BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN … · faktor intern dan ekstern dalam belajar....
Transcript of BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN … · faktor intern dan ekstern dalam belajar....
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR,
DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka1. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra
a. Pengertian Apresiasi Sastra
Dari bahasa latin, istilah apresiasi berasal dari kata appreciation, yang
berarti mengindahkan atau menghargai. Menurut Hornby (Sayuti, 2002: 195)
apresiasi berasal dari kata appreciation yang artinya pemahaman dan
pengenalan yang tepat, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang
memberikan penilaian. Dalam arti yang lebih luas dikatakan Gove
(Aminuddin, 2013: 34) apresiasi mengandung makna pengenalan melalui
perasaan atau kepekaan batin serta pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-
nilai keindahan yang diungkapkan oleh penyair.
Sastra adalah suatu bentuk sistem tanda karya seni yang bermediakan
bahasa. Sastra hadir untuk dibaca dan dinikmati serta dimanfaatkan untuk
mengembangkan wawasan kehidupan. Sayuti (2002: 3) menyatakan bahwa
apresiasi sastra adalah upaya memahami karya sastra, yaitu upaya agar dapat
mengerti sebuah karya sastra yang dibaca, baik fiksi maupun puisi, mengerti
maknanya, baik yang internasional maupun yang aktual dan mengerti seluk
beluk strukturnya.
Sementara Waluyo (2002: 44) mendefinisikan apresiasi sastra sebagai
penghargaan atas karya sastra hasil pengenalan, memahaman, penafsiran,
penghayatan, penikmatan atas karya sastra tersebut yang didukung atas
kepekaan batin terhadap nilai yang terkandung dalam karya tersebut.Dari
beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra adalah
menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh sehingga timbul pengertian,
penghargaan, kepekaan, pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik
terhadap cipta sastra.
9
b. Pembelajaran Apresiasi Sastra
Pembelajaran apresiasi cerpen diarahkan pada proses perolehan dan
pengenalan apresiasi cerpen agar siswa mampu menikmati dan memanfaatkan
karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan
kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Hal
ini berdasarkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Bahasa Indonesia
SMA khususnya pembelajaran apresiasi sastra. Cerpen diharapkan dapat
memenuhi tuntutan kurikulum tersebut, serta siswa mampu mengapresiasi
cerpen tersebut melalui unsur-unsur intrinsiknya.
Memahami unsur intrinsik cerpen merupakan salah satu materi
pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Oleh karena itu, untuk mencapai
standar kompetensi yang diharapkan perlu disampaikan dengan metode dan
media yang tepat. Pada dasarnya, pembelajaran bukan sekadar kegiatan
transfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Dalam pembelajaran, konteks
diciptakan secara nyata sehingga siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan
tetapi pengalaman dan keterampilan.
Hasibuan (Gino, dkk., 2002: 32) memberikan batasan pengetahuan,
yaitu usaha sadar guru untuk membuat siswa belajar dengan mengaktifkan
faktor intern dan ekstern dalam belajar. Faktor intern yang dimaksud di sini
meliputi minat, perhatian, motivasi, dan lain-lain. Faktor ekstern yang
berpengaruh meliputi keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Menurut Usman (Mulyaningsih 2007: 32), pembelajaran merupakan
suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas
dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan tertentu. Menurut Brown (Mulyaningsih, 2007: 31)
pembelajaran juga dapat diartikan pemerolehan pengetahuan tentang suatu
hal atau keterampilan melalui belajar pengalaman. Mengacu pada uraian di
atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran pada hakikatnya adalah suatu
proses interaksi antara siswa dan lingkungannya. Interaksi tersebut difasilitasi
oleh guru yang menyebabkan terjadinya perubahan perilaku ke arah yang
lebih baik sehingga dapat mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan
10
sebelumnya. Perubahan yang terjadi karena proses pembelajaran. Interaksi
antarkomponen merupakan faktor penting dalam keberhasilan suatu proses
belajar mengajar. Oleh karena itu, kerjasama antara guru dan siswa sangat
diperlukan demi kelancaran kegiatan belajar mengajar. Selain itu, kesesuaian
metode dalam proses belajar mengajar juga sangat berpengaruh dalam
menentukan tercapai atau tidaknya tujuan belajar pembelajaran yang
dilakukan di dalam kelas.
Hakikat pembelajaran sastra haruslah memampukan siswa menemukan
hubungan antara pengalaman dengan cipta sastra yang bersangkutan (Gani,
1988: 14). Dalam hal ini siswa diharapkan mampu menemukan hubungan
antara pengalaman batinnya dengan esensi cipta sastra yang dipelajari. Oleh
karena itu, siswa belajar sastra harus dihadapkan pada karya sastra yang
bersangkutan agar siswa dapat berkomunikasi, bergaul langsung dengan
karya sastra tersebut. Kegiatan yang demikian itu dinamakan kegiatan
mengapresiasi sastra. Pendapat lain mengenai pembelajaran sastra
dikemukakan oleh Moody (Sriyono, 2007: 45) bahwa:
Sastra harus dapat memberikan sumbangan untuk pendidikan secara utuh hal tersebut sesuai dengan tujuan karya sastra kepada pembaca. Sumbangan tersebut dapat secara utuh jika mencangkup empat manfaat, yaitu untuk menunjang keterampilan berbahasa (skill), meningkatkan pengetahuan sosial budaya (knowledge), mengembangkan rasa karsa (development), membentuk watak (character).
Mengikutsertakan pembelajaran sastra dalam kurikulum berarti
membekali siswa untuk berlatih menyimak, membaca, berbicara, maupun
menulis. Dengan membaca maupun menyimak karya sastra dapat menambah
pengetahuan sosial budaya karena di dalam karya sastra mengandung ajaran
tentang berbagai ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan tugas pembelajaran
sastra utama, yaitu memperkenalkan anak didik dengan sederetan kemajuan
yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa merusak kebanggaan terhadap
kebudayaannya sendiri.
11
2. Hakikat Kemampuan Memahami Unsur Intrinsik Cerpen
a. Hakikat Kemampuan Memahami Cerpen
Berkaitan dengan pengertian cerpen, Syathariah (2011: 17) berpendapat
bahwa cerpen adalah karangan pendek yang berbentuk prosa. Dalam cerpen
dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh yang penuh pertikaian, peristiwa yang
mengharukan atau menyenangkan, dan mengandung kesan yang tidak mudah
dilupakan. Pendapat tersebut dapat dikaitkan dengan pendapat dari
Kurniawan dan Sutardi (2012: 59) bahwa cerpen adalah rangkaian peristiwa
yang terjalin menjadi satu yang di dalamnya terjadi konflik antartokoh atau
dalam diri tokoh itu sendiri dalam latar dan alur. Peristiwa dalam cerita
berwujud hubungan antartokoh, tempat, dan waktu yang membentuk satu
kesatuan.
Cerita pendek atau lebih populer dengan akronim cerpen merupakan
bagian dari jenis prosa. Sebuah cerita tidak dilihat panjang pendeknya
halaman atau pun kata-kata yang dikandungnya (Widjojoko dan Endang,
2007: 37). Cerpen adalah fiksi pendek yang selesai dibaca sekali duduk.
Sementara itu, Sumardjo (2001: 184) berpendapat bahwa cerita pendek hanya
memiliki satu arti, satu krisis atau satu efek untuk pembacaannya. Pengarang
cerpen hanya ingin mengemukakan suatu hal secara tajam. Pandangan lain
mengenai panjang suatu cerpen disampaikan oleh Suharianto (Setiawati,
2015) bahwa:
Cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikitnya tokoh yang terdapat dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra tersebut. Jadi sebuah cerita yang pendek belum tentu digolongkan ke dalam jenis cerita pendek.
Berdasarkan pendapat dari para tokoh tersebut, dapat disimpulkan
bahwa cerpen merupakan suatu cerita tentang kejadian kecil dalam
kehidupan. Dengan demikian, cerita pendek adalah suatu cerita yang
melukiskan suatu peristiwa atau kejadian apa saja yang menyangkut
persoalan jiwa atau kehidupan manusia.
12
Cerpen sebagai bagian dari prosa jelas berbeda dengan novel. Keduanya
mempunyai persamaan, yaitu dibangun oleh unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik yang sama. Nurgiyantoro (2002:12) menjelaskan karakteristik
yang menonjol pada cerpen sehingga tidak dapat disamakan dengan novel.
Cerpen merupakan cerita pendek yang dapat dibaca sekali duduk kira-kira
setengah hingga dua jam. Cerita yang disampaikan dalam cerpen biasanya
hanya menampilkan satu konflik saja, jadi tidak memerlukan waktu yang
lama untuk membacanya.
Cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas tidak sampai pada
detail-detai khusus yang kurang penting yang lebih bersifat memperpanjang
cerita (Nurgiyantoro, 2002: 13). Berbeda halnya dengan novel, penceritaan
dalam cerpen cenderung ringkas. Plot cerpen pada umumnya tunggal, hanya
terdiri dari satu urutan cerita yang diikuti sampai cerita berakhir. Karena
berplot tunggal, konflik yang akan dibangun dan klimaks biasanya bersifat
tunggal.
Cerpen biasanya hanya berisi satu tema, hal ini berkaitan dengan plot
yang juga tunggal dan pelaku yang terbatas (Nurgiyantoro, 2002: 15). Tokoh
dalam cerpen sangat terbatas. Cerpen tidak memerlukan rincian khusus
tentang keadaan latar, misalnya yang meyangkut keadaan tempat dan latar
sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan secara garis besar saja asal telah
mampu memberikan suasana tertentu. Dunia fiksi yang ditampilkan cerpen
hanya menyangkut salah satu sisi kecil pengalaman kehidupan saja. Dengan
demikian, cerpen merupakan cerita yang ringkas, pendek baik dari segi unsur
pembangunnya maupun dari segi penceritaanya. Hal-hal tersebutlah yang
membedakan cerpen dengan karya sastra yang lain. Cerita pendek dilihat dari
karakteristiknya memiliki keistimewaan yang lebih daripada karya yang lain.
Hal tersebut menjadikan cerpen masih dipilih sebagai salah satu karya sastra
yang wajib dipelajari di sekolah.
13
b. Unsur Intrinsik Cerpen
Berkaitan dengan unsur intrinsik cerpen, Nurgiyantoro (2002: 19)
berpendapat bahwa unsur intinsik adalah unsur yang secara langsung
membangun karya sastra itu sendiri (Nurgiyantoro 2002:19). Cerita pendek
terdiri atas unsur-unsur intrinsik, antara lain: alur, tokoh dan penokohan, latar,
sudut pandang, gaya bahasa, tema serta amanat. Berikut ini pembahasan
masing-masing unsur.
1) Alur atau Plot
Pengertian alur dalam cerpen atau karya fiksi pada umumnya
adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa,
sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita (Aminuddin, 2002: 83). Stanton (Nurgiyantoro, 2002: 113)
menyatakan bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun
tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang
satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.
Alur berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh tokoh
dalam cerita. Selanjutnya, Pujiharto (2012: 32) mengatakan bahwa setiap
karya pasti menyajikan cerita. Cerita itu terdiri atas peristiwa-peristiwa.
Peristiwa-peristiwa tersebut tidak semata-mata diajarkan begitu saja,
tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu dengan yang lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa alur atau plot yaitu
rangkaian peristiwa yang disusun pengarang melalui tahapan-tahapan
peristiwa sehingga terjalin suatu cerita yang masuk akal dan utuh yang
dihadirkan oleh pelaku cerita dengan memperhatikan hubungan sebab
akibat.
Perbedaan plot berdasarkan kriteria urutan waktu, yaitu plot lurus
atau progresif, plot sorot balik atau flash back, dan plot campuran
(Nurgiyantoro, 2002: 153). Sejalan dengan pendapat Nurgiyantoro,
Waluyo (2011: 13) berpendapat bahwa pada prinsipnya ada tiga jenis
plot, yaitu: (1) plot garis lurus atau progresif, atau konvensional, (2) plot
14
flashback atau sorot balik atau regresif, (3) plot campuran, yaitu
pemakaian alur garis lurus dan flashback sekaligus dalam cerita.
Pembagian plot menurut Nugiantoro (2003: 149) dibagi menjadi
lima bagian. Kelima tahapan itu yaitu: tahap situasi (situation),
pemunculan konflik (generating circumstances), peningkatan konflik
(rising action), klimaks (climax), dan penyelesaian (denouement).
Sejalan dengan pendapat tersebut, Suharianto (Setiawati, 2015) membagi
alur atau plot terdiri dari lima bagian, yaitu: pemaparan atau
pendahuluan, penggawatan, penanjakan, puncak atau klimaks, dan
peleraian. Dengan berdasar pada pendapat di atas, tahapan plot dapat
dibedakan menjadi lima tahapan, kelima tahapan itu adalah sebagai
berikut.
a) Tahap penyituasian
Tahap yang berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-
tokoh cerita. Tahapan ini merupakan tahap pembukaan cerita, dan
pemberian informasi awal sehingga akan mempermudah pembaca
mengetahui jalinan cerita sesudahnya.
b) Tahap pemunculan konflik
Masalah-masalah yang menyulut terjadinya konflik mulai
dimunculkan. Jadi, dalam tahap ini merupakan tahap awal
munculnya konflik. Konflik itu sendiri akan berkembang dan
dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap berikutnya.
c) Tahap peningkatan konflik
Konflik yang telah dimunculkan semakin berkembang. Peristiwa-
peristiwa dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan
menegangkan.
d) Klimaks
Puncak cerita atau penggawatan, puncak dari kejadian-kejadian dan
merupakan jawaban dari semua problem atau konflik yang tidak
mungkin dapat meningkat ataumenjadi lebih ruwet lagi.
15
e) Penyelesaian
Konflik yang telah mencapai klimaks diberi penyelesaian,
ketegangan dikendorkan, konflik-konflik diberi jalan keluar, cerita
diakhiri.Tahapan ini merupakan tahap akhir.
Plot dalam sebuah karya fiksi pada umumnya mengandung tahapan
di atas, namun tempatnya tidaklah harus linear, runtut, dan kronologis
seperti pemaparan di atas. Dalam pengkajian plot dalam suatu karya
fiksi, perincian mana yang yang diikuti semuanya terserah pada orang
yang bersangkutan.
2) Latar
Pengertian latar menurut Suharianto (Setiawati: 2015) adalah
tempat terjadinya dan waktu terjadinya cerita itu. Abrams (Nurgiantoro,
2002: 206) latar atau setting yang disebut juga sebagai landasan tumpu,
menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan
sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.
Latar dalam pengertian sederhana yaitu gambaran tentang tempat
dan waktu atau masa terjadinya cerita.Wardani (2009: 42) memberikan
pengertian setting secara sederhana dapat dinyatakan sebagai tempat,
waktu, dan suasana terjadinya peristiwa dalam karya sastra. Setting
meliputi penggambaran lokasi geografis, perlengkapan rumah, kesibukan
sehari-hari, hari tertentu, bulan, tahun, lingkungan agama, moral
intelektual, dan sosial para tokoh.
Sementara itu, Pradopo (2008:178) berpendapat bahwa latar sebuah
karya sastra dipengaruhi oleh adat istiadat, norma-norma serta pandangan
hidup suatu masyarakat. Latar tidak hanya terbatas oleh tempat, tetapi
juga waktu dan suasana atau keadaan masyarakat dalam cerita tersebut.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar tidak hanya berupa
sesuatu yang menyangkut fisik, tetapi juga yang menyangkut nonfisik
dan juga bukan bersifat materi.
16
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, unsur latar dapat dibedakan
menjadi tiga unsur pokok, yaitu: tempat, waktu, dan sosial-budaya. Latar
tempat mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan berupa tempat-
tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu
tanpa nama yang jelas (Nurgiyantoro, 2002: 314). Latar tempat
menunjukkan keterangan tempat peristiwa itu terjadi. Keterangan tempat
tersebut, misalnya: di rumah, di halaman, di kamar, dan lain-lain.
Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Menurut
Nurgiyantoro (2013: 318). Latar waktu dalam prosa dibedakan menjadi
dua, yaitu waktu cerita dan waktu pencerita.Waktu cerita adalah waktu
yang ada di dalam cerita atau lamanya cerita itu terjadi.Waktu pencerita
adalah waktu untuk menceritakan pencerita (Rokhmansyah, 2014: 38).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa latar waktu pada dasarnya
menunjukkan kapan terjadinya peristiwa itu terjadi. Keterangan waktu
tersebut misalnya: pagi hari, siang hari, malam hari, dan lain-lain.
Latar sosial menggambarkan kondisi atau situasi saat terjadinya
adegan atau konflik. Latar sosial mengarah pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam cerita (Rokhmansyah, 2014: 39). Situasi saat
terjadinya konflik dapat berupa suasana gembira, sedih, tragis, tegang,
dan lainnya. Sedangakan perilaku sosial masyarakat dapat berupa
kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara
berpikir, dan bersikap. Latar sosial juga berkaitan dengan status sosial
tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, dan atas.
Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
latar bukan sekedar menunjukkan tempat kejadian dan kapan terjadinya
saja, namun juga harus memuat latar sosial yang dijadikan latar belakang
penceritaan oleh pengarang yang keberadaannya harus integral dengan
unsur lainnya dalam membangun keutuhan makna cerita.
17
3) Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah salah satu unsur yang penting dalam suatu cerpen.
Sudjiman (Rokhmansyah, 2014: 34) tokoh adalah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berlaku andil dalam berbagai peristiwa
cerita.Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga
berwujud binatang atau benda mati. Selain itu, Brams (Nurgiyantoro,
2002: 165) berpendapat bahwa tokoh cerita merupakan orang-orang yang
ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama oleh pembaca kualitas
moral dan kecenderungan-kecenderungan tertentu seperti yang
diekspresikan dalam ucapan dan dilakukan dalam tindakan.
Tokoh cerita adalah pelaku yang dikisahkan perjalanan hidupnya
dalam cerita fiksi lewat alur, baik sebagai pelaku maupun penderita
berbagai peristiwa yang diceritakan (Nuryatin, 2010: 7). Berdasarkan
berbagai pendapat tersebut dikatakan bahwa tokoh cerita adalah individu
rekaan yang mempunyai watak dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang
mengalami peristiwa dalam cerita.
Penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh sebab ia
sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan,
dan bagaimana memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca
(Nurgiyantoro, 2002: 166). Selanjutnya, Jones (Nurgiyantoro, 2002: 165)
penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang
ditampilkan dalam sebuah cerita. Hal tersebut sesuai dengan pendapat
dari Sudjiman (Rokhmansyah, 2014: 34) watak adalah kualitas nalar dan
jiwa tokoh yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian watak
tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut penokohan.
Sejalan dengan hal tersebut, Suharianto (Setiawati, 2015)
penokohan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita, baik keadaan
lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa, pandangan hidupnya,
sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya, dan sebagainya. Berdasarkan
pengertian dari berbagai tokoh tersebut, dapat dikatakan bahwa
perwatakan adalah pelukisan karakteristik tokoh melalui sifat, sikap, dan
18
tingkah laku yang lebih menunjukkan pada kualitas pribadi sesuai
penafsiran pembaca. Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan
penciptaan citra tokoh.
Penggambaran perwatakan dalam prosa fiksi ata dua cara, yaitu
secara ekspositori dan secara dramatik (Nurgiyantoro, 2005: 194 ). Dapat
dikatakan bahwa penokohan dapat diwujudkan dengan cara langsung dan
tidak langsung. Secara langsung berarti pengarang secara langsung
mengungkapkan watak tokoh dalam ceritanya. Sedangkan secara tidak
langsung, pengarang hanya menampilkan pikiran-pikiran, ide-ide,
pandangan hidup, perbuatan, keadaan fisik, dan ucapan-ucapan dalam
sebuah cerita. Dengan demikian, penggambaran watak secara tidak
langsung pembacalah yang menyimpulkan watak tokoh dalam cerita
yang dibacakan.
4) Sudut Pandang
Sudut pandang adalah cara pandang pengarang menampilkan para
pelakudalam cerita yang dipaparkan (Aminuddin 2002:90). Selanjutnya,
Stanton (Rokhmansyah, 2014: 39) sudut pandang adalah posisi yang
menjadi pusat kesadaran tempat untuk memahami setiap peristiwa dalam
cerita. Sudut pandang yang digunakan oleh pengarang pada karya sastra
merupakan cara pandang untuk menceritakan cerita dalam karyanya.
Sudut pandang pada hakikatya merupakan strategi, teknik, dan siasat
yang secara sengaja dipilih pengarang untukmengemukakan gagasan
ceritanya.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat dari Abrams (Nurgiyantoro,
2002: 245). Sudut pandang (point of fiew), menyaran pada cara sebuah
cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang
dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh,
tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam
sebuah karya fiksi kepada pembaca. Menurut Nurgiyantoro (2005: 256)
perbedaan sudut pandang berdasarkan bentuk persona tokoh cerita, yaitu
persona ketiga: “Dia” terdiri dari “Dia” mahatau dan “Dia” terbatas
19
“Dia” sebagai pengamat; persona pertama “Aku” terdiri dari “Aku”
tokoh utama dan “Aku” tokoh sampingan: serta sudut pandang
campuran.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sudut
pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara
sengaja dipilih pengarang untuk menyampaikan gagasan dalam ceritanya.
Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik
pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan.
5) Gaya Bahasa
Gaya erat hubungannya dengan nada cerita. Gaya pemakaian
bahasa yang spesifik dari seorang pengarang. Stanton (Rokhmansyah,
2014: 39) menyatakan bahwa gaya adalah cara pengarang dalam
menggunakan bahasa. Selanjutnya, Aminuddin (2002:72) menyatakan
bahwa gaya adalah cara seorang pengarang mengungkapkan gagasannya
dalam wacana ilmiah dengan cara pengarang dalam kreasi cipta sastra,
dengan demikian akan menunjukkan adanya perbedaan meskipun dua
pengarang itu berangkat dari satu ide yang sama.
Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2002: 276) gaya bahasa adalah
cara ekspresi kebahasaan oleh pengarang. Gaya bahasa pada masing-
masing pengarang berbeda sehingga gaya bahasa masing-masing karya
sastra berbeda. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
gaya adalah keterampilan pengarang dalam mengolah dan memilih
bahasa secara tepat dan sesuai dengan watak pikiran dan perasaan. Setiap
pengarang mempunyai gaya yang berbeda-beda dalam mengungkapkan
hasil karyanya.
6) Tema
Tema menurut Aminuddin (2002: 91) adalah ide atau gagasan atas
permasalahan yang mendasari suatu cerita sehingga berperan juga
sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang
diciptakannya. Hartoko dan Rahmanto (Nurgiyantoro, 2002: 68)
mengatakan bahwa tema merupakan gagasan dasar di dalam teks sebagai
20
struktur semantik dan yang menyangkut pesamaan-persamaan atau
perbedaan-perbedaan.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tema berarti implikasi
yang perlu dari cerita keseluruhan, bukan bagian yang terpisah dari cerita
(Kenny dalam Pujiharto, 2012: 76). Selanjutnya, Suharianto (Setiawati,
2015).Tema adalah dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang
mendominasi suatu karya sastra. Ia terasa dan mewarnai karya sastra
tersebut dari halaman pertama hingga halaman terakhir
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud tema adalah ide atau gagasan atau permasalahan yang
mendasari suatu cerita yang merupakan titik tolak pengarang dalam
menyusun cerita atau karya sastra. Tema memiliki generalisasi yang
umum, lebih luas, dan abstrak. Seorang pakar menyatakan bahwa tema
hendaknya memenuhi kriteria yaitu:
Tema hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detai menonjol dalam sebuah cerita, interpretasi yang dilakukan hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling berkontradiksi, interpretasi yang dilakukan hendaknya tidak sepenuhnya tergantung bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit), dan interpretasi yang dilakukan hendaknya didasarkan pada ujaran yang secara jelas terdapat dalam cerita bersangkutan (Pujiharto, 2012: 78)
Langkah-langkah di atas cenderung mirip proses mekanis. Oleh
karena itu, harus segera diingat bahwa proses mencari tema sama saja
dengan bertanya pada diri sendiri tentang alasan pengarang menulis
cerita tersebut. Cara paling efektif untuk mengamati tema sebuah cerpen
adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di
dalamnya.
7) Amanat
Pengertian amanat menurut Aminuddin (2002: 22) adalah unsur
pendidikan, terutama pendidikan moral, yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca lewat karya sastra yang ditulisnya. Amanat
dapat disampaikan dengan cara tersirat dan tersurat. Tersirat artinya
21
pengarang tidak menyampaikan langsung melalui kalimat-kalimat, tetapi
melalui jalan nasib atau penghidupan pelakunya, sedangkan tersurat
berarti pengarang menyampaikan langsung pada pembaca melalui
kalimat, baik itu berbentuk keterangan pengarangnya atau dialog
pelakunya.
Sedangkan menurut Kosasih (2012: 41) amanat merupakan ajaran
moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada
pembaca melalui karya itu. Amanat tersirat di balik kata-kata yang
disusun, dan juga berada di balik tema yang diungkapkan, Selanjutnya,
Sudjiman (Rokhmansyah, 2014: 33) mengatakan bahwa amanat biasanya
memberikan manfaat dalam kehidupan secara praktis. Amanat dibuat
oleh pengarang dapat disebut juga pesan terselubung yang disampaikan
oleh pengarang
Sejalan dengan Sudjiman, Suharianto (Setiawati, 1982: 70)
menyatakan bahwa amanat adalah nilai-nilai yang ada dalam cerita karya
sastra selain berfungsi sebagai hiburan juga berfungsi sebagai sarana
pendidikan. Dengan kata lain, pengarang selain untuk menghibur
pembaca (penikmat) juga ingin mengajari pembaca. Ajaran yang ingin
disampaikan pengarang itu dinamakan amanat.
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan amanat adalah pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca lewat karya sastra yang ditulisnya.Seorang
pengarang sadar atau tidak sadar pasti menyampaikan amanat. Pembaca
diharapkan dapat teliti untuk mengungkapkan apa yang tersirat dari
cerpen tersebut.
c. Penilaian Pembelajaran Memahami Unsur Intrinsik Cerpen
Penilaian menurut Brown (Nurgiyantoro (2013: 9) adalah sebuah cara
pengukuran pengetahuan, kemampuan, dan kinerja seseorang dalam suatu
ranah yang diberikan. Selanjutnya, menurut Groundlund (Jihad dan Abdul
(2012: 54) penilaian sebagai proses sistematik pengumpulan, penganalisisan,
dan penafsiran informasi untuk menentukan sejauh mana siswa mencapai
22
tujuan. Dengan demikian, inti dari penilaian adalah proses memberikan atau
menentukan hasil belajar tertentu berdasarkan suatu kriteria tertentu.
Penilaian pembelajaran apresiasi sastra itu hendaknya mengandung tiga
komponen dasar, yaitu: kognisi, afeksi, dan keterampilan. Pada umumnya
dikenal bentuk penilaian prosedur, yang meliputi penilaian proses belajar dan
penilaian hasil belajar.
1) Penilaian Proses
Penilaian kualitas proses pembelajaran dimaksudkan untuk menilai
aktivitas siswa dalam pembelajaran memahami unsur intrinsik dari
cerpen yang disimak. Untuk melakukan penilaian, terlebih dahulu harus
ditentukan aspek-aspek yang dinilai. Aspek yang dinilai dalam penilian
proses pembelajaran, yaitu aspek keaktifan siswa saat mengikuti
pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen.
Keaktifan adalah kegiatan atau aktivitas atau segala sesuatu yang
dilakukan atau kegiatan yang terjadi baik fisik maupun nonfisik
(Mulyono, 2001: 26). Keaktifan siswa dalam proses pembelajaran tidak
hanya keterlibatan dalam bentuk fisik seperti duduk melingkar,
mengerjakan atau melakukan sesuatu, akan tetapi dapat juga dalam
bentuk proses analisis, analogi, komparasi, penghayatan, yang
kesemuanya merupakan keterlibatan siswa dalam hal praktis dan emosi
(Sugandi, 2007: 75). Dari pengertian-pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa siswa aktif adalah siswa yang terlibat secara terus
menerus baik secara fisik, psikis, intelektual, maupun emosional dalam
proses pembelajaran.
Penilaian keaktifan siswa terdiri dari enam indikator, yaitu:
1)mengajukan pertanyaan dan mengemukakan ide atau gagasan,
2)memperhatikan penjelasan guru, 3) menyimak pembacaan cerpen,
4)mencatat materi yang dijelaskan guru, 5) aktif saat berdiskusi dengan
teman satu kelompok, dan 6) aktif dalam melaksanakan tunamen.
23
Tabel 1. Tabel Penilaian Keaktifan Siswa
No Nama Indikator Nilai Ket
1 2 3 4 5 61.
2.
3.
Jumlah
Keterangan Indikator
1 : Mengajukan pertanyaan dan mengemukakan ide/gagasan
2. : Memperhatikan penjelasan guru
3 : Menyimak pembacaan cerpen
4 : Mencatat materi yang dijelaskan guru
5 : Aktif saat berdiskusi dengan teman satu kelompok
6 : Aktif dalam melaksanakan tunamen
Kriteria Penilaian
a) Mengajukan pertanyaan
5 = mengajukan pertanyaan dan mengemukakan ide/gagasan dengan
luas dan mendalam sesuai data
4 = mengajukan pertanyaan dengan tidak terlalu luas namun sesuai
data
3 = mengajukan pertanyaan dengan luas dan kurang sesuai dengan
data
2 = mengajukan pertanyaan secara singkat dan tidak sesuai data
1 = tidak mengajukan pertanyaan maupun mengemukakan ide/
gagasan
b) Memperhatikan penjelasan guru
5 = memperhatikan penjelasan guru dengan baik tanpa melakukan
kegiatan lain.
4 = memperhatikan penjelasan guru dengan kurang fokus
24
3 = memperhatikan penjelasan guru dengan melakukan kegiatan lain
1 = lebih banyak melakukan kegiatan lain daripada memperhatikan
penjelasan guru
1 = sama sekali tidak memperhatikan penjelasan guru
c) Menyimak pembacaan cerpen
5 = menyimak pembacaan cerpen dengan baik tanpa melakukan
kegiatan lain
4 = menyimak cerpen dengan kurang fokus
3 = menyimak penjelasan guru dengan melakukan kegiatan lain
2 = lebih banyak melakukan kegiatan lain daripada menyimak
cerpen
1 = sama sekali tidak menyimak cerpen
d) Mencatat materi yang dijelaskan guru
5 = mencatat seluruh materi yang diterangkan
4 = mencatat poin-poin penting dari seluruh materi
3 = mencatat setengah dari materi yang diterangkan
2 = mencatat kurang dari setengah materi
1 = tidak mencatat sama sekali
e) Aktif dalam diskusi kelompok
5 = ikut aktif berdiskusi dan ikut menyalurkan ide yang dimiliki serta
aktif dalam mencari unsur intrinsik cerpen
4 = ikut aktif berdiskusi dan ikut menyalurkan ide tetapi tidak aktif
dalam mencari unsur intrinsik cerpen
3 = ikut aktif berdiskusi tetapi tidak memberikan ide
2 = tidak terlalu aktif dalam diskusi tidak memberikan ide dan
mencari unsur intrinsik cerpen
1 = sama sekali tidak aktif dalam berdiskusi dan tidak turut
menyalurkan ide mapun membantu mencari unsur intrinsik
cerpen
f) Aktif dalam menjelaskan hasil diskusi kelompok
5 = sangat aktif dalam turnamen dan menjawab soal turnamen
25
dengan mandiri dan tepat
4 = aktif dalam turnamen, menjawab soal dengan mandiri namun
menjawab soal dengan kurang tepat
3 = aktif dalam turnamen tetapi tidak menjawab dengan mandiri dan
tepat
2 = aktif dalam turnamen tidak menjawab soal dengan mandiri dan
jawaban kurang tepat
1 = tidak aktif dalam turnamen tidak menjawab soal dengan mandiri
dan kurang tepat
Tiap aspek penilaian memiliki skor maksimal 5. Jumlah skor
maksimal enam aspek penilaian adalah (5x6=30). Nilai diperoleh dengan
cara:
Nilai rata-rata = ( )
Diadaptasi dari Suwandi (2008: 134-142)
Keterangan nilai rata-rata skor masing-masing aspek
0,01-1,49 : sangat kurang
1,50-2,49 : kurang
2,50-3,49 : sedang
3,50-4,49 : baik
4,50-5,00 : sangat baik
Keterangan jumlah skor
0-6 : sangat kurang
7-12 : kurang
13-18 : sedang
19-24 : baik
25-30 : sangat baik
26
2) Penilaian Hasil
Selaian penilian proses, penilian yang dilakukan dalam
pembelajaran memahami unsur intrinsik dari cerpen yang disimak yaitu
dengan penilaian hasil. Tes formatif dimaksudkan sebagai tes yang
digunakan untuk mengetahui sejauh mana siswa telah terbentuk setelah
mengikuti proses belajar mengajar. Menurut Purwanto (2009: 67-68) tes
formatif diujikan untuk mengetahui sejauh mana proses belajar mengajar
dalam satu program telah membentuk siswa dalam perilaku yang menjadi
tujuan pembelajaran program tersebut. Tes formatif dalam praktik
pembelajaran dikenal sebagai ulangan harian.
Tes formatif tersebut adalah sebagai alat penilaian dalam
memahami unsur intrinsik cerpen siswa. Tes formatif ini digunakan
untuk mengetahui sejauh mana siswa telah terbentuk setelah mengikuti
proses belajar mengajar mengenai materi mengidentifikasi unsur intrinsik
cerpen. Prosedur penilaiannya adalah ketika proses pembelajaran
menggunakan metode TGT (Teams Games Tornament) dengan media
audio sudah selesai dilaksanakan, siswa kembali ke tempat duduk
masing-masing dan guru memberikan tes objektif bentuk soal jawab
singkat berjumlah 10 soal untuk dikerjakan. Menurut Sudjana (2014: 44)
bentuk soal jawab singkat merupakan soal yang menghendaki jawaban
dalam bentuk kata, bilangan, kalimat, atau symbol, dan jawabannya
hanya dapat dinilai benar atau salah.
Penskoran bentuk jawab singkat, skor hanya dimungkinkan
menggunakan dua kategori, yaitu benar dan salah.Untuk setiap kata kunci
yang benar diberi skor satu (1) dan untuk kata kunci yang dijawan salah
atau tidak benar diberi skol nol (0).Sehingga penilaian dapat dirumuskan
sebagai berikut ini.
Nilai = × 100
27
Hasil tes kemampuam memahami unsur intrinsik cerpen
dinyatakan tuntas apabila siswa memperoleh nilai di atas KKM yaitu
sebesar 75. Sebaliknya, siswa yang belum mencapai nilai 75 tergolong
siswa yang belum mencapai KKM atau belum tuntas.
d. Pembelajaran Memahami Unsur Intrinsik dari Cerpen di SMA
Mengikutsertakan pembelajaran apresiasi sastra dalam kurikulum
berarti membekali siswa untuk berlatih menyimak, membaca, berbicara,
maupun menulis.Dengan membaca maupun menyimak karya sastra dapat
menambah pengetahuan sosial budaya karena didalam karya sastra
mengandung ajaran tentang berbagai ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan
tugas pembelajaran sastra utama, yaitu memperkenalkan anak didik dengan
sederetan kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa merusak
kebanggaan terhadap kebudayaannya sendiri.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Sekolah
Menengah Atas (SMA) kelas XI terdapat pembelajaran apresiasi sastra. Salah
satunya yaitu menganalisis unsur intrinik cerpen. Hal tersebut dapat dilihat
dalam Standar Kompetensi (SK) memahami pembacaan cerpen dan
Kompetensi Dasar (KD) mengidentifikasikan alur, penokohan, dan latar
dalam cerpen yang dibacakan.
Setidaknya ada beberapa fenomena yang dapat dijadikan alasan
mengapa cerpen mempunyai beberapa kekhususan yang menguntungkan
untuk dijadikan pengajaran sastra di sekolah sebagai berikut ini.
a. Pada umumnya cerpen memiliki bentuk yang relatif lebih singkat
dibandingkan dengan bentuk novel dan drama.
b. Sesuai dengan semangat zaman yang tidak memungkinkan lagi orang
untuk berlama-lama menikmati suatu cerita, cerpen cocok dengan minat
masyarakat dan juga para remaja karena cerpen dapat dibaca pada waktu
yang singkat bahkan di sela-sela kesibukan.
c. Cerpen memiliki keanekaragaman topik yang mencerminkan
keanekaragaman kehidupan.
28
d. Dalam proses belajar-mengajar cerpen lebih memungkinkan
pengembangan pikiran kritis dan kreatif (Sarwadi: 97).
Pembelajaran memahami unsur intrinsik dari cerpen yang disimak di
Sekolah Menengah Atas masih banyak mengalami problematika. Menurut
Toha (Sarumpaet, 2002: 16-18) permasalah tersebut yaitu, alokasi waktu
dalam pengajaran sastra sebaiknya ditambah agar para pengajar dan siswa
memiliki keleluasaan untuk mengembangkan pemahaman mengenai sastra
lebih lanjut. Selain itu, sekolah harus menyediakan buku-buku sastra yang
diperlukan di perpustakaan.
Guru tidak memberikan tes kemampuan menyimak cerpen kepada
siswa. Pelaksanaan pembelajaran bahasa di sekolah, khususnya bahasa
Indonesia, pembelajaran tes menyimak tampak kurang mendapat perhatian
sebagaimana halnya kompetensi berbahasa yang lain (Nurgiyantoro, 2013:
353). Belum tentu semua guru bahasa secara khusus membelajarkan dan
sekaligus menguji kemampuan menyimak peserta didik dalam satu periode
tertentu walaupun sebenarnya kemampuan itu sangat diperlukan untuk
mengetahui pelajaran sebagai mata pelajaran. Hal tersebut mungkin
disebabkan guru beranggapan bahasa lisan, atau karena menyusun dan
mempersiapkan tes kompetensi menyimak memang tidak semudah dan
sesederhana seperti halnya tes-tes kompetensi lain. Tegasnya, tes kempetensi
menyimak memerlukan persiapan dan sarana yang telah khusus.
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Setiawati tahun 2015 dengan judul “Peningkatan Motivasi dan
Kemampuan Mengidentifikasikan Unsur Intrinsik Cerpen dengan
Menggunakan Metode Pembelajaran Jigsaw pada Siswa Kelas VII SMP Al-
Irsyad Tawangmangu”. Dalam penelitian ini memiliki kesamaan dengan
penelitian yang dilakukan saat ini, yaitu dalam variabel mengidentifikasi
unsur intrinsik cerpen.Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan
kualitas proses dan hasil pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik
cerita pendekdengan metode Jigsaw pada siswa kelas VII SMP Al-Irsyad
TawangmanguKaranganyar. Hasil penelitian dapat disimpulkan terdapat
29
peningkatan kualitas proses pembelajaran, yang meliputi: (1) Peningkatan
kualitas tersebut ditandai dengan meningkatnya: jumlah siswa yang
menyimak pembacaan cerpen dan jumlah siswa yang aktif ketikadiskusi
kelompok serta (2) Peningkatan kualitas hasil pembelajaran ditandai dengan
meningkatnya ketuntasan belajar siswa. Kesimpulannya adalah metode
Jigsaw efektif diterapkan dalam pembelajaran mengidentifikasi unsur-unsur
intrinsik cerpen.
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Nafisah dengan judul “Peningkatan Pemahaman Unsur
Intrinsik pada Cerpen Melalui Metode Kooperatif Tipe Student Teams
Achievement Division (STAD)”. Penelitian tindakan kelas ini bertujuan untuk;
(1) mengetahui penerapan metode kooperatif tipe STAD dalam pemahaman
unsur intrinsik dalam cerpen, (2) mengetahui tanggapan siswa terhadap
penerapan metode kooperatif tipe STAD dalam pemahaman unsur intrinsik
dalam cerpen. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemahaman awal siswa
terhadap cerpen dan unsur intrinsiknya cukup baik, namun masih ada
sebagian siswa yang mendapat nilai di bawah KKM, namun setelah guru
menjelaskan materi unsur intrinsik cerpen melalui metode kooperatif tipe
STAD terdapat peningkatan rata-rata nilai siswa.
3. Hakikat Media Audio
a. Pengertian Media
Pengertian Media menurut Miarso (Indriana, 2011: 14) adalah segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat
merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa untuk belajar.
Hamalik (Syukur, 2005: 125) mendefinisikan media sebagai teknik yang
digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi antara guru dan
murid dalam proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah.
Sejalan dengan pendapat di atas, Musfiqon (2012: 28) berpendapat
bahwa media pembelajaran dapat didefinisikan sebagai alat bantu berupa
fisik maupun nonfisik yang sengaja digunakan sebagai perantara antara guru
dan siswa dalam memahami materi pembelajaran agar lebih efektif dan
30
efisien. Sehingga materi pembelajaran lebih cepat diterima siswa dengan
utuh dan menarik minat siswa untuk belajar lebih lanjut. Dari beberapa
pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah
sarana pendidikan yang dapat digunakan sebagai perantara dalam proses
pembelajaran untuk mempertinggi efektifitas dan efisiensi serta minat dan
motifasi dalam mencapai tujuan pembelajaran.
b. Fungsi Media Pembelajaran
Fungsi media pembelajaran menurut Sanaky (2009: 6) yaitu untuk:
menghadirkan obyek sebenarnya dan obyek yang langka; membuat duplikasi
dari obyek yang sebenarnya; mengatasi hambatan waktu, tempat, jumlah, dan
jarak; menyajikan ulang informasi secara konsisten, dan memberi susasana
belajar yang tidak tertekan, santai, dan menarik, sehingga dapat mencapai
tujuan pembelajaran. Selanjutnya, Agus (Syukur, 2005: 125) menyatakan
bahwa media pembelajaran berfungsi untuk: membantu memudahkan belajar
bagi siswa dan juga memudahkan proses pembelajaran bagi guru;
memberikan pengalaman lebih nyata; menarik perhatian siswa lebih besar;
semua indera siswa dapat diaktifkan; dan dapat membangkitkan dunia teori
dengan realitanya.
Sejalan dengan pendapat di atas, Hamalik (Arsyad, 2006: 15)
menyatakan bahwa:
Pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologi terhadap siswa. Penggunaan media pembelajaran pada tahap orientasi pembelajaran akan sangat membantu keaktifan proses pembelajaran dan penyampaian pesan dan isi pelajaran pada saat itu.
Berbagai paparan di atas menunjukkan bahwa fungsi media
pembelajaran cukup luas dan banyak. Namun, secara lebih rinci dan utuh
media pembelajaran berfungsi untuk:
1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran;
2) meningkatkan gairah belajar siswa;
3) meningkatkan minat dan motivasi belajar;
31
4) menjadikan siswa berinteraksi langsung dengan kenyataan;
5) mengefektifkan proses komunikasi dalam pembelajaran; dan
6) meningkatkan kualitas pembelajaran.
c. Pemilihan Media Pembelajaran
Pemilihan media pembelajaran menurut Munadi (2010: 187) harus
memenuhi kriteria-kriteria yang menjadi fokus pemilihan media, yaitu:
karakteristik siswa, tujuan belajar, sifat bahan ajar, pengadaan media, dan
sifat pemanfaatan media. Berdasar pada pendapat tersebut, yang menjadi
fokus pemilihan media dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Karakteristik Siswa
Karakteristik siswa adalah keseluruhan kemampuan yang ada
pada siswa sebagai hasil dari pembawaan dan pengalamannya sehingga
menentukan pola aktivitas siswa. Setidaknya ada tiga hal yang
berkaitan dengan karakteristik siswa, yaitu: karakteristik atau keadaan
yang berkenaan dengan kemampuan awal, latar belakang lingkungan
hidup dan status sosial, serta perbedaan-perbedaan kepribadian.
2) Tujuan Belajar
Tujuan belajar secara umum diusahakan untuk mencapai:perolehan
pengetahuan, penanaman konsep dan keterampilan, serta pembentukan
sikap. Baik hasil belajar dari segi kognitif, afektif, dan psikomotorik.
3) Sifat Bahan Ajar
Bahan ajar atau isi pelajaran memiliki keragaman dari sisi tugas
yang ingin dilakukan siswa.Tugas-tugas tersebut biasanya menuntut
adanya aktivitas yang dilakukan oleh para siswa.Setiap kategori
pembelajaran itu menuntut aktivitas atau perilaku yang berbeda-beda.
Dengan demilikan, akan mempengaruhi pemilihan media beserta teknik
pemanfaatannya.
4) Pengadaan Media
Dari segi pengadaannya media ada dua macan yaitu media jadi
dan media rancangan. Media jadi adalah media yang sudah menjadi
komoditi perdagangan. Sedangkan media rancangan adalah media yang
32
dirancang secara khusus untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran
tertentu.
5) Sifat Pemanfaatan Media
Dilihat dari sifat pemanfaatannya, media pembelajaran dibagi
menjai dua, yaitu media primer dan sekunder. Media primer yakni
media yang diperlukan atau hanya digunakan guru untuk membantu
siswa dalam proses pembelajaran. Sedangkan Media sekunder ini
bertujuan untuk memberikan pengayaan materi.Kedua macam media
tersebut, tentunya tidak cukup hanya memiliki kesesuaian dengan
tujuan, materi, dan karakteristik saja, tetapi juga memerlukan sejumlah
keahlian dan pengalaman profesionali guru.
d. Pengertian Media Audio
Berkaitan dengan pengertian media audio, Kustandi dan Sutjipto (2011:
57) menyatakan bahwa media audio berkaitan dengan indera pendengaran.
Pesan yang disampaikan dituangkan ke dalam lambang-lambang auditif, baik
verbal maupun nonverbal. Sejalan dengan pendapat Kustandi dan Sutjipto,
Asyhar (2012: 130) berpendapat bahwa media audio adalah media yang
penyampaian pesannya hanya dapat diterima oleh indera pendengaran. Pesan
atau informasi yang akan disampaikan dituangkan ke dalam lambang-
lambang auditif, berupa kata-kata, musik, dan efek suara (sound effect).
Dalam kaitannya audio sebagai media pembelajaran, maka suara-suara
atau bunyi direkam dengan menggunakan alat perekam suara, kemudian
diperdengarkan kembali kepada peserta didik dengan sebuah alat pemutar
(Daryanto, 2013: 38). Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa media audio adalah media penyajian pengajaran atau
pengetahuan melalui indera pendengaran melalui lambang-lambang auditif.
e. Kelebihan dan Kekurangan Media Audio
Kelebihan dari media audio menurut Anitah (2009: 40) yaitu tidak
begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran, dapat digunakan untuk
pembelajaran kelompok maupun individual, media audio dapat membawakan
pesan verbal yang lebih dramatis daripada media cetak, dengan sedikit
33
imaginasi guru program audio dapat bervariasi. Selanjutnya, Sanaky (2009:
93) berpendapat bahwa kelebihan dari media audio yaitu dapat memotivasi
suasana belajar karena dapat dilengkapi dengan unsur musik serta praktis
peggunaannya terutama sifatnya yang mudah digunakan dan dapat diputar
secara berulang-ulang sesuai dengan kenginan.
Kekurangan dari media audio menurut Anitah (2009: 40) yaitu: tanpa
ada penyaji yang bertatap muka langsung dengan pebelajar, beberapa diantara
pebelajar kurang memperhatikan penyajian itu, pengembangan program audio
yang baik akan banyak menyita waktu, serta tidak dapat diperoleh balikan
secara langsung karena hanya ada satu jalur penyampaian informasi.
Selanjutnya, menurut Sanaky (2009: 93) kekurangan dari media audio yaitu
kurang efektif untuk materi pelajaran yang mempunyai kadar kesukaran
tinggi, seperti: matematika, kimia, dan fisika serta audio kaset lebih mudah
menciptakan suasana jenuh dan membosankan.
Berdasarkan pendapat tersebut, kelebihan dari media audio yaitu dapat
memotivasi siswa karena dengan media audio dapat dilengkapi dengan unsur
musik dan efek-efek suara pendukung lain sehingga dapat menimbulkan
unsur-unsur dramatik. Dilihat dari segi guru, penggunaannya dapat diputar
secara berulang-ulang sesuai dengan keinginan sehingga media audio ini
tidak begitu mahal untuk kegiatan pembelajaran.
Disisi lain, penggunaan media audio yang diputar secara berulang-ulang
akan terdengar hal-hal yang sama. Hal ini dapat menimbulkan kebosanan.
Untuk penyajian media audio yang baik pula dibutuhkan waktu dan proses
yang cukup lama. Baik dari proses awal perekaman materi, proses perbaikan
dan pemberian efek-efek pendukung, dan sebagainya.
Sayangnya, penerapan media audio ini tidak cocok untuk mata
pelajaran dengan kadar kesukaran tinggi, misalnya kimia, fisika, matematika,
dan lain-lain. Media ini cocok untuk pembelajaran dengan unsur teks atau
wacana. Misalnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa
Jawa. Selain itu, penyajian dalam media audio hanya menggunakan satu jalur
34
informasi, sehingga beberapa diantara pebelajar kurang memperhatikan
penyajian itu.
f. Kriteria Media Pembelajaran Audio
Media audio memiliki karakteristik yang cocok digunakan dalam
pembelajaran materi yang memerlukan pendengaran dan daya imajinasi
(Asyhar, 2012: 135). Sejalan dengan pendapat tersebut, Daryanto (2013: 39)
menyatakan bahwa media ini sangat cocok untuk menyampaikan materi-
materi pembelajaran yang erat kaitannya dengan masalah cerita dan bunyi.
Selain media ini juga sangat cocok untuk mengembangkan daya imaginasi
peserta didik.
Berdasarkan hasil penelitian dari Zhang (2006) terdapat kriteria dari
media audio, yaitu sebagai berikut:
Similar to the management of graphics, audio files should be used only when they are in relation to the instruction content, complementing the information displayed, and supporting the presentation. In addition, when used, audio should offer students the flexibility to pause, repeat, and continue the sound recording at any time so that they can reflect on important information or go over unclear instruction.
Serupa dengan pengolahan grafis, file audio harus digunakan hanya
ketika berkaitan dengan konten intruksi, melengkapi informasi yang
ditampilkan, dan mendukung presentasi. Selain itu, ketika digunakan, audio
yang disajikan kepada siswa-siswa harus fleksibel untuk penggunaan jeda,
mengulang, dan melanjutkan rekaman suara setiap saat sehingga mereka
dapat merefleksikan informasi penting atau memecahkan intruksi yang tidak
jelas (Li Zhang, 2006).
Media audio hanya mengandalkan suara dalam penyampaian pesan atau
informasi, maka media audio harus dibuat semenarik mungkin.Pesan atau
informasi lebih jelas, dan dapat meningkatkan daya imajinasi siswa.
Keterampilan mengemas materi dalam media audio juga akan mampu
menciptakan suatu pembelajaran yang lebih efektif dibandingkan
pembelajaran konvensional yang hanya menggunakan media papan tulis.
35
Untuk membuat sebuah media audio yang menarik, perlu dipahami
bagian atau elemen-elemen yang dapat diolah dan dieksplorasi, yaitu unsur
kata, unsur musik, unsur suara (Asyhar, 2012: 135).Unsur kata merupakan
elemen utama dalam percakapan yang diucapkan oleh pemain secara teratur
dan bermakna. Beberapa hal yang dapat dieksplorasi untuk memperindah
sebuah media audio, penghayatan dalam pengucapan, intonasi, artikulasi,
pilihan kata(diksi), dan lain-lain.
Unsur musik dapat diarikan secara umum merupakan perpaduan bunyi
yang membuat arti dan nilai artistik yang tinggi. Musik dapat membuat
sebuah media lebih menarik. Dalam media audio, musik dapat dimanfaatkan
untuk beberapa hal, yaitu: menciptakan suasana, misalnya suasana sedih,
gembira, lucu, tegang, dan lain-lain; melatarbelakangi sebuah adegan;
memberi tekanan sebuah adegan, misalnya terkejut, marah, dan lain-lain;
danmenguatkan latar (setting), misalnya adegan dalam istana kerajaan
Mataram digunakan musik gending jawa.
Efek suara penting pada media audio karena media ini tidak dapat
dilihat hanya bisa didengar. Melalui efek suara dapat menimbulkan imajinasi
atau memberikan gambaran suasana atau latar, baik waktu, tempat, maupun
suatu kegiatan atau peristiwa yang terjadi. Ketiga unsur tersebut saling terkait
satu sama lain. Apabila ketiga unsur tersebut terpenuhi dengan baik maka
akan membentuk media audio yang baik.
g. Alat Penyimpanan Audio
Alat penyimpanan audio dapat dibagai menjadi beberapa jenis alat
penyimpanan file audio, yaitu: CD dan DVD, MP3, Audio digital (WAV),
serta Radio atau Radio Streaming (Daryanto, 2013: 41). CD (Compact Disc)
dan juga DVD (Digital Compact Disc) adalah sebuah media penyimpanan
file audio yang dibuat untuk merangkap sistem penyimpanannnya. Selain
ramping, keduanya memiliki kemampuan menyimpan file yang lebih banyak
jika dibandingkan dengan kaset.
MP3 merupakan salah satu bentuk atau format penyimpanan file audio
digital yang paling populer. MP3 adalah format audio file yang banyak
36
diminati oleh para pengguna Komputer karena disamping kualitas yang
dihasilkan baik, file ini juga tidak memerlukan tempat penyimpanan yang
besar (Asyhar, 2012: 145). Disamping ukuran filenya yang lebih kecil, MP3
juga memberikan kualitas suara yang lebih bagus jika dibandingkan dengan
CD audio. Alat untuk memutar MP3 adalah MP3 player.
Audio digital atau WAV(waveform) merupakan salah satu format
penyimpanan file audio yang dirancang dan dikembangkan oleh Microsoft
dan IBM. Perangkat yang diperlukan untuk memutar WAV adalah iPod
(Asyhar, 2012: 145). WAV merupakan dasar dari format audio file yang
memiliki kualitas suara terbaik, hanya saja file ini membutuhkan tempat
penyimpanan yang besar.
Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
(ICT) yang berbasis radio, disamping siaran radio yang sifatnya konvensional
seperti yang selama ini kita kenal dan dengarkan sehari-hari, kini berkembang
radio maupun audio streaming. Kalau dalam radio konvensional materi
pembelajaran dipancarkan melalui stasiun pemancar radio dan kita tangkap
dengan menggunakan pesawat radio, maka dalam radio streaming materi
pembelajaran ditembakkan ke dunia maya (internet).
Dari berbagai macam alat penyimpanan media audio tersebut, pemilihan
alat penyimpanan media audio juga harus dipilih dengan tepat. Pemilihan alat
penyimpanan media audio disesuaikan dengan file audio yang digunakan
berkaitan dengan ukuran audio maupun keefektifan dari alat penyimpanan
tersebut.
Penelitian lain yang relavan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Wicaksono pada tahun 2007 dengan judul “Peningkatan
Kualitas Pembelajaran Apresiasi Cerita Pendek dengan Media Audio
(Penelitian Tindakan Kelas Pada Siswa Kelas XI IA 2 SMA Batik 1 Surakarta
Tahun Ajaran 2006/2007)”. Terdapat variabel yang sama dalam penelitian ini
yaitu media audio. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa
terdapat peningkatan kualitas pembelajaran baik proses dan hasil
pembelajaran apresiasi cerita pendek dengan media audio. Peningkatan
37
kualitas proses terefleksi dari meningkatnya keaktifan siswa selama apersepsi
dan selama mengikuti pembelajaran serta meningkatnya keberanian siswa
untuk mengemukakan hasil pekerjaannya dalam forum diskusi. Peningkatan
kualitas hasil dapat dilihat dari nilai siswa dalam mengerjakan tugas dari guru
yang terus-menerus mengalami peningkatan pada tiap siklus.
4. Hakikat Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe TGT (Teams Game
Tournament )
a. Pengertian Pembelajaran Kooperatif
Berkaitan dengan pengertian pembelajaran kooperatif, Sural dan Hans
(Isjoni, 2007: 12) menyakatan bahwa pembelajaran kooperatif (Cooperative
learning) merupakan suatu cara pendekatan atau serangkaian strategi yang
khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada peserta didik agar bekerja
sama selama proses pembelajaran.Selain itu, Slavin (Isjoni, 2007: 12).
Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa
belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang
anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen.
Menurut hasil penelitian dari Wichadee dan Wiwad (2012) bahwa
model pembelajaran Cooperative Learning adalah, sebagai berikut:
Cooperation is not assigning a job to a group of students where one student does all the work and the others put their names on the paper. It is not having students sit side by side at the same table to talk with each other as they do their individual assignments as well. It is not having students do a task individually with instructions that the ones who finish first are to help the slower students. On the contrary, cooperative learning is a teaching strategy in which small teams, each with students of different levels of ability, use a variety of learning activities to improve their understanding of asubject. Each member of a team is responsible not only for learning what is taught but also for helping teammates learn, thus creating an atmosphere of achievement.
Pembelajaran kooperatif adalah strategi pengajaran di mana tim kecil,
masing-masing dengan siswa dari berbagai tingkat kemampuan,
menggunakan berbagai aktivitas belajar untuk meningkatkan pemahaman
mereka tentang sebuah subyek. Setiap anggota tim bertanggung jawab tidak
38
hanya untuk belajar apa yang diajarkan tetapi juga untuk membantu rekan
belajar, sehingga menciptakan suasana prestasi (Wichadee dan Wiwad, 2012).
Pendapat tersebut susuai dengan pendapat dari Nurulhayati (Majid,
2013: 175) bahwa pembelajaran kooperatif adalah strategi pembelajaran yang
melibatkan partisipasi siswa dalam suatu kelompok kecil untuk saling
berinteraksi. Dalam sistem belajar kooperatif, siswa belajar kerjasama dengan
anggota lainnya. Selanjutnya, Paker (Huda, 2011: 29) mendefinisikan
kelompok kecil kooperatif sebagai sarana pembelajaran di mana siswa saling
berinteraksi dalam kelompok-kelompok kecil untuk mengerjakan tugas
akademik demi mencapai tujuan bersama. Dari beberapa metode
pembelajaran yang banyak diteliti dan paling sering digunakan Slavin (Huda,
2011: 114) membagi metode-metode tersebut dalam tiga kategori yaitu:
Pertama, metode-metode Student Teams Learning, yang terdiri dari: Student Team-Achievement Division (STAD), Teams Games Tournaments (TGT),dan Jigsaw II (JIG II). Kedua, metode-metode Supported Cooperative Learning, terdiri dari: Learning Together (LT)-Circle of Learning (CL), Jigsaw (JIG), Jigsaw III (JIG III), Cooperative Learning Structures (CLS), Group Investigation (GI), Complex Instruction (CI), Team Accelerated Instruction (TAI), Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC), Stryctured Dyadic Methods (SDM). Ketiga, Metode-metode Informal yang terdiri dari: Spontaneous Group Discussion (SGD), Numbered Heads Together (NHT), Team Product (TP), Cooperative Review (CR),Think Pair Share (TPS),dan Discussion Group (DG)- Group Project (GP).
Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran kooperatif adalah salah satu strategi pembelajaran dalam
kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang untuk saling berinteraksi dan
bekerja sama selama proses pembelajaran untuk mencapai tujuan bersama.
b. Metode Pembelajaran Koopratif Tipe TGT (Teams Games Tournament)
TGT (Teams Game Tournament) pada mulanya dikembangkan oleh
David De Vries dan Keith Edwards. Metode ini menggunakan pelajaran yang
sama yang disampaikan guru dan tim kerja yang sama seperti dalam metode
STAD, tetapi mengganti kuis dengan turnamen, di mana siswa memainkan
39
game akademik dengan anggota tim lain untuk menyumbangkan poin bagi
skor timnya (Slavin, 2005: 13).
Sejalan dengan pendapat slavin, Huda (2011: 117) menyatakan bahwa
dengan TGT (Teams Game Tournament), siswa akan menikmati bagaimana
suasana turnamen itu, dan karena mereka berkompetisi dengan kelompok-
kelompok yang memiliki komposisi kemampuan yang setara, maka kompetisi
dalam TGT terasa lebih fair dibandingkan kompetisi dalam pembelajaran-
pembelajaran tradisional pada umumnya.
Pembelajaran kooperatif model TGT (Teams Game Tournament) adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur-unsur permainan dan reinforcement didalamnya. Aktivitas belajar dirancang dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT (Teams Game Tournament)memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerja sama, persaingan sehat, dan keterlibatan belajar (A’la, 2012: 105)
Dari beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa metode
TGT (Teams Game Tournament) merupakan salah satu metode yang terdapat
dalam strategi pembelajaran kooperatif sehingga sistem pembelajaran dalam
bentuk kelompok kecil. Pembelajaran dengan metode TGT (Teams Game
Tournament) menggunakan turnamen akademik dalam pengerjan kuis-kuis
dimana siswa berlomba dengan siswa dalam tim lain yang memiliki
kemampuan akademik yang sama.
Terdapat lima komponen utama dalam metode TGT, yaitu penyajian
kelas, kelompok (team), game, turnamen, dan penghargaan kelompok (team
recognize) (A’la, 2012: 105). Dalam penyajian kelas, pada awal pembelajaran
guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas. Biasanya dilakukan
dengan pengajaran langsung atau diskusi yang dipimpin guru. Pada saat
penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami
materi yang disampaikan guru karena akan membantu siswa bekerja lebih
baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena akan menentukan
skor kelompok.
40
Kelompok (team) biasanya terdiri dari 4-5 orang siswa yang
anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik.Fungsi kelompok adalah
untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus
untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan
optimal pada saat game. Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang
dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian
kelas dan belajar kelompok. Kabanyakan game terdiri dari pertanyaan-
pertanyaan sederhana bernomor. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu
akan mendapatkan skor.
Dalam turnamen, biasanya dilakukan pada akhir minggu atau pada
setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah
mengerjakan lembar kerja.Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam
beberapa meja turnamen.Siswa akan berturnamen dengan siswa yang
memiliki kemampuan akademik yang sama, sehingga turnamen akan terkesan
adil. Guru kemudian memberikan penghargaan kelompok (Team tecognize)
dengan mengumumkan kelompok yang menang. Masing-masing kelompok
akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria
yang ditentukan. Team mendapatkan julukan “Super Team” bagi yang
memperoleh skor tertinggi ,“Gold Team”untuk kelompok yang memperoleh
peringkat kedua dan “Good Team” untuk kelompok yang memperoleh
peringkat ketiga.
c. Kelebihan dan Kekurangan Metode TGT (Teams Game Tournament)
Kelebihan dari metode TGT (Teams Game Tournament) yaitu dengan
bermain dalam belajar dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan
bagi siswa karena secara tidak sadar siswa dapat memahami materi juga bisa
mengurangi rasa ketegangan terhadap materi (Pratiwi, 2015).
Kelebihan dari metode TGT (Teams Game Tournament) yaitu: dengan diadakannya turnamen diharapkan siswa dapat membangkitkan motivasi siswa untuk berusaha lebih baik bagi diri maupun kelompoknya, menumbuhkan betapa pentingnya kerjasama dalam pencapaian tujuan belajar baik untuk dirinya maupun seluruh anggota kelompok, dan kegiatan belajar mengajar berpusat pada siswa sehingga dapat menumbuhkan keaktifan siswa (Hotimah dan Motlan, 2012)
41
Kelebihan lain yang dapat diperoleh dari penerapan metode TGT
(Teams Game Tournament) melalui interaksi dengan anggota kelompok yaitu
semua kesempatan untuk belajar mengemukakan pendapat untuk memperoleh
pengetahuan dari hasil diskusi dengan anggota kelompok. Selain itu
pengelompokan siswa secara homogen dalam tingkat kemampuan diharapkan
dapat membentuk rasa saling menghargai antarsiswa.
Kelemahan metode TGT (Teams Game Tournament) yaitu memerlukan
waktu yang lama, memerlukan persiapan yang matang, dan dapat
menimbulkan suasana gaduh di kelas. Kekurangan dari metode TGT (Teams
Game Tournament), yaitu:
Penggunaan waktu yang relatif lama dan biayanya besar, jika kemampuan guru sebagai motivator dan fasilitator kurang memadai atau sarana tidak cukup tersedia maka pembelajaran dengan ini sulit dilaksanakan, dan apabila sportifitas siswa kurang, maka keterampilan berkompetisi siswa yang terbentuk bukanlah yang diharapkan (Hotimah dan Motlan, 2012).
Dalam pembelajaran TGT (Teams Game Tournament), meskipun
proses belajar mengajar dilakukan secara kelompok, akan tetapi prestasi
belajar yang diukur adalah prestasi belajar individu. Dengan metode ini
diharapkan siswa dapat belajar dengan sungguh-sungguh karena terpacu
untuk lebih siap belajar.
Penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Widyawati (2011) yang berjudul “Pengaruh Metode Student
Teams Achievement Division (STAD) dan Team Games Tournamen (TGT)
dilengkapi dengan Laboratum Virtual terhadap Prestasi Belajar Ditinjau dari
Motivasi Berprestasi pada Materi Pokok Koloid”. Dalam penelitian tersebut
menunjukkan bahwa metode pembelajaran TGT memberikan prestasi belajar
yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode STAD.Hal ini ditunjukkan
dari rata-rata prestasi belajar kognitif dan afektif siswa pada pembelajaran
TGT yaitu 85,14 dan 81,28 lebih tinggi dibandingkan rata-rata pembelajaran
kognitif dan afektif pada pembelajaran STAD yaitu 80,59 dan 77,29.
42
d. Penerapan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan Media Audio
dalam Pembelajaran Memahami Unsur Intrinsik Cerpen
Sebelum turnamen siswa dibagi menjadi beberapa kelompok. Prosedur
penentuan kelompok dilakukan secara heterogen dengan langkah-langkah
berikut: 1) membuat daftar rangking akademik siswa; 2) membatasi jumlah
maksimal anggota setiap tim; 3) menomori siswa-siswa mulai dari yang
paling atas; dan 4) membuat setiap tim heterogen dan setara secara akademis
(Huda, 2014: 198).
1) Penyajian kelas
Guru menyampaikan materi berkaitan dengan unsur intrinsik cerpen.
Dalam penyajian kelas ini dapat dilakukan dengan pengajaran langsung
atau ceramah maupun diskusi.
2) Kelompok
Setelah guru menyampaikan materi, siswa dibagi menjadi beberapa
kelompok yang terdiri dari 4-5 siswa yang anggotanya heterogen.Siswa
berkelompok sesuai dengan kelompoknya.
3) Game
Dalam tahap ini guru memutarkan audio rekaman pembacaan
cerpen.Siswa mendengarkan rekaman pembacaan cerpen.Setelah selesai,
siswa berdiskusi mengenai materi dan audio pembacaan cerpen yang
telah didengar. Selanjutnya, kelompok yang memiliki kemampuan
akademik yang sama berkumpul dan menempatkan diri di meja yang
telah disediakan oleh guru. Sebelum turnamen dimulai, pengambilan soal
dilakukan dengan permainan kartu-kartu soal atau jenis permainan lain.
4) Turnamen
Dalam tahap ini, siswa akan melakukan turnamen dengan menjawab
pertanyaan berkaitan dengan unsur intrinsik cerpen yang telah disimak.
Setiap kelompok akan memilih orang pertama, kedua, ketiga, dan
seterusnya untuk bergantian menjawab pertanyaan dalam turnamen. Oleh
karena itu, setiap siswa memiliki kesempatan untuk menjawab soal.
43
Setiap siswa yang menjawab pertanyaan akan menyumbangkan skor
untuk kelompoknya.
5) Penghargaan Kelompok
Guru mengumumkan kelompok yang menang. Team yang menang akan
mendapatkan julukan “Super Team”,“Gold Team”, dan “Good Team”.
B. Kerangka Berpikir
Memahami unsur intrinsik cerpen adalah upaya menyerap, menangkap
informasi (pesan-pesan) yang terkandung dalam cerpen. Upaya memahami unsur
intrinsik cerpen dikatakan berhasil apabila siswa mampu menentukan alur,
penokohan, dan latar. Memahami unsur intrinsik cerpen tidaklah mudah,
diperlukan persyaratan, yaitu mampu membedakan antarunsur intrinsik agar tidak
terjadi kekeliruan dalam menentukan unsur intrinsik cerpen. Dengan
diterapkannya metode pembelajaran TGT (Team Game Tournament), akan
terjalin suasana belajar yang mengutamakan kerjasama, menyenangkan, tidak
membosankan, belajar dengan bergairah, pembelajaran dengan terintegrasi,
menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, saling bertukar pendapat dengan
teman, dan siswa kritis guruaktif.
Dalam pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen terhadap siswa kelas
kelas XI IPA 3 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar dijumpai suatu permasalah.
Kenyataan yang terjadi, dari 40 siswa dengan 14 siswa laki-laki dan 26 siswa
siswa perempuan yang mencapai nilai di atas KKM hanya 9 siswa dengan
persentase 22,5%. Hal ini membuktikan bahwa ketuntasan belajar siswa di kelas
XI IPA 3 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar dikatakan belum ideal. Selain itu,
siswa terlihat pasif saat mengikuti pembelajaran memahami unsur intrinsik
cerpen.
Metode pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen yang diterapkan
guru selama ini pun belum mampu mengoptimalkan kemampuan memahami
unsur intrinsik cerpen siswa, sehingga prestasi kemampuan memahami unsur
intrinsi cerpen siswa rendah. Metode yang digunakan yaitu (1) guru meminta
siswa menyimak pembacaan cerpen yang dibacakan oleh guru (2) siswa
mengerjakan soal latihan yang berkaitan dengan cerpen yang telah dibacakan, dan
44
(3) jawaban siswa dikoreksi dengan cara guru memberikan jawaban yang benar.
Selain penggunaan metode yang kurang tepat, materi yang digunakan guru kurang
menarik. Guru kurang mengaplikasi materi dan hanya terpaku pada buku LKS
saja. Selain metode yang kurang tepat, dalam pembelajaran menganalisis unsur
intrinsik cerpen guru belum menggunakan media yang dapat menarik minat siswa
untuk menganalisis kemampuan memahami unsur intrinsik cerpen. Hal tersebut
dikarenakan kurangnya sarana dan prasarana pendukung proses kegiatan belajar
mengajar.
Releven dengan masalah tersebut, untuk mengatasinya peneliti akan
menggunakan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan media audio.
Dalam menumbuhkan suatu minat siswa membutuhkan suatu metode yang dapat
membuatnya tertarik. Dengan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan
media audio siswa dapat dengan mudah menganalisis unsur intrinsik cerpen
karena dalam metode dan media ini siswa akan belajar sambil bermain. Permainan
akedemik dalam bentuk turnamen kelompok dengan menggunakan media audio.
Media audio tersebut berupa rekaman pembacaan cerpen. Pembelajaran dengan
metode TGT (Teams Game Tournament ) dengan media audio dapat menambah
keaktifan siswa, dapat melatih keberanian untuk berpendapat, bentuk permainan
lebih menarik, melatih untuk berpikir cepat, tepat, dan kreatif.
Hasil akhir yang diharapkan dari penelitian tersebut adalah dengan
menerapkan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan media audio
kemampuan serta keaktifan dalam memahami unsur intrinsik cerpen siswa kelas
XI IPA 3 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar dapat meningkat. Selain itu, dapat
membantu guru untuk menemukan alternatif metode, media, dan materi yang
menarik untuk pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen.
45
Gambar 1. Kerangka Berpikir
Kondisi Awal Sebelum Tindakan
SISWA
Siswa cenderung kurang aktif
Kemampuan memahami unsur intrinsik cerpen rendah
GURU Hanya menggunakan
metode ceramah Penguasaan kelas
masih kurang Pembelajaran
terpusat pada guru
LINGKUNGAN Suasana sekolah
yang kurang kondusif
Media pembelajaran yang kurang memadai
Pembelajaran Memahami Unsur Intrinsik Cerpen dengan Metode TGT (Teams Game Tournament)
dengan Media Audio
Siswa aktif dalam pembelajaranmemahami unsur intrinsik cerpen yang ditandai dengan 6 indikator, yaitu:
Mengajukan pertanyaan dan mengemukakan ide
Memperhatikan penjelasan guru
Menyimak pembecaan cerpen
Mencatat materi yang dijelaskan guru
Aktif saat berdiskusi
Aktif dalam melakukan turnamen
Kondisi Akhir Setelah Tindakan Kemampuan memahami unsur intrinsik cerpen siswa meningkat
Keaktifan siswa dalam pembelajaran memahami unsur intrinsik cerpen meningkat
46
C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, dapat dirumuskan hipotesis
sebagai berikut:
1. Penerapan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan media audio
dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam memahami unsur intrinsik
cerpen pada siswa kelas XI IPA 3 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.
2. Penerapan metode TGT (Teams Game Tournament) dengan media audio
dapat meningkatkan kemampuan memahami unsur intrinsik cerpen pada
siswa kelas XI IPA 3 SMA Muhammadiyah 1 Karanganyar.