bells palsy felix.docx

36
PENDAHULUAN Kelumpuhan wajah adalah gangguan yang memiliki dampak yang besar pada pasien. Kelumpuhan saraf wajah mungkin karena bawaan atau neoplastik atau mungkin akibat dari infeksi, trauma, eksposur beracun, atau penyebab iatrogenik. Penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah unilateral adalah Bell’s palsy, atau disebut kelumpuhan wajah idiopatik. Bell’s palsy merupakan kekakuan akut unilateral, perifer, bersifat lower-motor-neuron yang secara bertahap membaik pada 70-80% kasus. 1 Bell’s palsy adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum yang mempengaruhi saraf kranial, dan merupakan penyebab paling umum kelumpuhan wajah di seluruh dunia. Bell’s palsy diperkirakan menyumbang sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan wajah akut unilateral. Bell’s palsy lebih sering terjadi pada orang dewasa, pada orang dengan diabetes, dan pada wanita hamil. Penyebab Bell’s palsy masih belum diketahui, meskipun banyak terdapat teori mengenai kemungkinan etiologinya antara lain : virus, inflamasi, autoimun, dan iskemik. Untuk menentukan apakah pada wajah yang terkena saraf kelumpuhan perifer atau pusat adalah kunci dalam diagnosis. Sebuah lesi yang melibatkan upper motor neuron mengakibatkan kelemahan wajah bagian bawah, berbeda dengan lesi di lower motor neuron. Anamnesa yang cermat dan pemeriksaan yang teliti, termasuk pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan, dan saraf 1

Transcript of bells palsy felix.docx

STATUS PASIEN

PENDAHULUAN

Kelumpuhan wajah adalah gangguan yang memiliki dampak yang besar pada pasien. Kelumpuhan saraf wajah mungkin karena bawaan atau neoplastik atau mungkin akibat dari infeksi, trauma, eksposur beracun, atau penyebab iatrogenik. Penyebab paling umum dari kelumpuhan wajah unilateral adalah Bells palsy, atau disebut kelumpuhan wajah idiopatik. Bells palsy merupakan kekakuan akut unilateral, perifer, bersifat lower-motor-neuron yang secara bertahap membaik pada 70-80% kasus.1

Bells palsy adalah salah satu gangguan neurologis yang paling umum yang mempengaruhi saraf kranial, dan merupakan penyebab paling umum kelumpuhan wajah di seluruh dunia. Bells palsy diperkirakan menyumbang sekitar 60-75% dari kasus kelumpuhan wajah akut unilateral. Bells palsy lebih sering terjadi pada orang dewasa, pada orang dengan diabetes, dan pada wanita hamil. Penyebab Bells palsy masih belum diketahui, meskipun banyak terdapat teori mengenai kemungkinan etiologinya antara lain : virus, inflamasi, autoimun, dan iskemik.

Untuk menentukan apakah pada wajah yang terkena saraf kelumpuhan perifer atau pusat adalah kunci dalam diagnosis. Sebuah lesi yang melibatkan upper motor neuron mengakibatkan kelemahan wajah bagian bawah, berbeda dengan lesi di lower motor neuron. Anamnesa yang cermat dan pemeriksaan yang teliti, termasuk pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan, dan saraf kranial, harus dilakukan.Kriteria diagnostik minimal termasuk kelumpuhan atau paresis dari semua kelompok otot di satu sisi wajah,secara akut dan tiba-tiba, setelah dipastikan tidak ada penyakit sistem saraf pusat. Perhatikan bahwa diagnosis Bells palsy dibuat hanya setelah penyebab lain dari kelumpuhan perifer akut telah disingkirkan.2

Jika temuan klinis meragukan atau jika kelumpuhan berlangsung lebih lama dari 6-8 minggu,perencanaan lebih lanjut, termasuk pencitraan gadolinium meningkatkan resonansi magnetik dari tulang temporal dan pons, harus dipertimbangkan. Tes Electrodiagnostic (misalnya, stapedius tes refleks, membangkitkan saraf wajah-elektromiografi [EMG], audiography) dapat membantu meningkatkan ketepatan prognosis pada kasus yang sulit.3-5

Pengobatan Bells palsy harus konservatif dan dipandu oleh keparahan dan prognosis kemungkinan dalam setiap kasus tertentu. Studi telah menunjukkan manfaat dosis tinggi kortikosteroid untuk Bells palsy akut. Walaupun pengobatan antivirus telah digunakan dalam beberapa tahun terakhir, bukti menunjukkan bahwa obat ini mungkin kurang bermanfaat.6

Terapi okular topikal berguna dalam banyak kasus, dengan pengecualian orang-orang yang kondisinya parah atau berkepanjangan. Dalam kasus ini, manajemen operasi adalah yang terbaik. Beberapa prosedur bertujuan untuk melindungi kornea dari paparan dan mencapai kesimetrian wajah. Prosedur ini mengurangi kebutuhan penggunaan secara konstan tetes atau salep pelumas, dapat meningkatkan nilai estetika, dan mungkin diperlukan untuk menjaga penglihatan pada sisi mata yang terkena.7-8

STATUS PASIEN

I. Identitas

Nama: Tn. M.

Jenis Kelamin: Laki-Laki

Umur: 59 tahun

Kebangsaan: Indonesia

Pekerjaan: Pensiunan

Agama: Islam

Alamat: Desa Rantau Bujur Hulu

Tanggal masuk RS: 31 Oktober 2014

II. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesa dengan pasien pada 31 Oktober 2014

A. Keluhan Utama :

Mata kanan tidak dapat ditutup sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (SMRS)

B. Keluhan Tambahan :

Wajah kanan terasa tebal

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan mata kanan tidak dapat ditutup sejak 1 hari SMRS.

Keluhan mulai dirasakan ketika pasien bangun dari tidur. Sehabis bangun tidur, pasien merasakan mata kanannya perih, berair dan sulit untuk menutupinya. Selain itu, pasien juga mengeluhkan tidak dapat mengerutkan dahi dan bibir bagian kanan jatuh. Air yang diminumnya seakan-akan tidak masuk ke dalam mulutnya. Pasien juga mengeluh wajah kanan terasa tebal dan kurang terasa bila dipegang. Pasien mengaku dirinya baru pulang dari perjalanan jauh dengan menggunakan mobil dan AC-nya diarahkan ke muka selama perjalanan. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan. Riwayat trauma disangkal. Keluhan lain seperti mual (-), muntah (-), kejang (-), gangguan penglihatan (-),gangguan pengecapan(-), penglihatan ganda (-), gangguan pendengaran (-), bunyi berdenging (-), bicara pelo (-), dan kelemahan tubuh sesisi (-).

D. Riwayat Penyakit Dahulu

Hipertensi (-), riwayat DM(+), riwayat stroke (-), asma(-), alergi(-)

E. Riwayat Kebiasaan

Pasien mengaku mempunyai kebiasaan menyetir mobil jarak jauh dan sering mengarahkan AC ke wajahnya.

F. Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada anggota keluarga yang mengalami hal yang sama dengan pasien

III. Pemeriksaan Umum

A. Keadaan Umum

Kesadaran: Compos Mentis, GCS = E4V5M6

Kesan sakit: Sakit sedang

Tanda Vital

Tekanan Darah: 90/70 mmHg

Nadi: 80 kali/menit

Suhu: 36,50

Pernapasan: 20 kali/menit

B. Keadaan Lokal

Trauma Stigmata: (-)

Pulsasi Aa.Carotis: equal kanan=kiri, regular, cukup

Pembuluh darah perifer: CRT 2 tahun adalah 80 mg per kg per hari melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2000-4000 mg per hari yang dibagi dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari.

Sedangkan dosis pemberian valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah 1000-3000 mg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek samping jarang ditemukan pada penggunaan preparat antivirus, namun kadang dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.5,8

Komplikasi

Sekitar 5% pasien setelah menderita Bells palsy mengalami sekuele berat yang tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bells palsy, adalah (1) regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis, (2) regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan (3) reinervasi yang salah dari saraf fasialis.

Reinervasi yang salah dari saraf fasialis dapat menyebabkan (1) sinkinesis yaitu gerakan involunter yang mengikuti gerakan volunter, contohnya timbul gerakan elevasi involunter dari sudut mata, kontraksi platysma, atau pengerutan dahi saat memejamkan mata, (2) crocodile tear phenomenon, yang timbul beberapa bulan setelah paresis akibat regenerasi yang salah dari serabut otonom, contohnya air mata pasien keluar pada saat mengkonsumsi makanan, dan (3) clonic facial spasm (hemifacial spasm), yaitu timbul kedutan secara tiba-tiba (shock-like)pada wajah yang dapat terjadi pada satu sisi wajah saja pada stadium awal, kemudian mengenai sisi lainnya (lesi bilateral tidak terjadi bersamaan).3,5

Prognosis

Perjalanan alamiah Bells palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bells palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3 minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5% mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.

Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bells palsy, bukti denervasi mulai setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang jelas.

Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini, penyembuhan awal dan atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama. Kimura et al menggunakan blink reflex sebagai prediktor kesembuhan yang dilakukan dalam 14 hari onset, gelombang R1 yang kembali terlihat pada minggu kedua menandakan prognosis perbaikan klinis yang positif.3

Kesimpulan

Bells Palsy merupakan sindrom klinis gangguan saraf fasialis yang bersifat perifer . Keterlibatan virus Herpes Simplex tipe 1 banyak dilaporkan sebagai penyebab kerusakan saraf tersebut, meski penggunaan preparat antivirus masih menjadi perdebatan dalam tata laksana. Peranan dokter di pelayanan primer yang diharapkan adalah dapat menegakkan diagnosis Bells palsy, menyingkirkan diagnosis banding yang ada, serta mengobati dengan tepat.

Daftar Pustaka.

1. Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP . Disorders of peripheral nerves: Bell palsy. In: Aminoff MJ, Greenberg DA, Simon RP , editors. Clinical Neurology . 6th Ed. USA: The McGraw-Hill Com-panies, Inc; 2005. p. 182.

2. Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy . Eastern Vir-ginia: Medscape. 2010.

3. Hauser WA, Karnes WE, Annis J, Kurland LT. Incidence and prognosis of Bells palsy in the population of Rochester, Minne-sota. Mayo Clin Proc. 1971;46:258.

4. Ropper AH, Adams RD, Victor M, Brown RH. Disease of spinal cord, peripheral nerve, and muscle. In: Ropper AH, Brown RH, editors. Adam and Victor s Principles of Neurology. 8th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2005. p. 1180-2.

5. Sabirin J. Bells palsy . In: Hadinoto HS, Noerjanto M, Jenie MN, Wirawan RB, Husni A, Soetedjo, editors. Gangguan gerak. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1996. p. 163-72.

6. Burgess RC, Michaels L, Bale JF Jr., Smith RJ. Polymerase chain reaction amplification of Herpes Simplex Viral DNAfrom the geniculate ganglion of a patient with Bells palsy . Ann Otol Rhinol Laryngol. 1994;103:775.

7. Murakami S, Honda N, Mizobuchi M, Nakashiro Y , Hato N, Gyo K, et al. Rapid diagnosis of varicella Zoster Virus in acute facial palsy. Neurology. 1998;51:1202.

8. Ginsberg L. Penglihatan dan nervus kranialis lainnya. In: Ginsberg L, editor. Lecture Notes-Neurologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. 2005. p. 35.

9. Basuki A, Sofiati D. Neurologi Dalam Praktek Sehari-Hari. Bandung : Fakultas Kedokteran UNPAD/RS Hasan Sadikin. 2011. p. 85-91.

ANALISA KASUS

Seorang laki-laki berusia 59 tahun berobat ke poli dengan diagnosa Bells palsy. Pada pasien ini didiagnosis Bells palsy karena didapatkan dari :

Anamnesis: Pasien datang dengan keluhan mata kanan tidak dapat ditutup, perih, dan berair. Pasien juga tidak dapat mengerutkan dahi, bibir bagian kanan jatuh, dan merasa baal di kulit wajah sisi kanan. Pasien sehabis perjalanan jauh dengan mobil dan AC mobil diarahkan ke wajahnya. Keluhan neurologis lain (-).

Pemeriksaan fisik : Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis, GCS 15 karena paralisis saraf pada Bells palsy tidak mengenai pusat kesadaran di sentral, hanya melibatkan saraf VII perifer. Pada pemeriksaan tanda vital, didapatkan hasil normal. Pada pemeriksaan nervus VII, didapatkan mata kanan pasien mengalami lagoftalmus, yaitu mata tidak dapat menutup sempurna, FOS OD 1mm, normal palpebral atas menutup kornea sebanyak 1,5mm, kerutan dahi kanan pasien ini menghilang karena terdapat kelumpuhan otot-otot dahi kanan yang dipersarafi oleh nervus VII, bila disuruh menggembung pipi, kemudian ditekan dengan jari, penggembungan mudah untuk mengempes karena hal yang sama, disuruh menyeringai, terlihat mulut mencong ke kiri, sudut mulut kanan menghilang dan bila disuruh angkat kedua alis, yang sisi kanannya tidak terangkat. Pada pemeriksaan nervus V cabang sensorik,yaitu V1,V2 dan V3,didapatkan sensasi raba halus dan kasar berkurang di sisi kanan.

Pada pemeriksaan neurologis yang lain didapatkan:

- Tanda Rangsangan Meningeal: (-)

-Pada pemeriksaan nervus kranialis yang lain dalam batas normal

-Motorik: kesan baik,normal ,kekuatan 5 di semua ekstrimitas

- Refleks Patologis: -,reflex fisiologis: Normal pada keempat ekstrimitas

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium : terdapat peningkatan kadar gula darah puasa yang menandakan pasien menderita Diabetes Mellitus, sedangkan pemeriksaan lainnya masih dalam batas normal.

Anjuran pemeriksaan

Pasien juga dikonsul ke spesialis penyakit dalam karena peningkatan kadar gula darah puasa untuk memastikan diagnosis dan supaya pasien mendapat pengobatan yang sesuai untuk penyakitnya yang secara tidak langsung berkemungkinan dapat mencegah rekurensi penyakit Bells palsy dan komplikasi lanjut darinya.

Diagnosa yang ditegakkan adalah Bells palsy kanan sesuai dengan definisi Bells palsy yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot pada satu sisi wajah akibat kerusakan NVII satu sisi yang mengendalikan otot-otot wajah di sisi tersebut dan menyebabkan wajah terasa baal dan berat. Sesuai dengan keluhan pasien, maka diagnosis topikalnya terletak di saraf motorik NVII perifer dengan paralisis motorik dan prosessus stylomastoideus.

Diagnosa non-neurologis adalah Diabetes Mellitus karena terdapat peningkatan kadar gula darah puasa pada pasien 126.

Penatalaksanaan

Pengobatan yang diberikan pada pasien ini berupa:

Pada Bellss palsy-Kortikosteroid diberikan metilprednisolon injeksi saat dirawat di RS dan ditappering off seiring dengan perbaikan klinis pada pasien. Kortikosteroid ini untuk mengurangkan peradangan dan edema pada saraf, kemudian di tappering off supaya tidak memunculkan withdrawal syndrome.

Mecobalamin sebagai neuroprotektor dan memperbaiki serabut mielin, dosisnya tablet 1500mcg dibagi 3 dosis selama 2 bulan.

Pada Diabetes Mellitus, diberikan glimepiride 2mg dengan pola pemberian 1-0-0.

Untuk penyakit sistemiknya, diperbaiki pola hidup seperti diet sehat dan cukup nutrisi, asupan garam,lemak dan gula dikurangi, olahraga teratur dan istirahat yang mencukupi.

Prognosis :Pada pasien ini prognosis ad vitamnya baik karena paralisis nervus ini tidak membawa kepada kematian. Ad fungsionamnya dubia karena pasien mempunyai faktor resiko diabetes mellitus, jadi komplikasi ke sarafnya bisa berlanjut dan penyembuhannya mungkin lebih sulit jika faktor resiko tidak ditangani dengan benar. Ad sanasionamnya juga dubia juga karena faktor resiko tadi yaitu Diabetes Mellitus. Jika gula darah tak terkontrol, kemungkinan rekuren akibat kerusakan saraf-saraf perifer bisa saja terjadi.

4