BAB I PENGANTAR A. Latar...

25
14 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pada pertengahan Desember tahun 2009, di sebuah gedung perhelatan yang lokasinya berdekatan dengan alun-alun selatan kota Yogyakarta, terlihat kesibukan untuk mengatur suatu resepsi pernikahan yang akan diadakan pada malam harinya. Di depan pintu masuk menuju gedung yang berbentuk Joglo tersebut, terdapat satu papan sketsel yang berukuran sekitar 2 x 1,5 meter. Menempel di sana Styrofoam yang dipakai sebagai landasan untuk memasang bunga-bunga dan daun-daunan penghias dari sekitar 12 buah foto berukuran 10R (25,4 x 30,5cm). Keseluruhan foto itu memperlihatkan satu pasangan sedang menunjukkan kemesraan dengan berbagai gaya, lokasi, dan pakaian. Senyum dan tawa sebagai ekspresi kegembiraan tidak pernah lepas dari wajah keduanya. Mereka yang berpose dalam foto tersebut adalah pasangan calon pengantin yang akan melangsungkan resepsi pernikahan di gedung itu pada malam harinya nanti. Jenis foto yang di pajang itu sendiri biasa dikenal dengan istilah “foto pre- wedding” atau “foto prewed”, yaitu istilah yang mengacu pada suatu bentuk fotografi sebagai pendukung kebutuhan acara pernikahan, yang waktu produksi foto tersebut dilakukan sebelum prosesi pernikahan dilangsungkan. Pada penelitian ini, istilah ’foto pre-wedding’ akan tetap digunakan tanpa mencoba merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. Meskipun mempunyai perbedaan bahasa, kata ’foto pre-wedding’ atau ’foto prewed’ inilah yang paling populer digunakan di masyarakat umum.

Transcript of BAB I PENGANTAR A. Latar...

Page 1: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  14  

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pada pertengahan Desember tahun 2009, di sebuah gedung perhelatan

yang lokasinya berdekatan dengan alun-alun selatan kota Yogyakarta, terlihat

kesibukan untuk mengatur suatu resepsi pernikahan yang akan diadakan pada

malam harinya. Di depan pintu masuk menuju gedung yang berbentuk Joglo

tersebut, terdapat satu papan sketsel yang berukuran sekitar 2 x 1,5 meter.

Menempel di sana Styrofoam yang dipakai sebagai landasan untuk memasang

bunga-bunga dan daun-daunan penghias dari sekitar 12 buah foto berukuran 10R

(25,4 x 30,5cm). Keseluruhan foto itu memperlihatkan satu pasangan sedang

menunjukkan kemesraan dengan berbagai gaya, lokasi, dan pakaian. Senyum dan

tawa sebagai ekspresi kegembiraan tidak pernah lepas dari wajah keduanya.

Mereka yang berpose dalam foto tersebut adalah pasangan calon pengantin yang

akan melangsungkan resepsi pernikahan di gedung itu pada malam harinya nanti.

Jenis foto yang di pajang itu sendiri biasa dikenal dengan istilah “foto pre-

wedding” atau “foto prewed”, yaitu istilah yang mengacu pada suatu bentuk

fotografi sebagai pendukung kebutuhan acara pernikahan, yang waktu produksi

foto tersebut dilakukan sebelum prosesi pernikahan dilangsungkan. Pada

penelitian ini, istilah ’foto pre-wedding’ akan tetap digunakan tanpa mencoba

merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia.

Meskipun mempunyai perbedaan bahasa, kata ’foto pre-wedding’ atau ’foto

prewed’ inilah yang paling populer digunakan di masyarakat umum.

Page 2: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  15  

Awal abad 21, diperkirakan foto pre-wedding mulai masuk ke Indonesia.

Terus berkembang hingga menjadi suatu trend dan agenda yang seakan ’wajib’

dilakukan oleh calon pengantin, terutama oleh para pasangan calon pengantin di

kota-kota besar Indonesia, sebelum melangsungkan pernikahannya. Asumsi yang

berkembang di masyarakat, menyebutkan adanya hubungan antara perubahan

yang terjadi pada teknologi perangkat fotografi dengan tren pemakaian foto pre-

wedding ini. Selain itu, dinyatakan juga bahwa kemunculan foto jenis ini, tidak

lepas dari pengaruh terus berkembangnya industri foto pernikahan (foto wedding)

di masyarakat sebagai lahan bisnis yang menguntungkan. Dugaan ini sejalan

dengan pendapat yang dilontarkan oleh O’Brein (1995: 27), yang menyatakan

bahwa hampir sebagian besar fotografer profesional di era modern, pekerjaan

utamanya adalah memotret kegiatan sosial terutama pernikahan.

Jumlah konsumen yang besar, mempunyai dampak pada skala peredaran

uang yang sama besarnya pada industri foto pernikahan. Pengaruh dari bayangan

keuntungan yang ditawarkan oleh industri ini, merambah pada peningkatan

persaingan di kalangan produsen foto untuk menjaring konsumennya. Beberapa

studio foto di kota Yogyakarta dengan sengaja menaruh foto pernikahan

(kemudian foto pre-wedding) yang dicetak dalam ukuran cukup besar dan

dipasang di depan studio mereka untuk menarik minat para pengguna jalan yang

melihat. Demikian pula dengan para fotografer freelance-an1, tidak kalah tangkas

                                                                                                               1Di Yogyakarta, fotografer komersial yang bekerja secara lepas dan tidak terikat oleh

salah satu studio foto biasa di kenal dengan istilah freelance-an. Para fotografer komersial ini bekerja secara mandiri, tidak mempunyai kantor fisik yang tetap dan bekerja berdasarkan atas kontrak kerja langsung dengan kliennya atau apabila ada kesepakatan untuk bekerja dengan salah satu studio foto, posisi mereka lebih kepada tenaga outsourcing yang di gaji berdasarkan atas

Page 3: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  16  

untuk mempromosikan hasil pekerjaannya dengan berbagai cara. Salah satu

portofolio yang ditawarkan, hampir dipastikan selalu terdapat foto pernikahan

maupun foto pre-wedding.

Sejalan dengan terbukanya arus informasi dunia, fotografi dengan cepat

menjalar ke segala penjuru dunia termasuk ke Indonesia melalui perantara orang

Cina Indonesia. Selain dianggap sebagai pionir dari praktek fotografi, orang Cina

Indonesia juga mempunyai peran vital dalam membentuk budaya visual modern

di Indonesia. Karen Strassler (2003: 19-21) menyatakan bahwa orang Cina di

Hindia sering bertindak sebagai pedagang perantara dari modernitas kapitalis

global. Sebagai komunitas transnasional, orang Cina Indonesia mempunyai

keterikatan secara budaya, ekonomi, dan bahasa dengan orang Cina Hindia yang

tinggal di wilayah lain di Asia, terutama di Hongkong dan Singapura. Ide tentang

modernitas, praktek beserta produknya dibawa melalui masyarakat Cina Hindia di

wilayah lain, kemudian menyebar hingga ke Indonesia. Melihat besarnya peranan

orang Cina Indonesia dalam pengembangan dunia fotografi dan pembentukan

budaya visual modern di Indonesia, serta kedekatan hubungan dengan orang Cina

di Singapura, tidaklah mengherankan apabila kemudian mereka juga dipandang

mempunyai peranan yang sangat penting dalam laju penyebaran popularitas dari

foto pre-wedding di Indonesia.

Foto pre-wedding dalam prakteknya seringkali digunakan untuk keperluan

undangan pernikahan, souvenir pernikahan atau sebagai dekorasi ruangan gedung                                                                                                                                                                                                                                                                                                                proyek foto yang ditanganinya. Proyek foto yang ditangani, tidak hanya berkaitan dengan pengerjaan foto pernikahan maupun foto pre-wedding saja. Akan tetapi juga pada ranah foto komersial yang lain, seperti foto produk, foto untuk keperluan company profile maupun foto-foto dokumentasi yang lain.

Page 4: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  17  

tempat resepsi pernikahan dilangsungkan. Sebagai bagian dari undangan

pernikahan, foto pre-wedding biasa di gunakan sebagai cover maupun di halaman

dalamnya. Sedangkan pada souvenir pernikahan, foto pre-wedding bisa

ditempelkan langsung di barang souvenirnya maupun dipakai untuk kartu ucapan

yang digantung bersama souvenirnya. Display untuk keperluan di dalam gedung

akan berbeda lagi, foto-foto pre-wedding tersebut biasanya dipasang di tempat

para tamu undangan berjalan menuju ke arah pengantin untuk bersalaman untuk

memberikan selamat kepada kedua mempelai, sebagai unsur dekoratif ruangan

atau dipasang di depan pintu masuk.

Foto 1, dan 2. Contoh pemakaian foto pre-wedding dalam undangan resepsi dan

souvenir pernikahan. Sumber : koleksi pribadi pasangan Ongki dan Nisa serta Joko Suwarno

Berbeda dengan foto pernikahan, yang dilakukan pada saat resepsi

penikahan berlangsung, jangka waktu produksi foto pre-wedding sengaja dibuat

sebelum prosesi pernikahan. Persoalan waktu ini bergantung pada keperluan

pasangan calon pengantin atas foto pre-wedding mereka, terutama berkaitan

dengan produksi undangan serta penyebarannya kepada para tamu. Oleh karena

itu, jangka waktu produksi foto pre-wedding bisa dua minggu, satu bulan atau

bahkan terdapat kasus yang pasangan calon pengantin melakukan produksi foto

pre-wedding enam bulan sebelum resepsi pernikahannya dilangsungkan.

Page 5: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  18  

Foto 3, 4, 5 dan 6. Display foto pre-wedding di gedung pada waktu

resepsi pernikahan. Foto : Agus Heru Setiawan, M.A Roziq dan Joko Suwarno

Sebelum para pasangan calon pengantin membuat foto pre-wedding,

biasanya telah terbentuk kepastian (komitmen) lebih dahulu terhadap hubungan

mereka untuk menapak ke jenjang yang lebih lanjut, pernikahan. Komitmen

tersebut antara lain melalui munculnya kesepakatan untuk penentuan waktu

pernikahan yang dibuat secara personal di antara pasangan berdua, pembicaraan

maupun persetujuan orang tua dari kedua belah pihak, atau bahkan kadang-

kadang telah terjadi proses lamaran. Terdapat berbagai alasan umum yang

dikemukakan berkaitan dengan pertanyaan kenapa para pasangan membuat foto

pre-wedding. Salah satunya sebagai dokumentasi serta kenang-kenangan atas

masa berpacaran mereka. Potongan kenangan perjalanan kisah cinta mereka yang

telah berlalu, dibayangkan bisa dibentuk ulang, dimaterialisasikan serta

Page 6: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  19  

dihadirkan kembali dalam wujud foto yang dianggap mampu menjembatani dan

merangkum keseluruhan kenangan mereka pada masa sebelum menikah.

Secara pribadi, kenangan yang terpresentasikan di dalam foto pre-wedding

tersebut akan diingat pasangan calon pengantin sebagai kenangan menjelang

berubahnya status mereka dari seorang bujangan menjadi suami dari si A maupun

isteri si B. Pendefinisian diri melalui foto ini terlihat sebagai suatu proses

pembentukan identitas yang sifatnya rasionalistik (Abdullah, 2006: 37). Foto

tersebut seolah menjadi media yang menampilkan bentuk pengidentitasan mereka

sebagai pasangan hidup, bukan hanya satu identitas individu yang berdiri sendiri,

melainkan dua individu yang telah menjadi satu sebagai pasangan.

Melihat sifatnya yang mampu menampilkan citraan suatu peristiwa secara

detail serta akurasi penyampaian gambar yang tinggi, fotografi menjadi pilihan

bagi masyarakat untuk mendokumentasikan peristiwa tertentu serta media

penggambaran diri yang dianggap ideal. Hal ini, disebabkan karena teknologi

kamera memang dilahirkan untuk memburu objektivitas karena kemampuannya

untuk menggambarkan realitas visual dengan tingkat presisi yang tinggi (Seno

Gumira Ajidarma, 2002: 1). Meskipun demikian, realitas yang terdapat dalam foto

tersebut perlu untuk dipertanyakan kembali keberadaannya. Apakah realitas yang

ditunjukkan merujuk kepada kenyataan dikeseharian atau mengarah kepada

realitas yang dikonstruksikan mengenai apa yang ingin mereka coba untuk

presentasikan kepada publik. Terutama ketika mencoba memahami foto pre-

wedding melalui perspektif ideologi foto potret yang lebih memberikan gambaran

Page 7: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  20  

ingatan pada apa yang diharapkan daripada membantu mengingat apa dan siapa

diri figur dalam potret yang sebenarnya (Schroeder, 2002: 55).

Ketika suatu gambar diambil dari acara tertentu dan kemudian gambar

tersebut ditampilkan sebagai foto, gambar tersebut akan menjadi bagian dari

sebuah konstruksi. Foto tersebut akan menjadi milik dari situasi sosial yang

spesifik yaitu sebagai suatu argumentasi, pengalaman hidup dan suatu cara untuk

menjelaskan dunia seperti halnya teks dalam sebuah buku, majalah, ataupun

sebuah pameran (Berger, 2002:51). Tampilnya foto pre-wedding ke wilayah

publik akan memberikan makna berbeda dibandingkan apabila ketika foto

tersebut digantung di ruang tamu keluarga, setelah pasangan calon pengantin itu

resmi secara hukum menjadi suami istri. Apa yang ditampilkan di dalam foto pre-

wedding adalah gambaran surealis dari harapan para pasangan calon pengantin

atas masa depan yang mereka harapkan. Foto-foto tersebut tidak hanya dipakai

untuk membayangkan waktu yang telah ditinggalkan atau waktu sekarang, akan

tetapi juga seolah-olah memberikan gambaran tentang cita-cita serta mimpi

kehidupan masa depan dari para pasangan calon pengantin tersebut. Meskipun

demikian, apabila menelusuri lebih lanjut akan muncul berbagai pertanyaan

terutama berkaitan dengan harapan, cita-cita serta mimpi siapa yang terwakili

dalam foto pre-wedding tersebut. Apakah foto-foto pre-wedding tersebut

memfasililitasi kepentingan diri pasangan calon pengantin, fotografernya atau

pihak diluar diri mereka, terutama ketika melihat peran dominan dari fotografer

sebagai operator dan pihak yang menentukan hasil akhir dari foto pre-wedding

serta kuatnya kuasa kapital yang menggerakkan industri foto ini.

Page 8: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  21  

B. Rumusan Masalah

Setiap foto, dimungkinkan untuk membuat pesan fotografis yang menjadi

bagian dari praktek penandaan. Pesan tersebut merefleksikan kode-kode, nilai-

nilai, dan keyakinan atas kebudayaan secara keseluruhan (Clarke, 1977: 28).

Secara harfiah, bentuk foto pre-wedding seperti terlihat hanya sebagai sebuah foto

yang berisi sepasang laki-laki dan perempuan, yang mengumbar senyuman serta

kemesraan mereka dengan memakai gambar latar di suatu tempat yang indah dan

estetis, misalnya dipantai, pegunungan, bangunan arsitektural maupun

pemandangan kota yang menawan. Visualisasi yang terlihat dalam foto pre-

wedding tampak seperti diulang-ulang dari satu foto ke foto yang lainnya, tidak

ada sesuatu yang mengejutkan di dalamnya.

Meskipun begitu, fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa

stagnasi dalam visualisasinya bukanlah halangan bagi dinamisasi perkembangan

industri foto pre-wedding. Saat ini, foto pre-wedding mampu terus berkembang

dan pemakaiannya menjadi trend tersendiri di masyarakat. Terbukti dari

kehadiran foto-foto seperti ini yang hampir selalu terlihat dalam setiap ritual

pernikahan di Yogyakarta, baik di undangan maupun di gedung pernikahan.

Melihat konteks yang terjadi di masyarakat seperti hal tersebut diatas,

timbul beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Mengapa penggunaan foto pre-wedding bisa menjadi tren dan apa

relasinya dengan perubahan industri teknologi fotografi

2. Bagaimana pola visual yang terbentuk dalam foto pre-wedding dan apa

peran kuasa operator (fotografer) dalam membentuk citra diri pasangan

Page 9: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  22  

3. Bagaimana pengaruh pemaknaan yang dilakukan oleh pasangan calon

pengantin dan penonton atas foto pre-wedding terhadap kehidupan

keseharian masyarakat

C. Tinjauan Pustaka

Literatur yang secara khusus langsung membahas tentang foto pre-

wedding, baik sejarah penyebaran maupun pemaknaannya di Indonesia, hingga

saat ini masih belum ditemukan. Untuk mengatasi keterbatasan literatur tersebut,

diusahakan melihat foto pre-wedding dari berbagai sudut pandang yang bisa

dipakai untuk membantu penelitian foto pre-wedding ini.

Melalui studinya tentang industri Stock Photography, Paul Frosh (2003)

mencoba membongkar peranan fotografi sebagai aparatur perekonomian modern

yang kemudian mempengaruhi budaya konsumen. Dikelilingi oleh berbagai

gambar, baik dari papan iklan, koran maupun sumber lainnya, membuat manusia

menjadi terbiasa dengan kehadiran gambar tersebut. Mereka mulai mengabaikan

dan merasakan seolah-olah gambar itu adalah bagian dari hidupnya. Mempercayai

bahwa gambar-gambar tersebut merupakan representasi dari kehidupan

keseharian mereka yang sebenarnya. Melalui buku ini, Frosh menyebutkan bahwa

gambar-gambar ‘biasa’ tersebut tidak dihasilkan secara alamiah maupun bisa

dicapai dengan mudah. Gambaran tersebut merupakan hasil dari suatu sistem

yang mengkolaborasikan pembuatan, distribusi dan konsumsi. Suatu sistem kerja

yang rumit, tersembunyi serta mempunyai kekuatan luar biasa untuk membentuk

dunia di sekelilingnya seperti apa yang mereka inginkan.

Page 10: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  23  

Riset yang dilakukan oleh Frosh juga menyangkut foto-foto yang

menebarkan nuansa romantik. Frosh menyebutkan bahwa foto yang mengambil

tema romantis sangat umum digunakan oleh biro iklan dan pemasaran serta

sebagai stock photography. Hubungan dan keintiman merupakan tema yang

sangat populer apabila diperbandingkan dengan foto yang menggunakan tema

lainnya. Frosh menggunakan pendekatan dari semiotik dan post-struktualis untuk

menginterpretasikan kategori yang diseleksi sebagai “romantic” stock image dan

hubungannya dengan budaya stereotipe. Frosh memakai tiga dimensi yang saling

berhubungan yaitu konten, style, dan penempatan tekstual serta

menginterpretasikan arti budaya dari gambar yang berhubungan dengan kategori

sosial, tubuh yang dipahami secara normatif dan budaya, serta hubungannya

dengan berbagai hal seperti representasi atas seks, seksualitas, kelas dan etnisitas.

Wacana tentang gambar fotografis sebagai cara hidup dipakai oleh

Jonathan E. Schroeder (2002) untuk membahas keterlibatan fotografi dengan

budaya konsumsi di masyarakat, terutama konsumsi visual. Dalam bukunya ini,

Schroeder menitikberatkan pada bahasan tentang representasi, gambar, fotografi

dan identitas. Fotografi membentuk suatu pengalaman tersendiri. Foto

memberikan suatu panduan bagi manusia tentang bagaimana cara orang untuk

melihat, apa yang mereka lihat, apa yang mereka ingat, apa yang mereka anggap

pantas untuk dilihat dan cara mereka berimaginasi terhadap benda-benda di

sekelilingnya. Foto menjadi panduan bagi masyarakat dalam membangun cara

berpikir tentang identitas mereka sendiri dan orang lain, bahkan juga tentang

nenek moyang (sejarah hidup) mereka. Schroeder juga beranggapan bahwa

Page 11: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  24  

sebagian besar informasi tentang dunia, dikirimkan kepada masyarakat melalui

fotografi dan penyebarannya dilakukan baik melalui bentuk gambar diam, televisi,

film, video serta halaman-halaman website.

Selain itu, Schroeder membahas tentang foto keluarga yang digunakan

oleh penjual (dalam hal ini adalah biro iklan) untuk membangun suatu konstruksi

nilai simbolik dari masyarakat, seperti kebersamaan keluarga, identitas, serta

ekspresi pribadi untuk produksi massal suatu barang. Foto keluarga, yaitu ikon

yang dipasang di ruang tamu, menjadi sangat penting pada waktu membicarakan

foto sebagai aktivitas penggambaran dan pembangunan ideologi. Foto membantu

mengkonstruksi serta mengangkat ingatan dari masa kecil. Foto keluarga menjadi

gudang penting bagi memori kolektif, presentasi diri, dan identitas. Mereka

dianggap sebagai bentuk representasi dari perjuangan, konflik serta kekuatan.

Sebagai ikon dari kehidupan keluarga, mereka menjadi subjek atas dominasi, dari

satu yang ideal kepada lainnya.

Posisi foto keluarga itu juga dipertanyakan kembali oleh Williamson

(1986: 123) yang mengatakan bahwa foto keluarga adalah suatu konstruksi yang

disponsori secara penuh oleh orangtua. Foto itu diambil dan diseleksi dari ingatan

orangtua dan kemudian dijadikan sebagai representasi dari foto keluarga. Dari

sana, anak-anaknya ditawarkan sebagai ingatan dari masa kecil mereka. Schroeder

menyebutkan bahwa kontruksi identitas melalui managemen gambar (foto)

merupakan kekuatan pendorong utama dalam perilaku konsumen. Melalui foto

keluarga ini terlihat kekuatan yang sebenarnya dari foto dalam membuat suatu

Page 12: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  25  

konstruksi atas keinginan dan harapan konsumen, serta pola konstruksi dari para

orangtua terhadap anak-anaknya atas gambaran masa kecil mereka.

Praktek fotografis di Indonesia telah diteliti dan ditulis dalam disertasi

Karen Strassler (2003). Karya ini menjadi sumber literatur yang komprehensif

untuk melihat budaya dari masyarakat Indonesia terutama di masyarakat Jawa

melalui praktek-praktek fotografis yang telah mereka lakukan dalam

kesehariannya. Selain itu, hasil penelitian tersebut dengan detail data yang

diberikan, memberikan masukan yang sangat besar dalam membaca sejarah

terbentuknya kebudayaan visual di Indonesia.

Melalui risetnya, yaitu tentang praktek fotografi populer di Indonesia,

Strassler meneliti bentuk-bentuk dari praktek dokumentasi visual yang akhirnya

membentuk suatu jalan bagi masyarakat di Jawa perkotaan untuk menjadi

(melihat diri mereka sebagai) orang Indonesia. Pembahasan dimulai dari studio

foto yang dibentuk oleh orang Cina Indonesia serta modernitas yang dibawanya,

kemudian foto sebagai pembentuk suatu identitas, hingga foto yang digunakan

sebagai dokumentasi yang bernilai sejarah, yang semua itu dibahas dengan sangat

lengkap dalam karya disertasi ini. Strassler mengungkapkan bahwa semenjak

sejarah kelahiran studio foto di Hindia Belanda dan kemudian Indonesia,

berlangsung perubahan makna penting dalam artian ideologis. Unsur kolonial

(keeropa-eropaan) yang berada dalam sebuah background foto ditolak oleh

konsumen dan digantikan dengan sesuatu yang lebih berciri khas dan dekat

dengan kehidupan mereka sebagai wujud keikutsertaannya atas ide nasionalisme

serta menjadi bagian dari identitas bersama sebagai bangsa bernama Indonesia.

Page 13: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  26  

Strassler sedikit membahas tentang peranan foto dalam pernikahan di

keluarga Jawa. Strassler melihat pentingnya sistem pendokumentasian secara

visual bagi sejarah kehidupan keluarga di Jawa, terutama untuk merekam

kenangan-kenangan yang mereka anggap istimewa di dalam kehidupan

berkeluarga. Dalam keluarga Jawa kontemporer, perhatian terhadap fotografi

terletak pada ritual pernikahan yang dianggap sebagai satu peristiwa penting,

tidak hanya untuk pasangan yang menikah, akan tetapi juga untuk semua anggota

keluarga. Untuk itulah diperlukan media pendokumentasian yang mampu

membekukan momen tersebut sehingga bisa dikenang hingga dikemudian hari.

D. Landasan Teori

Proses membaca foto adalah sebuah proses untuk masuk ke dalam

serangkaian hubungan tersembunyi dari suatu kekuatan yang membingungkan.

Kekuatan tersebut berada di dalam gambar di depan mata, sehingga perlu untuk

tidak hanya melihatnya sebagai gambar saja, akan tetapi juga membacanya

sebagai permainan aktif dari bahasa visual (Clarke, 1997: 29). Selain itu, Clarke

menegaskan suatu komponen dasar yang perlu digarisbawahi bahwa foto

merupakan produk dari fotografer sehingga foto tidak pernah bisa lepas dari

perspektif spesifik diri fotografer yang menyesuaikan wacana budayanya, baik

dari sudut pandang estetis, politis maupun ideologisnya.

Sejalan dengan itu, Roland Barthes (1981: 9) melihat ada tiga aspek yang

terdapat dalam foto, yaitu operator, spectator dan spectrum. Dalam kaitannya

dengan foto pre-wedding, operator adalah fotografer yang menghadirkan foto

pre-wedding menjadi suatu bentuk material. Spectrum adalah pasangan calon

Page 14: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  27  

pengantin yang menjadi objek foto, sedangkan spectator dalam artian yang lebih

luas, bisa peneliti atau juga para informan ahli. Akan tetapi, pada dasarnya

spectator adalah orang yang memandang foto pre-wedding tersebut dan

membangun pemaknaannya sendiri melalui perspektif masing-masing. Dalam

hubungannya dengan analisis kritis, Barthes membuat pembedaan yang lebih

lanjut tentang bagaimana cara membaca foto. Untuk membahas pesan dari foto,

Barthes (1981: 25-28) memperkenalkan konsep studium dan punctum yang

terdapat dalam sebuah foto. Kedua konsep ini perlu untuk dipahami, terutama

ketika ada keinginan untuk menggali dan menjawab pertanyaan tentang makna

simbolik yang terdapat di dalam sebuah foto pre-wedding, serta implikasi

keberadaannya di dalam masyarakat yang lebih luas.

Perbedaan dari keduanya sangatlah mendasar, studium memberikan kesan

respon pasif terhadap daya tarik foto, akan tetapi punctum memungkinkan untuk

melakukan suatu pembacaan yang kritis (Clarke, 1997: 32). Suatu detail dalam

foto yang akan menganggu keselarasan serta stabilitas permukaan yang kemudian

akan memulai proses terbukanya ruang untuk melakukan analisis secara kritis.

Studium merupakan suatu hal yang mana para pemandang foto setuju dengan apa

yang dilihatnya karena adanya suatu presentasi makna yang dikodekan secara

kultural serta sesuai dengan makna simbolik yang jelas. Studium sejajar dengan

saat perspektif ketika kita mencoba menyesuaikan indera kita dengan objek yang

ada dalam foto. Studium merupakan kesan keseluruhan secara umum, yang

mendorong seorang spectator segera memutuskan penilaiannya apakah sebuah

Page 15: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  28  

foto yang dilihat bersifat politis, historis, indah atau tidak indah yang sekaligus

mengakibatkan reaksi suka dan tidak suka.

Punctum di lain pihak merupakan saat di mana kita bergerak dan berhenti

pada satu titik yang menarik perhatian kita. Punctum berhubungan dengan elemen

atau sejumlah elemen. Layaknya sebuah anak panah, punctum keluar dari sebuah

gambar yang kemudian menusuk spectator sebagai orang yang melihat gambar

tersebut (Barthes, 1981). Punctum adalah fakta terinci di dalam sebuah foto yang

menarik dan menuntut perhatian kritis dari spectator tanpa memperdulikan

adanya studium. Punctum memungkinkan kita untuk melakukan suatu

rekonstruksi, juga untuk berbicara serta memberikan sinyal kepada kita terhadap

suatu fakta bahwa foto merupakan refleksi dari cara kita memandang dunia dalam

bentukan budaya.

Melalui pembahasan ulang atas penelusuran foto-foto studio produksi para

fotografer Tionghoa di Indonesia oleh Karen Strassler, Seno Gumira Ajidarma

(2002: 116-123) menjelaskan posisi studium dan punctum dalam proses

pembacaan foto. Secara umum, foto-foto studio dibuat berdasarkan pesanan,

berdasarkan selera pemesan dan dibuat untuk menipu perasaan pemesan yang

selalu ingin tampil dalam suatu citra terpandang. Studium pada foto-foto studio ini

merujuk pada sebuah dokumentasi dari sebuah keluarga maupun personal, dalam

suatu pose yang menjadi penanda legitimasi sosial. Dalam tataran tingkatan ini,

foto studio terlihat terlalu jelas dan tidak ada misteri, tidak terdapat ekspresi

individual, tidak ada penyampaian pesan, misi, makna dan sebagainya. Begitu

juga apabila kita masuk kepada foto pre-wedding. Studium di dalam sebuah foto

Page 16: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  29  

pre-wedding adalah kesan keseluruhan yang bisa kita tangkap ketika pertama kali

kita melihatnya. Di sana, bisa dilihat sebagai bagian dari sebuah proses

dokumentasi pasangan calon pengantin yang ada dalam foto tersebut dan berhenti

hanya sebagai ungkapan kepada publik atas pasangan yang ingin citra dirinya

dilihat sebagai pasangan yang berbahagia.

Berbeda dengan hal di atas, punctum memungkinkan untuk membaca

dengan cara yang lain. Dalam kasus foto studio di Indonesia, punctum yang digali

oleh Strasslers adalah gambar-latar (backdrop). Pemahaman melalui punctum,

mengungkapkan gambar-latar dalam suatu persilangan riwayat historitas yang tak

terduga, yaitu tumbuhnya kesadaran sebagai bangsa. Melalui punctum,

penyingkapan makna di balik gambar-gambar-latar menjadikan foto studio tidak

sekedar hanya menjadi ungkapan dunia yang ingin citra dirinya tampak bahagia

karena modern dan makmur, melainkan citra diri sebagai bangsa yang merdeka

dari segala bentuk penjajahan bangsa lain. Punctum inilah yang kemudian

menjadi faktor dominan untuk menggali nilai serta pesan-pesan yang ada dalam

foto pre-wedding. Detail-detail yang ada di dalam foto pre-wedding seperti pose,

background, gesture, pakaian, properti tambahan lainnya, pemilihan tempat,

hingga pemilihan warna dalam proses editing, dimungkinkan untuk dibaca dan

diinterpretasikan serta mempunyai jangkuan yang lebih besar dari sekedar apa

yang nampak dalam foto pre-wedding. Pembacaan ini menjadi subyektif terutama

ketika melihat bahwa pengetahuan serta pengalaman dari pembaca merupakan

komponen penting yang menentukan hasil dari proses pembacaannya tersebut

(Barthes, 1984, 27-29). Oleh karena itu, keberadaan foto pre-wedding juga perlu

Page 17: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  30  

dilihat melalui peranan fotografi pada umumnya di dalam sistem budaya

masyarakat atau apa yang disebut sebagai lifeworlds yaitu suatu wilayah di dalam

hidup keseharian yang berkaitan langsung dengan kondisi sosial serta aktivitas

praktisnya, segala kebiasaan yang menyertai, krisis, karakter idiomatik dan

kedaerahan, serta strategi-strategi yang ada di dalamnya (Jackson 1996:7–8).

Pada umumnya, penggunaan foto secara sosial akan melibatkan

pemahaman melalui media materialitas serta panca indra yang lebih luas atasnya,

terutama terkait hubungan antara orang dengan orang serta orang dengan benda.

Bagi Elizabeth Edwards (2009: 33-46), fotografi mampu melakukan sesuatu yang

lebih dari (melampaui) sekedar proses visualisasi. Fotografi mampu berkembang,

membawa, dan menggoncang perasaan melampaui proses melihat. Edwards

menyatakan bahwa pada waktu melakukan pembacaan foto, semua hal yang

berhubungan dengan penginderaan menjadi faktor yang penting.

Sejalan dengan kritiknya terhadap cara pandang Barat yang lebih

mengutamakan melihat dan mendengar sebagai dasar pengetahuan rasional dari

pada indera-indera yang lain, Edwards membangun satu dasar teori fotografi yang

lebih memprioritaskan pengetahuan berdasarkan cara hidup masyarakat daripada

pengetahuan yang masuk akal bagi kehidupan intelektual. Dasar teori yang lebih

menonjolkan pada keberartian foto sebagai pengalaman hidup yang aktual dari

masyarakat daripada suatu teori yang membentuk fotografi sebagai sebuah

ontologi maupun abstraksi analitis, yaitu melalui Oralities. Teori ini menjadi

penting untuk diterapkan dalam mendukung proses pembacaan foto pre-wedding

karena Spectrum, yang pada teori pertama kurang mempunyai peranan dalam

Page 18: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  31  

proses pencarian makna, menjadi terlibat secara aktif dalam proses penjabaran

foto pre-wedding berdasarkan pengetahuan atas dirinya sendiri. Ekspresi lisan

memerlukan interaksi dari audiens yang spesifik, pada waktu yang spesifik pula.

Disajikan dalam suatu hubungan, menciptakan konteks untuk transmisi cerita,

juga menjadi suatu pengingat bahwa subjek di dalam foto tersebut bisa menjadi

teman berbicara (Edward, ibid: 42). Jadi di dalam konteks foto pre-wedding,

pasangan yang ada dalam foto tersebut mempunyai peranan dan kemampuan

untuk berbicara dengan audience-nya, bercerita tentang kisah dan kenangan serta

alasan hadirnya foto tersebut menjadi bentuk material.

Pembahasan tentang Oralities dimulai dengan argumen Edwards yang

menyatakan bahwa dia bermaksud untuk melampaui konseptualisasi dari bahasa

sebagai suatu abstraksi, simbol dan sistem penandaan, serta untuk memahami

bahasa sebagai sesuatu yang didengar dan menjadi bagian terpadu dari lanskap

akustik, yang mana serangkaian literasi sonik tidak hanya membawa tanda akan

tetapi juga membawa emosi. Bahasa memang sering dilihat dalam konsep

semiotik. Akan tetapi lebih dari hal tersebut, bahasa juga merupakan konsep

emosional dan dampak emosional dari foto adalah diartikulasikan melalui bentuk

vokalisasi pada waktu masyarakat saling berhubungan satu dengan yang lainnya.

Foto mempunyai keterlibatan dalam cerita secara lisan, baik sejarah pribadi,

keluarga maupun masyarakat, sebagai dunia yang diriwayatkan melalui artikulasi

vokal. Foto dan suara secara performatif saling berkaitan, menghubungkan,

memperluas serta mengintegrasikan fungsi sosial dari suatu gambar.

Page 19: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  32  

Seperti yang diketahui, bahwa kebanyakan dari foto tidak berada di dalam

konteks seni maupun ekspresi formal, akan tetapi berada dalam wilayah

keseharian yaitu sebagai kartu pos, undangan pernikahan, dalam album keluarga,

kalender, koran, atau majalah. Gambar-gambar inilah yang kemudian

menanggung beban terbesar atas pemaknaan sosial. Seringkali, mereka keluar

atau tampil ke publik untuk segera lenyap, dilupakan para penontonnya kecuali

oleh mereka yang merasa secara penuh mempunyai keterlibatan didalamnya.

Meskipun begitu, pada saat yang bersamaan, gambar-gambar tersebut

berada dalam cakupan beberapa indrawi sekaligus. Dalam konteks ini, foto tidak

hanya dilihat dalam suatu kontemplasi yang sunyi, akan tetapi sebagai foto yang

berbicara dengan dan berbicara tentang (Erlmann, 2004:17). Foto mewujud

melalui suara dari manusia ketika berbicara atau pada waktu mengatakan suatu

cerita kepada penontonnya (formal/informal), yang dari sana kemudian

membentuk kerangka interaksi sosial. Sebuah foto mampu menciptakan suatu

cerita lisan yang nantinya akan diceritakan secara turun temurun. Foto,

didalamnya tersimpan perubahan cerita yang dinamis dan memiliki komponen

emosional yang kuat serta dapat diputar secara berulang-ulang melalui berbagai

cerita. Tidak hanya itu, foto juga mampu menyampaikan perasaan-perasaan

seperti tawa, sedu sedan tangisan maupun keterkejutan seseorang. Semua hal

tersebut, merujuk kepada aktivitas berbagi emosi, suatu kode-kode ekspresif yang

menghubungkan orang dengan kata-kata, gambar, dan kejadian nyata yang terjadi

dalam kehidupan sehari-harinya.

Page 20: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  33  

E. Metode Penelitian

Terdapat dua elemen penting dalam antropologi untuk menghasilkan

pengetahuan, yaitu fieldwork (penelitian lapangan) dan analysis (analisis).

Penelitian lapangan merupakan proses mengumpulkan seperangkat material

empiris melalui berbagai metode penelitian lapangan, sedang analisis merupakan

langkah menganalisis data yang didapat (material empiris) apakah layak dipakai

atau tidak (Eriksen, 2004: 42). Metode yang dipakai dalam penelitian ini akan

menggunakan metode kualitatif. Secara umum, penelitian ini mempunyai dua titik

penekanan, yaitu melakukan analisis pembacaan foto berdasarkan kepada apa

yang terlihat di dalam foto tersebut untuk mengetahui aspek estetis, makna yang

terpendam, maupun perkembangan foto pre-wedding yang terjadi secara umum.

Selanjutnya, melakukan analisis berdasarkan pengetahuan dari mereka yang

mempunyai pengalaman keterlibatan dalam foto pre-wedding, terutama mereka

yang pernah melakukan produksi foto pre-wedding.

Kedua analisis tersebut digunakan untuk menelusuri berbagai alasan yang

mendasari para pasangan calon pengantin memproduksi serta mempertunjukkan

romantisme mereka ke publik. Sedangkan alasan utama yang mendasari

pemakaian kedua analisis di atas ke dalam sebuah penelitian adalah karena subjek

yang berada di dalam foto itu adalah subjek yang bisa berpikir, mempunyai ide

dan pandangan, mampu menentukan pendapat serta kemampuan untuk

bernegosiasi dengan fotografernya dalam membentuk hasil akhir dari foto pre-

wedding tersebut. Foto merupakan hasil dari suatu proses perantara yang sangat

kompleks antara fotografer dan subjeknya (Silva, 2004: 159). Di dalamnya

Page 21: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  34  

terdapat suatu proses peleburan kepentingan serta kebudayaan dari subjek dan

fotografer, hasil negosiasi di antara mereka. Melakukan analisis foto pre-wedding

tanpa melibatkan peranan mereka (pasangan yang ada dalam foto bersama

fotografernya) akan membuat hasil akhir dari penelitian ini terasa pincang.

Alasan-alasan pribadi yang mendasari pembuatan foto pre-wedding kiranya perlu

ditanyakan secara langsung kepada sumbernya, tidak hanya mencoba

menerjemahkan atau membaca pola yang ada di dalam foto pre-wedding.

Tahapan penelitian yang pertama dilakukan adalah tahapan pengarsipan

dengan cara mengumpulkan foto pre-wedding yang dapat diperoleh, antara lain

melalui akses di internet, portfolio para fotografer, koleksi para pasangan yang

telah melakukan sesi foto pre-wedding, katalog dan dokumen studio-studio foto

yang ada di Yogyakarta. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan metode pengamatan (observasi) serta melakukan wawancara

mendalam (indepth interview) dengan informan kunci. Meskipun hampir setiap

orang dapat menjadi informan, namun tidak setiap orang dapat menjadi informan

yang baik (Spreadley, 2006: 65). Ada beberapa kriteria yang digunakan dalam

menentukan fotografer yang dipakai sebagai informan dalam penelitian ini.

Pertama adalah mereka yang secara total menggantungkan kehidupan ekonominya

dengan menghasilkan foto untuk orang lain dan bertempat tinggal di Yogyakarta.

Usia maupun lamanya fotografer tersebut bekerja diwilayah industri foto

komersial menjadi faktor yang penting kerena dapat diasumsikan bahwa melalui

foto yang mereka hasilkan juga dapat dilihat trend seperti apa yang sedang terjadi

pada saat itu. Dengan kata lain, apa yang mereka hasilkan adalah juga wujud

Page 22: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  35  

representasi dari gairah anak muda sehingga dipilih para fotografer yang berusia

tidak lebih dari 40 tahun. Tentunya, pengalaman dalam memproduksi foto pre-

wedding juga merupakan kriteria penting yang perlu diperhatikan. Secara

pendidikan adalah mereka yang pernah mengikuti pendidikan fotografi secara

formal maupun mereka yang telah mempunyai pengalaman dalam dunia fotografi

komersial minimal selama kurang lebih lima tahun dan yang telah menghasilkan

foto pre-wedding minimal dari sepuluh pasangan calon pengantin yang berbeda

selama kurun waktu dua tahun belakangan.

Setelah menemukan fotografer yang akan dijadikan sebagai informan,

langkah selanjutnya ialah mengumpulkan semua hasil foto pre-wedding yang

telah mereka buat selama ini untuk bisa mendapatkan informan kunci dari pihak

pasangan yang membuat foto. Seleksi kembali dilakukan dengan disertai berbagai

pertimbangan. Dari seorang fotografer akan didapatkan satu pasangan yang

merepresentasikan contoh klasifikasi dari tren umum yang ada dalam foto pre-

wedding dikota Yogyakarta. Identitas kultural, religi, sejarah, gaya, pose dan

properti yang dipakai oleh para pasangan tersebut dilakukan untuk menemukan

pola-pola visual yang terdapat didalam foto pre-wedding serta relasi dalam

penggunaannya. Selain itu, juga akan menjadi faktor seleksi agar tidak

mendapatkan kesamaan foto dari para fotografer yang dipilih. Untuk

mempermudahkan akses observasi dan wawancara, pasangan yang dipilih

hanyalah para pasangan yang berdomisili di Yogyakarta.

Setelah melakukan klasifikasi umum, penentuan informan fotografer dan

pasangan yang ada dalam foto pre-wedding, proses selanjutnya adalah melakukan

Page 23: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  36  

pembacaan secara lebih mendalam terhadap semua foto pre-wedding yang telah

dikumpulkan sebelumnya, dengan meminjam kerangka analisis dari teori fotografi

yang ditetapkan. Tahapan ini digunakan untuk melihat pola yang umum dipakai,

pola visual serta nilai-nilai sosial yang terdapat di dalam foto pre-wedding.

Selanjutnya melakukan proses observasi dan wawancara dengan para informan

pasangan calon pengantin dan para fotografer dalam foto pre-wedding yang telah

dipilih. Untuk proses observasi dan wawancara terhadap informan kunci akan

dilakukan dalam kehidupan keseharian mereka. Perbandingan antara apa yang

terpresentasikan di dalam foto dengan kehidupan nyata mereka secara langsung

atau pun tidak langsung dapat diketahui pada waktu observasi dilakukan.

Observasi juga dilakukan pada waktu proses produksi foto pre-wedding

berlangsung, sejak proses pemilihan properti yang akan dipakai, eksekusi ide,

hingga proses editing yang dilakukan oleh fotografernya.

Meskipun proses produksi foto pre-wedding ini bukan proses produksi

yang dilakukan oleh informan kunci, penting dirasa untuk mengetahui proses

yang terjadi di lapangan pada waktu sesi pemotretan foto pre-wedding

berlangsung. Informasi-informasi yang didapatkan dari observasi ini dapat

membantu memahami bagaimana foto tersebut dimaknai, baik melalui sudut

pandang para pasangan yang memesan foto pre-wedding dan fotografernya,

termasuk proses negosiasi di antara mereka. Selain nama fotografer dan studio

serta para informan kunci, dikarenakan masalah etika sengaja tidak ditampilkan

nama-nama dari para pasangan calon pengantin yang berkeberatan untuk

disebutkan namanya meskipun foto-foto mereka dipakai untuk bahan analisa pola-

Page 24: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  37  

pola visual foto pre-wedding secara umum. Sebagai pelengkap data yang

terkumpul, juga digunakan berbagai sumber literatur penunjang berupa buku-buku

referensi, hasil riset yang pernah dibuat sebelumnya, arsip-arsip, artikel ilmiah,

jurnal serta literatur lainnya yang dimungkinkan sebagai penunjang kelengkapan

data penelitian.

F. Struktur Thesis

Bab pertama dari thesis ini membicarakan tentang latar belakang

ketertarikan penulis untuk membuat kajian tentang foto pre-wedding serta

munculnya foto pre-wedding yang kemudian bagi sebagian calon pasangan

pengantin di kota-kota besar di Indonesia wajib dihadirkan dan menjadi bagian

dari prosesi pernikahan mereka. Tren penggunaan foto pre-wedding tersebut

menimbulkan suatu pertanyaan-pertanyaan yang ditelaah melalui penelitian ini.

Tinjauan pustaka, landasan teori serta metodologi penelitian yang digunakan

menjadi pembicaraan tersendiri dalam bab ini.

Fokus pembicaraan dalam bab kedua berkaitan dengan hubungan yang

terjadi antara perubahan pada teknologi perekaman atau digitalisasi kamera foto

dengan kemunculan industri foto pre-wedding di Indonesia maupun di

Yogyakarta. Pembahasan dimulai dari perubahan-perubahan besar yang terjadi

pada teknologi peralatan fotografi pada umumnya hingga mulai tergerusnya

peranan teknologi analog oleh peralatan digital yang membuat media fotografi

menjadi semakin akrab dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kemunculan

foto pre-wedding di Indonesia yang tidak terlepas dari dampak perkembangan

digitalisasi industri kamera global menjadi topik pembahasan khusus selain

Page 25: BAB I PENGANTAR A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/68919/potongan/S2-2014...merubah kedua kata tersebut ke dalam bahasa Inggris ataupun bahasa Indonesia. ... Contoh

  38  

tentang perkembangan dan proses pembuatan foto pre-wedding sendiri di wilayah

Yogyakarta. Proses produksi foto pre-wedding juga menjadi bagian yang

dijelaskan dalam bab ini.

Untuk bab ketiga, topik utama dalam pembahasannya berkaitan dengan

upaya pembacaan pola-pola visual yang terdapat pada foto pre-wedding. Gambar

latar, ekspresi wajah dan gerak tubuh, kostum yang dikenakan oleh para pasangan

calon pengantin hingga sampai proses editing terhadap foto pre-wedding, menjadi

suatu hal yang penting untuk dijabarkan. Selain itu, juga dijelaskan peran kuasa

operator (fotografer) yang memegang peranan vital dalam upaya membentuk

pembayangan diri pasangan calon pengantin melalui media foto pre-wedding ini.

Pada bab ke empat berfokus kepada pemaknaan foto pre-wedding, baik dari

sudut pandang spectator (penonton) maupun dari spectrum (pasangan calon

pengantin sendiri). Perbandingan antara foto pernikahan dengan foto pre-wedding

dilakukan untuk melihat peranan yang lebih besar dari foto pre-wedding. Bab ini

juga menjabarkan perubahan dalam kehidupan masyarakat yang terjadi pasca

perkembangan industri foto pre-wedding.

Bab terakhir membahas tentang kesimpulan dari seluruh hasil penelitian

yang dilakukan oleh penulis. Saran dan kritik yang bisa berguna, baik untuk

kelanjutan penelitian lain tentang topik bersangkutan maupun topik yang lebih

besar tertuang didalam bab ke lima ini.