BAB II Proposal Revisi II
Click here to load reader
-
Upload
aprilianiristia -
Category
Documents
-
view
239 -
download
2
description
Transcript of BAB II Proposal Revisi II
BAB II
TINJAUAN TEORETIK, KERANGKA ANALISIS, DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Teoretis
1. Eksperimentasi
Ekperimentasi berasal dari kata dasar eksperimen. Dalam Kamus
Bahasa Indonesia (2008: 187) kata eksperimen mempunyai arti percobaan
yang bersistem dan berencana. Dalam istilah penelitian, eksperimen
merupakan kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh peneliti
untuk mengumpulkan bukti-bukti yang ada hubungannya dengan hipotesis.
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa eksperimen adalah
Suatu percobaan yang terencana sehingga informasi yang berhubungan
dengan persoalan yang sedang diteliti dapat dikumpulkan. Eksperimen
digunakan untuk membuktikan kebenaran suatu teori.
2. Belajar
Belajar bukan menghafal dan bukan pula mengingat, belajar
sebenarnya merupakan kegiatan mental, yaitu proses penyesuaian susunan
yang telah ada pada otak seseorang, yang digoncangkan oleh masuknya
informasi baru. Kegiatan mental ini dipicu oleh kegiatan fisik seseorang
berinteraksi dengan sumber belajar yang memuat berbagai informasi.
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada
diri seseorang (Nana Sudjana, 2008:28).
11
12
Menurut Oemar Hamalik (2003 : 27) memberikan penjelasan tentang
pengertian belajar adalah (a) modifikasi atau memperteguh kelakuan
melalui pengalaman, (b) suatu proses perubahan tingkah laku individu
melalui interaksi dengan lingkungan. Sedangkan menurut Wina Sanjaya,
belajar adalah suatu aktivitas mental seseorang dalam berinteraksi dengan
lingkungannya, sehingga menghasilkan perubahan tingkah laku yang
bersifat positif, baik perubahan dalam aspek pengetahuan, afeksi, maupun
psikomotorik.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan suatu proses
perubahan pada diri seseorang salah satunya pada perubahan tingkah laku
yang bersifat positif. Dikatakan positif karena perubahan perilaku
disebabkan adanya penambahan dari perilaku sebelumnya yang cenderung
menetap.
Tujuan belajar perlu diketahui oleh siswa, agar siswa siap menerima
materi pelajaran, seperti apa yang dijelaskan Winarno Surachman
(1994:99) bahwa: “Tujuan itu penting anda ketahui terlebih dahulu, sebab
jika anda sudah mengetahui tujuan itu maka mental anda pun akan siap
menerima, mengolah dan mengatur semua mata pelajaran sesuai dengan
tujuan itu.”
Perubahan sebagai hasil proses belajar ditunjukkan dalam berbagai
bentuk seperti perubahan pengetahuan, pemahaman, sikap dan tingkah
lakunya. Pendapat tentang belajar juga diberikan yang mengemukakan
bahwa belajar mengandung pengertian terjadinya perubahan persepsi dan
13
perilaku, termasuk juga perbaikan perilaku, misalnya pemuasan kebutuhan
masyarakat dan pribadi secara lengkap.
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam belajar meliputi ( Kokom Komalasari, 2011 : 3 ) :a. Prinsip Kesiapan, siap dalam mengonsentrasikan pikiran untuk belajar.b. Prinsip Asosiasi, keberhasilan belajar tergantung pada kemampuan
pelajar dalam mengasosiasikan atau menghubung-hubungkan. c. Prinsip Latihan, mempelajari sesuatu perlu berulang-ulang karena
makin sering diulang maka makin baik hasil belajarnya.d. Prinsip Efek (Akibat), perasaan senang atau tidaknya selama belajar.
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam proses
belajar mengandung prinsip-prinsip. Prinsip-prinsip itu digunakan untuk
memperlancar jalannya belajar dan dapat memperoleh hasil yang baik.
Mulai dari tahap kesiapan, baik pikiran maupun kondisi fisik sampai tahap
efek (akibat) yang merupakan perasaan siswa senang atau tidaknya selama
belajar. Disamping itu, memperbanyak latihan juga perlu untuk menunjang
keberhasilan dalam belajar. Sehingga apa yang telah kita pelajari dapat
diselesaikan dengan baik dan benar.
3. Model Pembelajaran
Model Pembelajaran merupakan acuan pembelajaran yang secara
sistematis dilaksanakan berdasarkan pola-pola pembelajaran tertentu.
Model pembelajaran pada umumnya memiliki ciri-ciri yaitu memiliki
prosedur yang sistematis, hasil belajar diterapkan secara khusus, penetapan
lingkungan secara khusus, memiliki ukuran keberhasilan tertentu, dan
suatu model mengajar menetapkan cara yang memungkinkan siswa
melakukan interaksi dan bereaksi dengan lingkungan. Model pembelajaran
yang dilakukan oleh guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam
14
mendukung keberhasilan pendidikan. Selain itu, model pembelajaran
harus dianggap sebagai kerangka kerja struktural yang juga dapat
digunakan sebagai pemandu untuk mengembangkan lingkungan dan
aktivitas belajar yang kondusif.
Menurut Joyce dan Weil, model pembelajaran adalah suatu rencana
atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum dan
pembelajaran jangka panjang, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan
membimbing pembelajaran didalam atau luar kelas.
Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan. Artinya, para guru
boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk
mencapai tujuan pembelajaran.
4. Model Problem Based Learning (PBL)
Pembelajaran Berbasis Masalah dalam bahasa inggrisnya
diistilahkan Problem-based learning (PBL) adalah metode mengajar
dengan fokus pemecahan masalah yang nyata, proses dimana peserta didik
melaksanakan kerja kelompok, umpan balik, diskusi, yang dapat berfungsi
sebagai batu loncatan untuk investigasi dan penyelidikan dan laporan
akhir. Menurut Bern dan Erickson (2001:5) menegaskan bahwa
pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) merupakan
strategi pembelajaran yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah
dengan mengintegrasikan berbagai konsep dan keterampilan dari berbagai
disiplin ilmu. Dengan demikian peserta didik didorong untuk lebih aktif
15
terlibat dalam materi pelajaran dan mengembangkan keterampilan berpikir
kritis.
PBL memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut
( Halimsimatupang. 2011. Pembelajaran-berbasis-masalah-problem.
Online ) :
(1) Belajar dimulai dengan suatu permasalahan,
(2) Memastikan bahwa permasalahan yang diberikan berhubungan dengan
dunia nyata pebelajar,
(3) Mengorganisasikan pelajaran di seputar permasalahan, bukan di
seputar disiplin ilmu,
(4) Memberikan tanggung jawab sepenuhnya kepada pebelajar dalam
mengalami secara langsung proses belajar mereka sendiri,
(5) Menggunakan kelompok kecil, dan
(6) Menuntut pebelajar untuk mendemonstrasikan apa yang telah mereka
pelajari dalam bentuk produk atau kinerja (performance).
Problem Based Learning (PBL)/ Model Pembelajaran Berbasis
Masalah mengorganisasikan pengajaran di seputar pertanyaan dan masalah
yang penting secara sosial dan bermakna secara personal bagi siswa.
Masalah yang diinvestigasi dipilih karena solusinya menuntut siswa untuk
menggali banyak subjek. Investigasi autentik yang berusaha menemukan
solusi riil untuk masalah riil. Peserta didik harus menganalisis dan
menetapkan masalahnya, mengembangkan hipotesis dan membuat
prediksi, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan
16
eksperimen (bilamana mungkin), membuat inferensi, dan menarik
kesimpulan. Hasil investigasi berbentuk produksi artefak dan exhibit dari
mengkonstruksi yang menjelaskan atau merepresentasikan solusi mereka.
Produk itu bisa berbentuk debat bohong-bohongan, bisa berbentuk laporan,
model fisik, video, atau program komputer. Artefak dan exhibit yang nanti
akan dideskripsikan, dirancang oleh siswa untuk mendemonstrasikan
kepada orang lain apa yang telah mereka pelajari dan memberikan
alternatif yang menyegarkan untuk makalah wajib atau ujian tradisional.
Kolaborasi atau kerja sama memberikan motivasi untuk keterlibatan
secara berkelanjutan dalam tugas-tugas kompleks dan meningkatkan
kesempatan untuk berdialog bersama, dan untuk mengembangkan berbagai
keterampilan sosial.
Jonassen (1999) mendesain model lingkungan belajar
konstruktivistik yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran kontekstual
dengan pendekatan problem-based learning. Model tersebut memuat
komponen-komponen esensial yang meliputi:(1) pertanyaan-pertanyaan,
kasus, masalah atau proyek, (2) kasus-kasus yang saling terkait satu sama
lain, (3) sumber-sumber informasi, (4) cognitive tools, (5) pemodelan yang
dinamis, (6) percakapan dan kolaborasi, (7) dukungan kontekstual/sosial.
Masalah dalam model tersebut mengintegrasikan komponen-komponen
konteks permasalahan, representasi atau simulasi masalah, dan manipulasi
ruang permasalahan.
17
Belajar dengan problem-based learning dapat mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah. Keterampilan-keterampilan pemecahan
masalah sangat bermanfaat dalam memecahkan masalah kehidupan sehari-
hari. Belajar dengan pendekatan problem based-learning berangkat dari
permasalahan dalam konteks nyata yang dikaitkan dengan pemecahan
masalah secara matematis.
Pembelajaran dengan problem-based learning memuat langkah-
langkah yang koheren dengan proses pemecahan masalah. Dwiyogo
(2000) menemukan bahwa proses pemecahan masalah yang dilakukan
oleh pebelajar mencakup tahap-tahap memahami masalah, merepresentasi
masalah, menentukan model, melakukan kalkulasi, dan menyimpulkan
jawaban. Dari pernyataan yang telah diungkapkan dapat disimpulkan
bahwa proses pemecaham masalah mencangkup bagaimana dalam
memahami permasalahan yang ada, sehingga dapat menyusun rencana
atau cara untuk menyelesaikan dengan baik dan menyimpulkannya.
Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2003), ciri utama
pembelajaran berbasis masalah meliputi mengorientasikan siswa kepada
masalah atau pertanyaan yang autentik, multidisiplin, menuntut kerjasama
dalam penyelidikan, dan menghasilkan karya. Dalam pembelajaran
berbasis masalah situasi atau masalah menjadi titik tolak pembelajaran
untuk memahami konsep, prinsip dan mengembangkan keterampilan
memecahkan masalah.
18
Pembelajaran berbasis masalah membuat siswa menjadi pembelajar
yang mandiri, artinya ketika siswa belajar, maka siswa dapat memilih
strategi belajar yang sesuai, terampil menggunakan strategi tersebut untuk
belajar dan mampu mengontrol proses belajarnya, serta termotivasi untuk
menyelesaikan belajarnya itu. Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa
memahami konsep suatu materi dimulai dari belajar dan bekerja pada
situasi masalah (tidak terdefinisi dengan baik) atau open ended yang
disajikan pada awal pembelajaran, sehingga siswa diberi kebebasan
berpikir dalam mencari solusi dari situasi masalah yang diberikan.
a. Menurut Arends (2009:401), sintaks PBL dan Perilaku Guru yang relevan sebagai berikut :
FASE-FASE PERILAKU GURU
Fase 1
Orientasi peserta didik
kepada masalah.
Menjelaskan tujuan pembelajaran,
menjelaskan logistik yg dibutuhkan.
Memotivasi peserta didik untuk
terlibat aktif dalam pemecahan
masalah yang dipilih.
Fase 2
Mengorganisasikan
peserta didik.
Membantu peserta didik mendefinisikan
danmengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
Fase 3
Membimbing
penyelidikan individu
Mendorong peserta didik untuk
mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen untuk
19
FASE-FASE PERILAKU GURU
dan kelompok. mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah.
Fase 4
Mengembangkan dan
menyajikan hasil karya.
Membantu peserta didik dalam
merencanakan dan menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan, model dan berbagi
tugas dengan teman.
Fase 5
Menganalisa dan
mengevaluasi proses
pemecahan masalah.
Mengevaluasi hasil belajar tentang materi
yang telah dipelajari /meminta kelompok
presentasi hasil kerja.
(Warsono & Hariyanto, 2013 : 151)
b. Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Problem Based Learning
Kelebihan PBL dibandingkan dengan model pengajaran lainnya
adalah :
1) Mendorong kerjasama dalam menyelesaikan tugas,
2) Melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan sendiri,
3) Membantu siswa menjadi pembelajar yang mandiri,
4) Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta
didik/mahapeserta didik yang belajar memecahkan suatu
masalah maka mereka akan menerapkan pengetahuan yang
20
dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang
diperlukan. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas
ketika peserta didik berhadapan dengan situasi di mana konsep
diterapkan.
5) Dalam situasi PBL, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan
dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya
dalam konteks yang relevan.
6) PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis,
menumbuhkan inisiatif peserta didik didik dalam bekerja,
motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan
hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.
Kelemahan/hambatan dalam penerapannya (Ricard I Arends dan
Ibrahim dalam Rusmiyati, 2007: 17). Kelemahan dari pelaksanaan
PBL adalah sebagai berikut:
1) Kondisi kebanyakan sekolah tidak kondusif untuk pendekatan
PBL. Dalam pelaksanaannya, PBL memerlukan sarana dan
prasarana yang tidak semua sekolah memilikinya.
2) Pelaksanaan PBL memerlukan waktu yang cukup lama.
3) Model PBL tidak mencakup semua informasi atau pengetahuan
dasar.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kelebihan dan kelemahan dalam PBL
adalah sebagai penunjang keberhasilan dalam pelaksanaan pembelajaran.
21
Terutama kelemahan dalam PBL yang mencangkup kondisi sekolah yang
meliputi sarana dan prasarana, waktu yang cukup lama dalam
pelaksanaannya, sedangkan untuk satu jam pelajaran yang banyak
dijumpai di berbagai sekolah standar 40-50 menit tidak mencukupi waktu
pelaksanaan PBL yang melibatkan aktivitas siswa di luar sekolah dan PBL
tidak mencakup semua informasi. Dari kelemahan ini, dapat dijadikan
suatu patokan untuk memperbaikinya. Sehingga kelemahan-kelemahan
tersebut dapat berkurang.
5. Pendekatan Scientific
Pendekatan Scientific merupakan pendekatan yang digunakan dalam
penerapan kurikulum 2013. Penerapan kurikulum 2013 ini didasarinya
bahwa guru-guru perlu memperkuat kemampuannya dalam memfasilitasi
siswa agar terlatih berpikir logis, sistematis, dan ilmiah. Tantangan ini
memerlukan peningkatan keterampilan guru dalam melaksanakan
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah (scientific).
Skenario untuk memacu keterampilan guru menerapkan strategi ini di
Indonesia telah melalui sejarah yang panjang, namun hingga saat ini
harapan baik ini belum terwujudkan juga. Karenanya, dalam perancangan
kurikulum baru ini pemerintah menggunakan pendekatan scientific.
Dimana pendekatan ini dianggap lebih efektif hasilnya dibandingkan
pendekatan tradisional.
Pendekatan Scientific adalah konsep dasar yang menginspirasi atau
melatarbelakangi perumusan metode mengajar dengan menerapkan
22
karakteristik yang ilmiah. Proses pembelajaran disebut ilmiah jika
memenuhi kriteria seperti berikut ini (Kemendikbud, 2013 : 185-186) :
1. Materi pembelajaran berbasis pada fakta atau fenomena yang dapat
dijelaskan dengan logika atau penalaran tertentu; bukan sebatas kira-
kira, khayalan, legenda, atau dongeng semata.
2. Penjelasan guru, respon peserta didik, dan interaksi edukatif guru-
peserta didik terbebas dari prasangka yang serta-merta, pemikiran
subjektif, atau penalaran yang menyimpang dari alur berpikir logis.
3. Mendorong dan menginspirasi peserta didik berpikir secara kritis,
analitis, dan tepat dalam mengidentifikasi, memahami, memecahkan
masalah, dan mengaplikasikan materi pembelajaran.
4. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu berpikir hipotik
dalam melihat perbedaan, kesamaan, dan tautan satu dengan yang lain
dari materi pembelajaran.
5. Mendorong dan menginspirasi peserta didik mampu memahami,
menerapkan, dan mengembangkan pola berpikir yang rasional dan
objektif dalam merespon materi pembelajaran.
6. Berbasis pada konsep, teori, dan fakta empiris yang dapat
dipertanggung-jawabkan.
7. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara sederhana dan jelas, namun
menarik sistem penyajiannya.
Pendekatan pembelajaran ilmiah (scientific teaching) merupakan
bagian dari pendekatan pedagogis pada pelaksanaan pembelajaran dalam
23
kelas yang melandasi penerapan metode ilmiah. Pendekatan ilmiah
(scientific appoach) dalam pembelajaran sebagaimana dimaksud meliputi
( Yusrina Fitriani Ns. 2013. Pendekatan-scientific. Online) :
a) Mengamati
Kegiatan mengidentifikasi ciri-ciri objek tertentu dengan alat
inderanya secara teliti, menggunakan fakta yang relevan dan memadai
dari hasil pengamatan.
b) Menanya
Mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak dipahami dari
apa yang diamati.
c) Menalar
Mengolah informasi yang sudah dikumpulkan baik dari hasil kegiatan
mengumpulkan atau dari kegiatan mengamati.
d) Mencoba kegiatan yang dilakukan
Melakuakan eksperimen dari data-data yang sudah dikumpulkan.
e) Membentuk jejaring
Dari penjelasan yang telah disampaikan, bahwa pendekatan ilmiah
merupakan bagian dari pendekatan pedagogis yang meliputi mengamati,
menanya, menalar, mencoba kegiatan yang dilakukan, dan membentuk
jejaring untuk semua mata pelajaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pendekatan ilmiah ini, siswa mengamati dengan alat inderanya kemudian
dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan yang tidak difahami atau
pertanyaan untuk mendapatkan informasi tambahan. Selain itu, mengolah
24
informasi yang sudah diperoleh sampai mendapatkan sebuah solusi.
Sehingga hasil yang diperoleh siswa akan dilakukan eksperimen atau
percobaan dan membentuk jejaring. Kegiatan ini dilakukan untuk semua
mata pelajaran.
6. Prestasi Belajar
Prestasi belajar sebagai hasil belajar yang meliputi segenap ranah
psikologis yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses belajar
siswa. Prestasi belajar merupakan hasil dari kegiatan belajar mengajar
yang berupa pencapaian tujuan belajar, yang sering diwujudkan ke dalam
nilai-nilai tertentu.
Muhibbin Syah yang menggolongkan faktor-faktor yang
mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik di sekolah secara
garis besar dapat dibagi tiga bagian yaitu:
a. Faktor internal (faktor dari dalam diri peserta didik), yakni
keadaan/kondisi jasmani atau rohani peserta dididk. Yang termasuk
faktor-faktor internal antara lain adalah :
1) Faktor fisiologis merupakan keadaan fisik pada siswa yang akan
berpengaruh dalam belajar.
2) Faktor psikologis yang meliputi intelegensi, perhatian, minat,
bakat.
b. Faktor eksternal (faktor dari luar peserta didik), yakni kondisi
lingkungan sekitar peserta didik yang meliputi faktor sosial dan faktor
non sosial.
25
c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya
belajar peserta didik yang meliputi strategi dan metode yang
digunakan peserta didik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran
(Muhibbin Syah, 2008: 139).
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi proses dan hasil belajar peserta didik yaitu faktor internal,
faktor eksternal serta faktor pendekatan belajar. Untuk faktor eksternal
meliputi faktor sosial dan non sosial. Faktor sosial disini meliputi
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Sedangkan faktor non sosial meliputi keadaan sekolah, tempat tinggal
keluarga, alat-alat sumber belajar, keadaan cuaca dan waktu belajaryang
digunakan siswa. Serta faktor pendekatan belajar yang merupakan strategi
dan metode dalam kegiatan pembelajaran.
7. Keaktifan
Keaktifan adalah kegiatan atau kesibukan peserta didik dalam
kegiatan belajar mengajar di sekolah maupun di luar sekolah yang
menunjang keberhasilan belajar siswa. Keaktifan peserta didik dalam
proses belajar merupakan upaya peserta didik dalam memperoleh
pengalaman belajar, yang mana keaktifan belajar peserta didik dapat
ditempuh dengan upaya kegiatan belajar kelompok maupun belajar secara
perseorangan. Keaktifan belajar dapat dilihat dari aktifitas siswa selama
proses pembelajaran. Jika siswa sudah terlibat di dalam proses
26
pembelajaran, maka siswa akan merasakan suasana belajar yang
menyenangkan sehingga hasil belajar dapat dimaksimalkan.
Dalam proses pembelajaran siswa mengaktifan berbagai macam
inderanya untuk dapat menyerap dan mencapai hasil belajar yang
maksimal. Keaktifan belajar siswa ini akan mempengaruhi hasil belajar
yang ia peroleh. Semakin tinggi tingkat keaktifan diharapkan semakin
besar hasil yang diperoleh. Sebenarnya terdapat berbagai macam aktivitas
siswa yang dilakukan ketika kegiatan pembelajaran berlangsung, tetapi
dapat dikelompokkan mengingat banyak aktivitas yang sejenis.
Keaktifan siswa dapat dilihat dalam hal turut serta dalam
melaksanakan tugas belajarnya, terlibat dalam pemecahan masalah,
bertanya kepada siswa lain atau kepada guru jika tidak memahami
persoalan yang dihadapinya, selain itu, kaktifan siswa ditandai pula
dengan berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk
pemecahan masalah, melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan
petunjuk guru, menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang sejenis,
kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah diperoleh
dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang dihadapi.
. Dalam Kurniawati (2010), Sagala (2006:124-134) menyatakan
bahwa keaktifan jasmani maupun rohani ini meliputi antara lain:
1) Keaktifan indera: pendengaran, penglihatan, peraba dan lain-lain.
Murid harus dirangsang agar dapat menggunakan alat inderanya
sebaik mungkin.
27
2) Keaktifan akal: akal anak-anak harus aktif atau diaktifkan untuk
memecahakan masalah, menimbang-nimbang,menyusun pendapat
dan mengambil keputusan.
3) Keaktifan ingatan: pada waktu mengajar, anak aktif menerima
bahan pengajaran yang disampaikan guru dan menyimpannnya
dalam otak, kemudian pada suatu saat ia siap mengutarakan
kembali.
4) Keaktifan emosi: dalam hal ini murid hendaklah senantiasa
berusaha mencintai pelajarannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
keaktifan jasmani dan rohani meliputi keaktifan indera, akal, ingatan, dan
emosi. Dimana keempat keaktifan tersebut ada dalam diri siswa yang akan
merangsang alat inderanya agar dapat digunakan dalam memecahkan suatu
permasalahan yang ada. Semua proses belajar mengajar peserta didik
mengandung unsur keaktifan, tetapi antara peserta didik yang satu dengan
yang lainnya tidak sama.
B. Kerangka Analisis
Sejauh ini pendidikan kita masih didominasi oleh pembangunan bahwa
pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafalkan. Belajar
masih berfokus pada guru sebagai sumber utama pengetahuan. Untuk itu
diperlukan cara belajar yang lebih memperdayakan siswa. Dengan penerapan
28
konsep belajar yang tepat, siswa akan mampu mengubah cara belajar dalam
mengikuti materi pelajaran.
Pembelajaran matematika sangat menuntut keaktifan dan penalaran
peserta didik dan guru sebagai fasilitator dituntut untuk membantu peserta
didik dalam proses pembelajaran. Dalam keseluruhan proses pendidikan di
sekolah kegiatan belajar merupakan kegiatan paling pokok. Oleh karena itu,
berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan bergantung kepada
bagaimana proses belajar yang dialami siswa sebagai peserta didik.
Penerapan model pembelajaran yang tepat berpengaruh pada keberhasilan
proses pembelajaran.
Keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari kemampuan guru
dalam mengembangkan model pembelajaran yang berorientasi pada
peningkatan intensitas keterlibatan siswa secara efektif di dalam proses
pembelajaran. Pengembangan model yang tepat pada dasarnya bertujuan
untuk menciptakan kondisi pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat
belajar secara aktif dan menyenangkan sehingga siswa dapat meraih prestasi
yang optimal.
Kegiatan penelitian dimulai dengan pemberian pembelajaran dengan
model Problem Based Learning (PBL) melalui pendekatan scientific pada
kelas eksperimen dan pendekatan scientific pada kelas kontrol. Selanjutnya
pada kelas eksperimen dan kelas kontrol diberi materi pelajaran matematika
dengan materi pokok yang sama maka dari proses pembelajaran dengan
metode yang tepat akan tercapai prestasi belajar yang optimal. Dengan
29
menggunakan keaktifan siswa sebagai penunjang proses pembelajaran baik
dalam kelas eksperimen maupun kelas kontrol.
C. Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan atau dugaan mengenai keadaan populasi
yang sifatnya masih sementara atau lemah kebenarannya. Hipotesis harus
diuji karena itu harus berbentuk kuantitas untuk dapat diterima atau ditolak.
Hipotesis akan diterima jika hasil pengujian membenarkan pernyataannya dan
akan ditolak jika terjadi penyangkalan dari pernyataannya.
Berdasarkan uraian diatas, hipotesis dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1) Ha : Ada perbedaan prestasi belajar matematika peserta didik yang
diajar menggunakan model Problem Based Learning (PBL)
melalui pendekatan scientific dan yang diajar hanya
menggunakan pendekatan scientific ditinjau dari keaktifan siswa.
2) Ha : Prestasi belajar matematika peserta didik yang mempunyai
keaktifan tinggi diajar menggunakan model Problem Based
Learning (PBL) melalui pendekatan scientific lebih baik daripada
yang diajar hanya menggunakan pendekatan scientific.
3) Ha : Prestasi belajar matematika peserta didik yang mempunyai
keaktifan rendah diajar menggunakan model Problem Based
Learning (PBL) melalui pendekatan scientific tidak lebih baik
daripada yang diajar hanya menggunakan pendekatan scientific.
30