Askep Sufokasi Dan Drowning

74
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SUFOKASI DAN DROWNING DISUSUN OLEH : Kelompok III Eko Yeppianto (13141112302 9) Rachmad Handani (13141112303 1) Dimas Surya B (13141112303 3) Luluk Anggarani (13141112303 5) Grandis Dwi. K (13141112303 7) Yan Laras M (13141112303 9) Astrid Dyah (13141112304

description

Keperawatan Medikal Bedah

Transcript of Askep Sufokasi Dan Drowning

ASUHAN KEPERAWATAN

KLIEN DENGAN SUFOKASI DAN DROWNING

DISUSUN OLEH :

Kelompok III

Eko Yeppianto (131411123029)

Rachmad Handani (131411123031)

Dimas Surya B (131411123033)

Luluk Anggarani (131411123035)

Grandis Dwi. K (131411123037)

Yan Laras M (131411123039)

Astrid Dyah F.D (131411123042)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2014/2015

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pernafasan tidak hanya proses masuknya oksigen dan keluarnya karbon dioksida, tapi

juga proses transportasi gas dan metabolisme, dan ada beberapa proses yang kompleks

yang dapat menyebabkan gangguan. Jika hasil akhir dari gangguan tersebut mengakibatka

kematian, ini disebut dengan sufokasi. Sufokasi adalah tipe dari asfiksia mekanik yang

disebabkan baik karena kekurangan oksigen di suatu lingkungan atau karena terjadi

obstruksi mekanik ke saluran pernafasan yang bukan disebabkan konstriksi atau

penyempitan pada leher dan tenggelam (drowning) (Bardale, 2011).

Kasus sufokasi karena bunuh diri sangat jarang. Accidental sufokasi atau sufokasi

yang terjadi secara tidak sengaja sering terjadi pada anak-anak ketika mereka menelan

benda asing seperti koin ketika bermain. Accidental suffocation juga dapat terjadi pada

seseorang yang terjebal di gedung yang terbakar atau di selokan. Sufokasi yang

menyebabkan kematian sering terjadi. Bantal sering di gunakan untuk membunuh anak-

anak, lansia, dan wanita (Sharma, 2008).

Drowning biasanya dikaitkan dengan situasi dramatis atau yang mengancam jiwa.

Namun, drowning masih menjadi masalah kesehatan yang diabaikan. Setiap tahun,

drowning bertanggung jawab terhadap kematian 500.000 jiwa di seluruh dunia. Jumlah

angka pasti masih belum diketahui karena tidak semua kematian karena drowning

dilaporkan (Vincent et all, 2011).

Umur, jenis kelamin, penggunaan alkohol, status sosial ekonmi (diukur dari

pemasukan dan/atau pendidikan), dan kurangnya supervisi adalah kunci utama faktor

resiko drowning. Berdasarkan usia dan jenis kelamin, laki-laki 5 kali lebih banyak

meninggal karena drowning daripada wanita. Sekitar 40 s/d 45% terjadi ketika berenang.

Pada rentang umur 5 s/d 14 tahun, drowning menjadi penyebab utama kematian pada

laki-laki di seluruh dunia dan menempati uruttan kelima penyebab kematian pada wanita.

Di Amerika Serikat, drowning adalah peringkat ketiga kasus kematian karena injury yang

tidak disengaja pada semua umur dan urutan kedua kematian di usia 5 s.d 44 tahun.

Kematian pada drowning sering terjadi 53% di kolam renang di Amerika Serikat (Vincent

et all, 2011).

Drowning adalah penyebab kematian kedua pada anak-anak usia 1 s/d 14 tahun dan

urutan ketika kematian karena injury pada semua umur di Brazil. Di belanda, 300 orang

meninggal setiap tahunnya karena drowning dan 450 orang dirawat di rumah sakit. Rata-

rata korban tinggal di rumah sakit selama 11 hari, 10% diantaranya meninggal (Vincent et

all, 2011).

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mengetahui konsep asuhan keperawatan pada klien dengan sufokasi dan drowning.

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui pengertian sufokasi dan drowning

b. Mengetahui etiologi sufokasi dan drowning

c. Mengetahui klasifikasi dari sufokasi dan drowning

d. Mengetahui pencegahan dan penatalaksaanaan sufokasi dan drowning

e. Mengetahui WOC sufokasi dan drowning

f. Mengetahui asuhan keperawatan sufokasi dan drowning

1.3 Manfaat

1.3.1 Manfaat Teoritis

Sebagai bahan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan, perawat dan petugas

kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan pada kasus sufokasi.

1.3.2 Manfaat Praktis

Sebagai pedoman bagi mahasiswa keperawatan, perawat dan petugas kesehatan lain

dalam memberikan asuhan keperawatan pada kasus sufokasi.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Pernafasan

A. Anatomi Sistem Pernafasan

1. Saluran Pernafasan Bagian Atas

a) Rongga Hidung

Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung

vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir disekresi secara terus menerus oleh

sel – sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang

ke nasofaring oleh gerakan silia. Hidung berfungsi sebagai penyaring kotoran,

melembabkan serta menghangatkan udara yang dihirup ke dalam paru – paru.

b) Faring

Adalah struktur yang menghubungkan hidung dengan rongga mulut ke laring.

Faring dibagi menjadi tiga region ; nasofaring, orofaring, dan laringofaring. Fungsi

utamanya adalah untuk menyediakan saluran pada traktus respiratoriun dan

digestif.

c) Laring

Adalah struktur epitel kartilago yang menghubungkan faring dan trakhea. Fungsi

utamanya adalah untuk memungkinkan terjadinya lokalisasi. Laring juga

melindungi jalan nafas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk.

2. Saluran Pernafasan Bagian Bawah

a) Trakea

Disokong oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda yang

panjangnya kurang lebih 5 inci, tempat dimana trakea bercabang menjadi bronkus

utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina. Karina memiliki banyak saraf dan

dapat menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika dirangsang.

b) Bronkus

Bronkus terdiri atas 2 bagian yaitu bronkus kanan dan kiri. Bronkus kanan lebih

pendek dan lebar, merupakan kelanjutan dari trakhea yang arahnya hampir vertikal.

Bronkus kiri lebih panjang dan lebih sempit, merupakan kelanjutan dari trakhea

dengan sudut yang lebih tajam. Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang

menjadi bronkus lobaris kemudian bronkus segmentaliis. Bronkus dan bronkiolus

dilapisi oleh sel – sel yang permukaannya dilapisi oleh rambut pendek yang disebut

silia, yang berfungsi untuk mengeluarkan lendir dan benda asing menjauhi paru

menuju laring. Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis

yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia. Bronkiolus terminalis kemudian

menjadi bronkiolus respiratori yang menjadi saluran transisional antara jalan udara

konduksi dan jalan udara pertukaran gas.

c) Alveoli

Paru terbentuk oleh sekitar 300 juta alveoli. Terdapat tiga jenis sel – sel alveolar,

sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alveolar. Sel alveolar

tipe II sel – sel yang aktif secara metabolik, mensekresi surfactan, suatu fosfolipid

yang melapisi permukaan dalam dan mencegah alveolar agar tidak kolaps. Sel

alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel – sel fagositosis yang besar

yang memakan benda asing dan bekerja sebagai mekanisme pertahanan penting.

B. Fisiologi Sistem Pernafasan

Pernafasan mencakup 2 proses, yaitu pernafasan luar yaitu proses penyerapan

oksigen (O2) dan pengeluaran carbondioksida (CO2) secara keseluruhan. Pernafasan

dalam yaitu proses pertukaran gas antara sel jaringan dengan cairan sekitarnya

(penggunaan oksigen dalam sel). Proses fisiologi pernafasan dalam menjalankan

fungsinya mencakup 3 proses yaitu :

1. Ventilasi yaitu proses keluar masuknya udara dari atmosfir ke alveoli paru.

2. Difusi yaitu proses perpindahan/pertukaran gas dari alveoli ke dalam kapiler

paru.

3. Transpor yaitu proses perpindahan oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan

tubuh.

2.2 Sufokasi

A. Pengertian

Sufokasi adalah tipe dari asfiksia mekanik yang disebabkan baik karena kekurangan

oksigen di suatu lingkungan atau karena terjadi obstruksi mekanik ke saluran

pernafasan yang bukan disebabkan konstriksi atau penyempitan pada leher dan

tenggelam (drowning) (Bardale, 2011). Sufokasi adalah asfiksia, di mana pasokan

oksigen tidak memadai di lingkungan sekitarnya dan gagal mencapai aliran darah

(Stewart, 2012).

B. Etiologi

Menurut Bardale (2011) etiologi dari sufokasi, yaitu:

1. Kekurangan oksigen di udara (environmental suffovcation), contoh: Keracunan gas

CO, CO2, SO2, dll.

2. Plastic bag suffocation

3. Obstruksi pada saluran pernafasan (bukan disebabkan kompresi pada leher dan

drowning)

Menurut Wong (2008) penyebab sufokasi pada anak, adalah:

1. Balon Lateks, apakah digelembungkan sebagian atau tidak digelembungkan, atau

pecah.

2. Bayi yang diletakkan di tempat tidur dengan selimut dan sprei yang dimasukkan ke

dalam kasur dan terperangkapdi bawah selimut dan tidak bias membebaskan diri.

3. Bantal bayi yang diisi manik – manik busa plastic yang menyerupai kantong

kacang kecil juga berbahaya, bayi yang sangat kecil dapat mengalami sufokasi bila

bantal menyesuaikan bentuk wajah dan menghambat jalan nafas.

4. Ada potensi bahaya jika orang dewasa tidur bersama bayi kecil karena bayi bisa

saja berguling dan mendekap bayi.

5. Bayi dapat terjepit jika kepala terperangkap diantara pagar pagar tempat tidur dan

kasur atau benda lain dekat tempat tidur.

6. Tempat bermain atau tempat tidur dengan jaring – jarring di samping dapat

menyebabkan kematian bila dipasang pada posisi rendah, bayi dapat mengalami

sufokasi ketika mereka terjatuh dari ujung kasur dan kepala atau dada dapat terjepit

di antara papan lantai dan sisi jarring.

7. Kantung plastic besar yang digunakan untuk pakaian yang sangat rigan dapat

dengan mudah dan cepat terbungkus oleh kepala bayi yang aktifatau menekan

wajah. Anak yang lebih besar dapat bermain dengan kantung plastic secara tidak

sengaja menariknya ke kepala mereka, Karena plastic tidak berpori, sufokasi dapat

terjadi dalam hitungan menit.

8. Tali (gorden atau tirai jendela) terletak di dekat bayi atau diikatkan ke leher bayi,

serbet makan, dot yang digantungkan ke leher bayi, mainan yang ada talinya

seperti telefon sangat berbahaya karena tali dapat mengikat sekeliling leher bayi

atau anak dapat terjerat.

9. Anak usia toddler dapat memanjat ke dalam peralatan yang sudah tua (misal:

lemari es, oven, dll) dan jika mereka menutupnya mereka dapat terperangkap di

dalamnya.

10. Anak usia toddler bisa juga mengalami sufokasi secara tidak sengaja ke kepala atau

leher.

11. Tali jaket atau kerudung dapat menyebabkan tercekik dan sufokasi.

12. Penyebab lain kematian akibat asfiksia traumatic adalah akibat pintu garasi yang

dioperasikan dengan listrik, anak kecil yang bermain bisa terperangkap di bawah

pintu.

C. Patofisiologi

Sufokasi adalah asfiksia dimana pasokan oksigen tidak memadai di lingkungan

sekitarnya dan gagal mencapai aliran darah. Sufokasi meliputi pembekapan

(smoothering), seperti kepala korban ditutupi dengan kantong plastik atau dibekap

dengan bantal sehingga terjadi obstruksi atau oklusi jalan napas eksternal yang

menyebabkan penekanan eksternal pada dada atau trakea. Hal ini dapat juga disebut

sebagai sufokasi mekanik. Keracunan gas dapat terjadi akibat dari kelebihan karbon

dioksida. Sebab kematian pada peristiwa sufokasi, biasanya merupakan kombinasi dari

hipoksia, keracunan CO2 dan hawa panas (Stewart, 2012).

D. Klasifikasi

Klasifikasi sufokasi menurut James et all (2003) dibedakan menjadi 2, yaitu:

Klasifikasi 1

1. External (Mechanical Obstruction)

Sufokasi eksternal mencakup semua proses pernafasan yang mengalami obstruksi

atau restriksi pada saluran pernafasan. Contoh: smothering, choking, asfiksia

traumatik, throttling, strangulation, dan cafe coronary.

Smothering

Smothering adalah bentuk asfiksia yang disebabkan oleh oklusi mekanis pada

saluran pernasan bagian luar (hidung dan mulut). Kematian pada smothering

disebabkan karena adanya obstruksi pada saluran uadara, seperti mulut dan

hidung dibekap oleh tangan, baju, bantal, handuk, dll (Bardale, 2011).

Autopsy Finding:

- Pucat di area mulut dan hidung yang disebabkan karena tekanan dari objek

yang menghalangi jalan masuk udara.

- Wajah dapat menunjukkan kongesti dan/atau peteki hemoragic. Pada beberapa

kasus terdapat abrasi, scratches / goresan, atau kontusio.

- Jika obyek yang digunakan merupakan bahan yang lembut, tidak terlihat injuri

pada area dekat mulut dan lubang hidung. Namun, objek masih tersisa di

saliva, darah, dan mukosa sel.

- Terdapat kontusio pada bibir, gusi, dan lidah.

Choking

Choking diartikan sebagai obstruksi saluran pernafasan yang berasal dari dalam.

Choking terjadi sebagai dampak dari benda asing yang masuk ke saluran

pernafasan, seperi tulang ikan, koin, kapas, cacing gelang, atificial teeth, dll.

Benda asing merangsang spasme laring sehingga menutup keluar masuknya

ydara. Bahkan benda asing sekecil apa pun dapat merangsang spasme laring yang

menimbulkan kematian. Penyakit-penyakit tertentu juga dapat menyebabkan

terjadi choking. Tumor dapat menekan jalan udara untuk masuk. Vomitus dapat

masuk ke saluran pernafasan dan memproduksi spasme pada laring (Sharma,

2008).

Asfiksia Traumatik

Asfiksia traumatik merupakan bentuk asfiksia violent yang disebabkan karena

adanya fiksasi mekanik pada thorak sehingga menghalangi perpindahan jalan

nafas (Bardale, 2011).

Penyebab:

1. Thorak dan abdomen mengalami penekanan oleh benda yang menyebabkan

ekspansi pada thorak dan menghalangi pergerakan diafragma. Bisa disebabkan

karena:

- Tertimpa runtuhan bahan bangunan

- Terkubur dalam tanah / batu bara

- Terperangkan di bawah mobil atau kendaraan lainnya.

2. Thorak mengalami penekanan karena tertindih oleh orang lain. Kematian jenis

ini disebut Riot Crush atau Human Pile Death.

Autopsy Findings:

- Peteki hemoragic dan sianosis dari kepala, leher, dan thorak. Peteki hemoragic

juga terlihat di konjungtiva dan kulit periorbital.

- Perdarahan pada pleura. Injury pada dada dapat digambarkan dengan fraktur

tulang rusuk. Paru-paru dan jantung menunjukkan kontusia dan/atau laserasi

Throttling

Kompresi pada leher dengan 1 atau 2

tangan atau menekan leher dengan

menggunakan lengan atas

dan bawah didefinisikan sebagai

throttling (James et all, 2003)

Gambaran goresan dan perdarahan pada throttling

Strangling / Strangulation

Strangling atau strangulation mengacu pada pencekikan pada leher dengan

menggunakan tangan. Penyebab kematian pada strangling biasanya karena

adanya kombinasi iskemia dengan kompresi arteri karotis dan obtruksi pernafasan

dengan kompresi dari trakea atau laring (James et all, 2003)

Cafe Coronary

Cafe coronary telah dilaporkan bahwa seseorang yang sedang duduk di cafe atau

bar mengalami kolaps dan kematian. Hal ini seolah orang tersebut mengalami

serangan jantung mendadak. Namun pada pemeriksaan post-mortem, terdapat sisa

makanan atau tulang ikan terlihat di saluran pernafasan yang mengindikasikan

orang tersebut meninggal karena asfiksia dan bukan PJK. Cafe coronary lebih

sering terjadi pada seseorang yang mabuk. Penyebab kematian pada semua kasus

sufokasi adalah asfiksi. Kematian berlangsung antara 5-6 menit (Sharma, 2008).

2. Internal (cellular level)

Sufokasi internal adalah gangguan di transportasi oksigen dan kerusakan pada

tingkat sel. Contoh: inhalation / irrespirable gas

Inhalation / Irrespirable Gas

Menghirup gas beracun seperti CO2, asap kebakaran, hidrogen sulfat, dan metana

pada pekerja selokan dapat menyebabkan terjadinya sufokasi. Sufokasi juga dapat

terjadi pada ruangan kecil dengan banyak orang di dalamnya (Sharma, 2008).

Klasifikasi 2

1. Global

Hipoksia (Non-Asphyxial)

Global hypozia atau anoxia adalah tidak adanya oksigen yang bisa disebabkan

secara eksternal (misalnya karena kekurangan oksigen saat proses inspirasi dan

restrikse volume udara (adanya kehadiran gas inert)), atau secara internal

(edemaparu, cyan derivatives, atau keraucunan metamoglobinemia atau karbon

monosida), dan adanya penyakit seperti myasthenia gravis (James et all, 2003)

Asphyxial

Global asphyxia mengacu pada retensi CO2 yang menyebabkan peningkatan

aktivitas pernafasan seperti yang terjadi pada drowning, gagging, tension

pneumothorax, restriksi rongga thorax, dan asma (James et all, 2003)

2. Local

Terjadi iskemia karena kurangan oksigen (James et all, 2003).

E. Manifestasi Klinis

Menerut James et all (2003) temuan dan tanda klinis pada klien dengan sufokasi

dibedakan menjadi dua, yaitu

1. Temuan Eksternal

Hipoksia

Peningkatan denyut jantung, peningkatan frekuensi pernapasan, penurunan

tingkat kesadaran. Gangguan kesadaran yang berkembang menjadi koma dan

kematian apabila terjadi hipoksia serebrum (otak) yang berkepanjangan.

Kegagalan organ, termasuk gagal jantung dan gagal ginjal dapat terjadi apabila

hipoksia berkepanjangan.

Cyanosis

Kekurangan oksigen dalam darah mengakibatkan warna hemoglobin menjadi

sangat gelap yang memicu timbulnya kebiruan pada kulit. Sianosis akan timbul di

kulit dan membran mukosa seperti wajah dan kuku.

Congestion dan edema

Wajah perlahan-lahan bengkak yang disebabkan karena kebocoran cairan dari

pembuluh darah dan mengakibatkan edema lokal. Keluarnya cairan dari

vaskularisasi dapat disebabkan oleh kompresi aliran vena dan peningkatan

permeabilitas dinding pembuluh darah akibat kekurangan suplai oksigen.

Petekie Hemoragic

Petekie hemiragic akan terlihat pada kulit wajah dan membran mukosa. Selain itu

juga dapat terlihat di konjungtiva, subsklera, kulit kelopak mata, membran

mukosa dalam bibir dan sekitar telinga. Petekie hemoragic timbul dalam venula

yang berdinding tipis sebagai akibat dari peningkatan tekanan vena secara

mendadak yang memicu overekstensi dan ruptur.

Perdarahan dari mukosa nasal dan meatus auditorius eksternal

Sufokasi yang disebabkan karena kekerasan akan menimbulkan perdarahan.

2. Temuan Internal

Perdarahan intra-kranial

Edema cerebral

Pulmonary edema

Perdarahan visceral

Fluidity of blood

Kongesti visceral

Pembengkakan jantung kanan

F. Tahap Sufokasi

Tahap terjadinya sufokasi menurut James et all (2003), adalah:

1. Fase dispneu

Terjadi dispneu saat proses ekspirasi dengan peningkatan RR, sianosis, dan

takikardi. Pada fase dispenu dengan peningkatan RR biasanya tidak terjadi pada

sufokasi hypoxic. Berlangsung selama 60 – 80 detik.

2. Fase konvulsif

Kehilangan kesadaran, distress pernafasan, kongesti facial, bradikardi, hipertensi,

dan konvulsi. Durasi selama 2 menit.

3. Pre-terminal Respiratory Pause

Tidak ada aktivitas pernafasan, paralisis saluran nafas dan pusat sirkulasi, takikardi,

hipertensi sistemik. Durasi selama 60-120 detik.

4. Mulai timbul nafas seperti terenga-engah karena reflek primitif pernafasan

5. Akhirnya timbul kehilangan gerakan sistem pernafasan: hilangnya reflek dan dilatasi

pupil. Durasi selama 1-4 menit.

G. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Price & Wilson (2005), pengukuran gas darah arteri adalah bukti yang paling

dapat dipercaya pada keadaan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat yang mencakup

PaO2 rendah, pH <7,35 atau dan SaO2 < 90%.

PaO2 : 80-100 mmhg (normal)60-80 mmHg (hipoksia ringan)40-60 mmHg (hipoksia sedang) < 40 mmHg (berat)

SaO2 : 95%-97% (normal)<90% (dapat mengindentifikasi hipoksemia)pH : 7,35-7,45 (normal) PaCO2 : 35-45 mmHg (normal)>45 mmHg (hipoventilasi)<35 mmHg (hiperventilasi)

H. Penatalaksanaan

Pertolongan pertama yang dapat dilakukan pada sufokasi khusunya karena choking,

adalah:

Pada Dewasa:

1. Hal pertama yang dilakukan adalah posisikan korban agak condong ke depan dan

berikan 5 tepukan dengan menggunakan telapak tangan di antara kedua bagian bahu

agar mereka dapat batuk

2. Jika korban tidak dapat batuk untuk mengeluarkan benda yang membuat tersedak,

hubungi petugas kesehatan secepat mungkin

3. Jika korban berusia lebih dari 1 tahun, lakukan abdominal thrusts / heimlich

maneuver

4. Berdiri di belakang korban dan lingkarkan lengan penolong di pinggang korban

5. Berikan tekanan di perut korban

6. Perhatikan apakah korban dapat bernafas atau apakah objek sudah dimuntahkan

7. Jika setelah dilakukan 5 thrusts dan benda belum dimuntahkan, selingi dengan

tepukan di punggugng korban

Korban tidak sadar:

1. Bila korban tidak sadar, baringkan korban di lantai / alas yang keras

2. Periksa jalan nafas korban dan lakukan 30 kali kompresi dada.

3. Lakukan kompresi lebih keras untuk menekan dada sekitar 1,5 s/d 2 inci

4. Bila berhasil, penolong segera menghubungi dokter atau petugas medis secepat

mungkin

Pada Bayi:

1. Bila bayi kurang dari 1 tahun, posisikan bayi di atas lutut, posisikan abdomen bayi

berada dibawah dan sepanjang lengan penolong

2. Kepala bayi seharusnya lebih rendah dari dada

3. Pegang kepala bayi tanpa menekan tenggorokan bayi

4. Berikan 5 tepukan pada punggung bayi, di antara kedua bahu bayi

5. Bila tidak berhasil, posisikan bayi menghadap penolong.

6. Lakukan kompresi dada dengan menggunakan dua jari

7. Berikan 5 kali chest thrust dan perhatikan mulut bayi untuk melihat apakah objek

sudah keluar atau belum. Bila sudah, buang dengan pelan-pelan

8. Bila belum, lakukan tepukan pada punggung dan kompresi dada sampai petugas

emergensi datang

9. Bila bayi tidak sadar, lakukan kompresi dada secepatnya

Tindakan 1 Tindakan 2

Tindakan 3

I. Pencegahan

1. Usia 0 – 4 bulan

a) Jauhkan anak dari tempat penyimpanan semua kantung plastic dari jangkauan

bayi, buang kantung plastic besar ke tempat pakaian setelah diikat.

b) Jangan melapisi kasur dengan plastik

c) Gunakan kasur keras dengan selimut longgar tanpa bantal.

d) Pastikan bahwa rancangan tempat tidur harus memenuhi ketentuan dan kasur

terpasang dengan pas dan baik, jeruji tempat tidur paling tidak teripsah < 6cm.

e) Letakkan tempat tidur jauh dari perabotan lain dan jauh dari radiator.

f) Jangan mengikat dot dengan tali keliling leher anak.

g) Lepaskan serbet makan pada waktu tidur.

h) Jangan tinggalkan bayi berumur kurang dari 12 bulan sendirina di kasur orang

dewasa atau anak muda atau di bantal tipe kantong kacang.

2. Usia 4 – 7 bulan

a) Jauhkan semua bahan lateks.

b) Lepaskan semua mainan tempat tidur yang diikat melintasi tempat tidur atau

tempat mainan ketika anak mulai push up apada tangan dan lutut atau ketika

anak telah usia 5 bulan.

c) Hindari penyimpanan sejumlah besar cairan pembersih , cat pestisida, dan

bahan beracun lainnya.

d) Buang wadah beracun yang sudah terapakai.

e) Jangan menyimpan bahan beracun dalam wadah makanan.

3. Usia 8 – 12 bulan

a) Tutup selalu pintu oven, mesin cuci piring, lemari es, lemri pendingin, dan

mesin cuci serta pengeringnya yang memiliki pintu depan pada saat

bersamaan.

b) Bila menyimpan peralatan yang sudah tidak terpakai seperti lemari es,

lepaskan pintunya.

c) Awasi kontak dengan balon yang dapat mengembang, segera buang balon

yang sudah meletus, dan simpan balon yang tidak dapat digembungkan di luar

jangkauan.

4. Masa anak-anak

a) Buanglah bahan – bahan yang sudah lama, jika menyimpan barang yang sudah

lama lepaskan pintunya.

b) Simpan transmitter pintu garasi otomatis di tempat yang tidak bisa dijangkau.

c) Pilih mainan yang aman atau lemari yang tidak memiliki tutup berensel berat.

d) Lepaskan tali tirai venetia di luar jangkauan anak.

e) Lepaskan tali penarik dan pakaian.

WOC SUFOKASI

Proses ventilasi terganggu

Oksigen tidak dapat masuk ke paru

Penekanan eksternal pada leher dan dada

Suplai O2 ke paru menurun

Obstruksi jalan napas eksternal

Penekanan dinding saluran napas:

penjeratan, pencekikan, dan

gantung.

Sufokasi

Hipoksia dan Hiperkapnea

MK: Impaired gas exchange

Penutupan lubang saluran napas atas: pembekapan dan

penyumbatan.

Penurunan O2

dalam darah

Sianosis

MK: Risk of decreased tissue

perfusion

Gangguan proses ventilasi

MK: Clearance airway ineffective

Kerusakan otak

Penurunan Kesadaran

MK: Risk of Asphyxia

J. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a) Biodata terdiri dari nama, umur, jenis kelamin

Sufokasi banyak terjadi pada anak dibawah umur 14 tahun.

b) Keluhan utama : sulit bernapas.

Riwayat penyakit sekarang : pasien mengalami hipoksia di mana terjadi

peningkatan denyut jantung, peningkatan frekuensi pernapasan, penurunan

tingkat kesadaran. Gangguan kesadaran yang berkembang menjadi koma dan

kematian apabila terjadi hipoksia serebrum (otak) yang berkepanjangan.

c) Riwayat penyakit dahulu : meliputi riwayat medis (kesulitan kognitif, proses

cedera, penurunan kemampuan motorik, penurunan sensasi penciuman),

pembedahan, alergi dan imunisasi.

d) Riwayat kesehatan keluarga : meliputi kondisi kesehatan pada keluarga seperti

hipertensi, diabetes, tuberkulosis, penyakit asma, penyakit mental dan alergi.

e) Lingkungan/ keadaan rumah: kebocoran gas dirumah, tali jemuran yang pendek,

merokok di tempat tidur, penggunaan pemanas yang mudah terbakar tanpa

tersalurkan ke luar lingkungan, memanaskan kendaraan di garasi yang tertutup,

kebiasaan orang dewasa tidur bersama bayi kecil, tempat bermain atau tempat

tidur dengan jaring-jaring disamping dapat menyebabkan kematian dipasang

pada posisi rendah, dot yang digantungkan ke leher bayi, dan pintu garasi yang

dioperasikan dengan listrik.

f) Pengkajian fisik persistem

Breath (B1) :

pernapasan meningkat, sulit bernapas, obstruksi jalan napas atas,

penggunaan otot tambahan, wheezing, hipoksia.

Blood (B2) :

peningkatan denyut jantung, takipnea, pucat, sianosis.

Brain (B3) :

rasa berdenging ditelinga, mengantuk, konfusi, stridor, penurunan

kesadaran.

Bladder (B4) :

BAK normal.

Bowel (B5) :

BAB normal.

Bone (B6) :

Lemah.

2. Diagnosa Keperawatan

a) Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan ventilasi

akibat obstruksi mekanik.

b) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidakadekuatan suplai

oksigen, ventilasi-perfusi

c) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung berhubungan dengan hipoventilasi

d) Risiko asfiksia berhubungan dengan mekanis atau adanya obstuksi fungsional

pada aliran udara

3. Intervensi Keperawatan

a) Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan ventilasi

akibat obstruksi mekanik ditandai dengan adanya obstruksi, adanya benda asing

di saluran nafas, takipnea, takikardi, hipoksemia, gelisah

Tujuan: Dalam waktu 30 menit jalan nafas pasien bebas atau bersih

Kriteria Hasil : saturasi O2 > 95%, tidak ada benda asing di jalan nafas, RR: 16

– 20 x/menit, tidak ada suara tambahan

NOC: Status Respirasi: Airway Patency

NIC: Airway Management

1) Buka jalan nafas pasien

2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi

3) Identifikasi pasien perlu tidaknya pemasangan alat jalan nafas buatan

4) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan

5) Monitor respirasi dan status oksigen

b) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidakadekuatan suplai

oksigen, ventilasi-perfusi ditandai dengan pH darah arteri abnormal,

hipoksemia, dispnea, takipnea, takikardi dan gelisah.

Tujuan: Dalam waktu 24 jam mempertahankan ventilasi dan oksigenasi yang

adekuat.

Kriteria hasil : saturasi O2> 95 % ,warna kulit normal, RR 16-20 x/mnt, suara

paru- paru bersih.

NOC: Status perubahan respirasi: perubahan gas

NIC: Monitor respirasi

1) Monitor frekuensi, irama, dan kedalaman respirasi

Rasional: mengevaluasi perubahan status respirasi

2) Auskultasi suara napas, catat adanya krakles,ronkhi atau mengi setiap 2 jam

Rasional: menyatakan adanya edema pulmonari

3) Monitor peningkatan gelisah dan ansietas

Rasional: mendeteksi hipoksia

NIC: Terapi Oksigen

1) Berikan oksigen tambahan

Rasional: mempertahankan kadar oksigen.

2) Berikan oksigen dari masker ke nasal setiap kali makan sesuai toleransi

Rasional: sustain kadar oksigen ketika makan.

3) Monitor keefektifan terapi oksigen

Rasional: mengidentifikasi hipoksemia dan kadar normal saturasi O2.

NIC: Posisi

1) Posisi elavasi untuk dispnea (misal semi fowler)

Rasional : meningkatkan inflamasi paru maksimal.

c) Risiko penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan hipoventilasi ditandai

dengan dispnea, GDA abnormal, CRT > 3 detik, aritmia, napas cuping hidung,

penggunaan otot bantu pernafasan.

Tujuan: Dalam waktu 24 jam, pasien akan menunjukkan status sirkulasi

adekuat.

Kriteria hasil: tidak ada dispnea, tekanan darah normal, HR 60 – 100 x/mt,

ECG normal, capilary refill < 2 menit, kulit hangat.

NOC : Status sirkulasi

NIC : Perawatan jantung

1) Pantau sirkulasi perifer (seperti kaji nadi perifer, edema, capilary

refill/pengisian ulang kapiler,warna kulit : pucat atau sianosis, akral teraba

hangat/dingin).

Rasional: mengetahui status sirkulasi

2) Catat tanda dan gejala penurunan curah jantung

Rasional: mendeteksi perubahan status

3) Monitor keseimbangan cairan (seperti intake dan output dan timbang BB

tiap hari)

Rasional: evaluasi fungsi ginjal.

4) Monitor distrimia jantung

Rasional: mendeteksi dekompensasi jantung.

5) Monitor dispnea, takipnea dan ortopnea

Rasional : mengindentifikasi gangguan sistem pernapasan.

NIC: Pemantauan pernapasan

1) Catat perubahan pada SaO2, CO2 tidal akhir, dan nilai GDA jika perlu.

Rasional: mengidentifikasi hipoksemia.

2.3 Drowning

A. Definisi

Drowning didefiniskikan sebagai sebuah gangguan pernafasan yang diakibatkan

terendam dalam cairan (World Congress On Drowning, 2002). Istilah drowning dan

near drowning sering digunakan untuk membedakan antara individu yang meninggal

kurang dari 24 jam setelah insiden drowning dan individu yang hidup 24 jam atau lebih

setelah kejadian (istilah “near drowning”) (Baird, 2005). Proses drowning dimulai

ketika jalan nafas pasien diisi dengan cairan, biasanya air, yang –jika proses ini terus

berlanjut- mungkin atau juga bisa tidak menimbulkan kematian (Vincen, et all, 2011).

B. Faktor Resiko

Dua kelompok umur yang beresiko terjadi drowning menurut Kliegman & Arvin

(2000) adalah anak yang belajar berjalan, yang biasanya tenggelam di kolam renang

rumah tangga akibat kelalaian singkat pengawasan, dan remaja laki-laki yang lebih

besar (15-19 tahun) yang sering tenggelam dalam badan air yang tidak dijaga.

Faktor resiko untuk kejadian nyaris tenggelam menurut Lalani & Schneeweiss

(2012), adalah:

1. Anak lebih muda, khusunya <4 tahun

2. Penelantaran dan kesalahan pengursan anak

3. Intoksikasi alcohol : 40-50 % nyaris tenggelam akibat penggunaan alcohol

4. Penyalahgunaan obat

5. Gangguan kejang

6. Perilaku suka mengambil resiko

7. Kolam renang dalam rumah

8. Tinggal dekat sungai, danau, kanal, pantai : kebanyakan remaja

Faktor yang terlibat dalam peristiwa tenggelam menurut Oman (2008), adalah:

1. Kemampuan berenang

2. Suhu air.

3. Usia dan kesehatan korban.

4. Keberadaan zat-zat yang dapat mempengaruhi kesadaran.

5. Keadaan air atau cairan.

6. Konsumsi makanan sebelum tenggelam.

7. Panik, keletihan dan kelelahan.

8. Pamer.

9. Epilepsi, penyakit jantung, diabetes, retardasi mental dan geriatrik.

10. Bunuh diri, pembunuhan.

11. Anak-anak yang tidak diawasi dengan baik.

12. Trauma tumpul, terjebak, cidera saat melompat, kecelakaan perahu, arus bawah

yang berlawanan dengan arus pada permukaan air laut (undertow).

13. Terjun ke dalam kolam di gua atau ke dalam danau di pegunungan.

C. Klasifikasi

Klasifikasi drowning menurut Baird (2005), adalah:

1. Berdasarkan jenis air

Fresh-water Drowning

Aspirasi freswather (hypotonic) sebagai akibat asborbsi aspirasi cairan dari paru

yang sangat cepat sehingga menimbulkan hipervolemia dan hypotonicity.

Peningkatan volume intravascular memicu dilusi serum elektrolit dan hemolisis

RBCs. Surfactan pada alveoli hilang dan membran kapiler pulmonal yang rusak,

memucy edema pulmonal noncardiogenic. Hilangnya surfaktan disebabkan

peningkatan tegangan permukaan jaringan paru dan berdampak pada alveoli

menjadi kolaps. Kerja paru akan menurun. Atelektasis dan edema pulmonal

memicu ketidakcocokan ventilasi-perfusi dan menimbulkan hipoksia dan

asidosis.

Salt-water Drowning

Aspirasi saltwater (hypertonic) hasil dari perubahan air dan plasma protein dari

sirkulasi menuju ke alveoli yang sangat cepat. Alveoli yang berisi cairan tidak

dapat berventilasi, sementara perfurasi terus berlanjut dan mengakibatkan

ventilasi-perfusi menjadi tidak cocok dan hipoksia.

2. Berdasarkan cairan aspirasi yang masuk ke dalam paru-paru

Wet vs Dry Drowning:

Orang yang tenggelam akan melalui tahap terengah dan kemungkinan terjadi

aspirasi. Setelah paru-paru terendam oleh air, merangsang terjadinya hiperventilasi

yang diikuti oleh apnea dan beberapa derajat sapasme laring dan menimbulkan

hipoksemia. Wet drowning lebih sering terjadi dimana asfiksia dapat

mengakibatkan relaksasi dari jalan nafas karena aspirasi cairan yang masuk ke paru-

apru. Dry drowning terjadi pada 15% pasien dengan spasme laring yang

dipertahankan sampai terjadi cardiac arrest sehingga meminimalkan aspirasi cairan.

Hasil dari hipoksemia yang berkepanjangan adalag asidosis yang dapat memicu

disfungsu miokard dan kadang-kadang terjadi cardiac areest dan iskemi CNS.

Klasifikasi drowning menurut Oman (2008), adalah

1. Dry Drowning

Dry drowning terjadi tanpa aspirasi cairan. Obstruksi saluran napas yang lama

terjadi sekunder akibat spasme laring. Ketika tingkat kesadaran menurun,

penutupan glotis akan terjadi sehingga timbul asfiksia, refles vagal, cardiac arrest,

atau kolaps sirkulasi.

2. Wet Drowning

Wet drowning merupakan apirasi cairan yang dipicu oleh spasme laring dan

menyebabkan kehilangan kesadaran yang diikuti dengan relaksasi glotis, sehingga

korban menghirup cairan dan tidak dapat bernapas. Sering kali wet drowning terjadi

dengan perlawanan korban yang keras (meronta-ronta saat tenggelam), korban akan

menghembuskan udara dalam parunya keluar, sehingga mempercepat aspirasi air.

Pada kasus wet drowning ada tiga penyebab kematian yang terjadi, tyaitu akibat

asfiksia, fibrilasi ventrikel pada kasus tenggelam di air tawar, dan edema paru paa

kasus tenggelam di air asin.

3. Sindrom tenggelam (immersion syndrome)

kematian mendadak akibat aritmia ventrikel atau asistol yang disebabkan oleh air

dingin. Korban kecelakaan tenggelam dengan awitan yang cepat ini jarang dapat

diresusitasi dengan berhasil dan diselamatkan; sebagian besar korbannya akan

meninggal terbenam. Penyebab sindrom ini adalah mekanisme refleks (refleks

menyelam) yang terjadi pada saat wajah tercelup ke dalam air dingin sehingga

terjadi apnea, bradikardia dan vasokonstriksi perifer yang intensif. Pada umumnya

alcohol dan makan terlalu banyak merupakan factor pencetus kejadian ini.

4. Secondary Drowning

Terjadi beberapa hari setelah korban tenggelam diangkut dari air. Korban

meninggal karena komplikasi yang diakibatkan tenggelam seperti asppirasi,

pneumonia, dan ketidakseimbangan elektrolit

D. Patofisiologi

Meskipun ada perbedaan patofisiologi antara drowning di freshwater atau

saltwater, namun dari segi klinik dan terapi tidak ada perbedaan yang penting.

Perubahan signifikan yang paling berhubungan dengan drowning adalah hipoksia.

Ketika tidak ada ada jalan untuk air dapat keluar dari jalan nasa, nafas menjadi tertahan

dan merupakan respon spontan pertama ketika tidak ada hipoksia dan kesadaran masih

baik. Air akan dimuntahkan melalui mulut. Ketika aspirasi air pertama terjadi, saluran

nafas akan memmproduksi batik atau spasme laring namun sangat jarang (< 2%), dan

memicu hipoksia. Jika spasme laring terjadi, hipoksia akan timbul berulang. Aspirasi

air yang lebih banyak di paru-paru, memicu timbulnya hipoksia berkepanjangan,

kehilangan kesadaran, irreversible apnea, dan kemudian asistole (Vincent et all, 2011).

Gangguan pada pernafasan tergantung dari jumlah dan komppsisi cairan yang

teraspirasi. Aspirasi baik fresh atau salt water memproduksi destruksi surfaktan,

alveolitis, and edema pulmonal non-cardiogenic yang mengakibatkan peningkatan

pemindahan intra pulmonal dan hipoksia. Bila seseorang mengalami aspirasi, 1 sampai

3 mL/kg aspirasi air akan memproduksi gangguan mendalam pada pertukaran fas dan

penurunan kemampuan pulmonal sekitar 10% sampai 40% (Vincent et all, 2011).

Pasien drowning dengan ventrikular fibrilasi, berhubungan dengan hipoksia dan

asidosis, bukan karena hemolisis dan hiperkalemia. Hipoksia menghasilkan urutan

kerusakan jantung, dari takikardia, kemudian bradikardi, kemulian nadi melemah

sampai fase PEA diikuti hilangnya ritme kardiak dan aktivitas elektrik (asistole).

Penurunan kardiak output, hipotensi arterial, peningkatan tekanan arteri pulmonal, dan

resistensi vaskularisasi pulmonal adalah akibat dari hipoksia. Vaskonstriksi periperal

juga dapat disebabkan oleh hipksia, katekolamin dilepasan, dan hipotermi (Vincent et

all, 2011).

Dalam kasus drowning, apnea adalah kejadian pertama yang terjadi dan jika

korban tidak mendapatkan ventilasi yang cukup, sirkulasi arrest dapat terjadi dan

kematian sebagai hasil akhirnya (Vincent et all, 2011).

Pokok penanganan primer ditujukan pada penanganan hipoksemia persisten dan

efek cidera sel iskemik/anoksik. Sidera SSP yang meliputi edema serebri dan

penigkatan TIK, terjadi sekunder akibat cidera iskemik/anoksik global yang disertai

edema sitotoksik dan gangguan selular. Kelainan ini tidak irreversible. Asidosis dapat

menyebabkan aritmia. Shock biasanya disebabkan oleh kehilangan intravaskuler yang

terjadi sekunder akibabt peningkatan permeabilitas kapiler akibat anoksia dan

kehilangan protein pada cairan edema paru. Ketidakseimbangan elektrolit tidak lazim

tetapi dapat terjadi jika terdapat absorbsi air tawar dalam jumlah banyak dari saluran

cerna (Schwart, 2005).

Nyaris tenggelam di air tawar akan mendilusi surfaktan paru dan menyebabkan

atelektasis serta hipoksemia akibat ketimpangan ventilasi-perfusi serta pirau

intrapulmonal. Akan terjadi juga hiponatremia dan hipokalemia pada 15% kasus,

dengan alas an air tawar yang hipotonik cepat diserap kembali ke dalam sirkulasi

sistemik dan alveoli. Terjadi hemolisis dan hiperkalemia karena aspirasi air tawar

Kecelakaan tenggelam

Hilangnya pola pernapasan

normal

Panic, meronta-ronta, menahan

napas

Laringospasme pada 15% kasus = tenggelam kering / dry

drowning

Aspirasi pada 85% kasus = tenggelam basah / wet drowning

dalam jumlah besar akan menyebabkan plasma menjadi hipotonik dan hemolisis

eritrosit (Schwart, 2005).

Nyaris tenggelam di air laut akan terjadi edema paru karena air laut yang

hipertonik akan menarik cairan ke dalam alveoli. Terjadi hipoksemia karena paru

seiring perfusi kembali alveoli yang terisi cairan. Dapat pula terjadi hipovolemia

intravaskular, dan jarang terjadi ketidakseimbangan elektrolit (Schwart, 2005).

Perbedaan air tawar dan air laut menurut Schwart (2005)

No. Air tawar Air laut

1. Osmolaritas < darah Osmolaritas > darah

2. Hipotonis Hipertonis

3. Hipervolemia Hipovolemia

4. Hemodilusi Hemokonsentrasi

E. Gambaran Klinis

Kategori A (Awake) Kategori B (Blunted) Kategori C (Comatase)- Sadar / GCS 15, sianosis,

apnoe beberapa menit, dilakukan pertolongan kembali bernapas spontan

- Hipotermi ringan- Perubahan radiologis

ringan pada dada- Lab BGA : asidosis

metabolic, hipoksemia, pH <7.1

- Stupor- Respons terhadap

rangsang- Distress pernapasan,

sianosis, takipneu, perubahan auskultasi dada

- Perubahan radiologis dada

- Lab BGA : asidosisi metabolic, hiperkarbia, hipoksemia

- Koma- Respons abnormal

terhadap nyeri- Pernapasan sentral

abnormal(mati batang otak)

- Hipotermi- Lab BGA abnormalPembagian :- C1 (dekortikasi) : fleksi

bila dirangsang nyeri, pernapasan chyne stokes

- C2 (deserebrasi) : eksisitensi terhadap nyeri, hiperventilasi sentral (GCS 4)

- C3 (flaccid) : tidak ada respons, apnoe, gagal napas

- C4 (deceased) : flaccid, apnoe, sirkulasi tidak teraba

Kegawat-daruratan pada pasien drowning digambarkan sebagai berikut:

1. Perubahan pada paru-paru

Aspirasi paru terjadi pada 90% korban tenggelam, dan 80-90% pada korban hampir

tenggelam. Jumlah dan komposisi aspirat dapat mempengaruhi perjalanan klinis

penderita, isi lambung, organism pathogen, bahan kimia toksik, dan bahan asing

lain dapat memberi cidera pada paru atau menimbulkan obstruksi jalan napas.

2. Perubahan pada SSP

Iskemik akibat tenggelam dapat memperngaruhi semua organ namun penyebab

kesakitan dan kematian terutama terjaid karena iskemi otak. Iskemi otak dapat

berlanjut akibat hipotensi, hipoksia, reperfusi, dan peningkatan TIK akibat edema

serebral. Bisa terajadi penurunan kesadaran. Penurunan keasadaran terjadi 2-3

menit setelahapnoe dan hipoksia. Kerusakan otak irreversible mulai terajdi 4-10

menit setelah anoksia dan fungsi normotermik otak tidak akan kembali setelah 8-10

menit anoksia. Pensderita tetap koma selama selang waktu tertentu namun

kemudian bangun

3. Perubahan pada kardiovaskular

Kadang klien menunjukkan bradikardi berat. Bradikardi timbul karena reflek

fisiologis saat berenang di air dingin atau karena hipoksia. Perubahan pada

kardivaskuler yang terjadi pada hampir tenggelam sebagian besar karena perubahan

tekanan parsial oksigen dan gangguan asam basa

4. Perubahan pada ginjal

Pada penderita yang telah mendapat resusitasi biasanya tidak terdapat gangguan

fungsi ginjal, tetapi dapat terjadi albuminuria, hemoglobinuria, oliguria, dan anuria.

Kerusakan ginjal progresif akan mengakibatkan tubular nekrosis akut akibat

hipoksemia berat, asidosis laktat dan perubahan aliran darah ke ginjal.

5. Perubahan cairan dan elektrolit

Korban tenggelam tidak mengaspirasi sebagian besar cairan namun menelan banyak

air. Aspirasi air laut mengakibatkan perubahan elektrolit dan perubahan cairan

karena besarnya kadar Na dan osmolaritasnya. Hipernatremi dan hipovolemi dapat

terjadi setelah aspirasi air laut yang banyak. Aspirasi air tawar mengakibatkan

hipovolemi dan hipernatremia. Hiperkalemia dapat terajdi karena kerusakan

jaringan akibat hipoksia yang luas.

F. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk drowning menurut Baird (2005), adalah:

Diagnostic Test For DrwoningTest Purpose Abnormal Findings

Non-invasivePulse Oximetry Pemantauan terus-menerus

saturasi oksigenSaO2 < 95%

Copnometry Pemantauan terus menerus ventilasi

Blood StudiesAnalisis BGA Mengkaji keadekuatan

oksigenasi dan ventilasi pH <7,35 dengan peningkatan PaCO2 (>45 mmHg) mengindikasikan asidosis respiratoriserum bicarbonate <22 Meq/L dengan pH <7,35 dapat mengindikasikan asidosis metabolikPenurunan PaO2

mengindikasikan hipksemiaComplete Blood Count (CBC) dan WBC Count (WBCs)

Mengkaji inflamsi dan infeksi

WBCs dapat meningkat karena proses inflamasi yang terjadi karena injury jaringan dan/atau infeksi dari paparan air yang kotor

Elektrolit, glukosa Mengkaji abnormalitas karena aspirasi cairan

Elektrolit dapat berubah menjadi tidak biasa tergantung pada jumlah aspirasi cairan. Kadar glukosa dapat rendah.

BUN & Kreatinin Mengkaji fungsi ginjal Peningkatan BUN dan kreatinin mengindikasi nekrosis tubular akut karena hipoksemia yang dapat menyerati near drownings

Toxicology Screen Menentukan kadar penggunaam alkohol dan/atau obat yang dapat mengganggu tingkat akurasi pemeriksaan neurologi

Kadar alkohol tinggi atau penyalahgunaan obat

RadiologyChest Radiograph (CXR( Mengkaji kondisi paru-paru Timbul infiltrat, atelektasis,

dan edema pulmonalSkull radiograph Mengkaji fraktur Fraktur kepala linear Spinal Radiograph Mengkaji fraktur Fraktur pada struktur tulang Head CT Mengkaji injuri kepala Adanya darah di otak atau di

dural yang mengindikasikan injury kepala

Hasil yang tampak kabur berwarna abu-abu dan putih mengindikasikan injuri otak kronis

Gambaran Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien Drowning:

G. Pertolongan Pertama Pada Drowning

Pertolongan pertama pada korban drowning menurut Vincent et all (2011) dibedakan

menjadi 3, yaitu:

1. In-Water Basic Life Support And Rescue

Keputusan kapan harus melakukan pertolongan pertama di air (BWLS)

berdasarkan tingkat kesadaran korban. Jika pasien sadar, lakukan penyelamatan di

darat tanpa perawatan medis lebih lanjut. Kondisi korban dalam keadaan panik

dapat membahayakan penolong. Karena alasan tersebut, metode terbaik untuk

mendapatkan korban yang panik adalah dengan benda / media perantara.

Untuk korban yang tidak sadar, tahap yang paling penting adalah penentuan

tindakan resusitasi. Hipoksia disebabkan oleh terendamnya paru-paru yang

mengakibatkan henti nafas dan memicu cardiac arest.

Mengingat rendahnya insiden CSI dan resiko tinggi terbuangnya waktu untuk

ventilasi yang dibutuhkan, imobilisasi spinal servikal dalam penyelamatan di air

tanpa penjagaan terhadap injury trauma sangat tidak direkomendasikan. Jika

korban tidak bernafas, protokol seharusnya dimulai dengan resusitasi in-water

(mouth to mouth) sambil menmperhatikan posisi kepala sebisa mungkin.

2. On-Land Basic Drowning Life Support

Penyelamatan korban berdasarkan tingkat kesadaran juga dilakukan posisi

vertikal untuk mencegah muntah dan komplikasi lebih lanjut. Jika korban

kelelahan, bingung, atau tidak sadar, transport seharusnya berada di posisi

horizontal namun kepala tetap sejajar dengan tubuh.

Prosedur pertama pada on-land basic drowning life support (BDLS)

seharusnya memposisikan korban posisi horizontal sedapat mungkin, supinasi, dan

menjauhi dari air untuk mencegah datangnya air. Jika korban bernapas, posisikan

posisi recovery (posisi dekubitus lateral).

Dalam penelitian 10 tahun terakhir di Australia, vomiting / muntah terjadi

lebih dari 65% pada korban yang membutuhkan bantuan pernafasan dan 86% pada

korban yang membutuhkan bantuan pernafasan dan kompresi dada. Bahkan korban

yang tidak mendapatkan pertolongan setelah diselamatkan dari air, vomiting terjadi

sekitar 50% setelah mereka sampai di pantai. Adanya vomiting pada jalan nafas

dapat mengakibatkab aspirasi lebih lanjut dan ketidakmampuan oksigenasi karena

obstruksi jalan nafas; sehingga penyelamatan dapat menggunakan resusitasi

mouth-to-mouth. Abdominal thrust / Heimlich maneuver tidak boleh digunakan

untuk mengeluarkan air dari paru-paru. Selama resusitasi, jangan memposisikan

korban dengan head down karena akan meningkatkan resiko vomiting 15 kali lipat

dan memicu peningkatan kematian (19%) dibandingkan dengan tetap

memposisikan korban posisi horizontal. Jika vomiting terjadi, miringkan mulut

korban dan ambil isi vomitus dengan finger swab, kain, atau menggunakan suction.

Salah satu kesulitan dalam penentuan keputusan medis seorang penolong

adalah bagimana menangani korban drowning sesuai kebutuhan. Kardiopulmonal

terjadi hampir sekitar 0,5% pada semua kasus penyelamatan. Urutan yang

seharusnya dilakukan untuk penyelamatan korban drowning adalah pemberian

oksigen, menelepon ambulans, dan memindahkan korban ke rumah sakit.

3. Advanced Drowning Life Support On Site

Non Resuscitatable Conditition

Korban yang tenggelam lebih dari 1 jam atau dengan tanda fisik kematian yang

kelihatan (rigor mortis, puterfaction) tidak perlu dilakukan resusitasi.

Grade 6: Cardiopulmonary Arrest

Resusitasi dimulai dengan ALS sampai sukses. Prioritas pertama adalah

adekuatnya oksigenasi dan ventilasi. Petugas medis harus tetap melakukan

kompresi jantung sambil memulai ventilasi artificial menggunakan bag dan

facemask dengan oksigen 15 liter sampai orotracheal tube terpasang. Sellick

maneuver seharusnya digunakan jika memungkinkan selama intubasi untuk

mencegah regurgitasi dan aspirasi.

Jika nadi korban melemah dan terjadi hipetermi, CPR harus tetap

dilanjutkan. Meskipun ventrikular fibrilasi tidak biasa, khusunya korban anak-

anak, beberapa orang dewawa mendapatkan VF sebagai konsekuensi penyakit

arteri koronari atau penggunaan epineprin saat ALS. Penggunaan dosis pertama

untuk epineprin adalah 0,01 mg/kgIV setelah 3 menit CPR dan bila belum ada

respon, tingkatkan dosis sampai 0,1 mg/kg setiap 3 menit setelah CPR

Grade 5: Respiratory Arrest

Respiratory arrest biasanya terbalik dengan ADLS. Protokol oksigenasi dan

ventilasi sama dengan grade 6.

Grade 4: Edema pulmonal akut dengan hipotensi

Oksigen dengan ventilator mekanik adalah terapi pertama. Oksigen dengan

menggunakan facemask menggunakan oksigen 15L/min sampai orotracheal

tube terpasang. Grade 4 membutuhkan intubasi dini pada semua kasus untuk

mengoptimalkan tekanan positif jalan nafas.

Grade 3: Edema pulmonal akut tanpa hipotensi

Korban dengan SaO2 > 90% menggunakan oksigen 15 L/menit dengan facemask

dapat menolerir ventilator non-invasif hanya kasus 27,6%. 72,4% patien

membutuhkan intubasi dan ventilasi mekanis, dan diikuti sama dengan protokol

di grade 4

Grade 2: Auskultasi abnormal dengan suara rale di beberapa bagian paru

Korban hanya mendapatkan oksigen menggunakan kanul nasal.

Grade 1: Batuk dengan auskultasi paru normal

Korban tidak perlu banyak oksigen atau pertolongan oksigen

Penyelamatan: Tanpa batuk atau kesulitan bernafas, Auskultasi paru

normal

Evaluasi dan biasanya tidak memerlukan perawatan lebih lanjut.

H. Algoritma Drowning

I. Manajemen Kolaborasi

Prioritas Perawatan

Prioritas tujuan dari perawatan drowning menurut Baird (2005) adalah mengembalikan

ventilasi dan mengkaji hipoksemia dan asidosis. Bila ventilasi kembali normal,

hipoksemia dan asidosis dapat teratasi dan pengobatan lebih lanjut.

1. Terapi Oksigen

Oksigen (100%) dimulai secepatnya untuk mengatasi hipoksia. Semua pasien,

termasuk yang dicurigai dengan ventilasi spontan, beresiko untuk terjadi hipoksia

dan asidosis. Suhu oksigen 40o sampai 43oC dapat digunakan untuk proses

rewarming pasien dengan hipotermia.

2. Koreksi hipotermi dengan rewarming

Temperatur oksigen yang hangat (40o sampai 43oC) dapat digunakan untuk

meningkatan suhu. Tujuan dari koreksi hipotermi dengan rewarming adalah

mendapatkan suhu tubuh yang normal. Cairan intravenous seharusnya juga hangat

untuk mencegah eksaserbasi yang lebih lanjut dari hipotermia.

3. Pengaturan ventilasi dan keseimbangan asam-basa

Asidosis metabolik diatasi dengan sodium bicarbonate, ventilasi agresif, dan

monitoring ketat pH arteri. Jika timbul bronkospasme, dapat menggunakan aerosol

bronkodilator seperti epineprin, albuterol, atau isoproterenol HCL.

4. Kaji kebutuhan penggunaan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik

Intubasi dapat mejaga kepatenan jalan nafas pasuen yang tidak mampu

mengeluarkan sekret. Ventilasi mekanik digunakan untuk mengatasi gagal nafas

karena penurunan kemampuan paru.

5. Initiate Positive and Expiratory Pressure (PEEP)

Jika pasien tidak dapat memberikan respon level oksigen yang tinggi (FiO2 ≥0,50

sampai mempertahankan PaO2 ≥60 mmHg), PEEP meningkatkan oksigenasi

dengan mencegah alveoli menjadi kolaps selama ekspirasi. Tekanan pada PEEP

menjaga alveoli tetap terbuka meskipun surfaktan tidak adekuat. PEEP seharusnya

dilepas dengan hati-hati, mengingat kadar surfaktan rendah selama 48 sampau 72

jam setelah aspirasi freshwater.

6. Bronkoskopi

Untuk membuang contaminasi dari aspirasi, jika dibutuhkan

7. Kaji kebutuhan extracoporeal membrane oxygenation (ECMO)

ECMO, jika tersedia, dapat digunakan ketika pasien tidak dapat mempertahankan

oksigenasi yang baik meskipun terpasan intubasi dan ventilasi mekanik

8. Pemulihan fungsi neurologi / otak

Beberapa kerusakan fungsi neurologis membutuhkan monitoring TIK, steroid,

diuretik osmotik (cth. manitol), ventilasi mekanik, dan barbiturate coma

9. Pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit

Meskipun jarang, abnormal pada cairan dan elektrolit dapat terjadi. Biasanya

memang tidak memerlukan terapi yang spesifik. Volume cairan dapat digantikan

dengan crystalloid solutions (LR atau NS).

10. Pencegahan dan/atau mengendalikan infeksi

Suhu diatas 38oC selama 24 jam pertama dapat merupakan respon injury yang

normal. Antibiotik dapat diresepkan jika demam lebih 38oC selama lebih dari 24

jam setelah tenggelam atau pasien diduga penumonia. Penggunaan steroid dan

profilatik tidak dianjurkan

I. Komplikasi

1. Ensefalopati hipoksik.

2. Tenggelam sekunder.

3. Pneumonia aspirasi.

4. Fibrosis interstitial pulmonal.

5. Disritmia ventrikular.

6. Gagal ginjal.

7. DIC (Diseminata Intravascular Coagulation)

8. Nekrosis pankreas.

9. Infeksi.

J. Prognosis

Penentuan prognosis pada korban hampir tenggelam adalah dengan melakukan

evaluasi awal status hemodinamikanya. Sembilan puluh dua persen korban hamper

tenggelma dengan usia rata-rata 32 bulan menyatakan bahwa klien yang tidak

mengalami koma saat datang ke ICU atau UGD dengan nadi teraba dan tekanan darah

terukur, tidak mengalami kerusakan neurologis permanen. Akan tetapi mereka yang

dayang dengan pemeriksaan awal nadi tidak teraba atau dalam keadaan koma biasanya

meninggal atau mengalami kerusakan otak yang parah.

Luaran yang buruk dihubungkan dengan adanya asistole, tenggelam >15 menit,

tidak mendapat resusitasi di tempat kejadian, lama resusitasi >30 menit, mendapat

epinephrine, asidosis metabolic, dan suhu inti tubuh rendah. Resusitasi sebaiknya

dilakukan pada semua korban tengegelam dan diawali oleh tindakan penyelamatan

kardiopulmonal lanjut. Nilai pH <7.1, GCS <5, dan pupil yang dilatasi saat masuk

menandakan prognosis yang buruk. Akan tetapi, bila asidosis dan koma tetap

berlangsung 4 jam setelah resusitasi, kemungkinan untuk mempertahankan system

neurologis seperti semula akan tetap sulit. Bila setelah 24-48 jam terapi resusitasi yang

adekuat tidak ada perbaikan klinis, kemungkinan besar kematian otak atau kerusakan

berat pada otak telah terjadi.

K. Pencegahan

Pencegahan untuk drowning menurut Vincent et all (2011), adalah:

1. Awasi anak-anak; 84% kasus drowning terjadi karena kurang pengawasan orang

tua. Ajari berenang dari usia 2 tahun

2. Hindari penggunaan alat bantu renang yang ditiup karena akan memberikan

persepsi yang salah tentang keamanan. Gunakan life jacket.

3. Jangan pernah mencoba menyelamatkan seseorang yang tenggelam bila tidak

memungkinkan untuk dilakukan penyelamatan / tidak bisa berenang

4. Jangan minum alkohol sebelum berenang

5. Jangan menyelam di air yang dangkal, injury spinal servikal sering terjadi

Pantai Kolam renang atau sejenisnyaSelalu berenang di area yang aman Lebih dari 65% kematian terjadi di fresh

waterMinta penjaga untuk menyediakan peralatan berenang

Berikan pagar pembatas di kolam renang

Baca dan ikuti peringatan yang ada di pantai Gunakan telepon portabel di area kolam renang agar saat terjadi kecelakaan tidak perlu berteriak

Jangan membanggakan kemampuan berenang, 46,6% korban drowning memiliki kemampuan berenang

Berikan tanda peringatan untuk kolam yang airnya dangkal

Berenang menjauhi dermaga, batu, atau tiang Pelajari CPR. Lebih dari 42% pemilik kolam renang tidak dibekali teknik pertolongan pertama

Bila ada anak yang hilang, titipkan kepada penjaga pantai

Be careful!

Jika sedang memancing diatas batu, waspada terhadap gelombang yang dapat menyeret ke laut

L. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Konsep pengkajian dasar ketika melakukan asuhan keperawatan kritis dengan

drowning menurut Braid (2005), adalah:

Tujuan Pengkajian

Evaluasi terhadap fungsi pernafasan dan neurologi

Riwayat dan Faktor Resiko

Usia korban, kemampuan berenang, waktu tenggelam, suhu air, derajat kontaminasi

dari air, penggunaan alkohol dan/atau obat-obatan, injury pada kepala dan spinal,

berada pada pengaruh pengobatan, dan resusitasi prehospital.

Vital Signs

1. Temperatur dapat rendah jika drowning terjadi pada badan yang dingin

2. Peningkatan RR atau tidak ada jika pasien mengalami areest

3. Hipotensi

4. HR dapat meningkat atau menurun tergantung temperatur dan status pernafasan.

Asistol atau ventrikulatr takikardia dapat timbul pada pasien

5. RR dapat meningkat diserati dispneu atau dapat tidak ada jika arrest terjadi.

Observasi

Evaluasi tanda trauma dari kepala dan leher, warna kulit sebagai indikasi hipoksia,

tanda dan fungsi neurologis termasuk ukuran pupil dan respons terhadap stimulus.

Sputum berbusa dan berwarna merah muda dapat mengindikasi terjadi edema

pulmonal.

Palpasi

Evaluasi suhu tubuh, deformitas pada leher, tanda-tanda trauma pada kepala

termasuk adanya pembengkakan.

Auskultasi

Evaluasi bagian paru untuk mengindetifikasi suara paru yang abnormal.

- Penurunan suara paru mengindikasikan penumothorax atau hemothorax

- Suara seperti menyeruput saat inspirasi mengindikasikan open penumothorax

- Suara crackles, ronki, dan wheezing.

2. Diagnosa Keperawatan

Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan spasme jalan napas,

sekresi berlebih yang tertahan, adanya benda asing di jalan napas

Ketidakefektifan pertukaran gas berhubungan dengan asfiksia dan aspirasi

Hipotermi berhubungan dengan terendam dalam air dingin

Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema paru

Resiko Infeksi berhbungan dengan aspirasi

3. Intervensi Keperawatan

a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan spasme jalan napas,

sekresi berlebih yang tertahan, adanya benda asing di jalan napas

Tujuan & Kriteria Hasil:

Jalan napas paten, Tidak ada suara napas tambahan, dan SpO2 dalam batas

normal

NOC: Airway patency

NIC

- Auskultasi suara napas, amati suara napas tambahan menandakan penyebab

sumbatan jalan napas

- Suctioning

- Fisioterapi dada

- Posisikan klien

- Monitor status repiratori dan SpO2

- Kolaborasi bronkodilator jika diperlukan

b. Ketidakefektifan pertukaran gas berhubungan dengan asfiksia dan aspirasi

Tujuan & Kriteria Hasil:

Selama 12 jam, pertukaran gas pasien adekuat yang diikuti oleh kadar BGA:

peningkatan PaO2 lebih dari 80 mmHg dan PaCO2 kurang dari 45 mmHg.

Selama 3 hari perawatan, RR kurang dari 20 kali per menit dengan pola dan

kedalaman yng normal; suara nafas bersih; pasien dapat berorientasi dengan

waktu, tempat, dan orang.

NOC: Respiratory Status: Gas Exchange

NIC

Respiratory Monitoring

- Monitor jumlah, ritme, dan kedalaman suara nafas

- Kaji kesimetrisan dan ekspansi paru dan tanda-tanda peningkatan kerja nafas

seperti penggunaan otot bantu pernafasan atau retraksi intercostal atau otot

supraclavicular.

- Auskultasi suara nafas, penurunan atau hilanganya ventilasi, dan adanya suara

yang abnormal

- Tentukan kebutuhan suction dengan mengauskultasi suara crackles dan ronki

- Monitor sekret pada jalan nafas pasien

- Catat perubahan saturasi oksigen, pulse oximetry, end-tidal, dan BGA.

- Monitor peningkatan kegelisahan dan kecemasan

- Jika pasien gelisah atau terjadi tingkat kesadaran somnolen, evaluasi

hipoksemia dan hiperkapnea sebagai prioritas

- Monitor hasil rontgen thorax

Oxygen Therapy

- Kelola suplai oksigen menggunakan liter flow dan seperti yang diperintahkan

- Tambahkan kelembaban yang sesuai

- Batasi pasien dan pengunjung merokok ketika dipasang oksigen

- Dokumentasi pulse oxymetry dengan oksigen tilter flow pada tempat yang

mudah untuk dilihat. Oksigen adalah pengobatan; dosis obat harus disesuaikan

dengan pembacaan saturasi oksigen atau pembacaan menjadi tidak berguna.

- Lakukan pemeriksaan BGA jika pasien mengalami perubahan perilaku atau

terjadi distress respiratory untuk mengetahui hipoksemia atau hiperkapnea

- Monitor hasil rontgen thorax dan suara nafas yang dapat mengindikasi

kerusakan oksigen dan atelektasis pada pasien yang menerima konsentrasi

oksigen yang cukup tinggi (FiO2 lebih dari 45%) selama lebih dari 24 jam.

Semakin tinggi konsentrasi oksigen, semakin tinggi kesempatan terjadi

keracunan.

- Monitor warna kulit

- Sediakan terapi oksigen selama transportasi dan ketika pasien turun dari

tempat tidur

Mechanical Ventilation

- Monitor kondisi yang mengindikasikan kebutuhan bantuan ventilasi

- Monitor resiko kegagalan pernafasan atau tanda penumonia

- Konsultasi dengan tim medis untuk pemilihan mode ventilator

- Berikan agen paralisis otot, sedative, dan analgesik narkotik sesuai kebutuhan

- Monitor aktivitas yang dapat meningkatkan kebutuhan oksigen (demam,

gemetar, nyeri)

- Monitor keefektifan ventilasi mekanik pada fisiologis dan status psikologis

pasien

- Lakukan rawat mulut yang rutim

- Naikkan kepala pasien minimal 30o

c. Hipotermi berhubungan dengan terendam dalam air dingin

Tujuan & Kriteria Hasil:

Selama 24 jam, suhu tubuh pasien meningkat 35o sampai 37o. TD, RR, dan HR

normal.

NOC: Thermoregulation

NIC:

- Monitor suhu tubuh pasien

- Monitor tanda ventrikular fibrilasi

- Lakukan pengukuran rewarming (cth: cahaya yang hangat, udara hangat,

selimut hangat) sesuai kebutuhan.

- Lakukan teknik rewarming (cth: hemodialisis, colonic lavage, peritoneal

dialysis)

- Monitor tanda rewarming shock

d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema paru

Tujuan & Kriteria Hasil:

Keseimbangan asam-basa dan keseimbangan cairan

NOC: Fluid Balance

NIC:

Manajemen Cairan & Elektrolit

1. Monitor kadar abnormal elektrolit serum

2. Sediakan specimen untuk memonitor gangguan kadar cairan atau elektrolit

(missal: kadar hematokrit, BUN, protein, sidium, dan potassium)

3. Monitor kecenderungan BB harian

4. Batasi konsumsi cairan dalam keadaan dilusi hiponatremia dengan kadar

vNa dibawah 130 mEq/L

5. Monitor hasil lab yang relevant dengan keseimbangan elektrolit (missal:

hematokrit, BUNH, albumin, total protein, osmolalitas serum, dan berat

jenis urin)

6. Konsultasiken dengan dokter jika tanda dan gejala ketidakseimbangan

elektrolit meningkat atau memburuk.

7. Monitor respon pasien untuk menentukan therapi elektrolit

8. Tangani aritmia jantung, sesuai dengan kewenangan

e. Resiko Infeksi berhbungan dengan aspirasi

Tujuan & Kriteria Hasil:

Pasien bebas dari infeksi yang ditandai dengan suhu tubuh kurang dari 37o

setelah 24 jam pertama, WBCs nomral, tidak ada sputum, dan hasil culture

negative.

NOC: Infection Severity

NIC:

- Monitor tanda dan gejala infeksi

- Monitor absolute granulocyte, dan WBC

- Lakukan kultur, bila diperlukan

- Anjurkan nafas dalam dan batuk efektif, sesuai kebutuhan.

- Lakukan teknik aseptic ketika melakukan suction pada pasien.

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN SUFOKASI

Kasus

Seorang anak laki-laki an. M usia 2 tahun dibawa ke unit gawat darurat. Pasien saat itu

sedang berada di tempat penitipan anak dan bermain dengan teman sebayanya. Menurut

pengasuh penitipan anak, ia meninggalkan anak-anak bermain selama beberapa menit. Saat

kembali , ia melihat an.M berubah menjadi biru dengan kepala terbungkus plastik dan anak

M terlihat sesak napas. Pada pemeriksaan, kesadaran compos mentis, temperatur 37,7 0C,

tekanan darah 70/40 mmHg, kecepatan denyut jantung 112 kali/menit, kecepatan respirasi 35

kali/menit , saturasi O2 92 % , akral dingin, pucat, menggunakan otot bantu pernapasaan.

A. Pengkajian

1) Identitas

Nama : An. M

Umur : 2 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Alamat : surabaya

Agama : Islam

No. MR : 2323xx

Tgl. MRS : 21 Mei 2015

Pukul : 09.00 WIB

Dx medis : Sufokasi mekanis

2) Keluhan utama : keluhan sesak napas

3) Riwayat penyakit sekarang : Seorang anak laki-laki an. M usia 2 tahun dibawa ke unit

gawat darurat. Pasien saat itu sedang berada di tempat penitipan anak dan bermain

dengan teman sebayanya. Menurut pengasuh penitipan anak, ia meninggalkan anak-

anak bermain selama beberapa menit. Saat kembali , ia melihat an.M berubah menjadi

biru dengan kepala terbungkus plastik.

4) Riwayat penyakit dahulu : pasien adalah bayi aterm tanpa riwayat medik yang

bermakna di masa lalu, riwayat alergi tidak ada.

5) Riwayat penyakit keluarga : keluarga tidak ada yang menderita asma dan alergi.

6) Riwayat psikososial : pasien aktif bermain dengan teman sebayanya.

7) Pemeriksaan fisik: Temperatur 37,7 0C, tekanan darah 70/40 mmHg, kecepatan denyut

jantung 112 kali/menit, kecepatan respirasi 35 kali/menit

8) Pengkajian fisik persistem

B1 (Breath) : menggunakan otot bantu pernapasan, saturasi O2 92 %

B2 (Blood) : pucat, CRT > 3 detik, bibir sianosis

B3 ( Brain) : kesadaran compos menitis

B4 (Bladder) : tidak ada keluhan, BAK normal, dengan warna urine kuning, bau

amoniak.

B5 (Bowel) : tidak ada keluhan, BAB normal

B6(Bone) : lemah

B. Analisa data

NO ANALISA DATA PROBLEM ETIOLOGI

1. Data Subjektif:

Keluhan sesak napas

Data Objektif:

Temperatur 37,7 0C, tekanan

darah 70/40 mmHg, kecepatan

denyut jantung 112 kali/menit,

kecepatan respirasi 35

kali/menit, saturasi O2 92 %

Gangguan

pertukaran gas

Ketidakadekuatan

suplai oksigen

2. Data Subjektif :

Pengasuh mengatakan anak M

tampak biru.

Data Objektif

Pucat, akral dingin, bibir

sianosis, CRT > 3 detik,

menggunakan otot bantu

pernapasan.

Risiko

penurunan

perfusi

jaringan ke

jantung

hipoventilasi

C. Diagnosa Keperawatan

1) Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidakadekuatan suplai oksigen

2) Risiko penurunan perfusi jaringan jantung berhubungan dengan hipoventilasi

D. Diagnosa dan Intervensi keperawatan

1. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidakadekuatan suplai oksigen

Tujuan: Dalam waktu 24 jam mempertahankan ventilasi dan oksigenasi yang adekuat.

Kriteria hasil: saturasi O2> 95 % ,warna kulit normal, RR 16-20 x/mnt, suara paru-

paru bersih.

NOC: Status perubahan respirasi: perubahan gas

NIC: Monitor respirasi

Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan effort respirasi

Rasional: mengevaluasi perubahan status respirasi

Auskultasi suara napas, catat adanya krakles,ronkhi atau mengi setiap 2 jam

Rasional: menyatakan adanya edema pulmonari

Monitor peningkatan gelisah dan ansietas

Rasional: mendeteksi hipoksia

NIC: Terapi Oksigen

Berikan oksigen tambahan

Rasional: mempertahankan kadar oksigen.

Berikan oksigen dari masker ke nasal setiap kali makan sesuai toleransi

Rasional: sustain kadar oksigen ketika makan.

2. Risiko penurunan perfusi jaringan jantung berhubungan dengan hipoventilasi

Tujuan: Dalam waktu 24 jam, pasien akan menunjukkan status sirkulasi adekuat.

Kriteria hasil: tidak ada dispnea, tekanan darah normal, HR 60-100 x/mt, ECG normal,

capilary refill < 2 menit, kulit hangat.

NOC : Status sirkulasi

NIC : Perawatan jantung

Pantau sirkulasi perifer (seperti kaji nadi perifer, edema, capilary refill/pengisian

ulang kapiler,warna kulit : pucat atau sianosis, akral teraba hangat/dingin).

Rasional: mengetahui status sirkulasi

Catat tanda dan gejala penurunan curah jantung

Rasional: mendeteksi perubahan status

Monitor keseimbangan cairan (seperti intake dan output dan timbang BB tiap

hari)

Rasional: evaluasi fungsi ginjal.

Monitor distrimia jantung

Rasional: mendeteksi dekompensasi jantung.

Monitor dispnea, takipnea dan ortopnea

Rasional : mengindentifikasi gangguan sistem pernapasan.

NIC: Pemantauan pernapasan

Catat perubahan pada SaO2, CO2 tidal akhir, dan nilai GDA jika perlu.

Rasional: mengidentifikasi hipoksemia.

DAFTAR PUSTAKA

Baird, Mariane Saunorus. 2005. Manual Of Critical Care Nursing: Nursing Interventions

And Collaborative Management 5th Edition. Missouri: Elsevier Mosby

Bardale, Rajesh. 2011. Principles Of Forensic Medicine And Toxicology. London: J.P

Medical Ltd.

Behrman, R. E., Kliegman, R. M., & Arvin, A. M. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson

Volume 1 (ed. 15). Jakarta: EGC.

James et all. 2003. Forensic Medicine: Clinical And Pathological Aspects. London:

Greenwich Medical Media.

Oman, Kathleen S, K. M. (2008). Panduan Belajar: Keperawatan Emergensi. Jakarta: EGC.

Schwartz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC

Sharma, RK. 2008. Concice Textbook Of Forensic Medicine & Toxicology 2nd Edition. New

Delhi: Elsevier

Stewart, kent. (2012). Forensic Nursing Science. St. Louis. Missouri: Elsevier Mosby

Vincent, et all. 2011. Textbook Of Critical Care 6th Edition. Missouri: Elsevier Mosby