Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif...
Transcript of Anavina Fuka Bipolo Suatu Tinjauan Kritis dari Prespektif...
BAB IV
Analisa Kritis dan Refleksi Teologis terhadap Peran dan Kedudukan
Perempuan dalam Masyarakat dan Gereja di Buru Selatan
“Kesetaraan jender adalah ....... Dengan memandang ruang domestik sama tinggi dengan ruang publik
Ketika mengakui dapur sejajar dengan perkantoran” ___ Nancy Souisa___
4.1. Pengatar.
Pada bab sebelumnya telah dideskripsikan peran dan kedudukan perempuan dalam
masyarakat dan gereja di Buru Selatan. Pada bab ini, penulis akan melakukan tinjauan kritis
terhadap berbagai peran dan kedudukan perempuan tersebut, melalui sebuah analisa kritis
berdasarkan prespektif kesetaraan jender yang telah dibangun pada bab dua. Selanjutnya pada
bagian akhir bab ini, penulis akan melengkapi tinjauan kritis tersebut dengan sebuah refleksi
teologis, dengan mempergunakan beberapa ayat Alkitab (baik yang mendukung maupun
menolak ketidak-setaran jender) dan kondisi sosial perempuan di Buru Selatan sebagai
pijakan untuk ber-refleksi.
4.2. Analisa Kritis terhadap Peran dan Kedudukan Anavina dalam Masyarakat.
Telah digambarkan sebelumnya bahwa dalam sejarah hidup masyarakat di Buru
Selatan, peran dan kedudukan dari perempuan lebih kecil dan terbatas jika dibandingkan
dengan kaum laki-laki. Posisi dan peran laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan lebih
besar dan banyak daripada perempuan. Perempuan dibatasi hanya pada pekerjaan rumah
tangga seperti memasak, mencuci, menyiapkan makanan atau mengurus anak. Sementara
laki-laki melakukan pekerjaan seperti berburu, menyiapkan lahan untuk berkebun (menebang
pohon, membakar), melakukan tugas di pemerintah sebagai kepala desa atau kepala adat.
Pembatasan peran dan kerja antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
masyarakat di Buru Selatan, memiliki kesamaan dengan sistem pembagian kerja secara
seksual yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan. Pada
awalnya memang sistem pembagian kerja dalam masyarakat di Buru Selatan ini, tidak
menjadi sebuah masalah oleh karena pembagian tugas atau pekerjaan antara laki-laki dan
perempuan pada zaman dulu itu, dilakukan berdasarkan pada situasi sosial masyarakat yang
dilanda peperangan. Di mana perempuan memikul beban yang lebih berat dibandingkan laki-
laki yang hanya memikul tombak dan parang. Namun ketika zaman peperangan itu telah
berlalu sampai ke zaman modern (saat ini), sistem pembagian kerja tersebut tetap hidup dan
berkembang dengan nyaman di tengah-tengah kehidupan mereka. Peran perempuan dan laki-
laki belum berubah secara signifikan, perempuan tetap memikul beban yang berat (dalam
istilah masyarakat di Buru Selatan adalah keku tolfafak dan rege fodo sambil menggendong
anak). Perempuan belum memiliki kedudukan yang tinggi dan sama dengan laki-laki dalam
bidang pemerintahan dan terutama adat. Hanya di beberapa tempat tertentu saja (seperti di
Leksula), perempuan dan laki-laki telah memiliki pembagian peran kerja dan kedudukan yang
lebih seimbang dan setara, baik dalam keluarga maupun masyarakat dan gereja.
Arief Budiman secara jelas menyatakan bahwa sistem pembagian kerja secara seksual
mengandung banyak ketidak-adilan terhadap kaum perempuan.134
Walaupun demikian,
banyak orang termasuk kaum perempuan sendiri tetap menganggap bahwa pembagian kerja
secara seksual adalah sesuatu yang alami dan wajar dalam masyarakat, sehingga mereka
selalu menerima tugas dan tanggung-jawab tersebut dengan sepenuh hati. Hal yang sama
seperti ini, terjadi juga dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan. Di mana sebagian
perempuan menganggap bahwa pekerjaan-pekerjaan dan peran-peran yang mereka lakukan
dari hari ke hari merupakan hal yang wajar (adalah kodrat mereka) dan harus dilakukan
134
Arief Budiman., Pembagian Kerja Secara Seksual – Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran
Wanita di dalam Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1985), ix.
sebagai istri dan ibu rumah tangga. Bahkan sekalipun jika peran-peran (pekerjaan) tersebut
mengandung diskriminasi dan ketidak-adilan terhadap harkat dan hidup mereka sebagai
manusia.
Pandangan tentang perempuan dalam adat istiadat masyarakat di Buru Selatan, erat
kaitannya juga dengan ketrampilan diri sebagai perempuan dan fungsi utamanya dalam
keluarga. Umumnya para perempuan di Buru Selatan memiliki keahlian dan ketrampilan
dalam memasak, mengolah makanan, mengurus anak dan mengatur rumah tangga. Sementara
itu, hampir seluruh laki-laki di Buru Selatan tidak memiliki ketrampilan dan keahlian dalam
melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti itu. Hal ini terjadi oleh karena baik
laki-laki maupun perempuan telah dikondisikan dengan bentuk-bentuk pekerjaan seperti itu.
Bahwa masyarakat dan keluarga telah mengkondisikan laki-laki untuk bekerja di ruang
publik dan perempuan untuk bekerja di ruang domestik. Kondisi seperti inilah yang
menyebabkan adanya dikotomi publik dosmestik dalam masyarakat termasuk di Buru
Selatan, sehingga menciptakan sistem pembagian kerja secara seksual, yang lebih banyak
membatasi peran dan posisi kaum perempuan di area rumah tangga.
Kondisi seperti ini menyebabkan munculnya dikotomi peran antara laki-laki dan
perempuan dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan. Dikotomi (pembedaan) peran ini,
mengakibatkan penempatan perempuan di dalam rumah untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan rumah-tangga sedangkan laki-laki di luar rumah untuk melakukan pekerjaan-
pekerjaan publik (pemerintah), ke hutan, berburu dan sebagainya. Dikotomi ini dipandang
sebagai sesuatu yang adil dalam masyarakat. Padahal dikotomi seperti di atas mengandung
ketidak-adilan dan diskriminasi terhadap perempuan, oleh karena sangat membatasi peran
dan kedudukan mereka dalam masyarakat. Perempuan menjadi jenis kelamin kelas dua (the
second sex) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat.
Anggapan bahwa perempuan “berharga” dalam keluarga merupakan salah satu
penyebab kuat lainnya yang membuat peran perempuan terbatas di dalam keluarga.
Perempuan dibatasi ruang geraknya untuk berasosiasi dan bersosialisasi dengan orang lain
(masyarakat) oleh karena “keberhargaannya” tersebut. Persoalannya kemudian adalah
konsep keberhargaan perempuan dalam masyaraat zaman dulu berbeda dengan konsep
keberhargaan perempuan pada masyarakat saat ini, apalagi dalam hubungannya dengan harta
kawin yang dikenakan terhadap diri perempuan-perempuan di Buru Selatan. Harta kawin
yang dulunya merupakan simbol keberhargaan perempuan oleh karena nilainya sebagai
seorang manusia, sebagai sumber kehidupan keluarga berubah menjadi simbol ekonomis.
Keberhargaan perempuan tidak lebih seperti sebuah barang (benda) yang memiliki nilai
ekonomis.
Imbas dari pembayaran sejumlah harta kawin tersebut, akan terlihat ketika para
perempuan ini sudah masuk dalam kehidupan perkawinan (keluarga). Oleh karena laki-laki
sudah memiliki pemahaman bahwa perempuan yang telah mereka bayarkan harta kawinnya
adalah perempuan yang telah mereka beli, maka ia dapat melakukan apapun terhadap diri
perempuan tersebut. Perempuan juga dipaksakan untuk bekerja sangat keras, melakukan
hampir semua pekerjaan rumah tangga mulai dari memasak, mengurus anak bahkan harus
membantu suami di kebun dan membawakan semua hasil kebun ke rumah. Sementara itu,
suami seringkali tidak pernah membantu pekerjaan istri di rumah tangga. Bahkan ada laki-
laki yang membebankan semua tanggungjawab keluarga termasuk mencari nafkah untuk
dilakukan istrinya.
Kondisi seperti ini menyebabkan perempuan tidak memiliki banyak waktu untuk
mengembangkan diri mereka atau terlibat dalam peran-peran di luar rumah tangga (peran
publik seperti di pemerintahan). Hampir seluruh waktu mereka setiap hari dihabiskan hanya
untuk mengerjakan dan mengurus rumah tangga. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa harta
kawin yang besar dalam masyarakat di Buru Selatan, tidak hanya membuat perempuan
terbatas peran dan kedudukannya dalam keluarga dan masyarakat, tetapi membuat mereka
juga mengalami ketidak-setaraan dan ketidak-adilan, terdiskriminasi serta tereksploitasi hak-
hak hidupnya oleh kaum laki-laki.
Dengan demikian maka salah satu akar dari berbagai permasalahan terhadap kaum
perempuan di Buru Selatan yang sangat mendiskriminasi kehidupan mereka, termasuk
pembatasan dan pengecilan seluruh peran dan kedudukan mereka dalam keluarga dan
masyarakat, bersumber dari berbagai kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung
lama dan telah menjadi sebuah budaya dalam masyarakat. Selain itu juga, dari berbagai
praktek adat istiadat di masyarakat Buru Selatan yang sangat dilatarbelakangi oleh budaya
patriarkhi, yang mengagungkan laki-laki lebih daripada perempuan. Budaya patriarkhi ini
telah mengakar kuat dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat di Buru Selatan.
Pengaruhnya yang kuat membuat perempuan selalu menerima berbagai hal dalam kehidupan
mereka dengan sepenuh hati, sekalipun terkandung ketidak-adilan dan diskriminasi
didalamnya. Mereka tidak mampu untuk memberikan perlawanan terhadap berbagai bentuk
ketidak-adilan dan diskriminasi yang mereka alami.
Sistem dan struktur kebudayaan yang patriarkal menciptakan pembagian ruang
berdasarkan jender, di mana ruang publik adalah domain laki-laki dan ruang domestik
diberikan kepada perempuan. Dengan cara memfragmentasikan kehidupan perempuan,
masyarakat patriakhal mampu membuat perempuan terpecah dan mengisolasi mereka dari
dunia publik sehingga tidak memiliki kekuatan politis dan semakin terdiskriminasi dari laki-
laki. Ide dasar budaya patriarkhi yang mendominasi alam dan mengagungkan kekuasaan laki-
laki telah menciptakan penindasan dan ketimpangan terhadap peran dan kedudukan
perempuan.135
135
Gadis Arivia, Feminisme Sebuah Kata Hati (Jakarta: Kompas, 2006), 111.
Pembatasan ruang publik dan privat merupakan salah satu implementasi budaya
patriarkhi yang menempatkan perempuan selalu berada dalam rumah sementara laki-laki di
luar rumah, sekaligus juga merupakan salah satu bentuk dominasi laki-laki atas kehidupan
perempuan. Inilah kondisi yang juga ada dan terjadi di dalam kehidupan masyarakat di Buru
Selatan dan di berbagai daerah lain di Indonesia. Di suku Asmat misalnya kaum perempuan
harus melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga, termasuk mencari sagu untuk makanan
keluarga.136
Sejak kecil, perempuan Asmat telah diajarkan untuk melakukan berbagai
pekerjaan rumah-tangga sementara kaum laki-lakinya belajar perang.137
Adat istiadat
masyarakat yang bersumber dari budaya patriarkhi memberikan ruang lebih kecil kepada
perempuan, untuk mengembangkan dirinya dan membatasi gerak mereka pada area domestik
atau dalam rumah tangga saja.
Dapat dikatakan bahwa sistem pembagian kerja secara seksual antara laki-laki dan
perempuan di Buru Selatan, yang terimplementasi dalam pembagian tugas dan kerja sehari-
hari (perempuan di rumah sedangkan laki-laki di hutan), dan diperkuat lagi dengan pengaruh
adat istiadat berlatar-belakang patriarkhi dalam masyarakat Buru Selatan, yang menjadi
penyebab adanya dikotomi publik (ruang masyarakat/pemerintah dan gereja) dan domestik
(keluarga/rumah-tangga). Pemilahan peran publik dan domestik inilah yang mengakibatkan
peran kaum perempuan di Buru Selatan menjadi kecil dan terbatas. Selain itu, menyebabkan
pula timbulnya berbagai bentuk diskriminasi dan ketidak-adilan terhadap kaum perempuan di
Buru Selatan. Mereka didiskriminasikan tidak hanya pada satu bidang kehidupan saja tetapi
hampir di semua bidang, mulai dari pendidikan, pemerintahan, perkawinan dan pekerjaan.
Berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan di Buru Selatan, terjadi mulai dari
lingkup masyarakat sampai ke dalam keluarga/rumah-tangga. Padahal keluarga seperti
136
Dewi Linggasari, Yang Perkasa yang Tertindas-Potret Hidup Perempuan Asmat (Yogyakarta:
Bigraf Publishing, 2004), viii. 137
Linggasari, Yang Perkasa yang Tertindas, 63.
dikatakan Susan Moller Okin merupakan pusat bagi pendidikan keadilan, moral dan etis bagi
anak-anak. Keluarga sebagai sebuah lembaga sosial yang paling kecil dari masyarakat
hendaknya memberi arah bagi keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat.138
Keluarga
haruslah memberikan jaminan adanya keadilan, kesamaan posisi dan kesempatan bagi
siapapun baik laki-laki maupun perempuan termasuk anak-anak untuk memperoleh
kehidupan yang lebih baik. Di Buru Selatan terutama di daerah-daerah pegunungan atau
pedalaman, masyarakat masih melanggengkan budaya patriarkhi. Walaupun telah ada
globalisasi dan modernisasi, tetapi pengaruhnya hanya dirasakan di daerah-daerah pesisir
pantai saja dan di kota-kota kabupaten atau kecamatan. Kondisi ini mengakibatkan hanya
sebagian keluarga di Buru Selatan saja, yang telah memberikan kesempatan kepada
perempuan (baik istri mereka, saudara perempuan maupun anak perempuan) untuk
mengembangkan diri mereka, dalam berbagai peran dan kedudukan.
Dalam kehidupan masyarakat di daerah pegunungan/pedalaman Buru Selatan, masih
ada pemilahan soal kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
mendapatkan kedudukan dan peran yang lebih banyak dalam dunia publik (jabatan dalam
masyarakat, pemerintah dan gereja). Sementara para perempuan bertugas di rumah,
mempersiapkan kebutuhan keluarga sehari-hari. Padahal, pemilahan seperti inilah yang
memiliki potensi besar menimbulkan kesenjangan dan ketidak-adilan dalam kehidupan
keluarga. Seperti yang sering terjadi dalam kehidupan banyak keluarga di Buru Selatan, di
mana perempuan harus menanggung banyak beban dan melakukan banyak pekerjaan dalam
keluarga, melebihi dari yang seharusnya dia kerjakan. Hanya dengan alasan harta kawin dan
dengan pengaruh adat istiadat, perempuan “dipaksa” untuk melakukan berbagai pekerjaan
(termasuk pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh suami/laki-laki). Perempuan
juga dikecilkan kedudukannya di tengah-tengah keluarga dan masyarakat. Padahal,
138
Susan Moler Okin, Justice, Gender and The Family (Chicago: Basic Books, Inc., 1989), 21- 24.
perempuan seperti yang ditegaskan oleh Wolfman dapat melakukan banyak peran dan
memegang banyak kedudukan dalam masyarakat. Perempuan memiliki kemampuan dan
ketrampilan untuk melakukan semua itu. Dengan begitu maka seharusnya mereka diberikan
kebebasan untuk melakukan peran-peran yang mereka inginkan, yang sesuai dengan
kemampuan dan ketrampilan diri mereka, serta memiliki kedudukan yang setara dengan
kaum laki-laki. Perempuan juga harus diberikan hak yang sama dengan kaum laki-laki dalam
kehidupan mereka sehari-hari.
Bentuk-bentuk diskriminasi seperti marginalisasi, beban kerja ganda, stereotipe, nyata
terjadi bagi para perempuan Buru Selatan terutama yang tinggal di daerah pegunungan dan
pedalaman pulau Buru Selatan, dalam kehidupan mereka sehari-hari. Beberapa contoh
kongkritnya antara lain adalah :
1. Kesempatan memperoleh pendidikan yang kecil dan terbatas.
2. Adat perkawinan seperti kawin panjar dan sistem poligami beserta dengan
harta kawin yang besar dalam diri perempuan.
3. Kesempatan yang kecil untuk memperoleh kedudukan dalam bidang
pemerintahan.
4. Berbagai tugas dan pekerjaan keluarga yang harus mereka lakukan sendiri
setiap hari seperti memasak, mengurus anak, membantu pekerjaan suami di
kebun, membawa pulang banyak hasil kebun ke hutan melebihi kekuatan
mereka dll, membuat mereka menjadi seperti seorang budak bagi suami dalam
keluarga.
5. Kesempatan yang kecil membuat keputusan-keputusan dalam keluarga,
kebijakan tentang masa depan anak bahkan keputusan bagi diri sendiri.
Pada titik ini, Okin benar ketika mengatakan bahwa sebelum ada keadilan dan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga, perempuan tidak akan mampu
mendapatkan kesetaraan dalam bidang politik, di tempat kerja atau dalam lingkup lainnya.
Sedikitnya jumlah perempuan Buru Selatan yang memperoleh kesempatan kerja dan
mendapatkan jabatan yang tinggi, baik di bidang pemerintahan maupun gereja, tampaknya
dipengaruhi juga oleh ketiadaan mereka mengambil peran-peran penting dalam kehidupan
keluarga sehari-hari, terutama pemimpin dan pengambil kebijakan di dalam keluarga.
Perempuan dalam keluarga-keluarga di Buru Selatan, hanya menjadi seorang pelengkap bagi
kaum laki-laki.
Nampaknya kondisi geografis (keadaan alam dan lingkungan) memiliki pengaruh
bagi peran dan kedudukan perempuan dalam masyarakat di Buru Selatan. Bahwa para
perempuan di daerah pesisir, di kota-kota kabupaten dan kecamatan, memiliki kondisi hidup
yang lebih baik dari para perempuan di daerah pegunungan/pedalaman Buru Selatan, karena
mereka telah mendapat akses lebih besar dan mulai setara dengan kaum laki-laki dalam
berbagai bidang kehidupan termasuk pemerintahan dan pendidikan. Dengan banyaknya arus
informasi dan komunikasi, globabalisasi dan keterbukaan masyarakat, para perempuan di
daerah pesisir pantai telah diberikan kebebasan untuk berperan dalam masyarakat seperti
kaum laki-laki. Perempuan di pesisir pantai secara perlahan-lahan mulai memiliki
kesempatan dan peluang yang sama untuk mengembangkan diri mereka seperti kaum laki-
laki. Mulai ada kesetaraan dan kedailan yang mereka terima. Sementara itu, perempuan di
daerah pegunungan (pedalaman) masih tetap hidup dalam kondisi yang tradisional, yang
terdiskriminasi dalam keluarga dan masyarakat. tidak adanya lembaga pendidikan dan
minimnya arus informasi dan komunikasi menyebabkan mereka tidak mampu untuk
mengembangkan dirinya secara baik. Laki-laki pun belum menyadari tentang adanya
kesetaraan hidup yang harus diterima oleh perempuan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan masyarakat di Buru
Selatan, belum ada kesetaraan dan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan secara utuh
dan menyeluruh. Pengaruh budaya patriarkhi masih kuat dalam seluruh dinamika hidup
masyarakat sehingga laki-laki, belum menyadari secara baik arti kehadiran perempuan dalam
kehidupan mereka, dalam hal ini sebagai seorang patner yang sederajat dengan mereka. Di
lain pihak, perempuan sendiri pun belum menyadari juga arti kehadiran mereka dalam
kehidupan seorang laki-laki, yakni sebagai seorang mitra hidup yang memiliki kemampuan
yang sama, sehingga mereka cenderung untuk selalu menganggap biasa (merupakan kodrat)
berbagai bentuk diskriminasi dan ketidak-adilan yang terjadi kepada mereka. Kalaupun ada,
maka kesetaraan dan kesejajaran peran dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan di
Buru Selatan hanya dimiliki oleh sebagian kecil masyarakat saja. Hanya perempuan yang
berdomisili di kota kecamatan, kabupatan, pusat klasis dan daerah pesisir pantai saja yang
sudah diberikan hak yang setara dan sama dengan laki-laki dalam kehidupan masyarakat.
Sementara untuk masyarakat yang di daerah pegunungan atau pedalaman Buru Selatan, laki-
laki masih tetap mendominasi kehidupan perempuan, dan menciptakan ketidak-seimbangan
peran dan kedudukan di antara mereka.
4.3. Analisa Kritis terhadap Peran dan Kedudukan Anavina dalam Gereja.
Peran dan kedudukan perempuan dalam gereja khususnya GPM di Klasis Buru
Selatan, terlihat lebih baik daripada peran dan kedudukan mereka dalam masyarakat. Gereja
lebih memberikan ruang dan peluang bagi para perempuan untuk berkembang dan
mengembangkan kapasitas diri mereka. Laki-laki maupun perempuan diberikan kesempatan
yang sama untuk berperan dalam pelayanan gereja dan menjadi pejabat (majelis jemaat,
pengurus organisasi pelayanan atau pengasuh) di dalam gereja.
GPM di klasis Buru Selatan, tidak hanya menempatkan diri sebagai sebuah lembaga
keagamaan semata tetapi juga sebuah lembaga sosial. Dengan begitu, gereja tidak hanya
menjadi tempat beribadah dan pelayanan bagi jemaat, namun berusaha pula untuk
menyelesaikan berbagai permasalahan dan persoalan yang terjadi di antara mereka.
Persoalan-persoalan perempuan yang berkaitan dengan ketidakadilan dan ketidaksetaraan
yang dialami mereka dalam kehidupan, juga menjadi pergumulan dalam gereja. Upaya gereja
untuk mengatasinya, tidak hanya sebatas pada bidang-bidang pelayanan (ibadah, PA,
kegiatan pastoralia) tetapi juga me-reintepretasi cerita-cerita Alkitab, khususnya cerita-cerita
yang memiliki nilai diskriminatif terhadap kaum perempuan ke dalam pemahaman-
pemahaman baru yang lebih setara secara jender dalam berbagai ceramah dan diskusi serta
melalui berbagai kegiatan gereja yang melibatkan perempuan dan laki-laki secara bersama
didalamnya.
Hal ini adalah salah satu langkah positif yang coba dilakukan oleh gereja untuk
menjembatani kesenjangan yang cukup besar antara laki-laki dan perempuan di Buru Selatan
khususnya dalam bidang pemerintahan di masyarakat. Gereja menjadi sebuah gesellschaft,
yang memberikan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Siapapun yang
memiliki kemampuan, keahlian dan ketrampilan untuk melaksanakan berbagai tugas dan
tanggung jawab serta posisi yang diberikan kepada mereka, itulah yang diberikan peran dan
kedudukan oleh gereja. Jadi tidak ada pembatasan terhadap jenis kelamin tertentu untuk
berperan dan memiliki posisi di dalam gereja.
GPM yang berada di klasis Buru Selatan lebih bersifat kontekstual dalam pelayanan
mereka. Gereja berusaha untuk memberikan pemahaman kepada jemaat terutama kaum laki-
laki menjadi individu yang lebih menghargai perempuan sebagai mahkluk sosial, sebagai
patner dan mitra hidup, sebagai teman sekerja yang setara dan yang dibutuhkan oleh laki-laki.
Dalam gereja di klasis Buru Selatan, kaum perempuan diberikan peran lebih dalam berbagai
kegiatan pelayanan gereja. Perempuan ternyata mampu melakukan berbagai tugas dan
tanggung jawab pelayanan yang diberikan kepada mereka dibandingkan dengan laki-laki.
Kapasitas diri dari para perempuan Buru Selatan di dalam gereja terakomodir dengan baik, di
mana mereka merasa lebih bebas untuk mengekspresikan dirinya di tengah-tengah jemaat
(masyarakat). Hal ini justru jarang sekali diperoleh di dalam lingkup pemerintah dan
masyarakat.
Meskipun demikian, harus diakui juga bahwa kondisi seperti di atas memang belum
dirasakan dalam semua gereja di klasis Buru Selatan. Umumnya gereja-gereja di daerah-
daerah pedalaman (pegunungan yang jauh di tengah-tengah pulau Buru Selatan), masih
belum sepenuhnya mengakamodir perempuan (melibatkan perempuan untuk berperan dan
memiliki kedudukan) didalamnya. Penyebabnya selain karena pengaruh adat istiadat
patriarkat yang kuat, para perempuan di daerah-daerah pegunungan dan pedalaman Buru
Selatan masih memiliki tingkat pendidikan yang rendah sehingga ketrampilan dan keahlian
mereka masih sangat kurang untuk terlibat dalam berbagai peran (tugas/kegiatan pelayanan)
dan memiliki kedudukan dalam gereja.
Walaupun begitu, secara keseluruhan gereja-gereja di Buru Selatan telah memberikan
kesempatan yang lebih banyak dan lebih besar kepada kaum perempuan, untuk
mengembangkan diri dan berperan dalam berbagai tugas pelayanan dalam jemaat. Perempuan
bahkan memiliki banyak posisi atau kedudukan seperti laki-laki di dalam gereja. Hal ini
adalah salah satu langkah positif dalam usaha bersama gereja menciptakan sebuah dinamika
kehidupan yang lebih setara antara perempuan dan laki-laki. Dengan begitu maka perempuan
akan menjadi lebih berani untuk mengeluarkan pendapat mereka dan membuat keputusan-
keputusan yang penting dalam kehidupan mereka. Suatu hal yang memang sulit didapatkan
mereka dalam kehidupan di masyarakat dan pemerintahan.
4.4. Refleksi Teologis.
Manusia, laki-laki maupun perempuan adalah mahluk sosial yang saling
membutuhkan seorang akan yang lain. Laki-laki dan perempuan diciptakan Tuhan untuk
membangun hidup secara bersama, saling menopang seorang dengan yang lain. Dengan
begitu maka laki-laki dan perempuan adalah mitra yang setara, mitra yang sejajar dan mitra
yang sama dalam kehidupan sehari-hari.
Kej 2 :18, 21-24 memperlihatkan bahwa perempuan diciptakan Tuhan dari tulang
rusuk laki-laki sebagai penolong yang sepadan dengannya. Kata sebagai penolong yang
sepadan memperlihatkan bahwa antara laki-laki dan perempuan, ada kesejajaran. Keduanya
memiliki posisi dan kedudukan yang sama, untuk saling menolong dan melengkapi.
Perempuan sebagai penolong yang sepadan bagi laki-laki, tidak lantas menjadikannya
sebagai budak yang harus bekerja lebih keras dan lebih banyak dari laki-laki, yang harus
melakukan banyak pekerjaan rumah-tangga atau keluarga. Begitupun perempuan yang
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki tidak lantas menjadikan dia berada pada posisi atau
kedudukan yang lebih rendah dan lebih kecil daripada laki-laki. Namun perempuan yang
diciptakan dari tulang rusuk laki-laki sebagai penolong yang sepadan untuk dia menjadikan
perempuan itu berada pada posisi yang sama dan sejajar dengan laki-laki. Perempuan
menjadi patner atau mitra kerja, penopang dan penolong yang setara bagi laki-laki.
Perempuan-perempuan di Buru Selatan adalah juga perempuan yang seharusnya
memiliki kesejajaran dan kesetaraan dengan kaum laki-laki Buru Selatan. Mereka harus
diperlakukan dengan baik dan sama oleh kaum laki-laki. Perempuan bukanlah objek tetapi
subjek yang setara, oleh karena perempuan dan laki-laki adalah mitra kerja yang sepadan dan
sama, yang harus saling menopang dan menolong satu dengan yang lain. Keduanya berada
pada posisi dan kedudukan yang sama, baik dalam keluarga, gereja pun masyarakat
(pemerintah).
Sejak awal, perempuan dan laki-laki diciptakan sebagai manusia yang lengkap dan
utuh sesuai dengan gambar dan rupa Tuhan Allah sendiri (kej 1: 26-28). Manusia (laki-laki
dan perempuan) adalah imagodei Tuhan Allah, yang mewarisi juga sifat, sikap dan pribadi-
Nya dalam kehidupan mereka sehari-hari di tengah-tengah dunia ini. Dengan begitu maka,
keduanya sama-sama memiliki keistimewaan yang diwariskan Allah kepada mereka masing-
masing dan harus dipakai secara bersama-sama. Laki-laki tidak harus menjadi dan merasa
lebih tinggi dari perempuan begitupun sebaliknya. Keduanya memiliki peran dan kedudukan
yang sama untuk menjaga dan memelihara dunia (bumi) dengan segala isinya. Dunia adalah
milik bersama laki-laki dan perempuan, yang tidak harus diperebutkan atau dibagikan di
antara mereka. Dengan begitu maka baik laki-laki maupun perempuan berhak untuk berada
dan bekerja di mana saja di dunia ini.
Hal ini yang harus dilakukan oleh masyarakat di pulau Buru Selatan, terutama dalam
kehidupan dan hubungan bersama antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki di Buru Selatan
harus memberikan ruang yang lebih besar kepada perempuan, untuk mengekspresikan diri
dengan segala keistimewaan dan karunia yang diwariskan Tuhan Allah kepada mereka, di
tengah-tengah masyarakat dan alam di Buru Selatan. Laki-laki harus memahami juga bahwa
sebagai ciptaan Tuhan, mereka (laki-laki dan perempuan) diberikan tugas bersama untuk
memelihara, menjaga dan mengelola dunia ini. Dan bahwa sebagai manusia, mereka saling
membutuhkan satu dengan yang lainnya. Dengan begitu maka laki-laki akan lebih
menghargai perempuan sebagai mitra dan sesama manusia.
Memang laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan, yang secara lahiriah tidak
dapat dipersatukan seperti perbedaan fisik termasuk alat reproduksi bagi pria dan wanita.
Laki-laki dan perempuan juga memiliki perbedaan ketrampilan dan keanekeragaman keahlian
sesuai dengan potensi dan kemampuan diri mereka masing-masing. Tetapi hal ini tidak
membuat laki-laki dan perempuan harus dibeda-bedakan satu dengan yang lain. Karena
sebagai manusia ciptaan Tuhan Allah, laki-laki dan perempuan diberikan karunia yang sama
istimewa sebagai gambar dan citra diri Tuhan Allah di dunia. Dengan begitu, maka segala
perbedaan yang mereka miliki, haruslah dijadikan sebagai alat kekuatan Allah dan dipakai
untuk kehidupan bersama mereka, baik sebagai keluarga, gereja maupun anggota masyarakat.
Dalam kaitan dengan hal ini, laki-laki dan perempuan harus saling bekerja sama,
saling menolong dan melengkapi satu dengan yang lain. Seperti yang dianjurkan Paulus
dalam Galatia 6:2 “bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu
memenuhi hukum Kristus”. Sebagai mitra kerja, teman kerja atau rekan kerja yang sepadan
dan sejajar, maka perempuan dan laki-laki harus saling menolong dan menopang satu dengan
yang lain. Inti penciptaan manusia manusia dengan dua jenis kelamin yakni laki-laki dan
perempuan, bukanlah untuk menciptakan perbedaan dan keanekaragaman ciptaan Tuhan
Allah, juga bukan sekedar menjadi teman biasa yang bisa saling bercerita dan menghibur,
tetapi terlebih untuk menjadi seorang penolong yang sepadan. Perempuan menjadi penolong
yang sepadan (sama dan sederajat) kepada laki-laki dan sebaliknya laki-laki pun demikian.
Dan dalam konteks masyarakat di pulau Buru Selatan, inilah hal penting yang harus dipahami
dan dilakukan terutama oleh kaum laki-laki Buru Selatan.
Diskriminasi dan ketidak-adilan yang dialami oleh para perempuan di pulau Buru
Selatan dari sebagian besar kaum laki-lakinya, tidak hanya terjadi karena faktor adat istiadat
yang sangat patriarkhat. Namun disebabkan pula oleh kurangnya kesadaran dan belum
dipahami secara baik hubungan bersama antara seorang laki-laki dan seorang perempuan,
baik dalam masyarakat (pemerintah), gereja juga keluarga. Di mana hubungan bersama yang
harus dibangun antara seorang laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang sepadan,
setara dan sejajar. Gandhi menyebutkan “perempuan dan laki-laki sesungguhnya diciptakan
dengan kekuatan mental yang setara”.
Pada akhirnya jika laki-laki dan perempuan Buru Selatan telah memahami secara baik
hal ini, maka tentu tidak akan ada diskriminasi dan ketidak-adilan yang terjadi lagi dalam
kehidupan masyarakat di pulau Buru Selatan. Bukan hanya diskriminasi terhadap kaum
perempuan tetapi juga bagi laki-laki, bukan hanya dalam satu bidang kehidupan tetapi
seluruh bidang hidup manusia. Masyarakat Buru Selatan juga akan hidup dengan lebih
demokratis, lebih harmonis dan lebih baik dalam semangat kesetaraan dan keadilan.
Dengan demikian maka kesetaraan dan kesederajatan hidup manusia yang telah
menjadi satu persekutuan, baik sebagai keluarga, masyarakat dan terutama gereja (jemaat
Kristen) seperti yang dikatakan Paulus dalam Gal 3:28 “dalam hal ini tidak ada orang Yahudi
atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau
perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus”, dapat diwujudkan juga
dalam kehidupan masyarakat di Buru Selatan. Karena sebagai manusia ciptaan Tuhan,
sebagai orang-orang Kristen dan sebagai persekutuan keluarga dan masyarakat, laki-laki dan
perempuan di Buru Selatan adalah orang-orang yang sama, setara dan sederajat dalam status
(kedudukan) dan peran dalam proses hidup mereka setiap waktu.
4.5. Rangkuman.
Peran dan kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat dan gereja di Buru
Selatan sedikit berbeda. Dalam masyarakat khususnya di bidang pemerintah pun di tengah-
tengah kehidupan keluarga, peran dan kedudukan mereka lebih terbatas. Sementara itu dalam
berbagai tugas pelayanan gereja, perempuan lebih diberikan ruang dan kesempatan untuk
mengembangkan diri mereka. Bahkan perempuan juga memiliki posisi atau kedudukan
(jabatan) dalam gereja. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan di Buru Selatan belum
sepenuhnya memiliki kesejajaran dan kesetaraan dengan kaum laki-laki.
Perbedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki di pulau Buru Selatan
ini, baik dalam masyarakat maupun gereja, semakin jelas terlihat dan dirasakan oleh
perempuan-perempuan di daerah pegunungan yang jauh (pedalaman) Buru Selatan.
Sementara di daerah-daerah pesisir dan di kota-kota Kecamatan/Kabupaten, kesempatan dan
peluang perempuan untuk mengembangkan diri, baik di pemerintah (masyarakat) maupun
gereja menjadi lebih besar dan mulai bergerak setara dengan kaum laki-laki. Walaupun
memang, harus diakui bahwa kesetaraan itu belum sepenuhnya mereka dapatkan. Ini terjadi
karena adat istiadat yang berlatar-belakang patriarkhi masih berpengaruh kuat dalam
masyarakat di Buru Selatan. Selain itu, rendahnya tingkat pendidikan dari para perempuan di
Buru Selatan menjadi salah satu faktor penyebab lainnya.
Oleh sebab itu, usaha dan upaya untuk memberikan kesadaran, pembaruan pola pikir
dan pemahaman dalam masyarakat Buru Selatan, tentang kehidupan bersama yang adil dan
setara antara laki-laki dan perempuan, harus terus dilakukan setiap waktu. Kerjasama antara
gereja sebagai mesin perubahan dengan pemerintah yang membawahi aspirasi seluruh
masyarakat, perlu dilakukan secara intens guna menciptakan kehidupan bersama yang lebih
baik, adil dan setara antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Buru Selatan.