cedera kepalahyh

25
I. DEFINISI Trauma kepala adalah gangguan pada otak yang bersifat non degeneratif dan non kongenital yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal, yang menyebabkan terjadinya kerusakan kognitif, fisikal, dan fungsi psikososial yang permanen atau sementara, dengan disertai berkurangnya atau perubahan tingkat kesadaran. Akan tetapi, definisi dari trauma kepala adalah tidak selalu tetap dan cenderung untuk bervariasi bergantung kepada spesialitas dan keadaan lingkungan. Seringkali, trauma/cedera otak disamakan dengan trauma kepala. II. ETIOLOGI Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari setengah kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari tempat tinggi, korban kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma kepala dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, dan lebih sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun. III. KLASIFIKASI TRAUMA KEPALA Klasifikasi trauma kepala dibagi berdasarkan mekanisme trauma, beratnya trauma, dan morfologi trauma. 1. Mekanisme:

description

jgkgkgjg

Transcript of cedera kepalahyh

Page 1: cedera kepalahyh

I. DEFINISI

Trauma kepala adalah gangguan pada otak yang bersifat non degeneratif dan non

kongenital yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal, yang menyebabkan terjadinya

kerusakan kognitif, fisikal, dan fungsi psikososial yang permanen atau sementara, dengan

disertai berkurangnya atau perubahan tingkat kesadaran.

Akan tetapi, definisi dari trauma kepala adalah tidak selalu tetap dan cenderung untuk

bervariasi bergantung kepada spesialitas dan keadaan lingkungan. Seringkali, trauma/cedera otak

disamakan dengan trauma kepala.

II. ETIOLOGI

Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari setengah

kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari tempat

tinggi, korban kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma kepala dua

sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan, dan lebih

sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun.

III. KLASIFIKASI TRAUMA KEPALA

Klasifikasi trauma kepala dibagi berdasarkan mekanisme trauma, beratnya trauma, dan

morfologi trauma.

1. Mekanisme:

Tumpul : kecepatan tinggi (kecelakaan lalu lintas) dan kecepatan rendah (jatuh, dipukul)

Tembus/penetrasi : cedera peluru dan cedera tembus lainnya.

2. Beratnya:

Ringan (GCS 14-15)

Sedang (GCS 9-13)

Berat (GCS 3-8)

3. Morfologinya:

Page 2: cedera kepalahyh

Fraktur tengkorak : kalvaria (linier/steleate, depresi/nondepresi, terbuka/tertutup), basis

kranii(dengan/tanpa kebocoran LCS, dengan/tanpa parese CN VII).

Lesi intrakranial : fokal (epidural, subdural, intraserebral), difus (komosio ringan,

komosio klasik, cedera akson difus)

(ATLS, 1999)

IV. KLINIS

Tingkat kesadaran pasien adalah hal terpenting dalam mengevaluasi pasien trauma kepala.

Glascow Coma Scale (GCS) merupakan alat bantu yang dipakai untuk menentukan derajat

trauma kepala. GCS dibagi menjadi tiga kategori, yaitu eye opening (E), motor response (M),

dan verbal response (V).

Tabel Glasgow Coma Scale

Eye Opening

Score 1 Year or Older 0-1 Year

4 Spontaneously Spontaneously

3 To verbal command To shout

2 To pain To pain

1 No response No response

Best Motor Response

Score 1 Year or Older 0-1 Year

6 Obeys command 

5 Localizes pain Localizes pain

4 Flexion withdrawal Flexion withdrawal

3 Flexion abnormal (decorticate) Flexion abnormal (decorticate)

2 Extension (decerebrate) Extension (decerebrate)

1 No response No response

Best Verbal Response

Score >5 Years 2-5 Years 0-2 Years

5 Oriented and converses Appropriate words Cries appropriately

Page 3: cedera kepalahyh

4 Disoriented and converses Inappropriate words Cries

3 Inappropriate words; cries Screams Inappropriate crying/screaming

2 Incomprehensible sounds Grunts Grunts

1 No response No response No response

Pasien trauma kepala memiliki riwayat satu ataupun kombinasi dari cedera kepala primer,

bergantung pada derajat dan mekanisme trauma yang terjadi. Tipe cedera kepala primer adalah

cedera kulit kepala, fraktur tengkorak, fraktur basis cranii, kontusio, perdarahan intrakranial,

perdarahan subarachnoid, perdarahan intraventrikuler, hematom epidural, hematom subdural,

cedera penetrasi, dan cedera akson difus.

Untuk mengetahui adanya fraktur cranii, perlu ditanyakan saat kejadian trauma, mekanisme

cedera, progresivitas gejala yang terjadi akibat cedera tersebut. Fraktur tulang tengkorak dapat

bersifat linier, comminuted, depressed, dan steleate.

Pada fraktur basis kranii, pasien memiliki riwayat terbentur pada belakang kepala, penurunan

kesadaran, kejang, mual, muntah dan defisit neurologis. Tanda patognomonis trauma basis

cranii adalah adanya Battle sign, raccoon eyes, dan CSF otorrhea dan rhinorrhea. Terjepitnya

saraf kranial optikus terjadi pada 1-10% pasien fraktur basis kranii.

Kontusio terjadi akibat cedera kepala primer pada lobus temporalis dan frontalis. Hal ini

karena pada daerah tersebut terdapat protuberantia kalvaria. Terdapat gejala penyimpangan

neurologis progresif sekunder akibat edema serebral lokal, infark, dan/atau pembentukan-lambat

hematom.

Hematom epidural terjadi akibat adanya laserasi pada arteri atau vena pada daerah antara

tulang tengkorak dan lapisan duramater. Hematom terbentuk 6-8 jam bila lesi berasal dari arteri

atau lebih dari 24 jam bila berasal dari vena setelah cedera kepala. Lokasi hematom biasanya

pada lobus temporalis, frontalis, dan oksipitalis. Pasien biasanya mengalami lucid interval, yaitu

suatu periode dimana pasien dalam keadaan sadar yang terjadi antara penurunan kesadaran

dengan adanya defisit neurologis. Lucid interval lebih sering terjadi pada dewasa dibandingkan

pada anak-anak. Defisit neurologis terjadi akibat adanya kompresi, akibat ekspansi hematom,

pada lobus temporalis dan/atau pada batang otak.

Page 4: cedera kepalahyh

Hematom subdural terjadi pada daerah antara lapisan duramater dan korteks serebrii. Lesi ini

terjadi akibat robekan pada bridging vein atau adanya laserasi pada arteri korteks akibat cedera

akselerasi-deselerasi. Lesi ini juga dapat disebabkan trauma akibat persalinan, biasanya terjadi

pada 12 jam kehidupan yang ditandai adanya kejang (shaken baby syndromes), fontanel yang

menonjol, peningkatan lingkar kepala, anisokor, dan gagal nafas.

Perdarahan intraventrikuler biasanya terjadi pada trauma minor dan dapat sembuh spontan.

Perdarahan masif dapat menyebabkan hidrosefalus obstruktif, terutama bila terjadi pada level

foramen Monroe dan aquaduktus Sylvii.

Perdarahan subarachnoid adalah bentuk perdarahan yang umum terjadi pada trauma kepala.

Perdarahan disebabkan adanya gangguan pada pembuluh darah kecil pada korteks serebrii.

Lokasi lesi biasanya pada sepanjang falx serebrii atau tentorium dan lapisan luar korteks. Gejala

klinis yang biasanya terjadi adalah mual, muntah, sakit kepala, gelisah, demam, dan kaku kuduk.

Cedera akson difus terjadi akibat gaya akselerasi-deselerasi yang tejadi secara terus-menerus

yang mengakibatkan gangguan pada jalur akson-akson kecil. Area yang umumnya terganggu

adalah ganglia basalis, talamus, nukleus hemisfer profunda, dan korpus kolosum. Pasien

biasanya memberikan gejala klinis berupa perubahan status mental dan adanya perpanjangan

status vegetatif. Pada pemeriksaan CT-scan biasanya didapatkan adanya petekie.

Pemeriksaan Fisik

1. Primary Survey

A. Airway, dengan kontrol servikal:

Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya obstruksi

jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau

maksila, fraktur laring atau trakea.

- Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara - jalan nafas bebas.

- Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur - ada

obstruksi parsial.

- Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.

Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan tersebut definitif

Page 5: cedera kepalahyh

memerlukan pemasangan selang udara.

Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi pada

leher.

Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang dengan multiple

trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada leher, sampai kemungkinan

adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.

B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat

Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan

mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik

dari paru, dinding dada, dan diafragma.

Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan jumlah

pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan kanan.

Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga pleura.

Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru

Gangguan ventilasi yang berat seperti tension pneumothoraks, flail chest, dengan

kontusio paru, dan open pneumothorasks harus ditemukan pada primary survey.

Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru harus

dikenali pada secondary survey

C. Circulation, dengan kontrol perdarahan

a. Volume darah

Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolumik sampai terbukti sebaliknya.

Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat mengakibatkan

penurunan kesadaran.

Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang

dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan dan ekstremitas yang dingin merupakan

tanda hipovolemik.

Nadi

- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama

- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia

- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik

Page 6: cedera kepalahyh

- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia

- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda diperlukan

resusitasi segera.

b. Perdarahan

Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara penekanan pada

luka

D. Disability

Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat

kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.

Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU

A : sadar (Alert)

V : respon terhadap suara (Verbal)

P : respon terhadap nyeri (Pain)

U : tidak berespon (Unresponsive)

Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat memperkirakan keadaan

penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada primary survey, GCS dapat diiakukan

pada secondary survey.

Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :

a. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

- Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)

- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)

- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang

- Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing

- Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala

- Tidak ada kriteria cedera sedang-berat

b. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)

- Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

- Konklusi

- Amnesia pasca trauma

Page 7: cedera kepalahyh

- Muntah

- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum, otorea atau

rinorea cairan serebro spinal)

- Kejang

c. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)

- Skor GCS 3-8 (koma)

- Penurunan derajat kesadaran secara progresif

- Tanda neurologis fokal

- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium

Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau trauma

langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita. Jika

hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap sebagai

penyebab penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.

E. Exposure

• Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi terhadap jejas

dan luka.

2. Secondary Survey

Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk

reevaluasi tanda vital.

• Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika belum

dilakukan pada primary survey

• Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada jejas.

V. PENANGANAN CEDERA KEPALA RINGAN (GCS 14-15)

Sekitar 80% dari semua pasien cedera kepala dikategorikan sebagai cedera kepala ringan. Pasien

sadar tetapi mungkin mengalami hilang ingatan atas kejadian yang melibatkan cederanya. Bisa

terdapat riwayat singkat terjadinya pingsan namun sulit untuk diketahui. Gambaran ini sering

berhubungan dengan alcohol atau zat intoksikan lainnya.

Page 8: cedera kepalahyh

Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa penanganan berarti. Tetapi,

sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi neuroligik berat

jika penurunan status mental terlambat dideteksi.

Pemeriksaan CT scan perlu dipertimbangkan pada semua pasien yang mengalami pingsan lebih

dari lima menit, amnesia, nyeri kepala berat, dan GCS<15 atau defisit neurologic fokal yang

berhubungan dengan otak. Foto cervical X-ray perlu dilakukan jika terdapat nyeri leher atau

nyeri saat palpasi.

Pemerikasaan CT scan adalah metode yang lebih disukai. Jika tidak tersedia, skull X-ray bisa

dilakukan terhadap cedera kepala tumpul dan penetrans. Yang harus diperhatikan pada foto

kepala:

1. Fraktur linear atau depressed

2. Posisi midline pineal gland jika ada kalsifikasi

3. Level udara cairan pada sinus

4. Pneumocephals

5. Fraktur fasial

6. Benda asing

Indikasi rawat pasien cedera kepala ringan yaitu :

- Pingsan > 15menit

- Post Traumatic Amnesia > 1Jam

- Pada observasi penurunan kesadaran

- Sakit Kepala >>

- Fraktur

- Otorhoe / Rinorhoe

- Cedera penyerta,

- CT-Scan Abnormal

- Tidak ada keluarga

- Intoksikasi alkohol / Obat-obatan.

Page 9: cedera kepalahyh

Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien diamati selama

beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan dipulangkan.

Pesan untuk penderita / keluarga, Segera kembali ke Rumah Sakit bila dijumpai hal-hal sbb :

-Tidur / sulit dibangunkan tiap 2 jam

- Mual dan muntah yang terus memburuk

- Sakit Kepala yang terus memburuk

- Kejang

- Kelemahan tungkai & lengan (hemiparese)

- Bingung / Perubahan tingkah laku /gaduh gelisah

- Pupil anisokor

- Nadi naik / turun (bradikardi)

Page 10: cedera kepalahyh

VI. PENANGANAN CEDERA KEPALA SEDANG (GCS 9-13)

Kira-kira sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang. Pasien

masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan somnolen dan

mungkin terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% dari pasien ini

mengalami penurunan kesadaran hingga koma.

Sebelum dilakukan penanganan neurologis, anamnesa singkat dilakukan dan kardiopulmoner

distabilkan terlebih dahulu. CT scan kepala perlu dilakukan dan dokter bedah saraf dihubungi.

Page 11: cedera kepalahyh

Semua pasien ini memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang memudahkan

observasi dan evaluasi neurologis ketat untuk 12 hingga 24 jam pertama. CT scan untuk follow

up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan awal abnormal atau jika terjadi penurunan

pada status neurologis pasien.

VII. PENANGANAN CEDERA KEPALA BERAT (GCS 3-8)

Page 12: cedera kepalahyh

Pasien yang mengalami cedera kepala berat tidak mampu untuk mengikuti perintah sederhana

bahkan setelah stabilisasi kardiopulmoner. Pendekatan “wait and see” pada pasien ini bisa

berakibat fatal, maka diangnosis dan penanganan cepat sangatlah penting. Jangan menunda CT

scan.

A. Primary Survey dan Resusitasi

Cedera kepala sering tidak disebabkan oleh cedera sekunder. Hipotensi pada pasien dengan

cedera kepala berat berhubungan dengan tingkat mortalitas yang meningkat dua kali lipat

dibanding pasien tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia ditambah hipotensi

berhubungan dengan tingkat mortalitas yang mencapai 75%. Maka dari itu, stabilisasi

kardiopulmoner pada pasien cedera kepala berat adalah prioritas dan dan harus segera

tercapai.

Transient respiratory arrest dan hipoksia dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Pada

pasien koma, intubasi endotrakeal harus dilakukan segera. Pasien diberi oksigen 100%

sampai didapat gas darah, lalu penysuaian tepat terhadap FIO2. Pulse oxymetri adalah

pembantu yang berguna dan diharapkan didapat saturasi O2 > 98%. Hiperventilasi harus

digunakan pada pasien dengan cedera kepala berat secara hati-hati dandipakai hanya saat

terjadi penurunan tingkat neurologic.

Hipotensi biasanya tidak terkait dengan cedera kepala itu sendiri kecuali pada stadium

terminal saat terjadikegagalan vena medular. Perdarahan intrakranila tidak menyebabkan

syok hemoragik. Euvolemia harus segera dilakukan jika pasien hipotensi.

Hipotensi adalah penanda kehilangan banyak darah, walau tidak terlalu jelas. Penyebab yang

harus diperhatikan yaitu cedera spinal cord, kontusio jantung atau tamponade dan tension

pneumothorax.

B. Pemeriksaan Neurologis

Segera setelah status kardiopulmoner pasien stabil, pemeriksaan neurologis yang cepat dan

langsung. Terdiri dari pemeriksaan GCS dan reflex cahaya pupil. Pada pasien koma, respon

motorik dapat dilakukan dengan mencubit otot trapezius atau dengan nail-bed pressure.

C. Secondary Survey

Page 13: cedera kepalahyh

Pemeriksaan seperti GCS, lateralisasi dan reaksi pupil sebaiknya dilakukan untuk mendeteksi

penurunan neurologik sedini mungkin.

D. Prosedur Diagnostik

CT scan kepala emergensi harus dilakukan sedini mungkin setelah hemodinamik stabil. CT

scan juga harus diulang bila ada perubahan pada status klinis dan secara rutin 12-24 jam

setelah cedera untuk pasien dengan kontusio atau hematom pada CT scan awal.

TINJAUAN PUSTAKA

I. ANATOMI

Page 14: cedera kepalahyh

Pengenalan kembali anatomi tengkorak sangat berguna dalam mempelajari akibat-akibat

cedera kepala. (1)

Kulit kepala (scalp)

Tulang tengkorak

Meningen

Otak

Cairan cerebro spinal

Tentorium

II. FISIOLOGI

A. Tekanan intracranial (TIK)

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan perubahan

tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya

berdampak buruk terhadap penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi dapat

menimbulkan gangguan fungsi otak dan mempengaruhi kesembuhan penderita. Jadi

kenaikan tekanan intrakranial (TTIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah

serius dalam otak, tetapi justru merupakan masalah utamanya. TIK normal pada saat

istirahat kira-kira 10 mmHg (136mmH2O). TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap

tidak normal dan TIK lebih dari 40mmHg termasuk ke dalam kenaikan TIK berat.

Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala semakin buruk prognosisnya. (1)

B. Doktrin Monro-Kellie

Konsep utama doktrin Monro-Kellie adalah bahwa volume intrakranial selalu

konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin

terekspansi. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi massa intrakranial, karena

TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik

dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.(Gambar 1) (1)

Page 15: cedera kepalahyh

iijGambar 1. Kompensasi intracranial terhadap massa yang ekspansi

C. Tekanan Perfusi Otak (TPO)

Tekanan perfusi otak merupakan indikator yang sama penting dengan TIK. TPO

mempunyai formula sebagai berikut:

TPO = MAP – TIK

Maka dari itu, mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera kepala

adalah sangat penting, terutama pada keadaan TIK yang tinggi. (1)

TPO kurang dari 70mmHg umunya berkaitan dengan prognosis yang buruk pada

penderita cedera kepala.

D. Aliran Darah ke Otak (ADO)

Aliran darah ke otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit. Bila

ADO menurun sampai 20-25ml/100 gr/menit, aktivitas EEG akan hilang dan pada ADO

5 ml/100 gr/menit, sel-sel otak mengalami kematian dan terjadi kerusakan menetap. Pada

penderita trauma, fenomena autoregulasi akan mempertahankan ADO pada tingkat

konstan apabila MAP 50-160 mmHg. Bila MAP < 50mmHg ADO menurun curam, dan

bila MAP >160mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh darah otak dan ADO meningkat.

Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera kepala.

Akibatnya penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemi

sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba. (1)

Bila mekanisme kompensasi tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK,

perfusi otak sangat berkurang, terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Maka

dari itu, bila terdapat TTIK, harus dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang

adekuat tetap harus dipertahankan. (1)

III. KLASIFIKASI

Page 16: cedera kepalahyh

Cedera kepala diklasifikasikan secara praktis dikenal tiga deskripsi klasifikasi yaitu

berdasarkan:

1. Mekanisme

Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor,

jatuh, atau pukulan benda tumpul. (1)

Cedera kepala tembus, disebabkan oleh peluru atau tusukan. Adanya penetrasi

selaput dura menentukan cedera apakah cedera tembus atau tumpul. (1)

2. Beratnya cedera

GCS digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya cedera penderita kepala.

Penderita dengan GCS 14-15 diklasifikasikan ke dalam cedera kepala ringan, GCS 9-

13 termasuk cedera kepala sedang, dan GCS 3-8 termasuk cedera kepala berat. (1)

3. Morfologi

Cedera Kepala Primer

Cedera kepala primer dibagi dalam lima kategori:

1. Kerusakan kulit kepala

Kerusakan kulit kepala dapat dimulai dari kontusi jaringan yang kecil

sampai dengan avulsi total dari lapisan kulit kepala. Karena kulit kepala

kaya akan pembuluh darah, maka laserasi yang besar dapat menyebabkan

kehilangan darah yang banyak dan dapat menyebabkan syok.(2,3)

2. Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang kepala merupakan hasil dari trauma tumpul atau penetrasi.

Fraktur tulang kepala dapat dikategorikan menjadi fraktur linier dan

fraktur depressed. Fraktur linier dapat terjadi pada kubah kranium atau

basis kranium, tergantung pada beban energi yang terjadi dengan arah

jarak deselerasi, dan bentuk objek yang membentur kepala. (2,3)

a. Fraktur linier pada kubah kranium

Fraktur linier terjadi secara sekunder terhadap kekuatan yang

besar pada permukaan yang lebar,merupakan cedera benturan

yang disebabkan oleh perubahan bentuk kepala dari sisi

benturan. Faktor-faktor yang mempengaruhi adalah kejadian,

sisi, arah dan tingkat fraktur.(Gambar 2) (2,3)

Page 17: cedera kepalahyh

Gambar 2. Fraktur linier os temporal

b. Fraktur basis kranii

Fraktur basis kranii terjadi pada 19-21% dari semua fraktur

tulang kepala dan 4% dari seluruh cedera kepala. Fraktur basis

kranii sering merupakan ekstensi dari fraktur kubah kranium,

dapat juga timbul dari aliran beban pada benturan langsung pada

basis kranii. (Gambar 3). (2,3)

Tempat-tempat yang relatif lemah pada basis kranii adalah sinus

sfenoid, foramen magnum, hubungan temporal dengan petrosum,

sfenoid ring bagian dalam. Tempat-tempat ini mudah terjadi

fraktur. Gambaran fraktur tergantung dari kekuatan

tenaga,struktur tulang dan foramen pada basis kranii. Fraktur

basis kranii dengan robek dura sangat mudah terjadi infeksi atau

dapat juga terjadi fistula pada duramater yang ditandati dengan

bocornya LCS berupa rinorre dan ottorea. (2,3)

Fraktur basis kranii juga berhubungan dengan cedera saraf otak

dan pembuluh darah, karena dapat terjadi terpotongnya saraf otak

atau pembuluh darah oleh fragmen fraktur atau strangulasi. (2,3)

Page 18: cedera kepalahyh

Gambar 3. Fraktur Basis Kranii

c. Fraktur depressed

Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang

terlokalisir pada satu tempat di kepala. Ketika gaya tersebut

cukup besar, atau terkonsentrasi pada daerah sempit, tulang

terdesak ke bawah, sehingga menghasilkan fraktur depressed.

Keadaaan tersebut tergantung dari besarnya benturan dan

kelenturan tulang kepala. (Gambar 4 dan 5) (2,3)

Gambar 4. Fraktur depressed

Page 19: cedera kepalahyh

Gambar 5. Repair fraktur depressed