2

29
LIVER ABSCESS DIAGNOSIS AND MANAGEMENT SUDJATMIKO DEPARTMENT OF SURGERY DR. SOETOMO GENERAL HOSPITAL/ MEDICAL FACULTY AIRLANGGA UNIVERSITY - SURABAYA. ABSTRACT Liver abscess was recognized in ancient times and through the centuries was invariably fatal. No progress was made until Ochsner and colleagues in 1938 reported a 62% survival rate for patients undergoing surgical drainage. The advent of antibiotic therapy, the combination of surgical drainage and antibiotic became standard treatment for the next decade. Successful treatment was impeded, however, by the late diagnosis and relative inaccuracy that was associated with physical examination in identifying induration or fluctuation in the site of the lesion. Percutaneous drainage remain relative unheralded for several decade until report of patients successfully treated by percutaneous drainage. The development of serologic examination using indirect hemagglutination assay (IHA) or enzyme-linked immunsorbent assay (ELIZA) is highly sensitive and widely available. The chief value lies in differentiating amebic from pyogenic liver abscess and from hepatocellular carcinoma. The development of ultrasound and computed tomografi (CT) allowed earlier and more definitive diagnosis. Using these modalities accurate drainage can be done by percutaneous procedure. The mayor shift from open surgical treatment to percutaneous needle aspiration or percutaneous catheter drainage, which accompanied the advanced in radiology. This advances has made a non surgical approach as the first choice of treatment for single and multiple abscesses. The role of open operation in treatment of liver abscess is limited to patients who fail with nonoperative treatment or in whom operation is necessary for treat the cause of the abscess. Open operation as primary mode of therapy may be indicated when there has been ruptur of the abscess into peritoneal cavity, or when there are multiple abscesses and obstructed bile duct system that cannot be negotiated by nonoperative treatment. 1

Transcript of 2

Page 1: 2

LIVER ABSCESSDIAGNOSIS AND MANAGEMENT

SUDJATMIKODEPARTMENT OF SURGERY DR. SOETOMO GENERAL HOSPITAL/ MEDICAL FACULTY

AIRLANGGA UNIVERSITY - SURABAYA.

ABSTRACT

Liver abscess was recognized in ancient times and through the centuries was invariably fatal. No progress was made until Ochsner and colleagues in 1938 reported a 62% survival rate for patients undergoing surgical drainage. The advent of antibiotic therapy, the combination of surgical drainage and antibiotic became standard treatment for the next decade.Successful treatment was impeded, however, by the late diagnosis and relative inaccuracy that was associated with physical examination in identifying induration or fluctuation in the site of the lesion.Percutaneous drainage remain relative unheralded for several decade until report of patients successfully treated by percutaneous drainage. The development of serologic examination using indirect hemagglutination assay (IHA) or enzyme-linked immunsorbent assay (ELIZA) is highly sensitive and widely available. The chief value lies in differentiating amebic from pyogenic liver abscess and from hepatocellular carcinoma.The development of ultrasound and computed tomografi (CT) allowed earlier and more definitive diagnosis. Using these modalities accurate drainage can be done by percutaneous procedure. The mayor shift from open surgical treatment to percutaneous needle aspiration or percutaneous catheter drainage, which accompanied the advanced in radiology. This advances has made a non surgical approach as the first choice of treatment for single and multiple abscesses. The role of open operation in treatment of liver abscess is limited to patients who fail with nonoperative treatment or in whom operation is necessary for treat the cause of the abscess. Open operation as primary mode of therapy may be indicated when there has been ruptur of the abscess into peritoneal cavity, or when there are multiple abscesses and obstructed bile duct system that cannot be negotiated by nonoperative treatment.

1

Page 2: 2

ABSES HATI

SUDJATMIKODEPARTEMEN ILMU BEDAH FAKULTAS KEDOKTERAN UNAIR/RSU DR SOETOMO

SURABAYA.

PENDAHULUANAbses hati adalah kasus yang jarang terjadi. Jenis abses, etiologi, diagnosa, dan pengelolaannya telah berubah dibandingkan dengan pendapat masa lalu. Meskipun telah mengalami perubahan, abses hati tetap menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang merupakan masalah bagi para klinisi dalam hal penegakkan diagnosa dan pengobatannya.Abses hati disebabkan oleh infeksi bakteri, parasit atau jamur. Abses hati amubik (AHA) merupakan jenis abses hati yang terbanyak dijumpai dan sering terjadi dinegara

berkembang sedangkan abses hati pyogenik (AHP) sering dijumpai dinegara maju16 Abses hati karena jamur atau mycobacterium sering diakibatkan sindroma acquired immunodeficiency atau dapat disebabkan pemakaian immunosupresi.Ocshner dkk (1938) mendapatkan abses hati amubik (AHA) 3 kali lebih banyak dibandingkan dengan abses hati pyogenik (AHP). Dengan membaiknya hygiene dan sanitasi insidens AHA menurun, tetapi saat ini didapatkan insidennya meningkat lagi akibat mudahnya traveling dan adanya migrasi penduduk dari daerah endemis. Sedangkan AHP insiden meningkat karena perubahan pola penyakit hepatobilier dan banyaknya tindakan terhadap penyakit hepatobilier.Perkembangan ultrasonografi dan computerized scan (CT Scan) dapat membantu dalam penegakkan diagnosa lebih dini dan lebih akurat. Selain diagnosa ultrasonografi dan CT scan juga membantu pengobatan yang bersifat non invasif dalam menangani abses hati pada kondisi tertentu.Peran pembedahan terbatas pada keadaan dimana tindakan non invasif gagal atau memang dipersiapkan pada keadaan dimana penyebab abses hati sendiri juga memerlukan tindakan pembedahan.Kombinasi pemberian antibiotika dan drenase abses hati menjadi standar pengobatan abses hati dalam 4 dasawarsa terakhir ini. ABSES HATI PYOGENIKInsidensAbses hati sudah lama dikenal berabad yang lalu dan pada saat itu selalu berakhir dengan kematian, Ochsner dkk. pada 1938 melaporkan sebanyak 62% kasus abses hati yang dilakukan drenase dengan pembedahan dan pemberian terapi antibiotika dapat bertahan hidup.20 Sejak saat itu sampai dengan 4 dasa warsa kemudian kombinasi pemberian antibiotika dengan drenase secara pembedahan menjadi standar pengobatan abses hati.Meningkatnya insiden AHP sering dihubungkan dengan latar belakang meningkatnya penyakit dan keganasan hepatobilier, gangguan imunologi, semakin agresifnya tindakan kasus hepatobilier dan peningkatan usia. Perkembangan terbaru dari alat diagnostik termasuk penggunaan ultrasonografi dan CT scan menyebabkan semakin akuratnya diagnosa .

_______________________________________Disampaikan pada Pertemuan P2B2 PABI ke-6 Bali 2008

2

Page 3: 2

Etiologi dan patogenesaGangguan bilier merupakan penyebab utama dari AHP. Asending kolangitis, kolangiokarsinoma, obstruksi bilier ekstra hepatik oleh karena batu atau keganasan dan trauma hati mendorong terjadinya infeksi sistem bilier. Tindakan penggunaan sten dan operasi sistem bilier, transarterial embolisasi, radio frequency ablation (RFA) pada keganasan hati akan memicu AHP. Penyebaran secara hematogen dari infeksi intraabdomen seperti apendisitis, divertikulitis, perforasi kolon, perforasi ulkus gaster yang dahulu dianggap penyebab utama AHP saat ini insidennya menurun akibat makin baiknya pengelolaan penyakit primer tersebut dan karena diagnosa dini serta berkembangnya antibiotika. Infeksi sistemik seperti karena bakterial endokarditis, penyalahgunaan obat intravena juga dapat menyebabkan AHP.Kerusakan hati akibat trauma menyebabkan penyebaran kuman secara langsung.

Menurunnya immunitas pada serosis hati, diabetes mellitus dan keganasan merupakan

faktor yang berpengaruh timbulnya AHP. Pada serosis hati kemungkinan terjadinya AHP

15 kali dibandingkan pada populasi normal.14

Studi di Spanyol dan New York 13%

sampai 15,2% penderita AHP menderita diabetes mellitus.2,15 Sedangkan Duke mendapatkan 27% AHP tidak dapat ditentukan penyebabnya.3

Tabel 1. Penyebab paling sering dari abses hati pyogenik (diambil dari Blumgart LH. Surgery of the Liver, Biliary Tract and Pancreas)

3

Page 4: 2

GejalaPenyakit ini dapat diakibatkan bermacam proses sebelumnya, sehingga riwayat penyakit

harus eksplorasi dengan jelas demikian juga pemeriksaan fisik dilakukan dengan seksama.

Trias AHP yang sering dijumpai berupa keluhan nyeri perut kanan atas, disertai panas atau

menggigil dan kelemahan umum dan kadang-2 disertai hepatomegali dan ikterus. Panas badan terjadi pada 61% sampai 92% dari kasus dan nyeri perut kanan atas pada 35% - 72% kasus.9,15

Analisa laboratoriumTidak spesifik, yang konsisten adalah peningkatan alkali fosfatase pada 80% - 90% penderita. Lekositosis dan hipoalbumin terjadi pada AHP, meskipun sistemik disease yang lain juga dapat menyebabkan hal ini.Beratnya lekositosis, bilirubinemia dan albuminemia akan meningkatkan mortalitas

.9

MikrobiologiEschericia coli

dan Klebsiella pneumonia sebagai bakteri aerob gram negatip yang sering didapatkanpada AHP. Bakteri anaerob yang sering didapatkan adalah Bacteroides dan Streptoccus mileri.

DiagnosaBranium dkk mendapatkan diagnosa 88% penderita AHP berdasarkan kombinasi kecurigaan klinik, pemeriksaan fisik, laboratorium dan modalitas imaging. 3 Riwayat dan laboratorium tidak spesifik untuk AHP maka imaging merupakan sarana diagnosis dan sarana terapi selanjutnya.Beberapa kelainan yang perlu dipertimbangkan pada pemeriksaan imaging seperti lesi benigna atau maligna yang membentuk cincin fokal, penyakit yang menyebabkan metastase ke hati, karsinoma hepatoseluler, limfoma dan keganasan hati dengan nekrosis sentral sering sulit dibedakan dengan AHP.

Foto RoentgenFoto toraks sering tidak spesifik, 49% menujukkan ada kelainan dibawah diafragma, 21%

atelektasis, 20% elevasi diafragma, 18% efusi pleura dan 10% pneumonia.20

Foto polos abdomen menunjukkan hepatomegali atau gambaran cairan dengan udara pada hati dan tanda aerobilia pada pasca tindakan bilier Bila tanda tersebut tidak dijumpai tidak berarti menyingkirkan adanya AHP.

4

Page 5: 2

UltrasonografiMudah dan relatif murah, perlu peran radiologis yang berpengalaman, berguna untuk diagnostik, terapi dan evaluasi pengelolaan AHP. Ultrasonografi dapat mengidentifikasi abses dengan lesi bila diameter lebih dari 2 cm dan dapat melakukan identifikasi antara masa padat dan cair. Pada penelitian sensitivitas diagnosa mencapai sekitar 83% - 95%.9,15,23 Pada AHP stadium awal didapatkan gambaran hyperehoic yang sulit dibedakan dengan kelainan dari masa padat hati yang lain. Selanjutnya pada stadium maturasi dimana sudah terjadi pembentukan pus maka tampak gambaran hypoechoic yang berbatas jelas. Bila pus pekat, gambaran pada ultrasonografi sulit dibedakan dengan lesi yg padat yang lain.Ultrasonografi juga dapat identifikasi adanya batu kandung empedu, batu saluran empedu yang lain dan dapat menunjukkan adanya dilatasi sistem bilier.Ultrasonografi kurang sensitif untuk diagnosa kelainan di kubah hati dan pada keadaan dimana AHP kecil yang multipel

Computed Tomography ScanCT scan lebih akurat dalam mendeteksi AHP dibandingkan ultrasonografi maupun scaning hati dengan senstivitas mencapai 93% – 100%.8,9,15 CT Scan dapat mendeteksi kelainan dengan diameter mulai 0.5 cm dan dapat mendeteksi kelainan abdominal yang lain yang menyertai abses. Mikro abses tampak sebagai lesi kecil dengan densitas rendah diseluruh bagian hati. Pemakaian kontras media akan memperjelas densitas dinding abses sehingga dapat membedakan dengan keganasan yang mengalami nekrosis sentral. Pada pemeriksaan CT scan AHP menunjukkan gambaran lesi kistik yang hipoden dengan dinding tebal, ireguler yang dikelilingi area dengan densitas rendah karena edema. Secara klasik didapatkan “ daughter abscess “ yang mengelompok disekeliling abses besar yang letaknya cenderung kearah sentral hati. Hal ini menunjukkan adanya penggabungan abses kecil-2. Tanda pengelompokan ini menunjukkan bakteri sebagai penyebab. Cincin transisi antara daerah sentral abses dengan jaringan sekitarnya adalah tipis dan ini yang membedakan dengan area nekrosis dari metastase.CT scan merupakan tehnik imaging pilihan untuk evaluasi abses hati yang selanjutnya juga dapat berfungsi sarana terapi sebagai penuntun tindakan aspirasi dan biopsi. CT scan mempunyai keterbatasan membedakan abses hati dengan penyakit kistik dan tumor hati yang mengalami proses nekrosis.

5

Page 6: 2

Gambar 1 Abses hati piogenik

Magnetic Resonance ImagingMagnetic Resonance Imaging

(MRI) dapat mengevaluasi anatomi pembuluh darah dari hati tanpa menggunakan kontras sehingga secara karakteristik dapat melakukan diagnosa lesi hati lebih baik dibandingkan CT scan. MRI dapat membedakan abses hati terhadap lesi hati yang lain seperti tumor kistik dan nekrosis hati. Untuk keperluan diagnosa cara ini terhitung mahal, memerlukan waktu yang lebih lama dan mempunyai keterbatasan untuk drenase abses hati.9

Scanning hatiScanning hati dengan menggunakan koloid sulfur atau gallium citrate, awalnya dipakai sebagai sarana diagnostik abses hati dengan hasil baik. Dengan berkembangnya ultrasonografi dan CT scan, maka hampir seluruh fungsi scanning dan arteriografi hati dapat digantikan dengan pemeriksaan CT scan.

KolangiografiEndoscopic retrograde cholangiopancreaticography

(ERCP) dan percutaneous transhepatic cholangiography (PTC) dapat digunakan untuk evaluasi penderita abses hati. ERCP dapat menunjukkan hubungan terjadinya abses hati yang diakibatkan oleh kolangitis yang asending. PTC dapat dipergunakan untuk drenase abses hati, khususnya pada sistem bilier yang berhubungan dengan abses hati.10

Pengelolaan Abses Hati PyogenikPada era pra antibiotika, AHP selalu dihubungkan dengan infeksi intra abdomen, sehingga

6

Page 7: 2

drenase secara pembedahan diperlukan untuk drenase abses dan sekaligus intervensi terhadap penyakit intra abdominal yang menyebabkan. Oschner dkk (1938) mencatat kematian 100% pada AHP bila tanpa intervensi

pembedahan, sedangkan angka kematian ini menurun menjadi sekitar 50% bila dilakukan

pembedahan.6

Dengan berkembangnya antibiotika, ultrasonografi dan CT scan maka terapi pembedahan untuk drenase abses hati menjadi pilihan kedua. Drenase abses hati dengan tuntunan ultrasonografi dan CT menjadi pilihan utama dengan angka kematian lebih rendah dibandingkan dengan pembedahan.

MikrobiologiDalam menentukan pilihan terapi antibiotika harus ditentukan mikro organisme yang

menjadi faktor penyebab. Mikro organisme tergantung pada penyakit dasarnya dan dapat

ditentukan dengan kultur darah dan aspirasi pus. Pada AHP organisme yang paling sering

menjadi penyebab adalah Escherichia coli dan Klebsiella sp suatu bakteri aerob gram

negatif. Di negara barat lebih sering dijumpai E. coli sebagai penyebab AHP dimana E. coli juga sering menimbulkan AHP yang multiple.15 Sedangkan di Asia Klebsiella sp sering menjadi penyebab AHP dan abses tunggal.23

Disamping hal tersebut diatas, AHP yang berasal sistem bilier atau yang berasal dari organisme intestinal sering bersifat poli mikroba aerob dan anaerob gram negatif. Bacteriodes adalah anaerob gram negatif yang sering didapatkan. AHP yang secara hematogen dari non gastrointestinal biasanya disebabkan mono mikroba staphylococcus dan streptococcus. AHP yang disebabkan S. milleri akan menyebabkan nekrosis hati dengan membentuk abses gelatinous yang pekat dan sering menyulitkan drenase.Kultur negatif terjadi pada 15% kasus AHP dan hal ini mungkin dapat disebabkan

kesalahan pada proses pemeriksaan atau penderita sudah pernah mendapat terapi

antibiotika sebelumnya.15

TerapiPrinsip terapi adalah pemberian antibiotika yang tepat, drenase pus dan terapi terhadap penyakit dasar yang menyebabkan terjadinya AHP.Perkembangan ultrasonografi dan CT scan membuat diagnosa dapat ditegakkan lebih awal serta akurat dan dengan sarana ini terapi aspirasi dan drenase dapat segera dilakukan. Sarana tersebut merubah pengelolaan AHP dari tindakan pembedahan yang invasif menjadi tehnik invasif yang lebih minimal. Drenase percutan dengan pemberian antibiotika yang adekwat menjadi terapi utama dalam pengelolaan AHP.Sebelum mendapatkan hasil kultur organisme dari darah maupun pus maka antibiotika spektrum luas secara empirik diberikan untuk mengatasi gram-negatif dan gram-positif

7

Page 8: 2

aerob dan anaerob. Terapi antibiotika yang biasa diberikan golongan amoksisilin, aminoglikosida dan metronidazol atau cefalosporin generasi 3 dan metronidazol biasanya dapat mengatasi organisme penyebab. Bila mikro organisme penyebab diketahui maka antibiotika disesuikan dengan organisme penyebab. Terapi antibiotika saja efektifitasnya kurang, dan kebanyakan memerlukan tindakan aspirasi atau drenase.Drenase percutan dilakukan dengan tuntunan ultrasonografi atau CT scan. Aspirasi dari

AHP dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dengan memeriksa kultur pus dan sensitivitas

bakteri dan dilanjutkan dengan aspirasi pus atau drenase dengan memasang dren pada saat

itu juga. Georgio dkk. (1995) melakukan aspirasi pada 115 kasus dengan keberhasilan

mencapai 98%, dimana separuh kasus cukup dengan sekali tindakan aspirasi sedangkan

sisanya memerlukan 2 atau 3 kali aspirasi.20

Pada beberapa studi aspirasi percutan dapat dilakukan pada abses unilokuler dengan

diameter kurang dari 5 cm, akan memberikan hasil baik terkecuali bila abses tersebut kental dengan dinding abses yang tebal atau abses yang multipel. Sedangkan drenase abses dilakukan bila pus kental, dinding abses yang tebal dan tidak kolaps saat aspirasi, diameter lebih besar dari 5 cm dan multilokuler. Pada abses yang multilokular dapat dilakukan pemasang beberapa dren. Kegagalan drenase AHP berkisar 10% dimana hal ini dapat disebabkan dren terlalu kecil untuk drenase pus yang kental, sedangkan dren yang besar memang lebih efektif tetapi sering menimbulkan komplikasi perdarahan. Kegagalan drenase juga terjadi pada peletakan dren yang kurang tepat dan pencabutan dren terlalu dini menyebabkan kekambuhan. Zenda dkk (2001) menganjurkan irigasi rongga abses melalui dren memberikan hasil baik.20

Sugiyama dkk. mendapatkan 70% AHP yang berhubungan dengan sistem bilier dan tanpa obtruksi ternyata mengalami kekambuhan bila hanya dilakukan drenase saja, tetapi dengan pemasangan sten bilier secara endoskopi hasilnya lebih efektif.21 Sehingga AHP yang berhubungan dengan sistem bilier dengan obstruksi, setelah dilakukan drenase percutan dianjurkan koreksi penyebab obstruksi.

Kontra indikasi aspirasi adalah pada keadaan gangguan pembekuan darah, pada aspirasi tidak didapatkan pus, penderita tidak kooperatif dan secara teknis lokasi abses sulit dijangkau.12

ALGORITMA PENGELOLAAN ABSES HATI PYOGENIK

8

Page 9: 2

Kecurigaan klinis

Terapi empirik dengan antibiotik spektrum luas IVResusitasi cairanCT ScanAspirasi diagnostik

Sumber intraabdomen + Sumber intraabdomen -

Kelola sumber dan drainase abses operatifAbses kecil / multipel Abses tunggal atau beberapa abses besar

Antibiotika IV saja dan pertimbangkan drainase operatif bila gagal terapiDrainase perkutaneus

Operatif bila gagal

Terapi pembedahan.Terapi pembedahan dilakukan bila terjadi kegagalan dalam pengelolaan secara non operative, terjadi komplikasi perdarahan dan kebocoran pus pada saat dilakukan drenase percutan. Tindakan pembedahan juga dilakukan untuk mengatasi penyakit dasar yang mendasari terjadinya AHP tesebut.18 Diagnosa kelainan intra abdominal memerlukan visualisasi secara laparoskopik. Tindakan laparoskopi dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas. Tindakan laparoskopi sekarang dipergunakan untuk pengelolaan penyakit hati.Indikasi penggunaan tindakan laparoskopi pada abses hati 7:

1. Penderita dengan abses hati dan disertai adanya masa diluar hati2. Pennderita hepatomegali dengan tanda yang tidak cocok dengan diagnosa abses

hati.3. Diagnosa abses hati dengan hasil aspirasi negatif4. Kecurigaan kebocoran abses atau perdarahan setelah aspirasi5. Menyingkirkan keganasan.

Indikasi pembedahan langsung sebagai terapi awal adalah AHP yang mengalami ruptur ke intraperitoneal, penderita dengan abses multipel dan abses yang menyebabkan obstruksi saluran empedu yang tidak dapat diatasi dengan tindakan non operative.Tindakan pembedahan ini dimulai dengan identifikasi rongga abses dengan pungsi yang

9

Page 10: 2

dilakukan sebelum melakukan pungsi hati secara tumpul. Penentuan lesi lain juga dapat dilakukan dengan tuntunan ultrasonografi pada saat pembedahan. Setelah rongga abses dibuka dan pus dievakuasi dilakukan explorasi dengan jari untuk melepaskan debris dari dinding abses dan memecah rongga abses yang berdekatan. Dren dengan kaliber yang besar diletakkan pada rongga abses. Tindakan irigasi melalui drain menurut beberapa penulis cukup bermanfaat. Reseksi hati dilakukan pada AHP tunggal atau multipel yang menyebabkan kerusakan hati,

atrofi hati dengan obstruksi bilier akibat striktur dan hepatolithiasis.4Aspirasi dan drenase

mempunyai keberhasilan sampai 90% kasus AHP. Bila dengan cara ini gagal dapat dilakukan tindakan aspirasi atau drenase secara laparoskopi.7

Tindakan reseksi juga direkomendasikan pada AHP yang secara sekunder disebabkan

penyakit radang kronik granulomatous, karena pus pada abses tesebut pekat, dengan dinding septa terdiri dari jaringan fibrous yang tebal sehingga sulit dilakukan drenase.8,13

Prognosis Drenase dan pemberian antibiotika sistemik menurunkan mortalitasAHP dibawah 50%.

Perkembangan ultrasound dan CT scan membuat diagnosa dapat ditegakkan lebih dini dan

drenase dapat dilakukan lebih awal akan menurunkan mortalitas dibawah 20%.3

Resiko yang sering menyebabkan kematian antara lain syok septik, joundice, koagulopati,

lekositosis, hipoalbumin, pecahnya abses kerongga peritoneum, kondisi immunodeficiency dan keganasan yang menyertai.12,24 Chou dkk 1995 mendapatkan kematian akibat ruptur AHP mencapai 43,5% dibandingkan 15,5% bila tidak mengalami ruptur.20 Kematian akibat abses multiple 22% yang secara signifikan berbeda dibandingkan 13% pada abses

tunggal.4

Dengan pengobatan masa kini prognosis lebih tergantung pada penyakit dasar dan penyakit yang menyertai dibandingkan dengan akibat dari AHP sendiri, meskipun demikian keterlambatan diagnosis dan tindakan juga akan memperjelek prognosis

ABSES HATI AMUBIK.

InsidenAbses hati amubik (AHA) dapat dijumpai diseluruh dunia dengan insiden tertinggi didaerah tropis dan subtropis seperti Meksiko, Afrika Selatan, Amerika Tengah dan Selatan, India dan Asia Tenggara. Insiden lebih spesifik lagi pada kondisi dimana angka kemiskinan yang tinggi dan kondisi sanitasi, hygiene yang jelek.

10

Page 11: 2

AHA merupakan tampilan amubik ekstra intestinal yang paling sering ditemukan. Tidak seperti AHP , AHA mempunyai pola geografi dan distribusi tertentu. Sering terjadi pada usia muda dimana pada laki dapat mencapai 3 sampai 10 kali lebih sering dibandingkan pada wanita.11 Alasan perbedaan insiden pada jenis kelamin ini tidak jelas, pengaruh alkohol pada laki-laki, efek hormonal dan efek defisiensi anemia pada wanita masa subur perlu dipertimbangkan. Meskipun insiden amubiasis tinggi, AHA didapatkan hanya pada 3% - 10% penderita amubiasis.1 Tidak didapatkan predisposisi rasial dan tingginya AHA lebih ditujukan pada distribusi geografi dan akibat perjalanan dari area endemik.

Etiologi dan patogenesaInfeksi amuba pada manusia dimulai dengan tertelannya kista amuba. Bentuk kista ini tahan terhadap asam lambung. Pada kondisi pH yang netral di usus halus, kista berubah menjadi trofozoid. Trofozoid di kolon berinteraksi dengan lectin-carbohydrate yang menyebabkan trofozoid ini melekat ke mukosa dinding kolon. Trofozoid melakukan invasi dinding kolon dan penetrasi kedalam mukosa kolon, sedangkan sebagian tidak melakukan invasi dan tetap pada mukosa kolon. Predileksi amuba tersering pada sekum dan kolon asenden.Invasi tersebut terjadi karena terjadi interaksi langsung dari sel amuba yang dapat

menyebabkan kematian sel host. Amuba mensekresi protein yang dapat menyebabkan lysis sel host sehingga amuba dapat invasi kedalam jaringan kolon. Amuba melakukan invasi ke submukosa kolon selanjutnya menyebabkan ulkus yang berbentuk botol. Pada kondisi ini sulit membedakan infeksi akibat invasi amuba dengan inflamatory bowel disease, sehingga pemberian kortikosteroid dapat memperberat kondisi infeksi amuba dan dapat

meningkatkan insiden perforasi kolon dan AHA.19

Infeksi pada hati dimulai dengan penyebaran trofozoid melalui vena porta. Penyebaran langsung kehati dapat juga terjadi meskipun jarang. Hati merupakan penyebaran amuba ekstra intestinal yang paling terjadi meskipun dapat juga penyebaran keorgan yang lain. Terjadi embolisasi dari trofozoid pada sirkulasi portal dan sinusoid yang terdiri dari amuba yang dikelilingi netrofil. Keadaan ini menyebabkan infark pada jaringan hati yang selanjutnya dapat terjadi lysis netrofil yang mengakibatkan nekrosis hati. Netrofil yang lysis akan mengeluarkan bahan kimiawi yang bersifat sitotoksik yang dapat mengakibatkan makin luasnya nekrosis hati. Abses yang terbentuk berbatas jelas dengan jaringan hati dimana bagian sentralnya menjadi jaringan yang nekrosis. Abses terdiri dari cairan yang aseluler, berwarna merah kecoklatan yang disebut “ anchovy paste”. Trofozoid tidak didapatkan pada cairan abses tersebut tetapi didapatkan pada jaringan nekrosis sekeliling abses yang merupakan jaringan ikat yang mengalami inflamasi.

Gambaran klinikRiwayat tinggal didaerah endemis atau riwayat pernah bepergian dari daerah endemis dalam 3 - 5 bulan terakhir. Adanya tanda kolitis yang dimulai dengan keluarnya mukus, diare dan feses yang mengandung darah, disertai kejang usus, sampai terjadinya megakolon yang septik.Tanda nyeri abdomen dan panas badan sampai menggigil merupakan gejala pada lebih

11

Page 12: 2

dari 90% kasus.11 Nyeri timbulnya tiba-2 dengan lokasi nyeri pada hypochondrium kanan. Nyeri menjalar kepundak kanan atau scapula kanan yang bertambah nyeri dengan batuk atau bernafas dalam. Bila abses terjadi pada lobus kiri nyeri dapat timbul pada epigastrium, precardial atau retrosternal. Abses pada daerah inferior hati akan memberikan tanda peritonitis akibat dari proses infeksi intra abdominal.Panas badan terjadi pada semua penderita. Tanda lain yang menyertai termasuk anoreksia, mual, muntah dan tanda kolesistis akut. Biasanya gejalanya dimulai sekitar 2 minggu sebelum gejala utama abses timbul.Nyeri dan hepatomegali ringan disertai ketegangan otot abdomen kanan atas. Ikterus

terjadi pada 5% sampai 8% kasus AHA.16 Lokasi AHA paling sering pada bagian posterio-

superior hati kanan dan sering disertai kelainan basal paru kanan. Suara perikard sering menyertai abses hati sebelah kiri. Secara klinis perlu dibedakan dengan kolesistis akut, hepatitis viral atau hepatitis oelh karena sebab lain dan AHP. Pada AHP jarang disertai gagal hati, asites dan splenomegali.

LaboratoriumTidak spesifik dan sering didapatkan gambaran lekositosis tanpa eosinofilia. Sedikit ada peningkatan transaminase hati. Ikterus jarang terjadi, bila timbul ikterus maka menunjukkan terjadi derajad abses hati yang berat.Pemeriksaan mikrobiologi amuba pada feses masih dipertanyakan efektivitasnya. Secara mikroskopis sulit membedakan E. histolytica dengan E. dispar didalam feses. Tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) cukup sensitif dan banyak digunakan untuk mengidentifikasi antigen E.histolytica pada feses dan sekaligus membedakan dengan E.dispar yang secara morfologi sulit dibedakan. Deteksi antibodi terhadap E. histolytica dapat dilakukan dengan tes indirect hemagglutination assay (IHA) . Pemeriksaan berbasis biologi molekuler atau DNA based antara lain polymerase chain reaction (PCR) juga dapat membantu tetapi hal ini sulit diintrepretasikan sebagai diagnosa pada daerah endemis. Tes serologi untuk amuba mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi terhadap terjadinya infeksi amuba, sehingga penting untuk membedakan antara abses pyogenik atau abses amuba.

Foto sinar RoengentPemeriksaan foto thoraks pada AHA terjadi peningkatan diafragma kanan. Peningkatan diafragma biasanya disertai efusi pleura dan pneumonitis atau atelektase. Foto polos abdomen dapat membantu bila didapatkan tanda gas dalam rongga abses dan bila terjadi ruptur abses kedalam organ berongga atau paru.

Ultrasonografi.Ultrasonografi merupakan cara diagnosa yang sederhana, tidak mahal, dapat dengan cepat dilakukan dan dapat diulang untuk evaluasi dengan angka ketepatan diagnosa mencapai 90%.22 Pemeriksaan ultrasonografi didukung riwayat penyakit, pemeriksaan klinis dan bila perlu konfirmasi test serologi akan memperkecil kesalahan diagnosis.Gambaran abses tergantung stadium lesi. Pada fase awal terjadi peningkatan ekogenisitas dibandingkan jaringan sekitarnya. Pade fase nekrosis maka sentral abses menjadi

12

Page 13: 2

echoluscent. Abses biasanya terletak perifer dengan tepi abses bulat, oval atau berlobus dan ultrasonografi dapat menunjukkan jumlah dan ukuran abses. Isi rongga abses biasanya hypoechoic dan tidak homogen. Pada 78% sampai 80% berupa abses tunggal dan terletak pada lobus kanan dan 10% pada lobus kiri, sedangkan sisanya berupa abses yang

multipel.11

Abses hati amubik bentuk cenderung bulat dengan batas jelas dan letaknya sering sub kapsuler.Perlu dipikirkan kelainan yang lain seperti karsinoma hepatoseluler, proses metastase karsinoma yang pada keadaan tertentu secara ultrasonografi sulit dibedakan dengan AHA.

Computed Tomography Scan.Keunggulan CT scan dibandingkan ultrasonografi adalah dalam hal kemampuannya untuk deteksi lesi yang lebih kecil, meskipun pada AHA lesi biasanya cukup besar untuk dapat dideteksi dengan ultrasonografi. Selain deteksi AHA CT scan mempunyai kelebihan untuk dapat mengevaluasi kelainan intra abdominal yang lain.CT scan tidak berbeda hasilnya dengan ultrasonografi untuk diagnosa abses hati, tetapi CT scan mempunyai kelebihan dapat deteksi ruptur hati yang iminen.CT scan lebih sensitif dalam menentukan kelainan kronis dan atypik dari hati, karena kontras dapat menunjukkan penebalan tepi abses hati piogenik dan peningkatan densitas dari tumor hati yang mengalami nekrosis.

Gambar 2 CT Scan Abses hati amubik Gambar 3 USG Abses hati amubik

Magnetic Resonance ImagingMRI tidak lebih unggul dalam melakukan diagnosis abses hati amuba dan membedakan dengan kelainan neoplasma hati yang lain, tetapi tidak dapat digunakan sarana terapi. Pada abses hati yang belum mendapat terapi, MRI akan menunjukkan rongga abses yang heterogen yang hypointense pada T1 dan hyperintense pada T2. Sedangkan cincin hyperintense pada T2 menunjukkan batas abses. Keberhasilan terapi ditunjukkan rongga abses menjadi homogen dan terbentuk fibrosis dinding abses.

13

Page 14: 2

AngiografiSuatu sarana untuk membedakan abses hati amuba dengan keganasan pada hati. Angiografi pada fase arteri akan menunjukkan area yang hipovaskuler atau avaskuler yang mendesak cabang arteria hepatika dan pada fase vena daerah yang avaskuler tersebut akan mendesak cabang vena porta.

Gallium ScanningScanning dengan menggunakan galium dapat membantu membedakan abses amubik dengan abses pyogenik. Pada abses hati amubik terjadi kekurangan netrofil pada jaringan hati sehingga tampak sebagai cold spot, sedangkan pada abses hati pyogenik terjadi warm spot.

Terapi Obat

Metronidazol :Telah terbukti sebagai obat pilihan untuk terapi abses hati amubik sejak 1966. Metronidazol efektif terhadap amuba, toksisitasnya rendah dan dapat digunakan untuk intestinal maupun ekstra intestinal amubiasis. Respon tampak setelah hari ketiga terapi dan

diatas hari kelima respon terapi mencapai 85% dan menjadi 95% setelah hari kesepuluh.22

Sekitar 5% sampai 15% kasus resisten terhadap metronidazol. Beberapa penulis menyatakan tidak ada “drug resistent” terhadap metronidazol melainkan terjadi delayed respons terhadap metronidazol.

Emetine HydrochlorideMerupakan obat tertua untuk terapi amubiasis dimana sangat efektif untuk mengatasi tropozoid dibandingkan dengan bentuk kista ameba. Potensial untuk mengatasi infeksi amuba pada jaringan dibandingkan amuba pada lumen usus.Kontraindikasi pemakaian bila ada gangguan ginjal, jantung dan pada penyakit otot. Perlu perhatian bila digunakan pada anak dan orang tua. Dapat diberikan secara kombinasi bila response terapi dengan metronidazol jelek.Dehydroemetin merupakan analog emetin hydrochloride dengan toksisitas lebih rendah dan lebih cepat dieliminasi dijaringan dibandingkan dengan emetin hydrochloride.

Chloroquin PhosphatePertama digunakan sebagai anti abses hati amubik tahun 1948, digunakan bila anti amubik lain resisten. Efek anti amubik tidak sekuat emetine hydrochloride.

Diloxanide Furoate Diloxanide efektif untuk terapi kolitis amubik dan efektif untuk amuba bentuk kista dan

14

Page 15: 2

tidak efektif untuk terapi amubik yang berat. Diloxanide direkomendasikan untuk pengobatan carrier yang asimptomatik.

Strategi Pengelolaan Abses Hati AmubikSetelah diagnosa ditegakkan diberikan metronidazol sebagai obat tunggal. Kelainan seperti hypoprothrombinemia, hypoproteinemia dan anemia yang timbul perlu dikoreksi. Bila terjadi perbaikan dalam 48 sampai 72 jam maka terapi metronidazol dilanjutkan. Pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap metronidazol dapat ditambahkan emetine atau dehydroemetine.Terapi eradikasi untuk amubiasis intestinal diberikan setelah terapi metronidazol.Tindakan aspirasi dilakukan bila dengan terapi konservatif gagal, didapatkan tanda

ekstensi keparu, peritoneal atau pericardia.10

Tindakan laparotomi dilakukan bila terdapat ruptur abses yang ditandai dengan peritonitis,

terjadi fistulasi keorgan berongga dan terjadi infeksi sekunder dengan septikemia.10

ALGORITMA PENGELOLAAN ABSES HATI AMUBIK

15

Page 16: 2

Kecurigaan klinis AHA (nyeri di RUQ, demam, hepatomegali pada pasien pria muda)

Terapi empirik amebisidalCT ScanIndirek Hemaglutination Assay

Serologi - Serologi +=+

Ulang tes serologi bila kecurigaan klinis kuat, pertimbangkan aspirasi diagnostik dengan panduan image

Teruskan terapi amebisid sampai 10 hari

Absen tanpa komplikasi tidak perlu terapi lebih lanjutRuptur ke perikardial, pleura atau peritoneum perlu drainase bedahAbses besar, superinfeksi, resiko tinggi, atau tidak respon dengan amebisid perlu drainase perkutan

Terapi aspirasi Sampai saat ini ada kontroversi tentang aspirasi yang dilakukan pada abses hati yang tidak mengalami komplikasi dimana diagnosa dapat dikonfirmasi dengan riwayat dan tampilan klinik yang khas, pemeriksaan ultrasound pemeriksaan serologi amuba yang positip. Tidak ada bukti penelitian acak terkontrol bahwa aspirasi memperbaiki survival, lama rawat inap dan mempercepat hilangnya panas badan dibandingkan dengan pemberian obat anti amuba saja. Aspirasi mempunyai manfaat untuk menegakkan diagnosa yang masih belum pasti dengan memeriksa kultur pus atau darah yang diperoleh. Sedangkan bila diagnosa yang didapatkan adalah keganasan maka tindakan aspirasi tersebut merupakan kontraindikasi.Terapi aspirasi pada pengelolaan abses hati amubik pada masa kini merupakan tindakan

yang dapat dilakukan dengan cepat, aman dan efektif untuk terapi AHA. Tindakan aspirasi

sebagai prosedur rutin pada AHA tidak dianjurkan . Abses hati amuba dengan diameter 5

cm atau kurang 80% berhasil diterapi dengan metronidazol.1Aspirasi dilakukan pada abses

dengan volume lebih dari 300 ml, resiko ruptur dan tidak ada respon dengan terapi anti

16

Page 17: 2

amuba.25

Aspirasi AHA hanya dilakukan pada keadaan berikut ini:22

1. Dari pemeriksaan serologi tidak dapat ditentukan diagnosa, diagnosa perlu waktu yang lama atau tidak dapat dilakukan, sedangkan diagnosa bandingnya adalah abses hati pyogenik.

2. Pengobatan dengan anti amubik perlu dipertimbangkan misalnya pada kehamilan.3. Ada kecurigaan timbulnya infeksi sekunder pada abses hati4. Bila panas tetap terjadi pada 3 sampai 5 hari setelah terapi yang tepat5. Dikawatirkan terjadi ruptur pada abses yang besar, khususnya ruptur perikardial

pada abses hati lobus kiri.Untuk diagnosis cukup dilakukan sekali aspirasi, tetapi bila untuk terapi hal tersebut tidak adekwat. Bila ternyata memerlukan aspirasi yang berulang mungkin perlu dipertimbangkan pemasangan dren untuk menghindari resiko kekambuhan.Aspirasi untuk tujuan diagnosis saat ini dianggap tidak akurat karena karakteristik “anchovy souce” mungkin tidak didapatkan. Sehingga untuk menghilangkan subyektivitas tersebut maka cairan aspirasi dapat diperiksa dengan tes PCR atau dengan tes indirect hemaglution assay (IHA)

Terapi BedahIndikasi tindakan laparotomi secara absolut bila ada keraguan diagnosis, terjadi perforasi

organ berongga dengan fistula, terjadi perdarahan atau sepsis yang mengancam jiwa dan

gagal dengan pengelolaan konservatif.10

Terapi pembedahan dimulai dengan identifikasi rongga abses dan selanjutnya rongga abses dibuka secara tumpul , abses dievakuasi dan debri dilepas dari dinding abses , septa dipecah. Didalam septa sering berisi pembuluh darah dan saluran empedu sehingga dapat terjadi perdarahan yang sulit dikontrol terutama bila terjadi gangguan pembekuan darah dan juga dapat terjadi kebocoran empedu. Dilakukan irigasi rongga abses dengan menggunakan larutan saline dan disusul instalasi larutan emetine hydrochloride 65 mg dalam 100 mL normal saline selama 3 – 5 menit. Bila perlu dipasang dren yang besar. Perforasi organ berongga diatasi dengan eksteriorisasi, diversi proksimal lesi, atau menutup lubang perforasi. Pasca bedah diberikan obat anti amuba intra vena dikombinasi dengan dengan antibiotika yang berspektrum luas.Efusi pleura tidak memerlukan tindakan sebab bila abses hati amebik dapat diatasi maka efusi pleura akan mereda sendiri.

Abses hati dapat ruptur kedalam rongga pleura dan bila terjadi dapat cepat meluas sehingga abses akan mengisi rongga pleura dan terjadi kolaps paru. Keadaan ini memerlukan tindakan thoracocentesis dan disusul dengan pemasangan dren rongga thoraks dan dilakukan aspirasi. Drenase yang tidak efektif akan menyebabkan infeksi sekunder

17

Page 18: 2

yang dikemudian hari memerlukan tindakan pembedahan yang lebih agresif seperti dekortikasi paru.Ruptur abses hati ke bronkus akan menyebabkan batuk dengan sputum yang banyak dan berwarna coklat. Meskipun hal tersebut disebabkan oleh abses hati tetapi dapat terdrenase. Abses biasanya disertai pendindingan terhadap pleura dan rongga thoraks, sehingga tidak memerlukan tindakan pembedahan dan perlu dijaga kelangsungan drenase secara postural , disertai pemberian bronkodilator dan terapi anti amubik.Abses hati pada lobus kiri cenderung menyebabkan komplikasi pada perikard yang dimulai dengan efusi intra perikard sampai terjadinya tamponade jantung akibat ruptur abses hati lobus kiri. Abses hati lobus kiri dapat mengalami resolusi dengan pemberian anti amuba, tetapi bila diagnosa menunjukkan adanya efusi perikard maka harus dilakukan aspirasi abses hati lobus kiri tersebut. Bila ada tanda tamponade perlu dilakukan aspirasi perikardium melalui pungsi sub xyphoid dan sekaligus drenase abses hati yang menjadi penyebabnya.

Prognosa Abses Hati AmubikKetahanan hidup

abses hati amubik lebih baik dibanding abses hati pyogenik. Kematian abses hati amuba tanpa komplikasi mencapai 5,9%. Study cohort secara prospektif, di India pada tahun 1996, bila didapatkan bilirubin >3.5 mg/L, encephalopathy, volume abses >500 ml, albumin<2 g/dl dan jumlah abses akan berpengaruh pada peningkatan mortalitas.6

Ringkasan Diagnosa dini abses hati yang disertai dengan pengelolaan terapi yang tepat akan menghindari abses hati berkembang kearah komplikasi yang bersifat sistemik dan akan memperbaiki prognosa dan dapat menurunkan mortalitasPerlu ditegakkan abses hati amubik dengan abses hati pyogenik karena terapi dan pengelolaannya berbeda.Pemberian antibiotika berspektrum luas disertai tindakan aspirasi dan drenase abses memberikan hasil baik pada pengelolaan abses hati pyogenik, sedangkan aspirasi dan drenase secara rutin pada abses hati amubik tidak dianjurkan.Pada pengelolaan abses hati perlu diterapi penyakit dasarnya untuk mencegah kekambuhan. Indikasi mutlak tindakan pembedahan bila didapatkan keraguan dalam menegakkan diagnosa, bila terjadi ruptur abses, perfoarsi organ berongga, fistula, perdarahan, sepsis yang mengancam jiwa dan terjadi kegagalan dengan pengelolaan secara konservatif.

18

Page 19: 2

KEPUSTAKAAN

1. Akgun Y, Tacyildiz IH, Celik Y : 1999 : Amebic Liver Abscess : Changing Trend over 20 years; World J, Surg; 23; 102 - 106.

2. Alvares JA, Gonzales JJ. 2001 ; Single and multiple pyogenic liver abscess : Etiology, clinical course and outcome . Dig. Surg.; 18; 283 - 288.

3. Branum GD, Tyson GS, Branum MA ; 1990; Hepatic abscess; Changes in etiology, Diagnosis and Management; Ann.Surg; 212; 655 -662.

4. Chou FF et al : 1997 : Single and multiple pyogenic liver abscess : Clinical course , etiology and result of treatment; World J. Surg ; 21; 384 – 389.

5. Chu KM, Fan SF, Lai CS : 1996 : Pyogenic liver abscess : an audit of experience over the past decade ; Arc. Surg ; 131; 148 – 152

6 De Rosier , LC, Canon CM, Vickers SM : Liver abscess : in Surgery of Alimentary Tract;Saunders, 6ed, Vol II.1640 - 1658

7. Hamzaoglu I, Karahasanoglu T : 2007 : Laparoscopic treatment of pyogenic liver abscess complicating Crohn's disease case report, The Turkish Journal of gastroenterology; 16;

8. Hanks JB, Meyers WC, Filston HC, et al : 1980 : Surgical resection for benign and malignant liver disease ; Ann. Sur ; 191; 584 – 592.

9. Huang CJ, Pitt HA, Lipsett PA et al. : 1996; Pyogenic hepatic abscess : Changing trends over 42 years; Ann. Surg; 223; 600 – 607.

10. Krig JE, Beckingham IJ : 2001 : Liver abscees and hydatid disease; BMJ; 322; 537 – 540.

11. Lee KC, Yamazaki O. Hamla H et al.: 1996 : Analysis of 69 patients with amoebic liver abscess; J Gastroenterol; 31; 40 – 45

12. Lee KT, Wong SR, Sheen PC : 2001 : Pyogenic Liver abscess: An Audit of 10 Years Experience and Analysis of Risk Factors ; Dig. Surg; 18; 459 - 466.

13. Lublin M et al : 2002 ; Hepatic abscess in patient with chronic granulomatous disease; Ann. Surg; 191; 584 – 592.

14.Molle I, Thulstrup AM, Vilstrup H et al : 2001; Increase risk and fatality rate of pyogenic liver abscess in patient with liver cirrhosis. A nation wide study in Denmark; Gut; 48; 260 -263.

15. Perez JA, Gonzales JJ et al. 2001 ; Clinical course, treatment, and multivariate analysis of

19

Page 20: 2

risk factor for pyogenic liver abscess; Am J. Surg;181; 177 – 186.

16. Pitt HA : 1990 : Surgical management of hepatic abscess ; Worl J Surg; 14; 498 – 504

17. Sharma MP, Dasaraty S, Verma N, et al : 1996 ; Prognostic marker in amebic liver abscess; A prospective study. Am J. Gastroenterol;91; 2584-2588.

18. Stain S et al. : 1991 : Pyogenic liver abscess modern treatment; Arch Surg. ; 126; 991 – 995.

19. Stanley SL ; 2003 : Amoebiasis. Lancet; 361; 1025 – 1034.

20. Strong RW : Pyogenic liver abscess : Surgery of the liver, biliary tract and pancreas ; WB Saunders; 4ed; vol 2; 2007 ; 927 – 934.

21. Sugiyama M, Atomy Y : 2002: Pyogenic abscess with biliary communication ; Am J. Surg ; 183; 205 – 208.

22. Thomas PG, Garg N : Amebiasis and other parasitic infections : in Surgery of the liver, biliary tract and pancreas ; WB Saunders; 4ed; vol 2; 2007; 934 – 943.

23. Wong WM, Wong BC, Hui CK et al : 2002; Pyogenic liver abscess : Retrospective analysis of 80 cases over a 10 years period; J. Gastroentero-Hepatol ; 17; 1001 -1007.

24. Yeh TS, Jan YY, Jeng LB et al : 1998 : Pyogenic Liver Abscess in patients With Malignant Disease; Arch Surg.; 133: 242 – 245.

25. Zafar A, Ahmed S : 2002 ; Amoebic liver abscess : a comparative study of needle aspiration versus conservative treatment; J Ayub Med Coll; 14; 10 - 12.

20