Case 2 Dr Wayan Anemia
-
Upload
rimarahmadipta -
Category
Documents
-
view
255 -
download
8
description
Transcript of Case 2 Dr Wayan Anemia
CASE II
SEORANG PEREMPUAN USIA 62 TAHUN DENGAN ANEMIA
DEFISIENSI BESI
Oleh:
Tyas Rachmani Fauziah, S.Ked
J510155008
Pembimbing:
dr. I Wayan Mertha, Sp. PD
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD DR HARDJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
CASE REPORT II
SEORANG PEREMPUAN USIA 62 TAHUN DENGAN ANEMIA
DEFISIENSI BESI
Yang diajukan oleh :
Tyas Rachmani Fauziah, S.Ked
J510155008
Telah disetujui dan disahkanoleh bagian Program Pendidikan Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Pada hari Selasa, tanggal 14 Juli 2015
Pembimbing :
dr. I Wayan Mertha, Sp. PD (………………….)
Dipresentasikan dihadapan :
dr. I Wayan Mertha, Sp. PD (………………….)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015
BAB I
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. K
Usia : 62 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Saawoo
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Petani
Suku : Jawa
Tanggal MRS : 3 Juli 2015
Tanggal periksa : 4 Juli 2015
II. ANAMNESIS PASIEN
A. Keluhan Utama
Badan terasa lemas
B. Riwayat penyakit Sekarang
Pada tanggal 3 Juli 2015, pasien perempuan berusia 62 tahun
datang ke IGD RSUD dr. Harjono Ponorogo dengan keluhan badan terasa
lemas, pusing berputar dan mata sering berkunang-kunang. Pasien
merasakan badan mudah lelah setelah melakukan aktivitas ringan, pasien
juga sering merasakan mata berkunang-kunang jika berdiri agak lama atau
jika berubah posisi dari duduk ke berdiri. Pasien juga mengalami
penurunan nafsu makan. BAB berwana seperti aspal dengan konsistensi
lembek, frekuensi 2x sehari. Keluhan lain seperti batuk (-), mual (-),
muntah (-), BAK dalam batas normal. Pasien mengaku sebelumnya sudah
pernah opname 2 kali sekitar 1 tahun yang lalu dengan keluhan yang sama
dan mendapatkan tranfusi darah sebanyak 4 kantong.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat Komorbid Lain : HT (-), DM (-), Jantung (-), Liver (-)
2. Riwayat Alergi : disangkal
3. Riwayat Operasi : disangkal
4. Riwayat Opname : diakui (dengan keluhan serupa)
Pasien mengaku pernah MRS dr. Harjono,
Ponorogo akibat keluhan serupa. Pada tahun 2013
pasien pernah MRS dr. Harjono, Ponorogo karena
badan lemas dan di diagnosa mengalami anemia
defisiensi besi.
5. Riwayat Trauma : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat keluarga sakit serupa : disangkal
2. Riwayat Keluarga : HT (-), DM (-), Jantung (-), Liver (-)
3. Riwayat Atopi : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
1. Merokok : disangkal
2. Makan pedas : disangkal
3. Minum kopi : disangkal
4. Minum teh : disangkal
5. Minum jamu : diakui (frekuensi : jarang)
III. HASIL PEMERIKSAAN FISIK PASIEN
A. Keadaan Umum
KU : Tampak lemas
Kesadaran : Compos Mentis (GCS E4 V5 M6)
Gizi : Cukup
B. Vital Sign
Tekanan Darah : 150/100 mmHg
Nadi : 96x/menit
RR : 22x/ menit
Suhu : 36,5 ◦C
C. Status Generalis
1. Kepala : mesochepal, deformitas (-), konjungtiva anemis (+/+),
sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+).
2. Leher : deviasi trakhea (-), peningkatan JVP (-), pembesaran
kelenjar limfe (-)
3. Thoraks
a) Inspeksi : kelainan bentuk (-), simetris, ketinggalan gerak kedua
sisi paru (-), retraksi otot-otot pernafasan (-), massa (-).
b) Palpasi :
Ketinggalan Gerak
Anterior : Posterior :
-- --
-- --
-- --
Fremitus
Anterior : Posterior :
NN NN
NN NN
NN NN
c) Perkusi :
Anterior : Posterior :
Sonor Sonor
Sonor Sonor
Sonor Sonor
d) Auskultasi
Anterior : Posterior :
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan : Wheezing (-/-), Ronkhi (-/-)
4. Jantung
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
2) Palpasi : Ictus cordis kuat angkat
3) Perkusi :
Batas kiri jantung :
Atas : SIC III sinistra di linea parasternalis sinistra
Bawah : SIC VI sinistra linea midclavicula sinistra
Batas kanan jantung :
Atas : SIC III dekstra di linea parasternalis dekstra
Bawah : SIC V dekstra linea midclavicula dekstra
4) Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, intensitas S1 sama
dengan S2, murmur (-), tidak ada suara tambahan S3-S4, gallop (-).
5. Abdomen
1) Inspeksi : distensi (-).
2) Auskultasi : peristaltik (+) normal, metallic sound (-)
3) Perkusi : timpani
4) Palpasi : supel, nyeri tekan (-), lien, hepar dan ren tidak teraba.
6. Ekstremitas
1) Ekstremitas Superior : Akral hangat, edema (-/-), kuku pucat (+),
clubbing finger (-), pitting edema (-/-), palmar eritema (-/-).
2) Ekstremitas Inferior : Akral hangat, edema (-/-), kuku pucat (+),
clubbing finger (-), pitting edema (-/-), palmar eritema (-/-).
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit 6,3 µL 4.0-10.0
Lymph# 1,2 µL 0.8-4
Mid# 0,5 µL 0.1-0.9
Gran# 4,6 µL 2-7
Lymph% 19,1 % 20-40
Mid% 8,1 % 3-9
Gran% 72,8 % 50-70
Hb 5,5 g/dl 11-16
Rbc 2,80 µL 3.5-5.5
Hct 17,6 % 37.0-50.0
MCV 63,0 fL 82.0-95.0
MCH 19,6 Pg 27.0-31.0
MCHC 31,2 g/dl 32.0 – 36.0
PLT 267 µL 100-300
MPV 8,6 fL 6.5-12.0
PDW 15,3 9.0-17.0
PCT 2,30 mLL 1.08-2.82
P-LCC 77 µL 30-90
P-LCR 28,8 % 11.0-45.0
Kimia Darah
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
TBIL 0,21 Mg/dl 0-0,35
DBIL 0,86 Mg/dl 0,2-1,2
SGOT 20,4 µL 0 – 31
SGPT 8,8 µL 0 – 31
Urea 23,61 mg/dl 10 – 50
Creat 1 mg/dl 0.7 – 1.2
UA 4,6 mg/dl 2.4 – 5.7
Chol 147 mg/dl 140 – 200
TG 89 mg/dl 36 – 165
HDL 44 mg/dl 35-150
LDL 85 mg/dl 0 – 190
ALP 170 mmol/L 135 – 279
Gamma GT 11,1 mmol/L 8-34
Alb 4,1 mmol/L 3,5-5,5
Glob 2,8 mg/dl 2-3,9
HbsAG test (-)
Pemeriksaan Feces Lengkap
Pemeriksaan Hasil
Feces lengkap
Makroskopis :
Warna Coklat
Konsistensi Lembek
Darah Negatif
Lendir Negatif
Mikroskopis :
Eritrosit 2-3
Leukosit 1-2
Amoeba Negatif
Kista Negatif
Telur cacing Hook worm (+)
Sisa makanan Negatif
Benzidin tes Positif (+)
Pemeriksaan EKG
Hasil analisis EKG
Irama : Normal sinus
Heart rate : 91x/menit
Axis : Normoaxis
V. RESUME DAFTAR MASALAH PASIEN
Anamnesis
a. Badan terasa lemas
b. Mata berkunang-kunang
c. Penurunan nafsu makan
Pemeriksaan fisik
a. Konjungtiva anemis (+/+)
b. Kuku pucat (+)
Pemeriksaan laboratorium
a. Hb : 5,5
b. FL : Telur cacing Hook Worm (+)
VI. ASSESMENT/ DIAGNOSA KERJA
Anemia defisiensi besi e.c infeksi cacing tambang
VII. POMR (Problem Oriented Medical Record)
Abnormalitas Proble
m
Assesmen
t
P. Diagnosis P. Terapi P. Monitoring
Lemas
Mata
berkunang-
kunang
Penurunan
nafsu makan
BAB berwana
seperti aspal
Konjungtiva
anemis
Hb : 5,5
FL : telur
cacing (hook
worm (+))
Anemia Anemia
Defisiensi
Besi e.c
cacing
tambang
1. TIBC,
Serum Iron
2. Hitung
retikulosit
Transfusi
PRC
Ferrous
sulphat
200mg 3
dd 1
Pirantel
pamoat 10
mg/kgBB
selama 3
hari
Edukasi
kebersihan
kaki
1. Klinis
2. Tanda-tanda
vital
3. Pemeriksaan
Fisik
4. Hitung
retikulosit
5. Hasil TIBC
dan Serum
Iron
6. Hasil FL
Tekanan Darah : 150/100 mmHg
Hipertensi
Hipertensi grade 1
1. Rontgen
Thorak
2. Funduskopi
3. Profil lipid
Captopril 25mg 3 dd 1
Diet rendah garam rendah lemak jenuh
1. Klinis
2. Tanda-tanda
vital
3. Pemeriksaan
Fisik
VIII. FOLLOW UP
Tanggal S O A P
5 Juli 2015 Pasien mengeluhkan badan lemas, pusing (+), nafsu makan menurun, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK dbn.
TD : 150/100 mmHg. HR : 96x/menit. GDA : 136
Anemia defisiensi besi
Infus PZ 20tpmProsogan dripAntasida syr 3x1CKalnex 3x1 ampPRC 1 Kolf
6 Juli 2015 Pasien mengeluhkan badan lemas, pusing (+), nafsu makan menurun, mual (-), muntah (-), BAB dan BAK dbn.
TD : 150/80 mmHg. HR : 80x/menit.
Infus PZ 20tpmProsogan dripAntasida syr 3x1CKalnex 3x1 ampPRC 1 KolfAsam Folat 2x1
7 Juli 2015 Pasien mengeluhkan badan tidak terlalu lemas, pusing (-), mual (-), muntah (-), BAB dbn dan BAK terus menerus.
TD : 160/80 mmHg. HR : 68x/menit.
Infus PZ 20tpmProsogan dripAntasida syr 3x1CKalnex 3x1 ampPRC 2 KolfAsam Folat 2x1Captopril 25
mg 3x1
8 Juli 2015 Pasien merasakan badan tidak lemas, pusing (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK dbn.
TD : 150/80 mmHg. HR : 76x/menit.Hb : 10,8
Infus PZ 20tpmProsogan dripAntasida syr 3x1CKalnex 3x1 ampAsam Folat 2x1Captopril 25 mg 3x1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANEMIA DEFISIENSI BESI
I. DEFINISI
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan
besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang. Ditandai oleh anemia
hipokromik mikrositer, besi serum menurun, TIBC meningkat, saturasi
transferin.
Menurut WHO dikatakan anemia bila :
. Laki dewasa : hemoglobin < 13 g/dl
. Wanita dewasa tak hamil : hemoglobin < 12 g/dl
. Wanita hamil : hemoglobin < 11g/dl
. Anak umur 6-14 tahun : hemoglobin < 12g/dl
. Anak umur 6 bulan-6 tahun : hemoglobin < 11g/dl
Kriteria klinik : untuk alasan praktis maka kriteria anemia klinik (di
rumah sakit atau praktek klinik) pada umumnya disepakati adalah :
1. Hemoglobin < 10 g/dl
2. Hematokrit < 30 %
3. Eritrosit < 2,8 juta/mm³
II. EPIDEMIOLOGI
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan jenis anemia yang paling
banyak diderita oleh penduduk di negara berkembang, termasuk di
indonesia. Diperkirakan 30% penduduk dunia menderita anemia dan
lebih dari 50% penderita ini adalah ADB. Sebanyak 16-50 % laki-laki
dewasa di Indonesia menderita ADB dengan penyebab terbanyak yaitu
infeksi cacing tambang (54%) dan hemoroid (27%). 25-48 %
perempuan dewasa di Indonesia menderita ADB dengan penyebab
terbanyak menorraghia (33%), hemoroid (17%) dan infeksi cacing
tambang (17%). 46-92 % wanita hamil di Indonesia menderita ADB.
III. ETIOLOGI
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya
masukan besi, gangguan absorpsi serta kehilangan besi akibat
pendarahan menahun :
Kehilangan besi sebagai akibat pendarahan menahun berasal dari :
- Saluran cerna : akibat dari tukak peptik, pemakaian salisilat atau
NSAID, kanker lambung, kanker colon, divertikulosis, hemoroid,
dan infeksi cacing tambang.
- Saluran genitalia perempuan : menorrhagia, atau metrorhagia
- Saluran kemih : hematuria
- Saluran nafas : hemoptoe
Faktor nutrisi : akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak
serat, rendah vitamin C , dan rendah daging).
Kebutuhan besi meningkat : seperti pada prematuritas anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.
Gangguan absorpsi besi : gastrektomi, tropical sprue atau kolitis kronik.
Pada orang dewasa anemia defisiensi besi yang dijumpai di klinik
hampir indentik dengan pendarahan menahun. Faktor nutrisi atau
peningkatan kebutuhan besi jarang sebagai penyebab utama. Penyebab
pendarahan paling sering pada laki-laki ialah pendarahan
gastrointestinal, di negara tropik paling sering karena infeksi cacing
tambang. Sedangkan pada perempuan dalam masa reproduksi paling
sering karena meno-metrorhgia.
Penurunan absorpsi zat besi, hal ini terjadi pada banyak keadaan klinis.
Setelah gastrektomi parsial atau total, asimilasi zat besi dari makanan
terganggu, terutama akibat peningkatan motilitas dan by pass usus halus
proximal, yang menjadi tempat utama absorpsi zat besi. Pasien dengan
diare kronik atau malabsorpsi usus halus juga dapat menderita
defisiensi zat besi, terutama jika duodenum dan jejunum proximal ikut
terlibat. Kadang-kadang anemia defisiensi zat besi merupakan pelopor
dari radang usus non tropical (celiac sprue).
Yang beresiko mengalami anemia defisiensi zat besi:
Wanita menstruasi
Wanita menyusui atau hamil karena peningkatan kebutuhan zat besi
Bayi, anak-anak dan remaja yang merupakan masa pertumbuhan yang
cepat
Orang yang kurang makan makanan yang mengandung zat besi,
jarang makan daging dan telur selama bertahun-tahun.
Menderita penyakit maag.
Penggunaan aspirin jangka panjang
Kanker kolon
Vegetarian karena tidak makan daging, akan tetapi dapat digantikan
dengan brokoli dan bayam.
IV. PATOFISIOLOGI
A. METABOLISME BESI
Besi merupakan trace element yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
untuk pembentukan hemoglobin, mioglobin dan berbagai enzim.
Besi di alam terdapat dalam jumlah yang cukup berlimpah. Dilihat
dari segi evolusinya alat penyerapan besi dalam usus, maka sejak
awal manusia dipersiapkan untuk menerima besi yang berasal dari
sumber hewani, tetapi kemudian pola makanan berubah di mana
sebagian besar berasal dari sumber nabati, tetapi perangkat
absorpsi besi tidak mengalami evolusi yang sama, sehingga banyak
menimbulkan defisiensi besi.
B. KOMPOSISI BESI DALAM TUBUH
Besi terdapat dalam berbagai jaringan dalam tubuh :
a. Senyawa fungsional, yaitu besi yang membentuk senyawa yang
berfungsi dalam tubuh
b. Besi cadangan, senyawa besi yang dipersiapkan bila masukan
besi berkurang
c. Besi transport, yaitu besi yang berikatan dengan protein
tertentu dalam fungsinya untuk mengangkut besi dari satu
kompartemen ke kompartemen lainnya.
Besi dalam tubuh tidak pernah dalam bentuk logam bebas (free
icon), tetapi selalu berikatan dengan protein tertentu. Besi bebas
akan merusak jaringan, mempunyai sifat seperti radikal bebas.
C. ABSORPSI BESI
Tubuh mendapatkan masukan besi yang berasal dari makanan
dalam usus. Untuk memasukkan besi dari usus ke dalam tubuh
diperlukan proses absorpsi. Absorpsi besi paling banyak terjadi
pada duodenum dan jejunum proksimal, disebabkan oleh struktur
epitel usus yang memungkinkan untuk itu. Proses absorpsi besi
dibagi menjadi 3 fase :
1. Fase luminal : besi dalam makanan diolah dalam lambung
kemudian siap diserap di duodenum
2. Fase mukosal : proses penyerapan dalam mukosa usus
yang merupakan suatu proses yang aktif.
3. Fase korporeal : meliputi proses transportasi besi dalam
sirkulasi, utilisasi besi oleh sel-sel yang memerlukan serta
penyimpanan besi (storage)
Fase luminal
Besi dalam makanan terdapat 2 bentuk yaitu :
. Besi heme : terdapat dalam daging dan ikan, absorpsi tinggi,
tidak dihambat oleh bahan penghambat sehingga mempunyai
bioavailabilitas tinggi.
. Besi non-heme : berasal dari sumber tumbuh-tumbuhan,
absorpsi rendah, dipengaruhi oleh bahan pemacu dan
penghambat sehingga bioavailabilitasnya rendah.
Yang tergolong sebagai bahan pemacu absorpsi besi adalah “meat
factors” dan vitamin C, sedangkan yang tergolong sebagai bahan
penghambat ialah tanat, phytat, dan serat (fibre). Dalam lambung
karena pengaruh asam lambung maka besi dilepaskan dari
ikatannya dengan senyawa lain. Kemudian terjadi reduksi dari besi
bentuk feri ke fero yang siap untuk diserap.
Fase mukosal
Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan
jejenum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses
yang sangat kompleks. Dikenal adanya mucosal block, suatu
mekanisme yang dapat mengatur penyerapan besi melalui mukosa
usus.
Fase korporeal
Besi setelah diserap oleh eritrosit (epitel usus), melewati bagian
basal epitel usus, memasuki kapiler usus, kemudian dalam darah
diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Transferin akan
melepaskan besi pada sel RES melalui proses pinositosis.
Banyaknya absorpsi besi tergantung pada
1. Jumlah kandungan besi dari makanan
2. Jenis besi dalam makanan : besi heme atau besi non-heme
3. Adanya bahan penghambat atau pemacu absorpsi dalam
makanan
4. Kecepatan eritropoesis
D. SIKLUS BESI DALAM TUBUH
Pertukaran besi dalam tubuh merupakan lingkaran yang tertutup
yang diatur oleh besarnya besi yang diserap usus, sedangkan
kehilangan besi fisiologik bersifat tetap. Besi yang diserap setiap
hari berkisar antara 1-2 mg, ekskresi besi terjadi dalam jumlah
yang sama melalui eksfoliasi epitel. Besi dari usus dalam bentuk
transferin akan bergabung dengan besi yang dimobilisasi dari
makrofag dalam sumsum tulang sebesar 22 mg untuk dapat
memenuhi kebutuhan eritropoesis sebanyak 24 mg/hari. Eritrosit
yang terbentuk secara efektif yang akan beredar melalui sirkulasi
memerlukan besi 17 mg, sdeangkan besi sebesar 7 mg akan
dikembalikan ke makrofag karena terjadinya hemolisis infektif
(hemolisis intramedular). Besi yang dapat pada eritrosit yang
beredar, setelah mengalami proses penuaan juga akan
dikembalikan pada makrofag sumsum tulang sebesar 17 mg.
Sehingga dengan demikian dapat dilihat suatu lingkaran tertutup
(closed circuit) yang sangat efisien
V. KLASIFIKASI
Jika dilihat dari beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi
dapat dibagi menjadi 3 tingkatan :
1. Deplesi besi (iron depleted state) : cadangan besi menurun tetapi
penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.
2. Eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoesis) : cadangan
besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum
timbul anemia secara laboratorik.
3. Anemia defisiensi besi : cadangan besi kosong disertai anemia.
VI. PATOGENESIS
Perdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau
kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga
cadangan besi makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan
ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi
(iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin
serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi
dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus
maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi
untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada
bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini
disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan
pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin
atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun
dan kapasitas ikat besi total (Total Iron Binding Capacity = TIBC)
meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila
penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin
terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya
timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia
defisiensi besi (iron deficiency anemia). Pada saat ini juga terjadi
kekurangan besi pada epitel serta pada beberapa enzim yang dapat
menimbulkan gejala pada kuku, epitel mulut dan faring serta berbagai
gelaja lainnya.
VII. MANIFESTASI KLINIS
1. Gejala Umum Anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic
syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar
hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah,
lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
mendenging. Anemia bersifat simptomatik jika hemoglobin < 7
gr/dl, maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas. Pada
pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada
konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.
2. Gejala Khas Defisiensi Besi
Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak
dijumpai pada anemia jenis lain adalah :
a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi
rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip
sendok.
Koilonychia (kuku sendok)
b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan
mengkilap karena papil lidah menghilang.
glossitis karena atrofi papil lidah
c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan
pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna
pucat keputihan.
Angular cheilosis / stomatitis angularis
d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel
hipofaring.
Sindrom Plummer Vinson atau disebut juga sindrom Paterson
Kelly adalah kumpulan gejala yang terdiri dari anemia hipokromik
mikrositer, atrofi papil lidah, dan disfagia.
3. Gejala penyakit dasar
Pada anemia defisiensi besi dapat dijumpai gejala-gejala penyakit
yang menjadi penyebab anemia defisiensi besi tersebut. Misalnya
pada anemia akibat cacing tambang dijumpai dispepsia, parotis
membengkak, dan kulit telpak tangan berwarna kuning seperti
jerami. Pada anemia karena pendarahan kronik akibat kanker kolon
dijumpai gejala gangguan kebiasaan buang besar atau gejala lain
tergantung dari lokasi tersebut.
VIII. DIAGNOSIS
Untuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan
laboratorium yang tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis anemia
defisiensi besi. Tahap pertama adalah menentukan adanya anemia
dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Cut off point
anemia tergantung kriteria WHO atau kriteria klinik. Tahap kedua
adalah memastikan adanya defisiensi besi, sedangkan tahap ketiga
adalah menentukan penyebab dari defisiensi besi yang terjadi.
Secara laboratorium untuk menegakkan diagnosis anemiia defisiensi
besi (tahap satu dan tahap dua) dapat dipakai kriteria diagnosis anemia
defisiensi besi modifikasi dari kriteria Kerlin et al) sebagai berikut :
Anemia hipokromik mikrositer pada apusan darah tepi, atau MCV <
80 fl dan MCHC < 31 % dengan salah satu dari a, b, c atau d :
a. Dua dari parameter ini : Besi serum < 50 mg/dl, TIBC > 350 mg/dl,
Saturasi transferin < 15% atau
b. Serum feritinin < 20 g/dl atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s stain)
menunjukan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif atau
d. Dengan pemberian sulfas fenosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi
lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin
lebih dari 2 g/dl.
Pada tahap ketiga ditentukan penyakit dasar yang menjadi penyebab
defisiensi besi. Tahap ini merupakan proses yang rumit yang
memerlukan berbagai jenis pemeriksaan tetapi merupakan tahap yang
sangat penting untuk mencegah kekambuhan defisiensi besi serta
kemungkinan untuk dapat menemukan sumber pendarahan yang
membahayakan. Meskipun dengan pemeriksaan yang baik, sekitar 20
% kasus anemia defisiensi besi tidak diketahui penyebabnya.
Anemia akibat cacing tambang (hookworm anemia) adalah anemia
defisiensi besi yang disebabkan oleh karena infeksi cacing tambang
berat (TPG > 2000). Pada suatu penelitian di Bali, anemia akibat
cacing tambang dijumpai pada 3,3 % pasien infeksi cacing tambang
atau 12,2% dari 123 kasus anemia defisiensi besi yang dijumpai. Jika
tidak ditemukan pendarahan yang nyata, dapat dilakukan tes darah
samar (occult blood test) pada feses, dan jika terdapat indikasi
dilakukan endoskopi saluran cerna atas atau bawah.
Pada pemeriksaan laboratorium pada kasus anemia defisiensi besi yang
dapat dijumpai adalah :
1. Pengukuran kadar hemoglobin dan indeks eritrosit didapatkan
anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar
hemoglobin mulai dari ringan sampai berat. MCV dan MCH
menurun. MCV < 70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi
besi dan thalasemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang
lebih berat dan berlangsung lama. RDW (red cell distribution
witdh) meningkat yang menandakan adanya anisositosis.
Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi. Kadar
hemoglobin sering turun sangat rendah, tanpa menimbulkan gejala
anemia yang menyolok karena anemia timbul perlahan-lahan.
Hapusan darah mennunjukan anemia hipokromik mikrositer,
anisositosis, poikilositosis, anulosit, sel target dan sel pensil.
Leukosit dan trombosit normal. Pada kasus ankilostomiasis sering
disertai eosinofilia.
2. Kadar besi serum menurun < 50 g/dl, TIBC meningkat > 350
g/dl, dan saturasi transferin < 15 %
3. Kadar serum feritinin < 20 g/dl.
4. Protoforfirin eritrosit meningkat ( > 100 g/dl)
5. Sumsum tulang menunjukan hiperplasia normoblastik dengan
normoblast kecil-kecil (micronormoblast) dominan.
6. Pada laboratorium yang maju dapat diperiksa reseptor transferin
kadar reseptor transferin meningkat.
7. Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia (perl’s stain)
menunjukan cadangan besi yang negatif (butir hemosiderin
negatif).
8. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari penyebab anemia
defisiensi besi antara lain :
- Pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya
dilakukan pemeriksaan semikuantitatif (Kato Katz)
- Pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, barium
intake dan barium inloop.
Hemoglobin and Hematocrit Values Diagnostic of Anemia
IX. DIAGNOSIS BANDING
Anemia defisiensi besi perlu dibedakan dengan anemia hipokromik
lainnya seperti : anemia akibat penyakit kronik, thalassemia, anemia
sideroblastik.
Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi
Anemia
defisiensi
besi
Anemia
akibat
penyakit
kronik
ThalassemiaAnemia
sideroblastik
Derajat
anemia
Ringan-berat Ringan Ringan Ringan-berat
MCV Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
MCH Menurun Menurun/N Menurun Menurun/N
Besi serumMenurun <
30
Menurun <
50
Normal/ Normal/
TIBCMeningkat >
360
Menurun <
300
Normal/ Normal/
Saturasi
transferin
Menurun
< 15 %
Menurun/N
10-20
Meningkat
>20%
Meningkat
>20 %
Besi sumsum
tulang
Negatif Positif Positif kuat Positif dengan
ring
sideroblast
Protoporfirin
eritrosit
Meningkat Meningkat Normal Normal
Feritinin
serum
Menurun
< 20 g/l
Normal
20-200 g/l
Meningkat
>50 g/l
Meningkat
>50 g/l
Elektofoesis- N N Hb. A2 N
Hb meningkat
X. PENATALAKSANAAN
Terapi terhadap anemia defisiensi besi dapat berupa :
1. Terapi kausal : tergantung penyebab, misalnya ; pengobatan cacing
tambang, pengobatan hemoroid, pengobatan menoragia. Terapi kausal
harus dilakukan kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
2. Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam
tubuh (iron replacemen theraphy).
a. Terapi besi per oral : merupakan obat piliham pertama (efektif,
murah, dan aman). Preparat yang tersedia : ferrosus sulphat
(sulfas fenosus). Dosis anjuran 3 x 200 mg. Setiap 200 mg sulfas
fenosus mengandung 66 mg besi elemental. Pemberian sulfas
fenosus 3 x 200 mg mengakibatkan absorpsi besi 50 mg/hari
dapat meningkatkan eritropoesis 2-3 kali normal.
Preparat yang lain : ferrosus gluconate, ferrosus fumarat, ferrosus
lactate, dan ferrosus succinate. Sediaan ini harganya lebih mahal,
tetapi efektivitas dan efek samping hampir sama dengan
sulfasfenosus.
b. Terapi besi parenteral
Terapi ini sangat efektif tetapi efek samping lebih berbahaya, dan
lebih mahal. Indikasi :
. intoleransi terhadap pemberian oral
. kepatuhan terhadap berobat rendah
. gangguan pencernaan kolitis ulseratif yang dapat kambuh jika
diberikan besi
. penyerapan besi terganggu, seperti misalnya pada gastrektomi
. keadaan dimana kehilangan darah yang banyak sehingga tidak
cukup dikompensasi oleh pemberian besi oral.
. Kebutuhan besi yang besar dalam waktu pendek, seperti pada
kehamilan trisemester tiga atau sebelum operasi.
. Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritropoetin
pada anemia gagal ginjal kronik atau anemia akibat penyakit
kronik.
Preparat yang tersedia : iron dextran complex (mengandung 50
mg besi/ml) iron sorbitol citric acid complex dan yang terbaru
adalah iron ferric gluconate dan iron sucrose yang lebih aman.
Besi parental dapat diberikan secara intrauskular dalam atau
intravena. Efek samping yang dapat timbul adalah reaksi
anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, muntah, nyeri
perut dan sinkop.
Terapi besi parental bertujuan untuk mengembalikan kadar
hemoglobin dan mengisi besi sebesar 500 sampai 1000 mg.
Dosis yang diberikan dapat dihitung melalui rumus berikut :
Dosis ini dapat diberikan sekaligus atau diberikan dalam beberapa
kali pemberian.
c. Pengobatan lain
. Diet : sebaiknya diberikan makanan bergizi dengan tinggi
protein terutama yang berasal dari protein hewani.
. Vitamin c : vitamin c diberikan 3 x 100 mg/hari untuk
meningkatkan absorpsi besi.
. Transfusi darah : anemia defisiensi besi jarang memerlukan
transfusi darah. Indikasi pemberian transfusi darah pada
anemia defisiensi besi adalah :
- Adanya penyakit jantung anemik dengan ancaman payah
jantung.
Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg
- Anemia yang sangat simpomatik, misalnya anemia dengan
gejala pusing yang sangat menyolok.
- Pasien memerlukan peningkatan kadar hemoglobin yang
cepat seperti pada kehamilan trisemester akhir atau
preoperasi.
Respon terhadap terapi
Dalam pengobatan dengan preparat besi, seorang penderita
dinyatakan memberikan respon baik bila : Retikulosit naik pada
minggu pertama, menjadi normal setelah hari 10-14 diikuti
kenaikan Hb 0,15 g/hari. Hemoglobin menjadi normal setelah 4-10
minggu.
Jika respon terhadap terapi tidak baik, maka perlu dipikirkan :
1. Dosis besi kurang
2. Masih ada pendarahan cukup banyak
3. Pasien tidak patuh sehingga obat tidak diminum
4. Ada penyakit lain seperti misalnya penyakit kronik, peradangan
menahun, atau pada saat yang sama ada defisiensi asam folat.
5. Diagnosis defisiensi besi salah
Jika dijumpai keadaan diatas maka, lakukan evaluasi kembali dan
ambil tindakan yang tepat.
XI. KOMPLIKASI
Anemia kekurangan zat besi mengurangi kinerja dengan
memaksa otot tergantung, pada tingkat yang lebih besar dari
pada orang sehat, setelah metabolisme anaerobik. Hal ini
diyakini terjadi karena kekurangan zat besi yang mengandung
enzim pernafasan sebagai penyebab lebih utama daripada
anemia.
Anemia yang parah dapat menghasilkan hipoksemia dan
meningkatkan terjadinya insufisiensi koroner dan iskemia
miokard. Demikian pula, dapat memperburuk status paru
pasien dengan penyakit paru kronis.
Kerusakan struktur dan fungsi jaringan epitel dapat diamati
pada pasien kekurangan zat besi. Kuku menjadi rapuh atau
longitudinal bergerigi dengan perkembangan koilonychia (kuku
sendok). Lidah dapat menunjukkan atrofi papila lingual dan
kelihatan mengkilap. Angular stomatitis dapat terjadi dengan
celah di sudut mulut. Disfagia mungkin terjadi bila memakan
makanan padat, dengan anyaman (webbing) dari mukosa pada
persimpangan hipofaring dan esofagus (Plummer-Vinson
sindrom); ini telah dikaitkan dengan karsinoma sel skuamosa
daerah esofagus. Atrophic gastritis terjadi pada defisiensi zat
besi dengan kehilangan progresif sekresi asam, pepsin, dan
faktor intrinsik dan pembentukan antibodi terhadap sel parietal
lambung. Vili usus kecil menjadi tumpul.
Intoleransi terhadap dingin berkembang pada satu dari lima
pasien dengan anemia kekurangan zat besi kronis dengan
manifestasi gangguan vasomotor, nyeri neurologik, atau mati
rasa dan kesemutan.
Gangguan fungsi kekebalan dilaporkan pada pasien yang
kekurangan zat besi, dan ada laporan bahwa pasien rentan
terhadap infeksi, namun bukti bahwa ini adalah langsung
disebabkan oleh kekurangan zat besi tidak meyakinkan karena
adanya faktor lain.
Anak-anak kekurangan zat besi mungkin menunjukkan
gangguan perilaku. Perkembangan neurologis akan terganggu
pada bayi dan kinerja skolastik berkurang pada anak usia
sekolah. IQ anak-anak sekolah kekurangan zat besi dilaporkan
sebagai signifikan kurang dari rekan-rekan nonanemia.
Gangguan perilaku bermanifestasi sebagai gangguan defisit
perhatian. Pertumbuhan terganggu pada bayi dengan defisiensi
besi.
Masalah jantung. Anemia kekurangan zat
besi dapat menyebabkan detak jantung yang cepat atau tidak
teratur. Jantung harus memompa darah lebih banyak untuk
mengkompensasi kekurangan oksigen yang dibawa oleh darah.
Hal ini dapat menyebabkan pembesaran
jantung atau gagal jantung.
Masalah selama kehamilan. Pada wanita hamil, anemia
defisiensdi besi dikaitkan dengan kelahiran prematur dan bayi
berat badan lahir rendah. Tetapi kondisi ini mudah dicegah
pada wanita hamil yeng menerima suplemen zat besi sebagai
bagian dari perawatan pralahir mereka.
XII. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan berupa :
1. Pendidikan kesehatan :
a. kesehatan lingkungan (misalnya tentang pemakaian jamban),
lingkungan kerja ( misalnya pemakaian alas kaki)
b. penyuluhan gizi : untuk mendorong konsumsi makanan yang
membantu absorpsi besi
2. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber pendarahan
kronik paling sering pada di daerah tropik. Pengendalian infeksi
cacing tambang dapat dilakukan dengan pengobatan massal dengan
antelhemik dan perbaikan sanitasi.
3. Suplementasi besi, yaitu pemberian besi profilaksis terutama untuk
segmen penduduk yang rentan, seperti ibu hamil dan anak. Di
indonesia diberikan pada perempuan hamil dan anak balita memakai
pil besi dan folat.
4. Forfolitas bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi pada
bahan makanan. Di negara barat dilakukan dengan mencampur tepung
untuk roti atau bubuk susu dengan besi.
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien perempuan berusia 62 tahun datang ke IGD RSUD dr. Harjono Ponorogo
dengan keluhan badan terasa lemas, pusing dan mata sering berkunang-kunang.
Pasien merasakan badan mudah lelah setelah melakukan aktivitas ringan, pasien
juga sering merasakan mata berkunang-kunang jika berdiri agak lama atau jika
berubah posisi dari duduk ke berdiri. Pasien juga mengalami penurunan nafsu
makan. BAB berwana seperti aspal dengan konsistensi lembek, frekuensi 2x
sehari. Dari pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis (+/+) dan kuku
pucat (+). Pada pemeriksaan laboratorium Hb : 5,5 dan Feces lengkap telur cacing
Hookworm (+).
Badan yang terasa lemas yang dialami pasien disebabkan oksigen merupakan
molekul yang berperan penting dalam proses metabolisme aerobik tubuh. Oksigen
merupakan reseptor elektron terakhir dalam proses tersebut. Untuk
menghancurkan 1 molekul glukosa, diperlukan 6 molekul oksigen. Hal ini setara
sekitar 200-250 ml oksigen per menit dan dapat meningkat sampai 2-3 L er menit
saat beraktivitas berat. Dari proses aerobik, akan dihasilkan ATP sebanyak 36
molekul. Pada anemia defisiensi besi terjadi penurunan kadar hemoglobin di
dalam eritosit, hemoglobin merupakan transporter oksigen yang utama dari paru-
paru ke semua jaringan tubuh. Akibatnya terjadi penurunan kemampuan
oksigenasi jaringan sehingga beberapa jaringan akan mengalami kekurangan
oksigen. Pada saat kekurangan oksigen, sebagian jaringan tubuh akan melakukan
metabolisme secara anaerob. Dari proses ini, hanya dihasilkan ATP sebanyak 2
molekul dari setiap molekul dari setiap molekul glukosa. Akibatnya, jaringan akan
kekurangan ATP yang merupakan sumber energi. Hal inilah yang menyebabkan
pasien merasa lemas.
Defisiensi juga dapat menimbulkan penurunan fungsi mioglobin, enzim sitokrom,
dan gliserofosfat oksidase, menyebabkan gangguan gliolisis yang berakibat
penumpukan asam laktat sehingga pasien mudah kelelahan saat melakukan
aktivitas yang ringan.
Penurunan nafsu makan terjadi karena bahan pembentuk eritrosit yang bertugas
beredar pada aliran darah mengalami defisiensi besi sehingga menekan pusat rasa
lapar di central pusat limbik temporal.
Konjungtiva anemis dan jaringan di bawah kuku yang pucat dikarenakan
kurangnya suplai oksigen yang dibawa oleh hemoglobin ke jaringan-jaringan
perifer.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil Hb : 5,5 dan feces lengkap telur
cacing Hook worm (+). Infeksi cacing tambang menyebabkan terjadinya anemia
defisiensi besi. Anemia yang terjadi disebabkan karena cacing tambang
mengambil makanan dari darah dengan cara merusak kapiler darah pada mukosa
usus halus mengakibatkan perdarahan gastrointestinal, hilangnya protein serum,
dan inflamasi pada usus halus. Perdarahan yang terjadi terus menerus dapat
dimanifestasikan dengan terjadinya melena.
DAFTAR PUSTAKA
1. Harrison’s; Anemia; Principles of Internal Medicine, 16th edition;
International edition; 1998; page 335-339.
2. Soeparman, Sarwono Waspadji; Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Balai Penerbit
FKUI Jakarta; 1990; hal. 393-441.
3. Prie S.A, dkk. Hematologi. Patofisiologi buku 2 Konsep Klinis Proses Proses
Penyakit . jakarta : EGC 195. Cetakan I.
4. Hoffbrand, AV. et all. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.
5. Mansjoer, Arif et al. 2007. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi Ketiga.
Jakarta