Bab ii pembel
-
Upload
buwarnisutopo -
Category
Education
-
view
12.303 -
download
1
Transcript of Bab ii pembel
11
BAB II
KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, KERANGKA
BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kajian Teori
1. Hakikat Kemampuan Mengapresiasi Puisi Kontemporer
Sebelum membahas lebih lanjut tentang kemampuan mengapresiasi puisi
kontemporer, pada kajian teori ini secara beturut-turut akan dijelaskan tentang: a)
hakikat kemampuan; b) hakikat apresiasi; c) hakikat puisi; d) hakikat puisi
kontemporer, dan e) hakikat kemampuan mengapresiasi puisi kontemporer.
a. Pengertian Kemampuan
Menurut Atkinson, dkk. (hal. 669) dalam bukunya yang berjudul
Pengantar Psikologi yang dimaksud dengan “ability (kemampuan) adalah
pengetahuan atau kecakapan yang terlihat. Kemampuan mencakup pula bakat dan
prestasi”. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa bakat adalah kapasitas untuk
belajar. Sementara itu achievement (prestasi) merupakan kemampuan yang
didapatkan, seperti kemampuan mengeja di sekolah.
Sementara itu, Chaplin (1989: 1) berpendapat bahwa ability (kemampuan,
kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan) merupakan daya kekuatan untuk
melakukan suatu perbuatan. Kemampuan merupakan kesanggupan bawaan sejak
lahir atau merupakan hasil latihan atau praktik. Kemampuan menunjukkan suatu
kegiatan yang dapat dilakukan sekarang, sedang aptitude menunjuk perlunya
adanya latihan atau pendidikan sebelum suatu perbuatan dapat dilakukan pada
12
waktu-waktu mendatang. Kapasitas (capacity) menyangkut suatu kemampuan
yang sepenuhnya bisa dikembangakn dimasa mendatang asalkan disertai dengan
pengkondisian secara optimal.
Konsep tentang kemampuan telah banyak dipaparkan oleh para ilmuwan,
meskipun dengan cara pengungkapan yang berbeda. Menurut Ubaidillah
kemampuan adalah keterampilan untuk mengeluarkan semua sumber daya
internal, keunggulan, dan bakat agar bisa mendatangkan manfaat bagi diri sendiri
maupun orang lain. Keterampilan diartikan sebagai kemampuan melakukan
sesuatu dengan tepat dan mahir (http:www.epsikologi.com/pengembangan
/050603.html).
Senada dengan itu, ahli lain berpendapat bahwa kemampuan (ability)
adalah kekuatan siswa dalam menunjukkan tindakan responsif, termasuk gerakan-
gerakan terkoordinasi yang bersifat kompleks dan pemecahan problem mental
(Warren, 1994: 1). Pendapat yang lain mendefinisikan kemampuan sebagai
penampilan maksimum (maximum performance) yang dilakukan seseorang dalam
beberapa pekerjaan. Apabila penampilan maksimal tersebut diukur, orang ada
yang berkecenderungan untuk melakukan pekerjaan itu sebaik-baiknya dengan
harapan akan mencapai hasil yang paling besar.
Sejalan dengan pendapat tersebut Sternberg (1994: 3) mengemukakan
kemampuan (ability) adalah suatu kekuatan untuk menunjukkan suatu tindakan
khusus atau tugas khusus, baik secara fisik maupun mental. Sementara itu, ahli
lain mengemukakan bahwa kemampuan diartikan sebagai suatu kecakapan,
ketangkasan, bakat, kesanggupan, tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu
13
perbuatan. Kemampuan bisa merupakan kesanggupan bawaan sejak lahir, atau
merupakan hasil latihan atau praktik.
Kemampuan merupakan suatu kekuatan untuk menunjukkan suatu
tindakan khusus atau tugas khusus, baik secara fisik maupun mental. Tentu saja
tugas yang berbeda menuntut kemampuan yang berbeda juga. Selain itu,
kemampuan juga dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk menunjukkan tindakan
responsif, termasuk gerakan-gerakan terkoordinasi, kompleks, dan pemecahan
problem mental.
Berdasarkan pemaparan para ahli seperti tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa kemampuan adalah kesanggupan individu untuk melakukan
suatu kegiatan secara maksimal dalam rangka mencapai hasil yang maksimal.
Akan tetapi, tidak semua kemampuan seseorang itu dapat ditampilkan secara
maksimal pada setiap melakukan suatu aktivitas. Banyak faktor yang
mempengaruhi penampilan kemampuan tersebut tergantung bagaimana seseorang
menyikapi masalah tersebut.
b. Pengertian Apresiasi
Menurut Novia Rahayu kata apresiasi berasal dari bahasa Inggris
appreciation yang berarti penghargaan. Dalam bahasa Prancis appresier
(appretiare) yang berasal dari kata berbahasa Latin pretium berarti price atau
harga. Dengan demikian secara harfiah apresiasi dapat diartikan sebagai
penghargaan terhadap karya sastra http://noviarahayu.wordpress.com/2008/04
/0/apresiasipuisi.
14
Sejalan dengan itu, Maman S. Mahayana mengatakan “Apresiasi puisi atau
apresiasi sastra merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap karya sastra
(puisi)”. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa apresiasi berhubungan dengan
persoalan argumentasi yang logis atau tidak logis. (http://mahadewama
hadewa.blogspot.com/2008/10/sejumlah-masalah-dalam-apresiasipuisi.html).
Dick Hartoko dalam Herman J. Waluyo (2008: 31) mengartikan apresiasi
sebagai penghargaan. Apresiasi sastra adalah penghargaan karya sastra. Dalam hal
ini seseorang langsung “menukiki” karya sastra, berusaha menerima karya sastra
sebagai karya seni yang mengandung nilai-nilai sastra sebagai sesuatu yang benar.
Gove dan Aminudin mengemukkakan bahwa istilah apresiasi mengandung
makna: pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin, dan pemahaman serta
pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang.
Rumusan pengertian tersebut sejalan dengan S. Effendi dalam Tengsoe
Tjahjono (1988: 17) yang berpendapat bahwa “apresiasi sastra adalah kegiatan
mengakrabi cipta sastra dengan sunggu-sungguh hingga tumbuh pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan yang terhadap terhadap karya
sastra”. Untuk memahami dan atau mengerti karya sastra diperlukan analisis
terhadap bagian-bagian struktur.
Mengapresiasi karya sastra berarti mengenali, memahami, dan menikmati
pengalaman dan menikmati bahasa yang menjadi jelmaan pengalaman tersebut
dalam struktur keseluruhan yang terbentuk itu. Karya sastra diciptakan untuk
dibaca dan dinikmati sebagai suatu perwujudan kebutuhan aktualisasi diri dan
15
ekstetik. Jika si pembaca tidak mengerti dengan baik karya sastra tersebut, tentu
manfaat dan kenikmatan karya sastra yang dihadapinya menjadi berkurang.
Sementara itu, ahli yang lain berpendapat bahwa apresiasi sastra adalah
kualitas karya sastra serta pemberian nilai wajar kepadanya berdasarkan
pengamatan dan pengalaman yang sadar secara kritis. Bekal awal yang harus
dimiliki oleh apresiator adalah: 1) kepekaan emosi atau perasaan sehingga
pembaca mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat
karya sastra, 2) pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berubungan dengan
masalah kehidupan dan kemanusiaan, baik lewat penghayatan ini secara intensif
kotemplatif maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan
kehumanitas, 3) pemahaman tehadap aspek kebiasaan, 4) pemahaman terhadap
unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang akan diapresiasi dengan telah teori satra.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
apresiasi adalah kegiatan yang dilakukan melalui tahap-tahap dimulai dari yang
sederhana menuju yang rumit untuk tujuan akhir, yakni menghargai karya sastra.
Secara lebih nyata, wujud dari kegiatan apresiasi berupa membaca untuk
memahami dan memberikan makna karya sastra, menulis karya sastra,
membacakan karya sastra, mendramakan karya sastra, serta mendokumentasikan
karya sastra.
c. Pengertian Apresiasi Puisi
Abdul Rozak Zaidan dalam Herman J. Waluyo membatasi pengertian
apresiasi puisi seperti berikut ini. “Apresiasi puisi sebagai penghargaan atas puisi
16
sebagai hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan, dan penikmatan
atas karya tersebut yang didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang
terkandung dalam puisi itu” (Herman J. Waluyo, 2002: 44).
Tengsoe Tjahjono mengemukakan bahwa apresiasi dapat diartikan sebagai
upaya memberikan penghargaan terhadap karya sastra dengan cara membaca
karya sastra, memahami, memberikan tafsiran yang logis, menghayati, dan
menikmati karya tersebut. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa menghargai puisi berarti
memandang puisi sebagai sesuatu yang bernilai, bukan sesuatu yang tidak
berguna. Dalam rangkaian kegiatan apresiasi puisi, menghargai puisi merupakan
ranah yang paling tinggi. Sebelum seseorang menyentuh ranah menghargai, dia
mesti melalui ranah mengenali, menikmati, dan memahami (Tengsoe Tjahjono,
1988: 13).
Selanjutnya, beliau membuat definisi yang lebih jelas mengenai apresiasi
puisi, yakni aktivitas menggeluti puisi yang melibatkan unsur pikiran, perasaan
bahkan fisik melalui langkah-langkah mengenali, menikmati, dan memahami
sehingga tumbuh penghargaan terhadap keindahan dan makna yang terkandung
dalam puisi.
Dengan demikian, mengapresiasi puisi lebih memberi peluang pada
terjadinya penafsiran yang beragam jika dibandingkan dengan mengapresiasi
terhadap novel, cerpen atau drama, karena bahasa puisi lebih padat, langsung,
lugas, dan tidak memerlukan deskripsi panjang lebar. Oleh karena itu, pada
umumnya bahasa dalam puisi bersifat sugestif (penyaranan), asosiatif (pertalian),
dan imajis/ pembayangan (Maman S. Mahayana, 2005: 264). Senada dengan itu,
17
Riffaterre (1972: 2) dalam Rachmat Djoko Pradopo (2007: 148) berpendapat ada
ambiguitas, kontradiksi, ataupun nonsense di dalam puisi.
Puisi yang baik lazimnya menawarkan serangkaian makna kepada
pembacanya. Untuk menangkap rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu
masuk ke dalamnya dan mencoba memberi penafsiran terhadapnya. Adapun
langkah dasar yang dapat dilakukan untuk pemahaman itu adalah ikhtiar untuk
mencari tahu makna teks. Sebagai sebuah teks, puisi menyodorkan makna
eksplisit dan implisit. Makna eksplisit dapat kita tarik dari perwujudan teks itu
sendiri; pilihan katanya, rangkaian sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan
kata atau diksi menyodorkan kekayaan nuansa makna; rangkaian sintaksis berhu-
bungan dengan maksud yang hendak disampaikan, logika yang digunakan
berkaitan dengan pemikiran atau ekspresi yang ditawarkan; makna semantis
berkaitan dengan kedalaman makna setiap kata dan acuan-acuan yang
disarankannya. Adapun makna implisit berkaitan dengan interpretasi dan makna
yang menyertai di belakang puisi yang bersangkutan.
Apapun jenis puisi yang menjadi objek apresiasi atau kajian kritis
terhadapnya, langkah-langkah sebagai usaha pemahaman itu sangat mungkin
dapat membantu pembaca menyelam ke dalam dunia puisi yang bersangkutan dan
kemudian muncul kembali dengan membawa pemahaman tekstual dan
kontekstualnya. Pemahaman tekstual atau makna teks tersurat dapat dilakukan
lewat dua tahapan. Sebelum kita memasuki langkah-langkah apresiasi puisi, perlu
kiranya kita memahami dahulu pengertian apresiasi itu sendiri, agar tidak terjadi
pencampuradukan antara apresiasi puisi dan pengetahuan tentang puisi.
18
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
apresiasi puisi adalah kegiatan yang dilakukan melalui tahap-tahap dimulai dari
yang sederhana menuju yang rumit untuk tujuan akhir, yakni menghargai puisi.
Secara lebih nyata, wujud dari kegiatan apresiasi puisi berupa membaca untuk
memahami dan memaknai puisi, menulis puisi, membacakan puisi, mendramakan
puisi, musikalisasi puisi, serta mendokumentasikan puisi
d. Kegiatan Apresiasi
Menurut Tengsoe Tjahjono (1988: 17) kegiatan mengapresiasi sastra
(puisi) dapat dilakukan melalui beberapa macam, yakni: kegiatan langsung,
kegiatan tidak langsung, kegiatan kreatif, dan kegiatan dokumentatif.
Kegiatan langsung dapat berupa membaca teks sastra dan melalui
performansi (penampilan). Kegiatan apresiasi secara tidak langsung berupa:
kegiatan mempelajari teori sastra, kegiatan mempelajari kritik sastra, dan kegiatan
mempelajari sejarah sastra. Sementara itu, kegiatan kreatif dapat berupa membuat/
menciptakan puisi secara langsung. Kegiatan dokumentatif dapat berupa
mengumpulkan dan penyusunan naskah.
Sementara itu, Novia Rahayu berpendapat bahwa menghargai puisi berarti
memandang puisi sebagai sesuatu yang bernilai, bukan sesuatu yang tiada
berguna. Dalam rangkaian kegiatan apresiasi puisi, menghargai puisi merupakan
ranah yang paling tinggi. Sebelum seseorang menyentuh ranah menghargai dia
mesti melalui ranah mengenali, menikmati, dan memahami.
http://noviarahayu.wordpress.com/ 2008/04/02/apresiasi-puisi.
19
Maman S. Mahayana berpendapat sebagai wujud penghargaan terhadap
karya sastra, langkah pertama adalah pembacaan teks sastra (puisi) itu sendiri.
Langkah kedua adalah penyisihan teori-teori atau konsep-konsep baku mengenai
pengertian, rumusan atau definisi. Apresiasi justru penghargaan terhadap wujud
konkret karyanya itu sendiri. http://mahadewamahadewa.blogspot.com/2008/
10/sejumlah-masalah-dalamapresiasipuisi.html.
Selanjutnya beliau mengemukakan bahwa apresiasi puisi atau apresiasi
sastra pada umumnya merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap karya
sastra (puisi). Sebagai penghargaan, langkah pertama yang mesti dilakukan adalah
pembacaan teks sastra (puisi) itu sendiri (http://mahadewamahadewa.blogspot.
Com/2008/10/sejumlah-masalah-dalam -apresiasi-puisi.html)
Menurut Aminudin dalam Tengsoe Tjahjono (1988: 22) bekal awal
seorang apresiator adalah: 1) kepekaan emosi; 2) pengetahuan dan pengalaman
yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan kemanusiaan; 3) pemahaman
terhadap aspek kebahasaan; dan 4) pemahaman terhadap unsure intrinsik karya
sastra. Dengan demikian seorang apresiator puisi hendaknya mempunyai hal-hal
seperti tersebut di atas.
Pertama, seorang apresiator hendaknya peka terhadap puisi yang
dibacanya. Hal ini berarti seorang apresiator cepat tanggap terhadap permasalahan
yang diangkat dalam puisi. Hal ini bisa diketahui kalau seorang apresiator
memiliki kepekaan emosi yang cukup tinggi terutama pesan yang akan
disampaikan oleh pengarang dalam puisinya.
20
Kedua, pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah
kehidupan dan kemanusiaan. Seorang apresiator hendaknya memiliki pengalaman
yang luas terutama yang berhubungan dengan masalah kehidupan dan
kemanusiaan. Hal ini memang sangat dibutuhkan pengalaman tersebut akan dapat
membantu menghubungkan antara puisi yang dibaca dengan kenyataan yang ada.
Dengan pengalaman yang luas, seorang apresiator akan dapat menghubungkan
antara isi puisi yang dibaca dengan kehidupan nyata.
Ketiga, pemahaman terhadap aspek kebahasaan. Pemahaman terhadap
aspek kebahasaan sangat diperlukan, mengingat puisi cenderung memiliki aneka
makna. Bahkan, ada puisi yang didalamnya terdapat kata yang sebenarnya tidak
mempunyai makna (kata-kata nonsense). Akan tetapi, oleh pengarang kata-kata
tersebut sengaja dibuat seperti itu dan diberikan makna tersendiri.
Keempat, pemahaman terhadap unsur intrinsik puisi. Seorang apresiator
puisi perlu mengetahui unsur-unsur intrinsik puisi. Unsur intrinsik puisi meliputi:
tema (sence), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap
pembaca (tone), dan amanat (intention).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik simpulan bahwa kegiatan
apresiasi dapat berupa menikmati, memahami, memaknai puisi, menilai,
menghasilkan, serta mendokumentasikan. Kegiatan apresiasi dapat dilaksanakan
dengan baik apabila seorang apresiator mempunyai bekal awal seperti: kepekaan
emosi, pengetahuan dan pengalaman masalah kehidupan dan kemanusiaan,
pemahaman aspek kebahasaan, dan pemahaman unsur intrinsik karya sastra.
21
e. Pengertian Puisi
Secara etimologis, kata puisi dalam bahasa Yunani berasal dari poeima
yang artinya berati membuat, poeisis yang berarti pembuatan, atau poeites yang
berarti pembuat, pembangun, atau pembentuk. Dalam bahasa Inggris, padanan
kata puisi ini adalah poetry yang erat dengan poet dan poem yang artinya tidak
jauh dari to make atau to create. Dalam bahasa Yunani sendiri, kata poet berarti
orang yang mencipta melalui imajinasinya, orang yang hampir-hampir
menyerupai dewa atau yang amat suka kepada dewa-dewa. Dia adalah orang yang
berpenglihatan tajam, orang suci, yang sekaligus merupakan filsuf, negarawan,
guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi.
Herman J. Waluyo (2008: 29) berpendapat bahwa “puisi adalah bentuk
karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif
dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan
pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Sementara itu, Jasin dalam
Tengsoe Tjahjono (1988: 45) mengatakan puisi adalah pengucapan dengan
perasaan, sedangkan prosa adalah pengucapan dengan pikiran.
Senada dengan hal tersebut, Hudson dalam Sutejo (2008: 2) berpendapat
bahwa puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai
medium penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi seperti halnya
lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan
pelukisnya.
Shahnon Ahmad (dalam Pradopo, 2007: 6) mengumpulkan definisi dari
penyair romantik Inggris sebagai berikut. Samuel Taylor Coleridge
22
mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan
terindah. Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat
musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu
seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi. Wordsworth
mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif,
yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan
bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-
baur. Shelley mengemukakan bahwa puisi adalah rekaman detik-detik yang paling
indah dalam hidup.
Herman J. Waluyo (2008: 25-26) mengemukakan definisi puisi dari
beberapa ahli seperti berikut ini. Slamet Muljana menyatakan bahwa puisi
merupakan bentuk kesusasteraan yang menggunakan pengulangan suara sebagai
ciri khasnya. James Reeves menyatakan bahwa puisi adalah ekspresi bahasa yang
kaya dan penuh daya pikat. (3) Clive Sansom mengemukakan puisi sebagai
bentuk pengucapan bahasa yang ritmis, yang mengungkapkan pengalaman
intelektual yang bersifat imajinatif dan emosional.
Demikian juga dengan Emily Dickinson dalam Kennedy, X.J. yang
mendefinisikan puisi seperti berikut ini. “If I read a book and it makes my whole
body so cold no fire can ever warm me, I know that is poetry. If I feel physically
as if the top of my head were taken off, I know that is poetry” (Kennedy, 1991:
331).
Sementara itu, Atkin Graham (1995: 121) menjelaskan puisi seperti
berikut ini. “What is poetry? For poetry makes nothing happen, it survives. In the
23
valley of its making where executives. Would never want to tamper, flows on
south. From ranches of isolation and the busy griefs. Row towns that we believe
and die in, it survives. A way of happening, a mouth”?
Menurut Slamet (2002: 15) hakikat puisi terdiri dari empat hal pokok
yaitu: sense, feeling, tone, dan, intention. Sense atau tema adalah pokok persoalan
(subyek matter) yang dikemukakan oleh pengarang melalui puisinya baik secara
langsung maupun secara tidak langsung. Feeling/ rasa adalah sikap penyair
terhadap pokok persoalan yang dikemukakan dalam puisinya. Tone/ nada adalah
sikap penyair (rendah hati, angkuh, persuatif, sugestif) terhadap pembaca pada
umumnya. Intention/ tujuan adalah tujuan penyair dalam menciptakan puisi
tersebut. Tujuan ini bergantung pada pekerjaan, cita-cita, pandangan hidup, dan
keyakinan yang dianut penyair.
Berdasarkan beberapa definisi puisi seperti yang telah disebutkan di atas,
dapat disimpulkan bahwa puisi adalah bentuk karya sastra yang mementingkan
pemilihan diksi yang kaya dan penuh daya pikat, mengungkapkan pikiran dan
perasaan penyair secara imajinatif, serta merupakan kata-kata yang terindah dalam
susunan terindah.
f. Struktur Puisi
Puisi terbentuk dari dua lapis, yaitu lapis bentuk atau struktur puisi dan
lapis makna dalam puisi. Senada dengan hal tersebut Rachmat (2007b: 14)
berpendapat bahwa puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks artinya puisi
dibangun oleh beberapa bagian yang memiliki jaringan secara nyata.
24
1) Struktur Fisik Puisi
Menurut Herman J. Waluyo (2008: 82) unsur-unsur bentuk atau struktur
fisik puisi dapat diuraikan dalam metode puisi. Unsur-unsur tersebut merupakan
satu kesatuan yang utuh, akan tetapi dapat ditelaah secara sendiri-sendiri/ secara
terpisah. Unsur-unsur itu adalah: diksi, pengimajian, kata konkret, bahasa
figuratif/ majas, versifikasi, dan tata wajah puisi. Selanjutnya, beliau mengatakan
bahwa unsur yang lain dalam puisi adalah struktur batin puisi yang meliputi
perasaan penyair serta suasana jiwa penyair.
Senada dengan hal tersebut Tengsoe Tjahjono (1988: 50) berpendapat
bahwa struktur fisik atau lapis bentuk puisi ada beberapa macam. Lapis bentuk
puisi tersebut meliputi bunyi dan irama dalam puisi, diksi/ pemilihan kata dalam
puisi, baris dalam puisi, enjambemen dalam puisi, bait dalam puisi, serta tipografi
dalam puisi.
Metode-metode dalam pembelajaran puisi meliputi: diksi, imageri, kata
konkret, majas/ bahasa figuratif, versifikasi, dan tatawajah.
2) Diksi/ Pemilihan Kata
Diksi adalah pilihan atau pemilihan kata yang biasanya diusahakan oleh
penyair dengan secermat mungkin. Penyair mencoba menyeleksi kata-kata baik
kata yang bermakna denotatif maupun konotatif. Tentu saja kata-kata/ diksi
tersebut berkaitan dengan perbendaharaan kata penyair, penggunaan urutan kata,
sera daya sugesti kata-kata oleh penyair.
25
3) Pengimajian/ Imageri
Imageri adalah kemampuan kata-kata yang dipakai pengarang dalam
mengantarkan pembaca untuk terlibat atau mampu merasakan apa yang dirasakan
oleh penyair. Ada beberapa macam imaji/ citraan yang dihasilkan oleh indera
penglihatan, pendengaran, perabaan, pengecapan, dan penciuman. Oleh karena
itu, ada beberapa macam imaji/ citraan, yaitu: citra penglihatan, citra
pendengaran, citra penciuman, citra intelektual, citra gerak, citra lingkungan, dan
citra kesedihan (Rachmat Djoko Pradopo, 2007b: 81).
Citra penglihatan (visual imagery), yaitu citraan yang timbul oleh
penglihatan atau berhubungan dengan indra penglihatan. Citra penglihatan ini
merupakan jenis yang paling sering digunakan oleh penyair apabila dibandingkan
dengan jenis citraan yang lain. Citra pendengaran, yaitu citraan yang timbul oleh
pendengaran atau berhubungan dengan indra pendengaran. Citra penciuman dan
pencecapan, yaitu citraan yang timbul oleh penciuman dan pencecapan. Citra
intelektual, yaitu citraan yang timbul oleh asosiasi intelektual/ pemikiran. Citra
gerak, yaitu citraan yang menggambarkan sesuatu yang sebetulnya tidak bergerak
tetapi dilukiskan sebagai dapat bergerak. Citra lingkungan, yaitu citraan yang
menggunakan gambaran-gambaran selingkungan. Citra kesedihan, yaitu citraan
yang menggunakan gambaran-gambaran kesedihan.
4) Kata Konkret
Kata konkret merupakan kata yang perlu mendapatkan perhatian bagi
penyair untuk menimbulkan/ membangkitkan imaji/ daya bayang. Kata yang
26
diperkonkret ini erat hubungannya dengan penggunaan kiasan dan lambang. Jika
penyair mampu mengkonkretkan kata-kata dengan baik, pembaca seolah-olah
dapat melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair. Tentu
saja kata-kata konkret sangat dibutuhkan dalam memahami isi puisi, lebih-lebih
apabila puisi tersebut banyak menggunakan kiasan dan lambang dalam pemilihan
kata.
5) Majas/ Bahasa Figurasi
Majas/ bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyair untuk
mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa. Bahasa figuratif ini disajikan
dengan bahasa yang bersusun-susun serta berpigura artinya dengan penggunaan
bahasa figuratif puisi dapat menjadi prismatik yakni memancarkan banyak makna/
kaya akan makna (Herman J. Waluyo, 2008: 96).
Ada beberapa macam majas/ bahasa figuratif/ gaya bahasa yang digunakan
dalam puisi, yaitu majas: perbandingan (simile), metafora, perumpamaan epos
(epic simile), personifikasi, metonimi, sinekdoki (synecdoche), dan alegori
(Rachmat Djoko Pradopo, 2007b: 62).
Gaya bahasa perbandingan (simile), yaitu bahasa kiasan yang
menyamakan satu hal dengan hal lain dengan mempergunakan kata-kata
pembanding seperti: bagai, sebagai, bak, seperti, semisal, umpama, laksana, dan
lain-lain. Gaya bahasa metafora, yaitu bahasa kiasan yang menyamakan satu hal
dengan hal lain tanpa mempergunakan kata-kata pembanding. Gaya bahasa
perumpamaan epik (epic simile), yaitu perbandingan yang dilanjutkan atau
diperpanjang dengan cara melanjutkan sifat-sifat perbandingannya dalam kalimat
27
berturut-turut. Gaya bahasa personifikasi ialah kiasan yang mempersamakan
benda dengan manusia (benda mati dapat berbuat dan berpikir seperti manusia).
Gaya bahasa metonimia yaitu kiasan pengganti nama. Gaya bahasa sinekdoke
yaitu bahasa kiasan yang menyebutkan suatu bagian yang penting untuk benda itu
sendiri. Gaya bahasa alegori ialah cerita kiasan atau lukisan kiasan.
6) Versifikasi (Rima, Ritma, dan Metrum)
Istilah versifikasi menggantikan rima, ritma, dan metrum. Ketiganya
merupakan akibat dari pemakaian bunyi yang padu. Rima berarti persamaan bunyi
atau pengulangan bunyi. Hal tersebut seperti yang dikemukakan oleh Herman J.
Waluyo (2008: 105) yang menyatakan bahwa rima adalah pengulangan bunyi
dalam puisi untuk membentuk musikalitas atau orkestrasi. Rima dapat berupa
pergantian turun naik, panjang pendek, keras lembutnya ucapan bunyi bahasa
dengan teratur. Dalam rima dikenal perulangan bunyi yang cerah, ringan, yang
mampu menciptakan suasana kegembiraan serta kesenangan. Bunyi semacam ini
disebut euphony. Sebaliknya, ada pula bunyi-bunyi yang berat, menekan, yang
membawa suasana kesedihan. Bunyi semacam ini disebut cacophony.
Berdasarkan jenisnya, persajakan dibedakan menjadi beberapa macam. 1)
Rima sempurna, yaitu persama bunyi pada suku-suku kata terakhir; 2) Rima tak
sempurna, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada sebagian suku kata terakhir;
3) Rima mutlak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada dua kata atau lebih
secara mutlak (suku kata sebunyi); 4) Rima terbuka, yaitu persamaan bunyi yang
terdapat pada suku akhir terbuka atau dengan vokal sama; 5) Rima tertutup, yaitu
persamaan bunyi yang terdapat pada suku kata tertutup (konsonan); 6) Rima
28
aliterasi, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bunyi awal kata pada baris
yang sama atau baris yang berlainan; 7) Rima asonansi, yaitu persamaan bunyi
yang terdapat pada asonansi vokal tengah kata; 8) Rima disonansi, yaitu
persamaan bunyi yang terdapaat pada huruf-huruf mati/ konsonan.
Berdasarkan letaknya, rima dibedakan menjadi beberapa macam. 1) Rima
awal, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada awal baris pada tiap bait puisi; 2)
Rima tengah, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris pada bait puisi;
3) Rima akhir, yaitu persamaan bunyi yang terdapat di akhir baris pada tiap bait
puisi; 4) Rima tegak, yaitu persamaan bunyi yang terdapat pada bait-bait puisi
yang dilihat secara vertikal; 5) Rima datar yaitu persamaan bunyi yang terdapat
pada baris puisi secara horizontal; 6) Rima sejajar, yaitu persamaan bunyi yang
berbentuk sebuah kata yang dipakai berulang-ulang pada larik puisi yang
mengandung kesejajaran maksud; 7) Rima berpeluk, yaitu persamaan bunyi yang
tersusun sama antara akhir larik pertama dan larik keempat, larik kedua dengan
larik ketiga (ab-ba); 8) Rima bersilang, yaitu persamaan bunyi yang tersusun sama
antara akhir larik pertama dengan larik ketiga dan larik kedua dengan larik
keempat (ab-ab); 9) Rima rangkai/ rima rata, yaitu persamaan bunyi yang tersusun
sama pada akhir semua larik (aaaa); 10) Rima kembar/ berpasangan, yaitu
persamaan bunyi yang tersusun sama pada akhir dua larik puisi (aa-bb); 11) Rima
patah, yaitu persamaan bunyi yang tersusun tidak menentu pada akhir larik-larik
puisi (a-b-c-d).
Slamet Muljana dalam Herman J. Waluyo (1987: 94) berpendapat ritma
berarti pertentangan bunyi: keras/ lemah, tinggi/ rendah, panjang/ pendek, yang
29
mengalun dengan teratur dan berulang-ulang sehingga membentuk keindahan.
Variasi itu mirip gelombang yang teratur, sehingga puisi menjadi enak dibaca dan
merdu apabila didengarkan.
Metrum/ mantra adalah pengulangan tekanan kata yang tetap dalam
sebuah puisi. Metrum bersifat statis dan hanya diucapkan oleh orang-orang
tertentu saja. Ada dua macam metrum, yaitu: 1) irama yang tetap, menurut pola
tertentu dan 2) ritme, yaitu irama yang disebabkan pertentangan atau pergantian
bunyi tinggi rendah secara teratur. Irama menyebabkan aliran perasaan atau
pikiran tidak terputus dan terkonsentrasi sehingga menimbulkan bayangan angan
(imaji) yang jelas dan hidup. Irama diwujudkan dalam bentuk tekanan-tekanan
pada kata (dinamik, nada, dan tempo).
7) Tata Wajah (Tipografi)
Tipografi adalah bentuk puisi yang dapat dengan mudah membedakan
antara prosa dan puisi. Larik-larik dalam puisi tidak membentuk paragraf tetapi
membentuk bait. Baris puisi tidak harus bermula dari tepi kiri ke tepi kanan. Baris
puisi dapat dimulai dari tepi kiri, tengah, tepi kanan, dan lain-lain. Lebih-lebih
sejenis puisi kontemporer yang sangat mementingkan tipografi daripada makna
kata-kata. Hal seperti ini banyak dilakukan oleh tokoh puisi kontemporer yaitu
Sutardji Calzoum Bachri.
8) Struktur Batin Puisi
Adapun struktur batin puisi meliputi: tema/ makna (sense); rasa (feeling),
nada (tone), dan amanat/ tujuan/ maksud (itention). Tema (sense) yaitu media
puisi bahasa. Tataran bahasa adalah hubungan tanda dengan makna, maka puisi
30
harus bermakna dalam setiap kata, baris, bait, maupun makna keseluruhan. Rasa
(feeling), yaitu sikap penyair terhadap pokok permasalahan yang terdapat dalam
puisinya. Pengungkapan tema dan rasa erat kaitannya dengan latar belakang sosial
dan psikologi penyair, misalnya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin,
dan lain-lain. Kedalaman pengungkapan tema dan ketepatan dalam menyikapi
suatu masalah bergantung pada kemampuan penyair memilih kata-kata, rima,
gaya bahasa, dan bentuk puisi saja, serta bergantung pada wawasan, pengetahuan,
pengalaman, dan kepribadian yang terbentuk oleh latar belakang sosiologis dan
psikologisnya. Nada (tone) yaitu sikap penyair terhadap pembacanya. Nada juga
berhubungan dengan tema dan rasa. Penyair dapat menyampaikan tema dengan
nada menggurui, mendikte, bekerja sama dengan pembaca untuk memecahkan
masalah, menyerahkan masalah begitu saja kepada pembaca, dengan nada
sombong, menganggap bodoh dan rendah pembaca, dan lain-lain. Amanat/ tujuan/
maksud (itention) yaitu sadar maupun tidak, ada tujuan yang mendorong penyair
menciptakan puisi. Tujuan tersebut bisa dicari sebelum penyair menciptakan
puisi, maupun dapat ditemui dalam puisinya http://endonesa.wordpress
.com/lentera-sastra/puisi.
g. Jenis-jenis Puisi
Jenis-jenis puisi perlu diketahui oleh pembaca agar mereka (pembaca)
mampu memahami dan menghayati puisi itu dengan baik. Berikut beberapa jenis
puisi menurut beberap ahli. Menurut Tengsoe Tjahjono (1988) puisi dibedakan/
31
dikelompokkan menjadi beberapa macam: yakni: puisi epik, puisi naratif, puisi
dramatik, puisi lirik, puisi epigram, puisi didaktis, puisi satirik, romans, dan elegi.
Sementara itu, Herman J. Waluyo (2008: 166) berpendapat bahwa ragam
puisi dibedakan menjadi beberapa macam, 1) puisi naratif, lirik, dan deskriptif; 2)
puisi kamar dan puisi auditorium; 3) puisi fisikal, platonik, dan metafisik; 4) puisi
subjektif dan puisi objektif; 5) puisi konkret; 6) puisi diafan, gelap, dan prismatis;
7) puisi parnasian dan puisi inspiratif; 8) stansa; 9) puisi demonstrasi dan pamflet;
10) alegori.
Senada dengan hal tersebut, Sutejo (2008: 3-41) berpendapat bahwa ragam
puisi ditinjau dari segi bentuk maupun isinya ada beberapa macam. Menurut
beliau ragam puisi tersebut adalah: 1) puisi elegi, yaitu puisi yang berisi tentang
ratapan dan kepedihan penyair; 2) puisi romance, yaitu puisi yang merupakan
luapan batin penyair terhadap sang pujaan/ kekasih; 3) puisi dramatik, yaitu puisi
yang merupakan penggambaran dari perilaku seseorang melalui dialog, monolog;
4) puisi satirik yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang
kepincangan yang terjadi; 5) puisi didaktik, yaitu puisi yang mengandung nilai-
nilai edukatif; 6) puisi lirik, yaitu puisi yang berisi luapan batin penyair atas
pengalaman batinnya; 7) puisi naratif, yaitu puisi yang berisi tentang cerita
(balada); 8) puisi epik, yaitu puisi yang berisi tentang kepahlawanan; 9) puisi
fabel, yaitu puisi yang bercerita tentang kehidupan binatang; 10) puisi deskriptif,
yaitu puisi yang menekankan pada impresi penyair atas realita benda, peristiwa,
keadaan, atau suasana; 11) puisi kamar; 12) puisi hukla/ auditorium, yaitu puisi
yang cocok untuk dipanggungkan; 13) puisi fisikal, yaitu puisi yang
32
menggambarkan suatu realita dengan apa adanya; 14) puisi platonik, yaitu puisi
yang sepenuhnya berisi tentang hal-hal yang bersifat spiritual atau kejiwaan; 15)
puisi metafisikal, yaitu puisi yang bersifat filosofis dan mengajak pembaca untuk
merenung tentang kehidupan untuk menemukan tuhannya ; 16) puisi konkret,
yaitu puisi yang mengandalkan visualisasi konkret, bentuk tipografinya sebagai
sarana dalam menyampaikan pesan; 17) puisi objektif, yaitu puisi yang
mengungkapkan hal-hal di luar penyair; 18) puisi subjektif, yaitu puisi yang
mengungkapkan gagasan, ide, pikiran, perasaan, dan suasana batin penyair; 19)
puisi prismatis, yaitu puisi yang menyelaraskan kemampuan menciptakan majas,
versifikasi, diksi, dan pengimajian sehingga sulit untuk menafsirkan makna yang
terkandung; 20) puisi diafan/ puisi polos; 21) puisi gelap, yaitu puisi yang sangat
sulit ditafsirkan maknanya; 22) puisi parnasian, yaitu puisi yang banyak
mengandung nilai keilmuan; 23) puisi passion/ inspiratif, yaitu puisi yang mampu
melukiskan suasana, peristiwa, dan keadaan secara memikat; 24) puisi pamflet,
yaitu puisi yang biasanya digunakan untuk kepentingan demonstrasi; 25) puisi
kontemporer; 26) puisi efektif, yaitu puisi lirik yang menekankan akan pentingnya
mempengaruhi pembaca; 27) puisi kognitif, yaitu puisi lirik yang menekankan isi
gagasan penyairnya; 28) puisi ekspresif, yaitu puisi lirik yang menonjolkan
ekspresi pribadi penyairnya; 29) himne, yaitu puisi lirik yang berisi pujian
terhadap tuhannya; 30) ode, yaitu puisi lirik yang berisi pujian terhadap seorang
pahlawan; 31) epigram, yaitu puisi lirik yang berisi ajaran kehidupan, sifatnya
menggurui; 32) puisi humor; 33) idyl, yaitu puisi lirik yang berisi nyanyian
tentang kehidupan di pedesaan; 34) parodi, yaitu puisi lirik yang berisi ejekan
33
yang ditujuan terhadap karya seni; dan 35) pastoral, yaitu puisi lirik yang berisi
penggambaran kehidupan petani di sawah-sawah.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi mempunyai
jenis yang banyak ragamnya. Meskipun demikian, puisi yang beragam tersebut
pada hakikatnya tetap sama, yaitu ekspresi seseorang yang dituangkan dalam
bentuk tulisan yang indah. Tulisan yang indah tersebut mempunyai isi/ pesan
tertentu yang disampaikan kepada pembaca.
h. Pengertian Puisi Kontemporer
Istilah puisi kontemporer diperkenalkan oleh Tengsoe Tjahjono (1988: 88-
89) Menurut beliau, “puisi kontemporer adalah bentuk puisi yang berusaha lari
dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Puisi tersebut ditandai dengan adanya
bentuk yang aneh dan ganjil”. Menurut ukuran orang Indonesia puisi kontemporer
merupakan bentuk puisi yang berusaha lari dari ikatan konvensional puisi itu
sendiri. Puisi-puisi yang sejenis itu dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bahri sekitar
tahun 1973-an.
Menurut Suparni istilah kontemporer berasal dari bahasa Perancis
contemporain yang berarti dari zaman yang sama. Berangkat dari pengertian
tersebut, puisi kontemporer dapat diartikan sebagai puisi yang sesuai dengan
zaman kini, mutakhir. Yang dimaksud zaman mutakhir di sini adalah puisi hasil
suatu pembaharuan dari puisi-puisi yang ada sebelumnya (Suparni, 1988: 79).
Penyair lain yang sejalan dengan Sutardji yang cenderung berbentuk aneh
dan ganjil adalah Danarto. Beliau justru memulai membuat puisi dengan kekuatan
34
garis dalam menciptakan puisinya. Penyair yang senada dengan Sutardji dan
Danarto yang mencanangkan bentuk aneh dan ganjil antara lain: Ibrahim Sattah,
Hamid Jabbar, Husni Jamaluddin, Noorca Marendra, Jiehan, F. Rahadi, dan
sebagainya.
Puisi yang aneh dan ganjil seperti tersebut di atas oleh Herman J. Waluyo
(2002: 122) diberi istilah puisi konkret dan puisi mantra. Dalam hal ini puisi
dikembalikan pada kodratnya yang paling awal yaitu sebagai mantra yang
mengandalkan kata sebagai kekuatan bunyi. Sementara itu, bentuk konkret yang
digunakan, menurut Pradopo, untuk mendukung makna yang ada dalam puisi
tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi kontemporer
adalah puisi yang aneh dan ganjil yang merupakan pembaruan puisi sebelumnya
dengan mementingkan tipografi sebagai pendukung arti puisi.
i. Macam-macam Puisi Kontemporer
Istilah puisi kontemporer diperkenalkan oleh Tjahjono dalam bukunya
yang berjudul Sastra Indonesia (1988: 88). Menurut beliau puisi kontemporer
terdiri dari sembilan macam, yakni: puisi mbeling/ puisi lugu, puisi tipografi, puisi
yang menentang idiom-idiom konvensional, puisi yang membolak-balikkan
struktur kata, puisi yang lebih mengutamakan unsur bunyi, puisi yang
mengkombinasikan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, puisi yang banyak
menggunakan simbol daripada kata, puisi yang lebih menonjolkan unsur garis-
garis, dan puisi konkret (Tengsoe Tjahjono, 1988: 89-97).
35
Sementara itu, Zaidan Hendy (1993: 206) dalam bukunya yang berjudul
Kesusastraan Indonesia 2 menyebut istilah puisi kontemporer dengan sebutan
bentuk puisi yang menyimpang. Menurut beliau puisi menyimpang dapat
dibedakan menjadi enam macam, yakni: puisi absurd, puisi hermetis, puisi
konkret, puisi makaroni, puisi mantra, dan puisi rhopalis. Lain halnya dengan
Herman J. Waluyo (2002: 122), beliau menyebut puisi kontemporer dengan
sebutan puisi konkret dan puisi mantra.
Para ahli menyebut istilah puisi kontemporer dengan sebutan yang
berbeda-beda. Namun demikian, hakikat dari puisi kontemporer itu tetap sama
yakni puisi yang berusaha lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Puisi
tersebut lebih menonjolkan tipografi/ bentuk serta banyak menggunakan kata-
kata nonsense. Puisi tersebut ditandai dengan adanya bentuk yang aneh dan ganjil.
Menurut ukuran orang Indonesia puisi kontemporer merupakan bentuk puisi yang
berusaha lari dari ikatan konvensional puisi itu sendiri. Puisi kontemporer
dipelopori oleh Sutardji Calzoum Bahri sekitar tahun 1973-an.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, puisi kontemporer dapat
dikelompokkan menjadi empat macam, yaitu puisi mbeling/ puisi lugu, puisi
konkret/ tipografi, puisi absurd/ puisi inkonvensional, dan puisi mantra.
a. Puisi Mbeling/ Puisi Lugu
Puisi mbeling adalah puisi yang tidak mendapatkan tempat pada majalah
sastra. Hal ini disebabkan puisi tersebut menggunakan ungkapan yang blak-
blakan/ fulgar tanpa menghiraukan diksi konvensional ataupun bunga-bunga
bahasa. Biasanya mengungkapkan kritik pada kehidupan masyarakat, tetapi
36
dengan cara yang lucu. Hal inilah yang menyebabkan jenis puisi ini tidak diterima
dalam majalah sastra.
Contoh 1
Sajak Tentang Sebuah Mimpi
Seorang anak yang malangMimpi ketemu Sinterklas, tadi malamKatanya: “Sorga ada di bawah telapak kaki ibu … “
Pagi-pagi sekali anak yang malang ituMenangis di depan ibunyaYang telah terputus kedua kakinya
Adegan ini, sesungguhnya agak mengharukanTetapi kalau nasib menghendakinya begituKita mau apa lagi?
(Noorca Marendra)
Contoh 2Belajar Membaca
kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kaki kau
kakiku luka
lukakah kakikau
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
(Oleh Sutardji Calzoum Bachri)
37
b. Puisi Konkret/ Puisi Tipografi
Puisi konkret/ puisi tipografi adalah puisi yang mementingkan
gambaran visual dengan menonjolkan bentuk/ tata wajah yang disusun mirip
dengan gambar Dalam puisi konkret/ puisi tipografi seorang penyair berusaha
mengekspresikan gejolak hatinya dengan lebih menonjolkan lukisan bentuk
daripada puisinya.
Perhatikan contoh puisi di bawah ini!
Contoh 1
Di
DiBetul
kau pastisedang menghitung
berapa nasib lagi tinggalsebelum fajar terakhir kau tutup
tanpa seorang pun tahu siapa kau dan
dikau
maka kinilengkaplah sudah
perhitungan di luar akaldan angan-angan di dalam hati kita
tentang sesuatu yang tak bias siapa punmenerangkatakan pada saat itu kau mungkin sedang
diBetulkan?
(Noorca Marendra)
38
Contoh 2
Tragedi Winka & Sihkha
kawinkawin
kawinkawin
kawinKa
winka
winka
winka
winka
winkawinka
winkawinka
winkawinka
sihka
sihka
sihka
sihka
sihka
sihsih
sihsih
sihsih
kaKu
(Sutardji Calzoum Bachri)
39
Contoh 3
A B R A C A D A B R A
A B R A C A D A B R
A B R A C A D A B
A B R A C A D A
A B R A C A D
A B R A C A
A B R A C
A B R A
A B R
A B
A
(Oleh Danarto)
Contoh 4
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V V V V V V V V V V V V V V V V V
V
VIVA PANCASILA !
(Oleh Jeihan)
40
Contoh 5
Sajak Transmigran II
dia selalu singkong
dan terus menerus singkong
hari ini singkong
tadi malam singkong
besuk mungkin singkong
besuknya lagi juga singkong
di rumah sepotong singkong
di ladang seikat singkong
di pasar segerobak singkong
di rumah tetangga sepiring singkong
enam bulan lagi tetap singkong
setahun lagi tetap singkong
sepuluh tahun masih singkong
dua puluh tahun makan singkong
dan lima puluh tahun kemudian
transmigran berubah
sakit-sakitan
mati
lalu dikubur di ladang singkong
(F. Rahardi)
c. Puisi Absurd/ Puisi Inkonvensional
Puisi absurd adalah bentuk puisi yang dianggap menyimpang dari
kriteria puisi yang lazim (Zaidan Hendi, 1993: 206). Dalam hal ini, penyimpangan
dapat terjadi dalam berbagai dimensi. Menurut Rachmad Djoko Pradopo (2007:
106) Sutardji C.B. banyak melakukan penyimpangan dalam sajak-sajaknya untuk
41
mendapatkan arti baru. Penyimpangan itu terjadi dalam hal penghapusan tanda
baca, pemutusan kata, pembalikan kata, penggandengan dua kata atau lebih,
penghilangan imbuhan. Penyimpangan yang dilakukan oleh Sutardji itulah yang
banyak menghasilkan puisi yang bersifat absurd.
Contoh
Sepisaupi
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupanya sepikausepi
sepisaupa sepisaupi
sepikul diri keranjang diri
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sepisaupa sepisaupi
sampai pisau-Nya ke dalam nyanyi
(Sutardji Calzoum Bachri)
d. Puisi Mantra
Banyak orang meyakini bahwa bentuk puisi tertua adalah mantra yang
merupakan bagian penting ritual-ritual masa lampau (Melani, 2008: 58). Lebih
lanjut beliau mengatakan bahwa kekhasan mantra terletak pada pengulangan-
pengulangan bunyi serta efek yang dihasilkannya pada pendengar. Mantra
42
mempunyai fungsi magis, yaitu mampu menyembuhkan penyakit, mengusir roh
jahat atau bala, dan menghubungkan manusia dengan alam supranatural.
Puisi mantra ialah puisi yang kata-kata/ kalimatnya mengandung suatu
magi (menimbulkan kekuatan gaib) seperti pada mantra. Dalam hal ini
pengulangan kata dan sekaligus pengulangan bunyi dirasakan menimbulkan
kekuatan khusus seperti pada mantra (Zaidan Hendy, 1993: 209).
Contoh
Sejak
sejak kapan sungai dipanggil sungai
sejak kapan tanah dipanggil tanah
sejak kapan derai dipanggil derai
sejak kapan resah dipanggil resah
sejak kapan kapan dipanggil kapan
sejak kapan kapan dipanggil lalu
sejak kapan akan dipanggil akan
sejak kapan akan dipanggil rindu
sejak kapan ya dipanggil tak
sejak kapan tak dipanggil mau
sejak kapan tuhan dipanggil tak
sejak kapan tak dipanggil rindu
(Sutardji Calzoum Bachri)
j. Pelopor Puisi Kontemporer
Sutardji Calzoum Bachri terkenal sebagai pelopor puisi kontemporer.
Beliau dilahirkan pada tanggal 24 Juni 1943 di Rengat, Indragiri Hulu, Riau.
43
Setelah lulus SMA, ia melanjutkan pendidikannya sampai tingkat doktoral,
Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial Universitas Padjadjaran, Bandung.
Sutardji adalah anak kelima dari sebelas saudara dari pasangan
Mohammad Bachri (dari Prembun, Kutoarjo, Jawa Tengah) dan May Calzoum
(dari Tanbelan, Riau). Dia menikah dengan Mariham Linda (1982) dikaruniai
seorang anak perempuan bernama Mila Seraiwangi. Kariernya di bidang
kesastraan dirintis sejak mahasiswa yang diawali dengan menulis dalam surat
kabar mingguan di Bandung.
Selanjutnya, ia mengirimkan sajak-sajak dan esainya ke media massa di
Jakarta, seperti Sinar Harapan, Kompas, Berita Buana, majalah bulanan Horison,
dan Budaya Jaya. Di samping itu, ia mengirimkan sajak-sajaknya ke surat kabar
lokal, seperti Pikiran Rakyat di Bandung dan Haluan di Padang. Sejak itu, Sutardji
Calzoum Bachri diperhitungkan sebagai seorang penyair.
Pada tahun 2000-2002 Sutardji Calzoum Bachri menjadi penjaga ruangan
seni “Bentara”, khususnya menangani puisi pada harian Kompas setelah berhenti
menjadi redaktur majalah Horison. Sutardji Calzoum Bachri selain menulis juga
aktif dalam berbagai kegiatan, misalnya mengikuti International Poetry Reading
di Rotterdam, Belanda (1974), mengikuti International Writing Program di
Universitas Iowa, Iowa City, USA (Oktober 1974—April 1975), bersama Kiai
Haji Mustofa Bisri dan taufiq Ismail.
Ia pernah diundang ke Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad,
Irak, pernah diundang Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk
membacakan puisinya di Departemen Keuangan Malaysia, mengikuti berbagai
44
pertemuan Sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura,
malaysia, dan Brunei Darussalam, serta pada tahun 1997 Sutardji membaca puisi
di Festival Puisi International Medellin, Columbia.
Sutardji dengan “Kredo Puisi”nya menarik perhatian dunia sastra di
Indonesia. Beberapa karyanya adalah O (Kumpulan Puisi, 1973), Amuk
(Kumpulan Puisi, 1977), dan Kapak (Kumpulan Puisi, 1979). Kumpulan puisnya,
Amuk, pada tahun 1976/1977 mendapat Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta
(DKJ). Kemudian pada tahun 1981 ketiga buku kumpulan pusinya itu
digabungkan dengan judul O, Amuk, Kapak yang diterbitkan oleh Sinar Harapan.
Selain itu, puisi-puisinya juga dimuat dalam berbagai antologi, antara lain Arjuna
in Meditation (Calcutta, India, 1976), Writing from The Word (USA), Westerly
Review (Australia), Dchters in Rotterdam (Rotterdamse Kunststechting, 1975), Ik
Wil Nogdulzendjaar Leven, Negh Moderne Indonesische Dichter (1979), Laut
Biru, Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977), Parade Puisi Indonesia (1990),
majalah Tenggara, Journal of Southeast Asean Lietrature 36 dan 37 (1997), dan
Horison Sastra Indonesia: Kitab Puisi (2002).
Sutardji selain menulis puisi juga menulis esai dan cerpen. Kumpulan
cerpennya yang sudah dipublikasikan adalah Hujan Menulis Ayam (Magelang,
Indonesia Tera:2001). Sementara itu, esainya berjudul Gerak Esai dan Ombak
Sajak Anno 2001 dan Hujan Kelon dan Puisi 2002 mengantar kumpulan puisi
“Bentara”. Sutardji juga menulis kajian sastra untuk keperluan seminar. Sekarang
sedang dipersiapkan kumpulan esai lengkap dengan judul “Memo Sutardji”
Penghargaan yang pernah diraihnya adalah Hadiah Sastra Asean (SEA Write
45
Award) dari Kerajaan Thailand (1997), Anugrah Seni Pemerintah Republik
Indonesia (1993), Penghargaan Sastra Chairil Anwar (1998), dan dianugrahi gelar
Sastrawan Perdana oleh Pemerintah Daerah Riau (2001).
Dalam buku kumpulan puisinya yang berjudul “O Amuk Kapak” beliau
menyatakan: “Dalam kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat
untuk menyampaikan pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan
pengertian. Dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian”
http://www.geocities.com/Paris/7229/suta....
k. Kemampuan Mengapresiasi Puisi Kontemporer
Kemampuan mengapresiasi puisi merupakan kesanggupan individu untuk
melakukan kegiatan secara maksimal dalam rangka mencapai hasil yang
maksimal. Adapun indikator yang digunakan dalam mengukur kemampuan
seseorang mengapresiasi puisi kontemporer meliputi: 1) Memahami isi puisi
kontemporer; 2) Menghubungkan antara puisi kontemporer dengan pengarangnya;
3) Memberikan penilaian terhadap puisi kontemporer; 4) Menulis puisi
kontemporer (Jakob Sumardjo: 1986: 131).
1) Memahami Isi Puisi Kontemporer
Untuk memahami sebuah puisi, pembaca terlebih dahulu mengetahui
teori-teori yang berkaitan dengan puisi kontemporer yang meliputi unsure-unsur
intrinsik puisi dan unsur-unsur ekstrinsik puisi. Unsur-unsur instrinsik puisi
kontemporer meliputi: tema, tipografi/ tata wajah, penggunaan kata-kata
nonsense, ciri-ciri puisi kontemporer, majas, dan enjambemen. Adapun unsur-
46
unsur ekstrinsik puisi kontemporer meliputi: riwayat hidup pembuat puisi,
pendidikan penyair, serta lingkungan penyair tinggal.
2) Menghubungkan antara Puisi Kontemporer dengan Pengarangnya
Untuk mengapresiasi puisi kontemporer, pembaca perlu membaca puisi
kontemporer, memahami isi puisi kontemporer yang dibaca, menghubungkan
antara penyair dengan puisi yang dibuatnya. Hal ini dapat dilihat dengan
memperhatikan beberapa hal, antara mencari jawaban mengapa judul puisi
penyair seperti itu, bagaimanakah tipografi puisi itu, mencari hubungan antara
baris yang satu dengan baris yang lain untuk dihubungkan dengan tipografi. Pada
prinsipnya pembaca perlu mengkaji secara mendalam/ menganalisis puisi yang
dibacanya.
3) Memberikan Penilaian terhadap Puisi Kontemporer
Untuk memberikan penilaian terhadap sebuah puisi kontemporer,
pembaca terlebih dahulu mengetahui teori-teori yang berkaitan dengan puisi
kontemporer yang meliputi unsur-unsur intrinsik dan unsur-unsur ekstrinsik puisi
kontemporer. Selain itu, pengetahuan terhadap sejarah puisi kontemporer juga
perlu diketahuinya.
Kemampuan menguasai isi puisi kontemporer merupakan hal penting bagi
seorang penilai. Dalam memberikan penilaian (kritik), seseorang perlu bersikap
secara objektif, artinya menilai sesuatu itu baik kalau keadaannya memang baik
dan menilai sesuatu itu jelek kalau memang kenyataannya kurang. Selain
memberikan penilaian secara objektif seorang penilai perlu mencantumkan
kutipan-kutipan pada baris-baris yang ada dalam puisi yang dinilainya.
47
Memberikan penilaian ini pada dasarnya memberikan gambaran serta
penjelasan tentang isi puisi kontemporer yang dinilai. Penilaian ini akan
bermanfaat bagi penulis puisi maupun bagi pembaca/ penikmat puisi
kontemporer.
4) Menulis Puisi Kontemporer
Menulis puisi kontemporer merupakan kegiatan yang membutuhkan
pemikiran serta konsentrasi khusus untuk terciptanya sebuah ide. Ide yang sudah
ada kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan yang akan dibuat perlu
diperhatikan tipografinya sekaligus pemberian makna tipografi yang berhubungan
dengan isi puisi.
Menurut Sutejo dan Kasnadi (2008: 49-50) ada beberapa langkah dalam
menulis puisi. Langkah-langkah terssebut antara lain adalah: 1) perlunya
memahami aliran; 2) perlunya memahami tema; 3) perlunya imajinasi; 4)
perlunya menemukan ide; 5) perlunya mengeramkan ide; 6) pilihlah sikap
terhadap persoalan yang terjadi; 7) memilih jenis puisi; 8) memilih larik-larik
yang menarik; 9) tuangkan aspek psikologi ke dalam puisi secara memikat; 10)
pilihlah tipografi yang sesuai; 11) pilihlah judul puisi yang memikat; 12)
manfaatkan gaya bahasa/ majas. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa langkah-
langkah tersebut pada dasarnya dapat dilakukan secara acak (tidak urut).
Langkah-langkah itu hanya dimaksudkan untuk memudahkan dalam penulisan
puisi kontemporer.
48
2. Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL)
Sebelum membahas lebih lanjut tentang pendekatan Contextual Teaching
and Learning (CTL), pada kajian teori ini, secara beturut-turut akan dijelaskan
hakikat dan penerapan pendekatan CTL. Hakikat pendekatan Contextual Teaching
and Learning (CTL) meliputi: pengertian Contextual Teaching and Learning
(CTL), komponen dalam Contextual Teaching and Learning (CTL), pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL). Sementara itu, penerapan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL) dihubungkan dengan pembelajaran
apresiasi puisi kontemporer.
a. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)
Kontekstual merupakan salah satu model pembelajaran inovatif yang
berorientasi pada konstruktivistik. Menurut Nur dalam Trianto (2007: 13-14)
pembelajaran konstruktivistik ini berpegang pada prinsip bahwa guru tidak hanya
sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi guru juga memberikan
kemudahan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan ide-
ide mereka. Selain itu, guru memberikan kepada siswa berupa anak tangga yang
membawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi.
Menurut Johnson (2002) dalam Herman J. Waluyo (2006: 26-27) “The
CTL system is an educational process that aims to help student see meaning in the
academic material. They are studying by connecting academic subjects with the
context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and
the circumstances.
49
Sementara itu, Mundiarto (2004: 70) berpendapat bahwa pendekatan
kontekstual adalah pendekatan yang mengaitkan antara materi pembelajaran
dengan konteks kehidupan dan kebutuhan siswa. Hubungan yang padu ini akan
meningkatkan motivasi belajar siswa serta akan menjadikan proses belajar
mengajar akan lebih efisien dan efektif. Senada dengan hal tersebut, Sugiyanto
berpendapat bahwa proses pembelajaran CTL diharapkan berlangsung alamiah.
Siswa bekerja dan mengalami bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa.
Menurut beliau “strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil” (2008:
20).
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL))
merupakan konsep belajar yang membantu guru dalam mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa. Dalam hal ini guru
mendorong siswa untuk menghubungkan antara ilmu/ pengetahuan yang
dimilikinya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata. Dengan konsep seperti itu,
hasil pembelajaran diharapkan akan dapat lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung secara alamiah. Siswa bekerja dan mengalami bukan
sekadar mentransfer ilmu dari gurunya. Dalam hal ini strategi pembelajaran lebih
dipentingkan daripada hasil (Depdiknas, 2003: 1). Lebih lanjut Johnson (2008:
65) mendefinisikan CTL seperti berikut ini.
“CTL adalah sebuah sistem yang menyeluruh. CTL terdiri dari bagian-
bagian yang saling terhubung. Jika bagian-bagian ini terjalin satu sama
lain, maka akan dihasilkan pengaruh yang melebihi hasil yang diberikan
bagian-bagiannya secara terpisah. Setiap bagian CTL yang berbeda-beda
ini memberikan sumbangan dalam menolong siswa memahami tugas
sekolah. Secara bersama-sama, mereka membentuk suatu system yang
50
memungkinkan para siswa melihat makna di dalamnya dan mengingat
materi akademik”.
Pendekatan konstekstual berlatar belakang bahwa siswa belajar lebih
bermakna dengan melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan alamiah,
tidak hanya sekedar mengetahui, mengingat, dan memahami. Pembelajaran tidak
hanya berorientasi target penguasaan materi, yang akan gagal dalam membekali
siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya. Dengan demikian proses
pembelajaran lebih diutamakan daripada hasil belajar, sehingga guru dituntut
untuk merencanakan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip
membelajarkan memberdayakan siswa, bukan mengajar siswa.
Dalam hal ini pengetahuan bukan lagi seperangkat fakta, konsep, dan
aturan yang siap diterima siswa, melainkan harus dikontruksi (dibangun) sendiri
oleh siswa dengan fasilitasi dari guru. Siswa belajar dengan mengalami sendiri,
mengkontruksi pengetahuan, kemudian memberi makna pada pengetahuan itu.
Siswa harus tahu makna belajar dan menyadarinya, sehingga pengetahuan dan
ketrampilan yang diperolehnya dapat dipergunakan untuk bekal kehidupannya. Di
sinilah tugas guru untuk mengatur strategi pembelajaran dengan membantu
menghubungkan pengetahuan lama dengan yang baru dan memanfaatkannya.
Siswa menjadi subjek belajar sebagai pemain dan guru berperan sebagai pengatur
kegiatan pembelajaran (sutradara) dan fasilitator.
Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah pendekatan
yang dilakukan dengan cara guru memulai pembelajarani dengan mengaitkan
dunia nyata yaitu diawali dengan bercerita atau tanya-jawab lisan tentang kondisi
51
aktual dalam kehidupan siswa (daily life), kemudian diarahkan melalui modeling
agar siswa termotivasi, questioning agar siswa berpikir, constructivism agar siswa
membangun pengertian, inquiry agar siswa bisa menemukan konsep dengan
bimbingan guru, learning community agar siswa bisa berbagi pengetahuan dan
pengalaman serta terbiasa berkolaborasi, reflection agar siswa bisa mereview
kembali pengalaman belajarnya, serta authentic assessment agar penilaian yang
diberikan menjadi sangat objektif.
Menurut Atik Suryati pembelajaran dalam sebuah kelas dikatakan
menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen
tersebut di atas, ini tidak sulit kalau sudah terbiasa, yang penting ada kemauan
kuat untuk mengubah dan meningkatkan kualitas diri. Kurikulum berbasis
kompetensi menuntut pelaksanaan pembelajaran model CTL tersebut, karena
orientasinya pada proses sehingga siswa memiliki kompetensi, kemampuan tidak
sekedar mengetahui dan memahami. Jangan lupa bahwa kondisi emosional
individu akan mempengaruhi pemikiran dan perilaku siswa. Oleh karena itu, CTL
akan terlaksana dengan optimal jika guru mampu menciptakan suasana belajar
yang kondusif, nyaman dan menyenangkan. (http://www.sman1btg.sch.
id/index.php?option=comcontent&ta=view&id=39&Itemid=1).
Tugas guru dalam pembelajaran dengan pendekatan CTL adalah
membantu siswa mencapai tujuan. Oleh karena itu, guru perlu lebih banyak
menemukan strategi mengajar daripada memberikan informasi. Tugas guru dalam
CTL adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang mampu bekerja sama untuk
52
menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelompoknya. Sesuatu yang baru
datang dari menemukan sendiri bukan dari apa kata guru (Depdiknas, 2003: 2).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah sebuah sistem yang terdiri dari
bagian-bagian yang saling terhubung yang terjalin erat satu sama yang lain dan
membentuk satu kesatuan yang menyeluruh. CTL ini memberikan arahan pada
siswa dapat menemukan dan mengalaminya sendiri. Guru lebih banyak berfungsi
sebagai pendesain strategi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan,
sedangkan siswa sebagai subjek didik harus banyak terlibat secara langsung serta
mengalaminya dalam proses belajar.
b. Komponen dalam Contextual Teaching and Learning (CTL)
Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) mempunyai tujuh
komponen utama (Depdiknas, 2003: 10). Ketujuh komponen tersebut meliputi
“konstruktivisme (Constructivism), inquiri (inquiry), bertanya (Questioning),
masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi
(Reflection), dan penilaian autentik (Authentic Assesment)”. http://ipotes.
wordpress.com/2008/05/13/pendekatan-kontekstualatau-contextual-teaching-
and-learning-ctl/. Menurut Trianto (2007: 106) kelas dinamakan menggunakan
pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) apabila ketujuh komponen
itu dapat dilaksanakan semua dalam proses pembelajaran.
53
Tujuh komponen dalam Contextual Teaching and Learning (CTL)
1) Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir CTL yang menekankan
bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, mengingat pengetahuan tetapi
merupakan suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental
membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur pengetahuan yang
dimilikinya. Ritawati Mahyuddin (2002: 187) dalam Jurnal Penelitian
Kependidikan mengemukakan “guru dalam pembelajaran ini perlu menciptakan
kebebasan dan demokratisasi dalam belajar. Belajar bebas sesuai dengan karakter
masing-masing individu merupakan ciri penggunaan pendekatan
konstruktivisme”.
Senada dengan hal tersebut, Arends (1997: 285) berpendapat bahwa
“(constructivism) is a perspective of teaching and learning in which a learner
constructs meaning from experience and interaction with athers, and the
teacher’s role is to provide meaningful experiences for students.
Trianto (2007: 106) berpendapat bahwa pendekatan konstruktivisme pada
dasarnya menekankan pentingnya siswa membangun sendiri pengetahuan mereka
lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Proses belajar mengajar lebih
diwarnai pada student centered daripada teacher centered. Proses belajar
mengajar sebagian besar waktunya digunakan oleh siswa untuk melakukan
aktivitas.
Menurut Depdiknas konstruktivisme merupakan landasan berfikir
(filosofi). “Filosofi konstruktivisme: pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit
54
demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan
tidak sekonyong-konyong” (Depdiknas, 2003:11). Selanjutnya dalam pandangan
konstruktivis strategi memperoleh lebih diutamakan dibandingkan seberapa
banyak siswa memperoleh dan mengingat pengetahuan.
Sementara itu, Sugiyanto (2008: 21) berpendapat bahwa “konstruktivisme
adalah proses membangun dan menyusun pengetahuan baru dalam struktur
kognitif siswa berdasarkan pengalaman”. Menurut konstruktivisme pengetahuan
berasal dari luar akan tetapi pengalaman tersebut dikonstruksi dalam diri
seseorang. Oleh karena itu, pengalaman dibentuk dari dua faktor yaitu objek yang
menjadi pengamatan dan kemampuan serta subjek untuk menginterpretasi objek
tersebut.
Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, dapat disimpulkan
bahwa konstruktivisme merupakan salah satu komponen dalam Contextual
Teaching and Learning (CTL) yang dapat mendorong siswa dapat mengkonstruksi
pengetahuan yang diperolehnya melalui proses pengamatan dan pengalaman nyata
yang dibangun dalam pembelajaran.
2) Inkuiri (inquiry)
Menurut Arends (1997: 286) yang dimaksud dengan proses inquiri
“(inquiry process) is a thinking process or method associated with inquiry in
sciences or social sciences”. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa “Inquiry
Based Learning and Problem Based Learning is strategy of CTL which based of
student centered”.
55
Kata kunci dari strategi inkuiri adalah “siswa menemukan sendiri”
(Depdiknas, 2003: 12). Sementara itu, Gulo dalam Trianto (2007: 135)
berpendapat bahwa strategi inkuiri merupakan suatu rangkaian kegiatan belajar
yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan
menyelidiki secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Menemukan (inkuiri) merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran
berbasis kontekstual. Karena itu, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh
siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta tetapi hasil dari
menemukan sendiri. Kegiatan menemukan (inquiry) merupakan sebuah siklus
yang terdiri dari observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan
dugaan (hiphotesis), pengumpulan data (data gathering), penyimpulan
(conclusion).
Dalam pengertian inkuiri, prinsip ini mempunyai seperangkat siklus, yaitu:
observasi (observation), bertanya (questioning), mengajukan dugaan (hiphotesis),
mengumpulkan data (data gathering), dan menyimpulkan conclusion)
(Depdiknas, 2003: 12). Sebagai sebuah model pembelajaran, prinsip inkuiri sangat
tepat bagi penanaman konsep yang membutuhkan kerja eksplorasi dalam bentuk
induktif seperti bahasa Indonesia. Kesulitan muncul tatkala dihadapkan pada
penyampaian konsep beraroma deduktif.
Adapun langkah-langkah kegiatan dalam inkuiri adalah: 1) merumuskan
masalah; 2) mengamati atau melakukan observasi; 3) menganalisis dan
menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, table, dan karya lainnya;
56
dan 4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman
sekelas, guru, atau audien yang lain.
3) Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu dimulai dari bertanya.
Bertanya merupakan strategi utama pembelajaan berbasis kontekstual. Kegiatan
bertanya berguna untuk : 1) menggali informasi, 2) menggali pemahaman siswa,
3) membangkitkan respon kepada siswa, 4) mengetahui sejauh mana
keingintahuan siswa, 5) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, 6)
memfokuskan perhatian pada sesuatu yang dikehendaki guru, 7) membangkitkan
lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa untuk menyegarkan kembali pengetahuan
siswa.
Menurut Depdiknas (2003: 14) kegiatan bertanya dapat diterapkan dalam
semua aktivitas belajar. Bertanya (questioning) dapat diterapkan: antara siswa
dengan siswa, antara guru dengan siswa, antara siswa dengan guru, antara siswa
dengan orang lain yang didatangkan ke kelas, dan sebagainya. Dalam bentuk
formalnya bertanya merupakan salah satu kegiatan dalam mengawali,
menguatkan, dan menyimpulkan sebuah konsep. Kegiatan seperti ini sangatlah
menunjang setiap aktivitas belajar. Prinsip ini sangat berguna dalam setiap
aktivitas belajar.
57
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep masyarakat belajar menyarankan hasil pembelajaran diperoleh dari
hasil kerjasama dari orang lain. Hasil belajar diperolah dari ‘sharing’ antar teman,
antar kelompok, dan antar yang tahu ke yang belum tahu. Dalam hal ini , yang
menjadi mayarakat belajar adalah orang-orang yang berada di ruang ini, di kelas
ini, di sekitar sini, dan juga orang-orang yang ada di luar sana “semua adalah
anggota masyarakat belajar”.
Menurut Depdiknas (2003: 15) dalam kelas Contextual Teaching and
Learning (CTL) guru disarankan selalu melaksanakan pembelajaran dalam
kelompok-kelompok belajar”. Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok yang
anggotanya heterogen artinya dalam kelompok itu terdapat siswa yang
dikategorikan pandai, sedang, dan kurang pandai. Siswa yang pandai dapat
membantu siswa yang kurang pandai. Kelompok siswa dapat bervariasi
bentuknya, baik keanggotaan, jumlah, bahkan dapat melibatkan siswa di kelas
atasnya, atau guru melakukan kolaborasi dengan mendatangkan seorang ahli ke
dalam kelas. Kegiatan belajar seperti dapat terjadi apabila tidak ada pihak yang
mendominasi dalam berkomunikasi, tidak ada siswa yang malu bertanya, tidak
ada siswa yang mengganggap paling tahu, dan semua siswa mau saling mendengarkan.
Pembelajaran dengan cara seperti ini sangat membatu dalam proses
pembelajaran di kelas. Adapun praktik pembelajaran yang berdasarkan pada
Learning Community dapat berupa: 1) terbentuknya kelompok-kelompok kecil; 2)
terbentuknya kelompok-kelompok besar; 3) mendatangkan ahli ke dalam kelas; 4)
58
bekerja dengan kelas sederajat; 5) bekerja kelompok dengan kelas di atasnya; dan
6) bekerja dengan masyarakat.
5) Pemodelan (Modeling)
Pemodelan pada dasarnya membahasakan yang dipikirkan,
mendemonstrasi bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar dan
malakukan apa yang guru inginkan agar siswanya melakukan. Dalam
pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang
dengan melibatkan siswa dan juga mendatangkan dari luar.
Menurut Depdiknas (2003: 17) dalam pendekatan Contextual Teaching
and Learning (CTL) “guru bukan satu-satunya model”. Model dapat dirancang
dengan melibatkan siswa. Siswa yang pernah berhasil meraih juara membaca puisi
dapat dijadikan sebagai model dalam pembacaan puisi. Seorang siswa yang
berhasil meraih juara dalam pembuatan resensi buku, hasil karya tersebut dapat
dijadikan sebagai contoh dalam menulis resensi, begitu pula dengan siswa yang
lain yang pernah menjadi juara dalam mengikuti perlombaan. Tentu saja siswa
yang dijadikan sebagai model dalam pembelajaran disesuaikan dengan materi
yang dibahas dalam pembelajaran.
Hal tersebut senada dengan pendapat Sudrajad. Beliau mengatakan bahwa
pemodelan merupakan primadona dalam pendekatan CTL apabila dibandingkan
dengan komponen yang lain. Menurutnya guru bukan satu-satunya model,
melainkan sebagai fasilitator suatu model, bagaimana cara belajar baik yang
59
dilakukan oleh siswa maupun oleh guru sendiri dalam pembelajaran.
(http://rbaryans .wordpress.com).
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan cara berpikir atau respon tentang apa yang baru
dipelajari atau berpikir kebelakang tentang apa yang sudah dilakukan dimasa lalu.
Realisasinya dalam pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar siswa
melakukan refleksi yang berupa pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh
hari itu. Guru mengkoreksi dirinya, siswa dikoreksi oleh gurunya. Nilai hakiki
dari prinsip ini adalah semangat introspeksi untuk perbaikan pada kegiatan
pembelajaran berikutnya. Menurut Sudrajad refleksi ini merupakan satu-satunya
model belajar yang mengembangkan kegiatan berbau introspeksi
(http://rbaryans.wordpress.com).
Menurut Arends (1997: 288) yang dimaksud dengan refleksi “(reflection) is
careful and analytical thought teachers about what they are doing and effects of
their behavior on their instruction on student learning”.
Senada dengan hal tersebut Depdiknas (2003: 18) menyebutkan bahwa
refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke
belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa yang lalu. Refleksi
merupakan respon kejadian terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang
baru diterima. Respon tersebut akan dapat mengoreksi dirinya untuk perbaikan
yang akan datang.
60
Pada bagian akhir pembelajaran, guru menyisihkan waktu sejenak untuk
merefleksi kegiatan yang baru dilaksanakan. Adapun realisasi dalam refleksi
dapat berupa: 1) pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya hari itu;
2) catatan atau jurnal di buku siswa; 3) kesan dan saran siswa mengenai
pembelajaran hari itu; 4) diskusi; dan 5) hasil karya (Trianto: 2007: 113).
7) Penilaian Autentik (Authentic Assesment)
Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberi
gambaran mengenai perkembangan belajar siswa. Dalam pembelajaran berbasis
CTL, gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui guru agar bisa
memastikan bahwa siswa mengalami pembelajaran yang benar. Fokus penilaian
adalah pada penyelesaian tugas yang relevan dan kontekstual serta penilaian
dilakukan terhadap proses maupun hasil.
Istilah autentik berarti hasil kerja siswa dan sesuai dengan dunia nyata
(sesuai dengan kenyataannya). Menurut Arends (1997: 284) yang dimaksud
dengan penilaian autentik “(Authentic Assesment) is assessment procedures that
have students demonstrate their abilities the perform particular tasks in real life
situations”.
Senada dengan itu, Undang Rosidin (2008) berpendapat penilaian autentik
lebih difokuskan pada proses siswa bekerja dalam menyelesaikan tugas berupa
lembar tugas siswa (LTS). Saat seluruh siswa mengerjakan LTS secara
berkelompok, guru mengamati terhadap kinerja siswa per individu dengan
61
menggunakan pedoman lembar observasi (http://www.lampungpost.com/cetak/
berita.php?id=2008060414312030).
Sementara itu, Sudrajad mengemukakan penilaian autentik memandang
bahwa kemajuan belajar dinilai dari proses, bukan melulu hasil akhir dan bukan
dengan berbagai cara. Tes hanyalah salah satunya. Itulah hakikat penilaian
autentik. (http://rbaryans.wordpress.com).
Menurut Mundiarto (2004: 78) dalam Jurnal Ilmiah Pendidikan kemajuan
belajar siswa dalam pembelajaran dapat dilihat melalui penilaian autentik seperti
berikut ini. Pertama, adanya partisipasi siswa dalam kerja kelompok. Kedua,
adanya lembar pengumpulan data eksperimen. Ketiga, adanya laporan hasil
eksperimen secara tertulis. Keempat, cara siswa menyampaikan hasil eksperimen
secara lisan
Dalam kenyataannya selama ini bentuk tes hanya cenderung menekankan
pada pengujian produk bukan proses. Hal ini terjadi karena sistem dan aturan yang
dikembangkan menuntut untuk melakukan tes hanya produk saja. Tetapi, apakah
benar-benar efektif bahwa tes autentik sebagai perangkat tes yang dapat
dikembangkan dalam banyak mata pelajaran. Ini perlu kajian yang lebih
mendalam.
Terlalu dini jika pembuat kebijakan mengharuskan guru menyusun format
tes autentik untuk para siswanya tanpa didampingi oleh suatu ilustrasi/ contoh/
apa saja namanya tentang tes autentik. Perlu mendapat pertimbangan para
pengembang CTL bahwa ada penelitian tentang portofolio sebagai salah satu
62
bentuk tes autentik yang menyimpulkan bentuk tes ini kurang efektif untuk
beberapa mata pelajaran di Indonesia.
Untuk mengetahui apa yang telah diketahui oleh siswa dan apa yang dapat
dilakukannya, pengajar melakukan penilaian terhadap proses pembelajaran yang
tengah berlangsung. Karena salah satu tujuan pembelajaran kontekstual adalah
membangun pengetahuan dan keterampilan dengan cara yang bermakna melalui
pengikutsertaan siswa ke dalam kehidupan nyata. Bentuk penilaian yang
digunakanpun hendaknya didasarkan pada metode dan tujuan pembelajaran itu
sendiri, yaitu penilaian autentik. Pembelajaran kontekstual memerlukan penilaian
interdisiplin yang dapat mengukur pengetahuan dan ketrampilan lebih dalam dan
dengan cara yang bervariasi.
Pengajar dapat mengkombinasikan berbagai strategi penilaian
sebagaimana telah disebutkan di muka, yaitu: (1) penilaian kinerja, (2) observasi
sistematik, (3) portofolio, dan (4) jurnal sains (Depdiknas, 2003). Penggunaan
strategi penilaian tersebut hendaknya disesuaikan dengan tujuan dan jenis materi
pembelajaran.
Untuk memudahkan pengajar melihat apakah proses pembelajaran
kontekstual yang dilaksanakannya telah sesuai dengan kriteria strategi
pembelajaran kontekstual, pengajar dapat membuat model evaluasi yang antara
lain berisi indikator pelaksanaan pembelajaran berikut: (1) konsep baru disajikan
dalam situasi dan pengalaman nyata, (2) konsep dalam contoh-contoh dan latihan
disajikan dalam konteks yang digunakan oleh siswa, (3) konsep baru disajikan
berdasarkan pengalaman siswa sebelumnya, (4) latihan dan contoh berisi situasi
63
nyata dan situasi yang diyakini berisi pemecahan masalah yang bermanfaat bagi
siswa saat ini dan di masa mendatang, (5) contoh-contoh dapat mengembangkan
sikap positif siswa, (6) siswa mengumpulkan dan menganalisis data mereka
sendiri seperti ketika mereka dibimbing oleh pengajar dalam menemukan konsep,
(7) siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan dan menganalisis data untuk
pembelajaran dan pengembangan, (8) aktivitas pembelajaran mendorong siswa
menerapkan konsep dan informasi dalam konteks yang bermanfaat untuk masa
depan mereka, (9) siswa berpartisipasi dalam diskusi kelompok dengan cara saling
berkomunikasi dan menanggapi konsep dan keputusan, dan (10) siswa berlatih
meningkatkan keterampilan dalam berkomunikasi (Muhaiban, 2002).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa penilaian
autentik adalah penilaian yang berdasarkan atas kemajuan belajar anak melalui
proses siswa menyelesaiakan tugas-tugas yang disertai dengan pengamatan guru
terhadap kinerja siswa dengan menggunakan lembar pengamatan yang sudah
disiapkan.
c. Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
Dalam buku Penelitian Tindakan Kelas (Depdiknas, 2004: 22) disebutkan
bahwa belajar adalah perilaku yang relatif permanen dan merupakan hasil dari
pelatihan yang mendapat penguatan. Mengajar adalah membantu seseorang
(siswa) untuk belajar mengerjakan sesuatu, memberikan pengajaran, membimbing
pembelajaran, memberikan pengetahuan agar mengetahui atau memahami.
Landasan filosofis pembelajaran kontekstual adalah kontruktivisme, yaitu filosofi
64
belajar yang menekankan bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal tetapi
merekontruksikan atau membangun pengetahuan dan ketrampilan baru lewat
fakta-fakta atau proporsi yang mereka alami dalam kehidupannya .
Sementara itu, menurut Syah seperti yang dikutip oleh Sukestiyarno,
ketrampilan proses pembelajaran merupakan kemampuan melakukan pola-pola
tingkah laku proses aktif yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan
sesuai dengan keadaan strategi pembelajaran yang disusun untuk mencapai hasil
tertentu. Keterampilan bukan hanya meliputi gerakan motorik saja melainkan juga
pengejawantahan fungsi mental yang bersifat produk.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual menekankan pada keaktifan
siswa. Menurut Sunaryo, seperti yang dikutip Sukestiyarno keaktivan dalam
pembelajaran adalah suatu respon yang diberikan oleh seseorang akibat adanya
suatu aksi. Untuk mencapai aktivitas maksimal belajar siswa, dalam pembelajaran
harus ada aksi untuk berkomunikasi yang jelas antara guru dengan siswa,
sehingga kegiatan belajar oleh siswa dapat berdaya guna dalam mencapai tujuan
pembelajaran.
Aktivitas siswa dalam pembelajaran bisa positif maupun negatif. Aktivitas
siswa yang positif misalnya: mengajukan pendapat atau gagasan, mengerjakan
tugas atau soal, komunikasi dengan guru secara aktif dalam pembelajaran dan
komunikasi dengan sesama siswa sehingga dapat memecahkan suatu
permasalahan yang sedang dihadapi, sedangkan aktivitas siswa yang negatif,
misalnya mengganggu sesama siswa pada saat proses belajar mengajar di kelas,
65
melakukan kegiatan lain yang tidak sesuai dengan pelajaran yang sedang
diajarkan guru.
Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual memiliki karakteristik
sebagai berikut: 1) Pembelajaran dilaksanakan dalam konteks autentik, yaitu
pembelajaran yang diarahkan pada ketercapaian ketrampilan dalam konteks
kehidupan nyata atau pembelajaran yang dilakukan dalam lingkungan alamiah; 2)
Pembelajaran memberikan kesempatan pada siswa untuk mengerjakan tugas-tugas
yang bermakna; 3) Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman
yang bermakna kepada siswa; 4) Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja
kelompok, berdiskusi, saling mengoreksi antar teman; 5) Pembelajaran
memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerja sama dan
saling memahami antara satu dengan yang lain secara mendalam; 6) Pembelajaran
dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerja sama; dan
7) Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan. Secara
sederhana karakteristik pembelajaran kontekstual dapat dideskripsikan dengan
menderetkan sepuluh kata kunci yaitu: 1) kerja sama, 2) saling menunjang; 3)
menyenangkan, tidak membosankan; 4) belajar dengan gairah; 5) pembelajaran
terintegrasi; 6) menggunakan berbagai sumber; 7) siswa aktif; 8) sharing dengan
teman; 9) siswa kritis; 10) guru kreatif (muslikah)
Dalam melaksanakan pembelajaran berbasis kontekstual guru harus selalu
ingat bahwa hakikatnya belajar adalah real–word learning, yaitu belajar dari
kenyataan yang bisa diamati, dipraktekkan, dirasakan dan diuji coba. Belajar
adalah mengutamakan pengalaman nyata, bukan pengalaman yang hanya diangan-
66
angankan saja, yang tidak bisa dibuktikan secara empiris. Belajar adalah berpikir
tingkat tinggi, yaitu berpikir kritis yang mengedepankan siklus inquiry; kegiatan
belajar berpusat pada siswa, yaitu pembelajaran yang memberikan kondisi yang
memungkinkan siswa melakukan serangkaian kegiatan secara maksimal; kegiatan
pembelajaran memberikan kesempatan siswa untuk aktif, kritis dan kreatif.
Kegiatan pembelajaran menghasilkan pengetahuan bermakna dalam kehidupan
siswa. Kegiatan pembelajaran harus dekat dengan kehidupan nyata; kegiatan
pembelajaran harus bisa menunjukkan perubahan perilaku yang diinginkan.
Kegiatan pembelajaran diarahkan pada siswa praktek, bukan menghafal.
Pembelajaran bisa menciptakan siswa belajar bukan guru mengajar. Sasaran
pembelajaran adalah pendidikan bukan pengajaran. Pembelajaran diarahkan pada
pembentukan perilaku manusia yang berbudaya. Strategi pembelajaran diarahkan
pada pemecahan masalah sehingga siswa lebih berpikir kritis. Situasi
pembelajaran dikondisikan agar siswa lebih banyak bertindak, sedang guru hanya
mengarahkan. Hasil belajar diukur dengan berbagai cara, bukan hanya dengan tes.
Proses pembelajaran pada hakikatnya untuk mengembangkan dan aktivitas
dan kreativitas peserta didik melalui berbagai interaksi dan pengalaman belajar.
Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan peserta didik untuk
meningkatkan tujuan hidupnya secara optimal. Guru harus berperan dalam
pembelajaran dengan memberikan kemudahan belajar bagi peserta didik agar
mengembangkan potensinya secara optimal .
Kegiatan pembelajaran yang diterapkan guru berarti penyediaan
pengalaman bagi siswa, maka guru perlu memahami modus atau pola pengalaman
67
belajar siswa dan kemungkinan hasil belajar yang dicapainya. Guru harus mampu
memaknai pembelajaran serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang
pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik .
Adapun langkah-langkah penerapan CTL di dalam kelas menurut dapat
dilaksanakan seperti berikut ini. 1) Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan
belajar lebih bermakna apabila mereka bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan
mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; 2) Melaksanakan
sebanyak mungkin kegiatan inkuiri; 3) Mengembangkan sikap ingin tahu siswa
dengan cara bertanya; 4) Menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam
kelompok), 5) Menghadirkan model sebagai contoh; 6) Melakukan refleksi di
akhir petemuan; serta 7) Melakukan penilaian autentik.
Dalam pengajaran kontekstual terdapat lima bentuk belajar yang penting,
yaitu mengaitkan (relating), mengalami (experiencing), menerapkan (applying),
bekerjasama (cooperating) dan mentransfer (transferring). Adapun kelima bentuk
belajar tersebut dapat dilihat seperti berikut ini. 1) Mengaitkan adalah strategi
yang paling hebat dan merupakan inti konstruktivisme. Guru menggunakan
strategi ini ketika ia mengkaitkan konsep baru dengan sesuatu yang sudah dikenal
siswa. Jadi dengan demikian, mengaitkan apa yang sudah diketahui siswa dengan
informasi baru; 2) Mengalami merupakan inti belajar kontekstual dimana
mengaitkan berarti menghubungkan informasi baru dengan pengalaman maupun
pengetahuan sebelumnya. Belajar dapat terjadi lebih cepat ketika siswa dapat
memanipulasi peralatan dan bahan serta melakukan bentuk-bentuk penelitian yang
aktif; 3) Menerapkan yaitu guru menerapkan suatu konsep ketika siswa
68
melakukan kegiatan pemecahan masalah. Guru dapat memotivasi siswa dengan
memberikam latihan yang realistic dan relevan; 4) Kerjasama yaitu siswa yang
bekerja secara kelompok sering dapat mengatasi masalah yang kompleks dengan
sedikit bantuan jika dibandingkan belajar secara individu.; 5) Mentransfer yaitu
guru membuat bermacam-macam pengalaman belajar dengan focus pada
pemahaman bukan hapalan.
d. Penerapan Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam
Pembelajaran Apresiasi Puisi Kontemporer
1) Tujuan Pembelajaran Apresiasi Puisi
Pembelajaran sastra di sekolah bertujuan untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra. Pengetahuan
tentang sastra hanyalah sebagai penunjang dalam mengapresiasi karya sastra
(Depdiknas, 2003: 11). Oleh karena itu, pembelajaran karya sastra khususnya
puisi perlu diarahkan sampai pada tingkat apresiasi puisi.
Senada dengan hal tersebut, dalam panduan penyusunan Laporan Hasil
Belajar Peserta Didik (LHBP) SMA disebutkan bahwa aspek penilaian yang
dominan untuk mata pelajaran Bahasa Indonesia meliputi pengetahuan, praktik,
dan sikap. Aspek pengetahuan yang dinilai mencakup kemampuan menyimak,
membaca, dan kebahasaan (tatabahasa dan kosa kata) serta apresiasi sastra.
Sementara itu, Jakob Sumardjo (1986: 130-131) mengatakan bahwa
langkah-langkah apresiasi puisi meliputi tiga macam, yaitu: keterlibatan jiwa,
69
hubungan antara penyair dengan unsur-unsur bahasa, dan hubungan antara makna
puisi dengan kehidupan yang ada di masyarakat.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, dapat ditarik simpulan bahwa
tujuan pembelajaran apresiasi puisi di sekolah seperti tersebut di bawah ini.
a) Memberikan kesempatan pada siswa untuk dapat menikmati puisi yang
dibacanya. Untuk itu, siswa didorong mau terlibat secara langsung dalam puisi
yang dibaca/ didengar. Keterlibatan jiwa oleh siswa secara langsung dapat
dilakukan dengan ikut memikirkan, merasakan, dan membayangkan kembali
apa yang pernah terpikir, terasa, dan terbayangkan oleh penyair.
b) Memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir
dalam memahami isi puisi. Dalam hal ini siswa perlu menghubungkan antara
pikiran-pikiran penyair, perasan penyair, khayalan penyair dengan unsur-unsur
bahasa, seperti: citra dan lambang yang digunakan, irama dan bunyi yang
dipilih, tipografi yang digunakan, serta susunan baris puisi dengan judul puisi.
c) Memberikan kesempatan pada siswa untuk menghayati puisi. Puisi perlu
direnungkan, dihayati, diambil pesan/ amanat yang ingin disampaikan penyair,
serta menghubungkannya dengan kehidupan yang ada di masyarakat.
2) Pembelajaran Apresiasi Puisi
Kegiatan mengapresiasi adalah suatu kegiatan yang melibatkan berbagai
aspek. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya mengapresiasi puisi tidak
hanya sekedar membaca puisi, tetapi lebih jauh dari itu mengapresiasi berarti
membaca, memahami isinya, menghubungkan antara isi dan penyair, memberikan
70
penilaian baik buruknya suatu puisi serta menciptakan puisi. Dalam hal ini yang
terpenting adalah siswa benar-benar menggeluti puisi yang dibacanya serta
menjadikan karya sastra puisi itu seolah-olah sebagai hasil karyanya.
Sementara itu Rahmanto (1992: 43) berpendapat bahwa cara penyajian
yang perlu dipertimbangkan oleh setiap guru dalam mengajarkan sastra termasuk
puisi melalui beberapa tahapan. Menurut beliau tahapan-tahapan tersebut
meliputi: 1) pelacakan pendahuluan; 2) penentuan sikap praktis; 3) introduksi; 4)
penyajian; 5) diskusi; dan 6) pengukuhan (tes).
a) Pelacakan pendahuluan
Pada tahap pelacakan pendahuluan ini, guru perlu mempelajari terlebih
dahulu tentang puisi yang akan disampaikan. Pemahaman ini sangat penting untuk
dapat menentukan strategi yang cocok/ tepat, aspek-aspek yang perlu mendapat
perhatian.
Hal yang terpenting dalam tahap ini adalah menemukan cara yang tepat
dengan mempertimbangkan beberapa pertanyaan seperti berikut ini. 1) Siapakah
yang menjadi sasaran yang akan dituju oleh penyair? (pribadi tertentu atau
manusia pada umumnya); 2) Bagaimanakah penyair menyajikan puisi tersebut?
(dengan dialog atau monolog); dan 3) Apakah secara keseluruhan puisi tersebut
lebih bermakna tersirat atau hanya tersurat? Pertanyaan-pertanyaan tersebut perlu
diajukan untuk mengetahui pemahaman awal terhadap sebuah puisi.
b) Penentuan sikap praktis
Puisi yang akan disajikan hendaklah puisi yang tidak terlalu panjang. Hal
ini bertujuan agar penyampaian puisi dapat selesai sampai tuntas. Selain itu, guru
71
perlu mengetahui secara lebih awal informasi apa saja yang dapat disampaikan
kepada siswa dalam puisi tersebut. Keterangan awal yang diberikan hendaknya
jelas dan seperlunya saja. Guru juga perlu mempertimbangkan kapan teks puisi
perlu dibagikan.
c) Introduksi
Introduksi ini sangat tergantung dari kondisi guru selaku pengajar, siswa
selaku orang yang belajar, serta karakter puisi yang akan disajikan. Introduksi ini
perlu disampaikan di depan kelas dengan ekspresi yang tepat. Contoh: Selamat
pagi anak-anak, apa kabar? Kurang menggembirakan ya? Mengapa? Belajar itu
menyusahkan ya? O, tidak. Belajar teori memang memusingkan, tetapi pagi ini
Bapak akan membicarakan sebuah puisi. Kita akan bersama-sama mengapresiasi
sebuah puisi.
d) Penyajian
Pada dasarnya puisi merupakan sastra lisan. Pesan dan kesan akan
menyentuh gerak hati apabila puisi itu dibacakan. Siswa akan merasa lebih mudah
mengenal puisi yang dibacakan oleh guru daripada membacanya sendiri. Untuk
keperluan itulah pembacaan puisi yang dilakukan oleh sastrawan-sastrawan perlu
direkam untuk dapat dijadikan model oleh guru atau diputar di dalam kelas.
Guru sastra harus mempunyai keyakinan bahwa dirinya mampu
membacakan puisi di depan kelas dengan baik. Oleh karena itu, guru perlu
memiliki semacam koleksi pembacaan puisi yang baik agar dapat dijadikan
sebagai contoh dalam pembelajaran puisi di kelas. Guru dapat membacakan puisi
satu kali atau lebih agar siswa dapat mengerti maksud puisi.
72
e) Diskusi
Pada tahap ini, kegiatan diskusi dapat dilaksanakan dengan mengikuti
urutan diskusi seperti berikut ini. Pertama, kesan awal maksudnya siswa (dengan
bantuan guru) perlu mendiskusikan secara sekilas tentang puisi yang sedang
dibahas. Hal-hal yang didiskusikan meliputi: Siapakah tokoh yang berbicara
dalam puisi itu? Untuk siapakah pesan puisi itu diungkapkan? Bagaimanakah
situasinya? Apa yang dilakukan oleh si tokoh? Apa yang dipikirkannya?
Bagaimanakah perasaan tokoh itu (senang, cemas, takut, ingin tahu, dan
sebagainya).
Kedua, khusus (rinci) maksudnya siswa mendiskusikan secara lebih lanjut
tentang hal-hal yang bersifat khusus dan secara lebih rinci yang dihubungkan
dengan pemikiran secara global. Contoh: Bagaimanakah pengembangan ide dalam
puisi itu? Kapan dan bagaimanakah penyair mengubah pemikirannya? Dimanakah
letak klimaks puisi itu? Pada tahap ini guru hendaklah menyadari bahwa puisi
memang memiliki banyak tafsir. Oleh karena itu, apabila terjadi penyimpangan-
penyimpangan dari siswa boleh saja asal tetap/ masih relevan.
Ketiga, kesimpulan maksudnya siswa menyimpulkan hasil diskusi yang
telah dilakukan pada tahap sebelumnya.
f) Pengukuran (tes)
Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk menghubungkan puisi
yang sudah didiskusikan dengan berbagai aktivitas yang lain seperti menulis.
Guru dapat memberikan tugas kepada siswa untuk menulis puisi yang sesuai
dengan apa yang ada dalam diri siswa.
73
3) Pembelajaran Apresiasi Puisi dengan Pendekatan Contextual Teaching
and Learning (CTL)
Penerapan pembelajaran apresiasi puisi kontemporer dengan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL) perlu diupayakan adanya paradigma
baru yang ada pada diri guru dan siswa. Paradigma yang dimaksudkan antara lain:
1) perlu mengubah kebiasaan siswa dari yang pasif menjadi siswa yang aktif; 2)
perlu memotivasi siswa agar mau bertanya, memberikan tanggapan, serta berperan
secara aktif di dalam kelas; 3) guru benar-benar merencanakan strategi yang
matang serta mengelola waktu dengan sebaik-baiknya (misalnya pada saat
berdiskusi, menyampaikan hasil diskusi).
Penerapan pembelajaran apresiasi puisi kontemporer dengan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL) secara garis besar dapat dilaksanakan
dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1) Mengembangkan pemikiran bahwa
anak akan belajar lebih bermakna apabila mereka bekerja sendiri, menemukan
sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya; 2)
Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua kelompok; 3)
Mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan cara memberikan pertanyaan; 4)
Berusaha menciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok);
5) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran; 6) Melakukan refleksi pada
akhir pertemuan; dan 7) Melakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai
macam cara (Depdiknas, 2003: 10).
74
Berdasarkan pernyataan di atas, dapat ditarik simpulan bahwa
pembelajaran apresiasi puisi dengan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah berikut ini.
1. Guru membagikan puisi/ menampilkan puisi yang sudah disiapkan, kemudian
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada gambaran puisi
secara keseluruhan. Dalam hal ini siswa diajak berpikir, belajar, bekerja
sendiri, menemukan sendiri (inquiri), dan mengkonstruksi (konstruktivisme)
sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.
2. Kelas dibagi menjadi beberapa kelompok (setiap kelompok terdiri dari 4-6
siswa). Setiap kelompok diberi tugas mendiskusikan (masyarakat belajar) dan
menemukan puisi (isi/ makna, amanat, gaya bahasa). Dengan cara seperti ini
siswa melakukan kegiatan masyarakat belajar dan inkuiri dalam kelompok.
3. Sambil berkeliling, guru memberikan pertanyaan-pertanyaan (questioning)
untuk memancing keingintahuan siswa tentang puisi yang didiskusikannya.
4. Guru berusaha menciptakan masyarakat belajar dengan cara berdiskusi dalam
kelompok-kelompok
5. Guru menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran
6. Guru, siswa, dan peneliti melakukan refleksi pada akhir pertemuan
7. Guru melakukan penilaian autentik (penilaian proses, penilaian kinerja,
penilaian akhir).
75
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian ini mempunyai relevansi dengan penelitian yang berhubungan
dengan masalah puisi. Hal ini dapat dilihat dalam penelitian yang dilakukan oleh
Widada dalam tesisnya yang berjudul “Peningkatan Kemampuan Apresiasi Puisi
dengan Strategi Pembelajaran Cooperative Learning pada Siswa Kelas VII SMP
Negeri 2 Boyolali” pada tahun 2007. Pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa
kemampuan apresiasi puisi pada siswa dengan menerapkan strategi pembelajaran
cooperative learning terdapat peningkatan. Relevansi dengan penelitian yang
peneliti laksanakan yaitu sama-sama membahasan tentang kemampuan
mengapresiasi puisi. Perbedaannya dengan penelitian yang peneliti laksanakan
yaitu strategi pembelajaran yang digunakan.
Sejalan dengan itu, Sunardi dalam tesisnya yang berjudul “Pengaruh
Media Pembelajaran VCD dan Minat Membaca Karya Sastra terhadap
Kemampuan Apresiasi Puisi Siswa SMP Negeri 1 Sukoharjo” pada tahun 2007
menyimpulkan adanya perbedaan yang signifikan antara kemampuan apresiasi
puisi siswa yang diberi pelajaran menggunakan media pembelajaran VCD dengan
siswa yang diberi pelajaran menggunakan media pembelajaran audio. Relevansi
dengan penelitian yang peneliti laksanakan yaitu sama-sama membahas tentang
kemampuan mengapresiasi puisi. Perbedaannya dengan penelitian yang peneliti
laksanakan yaitu penggunaan media pembelajaran yang digunakan.
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Sumiyati. Dalam tesisnya yang
berjudul “Puisi-puisi Karya Penyair Periode 2000: Analisis Wacana dengan
Pendekatan Kritik Holistik” tahun 2006, disimpulkan bahwa ada kesinkronan
76
antara hasil analisis peneliti, tanggapan pembaca, dan pernyataan penyair sendiri
tentang pemahaman makna puisi karya penyair periode 2000. Relevansi dengan
penelitian yang peneliti laksanakan yaitu sama-sama membahasan tentang puisi.
Perbedaannya dengan penelitian yang peneliti laksanakan yaitu pendekatan
pembelajaran yang digunakan.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Hartono, Retno Winarni, Endang
Sri Markamah, dan Tri Budiarto tahun 2007 yang berjudul “Upaya Meningkatkan
Keterampilan Menulis pada Mahasiswa S1 PGSD FKIP UNS Surakarta dengan
Pendekatan Kontekstual” dalam Laporan Hasil Penelitian Hibah Pembelajaran PGSD
UNS menyimpulkan bahwa penggunaan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan
keterampilan menulis mahasiswa kelas B Program Studi S1 PGSD FKIP UNS Surakarta.
Penelitian ini relevan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu sama-sama
menggunakan pendekatan kontekstual. Perbedaannya dengan penelitian yang peneliti
laksanakan yaitu materi pembelajaran yang digunakan
C. Kerangka Berpikir
Sebagian besar siswa menganggap bahwa materi puisi kontemporer
merupakan materi sastra yang sulit untuk dipahami dan dipelajari. Hal itu
dikarenakan diksi dalam puisi kontemporer yang memiliki makna ganda/ banyak
penafsiran dan sulit dimengerti maksudnya. Selain itu, tipografi serta kata-kata
nonsense dalam puisi juga memerlukan kecermatan tersendiri untuk dapat
mengetahui isi puisi kontemporer.
Selain materi yang telah disebutkan di atas, cara guru mengajarkan puisi
menurut siswa sering kurang menarik dan membosankan. Di sisi lain, dari pihak
77
guru sendiri juga mengalami kesulitan dalam mengajarkan puisi kontemporer
kepada siswa dikarenakan beberapa hal, salah satunya adalah kemampuan guru
dalam menguasai materi serta cara pembelajaran yang kurang menarik. Hal ini
menyebabkan siswa kurang aktif dalam proses pembelajaran. Akibatnya,
kemampuan siswa dalam mengapresiasi puisi kontemporer juga rendah/ kurang.
Melihat kenyataan seperti itu, peneliti berusaha untuk mencari solusi atau
jalan keluar yang dapat digunakan untuk mengajarkan puisi kontemporer kepada
siswa di sekolah agar siswa menjadi tertarik untuk mengikuti dan bersemangat
dalam proses pembelajaran keterampilan berbahasa di dalam kelas. Selain itu
peneliti akan bekerja sama dengan guru bahasa Indonesia yang lain untuk mencari
cara yang tepat yang dapat digunakan dalam mengajarakan puisi kontemporer
kepada siswa di sekolah.
Cara atau solusi yang dipilih yaitu dengan melakukan pendekatan
Contextual Teaching and Learning (CTL). Cara ini dipilih dengan pertimbangan
bahwa kemampuan siswa dalam mengapresiasi puisi kontemporer akan
mengalami peningkatan apabila siswa mau terlibat secara aktif dalam kegiatan
belajar di kelas. Dalam CTL terdapat tujuh komponen yang perlu dilalui dalam
proses belajar mengajar. Ketujuh komponen tersebut meliputi “konstruktivisme
(Constructivism), inquiri (inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar
(Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan
penilaian autentik (Authentic Assesment)”.
Pemilihan pendekatan CTL ini dengan mempertimbangkan bahwa
pendekatan CTL merupakan pendekatan yang menyeluruh, bagian-bagian yang
78
ada saling terhubung. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya membantu siswa
untuk memahami isi serta mengapresiasi puisi kontemporer. Dengan pendekatan
CTL ini, anak mengkonstruksi, menemukan, bertanya, menciptakan masyarakat
belajar, berdiskusi, serta merefleksi diri. Dengan demikian anak secara langsung
diajak untuk mengamati, mencermati, menganalisis, mengumpulkan banyak
informasi dan pada akhirnya anak sendirilah yang akan memberikan penilaian dan
menarik kesimpulan tentang tema dan ciri puisi kontemporer yang dipelajarinya.
Selain itu, kegiatan pembelajaran di dalam kelas dengan penerapan
pendekatan CTL akan mewujudkan adanya hubungan timbal balik serta suasana
belajar yang mengutamakan kerja sama, saling menunjang, menyenangkan, tidak
membosankan, belajar dengan penuh gairah, pembelajaran terpadu, menggunakan
berbagai sarana dan berbagai sumber, siswa aktif, menciptakan siswa kritis dan
guru berkreatif. Pembelajaran dalam CTL berlangsung secara alamiah dalam
bentuk siswa bekerja dan mengalaminya sendiri, bukan sekedar mentransfer
pengetahuan dari gurunya. Siswa berusaha mengkonstruksikan sendiri
pengetahuannya, menemukan sendiri konsep-konsep puisi kontemporer yang
dihadapi. Siswa lebih banyak diberi kesempatan untuk mengapresiasi puisi
kontemporer dengan cara membaca puisi, memahami isi puisi, memberikan
penilaian terhadap puisi, serta membuat puisi kontemporer.
Pada akhir pembelajaran, siswa dapat merefleksi tehadap segala sesuatu
yang telah dipelajarinya. Hal ini bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam mengapresiasi puisi kontemporer.
79
Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar
di bawah ini.
Gambar 1. Alur Berpikir PembelaPen
Proses pembelajaranbelum direncanakan
secara maksimalmeko
Pemp
maksimal
berm
mekonte
Kemampuanngapresiasi puisi
jaran Apresiasi Puisi Kontempordekatan CTL
ntemporer rendah
belajaran denganendekatan CTL
Pembelajaranakna bagi siswa
Kemampuanngapresiasi puisimporer meningkat
Pembelajaranberpusat pada
guru
Proses Pembelajarandirencanakan secara
e
Pembelajaranberpusat pada
r dengan
siswa
80
D. Hipotesis Tindakan
Sesuai dengan permasalahan yang telah ada, dapat dirumuskan
hipotesis tindakan, yaitu penerapan pendekatan Contextual Teaching and
Learning (CTL) dapat meningkatkan kemampuan mengapresiasi puisi
kontemporer.