Referat Bells Palsy

22
Referat BELL’S PALSY OLEH NURFAISAL RESKI APRIANTI PINNI PEMBIMBING dr. Artha Bayu D, Sp.S Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar

Transcript of Referat Bells Palsy

Page 1: Referat Bells Palsy

Referat

BELL’S PALSY

OLEH

NURFAISAL

RESKI APRIANTI PINNI

PEMBIMBING

dr. Artha Bayu D, Sp.S

Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar

Bagian Ilmu Penyakit Saraf

Makassar 2012

Page 2: Referat Bells Palsy

BAB I

PENDAHULUAN

Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak

diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti

beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n.

fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy.(1,2,3)

Penyakit ini lebih sering ditemukan pada usia dewasa, jarang pada anak di

bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi saluran napas bagian atas

yang erat hubungannya dengan cuaca dingin.(4,5)

Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis

fasial akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori Jepang tahun 1986

dan insiden terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat,

insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63%

mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000

populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-

diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang

sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena

daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai

semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan

trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bell’s

palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat .(6)

Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.

Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan

frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak

pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak

didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada

beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin

berlebihan .(7)

Page 3: Referat Bells Palsy

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak

diketahui sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti

beberapa penderita dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n.

fasialis perifer yang tidak diketahui sebabnya disebut Bell's palsy.(1,2,3)

II. 2 ETIOLOGI

Penyebab kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang belum diketahui

secara pasti. Umumnya dapat dikelompokkan sbb :

o Kongenital.

Anomali kongenital (sindroma Moebius)

Trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial,dll.)

o Didapat

Trauma

Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll.)

Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll.)

Sindroma paralisis n. fasialis familial

Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain : sesudah

bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,

hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,

gangguan imunologik dan faktor genetik.(4,8)

Page 4: Referat Bells Palsy

II. 3 ANATOMI

Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : (9)

1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator

palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan

stapedius di telinga tengah).

2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius

superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,

rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual

dan lakrimalis.

3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua

pertiga bagian depan lidah.

4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa

raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus

trigeminus.

Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang

menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa

serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dank ke selaput mukosa

rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari

daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan

sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan

sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya.(9)

Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang

menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai

saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di

ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi

pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda

timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar

sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan

berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus

(N.V). hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus.(9)

Page 5: Referat Bells Palsy

Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI,

dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan

lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus

intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini

nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas

saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os

mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan

bercabang untuk mersarafi otot- otot wajah.(9)

II.4 PATOFISIOLOGI

Terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan, yaitu teori iskemik

vaskuler dan teori infeksi virus, teori kombinasi.

Teori iskemik vaskuler. Teori ini dikemukakan oleh Mc. Groven pada

tahun 1955 yang menyatakan bahwa adanya ketidakstabilan otonomik

dengan respon simpatis yang berlebihan. Hal ini menyebabkan spasme

pada arteriol dan statis pada vena di bagian bawah kanalis spinalis.

Vasospasme ini menyebabkan iskemik dan terjadinya oedem. Hgasilnya

adalah paralisis flaksid perifer dari semua otot yang melayani ekspresi

wajah.(10,11)

Teori infeksi virus. Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab

infeksi yang dapat ditemukan pada kasus saraf fasialis adalah otitis media,

meningitis bakteri, penyakit limfe, infeksi HIV, dan lainnya. Pada tahun

1972 Mc Cromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada

ganglion genikulatum dapat mengalami reaktivasi saat daya tahan tubuh

menurun. Adanya reaktivasi infeksi ini menyebabkan terjadinya reaksi

inflamasi dan edema saraf fasialis, sehingga saraf terjepit dan terejadi

kematian sel saraf karena sel saraf tidak mendapatkan suplai oksigen yang

cukup.(10,12)

Teori kombinasi, teori ini dikemukakan oleh Zalvan yang menyatakan

bahwa kemungkinan Bell’s palsy disebabkan oleh suatu infeksi atau

reaktivitas virus Herpes Simpleks dan merupakan reaksi imunologis

Page 6: Referat Bells Palsy

sekunder atau karena proses vaskuler sehingga menyebabkan inflamasi

dan penekanan saraf perifer ipsilateral.(10)

II. 5 GEJALA KLINIK

Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks,

kerusakan atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak

masalah. Penyakit ini seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis yang beragam

akan tetapi gejala-gejala yang sering terjadi yaitu wajah yang tidak simetris,

kelopak mata tidak bisa menutup dengan sempurna, gangguan pada pengecapan,

serta sensasi mati rasa pada salah satu bagian wajah. Pada kasus yang lain juga

terkadang disertai dengan adanya hiperakusis (sensasi pendengaran yang

berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut

terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang terjadi

diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai

infeksi. Selain itu juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi

menghilang, Tampak seperti orang letih, Hidung terasa kaku terus - menerus, sulit

berbicara, sulit makan dan minum, sensitive terhadap suara (hiperakusis), salivasi

yang berlebih atau berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya

rasa kecap, air liur sering keluar, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata

bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya.(13)

Gambar 1. Penderita bell’s palsy

Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini

yaitu, pada awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun

tidur, menggosok gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak

Page 7: Referat Bells Palsy

mencong terlebih saat meringis, kelopak mata tidak dapat dipejamkan

(lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak matanya maka bola mata akan

tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau meniup, apabila

berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh.

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi

lesi.(14,15)

a. Lesi di luar foramen stylomastoideus

Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar

pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang, lipatan

kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak

dilindungi maka aur mata akan keluar terus menerus.(14)

b. Lesi di canalis facialis (melibatkan chorda tympani)

Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus,

ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan

salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah

menunjukkan terlibatnya intermedius nerve, sekaligus menunjukkan lesi di daerah

antara pons dan titik di mana chorda tympani bergabung dengan facial nerve

(N.VII) di canalis facialis.(16)

c. Lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)

Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus,

lesi di canalis facialis, ditambah dengan adanya hiperakusis.

d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)

Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus. Lesi

di canalis facialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam

liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di tympani membrane

dan conchae. (15)

e.Lesi di daerah meatus acusticus interna

Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di

canalis facialis, lesi di canalis facialis lebih tinggi lagi, lesi di tempat yang lebih

tinggi lagi, ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya vagus nerve (N.X).(16)

Page 8: Referat Bells Palsy

f. Lesi di tempat keluarnya facial nerve (N.VII) dari pons.

Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda

terlibatnya trigeminus nerve (N.V), vagus nerve (N.X), dan kadang-kadang juga

abducens nerve (N.VI), accessory nerve (N.XI), dan hypoglossal nerve (N.XII).(14)

II. 6 DIAGNOSA

Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya

kelumpuhan n. fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab

lain dad kelumpuhan n. fasialis perifer (1,10,11)

Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan

derajat kerusakan n. fasialis sbb:(4,17,18)

1) Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)

Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah

diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan

patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel.

2) Uji konduksi saraf (nerve conduction test)

Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur

kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.

3) Elektromiografi

Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-

otot wajah.

4) Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah

Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap

dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asant dan rasa pahit (pil

kina). Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang

sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap

pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi n.

fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.

5) Uji Schirmer

Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang di letakkan di

belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas

Page 9: Referat Bells Palsy

rembesan air mata pada kertas filter; berkurang atau mengeringnya air mate

menunjukkan lesi n. fasialis setinggi ggl. genikulatum

II.7 DIAGNOSA BANDING

1.  Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)

Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai

dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.

Tanda dan gejala RHS meliputi : (19)

·         Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang

telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-

langit) atau lidah

·         Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang

terkinfeksi

·         Kesulitan menutup satu mata

·         Sakit telinga

·         Pendengaran berkurang

·         Dering di telinga (tinnitus)

·         Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)

·         Perubahan dalam persepsi rasa

2. Miller Fisher Syndrom

Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang

jarang dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated

Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa

opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher syndrom

didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang menyebabkan

kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis menyebabkan

kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer pada

Page 10: Referat Bells Palsy

Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan

rasa kebas, pusing dan mual. (19)

 

II.8 TATA LAKSANA

1) Istirahat terutama pada keadaan akut

2) Medikamentosa :

Prednison : pemberian sebaiknya selekas-lekasnya terutama pada kasus

BP yang secara elektrik menunjukkan denervasi. Tujuannya untuk mengurangi

udem dan mempercepat reinervasi. Dosis yang dianjurkan 3 mg/kg BB/hari

sampai ada perbaikan, kemudian dosis diturunkan bertahap selama 2 minggu.(2,20,21,18,22)

3) Fisioterapi

Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan

pada stadium akut. Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang

lumpuh. Cara yang sering digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama

5 menit pagi-sore.(7)

4) Operasi

Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak anak karena dapat

menimbulkan komplikasi lokal maupun intrakranial(8,22,23 )

Tindakan operatif dilakukan apabila :

Tidak terdapat penyembuhan spontan

Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

II.9 KOMPLIKASI

1. Crocodile tear phenomenon.

Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul

beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang

Page 11: Referat Bells Palsy

salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke

kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.(19)

2. Synkinesis

Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri.

selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata,

maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma,

atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf

yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.(24)

3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme

Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan

tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal

hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi

lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi

ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan

atau 1-2 tahun kemudian.(25)

II.10 PROGNOSIS

Penderita Bell’s Palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa.

Faktor resiko yang memperburuk prognosis Bell’s palsy adalah (26) :

Usia di atas 60 tahun

Paralisis komplit

Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh

Nyeri pada bagian belakang telinga

Berkurangnya air mata.

Pada umumnya prognosis Bell’s palsy baik yaitu sekitar 80-90% penderita

sembuh dalam waktu 6 minggu sampai tiga bulan tiga bulan tanpa ada

kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih, mempunyai peluang

40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.

Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan

peluang 10-15% antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika

Page 12: Referat Bells Palsy

tidak sembuh dalam waktu 4 bulan, maka penderita cenderung meninggalkan

gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile, tears dan kadang spasme hemifasial.

P e n d e r i t a d i a b e t e s 3 0 % l e b i h s e r i n g s e m b u h s e c a r a

p a r s i a l d i b a n d i n g p e n d e r i t a n o n d i a b e t i k d a n p e n d e r i t a D M

l e b i h s e r i n g k a m b u h d i b a n d i n g y a n g n o n D M . H a n y a 23 %

kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bell’s palsy k a m b u h

p a d a 1 0 - 1 5 % p e n d e r i t a . S e k i t a r 3 0 % p e n d e r i t a y a n g

k a m b u h ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor kelenjar parotis.

Page 13: Referat Bells Palsy

BAB III

RINGKASAN

Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak

diketahui sebabnya. Penyebab kelumpuhan n. fasialis perifer sampai sekarang

belum diketahui secara pasti. Umumnya dapat dibagi menjadi Kongenital,

Didapat. Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain :

sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,

hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,

gangguan imunologik dan faktor genetik.(4,8) Penyakit ini seringkali menimbulkan

gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala yang sering terjadi

yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup dengan

sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada salah satu

bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang disertai dengan adanya

hiperakusis (sensasi pendengaran yang berlebihan), telinga berdenging, nyeri

kepala dan perasaan melayang. Hal tersebut terjadi mendadak dan mencapai

puncaknya dalam dua hari. Keluhan yang terjadi diawali dengan nyeri pada

bagian telinga yang seringkali dianggap sebagai infeksi. Selain itu juga terjadi

kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi menghilang, Tampak seperti orang

letih, Hidung terasa kaku terus - menerus, sulit berbicara, sulit makan dan minum,

sensitive terhadap suara (hiperakusis), salivasi yang berlebih atau berkurang,

pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya rasa kecap, air liur sering keluar,

air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap

cahaya.(13)

Page 14: Referat Bells Palsy

  

DAFTAR PUSTAKA

1.   Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta

neurologi; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300

2.  Dr P Nara, Dr Sukardi, Bell’s Palsy,“ http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy -

Page 15: Referat Bells Palsy

html” (diakses tanggal 11 desember 2011)

3.   Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy, http://emedicine.medscape.com /

article/1146903-overview#a0156” ”(diakse tanggal 22 Desember 2011).

4.    Annsilva, 2010, Bell’s Palsy, “http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bell’s-

palsy-case-report/” (diakses tanggal 11 desember 2011)

5.   Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.

6.    Irga, 2009, Bell’s Palsy, “http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html”,

(diakses tanggal 12 Desember 2011)

7.   Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5.

Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174

8.   Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy, http://coolhendra.blogspot.com/2010

.blogspot.com/2010/08/bell-palsy.html (diakses tanggal 12 desember 2011)

9.   Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.

Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2

10.  Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian

Rakyat, 1985 : 311-17