BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

62
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan Anatomi Ginjal Ginjal merupakan sepasang organ dari sistem urinaria yang berwarna coklat kemerahan yang terletak dirongga retroperitoneal bagian atas pada dinding abdomen di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3 dan sebagian besar tertutup oleh arcus costalis. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah dari pada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis dekstra (Guyton dan Hall, 2014). Pada orang dewasa, berat ginjal kira kira 140 gram dengan panjang 6-7,5 cm dan tebal 1,5-2,5 cm dan bentuknya menyerupai seperti biji kacang dan sisi dalamnya atau hilum menghadap ke tulang punggung sedangkan sisi luarnya cembung (Pearce, 2016). Setiap ginjal diselubungi oleh tiga lapisan jaringan ikat yaitu kapsula fibrosa, Lemak Perirenal, dan fasia renal. Lapisan pertama yang paling dekat dengan struktur ginjal adalah kapsula fibrosa yang berfungsi untuk mencegah penjalaran infeksi dari regio sekitar ke ginjal. Lapisan kedua merupakan lemak perirenal, yang melindungi ginjal dari benturan dan Lapisan terluar adalah fasia renal yang merupakan jaringan ikat fibrosa yang padat dan berfungsi untuk memisahkan ginjal dan kelenjar adrenal dari struktur sekitar (Marieb & Hoehn, 2015). Pada potongan sagital ginjal terdapat 2 bagian, yaitu bagian tepi luar ginjal yang disebut cortex renalis yang berwarna coklat gelap dan bagian dalam ginjal yang berbentuk segitiga disebut piramid ginjal atau bagian medula renalis yang berwarna coklat terang (Guyton dan Hall, 2014). Bagian medula renalis ini tersusun atas 15-16 massa berbentuk piramida. Puncaknya langsung mengarah ke hilum dan berakhir di kalises. Kalises ini menghubungkannya dengan pelvis ginjal (Pearce, 2015). Bagian medula yang berbentuk kerucut disebut pelvis renalis, yang akan terhubung dengan ureter sehingga urin yang terbentuk dapat lewat menuju vesika urinaria (Verdiansyah, 2016).

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginjal

2.1.1 Struktur dan Anatomi Ginjal

Ginjal merupakan sepasang organ dari sistem urinaria yang berwarna coklat

kemerahan yang terletak dirongga retroperitoneal bagian atas pada dinding abdomen

di kanan dan kiri columna vertebralis setinggi vertebra T12 hingga L3 dan sebagian

besar tertutup oleh arcus costalis. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah dari pada

ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis dekstra (Guyton dan Hall, 2014). Pada orang

dewasa, berat ginjal kira kira 140 gram dengan panjang 6-7,5 cm dan tebal 1,5-2,5 cm

dan bentuknya menyerupai seperti biji kacang dan sisi dalamnya atau hilum

menghadap ke tulang punggung sedangkan sisi luarnya cembung (Pearce, 2016).

Setiap ginjal diselubungi oleh tiga lapisan jaringan ikat yaitu kapsula fibrosa,

Lemak Perirenal, dan fasia renal. Lapisan pertama yang paling dekat dengan struktur

ginjal adalah kapsula fibrosa yang berfungsi untuk mencegah penjalaran infeksi dari

regio sekitar ke ginjal. Lapisan kedua merupakan lemak perirenal, yang melindungi

ginjal dari benturan dan Lapisan terluar adalah fasia renal yang merupakan jaringan

ikat fibrosa yang padat dan berfungsi untuk memisahkan ginjal dan kelenjar adrenal

dari struktur sekitar (Marieb & Hoehn, 2015).

Pada potongan sagital ginjal terdapat 2 bagian, yaitu bagian tepi luar ginjal yang

disebut cortex renalis yang berwarna coklat gelap dan bagian dalam ginjal yang

berbentuk segitiga disebut piramid ginjal atau bagian medula renalis yang berwarna

coklat terang (Guyton dan Hall, 2014). Bagian medula renalis ini tersusun atas 15-16

massa berbentuk piramida. Puncaknya langsung mengarah ke hilum dan berakhir di

kalises. Kalises ini menghubungkannya dengan pelvis ginjal (Pearce, 2015). Bagian

medula yang berbentuk kerucut disebut pelvis renalis, yang akan terhubung dengan

ureter sehingga urin yang terbentuk dapat lewat menuju vesika urinaria (Verdiansyah,

2016).

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

7

Gambar 2.1 Penampang posisi ginjal pada tubuh (Shier, 2012)

Unit anatomik fungsi ginjal adalah nefron. Nefron merupakan struktur kapiler

berkelompok dengan fungsi yang sama, terdiri dari glomerulus dan tubulus renalis

yang dilingkupi oleh kapsula Bowman. Glomerulus merupakan tempat dimana fungsi

filtrasi darah berlangsung, sedangkan tubulus renalis merupakan tempat untuk

reabsorpsi air dan garam yang masih diperlukan oleh tubuh. (Maulidah, 2015). Setiap

satu ginjal manusia memiliki sekitar satu juta nefron yang merupakan unit pembentuk

urin (Perlman et al., 2014).

Glomerulus berdiameter kira-kira 200 μm dan terdiri dari arteriol aferen dan

sekelompok kapiler yang dibatasi oleh sel endotel dan dilapisi oleh sel epitel yang

membentuk lapisan kapsula Bowman dan tubulus renalis (Maulidah, 2015). Arteriol

aferen bekerja membawa darah masuk ke glomerulus dan arteriol eferen bekerja

membawa darah keluar dari glomerulus. Arteriol eferen bercabang menjadi kapiler

peritubulus yang memperdarahi tubulus (Verdiansyah, 2016). Tubulus renalis terdiri

dari tubulus kontortus proksimal, lengkung henle, dan tubulus kontortus distal. Pada

daerah tubulus kontortus proksimal, air dan elektrolit direabsorpsi dalam jumlah ±

80%. Pada daerah ansa henle terjadi pemekatan urin dan pada daerah tubulus kontortus

distal berperan untuk mengatur keseimbangan air dan elektrolit yang diubah

berdasarkan kontrol hormonal (Maulidah, 2015).

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

8

Gambar 2.2 Penampang melintang ginjal (a), piramida ginjal (b), dan nefron (c)

(Shier, 2012)

2.1.2 Fisiologi Ginjal

Alatas et al (2011) menjelaskan bahwa fungsi ginjal adalah sebagai organ

ekskresi. Ginjal memiliki fungsi utama dalam menjaga keseimbangan internal dengan

menjaga komposisi cairan ekstraselular. Untuk melaksakan hal tersebut sejumlah

cairan yang hampir bebas protein difiltrasi dari kapiler glomerulus ke kapsula

Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, di filtrasi secara bebas,

sehingga konsentrasi pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama

dengan plasma. Awalnya zat akan difiltrasi secara bebas oleh kapiler glomerulus tetapi

tidak difiltrasi, kemudian direabsopsi (Sherwood, 2014). Tingkat reabsorpsi bervariasi

menurut substansi dan lokasi anatomis di tubulus, sehingga memungkinkan untuk

pengaturan regulasi komponen penyusun yang berbeda. Sebagian besar 60-70% Na+

yang disaring dan hampir semua K+ dan glukosa secara aktif diserap dari cairan tubular

melalui mekanisme co-transpor di tubulus proksimal dan air diserap secara pasif

disepanjang gradien osmotik yang dibentuk oleh reabsorpsi Na+. Selain penyerapan,

sejumlah zat disekresikan ke dalam cairan tubular melalui transporter di sepanjang

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

9

tubulus ginjal (Perlman et al., 2014). Filtrat glomerular yang memasuki tubulus ginjal

akan mengalir secara berurutan melalui tubulus proksimal, lengkung henle, tubulus

distal dan collecting duct sebelum dikeluarkan sebagai urin (Guyton dan Hall, 2011).

Dalam keadaan normal, tidak lebih dari 5-10 mL/menit filtrat glomerular dikirim ke

collecting duct (Perlman et al., 2014). Peran penting dari collecting duct dalam

pengaturan fungsi ginjal bergantung pada dua hal yaitu sebagai kontrol hormonal, dan

merupakan daerah terakhir dari tubulus ginjal yang dilalui sebelum 1-2 ml/min sisa

dari filtrat glomerulus keluar ke ureter sebagai urin (Perlman et al., 2014). Setelah

ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di kandung kemih. Bila orang tersebut

merasakan keinginan berkemih dan keadaan memungkinkan, maka urin yang

ditampung dikandung kemih akan di keluarkan lewat uretra (Sherwood, 2014).

Ginjal memiliki fungsi utama yaitu sebagai fungsi ekskresi dan non-ekskresi.

Fungsi ekskresi pada ginjal antara lain ekskresi produk sisa metabolisme dan bahan

kimia asing, pengaturan keseimbangan air dan elektrolit, pengaturan keseimbangan

asam dan basa, pengaturan osmolaritas cairan tubuh ,sekresi dan ekskresi hormon dan

glukoneogenesis (Guyton & Hall, 2014).

a) Ekskresi produk sisa metabolik, bahan kimia asing, obat dan metabolik hormon.

Ginjal merupakan organ utama yang berfungsi untuk membuang produk sisa

metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk ini meliputi urea

(dari sisa metabolisme asam amino), kreatin asam urat (dari asam nukleat), produk

akhir dari pemecahan hemoglobin (bilirubin), metabolik hormon, garam anorganik,

bakteri dan juga obat-obatan. Jika zat-zat ini tidak diekskresikan oleh ginjal, maka

tubuh akan diracuni oleh kotoran yang dihasilkan oleh tubuhnya sendiri (Prabowo dan

Pranata, 2014). Setiap harinya kedua ginjal pada orang dewasa mengeluarkan 1,5 – 2,5

liter urin. Ginjal juga tersusun dari beberapa juta unit fungsional (nefron) yang akan

melakukan ultrafiltrasi terkait dengan ekskresi (pembentukan urin) dan reabsorpsi

(Guyton dan Hall, 2014).

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

10

b) Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit

Peran ginjal dalam menjaga keseimbangan air tubuh diregulasi oleh ADH (Anti-

Diuretik Hormon). ADH akan bereaksi pada perubahan osmolalitas dan volume cairan

intravaskuler. Peningkatan osmolalitas plasma atau penurunan volume cairan

intravaskuler menstimulasi sekresi ADH oleh hipotalamus posterior, selanjutnya ADH

akan meningkatkan permeabilitas tubulus kontortus distal dan duktus kolektivus,

sehingga reabsorpsi meningkat dan urin menjadi lebih pekat. Pada keadaan haus, ADH

akan disekresikan untuk meningkatkan reabsorpsi air. Pada keadaan dehidrasi, tubulus

ginjal akan memaksimalkan reabsorpsi air sehingga dihasilkan sedikit urin dengan

osmolalitas mencapai 1200 mOsmol/L. Pada keadaan cairan berlebihan akan

dihasilkan banyak urin dan encer dengan osmolalitas menurun sampai dengan 50

mOsmol/L (Verdiansyah, 2016). Selain itu, ginjal juga dapat mengekskresikan ion

natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg), sulfat (SO42−) dan

fosfat (PO43−) (Tortora, 2014).

c) Pengaturan tekanan arteri

Peningkatan volume darah akan meningkatkan tekanan darah sedangkan

penurunan volume darah akan menurunkan tekanan darah (Tortora, 2014).

Pemeliharaan natrium dan keseimbangan ginjal akan mencapai regulasi volume darah.

Sehingga, melalui kontrol volume, ginjal ikut serta dalam pengendalian tekanan darah

(Eaton, 2009).

Ginjal memegang peran penting dalam regulasi tekanan darah melalui

pengaturan Natrium dan keseimbangan air. Konsentrasi Na+ di cairan tubulus

proksimal dideteksi di makula densa yaitu di bagian aparatus juxtaglomerulus. Melalui

peran makula densa dan juxtaglomerular terjadi penurunan konsentrasi natrium di

duktus kolektivus dan penurunan tekanan darah yang akan merangsang terbentuknya

renin. Renin merupakan suatu protease yang dibentuk di sel juxtaglomerular yang akan

menguraikan angiotensinogen dalam sirkulasi menjadi angiotensin I, kemudian

angiotensin I diuraikan oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) menjadi

angiotensin II. Angiotensin II merupakan salah satu vasokonstriksi kuat yang

menyebabkan terjadinya konstriksi arteriol yang bekerja pada korteks adrenal dalam

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

11

meningkatkan produksi aldosterone (Barrett et al., 2012). sehingga menyebabkan

retensi natrium dan air oleh ductus collingens serta meningkatkan cairan intravascular

dan peningkatan tekanan darah akibat dari peningkatan renin (Tortora, 2014). Efek dari

Angiotensin II adalah meningkatnya tekanan darah melalui 2 mekanisme tersebut.

Sistem pengaturan tekanan darah ini sering disebut RAAS (Renin Angiotensin

Aldosterone System).

d) Pengaturan asam-basa

Ginjal berperan dalam pengaturan keseimbangan asam-basa bersama dengan

paru dan sistem dapar cairan tubuh dengan cara mengekskresikan asam dan mengatur

penyimpanan dapar cairan tubuh. Ginjal mengatur keseimbangan asam basa dengan

mengekskresikan H+ ketika terjadi asam berlebih atau mengekskresikan HCO3- ketika

terjadi basa berlebih (Rhodes dan Bell, 2009) melalui pengaturan ion bikarbonat

(HCO3-) dan pembuangan sisa metabolisme yang bersifat asam. Ginjal juga berperan

dalam mengendalikan ekskresi ion hidrogen (H+), bikarbonat (HCO3-) dan amonium

(NH4+) serta memproduksi urine asam atau basa, tergantung pada kebutuhan tubuhnya

(Sloane, 2004).

e) Pengaturan osmolaritas cairan tubuh , Ekskresi ginjal

Dengan secara terpisah pengaturan pengeluaran air dan pengeluaran zat terlarut

dalam urin, ginjal mempertahankan osmolaritas darah relatif konstan mendekati 300

mOsm/L (Tortora, 2014). Osmol dengan mengubah ekskresi air, mempertahankan

volume ECF (Extra Cellular Fluid). Ekskresi ginjal meliputi sisa metabolisme protein

(ureum, kalium, fosfat, sulfur anorganik dan asam urat).

f) Gluconeogenesis.

Saat asupan karbohidrat dihentikan lebih dari setengah hari, tubuh kita akan

mengaktifkan glukoneogenesis dari sumber non karbohidrat (asam amino dari 11

protein dan gliserol dari trigliserida). Sebagian besar glukoneogenesis terjadi di hati,

namun bisa juga di ginjal, terutama selama puasa yang berkepanjangan (Eaton, 2009).

Ginjal dapat menggunkan asam amino glutamin untuk glukoneogenesis. Mereka

kemudian dapat melepaskan glukosa ke dalam darah untuk membantu menjaga kadar

gula darah normal (Tortora, 2014).

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

12

g) Pengaturan pH Darah

Ginjal mengekskresikan sejumlah ion hidrogen H+ ke dalam urin dan

mempertahankan ion karbonat (HCO3+), yang merupakan dapar penting dalam darah.

Kedua mekanisme ini menmbantu mengatur pH darah (Tortora, 2014). untuk

mempertahankan derajat keasaman/pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan

kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat.

Fungsi non-ekskresi dari ginjal meliputi sintesis dan aktifasi hormon, mensekresi

renin yang memilliki peran penting dalam pengaturan tekanan darah, menghasilkan

eritropoetin yang berperan dalam merangsang produksi sel darah merah oleh

hematopoetik sumsum tulang. Salah satu rangsangan yang penting untuk sekresi

eritropoietin oleh ginjal adalah hipoksia. Pada manusia normal, ginjal menghasilkan

hampir semua eritropoietin yang disekresi ke dalam sirkulasi. Pada orang dengan

penyakit ginjal berat atau yang ginjalnya telah diangkat dan digantikan dengan

hemodialisis, timbul anemia berat sebagai hasil dari penurunan produksi eritropoietin.

(Guyton dan Hall, 2011). Mensekresi prostaglandin, yang berperan sebagai vasodilator

dan bekerja secara lokal serta melindungi dari kerusakan iskemik ginjal. Serta 1,25

dihidroksi vitamin D3 yang merubah vitamin D menjadi metabolit aktif yang

membantu penyerapan kalsium Sebagai fungsi organ non-ekskresi, ginjal juga

mendegradasi hormon polipeptida, insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon

pertumbuhan, ADH dan hormon gastrointestinal. (Price & Wilson, 2012).

2.2 Penyakit Ginjal Kronik (PGK)

2.2.1 Definisi Penyakit Ginjal Kronik

PGK didefinisikan sebagai kelainan pada struktur atau fungsi ginjal yang terjadi

selama 3 bulan atau lebih, dan berdampak bagi kesehatan. Kelainan skturktural

termasuk albuminuria lebih dari 30 mg/hari, hematuria atau sel darah merah pada urin,

elektrolit dan kelainan lain karena ganguan tubular (Wells et al., 2015). Penyakit ginjal

kronik merupakan suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam, dapat

mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir

dengan gagal ginjal (Suwitra, 2014)

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

13

Berdasarkan KDIGO Clinical Practice Guideline for the Evaluation and

Management of Chronic Kidney Disease (2013), definisi Penyakit Ginjal Kronik

terbagi menjadi 2 kriteria yaitu :

(1) Penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan pada struktur atau fungsi

ginjal selama 3 bulan atau lebih dan ditetapkan dengan adanya abnormalitas

struktur dan fungsi ginjal, dengan atau tanpa adanya penurunan GFR. Dengan

manifestasi klinis berupa:

Abnormalitas patologi

Pertanda adanya kerusakan ginjal, termasuk abnormalitas pada komposisi darah

atau urin, atau abnormalitas dari gambaran tes (imaging test).

(2) Penyakit ginjal kronik merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan Glomerular

Filtration Rate kurang dari 60mL/menit/1,73m2 selama 3 bulan atau lebih, dengan

atau tanpa adanya kerusakan ginjal.

Chronic Kidney Disease stage 5, disebut juga sebagai End Stage Renal Disease

(ESRD) atau penyakit ginjal stadium akhir dan terjadi kerusakan ginjal yang ditandai

dengan penurunan GFR di bawah 15mL/menit/1,73m2 atau pada pasien yang

menerima terapi penggantian ginjal dan dialisis jangka panjang (Dipiro et al., 2015).

Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah

kesehatan global yang menyebabkan fungsi organ ginjal mengalami penurunan hingga

akhirnya tidak mampu melakukan fungsinya dengan baik dalam hal penyaringan

pembuangan elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan dan zat kimia tubuh

seperti sodium dan kalium didalam darah atau produksi urin (NKF, 2016). Kerusakan

ginjal ini mengakibatkan kemampuan aktivitas kerja tubuh menjadi terganggu sehingga

kualitas hidup pasien juga menurun (Ali, 2017).

2.2.2 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

Berdasarkan KDIGO Clinical Practice Guideline for the Evaluation and

Management of Chronic Kidney Disease (2018), penyakit ginjal kronik dapat

diklasifikasikan berdasarkan penyebab, kategori GFR (G1-G5) dan kategori

albuminuria (A1-A3). Derajat PGK dan resiko progresivitasnya diklasifikasikan

sebagai berikut :

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

14

Tabel II.1 Kategori GFR pada penyakit ginjal kronik (KDIGO, 2012)

Kategori GFR GFR (ml/menit/1,73 m2) Keterangan Stadium

G1 ≥ 90 Normal atau tinggi Stadium 1

G2 60 – 89 Sedikit menurun* Stadium 2

G3a 45 – 59 Sedikit menurun

sampai cukup

menurun

Stadium 3

G3b 30 – 44 Cukup menurun

sampai sangat

menurun

Stadium 3

G4 15 – 29 Sangat menurun Stadium 4

G5 < 15 Gagal ginjal Stadium 5

Keterangan:

CKD (Chronic Kidney Disease)

GFR (Glomerular Filtration Rate)

*pada tingkat dewasa muda jika tidak adanya bukti kerusakan ginjal, baik kategori GFR G1 maupun G2

tidak memenuhi kriteria CKD.

Menurut Henry Ford Health Systems (2011) untuk perhitungan laju filtrasi

glomerulus dapat dihitung berdasarkan rumus Modification of Diet in Renal Disease

(MDRD) sebagai berikut:

eGFR (ml/menit/1,73m2) = 186 𝑥 (Serum Kreatinin)−1,154 x 𝑢𝑚𝑢𝑟−0,203 x (0,742

jika perempuan) x (1,212 jika African American)

Atau menggunakan rumus Cockroft-Gault sebagai berikut (Ahmed dan lowder, 2012):

GFR = (140−umur)x BB (Kg)x (0,85 jika perempuan)

72 x serum kreatinin

Dalam praktis klinis, GFR biasanya diperkirakan dengan menggunakan

konsentrasi serum kreatinin. Kreatinin merupakan produk yang dihasilkan

metabolisme otot, yang disaring secara bebas di glomerulus dan tidak dapat diserap

kembali ke dalam tubulus ginjal. Pada dasarnya semua kreatinin yang disaring dalam

glomerulus diekskresikan bersama urin daripada diserap kembali ke dalam darah. Oleh

karena itu, serum kreatinin dapat digunkaan untuk menilai GFR dan tingkat kerusakan

ginjal yang terjadi pada CKD (Porth, 2015)

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

15

Tabel II.2 Kategori albuminuria pada penyakit ginjal kronik (KDIGO, 2012)

Kategori AER

(mg/24 jam)

ACR

(mg/mmol)

Keterangan

A1 < 30 < 3 < 30 Normal

sampai sedikit

meningkat

A2 30 – 300 3 – 30 30 – 300 Cukup

meningkat*

A3 > 300 > 30 > 300 Sangat

meningkat**

Keterangan: AER: Albumin Excretion Rate; ACR: Albumin to Creatine Ratio

*Relatif terhadap tingkat dewasa muda

**Termasuk sindrom nefrotik (ekskresi albumin biasanya >2200mg/24jam [ACR >2220mg/g; >220 mg/mmol]

a. Penyakit Ginjal Kronik Stadium 1

Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) di Amerika Serikat pada tahun 1999-2004 mengestimasi prevalensi CKD

pada stadium 1 sebesar 5,7% (Arora, 2016). Selama stadium ini ginjal masih berfungsi

secara normal tetapi ditemukan abnormalitas yang menunjukkan terjadinya gangguan

ginjal (KDOQI, 2012). Biasanya tidak terdapat gejala yang timbul tetapi terjadi

peningkatan tekanan darah bila dibandingkan dengan pasien yang bukan menderita

CKD. Pada pasien juga terjadi albuminuria (AIHW, 2014).

b. Penyakit Ginjal Kronik Stadium 2

Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) di Amerika Serikat pada tahun 1999-2004 mengestimasi prevalensi CKD

pada stadium 2 sebesar 5,4% (Arora, 2016). Pada stadium ini, terjadi penurunan fungsi

ginjal dengan GFR sebesar 60-89 ml/menit/1,73 m2 (KDOQI, 2012). Terjadi

peningkatan tekanan darah pada stadium 2 (Suwitra, 2014). Kebanyakan pasien tidak

mengalami gejala tetapi, terjadi peningkatan tekanan darah dan pasien juga terjadi

albuminuria (AIHW, 2014).

(mg/g)

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

16

c. Penyakit Ginjal Kronik Stadium 3

Menurut survei yang dilakukan oleh National Health and Nutrition Examination

Survey (NHANES) prevalensi CKD stadium 3 terjadi peningkatan dari tahun 1988-

1994 sebanyak 18,8% menjadi 24,5% pada tahun 2003-2006 pada pasien dengan usia

lebih dari 70 tahun. Pada periode yang sama, prevalensi CKD pada usia 20-39 tahun

relatif sama yaitu dibawah 0,5%. Biasanya tidak terdapat gejala yang timbul atau

biasanya terjadi peningkatan frekuensi buang air kecil pada malam hari (nokturia) dan

kehilangan nafsu makan (AIHW, 2014). Pada stadium 3 terjadi komplikasi diantaranya

adalah hiperfosfatemia, hipokalsemia, anemia, hipertensi dan hiperparatiroid (Suwitra,

2014).

d. Penyakit Ginjal Kronik Stadium 4

Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) di Amerika Serikat pada tahun 1999-2004 mengestimasi prevalensi PGK

pada stadium 4 sebesar 0,4% (Arora, 2016). Pada stadium 4 terjadi beberapa

komplikasi yaitu diantaranya malnutrisi, asidosis metabolik, hiperkalemia dan

dislipidemia (Suwitra, 2014) dan juga terjadi gejala seperti pada stadium 3 disertai

mual, kulit gatal, dan sesak nafas (AIHW, 2014).

e. Penyakit Ginjal Kronik Stadium 5

Berdasarkan data National Health and Nutrition Examination Survey

(NHANES) di Amerika Serikat pada tahun 1999-2004 mengestimasi prevalensi PGK

pada stadium 5 sebesar 0,4% (Arora, 2016). Pada stadium 5 terjadi penurunan GFR

>15 ml/menit/1,73 m2 (KDOQI, 2012). Gejala yang timbul seperti yang terjadi pada

stadium 5, tetapi terjadi komplikasi tambahan seperti peradangan lapisan jaringan pada

jantung, perdarahan pada saluran pencernaan, perubahan fungsi dan struktur otak,

gangguan atau perubahan struktural atau fungsional pada sistem saraf perifer (AIHW,

2014). CKD stadium 5 menyebabkan komplikasi gagal jantung dan uremia (Suwitra,

2014).

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

17

2.2.3 Epidemiologi Penyakit Ginjal Kronik

PGK merupakan salah satu masalah kesehatan dunia yang secara global

memilliki prevalensi dan insiden yang tinggi juga tingkat morbiditas dan mortalitasnya.

Menurut data WHO, penyakit ginjal kronik telah menyebabkan kematian pada 850.000

orang setiap tahunnya. Angka tersebut menunjukkan bahwa penyakit ginjal kronik

menduduki peringkat ke-12 tertinggi sebagai penyebab angka kematian dunia.

Berdasarkan Data The United State Renal Data System (2018), prevalensi terjadinya

PGK di Amerika kurang dari 15% atau sebesar lebih dari 30 juta orang. Pada tahun

2016, sekitar 124.675 dilaporkan kasus baru terkait dengan gagal ginjal stadium akhir.

Menurut Hill et al (2016) prevalensi global PGK sebesar 13,4% dengan 48% di

antaranya mengalami penurunan fungsi ginjal dan tidak menjalani dialisis dan

sebanyak 96% pasien dengan kerusakan ginjal atau fungsi ginjal yang berkurang, tidak

sadar bahwa mereka memiliki PGK. Penyakit ginjal kronik umumnya dialami individu

yang berusia lebih dari 60 tahun dan juga memiliki resiko tinggi terkena hipertensi,

diabetes mellitus serta penyakit kardiovaskular lainnya (Hudson & Wazny., 2014).

Berdasarkan dari data hasil Riset Kesehatan Dasar (2018), menunjukkan bahwa

prevalensi yang menderita penyakit ginjal kronik di Indonesia sebesar 3,8%. Jika

ditinjau berdasarkan tempat tinggal, masyarakat yang tinggal di perkotaan (3,85%)

lebih tinggi prevalensinya dibandingkan di perdesaan (3,84%). Provinsi dengan

prevalensi PGK tertinggi terdapat di provinsi Kalimantan Utara sebesar (6,4%), diikuti

oleh Maluku Utara, Sulawesi Utara , Gorontalo, hingga prevalensi PGK terendah

terdapat pada Sulawesi Barat sebesar (1,8%)

Gambar 2.3 Prevalensi PGK menurut karakteristik di Indonesia (Riskesdas,2018)

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

18

Jika ditinjau berdasarkan karakteristik jenis kelamin, prevalensi PGK pada laki-

laki (4,17%) lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan (3,52%). Hal ini

dimungkinkan karena perempuan lebih memperhatikan kesehatan dan menjaga pola

hidup sehat dibandingkan dengan laki-laki, sehingga laki-laki lebih mudah terkena

penyakit ginjal kronik dibandingkan dengan perempuan (Arifa, 2017).

Berdasarkan karakteristik usia, prevalensi tertinggi pada kategori usia di atas 75

tahun (7,48%) dan terjadi peningkatan tajam pada kelompok usia 35-44 tahun.

Pertambahan usia juga akan mempengaruhi anatomi, fisiologi dan sitologi ginjal. Pada

usia 35-75 tahun, laju filtrasi glomelurus akan menurun secara progresif hingga 50%

dari keadaan normal sehingga terjadi penurunan kemampuan tubulus ginjal untuk

mereabsorpsi dan terjadi pemekatan urin. Selain itu, terjadi penurunan kemampuan

pengosongan kandung kemih. Sehingga, dapat meningkatkan resiko infeksi dan

obstruksi serta penurunan intake cairan yang merupakan faktor resiko terjadinya

kerusakan ginjal (Ali, 2017).

Berdasarkan strata pendidikan, prevalensi PGK tertinggi pada masyarakat yang

tidak atau belum pernah sekolah (5,73%). Semakin tinggi pendidikan seseorang maka

akan semakin cepat memahami tentang kondisi penyakit yang dialami. Kurangnya

pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk deteksi dini dalam memeriksakan

dirinya ke pusat pelayanan kesehatan menjadi penyebab meningkatnya pasien PGK

dikarenakan pada PGK stadium awal belum memperlihatkan gejala dan keluhan yang

spesifik. Kebanyakan pasien datang dengan keluhan yang sudah berat dan pada saat

dilakukan pemeriksaan lanjutan sudah berada pada stadium terminal (stadium 5)

(Arifa, 2017).

Berdasarkan pekerjaan, prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok masyarakat

yang tidak bekerja (4,76%) dan diikuti oleh profesi lain seperti buruh/nelayan/petani

(4,64%), PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD (4,59%). Tanpa disadari pekerjaan dapat

menyebabkan penyakit ginjal kronik seperti pekerja kantoran yang duduk terus

menerus sehingga menyebabkan terhimpitnya saluran ureter pada ginjal. Selain itu,

intensitas aktivitas sehari-hari seperti orang yang bekerja di panasan dan pekerja berat

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

19

yang banyak mengeluarkan keringat lebih mudah terserang dehidrasi. Akibat dehidrasi,

urin menjadi lebih pekat sehingga bisa menyebabkan terjadinya PGK (Arifa, 2017).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Indonesia Renal Registry (2016), sebanyak

98% penderita PGK menjalani terapi hemodialisis (HD) dan 2% menjalani terapi

peritoneal dialisis (PD). Pasien baru PGK terus mengalami peningkatan dari tahun ke

tahun. Penderita PGK yang mejalani hemodialisis di Indonesia pada tahun 2007-2015

tercatat sebanyak 30.554 pasien aktif, dan 21.050 merupakan pasien baru.

(Data diatas tahun diambil dari 249 unit)

Gambar 2.4 Prevalensi pasien baru dan pasien aktif PGK yang menjalani HD dari

tahun ke tahun (IRR, 2015)

Jumlah pasien baru terus meningkat dari tahun ke tahun , pasien baru adalah

pasien yang pertama kali menjalani dialisis pada tahun 2015 sedangkan pasien aktif

adalah seluruh pasien baik pasien baru tahun 2015 maupun pasien lama dari tahun

sebelumnya yang masih menjalani terapi hemodialisis rutin dan masih bertahan hidup

sampai dengan tanggal 31 Desember 2015. Pada diagram ini terlihat suatu perbedaan

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2015 pasien aktif lebih banyak jika

dibandingkan dengan jumlah pasien baru , hal ini menunjukkan lebih banyak pasien

yang dapat menjalani hemodialisis lebih lama, dikarenakan adanya faktor jaminan

kesehatan national (JKN) yang berperan penting dalam menjaga kelangsungan terapi

pasien. .Jumlah pasien ini belum menunjukkan data seluruh pasien di Indonesia, akan

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

20

tetapi dapat dijadikan representasi dari kondisi saat ini (Data diatas tahun diambil dari

249 Unit).

2.2.4 Etiologi dan Faktor Resiko Penyakit Ginjal Kronik

PGK merupakan hasil dari proses patofisiologi yang beragam terkait dengan

kerusakan fungsi nefron yang diakibatkan dari adanya gangguan primer (penyakit

ginjal) maupun komplikasi sekunder dari penyakit tertentu misalnya hipertensi dan

diabetes mellitus yang akhirnya mengakibatkan kerusakan ginjal secara ireversibel

(Alldredge et al., 2013). Menurunnya fungsi ginjal sejalan dengan bertambahnya usia,

pada pasien lanjut usia yang mempunyai nilai GFR di bawah 50 mL/min disebabkan

oleh berkurangnya massa otot yang tidak memperlihatkan kenaikan dari serum

kreatinin (BPOM RI, 2015). PGK dapat disebabkan oleh 3 jenis faktor diantaranya

adalah faktor kerentanan, faktor inisiasi dan faktor progresi. Faktor kerentanan

merupakan faktor yang dapat meningkatkan resiko penyakit ginjal namun tidak secara

langsung menyebabkan kerusakan pada ginjal diantaranya adalah faktor usia lanjut,

berkurangnya massa ginjal, berat lahir rendah, riwayat keluarga, peradangan sistemik

dan dislipidemia. Faktor inisiasi dapat menyebabkan kerusakan ginjal secara langsung

dan dapat dimodifikasi dengan terapi farmakologis, diantaranya adalah diabetes

melitus, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, dan HIV nefropati.

Sedangkan faktor progresi merupakan faktor yang dapat mempercepat penurunan

fungsi ginjal setelah inisiasi dari kerusakan ginjal, termasuk faktor glikemia pada

penderita diabetes, hipertensi, proteinuria, dan hiperlipidemia (Dipiro et al., 2015).

Berdasarkan data Indonesia Renal Registry (2015), angka kejadian PGK

terbanyak di Indonesia disebabkan oleh faktor nefrosklerosis hipertensi yang

meningkat menjadi 43% dari tahun-tahun sebelumnya, diikuti oleh nefropati diabetika

sebesar 22%, glomerulopati primer 8%, pielonefritis kronik 7%, nefropati obstruksi

5%, nefropati asam urat 2%, nefropati lupus dan ginjal polikistik 1% dan lain-lain

sebanyak 8%.

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

21

Gambar 2.5 Diagram etiologi PGK di Indonesia tahun 2015 (IRR, 2015)

Hipertensi dan diabetes merupakan faktor risiko PGK yang paling banyak terjadi.

Secara keseluruhan, diabetes dan hipertensi menyumbang 72% penyebab ESRD.

Diketahui juga bahwa resistensi insulin, obesitas, riwayat keluarga, obstruksi saluran

kemih, berkurangnya massa ginjal, obat nefrotoksik (analgesik, aminoglikosida), berat

badan lahir rendah, preeklamsia, sosiodemografi (usia >55 tahun, jenis kelamin,

kurangnya akses ke pelayanan kesehatan), merokok, tingkat pendapatan/pendidikan

rendah, paparan bahan kimia berbahaya dan sindrom metabolik juga terlibat sebagai

faktor resiko PGK (Ford, 2011).

2.2.4.1 Hipertensi

Hipertensi dan PGK saling mempengaruhi. Hipertensi dapat menyebabkan PGK,

begitupun sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi

yang berlangsung lama dapat mengakibatkan perubahan struktur pada arteriol di

seluruh tubuh, ditandai dengan adanya fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh darah.

Organ sasaran utamanya adalah jantung, otak, mata, dan ginjal. Pada ginjal,

arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan ini

merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah

intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

22

dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan terjadinya

penyakit ginjal kronik (Ekantari, 2012). Sekitar 90% hipertensi bergantung pada

volume dan berkaitan dengan retensi air dan natrium, sementara kurang dari 10%

bergantung pada renin. Renin disekresikan oleh ginjal sebagai respon terhadap

penurunan volume darah dan perfusi ginjal. Renin mengubah angiotensinogen

membentuk angiotensin I yang kemudian oleh ACE diubah menjadi angiotensin II

dimana angiotensin II merupakan vasokonstriktor yang kuat. Angiotensin II

menyebabkan sekresi aldosteron dan reabsorpsi natrium, sehingga menyebabkan

peningkatan tekanan darah (Hsueh dan Wyne, 2011). Secara klinik, pasien dengan

riwayat penyakit hipertensi mempunyai risiko mengalami PGK 3,2 kali lebih besar

daripada pasien tanpa riwayat penyakit dan faktor resiko hipertensi (Pranandari, 2012)

2.2.4.2 Diabetes

Diabetes merupakan faktor komorbiditas PGK yang tinggi dan sebesar 65%

pasien PGK yang menjalani hemodialisis dan meninggal memiliki riwayat penyakit

diabetes. Kadar gula dalam darah yang tinggi akan mempengaruhi struktur ginjal,

merusak pembuluh darah halus di ginjal (glomerulosklerosis noduler dan difus).

Kerusakan pembuluh darah menimbulkan kerusakan glomerulus yang berfungsi

sebagai penyaring darah. Dalam keadaan normal protein tidak melewati glomerulus

karena ukuran protein yang besar tidak dapat melewati lubang-lubang glomerulus yang

kecil. Namun karena kerusakan glomerulus, protein (albumin) dapat melewati

glomerulus sehingga dapat ditemukan dalam urin yang disebut dengan

mikroalbuminuria. Apabila jumlah atau dalam fungsi insulin mengalami defisiensi

(kekurangan) insulin, maka akan terjadi hiperglikemia. Hiperglikemia dapat

meningkatkan aktivasi RAAS (Hsueh dan Wyne, 2011) dan mengganggu autoregulasi

dalam glomerulus dengan mengaktifkan lokal intrarenal RAAS (Kanwar et al., 2011).

Faktor hemodinamik menyebabkan terganggunya Renin Angiotensin Aldosterone

System yang menimbulkan kelainan pada sel endotel pembuluh darah yang

mengaktivasi peningkatan hormon vasoaktif seperti angiotensin II (Sunaryanto, 2010).

Hal ini dapat meningkatkan tekanan kapiler glomerulus dan peregangan pada sel

mesangial dan kemudian mengaktifkan molekul sinyal seperti ROS (Reactive Oxygen

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

23

Species) dan menyebabkan disfungsi endotel (Kanwar et al., 2011). Disfungsi endotel

dan hilangnya kapiler glomerulus dan tubulointerstisial menyebabkan kerusakan epitel

dan menyebabkan progresivitas Diabetes Kidney Disease (DKD) (Reidy et al., 2014).

Apabila kondisi ini tidak dapat diatasi dan berlangsung terus menerus maka dapat

menyebabkan kematian (Arifa, 2017).

Komplikasi yang terjadi pada diabetes mellitus salah satunya adalah

makrovaskuler dan mikrovaskuler. Komplikasi makrovaskuler merupakan penyakit

yang timbul akibat diabetes yang menjadi penyebab utama kematian pada pasien

diabetes tipe 2 dan terjadi pada pembuluh darah besar yang terdapat di seluruh bagian

tubuh. Komplikasi yang sering dijumpai adalah penyakit jantung koroner (PJK), stroke,

trombosit otak (pembekuan darah pada sebagian otak), gagal jantung kongestif,

penyakit pembuluh darah perifer dan nefro-sklerosis (Effendi et al., 2015) . Sedangkan,

Komplikasi mikrovaskuler terjadi pada pasien dengan komplikasi yang diderita yaitu

nefropati diabetik yang merupakan penyebab kedua tersering penyakit ginjal stadium

akhir, diabetik retinopati (kebutaan), neuropati dan amputasi akibat luka diabetes yang

tidak terawat dengan baik akhirnya mengalami infeksi yang parah (PERKENI, 2015)

Secara klinik, riwayat penyakit diabetes melitus mempunyai pengaruh terhadap

kejadian PGK 4,1 kali lebih besar dibandingkan dengan pasien tanpa riwayat penyakit

dan faktor resiko diabetes melitus (Pranandari, 2012).

2.2.4.3 Glomerulonefritis

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal. Peradangan dimulai

dalam glomerulus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan/atau hematuria.

Proteinuria merupakan indikasi dari hipertensi intraglomerular dan abnormalitas

permeabilitas glomerular. Keadaan ini biasanya dinterpretasikan sebagai pertanda

mulai terjadinya nefropati. Jumlah protein dalam urin mungkin bisa sangat banyak,

khususnya dalam nefrosis. Hal ini dapat menyebabkan hipoproteinemia yang dapat

menurunkan tekanan onkotik yang bisa menyebabkan edema karena akumulasi cairan

di jaringan (Barrett et al., 2012). Meskipun lesi terutama ditemukan pada glomerulus,

tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga

mengakibatkan terjadinya CKD. Kematian yang diakibatkan oleh PGK umumnya

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

24

disebabkan oleh glomerulonefritis kronik yang merupakan kerusakan glomerulus

secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama (Price

et al., 2006). Glomerulonefritis ditandai dengan gomerular dan tubulointerstisial

fibrosis yang irreversibel dan progresif, akhirnya menyebabkan penurunan GFR dan

retensi racun uremik (Salifu et al., 2017). Glomerulonefritis dibagi menjadi 2 yaitu

glomerulonefritis akut, dan glomerulonefritis kronik. Glomerulonefritis akut dialami

sekitar 1-3 minggu setelah terinfeksi bakteri yang cukup parah seperti adanya

peradangan pada tenggorokan yang akan mereda setelah beberapa hari sedangkan

glomerulonefritis kronik terjadi dalam jangka waktu yang panjang dan bersifat

progresif dengan membrane filtrasi akan menebal dan akhirnya digantikan dengan

jaringan ikat, sehingga ginjal tidak dapat berfungsi dengan normal (Regan et al., 2016)

2.2.4.4 Obstruksi Saluran Kemih

Obstruksi yang diakibatkan oleh batu saluran kemih dapat menyebabkan

peningkatan tekanan intratubular yang diikuti oleh vasokonstriksi pembuluh darah

hingga mengakibatkan iskemik pada ginjal. Iskemik pada waktu yang lama dapat

menyebabkan glomeruloskerosis, atrofi tubulus dan fibrosis intertisial. Obstruksi

komplit pada ginjal selama 24 jam akan mengakibatkan kehilangan fungsi nefron

secara permanen sebanyak 15% (Arifa, 2017).

2.2.4.5 Pielonefritis

Pielonefritis adalah inflamasi atau infeksi akut pada pelvis renalis, tubula dan

jaringan interstisial. Penyakit ini terjadi akibat infeksi oleh bakteri enterit (paling

umum adalah Escherichia coli) yang telah menyebar dari kandung kemih ke ureter dan

ginjal akibat refluks vesikouretral. Infeksi ini akan merusak nefron, sel darah, dan

lengkung henle, sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi ginjal untuk mengatur

konsentrasi urin. Pielonefritis kronis dapat merusak jaringan ginjal secara permanen

akibat inflamasi yang berulang kali dan dapat menyebabkan terjadinya PGK. Proses

perkembangan kegagalan ginjal kronis dari infeksi ginjal yang berulang-ulang

berlangsung beberapa tahun atau setelah infeksi yang gawat.

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

25

2.2.4.6 Nefropati analgetik

Nefropati analgetik merupakan kerusakan nefron akibat penggunaan analgetik

dan OAINS yang berfungsi untuk menghilangkan rasa nyeri dan menekan radang

dengan mekanisme kerja menekan sintesis prostaglandin. Akibat penghambatan

sintesis prostaglandin, menyebabkan terjadinya vasokonstriksi renal, menurunkan

aliran darah ke ginjal dan berpotensi menimbulkan iskemia glomerular. Obat analgetik

dan OAINS juga menginduksi terjadinya nefritis interstisial yang selalu diikuti dengan

kerusakan ringan glomerulus dan nefropati yang akan mempercepat progresifitas

kerusakan ginjal, nekrosis papilla, dan PGK.

2.2.5 Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronik

Gambar 2.6 Progresi Gagal Ginjal (Dipiro et al., 2015)

Pada awalnya patofisiologi PGK tergantung pada etiologi yang mendasarinya.

PGK dimulai ketika terjadinya pengurangan pada massa ginjal yang mengakibatkan

hipertrofi struktural. Fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)

sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin

dan growth factors seperti transforming growth factor β (TGF- β). Hal ini

mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti dengan terjadinya peningkatan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

26

tekanan kapiler dan aliran darah glomerolus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat,

namun pada akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis ginjal yang

masih tersisa. Adanya peningkatan aktivitas renin-angiotensin-aldosteron intrarenal

juga ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltasi dan sklerosis ginjal

yang menyebabkan kerusakan perifer yang berlangsung secara progresif kronik

(Hudson, 2014). Bila terjadi penurunan fungsi ginjal secara progresif, maka akan

menyebabkan terjadinya penurunan GFR yang ditandai dengan peningkatan kadar urea

dan serum kreatinin sehingga berdampak pada terjadinya penyakit ginjal kronik

(Kovesdy, 2014). Beberapa hal juga dianggap berperan terhadap terjadinya

progresivitas PGK antara lain albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dan dislipidemia

(Hudson, 2014).

2.2.6 Manifestasi Klinik Penyakit Ginjal Kronik

Pada PGK stadium awal, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve)

serta keadaan LFG masih normal. Kemudian akan terjadi penurunan fungsi nefron

secara perlahan, ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar ureum dan serum

kreatinin. Ketika LFG pasien berkisar antara 60-89%, pasien belum merasakan adanya

keluhan (asimtomatik) namun sudah terjadi peningkatan kadar ureum dan serum

kreatinin. Pasien mulai mengalami keluhan seperti nokturia, badan lemas, mual, nafsu

makan berkurang, dan penurunan berat badan ketika LFG pasien sebesar 30-59%.

Sampai pada kondisi LFG sebesar 15-29%, pasien menunjukkan gejala dan tanda

uremia seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan

kalsium, pruritus, dan muntah. Selain itu, pasien juga mudah terkena infeksi (misalnya

infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna) serta terjadi

ketidakseimbangan air seperti hipovolemia atau hipervolemia dan ketidakseimbangan

elektrolit terutama pada natrium dan kalium. Pada saat LFG pasien PGK <15% maka

pasien akan menunjukkan gejala serta komplikasi yang lebih serius dan pasien

memerlukan terapi pengganti ginjal (kidney replacement) antara lain dialisis atau

transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien sudah dikatakan masuk pada kategori

penyakit ginjal kronik stadium 5 (ESRD) (Hudson, 2014).

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

27

2.2.7 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik

2.2.7.1 Asidosis Metabolik

Pengaturan asam-basa dengan cara mengatur ekskresi ion-ion hidrogen dalam

tubuh merupakan salah satu peran penting dari ginjal. Akibat hilangnya kemampuan

ginjal untuk mengeluarkan asam dan memproduksi basa menyebabkan terjadinya

asidosis metabolik. Selain itu, akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anionanion lain yang

tidak terekskresi dengan baik oleh ginjal juga dapat menyebabkan terjadinya anion gap

yang memicu terjadinya asidosis metabolik (Perlman et al., 2014).

Pada pasien PGK, semua ion bikarbonat (HCO3-) yang difiltrasi akan

direabsorpsi, namun kemampuan ginjal untuk mensistesis ammonia (𝑁𝐻4 +)

terganggu dan dapat berkembang menjadi asidosis metabolik. Asidosis metabolik

ditandai dengan penurunan tingkat serum bikarbonat (HCO3-) sejumlah 15-20 mEq/L

dan pH plasma. Umumnya kondisi ini terlihat pada pasien PGK dengan GFRnya

menurun < 20-30 mL/menit (Hudson, 2014). Konsekuensi klinis asidosis metabolik

dari CKD termasuk osteopenia, potensi memperburuk hiperparatiroidisme sekunder,

mengurangi cadangan pernafasan dan melemahkan sistem buffer tubuh, dan penurunan

aktivitas Na+ , K+-ATPase pada sel darah merah dan sel-sel miokard, yang dapat

menyebabkan penurunan kontraktilitas miokard dan gagal jantung kongestif (Kovesdy,

2012). Terjadinya asidosis metabolik terutama disebabkan hilangnya massa ginjal.

Kegagalan fungsi ekskresi ginjal yang menyebabkan pengumpulan asam di dalam

darah (tubuh menghasilkan asam yang berlebih) sehingga menyebabkan terjadinya

asidosis metabolik.

Ginjal berperan dalam pengaturan kesimbangan asam basa. Seiring dengan

penurunan fungsi ginjal, reabsorpsi bikarbonat dipertahankan, namun eksresi 18

hidrogen berkurang karena kemampuan ginjal menghasilkan amonia terganggu,

sehingga terjadi akumulasi ion hidrogen. Gangguan keseimbangan H+ menyebabkan

asidosis metabolik, yang ditandai dengan tingkat bikarbonat serum 15 sampai 20

mEq/L, dan peningkatan anion lebih besar dari 17 mEq/L, meghasilkan pH kurang dari

7,35. Asidosis metabolik umumnya muncul saat GFR menurun di bawah 25

mL/menit/1,73 m2 (Schonder et al., 2016).

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

28

2.2.7.2 Anemia

Anemia merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada pasien penyakit ginjal

kronik (Wagner, Tata dan Fink, 2016). Menurut KDIGO (2018), anemia adalah kondisi

kadar hemoglobin (Hb) pasien <13 g/dL untuk laki-laki dewasa dan <12 g/dL untuk

perempuan dewasa. Anemia pada pasien PGK biasanya dimulai saat stadium 3 yaitu

ketika GFR 30-59 mL/menit/1,73 m2. Pasien PGK yang mengalami anemia pada

stadium 3 sebanyak 42%; pada stadium 4 sebanyak 54% dan pada stadium 5 sebanyak

76% (Henry Ford, 2011).

Pada pasien PGK, penyebab utama anemia adalah terjadi penurunan produksi

eritropoietin oleh ginjal sehingga menyebabkan stimulasi eritropoiesis menjadi

menurun. Peningkatan besi dibutuhkan ketika produksi sel darah merah dirangsang

oleh suatu Erythropoietin Stimulating Agent (ESA) seperti epoetin alfa. Namun

umumnya defisiensi besi terjadi pada pasien PGK dan merupakan penyebab utama

resistensi terhadap ESA. Untuk mencegah dan memperbaiki defisiensi besi tersebut,

maka sering dibutuhkan suplementasi zat besi. Faktor lain yang dapat menyebabkan

anemia pada PGK adalah berkurangnya umur sel darah merah. Secara normal, umur

sel darah merah adalah 120 hari, namun pada pasien PGK (terutama stadium 5) terjadi

penurunan menjadi 60 hari. Selain itu juga terjadi kekurangan vitamin B12 dan asam

folat, kehilangan darah akibat pengujian laboratorium dan hemodialisis (Hudson, 2014;

McPhee, 2006).

Anemia kronik ditandai dengan adanya rasa lelah, gangguan kardiovaskular dan

fungsi kognitif, gangguan tidur, dan peningkatan kebutuhan trasnfusi sel darah merah

(Hermanson et al., 2016). Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia

adalah defisiensi besi kehilangan darah misalnya terjadi pada pendarahan saluran cerna

serta hematuria, masa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, defisiensi asam

folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik proses inflamasi akut masupun

kronik (Suwitra, 2014).

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

29

2.2.7.3 Ketidakseimbangan Natrium-Air

Ginjal berperan penting dalam menjaga keseimbangan natrium dan air. Kadar

Na+ normal di dalam tubuh adalah 130-147 mEq/L (Henry Ford, 2011). Karena pada

pasien PGK fungsi ginjal terganggu dan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan

elektrolit, maka pasien PGK umumnya mengalami kelebihan Na+ dan air yang

disebabkan karena hilangnya rute ekskresi garam dan air melalui ginjal. Kondisi Na+

dan air yang berlebih dapat terjadi tanpa menunjukkan tanda-tanda. Namun apabila

kelebihan Na+ berlangsung secara terus menerus, maka dapat menyebabkan terjadinya

gagal jantung, hipertensi dan edema perifer. Sementara itu kelebihan air dapat

menyebabkan terjadinya hiponatremia (Perlman et al., 2014), sedangkan hipernatremia

merupakan peningkatan konsentrasi natrium lebih dari 145 mmol/L yang disebabkan

karena kelebihan aldosterone sehingga menyebabkan retensi natrium belebih.

2.2.7.4 Uremia

Uremia merupakan salah satu komplikasi yang disebabkan karena PGK.

Umumnya uremia terjadi karena beberapa faktor yaitu 1) retensi senyawa-senyawa

yang pada keadaan normal dieksresi oleh ginjal, misalnya sisa metabolime protein yang

mengandung senyawa nitrogen, 2) peningkatan hormon tertentu, dan 3) berkurangnya

produksi hormon oleh ginjal, misalnya eritropoietin (Perlman et al., 2014).

Gejala uremia ditandai dengan kelelahan, lemah, sesak napas, mual, muntah.

Umumnya tidak muncul pada PGK stadium 1 dan 2, dan akan terjadi pada pasien PGK

stadium 5 dengan tanda dan gejala uremia didasarkan pada keputusan untuk

menerapkan RRT (Renal Replacement Therapy) (DiPiro et al., 2015).

2.2.7.5 Mineral and Bone Disorder dan Osteodistrofi Ginjal

Pada pasien PGK, umum terjadi gangguan metabolisme mineral dan tulang serta

kelainan pada hormon paratiroid, kalsium, fosfor dan vitamin D. Digambarkan sebagai

karakteristik statik hiperparatiroidisme sekunder dan osteodistrofi ginjal. Evaluasi awal

terhadap kondisi Mineral and Bone Disorder pada pasien PGK adalah menilai dan

menetapkan tingkat dasar Ca2+, P, PTH, vitamin D, alkalin fosfatase dan serum HCO3

(Ford, 2011).

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

30

Ketika terjadi penurunan fungsi ginjal maka akan terjadi penurunan ekskresi

fosfor yang mengakibatkan hiperfosfatemia di dalam tubuh dan disertai dengan

penurunan konsentrasi serum kalsium secara timbal balik. Sebagai respon terhadap

peningkatan kadar fosfat dan penurunan konsentrasi kalsium maka kelenjar paratiroid

akan mengeluarkan hormon paratiroid. Peningkatan hormon paratiroid dapat

menyebabkan deplesi kalsium tulang dan berakibat timbulnya osteomalasia dan

osteoporosis. Selain itu, ketika PGK berkembang, proses aktivasi vitamin D menjadi

terganggu dan menyebabkan berkurangnya penyerapan kalsium dalam usus serta

memburuknya hiperparatiroidisme. Jumlah vitamin D dan reseptor penginduksi

kalsium yang lebih sedikit menyebabkan perkembangan osteodistrofi ginjal (Hudson,

2014).

Pada fungsi ginjal yang normal, 90% fosfat plasma difiltrasi dan diekskresi. Pada

CKD terjadi CKD-MBD disorder (termasuk hiperparatiroidisme sekunder,

hiperfosfatemia, penurunan absorpsi kalsium dan kelainan metabolisme vitamin D)

(Carla, 2016). Progresivitas CKD menyebabkan perubahan metabolisme mineral

tulang. Serum paratiroid hormon (PTH) sebagai indikator penyakit tulang pada CKD,

dapat dimulai dengan GFR turun dibawah 70 ml/menit/1,73 m2 (Chauhan, 2012).

Paratiroid hormon (PTH) diatur dengan negative feedback dengan serum kalsium.

Serum kalsium yang rendah menstimulasi kelenjar paratiroid untuk mensekresi PTH,

sebaliknya peningkatan serum kalsium dapat menghambat sekresi PTH. Namun pada

pasien CKD, osteosit dan osteoblas mensekresikan peningkatan fibroblast growth

factor 23 (FGF23). FGF23 mempertahankan kadar serum fosfat normal dengan

mengurangi absorpsi fosfat pada usus kecil dengan menurunkan produksi vitamin D

(kalsitriol). Mekanisme ini mempertahankan serum kalsium dan fosfor normal pada

awal CKD hingga GFR turun dibawah 50 ml/min/1,73 m2 . Saat terjadi penurunan

GFR hingga stadium 3,60% pasien terjadi peningkatan PTH. Hal ini merangsang

nefron untuk mengeskresi fosfor dan merangsang tulang untuk melepaskan kalsium.

PTH juga merangsang tubulus proksimal pada ginjal untuk menghasilkan kalsitriol

untuk meningkatkan kadar kalsium dan melawan FGF23. Namun meskipun

meningkatnya kadar PTH, kemampuan ginjal untuk mengaktifkan vitamin D

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

31

berkurang karena hilangnya fungsi nefron. Bila GFR terus menurun maka mekanisme

adaptif tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis kalsium-fosfor dan akhirnya

terjadi hiperfosfatemia dan hiperparatiroid sekunder (Carla, 2016)

2.2.7.6 Hipoalbuminemia

Hipoalbuminemia merupakan kondisi dimana terjadi penurunan serum albumin

hingga dibawah 3,5 g/dl, namun signifikai secara klinis nampak ketika kadar serum

albumin dibawah 2,5 g/dL (Gatta et al., 2012). Hipoalbuminemia dapat disebabkan

oleh penurunan sintesis, yaitu pada keadaan malnutrisi dan penyakit hati, proses

degradasi yang berlebihan pada kondisi nefrosis dan gastrointestinal, atau peningkatan

kehilangan albumin dari vaskular pada keadaan syok dan edema. Kadar albumin

plasma < 2 g/dl sering dijumpai pada sindroma nefrotik, gastroenteropati dan sepsis,

sedangkan kadar 2-2,3 g/dl sering didapatkan pada pasien sirosis hati dan

glomerulonefritis, dan kadar 2,3-3 g/dl dijumpai pada reaksi fase akut, hepatitis virus,

malnutrisi, carcinoma, arthritis rematik, dan infeksi berat (Susetyowati et al., 2017).

2.2.7.7 Hiperkalemia

Hiperkalemia merupakan komplikasi umum yang sering terjadi pada pasien

ESRD dan berpotensi mengancam jiwa dikarenakan terjadi penurunan ekskresi kalium

(K+) di ginjal (Apel et al., 2014). Bila kadar K+ serum mencapai sekitar 7 mEq/L,

maka dapat menyebabkan terjadinya disaritmia yang serius bahkan henti jantung

(McPhee, 2006). Pada Pasien PGK terjadi penurunan GFR akibat dari kemampuan

ginjal yang tidak mampu mempertahankan kadar serum kalium (Kovesdy, 2014). Pada

tubulus ginjal kalium dapat direabsorbsi namun tidak mampu untuk diekskresi

sehingga terjadi penumpukan kalium di dalam darah. kelainan distribusi kalium terlihat

selama asidosis metabolik, defisiensi insulin, defisiensi aldosteron, antagonis

adrenergik, dan kerusakan jaringan. Selama mengalami asidosis metabolik maka akan

terjadi pergeseran kalium dari intraseluler menuju ke ekstraseluler sehingga terjadi

ketidakseimbangan antara keduanya dan menyebabkan hiperkalemia pada pasien

(Mushiyakh, 2011)

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

32

2.2.7.8 Hipokalemia

Management of Hypokalaemia Clinical Guideline, 2019 mendefinisikan

hipokalemia sebagai konsentrasi serum kalium <3,5 mmol / L sedangkan jika

konsentrasi kalium <2,5 mmol / L maka disebut dengan hipokalemia berat.

Hipokalemia dapat disebabkan oleh Asupan kalium makanan yang kurang, terjadi

gastrointestinal dan penurunan fungsi ginjal, serta obat-obatan yang dapat

menyebabkan hipokalemia misalnya diuretik tiazid (Bendroflumethiazide) dan loop

diuretik (furosemide).

Manifestasi klinik yang dialami oleh pasien hipokalemia tergantung pada tingkat

keparahan pengurangan kalium. Pasien dengan kadar kalium 3.0 - 3.5 mmol / L

biasanya tidak mengalami gejala yang tampak jelas, tetapi gejalanya mungkin termasuk

aritmia, kelemahan, konstipasi, mual, kram otot dan kelelahan, perubahan EKG dapat

mencakup gelombang T datar atau terbalik, depresi segmen ST dan gelombang U yang

menonjol, sedangkan kadar kalium 2.5 - < 3.0 mmol / L mengalami gejala yang tampak

lebih jelas, juga terjadi nekrosis otot dan aritmia pada pasien dengan masalah jantung,

sedangkan jika kadar kalium < 2.5 mmol / L tampak jelas terjadi aritmia jantung,

kelumpuhan kaki dan otot pernapasan, rhabdomiolisis, ileus, mioglobinuria, serta gagal

ginjal akut.

2.2.8 Pemeriksaan Fungsi Ginjal

Pemeriksaan terhadap fungsi ginjal sangat penting dilakukan untuk

mengidentifikasi sedini mungkin adanya penyakit ginjal agar penatalaksanaan dapat

diberikan secara efektif. Pengukuran fungsi ginjal terbaik adalah dengan cara

mengukur laju filtrasi glomerulus (LFG). Pengukuran LFG tidak dapat dilakukan

secara langsung, namun hasil estimasinya dapat dinilai melalui bersihan ginjal dari

suatu penanda filtrasi, salah satunya serum kreatinin. Serum kreatinin tidak dapat

digunakan sebagai satu-satunya faktor dalam memprediksi fungsi ginjal seseorang

karena dapat dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya: ras, diet, umur, jenis kelamin,

konsumsi obat dan lain-lain. Meskipun begitu, pemeriksaan serum kreatinin masih

dilakukan karena relatif mudah dan murah. Pertambahan usia seseorang dapat

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

33

menurunkan bersihan kadar serum kreatinin yang menggambarkan penurunan pada

fungsi ginjal.

Ada beberapa metode pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi

fungsi ginjal. Metode pemeriksaan yang dilakukan adalah denganmengukur zat sisa

metabolisme tubuh yang diekskresikan melalui ginjal seperti ureum dan kreatinin

(Riskesdas, 2013).

2.2.8.1 Pemeriksaan Kadar Ureum

Ureum adalah produk akhir dari katabolisme protein dan asam amino yang

diproduksi oleh hati dan didistribusikan melalui cairan interseluler dan ekstraseluler ke

dalam darah untuk kemudian difiltrasi oleh glomerulus. Pengukuran ureum serum

dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi ginjal, menilai progresivitas penyakit

ginjal, dan menilai hasil hemodialisis. Kadar urea nitrogen dapat dikonversi menjadi

ureum dengan persamaan:

1 mg urea

dL𝑥

1mmol urea

14 mg N𝑥

1 mmol urea

2 mmol N𝑥

60 mg urea

1 mmol urea

= 2,14 𝑚𝑔 𝑢𝑟𝑒𝑎 𝑑𝑙

Ureum dapat diukur dari bahan pemeriksaan plasma, serum, ataupun urin.

Peningkatan ureum dalam darah disebut azetomia. Kondisi gagal ginjal yang ditandai

dengan kadar ureum plasma yang sangat tinggi dikenal dengan istilah uremia.keadaan

ini dapat berbahaya dan memerlukan hemodialisis atau transplantasi ginjal.

Peningkatan kadar urea plasma dapat menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal

karena ekskresi urea dalam urin menurun. (Verdiansah, 2016).

Tabel II.3 Nilai Rujukan Kadar Ureum (Verdiansah, 2016)

Spesimen Nilai Rujukan

Plasma atau Serum 6-20 mg/dl 2,1 – 7,1 mmol urea/hari

Urin 24 jam 12-20 g/hari 0,43 – 0,71 mmol urea/hari

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

34

2.2.8.2 Pemeriksaan Kadar Kreatinin

Kreatinin adalah hasil pemecahan keratin fosfat otot yang diproduksi oleh tubuh

secara konstan tergantung pada massa otot. Kadar kreatinin relatif stabil karena tidak

dipengaruhi oleh protein dari diet. Ekskresi kreatinin dalam urin dapat diukur dengan

menggunakan bahan urin yang dikumpulkan selama 24 jam. The National Kidney

Disease Education program merekomendasikan penggunaan serum kreatinin untuk

mengukur kemampuan LFG yang bermanfaat untuk memantau perjalanan penyakit

ginjal. Diagnosis PGK dapat ditegakkan ketika nilai serum kreatinin meningkat di atas

nilai rujukan normal. Peningkatan serum kreatinin dalam darah dapat menyebabkan

terjadinya peningkatan filtrasi kreatinin dari darah ke dalam urin. Pada keadaan gagal

ginjal dan uremia, ekskresi kreatinin oleh glomerulus dan tubulus ginjal menurun

(Verdiansah, 2016).

f. Klirens Kreatinin

Klirens zat merupakan volume plasma yang dibersihkan dari zat tersebut dalam waktu

tertentu. Klirens kreatinin merupakan pengukuran GFR yang tidak absolut karena

sebagian kecil kreatinin direabsorpsi oleh tubulus ginjal dan sekitar 10% kreatinin urin

disekresikan oleh tubulus. Namun, pengukuran klirens kreatinin dapat memberikan

informasi mengenai perkiraan nilai GFR (Verdiansah, 2016)

𝐶𝑐𝑟 =𝑈𝑐𝑟 (

𝑚𝑔𝑑𝐿 ) 𝑥𝑉𝑢𝑟(

𝑚𝐿24 𝑗𝑎𝑚)

𝑃𝑐𝑟 (𝑚𝑔𝑑𝐿 ) 𝑥

1440 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡24 𝑗𝑎𝑚

𝑥1,73

𝐴

Keterangan:

Ccr : Klirens kreatinin

Ucr : Kreatinin urin

Vur : Volume urin dalam 24 jam

Pcr : Kadar urin dalam 24 jam

1,73/A : Faktor luas permukaan tubuh

Nilai Rujukan:

Laki-laki : 97 mL/menit - 137 mL/menit per 1,73 m2

Perempuan : 88 mL/menit - 128 mL/menit per 1,73 m2

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

35

g. Estimated Glomerular Filtration Rate (eGFR)

The National Kidney Foundation merekomendasikan bahwa estimated GFR

dapat diperhitungkan sesuai dengan serum kreatinin, usia, berat badan dan jenis

kelamin (persamaan Cockcroft and Gault) (Verdiansah, 2016).

𝐺𝐹𝑅 𝑚𝑙/ min =(140 − 𝑢𝑠𝑖𝑎)𝑥 𝑊𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 (𝑘𝑔)

72 𝑥 𝑆𝑐𝑟 (𝑚𝑔𝑑𝐿 )

𝑥 (0,45 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑒𝑚𝑝𝑢𝑎𝑛

Tabel II.4 Nilai Rujukan Kadar Kreatinin (Verdiansah, 2016)

Populasi Sampel Metode Jaffe

Metode Enzimatik

Pria Dewasa Plasma atau

serum

0,9-1,3 mg/dL

(80-115μmol/L)

0,6-1,1 mg/dL

(55-96μmol/L)

Wanita Dewasa Plasma atau

serum

0,6-1,1 mg/dL

(53-97μmol/L)

0,5-0,8 mg/dL

(40-66μmol/L)

Anak Plasma atau

serum

0,3-0,7 mg/dL

(27-62μmol/L)

0,0-0,6 mg/dL

(0-52μmol/L)

Pria Dewasa Urin 24 jam 800-2000 mg/hari

(7,1-17,7 mmol/hari)

Wanita Dewasa Urin 24 jam 600-1800 mg/hari

(5,3-15,9 mmol/hari)

2.2.9 Penatalaksanaan Terapi

2.2.9.1 Tahap Pertama (Konservatif)

Terapi tahap pertama (konservatif) pada pasien PGK bertujuan untuk

memperlambat progresivitas gangguan fungsi ginjal (Dipiro et al., 2015). Pada tahap

ini dilakukan observasi untuk menentukan penyebab utama dari PGK dan menyelidiki

setiap faktor yang masih reversibel diantaranya adalah:

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

36

- Penurunan volume cairan ekstrasel karena penggunaan diuretik yang berlebihan

atau pembatasan garam yang terlalu ketat.

- Obstruksi saluran kemih akibat batu, pembesaran prostat atau fibrosis

retroperitoneal.

- Infeksi, terutama infeksi saluran kemih.

- Obat-obatan yang nefrotoksik, seperti aminoglikosida, obat antitumor, obat

antiinflamasi nonsteroid.

- Hipertensi berat atau maligna

1) Pengaturan Diet Protein

Pengaturan terhadap asupan protein berpengaruh terhadap penurunan

progresivitas PGK. Selain mengurangi kadar Blood Urea Nitrogen (BUN), namun juga

dapat mengurangi asupan kalium, fosfat dan produksi ion hidrogen yang berasal dari

hasil metabolisme protein toksik. Asupan rendah protein juga dapat mengurangi beban

ekskresi terhadap ginjal sehingga dapat menurunkan hiperfiltrasi glomerulus.

Rekomendasi klinis terbaru mengenai jumlah protein yang diperbolehkan untuk pasien

PGK adalah 0,6 g/kg/hari. Dilakukan juga monitoring terhadap status nutrisi pasien

agar dapat memastikan berat badan dan serum albumin tetap stabil (Kandarini, 2018).

2) Pengaturan Diet Kalium

Hiperkalemia merupakan komplikasi umum yang sering terjadi pada kondisi

ESRD. Pengaturan terhadap asupan kalium memiliki peranan penting terkait hal

tersebut. Adapun rekomendasi klinik mengenai jumlah kalium yang diperbolehkan

untuk pasien PGK adalah 40-80 mEq/hari. Tidak memberikan obat-obatan atau

makanan yang mengandung tinggi kalium juga dapat membantu menghindari kondisi

hiperkalemia. Pada pasien yang menerima hemodialisis dan dialisis peritoneal,

konsentrasi kalium juga dapat diatur dalam dialisat untuk mengatasi kondisi

hiperkalemia yang dialami pasien (Hill, 2016).

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

37

3) Pengaturan Diet Natrium dan Cairan

Pada kondisi PGK umum terjadi ketidakseimbangan elektrolit, salah satunya

adalah peningkatan kadar Na+. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan adanya suatu

pengaturan diet natrium dan air. Rekomendasi klinik mengenai jumlah natrium yang

diperbolehkan untuk pasien PGK adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g natrium), namun

asupan natrium yang optimal tetap harus ditentukan secara individual pada setiap

pasien. Asupan natrium yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya retensi cairan,

edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif (Kandarini, 2018).

Menurut Suwitra (2014), prinsip penatalaksanaan PGK meliputi :

1) Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum

terjadinya penurunan LFG, sehingga perburukan terhadap fungsi ginjal tidak terjadi.

Ukuran ginjal yang masih normal pada pemeriksaan ultrasonografi, biopsi dan

histopatologi dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik.

Sebaliknya, bila terjadi penurunan LFG hingga 20-30% dari normal, terapi terhadap

penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat (Suwitra, 2014).

2) Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

Mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien PGK merupakan

hal yang sangat penting dikarenakan dapat mengetahui kondisi komorbid yang dapat

memperburuk keadaan pasien, diantaranya adalah gangguan keseimbangan cairan,

hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi dan obstruksi traktus urinarius, obat-obat

nefrotoksik, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra, 2014).

3) Menghambat perburukan fungsi ginjal

Hiperfiltrasi glomerulus merupakan faktor utama penyebab perburukan fungsi

ginjal. Pengurangan hiperfiltrasi glomerulus dapat dilakukan dengan cara pengaturan

diet dengan jumlah kalori 30-35 kkal/kgBB/hari, pengaturan asupan karbohidrat 50-

60% dari kalori total dan pengaturan asupan lemak 3040% dari kalori (Suwitra, 2014).

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

38

4) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

Dikarenakan 40-45% kematian pada PGK disebabkan oleh penyakit

kardiovaskular, maka pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

merupakan hal yang penting. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pengendalian

diabetes, hipertensi, dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia, serta terapi terhadap

kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit (Suwitra, 2014).

5) Terapi pengganti ginjal (replacement kidney)

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium akhi dengan GFR kurang

dari 15 ml/menit. Ada 2 jenis terapi pengganti ginjal yaitu dialisis dan transplantasi.

Untuk dialisis, terdapat 2 metode yaitu hemodialisis dan peritoneal dialisis.

Hemodialisis merupakan suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme

melalui membran semipermeabel. Sedangkan, peritoneal dialisis merupakan proses

dialisis yang bekerja sebagai tempat menampung cairan dialisis dan peritoneum

sebagai membran semipermeable. Pemilihan metode dialisis tergantung pada kondisi

pasien (Price et al, 2005)

2.2.9.2 Penatalaksanaan Terapi Terhadap Komplikasi

1) Hipertensi

Kontrol tekanan darah secara optimal merupakan tindakan yang dapat dilakukan

untuk menurunkan laju progresivitas PGK. KDIGO (2018) merekomendasikan jika

ekskresi albumin urin setara atau <30 mg/24 jam maka target tekanan darah adalah

140/90 mmHg untuk mengurangi perkembangan PGK dan morbiditas mortalitas

penyakit kardiovaskular. Sedangkan jika ekskresi albumin urin >30 mg/24 jam atau

setara (albuminuria) maka target tekanan darah adalah 130/80 mmHg (Lukela et al.,

2014).

Pada kondisi hipertensi dengan GFR > 20 mL/min/1,73 m2, terapi lini pertama

yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian obat anti hipertensi golongan

Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin II Receptor Blocker

dengan cara memblokade RAAS untuk mencegah dan menurunkan laju progresivitas

PGK ke tahap stadium akhir (ESRD). Terapi kombinasi ACEI dan ARB harus

dipertimbangkan kembali, hanya untuk pasien dengan kondisi albuminuria berat (>1

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

39

g/hari) (Lukela et al., 2014). Jika diperlukan, ARB atau ACEI dapat dikombinasikan

dengan golongan thiazide untuk mengurangi proteinuria. Selain itu, dapat juga

diberikan obat anti hipertensi golongan Non Dihydropyridine Calcium Channel

Blocker (CCB) yang digunakan sebagai obat antiproteinurik lini kedua. Pengobatan

harus dimulai dengan dosis serendah mungkin kemudian diikuti dengan peningkatan

secara bertahap untuk mencapai target tekanan darah dan untuk meminimalkan

proteinuria (Dipiro et al., 2015). Selain itu, tekanan darah pasien PGK dapat juga

dikontrol dengan hemodialisis (Ali, 2017).

Tabel II.5 Obat anti hipertensi pada terapi PGK (Lukela, 2014)

Nama Obat Generik Rentang Dosis

Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI)

Enalapril 5-40 mg/hari (terbagi 12-24 jam)

Captopril 25-50 mg/hari (terbagi 8-12 jam)

Ramipril 2,5-20 mg/hari (terbagi 12-24 jam)

Lisinopril 10-40 mg/hari (24 jam)

Angiotensin II Receptor Blocker (ARB)

Losartan 50-100 mg/hari (24 jam)

Irbesartan 150-300 mg/hari (24 jam)

Valsartan 80-320 mg/hari (24 jam)

Calcium Channel Blocker (CCB)

Amlodipin 5-10 mg (24 jam)

Verapamil 80-120 mg (8 jam)

Diltiazem 30-90 mg (6 jam)

Nifedipin 10 (8 jam)

Page 35: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

40

2) Anemia

Pemberian terapi Erythropoietic-Stimulating Agent (ESA) merupakan terapi

awal yang diterima pasien PGK dengan kadar Hb antara 9-10 g/dL, sehingga perlu

dilakukan koreksi Hb terlebih dahulu sebelum diberikan terapi ESA. Pengobatan

anemia dengan ESA sering mengalami resistensi dikarenakan defisiensi zat besi

sehingga diperlukan suplementasi zat besi untuk memenuhi persediaan zat besi

tersebut. Terapi zat besi secara parenteral dapat meningkatkan respon terhadap terapi

ESA serta dapat mengurangi dosis yang dibutuhkan untuk mencapai dan

mempertahankan indeks target. Sebaliknya, terapi oral dibatasi oleh penyerapan dan

kepatuhan pasien yang buruk karena efek samping yang ditimbulkan. Pemberian

epoetin alfa secara subkutan lebih disukai daripada intravena karena dosis subkutan

15%-30% lebih rendah dari dosis intravena untuk dapat mempertahankan indeks target.

Selain itu, ada darbepoetin alfa yang memiliki waktu paruh lebih lama daripada epoetin

alfa dan aktivitas biologis yang panjang. Efek samping yang paling umum terjadi dari

penggunaan ESA yaitu hipertensi (Dipiro et al., 2015).

Tabel II.6 Obat anemia untuk terapi PGK (Henry Ford, 2011)

Nama Obat Rentang Dosis

Zat Besi

Ferro Sulfat 200 mg/24 jam (alternatif, Ferro Fumarat)

Erythropoietic-Stimulating Agent (ESA)

Epoetin alfa 10-40000 unit, subkutan, 1-4 minggu; terapi dimulai saat Hb

<10 g/dL dengan dosis 100 unit/kg/minggu

Darboetin alfa 40-300 mcg unit, subkutan, 2-4 minggu; terapi dimulai saat

Hb <10 g/dL dengan dosis 0,9 mcg/kg/2 minggu (ekuivalen

dengan 0,45 mcg/kg/minggu)

Page 36: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

41

Tindakan lain yang dapat dilakukan untuk meringankan anemia pada pasien PGK

adalah dengan meminimalkan kehilangan darah, memberikan vitamin dan transfusi

darah. Multivitamin dan asam folat biasanya diberikan setiap hari karena dialisis

mengurangi vitamin yang larut dalam air. Transfusi darah Packed Red Cell (PRC)

lazim digunakan untuk mengobati anemia pada pasien PGK tetapi sekarang terbatas

pada pasien dengan kadar hematokrit kurang dari 24% (Price et al., 2005).

3) Asidosis metabolik

Terapi non farmakologi berupa pengaturan asupan protein dapat memperbaiki

keadaan asidosis. Bila kadar serum bikarbonat <15 mEq/L, beberapa ahli nefrologi

memberi rekomendasi klinik untuk memberikan terapi alkali seperti natrium

bikarbonat (NaHCO3) dengan dosis 0,5-2,0 mEq/kg sehari dengan target HCO3 22-26

mEq/L, maupun dengan terapi sitrat pada dosis 1 mEq/kg/hari secara oral.

Asidosis berat dapat timbul bila penderita sebelumnya sudah mengalami asidosis

kronik ringan. Bila pada kondisi asidosis berat akan dikoreksi dengan pemberian

NaHCO3 secara parenteral, maka perlu diperhatikan resiko yang ditimbulkan (Price et

al., 2005) dengan cara dilakukan monitoring terhadap kemungkinan munculnya

hiperkalemia, alkalosis metabolik, hipokalsemia, dan hipokalemia (Henry Ford, 2011).

4) Mineral Bone Disease dan Osteodistrofi ginjal

Salah satu terapi untuk mencegah timbulnya hiperparatiroidisme sekunder adalah

pengaturan diet rendah fosfat dengan melakukan pemberian agen pengikat fosfat dalam

usus. Sebaiknya pengobatan ini dimulai ketika GFR pasien turun hingga sepertiga

normal. Rekomendasi klinik terkait pemberian agen pengikat fosfat yaitu diberikan

pada pasien PGK stadium 3 dan 4 dengan kadar P > 4,6 mg/dL dan Ca < 10.2 mg/dL.

Selama terapi pengikat fosfat, jumlah asupan total Ca harian tidak boleh melebihi 2000

mg setiap hari untuk mencegah Ca yang berlebih.

Selain itu, kondisi hiperfosfatemia dapat dikontrol dengan pemberian aluminium

hidroksida secara oral atau kalsium karbonat, yang mengurangi penyerapan fosfat oleh

gastrointestinal. Kalsium karbonat (CaCO3) harus diminum 1-2 g bersama makanan

untuk memastikan keefektifan maksimum dalam pengikatan fosfat yang kemudian

Page 37: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

42

akan mencegah absorpsinya. Terapi ini bertujuan untuk mempertahankan serum fosfat

sekitar 4,5 mg/dL dan Ca2+ sekitar 10 mg/dL (Harrison, 2005).

Vitamin D, ergocalciferol (sumber tanaman) atau cholecalciferol (sumber

hewani) dapat juga digunakan sebagai pengobatan untuk hipovitaminosis D pada setiap

stadium PGK. Namun, mungkin tidak cukup untuk menekan PTH pada stadium 3-5,

meskipun dapat memenuhi kebutuhan vitamin D. Akibatnya diperlukan vitamin aktif

D sterol untuk menekan PTH ke level target.

Tabe lI.7 Obat Mineral Bone Disease dan Osteodistrofi Ginjal pada PGK

(Ford, 2011)

Nama Obat Rentang Dosis

Vitamin D

Ergocalciferol (D2) 50000 IU 4x/1 minggu atau 8x/1 bulan,

kecuali bila Ca > 9,5 g/dL atau P > 4,6 mg/dL

Cholecalciferol (D3) 1750 IU satu kali sehari

Active Vitamin D Sterols

Calcitrol 0,25-0,50 mcg satu kali sehari

Doxercalciferol 1,0 mcg satu kali sehari

Paricalcitol 1,0 mcg satu kali sehari atau 2,0 mcg 3 kali

tiap minggu

Agen Pengikat Fosfat (Phospate Binder)

Kalsium asetat 1,0-1,5 g/hari untuk P >4,6 mg/dL dan Ca

8,8-10,2 mg/dL

Kalsium karbonat 1,0-1,5 g/hari untuk P >4,6 mg/dL dan Ca

8,8-10,2 mg/dL

Page 38: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

43

5) Ketidakseimbangan Natrium-Air

Hipernatremia biasanya disebabkan oleh defisiensi air dalam tubuh relatif

terhadap natrium, jika konsentrasi natrium plasma meningkat di atas normal (135-145

mEq/L) (Yaswir dan Ferawati, 2012). Pengobatan yang dilakukan antara lain dengan

mengoreksi defisit air dan mencegah kehilangan lebih lanjut dengan mengoreksi

penyebab yang mendasarinya. Tergantung pada tingkat keparahan, penggantian air

dilakukan dengan asupan air secara oral dan intravena dengan larutan dekstrosa

(glukosa) 5% (dekstrosa dikeluarkan oleh metabolisme). Natrium plasma harus

diperiksa secara teratur untuk memastikan koreksi tidak dilakukan terlalu cepat (target

12 mmol/L per jam) (O’Callaghan, 2009).

2.3 Kondisi Hiperkalemia

2.3.1 Definisi Hiperkalemia

Kalium merupakan ion intraseluler utama dalam tubuh dan berperan penting

dalam menjaga fungsi sel. Kalium ditemukan banyak terdapat pada makanan terutama

buah dan cokelat. Kelebihan kalium biasanya dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal.

Namun, pada pasien PGK kadar kalium dalam darah dapat meningkat seiring dengan

terjadinya penurunan GFR. Kondisi ini disebut sebagai hiperkalemia dengan kadar

kalium > 5 meq/L (Hsieh, 2010).

Hiperkalemia merupakan komplikasi umum yang sering terjadi pada pasien

PGK, terutama untuk pasien yang mempunyai nilai LFG <15 mL/menit (stadium

akhir). Ketika terjadi ketidakseimbangan elektrolit berupa peningkatan serum kalium

(K+) diatas kisaran normal (Kovesdy, 2014)., berpotensi mengancam jiwa. Bila kadar

serum kalium mencapai sekitar 7 mEq/L, maka dapat menyebabkan terjadinya

disaritmia yang serius (McPhee, 2006) hingga dapat menyebabkan kelainan konduksi

jantung termasuk fibrilasi ventrikel dan asistol karena peningkatan K+ di ekstrasel

(Apel et al., 2014).

Page 39: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

44

Tabel II.8 Klasifikasi Hiperkalemia Berdasarkan Tingkat Keparahan (European

Resuscitation Guidelines, 2015)

Klasifikasi Hiperkalemia GFR (mmol/L)

hiperkalemia ringan 5,5-5,9 mmol/L

hiperkalemia sedang 6,0-6,4 mmol/L

hiperkalemia berat ≥ 6 mmol/L.

Hiperkalemia ringan biasanya berkaitan dengan adanya peningkatan

gelombang T, sedangkan hiperkalemia berat berkaitan dengan peningkatan interval PR

dan perpanjangan interval QRS. Namun hubungan antara kadar kalium dan EKG

tergantung pada beberapa faktor seperti sensitifitas dan kecepatan perkembangan

hiperkalemia. Penyebab terjadinya hiperkalemia yaitu karena adanya pergeseran

kalium ke ekstrasel yang disebabkan akibat penurunan ekskresi kalium ginjal,

redistribusi kalium ke cairan ekstrasel karena asidosis metabolik dan asupan kalium

yang berlebihan (Alldredge, 2013).

Pada pasien harus dipasang monitor jantung. Jika terdapat perubahan EKG

pengobatan harus cepat dilakukan. Awalnya, kalsium diberikan dalam bentuk kalsium

glukonat atau kalsium klorida yang akan melawan (antagonis terhadap) efek kalium

pada potensi aksi jantung, namun tidak bertahan lama. Untuk jangka menengah, kalium

dapat digerakkan masuk ke dalam sel dengan pemberian insulin, dikombinasikan

dengan glukosa, untuk mencegah hipoglikemia. Agonis B2 dapat juga digunakan.

Pemberian natrium bikarbonat menyebabkan alkalosis sementara, yang juga memacu

pergerakan kalium intraseluler. Untuk jangka panjang kelebihan kalium harus

dikeluarkan dari tubuh. Diuretik, seperti furosemid, dikombinasikan dengan hidrasi,

akan meningkatkan ekskresi oleh ginjal. Jika fungsi ginjal sangat terganggu, dialisis

atau hemofiltrasi akan mengeluarkan kalium (O’Callaghan, 2009). Untuk terapi lain

hiperkalemia dilakukan diet rendah kalium dengan tidak mengonsumsi obat-obatan

atau makanan yang mengandung kalium tinggi. Jumlah yang diperbolehkan dalam diet

adalah 40 hingga 80 mEq/ hari. Makanan yang mengandung kalium seperti sup, pisang,

dan jus buah murni. Pemberian kalium yang berlebihan akan menyebabkan

hiperkalemia yang berbahaya (Haryanti dan Nisa, 2015)

Page 40: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

45

2.3.2 Mekanisme Terjadinya Hiperkalemia pada Penyakit Ginjal Kronik

Mekanisme utama ketika ginjal mempertahankan homeostasis kalium adalah

terjadi sekresi kalium ke dalam tubulus distal dan terkumpul di duktus proksimal. Jika

LFG mengalami penurunan maka kemampuan ginjal untuk mempertahankan kadar

serum kalium sulit dilakukan dan dapat mengancam kisaran fisiologis normal dari

ginjal (Kovesdy, 2014). Kelainan distribusi kalium terlihat selama asidosis metabolik,

defisiensi insulin, defisiensi aldosteron, antagonis adrenergik, dan kerusakan jaringan.

Selama mengalami asidosis metabolik maka akan terjadi pergeseran kalium intraseluler

menuju ke ekstraseluler yang signifikan dan menyebabkan ketidakseimbangan antara

keduanya dan menjadi hiperkalemia (Mushiyakh, 2011)

Gambar 2.7 Mekanisme terjadinya hiperkalemia pada PGK (Koda-kimble, 2013)

Menurut Clinical Practice Guidelines Treatment Of Acute Hyperkalemi In

Adults, 2014, Hiperkalemia biasanya terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal akut

atau kronis. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD), ada beberapa faktor

yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap hiperkalemia termasuk penurunan laju

filtrasi glomerulus (GFR), asidosis metabolik , ion H+ masuk ke sel untuk dibufer dan

ion K+ meninggalkan sel untuk mempertahankan elektronitas., dan asupan kalium

makanan tinggi relatif terhadap fungsi ginjal residual, tubulus distal terus-menerus

Page 41: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

46

mensekresikan kalium, terjadi peningkatan aldosteron yang juga mendorong sekresi

kalium dengan menstimulasi pertukaran natrium-kalium di ginjal dan kolon. Selain itu

hiperkalemi dapat disebabkan oleh berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal yang

terjadi pada hiperaldosteronisme, gagal ginjal, pemakaian siklosporin atau akibat

koreksi ion kalium berlebihan dan juga pada kasus yang mendapat terapi angiotensin

converting enzyme inhibitor dan potassium sparing diuretic maka risiko hiperkalemia

akan semakin meningkat. (Sandala G, 2016).

Fisiologi dari kalium sangat membantu ketika mendekati pasien dengan

hiperkalemia. Total simpanan kalium tubuh sekitar 3000 mEq atau lebih (50 hingga 75

mEq / kg berat badan) Kalium merupakan ion utama tubuh, hampir 98% dari kalium

intraseluler. Konsentrasi kalium intraseluler sekitar 140 mEq / L dibandingkan dengan

4 hingga 5 mEq / L dalam cairan ekstraseluler. Perbedaan distribusi kedua kation

tersebut dipertahankan oleh pompa Na-K-ATPase dalam membran sel, yang memompa

natrium keluar dan kalium ke dalam sel dalam perbandingan 3: 2. Rasio konsentrasi

kalium dalam sel dan cairan ekstraseluler adalah penentu utama dari potensial

membran istirahat di seluruh membran sel, yang menetapkan tahap untuk generasi

potensial aksi yang penting untuk fungsi saraf dan otot normal yang mengarah ke

peningkatan depolarisasi jantung, dan rangsangan otot yang dapat menyebabkan

elektrokardiografi (ECG) berubah. Perubahan EKG dengan hiperkalemia tidak secara

konsisten bertahap, polanya tergantung pada dosis yang diberikan. Ketika terjadi

perubahan EKG yang cepat maka akan menyebabkan Risiko aritmia meningkat dengan

nilai K+ > 6,5 mmol / L dan bahkan ketinggian yang kecil di K+ dapat menyebabkan

gelombang T memuncak hingga ke ventrikel fibrilasi atau asistole. Semakin tinggi

kadar kalium pasien, maka semakin besar risiko terjadinya hiperkalemia. sehingga,

baik hiperkalemia dan hipokalemia dapat menyebabkan kelumpuhan otot dan aritmia

jantung yang berpotensi fatal (David, 2019)

Page 42: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

47

2.3.3 Penatalaksanaan Hiperkalemia

Gambar 2.8 Penatalaksanaan Hiperkalemia (Clinical Practice Guidelines

Hyperkalemia, 2016)

Hiperkalemia (K+) ≥ 5 mmol/L

Hentikan semua suplemen K, Hentikan pengobatan yang

menyebabkan hiperkalemia, dan Pemantauan jantung

Pengecualian pseudohyyperkalemia

(Periksa kembali dengan menggunakan

sampel vena)

Pasien Asimtomatik

dengan ECG normal,

dan K+ > 6 sampai ≤

7 mmol/L

Pasien yang tidak stabil atau

simtomatik dengan ECG yang

tidak normal dan K+ > 7

mmol/L

Polystyrane sulfonate

(Kalitake)\

Natrium Bikarbonat

jika pasien mengalami

Asidosis Metabolik

Pertimbangkan untuk

pemberian salbutamol

Pasien Asimtomatik,

dengan ECG normal, dan

K+ ≥ 5,5 sampai ≤ 6,0

mmol/L

Kalitake

Natrium Bikarbonat

jika pasien mengalami

Asidosis Metabolik

Salbutamol

Insulin dan glukosa

jika terjadi perfusi

Kalsium glukonas

Insulin dengan glukosa

Salbutamol

Natrium Bikarbonat

jika pasien mengalami

Asidosis Metabolik

Kalitake

Pertimbangan

Dialisis

Page 43: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

48

Terapi untuk pasien PGK dengan hiperkalemia dapat diberikan ketika pasien

memiliki EKG yang abnormal terkait dengan hiperkalemia atau serum kalium

≥6 mmol/L. Pada kondisi hiperkalemia ringan (5,5-5,9 mmol/L), awalnya pasien harus

diterapi dengan pengaturan pembatasan asupan kalium. Selanjutnya, pada pasien

hiperkalemia sedang (6,0-6,4 mmol/L) yang secara klinis dan EKG tidak menunjukkan

adanya hiperkalemia, dapat dikendalikan dengan pemberian resin penukar ion (natrium

polistiren sulfonat 15-30 g setiap 3-4 jam). Pada pasien hiperkalemia berat ( >6,5

mmol/L) dan menunjukkan kondisi hiperkalemia dengan adanya abnormalitas EKG

atau gambaran klinis, terapi darurat harus dilakukan yaitu berupa pemberian insulin 10

unit dan 50 ml dektrosa 50% secara intravena yang dapat menimbulkan pergeseran

kalium ke intrasel dalam waktu 30-60 menit. Selain itu, dapat juga dilakukan

pemberian kalsium glukonat 10 mL larutan 10% secara intravena (Brenner, 2014).

Penatalaksanaan dalam mengatasi hiperkalemia memiliki 3 mekanisme tujuan

diantaranya adalah menstabilkan membran jantung terhadap efek hiperkalemia,

meningkatkan uptake kalium ke intrasel serta mendorong ekskresi kalium (Apel et al.,

2014).

1) Menstabilkan membran jantung terhadap efek hiperkalemia

Efek hiperkalemia terhadap konduksi dan repolarisasi otot jantung dapat

dihambat dengan pemberian kalsium glukonat secara intravena. Efek pemberian

kalsium akan dapat dilihat pada EKG dalam 1-3 menit setelah pemberian atau paling

lambat dalam 30-60 menit. Pada kondisi hiperkalemia berat, dapat juga diberikan 10

ml kalsium glukonat 10% iv dalam 2-3 menit dengan disertai monitoring EKG pasien.

Bila masih belum terdapat perubahan EKG maka pemberian kalsium glukonat dapat

diulang setelah 5-10 menit.

2) Meningkatkan uptake kalium ke intrasel

Meningkatkan uptake kalium ke intrasel dapat menurunkan kadar serum kalium

secara cepat di ekstrasel. Yang termasuk dalam kategori ini adalah penggunaan insulin

dan β2-agonis.

Page 44: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

49

a. Kombinasi insulin 10-20 unit dan 25-50 gram dekstrosa

Pemberian insulin secara intravena merupakan cara yang cepat untuk

menurunkan kadar serum kalium. Jika efektif, maka kadar kalium akan turun sebesar

0,5-1,5 mmol/L dalam 15-30 menit dan efek paling lama terjadi dalam 30-60 menit.

Insulin memicu pompa ion Na+, K+, ATPase untuk menguptake kalium ke dalam

intrasel. Sedangkan pemberian dekstrosa intravena bertujuan untuk mencegah

hipoglikemia akibat pemberian insulin.

h. Pemberian natrium bikarbonat

Natrium bikarbonat akan meningkatkan pH sistemik. Peningkatan pH tersebut

akan merangsang ion H+ keluar dari dalam sel yang kemudian menyebabkan K+ masuk

ke dalam sel. Dalam keadaan tanpa asidosis metabolik, natrium bikarbonat diberikan

50 mEq IV selama 10 menit. Bila dalam keadaan asidosis metabolik, disesuaikan

dengan keadaan asidosis metabolik yang ada.

c. Pemberian β2-agonis

Secara inhalasi maupun intavena β2-agonis akan merangsang pompa Na+, K+,

ATPase, sehingga kalium masuk ke dalam sel. Contohnya adalah albuterol 10-20 mg

secara inhalasi selama 10 menit, memiliki onset dalam 30 menit dan mampu

menurunkan konsentrasi kalium plasma sebesar 0,5-1,5 mmol/L. Efek terjadi paling

lama dalam 2-4 jam.

3) Mengeluarkan kalium dari dalam tubuh

a. Diuretik

Pada keadaan hiperkalemia kronik, pemberian loop diuretik atau tiazid diuretik

cukup untuk ekskresi kalium. Pemberian diuretik umumnya tidak dapat mengobati

hiperkalemia akut karena kecepatan ekskresi kalium tidak adekuat.

b. Resin penukar ion (kayexalate)

Cara lain untuk mengeliminasi kalium adalah dengan pemberian resin penukar

ion yaitu sodium polystyrene sulfonate (kayexalate). Umumnya akan menurunkan

konsentrasi kalium plasma sebanyak 0,5-1 mmol/L dalam 1-2 jam dan paling lama

dalam 4-6 jam. Resin tersebut dapat diberikan secara oral maupun rektal dengan dosis

25-50 g dicampur dengan 100 mL sorbitol 20%, mempunyai efek untuk mengganti

Page 45: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

50

natrium dengan kalium di sistem saluran cerna. 1 gram resin dapat memindahkan 1

mEq kalium dengan 2-3 mEq natrium. Efek puncaknya terlihat dalam 4 jam

dikarenakan kecepatan perpindahan yang relatif lambat.

c. Dialisis

Selain itu, tindakan utama untuk mengeliminasi kalium pada penderita gangguan

fungsi ginjal, hiperkalemia persisten dan hiperkalemia berat dapat dilakukan dengan

cara dialisis (stadium akhir)

Tabel II.9 Penatalaksanaan Hiperkalemia (Mushiyakh, 2011)

Obat Tipe

Respon

Onset Durasi Mekanisme Kerja Penurunan

Kalium

yang

Diharapkan

Kalsium

Glukonat

Cepat 1-2

Menit

30-60

menit

Melindungi

kardiomikosit

0,5-1,5 mEq/L

Glukosa +

Insulin

Menengah 10-20

Menit

5-6

jam

Menarik kalium

ke intraseluler

0,5-1,5 mEq/L

(dosis berbeda)

Beta-

Agonis

Menengah 3-5

Menit

1-4

jam

Menarik kalium

ke intraseluler

-

Sodium

bikarbonat

Menengah 30-60

Menit

2-6

jam

Menarik kalium

ke intraseluler

-

Resin

Pengganti

Lambat 2-6

jam

4-6

jam

Mengeliminasi

kalium dari tubuh

-

Furosemid Lambat 5-30

Menit

2-6

jam

Mengeliminasi

kalium dari tubuh

-

Hemo-

dialisis

Lambat Mene

ngah

Mengel

iminasi

kalium

dari

tubuh

1 mmol/L pada 60

menit pertama dan

2 mmol/L pada

180 menit

kemudian.

-

Page 46: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

51

2.4 Insulin

2.4.1 Struktur dan Nama Kimia Insulin

Insulin terdiri dari dua rantai peptida yaitu A dan B dimana masing-masing rantai

peptida terdiri dari 21 dan 30 asam amino yang saling dihubungkan dengan 2 jembatan

disulfida. Dua jembatan disulfida antar rantai tersebut menghubungkan A7 ke B7 dan

A20 ke B19. Selain itu, masih terdapat jembatan disulfide antara asam amino ke-6 dan

ke-11 pada rantai A. Insulin berperan mengatur metabolisme karbohidrat, lemak dan

protein (Katzung, 2010)

Insulin merupakan hormon polipeptida dengan struktur kompleks. Semua

sediaan insulin umumnya imunogenik pada manusia tetapi resistensi imunologis

terhadap kerja insulin tidak lazim terjadi. Insulin dirusak oleh enzim dalam saluran

cerna oleh karena itu harus diberikan melalui injeksi atau inhalasi; rute subkutan

memberi hasil yang baik pada semua kondisi (Tjay, 2015).

Rumus molekul : C256H381N65O76S6

Berat molekul : 5777.603 g/mol

Gambar 2.9 Struktur Kimia Insulin (Mellisa, 2013)

2.4.2 Sifat Fisika Kimia Insulin

a) Pemerian : Bubuk, putih atau hampir putih

b) Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air dan alkohol, larut dalam asam

encer, mineral dan alkali.

c) Penyimpanan : Simpan di ruang kedap udara dan yang terlindung dari cahaya.

Simpan pada suhu -20°. Ketika dicairkan, insulin dapat disimpan pada suhu 2°-8°

Page 47: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

52

dan digunakan untuk tujuan manufaktur dalam periode waktu yang singkat. Untuk

menghindari penyerapan kelembapan dari udara, maka insulin dapat disimpan pada

suhu kamar (Sweetman, 2009)

2.4.3 Farmakologi Insulin

2.4.3.1 Farmakodinamik Insulin

Insulin menghasilkan efek fisiologi yang bersifat luas dan kompleks. Efek yang

paling banyak ditemukan adalah hipoglikemia, selain itu juga terdapat efek yang lain

yang memiliki kaitan dengan transportasi elektrolit dan asam amino, berbagai enzim

dan pertumbuhan. Penyimpanan karbohidrat, protein dan lemak merupakan efek akhir

dari hormon ini. Berdasarkan hal tersebut, maka insulin dapat dikatakan sebagai

hormone of abundance (Ganong, 2003).

Efek kerja insulin yang sudah sangat dikenal adalah membantu transport glukosa

dari darah ke dalam sel. Kekurangan insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat

atau terhambat masuk ke dalam sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan

sebaliknya sel-sel tubuh kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat

memproduksi energi sebagaimana seharusnya (Dipiro et al., 2015)

2.4.3.2 Farmakokinetika Insulin

Insulin mempunyai peran yang sangat penting dan luas dalam pengendalian

metabolisme. Insulin yang disekresikan oleh sel-sel β pankreas akan langsung

diinfusikan ke dalam hati melalui vena porta, yang kemudian akan didistribusikan ke

seluruh tubuh melalui peredaran darah. Pemberian insulin tidak dapat dilakukan secara

per oral karena dapat mengalami penguraian oleh pepsin lambung. Oleh karena itu,

insulin selalu diberikan melalui injeksi. Insulin dirombak dengan cepat terutama di hati,

ginjal dan otot. t ½ dalam plasma hanya terjadi beberapa menit pada orang sehat namun

pada pasien diabetes dapat diperpanjang sampai 13 jam, hal ini mungkin terjadi akibat

pengikatan pada antibodi (Tjay, 2015). Lispro, insulin aspart dan glulisin merupakan

analog yang lebih cepat diserap, mencapai puncak lebih cepat dan memiliki jangka

waktu yang lebih pendek dari insulin reguler (Dipiro et al., 2015).

Page 48: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

53

a) Absorpsi : tingkat keefektifan penyerapan insulin tergantung pada aliran darah

lokal, dengan penyerapan tercepat yaitu pada bagian perut. Selain secara subkutan,

penginjeksian insulin secara intramuskular juga menghasilkan efek terapi yang

cepat. Peningkatan absorbs insulin secara subkutan akan meingkatkan kadar insulin

dalam darah sehingga mengakibatkan peningkatan dari efek insulin yang

memungkinkan terjadinya hipoglikemia.

b) Distribusi : tidak mengikat protein plasma, kecuali antibodi insulin

c) Metabolisme : insulin terdegradasi oleh protease insulin atau enzim pengurai insulin

dan isomerase protein disulfida. Insulin cepat dimetabolisme, terutama di hati.

Insulin akan diserap kembali di tubulus proksimal ginjal dan direabsorpsi ke darah

vena atau dimetabolisme.

d) Eliminasi : waktu paruh ditentukan oleh tingkat penyerapan. Hanya sedikit jumlah

insulin yang diekskresikan dalam urin.

Tabel II.10 Farmakokinetika berbagai variasi insulin (Dipiro, 2015)

Tipe Insulin Onset Puncak

(jam)

Durasi

(jam)

Durasi

maksimum

(jam)

Rapid acting

Aspart 15-30 menit 1-2 3-5 5-6

Lispro 15-30 menit 1-2 3-4 4-6

Glulisin 15-30 menit 1-2 3-4 5-6

Short acting

Regular 30-60 menit 2-3 3-6 6-8

Intermediate

acting

NPH 2-4 jam 4-6 8-12 14-18

Long acting

Detemir 2-4 jam 6-9 14-24 24

Glargin 4-5 jam - 22-24 24

Page 49: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

54

2.4.4 Mekanisme Insulin dalam Penatalaksanaan Hiperkalemia

Gambar 2.10 Mekanisme Insulin dalam Pelaksanaan Hiperkalemia

(Williams and Wilkins, 2012)

Karena efek dari uremia, penyerapan glukosa dan insulin menjadi terganggu

namun efek insulin dalam menurunkan serum kalium tidak terganggu. Hal ini

disebabkan karena jalur independen untuk kalium dan transportasi glukosa dalam

melintasi membran sel berbeda. Dalam mengatasi kondisi hiperkalemia, insulin bekerja

menstimulasi uptake K+ oleh otot skelet dan sel hepatik dengan cara memasukkan K+

ke intrasel, disertai dengan terjadinya rangsangan pada membran sel terhadap aktivitas

Na+dan H+. Selanjutnya Na+ dan K+ tersebut akan dimasukkan ke intrasel sehingga

mengakibatkan terjadinya aktivasi Na+ dan K+ tersebut. Terjadi pengikatan terhadap

K+ pada ekstrasel yang kemudian akan dimasukkan ke intrasel, sehingga akan terjadi

penurunan kadar K+ dalam serum (Vijayan, 2014).

2.4.5 Permasalahan pada Penggunaan Terapi Insulin

2.4.5.1 Efek Samping Insulin

Efek samping terpenting dari penggunaan insulin yang dapat terjadi berupa

hipoglikemia, reaksi alergi, resistensi, lipodistrofi dan gangguan penglihatan (Tjay,

2015).

Page 50: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

55

a) Hipoglikemia

Biasanya terjadi karena overdosis atau tidak/terlambat makan sesudah injeksi

dikarenakan kerja fisik terlalu berat, atau interaksi dengan obat-obat yang diminum

bersamaan. Sediaan depot lebih berbahaya, karena menimbulkan hipoglikemia secara

berangsur-angsur yang tidak dapat diperkirakan oleh pasien dan kebanyakan terjadi di

tengah malam sewaktu tidur. Hipoglikemia lebih sering terjadi pada insulin human

kemungkinan karena adanya gejala adrenergik seperti rasa lapar, gemetar, berkeringat

dan jantung berdebar, kurang jelas dirasakan berhubung regulasi gula darahnya yang

lebih baik. Semakin baik regulasi gula darah, semakin besar resiko akan timbulnya

hipoglikemia serius.

b) Reaksi alergi

Reaksi alergi di kulit pada tempat injeksi adakalanya terjadi dan kebanyakan

ditimbulkan oleh zat-zat tambahan (protamin, seng, zat-zat pengawet, kotoran). Alergi

untuk insulin jarang terjadi dan umumnya bersifat lokal (eksantema, gatal dan

pengerasan di tempat injeksi, antara lain karena iritasi kulit, teknik injeksi kurang tepat

atau infeksi kuman). Reaksi immunogen sistemik jarang sekali terjadi dan berupa

urtikaria, mual, muntah dan anafilaksis.

c) Lipodystrofia

Lipodystrofia yakni terganggunya pertumbuhan lemak subkutan di tempat

injeksi, jarang terjadi dan bersifat ringan. Misalnya atrofia (penyusutan) dan hipertrofia

(berlebihan) yang hampir selalu disebabkan oleh tidak sering mengganti lokasi injeksi.

d) Resistensi insulin

Terjadi bila kebutuhan insulin melebihi 200 IU/hari. Keadaan ini dapat

disebabkan oleh pembentukan antibodi yang mengikat sebagian insulin. Resistensi

terutama dapat timbul pada pasien dengan overweight, kemungkinan akibat

berkurangnya reseptor insulin atau penurunan kepekaannya.

e) Gangguan akomodasi mata

Dapat terjadi akibat terlalu cepatnya penurunan gula darah, yang dapat

menimbulkan terganggunya keseimbangan osmotik antara lensa dan cairan mata.

Page 51: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

56

2.4.5.2 Interaksi Insulin

Menurut (A to Z Drug Facts, 2013) dalam penggunaannya bersamaan dengan

obat lain, diketahui bahwa beberapa obat lain dapat berpotensi menimbulkan interaksi

dengan insulin, seperti:

1. Ethanol : alkohol dapat meningkatkan atau menurunkan efek dari insulin dalam

menurunkan glukosa darah, juga meningkatkan efek hipoglikemia

2. Aspirin : aspirin meningkatkan efek dari insulin, sehingga dilakukan modifikasi

terapi atau monitor

3. Captopril : captopril meningkatkan efek dari insulin. Keduanya menurunkan glukosa

darah. Lakukan monitor glukosa darah

4. Ciprofloxacin : meningkatkan efek dari insulin. Dilaporkan penggunaan quinolon

dan OAT dapat menyebabkan hiperglikemia dan hipoglikemia

5. Prednison : prednison menurunkan efek dari insulin

6. Isoniazid : isoniazid menurunkan efek dari insulin

7. Valsartan : valsartan meningkatkan efek dari insulin. Penggunaan insulin dan ARB

secara bersamaan memerlukan penyesuaian dosis insulin dan peningkatan

pemantauan glukosa

8. Kontrasepsi oral : meningkatkan kebutuhan insulin

9. Obat hipoglikemik oral : menurunkan kebutuhan insulin (A to Z Drug Facts, 2013)

2.4.6 Jenis-Jenis Insulin

Berbagai jenis-jenis insulin diantaranya adalah sebagai berikut (Tjay, 2015):

1) Insulin kerja singkat (Insulin Rapid Acting).

Onset of action dari insulin kerja singkat adalah 30 menit (melalui injeksi

subkutan), waktu untuk mencapai kadar puncak adalah 1-3 jam kemudian dengan

durasinya selama 5-6 jam, dan memiliki variabilitis terendah pada absorbs sekitar 5%

dari semua insulin komersial yang tersedia (Katzung, 2015). Contoh insulin kerja

singkat adalah insulin glulisin, insulin lispro dan insulin aspart. Insulin soluble yang

diberikan secara intravena hanya diberikan pada keadaan darurat dan keadaan sakit

parah atau pada saat sebelum tindakan bedah.

Page 52: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

57

2) Insulin kerja pendek (Insulin Short Acting)

Masa kerja insulin reguler pendek dan efeknya terjadi dalam waktu 30 menit

setelah pemberian suntikan. Insulin kerja pendek dapat diberikan secara intravena

untuk terapi ketoasidosis diabetik maupun setelah pembedahan ataupun selama infeksi

akut sehingga insulin dibutuhkan segera (Katzung, 2015). Insulin Short Acting

diberikan sebelum makan untuk menutupi beba karbohidrat, apabila diberikan setelah

makan dapat meningkatkan resiko hiperglikemia postprandial dini diikuti dengan

hipoglikemia yang tertunda (Allison P, 2011)

3) Insulin kerja menengah (Insulin Intermediate Acting)

Insulin Intermediate Acting di formulasikan agar dapat dilarutkan secara

bertahap-tahap ketika diberikan secara subcutan, sehingga durasi kerja dari insulin

lebih panjang, Terdapat 2 sediaan insulin yang sering digunakan yaitu insulin Neutral

Protamine Hagedorn (NPH) (insulin isophane) dan insulin lente (insulin zink

suspense) dengan Onset of action dan durasi kerjanya yang sama. Insulin NPH

merupakan insulin suspensi yang kompleks dengan zink dan protamine di larutan

fosfat, sedangkan insulin lente merupakan campuran dengan cara kristalisasi dan amorf

dalam larutan asetat yang mana dapat menurunkan kelarutan dari insulin. Jangka waktu

efeknya dapat divariasikan dengan cara mencampurkan beberapa bentuk insulin

dengan lama kerja yang berbeda. Contohnya: Humulin 20 = insulin 20% + insulin

isofan 80%, lama kerja 12-24 jam. Selain itu, insulin isophane dan suspensi insulin

seng

4) Insulin kerja panjang (Insulin Long Acting)

Insulin long acting dibuat untuk memperpanjang kerjanya. Biasanya

dikombinasikan dengan insulin lainnya sebelum disuntikkan demi kenyamanan pasien.

Biasanya juga digunakan metode mencampur insulin dengan protein, atau seng atau

dengan mengubah bentuk fisiknya. Contoh : suspensi insulin seng, glargine (lantus),

detemir (levemir). Insulin ini dapat diberikan sekali atau dua kali sehari, tergantung

dosisnya. Dosis yang lebih rendah mungkin tidak berlangsung 24 jam sedangkan dosis

yang lebih tinggi dapat menghambat penyerapan insulin (Allison P, 2011)

Page 53: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

58

Tabel II.11 Sediaan Insulin Rapid Acting (ISO, 2016)

Nama Obat Kandungan Bentuk Sediaan dan Gambar

Insulin Actrapid

HM/Actrapid HM

Penfill

Insulin manusia

rekombinan DNA kerja

cepat 100 IU/ml

Vial

Humalog/

Humalog Mix 25

Humalog insulin lispro.

Humalog mix 25

Insulin lispro 25%,

insulin lispro

protamine susp (rDNA

origin) 75%

Cartridge

Novomix 30 Flexpen Indulin aspart 100

IU/ml 30%, insulin

aspart terprotaminasi

70%

Pen

Novorapid Vial &

Flexpen

Insulin aspart 100

IU/ml kerja cepat

Vial, pen

Page 54: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

59

2.5 Hubungan antara DM, PGK dan Insulin yang digunakan

Komplikasi yang sering terjadi pada pasien PGK yaitu nefropati diabetika.

Diabetes mempengaruhi pembuluh darah kecil ginjal akibatnya efisiensi ginjal untuk

menyaring darah terganggu. Pasien dengan nefropati mengalami gejala seperti lemas,

mual, pucat sampai keluhan sesak napas akibat penimbunan cairan ditandai dengan

adanya mikroalbuminuria (30mg/hari), disertai dengan peningkatan tekanan darah

sehingga mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus dan akhirnya menyebabkan

PGK (Misnadiarly, 2006). Pasien DM dengan komplikasi berat seperti pada paseien

PGK sebagian besar tidak lagi diterapi dengan Antidiabetik oral (OAD), hal ini

dikarenakan kemampuan ginjal yang menurun untuk dapat mengekskresi obat di

dalam tubuh, sehingga terapi yang biasa digunakan untuk pasien DM dengan PGK

adalah terapi insulin karena mekanisme kerja yang langsung menuju ke pembuluh

darah dan di distribusi ke seluruh tubuh tanpa melewati proses disentegrasi, absorbsi

dan eksresi di ginjal.

Penggunaan insulin haruslah tepat dan sesuai dengan indikasi untuk pasien DM

dengan gangguan ginjal. Menurut American Diabetes Association (ADA) pada tahun

2018, terapi insulin (dengan atau tanpa obat tambahan) pada pasien DM tipe 2

terdiagnosis yang disertai dengan gejala dan/atau memiliki kadar HbA1c ≥ 10% (86

mmol/mol) dan/atau kadar gula darah ≥300 mg/dL (16,7 mmol/L) atau pada pasien

yang telah terdiagnosis DM tipe 2, bila target HbA1c tidak tercapai dalam 3 bulan

penggunaan 3 obat antihiperglikemik oral. Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah

mengendalikan glukosa darah basal (puasa, sebelum makan). Insulin yang digunakan

untuk mencapai sasaran glukosa darah basal yaitu insulin basal (insulin kerja sedang

atau panjang). Insulin basal biasanya disuntikkan di malam hari dan dikombinasikan

dengan metformin atau terkadang agen non insulin lainnya. Bila kadar HbA1c tetap

tinggi meskipun sasaran glukosa darah basal (puasa) sudah tercapai (atau bila dosis

insulin basal > 0,5 unit/kg/hari), maka, dipertimbangkan untuk menggunakan terapi

intensifikasi insulin. Pilihan untuk terapi intensifikasi insulin adalah kombinasi insulin

basal dengan injeksi tunggal GLP-1 receptor agonist atau kombinasi insulin basal

dengan injeksi tunggal rapid acting insulin analog sebelum makan porsi terbesar (basal

Page 55: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

60

plus) atau menghentikan insulin basal dan menginisiasi premixed insulin 2 kali sehari

sebelum sarapan dan sebelum makan siang. Bila salah satu regimen yang dipilih tidak

efektif (misalnya insulin basal plus GLP-1 RA), pertimbangkan untuk beralih ke

regimen lain untuk mencapai target HbA1c (misalnya insulin basal plus injeksi tunggal

rapid-acting insulin 2 kali sehari).

Menurut ADA pada tahun 2018, insulin basal dimulai pada dosis 10 IU perhari

atau 0,1-0,2 IU/kg/hari, tergantung dari derajat hiperglikemia. Dosis dapat ditingkatkan

10-15% atau 2-4 unit sekali atau dua kali seminggu sampai kadar gula darah puasa

mencapai target. Pada rapid acting insulin, baik 1 kali ataupun 2 kali atau lebih

penyuntikan perhari, dosis dapat dimulai dari 4 unit atau 0,1 U/kg, atau 10% dari dosis

basal. Dosis dapat ditingkatkan 10-15% sekali atau dua kali seminggu sampai kadar

pengecekan gula darah mandiri tercapai. Pada premixed insulin, dosis dapat dimulai

sesuai dosis basal, dengan pembagian 2/3 dosis pagi hari dan 1/3 dosis malam hari atau

½ dosis pagi hari dan ½ dosis malam hari. Dosis dapat ditingkatkan 1-2 unit atau 10-

15% sekali atau dua kali seminggu sampai kadar pengecekan gula darah mandiri

tercapai.

2.6 Dekstrosa

2.6.1 Struktur dan Nama Kimia Dekstrosa

Gambar 2.11 Struktur Kimia Glukosa (Pubchem, 2018)

Page 56: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

61

Glukosa (D-glukosa/dekstrosa) adalah gula monosakarida yang digunakan

sebagai sumber tenaga utama dalam tubuh. Glukosa merupakan prekursor untuk

mensintesis semua karbohidrat lain di dalam tubuh seperti glikogen, ribosa dan

deoksiribosa dalam asam nukleat, galaktosa dalam laktosa susu, glikolipid,

glikoprotein dan proteoglikan (Murray et al., 2003).

Nama Kimia : Alpha-D-Glucose monohydrate; (Glucosum) monohydricum

Rumus Molekul : C6H14O7

Berat Molekul : 198.171 g/mol (Pubchem, 2018)

2.6.2 Sifat Fisika Kimia Dekstrosa

a) Pemerian : Kristal atau bubuk granular, tidak berwarna atau putih, tidak

berbau dan memiliki rasa manis.

b) Kelarutan : Larut 1:1 dalam air dan 1:100 dalam alkohol; sangat larut

dalam air mendidih; larut dalam alkohol mendidih.

c) Stabilitas :

- Terhadap cahaya : Tidak stabil terhadap sinar pada proses γ sterilisasi

- Terhadap suhu : Tidak stabil pada pemanasan suhu tinggi dan lama (terjadi

penurunan pH); penyimpanan pada suhu < 25 'C

- Terhadap pH : Tidak stabil (terurai menjadi 5-hidroksi metil furfural pada pH

basa). Injeksi dekstrosa stabil pada pH 3.5 - 6.5

- Terhadap oksigen : Tidak stabil (Sweetman, 2009).

2.6.3 Farmakologi Dekstrosa

2.6.3.1 Farmakodinamik Dekstrosa

Dekstrosa merupakan sumber kalori bagi tubuh dan cepat dimetabolisme.

Dekstrosa dapat menurunkan protein tubuh dan ekskresi nitrogen, meningkatkan

deposisi glikogen dan mengurangi atau mencegah ketosis jika diberikan dalam dosis

yang cukup. Larutan dekstrosa 5% bersifat isotonik dan diberikan perifer. Infus

dekstrosa konsentrat memberikan peningkatan asupan kalori dengan volume cairan

yang lebih sedikit. Larutan di atas 10% harus diberikan hanya dengan kateter vena

sentral (Sweetman, 2009).

Page 57: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

62

2.6.3.2 Farmakokinetika Dekstrosa

Absorbsi dekstrosa berlangsung cepat di gastrointestinal. Dekstrosa

membutuhkan waktu kira-kira 40 menit untuk mencapai kadar puncak plasma setelah

pemberian secara per oral pada pasien dengan kondisi hipoglikemia. Proses

metabolisme dekstrosa berlangsung melalui piruvat atau asam laktat dengan disertai

pembebasan energi. Pemberian dekstrosa secara infus intravena pada jangka panjang

dapat menyebabkan edema. Pemberian sediaan dekstrosa yang bersifat hiperosmotik,

dikontraindikasikan untuk pasien anuria, pendarahan intrakranial atau intraspinal dan

dehidrasi yang sangat parah (Sweetman, 2009)

2.6.4 Mekanisme Dekstrosa dalam Penatalaksanaan Hiperkalemia

Hipoglikemia merupakan suatu kondisi yang muncul akibat dari pemberian

insulin dalam pengobatan hiperkalemia. Hal ini merupakan suatu kejadian yang umum

terjadi. Dengan kondisi ginjal yang tidak normal maka akan lebih memicu terjadinya

hipoglikemia pada pengobatan hiperkalemia. Resiko hipoglikemia yang ditimbulkan

tersebut dapat diminimalkan dengan pemberian dekstrosa yang memadai dan sesuai

dengan dosis yang telah ditentukan namun tetap dengan melakukan

pemantauan/monitoring kadar gula darah pasien. Berdasarkan penelitian Chothia, MY

(2014) dalam terapi pada pasien PGK dengan kondisi hiperkalemia, ada sebanyak 75%

pasien mengalami hipoglikemia dari total sampel yang diteliti setelah pemberian

insulin sebagai terapi hiperkalemia tersebut. Namun setelah dilakukan penelitian lagi

dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa untuk mengurangi efek hipoglikemia yang

ditimbulkan dapat dilakukan pemberian dekstrosa yang lebih besar yang diberikan

secara bolus, selain itu dapat juga diberikan secara infus selama 60 menit. Koreksi

terhadap kalium (K+) serta glukosa darah harus dilakukan pemantauan/monitoring

dalam waktu beberapa jam.

2.6.5 Permasalahan pada Penggunaan Terapi Dekstrosa

2.6.5.1 Efek Samping Dekstrosa

Pemberian larutan glukosa secara intravena (terutama larutan hiperosmotik yang

juga memiliki pH rendah) dapat menyebabkan nyeri lokal, iritasi pada vena,

tromboflebitis, dan nekrosis jaringan jika terjadi ekstravasasi. Pemberian melalui infus

Page 58: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

63

intravena dapat menyebabkan gangguan cairan dan elektrolit termasuk hipokalemia,

hipomagnesemia dan hipofosfatemia. Pemberian melalui infus secara cepat dengan

volume besar atau dalam jangka panjang, larutan isoosmotik dapat menyebabkan

edema; sebaliknya penggunaan cairan hipoosmotik yang lama atau cepat dapat

menyebabkan dehidrasi sebagai konsekuensi dari terinduksinya hiperglikemia

(Sweetman, 2009).

2.6.5.2 Interaksi Obat Dekstrosa

Dalam penggunaannya bersamaan dengan obat lain, diketahui bahwa beberapa

obat lain berpotensi menimbulkan interaksi dengan dekstrosa, diantaranya adalah

magnesium klorida, magnesium sitrat dan magnesium sulfat dimana dekstrosa dapat

menurunkan kerja ketiga obat tersebut dengan meningkatkan klirens ginjal. Tergolong

kategori minor

2.6.6 Jenis-Jenis Dekstrosa

Tabel II.12 Bentuk sediaan dektrosa yang beredar di Indonesia (Sweetman, 2009)

1 Dekstrosa

5%.

Dapat diberikan melalui vena perifer yaitu berdasarkan rute

intravena. Agar tidak menimbulkan adanya glukosuria maka

kecepatan pemberian infus dekstrosa yang dapat diberikan kepada

pasien adalah 0,5 g/kg/jam dengan kecepatan maksimum tidak

melebihi 0,8 g/kg/jam. Dosis pemberian dektrosa tergantung pada

usia, berat badan dan keseimbangan cairan, elektrolit, glukosa serta

asam basa pasien.

2 Dekstrosa

10%.

Direkomendasikan untuk diberikan dengan kateter pada vena

sentral yang besar, bersifat hipertonik. Dipilih vena besar pada

lengan jika digunakan vena perifer dan infus harus dipindah-pindah

tiap hari bila memungkinkan. Kecuali penanganan emergensi pada

kasus hipoglikemia berat, konsentrasi dekstrosa yang lebih tinggi

(20% keatas) harus diberikan melalui vena sentral. Agar tidak

menimbulkan glukosuria maka kecepatan pemberian infus pada

pasien yang dapat diberikan adalah 0,5g/kg/jam.

Page 59: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

64

3 Dekstrosa

40%.

Diberikan bila kadar GDs 0-50 mg/dL. Biasanya dikombinasikan

bersama dekstrosa 50% secara IV bolus. Jika kadar GDs

50100mg/dL maka pemberian sediaan dekstrosa 40% dikombinasi

dengan larutan dekstrosa 25% secara IV bolus

4 Dekstrosa

50%.

Digunakan untuk mengobati hipoglikemia yang diinduksi oleh

insulin atau syok karena insulin. Apabila diketahui adanya syok

insulin dan kesadaran pasien terganggu, maka pemberian larutan

gula secara oral merupakan kontraindikasi, sehingga seringkali

diberikan 50 ml dekstrosa 50% secara IV bolus. Dekstrosa 50%

sangat mengiritasi vena sehingga hendaknya diberikan pada

pembuluh vena perifer yang besar atau pembuluh vena sentral.

2.7 Protap atau SOP pemberian insulin dan dekstrosa pada komplikasi

hiperkalemia (Guidelines for the Treatment of Hyperkalaemia in Adults, 2014)

Alihkan kalium dari darah ke dalam sel (penggunaan insulin dan glukosa)

• Penarikan 10 unit Actrapid® insulin menggunakan jarum suntik insulin, kemudian

dilakukan pengecekan volume.

• Tambahkan 50 ml glukosa 50% vial seperti yang ditunjukkan dalam Prosedur Operasi

Standar (SOP) dalam kit hiperkalemia.

• Berikan injeksi IV lambat lebih dari 5 menit (Permulaan tindakan hipokalemik terjadi

dalam 15 menit dan berlangsung setidaknya 60 menit, diamati adanya pengurangan

kalium antara 0,6 hingga 1,0 mmol / L).

• Memantau urea dan elektrolit (U & Es) 30 menit, satu, dua, empat dan enam jam

setelah setiap pemberian insulin / glukosa.

• Jika glukosa serum ≥ 15 mmol / L maka pemberian glukosa tambahan dengan

insulin tidak diperlukan

• Efek dari pemberian insulin / glukosa diamati dalam 15 menit dan bertahan 4-6

jam

Page 60: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

65

• dilakukan pemantauan glukosa darah 15 dan 30 menit setelah memulai infus dan

kemudian setiap jam, hingga enam jam setelah infus selesai, terjadinya hipoglikemia

ketika kurang dari 30 g glukosa yang diberikan dengan insulin

• Dalam beberapa keadaan (syok sirkulasi, ketoasidosis diabetikum) glukosa kapiler

pengujian dengan glukometer

2.7.1 Pembuatan 10 unit insulin Actrapid® (larut) dan 50 ml glukosa 50% vial

menggunakan kit hiperkalemia di Indonesia (Guidelines for the Treatment of

Hyperkalaemia in Adults, 2014)

1. Diambil botol Actrapid® dari kulkas farmasi.

2. Ambil tabung glukosa 50% dari kit dan lepaskan tutup pelindungnya.

3. Ukur 10 unit insulin menggunakan jarum suntik insulin dari

kit:

a. Tarik plunger kembali ke tanda 10 unit pada jarum suntik insulin. Periksa 10

unit insulin (10 unit insulin terkandung dalam 0,1ml).

b. Catat pemberian ini dan obat-obatan lainnya yang digunakan untuk mengobati

hiperkalemia pada Kardex begitupun untuk pemeriksaan ganda yang

didokumentasikan pada Kardex.

4. Suntikkan 10 unit insulin ke dalam gelas glukosa 50%, lalu di campur.

6. Ambil Chemoprotect® Spike dari kit dan lepaskan selubung pelindung.

7. Tusuk botol kaca glukosa 50% dengan Chemoprotect® Spike.

8. Pasang syringe 50 ml ke Chemoprotect® Spike dan buat isi vial.

9. Lepaskan jarum suntik 50 ml dari Chemoprotect® Spike dan keluarkan udara

10. Berikan dalam vena besar dengan injeksi IV lambat lebih dari 5 menit.

Pemantauan - glukosa darah harus diukur setelah 15 dan 30 menit dan kemudian setiap

jam selama enam jam. Periksa U & Es 30 menit, satu, dua, empat dan enam jam setelah

setiap pemberian insulin / glukosa.

Page 61: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

66

2.8 Tinjauan Kombinasi Insulin dan Dekstrosa

Pada pasien PGK terjadi kelainan pada tubular ginjal yang dapat menyebabkan

gangguan keseimbangan elektrolit, salah satunya adalah peningkatan kadar kalium

(K+) di ekstrasel yang disebut hiperkalemia. Salah satu terapi yang dapat diberikan

untuk mengatasi kondisi hiperkalemia adalah dengan pemberian kombinasi insulin dan

dekstrosa secara intravena.

Dalam mengatasi hiperkalemia, Insulin bekerja menstimulasi uptake K+ oleh otot

skelet dan sel hepatik dengan cara memasukkan K+ ke intrasel, disertai dengan

terjadinya rangsangan pada membran sel terhadap aktivitas Na+ H+. Selanjutnya

Na+ dan K+ tersebut akan dimasukkan ke intrasel sehingga mengakibatkan terjadinya

aktivasi Na+ dan K+ tersebut. Terjadi pengikatan terhadap K+ pada ekstrasel yang

kemudian akan dimasukkan ke intrasel, sehingga akan terjadi penurunan kadar K+

dalam serum (Vijayan, 2014).

Hipoglikemia merupakan suatu kondisi yang muncul akibat dari pemberian

insulin pada pengobatan hiperkalemia pasien PGK dan merupakan suatu kejadian yang

umum. Dengan kondisi ginjal yang tidak normal maka akan lebih memicu terjadinya

hipoglikemia pada pengobatan hiperkalemia. Resiko hipoglikemia dapat diminimalkan

dengan pemberian dekstrosa yang memadai dan sesuai dengan dosis yang ditentukan

namun tetap dengan melakukan pemantauan/monitoring terhadap kadar gula darah

pasien.

Kombinasi insulin dan glukosa memiliki mekanisme untuk menurunkan kadar

K+ dalam plasma atau menurunkan kondisi hiperkalemia, namun dari beberapa

literatur menjelaskan ada beberapa macam dosis yang berbeda untuk kombinasi antara

keduanya. Untuk insulin, regimen yang umum digunakan berdasarkan American Heart

Association Guideline dan Washington Manual of Critical Care adalah 10 unit insulin

reguler yang diberikan secara intravena dengan 25 g dekstrosa intravena selama 15-30

menit, namun dalam studi dosis insulin berkisar antara 5-10 IU dan glukosa antara 25-

60 g. Pada pedoman lain, pemberian dosis kedua 25 g glukosa intravena 60 menit

setelah pemberian regimen berdasarkan pedoman AHA digunakan untuk mencegah

hipoglikemia, penggunaan insulin aspart sebagai pengganti insulin reguler, pemberian

Page 62: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ginjal 2.1.1 Struktur dan ...

67

secara bolus insulin 5 IU diulang setiap 15 menit ditambah 50g/ jam infus glukosa.

Regimen yang dimaksud termasuk infus intravena 10 IU insulin kerja singkat dan 50 g

glukosa (500 ml dekstrosa 10%) lebih dari 240 menit ditambah 40 mg furosemid (Coca

et al., 2017).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh LaRue et al., (2017) sebanyak 675

pasien rawat inap PGK mendapatkan terapi hiperkalemia dengan tujuan untuk

menurunkan kadar serum kalium sebesar 1,1 mEq/L dengan menggunakan 5 unit dan

10 unit insulin IV. Dari total 542 pasien, sebanyak 155 pasien mengalami hipoglikemia

(glukosa darah kurang dari 70 mg / dl) 5 jam setelah pemberian insulin dengan

menggunakan 10 unit insulin. Pemberian insulin dan perubahan kalium serum, dosis

insulin yang lebih rendah yaitu, 5 unit dapat mengurangi kejadian hipoglikemia pada

pasien dengan insufisiensi ginjal. Selain itu, merujuk pada penelitian Vijayan et al.,

(2014) yang meneliti insiden hipoglikemia setelah penatalaksanaan hiperkalemia

dengan insulin di rumah sakit, studi ini menunjukkan bahwa hipoglikemia [glukosa

darah < 3,9 mmol/L (70 mg/dL)] terjadi pada 19 dari 219 pasien (8,7%) dan 58%

hipoglikemia terjadi dengan rejimen yang umum digunakan yaitu 10 unit insulin IV

dengan 25 g dekstrosa. Hasil studi keduanya menunjukkan perlunya dekstrosa

tambahan pada penatalaksanaan hiperkalemia. Rekomendasi lain adalah dengan

pemberian 10 unit insulin reguler dan dekstrosa 25 g diikuti oleh infus 10% dekstrosa

pada 50 mL/jam dengan pemantauan ketat glukosa darah setidaknya selama 3 jam atau

sampai dialisis dimulai.

Berdasarkan penelitian Coca et al., (2017) sebanyak 164 pasien yang mengalami

hiperkalemia diobati dengan 10 unit insulin dan 50 g glukosa. Kadar serum kalium

pasien turun sebanyak 1,18 ± 1,01 mmol/L. Sebanyak 11 pasien rawat inap (6,1%)

mengalami hipoglikemia dan sebanyak 2 pasien (1,2%) mengalami hipoglikemia berat.

Kadar glukosa darah yang lebih rendah sebelum diberikan pengobatan cenderung

mengasosiasikan risiko hipoglikemia yang lebih tinggi. Kombinasi insulin dan glukosa

yang dilakukan dapat mengurangi kadar serum kalium secara efektif dan memiliki

resiko efek samping yang lebih rendah terhadap hipoglikemia.