Api Di Bukit Menoreh Dan Latar Belakang Sejarah Kekuasaan Raja

6

Click here to load reader

Transcript of Api Di Bukit Menoreh Dan Latar Belakang Sejarah Kekuasaan Raja

Page 1: Api Di Bukit Menoreh Dan Latar Belakang Sejarah Kekuasaan Raja

API DI BUKIT MENOREH DAN LATAR BELAKANG SEJARAH KEKUASAAN RAJA-RAJA JAWA

Api di Bukit Menoreh adalah sebuah seri buku karangan masterpiece S.H. Mintardja. Seri buku ini tidak selesai sampai ia meninggal. Dalam seri itu terdapat 396 buku.

S.H. Mintardja

S.H. Mintardja atau Singgih Hadi Mintardja adalah pelopor penulis cerita silat. Sebelumnya, cerita silat bernuansa Cina telah lama populer di masyarakat, baik yang merupakan hasil terjemahan literatur cina oleh O.K.T (Oey Kim Tiang) dan Gan Kok Liang a.k.a. Gan K.L. ataupun hasil karya original seperti oleh Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo. Ia meninggal pada umur 66 dalam tahun 1999.

Saya membaca “Api Di Bukit Menoreh”, selajutnya dalam tulisan ini disingkat ADBM, ketika duduk di bangku kelas V SD, almarhum ayahanda saya yang rajin membeli buku-buku bacaan yang berlatar belakang sejarah, dan terutama cerita Wayang dalam format komik seperti karya RA Kosasih. Ketika membaca ADBM ini

"menemukan" keindahan dan rahasia di balik cara bercerita yang tadinya saya anggap terlalu bertele-tele dengan menceritakan detailnya, namun pada akhirnya justeru hal itu yang menjadi kekuatan penulis dalam menggambarkan situasi dan kondisi isi ceritanya, sehingga dalam membangun cerita kita dibawa kealam visualisasi yang utuh, mulai gerak tubuh, rasa batin, gerak dan pesona alam disekitarnya menggambarkan visual yang lengkap, tanpa terasa seperti hadir nyata di depan mata visual kita, seperti menonton kejadian dihadapan kita, seperti nya kita ikut dan hadir dalam cerita..

Ketika saya juga mulai membaca Khoo Ping Hoo, Chin Yung, Khu Lung atau apalagi Tjan I. D, atau Dr Karlmay dengan serial Old Shatterhand-nya terasa sekali bedanya dan merasa tidak sabar menunggu seorang tokoh utama bernama Agung Sedayu dan murid sekaligus keponakannya Glagah Putih dalam usaha pencapaian kematangan olah kanuragan dan olah kajiwan yang berproses dalam kehidupan mereka".

Namun jika membandingkannya dengan cerita SamKok (The Three Kingdom/Tiga Negara) rasa-rasanya kita tidak merasakan benar jika dikatakan alur cerita berjalan sangat "lambat" dan terkesan "bertele-tele". Setiap episode diceritakan sangat detail dan bukan dengan penceritaan "aku" atau terpusat pada satu tokoh, tetapi pada banyak tokoh. Karena itu, setting cerita sering bergeser bukan hanya pada tokoh utamanya, tetapi juga sering dari segi Kiai Gringsing (Sang Guru), juga Untara (Kakak), Swandaru (Adik seperguruan),

Page 2: Api Di Bukit Menoreh Dan Latar Belakang Sejarah Kekuasaan Raja

selain secara teritori juga berpindah-pindah dari Sangkal Putung, Mataram, Menoreh dan juga Pajang.

Yang sangat menarik dari cerita klasik Jawa ini. Adalah terhubungnya dengan sejarah runtuhnya kerajaan Pajang dan diteruskan dengan berdirinya kerajaan Mataram Islam, dimana dalam pergatian kekuasaan tersebut direstui kecara batin oleh pemegang kekuasaan yang runtuh (dalam hal ini Sultan Pajang Hadiwijaya yang ketika mudanya dikenal sebagai Mas Karebet alias Jaka Tingkir kepada anak angkatnya Sutawijaya yang setelah menerima tampuk pemerintahan Mataram bergelar Panembahan Senopati). Sebagai cerita silat sudah tentuan kemudian juga didominasi pula dengan Olah Kanuragan dan jenis-jenis Ilmu yang ampuh, baik yang sudah mulai punah namun sangat ampuh hingga ke penemuan-penemuan baru oleh Agung Sedayu. Yang sangat menarik bagi saya justeru proses demi proses penemuan dan penggalian ilmu-ilmu kesaktian itu, yang memperlihatkan betapa gigihnya dan memerlukan perjuangan dan pengorbanan yang rasanya sulit dilakukan oleh manusia jaman sekarang. Selain itu karakteristik tokoh-tokoh yang turut ambil bagian dalam cerita ini sangat lekat dengan budaya Jawa, selain tentu setting cerita yang sangat kental bernuansa Jawa,.

Walaupun didalam diri saya juga mengalir darah sunda, jawa, dan sumatera dan besar di Sumatera setelah membaca ADBM saya merasa sangat mencintai budaya Jawa, hingga saat ini saya berusaha untuk njawani dan mengumpulkan berbagai budidaya jawa kuno karya-karya leluhur, tidak hanya karya sastra, juga yang bersifat spiritual yang dikemas dalam bentuk sastra, tembang, wirid, serat, bahkan juga saya mulai rajin mengoleksi tosan aji dan keris, dalam kehidupan pribadi saya juga berproses menjadi sangat lekat dan mencintai budaya Jawa ini.

Pada saat SMP saya juga membaca karya-karya lainnya dari SH Mintardja yang lain seperti Nagasasra Sabukinten (16) Pelangi dilangit Singasari, Tanah Warisan (8) Matahari Esok Pagi (15) Meraba Matahari (9) Suramnya Bayang-bayang (34) Sayap-sayap Terkembang (67) Istana yang Suram (14) Bunga di Batu Karang (14) Yang Terasing (13) Mata Air di Bayangan Bukit (23) Kembang Kecubung (6) Jejak di Balik Bukit (40) Tembang Tantangan (24)Dan masih banyak lagi, yang saya tidak ingat lagi.

Page 3: Api Di Bukit Menoreh Dan Latar Belakang Sejarah Kekuasaan Raja

Jika dibandingkan dengan semua cerita KPH dan banyak sekali karya Chin Yung, Khu Lung, Liang Ishen. OKT dan lainnya yang berlatang belakang peradaban TiangHoa kita akan menemukan sesuatu yang berbeda unsure local yang sanat kental yang dikemas searah dengan budaya setempat baik kualitas dan keindahan taste local mempunyai citarasa keindahan tersendiri yang dapat mempengaruhi para pembacanya.

Sebagaimana yang saya kutip dari bererapa sumber yang ingin mengeksplorasinya dalam beberapa artikel, sekalian menyarankan para peminat untuk membeli buku ini. Bahkan jika mungkin, meminta generasi penerus untuk melanjutkan cerita yang bagi saya pada akhirnya menjadi indah, menarik dan sarat informasi sejarah ini. Pada bagian pertama ini, saya ingin melihatnya dari alur sejarah meski tidak dalam pendekatan kronologis, tetapi mungkin konstruksi makna dari urutan kejadian.

Lokasi dan Settingnya cerita dibangun dengan diawali pecahnya Kerajaan Demak dan pertarungan antara Djipang dengan Padjang. Sisa-sisa lasykar Arya Penangsang dengan tokoh Tohpati, murid Kian Mantahun, Maha Patih Djipang memimpin perlawanan secara gerilya. Sebagaimana diketahui, pada episode inilah Jaka Tingkir menggantikan Sultan Trenggana dan membawa pusat pemerintahan ke Padjang. Pada episode ini jugalah, Sutawidjaya (Kelak menjadi Panembahan Senopati, Raja Mataram Pertama didampingi Kiai Juru Martani sebagai Patih)mulai menunjukkan tajinya untuk kemudian melahirkan kerajaan Mataram.

Jika kita telusuri terhadap keseluruhan setting ADBM, sebanyak lebih 200 jilid berputar-putar di sisa kerajaam Majapahit dan garis keturunannya (Guru Agung Sedayu termasuk keturunan langsung Majapahit), pertarungan sisa laskar Djipang dan Pajang, hingga ke masa pembentukan Mataram dan konsolidasi Mataram sebagai sebuah kerajaan. Pada selang waktu inilah cerita ABM dibangun, lengkap dengan intrik-intrik dalam istana yang dibuat menjadi tidak membosankan karena dikemas dalam kaitan dengan pergolakan rimba persilatan (meminjam istilah KPH dan Cersil berlatar Cina lainnya). Pergolakan politik yang berpusat di Istana, terpadu secara kait mengait dengan polarisasi tokoh-tokoh silat dari beberapa padepokan yang juga mengalami friksi.

Lalu coba cermati pula pada awal cerita, tokoh-tokoh padepokan masih amat jarang, tetapi pada bagian tengah, di atas jilid 100, mulai bermunculan dan bahkan terus hingga ke bagian-bagian akhir jilid 390-an. Kentalnya nuansa sejarah terutama nampak dalam episode 1 dan 2, yang berpusat dalam diri Agung Sedayu dan Swandaru. Swandaru yang memilih "aliran keras" mengutamakan fisik berbeda jalur ilmunya dengan Agung Sedayu yang mengutamakan "kedalaman". Perbedaan ini diletakkan dalam konflik politik yang secara perlahan bertumbuh semakin subur dan semakin bersimpang hingga meledak pada jilid 200-an. Tetapi, di sela itu juga, justru konflik-konflik utama di kerajaan terjadi. Baik episode perang yang berakhir antara Djipang (sisa lasykar)

Page 4: Api Di Bukit Menoreh Dan Latar Belakang Sejarah Kekuasaan Raja

dengan Pajang yang dimenangkan Untara, hingga menangnya Sutawidjaya dengan kematian Sultan Pajang yang adalah ayah angkatnya. Perang masih terus berlanjut hingga jilid 300-an, hingga berpusat ke diri Glagah Putih yang mengembara. Cerita perang ke perang inilah yang menautkan sejarah sejak Demak, Pajang hingga ke Mataram. Intinya memang adalah pertumbuhan Mataram, baik sejak Ki Pemanahan hingga Panembahan Senopati dan pengganti-penggantinya.

ADBM (Api di Bukit Menoreh), betapapun memang menyiratkan kentalnya nuansa sejarah. Nampaknya, penulisnya secara sengaja memasukkan unsur tersebut. Meskipun tidak se akurat tulisan sejarah, tetapi fiksi ADBM, justru menyajikan alur sejarah secara sangat menarik. Ketika dikonfirmasi dengan sejarah Jawa, saya menemukan alur sejarah yang tidak salah, meski dengan aksentuasi yang berbeda. Saya, justru menjadi lebih mengerti Jawa, melalui fiksi ADBM ini. Panorama sejarah ini menjadi tidak membosankan karena paduannya dengan cerita selit yang terselip tidak dalam porsi kecil, tetapi malah dominan dengan tidak menohok sejarah jauh ke alur fiksi dan buatan sendiri.

Demikian pula dengan intrik-intrik politik seputar peralihan kekuasaan Sultan Trenggana, Hadiwidjaya hingga Panembahan Senopati, lengkap dengan Patih mereka masing-masing, serta tokoh-tokoh sepuh yang mengelilingi mereka, kaitan dengan sisa Majapahit, konsolidasi Mataram dengan kadipaten sekitarnya, konflik dan perebutan tahta, serta ambisi politik, dikemas dengan sangat baik. Dan, jadilah ADBM sebagai cerita silat klasik Jawa yang sangat representatif untuk mengerti Jawa, terutama bagi pembaca yang berasal dari luar Jawa. Tetapi, bahkan bagi Orang Jawa sendiripun, alur yang khas Jawa ini dianggap seakan-akan sebuah kisah nyata (bandingkan dengan Kisah Tiga Negara (SAMKOK/The Three Kingdom). Hal yang membuktikan betapa cerita ini memang merupakan sari atau disarikan dari kehidupan nyata masyarakat Jawa. Berangkat dan dikemas dalam nuansa yang njawani alur cerita yang “alon-alon asal kelakon” cermati pula ajaran spiritual jawa seperti “ngelmu iku kudu ngelakoni …… “ dan seterusnya.

Palembang 20 Januari 2008