ANSIN Bells Palsy

26
LAPORAN PENDAHULUAN BELL’S PALSY I. KONSEP MEDIS A. Pengertian Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron akibat paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya. Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus. Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes simpleks atau paralisis fasial herpetik. Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang

description

lk

Transcript of ANSIN Bells Palsy

Page 1: ANSIN Bells Palsy

LAPORAN PENDAHULUAN

BELL’S PALSY

     I.     KONSEP MEDIS

A.    Pengertian

Bell’s palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis tipe lower motor neuron akibat

paralisis nervus fasial perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui

(idiopatik) di luar sistem saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.

Paralisis fasial idiopatik atau Bell’s palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari

Skotlandia. Bell’s palsy sering terjadi setelah infeksi virus atau setelah imunisasi, lebih sering

terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta penderita hipertensi. Bukti-bukti

dewasa ini menunjukkan bahwa Herpes simplex tipe 1 berperan pada kebanyakan kasus.

Berdasarkan temuan ini, paralisis fasial idiopatik sebagai nama lain dari Bell’s palsy tidak

tepat lagi dan mungkin lebih baik menggantinya dengan istilah paralisis fasial herpes

simpleks atau paralisis fasial herpetik.

 Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus nervus

VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Salah satu gejala Bell’s palsy

adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha menutup kelopak matanya,

matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala ini disebut juga fenomena Bell.

Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat

jika dibandingkan dengan gerakan bola mata yang sehat (lagoftalmos).

B.Epidemiologi

                  Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.

Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah

ditemikan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun

sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy

rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih

tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan

perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan

terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai

semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester

Page 2: ANSIN Bells Palsy

ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi

daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .

C.Etiologi

                  Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru beberapa tahun

terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena pada umumnya kasus Bell’s

palsy sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi gen Herpes Simpleks Virus (HSV)

dalam ganglion genikulatum penderita Bell’s palsy. Dulu, masuk angin (misalnya hawa

dingin, AC, atau menyetir mobil dengan jendela terbuka) dianggap sebagai satu-satunya

pemicu Bell’s palsy. Akan tetapi, sekarang mulai diyakini HSV sebagai penyebab Bell’s

palsy. Tahun 1972, McCormick pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis

fasial idiopatik. Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas

dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap laten dalam

ganglion genikulatum. Sejak saat itu, penelitian biopsi memperlihatkan adanya HSV dalam

ganglion genikulatum pasien Bell’s palsy. Murakami at.all melakukan tes PCR (Polymerase-

Chain Reaction) pada cairan endoneural N.VII penderita Bell’s palsy berat yang menjalani

pembedahan dan menemukan HSV dalam cairan endoneural. Apabila HSV diinokulasi pada

telinga dan lidah tikus, maka akan ditemukan antigen virus dalam nervus fasialis dan

ganglion genikulatum. Varicella Zooster Virus (VZV) tidak ditemukan pada penderita Bell’s

palsy tetapi ditemukan pada penderita Ramsay Hunt syndrome.

D.Anatomi

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :

1.    Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah kecuali m. levator palpebrae (n.II),

otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.

2.     Serabut visero-motorik, (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior.

Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus

paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.

3.     Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian

depan lidah.

4.     Serabut somato-sensorik, rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba dari sebagian

daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.

Page 3: ANSIN Bells Palsy

     Nervus VII terutama terdiri dari saraf motorik yang mempersarafi seluruh otot

mimik wajah. Komponen sensorisnya kecil, yaitu nervus intermedius Wrisberg yang

mengantarkan rasa kecap dari dua pertiga bagian lidah dan sensasi kulit dari dinding anterior

kanalis auditorius eksterna. Serabut-serabut kecap pertama-tama melintasi nervus lingual,

yaitu cabang dari nervus mandibularis lalu masuk ke korda timpani dimana ia membawa

sensasi kecap melalui nervus fasialis ke nukleus traktus solitarius. Serabut-serabut

sekretomotor menginnervasi kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superfisial major dan

kelenjar sublingual serta kelenjar submaksilar melalui korda tympani.

Nukleus (inti) motorik nervus VII terletak di ventrolateral nukleus abdusens, dan

serabut nervus fasialis dalam pons sebagian melingkari dan melewati bagian ventrolateral

nukleus abdusens sebelum keluar dari pons di bagian lateral traktus kortikospinal. Karena

posisinya yang berdekatan (jukstaposisi) pada lantai ventrikel IV, maka nervus VI dan VII

dapat terkena bersama-sama oleh lesi vaskuler atau lesi infiltratif. Nervus fasialis masuk ke

meatus akustikus internus bersama dengan nervus akustikus lalu membelok tajam ke depan

dan ke bawah di dekat batas anterior vestibulum telinga dalam. Pada sudut ini (genu) terletak

ganglion sensoris yang disebut genikulatum karena sangat dekat dengan genu. Nervus fasialis

terus berjalan melalui kanalis fasialis tepat di bawah ganglion genikulatum untuk

memberikan percabangan ke ganglion pterygopalatina, yaitu nervus petrosus superfisial

major, dan di sebelah yang lebih distal memberi persarafan ke m. stapedius yang

dihubungkan oleh korda timpani. Lalu n. fasialis keluar dari kranium melalui foramen

stylomastoideus kemudian melintasi kelenjar parotis dan terbagi menjadi lima cabang yang

melayani otot-otot wajah, m. stilomastoideus, platisma dan m. digastrikus venter posterior.

 Lokasi cedera nervus fasialis pada Bell’s palsy adalah di bagian perifer nukleus

nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum. Jika lesinya berlokasi di

bagian proksimal ganglion genikulatum, maka paralisis motorik akan disertai gangguan

fungsi pengecapan dan gangguan fungsi otonom. Lesi yang terletak antara ganglion

genikulatum dan pangkal korda timpani akan mengakibatkan hal serupa tetapi tidak

mengakibatkan gangguan lakrimasi. Jika lesinya berlokasi di foramen stilomastoideus maka

yang terjadi hanya paralisis fasial (wajah).

E.Patofisiologi

Page 4: ANSIN Bells Palsy

                 Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut pada

nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bell’s palsy

hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau

lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.

Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi

pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi

kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis

keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong

yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang

unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan

dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan

di lintasan supranuklear, nuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah

wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang

berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer. Karena adanya

suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin” atau dalam bahasa inggris “cold”.

Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau mengemudi dengan kaca jendela yang

terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis

bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan

fasialis LMN. Pada lesi LMN bias terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum

atau kavum timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis.

Lesi di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis

medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus

rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN

akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap

dengan 2/3 bagian depan lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama

Bell’s palsy adalah reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang

menyerang saraf kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf

melalui sel satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa

ikut terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN.

                         Kelumpuhan pada Bell’s palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah

seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada

usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak

bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena

lagoftalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun disitu.

Page 5: ANSIN Bells Palsy

F. Gejala klinik

            Pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur,

menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Setelah merasakan adanya kelainan di

daerah mulut maka penderita biasanya memperhatikannya lebih cermat dengan menggunakan

cermin.

        Mulut tampak moncong terlebih pada saat meringis, kelopak mata tidak dapat

dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita disuruh menutup kelopak matanya maka bola

mata tampak berputar ke atas.(tanda Bell). Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila

berkumur atau minum maka air keluar melalui sisi mulut yang lumpuh. Selanjutnya gejala

dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi.

1.    Lesi di luar foramen stilomastoideusMulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan

berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.

Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi

maka aur mata akan keluar terus menerus.

2.    Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)

     Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan

lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya

pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan

lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis

di kanalis fasialis.

3.    Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)

      Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), (2), ditambah dengan adanya hiperakusis.

4.    Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda

klinik seperti (1), (2), (3) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga. Kasus

seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka. Ramsay Hunt adalah

paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum.

Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna dan pina.

5.    Lesi di daerah meatus akustikus interna Gejala dan tanda klinik seperti (1), (2), (3), (4),

ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.

Page 6: ANSIN Bells Palsy

6.    Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis dari pons.Gejala dan tanda klinik sama dengan di

atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus, dan kadang-

kadang juga nervus abdusens, nervus aksesorius, dan nervus hipoglosus.

               Sindrom air mata buaya (crocodile tears syndrome) merupakan gejala sisa Bell’s

palsy, beberapa bulan pasca awitan, dengan manifestasi klinik: air mata bercucuran dari mata

yang terkena pada saat penderita makan. Nervus fasilais menginervasi glandula lakrimalis

dan glandula salivatorius submandibularis. Diperkirakan terjadi regenerasi saraf salivatorius

tetapi dalam perkembangannya terjadi ‘salah jurusan’ menuju ke glandula lakrimalis.

G. Pemeriksaan penunjang

1.    Pemeriksaan Fisis

     Kelumpuhan nervus fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik tetapi yang harus

diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang menyebabkan kelumpuhan nervus

fasialis. Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi di atas nukleus fasialis di pons, maka

lesinya bersifat UMN. Pada kelainan tersebut, sepertiga atas nervus fasialis normal,

sedangkan dua pertiga di bawahnya mengalami paralisis. Pemeriksaan nervus kranialis yang

lain dalam batas normal.

2.    Pemeriksaan Laboratorium

     Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bell’s palsy.

3.    Pemeriksaan Radiologi

     Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan

jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel

dan AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bell’s palsy akan menunjukkan adanya

penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

H. Diagnosis

       Diagnosis Bell’s palsy dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan

fisis. Pada pemeriksaan nervus kranialis akan didapatkan adanya parese dari nervus fasialis

yang menyebabkan bibir mencong, tidak dapat memejamkan mata dan rasa nyeri pada

telinga. Hiperakusis dan augesia juga dapat ditemukan. Harus dibedakan antara lesi UMN

dan LMN. Pada Bell’s palsy lesinya bersifat LMN

I.  Pengobatan

Page 7: ANSIN Bells Palsy

       Melindungi mata pada saat tidur dan pemberian tetes mata metilselulosa, memijat otot-

otot yang lemah dan mencegah kendornya otot-otot di bagian bawah wajah merupakan

kondisi yang dapat dikelola secara umum Belum ada bukti yang mendukung bahwa tindakan

pembedahan efektif terhadap nervus fasialis, bahkan kemungkinan besar dapat

membahayakan.

     Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1

mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana

pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan

peluang kesembuhan pasien.

      Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan

yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal

fasialis yang sempit.

      Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen

antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat

digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau

dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi

prednison. Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset

penyakit untuk mencegah replikasi virus.

J. Diagnosis banding

                     Kondisi lain yang dapat menyebabkan kelumpuhan nervus fasialis diantaranya

tumor, infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom), penyakit

Lyme, AIDS dan sarkoidosis(1), Guillain Barre syndrom, Diabetes Mellitus.

K. Komplikasi

                     Kira-ki ra 30% pasien Bell’s palsy yang sembuh dengan gejala sisa seperti fungsi

motorik dan sensorik yang tidak sempurna, serta kelemahan saraf parasimpatik.

                     Komplikasi yang paling banyak terjadi yaitu disgeusia atau ageusia, spasme nervus

fasialis yang kronik dan kelemahan saraf parasimpatik yang menyebabkan kelenjar lakrimalis

tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi infeksi pada kornea.

L. Prognosis

                     Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bell’s palsy cenderung memiliki prognosis

yang baik.Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bell’s palsy, 85% memperlihatkan

Page 8: ANSIN Bells Palsy

tanda-tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi

pada 3-6 bulan kemudian.

                     Sepertiga dari penderita Bell’s palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala

sisa. 1/3 lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan

baik. Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata.4 Penderita Bell’s palsy dapat

sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.. Faktor resiko yang memperburuk prognosis

Bell’s palsy adalah:

(1) Usia di atas 60 tahun

(2) Paralisis komplit

(3) Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,

(4) Nyeri pada bagian belakang telinga dan

(5) Berkurangnya air mata.

              Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk

mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.

              Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh

dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60

tahun atau lebih, mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan

gejala sisa. Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-

15 persen antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam

waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis,

crocodile tears dan kadang spasme hemifasial.

              Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita

nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %

kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy kambuh pada 10-15 %

penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor

kelenjar parotis

II. KONSEP DASAR KEPERAWTAN

Page 9: ANSIN Bells Palsy

A.    Pengkajian

Pengkajian keperawatan klien dengan Belll’s palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.

1.      Anamnesis

Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan dalah

berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.

2.      Riwayat penyakit saat ini

Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama

klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai

serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya

didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.

      Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan

kulit dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua

matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan

berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.

3.      Riwayat penyakti dahulu

Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau

menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia

vaskuler, otitis media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek,

herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian

obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta

pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan

data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.

4.      Pengkajian psiko-sosio-spiritual

Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan

perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kogniti dan perilaku

klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai

respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam

keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik

dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul

ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas

secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh).

Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama

Page 10: ANSIN Bells Palsy

masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang

telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.

      Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada

status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak

sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak

gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan

dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit

neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan

mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.

B.     Pemeriksaan fisik

Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik

sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik

sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan

B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pada klien

Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.

      B1 (breathing)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak

batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan

dalam batas normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi

didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi napas

tambahan.

      B2 (Blood)

Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama

yang normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.

      B3 (Brain)

Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan

pengkajian pada sistem lainnya.

1.      Tingkat kesadaran

Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.

2.      Fungsi serebri

Page 11: ANSIN Bells Palsy

Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien,

observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya statul

mental klien mengalami perubahan.

3.      Pemeriksaan saraf kranial

        Saraf I                  : biasanya pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman

tidak ada kelainan.

        Saraf II                 : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal

        Saraf III, IV, VI  : penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).

        Saraf V                 : kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi

kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.

        Saraf VII              : berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus

fasialis ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana

khorda timpani menggabungkan diri padanya.

        Saraf VIII                        : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi

        Saraf IX & X       : paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan menelan.

Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.

        Saraf XI               : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan

mobilisasi leher baik.

        Saraf XII              : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.

Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan

kurang tajam.

4.      Sistem motorik

Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan

dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.

5.      Pemeriksaan refleks

Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat

refleks pada respons normal.

6.      Gerakan involunter

Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada beberapa keadaan sering

ditemukan Tic fasialis.

Page 12: ANSIN Bells Palsy

7.      Sistem sensorik

Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan.

        B4 (Blader)

Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran

urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.

        B5 (bowel)

Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan

nutrisi pada klien bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah

serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.

        B6 (Bone)

Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara

umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

C.     Penatalaksaan medis

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk

mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang tejadi

bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien.

Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan

edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan perbaikan

sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk

mengurangi penyakit semain berat, mengurangi nyeri dan membantu mencegah atau

meminimalkan denervasi.

Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit

dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampai ke otot tersebut.

Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun

banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf

wajah dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi

saraf wajah melalui pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.

Pendidikan klien, Mata harus dilindungi karena paralisis lanjut dapat menyerang

mata. Sering kali, mata klien tidak dapat menutup dengan sempurna dan refleks berkedip

Page 13: ANSIN Bells Palsy

terbatas sehingga mata mudah diserang binatang kecil dan benda-benda asing. Iritasi kornea

dan luka adalah komplikasi potensial pada klien ini. Kadang-kadang keadaan ini

mengakibatkan keluarnya air mata yang berlebihan (epifora) karena karatitis yang disebabkan

oleh kornea kering dan tidak adanya refleks berkedip. Penutup mata bagian bawah menjadi

lemah akibat pengeluaran air mata. Untuk menangani masalah ini, mata harus ditutup dengan

melindunginya dari cahaya silau pada malam hari. Potongan mata dapat merusak kornea,

meskipun hal ini juga disebabkan beberapa kerusakan dalam memperthankan mata tertutup

akibat paralisis parsial. Benda-benda yang dapat digunbakan pada mata pada saat tidur dapat

diletakkan diatas mata agar kelopak mata menempel satu dengan yang lainnya dan tetap

menutup selama tidur.

Klien diajarkan untuk menutup kelopak mata yang mengalami paralisis secara manual

sebelum tidur. Gunakan penutup mata dengan kacamata hitam untuk menurunkan penguapan

normal dari mata. Jika saraf tidak terlalu sensitf, wajah dapat di masase beberapa kali sehari

untuk mempertahankaan tonus otot.tekhnikj untuk masae wajah adalah dengan gerakan

lembut keatas. Latihan wajah seperti mengherutkan dahi, mengembungkan pipi keluar, dan

bersiul dapat dilakukan dengan menggunakan cermin dan dilakukan teratur untuk mencegah

atropi otot. Hindari wajah terkena udara dingin.

D.    Diagnosa keperawatan

1.         Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena

kelumpuhan satu sisi pada wajah.

2.         Cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.

3.         Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yang

tidak edekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

E.     Intervensi dan rasional

1.gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan bentuk wajah karena kelumpuhan satu

sisi pada wajah.

        Data penunjang ;

Ds: merasa malu karena adanya kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi lain

Do: dahi di kerutkan,lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja.

Page 14: ANSIN Bells Palsy

        Tujuan                :konsep diri klein meningkat

        Criteria hasil       :klien mampu menggunakan koping yang positif

        Intervensi            :

a)    Kaji dan  jelaskan kepada klien tentang keadaan paralisis wajahnya.

R/ intervensi awal bisa mencegah disstres psikologi pada klien

b)   Bantu klien menggunakan mekanisme koping yang positif.

R/ mekanisme koping yang positif dapat membantu klien lebih percaya diri, lebih kooperatif

terhadap tindakan yang akan dilakukan dan mencegah tetjadinya kecemasan tambahan.

c)    Orientasikan klien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang diharapkan.

R/ orientasi dapat menurunkan kecemasan.

d)   libatkan system pendukung dalam perawatan klien

R/ kehadiran system pendukung meningkatkan citra diri klien.

2. cemas yang berhubungan dengan prognosis penyakit dan perubahan kesehatan.

        Tujuan                : kecemasan hilang atau berkurang

        Criteria hasil       : mengenal perasaannnya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor

yang mempengaruhinya dan menyatakan ansietas berkurang/hilang.

        Intervensi           :

a)    kaji tanda verbal dan non verbal kecemasan, dampingin klien dan lakukan tindakan bila

menunjukkan perilaku merusak.

R/ reaksi verbal/non verbal dapat menunjukkan rasa agitasi, marah dan gelisah.

b)   Mulai melakukan tindakan untuk mengurangi kecemasan. Beri lingkungan yang tenang dan

suasana penuh istirahat.

R/ mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu.

c)    Tingkatkan control sensasi klien

R/ control sensasi klien (dan dalam menurunkan ketakutan) dengan cara memberikan

informasi tentang keadaan klien, menekankan pada penghargaan terhadap sumber-sumber

koping (pertahanan diri), yang positif, membantu latihan relaksasi dan teknik-teknik

pengalihan dan memberikan respons balik yang positif.

d)   Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan kecemasannya.

R/ dapat menghilangkan ketegangan terhadap kekhawatiran yang tidak dieksperesikan.

e)    Berikan privasi untuk klien dan orang terdekat

Page 15: ANSIN Bells Palsy

R/ memberi waktu untuk mengeksperesikan perasaan, menghilangkan cemas dan perilaku

adaptasi. Adanya keluarga dan tewman-teman yang dipilih klien yang melayani aktivitas dan

pengalihan (misalnya membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.

3.Kurangnya pengetahuan perawatan diri sendiri yang berhubungan dengan informasi yasng

tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

   Tujuan : dalam jangka waktu 1x30 menit klien akan memperlihatkan kemampuan

pemahaman yang adekuat tentang penyakit dan pengobatannya.

   Criteria hasil : klien mampu secara subjektif menjelaskan ulang secara sederhana terhadap

apa yang telah didiskusikan.

   Intervensi :

a)    Kaji kemampuan belajar, tingkatkan kecemasan, partisipasi, media yang sesuai untuk belajar.

R/ indikasi progresif atau reaktivasi penyakit atau efek samping pengobatan serta untuk

evaluasi lebih lanjut.

b)   Identifikasi tanda dan gejala yang perlu dilaporkan keperawat

R/ meningkatkan kesadaran kebutuhan tentang perawatan diri untuk meminimalkan

kelemahan.

c)    Jelaskan instruksi dan informasi misalnya penjadwalan pengobatan.

R/ meningkatkan kerja sama/ partisipasi terapeutik dan mencegah putus obat.

d)   Kaji ulang resiko efek samping pengobatan

R/ dapat mengurangi rasa kurang nyaman dari pengobatan untuk perbaikan kondisi klien.

e)    Dorong klien mengeksperesikan ketidaktahuan/kecemasan dan beri informasi yang

dibutuhkan.

R/ memberikan kesempatan untuk mengoreksi persepsi yang salah dan mengurangi

kecemasan.  

Page 16: ANSIN Bells Palsy

DAFTAR PUSTAKA

         Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2003.

         Doengues.1999.rencana asuhan keperawatan pasien,edisi 3;EGC.jakarta

         Muttaqin ,arif .2008.buku ajar asuhan keperawatan dengan gangguan system

persarafan.salemba medika:jakarta

         http://www.irwanashari.com/2009/04/bells-palsy.html.(DI AKSES TANGGAL 28 -11-2010)