BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan ...eprints.umm.ac.id/59114/3/BAB 2.pdf · a. Pada...
Transcript of BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS A. Tinjauan ...eprints.umm.ac.id/59114/3/BAB 2.pdf · a. Pada...
11
BAB II
TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai penerapan Beneish-M Score Model dan Altman-Z Score
Model dalam mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan telah dikaji oleh
Kartikasari dan Irianto (2010) di Indonesia. Penelitian tersebut memakai sampel
perusahaan yang telah terbukti melakukan kecurangan pelaporan keuangan yaitu
PT Indofarma Tbk dan PT Kimia Farma Tbk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
model Beneish (1999) dan model Altman (2000) dapat diterapkan dalam
pendeteksian kecurangan pelaporan keuangan. Pertama, terkait penerapan model
Beneish (1999) pada pelaporan keuangan PT. Indofarma Tbk dan PT. Kimia Farma
Tbk selama tahun 2001 sampai dengan 2007. Hasil menunjukkan bahwa M-Score
PT. Indofarma Tbk pada tahun 2001 merepresentasikan kondisi perusahaan yang
potensial terhadap adanya earning overstatement. Begitu juga dengan M-Score PT.
Kimia Farma Tbk pada tahun 2001. Kedua, berdasarkan kecurangan pelaporan
keuangan yang terdeteksi dengan model Beneish (1999) peneliti menghubungkan
earning overstatement dengan kondisi kebangkrutan perusahaan yang didasarkan
pada tahun 2001 perusahaan berada pada kondisi kritis atau rawan mengalami
kebangkrutan. Hal ini menunjukkan adanya tekanan atau dorongan perusahaan
untuk melakukan kecurangan.
Islam (2019) meneliti akurasi dua model kecurangan laporan keuangan yaitu
Beneish Ratio Index dan Altman Z-Score Model pada perusahaan manufaktur di
Indonesia tahun 2016-2019. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa perhitungan
12
Beneish Ratio Index menghasilkan 50 perusahaan tergolong manipulator dan
perhitungan Altman Z-Score Model yang menghasilkan 28 perusahaan yang
tergolong mempunyai peluang kebangkrutan dari tahun 2016 sampai tahun 2019.
Hasilnya tidak dapat ditemukan perusahaan manufaktur yang dikenai sanksi OJK
(Otoritas Jasa Keuangan) terkait kecurangan laporan keuangan. Namun,
berdasarkan berita online terkait adanya indikasi kecurangan laporan keuangan
ditemukan 3 perusahaan yaitu PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk, PT Krakatau Steel
(Persero) Tbk dan PT Bentoel Internasional Investama Tbk. Kesimpulan yang
didapat adalah Altman Z-Score Model lebih mampu mendeteksi indikasi
kecurangan atas ketiga perusahaan tersebut dibandingkan dengan Beneish Ratio
Index.
Rahman (2019) meneliti potensi kecurangan pelaporan keuangan pada
perusahaan BUMN yang terdaftar di BEI dengan menggunakan 2 model Beneish.
Pada model 1 peneliti memakai Beneish model delapan variabel dan pada model 2
peneliti memakai Beneish model lima variabel. Sampel dalam penelitian ini adalah
39 laporan keuangan dari 13 perusahaan BUMN yang memenuhi kriteria. Hasil
penelitian mengungkapkan bahwa pada model 1 Beneish terdapat 19 laporan
keuangan yang terindikasi melakukan manipulasi terhadap laporan keuangannya,
sedangkan pada model 2 Beneish terdapat 6 laporan keuangan yang terindikasi
melakukan manipulasi terhadap laporan keuangannya. Kesimpulan yang didapat
yaitu model Beneish mampu mendeteksi manipulasi laporan keuangan pada
perusahaan BUMN.
13
Penelitian terdahulu memperkuat toeri Beneish dan Altman bahwa penerapan
Beneish M-Score Model dan Altman Z-Score dapat mendeteksi adanya manipulasi
laporan keuangan. Hubungan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini
adalah Beneish M-Score Model sebagai alat pendeteksi kecurangan pelaporan
keuangan dengan menggunakan Beneish Ratio Index yang diperkuat dengan
persamaan diskriminan dan titik pisah batas Altman Z-Score Model. Namun
Beneish M-Score Model dan Altman Z-Score Model hanyalah alat yang
ketepatannya hanya mencapai 71% saja, seperti yang diungkapkan Beneish dalam
jurnalnya. Meskipun belum mencapai 100% kedua alat ini dapat menjadi alat
pendeteksian awal yang digunakan dalam mendeteksi kecurangan pelaporan
keuangan sehingga dapat meminimalisir kerugian yang tidak diinginkan di masa
depan. Kondisi nyata keuangan perusahaan akan memperkuat alat uji Beneish M-
Score Model dan Altman Z-Score Model dalam mendeteksi adanya indikasi
kecurangan pelaporan keuangan.
14
B. Kajian Pustaka
1. Fraud
Dalam akuntansi dan auditing, istilah fraud sering menjadi perbincangan dan
topik hangat mengenai kasus dan skandal keuangan. Menurut Tuanakotta (2013)
Fraud dinyatakan sebagai suatu penyajian yang palsu atau penyembunyian fakta
yang sebenarnya.
Karyono (2013) mengungkapkan istilah fraud sebagai suatu tindakan
penyimpangan dan perbuatan melanggar hukum, yang dilakukan dengan sengaja
dengan tujuan menipu atau memberikan informasi yang keliru terhadap pihak-pihak
lain yang di lakukan oleh orang-orang yang berada di dalam maupun di luar
organisasi. Perbuatan ini dibuat untuk mendapatkan keuntungan bagi kelompok
yang memanfaatkan peluang tidak jujur yang dapat merugikan pihak lain, istilah ini
didukung oleh IIA (Institute of Internal Auditors) di Amerika yang mendefinisikan
kecurangan adalah tindakan yang tidak diizinkan dan melanggar hukum yang
ditandai dengan adanya unsur kesengajaan.
2. Red Flag
Wells (2008) mengungkapkan bahwa ada tanda-tanda adanya indikasi
kecurangan yang dapat dikenali sebagai berikut:
a. Pada dokumen bukti transaksi terdapat bukti transaksi yang hilang atau
penggunaan dokumen tidak asli (fotocopy), piutang yang telah melewati
tanggal jatuh tempo dan berusia lanjut, nama dan alamat pembayaran sama
dengan nama dan alamat pembeli atau pegawai perusahaan.
15
b. Pada akuntansi terdapat ayat jurnal yang salah atau tidak sesuai dalam
akuntansi yang berlaku, buku besar tidak akurat bahkan tidak seimbang
(balance) antara jumlah akun dari customer dan pemasok.
c. Pada pengendalian intern tidak adanya pemisahan tugas, tidak ada pengamanan
yang memadai untuk aset, tidak ada otorisasi yang tepat dan sistem informasi
akuntansi yang tidak lemah.
d. Pada prosedur analitis terdapat keanehan seperti akun pendapatan yang
meningkat sedangkan akun persediaan menurun, akun pendapatan yang
meningkat dengan arus kas yang menurun dan akun persediaan yang
meningkat dengan akun kewajiban yang menurun.
e. Gaya hidup mewah merupakan indikator melakukan fraud. Pelaku fraud yang
bergaya hidup mewah selalu berkeinginan “lebih” dibanding orang lain.
Individu tersebut cenderung boros dan mudah melakukan segala sesuatu untuk
memenuhi gaya hidupnya.
f. Adanya laporan pengaduan dan keluhan dari customer.
3. Faktor Pendorong Fraud
Setiap tindakan negatif selalu dipicu oleh suatu kondisi tertentu. Menurut
Cressey (1953) terdapat tiga kondisi yang selalu hadir dalam tindakan fraud yaitu
pressure (tekanan), opportunity (kesempatan) dan ratio-nalization (pembenaran)
ketiga kondisi tersebut yang disebut sebagai fraud triangle. Ketiga kondisi tersebut
merupakan hal yang mendasari perilaku fraud di berbagai situasi.
a. Pressure (Tekanan)
16
Pada umumnya yang melakukan perbuatan fraud adalah manajer karena pada
umumnya perusahaan akan menekan kinerja manajer untuk selalu memperoleh
rapor laporan keuangan yang baik dan diminati investor. Perusahaan juga memberi
tekanan yang kuat pada manajer untuk meningkatkan keuntungan investasi
termasuk meningkatkan penjualan.
b. Opprtunities (Kesempatan)
Menurut Novitasari dan Chariri (2019) Kesempatan manajer dalam
berperilaku menyimpang terbuka lebar ketika terjadi kelemahan pengawasan, tidak
efektifnya pengawasan manajemen atau terjadinya penyalahgunaan posisi. Faktor
kesulitan finansial juga merupakan faktor pendorong terjadinya fraud, ketika
seseorang menghadapi suatu kebutuhan keuangan yang mendesak mereka dapat
mencuri aset atau menggunakan aset untuk mewujudkan gaya hidup mereka.
Kesempatan terjadi karena ada niat pelaku fraud untuk melakukannya.
c. Rationalization (Rasionalisasi)
Rasionalisasi adalah bentuk dari pemikiran seseorang yang membenarkan
kejahatan yang dilakukannya. Rasionalisasi membuat seseorang yang pada awalnya
tidak ingin melakukan tindakan kecurangan, berubah ingin melakukannya. Menurut
Cressey (1950) hal ini dipengaruhi oleh komunikasi yang tidak efektif, keinginan
yang berlebihan untuk meningkatkan harga saham dan keinginan manajemen untuk
menekan angka laba guna menekan kepentingan pajak.
4. Bentuk-bentuk Fraud
Menurut ACFE (2016) fraud terdiri atas tiga kelompok besar yaitu:
17
a. Kecurangan laporan keuangan terbagi menjadi 2 jenis yaitu: (a) financial dan
(b) non-financial. Perbuatan yang membuat laporan keuangan menjadi tidak
seperti yang seharusnya dan dilakukan secara sengaja termasuk kedalam
kelompok fraud.
b. Penyalahgunaan aset yang terdiri atas kecurangan kas, persediaan dan aset
lain. Penyalahgunaan aset digunakan untuk keperluan pribadi tanpa adanya
ijin dari perusahaan.
c. Korupsi (menyuap dan menerima suap).
5. Kecurangan Pelaporan Keuangan (Fraudulent Financial Reporting)
Kecurangan pelaporan keuangan dilakukan dengan menyajikan laporan
keuangan menjadi lebih baik dari sesungguhnya dan dapat menjadi lebih buruk
dari sesungguhnya. Kecurangan laporan keuangan dapat merusak informasi
keuangan dan akibatnya dapat merugikan berbagai korban seperti kreditur,
investor, bahkan auditor. Menurut Karyono (2013) ada beberapa tujuan dari
kecurangan pelaporan keuangan, diantaranya:
a. Untuk menutupi ketidakmampuan perusahaan dalam menghasilkan uang/kas.
b. Untuk menggambarkan keadaan perolehan laba yang lebih baik.
c. Untuk memperoleh penghargaan bonus atas kinerja.
d. Untuk meninggikan nilai kekayaan guna mendapatkan keuntungan melalui
penjualan saham.
Berbagai cara dilakukan untuk mewujudkan kecurangan antara lain:
1) Membuat pendapatan fiktif.
2) Mengakui investasi fiktif.
18
3) Mengakui perolehan aset tetap fiktif.
4) Membuat penilaian akhir yang tidak tepat.
5) Menyembunyikan kewajiban.
6) Menyembunyikan biaya dengan mengkapitalisasi biaya.
7) Menekan laba untuk menekan pengenaan pajak penghasilan badan bahkan
melakukan penghindaran pajak secara ilegal seperti menyembunyikan data
atau bahkan tidak melaporkan SPT Pajak.
6. Deteksi Kecurangan Pelaporan Keuangan
Deteksi kecurangan pelaporan keuangan dapat dilakukan dengan beberapa
alat analisis. Menurut Barsky et al. (2003b) terdapat dua alat analisis dalam
pendeteksian kecurangan pelaporan keuangan. Yaitu menggunakan model Beneish
(1999) dan menggunakan menggunakan model Altman (2000). Model Altman
menggunakan beberapa rasio keuangan yang dapat digunakan untuk memprediksi
kebangkrutan suatu perusahaan berdasarkan rasio likuiditas, profitabilitas, dan
aktivitas yang selanjutnya rasio ini diformulasikan ke dalam rumus yang biasa
disebut Z-Score. Kedua, ialah menggunakan model Beneish (1999) untuk
mendeteksi adanya manipulasi laba dengan membandingkan indeks rasio kunci
Beneish berdasarkan standar GAAP violation atas indeks rasio kunci yang
dihasilkan tersebut.
a. Model Beneish (1999) dalam pendeteksian kecurangan pelaporan
keuangan
Model Beneish (1999) adalah suatu teknik analisis pelaporan keuangan yang
dapat diterapkan untuk mendeteksi kecurangan pelaporan keuangan berupa
19
manipulasi laba (earning overstatement). Beneish (1999) melakukan penelitian atas
perbedaan kuantitif antara perusahaan yang teridentifikasi telah melakukan
manipulasi laba dan perusahaan yang teridentifikasi tidak melakukan manipulasi
laba. Beneish menggunakan data keuangan perusahaan lalu menghitung rasio
keuangan perusahaan tersebut untuk mengetahui apakah terjadi perubahan rasio
akibat adanya manipulasi. Beneish (1999) mengungkapkan bahwa pada umumnya
manipulasi laba ditunjukkan dengan peningkatan atas pendapatan atau penurunan
atas beban perusahaan secara signifikan dari suatu tahun (t) ke tahun sebelumnya
(t-1). Berdasarkan hal tersebut Beneish mengembangkan suatu rasio terkait dengan
perubahan aset dan pertumbuhan penjualan yang dirumuskan kedalam M-Score.
M-Score = -4,84 + 0,920 DSRI + 0,528 GMI + 0,404 AQI + 0,892 SGI + 0,115
DEPI – 0,172 SGAI – 0,327 LVGI + 4,697 TATA
Yang mana jika,
M-Score < -2,23 : Perusahaan tidak terindikasi kecurangan
M-Score > -2,22 : Perusahaan terindikasi kecurangan
Hasil penelitian Beneish (1999) menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara manipulasi laba dengan beberapa rasio kunci. Adapun rasio kunci yang
dihasilkan Beneish terkait adanya manipulasi laba, antara lain:
1) Indeks jumlah hari penjualan dalam piutang (DSRI). Rasio ini
membandingkan piutang usaha tatas penjualan yang dihasilkan perusahaan
pada suatu tahun (t) dan tahun sebelumnya (t-1). Rasio ini melihat apakah
piutang dan penjualan seimbang dalam dua tahun berturut-turut.
Adapun rumus perhitungannya sebagai berikut:
20
DSRI = Piutang Usaha(t)/Penjualan(t)
Piutang Usaha(t−1)/Penjualan(t−1)
Beneish (1999) menyatakan bahwa jika DSRI ≥1,465 maka hal ini
menunjukkan adanya peningkatan atas jumlah piutang usaha yang dimiliki.
Karena peningkatan yang tidak proporsional kemungkinan mengindikasikan
terjadinya earning overstatement. Namun peningkatan piutang juga dapat
disebabkan oleh inflasi.
2) Indeks Laba Kotor (GMI) Rasio ini membandingkan perubahan laba kotor
yang dihasilkan perusahaan pada suatu tahun (t) dan tahun sebelumnya (t -1).
Adapun rumus perhitungannya sebagai berikut:
GMI = Laba Kotor(t−1)/Penjualan(t−1)
Laba Kotor(t)/Penjualan(t)
GMI merupakan rasio yang mengukur tingkat profitabilitas perusahaan yang
mana rasio ini merepresentasikan prospek perusahaan di masa depan. Beneish
(1999) menyatakan bahwa jika GMI ≥1,193 maka hal ini menunjukkan
terjadinya penurunan atas laba kotor perusahaan yang merepresentasi prospek
perusahaan yang mengalami penurunan. Kondisi ini mengindikasikan
terjadinya earning overstatement.
3) Indeks atas kualitas aset (AQI)
Rasio ini membandingkan aset tidak lancar yang dimiliki oleh perusahaan
selain aset tetap dengan total aset perusahaan pada suatu tahun (t) dan tahun
sebelumnya (t -1). Adapun rumus perhitungan AQI sebagai berikut:
AQI=1−
Aset Lancar(t)+Aset Tetap(t)
Total Aset(t)
1−Aset Lancar(t−1)+Aset Tetap(t−1)
Total Aset(t−1)
21
AQI menunjukkan kualitas aset tidak lancar perusahaan yang kemungkinan
akan memberikan manfaat bagi perusahaan di masa depan. Beneish (1999)
menyatakan bahwa jika AQI ≥1,254 maka hal ini menunjukkan terjadinya
penurunan atas kualitas aset. Dengan demikian terjadi peningkatan atas
jumlah aset tidak lancar yang dapat memberikan manfaat di masa depan dan
peningkatan jumlah beban yang ditangguhkan. Kondisi ini mengindikasikan
terjadinya earning overstatement.
4) Indeks atas pertumbuhan penjualan (SGI)
Rasio ini membandingkan penjualan pada suatu tahun (t) dan tahun
sebelumnya (t -1). Adapun rumus perhitungan SGI sebagai berikut:
SGI = Penjualan(t)
Penjualan(t−1)
Jika SGI ≥1,607 maka hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan atas
penjualan, sedangkan penurunan pada rasio ini menunjukkan adanya
penurunan atas penjualan. Kondisi ini mengindikasikan terjadinya earning
overstatement.
5) Indeks atas beban depresiasi (DEPI)
Rasio ini membandingkan beban depresiasi terhadap aset tetap sebelum
depresiasi pada suatu tahun (t) dan tahun sebelumnya (t -1). Adapun rumus
perhitungan DEPI sebagai berikut:
DEPI=
Depresiasi(t−1)
Depresiasi(t−1)+ AsetTetap(t−1)
Depresiasi(t)
Depresiasi(t)+ AsetTetap(t)
Jika DEPI ≥1,001 maka hal ini menunjukkan terjadinya penurunan atas
depresiasi aset tetap sedangkan penurunan atas rasio ini menunjukkan adanya
22
peningkatan atas tingkat depresiasi aset tetap. Oleh karena itu, Beneish (1999)
menyatakan bahwa jika DEPI >1, maka hal ini mengindikasikan terjadinya
earning overstatement.
6) Indeks atas beban penjualan, umum, dan administrasi (SGAI)
Rasio ini membandingkan beban penjualan, umum, dan administrasi terhadap
penjualan pada suatu tahun (t) dan tahun sebelumnya (t -1). Adapun rumus
perhitungan SGAI sebagai berikut:
SGAI=
SGAI(t)
Penjualan(t)
SGAI(t−1)
Penjualan(t−1)
Jika SGAI ≥1,041 maka hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan atas
beban operasional perusahaan. beban administrasi, umum, dan penjualan atau
terjadinya penurunan atas penjualan. Dan sebaliknya, jika SGAI <1, maka
hal ini menunjukkan terjadinya penurunan atas beban operasional perusahaan
atau terjadi kenaikan atas penjualan. Beneish (1999) menyatakan bahwa jika
SGAI <1, maka hal ini mengindikasikan terjadinya earning overstatement.
7) Indeks atas tingkat hutang (LVGI)
Rasio ini membandingkan jumlah hutang terhadap total aset pada suatu tahun
(t) dan tahun sebelumnya (t -1). Rasio ini bertujuan untuk mengetahui
bagaimana tingkat hutang yang dimiliki perusahaan terhadap total asetnya
dari tahun ke tahun. Adapun rumus perhitungan LVGI sebagai berikut:
LVGI=
Total Kewajiban(t)
Total Aset(t)
Total Kewajiban(t−1)
Total Aset(t−1)
Jika LVGI ≥1,037 maka hal ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan
atas komposisi hutang dari seluruh aset yang dimiliki oleh perusahaan,
23
sedangkan penurunan atas rasio ini menunjukkan adanya penurunan atas
jumlah hutang yang dimiliki oleh perusahaan. Beneish (1999) menyatakan
bahwa jika LVGI >1, maka hal ini mengindikasikan kondisi perusahaan yang
potensial atas terjadinya earning overstatement untuk memenuhi
kewajibannya.
8) Indeks atas total akrual terhadap total aset (TATA)
Total akrual yang tinggi menunjukkan tingginya jumlah laba akrual yang
dimiliki oleh perusahaan. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah kas atas laba
yang dihasilkan ialah rendah. Beneish (1999) menyatakan bahwa nilai TATA
yang tinggi (positif) mengindikasikan kondisi perusahaan yang potensial atas
terjadinya earning overstatement melalui peningkatan atas transaksi akrual
dalam pengakuan pendapatan. Adapun rumus perhitungan total aset sebagai
berikut:
TATA = Laba usaha(t)−Arus Kas dari Aktivitas Operasi(t)
Total Aset (t)
Jika TATA ≥ 0,031 maka hal ini menunjukkan bahwa perusahaan
diklasifikasikan berada dalam kriteria kondisi yang potensial terhadap adanya
earning overstatement.
Secara keseluruhan, Beneish M-Score Model menjelaskan teknik
analisis pelaporan keuangan yang dapat membantu dalam pemeriksaan atas
pelaporan keuangan suatu perusahaan. Uraian di atas memperkuat pernyataan
Barsky et al. (2003a) yang menyatakan bahwa model Beneish (1999) dapat
diterapkan untuk mendeteksi terjadinya kecurangan pelaporan keuangan.
24
b. Model Altman (2000) dalam mendeteksi kesehatan perusahaan yang
dihubungkan dengan kecurangan pelaporan keuangan perusahaan
Kebangkrutan perusahaan merupakan salah satu faktor yang memiliki
keterkaitan dengan kecurangan pelaporan keuangan. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Kartikasari dan Irianto (2010) bahwa sebagian besar kebangkrutan
yang terjadi pada perusahaan-perusahaan raksasa disebabkan oleh adanya
manipulasi pembukuan. Hal di atas menjadi dasar atas penerapan teknik analisis
pelaporan keuangan dengan menggunakan model prediksi kebangkrutan Altman
dalam pendeteksian kecurangan pelaporan keuangan. Altman (1968)
mengembangkan suatu model prediksi kebangkrutan dengan menggunakan rasio
keuangan yang diklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu likuiditas,
profitabilitas, leverage, solvency, dan aktivitas yang dikembangkan ke dalam model
analisis multidiskriminan sebagai berikut:
Z= 1.2𝑍1 + 1.4𝑍2 + 3.3𝑍3+0.6𝑍4 + 0.999𝑍5
Keterangan:
Z1 = modal kerja / total aktiva
Z2 = saldo laba / total aktiva
Z3 = laba sebelum bunga dan pajak / total aktiva
Z4 = nilai kapitalisasi pasar saham / nilai buku kewajiban
Z5 = penjualan / total aktiva
25
Model prediksi kebangkrutan perusahaan yang telah dikembangkan oleh
Altman (1968) mengalami suatu revisi pada tahun 2000. Revisi yang dilakukan oleh
Altman atau disebut Z- Score merupakan penyesuaian yang dilakukan agar model
prediksi kebangkrutan dapat diterapkan untuk perusahaan go public, perusahaan
tidak go public dan perusahaan manufaktur dan perusahaan non-manufaktur atau
bisa diimplementasikan di semua jenis perusahaan. Tetapi perusahaan non-
manufaktur mempunyai rumus yang berbeda, yaitu hanya memakai 4 dari 5 rasio
Altman. Perbedaan atas Altman (2000) ini terletak pada perubahan salah satu
variabelnya yaitu rasio X4. Pada model sebelumnya yaitu Altman (1968) nilai
modal ditentukan berdasarkan nilai kapitalisasi pasar, sedangkan Altman (2000)
membuat reestimasi lengkap dari model yaitu nilai modal yang digunakan dalam
menghitung rasio X4 ialah berdasarkan nilai buku atas modal yang dimiliki. Pada
altman (2000) semua koefisien akan berubah dan nilai cut off juga akan berubah.
Adapun fungsi persamaan atas Z-Score ialah sebagai berikut:
Z= 0.717𝑋1 + 0.874𝑋2 + 3.107𝑋3+0.420𝑋4 + 0.998𝑋5
Keterangan:
𝑋1 = Modal Kerja / Total Aset
𝑋2 = Saldo Laba / Total Aset
𝑋3 = Laba Sebelum Bunga dan Pajak / Total Aset
𝑋4 = Nilai Buku Ekuitas / Nilai Buku Kewajiban
𝑋5 = Penjualan / Total Aset
Yang mana jika,
Z < 1,23 : Perusahaan dalam kondisi bangkrut
26
1,23 ≤ Z ≤ 2,90 : Perusahaan dalam kondisi kritis/ rawan bangkrut
Z >2,90 : Perusahaan dalam kondisi sehat
Z-Score digunakan untuk menentukan kecenderungan kebangkrutan dan
sebagai ukuran dari keseluruhan kinerja keuangan perusahaan. Hal yang menarik
tentang Z-Score adalah keandalannya sebagai alat analisis tanpa memperhatikan
bagaimana ukuran perusahaan. Meskipun seandainya perusahaan sudah besar dan
makmur, bila Z-Score mengalami penurunan, maka perusahaan harus berhati-hati.
Adapun uraian dari masing-masing variabel.
1) Rasio 𝑋1 = Modal Kerja / Total Aset, merupakan rasio yang mengukur
kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Pada
umunya, apabila modal kerja menurun maka perusahaan akan mengalami
kesulitan keuangan.
2) Rasio 𝑋2 = Laba Ditahan / Total Aset, pada rasio ini umur perusahaan sangat
penting karena semain lama perusahaan itu beroperasi, maka semakin besar
pula kesempatannya untuk mengakumulasi laba di tahannya.
3) Rasio 𝑋3= EBIT/ Total Aset, rasio ini untuk mengukur seberapa efektif
produktivitas penggunaan dana yang dipinjam. Bila rasio ini lebih besar dari
rata-rata bunga yang dibayar, maka perusahaan cederung lebih banyak
menghasilkan uang daripada bunga pinjaman.
4) Rasio 𝑋4 = Nilai Buku Ekuitas / Total Hutang , pada umumnya perusahaan
yang gagal mengakumulasi akan berdampak lebih banyak hutang dibanding
modalnya sendiri.
27
5) Rasio 𝑋5 = Penjualan / Total Aset, rasio ini mengukur kemampuan
manajemen dalam mengelola asetnya untuk menghasilkan penjualan,
penjualan yang di maksud disini adalah penjualan bersih.