BAB II LANDASAN TEORI · 2013. 4. 3. · 11 BAB II LANDASAN TEORI A. Kekerasan (Violence) Pada saat...

24
11 BAB II LANDASAN TEORI A. Kekerasan (Violence) Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga siswa, dari tawuran antar sekolah, pacaran dengan kekerasan, dan sebagainya. Beberapa hal bisa dicermati dalam banyak kasus kekerasan yang mewarnai dunia pendidikan berkaitan dengan proses belajar sosial. Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999). Di dalam KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai Mansour sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang (dalam Fakih, 1996). Sementara menurut Galtung, terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa sehingga bisa diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk membawa (dalam Warsana, 1992). Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.

Transcript of BAB II LANDASAN TEORI · 2013. 4. 3. · 11 BAB II LANDASAN TEORI A. Kekerasan (Violence) Pada saat...

  • 11

    BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. Kekerasan (Violence)

    Pada saat ini, masalah kekerasan di negeri ini ternyata tidak hanya

    milik preman (yang selalu di identikan dengan kekerasan) tetapi juga siswa,

    dari tawuran antar sekolah, pacaran dengan kekerasan, dan sebagainya.

    Beberapa hal bisa dicermati dalam banyak kasus kekerasan yang mewarnai

    dunia pendidikan berkaitan dengan proses belajar sosial.

    Menurut Kamus Sosiologi, kekerasan adalah penggunaan kekuatan

    fisik secara paksa terhadap orang atau benda (Soekanto, 1999). Di dalam

    KUHP, pengertian kekerasan diatur dalam Pasal 89 KUHP yang menyatakan

    bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan

    menggunakan kekerasan. Secara bahasa, kekerasan (violence) dimaknai

    Mansour sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun

    integritas mental psikologis seseorang (dalam Fakih, 1996). Sementara

    menurut Galtung, terminologi kekerasan atau violence berasal dari bahasa

    latin vis vis yang berarti daya atau kekuatan dan latus yang berarti membawa

    sehingga bisa diartikan secara harfiah sebagai daya atau kekuatan untuk

    membawa (dalam Warsana, 1992).

    Manusia cenderung melakukan repetisi terhadap perilaku orang

    disekitarnya, terutama perilaku yang dipersepsikan dapat memberikan

    keuntungan bagi pelakunya atau sebagai pemecahan masalah yang efisien.

  • 12

    Pemberitaan di televisi dan media cetak tentang bagaimana aksi kekerasan dan

    akibatnya yang terjadi di berbagai tempat, mungkin saja menyebabkan

    terjadinya peniruan perilaku itu oleh para siswa. Observasi langsung para

    pelaku kekerasan terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh

    angkatan-angkatan sebelumnya di tahun-tahun yang lalu kemudian ditiru oleh

    siswa pada saat ini karena dianggap sebagai solusi efektif dalam memecahkan

    suatu masalah. Proses belajar seperti itu dimungkinkan karena pengaruh

    penguatan (reinforcement), baik berupa tiadanya punishment maupun reward

    (Setyawati, 2010).

    Jika siswa mengobservasi bahwa aksi kekerasan yang terjadi di

    lingkungan sekolahnya tersebut tidak mendapatkan hukuman (baik oleh

    kepala sekolah, guru maupun pihak berwajib), maka aksi yang sama akan

    dilakukan oleh siswa di masa sekarang dan akan datang. Tidak ada ketegasan

    dalam menerapkan aturan main yang seharusnya menjadi kesepakatan

    bersama menimbulkan kecenderungan untuk melakukan kegiatan yang

    melawan hukum dan dapat membentuk persepsi yang buruk terhadap

    penegakan hukum. Jika siswa percaya bahwa melakukan kekerasan tidak akan

    mendapatkan hukuman, maka siswa akan cenderung menggunakan kekerasan

    untuk memperjuangkan kepentingannya dan mengaplikasikannya di

    kehidupan sehari-hari dalam berinteraksi dengan orang lain sebagai suatu hal

    yang tidak lagi tabu. Terutama ketika berinteraksi dengan orang-orang

    terdekatnya seperti pacar atau keluarga (Setyawati, 2010).

  • 13

    B. Pacaran

    Pacaran dapat diartikan sebagai hubungan khusus dengan lawan jenis

    yang melukiskan sebuah pola ketertarikan antartubuh yang melibatkan

    segenap emosi, jiwa dan raga. Makna asli pacaran berdasarkan etimologinya

    adalah persiapan menikah. Menurut Kamus Bahasa Portugis-Brazil pacaran

    atau yang lebih dikenal dengan istilah “namoro” adalah suatu kegiatan yang

    menyangkut hubungan antar individu untuk mencoba saling menjajagi

    perasaan dan atau secara seksual antara dua orang, melalui pertukaran

    pengalaman dan hidup bersama guna saling lebih membina kecocokan dalam

    berumah tangga (Mustika, 2009).

    Menurut Duval dan Miller (1985), pacaran adalah hubungan antara

    laki-laki dan perempuan yang diwarnai keintiman. Keduanya terlibat dalam

    perasaan cinta dan saling mengakui pasangan sebagai pacar. Adapun

    komponen utama dari pacaran diidentifikasikan sebagai berikut:

    1. Bertemu di suatu tempat yang telah ditetapkan bersama untuk berkasih-

    kasihan

    2. Dilakukan dengan kekasih atau teman lain jenis yang tetap

    3. Perilaku menyenangkan yang diinginkan oleh pasangannya yang lain.

    Straus (2004) mendefinisikan pacaran sebagai hubungan khusus yang

    melibatkan pertemuan untuk berinteraksi sosial dan melakukan aktivitas

    bersama-sama dengan maksud yang eksplisit ataupun implisit untuk

    melanjutkan hubungan tersebut hingga salah satu pihak mengakhiri atau

    sampai beberapa hubungan lain yang lebih berkomitmen dipelihara (misalnya,

  • 14

    pertunangan, atau pernikahan). Norma-norma sosial untuk berpacaran dan

    perilaku berpacaran sebenarnya berbeda menurut banyak dimensi, yang

    meliputi perbedaan individu, ras/ etnis dan perbedaan kelompok sosial

    ekonomi, sejarah, dan konteks budaya. Di samping perbedaan-perbedaan ini,

    ada juga beberapa persamaan struktural yang melekat; sebagai contoh, sebuah

    hubungan khusus biasanya menghabiskan watu dan tenaga dari masing-

    masing pihak. Oleh karena itu, proses interaksi sosial yang khas tersebut

    kemungkinan akan berlaku terlepas dari apakah hubungan ini diatur oleh

    orang tua atau teman, oleh koran atau internet, atau salah satu pihak mulai

    mengembangkan hubungan tersebut.

    Pada umumnya, siswa yang berpacaran memiliki hubungan yang lebih

    intim dari berbagai segi, baik itu komitmen maupun fisik. Keintiman ini

    menyebabkan rawannya terjadi perilaku tidak sehat, mulai dari yang ringan

    hingga berat seperti seks bebas dan terjadinya dominasi berlebihan dari salah

    satu pihak yang berujung pada terjadinya kekerasan dalam pacaran.

    C. Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

    1. Definisi Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

    Pada kasus kekerasan dalam pacaran cinta telah membutakan

    batas humanisme. Meskipun korban mendapat perlakuan yang tak pantas

    dari pasangannya namun selalu saja bersedia memaafkan dan akhirnya

    kembali menjalani hubungan yang tak sehat ini. Biasanya pihak-pihak

    yang terlibat kekerasan dalam pacaran (KDP) kemudian mengalami

  • 15

    disonansi kognitif, mereka tak dapat lagi memakai pandangan yang normal

    dalam memaknai pacaran yang sehat. Antara korban dan pelaku telah

    timbul suatu ketergantungan yang tak sehat, mereka terlarut dalam

    kekerasan yang berselimutkan kasih sayang. Sebagian besar menganggap

    bahwa hal tersebut adalah bagian duka yang harus dilaluinya dalam suka

    duka sebuah hubungan sehingga persepsi yang timbul pada diri korban

    mengenai kekerasan dalam pacaran adalah bentuk kasih sayang yang

    berbeda (Arika, 2007).

    Menurut Abbot (1992) kekerasan dalam pacaran adalah segala

    bentuk tindakan yang mempunyai unsur kekerasan yang meliputi

    pemaksaan, tekanan, perusakan, dan pelecehan fisik maupun psikologis

    yang terjadi dalam hubungan pacaran. Hal ini dapat dilakukan oleh pria

    maupun wanita, bahkan pada pasangan sejenis seperti gay atau lesbi

    (Arika, 2007). Meski hubungan pacaran belum diikat pernikahan, ternyata

    banyak yang melakukan kekerasan terhadap pasangannya.

    Dari beberapa definisi kekerasan dalam pacaran (KDP) di atas

    dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam pacaran (KDP) adalah

    perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan

    termasuk penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan penelantaran

    termasuk juga ancaman yang menghasilkan kesengsaraan di dalam lingkup

    hubungan pacaran.

  • 16

    2. Karakteristik Korban Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

    Adapun karakteristik korban kekerasan dalam pacaran kekerasan

    dalam pacaran (KDP) adalah sebagai berikut : (Sugarman, and Hotaling,

    1989)

    a. Perempuan muda, berusia antara 12 hingga 18 tahun lebih sering

    menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh kenalan, teman, atau

    pacar dibandingkan perempuan yang lebih tua (Bachman, R; Saltzman,

    L.E, 1995).

    b. Perempuan yang memiliki teman (peer group) pernah menjadi korban

    kekerasan seksual lebih sering menjadi korban kekerasan dalam

    pacaran (Gwartney-Gibbs, P. A.; Stockard, J.; and Bohmer, S, 1987).

    c. Perempuan yang jarang pergi ke tempat ibadah (Makepeace, J. M,

    1987)

    d. Perempuan yang memiliki bekas pacar banyak (Gray, H.M.; Foshee,

    V, 1997).

    e. Perempuan yang sering berpacaran dan perempuan yang pernah

    mengalami kekerasan serupa sebelumnya (Agenton, S., 1983).

    3. Bentuk-Bentuk Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

    Jurnal Perempuan (2002) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk

    prilaku dari kekerasan dalam pacaran (KDP) yaitu : (Arieka, 2007)

    a. Kekerasan Emosional

    Bentuk kekerasan ini biasanya jarang disadari, karena

    memang wujudnya tidak kelihatan. Namun sebenarnya, kekerasan ini

  • 17

    justru akan menimbulkan perasaan tertekan, tidak bebas dan tidak

    nyaman. Bentuk kekerasan non fisik ini antara lain berupa :

    1)Pemberian julukan yang mengandung olok-olok, membuat seseorang

    jadi bahan tertawaan, 2) Cemburu yang berlebihan, 3) Membatasi

    pasangannya untuk melakukan kegiatan yang disukai, 4) Pemerasan

    (memaksa meminta uang, meminta barang dan sebagainya), 5)

    Mengisolasi/larangan berteman, 6) Larangan bersolek, 7)Larangan

    bersikap ramah pada orang lain.

    b. Kekerasan Fisik

    Bentuk kekerasan fisik ini antara lain berupa :

    1) Memukul, 2) Menampar, 3) Menendang, 4) Menjambak rambut

    Ini biasanya dilakukan karena pasangannya tidak mau menuruti

    kemauannya atau dianggap telah melakukan kesalahan.

    c. Kekerasan Seksual

    Bentuk kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan

    seksual, dan pelecehan seksual, yaitu :

    1) Rabaan, 2) Ciuman, 3) Sentuhan yang dilakukan tanpa persetujuan.

    Perbuatan tanpa persetujuan atau pemaksaan itu biasanya disertai

    ancaman akan ditinggalkan, akan menyengsarakan atau ancaman

    kekerasan fisik.

  • 18

    4. Dampak Perilaku Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

    Menurut Minna (2010) dampak perilaku kekerasan pacaran yang

    dilakukan secara emosional adalah sebagai berikut :

    a. Menurunnya rasa percaya diri

    Agresivitas dalam berkomunikasi seperti: membentak, memaki, tidak

    menghargai pendapat korban (disepelekan), melarang bergaul, tidak

    pernah diajak diskusi yang sehat, mengancam, maupun melecehkan

    akan membuat korban menjadi bahan olok-olokan atau tertawaan bagi

    teman-temannya maupun di tempat umum. Hal ini secara otomatis

    akan menurunkan rasa percaya diri pada diri korban. Korban merasa

    minder untuk bergaul terutama ketika memasuki lingkungan yang

    baru. Akibatnya, korban terhambat kehidupan sosialnya karena tidak

    mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan.

    b. Meningkatnya rasa cemas Rasa tertekan yang dialami korban secara terus menerus akan

    membuatnya memiliki rasa cemas yang berlebihan. Korban dihantui

    rasa takut melakukan kesalahan kepada pacarnya. Setiap kali

    melakukan aktivitas, korban merasa cemas dan takut hal itu tidak

    berkenan di hati pacarnya dan membuat pacarnya marah. Rasa cemas

    yang dialami korban secara terus menerus terbawa dalam kehidupan

    sehari-hari korban ketika ia bersosialisasi dengan lingkungannya.

    Korban menjadi sulit mempercayai orang lain sehingga dalam

    kehidupan sosialnya korban sulit bergaul dengan orang lain, lama

    kelamaan hal ini akan membuat korban terisolir dari lingkungannya.

    c. Menurunnya produktivitas kerja atau prestasi Terbatasnya ruang gerak aktivitas sosial korban akibat kekerasan

    dalam pacaran. Pengawasan yang dilakukan pelaku menjadikan korban

    terbatas ruang geraknya, termasuk ruang gerak sosialnya. Hal ini

    diperparah dengan beberapa perasaan tidak senang yang diungkapkan

    pelaku ketika mengetahui beberapa aktivitas pacarnya. Pelaku

    mungkin tidak melarangnya, tapi ungkapan tidak senangnya sudah

    cukup membuat korban menghentikan aktivitas rutin kegemarannya.

    d. Mengalami sakit fisik Koalisi Antikekerasan di Alabama menyebutkan bahwa satu dari tiga

    anak mengalami kekerasan fisik selama pacaran usia dini. Bentuknya

    seperti mendorong, memukul, mencekik, dan membunuh. Kejahatan

    tersebut sangat tertutup karena pihak korban ataupun pelaku tidak

    mengakui adanya masalah selama hubungan kencan. Kekerasan fisik

    ini dapat berefek psikis pula, seperti menurunnya konsentrasi, perasaan

    malu, dan sebagainya.

  • 19

    5. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)

    Penyebab kekerasan dalam pacaran (KDP) dalam Jurnal

    Perempuan tahun 2002, antara lain: (Arieka, 2007)

    a. Pola asuh dan lingkungan keluarga yang tidak menyenangkan Pola asuh orang tua adalah interaksi antara orang tua dengan

    anaknya selama mengadakan pengasuhan”. Interaksi ini dapat dilihat

    dari beberapa segi antara lain dari cara orang tua memberikan

    peraturan dan disiplin, hadiah dan hukuman, juga tanggapan terhadap

    keinginan anak. Oleh karena itu orang tua besar sekali andilnya dalam

    pembentukan dan perkembangan, baik fisik maupun psikis anak,

    terutama konsep diri anak mengingat konsep diri merupakan inti

    kepribadian.

    Ketika seorang anak memiliki pengalaman menjadi korban

    kekerasan pada masa kecil atau menyaksikan tindak kekerasan dalam

    keluarganya, sangat berpotensi untuk menjadi pelaku kekerasan juga

    ketika dia dewasa

    b. Peer group

    Minat untuk berkelompok menjadi bagian dari proses tumbuh

    kembang manusia. Yang dimaksud di sini bukan sekadar kelompok

    biasa, melainkan sebuah kelompok yang memiliki kekhasan orientasi,

    nilai-nilai, norma, dan kesepakatan yang secara khusus hanya berlaku

    dalam kelompok tersebut. Atau yang biasa disebut geng. Biasanya

    kelompok semacam ini memiliki usia sebaya atau bisa juga disebut

    peer group.

    Teman sebaya memang memiliki pengaruh yang besar dalam

    memberikan kontribusi semakin tingginya angka kekerasan antar

    pasangan. Berteman dengan teman yang sering terlibat kekerasan dapat

    meningkatkan resiko terlibat kekerasan dengan pasangannya.

    c. Media massa Media massa sedikit banyak juga memberikan kontribusi

    terhadap munculnya perilaku agresif terhadap pasangan. Tayangan

    kekerasan yang sering muncul dalam program siaran televisi maupun

    adegan sensual dalam film tertentu dapat memicu tindakan kekerasan

    terhadap pasangan dalam hubungan pacaran.

    Tingkat kekerasan pada remaja di Indonesia, entah itu tawuran,

    pemerasan antar teman, ataupun kekerasan terhadap pasangan rawan

    terjadi pada tingkat pelajar SMP ke atas. Banyaknya memori

    kekerasan yang tersimpan di otak, membuat para remaja ini bersifat

    sangat permisif bahkan terkadang sangat agresif terhadap kekerasan

    yang terjadi dilingkungannya.

  • 20

    d. Kepribadian Salah satu akar kekerasan adalah karena faktor kepribadian.

    Pada gangguan jiwa ada yang diistilahkan dengan gangguan

    kepribadian. Salah satunya adalah gangguan kepribadian dengan pola

    agresif. Orang yang mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini

    dicirikan dengan tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif

    bila keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang

    menyebabkannya menjadi frustrasi.

    Selain gangguan kepribadian, tingkah laku kekerasan juga

    terjadi karena adanya kepribadian status. Kepribadian status adalah

    kepribadian yang dimiliki oleh seseorang berkaitan dengan statusnya.

    Kepribadian status ini seringkali berbeda bahkan sangat berbeda

    dengan kepribadian asli dari orang yang bersangkutan. Peristiwa

    kekerasan yang menimpa para pasangan kekasih oleh kekasihnya

    sendiri adalah contoh dari kepribadian status tersebut. Pada kehidupan

    sehari-hari mungkin para remaja yang melakukan tindak kekerasan ini

    tidak pernah melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status

    sebagai pacar menyebabkannya berperilaku keras terhadap pacarnya.

    e. Peran jenis kelamin Pada banyak kasus, korban kekerasan dalam pacaran adalah

    perempuan. Hal ini terkait dengan aspek sosio budaya yang

    menanamkan peran jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan

    perempuan. Laki-laki dituntut untuk memiliki citra maskulin dan

    macho, sedangkan perempuan feminim dan lemah gemulai. Laki-laki

    juga dipandang wajar jika agresif, sedangkan perempuan diharapkan

    untuk mengekang agresifitasnya. Walaupun kesetaraan jender sudah

    marak dibicarakan, namun masih terdapat pandangan di masyarakat

    akan superioritas maskulin yang diidentikkan dengan laki-laki.

    Dari uraian di atas tampak bahwa faktor-faktor sosial seperti pola

    asuh dan lingkungan keluarga, peer group, media massa, dan pembagian

    peran menurut jenis kelamin adalah faktor dominan yang menyebabkan

    terjadinya kekerasan dalam pacaran disamping faktor yang lain yaitu

    kepribadian individu. Dan pada dasarnya kepribadian individu terbentuk

    dari lingkungan sosialnya. Dari penyebab-penyebab kekerasan dalam

    pacaran tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak fisik dan psikis

    yang mempengaruhi kehidupan sosial pelaku dan korban.

  • 21

    D. Konseling Kelompok Behavioristik

    1. Konsep Dasar Teori Behavioral

    Terapi perilaku adalah penerapan aneka ragam teknik dan

    prosedur yang berakar pada berbagai teori tentang belajar. Terapi ini

    menyertakan penerapan yang sistematis prinsip-prinsip belajar pada

    pengubahan perilaku ke arah cara-cara yang adaptif. Dalam konsep

    behavioral, perilaku manusia merupakan hasil belajar, sehingga dapat

    diubah dengan memanipulasi dan mengkreasi kondisi-kondisi belajar.

    Pada dasarnya, terapi perilaku diarahkan pada tujuan-tujuan memperoleh

    perilaku baru, penghapusan perilaku yang maladatif, serta memperkuat

    dan mempertahankan perilaku yang diinginkan.(Corey, 2007).

    Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh

    lingkungan sosial budayanya. Segenap perilaku manusia itu dipelajari.

    Para behaviorist mengemukakan teori belajar: bagaimana belajar terjadi

    sebagai hasil dari pengaruh lingkungan. Bandura memberikan 3 (tiga)

    konsep penting yang menjelaskan bagaimana teori belajar sosial

    mempengaruhi pembelajaran Miller (dalam Kusumadewi, 2009 ):

    a. Belajar melalui observasi atau pengamatan bukan semata-mata sekedar meniru perilaku orang lain. Seorang anak dapat membangun perilaku

    baru secara simbolis dengan mendengarkan orang lain atau hanya

    dengan membaca. Perilaku overt (yang dapat dilihat/diobservasi)

    bahkan tidak begitu diperlukan agar pembelajaran dapat terjadi.

    b. Meskipun reinforcement tidak diperlukan dalam pembelajaran, namun hal ini sangat membantu dalam hal pengaturan-diri pada anak. Mereka

    dapat mengamati perilaku apa saja yang sedang terjadi di sekitar

    mereka dan membedakannya menjadi reinforcement dan punishment,

    lalu menggunakan pengamatan ini sebagai sumber informasi dalam

    membantu mereka membuat batasan-batasan, mengevaluasi performa

  • 22

    mereka, membangun standar perilaku, menetapkan tujuan, kemudian

    memutuskan kapan menerapkan hasil pengamatan tersebut.

    c. Reciprocal Determinism menjelaskan model perubahan perilaku. Terdapat tiga sumber pengaruh dalam teori ini yang saling

    berinteraksi: individu, perilakunya, dan lingkungan. Perlu diingat

    bahwa lingkungan tidak selalu memegang peranan penting. Yang

    paling penting untuk diketahui, perilaku yang ditampilkan oleh

    seseorang juga membantu membentuk lingkungannya, yang kemudian

    memberikan timbal balik terhadap dirinya. Pada Gambar 2.1.

    Dijelaskan bagaimana hubungan antara Behavior (B) = perilaku,

    Person (P) = individu atau kognitif/persepsi, dan Environment (E) =

    lingkungan,yang saling berpengaruh (interlocking) dan bergantung

    satu denganlainnya (interdependent).

    Gambar 2.1

    Hubungan antara Behavior (B) = perilaku, Person (P) = individu atau

    kognitif/persepsi, dan Environment (E) = lingkungan

    Dalam masa perkembangan, remaja menjadi lebih terampil

    dalam pembelajaran melalui pengamatan (observational learning).

    Observational Learning atau yang biasa dikenal dengan modelling

    memiliki asumsi dasar, yaitu perilaku individu sebagian besar diperoleh

    dari hasil belajar melalui observasi atau hasil pengamatan perilaku orang

    lain (yang menjadi role model). Seperti halnya perilaku kekerasan dalam

    pacaran menurut Minna (2010) dapat terjadi karena dampak buruk dari

    lingkungan keluarga ataupun dari teman sebanyanya (peer group).

    Thoresen (Shertzer & Stone, 1980) sebagaimana dikutip oleh

    Surya (1988), memberi ciri-ciri pendekatan behavioral sebagai berikut:

    a Kebanyakan perilaku manusia dapat dipelajari dan karena itu dapat dirubah.

    E

    P

    B

  • 23

    b Perubahan-perubahan khusus terhadap lingkungan individual dapat membantu dalam merubah perilaku-perilaku yang relevan; prosedur-

    prosedur konseling berusaha membawa perubahan-perubahan yang

    relevan dalam perilaku klien dengan merubah lingkungan.

    c Prinsip-prinsip belajar sosial, seperti misalnya “reinforcement” dan “social modeling”, dapat digunakan untuk mengembangkan prosedur-

    prosedur konseling.

    d Keefektifan konseling dan hasil konseling dinilai dari perubahan-perubahan dalam perilaku-perilaku khusus klien diluar wawancara

    konseling.

    e Prosedur-prosedur konseling tidak statik, tetap, atau ditentukan sebelumnya, tetapi dapat secara khusus didisain untuk membantu klien

    dalam memecahkan masalah khusus.

    2. Tujuan Konseling Prilaku

    Loekmono (2003) menjelaskan tujuan konseling perilaku yang

    utama adalah menyediakan keadaan-keadaan dan lingkungan-lingkungan

    agar perilaku yang tidak sesuai dapat dihapuskan sesudah itu konseli akan

    diajar untuk menguasai perilaku baru yang sesuai untuk menggantikan

    perilaku yang tidak sesuai itu. Menurut konselor konseling perilaku masa

    kini, tujuan yang hendak dituju sebenarnya ditentukan oleh konseli sendiri

    di dalam suasana hubungan yang hangat. Peran konselor adalah membantu

    konseli memilih tujuan yang hendak dituju, agar sesuai untuk dirinya dan

    diterima oleh masyarakat.

    Cormier dan Cormier (dalam Loekmono, 2003) menjelaskan

    bahwa proses penentuan tujuan ini biasanya dilakukan bersama antara

    konselor dengan konseli menurut urutan berikut:

    a. Konselor menjelaskan sifat dan msksud tujuan kepada konseli. b. Konseli menentukan perubahan atau tujuan khusus yang diinginkan. c. Konseli dan konselor mengkaji dan meilai kesesuaian tujuan yang

    dinyatakan oleh konseli.

    d. Secara bersama mengidentifikasi resiko-resiko yang berhubungan dengan tujuan itu dan menilai resiko-resiko itu.

  • 24

    e. Secara bersama juga mendiskusikan kebaikan yang diperoleh dai tujuan itu.

    f. Berdasarkan informasi yang diperoleh mengenai tujuan yang dinyatakan oleh konseli, konselor dan konseli akan membuat

    keputusan sebagai berikut:

    1). Untuk meneruskan konseling atau, 2). Untuk mempertimbangkan kembali tujuan yang dinyatakan oleh

    konseli atau

    3). Untuk merujuk konseli pada konselor lain agar keinginan dan hasrat konseli tidak kosong dan konselor sendiri tidak merasa

    hampa dan kecewa.

    Dari uraian di atas bahwa dalam konseling perilaku yang

    dipentingkan adalah perubahan perilaku, karena bagi pendukung konseling

    perilaku, perubahan akan dengan sendirinya menghasilkan perubahan-

    perubahan bagian lain seperti emosi dan kognitif.

    3. Peranan Konselor dan Teknik Prosedur Konseling Perilaku

    Menurut Loekmono (2003) ada 4 (empat) peranan utama yang

    harus dimainkan konselor konseling perilaku yaitu :

    a Dalam konseling perilaku konselor sebagai pakar, guru yang aktif mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang saintifik yang dapat

    dipakai untuk mengobati masalah-masalah yang dihadapi konselinya.

    b Konselor dijadikan model, atau contoh teladan untuk konseli. c Konselor hendaknya terampil dalam semua ataupun dengan sebagian

    besar teknik yang dipakai dalam konseling perilaku yang beraneka

    ragam.

    d Konselor juga harus mempunyai orientasi yang baik ke arah penyelidikan dan statistik agar ia dapat melaksanakan penilaian dengan

    obyektif.

    Salah satu sumbangan terapi perilaku adalah pengembangan

    prosedur-prosedur terapeutik yang spesifik yang memiliki kemungkinan

    untuk diperbaiki melalui metode ilmiah. Dalam terapi perilaku, teknik-

    teknik spesifik yang beragam bisa digunakan secara sistematis dan hasil-

    hasilnya bisa dievaluasi. Teknik-teknik ini bisa digunakan jika saatnya

  • 25

    tepat untuk menggunakannya, dan banyak diantaranya yang bisa

    dimasukkan ke dalam praktek psikoterapi yang berlandaskan model-model

    lain.

    Menurut Loekmono (2003) ada tiga hal yang menarik mengenai

    teknik dan prosedur yang terdapat di dalam konseling perilaku:

    a) Konseling perilaku mempunyai banyak teknik dan strategi yang telah diusahakan dan diketahui efektif.

    b) Konseling perilaku mengutamakan perilaku yang nyata atau overt, maka dengan mudah dapat diketahui keberhasilannya atau kegagalan

    suatu teknik atau strategi tertentu.

    c) Konselor perilaku tidak membelenggu seorang konselor. Konselor dapat mengkombinasikan teknik-teknik dan strategi-strategi untuk

    menjadikan pendekatan elektrik.

    4. Strategi Yang Dipakai Dalam Konseling Kelompok Behavioral

    Konseling kelompok behavioralistik adalah suatu proses

    interpersonal yang dinamis yang memusatkan pada kesadaran berfikir dan

    tingkah laku, seta melibatkan pada fungsi-fungsi terapi yang

    dimungkinkan, serta berorientasi pada kenyataan-kenyataan,

    membersihkan jiwa, saling percaya mempercayai, pemeliharaan,

    pengertian, penerimaan dan bantuan (Loekmono, 2003).

    Menurut Loekmono (2003) terdapat beberapa strategi yang

    dipakai dalam konseling perilaku sebagai berikut: (1) Latihan Relaksasi.

    (2) Desentisasi Sistematik. (3) Konseling Impulsif. (4) Aversif. (5) Latihan

    Asertif. (6) Teknik-teknik kognitif. Dalam penelitian yang akan dilakukan,

    peneliti memfokuskan kepada teknik latihan asertif.

    Strategi yang digunakan dalam konseling kelompok behavioral

    dalam penelitian ini adalah dengan menerapkan latihan asertif. Latihan

  • 26

    asertif (assertive training) adalah salah satu teknik dalam tritmen ganguan

    perilaku dimana konseli diinstruksikan, diarahkan, dilatih, serta didukung

    untuk bersikap asertif dalam menghadapi situasi yang tidak nyaman atau

    kurang menguntungkan bagi dirinya. Menurut Corey (2007) perilaku

    asertif adalah ekspresi langsung, jujur, dan pada tempatnya dari pikiran,

    perasaan, kebutuhan, atau hak-hak seseorang tanpa kecemasan yang

    beralasan. Langsung artinya pernyataan tersebut dapat dinyatakan tanpa

    berbelit-belit dan dapat terfokus dengan benar. Jujur berarti pernyataan

    dan gerak-geriknya sesuai dengan apa yang diarahkannya. Sedangkan pada

    tempatnya berarti perilaku tersebut juga memperhitungkan hak-hak dan

    perasaan orang lain serta tidak melulu mementingkan dirinya sendiri.

    Sedangkan Alberti dan Emmons (2002) mendefinisikan

    asertivitas sebagai perilaku yang mempromosikan kesetaraan dalam

    hubungan manusia, yang memungkinkan kita untuk bertindak menurut

    kepentingan diri sendiri, untuk membela diri sendiri tanpa kecemasan yang

    tidak semestinya, untuk mengekspresikan perasaan dengan jujur dan

    nyaman, untuk menerapkan hak-hak pribadi kita tanpa menyangkali hak-

    hak orang lain. Menurut Sunardi (2010) Asertif dapat diartikan sebagai

    kemampuan untuk menyatakan diri dengan tulus, jujur, jelas, tegas,

    terbuka, sopan, spontan, apa adanya, dan tepat tentang keinginan, pikiran,

    perasaan dan emosi yang dialami, apakah hal tersebut yang dianggap

    menyenangkan ataupun mengganggu sesuai dengan hak-hak yang dimiliki

    dirinya tanpa merugikan, melukai, menyinggung, atau mengancam hak-

  • 27

    hak, kenyamanan, dan integritas perasaan orang lain. Perilaku asertif tidak

    dilatarbelakangi maksud-maksud tertentu, seperti untuk memanipulasi,

    memanfaatkan, memperdaya atau pun mencari keuntungan dari pihak lain.

    L’Abate & Milan (1985) menjelaskan ada 3 (tiga) tipe perilaku asertif

    yaitu : (Sunardi, 2010)

    a. Asertif untuk menolak (Refusal Assertiveness)

    Perilaku asertif dalam konteks ketidaksetujuan atau ketika seseorang

    berusaha untuk menghalangi atau mencampuri pencapaian tujuan

    orang lain. hal ini membutuhkan keterampilan sosial untuk menolak

    atau menghindari campur tangan orang lain.

    b. Asertif untuk memuji (Commendatory Assertiveness) Ekspresi-ekspresi dari perasaan positif seperti penghargaan, apresiasi

    dan menyukai dapat dilihat untuk memfasilitasi hubungan

    interpersonal yang baik. Kemampuan untuk memuji orang lain dalam

    cara yang hangat, tulus dan bersahabat dapat menjadi kemampuan

    yang memiliki kekuatan hebat dan berfungsi untuk membuat seseorang

    menjadi penguat dan partner interaksi yang menyenangkan.

    c. Asertif untuk meminta (Request Assertiveness) Perilaku asertif jenis ini terjadi ketika seseorang meminta orang lain

    untuk membantunya mencapai tujuan atau memenuhi kebutuhannya.

    Perilaku asertif ini sering dipadukan dengan penolakan, dalam situasi

    menolak permintaan orang lain dan meminta perubahan berperilaku

    meminta. Fungsi dari jenis perilaku asertif ini adalah agar menghindari

    terjadinya konflik yang sama dikemudian hari.

    Pengertian asertif seringkali disalah artikan dengan agresif,

    berikut Sunardi (2010) menjelaskan relevansi asertif dengan non-asertif

    dan agresif yaitu:

    a. Asertif Dalam kehidupan atau komunikasi sehari-hari, orang yang

    asertif akan lebih memilih pola interaksi “I’m okay, you’re okay” atau

    menggunakan pernyataan-pernyataan yang lebih mencermintan

    tangung jawab pribadi, seperti penggunaan kata-kata ”saya” dari pada

    ”mereka ” atau ”kamu”. Misalnya, ”saya sedih, marah, dan malu ketika

    saya tahu ...” dari pada ”kamu pembohong, tidak disiplin, dan tidak

    dapat dipercaya karena ....”. Dengan demikian, orang yang asertif akan

    memiliki kebebasan untuk meluapkan perasaan apa pun yang

  • 28

    dirasakan, dan berani mengambil tanggung jawab terhadap perasaan

    yang dialaminya dan menerima orang lain secara terbuka. Memiliki

    keberanian untuk tidak membiarkan orang lain mengambil manfaat

    dari perasaan yang dialaminya, tetapi orang lain pun memiliki

    kebebasan untuk mengungkap apa yang dirasakannya.

    b. Non asertif-pasif Dalam perilaku pasif, seseorang tidak tidak memberikan

    reaksi atau mengekspresikan perasaan negatif yang dialaminya secara

    jujur dan terbuka, tetapi dilakukan dengan menyimpan perasaannya

    tersebut, menarik diri, menerima, atau menggerutu. Perilaku non

    asertif-pasif hakekatnya adalah bentuk ketidakjujuran emosi,

    kegagalan diri atau kekalahan diri yang didasari oleh perasaan-

    perasaan takut, cemas, mengindari konflik, keininginan untuk mencari

    jalan keluar paling mudah, dan bahkan ketidakmampuan untuk

    memahami diri dan memenuhi kebutuhan untuk bersikap sabar. Pola

    komunikasi yang berkembang pada kelompok nonasertif-pasif adalah

    “I’m not okay, you’re okay”.

    c. Non asertif-agresif Sedangkan pada perilaku nonasertif-agresif, reaksi yang

    diberikan diekspresikan keluar dan dilakukan secara terbuka melalui

    tindakan aktif berupa pengancaman atau penyerangan, dilakukan

    secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk fisik atau

    verbal. Tindakan yang dilakukan secara langsung, misalnya marah-

    marah, memukul, menuntut, dominan, egois, menyerang, dan

    sebagainya. Sedangkan tindakan tidak langsung, misalnya dengan

    menyindir, menyebar gosip, dan sebagainya. Tindakan agresif ini

    biasanya sengaja dilakukan dengan maksud untuk melukai,

    melecehkan, menghina, mempermalukan, menyakiti, merendahkan dan

    bahkan menguasai pihak lain. Dalam pola komunikasi mereka

    cenderung menggunakan pola “You’re not okay, I’m okay”. Dengan

    kata lain, seseorang dikatakan bersikap non-asertif, jika ia gagal

    mengekspresikan perasaan, pikiran dan pandangan/keyakinannya

    secara tulus, jujur, sopan, dan apa adanya tanpa maksud untuk

    merendahkan hak-hak atau mengancam integritas perasaan orang lain,

    sehingga justru menimbulkan respons dari orang lain yang tidak

    dikehendaki atau negatif.

    Pada hakikatnya, tindakan asertif yang merupakan tindakan

    untuk mempertahankan hak-hak personal yang dimilikinya adalah

    upaya untuk mencapai kebebasan emosi, yaitu kemampuan untuk

    menguasai diri, bersikap bebas dan menyenangkan, merespon hal–hal

  • 29

    yang disukai atau tidak disukai secara tulus dan wajar, dan

    mengekspresikan cinta dan kasih sayang pada orang yang sangat

    berarti dalam hidupnya. Apakah seseorang menunjukkan perilaku

    asertif atau tidak, akan tampak sekali dalam respons-respons yang

    diberikan bagi bentuk pembelaan diri, ketika seseorang itu

    diperlakukan tidak adil oleh orang lain atau lingkungannya.

    Faktanya dalam kehidupan sosial sehari-hari, banyak orang

    enggan bersikap asertif dan memilih bersikap non asertif, seperti

    memendam perasaannya, berpura-pura, menahan perbedaan pendapat

    atau sebaliknya dengan bersikap agresif. Keengganan ini umumnya

    karena dilandasi oleh rasa takut dan khawatir mengecewakan orang

    lain, takut tidak diterima oleh kelompok sosialnya, takut dianggap

    tidak sopan, takut melukai perasaan atau menyakiti hati orang lain,

    takut dapat memutuskan tali hubungan persaudaraan atau

    persahabatan, dan sebagainya.

    Padahal, dengan membiarkan diri untuk bersikap non-asertif

    justru dapat mengancam hubungan yang ada karena salah satu pihak

    kemudian akan merasa dimanfaatkan oleh pihak lain, tidak

    menyelesaikan masalah-masalah emosional yang dihadapi,

    menurunkan harga diri, atau bahkan dapat menjadi “bom waktu” yang

    sewaktu-waktu dapat mengancam kelangsungan hubungan pribadi dan

    sosial dan kesehatan mental seseorang, yaitu resiko terhadap timbulnya

    kecemasan dan stres.

  • 30

    Alberti dan Emmons (2002) secara umum orang yang

    berperilaku asertif, akan memiliki karakteristik antara lain sebagai

    berikut:

    a Mengekspresikan diri sendiri, b Menghomati hak-hak orang lain, c Jujur, d Langsung dan tegas, e Menyetarakan, menguntungkan kedua pihak dalam sebuah hubungan

    baik dengan kata-kata (termasuk isi pesan) maupun tanpa kata-kata

    (termasuk gaya pesannya),

    f Positif sesekali (mengekspresikan kasih sayang, pujian, penghargaan) dan negatif sesekali (mengekspresikan batasan, amarah, kritik)

    g Layak bagi orang dan situasi masing – masing, bukan universal h Bertanggung jawab secara sosial i Belajar, bukan pembawaan lahiriah

    Karakteristik maupun ciri-ciri tersebut turut mendukung seseorang dalam

    menampilkan perilaku asertif, dan turut menggambarkan bahwa asertivitas

    tersebut bukan pembawaan lahiriah namun suatu keterampilan

    interpersonal yang dapat dipelajari, dikembangkan dan ditingkatkan

    (Alberti & Emmons, 2002).

    Pada setiap pelatihan asertivitas yang diprakasai oleh Smith

    (dalam Michel & Fursland, 2008), merumuskan mengenai “bill of

    assertive rights”; hak-hak asertivitas merupakan hak yang kita miliki

    sebagai manusia, yang terdiri sebagai berikut:

    a. Hak untuk menentukan sendiri dalam bertingkah laku, pemikiran, dan emosi serta bertanggung jawab terhadap keputusan yang diambil dan

    konsekuensi yang ditimbulkannya,

    b. Hak untuk berkata “tidak”, c. Hak untuk mempertahankan perilaku diri sendiri tanpa dengan

    menyatakan alasan atau penjelasan tertentu,

    d. Hak untuk memberikan pertimbangan atau penilaian, jika kita bertanggung jawab untuk untuk menemukan solusi dalam

    permasalahan orang lain,

  • 31

    e. Hak untuk merubah pemikiran diri sendiri, f. Hak untuk tidak setuju terhadap opini seseorang, g. Hak untuk membuat kesalahan dan bertanggung jawab terhadap

    kekeliruan yang telah terjadi,

    h. Hak untuk berkata “ saya tidak tahu”, i. Hak untuk membuat keputusan yang tidak masuk akal, j. Hak untuk berkata “ saya tidak mengerti”, k. Hak untuk berkata “saya tidak peduli”.

    Bagian yang terpenting dari hak-hak asertivitas bahwa setiap

    hak asertivitas yang dirumuskan tersebut berhubungan dengan rasa

    kebertanggung jawaban terhadap diri sendiri dan juga terhadap individu

    lain ketika sedang berinteraksi dengannya. Seringkali terdapat individu

    yang berpikir bahwa mereka sedang berlaku asertif, tetapi mereka

    mengkesampingkan hak-hak orang lain dan konsekuensi yang

    ditimbulkannya.

    Lebih lanjut dijelaskan oleh Rees & Graham (dalam Sunardi,

    2010), inti dari latihan asertif adalah penanaman kepercayaan bahwa

    asertif dapat dilatihkan dan dikembangkan, memilih kata-kata yang tepat

    untuk tujuan yang mereka inginkan, saling mendukung, pengulangan

    perilaku asertif dalam berbagai situasi, dan umpan balik bagi setiap peserta

    dari trainer maupun peserta. Menurut pendapat Corey (2007), manfaat

    latihan asertif yaitu membantu bagi orang-orang yang:

    a. Tidak mampu mengungkapkan kemarahan dan perasaan tersinggung. b. Menunjukkan kesopanan yang berlebihan dan selalu mendorong orang

    lain untuk mendahuluinya.

    c. Memiliki kesulitan untuk mengatakan “tidak.” d. Mengalami kesulitan untuk mengungkapkan afeksi dan respons-

    respons positif lainnya.

    e. Merasa tidak punya hak untuk memiliki perasaan-perasaan dan pikiran-pikiran sendiri.

  • 32

    Wahyuningsih, dkk (2010) juga menyatakan hal yang hampir

    sama bahwa teknik latihan asertif sangat relevan digunakan pada

    permasalahan yang menyangkut hubungan sosial. Misalnya dalam lingkup

    sekolah, dan organisasi, dan sebagainya. Dimana seringkali terjadi

    kebingungan pandangan mengenai asertif, agresi, dan sopan. Tujuan

    latihan asertif diantaranya:

    a Mengajarkan individu untuk menyatakan diri mereka dalam suatu cara sehingga memantulkan kepekaan kepada perasaan dan hak-hak orang

    lain.

    b Meningkatkan keterampilan behavioralnya sehingga mereka bisa menentukan pilihan apakah pada situasi tertentu perlu berperilaku

    seperti apa yang diinginkan atau tidak

    c Mengajarkan pada individu untuk mengungkapkan diri dengan cara sedemikian rupa sehingga terefleksi kepekaanya terhadap perasaan dan

    hak orang lain

    d Meningkatkan kemampuan individu untuk menyatakan dan mengekspresikan dirinya dengan enak dalam berbagai situasi sosial

    e Menghindari kesalah pahaman dari pihak lawan komunikasi

    Loekmono (2003) menjelaskan beberapa strategi yang harus

    dilakukan dalam memberikan pelatihan asertif, antara lain;

    a. Pengajaran – konselor menerangkan kepada konseli perilaku khusus yang diharapkannya;

    b. Respons – konselor memberikan respons positif juga negatif kepada konseli berkaitan dengan perilakunya sesudah diberi pengarahan;

    c. Percontohan – ada kalanya konselor menunjukan contoh perilaku kepada konseli. Ini dapat dilakukan secara hidup atau dengan memakai

    audio visual;

    d. Keasyikan – konseli akan berlatih melalui permainan peranan perilaku tertentu dan ia akan dikritik oleh konselor;

    e. Penguatan sosial – dari waktu ke waktu konseli akan diberi pujian; f. Tugas atau PR - konseli akan diberi tugas untuk dikerjakan

    Shaffer dan Galinsky (dalam Corey, 2007) menerangkan

    bagaimana kelompok-kelompok latihan asertif dibentuk dan berfungsi.

    Kelompok terdiri atas 8 – 10 anggota memiliki latar belakang sama, dan

  • 33

    session terapi berlangsung selama dua jam. Terapis bertindak sebagai

    penyelenggara dan pengarah permainan peran, pelatih, pemberi kekuatan,

    dan sebagai model peran. Dalam diskusi kelompok, terapis bertindak

    sebagai ahli, memberikan bimbingan dalam situasi-situasi bermain peran,

    dan memberikan umpan balik kepada para anggota. Lebih lanjut Shaffer

    dan Galinsky (dalam Corey, 2007) menjelaskan prosedur dasar latihan

    asertif dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

    a. Session pertama, yang dimulai dengan pengenalan diktatik tentang kecemasan sosial yang tidak realistis, pemusatan pada belajar

    menghapuskan responss-responss internal yang tidak efektif yang telah

    mengakibatkan kekurang tegasan dan pada belajar peran perilaku baru

    yang asertif.

    b. Session kedua, bisa memperkenalkan sejumlah latihan relaksasi, dan masing-masing anggota menerangkan perilaku yang spesifik dalam

    situasi-situasi intrapersonal yang dirasakan menjadi masalah. Para

    anggota kemudian membuat perjanjian untuk menjalankan perilaku

    menegaskan diri yang semula mereka hindari.

    c. Session ketiga para anggota menerangkan tentang perilaku menegaskan diri yang telah dicoba dijalankan oleh mereka dalam

    situasi-situasi kehidupan nyata. Mereka berusaha mengevaluasi dan

    jika mereka belum sepenuhnya berhasil, kelompok harus menjalankan

    permainan peran.

    d. Session keempat penambahan latihan relaksasi, pengulangan perjanjian untuk menjalankan perilaku menegaskan diri, yang diikuti oleh

    evaluasi.

    e. Session kelima bisa disesuaikan dengan kebutuhan anggota. Sejumlah kelompok sering berfokus pada permainan peran tambahan, evaluasi,

    dan latihan, sedangkan kelompok lainnya berfokus pada usaha

    mendiskusikan sikap-sikap dan perasaan yang telah membuat perilaku

    menegaskan diri sulit dijalankan.

  • 34

    E. Hipotesis Penelitian

    Sesuai dengan teori yang dikemukakan dalam konseling kelompok

    behavioral maka hipotesis yang dikemukan dalam penelitian ini adalah :

    Konseling kelompok behavioral mampu menurunkan perilaku kekerasan

    dalam pacaran (KDP) pada siswa-siswi Kelas XI SMA Bhinneka Karya 2

    Kabupaten Boyolali.