Buku Ajar Fikh Waris rom Ajar Fikih... · 2016-02-19 · iv Buku Ajar Fikh Waris Mawarits B”...

164
Hj. Wahidah BUKU AJAR FIKH WARIS IAIN ANTASARI PRESS 2014

Transcript of Buku Ajar Fikh Waris rom Ajar Fikih... · 2016-02-19 · iv Buku Ajar Fikh Waris Mawarits B”...

i

Hj. Wahidah

BUKU AJAR FIKHWARIS

IAIN ANTASARI PRESS2014

ii

Buku Ajar Fikh Waris

BUKU AJAR FIKH WARIS

PenulisHj. Wahidah

Cetakan I, Desember 2014

Desain CoverLuthfi Anshari

Tata LetakSari DR

PenerbitIAIN ANTASARI PRESS

JL. A. Yani KM. 4,5 Banjarmasin 70235Telp.0511-3256980

E-mail: [email protected]

Percetakan:Aswaja Pressindo

Jl. Plosokuning V No. 73 Minomartani, NgaglikSleman YogyakartaTelp. 0274-4462377

E-mail: [email protected]

vi + 158 halamanISBN: 978-602-0828-01-5

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur hanya milik Allah Swt.Tuhan yang telah menetapkan hukum untuk manusia danberfirman, “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yangmengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.”

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepadajunjungan kita Nabi Muhammad Saw. yang telah menyampaikandakwah Islam kepada manusia, menerapkan seluruh hukum-Nya dan bersabda, “Pelajarilah ilmu faraidh serta ajarkanlahkepada orang-orang, karena aku adalah orang yang akandirenggut (mati) sedang ilmu itu akan diangkat dan fitnah akantampak, sehingga dua orang yang bertengkar tentang pembagianwarisan, mereka berdua tidak menentukan seorang pun yangsanggup meleraikan mereka.”

Dengan ungkapan rasa syukur itu pula, akhirnya penulisdapat menyelesaikan penulisan Buku Ajar “Fikih Mawarits B”yang telah disusun sesuai dengan Desain Perkuliahan dan atauSatuan Acara Perkuliahan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam,khususnya Jurusan Hukum Keluarga (Ahwal al Syakhshiyyah).Buku ini diharapkan bisa memberikan sumbangsih positifkepada mahasiswa dan dosen dalam melakukan prosespembelajaran. Atau dimaksudkan sebagai panduan bagi dosenpengasuh untuk memberikan pendidikan dan pengajaran “Fikih

iv

Buku Ajar Fikh Waris

Mawarits B” kepada mahasiswa sesuai dengan (salah satu) matakuliah komponen kejurusanannya.

Sesungguhnya “Fikih Mawarits” atau ilmu faraidhmerupakan ilmu yang digunakan untuk mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta warisan, sehingga orangyang mempelajarinya mempunyai kedudukan tinggi danmendapatkan pahala yang besar. Ini karena ilmu faraidhmerupakan bagian dari ilmu-ilmu Qur’any dan termasuk salahsatu produk agama. Ia “setengahnya dari ilmu,” dan hanya Al-lah-lah yang menguasakan ketentuan faraidh, dan Dia tidakmenyerahkan hal tersebut kepada seorang raja maupun paranabi-Nya.

Pembelajaran “Fikih Mawarits” adalah suatu prosespendidikan yang diarahkan untuk suatu tujuan agar mahasiswamampu memahami dan mengaplikasikan aturan-aturankewarisan Islam, baik sebagai individu, konsultan, ataupunpenegak hukum, di samping untuk meningkatkan ketakwaankepada Allah Swt, dengan tetap menjadikan al Qur’an dan alHadits sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalahkewarisan.

Tak ada gading yang tak retak, penuis menyadari bahwa,dalam penyusunan dan penulisan materi perkuliahan ini, masihjauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan sarankonstruktif, sangatlah diharapkan untuk perbaikan buku ini.

Penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada semua pihak yang telah membantupenyusunan materi sampai selesainya proses penulisan “BukuAjar” ini. Ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnyakepada pihak Antasari Press melalui LP2M IAIN AntasariBanjarmasin yang telah menyiapkan dan berkenan menerbitkanbuku ini. Semoga upaya penyusunan dan penulisan buku inidapat memberi manfaat, dengan harapan menjadi amal ibadahdan diridhoi oleh Allah Swt. Amiin Ya Rabb al ‘Alamiin.

Penulis.

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................ iiiDAFTAR ISI ............................................................................... v

BAB IPENDAHULUAN ..................................................................... 1A. Identifikasi Mata Kuliah ...................................................... 6B. Tujuan dan Silabus Mata Kuliah......................................... 6C. KegiatanPerkuliahan ............................................................ 7D. Metode .................................................................................... 10E. Alat Bantu .............................................................................. 11F. Evaluasi .................................................................................. 11G. Referensi ................................................................................. 11

BAB II‘AUL DAN RADDDALAM KEWARISAN ISLAM ............................................. 15A. Kasus ‘Aul (Pengurangan secara Berimbang/

Proporsional ........................................................................... 16B. Kasus Radd ............................................................................ 35

vi

Buku Ajar Fikh Waris

BAB IIIMASALAH – MASALAH ISTIMEWA/KASUS DALAM KEWARISAN ISLAM .............................. 53A. Kasus Gharawain/Umrayatain (Tsuluts al-Baqi) .............. 53B. Kasus Musytarik (Kewarisan Kolektif) ............................. 58C. Kasus Akdariyah ................................................................... 66

BAB IVKEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA ................. 77A. Pengertian Kakek .................................................................. 78B. Hukum Waris antara Kakek dan Saudara ......................... 78C. Pendapat Fuqaha tentang Hak Waris Kakek

Bersama Saudara ................................................................... 80D. Prinsip dalam Penyelesaian Masalah Kewarisan

Kakek Bersama Saudara ...................................................... 82

BAB VKEWARISAN SECARA AT-TAQDIR ................................... 93A. Kewarisan Anak dalam Kandungan .................................. 94B. Kewarisan Khuntsa Musykil (Banci) .................................. 100C. Kewarisan Mati Bersama ..................................................... 106D. Kewarisan Mafqud (Orang yang hilang) ........................... 117

BAB VIKASUS MUNASAKHAH(Kewarisan Turun Menurun) ................................................. 147A. Pengertian Munaskhah ........................................................ 147B. Keadaan Munasakhah .......................................................... 148

1

BAB IPENDAHULUAN

DESAIN PERKULIAHANFAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI

ISLAMIAIN ANTASARI BANJARMASIN

Mata Kuliah : Fikih Mawarits BKode Mata Kuliah : AHS 5104.Sks/Jurusan : 3/HukumKeluarga (AS.)Semester : Ganjil

Tujuan Instruksional Umum: Agar mahasiswa mampumemahami dan mengaplikasikan aturan-aturan kewarisan Is-lam, terkait dengan persoalan-persoalan sebagai produk yangbersifat ijtihadiyah, baik sebagai individu, konsultan, ataupunpenegak hukum. Sedangkan Tujuan Instruksional Khusus,akan diuraikan pada masing-masing pokok bahasan.

Strategi/Metode: Ceramah, Dialog, Penugasan, dan Diskusi.Ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut,perkuliahan dilaksanakan dengan berbagai strategi/metode.Untuk kasus-kasus seperti ‘Aul, Radd, dan tiga kasus istimewa,termasuk kewarisan kakek bersama saudara, dan kasus almunasakhat, perkuliahan disampaikan dengan metode ceramahdan tanya jawab. Namun semuanya diikuti dengan latihan-latihan, baik bersifat individual atau kelompok, take home atau

2

Buku Ajar Fikh Waris

di kelas. Selebihnya mahasiswa diajak berpikir logis dengan caramendiskusikan materi-materi yang belum bisa dipastikanbagiannya, dengan terlebih dahulu membuat tugas makalahsesuai topik yang menjadi bagian tugas berstruktur. Selain untukmengevaluasi penguasaan materi-materi khusus dimaksud,penugasan ini dimaksudkan untuk membimbing mahasiswa(sebagai latihan) tentang cara penulisan ilmiah, karena di setiappresentasi, tulisan mereka diadakan koreksi dan masukan-masukan terkait aspek materi dan metodologinya.

Pokok Bahasan:1. Produk Ijtihadiyah dalam Kewarisan Islam:

a. Kasus ‘Aulb. Kasus Radd

2. Kasus-kasus Istimewa/Khusu dalam Kewarisan Islam:a. Kasus Gharawain/’Umrayatainb. Kasus Musytarikahc. Kasus Akdariyah

3. Middle Test (Ujian Tengah Semester)4. Kewarisan Kakek Bersama Saudara5. Kewarisan Secara At Taqdir (Belum Bisa Dipastikan

bagiannya):a. Kewarisan Al Hamlu (Bayi dalam Kandungan)b. Kewarisan Khuntsa Musykil (Banci)c. Kewarisan Al Mafqud (Orang yang Hilang)d. Kewarisan Man Yamuutuna Jumlatan (Mati Bersama)

6. Kasus Al Munasakhah (Kewarisan Turun Temurun)7. Final Test (Ujian Akhir).

3

Referensi:

M. Ali Ash Shabuny, al Mawaarits fi al Syariat al Islamiyyah‘ala Dhauil Kitab wa al Sunnah; Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah; Moh.Anwar, Faraidh Hukum Waris dalam Islam dan Masalah-Masalahnya;Muhammad Arief, Hukum Warisan dalam Islam; Muslich Maruzi,Asas al Mawarits, Pokok-Pokok Ilmu Waris; Ahmad Azhar Basyir,Hukum Waris Islam; Hasniah Hasan, Hukum Warisan dalam Islam;A. Hassan, Al Fara’id Ilmu Pembagian Waris; Muhammad AliHasan, Hukum Warisan dalam Islam; Sukris Sarmadi, TransendensiKeadilan Hukum Waris Islam Transformatif; Ali Parman, Kewarisandalam al Qur’an Suatu Kajian Hukum dengan Pendekatan TafsirTematik, Fatchur Rahman, Ilmu Waris; Ahmad Rofiq, FiqihMawaris; Hasbi Ash Shiddieqy, Fiqhul Mawaris; Al Sayyid Muhsinbin Ali al Musawy, Al Nafhat al Hasaniyyah ‘Ala al Tukhfat alSaniyyah fi ‘Ilmi al Faraidh; Hasan Muhammad al Musyath AlMaky, Is’aful Khaidh fi ‘Ilmi al Faraidh, terj. Muhammad Syukribin Unus al Banjary, Tuhfat al Saniyah fi Ahwal al Waritsat al‘Arba’iniyyah; Komite Dosen al Azhar Kairo, Ahkam al Mawaritsfi al Fiqh al Islamy; Yusuf Musa; al Tirkah wa al Miirats fi al Islam;Muh. Abu Zahrah, Ahkam Al Tirkah wa al Mawaarits.

Abstrak

Sesuai dengan tujuannya, materi perkuliahan fikih MawaritsB ini lebih diarahkan pada penyelesaian kasus, yang semuanyaberkaitan dengan persoalan-persoalan ijtihadiyah. Mahasiswadiharapkan dapat mengetahui dan memahami mana diantarapenyelesaian itu yang merupakan produk ijtihad dan mana yangharus bersesuaian dengan ketentuan umum ilmu fara’idh.‘Auldan Radd misalnya. Pada setiap penyelesaian kasus kewarisanpasti ditemukan tiga kemungkinan, yaitu faridhah al‘Adilah,faridhah, al ‘Ailah, dan faridhah al Qashirah. Dua di antara itu, untukpenyelesaian kasus kewarisan yang pembilangnya lebih besardaripada penyebutnya, maka haruslah dibuat kenaikan angkaasal masalahnya dengan menjadikan jumlah bilangan “saham”masing-masing waris sebagai pokok masalah baru. Untukseterusnya diselesaikan dengan tiga cara sebagaimana yang telahditempuh faradhiyun.

Pendahuluan

4

Buku Ajar Fikh Waris

Begitu juga dengan kasus kebalikannya yaitu Radd, jumlah“saham” (pembilang) yang lebih kecil daripada penyebutnyaharus dijadikan angka “Asal Masalah Baru”. Hanya saja patutuntuk diperhatikan bahwa untuk penyelesaian kasus Radd iniada rambu-rambu yang menjadi persyaratan harus diperhatikan,yaitu ketika suami atau isteri pewaris ada di dalam strukturkewarisannya. Karena, pendapat kelompok mayoritas adalahpendapat terpilih untuk dijadikan cara-cara penyelesaian/pemecahannya (disampaikan dalam empat pertemuan).

Untuk selanjutnya (pertemuan kelima, keenam dan ketujuh),mahasiswa diajak berpikir dan memahami kapan dan pada saat-saat apa saja, penyelesaian kasus kewarisan istimewa/khususitu dilakukan. Sambil (bisa) menunjukkan apa yang menjadiketentuan umum faraidh dalam kasus tertentunya, mereka jugadapat menyampaikan argument dari sisi-sisi keistimewaan kasusdimaksud. Untuk itu perkuliahan masih menggunakan metodeceramah dan tanya jawab, diikuti dengan latihan-latihan.

Setelah middle test (pada pertemuan ke delapan), materidilanjutkan pada pembahasan tentang kewarisan kakek bersamasaudara. Kakek dan saudara adalah dua orang waris kelompoknasabiyah yang sama-sama dihubungkan kepada pewarismelalui jalur ayah (ushul/pokok pewaris). Permasalahan duasosok waris ini pernah menjadi persoalan yang cukup rumit disepanjang sejarah hukum waris Islam, meski pada akhirnyadapat memunculkan prinsip-prinsip penyelesaian kewarisan-nya. Beberapa hal terkait ini, maksud atau pengertian kakek dansaudara yang memiliki definisi operasional itu hendaknya dapatdibedakan dalam lingkup bahasa praktik (keseharian). Sebabjika tidak, berarti kaidah yang ada tidak bisa di hubungkandengan kasus “kakek shahih dan saudara kandung/sebapa” yangmewaris secara bersama ini (disampaikan pada pertemuan kesembilan dan ke sepuluh).

Pada (pertemuan ke 11 sampai dengan ke 14) disampaikanpembahasan tentang kewarisan yang belum bisa dipastikanbagiannya (at Taqdir), seperti persoalan-persoalan tentang:pertama, Pusaka al Hamlu (kewarisan bayi dalam kandungan)meliputi sub. bahasan tentang definisi hamil, syarat hak waris

5

janin dalam kandungan, dan keadaan janin menyangkutperkiraan-perkiraan yang harus dibuat pentaqdirannya. Kedua,Kewarisan Khuntsa Musykil (Banci) meliputi sub. bahasan tentangdefinisi khuntsa musykil, perbedaan ulama mengenai hakkewarisannya, dan ketentuan hukum tentang cara-cara pembagi-annya. Ketiga, Kewarisan al Mafqud (orang yang hilang), meliputisub-sub bahasan tentang maksud/definisi al Mafqud, batas waktupenentuan lamanya orang hilang, serta penyelesaian kewarisan-nya, baik berstatus sebagai pewaris, ataupun ahli waris, sebagaihaajib ataukah justru mahjub sehingga tidak diperlukan lamanyapenangguhan. Dalam artian harta bisa dibagi langsung tanpaharus menunggu mengenai kejelasan hidup dan matinya simafqud. Keempat, Kewarisan Mati Bersama (Man YamuutunaJumlatan), meliputi sub-sub bahasan tentang pengertian Gharqo,Hadma, dan Harqo, Menentukan hidup matinya seseorang,kaidah pembagian warisan, dan pendapat fuqaha tentangkewarisan mati bersama, ditambah illustrasi contoh dan cara-cara penyelesaiannya.

Pembahasan terakhir (disampaikan pada pertemuan ke 15),adalah mengenai kasus kewarisan (turun temurun) yang belumterbagi, atau dikenal dalam istilah faraidh dengan kasus alMunasakhat. Di dalamnya dijelaskan tentang pengertian/maksudmunasakhat, dan hukum beberapa keadaan. Seperti hukumkeadaan pertama, yakni ahli waris mayit kedua adalah ahli warisyang mewarisi harta dari mayit pertama juga. Keadaan keduaadalah, ahli waris mayit kedua adalah orang yang mewarisi hartadari mayit pertama, namun nasab mereka kepada si pewariskedua berbeda. Keadaan ketiga, ahli waris mayit kedua bukanahli waris mayit pertama atau sebagian dari ahli waris mayitkedua adalah ahli waris mayit pertama dan mayit kedua.Penjelasan mengenai hukum beberapa keadaan ini kemudiandiikuti dengan latihan-latihan.

Pengukuran (kapasitas) kemampuan serapan pengetahuanyang telah diterima mahasiswa dilakukan dalam bentuk middletest (biasanya pada perkuliahan ke delapan) dan final test, baikdalam bentuk lisan atau soal tertulis. Penugasan secara terstruk-tur diambil dari materi-materi yang memang menghajatkan

Pendahuluan

6

Buku Ajar Fikh Waris

telaah mendalam, nalar atau analisis sehingga metode dialogdan diskusi dilakukan sesuai topik dan makalah yang sudahdibuat mahasiswa dalam tenggang waktu (biasanya) satu bulansebelumnya.

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP)FIKIH MAWARITS B

A.IDENTITAS MATA KULIAH1. Nama Mata Kuliah : Fikih Mawarits B2. Kode Mata Kuliah : AHS 51043. Program : Strata 14. Bobot Sks : 35. Semester : Ganjil6. Jurusan/Prodi : Hukum Keluarga

(Ahwal al Syakhshiyyah)7. Dosen Pengasuh : Dra. Hj. Wahidah, M.H.I.8. Estimasi Pertemuan : 14-16 kali Pertemuan

B. TUJUAN DAN SILABUS MATA KULIAH1. Tujuan Mata Kuliah

Agar mahasiswa dapat menyelesaikan kasus-kasuskewarisan kongkrit yang terjadi di masyarakat sesuai denganketentuan faraidh. Baik kasus yang bersifat faridhah al ‘adilah,faridhah al qashirah, atau faridhah al ‘ailah, termasuk kasuskewarisan istimewa (khusus), atau yang belum bisa dipastikanbagiannya karena berbagai “ketidakjelasan”, ataupun kasusyang tertunda pembagiannya hingga beberapa turunan(generasi).

7

2. Silabus Mata Kuliah:1) Persoalan Ijtihadiyah dalam Kewarisan Islam

- Kasus ‘Aul (Pengurangan Secara Berimbang/Proporsional)

- Kasus Radd (Sisa Berlebih)2) Kasus Istimewa (Khusus) dalam Kewarisan Islam

- Kasus Gharawain/’Umrayatain (Sepertiga Sisa)- Kasus Musytarikah (Kolektif)- Kasus Akdariyah (Kakek Mengeruhkan Saudari dalam

Kewarisan)3) Kewarisan Kakek Bersama Saudara4) Kasus Kewarisan yang Belum Bisa Dipastikan Bagiannya

- Kewarisan Al Hamlu (Bayi Dalam Kandungan)- Kewarisan Khuntsa Musykil (Banci)- Kewarisan Al Mafqud (Orang Hilang)- Kewarisan Man Yamuutuna Jumlatan (Kewarisan Mati

Bersama: Al Gharqa, Al Harqa, dan Al Hadma)5) Kasus Al Munasakhah (Kewarisan Turun Temurun)

C.KEGIATAN PERKULIAHAN:Perkuliahan berlangsung sekitar 14 sampai dengan 16 kali

pertemuan. 11 materi (pokok bahasan), dijabarkan dalammasing-masing sub-sub pokok bahasan sebagaimana tabelberikut, dilengkapi dengan masing-masing Tujuan InstrusionalKhususnya. TIK ini disusun dengan memperhatikan capaianmelalui indikator keberhasilan, dan diharapkan bisa memenuhiapa yang menjadi Tujuan Instruksional Umum dari mata kuliahfikih mawarits B sebagaimana disebutkan di atas.

Pendahuluan

8

Buku Ajar Fikh Waris

9

Pendahuluan

10

Buku Ajar Fikh Waris

D.METODE1. Ceramah dan Tanya Jawab2. Diskusi Kelas (Khususnya untuk materi-materi kewarisan

yang belum dipastikan bagiannya)

11

E. ALAT BANTU1. White Board2. Spidol3. Makalah Diskusi4. Kertas Latihan/Kalkulator5. Skema Waris

F. EVALUASI1. Standar Penilaian

a. Rata-Rata Tugas (R.Tgs.) x 3b. Rata-Rata Ujian Bagian (R.Bag) x 3c. Ujian Akhir (F.Test) x 4

2. Bentuk Ujian: Tertulis3. Nilai Akhir(NA) = R.Tgs. x 3 + R.Bag. x 3 + F.Test x 4

10

G.REFERENSIAl Bajuri, Hasyiyah al Syaikh Ibrahim ‘ala Syarh al Syansyury fi ‘Ilmi

al Faraidh, Sinqafurat-Jaddah, Indonesia: Al Haramain,16 Mei 2006 M/18 Rabi’al Tsani 1427 H. Cet. Pertama.

Al Maky, Hasan Muhammad al Musyath, Is’aful Khaidh fi ‘Ilmi alFaraidh, terj. Muhammad Syukri Unus al Banjary, Tuhfatal Saniyah fi Ahwal al waritsat al ‘Arba’iniyyah,Banjarmasin.

Al Musawy, al Sayyid Muhsin bin Ali, al Nafhat al Hasaniyyah‘ala al Tukhfat al Saniyyah fi ‘Ilmi al Faraidh, Sinqafurat-Jaddah Indonesia, al Haramain.

Al Syafi’iy, Hasyiyah al Syaikh Muhammad bin Umar al Baqry, ‘alaSyarh Matan Rahbiyyah fi ‘Ilmi al Faraidh Lil Imam alSyuhair Basbath al Mardiny, Sinqafurat-Jaddah Indone-sia, al Haramain.

Al Tarimy, Muhammad bin Salim bin Hafizh bin Abdillah bin alSyaikh Abi Bakr ibn Salim al ‘Alawy al Husainy, Takmilat

Pendahuluan

12

Buku Ajar Fikh Waris

Zubdat al Hadits fi Fiqh al Mawarits, Sinqafurat-JaddahIndonesia, al Haramain.

Ash Shabuny, Muhammad Ali, al Mawaarits fi al Syariat’ alIslamiyyah ‘ala Dhauil Kitab wa al Sunnah. 1979 M/1399H, cet. Kedua.

________, terj. Samhuji Yahya, Hukum Waris dalam Syariat IslamDisertai Contoh-Contoh Pembagian Harta Pusaka, CV.Diponegoro, Bandung, 1988. Terj. AM. Basalamah,Pembagian Waris Menurut Islam, terj. Hamdan Rasyid,Hukum Kewarisan Menurut alquran dan Sunnah, terj. ZainiDahlan, Hukum Waris Menurut alquran dan Hadits, terj.Sarmin Syukur, Hukum Waris Islam, terj. Zaid Husein alHamid, Ilmu Hukum waris Menurut Ajaran Islam,Surabaya, Mutiara Ilmu.

Anwar, Moh, Faraidh Hukum waris dalam Islam dan Masalah-Masalahnya, Surabaya, al Ikhlas, 1981.

Arief, Muhammad, Hukum Warisan dalam Islam, Surabaya, PT.Bina Ilmu.

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Waris Islam, Yogyakarya, Univer-sitas Islam Indonesia.

Goni, M. Abdul, Ikhtisar Faraidh, Darul Ulum Press.Hasan Hasniah, Hukum Warisan dalam Islam, Surabaya,

Gitamedia Press, 2004.Hasan Muhammad Ali, Hukum Warisan dalam Islam, Jakarta,

Bulan Bintang.

Hassan, A. Al faraid Ilmu Pembagian Waris, Surabaya, PustakaProgressif, Desember, 1992, cet. XIII.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadith,jakarta, Tintamas.

Komite Fakultas yariah Universitas al Azhar Mesir, Ahkam alMawarits fi al Fiqh al Islamy, Mesir, Maktabah al Risalahal Dauliyah, 2000-2001, terj. Addys Aldizar dan

13

Fathurrahman (CV. Kuwais Media Kreasindo), Jakarta,Senayan Abadi Publishing, Maret. 2004, cet. Pertama.

Lubis, Suhrawardi K. dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Is-lam, Jakarta, Sinar Grafika.

Maruzi, Muslich, Asas al Mawarits, Pokok-Pokok Ilmu Waris,Jakarta, Pustaka Amani.

Musa, Yusuf, Al Tirkah wa al Mirats fi Al Islam, Dar al Ma’rifah1967, cet. II.

Parman, Ali, Kewarisan dalam Alquran Suatu Kajian Hukum denganPendekatan Tafsir Tematik, Jakarta, PT. Raja GrafindoPersada.

Rahman, Fatchur, Ilmu Waris, Bandung. PT. Alma’arif.Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.Sayyid Sabiq. Fiqh al Sunnah, Dar al Tsaqafah al Islamiyyah, t.th.

jilid ketiga._______, terj. Mudzakir AS, Fikih Sunnah, Bandung, PT. Alma’arif.

Zahrah, Muhammad, Ahkam al Tirkah wa al Mawarits, Dar al Fikral ‘Araby, t.th.

PETUNJUK UNTUK MAHASISWAUntuk kepentingan kelancaran perkuliahan, dan

tercapainya tujuan pembelajaran yang sudah di desainsebagaimana (Desain Perkuliahan dan Satuan Acara PerkuliahanFikih Mawarits B) disebutkan di atas, beberapa petunjuk inihendaknya menjadi perhatian mahasiswa pengikut kuliah agardapat mengindahkan sebagaimana mestinya.1. Materi yang dibicarakan dalam (11) pokok bahasan (seperti

tersebut) hendaknya betul-betul bisa diikuti dengan baik dantertib. Terkait ini, ketika ada satu atau beberapa di antaranyayang tidak bisa diikuti karena sesuatu hal, maka mahasiswahendaknya menelaah secara mandiri, untuk kemudian bisaditanyakan/didiskusikan di lain kesempatan.

Pendahuluan

14

Buku Ajar Fikh Waris

2. Pelajarilah lebih dahulu Tujuan Instruksional Khusus darimasing-masing pokok bahasan, sehingga dapat diketahui/diukur tentang terpenuhi/tidaknya tujuan suatu materi ituketika diterima mahasiswa.

3. Telaahlah pokok-pokok bahasan ini sebelum dikuliahkan dikelas, agar ada kesiapan dari mahasiswa untuk menerimamateri yang disampaikan oleh dosen pengasuh.

4. Materi yang ada dalam silabus ini, pada dasarnya hanyamerupakan rangkuman dari beberapa literatur yang menjadireferensi dari mata kuliah fikih mawarits B ini. Olehkarenanya, setiap mahasiswa dipersilakan untuk mencari danmerujuk pada buku/kitab lainnya.

5. Rajinlah berlatih mengerjakan soal-soal latihan/penugasan.Karena dengan banyaknya latihan itu, paling tidak akanmelancarkan mahasiswa dalam menghapalkan fardh-fardhdari furudhul muqaddarah yang menjadi “keharusan” untukkemudahan menyelesaikan kasus-kasus kewarisan, yangutamanya terjadi di tengah-tengah keluarga mahasiswasendiri.

15

BAB II‘AUL DAN RADD

DALAM KEWARISAN ISLAM

‘Aul dan Radd adalah dua kasus kewarisan hasil produkijtihad fuqaha dalam kaitannya dengan operasional metodeperhitungan sebagai upaya penyelesaian kasus kewarisan yangkekurangan atau sebaliknya kelebihan harta warisan, jikadiselesaikan secara furudhul muqaddarah. Dua di antara tigakemungkinan (selain faridhah al ‘adilah) yang pasti ditemui dalampenyelesaian pembagian harta warisan ini, tampaknya menjadiperbincangan yang cukup menarik di sepanjang perkembanganhukum waris Islam.

Karenanya, (di dalam kewarisan ini) ada istilah kelompokmayoritas yang merupakan pendapat terpilih, yang kemudianmenjadikan ijtihad ini sebagai ijma ulama. Sudah belasan abadyang silam, dan sampai saat ini, kasus ‘aul merupakanpenyelesaian/solusi terbaik dalam menyelesaikan kasuskekurangan harta warisan. Atau sebaliknya pada kasus radd,cara-cara pemecahannya (sebagai rambu yang harusdiperhatikan), tampaknya juga menjadi terapan dari maksud dankehendak kelompok yang didukung oleh pendapat jumhur ini.

16

Buku Ajar Fikh Waris

A.Kasus ‘Aul (Pengurangan Secara Berimbang/Proporsional)

1. Pengertian ‘AulKata-kata ‘aul berasal dari bahasa Arab, yang artinya lebih

atau banyak.1 Di samping itu ia masih memiliki beberapa arti,seperti:a. Meninggikan suara dengan menangisb. Menang atau sangat (al galabah wa al syiddah)c. Memberi nafkah kepada keluarga.2

Secara bahasa ia juga bermakna azh zhulm (aniaya), sepertiyang terdapat dalam firman-Nya: “... Yang demikian ituadalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. Al Nisaayat 3). Atau “Naik, Meluap,” dikatakan ‘Ala al Maau IdzaIrtafa’a, yang berarti “Air yang naik meluap” dan “bertambah”seperti dalam kalimat ‘Ala al Miizan, yang berarti “berattimbangannya.”3

Dari beberapa pengertian yang ditinjau dari aspek bahasaini, kemudian beberapa istilah pun dimunculkan terkaitdengan kasus kewarisan yang pada dasarnya dirumuskandengan persoalan kurangnya harta warisan, jika diselesaikansesuai dengan ketentuan furudhul muqaddarah. Yang demikiandapat dilihat dalam beberapa rumusan ini: ‘Aul artinyapertambahan bilangan saham dari asal masalah denganadanya ashhabul furudh yang berhak mnedapatkan bagian.4

Dari pengertian/istilah lainnya dikatakan bahwa ‘auladalah jumlah bilangan bagian lebih dari asal masalah yang

1 Muhammad Arief, Hukum Warisan dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, cet.Pertama, 1986, hal. 137.

2 Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet.1,Nopember 1995, hal. 426.

3 Vide Muhammad Ali al Shabuny, al Mawaarits fi al Syari’at al Islamiyyah ‘AlaDhauil Kitab wa al Sunnah, cet. kedua, 1979 M. (1399 H.), hal. 108.

4 Al Imam Muhamad Abu Zahrah, Ahkam al Tirkah wa al Mawaarits, Dar al Fikr al’Araby, hal. 176.

5 Muhammad Yusuf Musa, Al Tirkah wal al Miirats fi al Islam, Dar al Ma’rifah, cet.Kedua, 1967, hal, 319.

17

dibagi kepadanya kadar harta peninggalan.5 Sayuti Thalibdalam buku beliau mengistilahkan dengan “ketekoran.”Masalah ini dimasukkan dalam masalah sisa bagi yang dalampelaksanaan pembagian harta warisan, terkadang terjadikekurangan harta peninggalan menurut jumlah bagianmasing-masing waris.6

R. Abdul Djamali, memakai istilah ‘aulu’ dalam halseluruh ahli waris memperoleh bagian harta warisanberdasarkan ketentuan lebih besar dari kesatuan hartawarisannya. Berarti bahwa jumlah pembilang lebih banyakdari penyebut dalam ganda persekutuan terkecil.7 Pengertianyang lebih ringkas dinyatakan dengan “Kasus kewarisan yangangka pembilangnya lebih besar daripada penyebutnya.”8

Atau pengurangan secara berimbang.9

Adapun dalam terminologi hukum kewarisan, ‘aul adalahmenambah angka asal masalah sesuai dengan bagian yangditerima ahli waris. Langkah ini ditempuh, karena apabiladiselesaikan menurut ketentuan yang semestinya, akan terjadikekurangan harta.10

Dari beberapa pengertian yang ditinjau melalui aspekterminologi ini permasalahan ‘aul pada pokoknya terkaitsekali dengan persoalan para waris yang memiliki furudhulmuqaddarah (Ashhabul Furudh) sampai kepada penetapan pokokmasalah. Sebab, ‘Aul tidaknya suatu kasus kewarisan itu dilihatsetelah ditentukannya fardh masing-masing waris, kemudiandiperoleh hasil bagian/hak para waris, dan dari penjumlahan

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

6 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam denganKewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Sinar Grafika, Jakarta,Edisi kedua, cet. Pertama, Januari, 1994, hal. 181.

7 Vide R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas Hukum Islam I, Hukum Islam II),Mandar Maju, Bandung, cet. I, 1992, hal. 132.

8 Suhrawardi K. Lubis, K. Simanjuntak, Hukum Waris Islam, (Lengkap dan Praktis),Sinar Grafika, Jakarta, cet. Pertama, September 1995.

9 Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara, jakarta, cet.Pertama, April, 1982, hal. 84.

10 Muhammad Muhyiddin Abd. Al Hamid, Ahkam al Mawarits fi al Syariat alIslamiyyah, Dar al Kitab al ‘Araby, 1404 H./1984 M., hal. 165, sebagaimana dikutip dariAhmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia. Loc cit.

18

Buku Ajar Fikh Waris

itu didapat persesuaian atau tidaknya antara angka pembilangdengan penyebutnya.

Permasalahan pokok yang terdapat di dalam kasus-kasus‘aul adalah terjadinya kekurangan harta di saat bagian-bagianwaris itu diselesaikan sesuai dengan ketentuan furudhulmuqaddarah. Ini berarti dalam situasi dan kondisi tertentu,makna furudhul muqaddarah tidak dipahami terbatas pada 1/2, atau 2/3 nya harta warisan. Sebab pada kenyataannya justruterjadi pengurangan.

Pengurangan secara berimbang (proporsional)11 ini dila-kukan untuk menghindari terjadinya kesenjangan pendapat-an, sekaligus timbulnya persoalan diantara sesama warismana diantara mereka yang lebih didahulukan atau diutama-kan.12 Sehingga dengan menaikkan atau menambah pokokhitungan (asal masalah) supaya cukup bagian mereka masing-masing, adalah jalan keluar terbaik dan bahkan telah disepa-kati para imam dan ulama.13 Sebagai penyelesaian akhir untukmembagi harta warisan tersebut dipergunakanlah asal masalahbaru yang telah dinaikkan pokok hitungannya sesuai denganjumlah bagian para waris dalam struktur kewarisannya.

2. Latar Belakang Terjadinya ‘AulPada zaman Rasulullah saw. sampai dengan kekhalifahan

Abu Bakar, masalah ‘aul ini belum pernah timbul.14 Ini berartibahwa pada masa-masa ini kemungkinan besar memang tidakdidapati peristiwa kematian dengan meninggalkan strukturkewarisan seperti yang terdapat dalam masalah-masalah ‘aul.Atau boleh jadi karena pada masa-masa itu tidak ada kasusyang menuntut penyelesaian secara ‘aul.15

11 Proporsional adalah istilah Ahmad Rofiq dalam bukunya Fiqh Mawaris, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. Kedua, Maret 1995, hal. 87.

12 Vide Suhrawardi K. Lubis, loc cit.13 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam yang Berkembang dalam

Kalangan Ahlus Sunnah, Bulan Bintang, Jakarta, cet. keenam, 1986, hal. 348.14 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Alma’arif, Bandung, 1975, hal. 409.15 Ahmad Rofiq, op cit, hal. 426-427.

19

Wajar kiranya kalau ijtihad ini baru muncul ketikakekhalifahan II di masa pemerintahan Khulafa al Rasyidun,sekaligus menandai bahwa kasus ‘aul merupakan salah satuproduk hukum yang dilahirkan lewat ijtihad sahabat yangkemudian menjadi ijma’ ulama (fuqaha). Sehingga wajar pulajika di dalamnya terdapat pro kontra terhadap masalah ini.

Para ahli hukum memperselisihkan siapa diantara parasahabat yang pertama kalinya mempelopori pembagian hartawarisan secara ‘aul ini? Sebagian mereka menyatakan bahwaorang yang pertama memecahkan persoalan kewarisandengan ‘aul ini adalah Umar bin Khattab, sebagian lagimengatakan Abbas bin Abdul Muthalib, di lain pihak bahwaZaid bin Tsabitlah orangnya.16

Pengarang kitab Al Mabsuthi menyatakan bahwa orangyang pertama kali membicarakan tentang ‘aul ini adalahAbbas. Karena sayyidina Abbas mengatakan kepada Umartentang suatu kejadian yang terdapat lebihnya bagian warisdaripada harta peninggalan. Kemudian di ‘aulkanlah bagian-bagian mereka itu. Di lain pihak dikatakan bahwa Ibnu Abbasditanya seseorang: “Siapakah yang pertama kali membicara-kan ‘aul dalam masalah faraidh? Ibnu Abbas pun berkata:“Sayyidina Umar.”17 Hal itu beliau lakukan ketika fardh yangharus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak.18

Bukanlah merupakan persoalan siapa diantara merekayang pertama kali menetapkan cara-cara ‘aul ini, yang jelaskasus ini muncul di saat khalifah Umar menjabat sebagaikepala pemerintahan sekaligus sebagai orang penentu, makatepatlah kiranya kalau dikatakan bahwa beliaulah orang yangpertama menyelesaikan kasus ‘aul tersebut. Sebab dalamriwayat disebutkan bahwa beliau pernah didatangi salahseorang sahabat yang menanyakan penyelesaian suatumasalah “seseorang meninggal, meninggalkan waris-warisyang terdiri dari seorang suami, dan dua orang saudara

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

16 Vide Muhammad Yusuf Musa, op cit, hal. 322.17 Ibid.18 Muhammad Ali Ash Shabuny, op cit, hal. 109.

20

Buku Ajar Fikh Waris

perempuan kandung. Beliau kemudian bermusyawarahdengan Zaid dan Abbas dengan perkataan:”Jika kumulaidengan memberikan kepada suami atau kepada dua orangsaudara perempuan, niscaya tidak ada hak yang sempurnabagi yang lain.”19

Yang demikian itu dimaksudkan dengan fardh suamisebanyak seperduanya, sedangkan saudara perempuan duapertiga. Kalau dibagikan sesuai fardh mereka, harta warisantidak akan cukup karena lebih dari satu. Padahal harta waris-an selalu dipandang sebagai satu kesatuan. Dalam permusya-waratan itu, kemudian Abbas mengatakan dengan:

lantas khalifah Umar kemudian memutuskanpermasalahan tersebut dengan cara meng’aulkan yang semulamasih beliau ragukan.20 Dari latar belakang terjadinya ‘aul inidapat ditarik suatu pengertian bahwa:a. Kasus ‘aul ini terjadi di kekhalifahan II masa-masa Khulafa

al Rasyidun, disebabkan tidak pernah munculnya persoalandimaksud di masa Nabi dan khalifah Abu Bakar. Sebabseandainya ini terjadi, pastilah ada keterangan ataupunhadits Nabi saw. yang berkenaan dengan masalah penyele-saian kasus tersebut, dan ada kemungkinan pula Abu Bakarmenerapkan persoalan tersebut di masa pemerintahanbeliau. Sementara ‘aul itu sendiri merupakan satu diantaraproduk hukum dari hasil ijtihad.

b. Kasus ‘aul yang pertama kali terjadi adalah asal masalah 6‘aul ke 7, sebab warisnya terdiri dari seorang suami dandua orang saudara perempuan kandung, yang masing-masing memiliki fardh ½ dan 2/3.

3. Perselisihan Pendapat Tentang ‘AulDengan memperhatikan uraian mengenai latar belakang

terjadinya ‘aul, khalifah Umar menyelesaikan kasus tersebut19 Fatchur Rahman, op cit, hal. 410.20Ibid. Perbedaan pendapat tentang orang yang pertama kalinya menetapkan ‘Aul

ini dapat dikompromikan bahwa kemungkinan besarnya adalah khalifah Umar setelahadanya isyarat dari Zaid bin Tsabit beserta Abbas bin Abdul Muthalib (lihatMuhammad Yusuf Musa, hal. 322.)

21

dengan cara memperbesar asal masalahnya yang mengakibat-kan berkurangnya bagian yang harus diterima para waris,seperti dalam kasus pertamanya seorang suami yang berhak½ harta warisan, justru hanya bisa mendapatkan sebesar 3/7nya saja dari seluruh harta warisan. Begitu juga dengan sauda-ra perempuan kandung yang berbilang hanya mendapatkan4/7, padahal sebelumnya ia memiliki fardh 2/3.

Hasil penyelesaian yang diterapkan inipun kemudianmenjadi perbincangan para fuqaha khususnya di masa itu,dan bahkan telah menjadi satu diantara masalah-masalahyang diperselisihkan secara meluas di kalangan mereka.21

Dalam artian telah terjadi pro dan kontranya sebagian merekadalam menanggapi masalah demikian. Ini dapat dilihat padaalasan yang dikemukakan dengan para pelopor serta pendu-kungnya masing-masing, yang pada prinsipnya terdapat duakelompok besar, yakni:a. Kelompok pertama menyatakan bahwa pada lahirnya,

ayat-ayat kewarisan itu telah menjelaskan furudhul muqad-darah secara sempurna, karena itu setiap ashhabnya haknyaharus dipenuhi selagi keadaan memungkinkan, jika tidak,maka hak sebagian waris, seperti anak-anak perempuanatau saudara perempuan hendaknya tidak dipenuhi hak-nya. Ini disebabkan karena mereka statusnya dapatberubah (dalam suatu keadaan) menjadi ahli waris ashobah.

Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa tidak sela-manya yang namanya ashhabul furudh bisa bertindaksebagai orang yang tertentu bagiannya, sebab dalam keada-an tertentu pula ia bisa saja tampil sebagai ashobah.22 Inilahyang dimaksudkan dengan alasan pertama dari kelompokini. Karena sebagai waris ashobah ada kemungkinan bagianmereka ini lebih sedikit atau sebaliknya, sesuai denganfungsinya sebagai waris penerima sisa. Menurut keadilan,sebenarnya yang berhak menerima sisa itu ialah orang-orang

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

21 Vide Muhammad Yusuf Musa, op cit, hal. 321.22Al Imam Muhammad Abu Zahrah, op cit, hal. 180.

22

Buku Ajar Fikh Waris

perempuan, karena laki-laki itu lebih kuat daripadamereka.23

Hanya saja, di dalam kasus-kasus ‘aul itu tidak didapatiorang-orang yang bisa menjadikan anak atau saudaraperempuan tersebut berstatus sebagai ashobah, baik ashobahbi al ghair atau ashobah ma’a al ghair. Sehingga pada keadaanini tentulah mereka berkedudukan sebagai waris kelompokashhabul furudh.

Adapun alasan kedua dari pendapat kelompok perta-ma ini adalah bahwa jika keadaan harta peninggalan itutidak mencukupi untuk memenuhi seluruh hak-hak yangbersangkut paut dengan harta peninggalan, maka harusdiutamakan lebih dahulu untuk memenuhi hak-hak yanglebih penting, misalnya masalah tajhiz al mayit lebih didahu-lukan daripada pelunasan hutang, dan seterusnya. Sehing-ga jika harta tersebut tidak mencukupi untuk dibagi secarasempurna akan fardh-fardh waris yang ada, maka hendaklahdipenuhi hak-hak mereka yang lebih penting.

Karenanya para waris yang bagiannya dapat berpin-dah dari satu fardh muqaddarah ke fardh muqaddarah yanglain tentunya lebih utama daripada waris yang hanya per-pindahannya itu dari fardh muqaddarah kepada fardh ghairumuqaddarah yakni ashobah, disebabkan mereka lebih kuat(dari kelompok ashhabul furudh tiap jurusan). Sehinggapembebanan pengurangan kepada mereka lebih baik,disebabkan ashhabul furudh harus lebih didahulukandaripada kelompok waris yang tergabung dalam ashobah.24

Pendapat pertama ini diakui dan didukung oleh ula-ma-ulama madzhab Syi’ah Imamiyah atau Ja’fariyah sertamadzhab Zhahiriyah, terutama sekali pemimpin merekayang bernama Ibnu Hasan. Ia begitu tegas dan keras meno-lak serta mengingkari akan keberadaan ‘aul ini.25 Sesuaidengan pendapat yang mereka ikuti dari Ibnu Abbas.

23 Muh. Abdur Rahim, Muhadharat fi al Mirats al Muqaran, hal. 209. Sebagaimanadikutip dari Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 412.

24 Ibid.25 Muhammad Yusuf Musa, loc cit.

23

Berkenaan dengan riwayat yang menyatakan tentang itu,setelah berakhirnya kekuasaan khalifah Umar, Ibnu Abbasmengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan putusankhalifah Umar dan ayahnya sendiri dalam kasus kewarisanyang struktur ahli warisnya terdiri dari seorang suami, ibu,dan saudara perempuan seayah, beliaupun kemudianberujar dengan:

“Demi Allah, andaikata didahulukan orang yang didahulukanoleh Allah Ta’ala, dan diakhirkan orang yang diakhirkan oleh AllahTa’ala, niscaya tidak terjadi peng’aulan sama sekali.”

Atas dasar pernyataan beliau ini, kemudian seseorangtelah menegur dengan tegurannya: Siapakah orang yangdidahulukan oleh Ta’ala itu wahai Ibnu Abbas.? Beliaumenjawab: “Orang yang dipindahkan oleh Allah dari suatufardh muqaddarah ke suatu fardh muqaddarah yang lain (seper-ti suami, isteri, atau ibu), sedang orang yang diakhirkanitu adalah waris yang bagiannya itu dapat dipindahkandari suatu fardh muqaddarah kepada fardh ghairu muqaddarahseperti anak-anak perempuan dan saudara-saudaraperempuan kandung.26

Satu hal barangkali yang perlu digaris bawahi terkaitdengan pernyataan Ibnu Abbas ini, yakni mereka yangdisebut sebagai waris yang fardhnya itu bisa dipindahkankepada fardh ghairu muqaddarah. Sependapat saja, bahwawaris ashhabul furudh itu terkadang bisa berkedudukansebagai ashobah), hanya saja dalam kasus ‘aul ini tidakdidapati orang-orang yang bisa menjadikan anak atausaudara perempuan tersebut bisa berstatus sebagai ashobah.Statusnya cukup jelas, (dalam kasus tersebut) merekaadalah para waris kelompok ashhabul furudh yang berhakatas bagian tertentunya.

26Ibid, hal. 322-323.

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

24

Buku Ajar Fikh Waris

Satu lagi pernyataan Ibnu Abbas berkenaan denganmasalah ini:

“Katakanlah kepada mereka yang berpendapat ada ‘aul, sampainanti kami berkumpul, lalu kami mendo’a kepada Tuhan, hingga Al-lah menimpakan laknat-Nya kepada para pembohong. Sungguh Zatyang sanggup menghitung jumlah butir-butir pasir padang pasir Alij,tidak akan menjadikan satu harta peninggalan dua buah paroan dansatu pertigaan. Oleh karena apabila ini telah dikurangi separo dan separolagi, maka dimanakah yang sepertiga itu.?27

Mendengar ucapan Ibnu Abbas itu, seseorang tadikemudian bertanya kembali “mengapa tuan tidak nyatakanitu kepada khalifah Umar”?, beliau menjawab bahwa Umaradalah orang yang ditakuti oleh rakyatnya, karenanya akutakut dan salut kepadanya.28

b. Kelompok kedua sebaliknya, mereka mengemukakanargumentasi bahwa nash-nash yang menjelaskan hak-hakwaris tidak mengutamakan sebagian ashhabul furudh atasyang lainnya dan tidak membedakan antara harta warisanyang mepet dengan yang longgar. Sehingga mendahulukansalah seorang dari ashhabul furudh dan mengakhirkannyadengan mengurangi hak anak perempuan atau saudaraperempuan berarti membuat hukum baru dengan jalanmentarjihkan suatu ketentuan nash tanpa alat tarjih yangkuat. Di samping itu, perintah Rasul:

tidak mengistimewakan sebagian waris untuk dipenuhihaknya dengan menganak tirikan waris lainnya untuk

27 Ibid, hal. 323.28 Ibid.

25

dikurangi bagiannya. Atas dasar itulah, setiap waris harusdipenuhi haknya jika harta warisan longgar. Jika mepet, makahendaknya semua waris mendapat pengurangan seimbangdengan fardhnya. Sungguh tidak adil kalau yang dapatpengurangan itu hanya waris tertentu, sedang yang lain tidak,padahal mereka semua adalah ashhabul furudh.29

Ibnu Abbas menentang pendapat mengenai ‘aul ini,sementara kasus ini sudah merupakan ijma, karena telahdisepakati fuqaha. Di sisi lain, pendapat beliau tidak didasar-kan pada nash yang sharih. Furudhul muqaddarah merupakansesuatu yang telah disepakati seluruh umat Islam tentangkewajiban melaksanakannya. Maka untuk memenuhi fardh-fardh para waris terhadap harta peninggalan yang mepet,hendaklah ditempuh jalan melalui ‘aul dengan cara mengu-rangi bagian setiap waris secara berimbang sesuai kadar ataufardh mereka masing-masing. Keberadaan ‘aul ini diakui olehmayoritas (jumhur) fuqaha, sahabat, thabi’in, dan ulamamadzhab yang empat, serta madzhab Syiah Zaidiyah.30

4. Asal Masalah yang Dapat di ‘AulkanDari tujuh macam asal masalah, tiga diantaranya adalah

asal masalah yang dapat di’aulkan, yakni: 6, 12, dan 24.- Asal Masalah 6 di’aulkan sampai angka ke 10 (ganjil dan

genap, yaitu ke 7, ke 8, ke 9, dan ke 10).- Asal Masalah 12 di’aulkan sampai ke 17 (tetapi hanya pada

angka-angka yang ganjil, yaitu ke 13, ke 15, dan ke 17).- Asal Masalah 24 hanya di’aulkan ke 27.31

Dengan demikian, berarti ada empat macam asal masalahyang tidak terdapat angka ‘aulnya, yaitu asal masalah: 2, 3, 4,dan 8.

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

29 Vide Sayyid Syarif, Syarhu Sirajiyah, hal. 196, sebagaimana dikutip dari FatchurRahman, op cit, hal. 413.

30 Muhammad Yusuf Musa, op cit, hal. 321.31 Vide Muhammad Ali Ash Shabuny, op cit, hal. 110-111.

26

Buku Ajar Fikh Waris

5. Beberapa Contoh dan Cara Menyelesaikan Kasus ‘AulDi bawah ini penulis hanya memberikan masing-masing

satu contoh untuk tiap kasus (asal masalah) yang dapatdi’aulkan. Sesuai dengan asal masalahnya, maka contoh kasus‘aul ini dibagi dalam tiga bagian seperti berikut: Pertama, asalMasalah 6 ‘aul ke 7, ke 8, ke 9, dan ke 10. Kedua,asal Masalah 12‘aul ke 13, ke 15, dan ke 17. Ketiga, asal Masalah 24 ‘aulnyahanya ke 27.

27

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

28

Buku Ajar Fikh Waris

Beberapa contoh kasus yang ada padanya ‘aul tersebut,ada beberapa catatan yang dapat digarisbawahi untuk perma-salahan ini, yaitu:a. Struktur kewarisan dari asal masalah yang bisa di’aulkan

ini tidaklah bersifat baku. Ini dimaksudkan bahwa kasus‘aul tersebut bukanlah seperti halnya kasus-kasus istimewa/khusus dalam kewarisan Islam, seperti Gharawain atau yanglainnya. Hanya saja di dalam struktur kewarisannyatersebut tidak didapati adanya waris yang berstatus sebagaiashobah, meski sebenarnya (di dalam kasusnya) ada orangyang kadangkala bisa tampil sebagai ashobah, seperti ayahpewaris, saudara-saudara perempuan, baik sekandungataupun seayah saja.

b. Diantara kasus-kasus tersebut ada yang menggunakanistilah atau nama tersendiri, sesuai dengan latar belakang

29

dan riwayat yang berhubungan dengan kasus dimaksud.Seperti:1) Asal Masalah 6 ‘aul ke 8, dinamai dengan kasus

“Mubahalah”2) Asal Masalah 6 ‘aul ke 9, dinamai dengan kasus

“Marwaniyah”3) Asal Masalah 6‘aul ke 10, dinamai dengan kasus

“Syuraihiyah”4) Asal Masalah 12 ‘aul ke 17, dinamai dengan kasus

“Ummul Aramil”5) Asal Masalah 24 ‘aul ke 27, dinamai dengan kasus

Mimbariyah/Haidariyah.c. Di samping yang demikian, khusus untuk asal masalah 6

yang ‘aulnya ke 7, 8, 9, dan 10, dapat dinyatakan bahwa:pada dasarnya asal masalah 6 itu sudah dapat dikatakan(terjadi) ‘aul, jika di dalam struktur kewarisannya ituterdapat waris-waris:1) Suami yang pewarisnya tidak memiliki keturunan,

ditambah2) Berbilangnya saudara perempuan kandung atau seayah,

tapi tidak terhadap saudara yang hanya punyahubungan seibu saja dengan pewaris. Sebab yangdemikian, permasalahannya justru akan berbalikmenjadi harta warisan akan bersisa (lebih).

Sedangkan untuk asal masalah 12, dapat dikatakantelah terjadi ‘aul, jika di dalam struktur kewarisannyaterdapat:1) Isteri yang pewarisnya tidak mempunyai keturunan2) Berbilangnya saudara perempuan kandung atau seayah

atau campuran antara keduanya. Tetapi tidak terhadapsaudara seibu saja dengan pewaris, dan ditambahdengan

3) Salah satu waris yang memiliki fardh 1/6

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

30

Buku Ajar Fikh Waris

Khusus untuk asal masalah 24, syarat terjadinya ‘auldi dalam asal masalahnya tersebut adalah: adanya isteri,dengan berbilangnya keturunan perempuan dari pewaris,bersama-sama dengan kedua orang tua pewaris (ibu danbapak, tidak bisa jika hanya salah seorang saja dari mereka).

d. Memperhatikan catatan tentang “sesuatu masalah dapatdikatakan terjadi ‘aul,” maka secara umum berartipermasalahan tersebut hanya berkisar diantara waris-warisseperti janda atau duda pewaris, orang tua, anak/keturunanserta saudara-saudara perempuan dari pewaris, baiksekandung, seayah, atau seibu.

e. Kaitannya dengan catatan nomor (1), maka masih adabeberapa contoh kasus ‘aul dengan struktur kewarisan yangberbeda daripada apa yang dipaparkan terdahulu, danbukan berarti bahwa dari ketiga asal masalah ini selaluterjadi padanya peng’aulan. Jadi, ‘aul itu sendiri terjadiketika struktur kewarisannya terdiri dari orang-orang (parawaris) yang memiliki fardh-fardhsebagaimana di atas. Jikadikatakan bahwa ‘aul itu terjadi ketika banyaknya ashhabulfurudh, kenyataannya pun tidaklah demikian. Sebab adasedikit kesulitan jika dihadapkan dengan contoh kasuskewarisan itu sendiri, baik yang ‘aul ataupun tidak. Karenaterkadang hanya ada dua jenis waris saja, ternyata sudahterjadi ‘aul itu, dan sebaliknya dengan kasus yang didalamnya terdapat banyak jenis dan jumlah warisnya,tetapi justru tidak terdapat ‘aul itu, karena bagiannya sudahdapat diselesaikan dengan “bersesuaian”. Yakni angkapembilang (basth) dan penyebutnya (maqam) salingbersesuaian (muwafaqah).

f. Di dalam permasalahan ‘aul ini terjadi pengurangan bagiandari tiap-tiap waris. Akan tetapi pengurangan dilakukansecara berimbang sesuai dengan perbandingan fardhmasing-masing waris. Di sinilah letak hikmah kenapaseorang waris yang terkait dengan persoalan ‘aul ini harusbisa bersikap “kurang lebih” dengan tidak memaksakankehendaknya sendiri disebabkan keterbatasan penge-tahuan yang dimiliki tentang “furudhul muqaddarah.”

31

Dalam konteks inilah ahli waris bisa melahirkan sikap“memberi dan menerima” sesuai dengan situasi dankondisi struktur ahli waris yang ditinggalkan pewarisnya.

Adapun cara mengerjakan/menyelesaikan masalah ‘aulini dapat ditempuh dengan tiga jalan:1) Mengetahui fardh masing-masing waris yang terdapat

dalam struktur kewarisan, sesudahnya ditetapkanlah asalmasalah. Setelah itu mencari bagian masing-masing waris(ashhabul furudh), lalu menjumlahkan bagian, dan dari hasilpenjumlahan bagian itu, kemudian diambil asal masalahbaru untuk digunakan dalam menyelesaikan pembagianharta warisan. Sebab asal masalah yang pertama tidak jadilagi digunakan.

2) Jumlah sisa kurang dari peninggalan yang terbagi ditang-gung oleh ashhabul furudh dengan jalan mengurangkanpenerimaan masing-masing menurut perbandinganperolehan mereka masing-masing.

3) Jalan menurut ilmu hitung. Yakni dengan mengadakanperbandingan perolehan/hak waris satu sama lain.Kemudian bagian mereka dijumlah. Jumlah ini dipakaiuntuk membagi harta warisan agar diketahui berapa harga/nilai tiap-tiap satu bagiannya. Setelah diketahui, maka akandiketahuilah bagian mereka masing-masing.

Berikut ini, sebuah contoh (illustrasi) kasus ‘aul denganpenyelesaian melalui tiga jalan sebagaimana yang telahditempuh faradhiyun: Jika seseorang meninggal dunia, danmeninggalkan ahli waris terdiri dari seorang isteri, ibu, ayah,dan seorang anak perempuan, serta seorang cucu perempuan(dari anak laki-laki). Harta warisan yang ditinggalkansejumlah Rp.648.000,-

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

32

Buku Ajar Fikh Waris

1). Penyelesaian menurut cara pertama

Dari sini, maka diselesaikanlah pembagian harta warisantersebut dengan menggunakan asal masalah baru, yaitu 27,sehingga:- Isteri = 3/27 x Rp. 648.000,- = Rp. 72.000,-- I b u = 4/27 x Rp. 648.000,- = Rp. 96.000,-- Ayah = 4/27 x Rp. 648.000,- = Rp. 96.000,-- 1 anak pr. = 12/27 x Rp. 648.000,- = Rp.288.000,-- 1 cucu pr. = 4/27 x Rp. 648.000,- = Rp. 96.000,-

____________________________________Jumlah = Rp.468.000,-

33

2). Penyelesaian menurut cara kedua

Cara kedua ini, harta warisan diselesaikan dengan meng-gunakan asal masalah pertama, yaitu 24, sehingga:- Isteri = 3/24 x Rp. 648.000,- = Rp. 81.000,-- I b u = 4/24 x Rp. 648.000,- = Rp.108.000,-- Ayah = 4/24 x Rp. 648.000,- = Rp.108.000,-- 1 anak pr. = 12/24 x Rp. 648.000,- = Rp.324.000,-- 1 cucu pr. = 4/24 x Rp. 648.000,- = Rp.108.000,-

_______________________________________Jumlah = Rp.729.000,-Harta warisan = Rp.468.000,-

_______________________________________ Sisa kurang = Rp. 81.000,-

Kekurangan sebesar Rp. 81.000,- ini ditanggung olehmasing-masing ahli waris berdasarkan besar kecilnyaperbandingan perolehan/hak mereka. Sehingga untuk itu,diperbandingkan lebih dahulu hak/bagian mereka, yaitu 1/8:1/6:1/6:1/2:1/6 = 3:4:4:12:4 = 27. Dari sini, kemudian parawaris mendapat pengurangan masing-masing sebesar:

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

34

Buku Ajar Fikh Waris

- Isteri = 3/27 x Rp. 81.000,- = Rp. 9.000,-- I b u = 4/27 x Rp. 81.000,- = Rp.12.000,-- Ayah = 4/27 x Rp. 81.000,- = Rp.12.000,-- 1 anak pr. = 12/27 x Rp. 81.000,- = Rp.36.000,-- 1 cucu pr. = 4/27 x Rp. 81.000,- = Rp.12.000,-

Jumlah = Rp.81.000,-

Dengan demikian perolehan (yang didapat berdasarkanpenyelesaian dengan asal masalah pertama, yaitu (24), harusdikurangkan lagi dengan jumlah yang didapat berdasarkanperbandingan jumlah saham atau bagian mereka (sebagaipengurangan/potongan). Sehingga hasil akhir perolehanmereka menjadi:- Isteri = Rp. 81.000,- dikurangi Rp. 9.000,- = Rp 72.000,-- I b u = Rp.108.000,- dikurangi Rp. 12.000,- = Rp 96.000,-- Ayah= Rp.108.000,- dikurangi Rp. 12.000,- = Rp 96.000,-- 1 anak pr=Rp.324.000,- dikurangi Rp. 36.000,-= Rp288.000,-- 1 cucu pr.= Rp.108.000,-dikurangi Rp. 12.000, = Rp 96.000,-_____________________________________________________

Jumlah = Rp.648.000,-

3). Penyelesaian menurut cara ketigaHarta warisan yang akan dibagi berjumlah Rp.648.000,-.

Perbandingan fardh masing-masing waris adalah 1/8:1/6:1/6:1/2:1/6 = 3:4:4:12:4 = 27. Harta Warisan sebesar Rp.648.000,-: 27= Rp. 24.000,- Dari cara ketiga ini, dapat diketahui bahwaharga/nilai per satu bagiannya adalah Rp. 24.000,-. Untuk hasilpenyelesaian terakhirnya, cukup mengalikan besarnya bagianmasing-masing waris dengan harga tiap satu bagiannya.Sehingga:- Isteri = 3 x Rp. 24.000,- = Rp. 72.000,-- I b u = 4 x Rp. 24.000,- = Rp. 96.000,-- Ayah = 4 x Rp. 24.000,- = Rp. 96.000,-- 1 org. Anak pr.= 12x Rp.24.000,- = Rp.288.000,-

35

- 1 org. Cucu pr.= 4 x Rp. 24.000,- = Rp. 96.000,Jumlah = Rp.648.000,-

Cara-cara penyelesaian kasus kewarisan ‘aul ini padadasarnya (perolehan akhir antara cara pertama, kedua, atauketiga) adalah sama saja. Bagian waris tetap berkurang darifardh yang seharusnya (menurut furudhul muqaddarah).Pengurangan ini didasarkan pada perbandingan perolehandiantara para waris yang ada dalam strukturnya. Sehinggabesar kecilnya pengurangan tersebut tidak sama antara warisyang satu dengan waris lainnya.

Dari ketiga cara yang ditempuh dalam penyelesaiankasus ‘aul ini, barangkali yang termudah adalah cara yangterakhir. Akan tetapi semua cara yang ditempuh tersebut tidakterlepas dari bahasan furudhul muqaddarah untuk masing-masing kelompok waris yang dinamakan dengan ashhabulfurudh beserta asal masalahnya. Inilah yang dimaksudkanbahwa permasalahan ‘aul sebagai salah satu kasus kewarisanyang di dalamnya terdapat pengurangan hak/bagian secaraberimbang (proporsional) diantara sesama waris yang adadalam strukturnya (sebagaimana pendapat kelompok kedua).

B. Kasus Radd1. Pengertian Radd

Kata radd ditinjau dari aspek bahasa bisa berarti “I’aadah,”mengembalikan, dan bisa juga berarti “sharf,” memulangkankembali. Seperti dikatakan Radda ‘alaihi haqqah, artinyaa’aadahu ilaih: dia mengembalikan haknya kepadanya, danRadda ‘anhu kaida ‘aduwwih: dia memulangkan kembali tipumuslihat musuhnya.32

Ali Ash Shabuny melengkapi pengertian radd yangditinjau dari aspek bahasa ini dengan menunjuk pada ayat-ayat seperti di bawah ini:

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

32 Vide sayyid sabiq, Fiqh al Sunnah, Dar al Fikr, Beirut, Juz ke 3, cet. Pertama,1977, hal. 444.

36

Buku Ajar Fikh Waris

Selain itu radd juga bisa bermakna penolakan ataupenyerahan.33

Sedangkan radd yang dimaksud menurut istilah ilmu faraidh(dalam pengertian syara’ menurut fuqaha) adalah pengembalianapa yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyah kepadamereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidakada orang lain yang berhak untuk menerimanya.34

Masalah radd merupakan kebalikan daari masalah ‘aulyang terjadi apabila pembilang lebih kecil daripada penye-but,35 yakni dalam pembagian warisan terdapat kelebihanharta setelah ahli waris ashhabul furudh memperoleh bagian-nya. Cara radd ditempuh untuk mengembalikan sisa hartakepada ahli waris seimbang dengan bagian yang diterimamasing-masing secara proporsional.36

Senada dengan beberapa pernyataan di atas, Moh. Rifa’imenyatakan kalau Al raddu itu ialah ulangan membagi sisapusaka kepada ahli waris dzu fardhin menurut perimbanganbagian masing-masing.37 Atau ditegaskan oleh Muslich Maruzidengan dikembalikannya sisa harta warisan tersebut jika terjadikeadaan dimana jumlah semua bagian ahli waris ternyata lebihsedikit daripada jumlah harta warisan ayng ada (harta warisanlebih banyak daripada jumlah bagian-bagian ahli waris).38

33 Moh. Anwar, Fara’idl Hukum Waris Dalam Islam dan Masalah-Masalahnya, AlIkhlas, Surabaya, 1981, hal. 48.

34 Sayyid Sabiq, loc cit.35 Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap dan

Praktis), Sinar Grafika, Jakarta, cet. pertama, 1995, hal. 165.36 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, jakarta, cet. Ketiga,

ed.1, 1998, hal. 97.37 Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqh Islam Lengkap, CV. Toha Putra, Semarang, hal. 532.38 Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Pustaka Amani, Jakarta, cet. Kedua,

hal. 64.

37

Dari berbagai pengertian baik yang ditinjau dari aspekbahasa atau istilah ini pada intinya sangat terkait denganpersoalan adanya sisa harta warisan yang berlebih yang akandikembalikan kepada waris ashhabul furudh secaraberimbang sesuai dengan besar kecilnya bagian yang telahditerimanya berdasarkan ketentuan furudhul muqaddarah,sehingga akan berpengaruh pula dengan operasional metodeperhitungannya. Dengan pengertian lain bahwa pengaruh ininantinya akan menambah perolehan masing-masing warissetelah menerima bagian yang telah ditentukan berdasarkanal Qur’an atau hadits Nabi saw.

2. Rukun (Syarat) Terjadinya Radd.Kasus atau maasalah radd tidak akan terjadi kalau tidak

memenuhi rukun (syarat) ini: Pertama, adanya pemilik fardh(shahibul fardh). Kedua, adanya sisa harta warisan. Ketiga, tidakadanya ahli waris ashobah.39

Sesuai dengan perngertian radd itu sendiri, sehingga apayang menjadi rukun (syarat) terjadinyapun sangat terkaitdengan apa yang menjadi persoalan dalam kasus raddtersebut. Seperti syarat pertama, adanya ashhabul furudh,karena mereka itulah orang-orang yang memiliki bagiantertentu menurut ayat-ayat kewarisan yang mendapatperioritas pertama dan utama dalammemperoleh hak-haknyaterhadap harta warisan, dan kemudian mereka ini pula yangdijadikan pusat perhatian dalammasalah pengembalian sisaharta warisan yang berlebih (syarat kedua).40

Tidak adanya ahli waris ashobah sebagaimana rukun(syarat) ketiga merupakan penjelasan lebih jauh dari

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

39 Sayyid Sabiq, loc cit.40 Sisa harta warisan (berlebih) yang akan diraddkan pada ashahbul furudh ini

disebut pula dengan istilah “sisa kecil” sebagaimana Abdullah Siddik, dalam bukunyaHukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam, Wijaya, Jakarta, cet.Pertama, 1984, hal. 192; Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith,Tintamas, Jakarta, cet. Keenam, 1982, hal. 46, menyebutnya dengan istilah “sisa bagi.”Begitu juga Sayuti Thalib, dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta, 1993, cet. keempat, Oktober, hal. 97.

38

Buku Ajar Fikh Waris

persyaratan sebuah kasus radd, sebab mereka tergolongsebagai kelompok waris penerima sisa. Sehingga jelaslahketiadaan mereka ini dijadikan sebagai salaah satu syaratterjadinya radd, ataau bahkan ini merupakan penegasan darisyarat-syarat lainnya. Maksudnya adalah, persyaratansebagaimana yang ditetapkan oleh kelompok Ahlus Sunnah.Sebab tidak demikian halnya dengan pendapat golonganSyi’ah, yang tidak mengenal ahli waris ashobah.41

3. Pendapat Fuqaha Tentang RaddFuqaha berselisih pendapat disebabkan tidak adanya nash

yang dijadikan sebagai rujukan/dasar dari masalah radd ini.42

Sebagian mereka menyatakan tentang tidak adanya raddterhadap seorangpun diantara ashabul furudh, sehingga sisaharta sesudah ashhabul furudh mengambil bagian-bagianmereka (sesuai ketentuan furudhul muqaddarah) diserahkanpada Baitul Mal, jika tidak ada ahli waris ashobah.43 Yangberpendapat demikian adalah Zaid bin Tsabit, dan minoritasfuqaha lainnya, diantaranya Urwah al Zuhry, Imam Syafi’i, danIbnu Hazm al Zhahiry, serta fuqaha Malikiyah dan Syafi’iyah.44

Pendapat pertama ini menolak radd secara mutlak denganpernyataan bahwa kaum musliminlah yang berhak meman-faatkan sisa harta warisan yang berlebih tersebut. Namundemikian pendapat ini tampak mengalami pergeseran ketikaBaitul mal yang dimaksudkan45 sepertinya tidak berfungsisebagaimana mestinya.

Fatchur Rahman dalam penilaiannya menyatakan bahwapendapat ini didasarkan pada kondisi dan situasi kaum

41 Abdullah Siddik, loc cit.42 Sayyid Sabiq, loc cit.43Ibid.44 Ahmad Rofiq, op cit, hal. 102. Vide Muhammad Yusuf Musa. Al Tirkah wa al

Mirats fi al Islam, Dar al ma’rifah, cet. Kedua, 1967, hal. 328, menambahkan bahwapendapat pertama ini seperti yang yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra.

45Baitul Mal yang teratur baik, berfungsi secara optimal. Baitul Mal ialah rumahharta atau semacam balai harta yang khusus menerima, menghimpun, dan mengaturharta umat Islam untuk kemanfaatan umat islam dan agama Islam, sebagaimanadalam Sayuti Thalib, op cit, hal. 100.

39

muslimin yang boleh jadi pada saat itu sangat membutuhkanbiaya dan bantuan negara melalui wadah Baitul Mal.Perubahan dan dinamika masyarakat ketika fuqaha Syafi’iyahhidup, nampaknya mengalami perubahan dan kemajuan.Lebih- lebih lagi peran Baitul Mal tidak lagi berfungsi secaraoptimal. Sehingga dengan kenyataan sosial semacam ini,fuqaha Syafi’iyah seperti Ibnu Saraqah, Qadi al Husain alMutawally, dan lain-lain mengubah pendapatnya.Katamereka, dalam rangka refungsionalisasi kelebihan harta,sebaiknya dikembalikan saja kepada ashhabul furudh ataupundzawil arham jika ada, secara proporsional.46

Pendapat kedua sebaliknya, menyatakan bahwa radd itudiberikan kepada ashhabul furudh, terkecuali suami/istripewaris. Begitu juga ayah dan kakek pewaris. Pendapat inilahpendapat yang terpilih karena didukung oleh pendapatkebanyakan (mayoritas ulama) seperti Ali bin Thalib, Umar,jumhur sahabat dan thabi’in yang diikuti oleh Abu Hanifah,Ahmad bin Hanbal, fuqaha mutaakhkhirin dari madzhabMalikiyah, Syafi’iyah, Syiah Zaidiyah dan Imamiyah.47 Dipe-domani oleh pendapat kedua ini adalah ayat 75 surat al Anfal,ditambah dengan praktik yang pernah dilakukan NabiMuhammad saw.

Pendapat lainnya menyatakan bahwa adanya radd itu bagiseluruh ashhabul furudh termasuk suami/istri pewaris,menurut kadar bagian masing-masing.48 Ini adalah pendapatUtsman bin Affan dengan pertimbangan logika yang diqiyas-kan pada masalah kebalikan yakni ‘aul. Dari beberapa penda-pat fuqaha tentang radd ini, ada dua pendapat yang kontro-versial di dalam satu pendapat besar tentang dikembali-kannya sisa harta yang berlebih kepada waris ashhabul furudh.

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

46Vide Fatchur Rahman, Ilmu Waris, sebagaimaina dikutip dari Ahmad Rofiq, opcit, hal. 103.

47Ibid, hal. 99, dan cf. dengan sayyid sabiq, loc cit.48 Sayyid sabiq, loc cit.

40

Buku Ajar Fikh Waris

4. Ahli Waris yang Berhak Tidaknya Mendapat RaddSesuai dengan uraian pengertian, rukun (syarat), dan

pendapat fuqaha tentang kasus radd ini, maka tentunya waris-waris yang berhak untuk mendapat radd adalah seluruh ashha-bul furudh kecuali suami/istri pewaris (karena yang dipilihadalah pendapat kelompok mayoritas), dan ayah/kakek, (dise-babkan mereka bisa berkedudukan sebagai ashobah padakondisi tertentu, di samping berstatus sebagai ashhabul furudhdalam situasi yang lain.

Oleh karena itu, maka waris-waris yang berhak menda-patkan radd ini hanyalah delapan orang, yaitu:a. Anak perempuanb. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan dari

anak laki-laki)c. Saudara perempuan kandungd. Saudara perempuan seayahe. Ibuf. Nenek shahih (ibunya bapak)g. Saudara perempuan seibu.h. Saudara laki-laki seibu.49

Dari delapan orang yang berhak ini semuanya waris darigolongan perempuan kecuali satu orang, yakni saudara laki-laki seibu. Sebab meski dia berstatus laki-laki, tetapi ia bukantermasuk kelompok waris ashobah (waris penerima sisa).Berikut ini adalah dasar bahwa ia tergolong sebagai salahseorang ashhabul furudh, dengan alternatif fardh sebesar 1/6atau 1/3 bagian dalam keadaan seperti:

49 Vide Muhammad Ali Ash Shabuny, op cit, hal. 117

41

Begitu pula sebaliknya dengan ayah dan kakek pewarisyang berstatus laki-laki, tetapi bisa berkedudukan sebagaiashhabul furudh. Dalam kondisi struktur kewarisan yang didalamnya tidak terdapat laki-laki utama kecuali merekaberdua, maka di saat itulah mereka tampil sebagai ashobahuntuk mengambil sisa bagian yang telah dikeluarkan terlebihdahulu untuk ashhabul furudh. Sehingga pada saat itu pulamereka harus dikeluarkan dari orang-orang yang berhakuntuk mendapat tambahan sisa (radd). Karena belumterpenuhinya persyaratan (rukun) ketiga terjadinya sebuahkasus radd.

Dengan demikian ada empat orang yang tidak berhakmendapatkan radd, mskipun mereka juga sebenarnya terma-suk waris kelompok ashhabul furudh, yaitu: Suami, istri, ayah,dan kakek pewaris. Khusus untuk nomor satu dan dua, masihterdapat perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalammemecahkan kasus ini menyangkut operasional metodeperhitungannya.

5. Cara-Cara Memecahkan Masalah Radd.Sehubungan dengan uraian terdahulu, persoalan radd

secara garis besar dapat terjadi pada dua kemungkinan, yaitu:a. Radd dalam hal ada suami/istri, danb. Radd dalam hal tidak ada sumai/istri pewaris.50

Sayyid Sabiq dalam bukunya menyatakan bahwa, jikadalam struktur kewarisan itu ashhabul furudh bersama-samadengan salah seorang suami/istri (orang yang tidak berhakmendapat radd), maka bagian salah seorang suami/istripewaris itu harus dikeluarkan lebih dahulu. Baru sisa sesudahfardh ini diberikan untuk ashhabul furudh sesuai denganjumlah mereka, baik mereka itu hanya terdiri dari satugolongan (seorang ataupun berbilang) ataupun beberapagolongan.

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

50 Suhrawardi K. Lubis, Komis Simanjuntak, loc cit.

42

Buku Ajar Fikh Waris

Jika ashhabul furudhnya lebih dari satu golongan sepertiadanya ibu dan seorang anak perempuan, maka sisanyadibagikan kepada mereka sesuai dengan fardh masing-masing,kemudian ditambah dengan dikembalikannya “sisa bagi”kepada mereka sesuai dengan perbandingan fardh yang telahmereka peroleh berdasarkan ketentuan furudhul muqaddarah.51

Adapun jika dalam strukturkewarisan itu ashhabul furudhtidak bersama-sama dengan salah seorang yang tertolakmenerima radd (suami/istri), maka sisa harta warisan setelahdikeluarkan berdasarkan ketentuan furudhul muqaddarahdikembalikan lagi kepada mereka sesuai dengan jumlahmereka, jika mereka hanya terdiri dari satu golongan (seorangatau berbilang).

Jika mereka terdiri dari lebih satu golongan, maka sisatersebut dikembalikan kepada mereka sesuai denganperbandingan fardh. Dengan demikian maka perolehan setiaporang bertambah sesuai dengan fardh dan lebihnya hartawarisan; sehingga masing-masing waris akan mendapatbagian harta warisan sejumlah fardh mereka, ditambah denganradd.52 Dalam artian mereka masing-masing mendapat bagianatas nama dzawil furudh dan atas nama radd sekaligus.

Dari dua cara pemecahan seperti ini, wajar jika kemudianAli Ash Shabuny merincinya dengan empat macam radd yangmasing-masing dari (empat) macam tersebut mempunyai caraatau hukum tersendiri, seperti:a. Ahli waris hanya terdiri dari satu golongan, dan tidak ada

suami/istri.b. Ahli waris terdiri dari beberapa golongan, dan tidak ada

suami/istri.c. Ahli waris terdiri dari satu golongan, dan bersama dengan

salah seorang suami/istri.

51 Vide Sayyid Sabiq, op cit, hal. 445. Ketentuan furudhul muqaddarah (kalimattambahan dari penulis).

52 Bagian yang diperoleh berdasarkan ketentuan furudhul muqaddarah secaraotomatis akan bertambah dengan adanya tambahan sisa yang berlebih dalam kasusradd ini.

43

d. Ahli waris terdiri dari beberapa golongan, dan bersamadengn salah seorang suami/istri pewaris.53

6. Radd Menurut Dua Versi Sahabata. Ali bin Abi Thalib

1) Pendapat Ali tentang Penyelesaian Masalah raddAli dikatakan sebagai orang pertama yang mula-mula

berpendapat dan menyelesaikan masalah radd inimenyatakan bahwa: Radd tidak diberikan kepada salahseorang suami/istri pewaris, karena radd dimiliki denganjalan rahim atau nasab. Sedangkan mereka waris mewarisidengan sebab nikah.54 Sehingga kalau dikelompokkanmereka tergolong waris sababiyah bukan nasabiyah, dandengan sebab ini pula dinyatakan bahwa satu kekerabatanakan putus karena kematian.55

Adapun alasan yang diperpegangi oleh Ali bin AbiThalib dalam persoalan ini adalah sebagaimana yangdidasarkan pada ketentuan ayat 75 yang terdapat dalamsurat al Anfal berikut:

“... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itusebagiannya lebih berhak daripada yang lain...”. Ayat ini pada prinsip-nya adalah mengatur pembagian harta warisan kepada ashhabul furudh,tetapi kemudian dijadikan dasar/dalil penyelesaian radd. Karena dariayat tersebut menunjukkan bahwa diantara para kerabat itu satu samalain punya kelebihan disebabkan jauh dekatnya hubungan nasab kepadasi pewaris.

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

53 Vide Muhammad Ali Ash Shabuny, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘alaDhauil Kitab wa al Sunnah, terj. AM. Basalamah,Pembagian Waris Menurut Islam, GemaInsani Press, Jakarta, 1995, hal. 107; terj. Zaini dahlan, hal. 141-142; terj. H.AA. Dahlan,dkk, hal. 50; terj. Sarmin Syukur, hal. 158.

54 Vide Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Dar al Fikr, Beirut, juz ke 3, cet. 1, 1977, al.444-445.

55 Vide Muhammad Ali Ash Shabuny, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘alaDhauil Kitab wa al Sunnah, cet. Ke 2, 1979, (1399 H.), hal. 118.

44

Buku Ajar Fikh Waris

Sehingga logis jika setelah ashhabul furudh megambilbagiannya sesuai fardh mereka, kemudian jika masih adasisa kelebihannya, lalu sisa tersebut dikembalikan lagi ke-pada mereka dengan memperhatikan pada perbandinganfardh mereka masing-masing.56 Pertimbangannya merekayang memiliki hubungan darah lebih pantas menerimapengembalian sisa tersebut daripada kaum muslimin yangtidak ada ikatan kekerabatan. Sebab jika sisa harta terseutdiserahkan pada Baitul Mal maka kaum musliminlah yangakan memanfaatkannya.57

Di samping itu dasar hukum yang dipedomani Ali binAbi Thalib adalah disandarkan pada praktik yang pernahdilakukan Nabi Muhammad saw. ketika pada suatu saatbeliau didatangi seorang perempuan yang menanyakanstatus budak yang baru saja ia serahkan pada ibunya dantidak berapa lama kemudian ibunya tadi meninggal. Ataspertanyaaan itu Nabi kemudian memerintahkan:

“Kamu pantas menerima pahala, dan budak itu kembali kepadamudengan jalan pewarisan.”58

Atas dasar tindakan Nabi saw. tersebut, dapat dipa-hami bahwa penyelesaian masalah dengan cara raddkepada ahli waris adalah ditunjuk oleh sunnah. Sebab kalausaja Nabi saw. menyelesaikannya tanpa radd, anak perem-puan tersebut hanya berhak menerima separohnya saja.Sehingga atas dasar alasan-alasan ini yang berhak meneri-ma pengembalian sisa harta hanya dzawil furudh nasabiyah.59

56 Vide Muslich maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Pustaka Amani, Jakarta, cet. II,hal. 66.

57 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, edisi 1, cet. ke3, 1998, hal. 100.

58Ibid.59Ibid.

45

2) Operasional Metode Perhitungan Menurut Ali bin AbiThalib

Sesuai dengan maksud dan alasan-alasan yang dike-mukakan dalam pendapat pertama ini, maka operasionalmetode perhitungan penyelesaian masalah radd iniberhubungan dengan cara-cara memecahkan masalah radd(sebagaimana uraian terdahulu). Berikut ini illustrasi kasusradd dengan metode penyelesaian versi Ali bin Abi Thalib(kelompok mayoritas):

Seseorang meninggal dunia, dengan meninggalkanwaris-waris seperti: seorang suami, dan seorang anakperempuan, dengan harta warisan sejumlah Rp. 84.000,-.Cara pembagiannya adalah:

- Suami mendapat ¼ x Rp. 84.000,- = Rp. 21.000,-- 1 anak pr. mendapat ½ x Rp. 84.000,- = Rp. 42.000,-

________________________________________________Jumlah = Rp. 63.000,-Sisa lebih = Rp. 21.000,-

Yang demikian, dapat digambarkan sebagai berikut:

Sisa lebih yang akan diraddkan adalah jumlah hartawarisan dikurangi dengan fardh yang telah dikeluarkanuntuk suami dan seorang anak perempuan, yaitu= Rp.84.000,- dikurangi Rp. 63.000,- = Rp. 21.000,- (atau tersisasebesar ¼ nya harta warisan yang ditinggalkan pewaris).

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

46

Buku Ajar Fikh Waris

Karena suami tertolak (tidak berhak) menerimakelebihan tersebut, maka sisa yang Rp. 21.000,- itudiberikan kepada seorang anak perempuan sepenuhnya.Karena ia hanya satu orang, dan tidak bersama denganwaris dari golongan yang lain. Sehingga hasil akhir daripembagian harta warisan tersebut adalah:

Kalau suami tersebut bersama-sama dengan warisdzawil furudh yang terdiri dari beberapa golongan, makapemecahannya adalah dengan membagi sisa kelebihan tadikepada mereka berdasarkan perbandingan fardh masing-masing, seperti adanya ibu pewaris selain seorang anakperempuan di atas, maka penyelesaiannya adalah:

Suami mendapat ¼ x Rp. 84.000,- = Rp. 21.000,-(dikeluarkan lebih dahulu), kemudian sisanya = Rp. 63.000,-dibagikan kepada seorang anak perempuan dan ibu

47

dengan fardh masing-masing, lalu ditambah dengankelebihannya yang dibagi menurut perbandingan kadarfardh yang telah diperoleh secara furudhul muqaddarah. Ataucara penyelesaiannya dapat dilihat pada skema waris dibawah ini:

- Suami = ¼ ditashhih = 4/16- 1 Anak pr. = ¾ x ¾ = 9/16- I b u = ¼ x ¾ = 3/16___________________________________

Jumlah = 16/16 =1Dengan demikian perolehan masing-masing, menjadi:- Suami = 4/16 x Rp. 84.000,- = Rp. 21.000,-- 1 Anak pr. = 9/16 x Rp. 84.000,- = Rp. 47.250,-- I b u = 3/16 x Rp. 84.000,- = Rp. 15.750,-______________________________________________

Jumlah = Rp. 84.000,-Dengan cara seperti ini bisa dibuktikan bahwa:a. Suami tidak termasuk orang yang mendapat radd. Dapat

dilihat pada perolehannya sebesar Rp. 21.000,- Hartawarisan yang dibagi sejumlah Rp. 84.000,- maka ¼ nya(fardh suami) berarti ¼ x Rp. 84.000,- = Rp. 21.000,-.

b. Seorang anak perempuan dan ibu yang masing-masingmendapat Rp. 47.250,- dan Rp. 15.750,- (sudah termasukdi dalamnya) tambahan sisa dari harta warisan yang

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

48

Buku Ajar Fikh Waris

berlebih sebesar 1/12 nya. Sebab seandainya mereka tidakmendapat tambahan sisa kelebihan itu tentunya perolehanmereka berdasarkan fardhnya saja adalah: anak perempuan½ x Rp. 84.000,- = Rp. 42.000,-, dan ibu 1/6 x Rp. 84.000,- =Rp. 14.000,-

c. Kalau dijumlahkan semuanya (nomor 1 dan 2) maka:

Suami = Rp. 21.000,- 1 anak pr. = Rp. 42.000,- I b u = Rp. 14.000,-___________________________________

Jumlah = Rp. 77.000,-.

Harta Warisan berjumlah Rp.84.000,-, berarti masih adakelebihan sebesar Rp. 7.000,- (1/12 nya harta warisan,karena 1/12 x Rp. 84.000,-).

d. Kelebihan sebesar Rp. 7.000,- itu telah dibagi secaraberimbang kepada anak perempuan dan ibu (dzawil furudhyang berhak/tidak tertolak menerima radd) berdasarkanperbandingan fardh mereka masing-masing. Karena anakperempuan mendapat tambahan sisa sebesar Rp. 5.250,-berbanding Rp. 1.750,- untuk ibu itu sama dengan ½: 1/6 =3/6: 1/6, berarti 3:1.

Untuk operasional metode perhitungan radd dalam halashhabul furudh tidak bersama-sama salah seorang yangtertolak menerima radd, seperti suami/istri pewaris, maka carapemecahannya cukup dengan penyelesaian seperti kasuskewarisan biasa yaitu dimulai dengan penentuan ahli warisyang berhak, kemudian menetapkan fardh, asal masalah,sehingga diketahui bagian/perolehan masing-masing, laludijumlahkan untuk mengetahui apakah pembilang danpenyebutnya bersesuaian. Dari sini dapat dilihat apakah padakasus itu terdapat ‘aul atau radd.

Jika kasus tersebut ternyata radd, maka sisa yang berlebihitu dikembalikan kepada waris-waris yang ada dengantambahan berdasarkan perbandingan fardh mereka,

49

seandainya waris-waris tersebut terdiri dari beberapagolongan yang berbeda bagian pokoknya. Akan tetapi, jikastruktur kewarisannnya hanya terdiri dari satu golongan,maka sisa tersebut langsung diserahkan kepadanya sebagaihak terhadap harta warisan yang diterimanya melalui duajalan, yakni atas nama dzawil furudh dan radd. Begitu jugahalnya jika waris yang dari satu golongan ini terdiri daribanyak orang, seperti berbilangnya anak perempuan, carayang digunakan, cukup dengan menghitung jumlah “kepala”mereka.

Cara yang termudah dalam upaya penyelesaian kasusradd dalam keadaan seperti ini, adalah sama ketikamenyelesaikan masalah ‘aul. Yaitu dengan menjadikan jumlahperolehan para waris sebagai penyebut dalam menyelesaikanharta warisan. Dalam pengertian lain, asal masalah barudijadikan penyebutnya. Sebab dengan begitu ahli waris secaraotomatis langsung mendapatkan bagiannya sekaligus (secarafardh dan radd).

Sebagai bukti untuk itu, di bawah ini diillustrasikancontoh kasus dengan struktur kewarisan yang terdiri dariseorang anak perempuan dan ibu pewaris, dengan hartawarisan yang ditingalkan sejumlah Rp. 84.000,-:

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

50

Buku Ajar Fikh Waris

1 anak pr. = ¾ x Rp. 84.000,- = Rp. 63.000,-I b u = ¼ x Rp. 84.000,- = Rp. 14.000,-____________________________________________

Jumlah = Rp. 84.000,-

Dengan demikian, asal masalah 6 (yang ditetapkansebelumnya, ketika melihat perbandingan penyebut masing-masing yaitu 2 dengan 6), tidak perlu lagi digunakan. Sebabjika ini dilakukan akan terjadilah apa yang dimaksud dengan“sisa berlebih” itu, kebalikan dari “sisa kurang” yang adadalam masalah ‘aul.

Sebagai perbandingan dengan cara di atas, di bawah inidiberikan contoh hasil penyelesaian dengan menggunakanasal masalah (6):

1 anak pr. = 3/6 x Rp. 84.000,- = Rp. 42.000,-I b u = 1/6 x Rp. 84.000,- = Rp. 14.000,-

______________________________Jumlah = Rp. 56.000,-.

Berarti sisa berlebihnya adalah Rp. 84.000,- dikurangi Rp.56.000,- = Rp. 28.000,-. Dari Rp. 28.000,- ini kemudian diambilperbandingan fardh mereka yang ½:1/6 = 3:1 = 4. Untukseorang anak perempuan mendapat tambahan ¾ x Rp.28.000,- = Rp. 21.000,-, sedang ibu mendapat tambahan ¼ xRp. 28.000,- = Rp. 7.000,-.

Dari perolehan anak perempuan (dengan asal masalah6) yang Rp. 42.000,- + Rp. 21.000,- = Rp. 63.000,-, adalah samasaja dengan hasil penyelesaian dengan menggunakan asalmasalah baru, yaitu 4). Begitu juga dengan perolehan ibu yangRp. 14.000,- + Rp. 7.000,- = Rp. 21.000,-.

51

Meski tampak agak bertele-tele cara kedua ini, namunhasilnya akan lebih jelas memperlihatkan tentang berapabesarnya bagian seorang waris yang didapatnya atas namadzawil furudh, dan berapa banyak pula yang diperolehnyamelalui jalan radd. Apalagi cara pertama (meskipun lebihmudah dan praktis), tidak bisa digunakan dalam penyelesaiankasus Radd pada keadaan bersama-sama salah seorang yangtertolak menerima kelebihan harta warisan (radd).

Kalau ini dilakukan, karena kurangnnya kehati-hatian,niscaya suami/isteri pewaris juga akan ikut terbawa-bawadalam menerima kelebihan tersebut. Padahal ini yangmenyangkut kekhususan operasional metode perhitunganradd menurut pendapatnya Ali bin Abi Thalib beserta orang-orang yang sependapat/mengikutinya.

Utsman bin Affan1. Pendapat Utsman Tentang Penyelesaian Masalah Radd

Masih dalam perbincangan masalah pengembalikan sisaharta warisan yang berlebih kepada ashhabul furudh, Utsmansebagai penggagas utama daripada teorinya.60 Ini menyatakanbahwa radd berlaku terhadap seluruh ashhabul furudh, tidakterkecuali suami/istri pewaris di dalamnya. Dengan demikian,selain waris nasabiyah, warissababiyah juga ikut dan berhakmendapat tambahan sisa dimaksud. Pendapat ini dikemuka-kan oleh Utsman dengan pertimbangan logika dan segipraktis pembagian warisan. Kata beliau, suami dan istri dalammasalah ‘aul, bagian mereka juga ikut dikurangi61 sehinggawajar kalau di saat terdapatnya kelebihan harta, mereka jugadiberi tambahan. Itulah satu-satunya alasan/dasar hukumyang diperpegangi Utsman dalam menyelesaikan masalahradd.

60 Di dalam literatur kewarisan, biasanya disebut dengan “Teori Utsman.”61Ibid, hal. 101. Keterangan serupa dapat dilihat pada Muslich Maruzi, op cit, hal.

67; A. Hassan, al Fara’id Ilmu Pembagian Waris, Pustaka Progressif, Surabaya, cet. XIII,Desember 1992, hal. 112.

‘Aul dan Radd dalam Kewarisan Islam

52

Buku Ajar Fikh Waris

2. Operasional Metode Perhitungan Menurut Utsman binAffan

Utsman dengan teorinya menyatakan bahwa, suami danistri pewaris juga termasuk waris yang berhak untukmendapatkan radd, maka operasional metode perhitunganyang dipergunakan dalam menyelesaikan kasus radd ini,adalah sama ketika menyelesaikan kasus ‘aul,62yaitu dengantiga cara: pertama, dengan menggunakan asal masalah pertama,dan kekurangannya kemudian diambilkan lagi terhadap parawaris yang ada dengan perbandingan fardh masing-masing.Kedua, dengan asal masalah baru, dan ketiga, dengan jalanmelalui ilmu hitung.

Sesuai dengan dasar/alasan serta pertimbangan pemilik“teori” ini, adalah wajar kalau Utsman mengqiyaskan kasusradd ini dengan kasus kebalikannya yaitu masalah ‘aul. Sebab,di samping pendapatnya yang lebih rasional, juga dinilaicukup praktis dalam operasional metode perhitungannya.Dalam teori ini, tentunya tidak diperlukan rambu-rambu ataucara-cara pemecahan kasus radd yang harus memperhatikanada tidaknya suami dan isteri dalam struktur kewarisannya.

53

BAB IIIMASALAH-MASALAH ISTIMEWA/

KHUSUS DALAM KEWARISAN ISLAM

A.Kasus Gharawain/’Umrayatain (Tsuluts al Baqi)Salah satu ketentuan hukum Islam yang diatur secara terpe-

rinci adalah masalah kewarisan, baik itu diatur melaui ketetapanAllah dalam al Qur’an maupun ketetapan Rasulullah saw. dalamhaditsnya. Jika terdapat masalah-masalah kewarisan yang belumdiatur oleh keduanya, maka berperanlah lembaga ijma atauijtihad para sahabat, imam-imam madzhab dan mujtahid-mujtahid kenamaan yang berfungsi memecahkan persoalantersebut.63

Dalam sistem hukum Islam, hukum waris Islam (faraidh)menempati posisi strategis. Ayat-ayat kewarisan secara eksplisitpaling banyak dibicarakan dalam al Qur’an, angka-angka pecah-an tertentu sangat jelas dan pasti.64 Coulson juga menegaskanbahwa: tidak ada ideologi Islam yang mendasar tentang hukumsebagai manifestasi dari wahyu, yang lebih jelas didemonstra-sikan selain hukum waris.65 Namun demikian dari beberapaliteratur, cukup banyak persoalan kewarisan yang ditetapkanlewat ijma dan ijtihad, dan karenanya tidak menutup kemung-kinan terjadinya perbedaan pendapat mengeni beberapa masa-

62 Untuk contoh penyelesaian kasusnya, dapat dipahami/ditelusuri sebagaimankasus ‘aul di atas.

63 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Alma’arif, Bandung, cet. Kedua, 1981, hal.3364 Ahmad Azhar Basyir, Polemik Reaktualisasi Hukum Islam, Panji Mas, Jakarta,

1988, hal. 112-113.65 Coulson, Succession In Muslim Family Tradition, London, 1971, hal. 2-3.

54

Buku Ajar Fikh Waris

lah kewarisan itu, antara lain adalah: Masalah Akdariyah,Musytarikah, dan Gharawain.

1. Pengertian Gharawain/’UmrayatainSecara bahasa, Gharawain berasal dari kata Gharra arti-

nya tipuan. Menurut Abd. al Rahim dalam masalah tersebutterjadi penipuan kepada ahli waris ibu. Dalam ketentuannyaibu menerima 1/3 bagian, tetapi kenyataannya ia menerima¼ atau bahkan 1/6 bagian dari harta peninggalan.

Ulama lain mengartikan Gharawain sebagai bentuk gandadari Gharra (tasniyah) yang berarti “bintang cemerlang”. Masa-lah ini disebut juga masalah ‘Umrayatain, dinisbahkan kepadapenggagas utamanya yaitu Umar bin Khattab. MalahanSyihab al Din al Ramly menyebutnya dengan Gharibatain,karena masalah tersebut tidak ada yang menandinginya.66

2. Pendapat Fuqaha tentang Masalah GharawainMasalah Gharawain merupakan salah satu dari masalah-

masalah ijtihadiyah (menyimpang dari ketentuan yang berlakuumum sepanjang ilmu faraidh), yakni bagian ibu yangmerupakan salah seorang waris dari kelompok ashhabul furudhmendapat alternatif bagian 1/3 atau 1/6. Dalam konteks ini bagianibu berubah menjadi 1/3 sisa (tsuluts al baqi). Hal ini terjadi dalamkasus kewarisan yang strukturnya terdiri dari: suami, ibu, danayah, atau istri, ibu, dan ayah pewaris (dua kasus).

Penggagas utama dari masalah Gharawain ini adalahUmar bin Khattab, dan diikuti oleh Utsman bin Affan, Zaidbin Tsabit, Ibnu Mas’ud, para ahli ra’yu, dan fuqaha sepertiAl Hasan, Ats Tsauri, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, bahwaibu mendapat 1/3 sisa dalam kedua macam masalah tersebut.67

Yang menjadi latar belakang/dasar pemikiran sebab-sebabnya ibu diberikan 1/3 sisa terhadap dua masalah

66 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK),Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. I, 1973, hal. 103-104.

67 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAINdi jakarta, Direktorat Jenderal Pembinaan kelembagaan Agama Islam DepartemenAgama, op cit, hal. 143.

55

dimaksud, tidak 1/3 harta adalah, berdasarkan kepada pera-turan umum dalam ilmu faraidh bahwa “laki-laki mendapatdua kali lipat dari bagian perempuan.” Seperti pada masalahpertama, jika ibu diberikan bagian 1/3 = 2/6, tentu bagian ayahakan lebih sedikit, sebab ayah selaku ashobah hanya mendapat1/6 bagian, sebab suami mengambil bagian sebanyak ½ = 3/6.Begitu juga dengan masalah kedua. Oleh karenanya dicarikanjalan keluar agar dua banding satu antara ayah dan ibu (dalamhal ini) dapat direalisasikan dalam dua kasus tersebut, dengancara memberikan ibu (dalam dua kasusnya) sebesar 1/3 sisasaja.68

Sebenarnya secara hukum Islam (faraidh) kasus kewarisanseperti tersebut tidak ada masalah. Sebab ashobah dalam halini ayah akan menerima semua sisa (banyak atau lebih sedikit)dari waris-waris lainnya (dzawil furudh) seperti suami, isteri,dan ibu. Sudah menjadi resiko dari waris yang tergolongkepada ashobah ini untuk menerima bagian seluruhnya,sedikit, atau bahkan tidak akan mendapat/menerima samasekali, karena bagiannya telah habis oleh mereka (para waris)yang tergolong dalam kelompok dzawil furudh.

Sehubungan dengan permasalahan ini, bagian untukayah selaku ashobah, ternyata lebih sedikit dari bagian ibuyang semestinya mendapat bagian 1/3 karena pewaris tidakada meninggalkan keturunan atau dua saudara. Oleh karenaitu, penerapannya perlu mempertimbangkan nilai-nilaikeadilan yang hidup dalam masyarakat dimana hukum waristersebut dilaksanakan.69

Di samping itu, ada pula fuqaha yang tidak sependapatdengan masalah Gharawain ini, seperti Ibnu Abbas, QadiSyuraih, Dawud Ibn Sirin, dan jama’ah, dengan latar belakangpemikiran bahwa:70

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

68 Dimaksudkan dengan 1/3 dikali sisa setelah dikeluarkan bagian suami atauistri pewaris lebih dahulu.

69 Ahmad Rofiq, op cit, hal. 103.70 Departemen Agama Republik Indonesia, Proyek Pengadaan Kitab Suci al

Qur’an, al Qur’an dan Terjemahnya, Pelita IV, Tahun I, 1984/1985, Jakarta, hal. 117.

56

Buku Ajar Fikh Waris

Kalau yang dijadikan alasan oleh pendapat yang menya-takan bahwa ibu mendapat 1/3 sisa itu adalah, karena kalauditetapkan dengan 1/3 saja bagian ayah akan lebih sedikit,maka oleh pendapat yang kedua yang menyatakan bahwabagian ibu adalah 1/3 (sesuai teks ayat di atas) dinyatakanbahwa: “Bagaimana halnya dengan permasalahan (kasuskewarisan) yang strukturnya terdiri dari istri, ibu, dan ayah?”Sebab di sini bagian akan terlihat lebih banyak dari bagiannyaibu,walaupun tidak sampai pada dua kali lipatnya.

Bertolak dari sini pula, kiranya dapat dipahami mengapaIbnu Sirin dan Abu tsaur nampaknya menggabungkan antarapenerapan Umar bin Khattab dan Ibnu Abbas. Yakni untukkasus kewarisan yang strukturnya terdiri dari: suami, ibu, danayah, maka ibu diberikan dengan bagian 1/3 sisa. Sedangkanuntuk kasus yang strukturnya terdiri dari: isteri, ibu, dan ayah,ibu (dalam hal ini) diberikan 1/3 harta (mendapat bagiansebagaimana ketentuan umum dalam ilmu faraidh).71

Dengan demikian, kasus kewarisan seperti dalam masa-lah Gharawain/’Umrayatain ini. Penyelesaiannya dapat dilihatdalam dua versi pendapat, yaitu pendapatnya Umar binKhattab dan versinya Ibnu Abbas. Di dalam aplikasinya,menurut analisis Ibnu Rusyd dan Fatchur Rahman, pendapatjumhur ulama dipandang lebih praktis dan rasional.72

3. Contoh Masalah Gharawain/’Umrayataina) Kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari: suami,

ibu, dan ayah, maka penyelesaiannya adalah:Suami mendapat ½ = 3/6I b u 1/3 sisa = 1/6Ayah, ashobah = 2/6

71 Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam IAINdi Jakarta Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DepartemenAgama, op cit, hal. 144.

72 Ahmad Rofiq, op cit, hal. 106.

57

Suami lebih dahulu mengambil bagiannya ½, karenapewaris tidak memiliki keturunan, sehingga sisanya yang½ itu, kemudian diserahkan untuk ibu sebanyak 1/3sisanya, yakni 1/3 x ½ = 1/6, dan sisanya yang 2/6, diberikankepada ayah selaku ashobah.

b) Kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari: istri, ibu,dan ayah, penyelesaiannya sebagai berikut:

Isteri mnedapat ¼ = ¼I b u 1/3 sisa = ¼Ayah, ashobah = 2/4

Istri lebih dahulu mengambil bagiannya ¼, karena pewa-ris tidak ada meninggalkan keturunan, kemudian sisanya ¾diberikan untuk ibu sebanyak 1/3 nya dari ¾ =1/4, dan sisanyayang 2/4 kemudian diserahkan kepada ayah selaku ashobah.Nampak bahwa bagian ayah adalah dua kali lipat dari bagianibu pewaris.

Perolehan ayah dalam dua masalah Gharawain ini akanberbeda, sekalipun dalam dua masalah tersebut, bagian ibusama-sama 1/3 sisa. Sebab, dalam kasus pertama misalnya,ashhabul furudh yang pertama sekali mengambil bagiannyaadalah suami, sedang dalam masalah kedua, adalah istripewaris. Bagian ayah dalam kasus pertama lebih sedikit jikadibandingkan pada kasus kedua. Sebab, di kasus pertama,suami mengambil ½ bagian, sedangkan pada kasus keduaistri hanya mengambil ¼ nya saja dari harta warisan.

Jika dua kasus kewarisan ini tidak diselesaikan dengantsuluts baqi (Gharawain), maka hasilnya akan terlihat sepertiberikut: di kasus pertama, suami mendapat ½, ibu mendapat1/3, sedangkan ayah selaku ashobah hanya mendapat 1/6bagian (2:1, untuk ibu dan ayah). Pada kasus kedua, istrimendapat ¼, ibu mendapat 1/3, dan ayah selaku ashobahmendapat 5/12 bagian (1/3:5/12 untuk ibu dan ayah). Bagianayah memang tampak lebih banyak daripada bagian ibu dikasus ini, tapi tidak sampai dua kali lipatnya.

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

58

Buku Ajar Fikh Waris

Memperhatikan dua kasus kewarisan yang penyelesaian-nya jika diterapkan sesuai pendapatnya Ibnu Abbas, maka disinilah barangkali dapat diketahui alasan atau penyebabkenapa Ibnu Sirin dan Abu Tsaur, berpendapat bahwa dalamhal ahli waris terdiri dari suami, ibu, dan ayah, maka bagianibu adalah 1/3 sisa (tsuluts baqi). Sedangkan jika ahli waristerdiri dari istri, ibu, dan ayah, maka ibu ditetapkan mendapat1/3 bukan 1/3 sisa, karena dengan bagian ibu yang 1/3 itupunbagian ayah selaku ashobah sudah lebih banyak jika diban-dingkan dengan bagian ibu.

Padahal, kedua kasus tersebut masuk dalam permasalah-an kasus istimewa Gharawain/’Umrayatain (dua kasus yangstruktur kewarisannya “baku”). Sementara dengan pendapat-nya Umar, sang penggagas utama kasus ini, semacamdiistimewakan/dikhususkan bahwa ibu diberikan 1/3 sisa dalamdua kasusnya. Gharawain/’Umrayatain sebagai bentuk ganda(tasniyah) sekaligus melambangkan bahwa kasus ini dimak-sudkan dalam dua kasus yang struktur kewarisannya tetap,tidak berubah. Atau, jika tidak seperti itu susunan warisnya,maka kasus ini tidak dinamai sebagai kasus atau masalahistimewa atau khusus Gharawain/’Umrayatain.73

B. Kasus Musytarikah (Kewarisan Kolektif)Salah satu permasalahan pokok yang dijelaskan oleh al

Qur’an secara detail adalah hukum-hukum yang berkaitandengan hak kewarisan. Syariat Islam menetapkan aturan warisini dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Oleh karena itu,al Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuanpembagian warisan, di samping hadits Nabi saw. yang kadang-kala berfungsi sebagai bayan taqrier, bayan taudhieh (tafsir)ataupun yang selainnya.

73 Disebut Gharawain, karena ijtihad Umar dipandang sebagai buah pemikiranyang begitu cemerlang. Atau karena ibu pewaris (dalam dua kasus ini) “tertipu”bagiannya, dari 1/3 menjadi 1/3 sisa yang memiliki konsekuensi berkurang menjadi¼ atau bahkan 1/6 nya saja. Disebut ‘Umrayatain, karena ijtihad ini digagas oleh Umarbin Khattab. Sedangkan penamaan Gharibatain, karena memang istilah 1/3 sisa (tsulutsbaqi) itu adalah asing dari sisi faraidh.

59

Kaitannya dengan ini, sesuai dengan kaidah yang disandar-kan pada hadits Nabi saw. yang berbunyi:

Maka pembagian harta warisan dimulai dengan memberi-kan kepada ashhabul furudh akan hak-haknya, kemudian barukepada waris kelompok ashobah. Namun demikian, ternyata ter-jadi sesuatu yang kontradiktif, seuatu yang keluar dan menyim-pang dari kaidah aslinya75 dalam kasus yang dinamai denganbeberapa peristilahan yang dilatarbelakangi oleh beberapariwayat/sejarah kejadiannya.

Musytarikah sebagai sebutan populer untuk penamaan kasustersebut, adalah diambil dari solusinya terhadap bagian saudaralaki-laki kandung yang disyarikatkan kepada bagian saudarayang hanya memiliki hubungan kekerabataan seibu saja denganpewaris. Kasus kewarisan dari produk hukum yang dimuncul-kan melalui ijtihad fuqaha ini, (di dalamnya) tentu akan ditemuiperbedaan pendapat tentangnya.

Perbedaan ini disebabkan oleh berbedanya mereka dalammemandang kedudukan saudara laki-laki kandung dalam kasustersebut. Di satu sisi melihat kepada statusnya sebagai ashobah(waris penerima sisa), di sisi lain melihatnya pada aspek hubung-annya dengan pewaris yang melalui dua jalur kekerabatan yaituseibu dan sebapak (karena sekandung). Padahal, ia (saudarasekandung) harus dihadapkan dengan waris yang hanya punyahubungan kekerabatan satu jalur saja (yaitu seibu denganpewaris). Logikanya, (dalam hal ini) hubungan kekerabatanmereka lebih kuat jika dibandingkan antara sesama saudara.

1. Struktur KasusSesuai dengan kasusnya yang juga merupakan salah satu

dari masalah istimewa/khusus dalam kewarisan Islam, maka

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

74 Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, Dar al Fikr, Bairut, t.th., juz II, hal. 56.75 Muhammad Ali Ash Shabuny, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala Dhauil

Kitab wa al Sunnah, terj. AM. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema InsaniPress, Jakarta, 1416 H/1995 M, cet. 1., hal 81.

60

Buku Ajar Fikh Waris

struktur waris ini “baku” (tetap) dengan susunan sebagiberikut:- Suami- I b u- 2 org. Sdr. Seibu (laki-laki, atau perempuan, atau campuran

keduanya)- 1 atau lebih saudara laki-laki kandung, atau bercampur

antara yang laki-laki dengan perempuan.76

2. Bagian Masing-Masing WarisMenurut ketentuan ilmu faraidh, bagian para waris

sebagaimana struktur di atas, adalah:- Suami mendapat ½ (karena pewaris tidak meninggalkan

keturunan)- Ibu mendapat 1/6 (karena walaupun pewaris tidak

meninggalkan keturunan, tetapi ibu dihijab nuqshan olehberbilangnya saudara dalam kasus ini, minimal dua orang)

- 2 orang saudara seibu mendapat 1/3 (dibagi sama diantaramereka, walaupun mereka itu laki-laki dan perempuan.Sebab:

- 1 orang atau lebih saudara laki-laki kandung, sebagaiashobah tidak mendapat bagian, karena harta warisan sudahhabis terbagi untuk ashhabul furudh selainnya. Sepertidiatas: ½ + 1/6 + 1/3 = 6/6 = 1.

76 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan hukum Waris Transfotmatif, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, cet. 1, 1997, hal. 211.

61

3. Pendapat Fuqaha Tentang Kasus MusytarikahBertolak dari kenyataan hadits Rasulullah saw. yang

menyatakan bahwa pembagian harta warisan itu dimulai dariashhabul furudh, kemudian ashobah, maka kaitannya dengankasus musytarikah ini, saudara laki-laki kandung yangberstatus sebagai ashobah, secara kebetulan tidak mendapatbagian apa-apa, lantaran sudah habis dikeluarkan untuk wariskelompok ashhabul furudhnya. Yang demikian mengundangdan memicu perbedaan pendapat di kalangan sahabat,tahbi’in, dan imam mujtahidin.

Dalam masalah musytarikah ini, ada dua kubu pendapatyang masyhur dalam hal membagi hak waris sebagaimanacontoh kasus tersebut.77

a. Abu Bakar, Ali, Ibnu Abbas,78 Ubay bin Ka’ab, Abu MusaAl Asy’ary, dan diikuti oleh imam Ahmad, imam Abuhanifah, imam Abu Dawud, dan fuqaha yang lain,79

berpendapat bahwa saudara kandung gugur demimengikuti kaidah.

b. Zaid bin Tsabit, Utsman, Ibnu Mas’ud berpendapat bahwasaudara laki-laki kandung mendapat bagian 1/3 hartabersama-sama dengan saudara seibu. Pendapat inikemudian diikuti pula oleh madzhab Maliki dan Syafi’i.Umar pun pada akhir keputusannya berpegang padapendapat kedua ini. Pendapat inilah yang kuat dan berlakupada Mahkamah-Mahkamah Syar’iyah. 80

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

77 Muhammad Ali Ash Shabunuy, Al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘Ala DhauilKitab wa al Sunnah, terj. AM. Basalamah, hal. 81-82. Beliau mengistilahkan kasusmusytarakah ini dengan “Masalah Kolektif”.

78 Ibid, terj. Sarmin Syukur, Hukum Waris Islam, Al Ikhlas, Surabaya, hal. 122.79 Moh. Anwar, Fara’idl Hukum Waris Islam dan Masalah-Masalahnya, Al Ikhlas,

Surabaya, hal. 113.80 Muhammad Ali Ash Shabuny, Al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘Ala Dhauil

Kitab wa al Sunnah terj. Zaini Dahlan, Hukum Waris Menurut Alqur’an dan Hadits,Trigenda Karya, Bandung, cet. Pertama, hal. 105.

62

Buku Ajar Fikh Waris

4. Penamaan KasusPendapat kedua, merupakan pendapat kelompok ma-

yoritas. Penamaan kasus ini dilatarbelakangi oleh adanyariwayat-riwayat yang menyatakan, seperti:a. Masalah ‘Umariyah, karena Umar bin Khattab memutuskan

kasus inib. Selain Umar memutuskan bahwa saudara laki-laki kan-

dung tidak mendapat bagian apa-apa, kemudian putusanini mendapat protes dari sebagian yang mengatakan:

dan protes orang-orang yang merasa dirinya saudarakandung dengan pernyataan bahwa:

Kasus inipun kemudian dikenal dengan masalahHimariyah, Hajariyah, dan Yammiyah.

c. Musytarakah, atau Musyarrakah, penamaannya terambil darisegi praktis/operasiobal metode perhitungannya, karenasaudara laki-laki kandung mendapat bagian 1/3 secarabersyarikat dengan perolehan yang tadinya didapat olehsaudara seibu. Sepertiga yang diperoleh saudara kandungdan seibu ini harus dibagi sama diantara mereka. Denganpengertian, tidak berlaku dua banding satu untuk tiap sau-dara laki-laki dan perempuannya berapapun jumlahnya,dengan syarat tidak kurang dari tiga orang, dan denganrincian bahwa saudara seibu minimal dua orang, sedangsaudara laki-laki kandung minimal satu orang.

Ketentuan jumlah minimal saudara ini sudah menjadisemacam persyaratan dari sebuah kasus kolektif, dansekaligus menandai bahwa ia termasuk satu diantara kasusistimewa lainnya, sebab keberadaan saudara seibu di sampingsuami dan ibu pewaris telah menghabiskan harta warisan.

63

Dengan pertimbangan bahwa, saudara yang punya hu-bungan kekerabatan seibu saja mendapat bagian, sedangkanyang kandung, lantaran statusnya sebagai ashobah tidakmendapat apa-apa (karena habis) oleh sebab berbilangnyamereka saudara seibu. Seandainya ia satu orang, makaperolehannya hanya 1/6, dan masih ada sisa 1/6 yang bisadimiliki oleh saudara laki-laki kandung tadi. Tetapi, jika iniyang terjadi, berarti ini bukanlah kasus/masalah musytarikahnamanya.

Dari ‘Umariyah, Himariyah, Hajariyah, Yammiyah, dan yangterakhir musytarikah/musyarrakah, kasus ini kemudian lebihpopuler dengan sebutan mustytarakah, atau diterjemahkandengan kasus kolektif. Sebagai realisasi/penerapan maksudbersyarikatnya saudara ini dalam menerima bagian, dapatdilihat dalam uraian berikut.

5. Deskripsi Kasus MusytarakahSebagaimana telah dijelaskan terdahulu, bahwa untuk

memudahkan pemahaman mengenai bagian yang diperolehmasing-masing waris, lebih-lebih lagi saudara kandung danseibu, yang menjadikannya istimewa/khusus kasus ini, dibawah ini dicantumkan sejumlah Rp. 72.000,- sebagai contohharta warisan yang ditinggalkan pewaris.

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

64

Buku Ajar Fikh Waris

Dengan demikian, jika kasus ini diselesaikan denganjumlah harta warisan sebanyak Rp. 72.000,-, masing-masingwaris mendapat:- Suami½ = 3/6=9/18 x Rp.72.000,- = Rp. 36.000,-- I b u 1/6= 3/18 x Rp.72.000,- = Rp. 12.000,-- 2 sdr, seibu & 1/3 = 2/6=6/18 x Rp.72.000,- = Rp. 24.000,-81

1 sdr.lk.kdg.

Dari beberapa uraian mengenai masalah musytarikah ini,ada beberapa catatan yang dapat digaris bawahi, yaitu:- Kasus ini merupakan persoalan ijtihadiyah dalam lingkup

kewarisan Islam. Ditandai dengan terdapatnya pro kontra-nya yang dilatarbelakangi oleh masing-masing alasan, baikyang bersumber pada dalil naqly, ataupun dengan pertim-bangan logika yang layak dan pantas.

81 Rp.24.000,-: 3 = Rp. 8.000,- (bagian untuk masing-masing saudara, kandungatau seibu). Dibagi tiga, karena illustrasi contoh jumlah saudara seibu dua orang,saudara kandung satu orang.

65

- Masalah ini merupakan masalah istimewa/khusus, karenastruktur warisnya baku (tetap). Kalau lain daripada itu,maka bukan musytarikah namanya. Hanya saja, kekhusus-an kasus ini masih disyarati dengan batasan bahwa jumlahsaudara seibu harus dua orang atau lebih (laki-laki atauperempuan saja, atau campuran keduanya). Karena denganbegitu, mereka mendapat hak 1/3 bagian, dan menghabis-kan harta warisan sesudah suami dan ibu pewaris meng-ambil bagiannya. Di samping itu saudara benar-benarharus sekandung, sebab jika seayah saja, haknya tetap akandigugurkan secara ijma’. Tidak berbeda apakah hanya satuorang atau lebih (berbilang). Saudara kandung itu sendiriharus laki-laki, sebab jika perempuan, ia mewarisi secarafardh,dan masalahnyapun menjadi ‘aul, sehingga keko-lektifan ini menjadi batal.82

6. SimpulanMasalah Musytarikah merupakan salah satu hasil tero-

bosan (pemikiran) dari kalangan fuqaha yang didukung olehkelompok mayoritas dalam perkembangan hukum wairs Is-lam.

Pendapat kebanyakan ini, baik secara sosiologis ataupunpsikologis sangat rasional sekali, sebab selain pertimbanganlogika yang layak dan pantas, ia masih mengindahkan segalaketentuan yang ada dalam ilmu faraidh. Khususnya tentangkedudukan saudara seibu yang diberi bagian atau porsisebanyak sepertiga. Artinya, masih bersesuaian dengan ayat12 surat al Nisa.

Bersyarikatnya saudara dalam kasus ini dengan pemba-gian “muqasamah” sampai saat ini masih merupakan solusiterbaik dalam upaya penyelesaian kasus terdindingnya saudarakandung dengan keberadaan saudara seibu dalam kewarisan.

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

82 Lihat buku/kitab-kitab kewarisan yang membahas tentang masalah ‘aul. Karenakalau dalam struktur itu, saudara perempuan kandung, maka kasus tersebutmenggunakan asal masalah 6 ‘aul ke 9, disebabkan fardhnya (saudara perempuankandung) ½, dan saudara seibu hanya bisa dihijab oleh ushul dan furu’ul mayyit.

66

Buku Ajar Fikh Waris

Bertolak dari kenyataan ini, sebenarnya penamaan kasus(selain musytarikah), seperti Musyarrakah, Himariyah, Hajariyah,‘Umariyah, atau Yammiyah, termasuk diterjemahkan dengan“kolektif”, perlu sekali dimunculkan untuk mendapatperhatian dari para pemerhati hukum waris Islam, sebabpenerapan atau realisasi penyelesaian kasus ini, sebelumnyadilatarbelakangi oleh adanya istilah-istilah dimaksud.

C.Kasus AkdariyahTerkait langsung dengan persoalan kewarisan kakek bersa-

ma saudara ini adalah kasus Akdariyah yang merupakan salahsatu dari masalah-masalah kewarisan khusus/istimewa, karenaperaturan pembagiannya menyimpang dari ketentuan yangberlaku umum sepanjang ilmu faraidh, yakni bagian saudaraperempuan kandung/seayah yang tadinya harus mendapatseperdua, tetapi karena adanya kakek yang dianggap sepertisaudara laki-laki kandung/seayah, maka bagian untuk kakekharus dua kali lipat (banyaknya) dari saudara perempuankandung/seayah.

Yang demikian membawa akibat bagian untuk saudaraperempuan kandung/seayah berubah menjadi seperduanyabagian yang diterima kakek. Maka tentunya bagian saudaraperempuan kandung/seayah ini tidak lagi seperduanya hartawarisan, tetapi hanya setengahnya dari bagian kakek. Jelasnya,masalah akdariyah ini adalah kasus kewarisan yang struktur ahliwarisnya terdiri dari: Suami, ibu, kakek, dan seorang saudaraperempuan kandung/seayah.83

Adapun menurut yang biasa/umum dilakukan terhadapkasus kewarisan ini, maka penyelesaian pembagiannya adalah:- Suami, 1/2 (karena pewaris tidak mempunyai keturunan- Ibu, 1/3 (karena pewaris tidak mempunyai keturunan, dan

saudara tidak berbilang)

83 Moh. Anwar, Fara’idl hukum Waris dalam Islam dan Masalah-Masalahnya, Al Ikhlas,Surabaya, 1981, hal.109.

67

- Kakek, 1/6 (sesuai prinsip penyelesaian kewarisannya).84

- Seorang saudara perempuan kandung/seayah ½ (karenahanya satu orang dan tidak bersama dengannya anak/keturunan perempuan dari pewaris).

Dari masing-masing penyebut (maqam) para waris, yaitu (2,3, dan 6), diperoleh asal/pokok masalah 6. Karena, angka (2 dengan3) itu mubayanah, maka rumus pencarian asal masalahnya cukupdengan mengalikan kedua angka tersebut. Kemudian angka 6(hasil pengalian penyebut 2 dengan penyebut 3) dibandingkanlagi dengan penyebut kakek yang 1/6, sehingga hasilnyamumatsalah. Lalu diambil asal masalah 6 (salah satunya).

Rumus pencarian asal masalahnya tersebut bisa juga dimu-lai dengan membandingkan angka (3 dengan 6) yang berartimudakhalah. Terhadap angka-angka ini, maka rumus menetapkanasal masalahnya yaitu dengan mengambil angka yang besar,yakni (6). Lalu angka (6 dan 2) dibandingkan lagi, dan hasilnyajuga sama “mudakhalah”. Jadi, asal masalahnya tetap (6). Karenajumlah bagian dari fardh masing-masing waris tadi ternyatamelebihi dari angka asal masalah pertama (yang didapat melaluiperbandingan maqam dengan maqam yaitu 6), maka pada kasusini telah terjadi ‘aul.

Fardh Asal Masalah = 61. Suami 1/2 32. I b u 1/3 23. Nenek lk/Kakek 1/6 14. Saudara pr. kdg/sbp 1/2 3

_______________________________________________Jumlah 9

Hasil penyelesaian dari masalah ini adalah ‘aul, karenajumlah saham dari seluruh ahli waris yang ada, kenyataannyalebih besar dari asal masalah semula yaitu (6), atau menjadilah

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

84 Akan dijelaskan pada bab “Kewarisan Kakek Bersama Saudara”.

68

Buku Ajar Fikh Waris

asal masalah 6 itu ‘aul ke 9. Sehingga kalau harta itu hanya dibagienam, tentu bagian untuk masing-masing waris tidak akancukup. Untuk mencukupinya maka harta warisan tersebut dibagi9 (di’aulkan), yakni dengan memperbanyak atau menambahpokok masalahnya. Dengan demikian bagian masing-masingmenjadi:1. Suami mendapat 3/9 bagian2. I b u mendapat 2/9 bagian3. Nenek lelaki mendapat 1/9 bagian4. Seorang sdr. Pr. mendapat 3/9 bagian

Kandung/seayah

1. Istilah/Penamaan Kasus AkdariyahSebab-sebab dikatakan kasus kewarisan ini dengan

masalah Akdariyah, antara lain disebutkan:a. Adanya kakek dapat menyusahkan saudari dalam

menerima warisan. Sebab sekiranya kakek tidak ada,saudari menerima ½ dari selruh harta warisan, atau dariasal masalah enam yakni 3 saham. Tetapi dengan adanyakakek, ia hanya menerima 4 saham dari asal masalah 27,atau 4/27nya harta warisan. Menyusahkan ataumengeruhkan hak milik orang lain dalam bahasa Arabdikatakan dengan kalimat kaddara. Lengkapnya dalammasalah ini dilukiskan dengan kalimat “kaddaral jaddu ‘alal-ikhti miratsaha (kakek menyusahkan saudari dalam mewarisi.”85

b. Seorang perempuan dari bani Akdar mati, meninggalkanwaris terdiri dari suami, ibu, nenel lelaki (bapak daribapak), dan seorang saudara perempuan kandung. Suamiyang menjadi waris namanya “Akdar.”86

c. Menurut riwayat yang lain bahwa Abdul Malik binMarwan pernah menanyakan masalah semacam ini kepadaseorang laki-laki yang bernama Akdar. Jawaban Akdar,

85 Fatchur Rahman, Ilmu waris, PT. Alma’arif, Bandung, 1994, cet. Ke 3, hal. 528.86 Muhammad Arief, Hukum Warisan dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1986,

cet. Pertama, hal. 101.

69

menurut anggapannya sesuai dengan fatwa Zaid bin Tsabitra. Tetapi kenyataannya adalah salah, tidak sesuai denganpendapat zaid bin Tsabit ra.87

2. Pendapat Fuqaha tentang Masalah AkdariyahFuqaha berselisih pendapat tentang masalah Akdariyah

ini, seperti:a. Umar memberikan kepada suami separuh, ibu seperenam,

saudara perempuan sekandung separuh, dan kakek seper-enam. Pembagiannya adalah dengan cara meng’aulkan(yakni memperbanyak atau menambahkan pokok hitung-an).88 Sementara Ibnu Mas’ud tampaknya juga demikian,karena memberikan saudara perempuan lebih besardaripada kakek. Akan tetapi di sisi lain, kehadiran kakektampaknya diperhitungkan sebagai orang yang bisa meng-hijab secara nuqshan terhadap bagiannya ibu pewaris.Terbukti yang demikian dengan diberikannya ibu fardh 1/6 yang seakan-akan kakek dianggap sebagai seorangsaudara.

b. Ali dan Zaid ra. Berpendapat bahwa suami memperolehseparuh, ibu sepertiga, saudara perempuan separuh, kakekseperenam berdasarkan ketentuan. Hanya saja Zaid ra.Mengumpulkan bagian saudara perempuan dengan bagiankakek kemudian dari pengumpulan tersebut dibagi diantara keduanya dengan bagian seorang laki-laki (dalamhal ini kakek) sama dengan bagian dua orang perempuan(dalam hal ini adalah saudara perempuan).

Kaitannya dengan ini, Ali tidak menghukumkan kakeksebagai saudara laki-laki yang harus mendapat dua kali lipatdari saudara perempuan karena sisanya hanya satu bagian.Begitu juga dengan Utsman yang menyamakan perolehan

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

87 Fatchur Rahman, loc cit.88 M.A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah, Tarjamah Bidayatul Mujtahid (Ibnu

Rusyd), Asy Syifa, Semarang, juz 3, cet. Pertama, 1990, hal. 484, cf. Dengan FatchurRahman, Ilmu Waris, PT. Alma’arif, Bandung, cet. ketiga,1994, hal. 529.

70

Buku Ajar Fikh Waris

saudara perempuan dengan kakek, dalam pengertian tidakmemberlakukan muqasamah terhadap kasus kewarisan ini.

Zaid bin Tsabit berpendapat sebaliknya dengan memberi-kan ibu bagian 1/, dan saudra perempuan dengan kakeksudah diperlakukan sebagaimana ketentuan atau prinsip yangada dalam upaya menyelesaikan kasus kewarisan kakekbersama saudara, yaitu dengan dua banding satu untuk kakekdan saudara perempuan. Hanya saja hasil penyelesaian inimasih menimbulkan tanda tanya, apakah bagian ibu tidakseharusnya 1/6 karena berbilangnya saudara (dalam kasus ini,yaitu kakek dan saudara).

Namun, segolongan fuqaha menduga bahwa pendapatini bukan berasal dari Zaid bin Tsabit ra., dan semua fuqahamenganggap lemah penyekutuan/pengumpulan (tasyrik)yang dikemukakan Zaid ra. dalam masalah tersebut. Namundemikian pendapat zaid ra. ini dipegangi oleh imam Malik.89

Kalau dibandingkan dengan apa yang ditulis FatchurRahman dalam bukunya “Ilmu waris,” (tampaknya) ia menya-takan bahwa Zaid bin Tsabit ra. memang menyekutukanperolehan kakek dengan saudara perempuan kandung, kemu-dian membaginya tiga, dua bagian diserahkan untuk kakek,dan satu bagiannya lagi diberikan kepada saudara perempuankandung. Tertulis yang demikian dengan contoh hartawarisan sebanyak Rp. 216.000,- seperti berikut ini:

89Ibid, hal. 484-485. Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Waris, menyatakanbahwa Zaid bin Tsabit memang menyekutukan perolehan kakek dengan saudaraperempuan kandung/seayah, kemudian dibagi tiga dengan perbnadingan 2:1, untukkakek dan saudara perempuan sekandung/seayah.

71

Tashhih 9 x 3 = 27 dari Rp. 216.000,-Sahamnya Penerimaannya3 x 3 = 9; 9 x Rp. 216.000,- = Rp. 72.000,-

272 x 3 = 6; 6 x Rp. 216.000,- = Rp. 48.000,-

27

(1 x Rp.96.000,-: 3 = Rp. 32.000,-4 x 3 = 12; 12 x Rp. 216.000,- = Rp. 96.000,-

27(2 x Rp.96.000,-: 3 = Rp. 64.000,-90

Secara ringkas, pendapat mereka ini dapat dilihat padatabel berikut:

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

90Vide Fatchur Rahman, op cit, hal. 527-528.

72

Buku Ajar Fikh Waris

3. Deskripsi Kasus Akdariyah dan Contoh PenyelesaiannyaDikatakan sebagai salah satu masalah istimewa,

khususnya kasus kewarisan Akdariyah ini, bukanlah dilihatdari ‘aulnya permasalahan, tetapi dipandang dari segiberubahnya bagian untuk saudara perempuan sekandung/sebapak yang seyogianya mendapat ½ dari harta warisanmenjadi berkurang dengan kehadiran kakek (nenek lelaki)yang “dihukumkan” seperti saudara laki-laki yang harusmendapat dua kali (lipat) banyaknya dari bagian saudaraperempuan sebab:1. Suami 1/2 = 3/6 (3 bagian)2. I b u 1/3 = 2/6 (2 bagian)3. Kakek 1/6 = 1/6 (1 bagian)4. Sdr. Pr. kdg. 1/2 = 3/6 (3 bagian)_________________________________________________

Jumlah (9 bagian)

Oleh karena menurut pembagian tersebut di atas, hartawarisan itu tidak cukup dibagi enam, maka di’aulkanlahmenjadi sembilan. Sehingga menjadi 9/9 bagian. Padakenyataan ini, bagian saudara perempuan kandung/seayahlebih banyak daripada bagian kakek. Menurut ketentuan ilmu

73

faraidh, bahwa jika kakek itu berhimupn dengan saudaraperempuan kandung, maka ia (kakek) “dihukumkan” sebagaisaudara laki-laki yang harus mendapat dua kali banyaknyadari bagian perempuan.

Dengan demikian, bagian untuk saudara perempuanyang (3) itu kemudian ditambahkan dengan (1) bagian milikkakek sehingga berjumlah (4). Karena (4) bagian/saham itumasih belum “bulat” dibagi (3), maka ditashhihkanlah pokokmasalahnya yang ‘aul ke (9) itu kepada angka (3),91 sehinggamenjadi Asal Masalah 9 x 3 = 27. Di bawah ini illustrasi contohkasus Akdariyah dengan harta warisan sejumlah Rp. 432.000,-yang secara teknis operasional diselesaikan sebagaimanapendapat dan metode perhitungan Zaid bin Tsabit ra.

Atas dasar hasil penyelesaian itulah, saudara perempuankandung/seayah menjadi “susah” dalam menerima bagianwarisan. Seharusnya mendapat ½ harta warisan, menjadi ½nya bagian kakek. Dalam contoh kasus di atas, perolehansaudara perempuan kandung Rp.64.000,- dan kakekRp.128.000,-. Jika ditaksir dari perolehan sebelumnya, saudaraperempuan kandung mendapat pengurangan sebesar

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

91Dikalikan dengan (3) itu dimaksudkan untuk mendapat hasil “bulat”atauperolehan dua banding satu untuk kakek (sama seperti saudara laki-laki) dan saudaraperempuan.

74

Buku Ajar Fikh Waris

Rp80.000,- karena (Rp.144.000,- dikurang Rp. 64.000,-). Jadipengurangannya lebih dari 1/5 harta warisan.

Adalah wajar jika kemudian muncul ungkapan “kaddaraljaddu alal ukhti miratsaha” untuk kasus kewarisan ini.Terambil dari kata kadira yang berarti keruh, ini dimaksudkanbahwa mengeruhkan pendapat sahabat yang telahmemberikan ketentuan-ketentuan dalam faraidh.92

4. Beberapa CatatanPerlu disadari bahwa masalah ini merupakan salah satu

produk hukum yang dimunculkan lewat ijtihad ulama yangditandai dengan pro kontranya, disertai alasan yang dijadikansebagai dasar pemberlakuannya. Namun, hendaknya jugapatut dipahami bahwa kakek yang dimaksudkan di sinimemiliki definisi operasional yaitu “ayahnya ayah pewaris”,dan tidak termasuk “ayahnya ibu”. Karena kakek ini haruslahkakek shahih, bukan kakek fasid.93 Demikian pula halnyadengan saudara di sini, yang dimasudkan adalah (hanya)saudara kandung atau seayah, tidak pada saudara yang hanyamempunyai jalur kekerabatan dengan pihak ibu saja (saudaraseibu).

Hubungannya dengan ini, saudara perempuan kandung/seayah yang tadinya berhak 1/2 harta, adalah benar-benartelah “keruh” bagiannya dengan kehadiran sosok kakek didalam struktur kewarisan ini. Dari beberapa uraian ini, adabeberapa hal yang dapat digarisbawahi terkait kasuskewarisan akdariyah ini:a. “Keruhnya” bagian saudari kandung/seayah hanya terda-

pat pada struktur waris yang terdiri dari suami, ibu, sauda-ra perempuan kandung/seayah, dan kakek. Struktur initidak berubah (tetap), sehingga dikatakan sebagai sebuahkasus istimewa/khusus dalam khazanah kewarisan Islam.

92 Moh. Anwar, Faraidh: Hukum Waris dalam Islam dan Masalah-Masalahnya, al Ikhlas,Surabaya, 1981, hal. 109.

93 Lihat pengertian kedua macam kakek di atas di dalam kitab faraidh, khususnyapada bab/pasal yang membahas tentang masalah kewarisan kakek bersama saudara.

75

b. Terjadi penyimpangan dari ketentuan umum yang berlakusepanjang aturan ilmu faraidh, khususnya pada perolehansaudara perempuan kandung/seayah dan kakek.

c. Pada kasus ini, kedudukan kakek dianggap berkedudukansama dengan saudara laki-laki yang harus mendapat duakali lipat (banyaknya) dari saudara perempuan.

d. Kaitannya dengan pendapat Abu Bakar yang memilihmenggugurkan saudara perempuan kandung/seayahdengan menjadikan kakek pewaris sebagai ashobahnya,dapat dipahami bahwa, karena kakek berstatus sebagaipengganti yang dapat menghijab hirman terhadap warissaudara. Sedangkan pendapat Umar dan Ibnu Mas’ud yangmemberikan bagian ibu dengan 1/6, (barangkali) inidimaksudkan bahwa karena kakek yang dianggap sebagaiseorang saudara juga, maka berarti di dalam kasus ituterdapat dua orang saudara (perempuan dan laki-laki),maka secara faraidh diketahui bahwa ibu akan terhijabnuqshan dari 1/3 menjadi 1/6 dengan berbilangnya saudara.

e. Pendapat lainnya adalah pendapat Zaid bin Tsabit yangjuga patut untuk dipertimbangkan. Karena Zaid tetapmemberikan bagian dari masing-masing waris yang adadalam struktur tersebut berdasarkan ketentuan faraidh,termasuk saudara perempuan kandung/seayah dan kakek.Tentang adanya pentasyrikan kedua bagian ini, untukkemudian dibagi tiga dengan perolehan akhir; dua bagiandiberikan untuk kakek dan satu bagian untuk saudaraperempuan, adalah wajar, karena hal ini merupakan jalankeluar dengan tetap menerapkan kaidah muqasamahsebagai salah satu alternatif yang menguntungkan bagikakek sesuai prinsip-prinsip penyelesaian kewarisan kakekbersama saudara.

f. Tentang penamaan kasusnya, penulis cenderung kalaumenggunakan istilah “kadira” (keruh). Karena dimaksud-kan dengan kehadiran kakek dalam struktur kewarisan ini,dapat “mengeruhkan” bagian saudara perempuankandung/seayah menjadi 1/2nya bagian kakek, mengurangilebih dari 1/5 harta warisan yang harus didapatnya

Masalah-Masalah Istimewa Khusus dalam Kewarisan Islam

76

Buku Ajar Fikh Waris

seandainya kakek tidak ada. Penulis tidak sependapat, jikadikatakan dengan istilah akdariyah ini bermakna “kotor,”atau “mengotori,” maksudnya mengotori madzhab Zaidbin Tsabit. Sebab, apa yang telah dihasilkan beliau melaluiijtihad ini, merupakan jalan keluar terbaik dengan tetapmemperhatikan prinsip yang ada, dan pendapatnya inisenantiasa terus diikuti oleh faradhiyun.

77

BAB IVKEWARISAN KAKEK BERSAMA

SAUDARA

Setiap peristiwa kematian membawa akibat hukum yangselanjutnya timbul, di antaranya adalah mengenai bagaimanamengurus dan melanjutkan hak-hak serta kewajiban si mayit(pewaris). Mewaris itu berfungsi untuk menggantikankedudukan dalam memiliki dan memanfaatkan harta milikpewarisnya. Karenanya terwujud hubungan yang menyebabkandia berhak menjadi ahli waris, baik karena sebab nikah ataupunnasab. Penyelesaian dari permasalahan inilah yang diatur dalamhukum waris (faraidh).

Hukum kewarisan Islam punya sifat atau corak tersendirisesuai dengan sistem dan sumber digalinya hukum yangberlandaskan pada nash al Qur’an dan hadits Nabi Muhammadsaw., merupakan salah satu ketentuan huku Islam yang diatursecara terperinci. Kalaupun terdapat beberapa masalahkewarisan yang belum diatur oleh kedua sumber hukumtersebut, maka ijtihad atau ijma para sahabat berperan untukmemecahkan persoalan-persoalan kewarisan dimaksud.94

Salah satu contohnya adalah kewarisan kakek bersamasaudara. Persoalan ini sempat dianggap sebagai suatupermasalahan yang cukup rumit dalam perkembangan hukumwaris Islam, karena ia merupakan persoalan dua golongankeluarga nasabiyah dengan si mayit melalui jalur laki-laki yangsama, yakni ayah pewaris.95 Masalah ini tidak terdapat

94 Fatchur Rahman, Ilmu waris, PT. Alma’arif, Bandung, 1975, hal. 33.95 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal. 84.

78

Buku Ajar Fikh Waris

penjelasannya, baik dalam al Qur’an ataupun hadits nabi saw.sehingga mayoritas sahabat sangat berhati-hati untukmengeluarkan fatwa dalam kasus ini.

A.Pengertian KakekMakna kakek dalam hukum waris terbagi dua macam, yaitu:

1. Kakek shahih, adalah kakek yang nasabnya dengan si mayittidak diselingi oleh pihak perempuan. Misalnya ayahnya ayah

2. Kakek fasid, adalah kakek yang nasabnya dengan si mayitdiselingi oleh perempuan. Misalnya ayahnya ibu.96 Hal inididasarkan sesuai dengan kaidah yang menyatakan bahwaapabila di antara orang laki-laki dimasuki orang perempuan,maka kakek itu bukan sejati. Apabila tidak dimasuki orangperempuan, maka ia kakek sejati. Sekalipun tinggi derajatnya,seperti bapaknya bapak, bapaknya bapaknya bapaknyabapak. Demikianlah seterusnya sampai Nabi Adam as.

Kakek shahih, adalah kakek yang sah, atau sering puladisebut dengan istilah kakek sejati. Ia merupakan orang yangbisa menempati kedudukan (posisi/status) bapak dalammenerima warisan di saat bapa pewaris tidak ada.

B. Hukum Waris Antara Kakek dan SaudaraSebagaimana disebutkan terdahulu, bahwa permasalahan

kakek bersama yang mewaris bersama-sama ini, disyaratidengan pengertian atau makna tertentu. Sebagaimana halnyadengan kakek, saudarapun dimaksudkan dengan saudara yangpunya hubungan kekerabatan seibu sebapak (sekandung)ataupun sebapak saja dengan si mayit. Jadi pengertian untuksaudara di sini tidak termasuk di dalamnya saudara seibu.

Persoalan pembagian warisan antara kakek bersama sauda-ra ini dianggap sebagai suatu permasalahan yang rumit dalamperkembangan hukum waris Islam. Ia merupakan persoalan dua

96 Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Dar al Fikr, Bairut, 1403 H./1983 M. Jilid 3, juz 11-14, cet.4, hal. 430.

79

golongan keluarga nasabiyah dengan si mayit melalui jalur laki-laki yang sama, yakni ayah pewaris.97

Masalah ini tidak terdapat penjelasannya baik dalam alQur’an ataupun hadits Nabi saw., sehingga mayoritas sahabatsangat berhati-hati dalam menangani kasus ini. Bahkan merekacenderung sangat berhati-hati untuk mengeluarkan fatwa yangberhubungan dengan kasus ini. Ini terungkap dalam beberapapernyataan sahabat seperti Ibnu Mas’ud yang menyatakanbahwa:

“Bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangatpelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentangmasalah warisan kakek yang shahih bersama saudara.”98

Demikian juga halnya dengan sahabat Ali bin Abi Thalibyang mengatakan dengan:

“Barang siapa yang senang terjun ke dalam neraka Jahannam,maka putuskanlah kewarisan kakek yang bersama dengan saudara.”99

Ketentuan dan kehati-hatian mereka memang sangat ber-alasan, karena di samping tidak adanya nash yang menjelaskanmengenai masalah dimaksud, juga didasarkan pada adanyakekhawatiran tentang hasil ijtihad yang salah. Terlebih-lebih lagidalam masalah yang berhubungan dengan materi/hak kepemi-likan. Mereka takut akan berbuat dzalim atau aniaya denganmemberikan hak waris kepada orang yang tidak berhak atausebaliknya.100

Kewarisan Kakek Bersama Saudara

97 Sudarsono, Pokok-Pokok Hukum Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal. 8498 M. Ali Ash Shabuny, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘Ala Dhauil Kitab wa al

Sunnah, terj. A.M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press,Jakarta, cet.1, hal. 84.

99Ibid, terj. H.A.A. Dahlan, dkk, Hukum Waris dalam Islam Disertai Contoh-ContohPembagian Harta Pusaka, CV. Diponegoro, Bandung, 1413 H./1992 M. Cet.2, hal. 118.

100Ibid, terj. Sarmin Syukur, op cit, hal. 85

80

Buku Ajar Fikh Waris

C.Pendapat Fuqaha Tentang Hak Waris Kakek BersamaSaudara

Meski sebelumnya ada semacam kekhawatiran dari parasahabat untuk melakukan ijtihad mengenai masalah kewarisankakek bersama saudara ini, tetapi akhirnya kekhawatiran itupunhilang bersamaan dengan munculnya ijtihad para salaf ashshalihin dan imam mujtahidin yang telah dibukukan secaralengkap dan detail beserta dalil-dalilnya.

Kaitannya dengan ijtihad ini, para sahabat dan ulama-ulamaberikutnya berbeda-beda pendapatnya:1. Abu Bakar Ash Shiddieq, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Al Hasan,

Ibnu Sirin, dan Abu hanifah berpendapat bahwa kedudukankakek sama dengan bapak, jika bapak tidak ada, sehinggadapat menghijab saudara sekandung dan seayah secaramutlak.101 Pendapat ini didukung oleh Abu saur, Al Zhahiry.102

Alasan yang diajukan adalah, bahwa penggunaan kata “Ab”(ayah) dalam al Qur’an maupun al Sunnah menunjuk kata“jadd” (kakek) sebagaimana terdapat dalam firman-Nya:Yusuf: 38

2.

“Dan aku mengikuti agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim...”103

Begitu juga dalam ayat selanjutnya yang berbunyi: Yusuf:40

“kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya(menyembah) nama-nama kamu dan nenek moyangmu membuatbuatnya...”104

101 Vide Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 271.102 Ibn Rusyd, hal. 259, sebagaimana dikutip dari Ahmad Rofiq, Fiqh mawaris, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, cet. 3, hal. 114.103 Departemen Agama Republik Indonesia, Al Qur’an dan Terjemahnya, Proyek

Pengadaan Kitab Suci Al Qur’an, 1984, hal. 354.104 Ibid.

81

Di saat bapak tidak ada, kakek menempati kedudukanbapak. Ini sama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki yangbisa menempati posisi anak laki-laki, jika ia tidak ada. Sehing-ga wajar kiranya kalau kakek menghalangi saudara untukmewarisi. Selain itu alasan yang dikemukakan oleh pendapatpertama ini adalah mendasarkan pada segi derajat kekerabat-an, kakek menempati derajat ushul, sedangkan saudara beradadalam “jihat” menyamping (ukhuwwah) dalam prinsip peneri-maan ashobah bi al nafsi.105 Yang demikian inipun sejalandengan perintah Rasulullah saw.:

Alasan lainnya yang dikemukakan oleh pendapat iniadalah disandarkan pada hajib mahjub, yakni hanya dapatdihijab oleh bapak saja, sementara saudara terhijab oleh bapakdan keturunan laki-laki. Di sinilah kenyataan bahwa kedu-dukan kakek tersebut menerima warisan melalui dua cara,yaitu furudhul muqaddarah dan ashobah, sedang saudara hanyabisa dengan jalan ashobah saja.

3. Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, zaid bin Tsabit, dan beberapasahabat lain berpendapat bahwa kakek hanya dapatmenghijab terhadap saudara seibu saja. Alasan mereka adalahbahwa status kakek setaraf dengan saudara. Oleh sebab itumereka bisa mewaris secara bersama-sama. Sependapatdengan pendapat kedua ini, imam Malik, imam Syafi’i, danimam Ahmad bin Hanbal.106 Demikian pula ulama Hanafiyahyaitu Muhammad Ibn al Hasan al Syaibani dan Qadi AbuYusuf.107 Mereka beralasan:

Kewarisan Kakek Bersama Saudara

105 Vide Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, op cit, hal. 115.106 Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Pustaka Amani, Jakarta, cet. II, hal. 70.107 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, op cit, hal. 272.

82

Buku Ajar Fikh Waris

a. Antara kakek dan saudara sama-sama dihubungkankekerabatannya melalui perantaraan ayah pewaris.

b. Tidak ada nash yang menjelaskan atau menunjukkanbahwa kakek bisa menghijab saudara. Sehingga kedua-duanya memiliki hak yang sama dalam menerima bagian.

c. Meski Zaid bin Tsabit menempatkan cucu laki-laki darianak laki-laki pada kedudukan anak laki-laki, tetapi beliautidak menempatkan kakek persis sama dengan kedudukanbapak.108

Ibnu Rusyd memilih pendapat dan menganggap bahwaperbedaan pendapat para ulama tersebut adalah karenaterdapatnya pertentangan dua qiyas. Sementara mayoritasulama mengikuti pendapat kedua, dengan memberi hakkewarisan pada saudara. Hanya saja mereka menghendakibagiannya tidak sama dengan bagian kakek pewaris.109

D.Prinsip dalam Penyelesaian Masalah KewarisanKakek Bersama Saudara

Ada dua prinsip yang digunakan dalam menyelesaikanmasalah kewarisan kakek bersama saudara ini, yaitu:1. Apabila kakek dan saudara tidak bersama ahli waris lain,110

memberi kakek bagian yang lebih menguntungkan dari duaperkiraan, yaitu:a. 1/3 dari harta warisanb. Muqasamah, artinya kakek berbagi sama dengan saudara-

saudara. Jika ada saudara perempuan, ketentuan li al dzakarimitslu hazh al untsayain diberlakukan.111

108 Vide Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, op cit, hal. 116.109Ibid.110Ibid, hal. 117. Ali Ash Shabuny sebagaimana diterjemhakan AM. Basalamah,

pada hal. 87 menyebut point (1) ini dengan “Hukum Keadaan pertama.”111Ibid. Ali Ash Shabuny, sebagaimana diterjemahkan oleh AM. Basalamah,

menyebut istilah muqasamah ini dengan “pembagian,” yang dimaksudkan denganbagi sama, sebab kakek dikategorikan seperti saudara kandung, dan beliau lebihmerinci lagi dengan lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek jikamenggunakan cara “pembagian” ini. (Lihat hal. 88).

83

Dari perkiraan di atas, dapat ditegaskan, apabila saudara-saudara terdiri dari dua orang atau lebih, kakek lebih untungmenerima bagian 1/3. Sebaliknya kakek akan lebih untungmenerima bagian muqasamah bersama saudara, apabilasaudara hanya satu orang. Misalnya, ahli waris si mati terdiridari: kakek dan saudara laki-laki sekandung. Harta Warisnyasejumlah Rp. 1.200.000,- bagian masing-masing adalah:1) Perkiraan kakek mendapat bagian 1/3:

2). Perkiraan muqasamah kakek bersama saudara:

Jadi bagian kakek dengan muqasamah adalah sebesarRp.600.000,- itu lebih menguntungkan daripada bagian 1/3yang hanya sebesar Rp. 400.000,-

Apabila saudara terdiri dari dua orang, kakek dapatmemilih antara 1/3 atau muqasamah. Misalnya ahli waristerdiri dari kakek dan 2 orang saudara seayah. Hartawarisannya Rp.2.400.000,- bagian masing-masing adalah:1). Perkiraan 1/3 untuk kakek:

Kewarisan Kakek Bersama Saudara

84

Buku Ajar Fikh Waris

Masing-masing saudara mendapat ½ x Rp.1.600.000,- =Rp.800.000,-

1). Perkiraan muqasamah:

Jadi kakek mendapat bagian yang sama antara 1/3 danmuqasamah yaitu sebesar Rp. 800.000,-, demikian juga dengansaudara yang masing-masing mendapat Rp.800.000,-

Contoh berikutnya, kakek lebih untung menerima 1/3bagian harta. Ahli waris terdiri dari kakek, tiga orang saudaralaki-laki kandung, dan dua orang saudara perempuankandung. Harta warisannya berjumlah Rp. 4.800.000,-

1). Perkiraan kakek menerima 1/3:

85

*Saudara laki-laki tiga orang, masing-masing mendapat2/8 x Rp. 3.200.000,- = Rp.800.000,- sedangkan saudaraperempuan dua orang, masing-masing mendapat 1/8 xRp.3.200.000,- = Rp. 400.000,1). Perkiraan muqasamah:

Masing-masing saudara menerima 1/3 x Rp.2.880.000,-=Rp.960.000,- sedangkan saudara perempuan kandung masing-masing menerima ½ x Rp.960.000,- = Rp. 480.000,-. Bagiankakek lebih mnguntungkan 1/3, yakni Rp.1.600.000,- daripadamuqasamah yang hanya sebesar Rp.960.000,-. Maka (dalamhal ini) kakek diberi (menerima) bagian 1/3 saja.

2. Apabila kakek dan saudara masih bersama ahli warislainnya,112 maka kakek boleh memilih tiga bagian yang lebihmenguntungkan baginya.a. 1/6 harta peninggalanb. 1/3 dari sisa setelah diambil ahli waris lain (bukan saudara)c. Muqasamah dari sisa antara kakek dan saudara.

Contoh pertama, harta warisan sebesar Rp.3.600.000,- ahliwaris terdiri dari suami, kakek, dan saudara seayah. Bagianmasing-masing adalah:

Kewarisan Kakek Bersama Saudara

112 Ali Ash Shabuny sebagaimana diterjemahkan oleh H.A.A. Dahlan, pada hal.125 yang menyebutkan dengan “Hukum Kewarisan Kakek Pada Kondisi Kedua.”

86

Buku Ajar Fikh Waris

1). Perkiraan kakek menerima 1/6:

2). Perkiraan kakek menerima 1/3 sisa:

3). Kakek menerima muqasamah dari sisa bersama saudara:

87

Dari ketiga perkiraan di atas dapat diketahui bahwa,bagian kakek yang lebih menguntungkan adalah denganmuqasamah dari sisa bersama saudara, karena penerimaannyaberjumlah Rp.900.000,- sedangkan dengan dua alternatifbagian lainnya, ia hanya menerima sebesar Rp.600.000,- saja,(baik dengan bagian 1/6, ataupun 1/3 sisa setelah waris lainyang bukan saudara mengambil bagiannya). Oleh karenanya,dalam kondisi struktur kewarisan seperti ini, kakekhendaknya diberikan (menerima) bagian tersebut.

Contoh kedua, ahli waris terdiri dari anak perempuan, kakek,dan empat orang saudara laki-laki sekandung. Harta warisanberjumlah Rp. 7.200.000,-, maka bagian masing-masing adalah:1). Kakek menerima 1/6 harta warisan:

Masing-masing saudara menerima ¼ x Rp.2.400.000,-=Rp.600.000,-

2). Perkiraan kakek menerima 1/3 sisa:

Kewarisan Kakek Bersama Saudara

88

Buku Ajar Fikh Waris

Antara pilihan bagian 1/6 dan 1/3 sisa untuk kakek hasilperolehannya sama, yaitu Rp. 1.200.000,-

3). Kakek menerima muqasamah dari sisa:

Di sini, kakek bisa memilih antara bagian 1/6 hartapeninggalan atau 1/3 dari sisa, yaitu Rp.1.200.000,-, karenajiak dengan bagian muqasamah, ia mendapat bagian lebihsedikit yaitu Rp. 720.000,-.

Dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa apabilakakek dan saudara bersama ahli waris lain, ia lebih untungmenerima muqasamah, apabila saudara hanya seorang diri.Jika saudara lebih dari dua orang, kakek lebih untungmenerima 1/6 harta peninggalan atau 1/3 sisa.113

Sebagai catatan yang perlu digarisbawahi kaitannyadengan kebersamaan kakek dan saudara dalam mewarisiadalah bahwa: hukum tentang hak waris bagi saudara laki-laki ataupun saudara perempuan seayah, ketika merekabersama-sama dengan kakek (tanpa saudara laki-laki atausaudara perempuan sekandung) adalah sama hukumnyadengan apa yang telah diuraikan dalam bahasan ini. Hanya

113 Beberapa illustrasi contoh yang penulis kemukakan dalam bab ini, semuanyapenulis kutip dari buku Ahmad Rofiq tentang Fiqh Mawaris dengan pertimbangan,karena di dalam buku tersebut semua contoh dijelaskan dengan sejumlah uang, danini tentunya akan memudahkan (secara kongkrit) dalam memahami perolehan kakekbeserta masing-masing saudara pewaris, baik dalam keadaan pertama ataupunkondisi kedua (sebagaimana dalam uraian).

89

saja, di saat saudara kandung, baik laki-laki atau perempuanberdampingan dengan saudara yang seayah, maka kewarisansaudara seayah ini menjadi “gugur” atau “mahjub.”114.

Terkait dengan kasus kewarisan kakek bersama saudaraini, kasus istimewa Akdariyah sebagaimana dijelaskan padabab sebelumnya, merupakan salah satu contoh aplikasi dariprinsip-prinsip penyelesaiaan kewarisannya. Kasus lainnya,seperti “Kharqa” misalnya, penyelesaiannya dikemukakanoleh para sahabat secara berbeda-beda, dan sesuai denganbanyaknya perbedaan pendapat itulah kemudian masalahtersebut dinamakan dengan istilah tersebut.

Pro dan kontranya pendapat fuqaha mengenai masalahini sangat beralasan, karena di samping tidak ada nash yangmenjelaskan, dasar pemberlakuannya juga dikemukakan(secara) berbeda-beda. Di satu sisi mereka mengqiyaskanposisi kakek sebagaimana ayah yang menghijab saudara,seperti yang merek a kaitkan dengan lafadz “ab” di dalamayat-ayat al Qur’an, dan hadits nabi yang memerintahkanpembagian warisan itu dilakukan dengan mendahulukandzawil furudh mengambil bagiannya, baru kemudian sisanyauntuk ashobah.

Di sisi lain, mereka juga mendasarkan pada alasan logikasemata. Oleh sebab hubungan kekerabatan kakek dan saudaraini sama-sama melalui perantaraan ayah pewaris, maka sulitbagi mereka untuk menyatakan bahwa kakek dapat menghijabsaudara, karena tidak ada dalil yang menjelaskannya.Meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa cucu laki-laki bisa menempati posisi anak laki-laki di saat ia tidak adadalam kewarisan, namun yang demikian, tidak bisa dibawapada pemahaman bahwa kakek juga bisa menempati posisibapak ketika ia tidak ada dalam struktur kewarisan.

Adanya dua pendapat dengan masing-masing alasanyang dikemukakan tersebut menurut penulis sangat bisadibenarkan. Pendapat pertama misalnya, kata “ab” (ayah)

Kewarisan Kakek Bersama Saudara

114 Vide M. Ali Ash Shabuny, Pembagian Waris Menurut Islam, op cit, hal. 89-91.

90

Buku Ajar Fikh Waris

sebenarnya bisa pula masuk pengertian kakek di dalamnya.Hanya saja, apakah hak dan kedudukannya (secara otoatis)juga dapat diambil alih di saat ia tidak ada.? Pertanyaan inilahyang barangkali masih agak sulit untuk dijawab ketika kakekini disandingkan dengan saudara yang juga sama-sama“dekat/jauh”? dengan pewaris dalam kaitan hak merekaketika mewaris bersama, di samping ketiadaan nash yangmenjelaskan tentang ini.

Atas dasar itu pula, dapatlah dipahami alasan kenapapendapat kedua menyatakan bahwa kalau ditinjau dari segijauh dekatnya hubungan kekerabatan antara kakek dansaudara ini, maka sulit membedakan mana diantara merekayang lebih dekat dengan pewaris, karena kedua-duanya sama-sama melalui perantaraan “ayah” ketika dihubungkan denganpewaris. Dengan demikian, untuk menyatakan kakek itu lebihdekat dengan pewaris ketimbang saudara, tentunya sangatlahtidak adil. Belum lagi kalau dihadapkan pada aspek sosiologisyang sepertinya kedekatan seseorang itu lebih cenderungpada saudara dibandingkan kepada kakek.

Disamping lain, kebutuhan terhadap harta warisan itu(barangkali, walaupun lebih kasusistik) lebih dihajatkan olehsaudara ketimbang kakek yang sudah berumur danpenghidupannya (biasanya sudah terjamin) oleh anak-anaknya. Kalaupun kakek meninggal, maka harta kakek akan“jatuh” kepada anaknya (paman) oleh saudara pewaris tadi.Bila ini terjadi, maka saudara pewaris sebagai urutan ashobahberikutnya mendapat giliran menerima bagian sisa (kelompokwaris ashobah bi al nafsi) lebih diperioritaskan daripada pamandimaksud. Maka layak saja kalau saudara juga ikut bersama-sama kakek untuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya.Dalam arti lain, bahwa pendapat kedua menurut penulisdapat dipertimbangkan. Ini pula (barangkali) yang menjadipenyebab kenapa pendapat kedua ini menyatakan bahwasaudara bisa mewaris bersama kakek.

Terlepas dari permasalahan mana pendapat yang lebihkuat atau tidak, penulis berkeyakinan bahwa kasus kewarisankakek bersama saudara ini, tidak bisa dipisahkan dalam

91

kaitannya dengan pendapat pertama yang awalnya tidakmemberikan bagian terhadap saudara pewaris. Yangdemikian ini, sekaligus tergambar pada prinsip penyelesaiankasus-kasusnya dengan memberikan alternatif bagian yanglebih menguntungkan untuk kakek dalam kewarisannyabersama saudara. Baik dalam hal ada tidaknya ahli waris lainselain mereka.

Dengan perkataan lain, meskipun saudara diberi hakuntuk mnedapatkan bagian, tetapi harus dipertimbangkan(dulu) hasil perolehan kakek dengan alternatif yang lebihmenguntungkan, walau dalam bahasa “boleh memilih,”artinya jika kakek memang menghendaki. Dalam hal ini, jelaskedudukan kakek sejajar dengan saudara lak-laki kandung/seayah. Apabila dalam kasusnya terdapat saudara yangperempuan, maka kakek harus mendapat dua kali lipatnyasaudara perempuan.

Satu hal yang juga patut dipahami terkait kewarisan iniadalah, bahwa kakek dan saudara dimaksud memilikipengertian “terbatas” pada kakek shahih/sah, atau sejati. Begitujuga dengan saudara yang hanya dimaksudkan dengansaudara kandung atau saudara seayah (baik laki-laki saja,perempuan saja, atau campuran antara keduanya). Alternatifbagian yang menguntungkan itupun dimaksudkan dengan;pilihan bagian yang paling “banyak, untung” bagi kakekdalam beberapa perkiraan sesuai kondisinya. Bukandimaksudkan pada banyak dan untungnya bagian kakek biladibandingkan dengan perolehan saudara dalam suatustruktur kewarisan bersamanya (kakek dan saudarapewaris).

Kewarisan Kakek Bersama Saudara

92

Buku Ajar Fikh Waris

93

BAB VKEWARISAN SECARA AT TAQDIR

Telah diketahui, bahwa diantara syarat waris mewarisi ituadalah kepastian meninggalnya si muwarrits, dan kepastianhidupnya ahli waris saat pewaris meninggal. Dalam beberapasituasi, terkadang kita ragu akan keberadaan ahli waris.Misalnya, ahli waris yang ada dalam kandungan, apakah ia telahhidup ketika si mayit meninggal dan boleh mewarisi.? Ataukahbelum hidup, sehingga ia tidak bisa mewarisi? Seandainya iahidup pun, kita belum tahu apakah ia laki-laki atau perempuan,satu atau beberapa orang.?

Terkadang kitapun juga ragu, apakah ahli waris itu masihhidup atau sudah mati, misalnya orang yang hilang yang tidakada kejelasan kabarnya tentang hidup dan matinya. Masalahkeraguan juga muncul terhadap orang yang ada di hadapan kita,karena dia memiliki kelamin ganda dan tidak diketahui secarapasti, apakah dia laki-laki atau perempuan.? Termasuk orang-orang yang mati secara bersamaan, sehingga tidak diketahuimana diantara mereka ini yang berstatus sebagai muwarrits danahli warisnya. Persoalan-persoalan tersebut (pembagian warisanterhadap orang-orang yang belum bisa dipastikan bagiannya)itu menghajatkan pemecahan yang sesuai dengan syariat, agartidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan setelahnya.115

115 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Ahkam al Mawarits fi alFiqh al Islamy, terj. Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris,Senayan AbadiPublishing, Jakarta, cet. Pertama, Maret 2004, hal. 357

94

Buku Ajar Fikh Waris

A.Kewarisan Anak dalam Kandungan1. Pengertian

Kata al hamlu digunakan untuk sesuatu yang ada di dalamperut setiap perempuan yang mengandung. Maksudnya adalahkandungan yang berupa janin. Orang Arab berkata, “perempuanbisa disebut hubla jika dia sudah mengandung dan membawabeban. Apabila seorang perempuan membawa beban dipunggungatau di atas kepalanya, perempuan itu disebut “hamilah.”

2. Syarat-Syarat Bayi dalam Kandungan itu Menjadi WarisAnak yang masih dalam kandungan ibunya termasuk ahli

waris yang berhak menerima warisan sebagaimana ahli warislainnya. Untuk merealisasikan hak kewarisannya, diperlukansyarat-syarat berikut:a. Ketika orang yang mewariskan itu meninggal, ia sudah

berwujud di dalam rahim ibunya.Waris mewarisi ditunjukkan untuk menggantikan ke-

dudukan orang yang sudah meninggal dalam kepemilikanharta bendanya. Sekiranya ia belum berwujud, sudah tentutidak tergambar adanya penggantian yang dimaksud.Tingkatan yang seminimal-minimalnya sebagai seorangpengganti ialah ia harus berwujud, walaupun masih beradadalam kandungan sperma ibunya. Ini karena sperma yangberada di dalam rahim itu, selagi tidak hancur, mempunyaizat hidup sehingga ia dihukumi dengan hidup.

b. Dilahirkan dalam keadaan hidupIni disyariatkan untuk meyakinkan bahwa kandungan itu

benar-benar hidup ketika orang yang mewariskan meninggal.Ketika masih dalam kandungan, walaupun sudah dianggaphidup, itu bukanlah hidup yang sebenarnya. Kelahirannyadalam keadaan hidup tenggang waktu yang telah ditentukanoleh syariat Islam merupakan bukti yang nyata atasperwujudan ketika orang yang mewariskan meninggal.116

116 Dian Khairul Umam, CV. Pustaka Setia, Bandung, cet. I, Nopember, 1999/Sya’ban,

95

Menyangkut kemungkinan pendapatan/bagian anakyang masih dalam kandungan ibunya ada beberapa kemung-kinan, yaitu:a. Tidak menerima warisan sama sekali, baik ia sebagai laki-

laki atau perempuan. Misalnya dalam kasus kematianseseorang yang struktur kewarisannya terdiri dari: isteri,ayah dan ibu (hamil, dari suami yang lain, bukan dari ayahpewaris).

b. Hanya mewarisi dengan salah satu dari dua kemungkinan,yaitu sebagai laki-laki ataupun perempuan, dan tidakmewarisi dengan kemungkinan yang lainnya. Misalnyadalam struktur kasus: istri, paman, dan istri dari saudarakandung (hamil). Dalam kondisi ini, istri diberi ¼, sedang-kan sisanya ¾ ditangguhkan pembagiannya sampai bayidalam kandungan itu lahir. Jika lahir laki-laki, maka bayiitu yang mengambil sisanya, karena statusnya sebagaikeponakan laki-laki kandung, akan menghijab kewarisanpaman. Tetapi, jika bayi itu perempuan, maka pamanlahyang berhak mengambil sebagai ashobah, sebab keponakanperempuan dari saudara laki-laki kandung bukanlah ahliwaris.

c. Dapat mewarisi dengan segala kemungkinan, baik iasebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Misalnya, ahliwaris terdiri dari: istri (hamil), dengan kedua orang tuapewaris (ayah dan ibunya)

d. Dapat mewarisi, dan tidak pula berbeda jumlah bagiannya,baik ia sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Misalnya,kematian seseorang yang meninggalkan para waris:seorang saudara perempuan kandung, dan seorang ibu(hamil, dari suami yang bukan ayah pewaris). Jika bayi itulahir laki-laki atau perempuan, sama saja statusnya sebagaiahli waris saudara seibu (dzawil furudh).

e. Tidak bersama dengan ahli waris yang pokok, atau bersamadengan ahli waris yang terhalang olehnya. Misalnya,terhadap ahli waris: menantu (hamil), dan saudara seibu.

Kewarisan Secara At-Taqdir

96

Buku Ajar Fikh Waris

Dalam kondisi seperti ini, harta warisan harus ditangguh-kan sampai bayi itu dilahirkan.117

3. Masa Kandungan untuk Kewarisan Orang HamilUntuk menetapkan perwujudan bayi di dalam rahim

ibunya,perlu diperhatikan hal berikut:a. Tenggang waktu yang sependek-pendeknya antara akad

pernikahan dengan kelahiran anak.1) Menurut para imam madzhab telah sepakat bahwa

tenggang waktu yang paling pendek untuk kandunganadalah enam bulan. Pendapat mereka ini bertolak padajalan pemikiran Ibnu Abbas ra. Yang mengisbathkanfirman Allah dalam surat al A’raf ayat 15:

2) Menurut ulama Hanabilah menetapkan bahwasependek-pendeknya orang mengandung itu adalahsembilan bulan.

b. Tenggang waktu yang sepanjang-panjangnya antaraputusnya perkawinan dengan kelahiran anak.

Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa tenggang waktuyang sepanjang-panjangnya adalah dua tahun, dengan alasan sabda Rasulullah saw.

Wanita tidak menambah masa usia kandungannya lebihdari dua tahun dengan sepergeseran bayang tiang berdiri.

Jumhur ulama berpendapat apabila diantara ahli warisitu ada yang menghendaki diadakan pembagian harta warisandengan tidak menunggu ahli waris yang ada dalam kandung-an dilahirkan, maka untuk jumlah bagian yang harus ditahanuntuk diberikan di kemudian hari bila anak tersebut lahirdengan selamat, sebagai berikut:

117 Suhrawardi K.Lubis, dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Lengkap danPraktis), Sinar Grafika, Jakarta, 1993, cet. Ke 2.

97

a. Bila ia mewarisi bersama-sama dengan orang yang tidakakan menerima warisan, maka tidak diberikan sedikitpun,karena anak dalam kandungan diperkirakan lahir laki-lakiyang akan menerima seluruh harta secara ashobah.

b. Bila ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris yangfurudhul muqaddarahnya tidak pasang surut, maka ahli waristersebut menerima warisan sesuai dengan bagiannyamasing-masing, dan anak dalam kandungan menerimasisanya yang ditahan untuknya

c. Bila ia mewarisi bersama-sama ahli waris yang furudhulmuqaddarahnya dapat pasang surut, maka ahli waris terse-but diberikan bagian sesuai dengan furudh nya yang terkecil,dan anak dalam kandungan diberikan bagian yang terbesardiantara dua perkiraan laki-laki dan perempuan tersebut.

4. Contoh Kasus dan penyelesaiannyaa. Misal kemungkinan terdinding

Waris: Satu orang saudara laki-laki kandungIstri (hamil)

Tidak diberikan apa-apa kepada saudara laki-laki kan-dung, dan kepada isteri diberikan 1/8 harta, sisa 7/8 ditahan,untuk penjelasan: apabila anak dalam kandungan ituternyata satu orang laki-laki, maka dia mengambil semuasisa 7/8 sebagai ashobah dan saudara laki-laki terdinding.Apabila anak dalam kandungan itu ternyata satu orangperempuan, maka dia mengambil ½ harta = 4/8 dan sisanya3/8 diberikan kepada saudara laki-laki kandung sebagaiashobah.

Apabila anak itu lahir ternyata dua orang perempuan,maka bagi keduanya 2/3 harta = 16/24 dan sisanya 5/24diberikan kepada saudara laki-laki kandung sebagaiashobah. Apabila ternyata bayi itu meninggal, maka saudaralaki-laki menjadi ashobah mengambil ¾ harta, dan bagi istridiberikan ¼ harta. Demikianlah seterusnya. Untuksementara istri hanya diberikan (mengambil) 1/8 saja

Kewarisan Secara At-Taqdir

98

Buku Ajar Fikh Waris

sampai ada ketentuan di atas, dan saudara laki-laki kan-dung karena dalam salah satu kondisinya ia dimungkinkanterdinding, maka sementara ini ia tidak boleh mengambilsedikitpun dari bagian harta warisan tersebut.

b. Misal serupaWaris: Bapak, dan Istri (hamil)

Bagi istri diberikan 1/8 harta, baik anak dalam kan-dungan itu laki-laki atau perempuan, seorang atau lebih,bagi istri serupa saja bagiannya itu. Sedangkan Bapak 1/6= 4/24, dan sisanya 17/24. Apabila ternyata anak itu satuorang perempuan, dia mengambil ½ harta =12/24, dansisanya dikembalikan kepada bapak sebagai ashobah yaitu5/24 + 4/24 = 9/24.

Apabila ternyata anak itu dua orang perempuan,mereka mengambil 2/3 harta = 16/24, dan sisanya 1/24dikembalikan kepada bapak sebagai ashobah (1/24 + 4/24= 5/24). Jika bayi itu meninggal, maka istri mendapat ¼harta dan sisanya diberikan kepada bapa ¾ sebagai ashobah,demikianlah seterusnya. Untuk sementara (bayi belumlahir), bagi istri cukup diberikan 1/8 saja = 3/24, kepadabapa diberikan 4/24, dan sisanya 17/24 ditangguhkansampai ada kejelasan bayi yang dikandung tersebut,apakah ia lahir laki-laki, atau perempuan, atau kembar laki-laki, kembar perempuan, atau kembar laki-laki danperempuan, termasuk jika ia meninggal dunia.

c. Misal berlainan bagiannyaWaris: Ibu hamil (jadi ada saudara pewaris dalam

kandungan si ibu).Bagi ibu dalam masalah ini menerima warisan berlain-

lainan, yaitu: jika ternyata anak dalam kandungan ibu itusatu orang (laki-laki atau perempuan), maka ibu mendapat1/3 harta, dan jika lebih dari satu orang, maka ibu hanyamendapat 1/6 harta. Oleh sebab itu bagi ibu untuksementara (bayi belum lahir) hanya boleh menerima 1/6saja, dan yang 1/6 nya lagi ditangguhkan untuk sementara.

99

Jika ternyata bayi itu dua orang, maka ibu hanya menerima1/6 (sebagaimana yang telah diterimanya lebih dahulutersebut). Tetapi bila ternyata bayi itu hanya satu orang,maka ibu mendapat tambahan 1/6 (yang ditangguhkantadi) untuk mencukupi bagiannya yang 1/3 harta.

Dengan demikian, untuk kewarisan bayi dalam kan-dungan ini, kalau jelas, bahwa anak itu telah ada dalamrahim ibunya ketika bapaknya meninggal dunia, dandisyaratkan (pula) ia lahir ke dunia dalam keadaan hidup(bernyawa), maka ada hak waris terhadap bayi tersebut.Jika harta pewaris hendak dibagi-bagikan sebelum anakitu lahir, maka lebih dahulu harus diketahui bagian yangakan diterima masing-masing waris jika ditakdirkan (dium-pamakan) bahwa anak yang dalam kandungan itu hidupdan termasuk dalam salah satu dari tiga perkara, yaitu:a. Anak itu laki-laki, seorang atau lebihb. Anak itu perempuan, seorang atau lebihc. Anak itu kembar, laki-laki atau perempuan

Cara melaksanakan pembahagiannya menurut madzhabSyafi’i, adalah sama dengan apa yang telah dilakukan denganmasalah Khuntsa Musykil dan al Mafqud, yaitu:a. Dilakukan lebih dahulu pembagian warisan dengan

menganggap bahwa kandungan itu adalah satu orang anaklaki-laki dan ia termasuk menjadi waris bersama-samadengan waris-waris yang lainnya.

b. Kemudian dilakukan pula pembagian yang kedua denganmenganggap bahwa kandungan itu adalah satu orang anakperempuan, dan ia termasuk menjadi waris bersama-samadengan waris-waris yang lainnya

c. Kemudian dilakukan lagi pembagian yang ketiga denganmenganggap bahwa kandungan itu adalah dua orang anakperempuan atau lebih, dan mereka termasuk waris-waris

d. Kalau kandungan itu adalah kembar, maka pembagiannyasama dengan yang pertama (jika ia seorang laki-laki danseorang perempun ashobah bi al ghair).

Kewarisan Secara At-Taqdir

100

Buku Ajar Fikh Waris

Kemudian harus diperhatikan/diperbandingkan bagianmasing-masing waris menurut pembagian ketentuan yangpertama, sebagai seorang anak laki-laki atau lebih, kemudianmenurut pembagian yang kedua, sebagai seorang anakperempuan dan kemudian menurut pembagian yang ketiga,sebagai dua orang anak perempuan atau lebih, maka kepadawaris-waris yang termasuk dalam bagian pertama, kedua danketiga yang tersebut di atas hanya boleh mengambil bagianmereka untuk sementara waktu paling sedikit diantaraketentuan-ketentuan di atas.

Kalau ada kemungkinan bahwa ia dalam salah satu daripembagian-pembagian di atas terdinding, maka kepadawaris-waris yang termasuk dalam bagian itu belum dapatdiberikan sedikitpun kepada mereka. Harta yang belumdibagi-bagikan itu ditahan dahulu sampai ia melahirkan. Jikabagi waris-waris itu bagian mereka tidak berubah, makawarisan dapat diberikan kepada mereka. Tetapi bagi warisyang pembagian mereka dalam tiga ketentuan di atasberlainan, hanya boleh mengambil yang paling sedikit.

Jika teryata bayi (dalam kandungan) itu lahir tidak bernyawa,atau ketika sebagian badannya keluar bernyawa kemudianmeninggal, atau keluarnya telah tidak bernyawa (mungkin)disebabkan oleh pemukulan (jinayah) terhadap ibunya ketikahamil, maka warisan yang ditahan (ditangguhkan) untukbagiannya dan bagian warisan yang lain-lain juga ditahansemuanya itu, diserahkan kembali kepada waris-waris, dibagi-bagikan menurut ketentuan pembagian warisan yang seolah-olahbahwa anak dalam kandungan itu tidak ada sama sekali.

B. Kewarisan Khuntsa Musykil (Banci)1. Definisi Khuntsa

Pengertian al Khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambildari kata khanatsa yang berarti “lunak” atau “melunak”118

118 Muhammad Ali Ash Shabuny, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema InsaniPress, Jakarta, 1995, hal. 160.

101

Adapun makna khanantsa menurut fuqaha adalah: seseorangyang mempunyai dua alat kelamin, yaitu alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan (hermaphrodit), atau bahkantidak mempunyai (sama sekali) kedua-duanya alat tersebut,yang ada hanya suatu lubang yang tidak serupa dengankedua-dua alat itu.

Keadaan yang kedua inilah menurut fuqaha dinamakandengan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab,setiap insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas,bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin perempuan.Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas statushukumnya sehingga ia berhak menerima waris sesuaibagiannya.119

Meskipun demikian, seseorang khuntsa (terkadang) adayang masih dapat diketahui atau diidentifikasi jenis kelamin-nya, dan khuntsa seperti ini disebut khuntsa ghairu musykil.Jika seorang khuntsa tidak mungkin lagi untuk diidentifikasijenis kelaminnya, maka orang itu disebut khuntsa musykil.120

2. Kedudukan Hukuma. Sependapat fuqaha bahwa apabila khuntsa itu telah meng-

gunakan salah satu alat (kelamin) itu, atau ia cenderungdan mencintai (seorang laki-laki atau perempuan) makadapat dihukumkan ia laki-laki atau perempuan, dia dina-makan sebagai khuntsa wadhih. Ketetapan bagian warisanyang akan diterimanya adalah berlaku menurut ketetapansebagai laki-laki atau perempuan, dengan memperhatikantanda-tanda itu.

b. Apabila belum dapat dihukumkan laki-laki atau perempu-an, karena tanda-tandanya belum jelas/terang, makadinamakan khuntsa musykil. Fuqaha berbeda pendapatnyadalam hal ini:1) Menurut madzhab Maliki, dia (khuntsa musykil) men-

dapat ½ daripada bagian yang diberikan untuk seorang

Kewarisan Secara At-Taqdir

119Ibid..120 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 171.

102

Buku Ajar Fikh Waris

anak laki-laki dan perempuan. Maksudnya adalah, bancidiberi bagian pertengahan di antara dua bagian itu.Maka masalah dipecah menjadi dua, kemudian bagiandikumpulkan dalam dua bagian dan dibagi dua. Makahasilnya itulah bagian untuk khuntsa musykil tersebut.

2) Menurut madzhab Ahmad bin Hanbal, sama denganpendapat imam Syafi’i, yaitu ditangguhkan/ditunggusampai ada kejelasan, dan sama dengan pendapat imamAbu Hanifah, yaitu memberikan kepada khuntsa musykiltersebut, bagian yang tersedikit diantara dua bagian.

3) Dalam madzhab Hanafi, diberikan kepada khuntsamusykil itu yang tersedikit diantara dua bagian, tidakperlu menunggu/menangguhkan sampai ada kejelasan(laki-laki atau perempuannya).

4) Dalam madzhab Syafi’i: masing-masing dari ahli warisdan khuntsa diberikan bagiannya yang terkecil, karenaia orang yang diyakini bernasab kepada setiap orangdari mereka. Sedangkan sisanya (dari harta waris yangada) disimpan sampai jelas keadaan semestinya.

5) Jika tidak berubah bagian khuntsa musykil dan bagianwaris-waris selainnya, jika dihukumkan khuntsa itu laki-laki atau perempuan, maka ketika itu warisan bisa dibagilangsung menurut ketentuan bagian waris (tidak perluditahan/ditangguhkan), seperti:

Struktur waris:Ibu mendapat 1/6 = 1/6Bapa mendapat 1/6 = 1/61 anak pr. mendapat 1/2 = 3/61 cucu khuntsa mendapat 1/6 = 1/6

Jika cucu khuntsa tersebut dihukumkan sebagaiperempuan, ia mendapat bagian 1/6, karena “takmilatunli tsulutsain” bersama dengan seorang anak perempuan,dan jika ia dihukumkan sebagai laki-laki pun, khuntsaini juga mendapat 1/6 sebagai ashobah bi al nafsi. Bagian

103

khuntsa dan bagian waris-waris selainnya sama, tidakberubah. Maka ketika itu, warisan bisa dibagi langsung,tapa harus menunggu adanya kejelasan khuntsa tadi,apakah ia perempuan atau laki-laki.

6) Jika berubah bagian khuntsa dan bagian waris-warisselainnya, apabila ia dihukumkan sebagai laki-lakidengan jika ia dihukumkan sebagai perempuan. Makaketika itu, boleh dibagikan kepada khuntsa dan kepadawaris-waris selainnya, yaitu bagian warisan yang telahditetapkan/diyakinkan menjadi hak mereka (pasti bagianmereka), yaitu bagian yang paling sedikit diantara duabagian yang berlainan tersebut. Bagian warisanselebihnya, ditahan/ditangguhkan dahulu sampai adakejelasan yang dapat “menghukumkan” bahwa khuntsamusykil itu sebagai laki-laki atau perempuan, atau berda-mai diantara sesama waris dalam pembagiannya, seperti:

1 anak laki-laki mendapat 1/3 = 3/61 anak (khuntsa musykil) mendapat 1/3 = 2/6____________________________________________

Sisa lebih = 1/6 (ditahan)

Jika dihukumkan khuntsa tersebut sebagai anak laki-laki,maka waris ini masing-masing mendapat ½; tetapi jika khuntsatersebut perempuan, maka khuntsa mendapat 1/3, dan anaklaki-laki mendapat 2/3, karena 2:1 untuk anak laki-laki danperempuan (li al dzakari mitslu hadz al untsayain). Ketika ini,yang boleh diberikan/diserahterimakan kepada masing-masing tersebut hanyalah yang paling sedikit. Sisanya yang1/6 lagi ditahan/ditangguhkan sampai ada kejelasan ataudapat dihukumkan bahwa khuntsa tersebut laki-laki atauperempuan. Tetapi jika hendak dibagi-bagikan (langsung)juga, boleh dilakukan dengan jalan perdamaian dinatarasesama waris.

Dari beberapa uraian di atas terkait kewarisan khuntsamusykil ini, menurut pendapat yang paling rajih, hak waris

Kewarisan Secara At-Taqdir

104

Buku Ajar Fikh Waris

yang diberikan kepadanya hendaklah yang paling sedikit diantara dua keadaannya, keadaan bila ia sebagai laki-laki dansebagai wanita. Kemudian untuk sementara sisa harta warisyang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadijelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahliwaris, atau sampai khuntsa itu meninggal sehingga bagiannyaberpindah kepada ahli warisnya.121

Bahkan dalam madzhab imam Syafi’i, jika dalam suatukeadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarena-kan adanya khuntsamusykil dalam salah satu dari dua status(yakni sebagai laki-laki atau wanita), maka si mahjub (padasaat pembagian yang masih belum ada kejelasan mengenailaki-laki dan perempuannya khuntsa), saat itu sama sekalitidak boleh diberikan bagian sedikitpun. Sisa daripada hartawarisan terseut harus dibekukan/ditahan/ditangguhkan.

Ada beberapa kemungkinan (cara) untuk menentukanbesarnya bagia yang akan diterima oleh seorang waris yangkhuntsa musykil, di antaranya adalah:a. Menemukan jenis kelamin orang yang bersangkutanb. Meneliti tanda-tanda kedewasaannyac. Seandainya apa yang diungkapkan pada point (1) dan (2)

tidak dapat ditentukan atau samar-samar, maka para ulamaberbeda pendapat dalam menentukannya, seperti:1) Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-laki

atau perempuan pada khuntsa dan memberi bagianterbesar kepada Ahli waris lain. Pendapat imam Hanafi,Muhammad al Syaibani dan Abu Yusuf.

2) Memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan laki-lakiatau perempuan kepada khuntsa dan ahli waris yanglainnya, dan sisa harta ditangguhkan pembagiannyasampai ada kejelasan. Demikian pendapat ulamaSyafi’iyah, Abu Dawud, dan Ibn Jabir.

3) Memberikan separoh dari dua perkiraaan laki-laki danperempuan kepada khuntsa musykil dan ahli waris lain.

121Ali Ash Shabuny, terj. op cit, hal. 163.

105

Pendapat fuqaha Malikiyah, Hanabilah, Syiah Zaidiyah,da Syiah Imamiyah.

3. Contoh (Cara) Pembagian Warisan Khuntsa MusykilJika seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari

bapak, ibu, seorang anak perempuan, anak (khuntsa musykil).Harta warisannya sejumlah Rp. 3.600.000,-, maka bagianmasing-masing adalah:a. Pendapat pertama:

Perkiraan khuntsa laki-laki: Asal Masalah 6Bapak mendapat 1/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 600.000,-I b u mendapat 1/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 600.000,-

1 anak perempuan dan 1 anak lalki-laki sebagai ashobahbi al ghair mendapat sisanya, yaitu 4/6 x Rp. 3.600.000,- =Rp.2.400.000,- Khuntsa musykil menerima dua kali bagianperempuan, atau 2/3 x Rp. 2.400.000,- = Rp. 1.600.000,-,sedangkan anak perempuan 1/3 x Rp. 2.400.000,- = Rp.800.000,-

Perkiraan khuntsa perempuan: Asal Masalah 6Bapak mendapat 1/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 600.000,-I b u mendapat 1/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 600.000,-2 anak pr. mendapat 4/6 x Rp. 3.600.000,- = Rp. 2.400.000,-

Khuntsa menerima 1/2 dari Rp. 2.400.000,- =Rp.1.200.000,- Jadi bagian yang terkecil dari dua perkiraandi atas adalah bagian perempuan. Sementara bagian ibudan bapak sebesar Rp. 600.000,- dan anak perempuansebesar Rp. 1.200.000,-.

b. Pendapat kedua:Jika contoh di atas diselesaikan menurut cara kedua,

akan dihasilkan:

Kewarisan Secara At-Taqdir

106

Buku Ajar Fikh Waris

Bapak = Rp. 600.000,-I b u = Rp. 600.000,-Anak pr. = Rp. 800.000,-Anak Khuntsa = Rp. 1.200.000,-____________________________________

Jumlah = Rp. 3.200.000,-

Sisa harta sebesar Rp. 400.000,- ditangguhkan ataudiselesaikan sehingga ada kejelasan kelamin dari anakkhuntsa atau diserahkan kepada kesepakatan bersama ahliwaris.

c. Pendapat ketiga:Menurut pendapat ketiga ini, contoh di atas

diselesaikan sebagai berikut:

Bapak = Rp. 600.000,- + 600.000,-/2 = Rp. 600.000,-I b u = Rp. 600.000,- + 600.000,-/2 = Rp 600.000,-1 anak pr. = Rp. 800.000,- +1.200.000,-/2 = Rp.1.000.000,-Anak khuntsa = Rp.1.600.000,-+1.200.000,-/2 =Rp.1.400.000,-_____________________________________________________

Jumlah = Rp.3.600.000,-

C.Kewarisan Mati BersamaBetapa banyak kejadian dan musibah yang menimpa dalam

kehidupan dunia ini, dan bukan hal yang tidak mungkin jikaperistiwa tersebut menyebabkan adanya (kejadian) kematiansecara serentak/bersama diantara kerabat keluarga. Selainmeninggalkan duka mendalam bagi pihak keluarga korban,peristiwa ini juga mengingatkan kita pada persoalan hukum Is-lam (faraidh) yang membahas tentang bagaimana caranyamengurus dan melanjutkan hak dan kepemilikan mereka yangtewas secara bersama ini dalam suatu kejadian yang mungkindisebabkan oleh musibah tertimpa reruntuhan, kebakaran,tenggelam, atau keracunan, atau kejadian-kejadian lainnya yang

107

menyebabkan satu keluarga di dalamnya meninggal dunia,tanpa bisa diketahui mana diantara mereka ini yang lebihterdahulu atau terkemudian meninggalnya.

Tragedi seperti musibah-musibah di atas, tidak luput dariperbincangan fuqaha di belasan abad yang silam. Ini dibuktikanlewat pembahasan-pembahasan mereka terkait dan termuatdalam salah satu bab nya di ilmu faraidh, yang membicarakanperihal “kewarisan mati bersama” A.Hasan dalam al Faraidhmenyebutnya melalui pasal “man yamuutuna jumlatan”122

Masalah semacam ini termasuk salah satu pasal yangmembahas tentan harta warisan yang belum bisa dipastikanbagiannya. Ia juga menjelaskan tentang apa dan bagaimana yangharus dilakukan jika diantara orang-orang yang punyahubungan sebab berhak mewarisi tersebut mati secara serentak,baik disebabkan oleh peristiwa jatuhnya pesawat terbangsehingga menewaskan mereka, atau tenggelamnya kapal yangditumpangi, tertimpa reruntuhan bangunan (karena bencanaalam seperti banjir, gempa bumi, tsunami, atau selainnya),termasuk wabah penyakit, mati dalam peperangan, atauterbakar. Beberapa peristiwa dimaksud dalam hukum waris Is-lam dikenal dengan istilah-istilah Gharqa, Hadma, dan al Harqa.123

1. Pengertian Gharqa, Hadma, dan al HarqaKata Gharqa berasal dari bahasa Arab: artinya

tenggelam, mati tenggelam.124 Hadma dari kata berarti merobohkan.125 Sedangkan Harqa dimaksudkandenganpembaharan.126 Adapun yang dimaksud di sini adalahorang-orang yang mati sebab tenggelam dalam air, mati sebabkeruntuhan bangunan, rumah, keruntuhan gunung, mati

Kewarisan Secara At-Taqdir

122A. Hassan, al Fara’id Ilmu Pembagian Waris, Pustaka Progressif, Surabaya,cet.XIII, 1992, hal. 124

123Muhammad Arief, Hukum Warisan dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya,1986,hal. 79

124 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir, Kamus Arab Indonesia, PustakaProgressif, Surabaya, 1997, hal. 1003

125Ibid, hal. 1495126Ibid, hal. 255.

108

Buku Ajar Fikh Waris

sebab terbakar secara serentak, tidak diketahui siapa diantaramereka yang terdahulu dan terkemudian tentang kematian.127

Musibah lainnya, seperti tsunami, termasuk dalam duapengertian diatas (Gharqa dan Hadma), karena gempa dangelombang pasang telah merobohkan bangunan sekaligusmenenggelamkan dan menewaskan para korbannya.

Sebenarnya mati bersama ini tidak hanya terbatas padakejadian-kejadian tersebut, karena ia punya pengertian luas,dan keluasan pengertian dimaksud membawa adanya penaf-siran terhadap seluruh bentuk kematian yang menewaskanorang secara bersama-sama/beruntun. Baik karena kematianbiasa seperti keracunan makanan dan minuman (kasus fluburung), wabah penyakit yang menimpa suatu keluarga,termasuk mati dalam peperangan, atau musibah-musibahlainnya seperti banjir yang kerap kali melanda bangsa-bangsadi dunia.

2. Menentukan Hidup Matinya SeseorangDalam hukum waris Islam (faraidh), waris mewarisi baru

bisa terjadi jika telah terpenuhinya rukun dan syarat kewaris-an. Seperti matinya muwarrists (pewaris), hidupnya ahliwaris, dan adanya harta penigngalan si mayit yang sebelum-nya telah dikeluarkan hal-hal yang bersangkut paut dengan-nya (tajhiz, hutang, dan wasiat). Selain itu terdapatnyahubungan sebab berhak menjadi ahli waris serta tidakterdapatnya halangan-halangan yang menjadikan seseorangitu tercegah untuk menjadi waris (mawani’ul irtsi).128

Kaitannya dengan berbagai musibah seperti disebutkandi atas, adalah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa hidup danmatinya mereka bisa ditetapkan melalui cara dilihat dandisaksikan, atau bahkan dengan keterangan sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi yang dapat dipercaya. Inilahyang disebut dengan hidup dan matinya seseorang secara

127 Muhamamd Arief, op cit, hal. 79.128 Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, Dar al Tsaqafah al Islamiyyah, jilid III, t.th., hal.

292-294.

109

hakiky; cara pertama yang harus ditempuh dalam menentukanseseorang tersebut bisa dianggap waris atau pewaris. Jika initidak memungkinkan, maka penentuan secara hukmy pun bisadilakukan.129

Apabila dalam musibah tersebut, seseorang (korban)tidak berhasil ditemukan, tentu saja dengan berbagai pertim-bangan seperti umur, lamanya hilang, dan kondisi kejadian,para hakim bisa menempu jalur ijtihad untuk bisa menetap-kan vonis tentang kematiannya. Cara penentuan kematianseperti inilan yang dimaksudkan dengan penentuan kematiansecara hukmy tersebut.130

3. Kaidah Pembagian Warisan Mati BersamaKaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris orang

yang mati bersama baik karena tenggelam atau tertimbunreruntuhan, yaitu dengan menetapkan mana yang lebih dahu-lu meninggal, dan mana yang meninggal lebih kemudian.Apabila ini dapat diketahui, meskipun terdahulu dan terke-mudiannya itu hanya sesaat saja, maka hak waris diberikankepada orang yang meninggalnya lebih kemudian tersebut,dan hartanya dipindahkan kepada ahli waris lain (yanghidupnya lebih kemudian).

Tetapi, jika keduanya meninggal secara bersamaan, tanpadiketahui mana yang terdahulu dan terkemudian, maka tidakada hak waris antara mereka. Hal ini sesuai dengan kaidahyang telah ditetapkan fuqaha yang menyebutkan bahwa”Tidak bisa saling waris mewarisi antara orang yang tenggelamdan tertimpa reruntuhan. Demikian juga dua orang yangbinasa karena suatu peristiwa.” 131

Kewarisan Secara At-Taqdir

129 Adalah mati berdasarkan putusan hakim atau pengadilan, yaitu khusus untukorang-orang yang tidak diketahui hidup/matinya, karena “hilang” tidak diketahuikabar beritanya apakah sudah mati ataukah masih hidup, karena tidak ada kejelasantentang itu.

130 Muhamamd Ali Ash Shabuny, al Mawarits fi al Syariat ‘Ala Dhauil Kitab wa alSunnah, terj. AM. Basalamah, Pembagian Waris Menurut Islam, Gema Insani Press, Jakarta,hal. 40.

131 Ibid, hal. 230.

110

Buku Ajar Fikh Waris

Hal yang demikian, menurut fuqaha disebabkan karenasyarat-syarat mewarisi (siapa waris dan siapa pewaris) tidakjekas. Seperti halnya disebutkan dalam Nazham Rahbiyyah:

“Apabila sekelompok orang meninggal disebabkan tertimpareruntuhan, tenggelam,

Atau malapetaka yang menimpa semuanya, seperti kebakaran,dan tidak diketahui orang yang mati lebih dahulu dari mereka. Maka diantara orang yang tewas dari mereka tidak saling

mewarisi.Dan anggaplah mereka itu seolah-olah orang lain,Maka begitulah pendapat yang tepat lagi benar.”132

4. Pendapat Fuqaha tentang Kewarisan Mati BersamaJika terjadi suatu malapetaka yang membawa korban

bersama antara waris dan pewaris, baik karena sebab-sebabseperti yang disebutkan terdahulu, maka ada dua pendapatyang diperselisihkan fuqaha mengenai hak kewarisannya:a. Antara mereka (yang punya hubungan mewaris tersebut)

tidak saling mewarisi satu sama lain. Sehingga harta yangtertinggal menjadi milik ahli waris masing-masing korban.Maka harta warisan suami diserahkan kepada ahli wairs-nya sendiri, seperti orang tua atau saudara-saudaranyayang masih hidup. Begitu juga harta warisan istri diserah-kan pada waris istri yang masih ada dan berhak, ataudiserahkan pada Baitul Mal jika mereka tidak punyakerabat. Demikian sebagaimana pendapat fuqaha dan

132Ibid, hal. 231.

111

imam-imam madzhab seperti imam Abu Hanifah, fuqahaMadinah bersama pengikutnya, imam Malik dan imamSyafi’i,133 Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesirtahun 1943 mengambil oper pendapat tersebut, danmencatumkannnya dalam pasal 3 berikut:

“Apabila kedua orang mati dan tidak diketahui siapakah diantarakeduanya yang mati duluan, maka tidak ada hak bagi salah seorangdari keduanya terhadap harta peninggalan yang lain, baik kematiankeduanya dalam suatu peristiwa yang sama maupun tidak”134

Argumentasi yang dikemukakan oleh jumhur sebagaipenguat dari pendapat pertama ini adalah:1) Atsar yang diriwayatkan oleh Kharijah bin Zaid bin

Tsabit dan ayahnya yang mengatakan:

“Abu Bakar Ash Shiddieq ra. telah memeritahkan kepadaku untukmembagikan harta pusaka para korban perang Yamamah. Kemudianaku membagikan harta pusaka kepada keluarga-keluarga si korban yangmasih hidup dan aku tidak membagikan harta pusaka kepada parakorban itu sendiri satu sama lain. Dan aku diperintahkan juga olehUmar ra. untuk mambagikan harta pusaka para korban penyakit tha’un‘amwas (wabah besar) dimana saat itu qabilah pada mati karenanya.Kemudian aku membagikan pusaka kepada keluarga-keluarga si korbanyang masih hidup, dan aku tidak membagikan harta pusaka kepadapara korban itu sendiri satu sama lain.”135

Kewarisan Secara At-Taqdir

133 Fatchur Rahman, op cit, hal. 520.134Ibid, hal. 521.135Ibid, hal. 317.

112

Buku Ajar Fikh Waris

2) Sebab-sebab untuk memperoleh atau memindahkanharta warisan tersebut kepada satu pihak dari pihaklainnya (korban yang punya hubungan mewaris danmati bersama) tidak diketahui secara yakin, berkaitantidak diketahuinya mana yang dahulu dan kemudianmatinya. Padahal hal untuk memiliki dari pewarisan ituharus dilandasi oleh sebab yang meyakinkan. Karenakenyataan sebaliknya maka kepemilikan tidak bisadipindahkan atas dasar syak.136

3) Alasan lain yang memperkuat pendapat pertama iniadalah didasarkan pada pernyataan bahwa merekadianggap mati bersama (tidak ada jalan untuk bisamengambil alih milik pewarisnya sementara dia sendiritidak hidup pada saat matinya).

b. Pendapat kedua sebaliknya, mereka bisa saling mewarissatu sama lain. Hanya pada harta benda yang ada padamereka, bukan harta benda yang mereka warisi dari salahsatu pihak. Pendapat ini masih bersyarat dengan selamanyatidak terjadi gugat menggugat, dakwa mendakwa tentangterkahirnya kematian pewaris mereka. Jika syarat ini terjadidalam kasus baik dengan atau tanpa bukti dan masing-masing pihak saling menolak, maka dalam keadaansemacam ini pelopor dan pendukung kelompok pendapatkedua inipun sependapat dengan pendapat yang pertamayang menyatakan tidak saling mewarisi. Pendapat yangkedua ini disponsori oleh Ali bin Abi Thalib yang kemudiandiikuti oleh Asy Syuraih dan Asy Sya’by, imam Ahma binHanbal. Iyas, ‘Atha, Al Hasan dan Ibnu Abi Laila.137

5. Illustrasi Contoh dan penyelesaiannyaSesuai dengan adanya pendapat fuqaha tentang kewarisa

mati bersama, berikut ini penulis berikan satu contoh kasusyang penyelesaiannya menurut dua pendapat di atas. Dua

136 T.th., hal. 522.137 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, 1975, hal. 522.

113

orang kakak beradik tenggelam bersama dalam musibahgelombang pasang tsunami yang menewaskan mereka.Masing-masing meninggalkan harta warisan sebesar Rp.90.000,- dan meninggalkan ahli waris masing-masing terdiridari: ibu, seorang anak perempuan, dan seorang paman(saudara laki-laki ayah yang disebut “amun”).a. Penyelesaian menurut pendapat pertama (Zaid bin

Tsabit):Masing-masing ahli waris dari kakak beradiktersebut, mendapat bagian:

* Karena kakak beradik tersebut mempunyai seorang pamanyang sama orangnya (E), maka (E) mendapat Rp. 30.000,-,dari keponakannya (B) dan Rp. 30.000,- lagi darikeponakannya (C). Total perolehan paman dalm kasus iniadalah Rp. 60.000,-

b. Penyelesaian ini menurut pendapat kedua (Ali dan IbnuMas’ud dalam satu riwayat):1) Pertama-tama yang tertua (kakak) dihuumkan mati

terdahulu, maka:

Kewarisan Secara At-Taqdir

114

Buku Ajar Fikh Waris

2).Kedua, yang termuda (adik) dihukumkan mati terda-hulu, maka:

Oleh karena dalam kenyataannya kedua saudara tersebutsudah sama-sama meninggal dunia, maka masing-masingsaudara tersebut masih memiliki harta peninggalan sebesarRp. 30.000,- hasil dari saling mewarisi antara dua belah pihak.Sisa ini kemudian diwariskan kepada ahli waris masing-masing, seperti ahli waris adik (C), ibu mendapat 1/6 = 1/6 xRp. 30.000,- = Rp. 5.000,-, seorang anak perempuan ½ = 3/6 xRp. 30.000,- = Rp. 15.000,-, paman sisanya (sebagai ashobah)= Rp. 30.000,-. Demikian (sama) terhadap ahli waris kakak(B).

Membahas tentang masalah kewarisan, pasti terbersitdalam benak pikiran akan beberapa hal seperti: adanya yangmeninggal (orang yang mewariskan), ada yang hidup selaku

115

orang yang mewarisi, dan ada harta peninggalannya yangakan dibagi terhadap ahli waris. Selanjutnya yang munculpertama itu biasanya pertanyaan, berapa jumlah hartanya dansiapa saja ahli warisnya.?

Islam memalui aturan kewarisannya, telah memberikanketentuan yang sedemikian rinci mengenai masalah kewaris-an ini. Jika suatu rukun dan syarat telah terpenuhi, maka hartawarisan harus diselesaikan dengan memperhatikan ketentu-an-ketentuan yang ada, baik yang bersumber dari al Qur’ansendiri ataupun dari hadits Nabi saw., dan tidak menutupkemungkinan melalui hasil ijtihad fuqaha yang telah menjadiijma’ ulama.

Terkait dengan kewarisan dan mati bersama, kasusgempa dan tsunami misalnya, dalam konsep fikih waris(faraidh) dikenal dengan istilah gharqa, dan hadma yangpenyelesaiannya sudah digagas fuqaha terdahulu. Gharqa danhadma yang bermakna tenggelam dan roboh selaras dipadan-kan dengan kejadian tersebut karena musibah ini menelankorban dengan tenggelamnya ratusan ribu manusia sertamerobohkan bangunan yang ada, sekaligus menimbun ribuanjiwa diantara reruntuhan tersebut. Walaupun pengertian matibersama ini cukup luas ruang lingkupnya, tetapi untuk gempadan tsunami, penamaan atau istilahnya disebut langsungdalam bahasa fikih.

Kasus seperti ini, peristiwa kematiannya bisa ditentukanlewat penentuan yang hakiky, karena bisa dilihat dan disaksi-kan oleh orang banyak, dan barangkali bisa dimungkinkancara penentuan kematian melalui hukmy akan ditempuh. Jikatelah berlalu masa-masa pencarian orang/mereka yang tidakdiketahui kejelasannya, tentang hidup dan matinya, karenamayatnya tidak ditemukan misalnya.

Peristiwa yang melibatkan sebagian atau seluruh anggotakeluarga mati bersama ini, dalam konsep faraidh dimunculkansatu kaidah yang bisa dipegangi untuk penyelesaian masalahkewarisannya, yakni: jika dalam suatu kasus tersebut masihbisa diketahui mana di antara mereka itu lebih dahulu dan

Kewarisan Secara At-Taqdir

116

Buku Ajar Fikh Waris

terkemudian matinya, maka dalam hal ini, dapat ditentukansiapa waris dan pewarisnya, meski hidup (terkemudiannya)hanya sesaat. Karena yang demikian masih dapat dihubung-kan dengan rukun dan syarat-syarat kewarisan.

Kaidah penyelesaian kewarisan mati bersama tersebuterat kaitannya dengan dua versi pendapat yang ada dalamkewarisan ini. Dua pendapat dimaksud adalah:a). Mati bersama di antara orang yang punya hubungan

mewarisi, seperti suami istri, orang tua dengan anak,sesama saudara, menurut pendapat kebanyakan karenadidukung oleh oleh kelompok mayoritas, mereka sati samalain tidak saling mewarisi. Harta yang tertinggal diserahkankepada masing-masing ahli waris korban. Pendapat yangterpilih ini memperkuat lasan mereka dengan beberapaargumentasi yang lebih rasional. Karena menurut merekaperpindahan hak dan kepemilikan dari seorang pewarispada sesuatu yang di dalamnya terdapat syak. Lebih-lebihlagi ada atsar yang bias dijadikan sandaran untuk itu.Ditambah dengan pernyataan bahwa kasus tersebuthendaknya dianggap sebagai mati bersama, karena tidakada jalan untuk mengetahui siapa di antara mereka yanglebih dahulu dan kemudian meninggalnya.

b). Pendapat yang kedua (nyaris tidak ada), karena pendapatkebalikan yang menyatakan bahwa mereka saling mewarisitersebut, masih disyarati dengan “jika tidak terjadi salingdaku-mendaku, mengakui tentang terkahirnya kematianmuwarrits (pewaris) mereka, baik dengan atau tanpa bukti”.Ini mengisyaratkan bahwa sepanjang terdapatnya perseli-sihan sesame keluarga korban tentang siapa yang berhakdan tidaknya menjadi waris, maka dalam keadaan sepertiini pendapat keduapun akan bersesuaian dengan pendapatyang pertama, yaitu warisan akan diberikan kepadamasing-masing keluarga korban. Antara mereka tidaksaling mewarisi.

Dari beberapa literature waris Islam, tampak pendapatpertama inilah yang dianggap lebih rajih, karena selain

117

didukung oleh pendapat kebanyakan dari kalangan fuqaha,ternyata Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) jugamengatur tentang ini, sebagaimana tercantum dalam salahsatu pasalnya, yaitu pasal 831 yang menyebutkan:

“Jikalau ada beberapa orang meninggal (tewas) oleh karena suatukecelakaan yang serupa, ataupun pada suatu hari itu juga, tanpadiketahui siapa diantara mereka yang terlebih dahulu matinya, sedangorang-orang yang mati itu satu sama lainnya berhak mewarisi, makaharuslah mereka disangka meninggal pada saat yang sama dan tiadaharus terjadi peralihan (penurunan) warisan dari satu kepada yanglainnya.” (Nomor 836, 894, 1916).

D.Kewarisan Mafqud (Orang yang Hilang)1. Pengertian Mafqud dengan Keadaan (Alternatifnya)

Al Mafqud, dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna“hilang”, atau lenyap (adh dhai’u). Dkatakan faqadatis syai-u idza ‘adhamathu (sesuatu dikatakan hilang apabila ia tidakada). Allah swt. Berfirman:

“Penyeru-penyeru itu berkata: Kami kehilangan piala-piala raja...”(Q.S. Yusuf ayat 72).

Dalam bahasa Arab al Mafqud merupakan isim maf’uldari kata

Yang artinya hilang.138

Secara istilah, ada beberapa pengertian yang telah dike-mukakan, dia antaranya: al mafqud adalah orang yang tidakdiketahui keberadaannya setelah sekian waktu menghilangdari tempatnya.139 Atau orang yang hilang, terputus beritanya,dan tidak diketahui rimbanya apakah dia masih hidup atau

138 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara PenterjemhaPenafsiran al Qur’an, Jakarta, 1973, hal. 280. Ahmad warson al Munawwir, KamusArab Indonesia, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997, cet. XIV, hal. 1066, menyebutnyadengan faqada faqdan wa fuqdanan, berarti kehilangan.

139 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab, Bakti Press, Jakarta, 1988,al. 108. Senada dengan pegertian ini, lihat A. Sukris sarmadi, Transendensi KeadilanHukum Waris Islam Transformatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hal. 234.

Kewarisan Secara At-Taqdir

118

Buku Ajar Fikh Waris

sudah mati.140 Sehingga dalam istilah fiqh al mafqud bermakna“orang hilang,” sebab tidak diketahui kabar beritanya karenatelah meninggalkan tempat tinggalnya, tidak dikenal domisi-linya dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudahmati.141

Dari beberapa pengertian, baik yang ditinjau dari aspekbahasa ataupun istilah, al mafqud dimaksudkan sebagaisebutan terhadap orang yang tidak diketahui kejelasantentang hidup dan matinya, oleh sebab menghilangnyaseseorang tanpa diketahui lagi keberadaan dan domisilinya.Namun yang lebih ditekankan dalam konteks ini adalahpersoalan mengenai ketidakjelasan hidup dan matinyaseseorang yang hilang tersebut.142

Dalam kondisi yang tidak jelas demikian, sudah tentuperlu diambil langkah-langkah untuk mengetahuinya, ataupaling tidak menetapkan status hukumnya, baik melaluipengumuman pada media massa, melaporkan kepada pihakyang berwajib, atau melalui cara-cara lainnya.143 Olehkarenanya, pengertian ini tampaknya (secara khusus) lebihdihubungkan dengan persoalan tentang penetapan kematiansi mafqud secara hukum.144

Bertolak dari keadaan mafqud yang serba tidak jelassebagaimana pengertian di atas, fuqaha telah menetapkanbeberapa hukum terkait dengan masalah ini, diantaranyayang berhubungan status istrinya, hartanya dan statuskewarisannya.145 Dua di antara keadaan (alternatif) ini, yaitu

140 Muhammad Ali Ash Shabuny, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘ala DhauilKitab wa al Sunnah. 1399 H./1979, cet. Ke 2, hal. 196.

141 Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 138.Lihta juga Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, SinarGrafika, Jakarta, 1995, hal. 63.

142 Wahbah al Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu, Dar al Fikr, t.th., juz VIII,hal. 419.

143 Ahmad Rofiq, loc cit.144Sayyid sabiq, Fiqh al Sunnah, terj. Mudzakir AS, PT. Alma’arif, Bandung, 1993,

hal. 281.145 Wahbah al Zuhaily, loc cit. Khusus yang berhubungan dengan status istri si

mafqud, istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan, sampai ada kejelasan tentang hidupdan matinya.

119

yang berhubungan dengan status harta dan kewarisannya,akan dijelaskan pada sub-sub bahasan berikutnya.

Penyelesaian terhadap beberapa alternatif keadaan simafqud, menghendaki adanya kejelasan tentang hidup ataumatinya. Sehingga, baik status istri, ataupun harta dankewarisannya, yang (tadinya tidak boleh diusik sama sekali)dapat diberikan ketetapan hukumnya terkait dengankebolehan istri (si mafqud) untuk dinikahi/dinikahkan, ataukebolehan untuk membagi dan menyelesaikan hartapeninggalannya.

Penetapa hukum yang berhubungan dengan persoalanitu, dapat ditempuh melalui fakta dan dasar pertimbanganyang dapat menjelaskan statusnya, apakah ia bisa dihukum-kan masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selamawaktu tertentu (melewati suatu masa dan diperkirakan secaraumum bahwa dia telah mati, sehingga hakimpun telah mem-vonisnya sebagai orang yang dianggap mati.146 Sebab yangdemikian masih harus dikukuhkan lagi oleh keputusanhakim.

Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yangmasih hidup berdasarkan asalnya (istishhab al hal), hinggabenar-benar tampak dugaaan sebaliknya (yakni benar-benarsudah mati). Yang demikian itu berdasarkan ucapan Ali binAbi Thalib ra. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidakdiketahui rimbanya. Ali berkata: “Dia adalah seorang istriyang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidakhalal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yangmeyakinkan akan kematian suaminya.147

2. Batas waktu Penentuan untuk Memutuskan MafqudMeninggal

Dalam konteks status harta dan kewarisan mafqud, fuqahajuga telah menetapkan hukum-hukum bagi orang hilang,

Kewarisan Secara At-Taqdir

146 Muhammad Ali ash Shabuny, terj. AM. Basalamah, Pembagian Waris MenurutIslam, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal. 172-173.

147Ibid, hal. 173.

120

Buku Ajar Fikh Waris

yaitu harta si mafqud tidak boleh dibagi-bagikan, atau tidakboleh dibelanjakan hak-haknya sampai diketahui keadaannyadengan jleas tentang hidup dan atau matinya. Hartanya wajibditahan dulu sampai tiba saatnya ada berita yang jelas bahwasi mafqud dihukumkan sebÔgai orang yang tidak mungkinhidup lagi.

Dengan kata lain, hukum asal si mafqud itu adalah“hidup” sesuai dengan kaidah danoleh karenya, hartanya tidak boleh dibagi-bagikan sampai adakejelasan mengenai kematiannya. Ada dua pertimbanganhukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan sta-tus hukum orang yang hilang, apakah ia masih hidup atausudah meninggal, yaitu dengan berdasarkan pada bukti-buktiotentik yang dapat diterima secara syar’i. Hal ini didasarkanatas kaidah yang tetap berdasarkanbukti seperti yang tetap berdasarkan kenyataan.”

Misalnya ada dua orang yang adil dan dapat dipercayamemberikan kesaksian bahwa seseorang yang hilang itu telahmeninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasarpersaksian tersebut untuk memutuskan status kematiannya.Dalam kapasitasnya sebagai pewaris, jika hakim telahmemutuskan hukum, maka harta peninggalannya dapatdibagikan terhadap ahli warisnya.

Pertimbangan hukum kedua, yaitu dengan mendasarka-nnya pada batas waktu lamanya kepergian (hilangnya) or-ang tersebut. Sebagaimana disebutkan terdahulu, vonis hakimterkait dengan penetapan kematian mafqud, atau yang dike-nal dengan istilah mati hukmy ini bertolak dari batas waktu(berlalunya masa-masa tertentu) untuk dapat diputuskan,apakah seseorang yang hilang tersebut telah meninggal ataumasih hidup. Untuk itu, fuqaha tampaknya berbeda pendapatdalam menentukan yang demikian.

Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa oranghilang dapat dianggap mati, jika orang yang sepadan dengan-nya atau orang yang sama-sama masa kelahirannya (sebaya)meninggal. Dengan kata lain, tidak ada lagi orang yang satu

121

generasi dengannya, tanpa harus menetapkan waktu mening-gal orang yang hilang. Apabila tidak bisa diketahui dengancara ini, maka diperkirakan dengan waktu.148

Ada yang mengatakan 120 tahun, 100 tahun, dan 90tahun. Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pene-tapan waktu itu diserahkan kepada wali al amr.149 Dialah yanghaurs memilih waktunya, sesuai dengan tempat dan zaman-nya. Fatwa yang menyebutkan 90 tahun itu, terhitung darimasa kelahiran orang yang hilang.

Syafi’i menurut pendapatnya yang shahih menyatakanbahwa, batasan waktu tidak bisa ditetapkan dengan waktutertentu. Jika hakim telah memutuskan kematiannya berda-sarkan hasil ijtihadnya dengan memperhatikan batas usianyayang pada umumnya orang yang sebaya dengannya sudahmeninggal, maka dapat diputuskan bahwa al mafqud sudahmeninggal.150

Malikiyah berpendapat bahwa menganggap orang yanghilang itu mati, dalam hal berhubungan dengan hartanya,adalah pada umur kebanyakan manusia, yaitu 70 tahun.Pendapat ini merupakan pendapat yang rajih atau terkuat.Usia manusia, khususnya umat nabi Muhammad saw. beradapada interval 60 sampai 70 tahun, seperti yang tersebut dalamsebuah riwayat (dalam lafadz hadits secara umum) yangmenyatakan, “umur umatku itu berkisar antara 60 sampai 70tahun.” Dalam madzhab ini pula disebutkan bahwa keputus-an mengenai pembatasan tersebut diserahkan kepada qadhisesuai situasi dan kondisi saat itu.151

Diberitakan pula bahwa menurut imam Malik jika sese-orang yang hilang di negara Islam tanpa diketahui beritanya,

Kewarisan Secara At-Taqdir

148 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar mesir, Ahkam al Mawarits fi alFiqhi al Islamy, Maktabah ar Risalah al Dauliyah, Mesir, 2000-2001, terj. Addys Aldizardan Fathurrahman, Hukum Waris, Senayan Abadi Publishing, Jakarta, 2004, Maret, ct.Pertama, hal. 377.

149 Orang yang ahli dalam suatu urusan.150 Muhammad Ali Ash Shabuny, Hukum Kewarisan Menurut al Qur’an dan Sunnah,

terj. Hamdan Rasyid, Dar al Kutub al Islamyah Indonesia, t.h., hal. 243.151 Lihat kutipan berikutnya tentang pendapat Hanabilah yang juga mendasarkan

pada riwayat (lain) dari imam Malik ini.

122

Buku Ajar Fikh Waris

maka istrinya boleh mengadukan halnya ke hakim setempatyang kemudian berusaha mencarinya dengan segala cara yangmemungkinkan mendapatkan informasi tentang keberadaan-nya. Jika tidak berhasil maka hakim memutuskan masa empattahun bagi istri itu untuk menunggu. Jika masa itu telah lewat,maka istri beriddah sebagaimana iddahnya152 perempuan yangditinggal mati suaminya. Setelah itu, istri tersebut boleh meni-kah dengan laki-laki yang lain.

Sementara itu, ulama Hanabilah berpendapat bahwatenggang waktu yang akan diputuskan oleh qadhi tentangkematian orang yang hilang, bebreda-beda menurut perbeda-an situasi dan kondisi yang dapat menyebabkan kematianatau sebaliknya, dapat menyebabkan orang yang hilangtersebut selamat. Dua keadaan yang dimaksudkan mempu-nyai konsekuensi terhadap perbedaan atas batas waktupenentuan kematian si mafqud.

Keadaan pertama, orang yang diperkirakan selamat,diantaranya adalah orang yang hijrah ke negeri asing untukmencari rezeki, orang yang pergi bertamasya, berdagang,berhaji, atau menuntut ilmu.153 Dalam kondisi demikian,tenggang waktu yang akan diputuskan oleh qadhi mengenaikematiannya diserahkan kepada wali al amr atau orang yangmewakilkannya.

Sebelumnya, telah dilakukan upaya penyelidikan danpencarian secara optimal, untuk mengetahui dengan pastiapakah ia masih hidup atau sudah meninggal. Untuk keadaan

152 Hikmah yang terkandung dalam perintah iddah ini cukup banyak, antara lainrahim wanita menjad bebas dan bersih sehingga tidak terkumpul di dalamnya airmani dari dua orang laki-laki atau lebih pada satu rahim. Sebab jika demikiankeadaannya, berarti keturunan akan bercampur, dan ini sangat berbahaya serta tidakdiridhai oleh syariat Islam, dan tidak diterima oleh akal yang sehat. Selain itu iddahmenunjukkan penghormatan dan pengagungan akad nikah, memperpanjang masakemungkina ruju’ bagi suami yang mentalak istrinya (talak raj’iy). Di samping itu,iddah mengandung hikmah memperbesar penghormatan terhadap hak suami jikasuami tersebut berpisah karen meninggal dunia, (seperti kasus mafqud yang matihukmy), dan menunjukkan rasa berduka cita atas kematiaannya. Yang lebih pentingadalah berhati-hati terhadap hak suami baru sehingga jelas. Lihat Sayyid sabiq, opcit, hal. 282.

153 Sayyid Sabiq, op cit, hal. 282.

123

yang seperti ini, sebagian ulama Hanabilah memberikanbatasan waktu 90 tahun sejak orang itu hilang atau 70 tahun.Bahkan, ada di antara mereka yang menyatakan sampai 120tahun. Pendapat kedua, menyerahkannya kepada hasil ijtihadhakim yang kemudian memeriksanya. Hasil ijtihad itulahyang dipergunakan untuk memutuskan keberadaan si mafqudtersebut.

Keadaa kedua, orang yang hilang diperkirakan tidakselamat atau meninggal, di antaranya adalah orang yanghilang di daerah yang tidak aman dan sering terjadipembunuhan atau perampokan, orang yang pergi perang(hilang di medan perang atau sesudah penyerangan), danyang lainnya.154 Dalam kondisi yang demikian, seluruhkerabatnya diharuskan menunggu selaam empat tahun sejakorang itu hilang. Apabila dalam tenggang waktu itu tetaptidak ada kabar, qadhi boleh memberikan keputusan menge-nai kematiannya, dan orang itu dianggap telah meninggalsejak keputusan qadhi ditetapkan.155

Pendapat ini diberikan oleh ulama Hanabilah berdasar-kan riwayat dari imam Malik yang menyebutkan, bahwa istridari orang yang hilang di wilayah Islam, hingga tidak dikenalrimbanya, dibolehkan mengajukan gugatan kepada hakimguna mencari tahu kemungkinan-kemungkinan dan dugaaanyang dapat mengenali keberadaannya atau mndapatkaninformasi secara jelas melalui sarana dan prasarana yang ada.

Jika langkah tersebut juga mengalami jalan buntu, makasang hakim dapat memberikan batasan waktu bagi istritersebut selama empat tahun untuk menunggu. Bila masaempat tahun itu telah berlalu, dan orang yang hilang (mafqud)itu belum juga ditemukan atau dikenali rimbanya, makamulailah ia untuk menghitung iddahnya sebagaimana

Kewarisan Secara At-Taqdir

154 Sayyid sabiq menambahkan dengan contoh orang yang hilang di antarakeluarganya, misalnya dia pergi untuk sholat isya’ akan tetapi dia tidak kembali,atau pergi untuk urusan yang dekat akan tetapi dia tidak kembali dan tidak diketahuikabar beritanya.

155 Bagi istri si mafqud, ia diharuskan beriddah dengan iddah wanita yang ditinggalmati sumai dan boleh menikah lagi setelah iddahnya berakhir. (habis).

124

Buku Ajar Fikh Waris

lazimnya istri yang ditinggal mati suaminya, yakni empatbulan sepuluh hari. Jika usai masa iddahnya, iapundiperbolehkan untuk menikah lagi.156

Dalam Muwattha, teks lengkapnya diungkapkan sebagaiberikut:

Mengkhabarkan kepadaku Yahya dari Malik dari Yahyabin Sa’id dari sa’id bin Musayyab sesungguhnya Umar binKhattab berkata: “setiap wanita yang ditinggalkan pergisuaminya yang tidak diketahui dimana berada, maka iadiminta menanti empat tahun. Kemudian setelah itu beriddahempat bulan sepuluh hari dan kemudian ia menjadi halal.”

Hal tersebut juga pernah diputuskan oleh Umar dalamkasus seorang laki-laki yang hilang disembunyikan oleh jin.Umar menyuruh istri laki-laki itu menunggu selama empattahun terhitung sejak si istri melapor. Pendapat ini jugadiriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dari Utsman dan IbnuAbbas serta Ibnu Umar.

Kitab Undang-Undang Warisan Mesir mengambilpendapat imam Ahma perihal mafqud yang bepergian ketempat yang memungkinkan dia mati, sehingga ditetapkanbatas waktunya empat tahun. Undang-Undang ini jugamengambil pendapat selain imam Ahmad berkaitan denganmasalah penyerahan urusan si mafqud kepada hakim dalamsituasi dan kondisi yang lain.

Dalam pasal 21 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1929terdapat ketentuan berikut: “Ditetapkan kematian mafqudyang bepergian ke tempat yang memungkinkan dia matisesudah empat tahun dari tanggal kepergiannya. Adapundalam segala situasi yang lain, maka urusan batas waktu yang

156 Muhammad Ali Ash Shabuny, op cit, hal. 173-174.

125

sesudahnya ditetapkan kematian mafqud itu diserahkankepada hakim. Hal itu semua dilakukan setelah diadakanpenyelidikan mengenai dia dan segala cara yang mungkindan menyampaikan kepada pengetahuan apakah si mafquditu dalam keadaan hidup atau mati.”

3. Masalah Hakim dan Pengadilan Terkait PenentuanKematian Hukmy Disertai Illustrasi Contoh

Berdasarkan uraian terdahulu tentang batas waktupenentuan seorang mafqud dapat dihukumkan sebagai orangyang telah meninggal, tampak bahwa dari beberapa pendapatfuqaha, menghendaki adanya keterlibatan pihak lain dalamupaya penetapan kematiannya sebagai persyaratan kebolehanuntuk menyelesaikan harta dan kewarisannya.

Meskipun fuqaha dalam penentuannya memperioritas-kan pada masalah “melihat orang-orang yang sebaya dengansi mafqud,” kemudian batas waktu atau usia dan lamanya(masa) hilang hingga mencapai 60 tahun, 70 tahun, 90 tahun,atau bahkan 120 tahun, atau dengan memperhatikan padakondisi dan kejadian yang memungkinkan dua keadaan simafqud, namun penetapan yang demikian (sepertinya) barudipandang memiliki kekuatan hukum jika diselesaikan olehorang yang lebih mengetahui dan ahli dalam urusan ini.

Wali al amr atau qadhi atau hakim dimaksudkan sebagaiorang yang berkompeten untuk itu. Secara otomatis yangdemikian juga mengisyaratkan adanya unsur lain terkaitdengan mereka ini, yakni pihak pengadilan. Sebab hakim atauqadhi dalam menyelesaikan ini tentunya melalui proses,seperti pemeriksaan, pembuktian hingga sampai padakeputusan dan penetapan.

Sebagaimana halnya dalam madzhab Syafi’i, meskidinyatakan bahwa batas waktu 90 tahun bagi orang hilangitu, masih dihubungkan dengan melihat umur orang-orangyang sebaya di wilayahnya. Namun pendapat yang palingshahih menurut anggapan imam Syafi’i ialah bahwa bataswaktu tersebut tidak dapat ditentukan atau dipastikan. Akan

Kewarisan Secara At-Taqdir

126

Buku Ajar Fikh Waris

tetapi, cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat olehhakim, kemudian divonisnya sebagai orang yang telah mati.157

Itu artinya, batas waktu dan lamanya masa hilang hinggamencapai umur yang menurut kebanyakan (teman-temansegenerasinya), orang bisa dihukumkan mati, hanyalahsebagai bahan pertimbangan bagi hakim dalam memprosespenyelsaian untuk suatu keputusan atau penetapan kematianterhadap mafqud. Karena menurut imam Syafi’i, seoranghakim sebelum memvonis orang yang tidak diketahuirimbanya ini sebagai orang yang meninggal, mempunyaikeharusan untuk berijtihad.158

Secara khusus menurut pendapat ini memang tidakmenyebutkan mengenai adanya penetapan hakim melaluisurat kematian, namun yang esensi dari ketentuan tersebutberkaitan dengan seorang laki-laki yang hilang (mafqud). AsySyafi’i berpendapat bahwa apabila suami keluar ke tempatyang tersembunyi, atau tidak diketahui disebabkan hilangakal, atau keluar dan tidak terdengar lagi beritanya, ataudengan kendaraan di laut dan tidak terdengar juga beritanya,

157 Muhammad Ali Ash Shabuny, Al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘Ala DhauilKitab wa al Sunnah, Terj. Zaini Dahlan, Hukum Waris Menurut al Qur’an dan Hadits,Trigenda Karya, bandung, 1995, cet. Pertama, hal. 223.

158 Sesuai persyaratan hakim yang begitu ketat seperti: laki-laki, berakal, Islam,adil, berpengetahuan tentang pokok-pokok hukum agama dan cabang-cabangnya,serta dapat membedakan yang hak dari yang bathil, sehat pendengaran, penglihatandan ucapan. Lihat Muhammad salam Madkur, al Qadhaau fi al Islam, alih bahasa olehImron, Peradilan dalam Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1993, cet. Keempat, hal. 53-60.Al Nuwairi mengutip pendapat Husain al Halimi dalam kitabnya Nihayatul Arab, juzVI, menyebutkan persyaratan qadhi itu dengan: orang yang berpengetahuan (memilikiilmu), tenang dan tabah, memiliki pemahaman (wawasan), sabar dan santun, adil,dapat dipercaya, bersih dari pamrih-pamrih yang rendah, jauh dari hasrat-hasrat yanghina, keras dan kuat dalam taqarrubnya kepada Allah, sangat menjaga diri takutterjatuh dala murka-Nya, bukan penakut dan lemah karena orang seperti itu tidakberwibawa, tidak sombong karena tidak akan dipatuhi, sederhana dan terpilih(manusia pilihan). Memperhatikan beratnya persyaratan menjadi seorang qadhi atauhakim itu, jelas bahwa apa yang telah dihasilkan melalui buah pemikirannya yangdalam dan ahli, tidak diragukan lagi ijtihad yang dihasilkannya dalam memberikansatu keputusan atau penetapan terhadap sesuatu (termasuk persoalan penetapan matihukmy dalam kasus mafqud), betul-betul diyakini keshahihannya dan tentu sajamemiliki kekuatan hukum untuk ditaati atau dilaksanakan oleh pihak-pihak terkaitdan berkepentingan.

127

atau datang berita bahwa ia terlihat tenggelam tetapi tidakyakin bahwa ia benar-benar tenggelam, maka istri tidak bolehberiddah dan tidak boleh menikah selama-lamanya sampaiwanita tersebut benar-benar yakin tentang meninggalnyasuaminya tersebut, kemudian ia beriddah dari hari diyakinimeninggalnya suami dan wanita itu mewarisinya serta tidakperlu beriddah wafat.159

Demikian pula halnya dengan pendapat fuqaha Hanabyang berhubungan dengan masalah hilangnya seseorang itubukan dalam kemungkinan meninggal, selain menunggusampai diperkirakan umurnya mencapai 90 tahun, merekajuga menyerahkan selurh persoalan ini kepada ijtihad hakim.Kapan saja hakim memvonisnya, maka itulah yang berlaku.Pendapat ini selain dipilih oleh Az Zaila’i (ulama madzhabHanafi), juga telah disepakati oleh kelompok mayoritas.160

Pendapat rajih (lebih tepat) ini cukup beralasan, sebabjika penentuan kematian hanya disandarkan pada batas waktutertentu, dengan alasan berbedanya keadaan wilayah danpersonil, misalnya orang yang hilang pada saat terjadiperampokan, pembunuhan, atau kerusuhan, maka akanberbeda halnya dengan orang yang hilang bukan dalamkeadaan yang demikian. Karena itu, dalam hal ini ijtihad danusaha seorang hakim sangat berperan guna mencarikemungkinan dan tanda-tanda kuat yang dapat menuntunnyakepada vonis; masih hidup atau sudah mati. Inilah pendapatyang lebih mendekatkan pada wujud kemaslahatan.

Pada prinsipnya, pendapat yang menyerahkan sepenuh-nya persoalan orang yang hilang (mafqud) kepada ijtihadhakim,161 imam (kepala pemerintahan)162 dipandang lebih

Kewarisan Secara At-Taqdir

159 Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, Al Umm, Dar al Fikr, t.th., juzketiga, hal. 255.

160 Muhammad Ali ash Shabuny, Al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘Ala DhauilKitab wa al Sunnah terj. Zaini Dahlan, op cit, hal. 224.

161 Muhammad Ali Ash Shabuny, Al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘Ala DhauilKitab wa al Sunnah terj. Samhuji Yahya, Hukum Waris dalam Syariat Islam, CV.Diponegoro, Bandung, 1992, cet.II, 1413 H. Hal. 237-238. Atau terj. Sarmin Syukur,Hukum Waris Islam, Al Ikhlas, Surabaya, 1995, cet. I, hal. 252. Terj. AM. Basalamah,hal. 175.

128

Buku Ajar Fikh Waris

relevan dan pantas, karena ia dapat menetapkan berdasarkanindikasi yang tampak, atau dapat mendeteksi melalui alasan-alasan (dalil-dalil) yang jelas, dan pada gilirannya akan mela-hirkan suatu penyelesaian yang sejalan dengan fiqih, sertasesuai dengan pemahaman dan lebih berguna bagikemaslahatan.

Namun demikian, dalam memutuskan hukum bagi simafqud di era informasi dan teknologi modern sepertisekarang ini, di samping adanya dukungan perangkat negarayang memadai, ijtihad hakimpun hendaknya tetap memper-hatikan pertimbangan-pertimbangan di atas, dan perluketelitian terhadap efektivitasnya. Fasilitas penerangan, baikmelalui media cetak maupun media elektronik sudah barangtentu akan sangat membantu tugas-tugas hakim dalam upayamenetapkan status si mafqud.163

Atas dasar ini dapat dipahami bahwa istilah “matihukmy” sebagai salah satu persyaratan kewarisan yang secarakhusus diperuntukkan bagi orang yang hilang (mafqud) ini,sebenarnya bertolak dari perbincangan dan pendapat fuqahayang telah menggariskan ketentuan bahwa penentuankematian si mafqud mengharuskan “pihak lain” yang dalamhal ini dikenal dengan peristilahan wali al amr, qadhi, atauhakim, atau imam (kepala pemerintahan).

Meskipun istilah-istilah selain qadhi atau hakim, sepertiwali al amr atau imam, muncul dalam pembahasan ini, namunsesuai dengan maksudnya, mati hukmy sebenarnya akan lebihtepat jika dipahami dengan “mati berdasarkan putusan hakimatau pengadilan.” Artinya hakim atau qadhilah yang terlihatdan berwenang untuk menentukan seseorang yang hilang itutelah meninggal.

Hubungannya dengan persoalan harta dan kewarisanseseorang yang hilang (mafqud), maka yang menjadi persoalandalam hal ini adalah bagaimana pemecahannya bila seandai-

162 Muhammad Ali Ash Shabuny, Al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah ‘Ala DhauilKitab wa al Sunnah terj. Zaini Dahlan, op cit, hal. 224.

163 Ahmad Rofiq, op cit, hal. 140.

129

nya ahli waris menghendaki agar harta warisan sesegeranyadibagi, sedangkan si mafqud yang ada kaitannya dengan hartawarisan tersebut belum bisa diputuskan status hidup ataumatinya. Padahal di antara persyaratan ahli waris itu adalah“kepastian kematiannya” pewaris sebagai persyaratanmuwarrits.

Oleh sebab itu, dalam pembahasan kewarisan mafqud ini,paling tidak ada dua hal yang patut diperhatikan ketikamengoperasionalkannya. Pertama, mafqud sebagai muwarrits;orang yang mewariskan harta peniggalannya kepada ahliwarisnya, dan kedua, si mafqud sebagai waris; orang yang akanmewarisi harta peninggalan pewarisnya yang telah meninggaldunia.

a. Mafqud Berstatus Sebagai Muwarrits (Pewaris)Ulama sepakat menetapkan bahwa harta milik si

mafqud itu harus ditahan (ditangguhkan) lebih dahulusampai ada berita yang jelas atau informasi yang bisadipertanggungjawabkan,164 bahwa ia benar-benar telahmeninggal dunia atau diberi vonis oleh hakim tentangkematiannya. Selama belum jelas atau belum ada vonishakim, harta miliknya tidak boleh dibagi-bagikan kepadaahli warisnya.

Dalam pengertian lain bahwa, harta yang ditinggalkanmasih tetap menjadi miliknya dan harus dipelihara sampaikeberandaan orang yang hilang tersebut jelas hidup ataumatinya. Sebelum qadhi mengeluarkan penetapan tentang“mati hukmy” terhadap si mafqud, harta tersebut tidakboleh diserahkan atau diambil tanpa hak. Jika ada orangyang mengambilnya, ia harus mengembalikn atau meng-gantinya.

Adapun alasan yang dikemukakan mereka terkaitdengan ketidakbolehan dibaginya harta tersebut, sepanjangbelum ada kejelasan mengenai kematian si mafqud ini,

Kewarisan Secara At-Taqdir

164 Muslich Maruzi, Asas al mawarits, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Pustaka Amani,Jakarta, cet. II. Hal. 88.

130

Buku Ajar Fikh Waris

adalah: pertama, sebagaimana diketahui bahwa salah satusyarat kewarisan itu ialah adanya kematian si muwarrits, baikmati hakiky maupun mati hukmy. Padahal dalam konteks ini,si mafqud masih diragukan tentang kematiannya.

Alasan kedua, membagi-bagikan harta milik si mafqudkepada ahli warisnya atas dasar keghaibannya semata,sementara masih ada kemungkinan ia tetap hidup, adlaahmembahayakan (merugikan) padanya. Bahaya itu harusditolak dan dihindari secara mutlak. Sebab menurut dalilistishhabul hal165 ia dihukumkan masih hidup. Oleh sebabitu, ia masih (berhak) mempunyai hak dan milik penuhterhadap harta bendanya.

Jika pada suatu waktu ia muncul kembali dalam keada-an hidup, sudah barang tentu ia dapat mengambil kembaliseluruh harta bendanya yang sedang ditangguhkan. Tetapijika kematiannya sudah jelas, baik karena ada bukti-buktiotentik atau ada surat-surat resmi yang menegaskankematiannya sehingga disebut “mati hakiky,”166 ataupunadanya penetapan “mati hukmy” sebagai upaya yang bisaditempuh keluarga korban dalam rangka penyelesaianharta dan masalah kewarisannya, maka ahli warisnya bolehmewarisi harta benda si mafqud yang masih dipeliharakantersebut.

Terhitung mulai tanggal kematian yang telah ditetap-kan hakim atau berdasarkan putusan pengadilan itu, ahliwaris yang tidak hidup di saat penetapan vonis kematian-nya, meskipun tenggang waktunya tidak lama, tidak dapatmewarisi. Kecuali kalau berlakunya vonis kematian terse-but berlaku surut dari tanggal dikeluarkannya, sementaramereka masih hidup pada tanggal berlakunya voniskematiannya.

165 Suatu dalil untuk menetapkan hukum sesuatu atas dasar keadaan semula.Bukan untuk menetapkan suatu hukum berdasarkan hal yang lain. Si mafqud padasaat kepergiannya dalam keadaan hidup, dan keadaan inilah yang dijadikan dasarmenentukan hukum hidupnya, selama tidak ada petunjuk-petunjuk yang lain. LihatFatchur Rahman, Ilmu Waris, PT. Alma’arif, Bandung, cet. Ke 10, hal. 505.

166 Addys Aldizar dan Fathurrahman, op cit, hal. 376.

131

b. Mafqud Berstatus Sebagai waris (Yang Mewarisi)Kebanyakan fuqaha sependapat bahwa bagian si

mafqud yang bakal diterimakan kepadanya ditahan dulu,sampai jelas persoalannya. Ini disebabkan oleh: pertama,sebagaimana diketahui bahwa salah satu syarat kewarisanbagi orang yang mewarisi itu ialah “hidupnya ahli warisdi saat kematian pewaris,” padahal hidupnya si mafqud(orang yang mewarisi) masih diragukan.

Sebab kedua, memberikan harta warisan kepadanyadisertai adanya kemungkinan tentang kematiannya, adalahmenimbulkan bahaya (kerugian) bagi ahli waris. Bahayaitu harus diletakkan sesuai dengan prinsip agama Islam“la dharara wa la dhirara.” Satu-satunya jalan untuk meng-hindari bahaya bagi ahli waris itu ialah menganggapkematian si mafqud.

Atas dasar itu, jika diantara waris ada yang mafqud,dan belum diketahui kejelasannya secara pasti, apakai iamasih hidup atau sudah mati, tidak dapat diputuskanbahwa ia tidak dapat mewarisi karena ada kemungkinania masih hidup, atau sebaliknya, tidak dapat diputuskanbahwa ia dapat mewarisi karena ada kemungkinan iasudah mati. Oleh karena itu, pembagian harta waris harusditangguhkan sampai keberadaan si mafqud diketahui.

Adapun kemungkinan-kemungkinan atau nasib dariwaris yang hilang itu bisa saja berhubungan dengankenyataan bahwa: pada suatu waktu si mafqud munculdalam keadaan hidup. Jika ini terjadi sebelum adanya vonishakim atau sesudah adanya vonis hakim tetapi hartapeninggalan belum dibagi-bagikan kepada ahli waris,maka ia berhak mengambil bagiannya yang sedang ditahanoleh ahli waris yang memang disediakan untuknya.

Jika ia muncul dalam keadaan hidup sesudah adanyavonis dari hakim tentang kematiannya dan hartapeninggalan sudah dibagi-bagikan kepada ahli waris,termasuk bagian yang ditahan untuk si mafqud sekalipun,maka ia berhak mengambil sisa bagiannya yang tinggal

Kewarisan Secara At-Taqdir

132

Buku Ajar Fikh Waris

pada tangan ahli waris. Ini berarti, jika bagiannya yang telahdibagi kepada ahli waris itu telah habis atau telah rusakhingga tak ada sisa sedikitpun, ahli waris (selainnya) tidakdimintai pertanggungan jawab untuk menggantinya ataumenukarnya.

Sebab, dengan adanya putusan hakim tentangkematian si mafqud, yang mengakibatkan ahli waris lainmendapat tambahan kembali dari bagian yang semestinyadisediakan untuk si mafqud, maka ahli waris sudahmempuyai hak secara sempurna untuk mentransaksikanharta miliknya, demi untuk menghormati danmelaksanakan putusan hakim.

Adapun mengenai putusan hakim yang kemudianpada kenyataannya tidak sesuai dengaan kenyataan itutidak dapat membatalkan hak para waris untuk memilikidan menikmati atau mentransaksikan harta miliknya sesuaidengan putusan, selain harta peniggalan tersebut masihtinggal pada mereka.167 Dalam artian lain, sesudah adanyavonis hakim, apa yang sudah diterima para warismenyangkut bagian dan tambahannya, adalah menjadi hakdan miliknya.168

Kitab Undang-Undang Hukum Warisan Mesir, menye-tujui pendapat jumhur ini, dan kemudian mencantumkan-nya dalam pasal 45 seperti berikut:

167 Muh. Abdur rahim al Kisyka, Al Muhadharat fii Mirats al Muqaran, hal. 40.Muh. Yusuf Musa, Al Tirkah wa al Mirats fi al Islam, hal. 350, sebagaimana dikutipdalam Fatchur Rahman, op cit, hal. 506.

168 Sebagai akibat hukumnya, tentu saja para waris berhak dan mempunyaikekuatan secara hukum untuk bertindak sepenuhnya terhadap apa yang menjadimiliknya. Baik itu menyangkut pemnfaatannya, ataupun hak-hak lain yang beradadi bawah penguasaannya.

133

“Ditahan dari harta peniggalan muwarrits untuk mafqud bagiandari harta peninggalan. Maka jika ia muncul dalam keadaan hidup, iaberhak mengambilnya, dan jika ia diputuskan kematiannya, bagiannyadikembalikan kepada golongan ahli waris yang berhak di saat kematianmuwarrits. Jika ia muncul dala keadaaan hidup setelah putusankematiannya, ia mengambil sisa bagiannya yang tinggal di tanganahli waris.”

Apabila waris yang hilang itu diketahui telah matisetelah muwarrits meninggal, dan ada bukti yang dapatditerima syara’, maka harta yang ditinggalkannya danbagiannya atas harta waris digabungkan, kemudiandibagikan kembali untuk ahli warisnya yang masih hidup.Tetapi, jika bukti yang dapat diterima syara’ jelasmenyebutkan bahwa waris yang hilang itu telah meninggalsebelum muwarrits mati, maka waris yang hilang itu tidakberhak mendapatkan apa-apa dari harta waris yangditangguhkan pembagiannya.169

Terkait dengan persoalan ini, jika seseorang mati dania mempunyai ahli waris, dan di antaranya ada yangmafqud, maka orang yang hilang itu mempunyai duakeadaan dan kemungkinan, yakni adakalanya ia menghijaborang yang bersamanya dengan hijab hirman, atau adakalanya ia tidak menghijab orang yang bersamanya, tetapibersyarikat dengannya dalam hal mewarisi.170

Keadaan Pertama; Waris yang Hilang MenghijabSeluruh harta peninggalan disimpan. Ahli waris (selainnya)

dilarang untuk mengambil sedikitpun hingga keadaan mafquditu jelas. Jika benar-benar ia masih hidup, maka ia berhakmengambil harta itu seluruhnya. Apabila hakim menetapkankematiannya dengan “mati hukmy maka ahli waris lainnyamengambil harta tersebut menurut kadar atau banyak dan

Kewarisan Secara At-Taqdir

169 Karena tidak terpenuhinya syarat kewarisan, yakni hidupnya ahli waris disaat matinya pewaris. Mengenai harta warisan yang ditangguhkan pembagiannyaitu, kemudian dibagikan untuk ahli waris lainnya. Selain itu mereka juga mendapattambahan dari bagian harta warisan yang menjadi hak waris yang mafqud.

170 Muhammad Ali Ash Shabuny, terj. Sarmin Syukur, op cit, hal. 252.

134

Buku Ajar Fikh Waris

sedikitnya bagian yang sudah ditetapkan untuk mereka, baiksebagai ashhabul furudh atau ashobah.171

Keadaan Kedua; Waris yang Hilang Tidak MenghijabJika si mafqud sebagai waris yang tidak dapat menghijab

hirman ahli waris yang lain, dan ia bersama-sama mewarisi,maka bagian si mafqud saja yang ditahan, sedang bagian ahliwaris lainnya bisa saja diberikan. Sesuai dengan kemungkinanatau nasib yang terjadi pada diri si mafqud, maka setiap ahli warisyang belum ada kejelasan mengenai hidup dan matinya, atauselama belum ada penetapan mati hukmy, ia hanya bolehdiberikan bagian yang terkecil dari dua perkiraan, yakniperkiraan si mafqud dalam keadaan hidup dan perkiraan mafqudsudah meninggal.

Pengarang Manzhumah al Rahabiyyah, berkata:

Terhadap hal yang demikian, perlu dilakukan upaya penye-lesaian pembagian warisannya dengan mebuat perumpamaanatau perkiraan-perkiraan. Ini dikerjakan semata-mata untukmelindungi hak si mafqud dengan tidak menyia-nyiakan hak parawaris selainnya, sebab barangkali nantinya persoalan ini akanmenjadi jelas.172 Pendapat seperti ini merupakan pendapatkebanyakan fuqaha.173

171 Lihat uraian tentang waris-waris yang dimaksudkan sebagaimana ketentuanfaraidh

172 Maksudnya, ada kemungkinan dengan membuat penyelesaian berdasarkanperkiraan-perkiraaan tersebut, dapat diketahui bahwa hasil atau bagian yangdiperoleh sebagian (di antara) waris yang ada dalam struktur kasusnya, ternyata justrutidak berubah atau sama, atau bahkan tidak berpengaruh sama sekali ketika si mafquditu dihukumkan sebagai orang yang mati dengan jika ia dihukumkan sebagai warisyang masih hidup. Artinya, bisa jadi tidak harus menunggu adanya kejelasan tentangstatus si mafqud.

173 Imam Al Syansyury dan Ali bin Qasim mensinyalir adanya dua macampendapat imam Ahmad bin Hanbal tentang hal ini. Pertama, si mafqud hendaknyadiperkirakan sudah mati untuk menentukan hak-hak para waris. Jika nanti perkiraanini meleset, ketentuan akan diubah. Kedua, si mafqud hendaknya dikira-kirakan masihhidup, dan jika perkiraaan ini meleset, ketentuan semula juga diubah. Tetapi menurutpendapat Ibnu Qudamah, seorang fuqaha tenar pengikut madzhab Hanbali, bahwa

135

Ringkasnya, untuk menyelsaikan pembagian harta warisanseseorang yang di antara ahli warisnya terdapat yang mafqud,hendaklah menempuh jalan atau upaya-upaya berikut; dikerja-kan dahulu berapa bagian mereka masing-masing denganmenganggap si mafqud masih hidup, kemudian dikerjakan lagimenurut perkiraaan si mafqud sudah mati, dan kemudian daridua perkiraaan tersebut, maka para waris diberikan bagian yangterkecil dari dua perkiraan. Sisanya ditahan untuk si mafqudsampai ada kejelasan, misalnya melalui vonis hakim yangmenyatakan tentang kematiannya, dan inilah kemudian yangdisebut dengan istilah mati hukmy itu.

Adapun kemungkinan-kemungkinan kondisi yang akandihadapi oleh ahli waris itu, paling tidak ada tiga keadaan.Pertama, yaitu dapat mewarisi dalam satu kondisi dan tidak bisamewarisi dalam kondisi yang lain. Oleh sebab itu, ahli warisyang demikian tidak mendapatkan apa-apa. Kedua, bagianwarisannya tidak berubah-ubah atau tidak terpengaruh, ketikasi mafqud itu dihukumkan masih hidup atau sudah meninggal.Ahli waris yang demikian mendapatkan bagiannya secarasempurna. Ketiga, sebaliknya yakni bagian warisannya berubah-ubah atau akan mempengaruhi terhadap bagian waris lainnya.Dalam keadaan ini, ahli waris yang demikian diberikanbagiannya yang paling sedikit berdasarkan dua kemungkinan.

Dari beberapa kondisi dan kemungkinan ini, yang terpen-ting untuk diperhatikan adalah ketika keadaan pertama yangmenungkinkan ahli waris lainnya akan terhijab bila si mafqudpada kenyataannya masih hidup. Ahli waris selainnya belumbisa diberikan bagian sedikitpun lantaran status waris yangmafqud ini dalam struktur kasusnya bertindak sebagai hajib.174

imam Ahmad dan kebanyakan fuqaha lainnya, menganut pendapat bahwa “setiapahli waris diberikan bagian yang telah meyakinkan (menjadi haknya),” yaituhendaknya si mafqud diperkirakan masih hidup dan kemudian sisanya ditangguhkansampai persoalan ini menjadi terang.

174 Adalah isim fa’il dari kata “hajb” yang bermakna penutup atau pendinding.“Hajib” yang dimaksudkan adalah orang yang menghalangi orang lain untukmewarisi. Lihat Muhammad Ali Ash Shabuny, al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah‘Ala Dhauil Kitab wa al Sunnah, op cit, hal. 74.

Kewarisan Secara At-Taqdir

136

Buku Ajar Fikh Waris

Selain itu, kemungkinan lainnya juga mengisyaratkanbahwa, sekalipun dalam struktur kasus kewarisan yang didalamnya terdapat waris mafqud, namun penyelesaian pembagi-annya, tidak harus dan tidak perlu menunggu adanya kejelasantentang diri si mafqud. Sebab kondisi kedua misalnya, meski simafqud itu dihukumkan hidup atau mati, bagian waris selainnyatidak berpengaruh dengan keadaan seperti ini. Artinya pada saatitu juga pembagian sudah bisa diselesaikan, dan bagian masing-masing waris bisa diberikan secara penuh sesuai ketentuanbagian yang telah ditetapkan untuk mereka.

Untuk kemungkinan yang terakhir, ada keharusan bagi ahliwaris untuk membuat perkiraan-perkiraan dalam kontekspembagian harta warisannya. Sebab dalam kondisi ini, bagianahli waris sangat terpengaruh dengan ketidakjelasan diri simafqud. Antara status mafqud yang dihukumkan hidup denganmati, perolehan mereka tidak sama. Sehingga diperlukan adanyapentaqdiran-pentaqdiran, untuk kemudian diselesaikan bagianwaris mereka dengan memberikan bagian yang memang nyata(diyakinkan) menjadi hak/miliknya.

Dalam istilah lain, tidak akan terjadi dalam kemungkina itu,persoalan ahli waris yang mendapat bagian “melebihi” darihaknya ketika terjadi kesalahan dalam praktik penyelesaiannya,oleh sebab tidak dilakukannya pentaqdiran ini. Atau jangansampai terjadi sebagian ahli waris harus mengembalikan apayang menjadi hak si mafqud, karena ketika penyelesaiansebelumnya (saat tidak adanya keelasan tentang hidup danmatinya) tidak memperhatikan kondisi yang memungkinkan simafqud dapat mempengaruhi bagian waris selainnya.

Untuk lebih jelasnya, dapat diikuti illustrasi contoh pertama,yakni kasus kewarisan dengan struktur waris terdiri dari seoranganak laki-laki (mafqud) dan seorang sudara laki-lki kandung.Harta warisan yang ditinggalkan misalnya sejumlah Rp.1.000.000,-. Dengan memperhatikan ketentuan yang ada dalampenyelesaian kasus kewarisan mafqud ini, maka cara yang harusditempuh adalah:

137

Jika anak laki-laki (mafqud) dihukumkan masih hidup:

Jika si mafqud dihukumkan sudah meninggal:

Oleh karena menurut ketentuan, jika seseorang ahli warismenurut salah satu perkiraaan tidak mendapat bagian karenaterhijab hirman oleh si mafqud, maka saudara laki-laki dalamcontoh tersebut tidak boleh diberikan sedikitpun. Jadi seluruhharta warisan tersebut harus ditahan/dibekukan/ditangguhkan,sampai ada kejelasan tentang status hidup atau matinya anaklaki-laki yang hilang175 (mafqud) tadi.

Contoh kedua, ahli waris terdiri dari seorang istri, dan duaorang saudara laki-laki kandung, satu di antaranya mafqud. Jikaharta yang ditinggalkan berupa tanah persawahan seluas 48 ha.Maka penyelesaian dengan perkiraaan:

Jika saudara laki-laki kandung (mafqud) masih hidup:

Kewarisan Secara At-Taqdir

175 Terdinding keseluruhan karena derajat saudara laki-laki kandung berada dibawah anak laki-laki. Jihat bunuwwah lebih didahulukan mendapat giliran menerimawarisan secara ashobah, ketimbang jihat ukhuwwah.Lihat penjelasan ini dalam bab/pasal kewarisan tentang ashobah bi al nafsi.

138

Buku Ajar Fikh Waris

Jika si mafqud dihukumkan sudah meninggal:

Tampak dari hasil penyelesaian di atas, si mafqud sekalipundiperkirakan masih hidup atau sudah mati, bagi istri tetapmenerima bagian yang sama besarnya, yakni ¼ bagian atausebanyak 12 ha.176 Sedangkan bagian yang diberikan kepadasaudara laki-laki kandung yang ada (tidak mafqud), yaitu bagianyang terkecil di antara dua perkiraaan tersebut, yakni 18 ha.Sisanya yang 18 ha. ditangguhkan untuk si mafqud sampai adakejelasan tentang status hidup atau matinya.

Jika nantinya si mafqud kembali dalam keadaan hidup, makayang 18 ha. (yang ditangguhkan/ditahan) tadi diserahkankepadanya. Namun, jika ia tidak kembali dalam keadaan hidupatau sudah divonis hakim atas kematiannya dengan “matihukmy”, maka jumlah yang ditahan sebesar 18 ha. itu diberikandan ditambahkan lagi kepada saudara laki-laki yang tidak

176 Bagian istri tidak berubah, dan tidak terpengaruh dengan keadaan si mafqud,baik ia dihukumkan mati atau hidup. Oleh sebab itu, istri dalam contoh tersebutdapat menerima bagian ¼ itu secara langsung (saat belum ada kejelasan tentang sta-tus diri si mafqud).

139

mafqud, hingga ia memperoleh sebanyak 36 ha. dari keseluruhantanah sawah yang diwariskan oleh pewarisnya (3/4 x 48 ha.)177

Kalau sudah ada vonis hakim tentang kematian si (dalamcontoh kasus, seperti saudara laki-laki kandung), dan tanahpersawahan yang ditahan tersebut sudah terlanjur diberikankepada saudara laki-laki kandung yang tidak mafqud, dankebetulan masih tersisa sekitar 10 ha. karena sudah terjualmisalnya, maka saudara yang tadinya mafqud dan kembalitersebut tidak dapat menuntut seluruh bagiannya yang 18 ha.tadi. Ia hanya berhak mengambil sisanya yang 10 ha. itu saja.Demikian ini dimaksudkan sebagai penghormatan atas keputus-an atau ketetapan hakim dalam prosesnya menyelesaikanperkara kewarisan orang hilang.

Contoh ketiga, seorang meninggal dunia, ahli warisnyaadalah suami, ibu, seorang saudara perempuan sebapa, danseorang saudara laki-laki sebapa (mafqud). Adapun carapenyelasaiannya adalah:

Si mafqud (saudara laki-laki sebapa) dihukumkan masihhidup

Jika si mafqud dihukumkan sudah meninggal:

Kewarisan Secara At-Taqdir

140

Buku Ajar Fikh Waris

Ada beberapa catatan yang dapat digarisbawahi terkait hasilpenyelesaian kasus kewarisan mafqud melalui cara perhitungandengan dua perkiraan di atas, yaitu khusus untuk perkiraanpertama dengan menghukumkan si mafqud masih hidup, makakasusnya disebut dengan faridhah al ‘adilah.178 Asal masalahnyamendapat pentashhihan dari 6 menjadi 18 (karena dikalikandengan angka 3 sebagai konsekuensi penyelesaian pembagianashobah bi al ghair). Ibu terhijab nuqshan dengan hidupnya mafqud,karena jumlah saudara menjadi berbilang.179 Saudara perempuanmenjadi ashobah karena mewaris bersama saudaranya yang laki-laki (sederajat), dan sama-sama dihubungkan melalui kerabatbapaknya.

Untuk perkiraan kedua, dengan menghukumkan si mafqudsudah meninggal, dapat diberikan penjelasan bahwa kasuswarisnya ternyata ‘aul atau faridhah al ‘ailah,180 dari asal masalah 6‘aul menjadi 8. Ibu mendapat bagian 1/3 karena saudara pewarishanya satu orang, dan tentu saja tidak bisa menghijabnya secaranuqshan dari 1/3 ke 1/6, di samping tidak adanya anak pewarisdi dalam struktur kasusnya. Saudara perempuan sebapakberstatus sebagai ashhabul furudh yang mendapat bagian ½

177Dalam keadaan seperti ini, saudara laki-laki yang tidak mafqud tadi berstatussebagai ashobah bi al nafsi (tunggal),

178 Pembilang dan penyebutnya bersesuaian, yakni 6/6 atau 18/18 sebagai hasiltashhih, sehingga tidak ada pengurangan atau kelebihan harta yang diberikan padamasing-masing waris.

179 Lihat al Qur’an surat al Nisa ayat 11 tentang saham/hak ibu.180 Pembilangnya lebih besar dari penyebutnya, sehingga terjadi pengurangan

bagian terhadap seluruh ahli waris yang ada dalam strukturnya. Pengurangan secaraproporsional ini sudah merupakan solusi terbaik sampai saat ini. Sebab jika diselesaikansesuai dengan ketentuan furudhul muqaddarah, niscaya harta warisannya tidak akancukup. Karena antara mereka tidak ada yang haurs didahulukan atau dikemudiankandalam menerima warisan (sama-sama berstatus sebagai ashhabul furudh).

141

karena satu orang, dan tidak terdapatnya saudara perempukandung (yang seyogianya diprioritaskan mendapat ½).181

Dengan demikian, operasional metode perhitungan warismafqud sebagaimana contoh ketiga itu; untuk bagian semuawaris, baik suami, ibu, ataupun saudara sebapa, semuanya harusdiberikan alternatif bagian terkecil, yakni menurut pentaqdiranmafqud dihukumkan meninggal.

Kongkritnya, untuk sementara suami hanya diberikanbagian sebesar 3/8 saja (bukan ½ atau 3/6 atau 9/18). Ibu diberikan1/6 atau 3/18 (bukan 1/3 atau 2/6, atau 2/8 dengan angka ‘aulnya).Saudara perempuan sebapa (sementara) boleh diberikan sebesar2/18 dari hasil pentashhihanasal masalah 6 ke 18 (bukan ½ atau 3/8 dari angka ‘aulnya).182

Jalan dan upaya-upaya penyelesaian sebagaimana di atas,dilakukan sebagai metode yang digariskan fuqaha terkaitkewarisan orang hilang, baik mafqud itu berstatus sebagai warisatau muwarrits. Khusus terhadap orang yang mewariskan, hi-langnya dan ketidakpastian hidup atau matinya menjadikansyarat sebuah kewarisan tidak terpenuhi, dan karenanya tidakdikatakan telah terjadi waris mewarisi itu, apabila kematian simafqud belum ada kejelasannya. Salah satu jalan yang bisaditempuh untuk menghilangkan keraguan itu adalah dengancara penetapan kematiannya melalui putusan hakim ataupengadilan, yang kemudian disebut dengan istilah “matihukmy.”

Demikian pula halnya dengan hilangnya orang yang akanmewarisi harta peniggalan pewarisnya. Namun, dengan perki-raan penyelesaian waris yang mafqud dengan beberapa alternatifkondisi yang dihadapinya, pada kenyataannya, (sebagiannya)tidak mengharuskan adanya kejelasan mengenai hdup dan

Kewarisan Secara At-Taqdir

181 Sebab jika mereka bersama dalam satu struktur kewarisan, maka saudaraperempuan secapa ada kemungkinan hanya sebagai “takmilatun li tsulutsain” saja(menyempurnakan 2/3 bagian), karena ½ fardhnya saudara perempuan kandungditambah 1/6 untuk saudara perempuan sebapak.

182 Karena pokok hitungannya bertambah. Berdasarkan hasil penyelidikanfaradhiyun, asal masalah enam dapat di ‘aulkan ke 7, 8, 9, dan ke 10. (lihat bab tentangkasus kewarisan ‘aul).

142

Buku Ajar Fikh Waris

matinya mafqud. Sebab dalam proses penyelesaiannya, didapatiadanya kemungkinan bahwa hidup atau matinya waris yanghilang ini tidak mempengaruhi terhadap bagian waris selainnya.Hanya saja, satu hal yang patut diperhatikan dalam masalah iniadalah, “bagian harta si mafqud harus ditahan/ditangguhkan”selama belum ada kejelasan tentang hidup atau matinya.

Penetapan kematian secara hukmy terhadap waris mafqudsangat bergantung pada struktur kasus waris yang ditinggalkan,dan karenanya wajar, jika langkah dan tahapan penyelesaianberdasarkan perkiraaan atau pentaqdiran itu mutlak dilakukanketika akan menyelesaikan kasus kewarisan orang hilang.Pengetahuan dan penyelesaian seperti ini menjadi suatu“keharusan” bagi setiap kasus kewarisan mafqud.

Meskipun Islam dengan ketentuan faraidhnya menghendakipenyegeraan dalam proses penyelesaian pembagian hartawarisan ini, namun makna penyegeraan itu tampaknya harusdipahami dengan pengertian “telah terpenuhinya rukun danpersyaratan.” Sebab penyegeraan itu sendiri memiliki hikmahdi antaranya agar para waris tidak akan termakan apa yangbukan menjadi hak mereka. Lantaran harta warisan tersebuttidak cepat dibagi, berarti ia masih menjadi milik bersama(bersyarikat) di antara sesama ahli waris.

Kalau seandainya penyegeraan itu dihubungkan dengankasus kewarisan mafqud, penyegeraan tentunya tidak bisadipahami dengan batasan waktu, seperti hari, bulan, atau bahkantahun. Sebab berdalil pada pendapat fuqaha tentang masalahini, 60 sampai 120 tahun merupakan waktu yang tidak pendek,padahal yang demikian pun masih harus dikukuhkan lagidengan suatu putusan hakim yang tentunya harus melalui prosespanjang. Tanpa ini, penyelesaian pembagian harta warisan tidakmempunyai kekuatan hukum atau bahkan tidak sah secarafaraidh.

Sesuai dengan apa yang telah ditetapkan syariat, bahwapenyelesaian pembagian warisan sebagaimana ketentuan faraidhmerupakan suatu kewajiban bagi setiap pribadi muslim, dankarenanya satu sisi yang berhubungan dengan masalah

143

kewarisan mafqud ini juga memiliki hikmah yang sangat dalamketika pemakai hukum waris Islam itu sendiri berusaha untukmemetik dan mengambil pelajaran dari ketentuan-ketentuanyang telah digariskan, baik oleh al Qur’an, hadits, ataupun hasilijtihad fuqaha yang tidak kalah pentingnya dalam memberikansumbangan pemikirannya terkait pemecahan dan solusi untukkasus-kass yang tidak secara detail dijelaskan oleh nash yangsharih.183

Sebab, secara umum hikmah kewarisan itu sangatlah besar,yaitu untuk memperkuat tali hubungan keluarga dan perasaanalami. Pada prinsipnya warisan itu sangat berguna sekali bagimanusia, baik ditinjau dari aspek sebab-sebab berhak menjadiahli waris seperti karena hubungan nikah (suami-istri), bagianlaki-laki dua kali lipat bagian perempuan, hak waris anakperempuan, ayah dan ibu, serta hak persamaannya dalammenrima warisan, termasuk hikmah yang berkaitan dengankewarisan dzawil arham dan larangan memperoleh harta warisan(mawani’ul irtsi).184

Ia berlayar kekaraman perahu/kapal yang ditumpanginyadi lautana. Dan lain-lain sebagainya bahwa keadaannya tidak diketahui.

Bagi orang yang hilang itu, baik laki-laki atau perempuan,terbagi kepada dua macam:1) Orang yang diwarisi, dan2) Orang yang menjadi waris.

1). Orang yang diwarisi:Apabila orang yang hilang itu orang yang akan diwarisi,

orang yang harta warisannya akan dibagi-bagikan kepada

Kewarisan Secara At-Taqdir

183Banyak contoh kasus yang penyelesaiannya dimunculkan melalui ijtihad ini,di antaranya seperti masalah ‘aul, radd, gharawain, akdariyah, musytarikah, kewarisankakek bersama saudara, pusaka al hamlu, khuntsa musykil, man yamuutuna jumlatan,(sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelum ini), dan tidak terkecuali kasuskewarisan mafqud ini.

184 Lihat Ali Ahmad Al Jurjawi, Hikmat al tasyri’ wa Falsafatuhu, Dar al Fikr, Beirut,t.th., jilid ke 2, hal. 401, terj. Falsafah hukum Islam, hal 548-555.

144

Buku Ajar Fikh Waris

warisnya, harta warisan itu harus ditangguhkan/ditahandahulu, tidak boleh dibagi-bagikan sebagai warisan hinggaditetapkan lebih dahulu kematiannya.

Menetapkn kematiannya dengan salah satu dari tigamacam di bahwa ini:a) Dengan dilihat dan dipersaksikan bahwa dia telah matib) Dengan keterangan sekurang-kurangnya dua orang

saksi yang dapat dipercaya bahwa ia telah matic) Dengan keptusan hakim bahwa orang itu telah dihu-

kumkan mati.

Beberapa hukum berkenaan orang hilang, istri tidakboleh dinikahi/dinikahkan. Hartanya tidak boleh diwaris-kan dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampaibenar-benar diketahui keadaannya dan jelas hidup/matiatau berlalu batas waktu tertentu dan diperkirakan secaraumum atau vonis hakim.

2). Orang yang menjadi warisJika orang yang hilang itu menjadi waris, maka menu-

rut yang kuat/sah dalam madzhab Syafi’i dan yang difatwa-kan oleh madzhab madzhab yang lainnya yaitu: Hanafi,Maliki, dan Hambali, maka cara yang dilakukan adalahsama dengan khuntsa musykil di atas, yaitu:a) Dilakukan lebih dahulu pembagian warisan dengan

dianggap bahwa yang hilang itu hidup, dan ia termasukmenjadi waris

b) Kemudian dilakukan pula pembagian warisan dengandianggap bahwa yang hilang itu telah mati, dan ia tidakmenjadi waris

c) Terakhir dibandingkan bagian masing-masing warisyang tersebut menurut perbandingan yang pertama (a)dan pembagian kedua (b) di atas.

Dalam perbandingan itu akan terdapat halnya salahsatu diantara tiga macam:

145

1. Serupa bagiannya pada yang pertama dengan yang keduadengan contoh waris:Istrimendapat 1/8Anak laki-lakiAnak laki-laki yang hilang (mafqud)

Bagian istri 1/8 serupa saja, jika anak yang hilang itu hiduptermasuk menjadi waris, istri tetap mendapat 1/8, makadibagikan kepada istri yang 1/8 itu. Berlainan bagiannya padayang pertama dengan yang kedua, maka kepada waris-warisyang termasuk dalam bagian ini dibagikan kepadanya yangtersedikit, contohnya:

I b umendapat 1/3 dan 1/61 sdr. Laki-laki1 sdr. Laki-laki yang hilang

Bagian itu berlainan jika saudara tersebut hidup menda-pat 1/6 (karena dua orang saudara mendinding ibu dari 1/3menjadi 1/6). Jika saudara tersebut mati, ibu mendapat 1/3(seorang saudara tidak mendinding), maka kepada ibu bolehdiberikan lebih dahulu 1/6 saja.

Terdinding ia pada salah satu dua pembagian itu, makakepada waris-waris yang masuk menjadi waris dalampembagian itu belum dapat diberikan kepada sesuatupun,misalnya:

Ahli waris: Anak laki-laki yang hilangSaudara laki-laki sebapa

Apabila anak laki-laki yang hilang itu dihukumkan matidan tidak termasuk menjadi waris, maka saudara laki-lakisebapa menjadi waris sebagai ashobah tetapi jika ia hidup,saudara tersebut terdinding. Maka dalam masalah ini saudaralaaki-laki sebapa itu belum boleh diberikan kepadanya bagianwarisan sama sekali.

Harta yang ditahan/ditangguhkan:

Kewarisan Secara At-Taqdir

146

Buku Ajar Fikh Waris

Yang boleh dibagi-bagikan itu ditahan dahulu sampainyata bahwa keadaan orang yang hilang itu hidup ataudihukumkan matinya, kemudian barulah harta itu dibagikanmenurut ketentuan yang berlaku.

Penetapan Hukum bagi orang yang hilang:Berlainan pendapat madzhab-madzhab:

a. Madzhab Syafi’i:Apabila belum diketahui, harus ditunggu dahulu

sampai suatu masa yang menguatkan persangkaan bahwaia tidak hidup lagi lebih lama dari masa itu, karena orang/teman-temannya sudah mati (tidak hidup sampai selamaitu). Tidak ada ketentuan batas lamanya, hanya tergantung/terserah kepada kuat sangka belaka menurut ijtihad hakim.

Apabila sampai masa tersebut, maka harus lebihdahulu hakim memberikan putusan bahwa orang itu telahmati, baru boleh ditetapkan kematiannya. Waris-waris yangberhak mendapat warisan ialah mereka yang hidupsesudah waktu yang ditetapkan di dalam putusan hakim.Istrinya tercerai sejak adanya putusan tersebut. (jika adaistri).

b. Madzhab Hanafi:Dihukumkan mati apabila orang-orang yang sebaya

di wilayahnya tidak ada lagi yang hidup, maka untukmenentukan batas waktunya ada yang mengatakan:1) Yaitu 110 tahun2) 105 tahun dan ada yang mengatakan3) 90 tahun, dan yang akhir inilah yang difatwakan.

c. Madzhab Maliki:Ditunggu sampai orang yang hilang itu berumur 70

tahun, setelah itu barulah dihukumkan matinya denganputusan hakim. Tetapi jika umurnya telah melewati/melebihi dari 120 tahun, maka tidak lagi diperlukanputusan hakim, ia telah dapat dihukumkan mati.

147

BAB VIKASUS MUNASAKHAH

(KEWARISAN TURUN TEMURUN)

A.Pengertian MunasakhahMenurut bahasa, al munasakhah artinya an naql (memindah-

kan) dan al izalah (menghilangkan). Seperti kalimat, “Nasakhtual kitab”, maksudnya “Naqaltuhu ila nuskhah ukhra” (akumemindahkan atau menyalin naskah atau tulisan dari buku itu).Seperti kalimat, “Nasakhat asy syamsu”, maksudnya“azalathu”.185 Disebutkan juga dalam ayat Allah yang berbunyi:

(al Jatsiyah ayat 29). Maksudnya “Nanqulu wa nusajjilu”,artinya, “Kami pindahkan dan kami salin.”

Untuk makna kedua (menghilangkan), terdapat dalamfirman Allah Al-Baqarah: 106, berikut ini:

Maksudnya, “Nubaddiluha aw nuzillu tilawataha wanughayyiru hukmaha” “kami ganti atau kami hilangkanbacaaannya dan kami ubah hukumnya.” Jadi, secara bahasamunasakhah artinya pindah memindah, salin menyalin.Memindah dari satu masalah kepada masalah yang lain.

Sedangkan menurut ulama fikih, al munasakhah adalah situasiatau kondisi yang salah seorang dari ahli waris meninggal dunia

185 Muhammad Ali Ash Shabuny, Al Mawarits fi al Syariat al Islamiyyah fi DhauilKitab wa al Sunnah, Dar al Kutub al Islamiyah, cet. Pertama, 1431 H./2010 M., hal. 145.

148

Buku Ajar Fikh Waris

sebelum pembagian warisan. Apabila keadaannya demikian, hakorang yang meninggal itu atas harta waris berpindah kepadaahli warisnya. Sebab, penamaan masalah ini dengan almunasakhah dikarenakan masalah pertama dipindahkan menjadimasalah kedua, atau karena harta waris berpindah dari satu ahliwaris, ke ahli waris lainnya.

Jadi, menurut istilah munasakhah dimaksudkan dengansuatu kasus meninggalnya seseorang dengan meninggalkanbeberapa orang ahli waris, belum sempat dibagikan hartawarisan tersebut terhadap ahli warisnya, meninggal lagi satuatau beberapa orang waris di antara mereka. Begitulahseterusnya hingga terjadi beberapa kasus kewarisan yang tidakterbagi dari generasi pertama sampai generasi berikutnya.186

Artinya, ketika penyelesaian kasus ini dilakukan (di tahunterakhir ketika warisan itu hendak dibagikan), sebenarnya ahliwaris yang diberi hak/bagian itupun (dalam kasus kematianpertama) di antaranya, sudah tidak ada lagi karena telahmeninggal dunia. Sehingga apa yang menjadi hak/bagiannya ini,kemudian dipindahkan lagi kepada waris–waris berikutnya.Berikut ini tiga keadaan yang mungkin dihadapi dalam kasusmunasakhah:

B. Keadaan Munasakhah1. Keadaan Pertama

Ahli waris mayit kedua adalah ahli waris yang mewarisiharta dari mayit pertama juga. Dalam keadaan ini,masalahnya tidak berubah dan tidak berganti ahli warisnya.Misalnya, seseorang wafat, meninggalkan ahli waris lima anaklaki-laki. Kemudian (sebelum sempat harta itu dibagi), salahseorang dari kelima anak itu meninggal dan tidak ada yangmewarisi selain mereka. Maka dalam keadaan seperti ini,seluruh harta warisan dibagikan untuk empat orang anak laki-

186 Vide Hasyiyah al Syaikh Ibrahim al Bajury ‘ala Syarh al Syansyury fi ‘Ilmi al Faraidh,cet. pertama, 21 Mei 2006 M./18 Rabi’u al Tsani 1427 H. Al Haromain Jaya Indonesia,hal. 199. Pada halaman sebelumnya (hal. 198) menambahkan al taghyir untukpengertian munasakhah secara bahasa, selain al izalah dan al naql.

149

laki yang masih hidup (saudaranya yang empat orang laki-laki).

2. Keadaan KeduaAhli waris mayit kedua adalah orang yang mewarisi harta

dari mayit pertama, namun nasab mereka kepada si mayitkedua berbeda. Misalnya, seorang laki-laki memiliki dua istri.Dari istri pertama, ia mempunyai seorang anak laki-laki, dandari istri kedua, ia mempunyai tiga orang anak perempuan.Laki-laki itu meninggal, meninggalkan ahli waris dua orangistri bersama anak-anaknya. Kemudian salah satu anakperempuan si mayit meninggal sebelum warisan dibagikan.Dalam keadaan ini, ahli waris anak perempuan yangmeninggal sama dengan ahli waris bapaknya, namunhubungan anak laki-laki terhadap si mayit menjadi saudarasebapak, dan dua orang anak perempuan lainnya menjadi duasaudara perempuan kandung. Karena itu, pembagian hartawarisan pun berubah. Jika warisan pertama sebesar 360 ha.tanah, penyelesaian masalahnya adalah sebagai berikut:

Pertama, pembagian harta waris sebelum kematian anakperempuan.

Kadar satu bagian adalah 360 ha.: 40 = 9 ha. Harta warisyang diperoleh setiap ahli waris adalah sebagai berikut:

Kasus Munasakhah (Kewarisan Turun Temurun)

150

Buku Ajar Fikh Waris

- Dua orang istri = 5 x 9 = 45 ha.- Satu anak laki-laki = 14 x 9 = 126 ha.- Satu anak perempuan = 7 x 9 = 63 ha.(3 x 63 = 189 ha.)___________________________________________________

Jumlah = 360 ha.

Kedua, pembagian harta waris, seorang anak perempuanyang meninggal:

Harta waris yang ditinggalkan 63 ha. dan asal masalahnyaadalah (3). Jadi, kadar satu bagian adalah (63: 3 = 21 ha). HartaWaris yang akan diperoleh saudara laki-laki sebapak dansaudara perempuan kandung adalah sebagai berikut:

- Saudara laki-laki sebapak = 1 x 21 ha. = 21 ha.- Dua saudara perempuan kandung= 2 x 21 ha. = 42 ha.- Masing-masing saudara perempuan = 21 ha.187

Dengan demikian, dari dua kasus kematian/masalahtersebut, anak laki-laki mendapatkan warisan dari bapaknyasebesar 126 ha. dan warisan dari saudara perempuan sebapasebesar 21 ha. Jadi, jumlah harta waris yang dia dapatkanadalah 147 ha. Sementara itu, satu anak perempuan menda-patkan 63 ha. dari warisan bapaknya ditambah 21 ha. dariwarisan saudara perempuan kandung. Dengan demikianjumlah harta warisan yang diterima setiap anak perempuanadalah 84 ha.188

187 Komite Fakultas Syariah Universitas Al Azhar Mesir, Ahkam al Mawarits fi alFiqhi al Islamy, terj. Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris, Senayan AbadiPublishing, Jakarta, cet. Pertama, Maret 2004, hal. 422.

188 Tertulis hektare untuk kata-kata ha. dalam tulisan ini.Ibid, hal. 423.

151

Sedikit koreksi untuk pembagian harta warisan ketikamayit kedua ini meninggal. Sesuai dengan uraian/illustrasicontoh kasus sebelumnya, bahwa seorang laki-laki (mayitpertama) meninggal, dia meninggalkan dua orang istri dananak-anak dari kedua istri tersebut. Karena yang meninggalsesudahnya (mayit pertama) adalah salah seorang anakperempuan dari istri kedua, jadi seharusnya pada saatkematian mayit kedua pembagian dilakukan dengan strukturwaris seperti berikut:

Atas dasar itu, berarti ada pengurangan hak dari masing-masing saudara sebapa atau saudara perempuan kandung,karena harus dibagi juga kepada ibu pewaris pada mayitkedua ini. Sesuai dengan pembagian di atas, maka seharusnyaperolehan masing-masing waris tersebut adalah: Hartawarisan yang ditinggalkan (mayit kedua) sejumlah 63 ha.,yang diperolehnya ketika bapaknya meninggal. Bagian inikemudian diwariskan terhadap para waris sebagaimana tabeldi atas dengan pembagian (seharusnya), yaitu: Kadar satubagian 63: 6 = 10, 5 ha.

Harta warisan yang diperoleh ahli waris mayit kedua inimenjadi:1) I b u = 1 x 10,5 = 10,5 ha.2) Saudara sebapak = 1 x 10,5 = 10,5 ha.3) Dua sdr. Pr. kdg. = 4 x 10,5 = 42 ha.

Dengan demikian, anak laki-laki (dari mayit pertama,atau saudara laki-laki sebapak dari mayit kedua),

Kasus Munasakhah (Kewarisan Turun Temurun)

152

Buku Ajar Fikh Waris

mendapatkan bagian sebesar 126 ha. dari bapanya, ditambah10,5 ha. = 136,5 ha. Sementara itu, satu anak perempuan (darimayit pertama, atau saudara perempuan kandung dari mayitkedua), mendapatkan bagian sebesar 63 ha. dari bapaknya,ditambah 21 ha. = 84 ha.

Dari illustrasi contoh di atas, pembagian keseluruhandengan dua peristiwa kematian dalam kasus munasakhah inidapat dijelaskan sebagai berikut: Harta warisan mayit pertamasebesar 360 ha. yang diwariskan kepada masing-masing ahliwarisnya (dua orang istri dan empat orang anak dari keduaistri), kemudian salah seorang warisnya189 ini mewariskankembali apa yang menjadi hak/bagian yang diperoleh daribapaknya tersebut, kepada masing-masing ahli warisnya yangberbeda status kewarisannya dalam dua kasus kematian.

Pada kematian pertama, harta warisan sebesar 360 ha.diwariskan kepada:

- 2 orang istri mendapat = 45 ha.- Anak laki-laki = 126 ha.- Tiga orang anak perempuan = 189 ha.__________________________________________

Jumlah = 360 ha.

Pada kematian kedua, harta warisannya adalah 189: 3 =63 ha. diwariskan terhadap ibu, dua saudara perempuankandung dan satu orang saudara laki-laki sebapa, sepertiberikut:

- I b u = 10,5 ha.- Dua saudara perempuan kandung = 42 ha.- Satu saudara laki-laki sebapa = 10,5 ha.

Jadi total perolehan masing-masing waris dalam duakasus kematian ini:

189 Anak perempuan dari istri kedua yang meninggal dunia sebelum sempatmenerima bagian warisan dari bapaknya, sehingga hak/bagiannya tersebut (sesuairambu-rambu penyelesaian kasus munasakhah, dipindahkan kepada waris-warisnya.

153

- Istri I mendapat = 22,5 ha.- Istri II (22,5 ha. + 10,5 ha) = 33 ha.- Anak laki-laki (126 ha. + 10,5 ha.) = 136,5 ha.- Satu anak perempuan (63+21 ha. x 2) = 168 ha._____________________________________________

Jumlah = 360 ha.

3. Keadaan KetigaAhli waris mayit kedua bukan ahli waris mayit pertama,

atau sebagian dari ahli waris mayit kedua adalah ahli warismayit pertama dan mayit kedua. Dalam kondisi ini,pembagian warisan harus dilakukan secara terpisah, artinyawarisan mayit pertama dibagikan terlebih dahulu kepada ahliwarisnya, setelah itu, warisan mayit kedua dibagikan kepadaahli warisnya, sesuai kaidah terdahulu.190

Contoh pertama, seorang wanita meninggal, meninggal-kan ahli waris terdiri dari suami, saudara perempuan ibu,191

dan paman kandung (dari pihak bapa). Harta warisan yangditinggalkan sebesar Rp. 60.000,-.192 Tidak lama kemudian,suami meninggal sebelum pembagian warisan dilakukan. Sisuami meninggalkan ahli waris: anak perempuan, cucuperempuan dari anak laki-laki, ibu, dan bapa.

Penyelesaian pertama, ahli waris dan pembagian warisansebelum suami si mayit meninggal.

190Ibid.191 Tertulis seperti itu, padahal yang dimaksudkan adalah “saudara perempuan

seibu” (lihat sebagaimana tabel di bawahnya)192Ibid, tertulis 60.000 riyal (Rp. 133.800.000.00,-).

Kasus Munasakhah (Kewarisan Turun Temurun)

154

Buku Ajar Fikh Waris

Kadar satu bagian: Rp.60.000,-: 6 = Rp.10.000,- Maka hartawaris yang diperoleh suami, saudara perempuan seibu, danpaman kandung adalah sebagai berikut:

- Suami = 3 x Rp. 10.000,- = Rp. 30.000,-- Sdr. Pr. seibu = 1 x Rp. 10.000,- = Rp. 10.000,-- Paman kandung = 2 x Rp. 10.000,- = Rp. 20.000,-

Penyelesaian kedua, ahli waris dan pembagian warisansuami si mayit yang meninggal:193

Kadar satu bagian = Rp. 30.000,-: 6 = Rp. 5.000,- Hartawarisan yang diperoleh anak perempuan, cucu perempuan,ibu, dan bapa, sebagai berikut:

- Anak perempuan = 3 x Rp. 5.000,- = Rp. 15.000,-- Cucu pr. dari anak laki-laki= 1 x Rp. 5.000,- = Rp. 5.000,-- I b u= 1 x Rp. 5.000,- = Rp. 5.000,-- Bapa= 1 x Rp. 5.000,- = Rp. 5.000,-194

Di bawah ini, penulis illustrasikan satu contoh kasusmunasakhah lainnya yang dideskripsikan dengan satu tabelpenyelesaian. Di dalamnya akan jelas terlihat mengenai bagianmasing-masing waris yang diperoleh per kasus kematian,termasuk hasil pentashhihan yang dilakukan sesuai kasus yang

193Ibid, hal. 424. Tabel (tertulis tidak seperti tulisan ini).194Ibid, lihat hal. 424-427, penterjemah masih menambahkan dengan contoh lainnya

dan beberapa latihan. Illustrasi dan contoh-contoh lainnya (pada dasarnya) semuanyasama cara menyelesaikannya. Paling tidak, tiga keadaan/kondisi sebagaimanadijelaskan terdahulu, menjadi perhatian dalam mengoperasionalkan kasus kewarisanmunasakhah ini.

155

menghajatkan adanya semacam “pembulatan,”195 agarmasing-masing waris dapat menerima bagian mereka dengan“tidak pecah”.

Misalnya, di suatu tahun tertentu, seorang laki-lakimeninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris sepertiseorang isteri, tiga orang anak perempuan, dan seorang anaklaki. Belum sempat terbagi harta warisan dari laki-laki yangtelah meninggal dunia tadi, di tahun-tahun berikutnyameninggal pula (secara berurutan) salah seorang anakperempuannya, kemudian istrinya, dan seorang anakperempuannya lagi. Sehingga, bertepatan waktu pembagianharta warisan itu dilakukan, berarti telah ada empat kasusyang harus di selesaikan sesuai urutan tahun kematian.

Berdasarkan illustrasi contoh ini, maka ketika pembagianharta warisan itu dilakukan, berarti telah ada empat kasusyang harus diselesaikan berdasarkan urut tahun kematiannya.Sesuai dengan kasusnya, munasakhah ini harus diselesaikandengan pembagian atas satu masalah kemudian berpindahlagi kepada masalah lainnya, demikian ini dilakukan sehinggaempat kali penyelesaian. Contoh berikut (sengaja) diberikandengan tidak menyebutkan jumlah harta warisannya. Jadipenyelesaiannya hanya menghitung hak/bagian masing-masing waris perkasusnya, dan bagian/hak yang diterima daripewaris pertama itu pula yang akan diwariskan pada ahliwaris sesudahnya.

Pewaris pertama meninggalkan ahli waris:

195 Meskipun untuk saat sekarang ini, pentashhihan tidak terlalu diperlukan adanya,karena mata uang sudah beragam jenisnya, namun pada beberapa putusan/penetapansebagai produk Pengadilan Agama yang dikeluarkan terkait kasus gugatan danpermohonan waris, tampaknya juga masih mencantumkan ini sebagai hasil akhiruntuk memutuskan/menetapkan bagian masing-masing ahli waris dalam kasusnya.

Kasus Munasakhah (Kewarisan Turun Temurun)

156

Buku Ajar Fikh Waris

* Asal masalah 8 ditashhih menjadi 40, adalah berdasarkan padafardh istri 1/8, dikali 5 (karena ashobah bi al ghairnya tiga anakperempuan dan seorang anak laki-laki yang harus dihitung duakali lipatnya perempuan).

Pada saat kematian kedua, pewaris (seorang anak perem-puan) meninggalkan hak/bagian waris (diterima dari bapak-nya) yang akan dibagikan terhadap ahli warisnya sebesar 7/40 = 168/960. Asal masalah 6ditashhih menjadi 24.

Pewaris ketiga meninggalkan hak/bagian waris yang akandibagi terhadap ahli warisnya sebesar 5/40 = 120/960 = 148/960. Asal masalah 4.

157

Pewaris keempat meninggalkan hak/bagian waris yangakan dibagi terhadap ahli warisnya sebesar 7/40 = 168/960=240/960. Asal masalah 3.

Dari tabel penyelesaian di atas, dapat dinyatakan bahwa,pada saat tahun pembagian harta warisan yang dilakukandengan pemindahan sampai pada masalah keempat, ahliwaris yang tersisa hanyalah dua orang saja, yaitu seorang anakperempuan dan seorang anak laki-laki. Pada tabel itu jugadapat dibaca bahwa, masing-masing anak tersebut telahmendapat bagian/hak waris sebanyak empat kali, yaitu padasaat pertama kali bapanya meninggal, kedua, saudaraperempuannya, ketiga ibunya, dan keempat yaitu pada saatsaudara perempuannya.

Jelasnya, secara keseluruhan anak perempuan memper-oleh hak/bagian waris sebesar 7/40 = 168/960 + 35 + 37 + 80 =320, sedangkan anak laki-laki memperoleh hak/bagian warissebesar 14/40 = 336/960 + 70 + 74 + 160 = 640. Sehingga bagiananak perempuan 320 + bagian anak laki-laki 640 = 960. Padasaat penyelesaian pembagian harta warisan ini, harta tidakperlu (harus) dibagi seperti itu, dengan angka pentashhihansebesar 960, karena dapat diketahui bahwa, 320 berbanding640 (320: 640) itu, sama saja dengan satu berbanding dua (1:2). Jadi harta warisan yang diterima mulai dari pewarispertama sampai pewaris keempat, cukup dibagi tiga saja; satubagian diserahkan untuk anak perempuan, dua bagiandiserahkan untuk anak laki-laki.

Kasus Munasakhah (Kewarisan Turun Temurun)

158

Buku Ajar Fikh Waris