ikat

padat kolagen yang tersususn secara konsentris, serta sel-sel fibroblas. Di bagian dalam

perineurium terdapat pula lapisan sel-sel epiteloid yang direkatkan melaui zonula okluideris

serta dikelilingi oleh lamina basal yang menjadikan suatu barrier (sawar) materi bagi

fasikulus. [7], [8]

Endoneurium adalah lapisan terdalam yang mengelilingi satu akson. Lapisan ini tersusun

atas jaringan ikat longgar (berupa serat retikuler yang dihasilkan oleh sel Schwann yang

bertanggung jawab untuk akson tersebut), sedikit fibroblas, dan serat kolagen. Di daerah

distal akson, endoneurium hampir tidak ada lagi, hanya menyisakan sedikit serat retikuler

yang menyertai basal lamina sel Schwann. [7], [8]

Gambar diambil dari kepustakaan no. [7], [8]

6

C. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI

Saraf-saraf yang mencakup pleksus brakhial berjalan dibawah kulit leher dan aksilla,

sehingga rentan terhadap trauma. Ketika leher dan tangan terkena pada saat trauma (misalnya

pada kecelakaan mobil, motor, dan saat jatuh) maka saraf-saraf tersebut tertarik dan robek

satu sama lain. Jika kekuatan dorongan sangat hebat maka saraf dapat tertarik keluar dari

tempat asalnya yaitu medulla spinalis. [1]

Selain itu penyebab cedera pleksus brachialis juga dibedakan berdasarkan mekanisme

trauma, antara lain: [9]

Cedera akibat traksi /traumatic traction injuries –merupakan penyebab yang terbanyak

cedera pleksus brakhialis yang disebabkan oleh dislokasi pundak atau tangan ke arah

bawah karena adanya tarikan yang kuat, seringkali disertai fleksi lateral leher pada arah

yang berlawanan. Hal ini biasanya terjadi kecelakaan kendaraan bermotor khususnya

motor.

Gambar diambil dari kepustakaan no.10

Trauma penetrasi pada pundak atau leher- luka trauma akibat tusukan pisau, laserasi kaca,

atau luka tembak pada regio supra-atau infraklavikula menyebabkan kontusio atau

robeknya pleksus brachialis. Karena letak pembuluh darah subklavia dan jugular

eksternal yang lebih proksimal maka dapat pula terkait dengan cedera pembuluh darah.

Gambar diambil dari kepustakaan no.10

7

Kelemahan yang terkait dengan kelahiran-cedera pada pleksus brachialis yang terjadi

akibat dengan kelahiran. Hal ini umumnya terkait dengan berat bayi besar dan distosia

bahu, bayi lahir normal dengan presentasi bokong, ataupun pada persalinan dengan

partus.

Gambar diambil dari kepustakaan no.10

Penyebab yang jarang antara lain trauma tumpul pada bahu, lesi kompresi, radiasi, dan

neoplasma.

D. DIAGNOSIS

a. ANAMNESIS

Seseorang dengan cedera bahu berat, khususnya pada kecelakaan bermotor. Mekanisme

cedera harus dipertimbangkan, karena dapat terjadi pada multiple trauma.

Pasien dapat memberikan gejala-gejala berupa : [10]

Nyeri, khususnya leher dan bahu. nyeri saraf umumnya disebabkan adanya ruptur.

Parestesia dan distesia

Kelemahan atau rasa berat pada ekstremitas

Menurunnya nadi, disebabkan cedera pembuluh darah yang menyertainya.

Pada cedera saraf perifer perlu menentukan grading yang bertujuan untuk

memprediksi luaran fungsional dan rencana terapi. Penentuan grading dilakukan dengan

menilai mekanisme trauma yang umumnya berupa kompresi, traksi, laserasi, dan/ atau

iskemik. Seddon membagi grading menjadi tiga berdasarkan luasnya cedera pada tiga

komponen dasar saraf perifer (conducting axon, sel schwann yang meliputinya, dan

8

matriks jaringan yang berada disekitarnya disebut sebagai “highway”) yang menentukan

regenerasi aksonal yaitu : [11]

Neuropraksia

Neuropraksia, merupakan derajat yang paling ringan pada cedera saraf, dicirikanoleh

blok total atau penurunan konduksi akson pada segmen saraf yang dilaluinya. Kontinuitas

aksonal masih ada sehingga tidak terjadi degenerasi Wallerian. Konduksi saraf sampai

pada area distal dan proksimal dari lesi, namun tidak ada pada daerah lesi. Neuropraksi

dapat terjadi akibat kompresi mekanik langsung yang menyebabkan demielinisasi pada

saraf. Cedera neuropraksia umumnya bersifat sementara dan penyembuhan total dapat

terjadi dalam hitungan hari sampai minggu.

Pada umumnya neuropraksia disebabkan oleh adanya penekanan pada myeline sheet

yang relative ringan dan singkat dimana akan terjadi kompresi akut di sekitar saraf.

Kondisi neuropraksia ini akan mengalami demyelinasi pada saraf itu sendiri tanpa adanya

degenerasi pada saraf. Hal tersebut masih memungkinkan terjadinya konduksi pada saraf.

Gambar diambil dari kepustakaan no.11

Aksonotmesis

Aksonotmesis umumnya ditemukan pada cedera yang hebat, sehingga memberikan

gambaran yang lebih buruk dan dicirikan oleh hambatan akson dengan perlindungan pada

“highway” jaringan berhubungan disekitarnya, yang dapat membantu regenerasi aksonal.

Degenerasi wallerian distal akson terjadi dalam periode beberapa hari setelah stimulasi

elektrik langsung pada saraf distal yang terpotong tidak menunjukkann kemajuan dalam

konduksi saraf dan respon otot. Penyembuhan dapat terjadi melalui regenerasi aksonal

disebabkan perlindungan “highway” jaringan konektif, terdiri atas sel-sel schwann dan

lamina basalnya, dan komponen seluler dan molekuler matriks ekstraseluler. Pada

aksonotmesis umumnya penyembuhan terjadi dalam periode bulan sampai tahun. [11]

9

Adapun pada axonotmesis didapatkan gangguan axon, tetapi selubung myelin masih

utuh. Tanda gejala penekanan saraf tepi pada kondisi ini disertai dengan gangguan

motorik. Dimana gangguan ini sama halnya dengan jenis cedera neuropraksia. Akan

tetapi, pada kondisi ini ditemukan adanya gangguan sensorik dengan prognosis baik dalam

3 bulan. [11]

Gambar diambil dari kepustakaan no.11

Neurotmesis

Neurotmesis merupakan derajat yang paling berat yang dicirikan adanya kerusakan

akson, mielin, dan jaringan konektif “highway” dari komponen saraf, sehingga tidak dapat

terjadi regenerasi. Pada cedera ini kontinuitas eksternal saraf terlindungi namun terjadi

fibrosis intraneural menghambat regenerasi aksonal. Tindakan operasi perlu dilakukan

untuk menghilangkan blok yang terbentuk akibat adanya jaringan skar dan menyambung

kembali jaringan saraf. Laserasi yang menyebabkan hilangnya fungsi saraf perifer harus

dipertimbangkan sebagai neurotmesis sampai ditemukan kausa lain. [11]

Perubahan awal yang menyertai serangan ini adalah pembengkakan pada bagian

interstitial saraf. Sehingga menimbulkan hambatan konduksi karena menghilangnya

myelin saraf pada area yang mengalami kerusakan. Yang pertama terkena adalah serabut

saraf yang mempunyai daya hantar rangsang cepat. Beberapa serabut akan mengalami

degenerasi, sedangkan mungkin yang lain tetap baik atau mengalami reversible. Dari

patogenesis yang berlangsung seperti tersebut di atas, maka akan memberikan dampak

terhadap saraf baik sensorik, motorik maupun otonom. Seperti dampaknya terhadap

terjadinya kelemahan pada otot-otot sebagai salah satu akibat langsung maupun tidak

langsung. Karena adanya hambatan konduksi saraf, maka area yang memperoleh innervasi

akan mengalami perubahan misalnya pada otot antara lain: berkurangnya sarkomer-

sarkomer di beberapa bagian dari ujung-ujung serabut otot. Ikatan antara actin dan

filament-filamen myosin akan meningkatkan viskositas dan resisten untuk memanjang. [11]

10

\

Gambar diambil dari kepustakaan no.11

b. PEMERIKSAAN FISIS

Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan ptosis, enoftalmus, , anhidrosis, and miosis atau

Horner syndrome menunjukkan adanya lesi pleksus letak rendah komplit, karena ganglion

simpatik T1 berada pada ujung proksimal pleksus brakhialis. [1]

Gambar menunjukkan pasien dengan ptosis dan miosis pada mata kanan. [1]

Edema pada bahu dapat luas. Menurunnya atau hilangnya nadi menunjukkan adanya

cedera pembuluh darah. Fraktur klavikula seringkali dapat diraba. Inspeksi dan palapasi

dengan cermat pada tulang aksial dapat menunjukkan adanya cedera yang menyertai.

Pemeriksaan pada setiap saraf servikal perlu dilakukan untuk melihat fungsi motorik dan

sensorik segera setelah kondisi pasien memungkinkan. [1]

Sebagai bahan pertimbangan pada keadaan tertentu diperlukan pemeriksaan

neurologis. Pemeriksaan sensoris berupa deep pressure sensation mungkin merupakan

penanda utama pada kontinuitas saraf dengan pasien gejala tidak ada fungsi motor atau

sensasi lain. Pemeriksaan ini berupa cubitan pada dasar kuku dan menarik jari pasien ke sisi

luar. Jika terdapat sensasi terbakar menunjukkan adanya kontinuitas pada saraf yang

11

diperiksa. Namun jika tidak ada, maka pemeriksaan ini tidak berguna untuk menentukan

keadaan neuropraksia karena dapat bertahan lebih dari 6 bulan. [1]

Lokasi tes deep pressure spinal nerve Nerve Affected cord

Ibu jari C6 Median nerve Lateral cord

Jari tengah C7 Median nerve Lateral cord

Kelingking C8 Ulnar nerve Medial cord

Tabel diambil dari kepustakaan no. [1]

Pemeriksaan sensasi dan gerakan pergelangan tangan dan jari untuk menilai saraf-

saraf median, ulnar, radial dapat membantu mengetahui letak lesi pleksus brachialis.

Pemeriksaan motorik berguna karena terdapat variasi tertentu pada saraf-saraf spinal diantara

medulla dan merupakan pola inervasi abnormal yang terbanyak. Variasi ini menjadi

tantangan tersendiri dalam mengidentifikasi level yang terkena/terlibat. C4 dapat berperan

pada percabangan dari pleksus lebih dari 60%. Jika C4 memiliki peran signifikan pada

pleksus, maka pleksus dinamakan prefiks/ prefixed. Ketika pemeriksaan motorik dilakukan,

patut diingat bahwa kebanyakan otot manusia berperan pada multipel level servikal. [1]

Saraf servikal Tes fungsi motorik

C5 Abduksi, ekstensi, dan rotasi ekternal bahu, beberapa fleksi siku

C6 Fleksi siku, pronasi dan supinasi telapak tangan, beberapa ekstensi

pergelangan tangan

C7 Hilangnya fungsi ekstremitas secara difus tanpa paralisis sempurna

kelompok otot tertentu, ekstensi siku, yang secara konsisten mempersarafi

otot latisimus dorsi

C8 Ektensor dan fleksor jari tangan, fleksor pergelangan tangan, intrinsik

tangan

T1 Intrinsik tangan

Gambar diambil dari kepustakaan no. [1]

c. PEMERIKSAAN PENUNJANG

12

Gambaran radiologi terdiri atas mielografi standar, computed tomographic (ct)

myelography, dan magnetic resonance (mr) imaging. Gambaran radiologi memiliki peranan

penting untuk membedakan cedera preganglionik dari lesi postganglion yang akan

menentukan manajemen pasien. [12]

Standard Myelography dan CT Myelography

Standard myelography telah lama digunakan untuk menilai derajat cedera pleksus

brachialis. Saat ini, standard myelography hampir selalu dilakukan bersamaan dengan CT

myelography. Standard myelography merupakan modalitas yang sederhana dan ekonomis

dan tersedia pada kebanyakan rumah sakit. Evaluasi saraf intradural menggunakan standard

myelography lebih sensitif dibandingkan dengan ct myelography untuk mendeteksi avulsi

serat saraf pada C8 dan T1. Akar saraf seringkali sulit untuk dievaluasi menggunakan CT

myelography yang berasal dari bahu. Standard myelography berguna untuk melihat saraf

ventral dan dorsal yang tidak dapat dievaluasi secara terpisah. CT myelography merupakan

modalitas yang paling terpercaya untuk mendeteksi cedera avulsi. CT myelography

memungkinkan penilaian terpisah pada akar saraf ventral dan dorsal dan deteksi defek saraf

intradural. Modalitas ini memiliki akurasi diagnostik yang lebih baik dibandingkan dengan

standard myelography dan MR imaging, khususnya pada level C5 dan C6, walaupun artifak

tulang dari bahu kadang memberi gangguan pada level C8 dan T1. Perkembangan terbaru

pada multi– detector row CT memungkinkan perolehan gambaran yang resolusi spasial

longitudinal yang lebih baik dan besar. [12]

Pada pasien dengan paralisis pleksus brachialis yang diakibatkan trauma, penting

untuk membedakan antara avulsi saraf traumatik (umumnya pada pseudomeningokel) atau

lesi pleksus brachialis pada bagian yang lebih distal. Pseudomeningokel dapat terlihat pada

MRI. Sayangnya pseudomeningokel dapat terjadi tanpa avulsi serat saraf, dan avulsi serat

saraf dapat berlangsung tanpa pseudomeningokel. Pada pasien dengan keadaan tersebut

biasanya terjadi pembengkakan pada pleksus brachialis sehingga sulit dideteksi adanya

robekan. Pasien dengan peningkatan pleksopati setelah terjadi fraktur klavikula, MRI dapat

berguna untuk mengevaluasi kompresi yang mungkin terjadi pada pleksus brachialis karena

terbentuknya kallus. [13]

Conventional MR Imaging

13

Temuan pada MRI konvensional dapat memberikan informasi anatomi dan fisiologi

tambahan pada cedera. Peningkatan intradural nerve roots dan root stumps menunjukkan

adanya gangguan fungsional dari akar saraf meskipun secara morfologi ada kontinuitas. [12]

Rekomendasi terhadap pemeriksaan radiologi yang optimal pada cedera pleksus

brachialis berupa pemeriksaan CT myelography sebagai modalitas pemeriksaan awal, dengan

menambahkan standard myelography dan MRI kontras. Namun perlu diketahui bahwa

pemeriksaan radiologik tunggal tidak dapat diandalkan karena keunggulan dan

keterbatasannya masing-masing alat. CT myelography merupakan pilihan pertama untuk

evaluasi kecurigaan terdapat cedera preganglion karena merupakan modalitas radiologik yang

paling terpercaya untuk mendeteksi cedera avulsi. Jika CT myelography tidak dapat

dilakukan, maka MR myelography harus dilakukan sebagai pemeriksaan tambahan terhadap

MRI konvensional untuk mengevaluasi nerve roots. [12]

E. PENATALAKSAAN

a. PEMBEDAHAN

Trauma saraf perifer dapat dibagi menjadi trauma terbuka dan trauma tertutup. Repair

secepat mungkin pada trauma laserasi akut harus dilakukan dengan tujuan end-to-end

suture repair primer jika memungkinkan. Jika ujung saraf compang-camping , ataupun

trauma merupakan transmisi dari tenaga tumpul, operasi harus ditunda setelah interval 2

sampai 3 minggu agar memungkinkan terjadinya formasi jaringan ikat. Penundaan ini

bertujuan agar terbentuk batas antara jaringan saraf proksimal dan distal yang sehat

dengan segmen jaringan skar. Reseksi bedah pada jaringan fibrosa segmen proksimal dan

distal kembali pada struktur fascicular normal pada setiap ujungnya dilaksanakan

bersamaan dengan repair interposisi graft saraf ataupun tanpa repair interposisi dan

bergantung pada panjang celah. [11]

14trauma terbuka

Pedoman penanganan trauma saraf perifer terbuka. [11]

15

saraf tidak terputus saraf terputus

perawatan medis dan follow up ketat dengan

pemeriksaan klinis serial, pemeriksaan

elektrodiagnosis, dan radiologi

reseksi tajam

reseksi tumpul

repair end-to-end

tunda repair

reseksi skar intraneural dan lakukan repair (±graft)

trauma tertutup

Pedoman penanganan trauma saraf perifer tertutup. (emg: elektromiografi, mri:

magnetic resonance imaging, mrn: magnetic resonance neurography, ncv, ssep:

somatosensory evoked potential). [11]

Trend terbaru pada cedera pleksus brachialis berupa repair secepat mungkin. Pasien

pasien dapat diobservasi selama 8 sampai 10 minggu untuk penyembuhan spontan. Setelah

16

pemeriksaan klinis , pemeriksaan elektrodiagnostik (EMG/NCV/SSEP), pemeriksaan radiologik (MRI/MRN)

Neuropraksia aksonotmesis vs neurotmesis vs avulsi

serat safar spinal

aksonotmesis

penanganan medis penanganan medis

eksplorasi dengan monitoring

elektrofisiologi intraoperatif

penyembuhan sempurna

dalam hitungan minggu

penyembuhan dalam hitungan minggu-

tahun yang bergantung pada multipel faktor

respon konduksi saraf positif sekitar lesi avulsi serat saraf

spinal yang dikonfirmasi

dengan hilangnya SSEP

respon konduksi saraf negatif sekitar lesi

prosedur neurotisasi

lesi neurometrik : reseksi skar

intraneural dan lakukan repair

(±graft)

lesi aksonometrik : penyembuhan dalam

hitungan minggu- bulan bergantung pada multipel faktor

empat minggu harus dilakukan pemeriksaan electromyography dan CT Myelography/ MR

myelography. Pasien dengan cedera avulsi dapat segera dioperasi. Pasien lainnya harus

diobservasi dalam 6-8 minggu terhadap penyembuhan spontan. Jika tidak terjadi

penyembuhan spontan, operasi tidak boleh ditunda karena keterlambatannya akan semakin

menyulitkan penyembuhan. Jika terbukti terjadi regenerasi namun tidak secara menyeluruh

(proksimal hingga distal) maka perlu dilakukan eksplorasi dan rekonstruksi pada segmen

yang tidak tercakup. [14]

Repair pleksus brachialis dapat ditempuh dengan beberapa cara, antara lain : [14]

NERVE GRAFTS

Repair saraf secara langsung tanpa graft saraf hanya mungkin dilakukan pada cedera

tajam dengan posisi melintang, namun keadaan ini jarang dijumpai. graft saraf merupakan

teknik yang paling banyak dilakukan pada repair pleksus brachialis. tension free nerve graft

lebih baik dibandingkan dengan repair under tension. graft kutaneus yang tipis (misalnya

saraf sural) dipersiapkan karena lebih mudah tervaskularisasi. jika graft saraf terlalu tebal,

pusat graft saraf tidak dapat tervaskularisasi, dan graft akan gagal. kebanyakan ahli bedah

setuju bahwa graft saraf yang pendek lebih baik dibandingkan dengan graft saraf yang

panjang (misalnya berukuran lebih dari 7 cm). Graft harus 20% lebih panjang dari defek

saraf. Graft saraf yang tervaskularisasi sesuai untuk jaringan skar dan untuk memperbaiki

defek ukuran besar pada saraf. Komplikasi vaskuler dapat menyebabkan hilangnya graft

secara keseluruhan, untuk menjembatani defek yang panjang (30 cm atau lebih), seperti pada

transfer kontralateral, graft saraf tervaskularisasi terbukti lebih baik. Pada avulsi pleksus

brachialis yang lebih besar pada C8 dan T1, saraf ulnar tervaskularisasi telah digunakan

untuk transfer saraf C7 kontralateral ke saraf median. Pengambilan graft saraf sural secara

endoskopik telah dilakukan untuk menghindari kelemahan pada teknik terbuka. teknik ini

memberikan kepuasan yang lebih baik, angka kecacatan yang lebih kecil, dan tidak

menggangu estetika. [14]

NERVE ALLOGRAFTS

Allograft saraf bekerja sebagai kerangka temporer sampai terjadi regenerasi akson.

Jaringan allograft secara keseluruhan menggantikan bahan dasar. Imunosupresan fk 506 yang

baru, dikenal dengan takrolimus, memiliki efek samping yang lebih rendah dibandingkan

imunosupresan lainnya. Imunosupresan ini memiliki kemampuan neurogeneratif dan

neuroprotektif. [14]

FIBRIN GLUE IN NERVE REPAIR

17

Dahulu graft saraf dijahit dengan menggunakan jahitan mikro sintetik, yang dapat

menstimulasi reaksi fibrosis dan inflamasi pada area sambungan yang dapat menghambat

regenerasi serat saraf. Naraka, pada tahun 1988 menggunakan lem fibrin pada repair saraf.

Sejak saat itu menjadi trend dikalangan ahli bedah saraf perifer. Studi terbaru

membandingkan lem fibrin dengan jahitan mikro pada repair saraf median tikus dan

menghasilkan repair saraf dengan fibrin sealant menghasilkan respon inflamasi dan fibrosis

yang lebih kecil, regenerasi aksonal yang lebih baik, dan kesejajaran serat yang lebih baik

dibandingkan dengan terknik jahitan mikro. Selain itu teknik fibrin sealant juga cepat dan

mudah digunakan. [14]

NERVE CONDUITS

Meskipun transplantasi graft saraf autologous merupakan plihan utama penanganan

pasien dengan celah saraf perifer, namun kelemahan utama teknik ini adalah terbatasnya saraf

donor yang tersedia. Masalah inilah yang menjadi alasan munculnya metode nerve guidance

channels. Saluran saraf ini membantu mengarahkan tunas aksonal dari puntung proksimal

sampai ke puntung saraf distal. Cara ini juga menyediakan saluran untuk difusi faktor-faktor

neurotropik dan neutotopik dan meminimalisasi infiltrasi jaringan ikat. Pipa saluran dibuat

dari bahan dasar biologi misalnya kolagen yang telah menunjukkan keberhasilan pada jarak

celah kurang dari 3 cm. [14]

NERVE TRANSFERS

Neurotisasi (atau transfer saraf) dilakukan pada repair cedera pleksus brachialis yang

berat, dimana akar saraf spinal proksimal robek dari medulla spinalis. Saraf proksimal yang

sehat kemudian disambungkan ke distal untuk menginervasi saraf yang tidak menerima

innervasi melalui akson yang didonorkan. Konsep ini adalah dengan mengorbankan fungsi

dari otot donor yang kurang berguna untuk menghidupkan kembali fungsi saraf dan otot

resipien melalui re-innervasi. Penggunaan transfer saraf merupakan kemajuan utama dalam

rekonstruksi pleksus brachialis dengan menggunakan berbagai saraf donor yang berbeda

untuk mengembalikan fungsi yang diinginkan. Idealnya transfer saraf harus dilakukan 6

bulan sebelum 6 bulan post trauma. Tersedia berbagai variasi saraf donor untuk neurotisasi.

Beberapa sumber neurotisasi yang biasa digunakan antara lain saraf aksesoris spinal, saraf

frenikus, saraf pektoralis medial, dan saraf interkostal. Metode terbaru, menggunakan

faskikel saraf fungsional ulnar dan median (oberlin transfer) pada pasien dengan C8 dan T1

intak sehingga memungkinkan pengembalian fleksi siku yang sempurna. Neurotisasi

mengorbankan saraf donor, yang nantinya paling tidak mengembalikan fungsi saraf resipien

atau fungsi otot secara parsial. Rami motorik harus diidentifikasi sebelum dihubungkan ke

18

resipien motor, hal ini disebabkan secara teori men-transfer donor motor yang murni ke saraf

resipien motor tidak pernah memberikan hasil yang terbaik pada neurotisasi motor. Metode

untuk mengidentifikasinya antara lain dengan stimulasi elektrik, arah serat saraf dan

pewarnaan histokimia. Saraf yang umumnya digunakan adalah saraf interkostal yang

mengandung sekitar 1300 serat mielin, dan saraf aksesoris spinal dengan 1700 serat. Saraf

muskulokutaneus yang ideal untuk neurotisasi motor adalah memiliki 60% serat fiber yang

akan memerlukan dua serat aksesoris spinal atau lima sarat asesoris spinal. Neurotisasi pada

lokasi resipien di area perifer pleksus misalnya saraf muskulokutaneus, saraf supraskapular,

dan saraf aksilla lebih efektif dibandingkan resipien pada dareah sentral seperti medulla

posterior atau bagian bawah/posterior cord or the lower trunk. Hal ini disebabkan serat donor

akan berpencar melalui cabang-cabang saraf lain sehingga menyebabkan neurotisasi tidak

maksimal dan juga menyebabkan kontraksi simultan pada otot-otot antagonis. Rekonstruksi

saraf merupakan modalitas yang lebih dipilih pada penanganan otot paliatif atau tendon

transfer pada cedera pleksus brachialis dewasa. Transfer saraf atau neurotisasi memiliki tiga

kategori utama yaitu extraplexal neurotization, intraplexal neurotization, dan end-to-side

neurorraphy. Jahitan langsung/direk tanpa tekanan pada neurotisasi lebih baik dibandingkan

jahitan indirek pada graft saraf khususnya pada saraf donor yang lemah seperti saraf

interkostal dan saraf asesoris spinal distal. Neurotisasi bertujuan untuk meng-inervasi

kembali saraf resipien sedekat mungkin dengan otot target. Pasien juga perlu dipersiapkan

pre operasi untuk melakukan latihan induksi sebelum neurotisasi dilakukan. Sebagai contoh,

setelah transfer saraf interkostal dan frenikus, pasien harus dilatih untuk berlari, berjalan, atau

mendaki untuk mencapai pernapasan dalam. Seiring proses penyembuhan, latihan yang

frekuen pada otot yang di re-inervasi akan memungkinkan adanya impuls saraf internal. [14]

Re- implantasi serat spinal yang avulsi ke dalam medulla spinalis

Carlstedt, berdasar pada penelitian binatang, membedah 10 pasien dengan lesi pleksus

brachialis dan berhasil mengembalikan fungsi otot lengan proksimal melalui re-plantasi saraf.

Re-plantasi saraf secara langsung kadangkala tidak dapat dilakukan. Alternatif lainnya adalah

dengan menghubungkan saraf target dengan graft saraf yang di implantasi ke dalam medulla

spinalis. [14]

b. REHABILITASI MEDIK

19

Pada awal trauma, lengan mungkin diistirahatkan beberapa hari atau minggu sebelum

memulai latihan. Pada fase subakut, terapi secara bertahap berkembang dari gerak pasif

menjadi aktif yang dapat ditoleransi. [10]

1. Imobilisasi

Imobilisasi merupakan terapi yang efektif untuk mengurangi nyeri akut. Pada trauma

plexus brachialis dilakukan positioning, yakni lengan diletakkan dalam sikap abduksi, elevasi

di atas bahu dengan tangan eksorotasi untuk membebaskan saraf spinal dari peregangan dan

mengembalikan fungsi saraf kembali. [15]

2. Ultrasound Diathermy (USD)

Diatermi berdasarkan konversi energy suara frekuensi tinggi (high frequency acoustic

vibration). Penetrasinya dalam (3-5 cm), menggambarkan daya > 2 W/cm2, gelombang suara

hanya memiliki daya penetrasi bila digunakan bersama gel, aquasonic dapat mencapai sekitar

73%. Penggunaan USD ini efektifuntuk terapi nyeri akibat neuropati perifer, neuroma dan

herpes zoster. Konraindikasi USD : pemberian pada mata, daerah otak, medulla spinalis post

laminektomi, kehamilan, pacemaker jantung, daerah perikardiak, lokasi post radioterapi,

daerah epifise yang sedang tumbuh, post operasi ganti sendi dengan bahan methyl

methacrylate/polyethylene, daerah neoplasma. Kontraindikasi lainnya pada terapi panas

adalah peradangan akut, perdarahan, hipostesi, anestesi, daerah keganasan, gangguan

komunikasi dan tromboflebitis akut. [15]

3. Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)

TENS merupakan jenis stimulasi listrik dengan frekuensi rendah/tinggi intensitas

rendah/tinggi dan merupakan elektroanalgesia yang paling sering digunakan untuk mengatasi

nyeri. TENS berfrekuensi rendah 2-3 Hz sedangkan yang tinggi berfrekuensi 50-100 Hz dan

seringkali lebih efektif. Intensitas yang digunakan untuk berfrekuensi rendah lebih 30 mA

dan yang berfrekuensi tinggi 10-30 mA. TENS diindikasikan terutama untuk nyeri fokal,

sindrom nyeri kronik antara lain radikulopati, terutama perifer. [15]

4. Electrical Muscle Stimulation (EMS)

Alat yang digunakan untuk menstimulasi otot-otot dan mencegah atrofi otot. Manfaat dari

EMS : 1). Relaksasi otot yang mengalami ketegangan/kejang. 2. Pencegahan atrofi otot

karena tidak digunakan/kelumpuhan.3. meningkatkan sirkulasi darah local.4. stimulasi pasca

operasi otot betis untuk mencegah thrombosis vana.6. mempertahankan atau meningkatkan

jangkauan gerak.

20

Stimulasi otot listrik pada dasarnya dilakukan dengan merangsang beberapa bagian tubuh.

Untuk tujuan ini, sebuah perangkat elektronik yang menggunakan elektroda kecil yang secara

langsung ditempatkan pada daerah tubuh yang perlu dirangsang. Sebuah aliran listrik yang

rendah dialirkan melalui kabel untuk memberikan rangsangan listrik agar dapat menstimulasi

otot yang mengalami kelemahan. Alat ini dapat mengatur tegangan listrik yang ditimbulkan

untuk disesuaikan dengan lokasi otot yang dirangsang. Tegangan listrik yang rendah biasanya

digunakan pada kelompok otot yang lebih kecil, yang tidak dapat dirangsang dengan cara

lain. Menggunakan EMS sangat dianjurkan pada kasus-kasus cedera, dan gangguan

pergerakan yang disebabkan oleh kerusakan saraf pusat.

5. Terapi latihan (Physioterapy)

Program rehabilitasi dapat dilakukan dengan terapis fisik dan atau terapi okupasi.

Tujuannya adalah untuk mencegah atropi, mempertahankan ROM, meningkatkan kekuatan

dan fleksibilitas, menangani nyeri, mengembalikan fungsi struktur yang diinervasi oleh saraf

yang rusak untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Beberapa latihan yang dapat

digunakan: [16]

a. Latihan Range Of Motion (ROM)

ROM terdiri dari aktif, pasif atau kombinasi keduanya. Latihan yang dapat dilakukan 1.

Kepalkan tangan kemudian lepaskan semampunya,2. Tekuk pergelangan tangan sehingga

telapak tangan bergerak ke arah lengan bawah, tahan selama 3-5 detik kemudian luruskan, 3.

Ekstensi pergelangan tangan semampunya kemudian luruskan, 4. Fleksi siku semampunya

kemudian luruskan, 5. Berdiri tegak, tangan di samping badan, angkat ke depan dan ke atas,

tahan kemudian lepaskan. [16]

b. Latihan penguatan

Penguatan dilakukan dengan mengulangi latihan ROM tetapi dengan menggunakan

tahanan. Tahanan bisa dalam bentuk tension bands atau barbell. Tahanan ditingkatkan sampai

dapat menyelesaikan tiga set dengan mudah, sambil mempertahankan bentuk yang baik.

Gerakan tidak terlalu cepat tetapi terkontrol dan hindari bantuan dari bagian tubuh lainnya

seperti bersandarke samping sambil mengangkut lengan di atas kepala. [16]

6. Terapi okupasi

Terapi okupasi terkonsentrasi pada mempertahankan ROM di bahu, orthosis yang tepat

untuk mendukung fungsi tangan, siku dan lengan, dan menangani control edema dan deficit

sensorik, dengan pengujian dan terapi. Terapi okupasi mungkin menangani masalah-masalah

yang berkaitan dengan kemampuan pasien untuk menulis, mengetik, dan menemukan cara

alternative untuk berkomunikasi. Selain itu, terapi okupasi menyediakan bentuk pelatihan

21

ulang untuk aktivitas hidup sehari-hari, termasuk penggunaan teknik 1 lengan, peralatan

adaptif, dan latihan penguatan. [16], [17]

7. Ortohosis

Pada umumnya penderita dengan trauma plexus brachialis akan menggunakan lengan

kontralateral untuk beraktivitas. Pada beberapa kasus, penderita memerlukan kedua tangan

untuk melakukan aktivitas yang lebih kompleks. Untuk itu orthosis di desain sesuai

kebutuhan, terutama untuk mensuport bahu dan siku. Beberapa orthosis digerakkan

menggunakan system mioelektrik, sehingga penderita mampu melakukan gerakan pada

pergelangan tangan dan pinch pada jari-jarinya. [16], [17]

Orthosis ini dapat membantu penderita pasca trauma untuk melakukan aktivitas sehari-

hari seperti makan dan minum dari gelas atau botol, menyisir rambut, menggosok gigi,

menulis, menggambar, membuka dan menutup pintu, membawa barang-barang. [16], [17]

a. Paska operasi nerve repair dan graft

Setelah pembedahan, immobilisasi bahu dilakukan selama 3-4 minggu. Terapi rahbilitasi

dilakukan setelah 4 minggu paska operasi dengan gerakan pasif pada semua sendi anggota

gerak atas untuk mempertahankan luas gerak sendi. Stimulasi elektrik diberikan pada minggu

ketiga sampai ada perbaikan motorik. [10], [17]

Pasien secara tertulis diobservasi dan apabila terdapat tanda-tanda perbaikan motorik,

latihan aktif segera dimulai. Latihan biofeedback bermanfaat bagi pasien agar otot-otot yang

mengalami reinervasi bila mempunyai control yang lebih baik. [16]

b. Pasca operasi free muscle transfer

Setelah transfer otot, ekstremitas atas dimobilisasi dengan bahu abduksi 300, fleksi 600

dan rotasi internal, siku fleksi 1000. Pergelangan tangan posisi netral, jari-jari dalam posisi

fleksi atau ekstensi tergantung jenois rekonstruksinya. [10]

Pemberian elektrostimulasi pada transfer otot, dan saraf yang di repair dilakukan pada

target otot yang paralisa seperti otot gracilis, triceps brachii, supraspinatus dan infraspinatus.

Elektrostimulasi intensitas rendah diberikan mulai pada minggu ketiga paska operasi dan

tetap dilanjutkan sampai EMG menunjukkan adanya reinervasi. Enam minggu paska operasi

selama menjaga rengangan berlebihan dari jahitan otot dan tendo, dilakukan ekstensi

pergelangan tangan dan mulai dilatih pasif ekstensi siku. Siku metacarpal juga digerakkan

pasif untuk mencegah deformitas claw hand. [17]

c. Setelah reinervasi

22

Setelah EMG menunjukkan reinervasi pada transfer otot, biasanya 3-8 bulan paska

operasi, EMG biofeedback dimulai untuk melatih transfer otot menggerakkan siku dan jari

dimana pasien biasanya kesulitan mengkontraksikan ototnya secara efektif. [10], [17]

Reduksi otot diindikasikan saat pasien menunjukkan kontraksi aktif minimal yang tampak

pada otot dan grup otot. Tujuan reduksi otot untuk pasien adalah mengaktifkan kembali

control volunteer otot. Ketika pasien bekerja dengan otot yang lemah, intensitas aktivitas

motor unit dan frekuensi kontaksi otot akan meningkat. Waktu sesi terapi seharusnya pendek

dan dihentikan saat terjadi kelelahan dengan ditandai penurunan kemampuan pasien

mencapai tingkat yang diinginkan. [10], [17]

Pemanasan, ultrasound diatermi, TENS, interferensial stiumulasi, elektrostimulasi dapat

dipergunakan sesuai indikasi. Dilakukan juga penguatan otot-otot leher dan koreksi imbaans

otot-otot ekstremitas atas. [10], [17]

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Foster, M., Traumatic Brachial Plexus Injuries. 2011, emedicine. p. 1-4.2. Brachial Plexus Birth Palsy: A 10-Year Report on the Incidence and Prognosis.

Journal of Pediatrics Orthopaedics, 1984. 4(6).3. Dorsi, M., W. Hsu, and A. Belzberg, Epidemiology of brachial plexus injury in the

pediatric multitrauma population in the United States. Journal of Neurosurgery, 2010. 5.

4. Rajiv, M., Epidemiology of Brachial Plexus Injuries in a Multitrauma Population. Neurosurgery, 1997. 40(6): p. 1182-89.

5. Snell, R., Ekstremitas superior, in Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, J. Oswari, Editor. 1998, Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta. p. 132-253.

6. Moore, K. and A. Agur, Essential Clinical Anatomy ed. 3. 2007, Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.

7. Junqueira, L. and J. Carneiro, Basic Histology Text and Atlas, ed. 11. 2005, New York: McGraw-Hill Medical.

8. Gartner, L. and J. Hiatt, Color Text Book of Histology, ed. 3. 2007, Philadelphia: Saunders Elsevier.

9. Wood, M. and P. Murray, Current Concepts in the Surgical Management of Brachial Plexus Injuries. 2006, www. DCMSonline.org. p. 31-4.

10. Foster, M., Brachial Plexus Injury Traumatic. 2009, emedicine.11. Grant, G., R. Goodkin, and M. Kliot, Evaluation and treatment of traumatic

peripheral nerve injuries, in Neurosurgical Operative Atlas Spine and Peripheral Nerves, B. Brandenburg, Editor. 2007, Thieme Medical Publisher: New York. p. 888-94.

12. Yoshikawa, T., et al., Brachial Plexus Injury: Clinical Manifestations, Conventional Imaging Findings, and the Latest Imaging Techniques. Radiographics, 2006. 26: p. 133-44.

13. Van, H., et al. MRI of the brachial plexus. Volume, 84-90 14. Bhandari, P., et al., Current trends in the management of brachial plexus injuries.

Indian Journal of Neurotrauma, 2008. 5(1): p. 21-5.15. Aulina, S. and A. Pratiwi, Rehabilitasi pada nyeri dalam nyeri neuropatik 2001:

Kelompok Studi Nyeri PERDOSSI.16. Weiss, L. and J. Silver, Brachial Plexopathies in Easy EMG. 2004, Eidenburgh:

Butterworth Heinemann.17. Kaye, V., Traumatic Brachial Plexopath. 2008.18. Murad, G., S. Yamada, and R. Lonser, Brigde Bypass Coaptation for Upper Trunk

Cervical Nerve Root Avulsion, in Neurosurgical Operative Atlas Spine and Peripheral Nerves, B. Brandenburg, Editor. 2007, Thieme Medical Publisher: New York. p. 396-401.

24