230110090124_2_2004
-
Upload
dysa-nirmala-afganisme -
Category
Documents
-
view
212 -
download
0
Transcript of 230110090124_2_2004
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
1/16
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Biologi Ikan Nilem
Ikan nilem (Osteochilus hasselti) merupakan salah satu komoditas
budidaya yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Hal tersebut dikarenakan ikan
nilem (Gambar 1) merupakan salah satu ikan yang digemari oleh masyarakat baik
untuk dibudidayakan maupun untuk dijadikan sebagai produk olahan bahan
pangan. Produk olahan ikan nilem yang digemari masyarakat antara lain pindang,
dendeng dan baby fish (Rahardjo dan Marliani 2007 dalam Mulyasari 2010).
Proses budidaya ikan nilem dapat berupa pembenihan, pendederan dan
pembesaran ataupun gabungan dari ketiga proses tersebut. Ikan nilem dapat
dibudidayakan sebagai komoditi utama ataupun digunakan sebagi komoditi
tambahan dalam suatu proses budidaya. Alasan utama ikan nilem dijadikan
sebagai komoditi utama dalam suatu proses budidaya yaitu karena ikan nilem
mudah dibudidayakan, memiliki sintasan dan reproduksi yang tinggi serta tahan
terhadap penyakit. Sedangkan alasan ikan nilem digunakan sebagai komoditi
tambahan dalam suatu proses budidaya yaitu ikan nilem dapat digunakan sebagai
biocleaning agent karena sifatnya yang suka memakan detritus dan perifiton.
Keberadaan ikan nilem pada kolom air antara jaring terluar dan jaring dalam
mampu menekan populasi perifiton dan memanfaatkan ekses pakan ikan mas
yang dipelihara pada jaring (Kusdiarti 2011).
Gambar 1. Ikan nilem (Osteochilus hasselti)
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
2/16
7
2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Nilem
Ikan nilem merupakan salah satu ikan air tawar yang termasuk dalam
family Cyprinidae. Klasifikasi ikan nilem menurut Saanin (1968) adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Class : Pisces
Ordo : Ostariophysi
Sub-ordo : Cyprinoidea
Family : Cyprinidae
Sub-family : Cyprininae
Genus : Osteochillus
Species : Osteochillus hasselti
Ikan nilem mempunyai bentuk tubuh hampir sama dengan ikan mas,
namun ikan nilem mempunyai kepala yang relative lebih kecil. Ikan nilem
mempunyai dua pasang sungut peraba pada sudut – sudut mulutnya (Susanto
2006), bentuk tubuh yang memanjang dan pipih ke samping (compress), panjang
baku 2,5 – 3,0 kali tinggi badan, mulut dapat disembulkan dengan bibir berkerut
dan permukaan punggung terletak di permukaan sirip dada (Hardjamulia 1979
dalam Wijayanti 2002).
Ikan nilem digolongkan menjadi dua menurut warna sisiknya, yaitu ikan
nilem yang berwarna cokelat kehitaman atau cokelat hijau pada punggungnya dan
terang dibagian perut dan ikan nilem yang berwarna merah pada bagian
punggungnya dengan bagian perut agak terang (Hardjamulia 1978 dalam
Wijayanti 2002).
Ciri-ciri lain dari ikan nilem yaitu sirip punggung memiliki 3 jari – jari
keras dan 12 – 18 jari – jari lemah. Sirip ekor berbentuk cagak dan simetris, sirip
dubur terdiri dari 3 jari – jari keras dan 5 jari – jari lunak. Sirip perut terdiri dari
oleh 1 jari – jari keras dan 13 – 15 jari – jari lemah. Jumlah sisik gurat sisi ada 33
– 36 keping serta dapat mempunyai panjang tubuh mencapai 32 cm di alam bebas
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
3/16
8
(Susanto 2006). Menurut Kottelat (1993) dalam Mulyasari (2010) ikan nilem
mempunyai bintik bulat besar pada batang ekor, batang ekor dikelilingi 16 sisik
dan bagian depan sirip punggung dikelilingi 26 sisik.
2.1.2 Distribusi Ikan Nilem
Distribusi atau daerah persebaran ikan nilem diantaranya yaitu di
Indonesia (pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi), Malaysia, Thailand,
Vietnam, dan Kamboja (Djajadireja et al. 1977 dalam Wicaksono 2005). Ikan
nilem (Osteochilus hasselti) di Indonesia dikenal dengan berbagai nama
diantaranya yaitu nilem, milem, lehat, monto, palong, palouw, pawas, assang dan
penopa (Susanto 2006).
Ikan nilem merupakan ikan endemik Indonesia yang biasa hidup pada
sungai-sungai, danau dan rawa-rawa yang terdapat di pulau Jawa, Sumatera dan
Kalimantan. Ikan tersebut kemudian dibudidayakan di kolam-kolam untuk tujuan
komersial sejalan dengan perkembangan jaman. Keberadaan ikan nilem di
Indonesia kurang begitu dikenal masyarakat kecuali di Jawa Barat. Hampir 80 %
produksi nasional ikan nilem berasal dari Jawa Barat (Cholik et al. 2005 dalam
Mulyasari 2010).
2.1.3 Kualitas Air Habitat Ikan Nilem
Ikan nilem hidup di lingkungan air tawar dengan kisaran pH antara 6,0-7,0
dan kandungan oksigen terlarut yang cukup (Cholik et al. 2005 dalam Mulyasari
2010). Ikan nilem akan melakukan pemijahan pada kondisi oksigen berkisar
antara 5 – 6 ppm, karbondioksida bebas yang optimum untuk kelangsungan hidup
ikan yaitu ≤ 1 ppm (Willoughby 1999). Suhu yang optimum untuk kelangsungan
hidup ikan nilem berkisar antara 18 – 280C dan ketinggian sampai 800 m di atas
permukaan laut dengan ketinggian optimal antara 400 – 700 m (Hardjamulia 1978
dalam Wicaksono 2005). Sedangkan menurut PBIAT Muntilan (2007) untuk
kandungan ammonia yang disarankan adalah lebih rendah dari 0,5 ppm.
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
4/16
9
2.1.4 Kebiasaan Makan Ikan Nilem
Ikan nilem dikelompokkan sebagai omnivora (pemakan segala). Pakannya
terdiri dari detritus, jasad-jasad penempel, perifiton dan epifiton sehingga ikan ini
lebih sering hidup di dasar perairan (Khairuman dan Amri 2008 dalam Pratiwi et
al. 2011). Selain itu ikan nilem termasuk pemakan plankton dan tumbuhan air
(Huet 1970 dalam Wicaksono 2005).
Pada stadia larva dan benih, ikan nilem memakan fitoplankton dan
zooplankton atau jenis alga ber-sel satu seperti diatom dan ganggang yang
termasuk ke dalam kelas Cyanophyceae dan Chlorophyceae (Syandri, 2004;
Cholik et al. 2005 dalam Mulyasari 2010).
2.1.5 Reproduksi dan Fekunditas Ikan Nilem
Reproduksi adalah kemampuan indivudu untuk menghasilkan keturunan
sebagai upaya untuk melestarikan jenis atau kelompoknya (Fujaya 2004 dalam
Listiyono 2011). Sedangkan fekunditas ikan adalah jumlah telur yang terlepas
pada ovarium sebelum berlangsungnya pemijahan. Pada umumnya fekunditas
berhubungan erat dengan berat badan, panjang badan, umur ukuran butir telur dan
cara penjagaan ( parental care). Ikan yang mempunyai kebiasaan tidak menjaga
telur – telurnya setelah memijah, umumnya mempunyai fekunditas yang tinggi.
Selain itu fekunditas yang tinggi juga dimiliki oleh ikan – ikan yang mempunyai
ukuran telur yang kecil. Fekunditas ikan dapat dihitung dengan berbagai cara,
yaitu metode jumlah, metode volumetrik, metode grafimetrik atau metode berat
dan metode van bayer (Sutisna et al. 1995).
Ikan nilem memiliki potensi reproduksi dan fekunditas yang cukup tinggi.
Sepasang nilem berukuran 100 – 150 g dapat menghasilkan telur sebanyak 15.000
– 30.000 ekor (Susanto 2006). Telur ikan nilem banyak mengandung kuning telur
yang mengumpul pada suatu kutub, tipe telur yang demikian dinamakan
Telolechital (Semantadinata 1981 dalam Listiyono 2011). Warna telur ikan nilem
transparan dan bersifat demersal atau terbenam di dasar perairan. Telur ikan nilem
mempunyai diameter berkisar antara 0,8 mm – 1,2 mm (Triyani 2002).
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
5/16
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
6/16
11
2.2
Testis Sapi
Testis sapi merupakan salah satu organ reproduksi pada sapi jantan. Testis
sapi jarang dimanfaatkan untuk dikonsumsi sehingga dapat digolongkan sebagai
produk sampingan bahkan merupakan limbah dari sebagian besar proses
pengolahan sapi. Testis sapi segar (Gambar 2) mengandung hormon testosteron
alami berkisar 2.300-27.700 pg/g testis dan protein 63,49% (Iskandariah 1996
dalam Muslim 2010).
Gambar 2. Testis Sapi Segar
Menurut Murni dan Jenny (2001) dalam Muslim (2010), kandungan
hormon testosteron dari testis sapi yang dijadikan tepung (Tepung Testis
Sapi/TTS) berkisar antara 142,8-1204 ng/g. Sedangkan berdasarkan analisis
kandungan hormon testosteron pada Tepung Testis Sapi (Gambar 3) dengan
metode HPLC ( High Performance Liquid Chromatography) menunjukkan bahwa
kandungan testosteron yang terdapat dalam TTS yaitu sebesar 10,01 µg /g TTS
(Muslim 2010).
Gambar 3. Tepung Testis Sapi
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
7/16
12
Kandungan hormon testosteron yang terdapat pada Testis Sapi dapat
digunakan sebagai bahan pada manipulasi hormonal untuk mempercepat proses
perkembangan gonad dan memperbanyak fekunditas. Selain itu, penggunaan testis
sapi juga dapat mengurangi biaya produksi pemeliharaan ikan jika dibandingkan
dengan penggunaan hormon testosteron sintetis (17α-metiltestosteron) yang
beredar dipasaran.
2.3 Kinerja Reproduksi
Kinerja reproduksi merupakan suatu proses yang berkelanjutan pada ikan
akibat adanya rangsangan dari luar ataupun dari dalam tubuh ikan itu sendiri.
Rangsangan tersebut dapat berupa rangsangan hormonal ataupun rangsangan
lingkungan. Rangsangan hormonal yang terjadi pada induk ikan betina berbeda
dengan induk jantan. Pada induk betina, rangsangan hormonal ditujukan untuk
pembentukan telur dan pematangannya, sedangkan pada ikan jantan rangsangan
tersebut untuk pembentukan sperma (Permana 2009).
Perkembangan gonad pada ikan membutuhkan hormon gonadotropin
(GtH). Hormon gonadotropin merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar
pituitari. Hormon gonadotropin tersebut kemudian dibawa oleh darah ke dalam sel
teka yang berada pada gonad untuk menstimulasi terbentuknya testosteron.
Testosteron yang terbentuk kemudian akan masuk ke dalam sel granulosa untuk
diubah oleh enzim aromatase menjadi hormon estradiol 17β. Hormon estradiol
17β kemudian dialirkan oleh darah kedalam hati untuk mensintesis vitelogenin.
Vitelogenin yang dihasilkan kemudian dialirkan kembali oleh darah kedalam
gonad untuk diserap oleh oosit sehingga penyerapan vitelogenin ini disertai
dengan perkembangan diameter telur (Sumantri 2006). Proses pembentukan
vitelogenin tersebut akan terus berlangsung di dalam tubuh ikan. Proses
pembentukan vitelogenin dinamakan vitolegenesis (Nagahama 1987; Yaron 1995;
Cerda et al. 1996 dalam Pamungkas 2006). Penyerapan vitelogenin akan terhenti
pada waktu oosit mencapai ukuran maksimal atau telur mencapai kematangan.
Selanjutnya telur memasuki masa dorman menunggu sinyal lingkungan untuk
ovulasi dan pemijahan (Sarwoto 2001).
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
8/16
13
Menurut Nagahama et al. (1995) dalam Permana (2009), proses
pematangan oosit terjadi karena rangsangan Leutinizing Hormon (LH) pada
folikel gonad. Rangsangan tersebut menyebabkan gonad menghasilkan hormon
steroid yaitu 17α-hidroksi progesteron (terbentuk pada sel teka) dan 17α,20β-
dihidroksi-4-pregnen-3-one (terbentuk pada sel granulosa). Hormon 17α,20β-
dihidroksi-4-pregnen-3-one inilah yang mempunyai peranan sebagai mediator
kematangan oosit lebih lanjut. Menurunnya produksi estradiol 17β dan aktivitas
aromatase, ternyata diikuti oleh peningkatan testosteron dan 17α,20β-dihidroksi-
4-pregnen-3-one (17α,20β-DP) sehingga oosit mengalami GVBD (germinal
vesicle break down) dan berakhir pada ovulasi.
Ovulasi merupakan proses keluarnya sel telur (yang telah mengakhiri
pembelahan miosis kedua) dari folikel ke dalam lumen ovarium atau rongga perut
(Nagahama 1987 dalam Permana 2009). Menurut Basuki (2007) dalam Permana
(2009), mekanisme hormonal untuk vitelogenesis, pematangan serta ovulasi oosit
melibatkan GnRH, gonadotropin, estradiol 17β, testosteron, 17α-20β dihidroksi
progesteron dan aromatase.
2.4 Tingkat Kematangan Gonad pada Ikan
Tingkat Kematangan Gonad (TKG) ikan pada umumnya adalah tahap
tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah ikan itu berpijah (Effendie
1997). Selama proses reproduksi, sebagian energi dipakai untuk perkembangan
gonad (Effendie 1979). Pada ikan betina peningkatan perkembangan gonad
tersebut kemudian akan diikuti dengan adanya perkembangan telur. Semakin
bertambahnya TKG maka telur yang ada dalam gonad akan semakin besar.
Saat ini telah diketahui dua macam cara dalam penentuan TKG pada ikan,
yaitu penentuan secara mikroskopik dan penentuan berdasarkan tanda – tanda
umum serta ukuran gonad. Penentuan sifat kematangan gonad secara mikroskopik
dilakukan dengan cara mengamati perkembangan telur maupun sperma yang ada
pada ikan dengan menggunakan mikroskop. Sedangkan penentuan TKG
berdasarkan tanda-tanda umum dilakukan dengan mengamati menggunakan mata
bagaimana ciri – ciri fisik dari gonad ikan (Effendie 1997).
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
9/16
14
Tabel berikut ini merupakan Tingkat Kematangan Gonad ikan semah (Tor
dourenensis) betina yang merupakan salah satu ikan dari kelas Cyprinidae yang
diketahui berdasarkan tanda – tanda umum pada perkembangan gonad menurut
Hardjamulia et al. (1995):
Tabel 2. Tingkat Kematangan Gonad Ikan Semah (Semah Carp) Betina.
Tingkat
Kematangan
Gonad (TKG)
Karakteristik
I
Ovari kecil memanjang berbentuk torpedo, butir – butir telur
belum Nampak. Indeks Gonad Somatik (IGS) sekitar 0,57 –
0,7. Hanya terdapat oosit stadium I, yang secara acak berderet
berada di tepi dinding lamela. Di dalam lamela terdapat sebuah
septa sebagai penunjang. Septa seperti halnya dinding ovari,
terdiri dari jaringan pengikat dengan fibroblast, serat kolagen
dan otot halus. Pembuluh darah biasanya terdapat di dalam
stroma lamela.
II
Ovari pada tingkat ini memiliki IGS sekitar 1,6 – 2,1. Pada
ovari nampak butir – butir telur. Secara mikroskopis pada ovari
tingkat ini terdapat oosit tertua pada stadium II dan oosit
stadium I dengan persentase yang paling tinggi.
III
Ovari memiliki nilai IGS 3,1 – 4,7. Secara visual pada ovari
terdapat butir – butir telur yang lebih besar dan bervariaasi
ukurannya. Ovari mengisi sekitar 70 % rongga perut.
Pengamatan histologis ovari pada tingkat ini terdapat oosit
tertua pada stadium III, disamping oosit stadium I dengan
frekuensi yang tinggi (60 %) dan oosit stadium II (26 %).
IV
Ovari tingkat IV memiliki Nilai GSI 5,99 – 6,51. Ikan pada
tingkat ini sudah siap memijah, yang dicirikan oleh perut yang
membengkak terutama di daerah atas urogenital. Lubang
urogenital berwarna putih. Ovari mengisi seluruh rongga perut.
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
10/16
15
Butir – butir telur yang berukuran relatif besar, terdiri dari
empat tingkat ukuran jelas terlihat dengan mata telanjang.
Keempat ukuran telur dalam ovarium, sebelum proses
histology, berukuran sekitar 2,9; 2,0; 1,5 dan 1,0 mm
(Hardjamulia dkk 1995).
Pada pengamatan histologi, ovari pada tingkat ini mempunyai
oosit stadium tertua (stadium IV) yang dapat dilihat dari inti
sel yang sudah migrasi ke tepi. Hal ini menunjukkan bahwa
ikan sudah siap memijah. Hal yang menarik adalah oosit
stadium IV mempunyai tiga kelompok ukuran dengan variasi
ukuran telur sekitar 1.500 – 2.200 µm dengan jumlah
frekwensi 12 %. Di samping oosit stadium IV terdapat pula
oosit stadium I, II dan III.
Variasi ukuran oosit yang tidak besar perbedaannya tersebut
menunjukkan bahwa pemijahan jenis ikan ini dapat diduga
berlangsung beberapa kali dalam setahunnya. Pemijahan
dimulai dari proses ovulasi oosit stadium IV dengan ukuran
terbesar dan dalam waktu yang tidak lama diikuti oleh oosit
yang lebih kecil pada stadium yang sama. Selama oosit
stadium IV belum selesai berpijah, oosit stadium III tetap
mempertahankan dirinya pada stadium tersebut. Setelah oosit
stadium IV selesai dikeluarkan pada waktu pemijahan, oosit
stadium III berkembang menjadi stadium IV.
Pada ovari tingkat IV ini nampak adanya oosit atresia, dengan
frekuensi 0,8 % yang diduga berasal dari oosit stadium III yang
gagal menjadi oosit stadium IV. Salah satu factor penyebab
terbentuknya oosit atresia adalah karena tekanan lingkungan
antara lain adanya perubahan kualitas air, serta kualitas dan
jumlah makanan.
VOvari tingkat ini terdapat pada ikan yang sudah memijah. Pada
umumnya, pada ovari ikan yang berada pada tingkat ini
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
11/16
16
terdapat sisa – sisa folikel yang bentuknya tidak teratur yang
tersebar di dalam stroma lamela.
Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa perkembangan TKG
sejalan dengan adapnya perkembangan oosit. Tabel berikut ini merupakan tingkat
perkembangan oosit ikan semah (Tor dourenensis) betina yang merupakan salah
satu ikan dari kelas Cyprinidae menurut Hardjamulia et al. (1995):
Tabel 3. Tingkat Perkembangan Oosit Ikan Semah (Semah Carp) Betina .
Tingkat
Perkembangan
Oosit
Karakteristik
I
(Growth
phase :
Chromatin +
perinucleus)
Oosit stadium I. Oosit primer berukuran sekitar 30 – 120 µm.
Inti berbentuk bundar atau sedikit oval berukuran 15 – 40 µm
dengan kromatin yang nampak dengan jelas serta adanya
beberapa nucleoli berukuran 3,8 – 5,0 µm yang berada pada
perifer inti. Lapisan sitoplasma terisi oleh substansi yang halus,
tanpa terihat adanya vesikula atau granula kuning telur. Oosit
tersusun berderet di daerah pinggir dekat membrane lamela.
II
(Yolk vesicles)
Oosit stadium II. Oosit berukuran 500 – 550 µm dan inti
berukuran 150 – 160 µm. pada perifer sitoplasma (dekat
membrane sel) sudah mulai nampak lapisan vesikula kuning
telur, yang pada akhir stadium ini vesikula kuning telur
menutup sebagian besar sitoplasma sampai ke daerah inti.
Vesikula kuning telur berukuran 8 – 23 µm. Membran oosit
merupakan lapisan tipis dengan ketebalan sekitar 6 – 8 µm.
Pada stadium ini tidak terdapat granula kuning telur.
III
(Yolk Vesicles
and granules)
Oosit stadium III. Oosit berukuran 900 – 1.50 µm, dengan inti
sekitar 170 – 180 µm. proses vitelogenesis sudah terjadi yang
ditunjukkan dengan adanya granula kuning telur, dimulai di
daerah inti kemudian menyebar ke tengah dan ke tepi
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
12/16
17
sitoplasma. Pada akhir stadium ini, hampir seluruh sitplasma
kecuali di daerah tepi dekat oolema terisi granula kuning telur.
Inti sel masih belum migrasi, berada di tengah sel.
IV
(Yolk granules
and cortical
alveoli)
Oosit stadium IV. Oosit berukuran antara 1.500 – 2.200 µm.
Terdapat dua tipe oosit yang tergolong stadium IV, yaitu oosit
berukuran sekitar 1.500 – 1.600 µm dan oosit berukuran 2.200
µm. Hal yang menarik dari kedua tipe oosit tersebut adalah inti
sudah migrasi dan berada pada pertengahan sel, yaitu antara
titik dengan tengah oosit dan oolema mendekati lubang
mikropil agar mudah terjadi proses pembuahan. Oosit tipe
pertama mempunyai lapisan vesikula kuning telur yang lebih
tebal dari pada tipe kedua yang merupakan korteks alveoli.
Granula kuning telur hampir menutupi seluruh sitoplasma,
kecuali di bagian tepi dekat oolema masih terdapat vesikula
kuning telur atau alveoli korteks. Alveoli ini berperan pada
proses pembuahan dengan mengeluarkan substansi ke ruang
perivitelin.
V
( Atretic
oocytes)
Oosit stadium V. Stadium oosit atresia (corpora atresia
praovulasi) ditemukan dalam ovarium pada tingkat
perkembangan IV (oosit yang tertua pada stadium IV). Oosit
atresia berukuran 800 – 850 µm. Nampaknya atresia terjadi
pada oosit yang mengalami perkembangan dari stadium III ke
stadium IV. Stadium oosit atresia pada ikan semah yang
berasal dari perairan umum ini sama dengan yang diamati pada
ikan mas yang dibudidayakan. Stadium oosit artesis pada ikan
semah hanya ditemukan pada stadium α (kasifikasi Khoo
1975) dengan ciri khas adanya oolema yang berkelok – kelok
tidak teratur dan menebal. Pada ikan mas oolema yang
berkelok – kelok ini disebabkan oleh pengerutan oosit yang
mengalami dehidrasi. Pada tahapan artesis ini sel granulosa
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
13/16
18
yang tadinya merupakan sinsitium (protoplasma berinti
banyak) berubah menjadi sel tunggal. Sel granulosa tersebut
menghasilkan ”disintegrating ferment” yang melarutkan
oolema dan granul kuning telur menjadi partikel yang lebih
kecil dan dapat diabsorpsi dan fagositosis. Jumlah oosit artesis
pada ikan semah relative kecil (± 0,8 %) dibandingkan pada
ikan mas yang besarnya antara 0,97 – 5,76 %.
2.5 Indeks Kematangan Gonad
Indeks kematangan gonad (IKG) atau Indeks Somatik Gonad (ISG) di
hitung untuk mengetahui perubahan yang terjadi dalam gonad secara kuantitatif.
Indeks yang biasa juga dinamakan sebagai “ Maturity” atau “Gonado Somatic
Index (GSI)” tersebut adalah suatu nilai dalam persen sebagai hasil dari
perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan termasuk berat gonad
dikalikan dengan 100 % (Effendie 1979).
Nilai indeks tersebut akan sejalan dengan perkembangan gonad, indeks itu
akan semakin bertambah besar dan nilai tersebut akan mencapai batas kisar
maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Hal tersebut terjadi karena didalam
proses reproduksi, sebelum terjadi pemijahan, sebagian besar hasil metabolism
tertuju untuk perkembangan gonad. Gonad semakin bertambah berat dibarengi
dengan semakin bertambah besar ukurannya termasuk diameter telurnya. Berat
gonad akan mencapai maksimum sesaat ikan akan memijah, kemudian berat
gonad akan menurun dengan cepat selama pemijahan sedang berlangsung sampai
selesai.
Ikan yang memiliki IKG mulai dari 19% ke atas sudah sanggup
mengeluarkan telurnya dan dianggap matang. Indeks tersebut akan menurun
menjadi 3 – 4 % sesudah ikan tersebut memijah (Effendie 1979).
2.6 Kematangan Telur Ikan
Proses kematangan telur atau oocyte maturation (OM) ditentukan
berdasarkan kriteria pergeseran posisi inti telur menuju kutub animal (germinal
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
14/16
19
vesicle migration) dan peluruhan atau penghancuran membran telur. Berdasarkan
pergeseran posisi inti tersebut terdapat empat kriteria posisi inti telur sebelum
telur tersebut dapat diovulasikan yaitu central germinal vesicle (cGV) atau tahap
inti ditengah, migrating germinal vesicle (mGV) atau tahap inti yang bermigrasi
dari tengah menuju tepi, peripheral germinal vesicle (pGV) atau tahap inti di tepi
dan germinal vesicle breakdown (GVBD) atau tahap inti yang telah melebur
(Gambar 4) (Yaron dan Levavi 2011). Berdasarkan posisi inti tersebut tingkat
kematangan telur (TKT) atau oocyte maturation (OM) dibagi menjadi dua tahap
yaitu fase vitelogenik yang ditandai dengan posisi inti telur yang berada ditengah
(cGV) dan fase pematangan telur ( final oocyte maturation). Fase pematangan
telur dibagi kembali menjadi dua yaitu fase awal matang yang ditandai dengan
adanya pergerakan atau migrasi posisi inti telur (mGV dan pGV) dan fase akhir
kematangan telur yang ditandai dengan adanya peluruhan membran inti telur atau
germinal vesicle breakdown (GVBD) (Mylonas et al. 2010)
Gambar 4. Gambaran Hubungan Kelenjar Pituitari – Gonad pada Ikan Betina
selama (a) Proses Vitelogenesis dan (b) Proses Pematangan Telur dan Ovulasi
(Yaron dan Levavi 2011)
Fase vitelogenik diawali dengan adanya penyerapan prekursor kuning telur
(vitelogenin/vtg) oleh oosit. Vitelogenin merupakan hasil sintesa hati pada proses
vitelogenesis. Vitelogenin yang telah disintesa oleh hati kemudian dialirkan oleh
darah menuju ovarium. Vitelogenin tersebut selanjutnya diseleksi dan dipisahkan
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
15/16
20
oleh folikel ovarium yang telah berkembang melalui reseptor spesifik (VtgRs)
kemudian dilapisi oleh vesikel dan bergerak ke oolema perifer (Hiramatsu et al .
2006 dalam Mylonas et al. 2010). Vesikel tersebut bergabung dengan lisosom
sehingga membentuk badan multivesikular ( Multivesicular Body/MVB ) yang
akan berkembang (bertambah besar) dan secara bertahap berubah menjadi butiran
kuning telur kecil ( yolk granules) dan kemudian menjadi ke butiran kuning telur
besar ( yolk globules) (Le Menn et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010). Badan
multivesikuar tersebut juga mengandung enzim lisosom berupa cathepsin D yang
berfungsi memecah vitelogenin menjadi polipeptida kuning telur. (Cerda et al.
2007 dalam Mylonas et al. 2010).
Hasil akhir dari pemecahan vitelogenin secara enzimatik tersebut terdiri
dari lipovitellin (Lv), phosvitin (Pv) dan komponen β (β -c). Lipovitelin adalah
protein kuning telur banyak mengandung lipid dan terdiri dari dua polipeptida
yaitu rantai panjang lipovitellin (lipovitellin heavy chain/LvH) dan rantai pendek
lipovitellin (lipovitellin light chain/LvL). Phosvitin adalah protein kuning telur
yang lebih kecil dimana lebih dari setengah residu asam amino yang terkandung
di dalamnya banyak mengandung fosfor sehingga vitelogenin mempunyai sifat
mengikat kalsium. K omponen β adalah protein kuning telur ketiga yang biasanya
tidak mengandung lipid atau fosfor (Hiramatsu et al. 2006 dalam Mylonas et al.
2010). Lipovitellin berfungsi sebagai sumber nutrisi asam amino dan lipid untuk
perkembangan embrio, phosvitin berfungsi sebagai sumber mineral yang
diperlukan untuk perkembangan rangka dan system metabolik, sedangkan fungsi
dari k omponen β baik secara fisiologis atau nutrisi sampai sejauh ini belum
ditemukan (Hiramatsu et al. 2006 dalam Mylonas et al. 2010).
Akhir dari fase vitelogenik adalah ketika akumulasi protein kuning telur
telah mencapai batas maksimum serta mRNA untuk perkembangan embrio telah
selesai dibentuk di dalam oosit. Proses setelah fase vitelogink adalah terjadinya
fase pematangan telur (oocyte maturation/OM) yang distumulasi oleh hormon
(Kinsey et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010). Pada fase pematangan telur
terjadi perubahan morfologi secara drastis pada oosit yang disertai dengan
perkembangan meiosis. Perubahan yang paling mencolok adalah peleburan lipid
-
8/18/2019 230110090124_2_2004
16/16
21
droplet dan globul kuning telur yang menyebabkan perubahan pada sitoplasma
dari oosit tersebut sehingga inti telur (germinal vesicle/GV) mengalami migrasi
dari tengah menuju tepi oosit dan kemudian membran inti mengalami peleburan
(germinal vesicle breakdown/GVBD ). Perubahan lain yang terjadi adalah adanya
peningkatan volume telur yang disebabkan oleh adanya aktivitas penyerapan air
(Cerda et al. 2007 dalam Mylonas et al. 2010).