agonis adrenergik dan antagonis adrenergik
description
Transcript of agonis adrenergik dan antagonis adrenergik
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum,,,
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan kepada saya dalam menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya.Tujuan
penyusunan makalah ini ialah sebagai salah satu tugas mata kuliah FARMAKOLOGI pada
Jurusan Farmasi, Fakultas Farmasi, Universitas Halu Oleo.
Dalam makalah ini mencoba menjelaskan tentang AGONIS DAN ANTAGONIS
ADRENERGIK. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah
meluangkan waktu dalam mengkoreksi makalah ini agar lebih baik.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu saran dan masukan yang membangun sangat kami harapkan.Semoga makalah ini
bermanfaat bagi yang membacanya.
Medan, November 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam arti luas farmakologi ialah ilmu mengenai pengaruh senyawa terhadap sel
hidup, lewat proses kimia khususnya lewat reseptor. Dalam ilmu kedokteran senyawa
tersebut disebut obat. Karena itu dikatakan farmakologi merupakan seni menimbang
( the art of weighing ). Tanpa pengetahuan farmakologi yang baik, seorang dokter dapat
merupakan sumber bencana bagi pasien karena tidak ada obat yang aman secara murni.
Hanya dengan penggunaan yang cermat, obat akan bermanfaat tanpa efek samping
tidak diinginkan yang terlalu menggangu. Selain itu, pengetahuan mengenai efek
samping obat memampukan dokter mengenal tanda dan gejala yang disebabkan obat.
Hampir tidak ada gejala dari demam, gatal sampai syok anafilaktik, yang tidak terjadi
dengan obat. Jadi obat selain bermanfaat dalam pengobatan penyakit, juga merupakan
penyebab penyakit. Menurut suatu survey di Amerika Serikat, sekitar 5 % pasien masuk
rumah sakit akibat obat. Rasio fatalitas kasus akibat obat dirumah sakit bervariasi antara
2 – 12%. Efek samping obat meningkat sejalan dengan jumlah obat yang diminum.
Melihat fakta tersebut, pentingnya pengetahuan obat bagi seorang dokter maupun
apoteker tidak dapat diragukan.
Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah,
mengobati, mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu kondisi tertentu
misalnya membuat seorang infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama
pembedahan. Salah satu bagian dalam ilmu farmakologi yaitu obat otonom yakni obat
adrenergic atau simpatomimetika yaitu zat – zat yang dapat menimbulkan ( sebagian )
efek yang sama dengan stimulasi susunan simpaticus ( SS ) dan melepaskan noradrenalin
( NA ) di ujung – ujung sarafnya. SS berfungsi meningkatkan penggunaan zat oleh tubuh
dan menyiapkannya untuk proses disimilasi. Organisme disiapkan agar dengan cepat
dapat menghasilkan banyak energy, yaitu siap untuk suatu reaksi “ fight, fright, or flight
“ ( berkelahi, merasa takut, atau melarikan diri ). Oleh karena itu, adrenergika memiliki
daya yang bertujuan mencapai keadaan waspada tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu agonis adrenergik dan antagonis adrenergik ?
2. Bagaimana jenis-jenis dari obat adrenergik ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui tentang agonis adrenergik dan antagonis adrenergik
2. Untuk mengetahui jenis-jenis obat agonis adrenergik dan antagonis adrenergik
HO OHCH-CH-NH-R R’HO
BAB II
PEMBAHASAN
A. SENYAWA ADRENERGIK
Struktur umum:
Senyawa adrenergik adalah senyawa yang dapat menghasilkan efek serupa
dengan respons akibat rangsangan pada sistem saraf adrenergik. Disebut juga dengan
nama adrenomimetik, perangsang adrenergik, simpatomimetik atau perangsang
simpatetik. Sistem saraf adrenergik adalah cabang sistem saraf otonom dan mempunyai
neurotransmitter yaitu norepinefrin.
Sintesis Epinefrin
1. Efek samping senyawa adrenergik sangat bervariasi:
a) Sebagai vasopresor dan bronkodilator dapat menyebabkan sakit kepala,
kecemasan, tremor, lemah dan palpitasi.
b) Sebagai dekongestan hidung yang digunakan secara local dapat menyebabkan
rasa pedih, terbakar atau kekeringan mukosa.
c) Sebagai obat mata setempat menyebabkan iritasi, penglihatan kabur, hyperemia
dan alergi konjungtivitas.
d) Kelebihan dosis dapat menyebabkan kejang, aritmia jantung, dan perdarahan
otak, sedang padapenggunaan jangka panjang menimbulkan hipertropi jaringan.
2. Efek adrenomimetik dapat ditimbulkan oleh penggunaan obat-obat berikut:
a) Penghambat monoamin oksidase (MAO), dapat menurunkan metabolisme
norepinefrin bebas dan menyebabkakn penumpukan norepinefrin di otak dan
jaringan lain. Contoh: pargilin dan tranilsipromin.
b) Kokain, desipramin, imipramin, klorfeniramin dan klorpromazin, dapat memblok
transport aktif dari cairan luar sel ke mobie pool I sitoplasma, menghambat
pemasukan norepinefrin pada membran akson presinaptik, sehingga senyawa
tetap aktif.
c) Senyawa adrenomimetik, dapat mengaktifkan α dan β-reseptor.
d) Tiramin dan efedrin, dapat mengganti norepinefrin dai mobile pool I sitoplasma,
menghasilkan efek simpatomimetik.
e) Pirogalol, katekol dan4-metiltropolon, dapat menghambat enzim katekol-o-
metiltransferase (COMT).
3. Sistem saraf menghasilkan 2 tipe respons, yaitu:
a) Respon α-adrenergik, secara umum dapat menimbulkan rangsangan atau
vasokonstriksi otot polos, tetapi kemungkinan juga menimbulkan respons
penghambatan, seperti relaksasi otot polos usus.
b) Respon β-adrenergik, secara umum dapat menimbulkan respons
penghambatan, seperti relaksasi otot polos dan vasodilatasi otoy rangka, tetapi
kemungkinan juga menimbulkan rangsangan, seperti meningkatkan konstraksi
dan kecepatan jantung.
B. HUBUNGAN STRUKTUR DAN AKTIVITAS
1. Struktur yang diperlukan untuk memberikan aktivitas agonis pada reseptor
adrenergik adalah sebagai berikut :
a. Struktur induk feniletilamin.
b. Substituen 3 hidroksi fenolat pada cincin atau yang lebih baik adalah
substituen 3,4 dihidroksi fenolat pada cincin.
c. Gugus α-hidroksi alifatik mempunyai stereokimia yang sebidang dengan
gugus hidroksi fenolat.
d. Substituen yang kecil (R’=H,CH3, atau C2H5) dapat dimasukkan dalam atom C
tanpa mempengaruhi aktivitas agonis.
e. Atom N paling sedikit mempunyai satu atom hidrogen (R=H atau gugus alkil)
2. Reseptor yang terlibat dalam respon saraf adrenergik adalah reseptor α-
adrenergik dan reseptor β-adrenergik.
a. Gugus hidroksi fenolat membantu interaksi obat dengan sisi reseptor β-
adrenergik melalui ikatan hidrogen atau kekuatan elektrostatik. Hilangnya
gugus ini menyebabkan menurunnya aktivitas β-adrenergik, tetapi tidak
mempengaruhi aktivitas α-adrenergik.
b. Gugus hidroksi alkohol dalam bentuk isomer (-) dapat mengikat reseptor
secara serasi melalui ikatan hidrogen atau kekuatan elektrostatik. Atom C-β
seri feniletilamin yang dapat membentuk karbokation juga menunjang
interaksi obat reseptor.
c. Adanya gugus amino juga penting terutama untuk aktivitas α-adrenergik,
karena dalam bentuk kationik dapat berinteraksi dengan gugus fosfat
reseptor yang bersifat anionik. Penggantian gugus amino dengan gugus –
OCH3 akan menghilangkan aktivitas adrenergik.
d. Adanya substituen gugus alkil yang besar pada atom N akan meningkatkan
afinitas senyawa terhadap β-reseptor dan menurunkan afinitasnya terhadap
α-reseptor.
e. Peran R-stereoselektivitas terlihat lebih besar pada β-reseptor. β-agonis dan
β-antagonis mempunyai struktur mirip seperti yang terlihat pada struktur
isoproterenol, tipe perangsang β-adrenergik, dan propanolol, tipe pemblok
adrenergik.
3. Molekul senyawa adrenomimetik bersifat lentur dan dapat membentuk
konformasi cis dan trans. Penelitian dengan analog dopamin menunjukkan
bahwa bentuk konformasi trans yang memanjang berinteraksi lebih baik dengan
reseptor dan -adrenergik dibanding bentuk konformasi cis yang tertutup.
4. Hubungan struktur dan aktivitas senyawa α-agonis didapatkan bahwa :
a. Pemasukan gugus metil pada atom C-α rangka feniletilamin akan
meningkatkan selektivitas terhadap.
b. Penghilangan gugus 4-OH dari cincin aromatik, secara drastis meningkatkan
selektivitas terhadap α1-reseptor.
c. Penghilangan gugus 3-OH dari cincin aromatik, pada banyak kasus dapat
meningkatkan selektivitas terhadap
d. Semua turunan imidazolin menunjukkan selektivitas yang lebih baik
terhadap α2 –reseptor dan aktivitasnya akan lebih besar bila ada substituen
pada posisi 2 dan 6 cincin aromatik.
5. Obat adrenergik, yang juga sebagai amin simpatomimetik, mempunyai struktur
dasar β-feniletilamin, yang terdiri dari inti aromatis berupa cincin benzen dan
bagian alifatis berupa etilamin. Substitusi dapat dilakukan pada cincin benzen
maupun pada atom C-α, atom C-β, dan gugus amino dari etilamin.
1. Substitusi pada cincin benzen dan pada atom C-β.
a) Amin simpatomimetik dengan substitusi gugus OH pada posisi 3 dan 4
cincin benzen disebut katekolamin (o-dihidroksibenzen disebut katekol).
Sebstitusi pada gugus OH yang polar pada cincin benzen atau pada atom
C-β mengurangi kelarutan obat dalam lemak dan memberikan aktivitas
untuk bekerja langsung pada reseptor adrenergik di perifer. Karena itu,
obat adrenergik yang tidak mempunyai gugus OH pada cincin benzen
maupun pada atom C-β (misalnya amfetamin, metamfetamin) mudah
menembus sawar darah otak sehingga menimbulkan efek sentral yang
kuat. Disamping itu, obat-obat ini kehilangan aktivitas perifernya yang
langsung, sehingga kerjanya praktis hanya secara tidak langsung.
b) Katekolamin dengan gugus OH pada C-β (misalnya epinefrin,
norepinefrin dan isoprenalin) sukar sekali masuk SSP sehingga efek
sentralnya minimal. Obat-obat ini bekerja secara langsung dan
menimbulkan efek perifer yang maksimal.
c) Amin simpatomimetik dengan 2 gugus OH, pada posisi 3 dan 4 (misalnya
dopamin dan dobutamin) atau pada posisi 3 dan C-β (misalnya
fenilefrin, metaramirol) juga sukar masuk SSP.
d) Obat dengan 1 gugus OH, pada C-β (misalnya efedrin,
fenilpropanolamin) atau pada cincin benzen (misalnya
hidroksiamfetamin) mempunyai efek sentral yang lebih lemah daripada
efek sentral amfetamin (hidroksiamfetamin hampir tidak mempunyai
efek sentral).
e) Gugus OH pada posisi 3 dan 5 bersama gugus OH pada C-β dan
substitusi yang besar pada gugus amino memberikan selektivitas
reseptor β2.
f) Katekolamin tidak efektif pada pemberian oral dan masa kerjanya
singkat karena merupakan substrat enzim COMT (katekol-O-
metiltransferase) yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati;
enzim ini mengubahnya menjadi derivat 3-metoksi yang tidak aktif.
g) Tidak ada atau hanya satu substitusi OH pada cincin benzen, atau gugus
OH pada posisi 3 dan 5 meningkatkan efektivitas oral dan
memperpanjang masa kerja obat, misalnya efedrin dan terbutalin.
2. Substitusi pada atom C-α.
a) Menghambat oksidasi amin simpatomimetik oleh enzim monoamin
oksidase (MAO) menjadi mandelat yang tidak aktif.
b) Meningkatkan efektivitas oral dan memperpanjang masa kerja amin
simpatomimetik yang tidak mempunyai substitusi 3-OH pada inti benzen
(misalnya efedrin, amfetamin), tetapi tdak memperpanjang masa kerja
amin simpatomimetik yang mempunyai substitusi 3-OH (misalnya etil-
norepinefrin).
3. Substitusi pada gugus amino.
a) Makin besar gugus alkil pada atom N, makin kuat aktivitas β, seperti
terlihat pada Isoprenalin > epinefrin > norepinefrin.
b) Makin kecil gugus alkil pada atom N, makin kuat aktivitas α, dengan
gugusmetil memberikan aktivitas yang paling kuat, sehingga urutan
aktivitas α: epinefrin >> norepinefrin > isoprenalin.
4. Isomeri optik.
a) Substitusi yang bersifat levorotatory pada atom C-β disertai aktivitas
perifer yang lebih kuat. Dengan demikian, L-epinefrin dan L-norepinefrin
mempunyai efek perifer > 10 kali lebih kuat daripada isomer dekstonya.
Substitusi yang bersifat dextrorotatory pada atom C-α menyebabkan
efek sentral yang lebih kuat, misalnya d-amfetamin mempunyai efek
sentral lebih kuat daripada L-amfetamin.
Kerja obat adrenergik dapat dibagi dalam 7 jenis:
1. Perangsangan perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa,
dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah
otot rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan kekuatan
kontraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernafasan, peningkatan
kewaspadaan, aktifitas psikomotor, pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolik, misalnya peningkatan glikogenolisis di hati dan otot, lipolisis
lemak dan pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak.
6. Efek endokrin, misalnya mempengaruhi sekresi insulin, renin dan hormon
hipofisis.
7. Efek prasinaptik, dengan akibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach
Obat adrenergik terbagi menjadi dua, kerja langsung dan kerja tidak langsung.
Obat adrenergik kerja langsung bekerja secara langsung pada reseptor adrenergik di
membran sel efektor. Jadi, efek suatu obat adrenergik dapat diduga bila duketahui
reseptor mana yang terutama dipengaruhi oleh obat tersebut. Obat adrenergik kerja
tidak langsung menimbulkan efek adrenergik melalui pelepasan NE yang tersimpan
dalam ujung saraf adrenergik.
Reseptor adrenergik dibagi pada dua kategori umum: α dan β. Yang masing-
masingnya telah dibagi lebih lanjut menjadi dua subtipe: α1 dan α2, β1 dan β2 dan
β3. Reseptor α telah dibagi lebih lanjut menggunakan teknik kloning molekul
menjadi α1A, α1B, α1D, α2A, α2B, α2C. reseptor ini dihubungkan ke protein-G
reseptor heterotrimerik dengan sub unit α, β, dan γ. Adrenoseptor yang berbeda
dihubungkan melalui protein-G yang spesifik, masing-masing dengan efektor yang
unik, tetapi masing-masing menggunakan guanosine trifosfat (GTP) sebagai
kofaktor. α1 berhubungan dengan Gq, yang mengaktifkan fosfolipase, α2
berhubungan dengan Gs, yang mengaktivasi adenilat siklase.
Gambar 12-3. Metabolisme sequential dari norepinefrin dan epinefrin. Monoamin oksidase (MAO) dan katekol-O-metiltransferase (COMT) memproduksi sebuah produk akhir yang sama, asam vanililmandelik (VMA).
Simpatomimetik, menghasilkan efek farmakologiknya dengan mengaktifkan baik
direk atau indirek α adrenergic, β adrenergic atau reseptor dopaminergik yang
merupakan bagian dari reseptor pasangan protein G.
Semua obat yang mengandung struktur 3,4 dihidroksi benzene (katekolamin)
secara cepat ditidak aktifkan oleh enzim monoamine oksidase atau katekol-O-
methyltransferase (COMT). MAO adalah enzim yang terdapat pada hati, ginjal dan
saluran gastrointestinal yang mengkatalisa oksidasi deaminasi. COMT dapat
mengmetilasi sebuah grup hidroksi dari katekolamin. Hasilnya adalah metabolit yang
sudah termetilasi dan tidak aktif dihubungkan dengan asam glukorinik danditemukan
diginjal sebagai asam 3-metoksi-4-hidroksimendelik, metanefrin (turunan dari epinefrin)
dan normetanefrin (turunan dari norepinefrin).
C. JENIS RESEPTOR ADRENERGIK
1. Reseptor α1
Reseptor α1 adalah adrenoreseptor postsinaptik yang berlokasi di otot polos
seluruh tubuh, pada mata, paru-paru, pembuluh darah, uterus, usus, dan sistem
genitourinaria. Pengaktifan dari reseptor ini meningkatkan konsentrasi ion kalsium
intraseluler yang berakibat pada kontraksi otot. Sehingga, α1agonis sering dihubungkan
dengan midriasis (dilatasi pupil karena kontraksi dari otot radial mata), bronkokonstriksi,
vasokontriksi, kontraksi uterus, dan kontraksi dari spinter di gastrointestinal dan traktus
genitourinari. Stimulasi α1 juga menginhibisi sekresi insulin dan lipolisis. Otot jantung
juga memiliki reseptor α1 yang mempunyai sedikit efek inotropik dan tidak ada efek
kronotropik. Selama infark otot jantung, peningkatan reseptor α1 bersama dengan
agonis diobservasi. Bagaimanapun, efek kardiovaskular yang paling penting dari
stimulasi α1 adalah vasokonstriksi, yang meningkatkan tahanan perifer vaskular,
afterload ventrikel kiri, dan tekanan darah arteri.
2. Reseptor α2
Berbeda dengan reseptor α1, reseptor α2 awalnya berlokasi di serat terminal
presinaptik. Aktifasi dari adrenoreseptor menginhibisi aktifitas adenilat siklase. Ini
menurunkan pemasukan daripada ion kalsium kedalam terminal neuronal, yang
membatasi penambahan eksositosis dari penyimpanan vesikel yang mengandung
norepinefrin. Sehingga, reseptor α2 menciptakan loop negatif umpan balik yang
menginhibisi pelepasan norepinefrin lebih lanjut dari neuron. Sebagai tambahan, otot
polos vaskular mengandung postsinaptik α2 reseptor yang menciptakan vasokonstriksi.
Lebih penting lagi, stimulasi dari reseptor α2 postsinaptik di sistem saraf pusat
menyebabkan sedasi dan menurunkan aliran keluar dari simpatis, yang mengakibatkan
vasodilatasi perifer dan menurunkan tekanan darah.
Gambar 12-4. Adrenoseptor adalah reseptor transmembranspanning yang terbuat dari
7 subunit, yang tehubung ke sebuah protein G. Protein G adalah membran endoplasma
trimerik terbuat dari unit α, β, dan γ. Dengan pengaktifan, GTP pada sub unit α
digantikan dengan GDP, stimulasi dari perubahan konformasional, perubahan pada unit
α, β, dan γ. Baik subunit Gα maupun Gβγ dapat mengaktivasi (atau menginhibisi) efektor
enzim yang untuk adrenoseptor. M1 – M7, unit membranspanning, unit α, β, dan γ dari
G protein; GTP, guanisin trifosfat, Pi fosfat inorganic – cepat diasimilasi; gdp,guanisin
difosfat, efektor E, siklofosfat untuk Gq, adenosiklat suklase untuk Gp dan Gs.
3. Reseptor β1
Reseptor β1 yang paling penting berlokasi di membran postsinaptik ada jantung.
Stimulasi dari reseptor ini mengaktivasi adenilat siklase, yang merubah adenosin
trifosfat menjadi adenosin siklik monofosfatase dan memulai kaskade kinase fosforilasi.
Mulainya kaskade ini mempunyai efek kronotopik positif (meningkatkan denyut
jantung), dromotopik (meningkatkan konduksi), dan inotropik (meningkatkan
kontraktilitas).
4. Reseptor β2
Reseptor β2 berasal dari adrenoreseptor postganglionik yang berlokasi pada
otot polos dan sel kelenjar. Reseptor ini mempunyai cara kerja yang sama dengan
reseptor β1: aktivasi adenilat siklase. Selain persamaan ini, stimulasi β2 merelaksasi otot
polos, mengakibatkan bronkodilator, vasodilasi, dan relaksasi daripada uterus (tokolisis),
kandung kemih dan usus. Glikogenolisis, lipolisis, glukoneogenesis, dan pelepasan insulin
distimulasi oleh aktivasi reseptor β2. Agonis β2 juga mengaktifkan pompa kalium-
natrium, yang merubah kalium intraselular dan dapat membuat hipokalemi dan
disritmia.
5. Reseptor β3
β3 reseptor ditemukan di kandung kemih dan dijaringan lemak otak.
Peranannya pada fisiologis kandung kemih belum diketahui, tetapi ada yang
berpendapat bahwa reseptor β3 ini berperan pada lipolisis dan termogenesis pada
lemak coklat.
AGONIS ADRENERGIC
Agonis adrenergik berinteraksi dengan perubahan tertentu pada adrenoseptor α
dan β. Aktifitas yang tumpang tindih mempengaruhi perkiraan dari efek klinis. Sebagai
contohnya, epinefrin menstimulasi adrenoseptor α1-, α2-, β1-, β2-
Tabel 12-1. Selektifitas reseptor untuk agonis adrenergik
Ket : 0, tidak ada efek; +, efek agonis (ringan, sedang, ditandai), ?, efek tidak diketahui;
DA1dan DA2, reseptor dopaminergik. Efek α1, efek dari epinefrin, norepinefrin, dan
dopamine menjadi lebih lama pada dosis lebih tinggi. Mode efek pertama dari efedrin
adalah stimulasi tidak langsung.
Efek akhir keseluruhannya pada tekanan darah arteri bergantung pada
keseimbangan pada vasokonstriksi α1-, dan vasodilatasi β2-, dan pengaruh inotropik
β1-. Lebih lanjut, keseimbangan ini berubah pada dosis yang berbeda.
Gambar 12-5. Adregernik Agonis yang mempunyai struktur 3,4 dihidroksibenzen yang
diketahui sebagai katekolamin. Perubahan pada R1, R2 dan R3 mempengaruhi aktifitas
dan selektifitas
Adrenergik agonis dapat dikategorikan dengan langsung atau tidak langsung.
Agonis langsung terikat dengan aktifitas neurotransmitter endogen. Mekanisme dari aksi
tidak langsung termasuk peningkatan pelepasan atau penurunan pengambilan kembali
daripada norepinefrin. Perbedaan antara mekanika aksi langsung atau tidak langsung
sebagian penting bagi pasien yang memiliki penyimpanan noreponefrin endogon yang
abnormal, yang sebagian dapat timbul pada beberapa pengobatan anti hipertensi atau
pada inhibitor monoamin oksidase. Hipotensi intraoperasi pada pasien ini harus diterapi
dengan agonis langsung, agar responnya terhadap agonis tidak langsung dapat dirubah.
Hal lain yang dapat membedakan adrenergik agonis dari yang lainnya adalah
struktur kimiawinya. Adrenergik agonis memiliki struktur 3,4 dihidroksibenzen yang
dikenal sebagai katekolamin. Obat-obatan ini biasanya kerja pendek karena
metabolismenya oleh monoamin oksidase dan katekol-O-metiltransferase. Pasien yang
mendapat inhibitor monoamin oksidase atau antidepressan trisiklik dapat menunjukkan
sebelumya respon yang berlebihan terhadap katekolamin. Katekolamin yang timbul
secara alami adalah epinefrin, norepinefrin dan dopamine. Perubahan dari struktur
rantai-samping (R1,R2,R3) dari katekolamin yang timbul secara alami telah membawa
kepada perubahandari katekolamin sintetik (mis: isoprotetenol dan dobutamin), yang
lebih mengarah kepada reseptor yang lebih spesifik.
Adrenergik agonis biasanya digunakan pada anestesiologi dibahas secara
tersendiri dibawah. Perhatikan dosis yang direkomendasikan untuk infus
berkesinambungan ditunjukkan dengan µg/kg/min untuk beberapa agen dan µg.min
untuk yang lainnya. Pada kasus yang manapun, rekomendasi ini harus dipertimbangkan
sebagai protokol, yang mana respon individu dapat berbeda-beda.
EPINEFRIN
Epinefrin merupakan prototype obat kelompok adrenergic. Zat ini dihasilkan
juga oleh anak-ginjal dan berperan pada metabolisme hidrat-arang dan lemak. Adrenalin
memiliki semua khasiat adrenergis alfa dan beta, tetapi efek betanya relative lebih kuat (
stimulasi jantung dan bronchodilatasi ).
A. Mekanisme Kerja
1. Farmakodinamika
Pada umumnya pemberian epinefrin menimbulkan efek mirip stimulasi saraf
adrenergic. Ada beberapa perbedaan karena neurotransmitter pada saraf adrenergic
adalah NE. Efek yang paling menonjol adalah efek terhadap jantung, otot polos
pembuluh darah dan otot polos lain.
a. Jantung, epinefrin mengaktivasi reseptor β1 di otot jantung, sel pacu jantung dan
jaringan konduksi. Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif
epinefrin pada jantung. Epinefrin mempercepat depolarisasi fase 4, yakni
depolarisasi lambat sewaktu diastole, dari nodus sino-atrial ( SA ) dan sel otomatik
lainnya, dengan demikian mempercepat firing rate pacu jantung dan merangsang
pembentukan focus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus SA, epinefrin juga
menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang mempunyai firing rate lebih
cepat. Epinefrin mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi, mulai dari
atrium ke nodus atrioventrikular ( AV ). Epinefrin juga mengurangi blok AV yang
terjadi akibat penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu epinefrin memperpendek
periode refrakter nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya. Epinefrin
memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut
jantung dalam kisaran fisiologis, epinefrin memperpendek waktu sistolik tanpa
mengurangi waktu diastolic. Akibatnya curah jantung bertambah tetapi kerja
jantung dan pemakaian oksigen sangat bertambah sehingga efisiensi jantung ( kerja
dibandingkan dengan pemakaian oksigen ) berkurang. Dosis epinefrin yang berlebih
disamping menyebabkan tekanan darah naik sangat tinggi juga menimbulkan
kontraksi ventrikel premature diikuti takikardia ventrikel dan akhirnya fibrilasi
ventrikel.
b. Pembuluh darah, efek vascular epinefrin terutama pada arteriol kecil dan sfingter
prekapiler, tetapi vena dan arteri besar juga dipengaruhi. Pembuluh darah kulit,
mukosa dan ginjal mengalami konstriksi karena dalam organ – organ tersebut
reseptor α dominan. Pembuluh darah otot rangka mengalami dilatasi oleh epinefrin
dosis rendah, akibat aktivasi reseptor β2 yang mempunyai afinitas lebih besar pada
epinefrin dibandingkan dengan reseptor α. Epinefrin dosis tinggi bereaksi dengan
kedua jenis reseptor tersebut. Dominasi reseptor α di pembuluh darah
menyebabkan peningkatan resistensi perifer yang berakibat peningkatan tekanan
darah. Pada waktu kadar epinefrin menurun, efek terhadap reseptor α yang kurang
sensitive lebih dulu menghilang. Efek epinefrin terhadap reseptor β2 masih ada pada
kadar yang rendah ini. Dan menyebabkan hipotensi sekunder pada pemberian
epinefrin secara sistemik. Jika sebelum epinefrin telah diberikan suatu penghambat
reseptor α, maka pemberian epinefrin hanya menimbulkan vasodilatasi dan
penurunan tekanan darah. Gejala ini disebut epinefrin reversal yaitu suatu kenaikan
tekanan darah yang tidak begitu jelas mungkin timbul sebelum penurunan tekanan
darah ini, kenaikan yang selintas ini akibat stimulsai jantung oleh epinefrin. Pada
manusia pemberian epinefrin dalam dosis terapi yang menimbulkan kenaikan
tekanan darah tidak menyebabkan konstriksi arteriol otak, tetapi menimbulkan
peningkatan aliran darah otak. Epinefrin dalam dosis yang tidak banyak
mempengaruhi tekanan darah, meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal dan
mengurangi aliran darah ginjal sebanyak 40%. Ekskresi Na, K dan Cl berkurang
volume urin mungkin bertambah, berkurang atau tidak berubah. Tekanan darah
arteri maupun vena paru meningkat oleh epinefrin meskipun terjadi konstriksi
pembuluh darah paru, redistribusi darah yang berasal dari sirkulasi sistemik akibat
konstriksi vena – vena besar juga berperan penting dalam menimbulkan kenaikan
tekanan darah paru. Dosis epinefrin yang berlebih dapat menimbulkan kematian
karena adema paru.
c. Pernapasan, epinefrin mempengaruhi pernapasan terutama dengan cara
merelaksasi otot bronkus melalui reseptor β2. efek bronkodilatasi ini jelas sekali bila
sudah ada kontraksi otot polos bronkus karena asma bronchial, histamine, ester
kolin, pilokarpin, bradikinin, zat penyebab anafilaksis yang bereaksi lambat dan lain
– lain. Disini epinefrin bekerja sebagai antagonis fisiologik. Pada asma, epinefrin juga
menghambat penglepasan mediator inflamasi dari sel – sel mast melalui reseptor β2,
serta mengurangi sekresi bronkus dan kongesti mukosa melalui reseptor α1.
d. Proses Metabolik, epinefrin menstimulasi glikogenolisis di sel hati dan otot rangka
melalui reseptor β2, glikogen diubah menjadi glukosa-1-fosfat dan kemudian
glukosa-6-fosfat. Hati mempunyai glukosa-6-fosfatase tetapi otot rangka tidak,
sehingga hati melepas glukosa sedangkan otot rangka melepas asam laktat.
Epinefrin juga menyebabkan penghambatan sekresi insulin akibat dominasi aktivasi
reseptor α2 yang menghambat, terhadap aktivasi reseptor β2 yang menstimulasi
sekresi insulin. Sekresi glucagon ditingkatkan melalui reseptor β pada sel α pancreas.
Selain itu epinefrin mengurangi ambilan glukosa oleh jaringan perifer, sebagian
akibat efeknya pada sekresi insulin, tapi juga akibat efek langsung pada otot rangka.
Akibatnya terjadi peningkatan kadar glukosa dan laktat dalam darah dan penurunan
kadar glikogen dalam hati dan otot rangka. Epinefrin melalui aktivasi reseptor β
meningkatkan aktivasi lipase trigliserida dalam jaringan lemak, sehingga
mempercepat pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol.
Akibatnya kadar asam lemak bebas dalam darah meningkat. Efek kalorigenik
epinefrin terlihat sebagai peningkatan pemakaian oksigen sebanyak 20 sampai 30%
pada pemberian dosis terapi. Efek ini terutama disebabkan oleh peningkatan
katabolisme lemak, yang menyediakan lebih banyak substrat untuk oksidasi.
Efek utamanya terhadap organ dan proses – proses tubuh penting dapat
diikhtisarkan sebagai berikut :
1. Jantung : daya kontraksi diperkuat ( inotrop positif ), frekuensi ditingkatkan
( chronotrop positif ), sering kali ritmenya di ubah.
2. Pembuluh : vasokontriksi dengan naiknya tekanan darah.
3. Pernapasan : bronchodilatasi kuat terutama bila ada konstriksi seperti pada asma
atau akibat obat.
4. Metabolisme ditingkatkan dengan naiknya konsumsi O2 dengan ca 25%, berdasarkan
stimulasi pembakaran glikogen ( glycogenolysis ) dan lipolysis. Sekresi insulin di
hambat, kadar glukosa dan asam lemak darah ditingkatkan.
2. Farmakokinetik
a. Absorbsi, pada pemberian oral, epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena
sebagian besar dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada
dinding usus dan hati. Pada penyuntikan SK, absorbsi lambat karena vasokontriksi
local, dapat dipercepat dengan memijat tempat suntikan. Absorbsi yang lebih cepat
terjadi dengan penyuntikan IM. Pada pemberian local secara inhalasi, efeknya
terbatas terutama pada saluran napas, tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama
bila digunakan dosis besar.
b. Biotransformasi dan ekskresi, epinefrin stabil dalam darah. Degradasi epinefrin
terutama terjadi dalam hati terutama yang banyak mengandung enzim COMT dan
MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat ini. Sebagian besar epinefrin
mengalami biotransformasi, mula – mula oleh COMT dan MAO, kemudian terjadi
oksidasi, reduksi dan atau konyugasi, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-4-
hidroksimandelat, 3-metoksi-4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi
glukuronat dan sulfat. Metabolit – metabolit ini bersama epinefrin yang tidak diubah
dikeluarkan dalam urin. Pada orang normal, jumlah epinefrin yang utuh dalam urin
hanya sedikit. Pada pasien feokromositoma, urin mengandung epinefrin dan NE
utuh dalam jumlah besar bersama metabolitnya.
3. Indikasi
Terutama sebagai analepticum, yakni obat stimulan jantung yang aktif sekali pada
keadaan darurat, seperti kolaps, shock anafilaktis, atau jantung berhenti. Obat ini sangat
efektif pada serangan asma akut, tetapi harus sebagai injeksi karena per oral diuraikan
oleh getah lambung.
4. Kontraindikasi
Epinefrin dikontraindikasikan pada pasien yang mendapat β-bloker nonselektif, karena
kerjanya yang tidak terimbangi pada reseptor α1 pembuluh darah dapat menyebabkan
hipertensi yang berat dan perdarahan otak.
5. Efek samping
Pemberian epinefrin dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut,
tremor, dan palpitasi. Gejala – gejala ini mereda dengan cepat setelah istrahat. Pasien
hipertiroid dan hipertensi lebih peka terhadap efek – efek tersebut maupun terhadap
efek pada system kardiovaskular. Pada pasien psikoneuretik epinefrin memperberat
gejala – gejalanya.
NOREPINEFRIN
Norepinefrin adalah derivate tanpa gugus-metil pada atom-N. neurohormon ini
khususnya berkhasiat langsung terhadap reseptor α dengan efek fasokontriksi dan
naiknya tensi. Efek betanya hanya ringan kecuali kerja jantungnya ( β1 ). Bentuk-
dekstronya, seperti epinefrin, tidak digunakan karena ca 50 kali kurang aktif. Karena efek
sampingnya bersifat lebih ringan dan lebih jarang terjadi, maka norepinefrin lebih
disukai penggunaannya pada shok dan sebagainya. Atau sebagai obat tambahan pada
injeksi anastetika local.
A. Mekanisme Kerja
1. Farmakodinamika
NE bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih lemah
bila dibandingkan dengan epinefrin. NE mempunyai efek β1 pada jantung yang
sebanding dengan epinefrin, tetapi hampir tidak memperlihatkan efek β2. Infus NE pada
manusia menimbulkan peningkatan tekanan diastolic, tekanan sistolik, dan biasnya juga
tekanan nadi. Resistensi perifer meningkat sehingga aliran darah melalui ginjal, hati dan
juga otot rangka juga berkurang. Filtrasi glomerulus menurun hanya bila aliran darah
ginjal sangat berkurang. Reflex vagal memperlambat denyut jantung, mengatasi efek
langsung NE yang mempercepatnya. Perpanjangan waktu pengisian jantung akibat
perlambatan denyut jantung ini, disertai venokonstriksi dan peningkatan kerja jantung
akibat efek langsung NE pada pembuluh darah dan jantung, mengakibatkan peningkatan
curah sekuncup. Tetapi curah jantung tidak berubah atau bahkan berkurang. Aliran
darah koroner meningkat, mungkin karena dilatasi pembuluh darah koroner tidak lewat
persarafan otonom tetapi dilepasnya mediator lain, antara lain adenosin, akibat
peningkatan kerja jantung dan karena peningkatan tekanan darah. Berlainan dengan
epinefrin, NE dalam dosis kecil tidak menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan
tekanan darah, karena NE boleh dikatakan tidak mempunyai efek terhadap reseptor β2
pada pembuluh darah otot rangka. Efek metabolic NE mirip epinefrin tetapi hanya
timbul pada dosis yang lebih besar.
2. Indikasi
Pengobatan pada pasien shock atau sebagai obat tambahan pada injeksi pada
anastetika local.
3. Kontraindikasi
Obat ini dikontraindikasikan pada anesthesia dengan obat – obat yang
menyebabkan sensitisasi jantung karena dapat timbul aritmia. Juga dikontraindikasikan
pada wanita hamil karena menimbulkan kontraksi uterus hamil.
4. Efek Samping
Efek samping NE serupa dengan efek samping epinefrin, tetapi NE menimbulkan
peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi. Efek samping yang paling umum berupa
rasa kuatir, sukar bernafas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat, dan nyeri kepala
selintas. Dosis berlebih atau dosis biasa pada pasien yang hiper-reaktif ( misalnya pasien
hipertiroid ) menyebabkan hipertensi berat dengan nyeri kepala yang hebat, fotofobia,
nyeri dada, pucat, berkeringat banyak, dan muntah.
PENILEFRIN
1. Pertimbangan klinis
Penilefrin adalah nonkatekolamin dengan predominan oleh aktifitas agonis
α1(dosis tinggi dapat menstimulasi reseptor α2 dan β). Efek utama dari penilefrin adalah
vasokonstriksi dengan penaikan secara perlahan pada tahanan resisten perifer dan
tekanan darah arteri. Reflek takikardi dapat menurunkan kardiak output. Peningkatan
aliran darah koroner disebabkan oleh efek langsung dari vasokonstriksi penilefrin pada
arteri koroner yang dikendalikan oleh rangsangan vasodilatasi karena pelepasan dari
faktor – faktor metabolik.
Secarta klinis penilefrin mempunyai efek yang sama dengan norepinefrin tetapi
kurang potent dan lebih lama serat efek yang minimal pada SSP. Penyuntikan secara
intra vena dengan cepat pada pasien dengan penyakit arteri coroner mengakibatkan
peningkatan pada tekanan pembuluh darah sistemik yang diiringi dengan penurunan
curah jantung.
2. Dosis dan kemasan
Bolus kecil intravena dari 50 – 100 µg (0,5 – 1 µg/kg) dari penilefrin secara cepat
membalik penurunan tekanan darah yang disebabkan oleh vasodilatasi perifer.
(misalanya: anestesi spinal). Infus berkesinambungan (100 µg/ml pada rata-rata 0,25 – 1
µg/kg/min) akan menjaga tekanan darah arteri tetapi pada pengeluaran aliran darah
ginjal. Takifilaksis yang terjadi dengan infus penilefrin membutuhkan titrasi yang
meningkat dari infusnya. Penilefrin harus dilarutkan dari cairan 1% (10 mg/ampul 1 mL),
biasanya sampai 100 µg/mL larutan.
AGONIS 2
1. Pertimbangan klinis
Metildopa, sebuah obat prototipikal, sebuah analog dari levodopa. Metildopa
memasuki jalur sintesis norepinefrin dan dirubah ke α-metilnorepinefrin dan α-
metilepinefrin. Transmitter yang salah ini mengaktifkan α-adrenoreseptor, terutama
reseptor pusat α2. Sebagai hasilnya, pelepasan norepinefrin dan tonus simpatik tidak
ada. Penurunan pada tahanan vaskular perifer bertanggung jawab terhadap penurunan
tekanan darah arteri (efek puncak kurang dari 4 jam). Aliran darah ginjal dipertahankan
atau meningkat. Karena metildopa bergantung kepada metabolit untuk dapat efektif,
maka telah digantikan dengan aktifitas α2, walaupun masih direkomendasikan dalam
mengatasi tekanan darah tinggi dalam kehamilan.
Klonidine adalah agonis α2 yang sekarang secara umum digunakan untuk anti
hipertensi (menurunkan tahanan resisten sistemik) dan efek kronotropik negatif.
Belakangan ini, klonidine dan agonis α2 ditemukan mempunyai efek sedatif. Penelitian
telah memeriksa efek anestesi pada pemberian klonidin (3-5 µg/kg), intramuscular (2
µg/kg), intravena (1-3 µg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg dilepaskan perhari), intrataekal
(75-150 µg), dan epidural (1-2 µg). secara umum, klonidin tampaknya dapat
menurunkan kebutuhan anestesi dan anlagesik (menurunkan MAC) dan membuat sedasi
dan ansiolisis. Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan meningkatkan kestabilan
sirkulasi selama operasi dengan mengurangi level katekolamin. Selama anestesi
regional, termasuk blok saraf perifer, klonidin memperlama durasi dari blok. Efek
langsung pada medula spinalisdapat terjadi melalui reseptor postsinaptik α2 yang
terdapat pada kornu dorsalis. Kemungkinan keuntungan yang lain termasuk
menurunkan menggigil peska operasi, inhibisi dari opioid-menginduksi kekakuan otot,
melemahkan symptom gejala putus obat opioid, dan perawatan dari beberapa sindrom
penyakit kronik. Efek samping termasuk bradikardi, hipotensi, sedasi, depresi
pernafasan, dan mulut kering.
Tabel 12-2. Efek dari agonis adrenergik pada sistem organ
0, tidak ada efek; ↑, meningkat (ringan, sedang, ditandai); ↓, penurunan (ringan,
sedang, ditandai); ↓/ ↑, efek yang bervariasi; ↑/↑↑, peningkatan ringan hingga
sedang.
Dexmedetomidine adalah suatu turunan lipofilik α methylol dengan sifat
afinitas yang lebih kuat dari reseptor α2 daripada klonidin. Ini mempunyai sedasi,
analgesik, dan efek simpatolitik yang menumpulkan banyak respon kardiovaskular
yang tampak selama periode perioperatif. Bila digunakan saat intraopereatif, dapat
menurunkan kebutuhan anestesi intravena dan anestesi inhalasi; bila digunakan
saat posoperatif, dapat menurunkan analgesik yang sebelumnya dan kebutuhan
sedatif. Pasien tetap tersedasi bila tidak diganggu dan dapat cepat terangasang
dengan stimulasi. Sama seperti metildopa dan klonidin, dexemedetomidine adalah
simpatolitik karena pengeluaran simpatetik dikurangi. Ini dapat menjadi agen yang
bermanfaat untuk mengurangi kebutuhan anestesi intraoperatif dan untuk
mensedasi pasien yang diventilator postoperative di ruang pemulihan dan di ruang
rawat intensif karena efek ansiolitik dan analgesik. Hal ini dapat terjadi tanpa
depresi pernafsan yang signifikan. Pemberian yang cepat dapat meningkatkan
tekanan darah, tetapi hipotensi dan bradikardi dapat terjadi selama terapi masih
berlangsung.
Walaupun agen ini adalah agonis adrenergik, mereka juga dapat
dipertimbangkan sebagai simpatolitik karena pengeluaran simpatolitik dikurangi.
Penggunaan jangka panjang daripada agen ini, terutama klonidin dan
dexmedetomidine, mengarah ke supersensitisasi dan up-regulationdari reseptor;
dengan kelanjutan yang tidak jelas dari obat yang manapun, symptom gejala putus
obat akut bermanifestasi oleh krisis hipertensi yang dapat terjadi. Karena dari
peningkatan afinitas dari dexmedetomidine dibandingkan klonidin untuk reseptor
α2, sindrom ini dapat terjadi hanya setelah 48 jam dari pemberhentian penggunaan
obat dexmedetomidine.
2. Dosis dan Sediaan
Klonidin tersedia dalam bentuk oral, transdermal, atau sediaan parenteral (lihat
bagian Pertimbangan Klinis pada agonis α2 untuk dosisnya). Sediaan parenteral
disepakati hanya untuk epidural atau intrataekal digunakan sebagai obat tambahan
untuk analgesi/anestesi regional. Bagaimanapun, ini digunakan secara luas di Eropa
pada bolus intravena dengan dosis 50 µg untuk mengatur tekanan darah atau nadi.
Mempunyai onset masa kerja yang lambat.
EFEDRIN
1. Pertimbangan Klinis
Efedrin adalah alkaloid yang terdapat pada tumbuhan jenis efedra. Efeknya
seperti efek epinefrin, bedanya adalah bahwa efedrin efektif pada pemberian oral, masa
kerjanya jauh lebih panjang, efek sentralnya lebih kuat. Efedrin merupakan non
katekolamin sintetik kerja indirek yang menstimulasi reseptor α dan β adrenergik. Efek
farmakologis dari obat ini secara tidak langsung menyebabkan lepasnya norepinefrin
endogen (kerja indirek), tetapi obat ini juga mempunyai efek langsung pada reseptor
adrenergik (kerja direk). Efek kardiovaskular dari efedrin sama seperti epinefrin:
meningkatkan tekanan darah, laju nadi dan curah jantung. Seperti biasanya, efedrin juga
digunakan sebagai bronkodilator. Ada perbedaan penting, bagaimanapun juga: efedrin
mempunyai masa kerja yang lama karena efedrin adalah nonkatekolamin, tidak begitu
kuat, mempunyai efek langsung dan tidak langsung, dan menstimulasi sistem saraf pusat
(meningkatkan konsentrasi alveoli minimum). Efek tidak langsung agonis lainnya dari
efedrin dapat terjadi karena stimulasi pusat, pelepasan norepinefrin postsinaps perifer,
atau inhibisi dari pengambilan kembali norepinefrin.
Efedrin biasa digunakan sebagai vasopressor selama anestesi. Sebagai contoh,
pemberiannya harus dilihat sebagai ukuran sementara selama penyebab hipotensi
masih ditentukan dan ditangani. Tidak seperti efek langsung agonis α1, epinefrin tidak
menurunkan aliran darah uteri. Ini membuatnya sebagai vasopressor pilihan pada
banyak penggunaan obstetri. Efedrin juga dilaporkan memiliki efek antiemetik, terutama
yang berhubungan dengan hipotensi karena spinal anestesi. Premedikasi dengan
klonidin melawan efek dari efedrin. Efedrin, tidak seperti epinefrin, tidak menyebabkan
hiperglikemi. Midirasis terjadi sejalan dengan pemberian efedrin, dan stimulasi SSP
terjadi, walaupun kurang bila dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh amfetamin.
2. Dosis dan Sediaan
Pada dewasa, pemberian efedrin sebagai bolus 2,5 – 10 mg, pada anak-anak
diberikan bolus 0,1 mg/kg. dosis laluditingkatkan untuk menurunkanterjadinya
takifilaksis, yang mungkin terjadi karena deplesi dari penyimpanan norepinefrin. Efedrin
tersedia pada sedian 1 ampul mengandung 25 atau 50 mg obat.
ANTAGONIS ADRENERGIK
Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan obat yang menghambat
perangasangan adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya, golongan obat ini dibagi atas
antagonis adrenoseptor dan penghambat saraf adrenergik. Antagonis adrenergik terikat
tetapi tidak mengaktifkan adrenoreseptor. Mereka beraksi dengan mencegah aktifitas
agonis adrenergik. Seperti agonis, antagonis dibedakan berdasarkan spektrum dari
interaksi reseptor. (tabel 12-3)
α BLOKER
terbagi menjadi α bloker non selektif, α1 bloker selektif dan α2 bloker selektif. α
bloker non selektif terbagi lagi menjadi 3 kelompok: derivat haloalkalamin, derivat
imidazolin dan alkaloid ergot.
FENTOLAMIN
1. Pertimbangan Klinis
Fentolamin memproduksi sebuah kompetitif (reversibel) memblokade reseptor
α. Antagonismeα1 dan relaksasi otot polos bertanggung jawab pada vasodilatasi perifer
dan penurunan pada tekanan darah arteri. Penurunan pada tekanan darah
memprovokasi reflek takikardi. Takikardi ini dirangsang oleh antagonisme dari reseptor
α2 pada jantung karena blokade α2 membuat pelepasan norepinefrin dengan
menghilangkan efek umpan balik. Efek kardiovaskular ini biasanya timbul dalam 2 menit
dan bertahan samapai 15 menit. Seperti semua dari antagonis adrenergik, perpanjangan
dari respon kepada respon blokade bergantung kepada tingakatan dari tonus simpatetik
yang sudah ada. Reflek takikardi dan hipotensi postural membatasi kegunaan dari
fentolamin kepada pengobatan dari hipertensi yang disebabkan oleh pengeluaran
berlebihan stimulasi α (cth: pheokromositomam efek putus obat klonidin).
Tabel 12-3. Selektifitas reseptor dari agonis adrenergik
Ket : 0,tidak ada efek; -, efek antagonis (ringan, sedang, ditandao). Labetalol juga dapat
mempunyai beberapa aktifitas agonis β2.
Fentolamin diberikan secara intravena sebagai blus intermiten (1-5 mg pada
dewasa) atau sebagai infus berkelanjutan (10 mg dalam 100 D5W [100 µg/mL]). Untuk
mencegah nekrosis jaringan diikuti ekstravasasi dari cairan intravena mengandung
sebuah agonis α (cth: norepinefrine), 5 – 10 mg dari fentolamin dalam 10 mL dari cairan
fisiologis dapat diinfiltrasi secara lokal. Fentolamin tersedia dalam sediaan bubuk lipofilik
(5 mg).
ANTAGONIS CAMPURAN – LABETALOL
1. Pertimbangan Klinis
Labetalol memblok reseptor α1-, β1- dan β2-. Perbandingan dari rasio blokade α
dengan blokade β telah diperkirakan untuk mendekati 1:7 mengikuti pemberian
intravena. Blokade campuran ini menurunkan tahan perifer vaskuler dan tekanan darah
arteri. Laju nadi dan curah jantung biasanya sedikit menurun atau tidak berubah. Jadi,
labetalol menurunkan tekanan darah tanpa reflek takikardi karena kombinasinya dengan
efek α- dan β-. Efek tertinggi biasanya terjadi dalam 5 menit setelah dosis intravena.
Gagal jantung kiri, paradoksikal hipertensi, dan bronkospasme telah dilaporkan.
2. Dosis dan Sediaan
Dosis awal yang direkomendasikan dari labetalol adalah 0,1 – 0,25 mg/kg
diberikan secara intravena lebih dari 2 menit. Dua kali jumlah ini dapat diberikan dengan
interval 10 menit sampai tekanan darah yang diinginkan telah dicapai. Labetalol dapat
juga diberikan sebagai infus berkesinambungan yang lambat (200mg dalam 250 mL
D5W) dengan kecepatan rata-rata 2 mg/menit. Bagaimanapun, karena waktu paruh
yang panjang (>5 jam), infus yang berkepanjangan tidak disarankan. Labetalol (5 mg/mL)
tersedia dalam 20 dan 40 mL. Kemasan dosis ganda dan di 4 dan 8 mL dosis tunggal
dalam jarum.
β BLOKER
Dikloroisoproterenol adalah β bloker yang pertama ditemukan tetapi tidak
digunakan karena obat ini juga merupakan agonis parsial yang kuat. Propranolol, yang
ditemukan kemudian menjadi prototipe golongan obat ini. β bloker mempunyai
bermacam tingkatan dari selektifitas untuk reseptor β1. Mereka yang lebih ke reseptor
β1 mempunyai pengaruh yang lebih sedikitpada bronkopulmonal dan reseptor vaskular
β2 (tabel 12-4). Secara teoritis, β1bloker yang selektif akan mempunyai kemampuan
efek inhibisi yang lebih sedikit terhadap reseptor β2. Sehingga obat ini lebih dipilih untuk
pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik tau penyakit perifer vaskular. Pasien
dengan penyakit perifer vaskular dapat secara potensial menurunkan aliran darah jika
reseptor β2, yang mendilatasi arteriol, diblok.
β-bloker juga diklasifikasikan oleh jumlah dari aktifitas intrinsik simpatomimetik
(ISA) yang dimiliki. Banyak dari β-bloker mempunyai bebrapa peningkatan aktifitas
agonis; walaupun merekatidak akan memproduksi efek yang sama seperti agonis yang
sepenuhnya, seperti epinefrin. β-bloker dengan ISA tidak memiliki keuntungan seperti β-
bloker tanpa ISA dalam mengobat pasien yang mempunyai penyakit kardiovaskular. β-
bloker dapat diklasifikasikan lebih lanjut seperti yang dieliminasi pada metabolisme
hepatis (seperti atenolol dan metopronol), yang dikeskresikan diginjal tidak mengalami
perubahan (seperti atenolol), atau mereka yang dihidrolisa pada pembuluh darah
(seperti esmolol).
Berdasarkan sifat-sifat ini, β-bloker dibagi menjadi 3 golongan:
1. β-bloker yang mudah larut dalam lemak (propranolol, alprenolol, oksprenolol,
labetalol, dan metoprolol) semuanya diabsorpsi secara baik disaluran cerna,
tetapi bioavaibilitasnya rendah karena mengalami metabolisme lintas pertama
yang ekstensif dihati.
2. β-bloker yang mudah larut dalam air (astenolol, nadolol dan atenolol) tidak
mengalami metabolism, sehingga hampir seluruhnya siekskresikan utuh melalui
ginjal dan mempunyai waktu paruh yang panjang (> 6 jam).
3. β-bloker yang kelarutannya terletak diantara keduanya (timolol, bisoprolol,
asetabutol dan pindolol) diabsorpsi dengan baik dari saluran cerna, tetapi
mengalami metabolisme lintas pertama yang berbeda derajatnya.
ESMOLOL
1. Pertimbangan Klinis
Esmolol adalah antagonis β1selektif dengan masa kerja pendek yang
mengurangi laju nadi dan, untuk mengurangi tekanan darah yang berlebih. Obat ini
telah sukses digunakan untuk mencegah takikardi dan hipotensi pada rangsangan
peripoertif, seperti intubasi, rangsangan pembedahan, dan EMERGENCE. Sebagai
contohnya, esmolo (1 mg/kg) menyebabkan peningkatan pada tekanan darah dan laju
nadi yang biasanya diikuti dengan terapi elektrokonvulsi, tanpa mempengaruhi lamanya
kejang. Esmolol sama efektifnya seperti propanolol dalam mengkontrol nadi ventrikuler
dari pasien dengan atrial fibrilasi atau flutter. Walaupun esmolol dipertimbangkan
menjadi kardioselektif, pada dosis tinggi dia menginhibisi reseptor β2 pada bronkus dan
otot polos vaskular.
Masa kerja yang pendek dari esmolol adalah karena redistribusi yang cepat
(waktu paruh distribusi adalah 2 menit) dan hidrolisis oleh sel darah merah esterase
(waktu paruh eliminasi adalah 9 menit). Efek samping dapat dibalik dalam semenit
dengan menghentikan infus. Sama seperti semua antagonis β1, esmolol sebaiknya
menghindari pasien dengan sinus bradikardi, blok jantung lebih besar dari derajat 1,
syok kardiogenik, atau bahkan gagal jantung.
Tabel 12-4. Farmakologi dari β-bloker
ISA,Intrinsic sympathomimetic activity;+,efek ringan;0,tidak ada efek.
2. Dosis dan Sediaan
Esmolol diberikan sebagai bolus (0,2-0,5 mg/kg) untuk terapi jangka pendek,
seperti merangsang respon kardiovaskular untuk laringoskopi dan intubasi. Pengobatan
jangka panjang biasanya dimulai dengan dosis awal 0,5 mg/kg dimasukkan lebih dari 1
menit, diikuti dengan infus berkelanjutan 50 µg/kg/menit untuk mempertahankan efek
terapeutik. Bila ini gagal untuk menghasilkan respon yang diinginkan dalam 5 menit,
dosis awalnya dapat diulang dan infusnya ditingkatkan dengan perhitungan 50
µg/kg/menit setiap 5 menit sampai maksimum dari 200 µg/kg/menit. Esmolol tersedia
dalam vial dengan dosisi ganda untuk bolus. Pemberian mengandung 10 ml obat (10
mg/mL). ampul untuk infus berkelanjutan (2,5 g dalam 10 mL) juga tersedia tetapi harus
diencerkan untuk pemberian dengan konsentrasi 10 mg/mL.
PROPANOLOL
1. Pertimbangan Klinis
Propanolol secara nonselektif memblok reseptor β1 dan β2. Tekanan pembuluh
darah arteri diturunkan dengan beberapa mekanisme, termasuk menurunkan
kontraktilitas otot jantung, menurunkan laju nadi, dan menghilangkan pelepasan rennin,
curah jantung dan kebutuhan oksigen oto jantung juga dikurangi. Iskemik berhubungan
dengan peningkatan tekanan darah dan laju nadi. IMPEDANCE dari ejeksi ventrikuler
adalah menguntungkan pada pasien dengan obstruksi kardiomiopati dan aneurisma
aorta. Propanolol memperlambat konduksi atrioventrikuler dan menstabilisasi membran
miokard, walaupun efek yang terjadi tidak begitu signifikan pada dosis klinis. Propanolol
biasanya efektif terutama dlaam memperlambat respon ventrikuler kepada
supraventrikuler takikardi, dan biasanya mengontrol takikardi ventrikuler yang
berulanhg atau fibrilasi yang disebabkan oleh iskemik miokard. Propanolol memblok
efek adrenergik β dari tirotoksikosis dan pheokromasitoma.
Efek samping dari propanolol termasuk bronkospasme (antangonisme β2), gagal
jantung kongestif, bardikardi, dan blok jantung atrioventrikuler (antagonisme β1).
Propanolol mungkin memburuk depresi miokard dari anestesi inhalasi (cth: halotan)
atau tidak menutupi karakteristik negatif inotropik dari rangsangan jantung tidak
langsung (cth: isoflurane). Pemberian terus-menerus dari propanolol dan verapamil
(sebuah bloker kalsium chanel) dapat secara sinergi menekan laju nadi, kontraktilitas,
dan induksi nodus atrioventrikuler.
Memberhentikan terapi β-bloker untuk 24-48 jam dapat memacu gejala putus
obat yang ditandai dengan hipertensi (hipertensi yang berulang), takikardi, dan angina
pektoris. Efek ini timbul sebagai sebab dari peningkatan jumlah reseptor adrenergik β
(up-regulasi). Propanolol mengikat protein secara ekstensif dan dibuang dari
metabolisme hati. Waktu paruh eliminasinya dari 100 menit cukup lama dibandingkan
esmolol.
2. Dosis dan Sediaan
Dosis individu membutuhkan propanolol yan bergantung kepada tonus dasar
simpatetik. Secara umum, propanolol dititrasi sesuai efek yang diinginkan, dimulai
dengan 0,5 mg dan meningkat dengan penambahan 0,5 mg setiap 3-5 menit. Dosis total
jarang melebihi 0,15 mg/kg. Propanolol tersedia dalam ampul 1 mL berisi 1 mg.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penyusunan makalah ini dapat disimpulkan bahwa ;
1. Agonis adrenergik berinteraksi dengan perubahan tertentu pada adrenoseptor α
dan β. Aktifitas yang tumpang tindih mempengaruhi perkiraan dari efek klinis.
adrenergik agonis dari yang lainnya adalah struktur kimiawinya. Adrenergik
agonis memiliki struktur 3,4 dihidroksibenzen yang dikenal sebagai katekolamin.
Obat-obatan ini biasanya kerja pendek karena metabolismenya oleh monoamin
oksidase dan katekol-O-metiltransferase. Adrenergik agonis biasanya digunakan
pada anestesiologi. Penghambat adrenergik atau adrenolitik ialah golongan obat
yang menghambat perangasangan adrenergik. Berdasarkan tempat kerjanya,
golongan obat ini dibagi atas antagonis adrenoseptor dan penghambat saraf
adrenergik. Antagonis adrenergik terikat tetapi tidak mengaktifkan
adrenoreseptor. Mereka beraksi dengan mencegah aktifitas agonis adrenergik.
Seperti agonis, antagonis dibedakan berdasarkan spektrum dari interaksi
reseptor.
2. Jenis golongan obat agonis adrenergik antara lain ; epinefrin, norepinefrin,
pelinefrin, obat yang berargonis seperti dextemetodine, efedrin, dan
sebagainya. Sedangkan golongan obat antagonis adrenergik antara lain ;
fentolamin, labetalol, esmolol, propanolol, dan sebagainya.
B. Saran
Diharapkan bagi para pembaca agar dapat memahami materi ini dengan baik,
sehingga kita dapat mengetahui bagaimana efek farmakodinamik dan farmakokinetik
dari suatu obat khususnya dalam bidang farmasi. Semoga makalah ini sangat
bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Bagian Farmakologi Universitas Indonesia.: Farmakologi dan terapi, 4 th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,1995:Bab V, VI.
Ganiswara, Sulistia G(Ed), 1995, Farmakkologi dan Terapi, Edisi 4, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.
Morgan G. Edward,Jr, MD; Clinical Anesthesiolgy; 4th ed. New york: The Mc Graw-Hill, 2006: chapter 12.
Salma, 2011, http://salmalovejemy.blogspot.sg/2011/10/farmakologi-adrenergik.html. Diakses pada tanggal 1 november 2014
Siswandono, Soekardjo, B, 2008, Kimia Medisinal, Jilid 2, Airlangga University Press, Surabaya.
Stoelting K. Robert, MD; Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006: chapter 12.