2128ac

9
Soedardjo, dkk. ISSN 0216 - 3128 141 Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta, 7 - 8 Agustus 2001 PROSES PEMBENTUKAN KERAK OKSIDA PADA PIPA PEMANAS LANJUT DAN ANALISIS KEGAGALANNYA Soedardjo, Andryansyah, Muhammad Natsir Pusat Pengembangan Teknologi Keselamatan Nuklir (P2TKN - BATAN) ABSTRAK PROSES PEMBENTUKAN KERAK OKSIDA PADA PIPA PEMANAS LANJUT DAN ANALISIS KEGAGALANNYA . Telah dibahas proses pembentukan kerak oksida pada pipa pemanas lanjut dan dilakukan pula analisis kegagalannya. Latar belakang masalah adalah pipa primer keluaran pada ketel uap industri pembangkit listrik tenaga batubara yang telah dioperasikan selama 14 tahun, maka perlu untuk diketahui apakah pipa tersebut masih dapat digunakan atau tidak? Analisis dilakukan untuk pipa baja feritik SA 213 T12 secara uji non metalografi dan uji metalografi. Uji non metalografi dilakukan melalui pengamatan struktur makro tanpa dietsa pada ketebalan kerak sisi uap dan sisi pembakaran. Uji metalografi dilaksanakan hampir sama dengan uji non metalografi, yang tujuannya untuk mengetahui tebal kerak secara rinci serta gejala-gejala yang dapat menjadikan pipa mengalami degradasi. Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan parameter Larson Miller. Suhu sisi uap operasi normal pipa tersebut adalah 505 °C. Hasil penelitian terpenting menunjukkan bahwa tebal kerak oksida sisi uap yang terbentuk setelah 14 tahun dioperasikan adalah 2,75 mils atau 0,07 mm. Berdasarkan teori Rehn ketebalan kerak oksida untuk 14 tahun operasi dari pipa yang diteliti adalah 0,83 mils atau 0,02 mm. Selain itu terdapat korosi sumuran yang dengan kedalaman sekitar 0,14 mm. Proses pembentukan kerak oksida pada pipa pemanas lanjut diakibatkan karena adanya reaksi antara besi dengan uap air sehingga membentuk Fe 3 0 4 dan hidrogen. ABSTRACT THE OXIDE SCALE FORMATION PROCESS ON PRIMARY SUPERHEATER PIPE AND ITS FAILURE ANALYSIS. The oxide scale formation process on primary superheater pipe has been discussed and its failure analysis has been carried out as well. The problem backdrop is the primary superheater outlet pipe on boiler electrical steam power that was operated up to 14 years, accordingly necessary detected whether that its pipe still applicable or not? The analysis done for ferritic steel pipe SA 213 T12 by non- metalograph and metallograph test. The Non metalograph test was carried out by macro structure observation unetched on the thickness of steam side and fired side. Metallograph test is idem ditto the non- metallograph test with emphasized to measure the scale thickness detail and the phenomena are that the pipe might be degraded. The research method was used is using the Larson Miller parameter. The steam side temperature of that pipe is 505 °C, and from the observation result show that the oxide scale thickness for 14 years operation was 2.75 mils or 0.07 mm. Based on Rehn theory oxide scale thickness for 14 years of pipe observed is 0.83 mils or 0.02 mm. Additionally was found the pitting corrosion with profundity is around 0,14 mm. diakibatkan karena adanya reaksi antara besi dengan uap air sehingga membentuk Fe 3 0 4 . The oxide scale formation process on superheater pipe due to the reaction between iron and steam to form Fe 3 0 4 and hydrogen. PENDAHULUAN ipa pemanas lanjut primer keluaran dari ketel uap pembangkit listrik batubara dapat mengalami degradasi atau kegagalan fungsi, akibat reaksi antara logam pipa dengan uap air dalam pipa. Degradasi tersebut dapat berasal pula dari kualitas uap dalam pipa maupun gas di luar pipa yang berasal dari pembakaran batu bara [1] . Analisis kegagalan pipa tersebut dapat dilakukan melalui pengamatan ketebalan kerak oksida pada sisi uap diameter dalam pipa dan kerak di sisi pembakaran batubara atau diameter luar pipa. Peningkatan ketebalan kerak oksida di sisi uap, akan meng-akibatkan kenaikan suhu pipa uap yang terlalu tinggi. Ketebalan kerak pada sisi pembakaran bahan bakar batubara, akan mengganggu perpindahan panas dari sisi pembakaran ke sisi uap dalam pipa. Peningkatan ketebalan kerak tersebut yang akan meningkatkan suhu, akhirnya akan mengakibatkan degradasi atau P

Transcript of 2128ac

Page 1: 2128ac

Soedardjo, dkk. ISSN 0216 - 3128 141

Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta, 7 - 8 Agustus 2001

PROSES PEMBENTUKAN KERAK OKSIDA PADA PIPA PEMANAS LANJUT DAN ANALISIS KEGAGALANNYA

Soedardjo, Andryansyah, Muhammad Natsir Pusat Pengembangan Teknologi Keselamatan Nuklir (P2TKN - BATAN)

ABSTRAK

PROSES PEMBENTUKAN KERAK OKSIDA PADA PIPA PEMANAS LANJUT DAN ANALISIS KEGAGALANNYA . Telah dibahas proses pembentukan kerak oksida pada pipa pemanas lanjut dan dilakukan pula analisis kegagalannya. Latar belakang masalah adalah pipa primer keluaran pada ketel uap industri pembangkit listrik tenaga batubara yang telah dioperasikan selama 14 tahun, maka perlu untuk diketahui apakah pipa tersebut masih dapat digunakan atau tidak? Analisis dilakukan untuk pipa baja feritik SA 213 T12 secara uji non metalografi dan uji metalografi. Uji non metalografi dilakukan melalui pengamatan struktur makro tanpa dietsa pada ketebalan kerak sisi uap dan sisi pembakaran. Uji metalografi dilaksanakan hampir sama dengan uji non metalografi, yang tujuannya untuk mengetahui tebal kerak secara rinci serta gejala-gejala yang dapat menjadikan pipa mengalami degradasi. Metode penelitian yang digunakan adalah menggunakan parameter Larson Miller. Suhu sisi uap operasi normal pipa tersebut adalah 505 °C. Hasil penelitian terpenting menunjukkan bahwa tebal kerak oksida sisi uap yang terbentuk setelah 14 tahun dioperasikan adalah 2,75 mils atau 0,07 mm. Berdasarkan teori Rehn ketebalan kerak oksida untuk 14 tahun operasi dari pipa yang diteliti adalah 0,83 mils atau 0,02 mm. Selain itu terdapat korosi sumuran yang dengan kedalaman sekitar 0,14 mm. Proses pembentukan kerak oksida pada pipa pemanas lanjut diakibatkan karena adanya reaksi antara besi dengan uap air sehingga membentuk Fe304 dan hidrogen.

ABSTRACT

THE OXIDE SCALE FORMATION PROCESS ON PRIMARY SUPERHEATER PIPE AND ITS FAILURE ANALYSIS. The oxide scale formation process on primary superheater pipe has been discussed and its failure analysis has been carried out as well. The problem backdrop is the primary superheater outlet pipe on boiler electrical steam power that was operated up to 14 years, accordingly necessary detected whether that its pipe still applicable or not? The analysis done for ferritic steel pipe SA 213 T12 by non-metalograph and metallograph test. The Non metalograph test was carried out by macro structure observation unetched on the thickness of steam side and fired side. Metallograph test is idem ditto the non-metallograph test with emphasized to measure the scale thickness detail and the phenomena are that the pipe might be degraded. The research method was used is using the Larson Miller parameter. The steam side temperature of that pipe is 505 °C, and from the observation result show that the oxide scale thickness for 14 years operation was 2.75 mils or 0.07 mm. Based on Rehn theory oxide scale thickness for 14 years of pipe observed is 0.83 mils or 0.02 mm. Additionally was found the pitting corrosion with profundity is around 0,14 mm. diakibatkan karena adanya reaksi antara besi dengan uap air sehingga membentuk Fe304. The oxide scale formation process on superheater pipe due to the reaction between iron and steam to form Fe304 and hydrogen.

PENDAHULUAN

ipa pemanas lanjut primer keluaran dari ketel uap pembangkit listrik batubara dapat mengalami

degradasi atau kegagalan fungsi, akibat reaksi antara logam pipa dengan uap air dalam pipa. Degradasi tersebut dapat berasal pula dari kualitas uap dalam pipa maupun gas di luar pipa yang berasal dari pembakaran batu bara[1]. Analisis kegagalan pipa tersebut dapat dilakukan melalui pengamatan

ketebalan kerak oksida pada sisi uap diameter dalam pipa dan kerak di sisi pembakaran batubara atau diameter luar pipa. Peningkatan ketebalan kerak oksida di sisi uap, akan meng-akibatkan kenaikan suhu pipa uap yang terlalu tinggi. Ketebalan kerak pada sisi pembakaran bahan bakar batubara, akan mengganggu perpindahan panas dari sisi pembakaran ke sisi uap dalam pipa. Peningkatan ketebalan kerak tersebut yang akan meningkatkan suhu, akhirnya akan mengakibatkan degradasi atau

P

Page 2: 2128ac

142 ISSN 0216 - 3128 Soedardjo, dkk.

Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta, 7 - 8 Agustus 2001

kegagalan pipa tersebut, yang dicirikan dengan timbulnya gejala-gejala seperti: eksploitasi, dekar-burisasi, karburisasi, erosi dan lain-lain.

Pipa yang diteliti mempunyai spesifikasi sebagai baja feritik, dengan kandungan secara umum 1Cr – ½ Mo, atau SA 213-T12[2], dari salah satu komponen pipa ketel uap suatu PLTU batubara nomor 115[3-4].

Pada makalah ini akan diuraikan proses pembentukan kerak oksida terutama pada bagian dinding dalam pipa, sedang pada bagian dinding luar pipa tidak dibahas. Selanjutnya dengan adanya proses pembentukan kerak oksida tersebut, di-analisis ada tidaknya sumber kegagalan yang dapat mengakibatkan pipa tersebut tidak sesuai dengan umur disainnya yang telah ditentukan.

TEORI

Penggunaan baja tahan panas sangat luas termasuk pada ketel uap untuk pembangkit tenaga listrik, turbin uap, turbin gas, berbagai reaktor untuk industri kimia dan reaktor tenaga atom, khususnya untuk bahan konstruksi pembangkit tenaga[5].

Baja SA 213 T12 termasuk bahan baja ferit, yang mempunyai kandungan kimia C = 0,05% min - 0,15% maks; Mn 0,30% - 0,61%; P = 0,025%; S maks = 0,025%; Si = 0,50% maks; Cr = 0,80% - 1,25%; Mo = 0,44% - 0,65 %.

Pada proses pembentukan kerak oksida, besi akan bereaksi dengan uap air pada pipa pemanas lanjut, sehingga dapat membentuk magnetit Fe3O4 dan hidrogen yang mengikuti reaksi kimia sebagai berikut:

3Fe + 4H2O → Fe3O4 + 4H2

Pada semua paduan feritik seperti baja SA 213 T12 yang diteliti pada proses pembentukan kerak oksida tersebut, mempunyai lapisan magnetit Fe3O4

yang cukup tipis pada sisi uap pipa atau bagian dinding dalam pipa. Proses pembentukan lapisan oksida tersebut bertujuan untuk menahan lapisan luar baja. Kelajuan proses pembentukan kerak oksida dengan penambahan ketebalan X dalam waktu t, maka bentuknya akan menyerupai bentuk parabolik, yaitu X ∝ √t.

Pada Gambar 1, merupakan grafik hubungan antara ketebalan kerak terhadap akar kuadrad waktu hingga 16.000 jam karena oksidasi dari baja khromoli (paduan Cr-Mo) pada suhu uap 593 °C. Proses pembentukan lapisan tipis kerak oksida akan terjadi dengan cepat. Tetapi karena adanya difusi oksigen

ke dalam besi melalui lapisan oksida besi sehingga difusi tersebut prosesnya sangat lambat, maka justru terjadi pengurangan ketebalan lapisan kerak oksida yang sangat tipis, sehingga grafiknya yang secara teoritis parabolik, akan diantisipasi menjadi grafik yang linier. Proses kelajuan reaksi terjadinya kerak oksida tersebut, akan bertambah sesuai penambahan suhu, yaitu suhu yang cukup tinggi sehingga dapat mempercepat terjadinya reaksi.

Jika terdapat lapisan magnetit (Fe3O4) terlalu tebal pada permukaan luar, maka akan berbahaya, karena pada akhirnya akan menghambat per-pindahan panas antara pipa dan uap pada sisi dalam pipa.

Gambar 1. Grafik hubungan antara ketebalan ke-rak terhadap akar kuadrat waktu.

Dari proses penambahan ketebalan kerak oksida pada suatu pipa yang telah diuraikan di depan dapat digunakan untuk menghitung dengan sisa umur operasi pipa tersebut[6]. Proses penambahan ketebalan kerak oksida untuk baja feritik yang mempunyai kandungan khrom 1 - 3 % seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

Page 3: 2128ac

Soedardjo, dkk. ISSN 0216 - 3128 143

Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta, 7 - 8 Agustus 2001

Gambar 2. Pembentukan kerak sisi uap untuk baja feritik yang mengandung 1-3 % Cr.

Data dari Rehn yang ditunjukkan pada Gambar 2 tersebut dapat didekati dengan per-samaan: log X = 0,00022 P – 7,25 (1) dengan X adalah ketebalan kerak oksida dalam satuan mils (mili inci), P adalah parameter Larson-Miller (LMP): P = T (°R) [20 + log t (jam)] (2) dengan T suhu operasi absolut = (°F + 460), dengan 1000°F = 1460 °R, t adalah umur operasi pipa dalam jam.

Berdasarkan beberapa eksperimen, pipa-pipa akan gagal digunakan jika harga LMP mencapai 40.600 atau lebih.

Suhu operasi absulut dari pipa dapat dicari dari suhu mula-mula ditambah beda suhu akibat proses penambahan ketebalan kerak oksida, dengan rumus khusus untuk superheater adalah: ∆T = 2,4 X. (3)

Jika ada penambahan suhu karena proses terbentuknya suatu kerak, maka suhu T menjadi T1 = T0 + ∆T, dengan T1 adalah suhu operasi ditambah peningkatan suhu karena proses penambahan tebal kerak oksida di sisi uap.

TATA KERJA

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan antara lain: pipa primer pemanas lanjut keluaran, berdiameter luar 570 mm dengan ketebalan 9,3 mm; kertas amplas dengan kekasaran 60 # hingga 1200# (mesh); kain poles dan pasta intan berukuran 1 dan ½ mikron; larutan Nital 3% yang dibuat dari campuran 97 ml. ethanol atau ethyl alcohol yang ditambah 3 ml. asam nitrat (HNO3); dan sebagai bahan pencuci permukaan benda yang telah dipoles serta dietsa adalah ethyl alcohol murni 99,98 %.

Alat yang digunakan antara lain: makroskop Leica Wild M 420; mikroskop PSM -2 Ollympus dengan pembesaran 100 x hingga 200x.

Metode

Metode yang digunakan adalah dengan menghitung harga parameter Larson-Miller, dengan tahapan mula-mula permukaan benda uji digerinda lalu dipoles, selanjutnya difoto struktur makronya. Setelah itu benda uji dietsa dengan Nital 3 % lalu difoto struktur mikronya. Akhirnya dianalisis ketebalan kerak sisi uap dan sisi pembakaran saja. Dengan menggunakan metode perhitungan dari hubungan harga parameter Larson Millernya dan suhu operasi absolutnya menggunakan perangkat lunak Excel, maka dapat dihitung waktu operasi pipa baja feritik yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari pengamatan terhadap diameter dalam pipa pada sisi uap, telah terbentuk lapisan magnetit Fe3O4 yang relatif tipis. Namun korosi sumuran sudah terbentuk akibat uap air yang mengkonden-sasi dan bereaksi dengan oksigen yang terkonta-minasi dengan gas -gas lainnya. Pada sistem tertutup, untuk menahan oksigen terlarut akan menambah terjadinya korosi di atas suhu 80 °C karena reaksi kimia akan berlangsung lebih cepat pada suhu tinggi.

Uap terkondensasi yang kontak dengan oksigen udara akan terserap dan baja yang sudah sangat terkorosi dalam pipa akan membentuk sel airasi deferensial yang sangat agresif di atas suhu 50°C. Akhirnya akan terbentuk korosi yang tidak teratur bentuknya, korosi sumuran yang dalam dan korosi-korosi lain-lain. Bagian dasar korosi sumuran pada Gambar 3, terdiri dari magnetit hitam Fe3O4, dengan besi yang sebagian tereduksi pada kondisi Fe2+, sedangkan sekitar permukaan yang berupa karat merah adalah hematite Fe2O3 dengan besi teroksidasi pada kondisi Fe3+. Pada saat tidak ada

Page 4: 2128ac

144 ISSN 0216 - 3128 Soedardjo, dkk.

Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta, 7 - 8 Agustus 2001

oksigen terlarut, maka permukaan magnetit akan terlindungi, sehingga laju korosi akan merata dan lamban.

Gambar 3. Struktur mikro benda uji dengan per-besaran 100 x.

Dari Gambar 3, terjadi banyak lapisan fasa oksida, karena sifat-sifat multi valensi dari besi (Fe). Terbentuknya oksida dapat terjadi dalam kondisi dari kaya logam hingga kaya oksigen, dari kaya Fe2+ yang membentuk lapisan wüstit FeO yang terletak pada lapisan antar muka oksida-logam hingga campuran Fe2+ dan Fe3+ pada bagian tengah yang disebut lapisan magnetit Fe3O4 (FeO. Fe2O3), dan akhirnya kaya Fe3+ yang membentuk lapisan hematit Fe2O3 pada lapisan permukaan terluar pada sisi uap dari pipa yang tersingkap oleh oksida dalam lingkungan uap lanjut (superheater steam).

Dari Gambar 3 tersebut merupakan struktur mikro dengan perbesaran 100 x, yang terdapat lapisan oksida pada sisi uap setebal 2,75 mils (0,07 milli meter), dan ada korosi sumuran sedalam 0,14 mm telah digunakan selama 14 tahun. Karena temperatur pada pipa yang terlalu tinggi atau adanya beberapa partikel yang korosif pada asap gas batubara dapat mempercepat oksidasi, keausan logam dan dapat mempercepat kegagalan.

Jika terjadi kegagalan operasi seperti sering terjadi hidup-mati (starting, shutdown) yang berulang pada PLTU batubara, maka kondisi uap lanjut tidak sempurna dan akan mengandung sedikit air atau ada kelengasan air. Dalam kondisi demikian, besi akan membentuk lapisan oksida tipis di bagian dalam yang berbentuk lapisan Fe3O4 (FeO. Fe2O3), yang diselubungi lapisan luar FeOOH yang berbentuk karat. Beberapa besi dalam bentuk oksida ferrous FeO dan sisanya dalam bentuk oksida ferric Fe2O3. Bagian luar lapisan FeOOH akan merembes ke dalam pipa karena adanya celah, dengan demikian air yang menguap akan mengakibatkan oksidasi sempurna dari magnetit menjadi terhidratasinya Fe2O3 atau FeOOH (Fe2O3.H2O = 2FeOOH), karena siap masuk

ke lingkungan oksigen. Dengan demikian magnetit akan bersifat keropos, yang terisi oleh air yang mengembun dan menyumpal karena hasil korosi dari oksida yang tidak dapat larut. Sehingga lapisan oksida tipis tetap menjaga pipa dari kehadiran uap air yang tidak terkontaminasi. Sehingga mekanisme elektrokimia dapat digambarkan timbul dari terleburnya bagian anodik besi pada lapisan magnetik bagian dalam, dengan reaksi sebagai berikut:

Fe → Fe2+ + 2e -

Ion ferrous yang jenuh atau mendekati jenuh, dan beberapa larutan dalam lubang yang keropos pada magnetit, bereaksi dengan oksigen pada permukaan luar magnetit membentuk magnetit tambahan dengan reaksi sebagai berikut:

3Fe2+ + 2OH- + ½ O2 → Fe3O4 + H2O

Pada reaksi reduksi katodik dapat ber-langsung sebagai berikut:

8FeOOH + Fe 2+ + 2e - → 3Fe3O4 + 4H2O

Dengan demikian besi ferric dalam karat FeOOH akan tereduksi menjadi besi ferrous magnetit Fe3O4 pada antar muka lapisan FeO dan Fe2O3. Jika ada kebocoran pipa sehingga oksigen dari atmosfir masuk melalui celah-celah pipa ke lapisan luar FeOOH, akan mengoksidasi kembali karat magnetit menurut reaksi sebagai berikut:

3Fe3O4 + 0,75 O2 + 4 ,5 H20 → 9 FeOOH

Dari beberapa pembahasan sebelumnya, dapat dikatakan bahwa proses pembentukan magnetit disebabkan kemungkinan karena atom oksigen mengalir ke arah dalam logam atau difusi atom besi ke arah luar. Karena oksigen merupakan atom yang relatif kecil, akan mempunyai laju difusi lebih cepat dalam lapisan kerak oksida magnetit daripada dalam besi. Sehingga lapisan bagian luar mempunyai kandungan besi yang sangat sedikit atau sisi kisi-kisinya sangat kekurangan atom besi.

Dalam penelitian ini diperoleh ketebalan lapisan oksida yang sangat bervariasi seperti ditunjukkan pada Tabel 1, dengan catatan bahwa: pada struktur makro hanya diamati beberapa titik saja, sedang sisi mikro diamati pada 8 titik saja. Proses pembentukan kerak pada sisi pembakaran tidak dibahas pada penelitian ini.

Page 5: 2128ac

Soedardjo, dkk. ISSN 0216 - 3128 145

Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta, 7 - 8 Agustus 2001

Hasil struktur makro tanpa dietsa pada sisi dalam pipa (sisi uap), dapat ditunjukkan pada Gambar 4. Untuk paduan feritik, proses pembentukan lapisan oksida dengan ketebalan biasanya sangat seragam atau merata. Proses pembentukan oksida biasanya bertambah ke arah dalam dan ke arah luar dari permukaan logam aslinya dan membentuk lapisan ganda.

Gambar 4. Struktur makro benda uji perbesaran 400 x.

Tabel 1. Ketebalan kerak dalam satuan mils untuk pipa primer pemanas lanjut keluaran.

Struktur Makro (tanpa di etsa) Struktur Mikro (dengan di etsa)

Sisi uap Sisi pembakaran Sisi uap Sisi pembakaran

0,62 3,98 1,18 3,14

0,78 - 1,37 3,91

0,78 - 1,37 4,30

0,83 - 1,57 4,59

0,98 - 1,57 5,13

- - 1,77 5,14

- - 2,36 5,30

- - 2,75 5,30

Lapisan bagian luar cenderung agak keropos karena kisi-kisinya kekurangan besi dan bergabung membentuk pori-pori yang tampak dengan jelas seperti ditunjukkan pada Gambar 4, yang merupakan struktur makro perbesaran 400 x, tanpa dietsa, dengan lapisan oksida pada sisi uap setebal 0,78 mils (0,02 mili meter), yang telah digunakan selama 14 tahun.

Proses pembentukan kerak oksida pada besi dan baja telah diamati dengan cermat setelah pipa digunakan pada jangka waktu 14 tahun di PLTU batu bara, dengan perbesaran pengamatan di bawah mikroskop sebesar 200 x, dapat dilihat pada Gambar 5. Biasanya proses penambahan ketebalan kerak oksida pada logam besi mengikuti hukum kelajuan secara parabolik. Dari Gambar 5 tersebut terlihat penetrasi oksigen sepanjang batas butir dan kerak oksidanya terlihat agak keropos.

Gambar 5. Lapisan oksida pada pipa SA 213 T12

ketebalan (20 milli meter). Untuk perhitungan sisa umur operasi pipa

keluaran primer pemanas lanjut dari ketel uap batubara, pada makalah ini penelitian dilakukan untuk kerak oksida di sisi uap yang paling tebal yaitu 2,75 mils. Dari rumus 3, diperoleh pe-nambahan suhu operasi sebesar ∆T = 2,4 X = 2,4 x 2,75 = 6,6 °R. Suhu

Page 6: 2128ac

146 ISSN 0216 - 3128 Soedardjo, dkk.

Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta, 7 - 8 Agustus 2001

operasi untuk pipa SA 213 T12 yang mempunyai kandungan 1 Cr - 1/2 Mo, dioperasikan di bawah suhu wüstite FeO sekitar T0 = 505 °C = 941 °F = 1401 °R, dengan catatan untuk paduan 1 - 3% Cr mempunyai ketebalan kerak dalam satuan mils dan suhu dalam satuan °R = °F + 460.

Setelah ada proses penambahan tebal kerak, sehingga suhu operasi pipa pemanas lanjut tersebut bertambah sebesar ∆T = 6,6 °R, maka suhu operasi absolutnya menjadi T1 = [1401 + 6,6] °R = 1407,6 °R. Khusus untuk kerak oksida di sisi uap baik melalui pengamatan secara makro dan mikro dengan ketebalan keraknya yang tercantum pada Tabel 1, selanjutnya akan dapat dihitung waktu operasi pipa dan ketebalan kerak secara teoritis seperti yang tercantum pada Tabel 2. Dari Tabel 2 merupakan hasil penghitungan waktu operasi pipa, untuk ketebalan kerak sisi uap secara teoritis sesuai dengan umur operasi pipa Khromoli (Cr-Mo) 1 – 3 %, dengan suhu operasi mula -mula 505 °C atau 941 °F atau 1401 °R) yang menggunakan perangkat lunak excel.

Dari hasil perhitungan yang tercantum pada Tabel 2, dapat disimpulkan bahwa untuk pipa yang

telah digunakan pada operasi ketel uap Pembangkit Listrik Tenaga Uap batu bara, jika dilakukan pemeliharaan yang baik dengan pencucian bahan kimia, seharusnya mempunyai ketebalan kerak pada sisi uap sekitar 0,83 mils atau 0,02 mm. Dari hasil analisis struktur mikro pada titik tertentu, proses terjadinya kerak oksida maksimum pada sisi uap adalah setebal 2,75 mils atau 0,08 mm. Hal tersebut secara teoritis seharusnya terjadi setelah pipa beroperasi selama 800 tahun lebih. Dengan demikian PLTU batubara yang diteliti perlu melakukan pembersihan secara kimiawi pada pipa-pipa primer pemanas lanjut keluaran, agar tidak terjadi penebalan kerak lebih lanjut yang dapat menurunkan kualitas uap pemanas lanjut dan merusak pipa itu sendiri serta mempercepat degradasi pada sudu-sudu turbin.

Berdasarkan teori, ambang batas pipa pemanas lanjut akan rusak jika mencapai LMP lebih dari 40.600, sedang dengan tebal kerak maksimum 2,75 mils atau 0,08 mm, LMP yang dicapai secara teoritis adalah 34951,51 atau masih jauh dari ambang batas kerusakan.

Tabel 2. Waktu operasi pipa teoritis.

Ketebalan kerak secara teoritis (mils)

Penambahan suhu karena ketebalan kerak (°R)

Waktu operasi pipa (tahun)

0,40 0,96 0,33

0,60 1,44 3,18

0,62 1,49 3,74

0,78 1,87 10,82

0,78 1,87 10,82

0,83 1,99 14,15

0,98 2,35 27,99

1,00 2,40 30,32

1,18 2,83 56,79

1,37 3,29 96,57

1,37 3,29 96,57

1,57 3,79 152,70

1,57 3,77 152,70

1,77 4,25 224,18

2,00 4,80 325,82

Page 7: 2128ac

Soedardjo, dkk. ISSN 0216 - 3128 147

Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta, 7 - 8 Agustus 2001

2,36 5,66 526,75

2,75 6,60 800,70

4,00 9,60 2032,30

6,00 14,40 4832,11

8,00 19,20 8183,00

10,00 24,00 11688,61

20,00 48,00 25352,85

40,00 96,00 27429,76

Dari Gambar 4, terlihat adanya korosi sumuran sedalam 5,51 mils atau 0,14 mm. Korosi sumuran termasuk korosi basah dan lokal berbentuk lobang yang dalam maupun dangkal, terjadi di permukaan logam. Berdasarkan Standar Australia untuk bejana tekan, dikatakan bahwa kelegaan korosi (corrosion allowance) minimum adalah 0,75 mm untuk paduan baja yang digunakan pada proses yang berhubungan dengan uap[7]. Yang dimaksud dengan kelegaan korosi disini adalah penambahan ketebalan pada diameter pipa atau pelat minimum adalah 0,75 mm, yang tujuannya untuk meng-antisipasi jika terjadi korosi maksimum 0,75 mm. Dengan demikian korosi sumuran sedalam 0,14 mm masih dapat diterima.

Dari ASME seksi VIII tentang bejana tekan tidak disebutkan masalah yang berkaitan dengan korosi sumuran, namun secara umum dari paragraf UG-45(b)(4), antara lain dikatakan bahwa ketebalan minimum pada dinding pipa baku dengan ketebalan tambahan untuk kelegaan korosi pada sambungan termasuk dalam ANSI/ASME B36.10M[8]. Ketebalan minimum untuk semua bahan dari ketebalan dinding yang terdaftar pada Tabel 2 dari ANSI/ASME B36.10M, adalah kurang dari 12%. Artinya, jika terjadi korosi, maka yang diijinkan maksimum adalah 12% dari ketebalan pipa baku. Jika ketebalan pipa baku yang diteliti adalah tebal 9,3 mm, maka tebal korosi maksimum adalah 12% dari 9,3 mm = 1,1 mm. Karena korosi sumuran hasil penelitian mempunyai kedalaman sekitar 0,14 mm, maka korosi sumuran tersebut masih dapat diterima.

Reaksi gas logam lainnya yang dapat terjadi pada sisi uap dari pipa-pipa adalah reaksi antara karbon dan uap sehingga membentuk karbon monoksida dan hidrogen, dengan reaksi sebagai berikut:

H2O + C → H2 + CO

Karbon menebar dari bagian dalam ke

permukaan logam sehingga reaksi antara uap dan karbon tersebut terjadi, yang kehabisan struktur mikro karbon dan membekaskan inti ferit murni. Jika logam mengalami dekarburisasi, sifat mekaniknya akan berkurang, kecuali pada kondisi ekstrim, lapisan dekarburisasi tersebut tetap tipis dan tidak mempengaruhi umur pipa. Pada Gambar 3, dekarburisasi nampak sedikit di bawah lapisan wüstit FeO.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa proses pembentukan kerak oksida pada pipa pemanas lanjut diakibatkan karena adanya reaksi antara besi dengan uap air, sehingga membentuk Fe304 dan hidrogen. Dari Tabel 2 perhitungan secara teoritik, untuk pipa pemanas lanjut yang telah dioperasikan selama 14 tahun, mempunyai tebal kerak oskidanya hanya 0,83 mils. Dari hasil penelitian pipa keluaran pemanas lanjut primer ternyata telah mengalami kegagalan fungsinya. Karena tebal kerak maksimum pada sisi uap setelah dioperasikan selama 14 tahun dari hasil analisis struktur mikro setebal 2,75 mils. Tebal kerak oksida dari hasil penelitian lebih tebal dari hasil perhitungan secara teoritik, maka perlu dilakukan pembersihan secara kimiawi pada pipa-pipa primer pemanas lanjut keluaran, agar tidak terjadi penebalan kerak lebih lanjut yang dapat merusak kualitas pipa tersebut. Dari segi korosi sumuran masih diijinkan kedalamannya berdasarkan standar Australia "SAA Unfired Pressure Vessels Code", AS 1210 - 1983, Standards Australia, 1983 dan dari ASME seksi VIII.

UCAPAN TERIMA KASIH

Page 8: 2128ac

148 ISSN 0216 - 3128 Soedardjo, dkk.

Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta, 7 - 8 Agustus 2001

Penulis mengucapkan terimaksih kepada Pimpinan dan sataf PLTU Batubara Suralaya Unit II, JTK-LMK-PLN Persero yang telah memberi bahan untuk dianalisis.

DAFTAR PUSTAKA

1. DAVID N. FRENCH, Metalurgical Failures in Fossil Fired Boilers, John Wiley & Sons, Inc., NY., hal. 277 dan hal. 286.

2. ANONYMOUS, Specification for Seamless Ferritic and Austenitic Alloy-steel Boiler, Superheater, and Heat- Exchanger Tubes, SA – 213/ SA 213M, ASME Boiler and Pressure Vessel Code, Section II, Material Specification, Part A – Ferrous, 1991 addenda, 1989 edition, hal. 223 – 230.

3. SYAFII SYAMAT, Hasil Ukur Ketebalan Pipa Sample Boiler PLTUS Unit II, PT. PLN (Persdero), Jasa Teknik Kelistrikan, LMK, 1998.

4. ANONYMOUS, Superheater Reheater Tube Schematic, PLTU Suralaya Power Plant, Drawing No.: PLN 7000-910-00708.

5. TATA SURDIA dkk., Pengetahuan Bahan Teknik, PT. Pradnya Paramita, 1985, hal. 107 - 108.

6. R. VISWANATHAN, Damage Mechanisms and Life Assessment of High-Temperature Components , ASM International, Ohio, 1989, hal. 229.

7. ANONYMOUS, SAA Unfired Pressure Vessels Code, AS 1210 - 1983, Standards Australia, 1983.

8. ANONYMOUS, SECTION VIII, Rules for Construction of Pressure Vessels Division I, 1995 Edition, July 1, 1995, hal. 58.

TANYA JAWAB

M. Yanis Musdja

− Parameter apa saja yang mempengaruhi terjadinya korosi dalam penelitian ini dan bagaimana setiap parameter tersebut bisa dihitung dengan metode ini.

Soedardjo

− Parameter yang mempengaruhi terjadinya korosi pada penelitian ini antara lain kualitas uap air, suhu uap air. Kualitas uap air tergantung sistem purifikasi air yang digunakan di boiler. Suhu uap air akan mempengaruhi kerak oksida yang terbentuk. Purifikasi atau water

chemistry flushing dilakukan dengan sodium sulfat (Na2SO2), hydrazine (N2H2) dan phospat (PO4). Selang waktu flushing jika tidak pernah di-lakukan, maka pipa gagal 100%, setelah beroperasi 1000.000 jam. Jika flushing dilaku-kan setiap 10.000 jam hingga 40.000 jam, maka pipa akan rusak setelah 10.000 jam operasi.

• Wustite dengan kandungan oksid 23% ter-bentuk hingga suhu 910 oC dan pada penurunan suhu hingga 560 oC kandungan oksidanya adalah 23,25% .

• Di bawah 560 oC terbentuk maanetite dengan kandungan oksida 27,75%, dan hematit dengan kandungan oksida 30,06%.

Suyamto

− Bagaimana ini ceritanya kok bahan milik suralaya, apa kaitannya dengan Batan.

− Kok penulis bisa cerita proses pembentukan kerak yang sangat lama. Apakah penulis mengikuti dan mengamatinya sendiri.

Soedardjo

− Babcock Wilcox, mencari fasilitas yang mempunyai replika, lab. metalografi dan alat creep yang punya antara lain P2TkN dan LUK, untuk PLTU suralaya II, sekarang untuk suralaya III, P2TkN juga berperan. Kaitannya mengem-bangkan teknologi remaining life assessment komponen boiler suhu tinggi di atas 500 oC (540 oC fixed boiler suralaya).

− Ya, melalui prediksi metalografi, tebal kerak, lalu mengetahui parameter REHN log x = 0,00228-7,25, p diperoleh lalu LMP P = T (oR) [20 + log t (jam)], t diketahui umur T dicari operasi dari data suralaya. Kerak oksida juga diamati dengan EDAX (EDF) lalu diprediksi suhu operasinya.

M. Husna Al Hasa

− Prediksi apa yang dapat dikemukakan setelah diketahui bahwa tebal kerak oksida yang terbentuk relatif lebih tebal dari persyaratan yang dijinkan berdasarkan teori Rehn yaitu 0,002 mm.

− Saran apa yang dapat dikemukakan kepada pihak industri agar kondisi tebal kerak tersebut tidak terjadi melampaui batas yang dijinkan sehingga kondisi pipa uap tersebut masih dapat berfungsi baik.

Soedardjo

Page 9: 2128ac

Soedardjo, dkk. ISSN 0216 - 3128 149

Prosiding Pertemuan dan Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TM-BATAN Yogyakarta, 7 - 8 Agustus 2001

− Pipa belum gagal terlalu parah dari segi larson miller parameter, tetapi perlu chemical flushing sesering mungkin.

− Chemically clean, baik dengan hidrazine (N2Ha), sodium sulfat (Na2SO3) atau phospat (PO4), setiap 10.000 jam hingga 40.000 jam operasi boiler.

Budi Briyatmoko − Apa yang disebut dengan parameter Larson

Miller.

− Apa yang disebut dengan t eori Rehn, jelaskan.

Soedardjo

− Parameter Larson Miller adalah parameter untuk menghitung umur operasi suatu komponen yang beroperasi pada suhu tinggi, tergantung suhu dan lama operasinya.

− Teori Rehn adalah penghitungan tebal kerak berdasarkan parameter Larson Miller, log x = 0,00022 P-7,25, x = tebal kerak, P = parameter Larson Miller T (oR) [20 + log t (jam)], T = suhu, t = waktu operasi.