128220408201004481
-
Upload
mohammad-naufal -
Category
Documents
-
view
917 -
download
11
Transcript of 128220408201004481
![Page 1: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/1.jpg)
1
KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL
DALAM
GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA (Kajian Pragmatik)
DISERTASI
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Doktor Program Studi Linguistik Minat Utama Linguistik Pragmatik dan Dipertahankan di Hadapan Sidang
Senat TerbukaTerbatas di Bawah Pimpinan Rektor Universitas Sebelas Maret
Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ. (K) Pada Hari Rabu Kliwon, 7 April 2010
Oleh :
Maryono NIM. T 130906005
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI LINGUISTIK (S3)
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
![Page 2: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/2.jpg)
2
SURAKARTA 2010
DISERTASI
KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL
DALAM
GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA
( Kajian Pragmatik)
Oleh :
Maryono NIM. T 130906005
DISETUJUI OLEH PEMBIMBING
1. Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana. ………………………… NIP. 194 406 021 965 112 001 (Promotor)
2. Prof. Dr. T. Slamet Suparno, S.Kar.,M.S. …………………………
NIP. 194 812 191 975 011 001 (Ko-Promotor )
Mengetahui
Ketua Program Studi S3 Linguistik
![Page 3: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/3.jpg)
3
Prof. Dr. H. D. Edi Subroto. NIP. 194 409 271 967 081 001
KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL DALAM
GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA ( Kajian Pragmatik)
DISERTASI
UNTUK MEMPEROLEH GELAR DOKTOR DALAM BIDANG LINGUISTIK MINAT UTAMA: LINGUISTIK PRAGMATIK
DIPERTAHANKAN DI HADAPAN DEWAN PENGUJI PADA SIDANG SENAT TERBUKA TERBATAS PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA PADA TANGGAL: 7 APRIL 2010
OLEH: MARYONO LAHIR DI BOYOLALI, 15 JUNI 1960
DEWAN PENGUJI:
1. Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ. (K) ....................................
(Penguji Utama)
2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D. ....................................
(Sekretaris merangkap Anggota)
3. Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana. ....................................
(Promotor merangkap anggota)
4. Prof. Dr. T. Slamet Suparno, S.Kar., M.S. ....................................
(Ko-Promotor merangkap anggota)
5. Prof. Dr. H. D. Edi Subroto. ....................................
(Anggota)
6. Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo. ....................................
(Anggota)
7. Prof. Dr. H. Soetarno, DEA. ....................................
(Anggota)
8. Dr. Sumarlam ., M.S. ....................................
(Anggota)
![Page 4: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/4.jpg)
4
Mengetahui Rektor Universitas Sebelas Maret
Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ. (K)
NIP. 194611021976091001 SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Maryono
NIM : T 130906005
Program : Pascasarjana (S3) UNS
Program Studi : Linguistik
Tempat/Tanggal Lahir : Boyolali, 15 Juni 1960
Alamat : Melikan Rt 01, Rw 08, Palur,
Mojolaban, Sukoharjo
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa disertasi saya yang berjudul:
KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL DALAM GENRE TARI
PASIHAN GAYA SURAKARTA (Kajian Pragmatik) adalah asli (bukan jiplakan)
dan belum pernah diajukan oleh penulis lain untuk memperoleh gelar akademik
tertentu.
Semua temuan, pendapat atau gagasan orang lain yang dikutip dalam disertasi ini
ditempuh melalui tradisi akademik yang berlaku dan dicantumkan dalam sumber
rujukan dan atau dalam Daftar Pustaka.
Apabila kemudian terbukti pernyataan ini tidak benar, saya sanggup
menerima sangsi yang berlaku.
![Page 5: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/5.jpg)
5
Surakarta, 7 April 2010
Yang membuat pernyataan
Maryono
KATA PENGANTAR
Syukur alhamndulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas ridha dan
kehendak-Nya, sehingga disertasi ini dapat selesai tepat pada waktu yang
diharapkan.
Sepenuhnya penulis sadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, mustahil
disertasi ini dapat selesai. Untuk itu, kanthi linambaran trapsilaning manah,
perkenankan penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. H. Much Syamsulhadi, dr., Sp.KJ (K), Rektor UNS yang telah
memberi kesempatan penulis untuk menyelesaikan studi program doktor di
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Prof. Dr. H. Soetarno, DEA, atas dukungan dan nasihat sejak masih menjabat
Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta sampai sekarang sehingga
penulis dapat menyelesaikan program doktor di UNS.
3. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberi kesempatan penulis
untuk menyelesaikan studi program doktor di UNS.
4. Prof. Dr. H. D. Edi Subroto, selaku Ketua Program Linguistik S3 UNS dan
atas bimbingan melalui berbagai disiplin yang telah diberikan kepada penulis
sebagai bekal dalam menyelesaikan disertasi.
5. Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana, sebagai promotor yang dengan sabar telah
membimbing, mengarahkan, dan mengoreksi sehingga penulis meraih gelar
doktor.
![Page 6: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/6.jpg)
6
6. Prof. Dr. T. Slamet Suparno, S.Kar., M.S, sebagai Ko-Promotor, yang telah
membimbing, dan mengoreksi sehingga penulis meraih gelar doktor.
7. Prof. H.B. Sutopo, M.Sc., M.Sc, Ph.D (almarhum) yang dengan sabar telah
membimbing, mengarahkan, mengoreksi, dan yang menghantarkan sampai
ujian tertutup sehingga penulis dapat berlanjut meraih gelar doktor.
8. Prof. Dr. Soepomo Poedjosudarmo; Prof. Dr. Kunardi Hardjoprawiro, M.Pd;
Prof. Dr. Joko Nurkamnto; Prof. Dr. Maryono Dwiraharjo, S.U; Dr.
Sumarlam., M.S, yang telah memberikan disiplin Linguistik untuk bekal
penulis menyelesaikan disertasi.
9. Sunarno S.Kar., M. Sen, sebagai nara sumber primer tari Bondhan Sayuk dan
jenis tari pasihan lainnya, yang telah memberikan informasinya sehingga
penulisan disertasi ini dapat selesai.
10. Sutarno Haryono S.Kar., M. Hum, sebagai teman seperjuangan dan
motivator yang mendorong penulis untuk studi S3 dan berhasil meraih gelar
doktor.
11. Sri Wahyuningsih sebagai istri dan anak-anakku: Risang Janur Wendo, Laras
Ambika Resi, Linggo Sasikirana, dan Hoyi Anggraeni yang telah
memberikan semangat dan doanya kepada penulis sehingga disertasi ini cepat
selesai.
12. Selamat jalan istriku yang tercinta dan tersayang Sri Djarwanti S.Kar, ke
hadapan-Mu ya Allah, semoga atas pengorbanan dan kasihmu selama ini,
saya selalu berdoa semoga Allah SWT menerima dan memasukkan belahan
hatiku dalam golongan orang ahli surga di hari Akhir. Amin.
13. Pemerintah Republik Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Dirjen
Dikti yang telah memberi Bea Siswa (BPPS).
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf kepada semua pihak
apabila terdapat kekurangan dan kesalahan yang penulis perbuat selama
menyelesaikan disertasi ini. Semoga Allah tetap membimbing kami. Amin.
![Page 7: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/7.jpg)
7
Surakarta, 7 April 2010
Peneliti
Maryono
Maryono: T 130906005. 2010. KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL DALAM GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA (Kajian Pragmatik). Disertasi. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
ABSTRAK
Topik penelitian ini adalah Komponen Verbal dan Nonverbal dalam Genre Tari Pasihan Gaya Surakarta (kajian Pragmatik). Tujuan penelitian untuk memahami makna bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan pada ritual perkawinan adat Jawa di Surakarta dengan menganalisis secara rinci, akurat, dan mendalam untuk menemukan dan mendeskripsikan: (1) Komponen verbal genre tari pasihan berupa sastra tembang dalam syair: pathetan, sindhènan, gérongan, dan jineman. Kajian komponen verbal ini untuk mengungkap: jenis-jenis tindak tutur (TT) yang dominan, fungsi TT, realisasi prinsip kerja sama, realisasi strategi kesantunan, dan implikatur. (2) Komponen nonverbal genre tari pasihan berupa: tema, gerak tubuh (kinetic body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan gamelan (musik). (3) Menjelaskan hubungan komponen verbal yang bersifat kebahasaan dan nonverbal yang bersifat nonkebahasaan genre tari pasihan, untuk mengungkap bentuk hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung dan implikatur genre tari pasihan. (4) Menjelaskan latar belakang konsepsi penciptaan komponen verbal dan nonverbal genre tari pasihan, dan (5) Menjelaskan persepsi masyarakat terhadap kehidupan genre tari pasihan gaya Surakarta.
Bentuk penelitian yang digunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan kritik holistik yang secara fokus, lengkap, dan seimbang mengkaji tiga faktor yaitu genetik, objektif, dan afektif sebagai sumber aliran nilai. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal terpancang (embedded case study research). Teknik pengumpulan data yang sesuai dengan penelitian kualitatif dan jenis sumber data yang dimanfaatkan adalah: wawancara mendalam (in-depth interviewing), observasi, mencatat dokumen dan arsip (content analysis).
Untuk mengungkap permasalahan yang menjadi tujuan penelitian disertasi ini, peneliti menggunakan kajian: (1) teori pragmatik, (2) teori budaya, (3) teori seni pertunjukan, dan (4) teori komunikasi. Keempat teori tersebut digunakan untuk
![Page 8: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/8.jpg)
8
menganalisis makna pragmatik genre tari pasihan gaya Surakarta secara komplementer. Secara prinsip teori pragmatik merupakan alat kajian yang utama terkait dengan sistem kebahasaannya yang terfokus untuk menganalisis jenis-jenis TT, jenis TT yang dominan, fungsi TT, realisasi prinsip kerja sama, realisasi strategi kesantunan, implikatur, dan daya pragmatik. Teori budaya dan teori seni pertunjukan untuk menganalisis faktor nonkebahasaan yang berupa unsur-unsur karya seni. Teori komunikasi untuk mengkaji keterkaitan antarfaktor genetik, objektif, dan afektif. Trianggulasi keempat teori tersebut merupakan sarana untuk menjamin dan mengembangkan validitas data dalam mengungkap makna pragmatik genre tari pasihan gaya Surakarta.
Pokok-Pokok Temuan Penelitian. Jenis–jenis TT yang terdapat dalam genre tari pasihan gaya Surakarta terdiri dari beragam jenis yaitu: TT asertif, TT komisif, TT ekspresif, TT direktif, TT verdiktif, dan TT patik. Dari beragam jenis TT yang terdapat pada genre tari pasihan, jenis TT yang dominan adalah TT direktif.
Pada penerapan prinsip kerja sama dalam bahasa verbal genre tari pasihan terjadi pelanggaran maksim kuantitas dan maksim cara, sedangkan maksim kualitas dan maksim hubungan dipatuhi. Prinsip kesantunan yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan didapatkan penggunaan strategi TT dengan kesantunan positif dan strategi TT secara tidak langsung (off record).
Implikatur yang terdapat dalam jenis-jenis tari pasihan menunjukkan adanya simbolisasi percintaan sepasang suami istri yang dalam perjalanan kisahnya berawal dalam menghadapi permasalahan, kemudian mendapat solusi yang berangsur-angsur membaik dan berakhir bahagia. Kehadiran tari pasihan hampir dapat dipastikan disajikan dalam resepsi perkawinan merupakan wahana untuk mewisuda sepasang temantèn. Rupanya terdapat keterkaitan yang sangat erat antara kehadiran tari pasihan dalam resepsi perkawinan dengan sepasang temantèn. Implikatur yang utama pada kehadiran genre tari pasihan dalam resepsi perkawinan adalah untuk dapat diteladani dan memberikan sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temantèn.
Merujuk implikatur-implikatur yang diperikan dari komplementer komponen verbal dan nonverbal jenis-jenis tari pasihan dapat diungkapkan bahwa bentuk daya pragmatik genre tari pasihan adalah berupa nasihat-nasihat tentang cinta kasih yaitu pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan kebersamaan dalam menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi figur suami dan figur istri. Nasihat-nasihat tentang cinta kasih tersebut bermanfaat bagi sepasang temantèn sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dalam membangun sebuah keluarga.
Bentuk genre tari pasihan merupakan perpaduan dua komponen besar yaitu verbal dan nonverbal. Berdasarkan jabaran komponen tersebut dapat diketemukan ciri karakteristik genre tari pasihan sebagai berikut: (a) bahasa verbal berbentuk tembang Jawa bernuansa cinta; (b) bahasa verbal yang digunakan berdasarkan status sosial; (c) hubungan komponen verbal dan nonverbal bersifat langsung dan tidak langsung; (d) tema percintaan; (e) cerita berakhir dengan bahagia (happy end); (f) disajikan berpasangan pria dan wanita; (g) pesannya berupa nasihat tentang cinta kasih; (h) gerak representatif dan presentatif diekspresikan penari dalam kualitas lembut, halus, dan romantis.
![Page 9: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/9.jpg)
9
Berdasarkan temuan penelitian dan hasil pembahasan dari keterkaitan tiga faktor objektif, genetik, dan afektif dapat disimpulkan bahwa kehadiran genre tari pasihan dalam upacara ritual resepsi perkawinan berfungsi sebagai hiburan dan suritauladan. Kehadiran genre tari pasihan dalam resepsi perkawinan dimaksudkan oleh seniman untuk mengajak, meminta dan menyuruh sepasang temantèn untuk memahami dan meresapi pesan yang terkandung dalam bahasa verbal sastra tembang, yang disampaikan dengan bahasa nonverbal dalam bentuk visual yang estetik, supaya pasangan temantèn tersebut melakukan tindakan atau perbuatan seperti yang dicontohkan dalam pertunjukan tari pasihan tersebut. Maksud dan harapan seniman penyusun tersebut ditangkap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang harus diteladani, mengingat gambaran percintaan pasangan suami istri yang romantis, harmonis, dan bahagia yang terdapat dalam tari tersebut dirasa sangat tepat dan diterima dengan jelas, mantap sebagai suatu bentuk pendidikan yang bersifat tidak langsung dan sangat bermanfaat bagi sepasang temantèn untuk menjalani kehidupan yang lebih baik dalam menggapai keluarga bahagia lahir dan batin. Maryono: T 130906005. 2010. VERBAL AND NONVERBAL COMPONENTS IN THE SURAKARTA STYLE PASIHAN DANCE GENRE (A Pragmatic Study). Dissertation. Postgraduate Program Sebelas Maret University Surakarta.
ABSTRACT
The topic of this research is Verbal and Nonverbal Components in the Genre of the Pasihan Dance Surakarta Style. Using a pragmatic approach the aim of the research is to understand the meaning of the verbal and nonverbal language in the pasihan dance genre (a dance genre with a romantic or love theme) in the traditional Javanese wedding rituals in Surakarta by carrying out a detailed, accurate, and in-depth analysis, in order to discover and describe: (1) the verbal components in the pasihan dance genre, in the Javanese poems in: pathetan, sindhènan, gérongan, and jineman. This study of the verbal components is intended to reveal: the dominant types of speech acts, the functions of the speech acts, the realization of the cooperative principles, the realization of the politeness principles, and the implicatures; (2) the nonverbal components in the pasihan dance genre, in the form of: themes, kinetic body moves, facial expressions (polatan), floor designs, make-up, costume, and musical accompaniment played on the gamelan; (3) the relationship between the verbal and the nonverbal components in the pasihan dance genre, in order to reveal the direct and indirect relationships and implicatures of the pasihan dance genre; (4) the background of the conception of the creation of verbal and nonverbal components in the pasihan dance genre, and (5) people’s perception of the existence of the Surakarta style pasihan dance genre. The research takes the form of a qualitative study using a critical holistic approach which provides a focused, comprehensive, and balanced study of three factors, namely genetic, objective, and affective factors as the source of the values. The strategy used for this research is that of an embedded case study. The techniques used for collecting data, in accordance with the qualitative research and types of data sources available, include in-depth interviews, observation, and content analysis.
![Page 10: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/10.jpg)
10
In order to discover the issues which are the object of the research for this dissertation, the researcher uses theoretical studies of (1) pragmatic theories, (2) cultural theories, (3) performing arts theories, and (4) communication theories. These four theories are used to provide a complementary analysis of the pragmatic meaning of the Surakarta style pasihan dance genre. In principle, the main tool is the pragmatic theory, in connection with the linguistic system which focuses on analyzing the different types of speech acts, the dominant types of speech acts, the function of the speech acts, the realization of the cooperative principles, the realization of the politeness principles, the implicatures, and the pragmatic power. The cultural and performing arts theories are used to analyse nonverbal language factors which are in the form of elements of the work of art. The communication theories are used to examine the connection between the genetic, objective, and affective factors. A triangulation of these theories is used as a means of securing and developing the validity of the data to discover the pragmatic meaning of the Surakarta style pasihan dance genre. The main findings of the research showed that there are various kinds of speech acts found in the Surakarta style pasihan dance genre, numely: assertive, commissive, expressive, directive, verdictive, and phatic. Of all these different types, the most dominant kind of speech act found in the pasihan dance genre is the directive speech act.
The application of cooperative principles in the verbal language of the pasihan dance genre of shows a deviation in maxims of quantity and maxims of manner, while maxims of quality and maxims of relation are adhered to. The principle of politeness applied in the verbal language of the pasihan dance genre uses the strategy of positive politeness and performs off record speech acts.
The implicature found in the different types of pasihan dance indicates that there is a symbolization of love between husband and wife, who throughout the course of the story encounter problems but subsequently find a solution. It gradually resolves their difficulties and ultimately brings about a happy ending. The pasihan dance is almost always performed at wedding receptions which are a medium for officially announcing the marriage of a newly wed couple. There is a very close connection between the presence of the pasihan dance and the bride and groom at a wedding reception. The main implicature of the presence of the pasihan dance genre at a wedding reception is that it sets an example and offers indirect suggestions for the newly wed couple to follow.
With reference to the implicatures obtained from the combination of verbal and nonverbal components in different types of the pasihan dances, show that the form of pragmatic power in the pasihan dance genre is advise about love and affection, for married couple to enjoy a romantic, harmonious, and happy relationship; to display equality and togetherness; and to show an ideal attitude between husband and wife. This advice about love and affection is beneficial for a newly married couple. It provides them with knowledge to lead a better life as they set out to build a new family. The form of the pasihan dance genre is a combination of two main components, namely verbal and nonverbal. Based on the description of these two components, the characteristics of the pasihan dance genre are as follows: (a) Verbal language in the form of Javanese sung poems with a romantic nuance; (b) Verbal language which is used according to social status; (c) A direct and indirect connection between the verbal and nonverbal components; (d) A romantic theme; (e)
![Page 11: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/11.jpg)
11
A story with a happy ending; (f) A performance by a pair of dancers, one male and one female; (g) Advice about love affection; (h) Representative and presentative movements expressed by the dancers with soft, refined, and romantic qualities.
Based on the findings of the research and the results between the objective, genetic, and affective factors, it can be concluded that the performance of the pasihan dance genre at a wedding reception for the newly married couple to follow. The presence of the pasihan dance genre at a wedding reception is intended by the performing artists as a means of inviting, asking, and telling the bride and groom to understand and absorb the message in the verbal language of the text, and conveyed using nonverbal language in a visual and aesthetical form. It as hoped that they will act and behave like the example displayed in the performance of the pasihan dance. The hope and intention of the artists is captured by the audience who view the dance as a good example to follow, recognizing it as a portrayal of a romantic, harmonious, and happily married couple which is felt to be highly appropriate and also educative in an indirect way. This is highly beneficial for the newly married couple as they enter into their new lives, and strive to create a happy family, in both worldly and spiritual aspects.
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ……………….………………..………………………………….….…...i
PENGESAHAN……………………………………………….…….………….….ii
PEMERTAHANAN…………………………………………………………….…iii
PERNYATAAN………………………………………………………..………….iv
KATA PENGANTAR……………………………………………………………..v
ABSTRAK…………………………………………………………….…….……vii
ABSTRACT……………………………………………………………..………… ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………….…..……....xi
DAFTAR TABEL ………….……………………………………………….......xvii
DAFTAR BAGAN………………………………….………..……...……..........xix
DAFTAR GAMBAR / FOTO……………………………………..………..……xx
DAFTAR SINGKATAN ……………………………………..……….……...…xxi
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………….……....…..…....xxii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….……….……. 1
A. Latar Belakang Masalah………..……..………………….……….……....1
B. Rumusan Masalah …………………………………...……….......……..16
C. Tujuan Penelitian………………………………………..………….........16
![Page 12: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/12.jpg)
12
D. Manfaat Penelitian……………………………………….........................17
BAB II KAJIAN TEORI, PENELITIAN YANG RELEVAN, DAN KERANGKA
PIKIR……………………………………………………………………………..18
A. Kajian Teori……………………………………………………………............18
1. Teori Pragmatik…………………....................……………..............................20
a. Konteks dalam pragmatik………………………………..………….………23
b. Teks………………………………………….……………...........................29
c. Tindak Tutur (TT)…………………………………….…………….….…...39
c.1. Tindak Tutur menurut Austin (1956)……………..............................41
c.2. Tindak Tutur menurut Searle (1979)………….. .………..………….45
c.3. Tindak Tutur menurut Yule (1996)…………………........………….46
c.4. Tindak Tutur menurut Kreidler (1998)…………...............................48
d. Prinsip Kerja Sama (PKS)…… …………………………………………....53
e. Prinsip Kesantunan (PS)…………………….…….……….………….…......58
e.1. Skala Kesantunan Leech (1983)……………………..…….................58
e.2. Skala Kesantunan Brown dan Levinson (1987)………..………….....60
f. Implikatur …………………………………….…….…………….....…….....62
g. Daya Pragmatik…………………………………….…………………….….64
2. Teori Budaya………………………………………………...………….……...66
a. Bentuk Ide atau Gagasan……...……………………….…………....….70
b. Bentuk Aktivitas………….……………………….…..………….....…70
c. Benda Fisik………………………………………………….….…....…71
3. Teori Seni Pertunjukan…………………………..…………………............…..71
a. Tema ………………………………………………………....….….…74
b. Gerak Tubuh (kinetic body moves)………………………. …….….…74
c. Polatan (ekspresi wajah) ……………………………..…….…..…......77
d. Pola Lantai (floor design)……………………………… ……...……...78
e. Rias ……………………………………………….……….….……….79
f. Busana ………………………………………………….……….……..80
g. Iringan (gendhing beksa) ………………………………………….......81
h. Estetik…………………………………………....................………….82
![Page 13: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/13.jpg)
13
4. Teori Komunikasi ………..…………………….…...........................................83
a. Komunikator…………………………………………………....…..…85
b. Sarana atau Media…………………………………………….….…....86
c. Komunikan……………………………………….………….………...88
B. Penelitian yang Relevan…………………..…………………………..…...…..90
C. Kerangka Pikir…………………………………………………....…….……...91
BAB III METODOLOGI PENELITIAN……………………………….….….…93
A. Sasaran dan Lokasi Penelitian…………………..…………..……. …….…….93
B. Bentuk dan Strategi Penelitian…………………………...................................94
C. Jenis Data dan Sumber Data…………………….………………………….…96
D. Teknik Cuplikan (sampling)…………………………… …………….............97
E. Teknik Pengumpulan Data ……………………………….…..……………….98
1. Wawancara Mendalam (in-depth interviewing)………..............................98
2. Observasi …………………………………………………………....…..102
3. Mencatat Dokumen dan Arsip (content analysis)………..........................103
F. Pengembangan Validitas ………………………………..........………..….…103
G. Teknik Analisis………………………………………………..………… ….106
BAB IV KOMPONEN VERBAL GENRE TARI PASIHAN GAYA
SURAKARTA......................................................................................................110
A. Komponen Verbal…………………………………………………….….…..110
B. Komponen Verbal Tari Karonsih………………………………………….…112
1. Teks Pathetan Wantah Laras Pélog Pathet Lima…………..………. ….112
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah………..........................…. …113
b. Konteks ………………………………………............................. …..114
c. Fungsi Tindak Tutur ................…………………………………..…..115
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama…………………..…..............................116
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ……………………...............................117
f. Implikatur …………………………..………...................................…117
2. Teks Sindhènan Pangkur Ngrénas Laras Pélog Pathet Lima ……….....118
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah.…………….………….....….118
b. Konteks …………………………………..........................……..…...119
![Page 14: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/14.jpg)
14
c. Fungsi Tindak Tutur …………………………………………......…..120
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama ……………………......................….....121
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ………………................................…..122
f. Implikatur …………………………..………..................................…123
3. Teks Sindhènan Kinanthi Sandhung Laras Sléndro Pathet Manyura ….124
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah.…………….…………......…125
b. Konteks ……………………………………….............................…...126
c. Fungsi Tindak Tutur ………………………………………...........…..128
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama ………………….................……..…....129
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ……………....................................…...131
f. Implikatur …………………………..………...................................…132
4. Teks Gérongan Lambangsari Laras Sléndro Pathet Manyura ………...132
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah.…………….………....…..…133
b. Konteks ………………………………………..….......................... ..135
c. Fungsi Tindak Tutur ………………………………………..…..........137
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama …..................………………..…...........139
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ………..............................…….......…..141
f. Implikatur …………………………..………........................................142
C. Komponen Verbal Tari Bondhan Sayuk………………………………..….…144
1. Teks Sindhènan Mijil Sulastri Laras Pélog Pathet Barang......................144
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah …………….………..…....…144
b. Konteks ………………………………………..............................…..145
c. Fungsi Tindak Tutur ………………………….……………..........…..147
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama ………………....................…...............148
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ……………................................….......149
f. Implikatur …………………………..……...................................……150
2. Teks Jineman Sayuk Laras Pélog Pathet Barang ……................………150
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah …………….….……….....…151
b. Konteks ……………………………………...........................…...…..152
c. Fungsi Tindak Tutur ………………………………………..........…..153
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama ……………………...............................154
![Page 15: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/15.jpg)
15
e. Realisasi Prinsip Kesantunan …………….....................................…..155
f. Implikatur …………………………..…………...................................157
3. Teks Gérongan Ladrang Sayuk Laras Pélog Pathet Barang …..............157
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah ……….….………........….…158
b. Konteks ……………………………………............................…..…..159
c. Fungsi Tindak Tutur …………………………………..……..........….160
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama …………………....................…...........161
e. Realisasi Prinsip Kesantunan ……..............................……….......…..162
f. Implikatur …………………………..……...................................……163
4. Teks Gérongan Lancaran Sayuk Laras Pélog Pathet Barang …...…….164
a. Jenis-jenis Tindak Tutur dan Pemarkah.…………….…….…….....…164
b. Konteks ………………………………………...............................….165
c. Fungsi Tindak Tutur ……………………………….……..............…..166
d. Realisasi Prinsip Kerja Sama ……………….......................................167
e. Realisasi Prinsip Kesantunan …………….....................................…..168
f. Implikatur ………………………….....................................…………169
BAB V KOMPONEN NONVERBAL GENRE TARI PASIHAN GAYA
SURAKARTA………………………………………………………….….……171
A. Komponen Nonverbal………………………………………………….…….171
B. Komponen Nonverbal Tari Karonsih……………………….………….…….172
1. Tema………………………………..…………………………….….…..173
2. Kinetic Body Moves atau Gerak Tubuh …..…………………………......182
3. Polatan (ekspresi wajah)…………………………………………….......194
4. Rias dan Busana………………………………….……....…...................197
5. Pola Lantai…………….…………………..…………………….............198
6. Iringan Tari…………………………………….….…….……….......….200
7. Estetik……………………………………………............……………..216
C. Komponen Nonverbal Tari Bondhan Sayuk………………………..……….…..220
1. Tema………………………………………..………….………………..220
2. Kinetic Body Moves atau Gerak Tubuh ….……………………….….…224
3. Polatan (ekspresi wajah)………………….……….…………….….…..234
![Page 16: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/16.jpg)
16
4. Rias dan busana………………………………….………………….......236
5. Pola Lantai……………………………….…………………….....….….237
6. Iringan Tari..……………………………………..…….….…………….238
7. Properti Boneka………………………………………...…………….....247
8. Estetik.……………………………………………............…………….248
BAB VI HUBUNGAN KOMPONEN VERBAL DAN NONVERBAL GENRE
TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA…………………………………..….252
A. Hubungan Komponen Verbal dengan Nonverbal Tari Karonsih………...…253
1. Adegan Pencarian………………………..…………………………..…253
2. Adegan Pertemuan……………………………………………………...259
3. Adegan Bahagia………………………………..…………………….....264
B. Hubungan Komponen Verbal dengan Nonverbal Tari Bondhan Sayuk….…277
1. Adegan Kasmaran (percintaan)………………………………………...278
2. Adegan Kekudangan (menimang anak)………………………………...281
3. Adegan Makarya (bekerja)…………………….…………………...…..289
BAB VII KONSEPSI PENCIPTAAN DAN PERSEPSI MASYARAKAT
TERHADAP GENRE TARI PASIHAN GAYA SURAKARTA………………295
A. Konsepsi Penciptaan Komponen Verbal dan Nonverbal Tari Karonsih dan Tari
Bondhan Sayuk……………………………………….……..…………………..295
B. Persepsi Masyarakat terhadap Genre Tari Pasihan……………………....….310
1. Genre Tari Pasihan sebagai Hiburan………………..…………..….…..311
2. Genre Tari Pasihan sebagai Keteladanan…………….....…………. .…314
BAB VIII PEMBAHASAN………………………………………………..… .320
A. Pokok-Pokok Temuan Penelitian…………………………………… ....320
1. Faktor Objektif………………………………………………..… …320
2. Faktor Genetik……………………………………………….… …..322
3. Faktor Afektif…………………………………………….….…. …..323
B. Analisis………………………………………………………….… .…..324
1. Perspektif Substansi Tari: Komponen Verbal dan Nonverbal….. ….324
2. Perspektif Budaya…………………………………………........ …..337
3. Perspektif Pragmatik…………………………..…………..….… ….344
![Page 17: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/17.jpg)
17
4. Perspektif Historis………………………………………..….… ..…357
BAB IX PENUTUP…………………………………….…………………… …366
A. Simpulan…………………………………………………………… ..…366
B. Implikasi………………………………………………………… ….….370
C. Saran…………………………………………………………….………372
DAFTAR PUSTAKA ACUAN………………………………………….…..…375
DAFTAR NARA SUMBER………………………………………….………...379
LAMPIRAN………………………………………………………..…….….….380
DAFTAR TABEL
1. Tabel 4.1 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Pathetan Wantah……..….113 2. Tabel 4.2 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks isian…….....................…117 3. Tabel 4.3 Jenis - jenis TT yang melekat pada teks Sindhènan Pangkur
Ngrénas……………………………………………………………..…...118 4. Tabel 4.4 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Isen-isen……………….….123 5. Tabel 4.5 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Sindhènan Kinanthi
Sandhung…………………………………………………………………….…..125 6. Tabel 4.6 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gérongan
Lambangsari…………………………………..………………………………..133
![Page 18: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/18.jpg)
18
7. Tabel 4.7 Rekapitulasi jenis-jenis TT pada komponen verbal tari Karonsih…143 8. Tabel 4.8 Persentase jenis –jenis TT pada komponen verbal tari Karonsih….143 9. Tabel 4.9 Jenis –jenis TT yang melekat pada teks Sindhènan Mijil
Sulastri…………………………………………….………………………..……144
10. Tabel 4.10 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Jineman Sayuk……………………………………………………………………....….….151
11. Tabel 4.11 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gérongan Ladrang
Sayuk………………………………………………………………………....…..158 12. Tabel 4.12 Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gérongan Lancaran
Sayuk…………………………………………………………………….……….164 13. Tabel 4.13 Rekapitulasi jenis-jenis TT pada komponen verbal tari Bondhan
Sayuk…………………………………………………………………….….……170
14. Tabel 4. 14 Persentase jenis –jenis TT pada komponen verbal tari Bondhan Sayuk………………………………………………………………….…170
15. Tabel 5.1 Jenis-jenis gerak representatif tari Karonsih
adegan I: pencarian. …………………………................……………..……..184
16. Tabel 5.2 Jenis-jenis gerak presentatif tari Karonsih adegan I: pencarian. ………………………………………………….…...….185
17. Tabel 5.3 Jenis-jenis gerak representatif tari Karonsih adegan II: pertemuan. ………………………………………...…….…..…….188
18. Tabel 5.4 Jenis-jenis gerak presentatif tari Karonsih adegan II: pertemuan ………………………………………………..….…..189
19. Tabel 5.5 Jenis-jenis gerak representatif tari Karonsih adegan III: bahagia ……………………………………..………...........…..190
20. Tabel 5.6 Jenis-jenis gerak presentatif tari Karonsih adegan III: bahagia ………………………………………………...……….193
21. Tabel 5.7 Rekapitulasi gerak representatif tari Karonsih………............….193
22. Tabel 5.8 Rekapitulasi gerak presentatif tari Karonsih………...............…..194
23. Tabel 5.9 Persentase gerak representatif dan presentatif tari Karonsih...…194
![Page 19: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/19.jpg)
19
24. Tabel 5.10 Jenis-jenis gerak representatif tari Bondhan Sayuk adegan I: kasmaran …………………………………..…………............…229
25. Tabel 5.11 Jenis-jenis gerak presentatif tari Bondhan Sayuk adegan I: kasmaran ………………………………..…………...............…231
26. Tabel 5.12 Jenis-jenis gerak representatif tari Bondhan Sayuk
adegan II: kekudangan …………………………………..…………......….231
27. Tabel 5.13 Jenis-jenis gerak presentatif tari Bondhan Sayuk adegan II: kekudangan …………………………………….……............…232
28. Tabel 5.14 Jenis-jenis gerak representatif tari Bondhan Sayuk adegan III: makarya ………………………………..………..............….…233
29. Tabel 5. 15 Rekapitulasi gerak representatif tari Bondhan Sayuk….......…233
30. Tabel 5. 16 Rekapitulasi gerak presentatif tari Bondhan Sayuk….........….234
31. Tabel 5. 17 Persentase gerak representatif dan presentatif tari Bondhan
Sayuk…………………………………………………………………….....…234
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Kritik Holistik Komponen Verbal dan Nonverbal Genre Tari Pasihan gaya Surakarta………………………………......…...….91
Bagan 3.1 Model Analisis Interaktif……………………………………....….. ..108
![Page 20: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/20.jpg)
20
DAFTAR GAMBAR / FOTO
Gambar 1: pola lantai garis lurus untuk mendukung suasana tegang, ketika Sekartaji berupaya mencari Panji..................................................199
Gambar 2: pola lantai garis lengkung untuk mendukung suasana romantis,
ketika Panji dan Sekartaji srisik bergandengan tangan............................199 Gambar 3: pola lantai garis lengkung untuk mendukung suasana bahagia,
ketika Panji ulap-ulap kiri dan Sekartaji trap jamang.............................199
![Page 21: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/21.jpg)
21
Gambar 4: pola lantai garis lurus untuk mendukung suasana tegang, ketika
istri hendak meninggalkan suami............................................................237
Gambar 5: pola lantai garis lengkung untuk mendukung suasana romantis, ketika istri dan suami lilingan kebyok sampur.........................................238
Gambar 6: pola lantai garis lengkung untuk mendukung suasana bahagia,
ketika istri dan suami ènjèr ridhong berputar..........................................238
Foto: 1 Tari Karonsih: Panji dan Sekartaji dalam kemesraan dan kebersamaan………………………………………………….................172
Foto: 2 Tari Bondhan Sayuk: Suami dan istri dalam kebahagiaan ………….….220 Foto: 3 Tari Karonsih: Panji mengamati Sekartaji dalam suasana sedih……….260 Foto: 4 Tari Karonsih: Panji dan Sekartaji dalam suasana romantis…………...262 Foto: 5 Tari Karonsih: Panji dan Sekartaji memadu asmara……………….…...268 Foto: 6 Tari Karonsih: Panji dan Sekartaji memadu asmara…………..….….…272 Foto: 7 Tari Karonsih: Panji dan Sekartaji dalam suasana bahagia……..….…..274 Foto: 8. Tari Bondhan Sayuk: Suami dan istri dalam kebersamaan.....................279 Foto: 9 Tari Bondhan Sayuk: Istri meminta suami untuk bekerja………….…...282 Foto: 10 Tari Bondhan Sayuk: Suami meminta anak kepada istri…………..….283 Foto: 11 Tari Bondhan Sayuk: Suami bersenandung sambil menimang anak.....285 Foto: 12 Tari Bondhan Sayuk: Suami dan istri dalam kebahagiaan………….....286
DAFTAR SINGKATAN
ASKI : Akademi Seni Karawitan Indonesia
CD : Compact Disk
D – a : Dasar - a
D – en : Dasar - en
![Page 22: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/22.jpg)
22
D – an : Dasar - an
D – ana : Dasar - ana
di – D – ake : di - Dasar - ake
KOKAR : Konservatori Karawitan
KRT : Kanjeng Raden Tumenggung
M.Sn : Magister Seni
PS : Prinsip Kesantunan
PKS : Prinsip Kerja Sama
Pa : Putra
Pi : Putri
Pn : Penutur
Pt : Petutur (mitra tutur)
PKD : Pakempalan Kagunan Jawi
R : Raden
R.M : Raden Mas
R.T : Raden Tumenggung
TT : Tindak Tutur
V – a : Verba - a
VCD : Visual Compact Disk
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. VCD Tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk……………………....380
Lampiran 2. Glosarium……………………………………………….…………380
![Page 23: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/23.jpg)
23
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
![Page 24: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/24.jpg)
24
Manusia hidup tidak mampu lepas dari lingkungan dan bertahan sendiri,
betapapun hebat dan kuatnya. Ketergantungan antarindividu merupakan faktor utama
manusia untuk saling berkomunikasi dalam rangka meraih kehidupan yang
berbudaya, sebagai sarana mewujudkan cita-citanya. Setiap individu lahir dalam
masyarakat yang telah berjalan, dapat dikatakan belum mempunyai bekal, maka dia
harus belajar menjadi manusia dengan menghayati atau mendalami budaya
kelompoknya. Berbagai strategi belajar untuk menjadi manusia yang diperlukan agar
dapat terinkulturasi dan tersosialisasi sepenuhnya, sebagian besar individu tersebut
melakukan melalui modalitas utama komunikasi manusia yakni bahasa.
Menurut Edi Subroto (tanpa tahun, hal: 1), bahasa adalah sistem bunyi ujar
yang bersifat arbitrer yang dipergunakan oleh manusia dalam suatu masyarakat
(language society) untuk berkomunikasi secara umum dan wajar. Sejalan dengan
pernyataan tersebut bahasa merupakan suatu sistem simbol-simbol vokal yang
dipelajari dan dimiliki secara bersama. Di situ manusia dalam masyarakat atau
subkultur dengan bahasa yang sama saling berinteraksi sehingga mampu
berkomunikasi berdasarkan pengalaman dan harapan kultural yang sama. Bahasa
sendiri merupakan sistem dari budaya manusia, sistem yang terpenting di mana
sistem-sistem lain terutama dicerminkan dan ditransmisikan. “Without language
there could be no culture, and man remained hominoid; with language and culture,
he could and did become hominine” (Smith, 1969: 104-105). Betapa pentingnya
bahasa bagi kehidupan manusia kiranya tidak perlu diragukan lagi, karena tanpanya
manusia tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia luar dirinya.
![Page 25: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/25.jpg)
25
Dalam kehidupan kesehariannya manusia berkomunikasi lewat beragam
media atau medium. Pada hakekatnya media itu berbentuk fisik, adapun bentuk yang
utama yakni: gerak, bunyi, rupa, dan bahasa. Masing-masing media dapat muncul
secara mandiri dan bisa juga saling komplementer, bergantung kebutuhan.
Kemunculan secara mandiri seperti: bunyi dalam musik, warna pada seni rupa, dan
bahasa sebagai tindak tutur. Bentuk yang merupakan komplemen dari beragam
media (gerak, bunyi, rupa, dan bahasa) banyak terdapat pada seni pertunjukan, yang
kesemuanya itu merupakan bahasa komunikasi yang kaya akan nuansa imajinatif dan
penuh dengan multitafsir.
Seni pertunjukan merupakan bentuk seni komplementer yang pada dasarnya
merupakan salah satu bentuk bahasa pragmatik. Hal ini dapat kita cermati dari
bentuknya yang berupa seni kolektif sebagai sarana untuk mengungkapkan maksud
dari seniman sebagai penutur dengan harapan dapat dihayati oleh penghayat sebagai
mitra tutur. Seni pertunjukan sebagai bahasa seniman untuk berkomunikasi dengan
penghayat merupakan bahasa pragmatik yang sangat khas penuh dengan nuansa
keindahan. Pragmatisme pada seni pertunjukan dapat ditunjukkan dari wujudnya
yang memiliki bahasa verbal dan nonverbal saling komplemen yang selalu hadir
dalam konteks. Secara prinsip dapat peneliti katakan bahwa seni pertunjukan
merupakan wahana yang sangat potensial sebagai sasaran kajian pragmatik. Adapun
bentuk seni pertunjukan di antaranya: Wayang Purwa (Wayang Kulit), Wayang
Wong, Wayang Golek, Kethoprak, Ludruk, Lenong, Randai, Langendriyan,
Karawitan, Tari, dan lainnya.
![Page 26: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/26.jpg)
26
Tari sebagai salah satu bentuk seni pertunjukan, merupakan perpaduan dari
berbagai media komunikasi, yaitu: kinetic body moves (gerak tubuh) sebagai garap
tari, bunyi dan bahasa sebagai garap iringan, serta rupa sebagai garap rias dan
busana, ini merupakan realitas kemunculan bentuk komplementer. Penafsiran
terhadap keragaman media komunikasi yang terdapat dalam tari tidak mampu hanya
ditangkap secara rasional semata tetapi ketajaman rasa merupakan ujung tombak
dalam menangkap makna yang sebenarnya. Pertimbangan yang mendasar bahwa
dalam tari, kata-kata yang terdapat dalam tembang sebagai bahasa verbal, selain
makna kata-katanya juga diungkapkan dengan lagu dan tekanan irama yang
didukung iringan gamelan, sehingga terasa menjadi lebih mantap. Ini berbeda
dengan bahasa, yang secara spesifik telah memiliki kaidah-kaidah baku yang
penafsirannya lebih bersifat rasional. Hal ini terkait dengan konsep bahasa yang
bersifat formal, disipliner, dan relasi antara bentuk dan makna sangat ketat.
Kehadiran tari sebagai ungkapan ekspresi jiwa manusia merupakan media
komunikasi seorang seniman (penyusun tari ataupun penari) sebagai penutur
terhadap masyarakat (pakar, penonton umum dan penanggap) sebagai mitra tutur.
Sebagai media komunikasi, tari mempunyai muatan-muatan pesan dari penyusun tari
yang hendak dikomunikasikan dengan masyarakat. Lewat pesan akan ditangkap
makna sebagai esensi dari aktivitas berkomunikasi antara penyusun tari dengan
masyarakat. Adapun pesan-pesan tersebut dapat berupa pesan moral, spiritual, dan
bersifat hiburan. Muatan pesan tersebut merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi
hidup manusia. Seperti dinyatakan Spradley (1997: 120), bahwa masyarakat di mana
saja menata hidup mereka dalam kaitannya dengan makna dari berbagai hal.
![Page 27: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/27.jpg)
27
Dalam kehidupannya, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana
komunikasi dan berinteraksi secara vertikal dan horisontal dalam kedudukannya
sebagai makhluk individu maupun sosial. Bahasa merupakan sarana yang utama
untuk menyampaikan pesan penutur kepada mitra tutur. Dalam rangka beraktivitas
sehari-hari manusia memerlukan bahasa sebagai alat komunikasi yang paling efektif
dan efisien. Rupanya dalam berkomunikasi manusia tidak selalu menggunakan
bahasa yang sifatnya langsung, terbuka, apa adanya, tetapi juga sering memilih
menggunakan bahasa yang tersamar, tidak langsung seperti bahasa pragmatik.
Bahasa yang bersifat pragmatik merupakan salah satu sasaran kajian tentang
makna-makna satuan lingual secara eksternal. Makna yang dikaji dalam pragmatik
dikaitkan dengan maksud atau tujuan penutur di dalam mengutarakan suatu kata,
frase atau kalimat. Jadi pragmatik mengkaji maksud suatu ujaran penutur baik secara
tersirat maupun tersurat di balik tuturan yang dianalisis, bukan semata-mata hanya
makna literal ujaran tersebut. Namun untuk dapat mengetahui maksud ujaran penutur
(makna pragmatiknya), mitra tutur harus mengetahui makna semantik ujaran itu
terlebih dahulu. Lewat makna semantik yang dikontekstualkan akan muncul makna
pragmatik yang diharapkan dalam sebuah peristiwa pertuturan. Dengan cara
menghubung-hubungkan bentuk ujaran dengan konteks situasinya, sosial, dan
kultural yaitu siapa berbicara kepada siapa, di mana, kapan, untuk apa dan
bagaimana, maksud dari ujaran tersebut dapat dipahami.
Dengan demikian tampak jelas bahwa pragmatik terikat konteks (context
dependent), sebagaimana dikatakan Leech pragmatik adalah “The study of meaning
in relation to speech situation” (lihat Wijana, 1995: 50). Kajian makna dalam
![Page 28: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/28.jpg)
28
pragmatik bersifat triadis, sehingga makna itu dapat dirumuskan dengan kalimat
“Apa yang kau maksud dengan berkata x itu ?” (What do you mean by x ?).
Hubungan atau relasi dalam pragmatik bersifat triadis, artinya suatu bentuk
kebahasaan selain memiliki makna semantik juga makna pragmatik, maksudnya
bahwa makna pragmatik selain dibangun melalui semantik yang mencakup: (1)
bentuk kebahasaan dan (2) makna juga dikaitkan dengan (3) konteks. Kajian bahasa
pragmatik lebih terfokus pada makna implikatur dari eksternal tuturan si penutur
bukan makna eksplikatur yang terdapat dalam internal tuturan semata. Bahasa yang
bersifat pragmatik banyak digunakan dalam berbagai bidang antara lain: sosial,
politik, budaya seperti: sastra, syair, puisi, tembang, dan tari.
Pragmatik merupakan cabang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya
dengan situasi ujar (konteks). Aspek-aspek situasi ujar meliputi: (1) yang menyapa
(penyapa) atau yang disapa (pesapa), (2) konteks sebuah tuturan, (3) tujuan sebuah
tuturan, (4) tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar, (5) tuturan
sebagai produk tindak verbal (Leech, 1993: 19-20).
Dalam rangka menjaga hubungan dan interaksi komunikasi pada kehidupan
sehari-hari tetap terjaga baik, selaras, harmonis, dan berkesinambungan, manusia
menggunakan bahasa yang memenuhi prinsip-prinsip kerjasama, yaitu: (1) maksim
kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi/hubungan, dan (4) maksim cara
(Grice dalam Leech, 1993: 11). Selain itu juga didukung prinsip kesopanan yang
meliputi: (1) maksim kearifan, (2) maksim kedermawanan, (3) maksim pujian, (4)
maksim kerendahan hati, (5) maksim kesepakatan, dan (6) maksim simpati. Pada
realitasnya manusia sering tidak mengindahkan prinsip-prinsip kerjasama dalam
![Page 29: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/29.jpg)
29
berkomunikasi sehingga terjadi pelanggaran. Karena hal itu terjadi, sebagai
akumulasi beragam tuntutan akan kebutuhan hidup manusia yang begitu kompleks.
Ketidakpatuhan para peserta tutur dalam pertuturan karena dipicu oleh motif-motif
tertentu dari penutur. Dalam hal ini penutur berupaya memasukkan maksudnya
secara implisit pada ujaran yang diungkapkan. Dampak dari peristiwa tuturan
tersebut muncul implikatur-implikatur yang akhirnya merupakan lahan kajian
pragmatik.
Terdapat dua cara untuk berkomunikasi lewat bahasa, yakni dapat berupa teks
verbal dan nonverbal. Berkomunikasi secara verbal dilakukan dengan cara
menggunakan media bahasa baik yang tertulis dan lisan. Adapun komunikasi yang
bersifat nonverbal dilakukan dengan menggunakan alat selain bahasa. Wujudnya
dapat berupa aneka simbol, isyarat, kode, bunyi misalnya tanda lalu lintas, morse,
lambaian tangan, sirene, kenthongan barulah dapat bermakna setelah diterjemahkan
ke dalam bahasa manusia (Lamuddin Finoza, 2005: 2). Dengan demikian tari yang
merupakan bagian dari seni pertunjukan yang memiliki aspek komunikasi verbal dan
nonverbal merupakan objek kajian pragmatik yang sangat menarik. Aspek verbal tari
berupa cakepan (syair) teks sastra tembang yang terdapat dalam pathetan, sindhenan,
gerongan, dan jineman. Sedangkan aspek nonverbalnya berupa: tema, kinetic body
moves (gerak tubuh), polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan.
Tari adalah ungkapan perasaan manusia tentang sesuatu dengan gerak-gerak
ritmis yag indah (Soedarsono, 1996: 6). Menurut Wisnoe Wardhana (1994: 36), tari
adalah ungkapan nilai-nilai keindahan dan keluhuran lewat gerak dan sikap.
Sedangkan H’Doubler mengutarakan bahwa tari adalah ekspresi gerak ritmis dari
![Page 30: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/30.jpg)
30
keadaan-keadaan perasaan yang secara estetis dinilai, yang lambang-lambang
geraknya dengan sadar dirancang untuk kenikmatan serta kepuasan dari pengalaman
ulang, ungkapan, berkomunikasi, melaksanakan serta dari penciptaan bentuk-bentuk
(dalam Soedarsono, 1996: 4). Dari ketiga pendapat pakar tari tersebut dapat disarikan
bahwa tari merupakan ekspresi jiwa manusia sebagai tanggapan tentang nilai-nilai
kemanusiaan, dikomunikasikan dalam bentuk yang indah untuk mendapatkan
penghayatan yang layak, dengan menggunakan medium utama gerak. Jika kita
cermati lebih lanjut pernyataan ketiga pakar mengenai pengertian gerak tersebut
masih kabur, karena pada dasarnya betapapun indahnya gerak tumbuh-tumbuhan
yang tersapu angin, gerak akrobatik binatang yang menawan tetapi tanpa kehadiran
gerak tubuh manusia, tidak dapat dikatakan gerak tari.
Secara garis besar bahwa semua gerak dapat menjadi gerak tari dengan cara
melalui campurtangan gerak tubuh dan seleksi yang memadahi. Menurut peneliti, tari
adalah ekspresi jiwa manusia lewat medium utama gerak tubuh untuk mencapai
kenikmatan keindahan. Sumber gerak utama yang dimaksudkan di sini adalah kinetic
body moves. Bagaimanapun acuhnya seorang seniman terhadap publik, ia berkarya
dengan harapan dapat dihayati, maka dibutuhkan juga suatu penghargaan. Tanpa
simpati publik, dorongan artistik akan layu tidak dapat berkembang. Rupanya
ekspresi diri semata tidak akan memberikan kenikmatan dan kepuasan bahkan
cenderung mati (Parker, 1980: 37).
Rupanya gerak tubuh sangat dominan dan merupakan medium utama yang
sekaligus sebagai sumber kehidupan tari. Seperti variasi pada kutipan kata-kata
terkenal Donne: “one could almost say, the body speaks. And when the body speaks
![Page 31: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/31.jpg)
31
in this fashion, its movements, the body moves, form an integral part of the
interactions (e.g., in a conversation); as such, they represent, or are part of, a
pragmatic act” (dalam Mey, 2001: 223-224). Sekarang semakin jelas bahwa ide
komunikasi nonlisan sebagai tambahan atau alat bantu sederhana pada pembicaraan
adalah pandangan irasional yang terlalu sempit. Selayaknya, kita harus mengakui
bahwa komunikasi ‘gerak tubuh’ mampu ‘menentukan suasana’ dan ‘memberi
makna’ untuk komunikasi secara utuh. Dengan kata lain, jika gerak tubuh penutur
tidak mengikuti pembicaraan penutur, mitra tutur juga tidak akan mengikuti dan
memperhatikan. Pada dasarnya tindakan pragmatik melibatkan seorang individu
secara keseluruhan dalam komunikasi, bukan hanya bagian kontribusi yang
diucapkan saja. Di samping itu, dalam dimensi meta-pragmatik, tindakan pragmatik
sangat penting untuk menentukan dan mempertahankan kerangka meta-komunikatif
untuk komunikasi.
Tidak mungkin orang bicara soal kesenian tanpa memperhatikan bentuk,
wujud, dan gayanya (Budhisantoso, 1994: 3). Bentuk seni adalah hasil ciptaan
seniman yang merupakan wujud dari ungkapan isi, pandangan, dan tanggapannya ke
dalam bentuk fisik yang dapat ditangkap dengan indera (Sri Rochana, 1994: 68).
Secara sederhana Herbert Read berpendapat bahwa seni merupakan usaha untuk
menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan (1990: 2). Tampaklah sekarang
bahwa bentuk dalam seni memiliki peranan yang sangat penting dalam rangka
menyampaikan isi atau maksud yang hendak dikomunikasikan pada penghayat (mitra
tutur) dari si seniman (penutur). Adapun isi yang dimaksud merupakan pengalaman
jiwa seniman dalam menanggapi alam, lingkungan sekitarnya secara selektif.
![Page 32: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/32.jpg)
32
Sebagai media ekspresi, seni memiliki tujuan yaitu memberikan kepuasan dalam visi
penuh simpati. Untuk itu menuntut seniman bukan hanya menyajikan realitas
kehidupan yang sifatnya mengimitasi atau memindahkan begitu saja, melainkan
nilai-nilai kehidupan yang telah terseleksi dapat ditranspormasikan dalam bentuk
yang indah, supaya menjadikannya jelas bagi jiwa yang menghayati.
Pengalaman jiwa seniman sewaktu-waktu dapat dikomunikasikan lewat garap
medium sesuai dengan bidangnya masing-masing. Hubungan antara bentuk fisik
yang dapat diamati indera dengan isi yang hendak diungkap harus terjalin secara
harmonis agar dapat mencapai sasarannya yaitu penghayat. Maka tidaklah
mengherankan apabila sarana untuk berekspresi dalam seni tidak bersifat instingtif,
tidak pula bersifat stereotip, dan bukan merupakan sesuatu yang sudah siap tersedia.
Sarana tersebut setiap saat dan untuk setiap personal harus dicari, dan seringkali
pencarian itu terlampau berliku-liku jalannya (Read, 1990: 45). Pada hakikatnya
medium ekspresi seniman bersifat fisik, dan wujudnya dapat berupa gerak, bahasa,
bunyi, garis, warna (rupa). Wujud tersebut tak lain agar dapat dan mampu ditangkap
dengan indera manusia, baik dari seniman sebagai pengkarya maupun masyarakat
sebagai penikmatnya. Sehingga benda pacu dimaksud mampu mengubah dari
pandangan verbal menjadi pandangan yang penuh makna yang berarti bagi
kehidupan jiwa.
Keberhasilan mereka menyampaikan pesan-pesan tergantung dengan
kemampuan menyeleksi materi-materi sebagai sarana ungkap dan tidak lepas dari
kemampuan masyarakat penikmat untuk menangkap yang sudah barang tentu
mengacu pada nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang hidup dan
![Page 33: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/33.jpg)
33
berkembang. Betapapun hebatnya seorang seniman dalam berkarya tanpa diimbangi
apresiasi masyarakat yang layak dan memadahi rupanya akan menjadi semakin tidak
berarti sehingga bentuk-bentuk pesan yang hendak disampaikan oleh seniman tidak
dapat terealisasi secara baik dan wajar dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu
dibutuhkan peningkatan kualitas apresiator dengan memperbanyak peluang aktivitas
pertunjukan dan peningkatan kualitasnya.
Seni pertunjukan Jawa pada umumnya dapat dikategorikan menjadi dua
kelompok besar yaitu kesenian karaton dan kesenian rakyat (Humardani, 1991: 14).
Kesenian karaton merupakan bentuk kesenian yang pada awalnya hidup dan
berkembang di lingkungan karaton. Sedangkan kesenian rakyat hidup, tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat pedesaan. Perkembangan sekarang kedua
bentuk kesenian tersebut saling mempengaruhi secara lebih kompleks. Kesenian
karaton cenderung memiliki garap lebih rumit, cermat dan mempunyai semacam
pola-pola baku yang sering digunakan sebagai semacam pedoman. Berbeda dengan
kesenian rakyat yang sifatnya spontan sangat sederhana baik bentuk maupun sistem
pertunjukannya. Beragam bentuk seni pertunjukan karaton, di antaranya: wayang
kulit, wayang wong (wayang orang), karawitan, tari dan lainnya.
Dalam tari Jawa bentuk ekspresinya pada hakikatnya terwujud berdasarkan
alam emosi, yaitu bentuk dan iramanya sangat kuat dilatarbelakangi oleh konsep
keindahan dan tradisi kebudayaannya (Humardani, 1991: 10). Seni tradisional genre
tari pasihan yang mengacu kesenian karaton merupakan salah satu budaya yang
diwarisi secara turun-temurun sudah barang tentu memiliki kesinambungan dengan
budaya sebelumnya. Pewarisan budaya tidaklah bersifat statis, tetapi masing-masing
![Page 34: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/34.jpg)
34
generasi mencoba untuk mengadakan perubahan-perubahan disesuaikan dengan
kondisi kehidupan masyarakat pendukungnya. Terbukti seni tradisional kita tetap
berkembang di masyarakat, di antaranya genre tari pasihan, Bedhaya, Srimpi,
Wireng, Pethilan, dan tarian untuk anak.
Di dalam seni pertunjukan, “Genre Tari Pasihan“ tampaknya cenderung
menekankan rasa dan emosi dalam bentuk bahasa verbal dan nonverbal. Kehadiran
genre tari pasihan (percintaan pria dan wanita) dalam kehidupan sosial masyarakat
pada ritual perkawinan adat Jawa rupanya mempunyai makna simbolik yang sangat
penting terutama bagi kedua mempelai dalam rangka mempersiapkan diri untuk
mengarungi kehidupan di masyarakat yaitu menuju terbentuknya keluarga yang
bahagia. Di dalam kehidupan masyarakat Jawa, simbolisme memiliki peranan sangat
penting, sebab simbolisme sangat menonjol peranannya dalam tradisi adat Jawa.
Menurut Clifford Geertz (1992: 6), bahwa ‘simbol’ tampak terbatas pada sesuatu
yang mengungkapkan secara tidak langsung, sehingga perlu perantara yang berwujud
simbol-simbol dalam puisi bukan dalam bentuk pengetahuan. Simbolisme semacam
ini tampak pada genre tari pasihan yang hadir dalam rangkaian upacara-upacara
perkawinan adat Jawa. Seolah–olah keberadaan genre tari pasihan dalam budaya
Jawa sejak 1970 telah menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama pada
upacara-upacara perkawinan (Maryono, 1991: 73).
Rasanya menjadi kurang utuh apabila dalam acara resepsi perkawinan tidak
disajikan tari pasihan sebagai penutup pesta tersebut, sehingga kemunculan
pertunjukan genre tari pasihan pada upacara perkawinan relatif sangat tinggi
frekuensinya. Hal tersebut diduga menumbuhkan daya pikat perhatian masyarakat
![Page 35: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/35.jpg)
35
dan mampu menggugah semangat kreativitas para seniman seni pertunjukan di
Surakarta untuk merespon secara positif. Seniman-seniman yang menanggapi secara
proaktif antara lain seperti Maridi dengan karyanya: tari Endah, tari Lambangsih, dan
tari Gesang Rahayu. Sunarno menghasilkan karya: tari Bondhan Sayuk, tari Enggar-
enggar, tari Driasmara, tari Kusuma Ratih, tari Langen Asmara, tari Jayaningrat dan
tari Setyaningsih. Suciati Joko Suharja menciptakan tari Kusuma Aji.
Genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan suatu kelompok tari yang
secara susunan berbentuk duet atau pasangan silang jenis tipe karakter dengan tema
percintaan. Jenis tipe karakter yang berpasangan tersebut dalam genre ini antara lain
: putri luruh duet dengan alus luruh, putri lanyap duet dengan alus luruh, putri luruh
duet dengan gagah luruh dan sebagainya. Keragaman bentuk dan jenis tari duet
percintaan yang terdapat di wilayah Surakarta menunjukkan sebuah kekayaan ranah
budaya yang mampu memberikan warna kota Sala sebagai pusat budaya. Rupanya
hal ini terkait dengan warisan budaya khususnya tari dari kerajaan Mataram baru
yaitu istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Ketika Perang Dunia ke II berakhir,
karaton-karaton di Jawa kehilangan kekuasaannya atas daerah-daerah masing-
masing, kehilangan kekuasaannya sebagai orientasi nilai-nilai budaya Jawa, pusat
adat-istiadat Jawa, dan sebagai pusat kesenian Jawa (Koentjaraningrat, 1984: 235).
Secara perlahan-lahan kehidupan tari yang semula menjadi hak monopoli keluarga
kerajaan, keluar tembok karaton hidup dan berkembang meluas ke tengah-tengah
kehidupan masyarakat. Berkembangnya bentuk dan jenis genre tari pasihan atau
genre tari duet percintaan tidak lepas dari kreativitas para penyusun tari dalam
rangka memenuhi kebutuhan sosial masyarakat.
![Page 36: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/36.jpg)
36
Kehidupan genre tari pasihan hingga sekarang mengalami perkembangan
sangat pesat, hal ini dimungkinkan adanya suatu pilihan masyarakat yang sangat
tepat tentang tata nilai dan sikap untuk menjaga kelangsungan hidup budayanya
sebagai warisan yang dianggap memiliki nilai tinggi. Genre tari pasihan merupakan
cabang seni tradisional gaya Surakarta yang banyak mengandung makna simbolis
dan memiliki fungsi yang erat hubungannya dengan upacara adat ritual perkawinan
masyarakat Jawa. Rupanya telah mengakar pada budaya Jawa, yaitu pada setiap
upacara perkawinan hampir dapat dipastikan akan disajikan jenis tari pasihan.
Kehadiran genre tari pasihan di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat
diduga mempunyai kekuatan magis simpatetis terhadap sepasang penganten. Seperti
diungkapkan Soedarsono sebagai berikut :
Sadar atau tidak sadar kesuburan tanah – juga perkawinan – tidak cukup hanya dicapai lewat peningkatan sistem penanaman baru, tetapi juga perlu diupayakan lewat kekuatan – kekuatan yang tak kasat mata. Kekuatan itu antara lain berupa magi simpatetis, yang hanya bisa didapatkan dengan perbuatan yang melambangkan terjadinya pembuahan, yaitu hubungan antara pria dan wanita. Hubungan ini pada masyarakat yang masih melestarikan budaya purba kadang-kadang dilakukan agak realistis. Sedangkan bagi masyarakat yang sudah agak maju dilakukan secara simbolik. (Soedarsono dalam Soedarso, 1991: 35)
Rupanya semakin tampak bahwa genre tari pasihan merupakan media ungkap para
penyusun tari (penutur) yang memuat ide, gagasan, rasa, emosi yang diekspresikan
dalam bentuk bahasa verbal dan nonverbal yang hendak dikomunikasikan dengan
penghayat (mitra tutur) dengan maksud-maksud tertentu.
Seni pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta sebagai karya seni
memiliki beberapa aspek di antaranya aspek sastra tembang (bahasa verbal) yang
berupa cakepan (syair) yang terdapat dalam pathetan, sindhenan, gerongan, dan
![Page 37: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/37.jpg)
37
jineman. Sedangkan aspek bahasa nonverbal meliputi: tema, gerak tubuh (kinetic
body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan. Aspek-
aspek tersebut membutuhkan ruang, waktu, dan memiliki pesan, dalam tindakannya
supaya dapat berfungsi secara baik sebagai media komunikasi. Kajian pragmatik di
sini akan menganalisis makna genre tari pasihan lewat implikatur-implikatur bahasa
verbal dan nonverbal yang dimilikinya. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa
bentuk-bentuk tari yang termasuk dalam genre tari pasihan, banyak persamaannya,
yang sudah barang tentu juga terdapat perbedaan namun tidak begitu signifikan.
Dengan pernyataan lain serupa tetapi tidak sama. Dari sejumlah jenis tari duet
tersebut peneliti memfokuskan sasaran pada dua bentuk tari duet percintaan, yakni
tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk.
Pemilihan pertama tari Karonsih dalam kajian pragmatik ini, tidak lain
didasarkan pada fakta historis. Kehadiran tari Karonsih di tengah-tengah kehidupan
masyarakat telah menjadi bagian dari kebutuhan sosial, mempunyai pengaruh cukup
besar yaitu telah dapat memacu dan memotivasi terhadap seniman-seniman di
kalangan tradisional (Maryono, 1991: 27). Karonsih merupakan awal jenis tarian
duet percintaan yang mampu membawa perkembangan sangat luar biasa. Pengaruh
perkembangannya dapat dibuktikan dengan munculnya berbagai bentuk tari duet
percintaan, yakni seperti: tari Endah, tari Enggar-enggar, tari Kusuma Aji, tari
Lambangsih, tari Driasmara, tari Gesang Rahayu, tari Bondhan Sayuk, tari Kusuma
Ratih, tari Jayaningrat, tari Langen Asmara dan tari Setyaningsih. Di samping itu
diduga tari Karonsihan memiliki kekuatan magis simpatetis yang kuat terhadap
![Page 38: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/38.jpg)
38
sepasang temanten, hal ini dapat diamati dari kehadirannya yang hampir dapat
dipastikan pada setiap upacara perkawinan terutama pada budaya Jawa.
Pemilihan kedua adalah tari Bondhan Sayuk, didasarkan pada bentuk yang
berbeda pada jenis tari duet percintaan, namun masih dalam karakteristik yang sama.
Perbedaan antara Karonsih dengan Bondhan Sayuk meliputi bentuk tindak tutur
verbal dan nonverbal. Merujuk pada pola cerita yang tokoh-tokohnya memiliki
authority scale dan social distance yang berbeda, maka hal itu dapat diamati dari
jenis bahasa verbal yang digunakan pada masing-masing tari pasihan tersebut. Selain
itu terdapat perbedaan bahasa nonverbal, sekilas dapat dicermati dari properti yang
berupa boneka bayi (anak kecil). Diharapkan perbedaan yang terdapat pada tari
Karonsih dan tari Bondhan Sayuk, baik dari segi tindak tutur verbal dan
nonverbalnya dapat digunakan untuk mengungkap secara mendalam karakteristik
genre tari pasihan dalam analisis pragmatiknya.
Pada prinsipnya pemilihan sampling tari Karonsih dan Bondhan Sayuk
tersebut bukan untuk generalisasi statistik (populasi) tetapi lebih fokus untuk
mewakili dari keragaman informasinya yang diharapkan dapat digeneralisasi
teorinya. Kelayakan dan kualitas objek sasaran penelitian tidak dapat disangsikan
berdasarkan eksistensi, kredibilitas, kuantitas, dan kualitas genre tari pasihan sebagai
seni pertunjukan yang hidup dan berkembang pesat di Jawa. Realitas menunjukkan
bahwa keragaman jenis tari duet percintaan gaya Surakarta merupakan salah satu aset
budaya nasional yang memiliki kuantitas dan kualitas tinggi, serta memberikan citra
budaya yang mantab. Kehadiran genre tari pasihan merupakan pemenuhan
kebutuhan sosial dan hayatan cukup mantap dan sekaligus menjadi benteng budaya
![Page 39: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/39.jpg)
39
nasional yang mampu memberi warna citra diri masyarakat Surakarta sebagai
pewaris high culture Mataram palace dan lebih meluas sebagai bangsa Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah yang telah peneliti paparkan tersebut di
muka, terdapat masalah utama yang menjadi fokus penelitian disertasi ini, adalah:
mengapa masyarakat memilih pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta sebagai
masterpiece dalam sebuah ritual perkawinan adat Jawa. Masalah utama tersebut
dapat dikaji lewat beberapa pertanyaan yang bersumber pada seniman pelakunya
(penyusun tari dan penari) yang bertindak sebagai penutur (komunikator), karya seni
(pesan atau tindak tutur) sebagai sarana atau media tutur, dan masyarakat (pakar,
penonton umum, dan penanggap) sebagai mitra tutur (komunikan). Untuk itu perlu
dirumuskan masalahnya dalam rangka menganalisis makna pragmatik pada genre
tari pasihan.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana jenis-jenis tindak tutur dalam genre tari pasihan gaya Surakarta
dan tindak tutur apa yang dominan, serta mengapa terjadi dominasi ?
2. Bagaimanakah penerapan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan dalam
bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan gaya Surakarta ?
3. Bagaimanakah implikatur dan daya pragmatik bahasa verbal dan nonverbal
genre tari pasihan gaya Surakarta ?
![Page 40: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/40.jpg)
40
4. Bagaimana ciri karakteristik bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan
gaya Surakarta ?
5. Bagaimana latar belakang konsepsi penciptaan bahasa verbal dan nonverbal
genre tari pasihan gaya Surakarta ?
6. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kehidupan genre tari pasihan gaya
Surakarta ?
C. Tujuan Penelitian
Memahami bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan pada ritual
perkawinan adat Jawa di Surakarta dengan menganalisis secara rinci, akurat, dan
mendalam untuk menemukan dan mendeskripsikan:
1. Jenis-jenis tindak tutur dan tindak tutur yang dominan dalam genre tari
pasihan gaya Surakarta.
2. Penerapan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan dalam bahasa verbal
dan nonverbal genre tari pasihan gaya Surakarta.
3. Implikatur dan daya pragmatik bahasa verbal dan nonverbal genre tari
pasihan gaya Surakarta.
4. Ciri karakteristik bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan gaya
Surakarta.
5. Latar belakang konsepsi penciptaan bahasa verbal dan nonverbal genre
tari pasihan gaya Surakarta.
6. Persepsi masyarakat terhadap kehidupan genre tari pasihan gaya
Surakarta.
![Page 41: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/41.jpg)
41
D. Manfaat Penelitian
Tari dikaji dari berbagai perspektif ilmu seperti sosial, politik, ekonomi,
antropologi, budaya dan lainnya rupanya telah banyak dilakukan para peneliti,
namun penelitian tari dari kaca mata linguistik rupanya masih sangat langka. Salah
satu jenis kajian linguistik yang paling tepat untuk analisis tari adalah linguistik
pragmatik. Perspektif dari kajian pragmatik akan mengarahkan peneliti untuk
menganalisis seni pertunjukan (tari) secara menyeluruh, baik dari aspek bahasa
verbal dan nonverbal. Spesifikasi yang dapat diunggulkan dalam kajian ini bahwa
terdapat interaksi yang sangat tepat antara pragmatik dan seni pertunjukan yang
masing-masing berorientasi masalah makna. Artinya seni pertunjukan memuat nilai-
nilai kehidupan yang fundamental sebagai sumber makna. Sedangkan pragmatik
merupakan disiplin ilmu yang secara spesifik mengkaji makna atau maksud penutur.
Dengan demikian manfaat yang diharapkan dari penelitian ini:
(1) Membuka perspektif kajian baru, terutama kajian seni pertunjukan
khususnya tari dari perspektif linguistik pragmatik.
(2) Memberi sumbangan bagi para pembaca untuk menambah wawasan
kajian seni pertunjukan tari pasihan dari sudut pandang linguistik pragmatik.
(3) Memberikan motivasi terhadap pembaca pada umumnya dan para
peneliti dari kalangan Lembaga Perguruan Tinggi Seni untuk meneliti bentuk-bentuk
seni pertunjukan dari perspektif linguistik pragmatik.
(4) Dapat menjadi referensi atau acuan bagi para peneliti yang terkait dengan
disiplin ilmu linguistik pragmatik dan kajian sastra seni khususnya.
![Page 42: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/42.jpg)
42
BAB II
KAJIAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Teori
Seni pertunjukan umumnya dan lebih khusus genre tari pasihan gaya
Surakarta merupakan lahan kajian yang sangat menarik lewat bahasa verbal yang
berupa teks sastra tembang dan bahasa nonverbal. Dalam rangka untuk mengetahui
dan mencermati makna bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam seni
pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta, peneliti menggunakan kajian: (1)
teori pragmatik, (2) teori budaya, (3) teori seni pertunjukan, dan (4) teori
komunikasi.
1) Teori pragmatik untuk menganalisis jenis-jenis tindak tutur yang terdapat
pada sastra tembang sebagai bahasa verbal, jenis tindak tutur yang dominan,
mengapa terjadi dominasi. Bentuk analisis berikutnya adalah bagaimana penerapan
![Page 43: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/43.jpg)
43
prinsip-prinsip kerja sama dalam sastra tembang. Selain itu juga untuk mengkaji
strategi kesantunan yang digunakan oleh masing-masing peserta tutur yang terdapat
dalam genre tari pasihan terkait dengan cara mengungkapkan tindak tutur terkait
jarak sosial, hubungan peran yang berbeda, dan penggunaan muka dalam
komunikasi. Teori tersebut juga untuk mengungkap implikatur dan daya pragmatik.
2) Teori budaya yang terdiri dari tiga bagian yakni, wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide-ide untuk mengungkapkan konsepsi seniman
penyusun tentang bahasa verbal dan nonvberbal yang digunakan pada tari pasihan.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas untuk mengkaji dari faktor
afektifnya yaitu mengenai pandangan masyarakat umum dan persepsi pakar terhadap
pertunjukan tari pasihan. Adapun wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya
manusia untuk analisis faktor objektif atau karya seninya, baik yang berupa sastra
tembang dan bahasa nonverbal.
3) Teori seni pertunjukan untuk mengkaji elemen-elemen yang terdapat di
dalam tari pasihan (bahasa nonverbal) mencakup tema, gerak tubuh (kinetic body
moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan gamelan
untuk mengungkapkan faktor objektif dan faktor genetik.
4) Teori komunikasi digunakan untuk menganalisa bagaimana komunikasi
berlangsung. Proses komunikasi antara seniman penyusun sebagai komunikator
dengan masyarakat sebagai komunikan lewat media yaitu karya seni tari pasihan.
Dalam komunikasi tersebut lebih difokuskan pada kesesuaian antara pesan makna
yang dimaksudkan seniman penyusun dengan makna yang dapat ditangkap oleh
masyarakat. Jika komunikasi antara seniman dengan masyarakat terjadi perbedaan
![Page 44: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/44.jpg)
44
atau sebaliknya terjadi persamaan, dari hasil itu dapat dicari dan dianalisis
penyebabnya untuk menentukan kekuatan dan kelemahan tari pasihan sebagai
media.
Keempat teori tersebut digunakan untuk menganalisis makna pragmatik
genre tari pasihan gaya Surakarta secara komplementer. Secara prinsip teori
pragmatik merupakan alat kajian yang utama terkait dengan sistem kebahasaannya,
sedangkan teori budaya dan teori seni pertunjukan untuk menganalisis faktor bahasa
nonverbal. Teori komunikasi untuk mengkaji keterkaitan antarfaktor genetik,
objektif, dan afektif. Diharapkan keempat teori tersebut mampu untuk mengungkap
makna pragmatik genre tari pasihan gaya Surakarta secara menyeluruh dan
mendalam.
1. Teori Pragmatik
Terkait untuk tujuan-tujuan linguistik pragmatik adalah studi tentang makna
dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situations) (Leech, 1993: 8).
Konsep ujaran menurut Parera (dalam Muhammad Rohmadi, 2004: 48) berhubungan
dengan manifestasi bahasa dalam bentuk lisan. Untuk mengetahui makna ujaran
tidak dapat hanya dilihat dari satu sisi ujaran itu sendiri, akan tetapi harus
memperhatikan situasi ujaran atau sejauh mana kontekstualnya. Sebagaimana
dikatakan Leech bahwa seorang yang menganalisis makna pragmatik dapat
disamakan dengan seorang penerima, ia berusaha mengartikan isi wacana hanya
![Page 45: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/45.jpg)
45
berdasarkan bukti kontekstual yang ada saja tanpa menjadi sasaran pesan si penutur
(1993: 19).
Ujaran-ujaran dalam kalimat dapat diungkapkan makna pragmatiknya secara
jelas jika kita perhatikan konteks, penutur serta situasinya. Tanpa konteks, ujaran-
ujaran dalam bentuk kalimat atau tindak tutur tersebut hanya akan dipahami sebagai
makna semantik yang lebih terfokus pada analisis linguistik formal. Terkait dengan
situasi-situasi ujaran, Leech (1993: 19-21) mengemukakan aspek-aspek situasi ujar
yang meliputi lima aspek situasi ujaran sebagai berikut: (1) Yang menyapa (penyapa)
atau yang disapa (pesapa), (2) Konteks sebuah tuturan, (3) Tujuan sebuah tuturan,
(4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar, (5) Tuturan sebagai
produk tindak verbal.
Dalam kehidupan sosial manusia berinteraksi menggunakan bahasa sebagai
alat komunikasi untuk maksud-maksud tertentu. Bahasa yang diungkapkan berupa
ujaran atau tuturan baik yang bersifat lisan maupun tulis. Bentuk ungkapan dapat
bersifat langsung dan tidak langsung, bersifat langsung manakala maksud penutur
tereksplesitkan dalam bentuk-bentuk tuturannya, sehingga mudah dipahami mitra
tutur. Tidak langsung, sulit dipahami karena untuk mencermati maksud sebuah
tuturan yang disampaikan penutur kepada mitra tutur sering mengalami kendala.
Hambatan sering terjadi karena penutur di dalam mengungkapkan tuturannya
menggunakan bahasa yang bersifat indirect. Artinya penutur dalam menyampaikan
maksudnya disiratkan pada tuturan atau maknanya di balik yang tersurat. Sebagai
mitra tutur berupaya untuk menafsirkan maksud penutur lewat teks yang digunakan
dengan mengaitkan konteksnya. Untuk itu perlu dicermati secara mendalam bentuk
![Page 46: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/46.jpg)
46
bahasa sebagai teks dan bagaimana konteksnya sehingga dapat berfungsi untuk
mengungkap makna pragmatik.
a. Teks dan Konteks
Pada dasarnya teks dan konteks sangat vital terkait dengan kompetensi
komunikatif sehingga konsep teks dan konteks menjadi penting untuk dikaji dalam
rangka memahami implikatur pragmatik. Dalam analisis teks dan konteks ini, kita
dapat perikan liku-liku antarunit hingga komplementer antarfaktor. Hakekat teks
dalam pembicaran ini mereferensi dari pendapat: Leech (1983), Richards et al
(1992), Cook (1989), Halliday dan Hasan (1976), dan Hoed (2003: 5-6). Adapun
hakekat konteks lebih mereferensi dari pendapat: Yule (1998), dan Cutting (2002).
a.1. Teks
Menurut Leech (1983: 100), teks adalah konstruksi dari hasil penggunaan
sintaksis dan fonologi bahasa secara bermakna. Sejalan dengan pendapat tersebut,
teks adalah potongan dari bahasa tulis maupun lisan yang maknanya dapat dirunut
dari perspektif strukturnya ataupun fungsinya (Richards et al, 1992: 378). Secara
lebih sederhana Cook menyatakan bahwa teks juga dapat berupa bagian-bagian dari
bahasa yang dikaji secara formal (1989: 14).
Pendapat lain, Halliday dan Hasan (1976: 1-2), bahwa teks merupakan
sebuah unit semantik yang memiliki bentuk dan bermakna bukan sekadar unit
gramatikal seperti klausa atau kalimat yang lepas. Dengan demikian teks tidak
tergantung pada ukuran panjang pendeknya, namun lebih mengarah pada
berfungsinya suatu bahasa, yakni bahasa yang sedang melaksanakan tugas tertentu
dalam konteks situasi, bukan kata-kata ataupun kalimat lepas. Hoed (2003: 5-6),
![Page 47: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/47.jpg)
47
mengatakan terdapat dua cara untuk pendekatan dasar pada sebuah teks, dengan
mengutip pendapat Noth (1990), yaitu: 1. teks sebagai pesan budaya (nonverbal),
yang terkait dengan gejala budaya seperti film, pertunjukan balet atau tari, musik,
peristiwa upacara ataupun pertunjukan sirkus; dan 2. teks sebagai pesan verbal yang
membatasi teks pada gejala kebahasaan (lihat disertasi Jumanto, 2006: 23-24).
Dapat ditarik simpulannya bahwa teks adalah sebuah unit bahasa verbal dan
atau nonverbal yang bermakna. Merujuk pada hakekat teks dari pendapat kelima
pakar tersebut terkait dengan teks seni pertunjukan, dapat peneliti kemukakan bahwa
teks genre tari pasihan meliputi:
a.1.1 Bahasa verbal, yang berupa teks sastra tembang yang terdapat dalam
cakepan (syair) pathetan, sindhenan, gerongan, dan jineman. Berdasarkan tujuan
awal penelitian adalah kajian pragmatik, maka dalam bahasa verbal ini, kajian
peneliti lebih terfokus pada:
a) jenis-jenis tindak tutur yang digunakan,
b) jenis tindak tutur yang dominan dan mengapa terjadi dominasi,
c) realisasi kesantunan antarperan
a.1.2 Bahasa nonverbal berupa elemen-elemen tari yang terdiri dari: tema, gerak
tubuh (kinetic body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan
iringan. Dalam bahasa nonverbal ini, kajian peneliti lebih terfokus pada gejala
budaya, mencakup:
a) motif tema yang digunakan sebagai ancangan alur adegan.
b) jenis-jenis vokabuler gerak,
c) polatan,
![Page 48: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/48.jpg)
48
d) bentuk rias,
e) jenis warna dan bentuk busana yang dipakai,
f) jenis-jenis pola lantai ( floor design) ,
g) jenis-jenis gendhing ,
h) intonasi yang mencakup: irama, lagu, dan tekanan.
Kedua bentuk bahasa, baik verbal dan nonverbal tersebut merupakan satu kesatuan
yang membentuk menjadi sebuah bahasa genre tari pasihan yang tidak lepas dengan
konteks.
a.2. Konteks
Munculnya konsep konteks dalam ranah linguistik merupakan konsep yang
relatif baru sebagai pendobrak kemapanan aliran linguistik formal atau struktural.
Selama bertahun-tahun kajian linguistik, didominasi oleh pandangan bahwa aspek
form dalam suatu bahasa merupakan satu-satunya data yang paling feasible untuk
dikaji. Artinya bahwa para kaum strukturalis terfokus pada internal bahasa yang
semata-mata berorientasi pada bentuk, tidak mempertimbangkan bahwa satuan–
satuan itu sebenarnya hadir dalam konteks, baik konteks yang bersifat lingual (co-
text) maupun konteks yang bersifat ekstralingual yang berupa konteks fisik maupun
konteks sosial. Akibatnya aliran struktural gagal menjelaskan berbagai masalah
kebahasaan, terutama terkait dengan masalah makna yang ditarik dari implikatur
tindak tutur dalam sebuah percakapan, yang seharusnya mengaitkan dengan konteks.
Menurut Yule (1998), konteks adalah sebuah konsep yang dinamis, bukan
statis. Konteks dipahami sebagai lingkungan yang selalu berubah yang
memungkinkan peserta tutur berinteraksi dan yang membantu mereka memahami
![Page 49: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/49.jpg)
49
ungkapan-ungkapan kebahasaan yang mereka gunakan dalam suatu proses
komunikasi. Sejalan dengan pendapat tersebut, Leech mengartikan konteks sebagai
suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra
tutur dan yang membantu mitra tutur dalam menafsirkan makna tuturan (1993: 20).
Sedangkan Cutting (2002: 3-8), mendefinisikan konteks secara lebih
operasional yakni dunia fisik dan sosial serta asumsi-asumsi pengetahuan yang
sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur. Selanjutnya secara rinci konteks
dikategorikan menjadi: 1) konteks situasi, yaitu keadaan fisik yang muncul
bersamaan dengan terjadinya suatu interaksi ketika percakapan berlangsung (at the
moment of speaking), 2) konteks pengetahuan latar (background knowledge context)
yang dirinci menjadi (a) pengetahuan umum budaya (cultural general knowledge)
dan (b) pengetahuan interpersonal (interpersonal knowledge). 3) konteks co-textual,
yakni konteks verbal yang ada pada teks yang mengakibatkan adanya kohesi dan
koherensi.
Realisasi konteks dari teks tari pasihan dengan mengakses persepsi Cutting,
peneliti dapat lebih memfokuskan kajiannya pada:
a.2.1) Keadaan fisik yang muncul bersamaan dengan terjadinya suatu
interaksi ketika percakapan berlangsung dapat dirunut, secara internal mencakup:
perubahan raut muka atau polatan, pemilihan kata, intonasi dan pemilihan gerak.
Secara eksternal meliputi: lokasi pertunjukan dan kondisi lingkungan yang menjadi
setting berlangsungnya pertunjukan.
a.2.2) Konteks pengetahuan latar yang dapat diperikan menjadi:
![Page 50: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/50.jpg)
50
a.2.2.1)Keterkaitannya dengan budaya, mencakup: mentifact, artifact,
sociofact.
Mentifact, merupakan bagian budaya yang terkait dengan ide-ide, gagasan,
nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Pandangan bagi masyarakat
yang berbudaya Jawa, rupanya keselarasan alam semesta merupakan salah satu
prinsip hidup. Harmonisasi dan keseimbangan antara jagad gedhe sebagai
manifestasi makrokosmos dan jagad cilik sebagai manifestasi mikrokosmos
merupakan faktor penentu kehidupan yang harus terjaga keberlangsungannya. Dalam
keselarasan tersebut yang penting adalah apakah hubungan alamiah satu sama
lainnya dimiliki oleh unsur-unsur yang terpisah, dan bagaimana masing-masing
unsur itu harus dirangkai menjadi terpadu, sekaligus mencegah hal-hal yang
sumbang maupun menimbulkan keganjilan. Keselarasan antara gaya hidup dan
kenyataan fundamental yang dirumuskan simbol-simbol sakral bervariasi dari
kebudayaan yang satu ke budaya yang lain (Geertz, 1992: 54-55). Realitas sepanjang
hidup manusia di muka bumi, mengalami pembagian adat-istiadat ke dalam tingkat-
tingkat tertentu. Stages along the life-cycle itu meliputi: masa kelahiran, masa
penyapihan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa puber, masa nikah atau masa
perkawinan, masa pascanikah, masa hamil, dan masa tua hingga kematian
(Koentjaraningrat, 1985: 89). Mencermati dari sekian masa kehidupan, salah satu
masa yang penting adalah masa perkawinan atau masa nikah. Dari pernyataan
tersebut, dapat dirunut bagaimana keterkaitan perkawinan dengan kehadiran tari
pasihan.
![Page 51: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/51.jpg)
51
Artifact, merupakan bagian budaya yang berupa seluruh total dari karya
manusia berupa benda fisik dari aktivitas maupun perbuatan. Pada prinsipnya semua
hasil karya manusia ditujukan untuk mencukupi semua kebutuhan hidupnya yang
terdiri dari dua komponen pokok, yaitu kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani.
Salah satu jenis karya manusia yang berperan dalam pembangunan rohani adalah
karya seni. Beragam hasil karya seni yang diciptakan manusia, satu diantaranya
adalah jenis genre tari pasihan. Terkait dengan kebutuhan analisis artifact, tari
pasihan akan dicermati secara total bentuk karya seninya dalam koridor seni
pertunjukan.
Sociofact, merupakan bagian budaya yang terkait dengan suatu kompleks
aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam social system. Beragam aktivitas
manusia yang saling berinteraksi satu dengan lainnya, dari waktu ke waktu, selalu
menurut pola yang telah disepakati yang didasarkan pada adat tata kelakuan. Sebagai
rangkaian aktivitas manusia dalam suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat
konkret, yang terjadi di sekitar kita. Seperti kehadiran tari pasihan pada upacara-
upacara ritual perkawinan budaya Jawa, rupanya terdapat kontribusi yang cukup
signifikan. Kehadiran tari duet pasihan pada upacara-upacara resepsi perkawinan
sampai sekarang masih berlangsung. Rupanya terdapat keterkaitan yang cukup erat
antara seni pertunjukan khususnya tari duet pasihan dengan kebutuhan sosial.
Merujuk pada asumsi tersebut, peneliti akan mengkaji fungsi tari pasihan pada
upacara perkawinan dalam kehidupan sosial masyarakat pendukungnya.
a.2.2.2) Keterkaitannya dengan pengetahuan interpersonal, akan dirunut
tentang: hasil penghayatan yang melibatkan seniman dan penghayat terhadap karya
![Page 52: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/52.jpg)
52
tari pasihan. Dari penghayatan muncul sebuah penilaian. Hasil penilaian atau hasil
hayatan dari peserta tutur (seniman dan penghayat), terdapat persamaan atau
perbedaan yang masing-masing akan dicari argumentasinya.
a.2.3) konteks co-textual, mencakup kohesi dan koherensi secara menyeluruh
dalam tari pasihan. Adapun cakupan kohesi terfokus pada: keterkaitan antarunit,
antarkomponen, dan antarbagian baik yang terdapat pada teks satra tembang
maupun pada elemen-elemen tari pasihan. Cakupan koherensi terfokus pada: isi atau
kandungan makna pada masing-masing unit, masing-masing komponen, masing-
masing bagian, dan implikatur dari komplementer antarunit, antarkomponen, dan
antarbagian tari pasihan.
Sebagai arahan untuk memahami proses dan bentuk aktualisasi mengenai
aplikasi analisis pemerian teks beserta konteks tari pasihan dalam ritual perkawinan
budaya Jawa, akan dikupas secara tuntas dan mendalam dengan teori-teori yang
peneliti gunakan sebagai ancangan analisis, pada kajian berikut.
b. Prinsip Kerja Sama (PKS)
Pada dasarnya orang dalam berkomunikasi itu hendaknya saling bekerjasama
antara penutur dengan mitra tutur agar komunikasi dapat berjalan secara efektif dan
efisien. Setiap peserta pertuturan sama-sama menyadari bahwa ada prinsip-prinsip
yang mengatur tindakannya, penggunaan bahasanya, dan interpretasi-interpretasinya
terhadap tindakan dan ucapan lawan tutur (Wijana, 1996: 68). Partisipan komunikasi
sangat berkepentingan untuk memenuhi dan mematuhi prinsip kerjasama
(Cooperative Principle) yang terbagi empat maksim yaitu: (1) maksim kuantitas, (2)
maksim kualitas, (3) maksim hubungan, dan (4) maksim cara (Grice dalam Leech,
![Page 53: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/53.jpg)
53
1993: 11). Merujuk pada empat maksim dari prinsip kerjasama itu bila dapat
dipenuhi dari masing-masing peserta tutur maka akan terjadi komunikasi yang efektif
dan efisien. Terbentuknya komunikasi yang wajar tersebut karena penutur dalam
memberikan informasi secukupnya tidak kurang dan tidak lebih sesuai yang
diperlukan, informasi benar tidak keliru berdasarkan suatu realitas yang sebenarnya,
informasi usahakan relevan dengan pokok pembicaraan, dan informasi disampaikan
dengan cara yang mudah, jelas, ringkas, dan teratur secara gramatikal.
Prinsip kerjasama rupanya tidak cukup karena dalam kehidupan dibutuhkan
saling menghormati, menghargai, dan menjaga kesopanan. Perlu disadari bahwa
sebagai anggota masyarakat bahasa penutur tidak hanya terikat pada hal-hal yang
bersifat tekstual, dalam arti tidak hanya bagaimana membuat tuturan yang mudah
dipahami oleh mitra tutur, tetapi penutur juga terikat pada aspek-aspek yang bersifat
interpersonal. Dengan demikian penutur harus membuat dan memperlakukan mitra
tutur lebih santun dalam mengungkapkan tuturannya. Leech berpendapat bahwa
selain keempat maksim dalam prinsip kerjasama juga masih diperlukan prinsip
kesantunan yang terjabar menjadi enam maksim, yaitu: (1) maksim kearifan (tact
maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan kerugian orang lain dan
memaksimalkan keuntungan bagi orang lain; (2) maksim kedermawanan (generosity
maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri
dan memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri; (3) maksim pujian (approbation
maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan ketidakhormatan terhadap
orang lain dan memaksimalkan pujian kepada orang lain; (4) maksim kerendahan
hati (modesty maxim), adalah aturan pertuturan yang memaksimalkan
![Page 54: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/54.jpg)
54
ketidakhormatan terhadap diri sendiri dan meminimalkan rasa hormat terhadap diri
sendiri; (5) maksim kesepakatan (agreement maxim), adalah aturan pertuturan yang
memaksimalkan kesepakatan terhadap orang lain; (6) maksim simpati (sympathy
maxim), adalah aturan pertuturan yang meminimalkan rasa anti pati terhadap orang
lain dan memaksimalkan rasa simpati terhadap orang lain (Leech, 1993 : 206-207).
Namun, kalau kita perhatikan praktik penggunaan bahasa di dalam
komunikasi sehari-hari, ternyata prinsip kerja sama itu sering tidak dipatuhi orang.
Paling tidak, lebih sering maksim-maksim dalam prinsip kerja sama itu dilanggar
daripada dipatuhi. Tidak dipatuhi karena salah satu sebabnya adalah bahwa
komunikasi itu tidak selalu berupa penyampaian pesan atau informasi belaka. Hal ini
didasarkan pada fungsi bahasa yang mencakup: (1) fungsi referensial atau informatif
yang tujuannya untuk menyampaikan informasi (pesan), dan (2) fungsi afektif yang
bertujuan untuk menjaga dan memelihara hubungan sosial (Holmes dalam Asim
Gunarwan, 2006: 2).
Tampaklah bahwa ketidakpatuhan para partisipan dalam komunikasi karena
pada dasarnya bahwa berkomunikasi itu lebih dipicu oleh motif-motif tertentu dari
penutur. Dalam hal ini penutur berupaya memasukkan maksudnya secara implisit
pada ujaran yang diungkapkan. Penutur sering menyampaikan pesan tidak secara
bald on record tetapi lebih banyak menyukai dengan cara off record. Hal itu
menunjukan bahwa dalam pertuturan, penutur merasa lebih santun, nyaman, aman,
diharapkan tidak mengancam muka, hubungan sosialnya tetap terjaga tanpa merasa
terkendalai oleh faktor bahasa dan nonbahasa. Namun perlu disadari semua
implikatur itu bersifat probabilistis, karena dapat diasumsikan bahwa apa yang
![Page 55: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/55.jpg)
55
dimaksud oleh penutur lewat tuturannya tidak pernah dapat kita ketahui dengan pasti.
Untuk dapat menentukan makna yang sebenarnya atau menyimpulkan interpretasi
yang paling mungkin, sesuai dengan maksud percakapan, dipilih bentuk-bentuk
ungkapan yang memiliki makna paling relevan dari semua siratan yang secara
potensial dapat timbul. Untuk menarik makna sesuai dengan maksud penutur tidak
cukup hanya dengan mengasumsikan makna proposisi ujaran, betapapun eksplisitnya
proposisi. Karena pragmatik merupakan kajian tentang maksud penutur, untuk
mengetahui dan memahami makna ujarannya, kita harus mengetahui sikap penutur.
Dapat diinferensikan bahwa memahami maksud penutur, tidak cukup mengetahui
eksplikatur ujaran, tetapi kita juga harus mengetahui sikap penutur yang
melatarbelakangi eksplikatur ujaran tersebut (Asim Gunarwan, 2006: 9). Peranan
ujaran atau tindak tutur sangat penting dalam rangka menyampaikan maksud
penutur.
c. Tindak Tutur
Fungsi bahasa dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial rupanya
tidak dapat disangkal lagi. Bahasa sebagai fakta sosial telah diungkap pertama kali
oleh Ferdinand de Saussure (1916). Hal ini kemudian dikembangkan oleh para
peneliti lain. Menurut Karl Buhler (1918), tanda bahasa merupakan lambang
(symbol), gejala (symptom), dan juga Sinyal (signal). Dalam hal ini tanda bahasa
merupakan lambang yang memiliki daya sinyal untuk mengarahkan pendengar
sebagai penanggap. Berdasarkan teori tanda bahasa di dalam model Organon Buhler,
bahasa dapat difungsikan menjadi tiga, yaitu: ekspresif, apelatif, dan representatif.
Relevansi teori Buhler dengan liku-liku pragmatik dijelaskan oleh Renkema (1993),
![Page 56: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/56.jpg)
56
bahwa ujaran yang disampaikan oleh sender dapat diterima dan dipahami pada
tingkat yang sama atau berbeda oleh receiver artinya gejala tidak selalu sama dengan
sinyal. Apabila objek acuan sender sebagai message dapat diterima dan dipahami
pada tingkat yang sama atau tepat oleh receiver, artinya bahwa komunikasi efektif
dan berhasil. Sebaliknya jika yang terjadi pemahaman receiver atas objek referensi
sender berbeda bahkan berlainan sama sekali, maka akan terjadi masalah pragmatik.
Perkembangan selanjutnya Malinowski (1923: 310), dari hasil penelitian
terhadap masyarakat primitif di Papua Melanesia, menyatakan bahwa ujaran hanya
akan dapat dipahami jika ditafsirkan dalam konteks situasi. Terkait dengan fungsi
bahasa, Malinowski mengungkapkan sebuah konsep Phatic Communion: ‘A type of
speech in which ties of union are created by a mere exchange of words’ (lihat
Jumanto, 2006: 36). Dari pernyataan tersebut jelas bahwa bahasa difungsikan sebagai
tujuan sosial untuk menjaga hubungan ikatan antarpersonal bagi yang terlibat dalam
sebuah pertuturan. Komunikasi fatis merupakan strategi masyarakat modern maupun
masyarakat primitif dalam rangka menjaga interaksi sosial terpelihara dengan baik,
santun, ramah, dan harmonis.
Sekarang tampak bahwa tokoh – tokoh seperti: Ferdinand de Saussure (1916),
Karl Buhler (1918), Malinowski (1923), merupakan pakar linguistik yang telah
mendeskripsikan fungsi bahasa berdasarkan realitas kehidupan bahasa dalam
masyarakat. Mereka dengan sadar mengembangkan teori fungsi bahasa secara
berkelanjutan. Teori fungsi bahasa dari ketiga pakar tersebut merupakan langkah
awal berkembangnya fungsi bahasa yang mendorong lahirnya teori pragmatik oleh
![Page 57: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/57.jpg)
57
Austin (1956) yang kemudian dijabarkan dan dimanifestasikan dalam konsep-konsep
tindak tutur Searle (1969) berikutnya.
Speech act menurut Austin di dalam mengutarakan tuturan, seseorang dapat
melakukan sesuatu selain mengatakan sesuatu. Contohnya: “ Peneliti mohon maaf
atas keterlambatan peneliti.” Contoh ujaran atau kalimat tersebut dipergunakan untuk
melakukan tindakan yaitu tindakan meminta maaf. “ Wah, tanamannya layu.” Ujaran
atau tindak tutur tersebut dipergunakan untuk melakukan tindakan yaitu menyuruh
untuk menyirami. “ Sebaiknya anda tidak merokok.” Tuturan tersebut dimaksudkan
untuk melakukan tindakan yakni melarang atau menyuruh untuk tidak menghisap
rokok. Terkait dengan liku-liku Speech act, kita dapat mengkajinya dengan sebuah
teori tindak tutur yang diperikan menjadi beberapa jenis tindak tutur.
d. Jenis-jenis Tindak Tutur
d.1. Tindak Tutur menurut Austin (1956)
Teori tindak tutur pertama kali diungkapkan oleh Austin (1956), seorang ahli
filsafat senior dari Inggris, yang kemudian dikembangkan dan dipopulerkan secara
universal oleh muridnya yang bernama Searle (1969). Menurut Searle bahwa pada
setiap komunikasi linguistik terdapat tindak tutur. Searle dalam bukunya “Speech
Acts: An Essay in The Philosophy of Language” (1969:23-24) mengemukakan
bahwa secara pragmatik setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat
diwujudkan oleh seorang penutur, yakni tindak lokusi (locutionary act), tindak
ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act) (lihat Leech,
1993:316; Wijana, 1996: 17-19; Cutting, 2002: 16; Yule, 2006: 83-84).
![Page 58: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/58.jpg)
58
Ketiga teori tindak tutur, yaitu locutionary act, illocutionary act atau
illocutionary force, dan perlocutionary act atau perlocutionary effect merupakan
teori yang akan peneliti gunakan sebagai ancangan untuk mengkaji implikatur. Hal
ini terkait dengan pemahaman bahwa pragmatik adalah cabang linguistik yang
mengkaji maksud penutur (the speakers meaning) yang terdapat di balik tuturannya.
Maksud tuturan tidak selamanya dinyatakan secara eksplisit, akan tetapi banyak juga
bahkan dapat peneliti katakan cukup dominan maksud penutur yang diimplisitkan
pada realitas kehidupan, sehingga kita sering mengalami kesulitan untuk memahami
maksud tuturan atau implikaturnya. Untuk itu diperlukan seperangkat pengetahuan
tentang berbagai jenis tindak tutur, untuk mencermati dan memahami maksud
penutur dengan seluruh aspek yang melatarbelakangi (konteks). Adapun ketiga jenis
tindak tutur itu, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut.
a. Tindak Lokusi (locutionary act).
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini
sering disebut sebagai The Act of Saying Something. Tuturan yang diutarakan oleh
penuturnya lebih bersifat menginformasikan sesuatu, tanpa tendensi atau maksud-
maksud tertentu di balik kalimat atau ujaran, tetapi lebih menurut apa adanya. Bila
diamati secara
seksama tindak lokusi itu adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat.
Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu kesatuan yang terdiri dari
minimal dua unsur, yakni subjek atau topik dan predikat atau commet (lihat
Nababan, 1987: 4; Wijana, 1996: 18).
b. Tindak Ilokusi (illocutionary act).
![Page 59: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/59.jpg)
59
Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mengatakan atau
menginformasikan sesuatu dan dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak
ilokusi disebut sebagai The Act of Doing Something. Tindak ilokusi sangat dominan
kita jumpai dalam komunikasi sehari-hari, tindak ini merupakan bagian sentral untuk
memahami tindak tutur.
c. Tindak Perlokusi (perlocutionary act).
Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan
untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Tindak perlokusi disebut sebagai The Act of
Affecting Someone. Sebuah tuturan yang diutarakan seseorang seringkali mempunyai
daya pengaruh (perlocutionary effect) atau efek bagi yang mendengarnya. Efek yang
timbul ini bisa sengaja maupun tidak sengaja. Berdasarkan uraian-uraian di atas
menunjukkan bahwa tindak lokusi mendasari tindak ilokusi, tindak ilokusi mendasari
tindak perlokusi. Selanjutnya tindak perlokusi sebagai final maksud suatu ujaran di
dalam komunikasi bahasa. Dalam tindak lokusi bentuk-bentuk kebahasaan sebagai
alat untuk mengungkapkan informasi secara eksplisit. Dalam tindak ilokusi dan
perlokusi bentuk-bentuk kebahasaan sebagai simbol untuk mengungkapkan maksud
yang sebenarnya. Simbol itu dapat ditangkap sebagai sesuatu isyarat maksud tertentu
jika wawasan budaya, kebiasaan antara pendengar dan pembicara sama.
Tidak semata-mata tindak perlokusi hanya ditarik dari makna ujaran, karena
harus melibatkan konteks tuturannya. Dapat ditegaskan bahwa setiap tuturan dari
seorang penutur memungkinkan sekali mengandung salah satu dari ketiga: lokusi,
ilokusi atau perlokusi. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa satu tuturan
mengandung dua atau ketiga-tiganya sekaligus. Kunci utama yang perlu diperhatikan
![Page 60: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/60.jpg)
60
bahwa dalam analisis pragmatik adalah mencermati ilokusi-ilokusi yang terdapat
pada tindak tutur dari penutur yang hendak dikomunikasikan pada mitra tutur, untuk
mencari implikatur atau makna di balik ujaran yang tersirat bukan sekadar makna
yang tersurat dalam ujaran dimaksud. Tidaklah dipungkiri bahwa dalam kajian tindak
tutur ilokusi tidak lepas dari tindak tutur lokusi dan tindak tutur perlokusi.
d.2. Tindak Tutur menurut Searle (1979)
Sehubungan dengan pengertian tindak tutur atau tindak ujar, Searle (1979)
mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis tuturan, yakni: asertif,
direktif, ekspresif, komisif, dan deklarasi (lihat Leech, 1996: 164-165; Cutting, 2002:
16-17). Dari masing-masing tindak tutur mempunyai fungsi komunikatif, yaitu:
d.2.1. Asertif ialah bentuk tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada
kebenaran atas hal yang dikatakannya, misalnya: menggambarkan, menyatakan,
membuat hipotesa, mendesak, meramalkan, membual, mengeluh, mengusulkan, dan
melaporkan.
d.2.2. Direktif, ialah bentuk tindak tutur yang dimaksudkan oleh penuturnya
untuk mempengaruhi mitra tutur agar melakukan tindakan sesuai dengan maksud
penutur, misalnya: menyuruh, memohon, mengundang, melarang, menuntut,
memesan, menyarankan, dan menantang.
d.2.3. Ekspresif, ialah bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk menyatakan
atau mengungkapkan sikap psikologis penutur dalam menanggapi suatu keadaan,
misalnya: meminta maaf, memuji, mengucapkan selamat, mengucapkan terima
kasih, menyesal, penyesalan, mengkritik, dan mengeluh.
![Page 61: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/61.jpg)
61
d.2.4. Komisif, ialah bentuk tindak tutur yang mengikat penuturnya
melaksanakan segala hal yang disebutkan dalam ujarannya, misalnya: berjanji,
bersumpah, mengancam, tawaran, menolak, berkaul dan sukarela.
d.2.5. Deklaratif, ialah tindak tutur yang dilakukan si penutur dengan maksud
untuk menciptakan hal (status, keadaan dan sebagainya) yang baru, misalnya:
meyakinkan, mendeklarasikan, menekankan, membaptis, memutuskan,
membatalkan, melarang, mengizinkan, memberikan maaf, memecat, mengundurkan
diri, memberi nama, mengangkat, mengucilkan, dan menjatuhkan hukuman.
d.3. Tindak Tutur menurut Yule (1996)
Menurut Yule (1996), secara garis besar fungsi tindak tutur diklasifikasi
menjadi lima jenis, yaitu:
d.3.1. Deklaratif ialah jenis tindak tutur yang mengubah dunia melalui
tuturan. Dalam hal ini penutur harus mempunyai peran institusional khusus, dalam
konteks khusus, untuk menyatakan atau mengemukakan deklarasi secara tepat.
d.3.2. Representatif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan apa yang
diyakini penutur. Pernyataan tersebut berdasarkan pada fakta, penegasan, simpulan,
dan pendeskripsian.
d.3.3. Ekspresif ialah jenis tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang
dirasakan oleh penutur. Tindak tutur ekspresif merupakan cerminan dari pernyataan-
pernyataan psikologis dan dapat berupa pernyataan kegembiraan, kesulitan,
kesukaan, kebencian, kesenangan, dan bisa kesengsaraan atau kesedian.
d.3.4. Direktif ialah jenis tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk
menyuruh orang lain melakukan sesuatu. Bentuk tindak tutur direktif digunakan
![Page 62: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/62.jpg)
62
untuk menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur. Tindak tutur ini meliputi:
perintah, pemesanan, permohonan, dan pemberian saran, yang bentuknya dapat
berupa kalimat positif dan negatif.
d.3.5. Komisif ialah jenis tindak tutur yang dipahami oleh penutur untuk
mengikatkan dirinya terhadap tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Tindak
tutur komisif dapat berupa: janji, ancaman, ikrar, dan penolakan.
d.4. Tindak Tutur menurut Kreidler (1998)
Dalam perkembangan selanjutnya, Kreidler mengkategorisasikan tindak tutur
menjadi tujuh jenis bentuk tindak tutur, seperti yang dikemukakan dalam bukunya
“Introducing English Semantics” (1998:183-194), yaitu:
d.4.1. Tindak tutur Asertif
Di sini penutur menggunakan bahasa untuk menyampaikan apa yang mereka
percayai dan apa yang mereka ketahui, tindak tutur asertif selalu berkaitan dengan
fakta, pengetahuan, data, apa yang ada atau yang telah ada, apa yang sedang terjadi
atau yang telah terjadi. Tindak tutur asertif bersifat menginformasikan, benar atau
salah, dan secara umum mereka dapat dibenarkan atau disalahkan bukan hanya pada
waktu tindak tutur tersebut keluar atau oleh mereka yang mendengarnya, namun
secara lebih umum mereka adalah subjek bagi penyelidikan empiris.
d.4.2. Tindak tutur Performatif
Tindak tutur performatif adalah tuturan yang pengutaraannya difungsikan
atau digunakan untuk melakukan suatu tindakan, misalnya tindakan mohon maaf,
berjanji, bertaruh, mengumumkan, dan meresmikan. Tindak-tutur performatif
ditemukan pada ucapan-ucapan pernikahan, pemecatan kerja, penjatuhan hukuman
![Page 63: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/63.jpg)
63
dan lain-lain di mana hanya orang-orang tertentu dan pada lingkungan yang sesuai
yang diterima oleh mitra tutur. Kebanyakan tindak tutur performatif diungkapkan
pada setting formal dan berkaitan dengan kepegawaian. Tindak tutur performatif
bukanlah masalah benar atau salah tetapi tujuannya adalah untuk membuat bagian
dari dunia ini sepaham dengan apa yang ia katakan.
d.4.3.Tindak tutur Verdiktif
Tindak tutur verdiktif adalah tindak tutur yang berorientasi pada perbuatan
yang sudah terjadi atau bersifat retrospektif. Tindak tutur restrospeksi adalah jika
penutur menilai sikap yang telah dilakukan mitra tutur di masa lalu. Sikap itu bisa
ditanggapi secara positif dengan mengucapkan “selamat… untuk”, “bangga…
untuk”, “terima kasih… untuk”, bentuk menghargai, dan berbelasungkawa. Di
samping dalam bentuk tuturan di atas, tindak tutur verdiktif dapat berupa tuturan
yang bersifat menuduh, mendakwa, menyalahkan atau tanggapan yang mengarah
pada penilaian yang negatif.
d.4.4. Tindak tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif menilai atau mengevaluasi tindakan sebelumnya atau
kegagalan dalam tindakan tersebut dari penutur, atau mungkin hasil bertindak atau
kegagalan sekarang. Menurut Fraser tindak tutur ekspresif disebut pula tindak tutur
evaluatif (dalam Rustono, 1999; 30). Tindak tutur ekspresif adalah jenis tindak tutur
yang menyatakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur. Tuturan-tuturan ekspresif itu
mencerminkan pernyataan-pernyataan psikologis yang dapat berupa: memuji,
mengucapkan terima kasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, mengucapkan
selamat, dan menyanjung.
![Page 64: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/64.jpg)
64
d.4.5. Tindak tutur Direktif
Tindak tutur direktif kadang-kadang disebut juga tindak tutur impositif adalah
tindak tutur di mana penutur menginginkan mitra tutur melakukan suatu tindakan
atau mengulangi tindakan. Tindak tutur direktif ini tuturan-tuturannya mempunyai
maksud untuk memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak,
memohon, menyarankan, memerintah, memberikan aba-aba, dan menantang. Pada
aplikasinya tindak tutur direktif, dapat berbentuk: (1) kalimat perintah (imperatif),
(2) kalimat berita (deklaratif), dan (3) kalimat tanya (interogatif).
d.4.6. Tindak tutur Komisif.
Tindak tutur komisif merupakan bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk
menyatakan janji-janji, ikrar, pengandaian, ancaman dan sumpah. Tindak tutur
komisif bersifat prospektif dan berkaitan dengan komitmen penutur pada perbuatan
atau tindakan yang harus dilakukan untuk waktu yang akan datang.
d.4.7. Tindak tutur Patik.
Tindak tutur fatik merupakan bentuk tindak tutur yang berfungsi untuk
menjalin hubungan sosial. Tujuannya adalah untuk membangun solidaritas antar
anggota-anggota dari lingkungannya. Bahasa patik tidak begitu berfungsi dengan
jelas jika dibandingkan dengan enam tipe lainnya tetapi, tidak kalah arti pentingnya
dalam realitas kehidupan sehari-hari. Tindak tutur patik termasuk salam, ucapan
perpisahan, ucapan-ucapan kesantunan seperti “terima kasih kembali”, “maaf
peneliti”, yang mempunyai tujuan tertentu, bukan seperti makna yang tersurat dan
tersirat dalam tindak tutur verdiktif atau ekspresif. Tindak tutur fatik merupakan
bentuk tindak tutur keseharian yang sangat umum yang mungkin tidak kita pelajari
![Page 65: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/65.jpg)
65
tapi sudah melekat dan menjadi kebiasaan sehari-hari yang bernilai baik dan
beretika. Sedangkan bentuk atau ragamnya tindak tutur fatik sudah terpola.
Dari keempat pakar yaitu: Austin, Searle, Kreidler, dan Yule tentang fungsi
tindak tutur tersebut dapat peneliti verifikasi sebagai berikut.
Konsep tindak tutur Austin merupakan dasar utama yang melandasi fungsi
tindak tutur yang muncul di kemudian, karena Austin merupakan orang pertama kali
yang mengemukakan teori tindak tutur yang membaginya menjadi tiga bentuk yaitu:
lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Dalam perkembangannya teori tindak tutur di tangan para pakar
diklasifikasikan menurut fungsinya yang secara garis besar memiliki kesamaan. Dari
hasil pengklasifikasian tersebut terdapat beberapa persamaan dan perbedaan:
1. Persamaan istilah dan sekaligus persamaan pengertian, bentuk fungsi
tindak tutur menurut Searle, Kreidler, dan Yule, meliputi tindak tutur: direktif,
ekspresif, dan komisif. Selain itu menurut Searle dan Kreidler juga terdapat
persamaan pada tindak tutur asertif, sedangkan menurut Searle dan Yule, persamaan
juga terletak pada tindak tutur deklaratif.
2. Perbedaan istilah tetapi pengertiannya sama. Menurut Searle dan Kreidler
tentang fungsi tindak tutur asertif mempunyai persamaan pengertian dengan fungsi
tindak tutur representatif menurut Yule. Di samping itu menurut Searle dan Yule,
fungsi tindak tutur deklaratif mempunyai persamaan pengertian dengan fungsi tindak
tutur performatif menurut Kreidler.
![Page 66: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/66.jpg)
66
3. Perbedaan jumlah fungsi tindak tutur. Hal ini ditunjukan oleh Kreidler
yang membagi fungsi tindak tutur menjadi tujuh bentuk, sedangkan Searle dan Yule
masing-masing mengklasifikasikan menjadi lima bentuk tindak tutur.
Dari ketiga fungsi tindak tutur yang dikemukakan oleh Searle, Yule, dan
Kreidler, peneliti akan menggunakan fungsi tindak tutur menurut Kreidler karena
tampak dari jumlah pengklasifikasian Kreidler lebih banyak yang masing-masing
tindak tutur memiliki karakter yang spesifik sehingga dapat lebih mengakomodasi
kebutuhan analisis bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam genre tari
pasihan. Selain itu terkait juga dengan fungsi tindak tutur verdiktif dan tindak tutur
fatik yang tidak dimiliki dalam fungsi tindak tuturnya Searle dan Yule. Pada
dasarnya penutur dalam mengungkapkan maksudnya terhadap mitra tutur tidak selalu
langsung pokok pembicaraan. Peserta pertuturan sering menggunakan bahasa fatik
untuk sekedar memulai pembicaraan atau sekadar basa-basi mungkin juga untuk
memecahkan kesenyapan yang kesemunya itu berlangsung dalam pertuturan sehari-
hari. Begitu pula ketika seseorang mencintai orang lain, ungkapan memuji
merupakan pernyataan yang cukup dominan dalam sebuah pertuturan. Prediksi
peneliti, kedua fungsi tindak tutur tersebut sangat bermanfaat untuk menganalisis
tindak tutur teks satra tembang dan bahasa nonverbal yang terdapat pada genre tari
pasihan.
Terkait dengan kelebihan yang dimiliki tersebut gagasan utama pemilihan
dimaksud adalah dalam rangka mencari dan menentukan implikatur yang valid
sehingga pragmatik genre pasihan dapat diungkapkan secara menyeluruh, rasional,
optimal, dan berkualitas. Selain itu dari penjabarannya fungsi tindak tutur yang
![Page 67: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/67.jpg)
67
dilakukan Kreidler tampak lebih transparan, hal ini dapat dicermati dalam bukunya
yang berjudul “Introducing English Semantics”, yang dipaparkan dengan
menggunakan bagan antara lain tindak tutur: verdiktif, ekspresif, direktif, dan
komisif .
Tindak tutur tersebut akan peneliti gunakan untuk mengkaji komponen-
komponen yang terdapat pada genre tari pasihan gaya Surakarta baik yang terdapat
pada bahasa verbal dan nonverbal secara tajam, menyeluruh, dan rinci dalam rangka
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada rumusan masalah. Terutama
terkait dengan latar belakang konsepsi penciptaan bahasa verbal dan nonverbal serta
ciri karakteristik genre tari pasihan gaya Surakarta.
Adapun unsur-unsurnya dapat diurai sebagai berikut.
1. Penutur meliputi: seniman penyusun (pengkarya), dan penari.
2. Tuturan (karya seni) meliputi: a. tindak tutur bahasa verbal yang berupa
teks sastra tembang terdiri dari; cakepan (syair) pathetan, sindhenan, gerongan, dan
jineman. b. tindak tutur bahasa nonverbal yang meliputi: tema, gerak tubuh (kinetic
body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan iringan.
3. Mitra tutur meliputi: pakar, penonton umum, dan penanggap sebagai
masyarakat pendukung budayanya.
e. Prinsip Kesantunan (PS)
e.1. Skala Kesantunan Leech (1983)
Teori kesantunan Leech (1983), bahwa setiap maksim interpersonal itu dapat
dimanfaatkan untuk menentukan peringkat kesantunan sebuah tuturan. Berikut
kesantunan menurut Leech selengkapnya:
![Page 68: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/68.jpg)
68
e.1.1. Cost-benefit scale adalah skala yang menunjuk pada untung ruginya
peserta tutur dalam pertuturan. Tindak tutur yang banyak merugikan penutur akan
dianggap semakin santun, dan jika banyak menguntungkan penutur akan dianggap
tindak tuturnya semakin tidak santun.
e.1.2. Optionality scale adalah skala yang menunjuk pada sedikit-banyaknya
pilihan tindak tutur yang digunakan peserta tutur dalam pertuturan. Jika pertuturan
itu banyak memberikan kesempatan peserta tutur untuk memilih tuturan maka tindak
tutur akan semakin santun. Sebaliknya, apabila pertuturan itu membatasi peserta
tutur untuk memilih tuturan maka tindak tutur semakin tidak santun.
e.1.3. Indirectness scale adalah skala yang menunjuk pada langsung dan tidak
langsungnya maksud tindak tutur dalam pertuturan. Tindak tutur yang bersifat
langsung semakin tidak santun, sedangkan tindak tutur yang bersifat tidak langsung
akan semakin santun.
e.1.4. Authority scale adalah skala yang menunjuk pada hubungan status
sosial antara penutur dengan mitra tutur. Jarak status sosial (rank rating) semakin
jauh antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santun tindak tuturnya. Akan
tetapi jika jarak status sosial semakin dekat antara penutur dengan mitra tutur, akan
semakin tidak santun tindak tuturnya..
e.1.5. Social distance scale adalah skala yang menunjuk pada peringkat
hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur. Jarak hubungan sosial semakin jauh
antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin santun tindak tuturnya. Sedangkan
semakin dekat hubungan sosial antara penutur dengan mitra tutur, akan semakin
tidak santun tindak tuturnya.
![Page 69: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/69.jpg)
69
e.2. Skala Kesantunan Brown dan Levinson (1987)
Teori kesantunan Brown dan Levinson (1987) seperti dikutip Jumanto dalam
disertasinya (2006: 47-53), bahwa dalam sebuah pertuturan terkait dengan
pengaturan muka terbagi menjadi dua yaitu tindak tutur yang berpotensi mengancam
muka (face-threatening acts/FTA) dan tindak tutur yang berpotensi menyelematkan
muka (face-saving acts/FSA). Menurut Goffman (1959, 1967), pada dasarnya setiap
orang dianggap memiliki dua muka, yakni muka positif (positive face) dan muka
negatif (negative face). Muka positif dimaksudkan bahwa keinginan setiap orang
supaya segala tindakannya dihargai oleh orang lain, sedangkan muka negatif
dimaksudkan bahwa keinginan setiap orang supaya segala tindakannya tidak
dihalangi orang lain ( Brown dan Levinson, 1987: 62). Kajian kesantunan Brown dan
Levinson mencakup: a) cara mengungkapkan jarak sosial (social distance) dan
hubungan peran yang berbeda dalam komunikasi; b) penggunaan muka dalam
komunikasi, yang keduanya dimaksudkan untuk menunjukkan, memelihara, dan
menyelamatkan muka dalam percakapan. Dalam percakapan untuk mengungkapkan
kesantunan, Brown dan Levinson menggunakan dua cara yaitu strategi kesantunan
positif yang mengacu pada muka positif dan strategi kesantunan negatif yang
mengacu pada muka negatif. Strategi kesantunan positif (positive politeness
strategies) yang digunakan untuk menunjukkan kedekatan, keintiman, dan hubungan
baik antara penutur dengan mitra tutur, sedangkan strategi kesantunan negatif
(negative politeness strategies) yang digunakan untuk menunjukkan adanya jarak
sosial antara penutur dengan mitra tutur.
![Page 70: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/70.jpg)
70
Teori kesantunan Brown dan Levinson dapat diringkas menjadi lima strategi,
yaitu: 1) melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa basi (bald on record)
dengan mematuhi prinsip kerja sama Grice. Prinsip kerja sama Grice (1975) seperti
dikutip Leech (1993: 11), terdiri dari empat maksim yang digunakan dalam
percakapan, yaitu: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim hubungan atau
relevansi, dan maksim cara. 2) melakukan tindak tutur dengan menggunakan
kesantunan positif mengacu muka positif (positive politiness), untuk menunjukkan
kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan mitra tutur. 3)
melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif mengacu muka
negatif (negative politiness), untuk menunjukkan adanya jarak sosial antara penutur
dengan mitra tutur. 4) melakukan tindak tutur secara tidak langsung (off record). 5)
tidak melakukan tindak tutur atau diam (don’t do the FTA).
f. Implikatur dan Daya Pragmatik
f.1. Implikatur
Istilah implikatur berasal dari bahasa Latin plicare yang berarti “melipat.”
Derivasinya dalam bahasa Inggris adalah kata kerja “to imply“ yang aslinya
bermakna “to fold something into something else“ (melipat sesuatu ke dalam sesuatu
yang lainnya). Dari sini kemudian asal makna kata implikatur, yang diasalkan dari
kata “implied” yang berarti “folded in“ (terlipat) dan harus dibuka lipatan tersebut
(unfolded) jika kita ingin mengetahui artinya. Cara yang ditempuh untuk memahami
implikatur dalam komunikasi sehari-hari, kita harus menghubung-hubungkan tindak
ujar yang disampaikan penutur terhadap mitra tutur dengan konteks. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman, setidaknya dapat meminimalisasi
![Page 71: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/71.jpg)
71
kesalahan sewaktu kita menafsirkan maksud penutur. Implikatur – implikatur yang
disiratkan dalam ujaran merupakan sumber utama dari pragmatik yang difungsikan
sebagai nilai komunikasi yang dimotifasi dari beragam keinginan penutur.
Istilah implikatur percakapan dikaitkan dengan konsep Grice tentang prinsip
kerjasama (PK) dan maksim-maksimnya. Menurut Grice (1975: 45), komunikasi itu
akan berjalan dengan efisien dan efektif jika para peserta tutur bekerjasama satu
sama lain. Artinya, peserta komunikasi perlu mematuhi prinsip kerjasama
(Cooperative Principle), yang dijabarkan menjadi empat, yaitu maksim kuantitas,
maksim kualitas, maksim hubungan dan maksim cara. Jika keempat maksim itu
dipenuhi maka penyampaian informasi akan menjadi efektif dan efisien. Secara
ringkas seorang penutur dikatakan memenuhi maksim-maksim Grice apabila ia
memberikan informasi tidak lebih atau tidak kurang dari yang dibutuhkan,
informasinya benar atau tidak keliru, informasi itu relevan dengan pokok
pembicaraan dan penyampaiannya baik dan mudah dipahami, jelas, sistematis,
langsung dan tidak bertele-tele. Namun demikian penutur tidak selalu
mematuhi maksim-maksim Grice tersebut. Pelanggaran terhadap maksim Grice
inilah oleh para pakar pragmatik disinyalir menyebabkan timbulnya suatu implikatur
percakapan, yakni makna atau pesan tambahan yang menjadi bagian dari komunikasi
yang tidak dikatakan.
Yule (1998), menyatakan bahwa implikatur dalam pragmatik terkait dengan
cara kita memahami suatu tuturan di dalam percakapan sesuai dengan yang kita
harapkan. Suatu respon percakapan yang tampaknya kurang tepat dapat menjadi
berterima jika kita hubungkan dengan konteksnya. Sejalan pendapat Yule, Mey
![Page 72: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/72.jpg)
72
(2001) memberi batasan bahwa implikatur adalah “an additional conveyed
meaning”, maksudnya yakni makna tambahan yang lebih dari yang
dikomunikasikan. Dalam hal ini, penutur yang memilih berkomunikasi dengan
implikatur, sedangkan mitra tutur (petutur) bertugas mengasumsikan bahwa penutur
bekerjasama dalam percakapan yang mereka lakukan sehingga ia dapat mengenali
makna tambahan yang dimaksudkan dalam percakapan dengan menarik simpulan
(inference). Menurut Levinson (1983: 97, implikatur percakapan adalah “ the notion
of conversational implicature is one of the single most important ideas in
pragmatics”. Menurutnya implikatur dapat menjelaskan secara eksplisit tentang
bagaimana memakai apa yang diucapkan secara lahiriah berbeda dengan apa yang
dimaksud dan pemakai bahasa itu mengerti pesan yang dimaksud. Dari ketiga pakar
secara ringkas dapat disarikan, implikatur adalah makna yang disiratkan dalam
sebuah percakapan.
f.2. Daya Pragmatik
Leech mempostulatkan bahwa pragmatik umum mengaitkan makna suatu
tuturan dengan daya pragmatik tuturan tersebut. Kaitan ini dapat bersifat langsung
atau tidak langsung (1993: 45). Tugas pragmatik adalah menjelaskan kaitan antara
dua jenis arti tersebut yakni, antara makna harfiah dengan daya atau ilokusi. Ia
berasumsi bahwa makna dapat diperikan lewat representasi semantik sedangkan daya
diperikan melalui seperangkat implikatur. Dasar hipotesisnya bahwa semua
implikatur itu bersifat probabilistis, karena apa yang dimaksud oleh penutur dengan
tuturannya tidak pernah dapat kita ketahui dengan pasti sekali. Hanya dengan
beberapa faktor seperti kondisi yang dapat diamati, bentuk tuturan, dan konteks,
![Page 73: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/73.jpg)
73
mitra tutur bertugas membuat simpulan interpretasi yang paling mungkin. Dengan
tegas Leech (1993: 24), menyatakan bahwa makna (sense) yaitu makna yang
ditentukan secara semantis sedangkan daya (force) yaitu makna yang ditentukan
secara semantis dan pragmatik. Adapun ikatan antara makna dan daya perlu disadari,
bahwa daya mencakup makna, dan secara pragmatik, daya sekaligus juga dapat
diturunkan dari makna.
Jika kita cermati sebenarnya implikatur dan daya pragmatik merupakan dua
buah batasan yang merujuk pada sebuah makna. Artinya bahwa masing-masing
batasan, baik implikatur maupun daya pragmatik secara garis besar mengacu pada
satu objek yang sama yakni, makna yang disiratkan dalam sebuah pertuturan. Dari
beberapa pakar linguistik sependapat bahwa implikatur adalah makna yang disiratkan
dalam sebuah percakapan. Sedangkan daya pragmatik menurut Leech, dapat
diperikan melalui seperangkat implikatur. Artinya daya pragmatik merupakan
kekuatan atau force yang muncul dari implikatur.
2. Teori Budaya.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan belajar (Koentjacaraningrat, 1990:180). Adapun wujud kebudayaan
mencakup tiga (3) substansi, yakni: a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; b. Wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia
dalam masyarakat; dan c. Wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya
manusia.
![Page 74: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/74.jpg)
74
Wujud kebudayaan tersebut dalam realitas kehidupan masyarakat sosial tidak
dapat dipisah-pisahkan, saling terdapat keterkaitan antar substansinya. Wujud ide
dan gagasan-gagasan manusia memberikan jiwa atau pun roh dalam kehidupan
masyarakat. Sistem sosial masyarakat yang mencakup aktivitas-aktivitas manusia
dalam berkomunikasi, berhubungan, dan berinteraksi satu dengan lainnya, akan
dikendalikan dan diatur oleh prinsip-prinsip nilai, norma-norma, peraturan yang telah
disepakatinya. Begitu pula kondisi kehidupan budaya seseorang sangat
mempengaruhi persepsi dan penciptaan makna pada setiap peristiwa sosial, yang
dalam setiap kehidupan sosial selalu melibatkan intersubjektif dan pembentukan
makna. Sehingga keragaman budaya sebagai latar seseorang yang telah dibentuk
sejak lahir akan mempengaruhi, membentuk, dan menimbulkan sikap, perilaku, dan
hasil karya seseorang beragam pula (Sutopo, 2006).
Untuk memahami budaya Jawa, kita dapat mengamati dan mencermati dari
salah satu wujud kebudayaanya yang berupa seni pertunjukan tari. Dalam tari Jawa
bentuk ekspresinya pada hakekatnya terwujud berdasarkan alam emosi, yaitu bentuk
dan iramanya kuat-kuat dilatarbelakangi oleh konsep keindahan dan tradisi
kebudayaannya (Humardani, 1991:10). Seni tradisional termasuk tari sebagai budaya
yang diwarisi secara turun-temurun sudah barang tentu memiliki kesinambungan
dengan budaya sebelumnya. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ogburn
mengutarakan bahwa penemuan-penemuan baru memerlukan suatu latar belakang
transmisi kebudayaan dari penemuan-penemuan terdahulu (dalam Soerjono
Soekanto, 1983:100). Pewarisan budaya tidaklah bersifat statis, tetapi masing-masing
![Page 75: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/75.jpg)
75
generasi mencoba untuk mengadakan perubahan-perubahan disesuaikan dengan
kondisi kehidupan masyarakat pendukungnya.
Perubahan merupakan suatu kesinambungan yang lebih daripada sekedar
patokan antara sebelum dan sesudah, maka laju transpormasi menjadi penting
artinya. Dengan demikian tanpa jangka waktu tidak akan terjadi peristiwa perubahan.
Segala sesuatu yang dihadapi manusia di muka bumi ini dalam kehidupannya semua
mempunyai temporalitas atau historisitas. Semuanya berawal dan berakhir dalam
suatu proses yang terus-menerus melalui dimensi waktu (Ibrahim Alfian, 1999:2).
Perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari
adanya kecenderungan niat yang menghendaki suatu kehidupan yang lebih baik dari
sebelumnya. Dalam mencapai taraf hidup yang lebih baik, manusia memiliki
berbagai usaha lewat penemuan-penemuan baru untuk memenuhi sekaligus
menjawab tuntutan kebutuhan yang muncul sesuai dengan konteks budaya yang
berlaku. Seperti kehidupan seni tradisional kita yang dapat bertahan hidup dan lebih
berkembang di tengah-tengah masyarakat, baik sebagai hiburan, ritual maupun untuk
keperluan lain yang sifatnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan sosial masyarakat.
Seni pertunjukan tari merupakan wujud keseluruhan dari sistem,
kompleksitas berbagai unsur–unsurnya yang membentuk suatu jalinan atau kesatuan,
saling terkait secara utuh, sehingga mampu memberikan daya apresiasi. Tari sebagai
wujud budaya yang merupakan hasil karya manusia diharapkan mampu memberikan
manfaat. Wujud karya seni sebagai ekspresi seniman memiliki beragam pesan
rupanya tidak mudah untuk dipahami untuk itu diperlukan sebuah kajian tersendiri.
Karena pada dasarnya tari dapat terwujud dari komplemen berbagai elemen. Bertolak
![Page 76: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/76.jpg)
76
dari pandangan tersebut peneliti akan menggunakan teori budaya sebagai analisis
karya seni yakni genre tari pasihan. Kajiannya akan terkait dengan tiga komponen
yaitu seniman sebagai faktor genetik, karya seni sebagai faktor objektifnya, dan
masyarakat yang bertindak penghayat sebagai faktor afektif. Adapun bentuk
aplikasinya dirancang sebagai berikut.
a. Kompleks Ide.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide gagasan, nilai-nilai,
norma-norma, peraturan dan sebagainya akan digunakan sebagai kajian faktor
genetik. Terutama untuk mencermati latar belakang konsepsi penciptaan bagi
penyusun tari sebagai muatan atau pesan pada genre tari pasihan gaya Surakarta
yang hendak disampaikan kepada masyarakat sebagai penghayat atau penikmat.
Adapun isi sebagai kandungan makna pada genre tari pasihan adalah nilai cinta
kasih yang merupakan salah satu nilai-nilai kehidupan yang fundamental. Nilai–nilai
humanisme pada prinsipnya merupakan sumber nilai-nilai sekaligus lahan kajian
yang utama dalam seni pertunjukan, tidak terkecuali seni tari. Pada analisisnya
peneliti akan mengkaji keterkaitan nilai cinta kasih yang menjadi muatan genre tari
pasihan dengan ritual perkawinan adat Jawa terutama bagi sepasang mempelai
temanten.
b. Kompleks Aktivitas.
Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat akan peneliti gunakan sebagai analisis faktor
afektifnya atau persepsi masyarakat terhadap sajian genre tari pasihan. Pada
dasarnya bahwa masyarakat sebagai penghayat adalah masyarakat heterogen yang
![Page 77: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/77.jpg)
77
secara kultur beragam pula latar belakangnya. Berbekal keberagaman latar kultur
tersebut akan mempengaruhi hasil hayatan yang berujung pada perbedaan-perbedaan
dan sekaligus persamaan persepsi masyarakat. Realitas yang demikian merupakan
dinamika kehidupan yang wajar dalam dunia seni pertunjukan. Terkait dengan
analisis genre tari pasihan, peneliti akan mencermati lebih fokus pada hal-hal yang
menyebabkan perbedaan dan persamaan persepsi masyarakat, serta mengapa hal itu
terjadi. Analisis ini akan didasarkan pada aktivitas–aktivitas di lapangan terutama
pada peristiwa pementasan tari duet percintaan tersebut pada ritual perkawinan adat
Jawa.
c. Benda Fisik.
Wujud kebudayaan berupa benda-benda hasil karya manusia terkait dengan
analisis faktor objektif pada penelitian ini adalah karya seni yang berupa tari
Karonsih dan tari Bondhan sayuk. Karya tari tersebut terdiri dari teks verbal (teks
sastra tembang) yang berupa cakepan (syair) yang terdapat dalam pathetan,
sindhenan, gerongan, dan jineman. Sedangkan aspek bahasa nonverbal meliputi:
tema, gerak tubuh (kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan
iringan. Kedua aspek tersebut akan dikaji secara komplementer untuk mendapatkan
gambaran yang utuh dan jawaban yang memadahi tentang ciri karakteristik genre tari
pasihan gaya Surakarta. Selain itu untuk mengetahui makna yang terkandung dalam
teks verbal dan nonverbal genre tari pasihan dalam rangka merunut dan
mengembangkan makna yang lebih central.
3. Teori Seni Pertunjukan.
![Page 78: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/78.jpg)
78
Seni pertunjukan pada umumnya merupakan seni kolektif, artinya bahwa seni
pertunjukan dimaksud tidak dapat disajikan secara mandiri, akan tetapi lebih
merupakan suatu perpaduan dari beberapa cabang seni yang merupakan satu
kesatuan menjadi suatu bentuk yang utuh. Menurut Suzanne K. Langer (dalam
Widaryanto, 1998:15) bentuk dalam pengertian yang paling abstrak berarti struktur,
artikulasi sebuah hasil kesatuan yang menyeluruh dari suatu hubungan dari berbagai
faktor yang saling bergayutan.
Pada dasarnya bentuk seni pertunjukan tari merupakan wujud keseluruhan
dari beberapa cabang seni yang sangat fundamental, yakni meliputi: seni musik, seni
rupa, seni sastra dan seni tari. Dari berbagai cabang seni tersebut satu dengan lainnya
saling terkait, saling melengkapi dan saling mendukung sehingga membentuk suatu
jalinan yang saling berinteraksi untuk membentuk menjadi sebuah konstruksi
penyajian tari. Adapun elemen-eleman tari, yang utama terdiri dari: tema, gerak
tubuh, polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan. Masing-masing elemen tersebut
saling komplementer yang pada penyajiannya akan terikat ruang dan waktu, karena
pada prinsipnya seni pertunjukan merupakan seni sesaat. Hal itu sejalan dengan
pendapat Soedarsono, yang menyatakan bahwa seni pertunjukan sebagai seni yang
hilang dalam waktu, yang hanya bisa kita nikmati apabila seni tersebut sedang
dipertunjukkan, ia sudah merupakan masalah yang cukup sulit apabila kita akan
menelitinya, apa lagi untuk melacak sejarahnya (2003:1).
Mengingat seni pertunjukan merupakan sarana untuk mengekspresikan
maksud seniman maka unsur-unsur yang terdapat di dalamnya akan menjadi objek
analisis. Teori seni pertunjukan dapat mengungkap makna dari masing-masing unsur,
![Page 79: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/79.jpg)
79
sejak dari antarunit hingga antarkomponen yang lebih besar dan keterkaitannya
untuk pengembangan temuan makna secara total. Dengan teori seni pertunjukan akan
peneliti gunakan untuk mengkaji elemen-elemen yang terkandung di dalam tari
untuk mengungkapkan dari faktor objektifnya dan faktor genetik. Adapun elemen-
elemen tari yang dimaksud antara lain dapat kita cermati berikut ini.
a. Tema
Tema adalah rujukan cerita yang dapat menghantarkan seseorang pada
pemahaman esensi nilai-nilai kehidupan. Tema dapat ditarik dari sebuah peristiwa
atau cerita, yang selanjutnya dijabarkan menjadi alur cerita sebagai kerangka sebuah
garapan. Dalam seni pertunjukan di Indonesia cerita-cerita yang dipilih lazimnya
bertolak pada sumber cerita yang pokok, antara lain: Mahabharata, Ramayana,
Babad, cerita rakyat, mitos dan sejarah. Selain sumber-sumber cerita itu terdapat
cerita-cerita fiktif yang sering diangkat dalam layar kaca, layar lebar, dan pada
pertunjukan teater-teater modern, seperti Cinderela, Si Buta dari Gua Hantu, Kiamat
Sudah Dekat, Si Kaya dan Si Miskin.
b. Gerak Tubuh (kinetic body moves)
Gerak tubuh manusia, menurut sifatnya dapat digolongkan ke dalam berbagai
bentuk gerak, di antaranya: gerak aktif, gerak kata, gerak bagian, gerak kata baru,
gerak indah, gerak tari, dan gerak praktis (Humardani, 1991: 6-9). Gerak aktif adalah
gerak tubuh yang mengandung maksud-maksud tertentu, yang dilakukan sedemikian
rupa sehingga lawan tergerak atau terpacu. Contohnya: angkat bahu, pejam mata,
tutup telinga dan sebagainya. Gerak kata adalah gerak-gerak aktif yang digunakan
untuk menceriterakan suatu maksud. Contohnya: kesatuan dari rangkaian gerak
![Page 80: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/80.jpg)
80
kepala menunduk, tangan kanan memegang kening, tangan kiri memegang perut, dan
sambil duduk, dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa sedih, bisa kecewa, bisa
merenung,dan bisa juga menyesal. Bentuk lain: kepala mengangguk, kepala
menggeleng, tangan melambai. Gerak bagian adalah bagian dari gerak kata,
contohnya kepala menunduk dari rangkaian gerak kata rangkaian gerak kepala
menunduk, tangan kanan memegang kening, tangan kiri memegang perut, dan sambil
duduk. Gerak kata baru adalah gerak kata yang sudah digarap dari segi bentuk dan
diselaraskan dengan tempo, volume, dan dinamik tertentu. Gerak indah adalah gerak
kata baru yang sudah mengalami penggarapan lebih sempurna untuk
mengungkapkan keindahan semata tanpa maksud verbal. Gerak tari merupakan
penggarapan dari gerak bagian atau gerak kata sehingga mencapai pada tingkat
abstraksi gerak yang sungguh-sungguh, sehingga hasilnya seolah-olah gerak yang
lepas tanpa berkaitan arti dengan gerak sehari-hari. Gerak praktis merupakan gerak
yang mengandung guna praktis. Contohnya: berlari, berjalan, karate, dan sebagainya.
Pembagian tersebut rupanya tidak sepenuhnya dapat memberikan gambaran
yang jelas, sebagai contoh pembatasan mengenai gerak indah dengan gerak tari yang
masing-masing rupanya menghindari arti verbal maupun arti dengan gerak sehari-
hari. Hal ini tidaklah cukup beralasan, karena realitas yang kita hadapi bahwa gerak
manusia selalu konteks dengan lingkungan, sehingga arti verbal maupun nonverbal
tidak pernah akan dapat terlepas dengan gerak tubuh manusia sebagai kandungan
maksud atau makna yang hendak diekspresikan. Gerak tubuh merupakan kekayaan
makna komunikasi non verbal tanpa suara yang mampu memikat perhatian bagi
seorang seniman. Baginya tubuh merupakan objek yang tidak pernah ada habis-
![Page 81: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/81.jpg)
81
habisnya sebagai sesuatu yang digali, dieksplorasi, dikaji, kemudian disajikan, begitu
berlangsung berulang-ulang yang tidak pernah harus kehabisan materi atau
bahannya.
Pada prinsipnya seluruh gerak tubuh dapat menjadi medium dalam tari.
Pertimbangan yang utama untuk menjadikannya gerak tubuh dan gerak nontubuh
menjadi tari adalah dengan cara mendistilisasi gerak sesuai kebutuhan ekspresi dan
melihat karakteristik gaya dengan menggarap tempo, volume, dan dinamik. Secara
garis besar gerak dalam tari dapat dibagi menjadi dua bagian secara kasar, yakni
gerak presentatif dan representatif. Keduanya hadir dalam jagad tari, namun
kemunculannya tidak mudah untuk dipisah-pisahkan secara tegas, karena wujud
yang tampak sering samar-samar, hal itu sengaja dibuat untuk mengungkapkan
ekspresi seniman atau penyusun tari. Gerak presentatif merupakan bentuk gerak yang
tidak mempunyai arti secara khusus, gerak ini difungsikan semata-mata untuk
kebutuhan ekspresi. Sedangkan gerak representatif adalah gerak penghadir, artinya
gerak yang dihasilkan dari imitasi terhadap sesuatu. Kedua bentuk gerak baik
presentatif maupun representatif merupakan medium utama dalam rangka memenuhi
keperluan ekspresi.
c. Polatan (ekspresi wajah)
Polatan merupakan perubahan yang lebih fokus pada perubahan raut muka
atau wajah. Ekspresi wajah merupakan sarana untuk mendapatkan pemahaman lebih
baik terhadap sesuatu yang sedang dikomunikasikan terhadap komunikan. Kita akan
banyak memperoleh informasi tentang kondisi emosional seseorang melalui
ekspresi-ekspresi wajah mereka, di antaranya: apakah menunjukkan rasa sedih atau
![Page 82: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/82.jpg)
82
senang, merasa tertarik atau menolak, merasa takut atau sedang marah, dan
sebagainya. Jika kita mengetahui dan menyadari berapa banyak otot yang terdapat
pada wajah manusia, maka tidaklah mengherankan apa bila terdapat banyak pula
macam ekspresi wajah yang dapat dihasilkan (lihat Wainwright, 2006: 42). ekspresi
wajah memiliki kekuatan yang sangat besar terkait dengan penampilan karakter
pribadi maupun penjiwaan seseorang terhadap peran tokoh dalam membangun
kualitas komunikasi yang berlangsung antarpeserta tutur.
Ekspresi wajah yang terdapat pada seni pertunjukan untuk mengekspresikan
peran dalam keadaan suasana tertentu yang dalam implementasinya tidak lepas dari
bekal pengalaman-pengalaman psikologis bagi seniman penyaji. Dalam dunia tari,
penari sebagai aktor yang menyajikan peran, dapat secara langsung berkomunikasi
dengan media antawecana seperti dalam wayang wong, tembang dalam
Langendriyan. Penari lebih dominan berkomunikasi dengan media gerak, untuk itu
kesadaran awal yang harus fokus bahwa ekspresi wajah yang dibangun dari gerak
tanpa diiukuti bahasa verbal secara langsung itu harus ditopang kecerdasan,
ketajaman dan kepekaan rasa yang dimiliki sebagai modal utama yang selalu harus
diolah. Sehingga wajah sebagai media ekspresi akan selalu siap difungsikan untuk
peran yang dikehendaki. Mengingat bahwa dalam tari tradisi istana terutama peran-
peran yang karakternya tenang perubahan polatan sangat halus bahkan kerap kali
tidak tampak. Bagaimanapun tebal tipisnya ekspresi wajah dalam komunikasi
antarperan, polatan sangat berperan untuk mengekspresikan pada tingkat emosi yang
secara komplementer akan membantu ekspresi gerak tubuh dalam rangka
mengekspresikan totalitas peran atau tokoh.
![Page 83: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/83.jpg)
83
d. Pola lantai (floor design)
Pola lantai merupakan garis yang dibentuk dari gerak tubuh seorang penari
yang terlintas pada lantai. Garis-garis yang dibentuk penari tersebut merupakan garis
imajiner yang hanya dapat ditangkap dengan kepekaan rasa. Wujudnya bersifat ilusi
atau bayangan yang tampak menyatu luluh komplemen dengan arah gerak tubuh
penari. Pada dasarnya garis yang terbentuk pada floor design secara garis besar
terdiri dari dua pola garis dasar yaitu garis lurus dan garis lengkung (Soedarsono,
1978:23). Masing-masing bentuk garis mempunyai kekuatan yang tercermin dalam
kesan atau ilusi. Garis lurus mempunyai kesan kuat dan sederhana, yang dalam
pertunjukan tari Jawa banyak digunakan dalam pola garapan tari gagah dan sebagian
pola garapan tari alus maupun tari putri yang berkarakter lanyap. Selain itu garis
lurus juga banyak digunakan untuk garapan pola-pola perangan. Sedangkan garis
lengkung lebih memberikan kesan lembut, yang dominan untuk pola lantai garapan
putri luruh dan peran alus lurus, serta banyak difungsikan dalam garapan yang
bertemakan percintaan.
e. Rias
Rias adalah strategi untuk mengubah wajah pribadi dengan alat-alat kosmetik
yang disesuaikan dengan karakter figur supaya tampil lebih percaya diri. Kadar
perubahan wajah dimaksud sangat relatif artinya bahwa pada setiap rias, masing-
masing individu berusaha menampilkan wajah sesuai dengan ekspresi yang
dikehendaki. Menurut peneliti rias dapat diklasifikasi menjadi tiga jenis, yaitu: (1)
![Page 84: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/84.jpg)
84
rias formal, (2) rias informal, dan (3) rias peran. Rias formal merupakan rias yang
digunakan untuk kepentingan – kepentingan yang terkait dengan urusan publik. Rias
informal adalah rias yang difungsikan untuk urusan domestik. Sedangkan rias peran
adalah bentuk rias yang digunakan untuk penyajian peran sebagai tuntutan ekspresi
pertunjukan. Bentuk rias peran lebih dikonsentrasikan untuk seni pertunjukan yang
digunakan untuk penampilan di panggung seperti panggung konvensional, panggung
modern, layar kaca, layar lebar dan bentuk lainnya.
f. Busana
Busana merupakan salah satu atribut yang dapat menunjukkan status sosial
dan identitas seseorang. Kedudukan seseorang dalam masyarakat akan tampak jika
kita perhatikan dari busana yang dipakai. Begitu pula asal seseorang dapat kita
ketahui dari gaya dan mode pakaian yang dikenakan. Selain itu busana juga memiliki
beragam warna yang dapat digunakan untuk maksud-maksud tertentu. Artinya warna
dapat digunakan sebagai simbol-simbol dalam kehidupan, namun masing–masing
daerah berbeda dalam memaknai bergantung latar belakang budayanya. Secara
umum warna-warna dasar mempunyai sifat teatrikal dan sentuhan emosional sebagai
lantaran simbolisasi tertentu dalam budaya seni pertunjukan tari. Setidaknya dalam
tari Jawa, esensi makna yang diungkapkan dapat ditarik dari kesan yang ditimbulkan
dari warna-warna dimaksud. Warna putih mempunyai kesan suci, setia, dan juga
berhubungan dengan kehidupan nirwana. Merah lebih memberikan kesan berani,
agresif, dan dinamis yang banyak diperuntukan tokoh-tokoh raja yang sombong,
raksasa, kesatria dan peran putri yang berjiwa dinamis. Hitam tampak memiliki
kesan bijaksana, berwibawa, dan anggun terutama untuk tokoh-tokoh putri seperti
![Page 85: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/85.jpg)
85
Dewi Shinta, Sembadra, Drupadi, Ratu Ayu Kencana Wungu, dan lainnya. Warna
hijau mempunyai kesan segar dan tumbuh lebih hidup. Warna kuning memiliki kesan
keagungan dan kejayaan. Tampak bahwa warna memiliki kandungan makna atas
kualitas kesan yang ditangkap oleh indera penghayat.
g. Iringan (Gendhing beksa)
Iringan atau Gendhing beksa atau karawitan tari merupakan iringan musik
gamelan yang telah teraransir menjadi sebuah bentuk yang berupa gendhing yang
mampu memberikan kontribusi kekuatan ekspresi pada tari. Jika kita cermati lebih
sungguh-sungguh keberhasilan pertunjukan tari, salah satu faktornya juga sangat
ditentukan unsur medium bantunya yakni karawitan yang berfungsi sebagai iringan.
Kehadiran karawitan dalam pertunjukan tari gaya Surakarta, rupanya tidak sekadar
sebagai pengiring belaka. Karawitan sebagai iringan tari mampu memberikan
kontribusi kekuatan rasa yang secara komplementer menyatu dengan ekspresi tari
membentuk suatu ungkapan nilai-nilai kehidupan manusia yang disajikan dalam
bentuk yang indah.
Fungsi gendhing sebagai iringan dalam sebuah pertunjukan mencakup tiga
peran yakni: 1) nglambari, 2) mungkus, dan 3) nyawiji (lihat dalam Waridi, 2005:
17-19). Nglambari memberi pengertian bahwa dukungan gendhing dalam
pertunjukan tari lebih berfungsi sebagai ilustrasi. Kehadiran gendhing di sini
membentuk suasana. Kontribusi iringan dalam membentuk suasana dapat berujud
ilustrasi yang berfungsi sebagai background hingga taraf memberikan aksentuasi
kekuatan rasa-rasa tertentu sesuai dengan kebutuhan ekspresi yang dikehendaki.
Misalnya iringan pathetan yang digunakan untuk ilustrasi tokoh Sekartaji pada saat
![Page 86: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/86.jpg)
86
pertama keluar (maju beksan) dalam suasana sedih. Mungkus pada konsep karawitan
tari lebih cenderung pada pengertian membingkai. Dalam hal ini, sajian gendhing
dengan garapnya secara menyeluruh sengaja digunakan sebagai pembingkai gerak
terutama pola-pola gerak kebar. Pola iringan yang difungsikan semacam ini dapat
diamati pada gendhing Lambangsari yang memiliki rasa riang dan gembira.
Sedangkan Nyawiji, merupakan konsep karawitan tari yang mengarah pada
pemersatuan dua unsur menjadi satu. Adapun kedua unsur dimaksud yaitu unsur
karawitan sebagai penghasil rasa musikal dan unsur tari.
Bentuk kristalisasi dari unsur tari dan unsur karawitan tersebut adalah untuk
pencapaian harmonisasi penyajian dalam rangka menghasilkan kekuatan dan keutuan
pertunjukan. Dimaksudkan pada konteks ini, salah satu unsur tidak akan lebih
menonjol dari yang lain, karena pada dasarnya nilai estetis kesenian adalah sebuah
ungkapan yang utuh. Salah satu contohnya iringan Ketawang Ngrenas untuk suasana
sedih pada saat Dewi Sekartaji sedang mencari suaminya yaitu Raden Panji
Inukertapati yang tidak kunjung bertemu. Beragam fungsi karawitan tersebut
mengindikasikan bahwa karawitan tari dalam konteks penyajian tari, rupanya
memiliki kontribusi cukup besar. Sejalan dengan paparan tersebut, Humardani
menyatakan bahwa dalam tari Jawa, karawitan (yang terpadu dari unsur-unsur
melodi dalam tempo, ritme atau irama, dan volume) sebagai iringan, banyak
membantu dan bahkan kerapkali menggantikan kedudukan kekuatan ekspresi tari
(1991:10).
Elemen-elemen yang terdapat dalam bahasa verbal maupun nonverbal pada
seni pertunjukan tari Karonsih dan Bondhan Sayuk tersebut merupakan modal
![Page 87: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/87.jpg)
87
pembentukan ciri karakteristik yang mampu membedakan tari pasihan dengan karya-
karya tari lainnya. Dengan demikian ciri karakteristik lebih mengarah pada
perbedaan-perbedaan yang menonjol dari masing-masing elemen dalam tari tersebut
secara elementer. Selain itu juga tidak menutup kemungkinan perbedaan-perbedaan
yang dihasilkan dari komplementer bahasa verbal dan nonverbal yang menurut
sifatnya berupa sebuah konsep, sehingga kekhasan dari elemen-elemen dan
keragaman informasi yang dapat digali akan menentukan dan mewarnai dalam
menggeneralisasi teorinya.
4. Teori Komunikasi
Komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki
orang-orang mengatur lingkungannya dengan (a) membangun antarsesama manusia;
(b) melalui pertukaran informasi; (c) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang
lain; serta (d) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu (lihat Book dalam
Cangara, 2007: 19-20). Sejalan dengan definisi komunikasi tersebut, Rogers bersama
Lawrence (1981), menyatakan bahwa komunikasi adalah suatu proses di mana dua
orang atau lebih melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang
pada gilirannya akan terjadi saling pengertian yang mendalam. Pernyataan lebih
singkat dikemukakan oleh Shannon dan Weaver (1949), bahwa komunikasi adalah
bentuk interaksi manusia yang saling pengaruh memengaruhi satu sama lainnya,
sengaja atau tidak sengaja. Bentuk komunikasi di sini tidak terbatas pada komunikasi
bahasa verbal, tetapi juga dalam bentuk: ekspresi muka, lukisan, seni, dan teknologi.
Dengan demikian tampak, jika kita berkomunikasi berarti terdapat beberapa
kesamaan dengan orang lain, seperti kesamaan bahasa atau kesamaan arti dari
![Page 88: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/88.jpg)
88
simbol-simbol yang digunakan dalam berkomunikasi. Pernyataan dari beberapa
pakar komunikasi tersebut dapat ditarik unsur-unsur komunikasinya menjadi tujuh,
yaitu: (a) sumber, (b) pesan, (c) media, (d) penerima, (e) lingkungan, (f) efek, dan (g)
umpan balik (lihat Cangara, 2007: 24). Setiap unsur mempunyai peranan sangat
penting dalam membangun proses komunikasi. Artinya, tanpa keikutsertaan salah
satu unsur akan berpengaruh pada proses komunikasi.
Berdasarkan pernyataan Shannon dan Weaver, tari sebagai bagian atau
cabang seni merupakan komunikasi manusia yang cukup vital. Terfokus pada jenis
tari pasihan yang bentuknya memiliki dua unsur, yaitu: a) unsur verbal berupa sastra
tembang yang meliputi cakepan (syair) yang terdapat dalam pathetan, sindhenan,
gerongan, dan jineman dan b) unsur nonverbal yang meliputi: tema, gerak tubuh
(kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan iringan merupakan media
komunikasi yang khas bagi kehidupan seniman. Komunikasi bahasa verbal yang
berupa sastra tembang yang komplementer dengan Unsur–unsur nonverbal dapat
mengarahkan kepada kita untuk memunculkan implikatur akan guna analisis secara
pragmatik. Merujuk pada bentuk karya seni dalam hal ini tari pasihan merupakan
media komunikasi secara utuh, untuk itu, teori komunikasi akan peneliti gunakan
untuk menganalisis bagaimana komunikasi berlangsung. Prinsip dasar yang perlu
dipahami bahwa komunikasi dalam seni pertunjukan pada hakekatnya mencakup
tiga faktor pokok, yakni:
a. Komunikator
Komunikator bersumber pada seniman pelakunya yang terdiri dari penyusun
tari dan penari yang bertindak sebagai penutur. Baginya seorang seniman berkarya
![Page 89: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/89.jpg)
89
merupakan dorongan dan tutuntan kebutuhan jiwa yang dilatarbelakangi apresiasi
terhadap lingkungan manusia dan alam yang terseleksi dan senantiasa
dimanifestasikan dalam bentuk yang estetik. Seniman adalah manusia yang secara
profesional menghasilkan karya-karya seni yang dapat dihayati oleh publik.
Ungkapan seni dapat dilukiskan sebagai pernyataan suatu maksud, perasaan atau
pikiran dengan suatu medium indera atau sensa, yang dapat dialami lagi oleh yang
mengungkapkan dan ditujukan atau dikomunikasikan kepada orang lain (Parker,
1980:21). Dari medium sensa itu seniman akan dapat menganyam impian-impian
bagi kita mengenai hal-hal yang membuai dan memikat kita senang mengamati.
Terkait dengan hadirnya genre tari pasihan, seniman penyusun sebagai
penutur hendak menuturkan sebuah nilai kehidupan. Adapun sebagai penari, ia
berusaha menafsirkan baik secara bentuk fisik karya seni maupun nonfisik yang
berupa maksud dari penyusun tari yang kemudian disajikan dalam sebuah
pementasan pada ritual perkawinan adat Jawa. Kesesuaian atau kemungguhan figur
seorang penari dengan tokoh yang hendak diperankan merupakan syarat yang harus
diperhatikan di samping gandar atau rupa. Dengan demikian peranan penari sebagai
komunikator sangatlah penting, karena dengan kondisi yang tidak layak akan
berdampak negatif pada hasil hayatan secara menyeluruh.
b. Sarana atau Media
Karya seni yang berupa genre tari pasihan merupakan sarana atau media tutur
bagi seorang seniman. Jenis tari duet percintaan yang terdapat dalam genre tersebut,
di antaranya: tari Karonsih, tari Endah, tari Lambangsih, tari Gesang Rahayu, tari
Bondhan Sayuk, tari Enggar-enggar, tari Driasmara, tari Kusuma Ratih, tari Langen
![Page 90: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/90.jpg)
90
Asmara, tari Jayaningrat, tari Setyaningsih, dan tari Kusuma Aji. Keragaman seni
akibat dari keaneragaman media atau sarana yang didukung ide-ide kreatif estetik
seorang seniman dalam rangka memenuhi ekspresinya. Seni adalah suatu ekspresi,
suatu ungkapan. Meskipun setiap karya seni itu adalah suatu ungkapan, namun
sebaliknya bukanlah setiap ungkapan itu sebuah karya seni.
Pada hakekatnya kesenian adalah ungkapan yang disengaja, dicipta, dan
selalu terkait atau berhubungan dengan tradisi kebudayaannya. Begitu pula genre tari
pasihan yang terdiri dari bahasa verbal dan nonverbal merupakan jenis seni
pertunjukan gaya Sala yang mengacu pada budaya istana Kasunanan Surakarta.
Lewat media bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan kandungan maksud
seniman akan diaktualisasikan untuk mendapatkan tanggapan dari penghayat.
Ungkapan yang otomatik sifatnya insting atau berlaku secara naluriah yang
dilakukan seperti orang menangis ketika didera musibah, gembira saat mendapatkan
keuntungan, itu bukan kesenian dan tidak juga estetik. Begitu pula ungkapan-
ungkapan praktis seperti menyuruh makan, mandi, dan lainnya. Adapun fokus dari
penelitian untuk disertasi ini adalah tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk, dengan
pertimbangan kedua jenis tari tersebut diharapkan mampu mewakili informasi genre
tari pasihan untuk dianalisis makna pragmatiknya.
c. Komunikan
Masyarakat sebagai komunikan meliputi: pakar, penonton umum, dan
penanggap merupakan mitra tutur yang menghayati karya genre tari pasihan.
Seseorang dalam menghayati dengan cara mengamati sebuah karya seni (objek),
merasakan, dan merenungkan sehingga dapat memberikan sebuah pernilaian atau
![Page 91: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/91.jpg)
91
tanggapannya. Betapapun sedihnya menghayati tokoh Sekartaji yang tidak kunjung
bertemu, ketika berupaya mencari suaminya Panji Inukertapi, kita merasa haru
mendengar sumpah kesetiaan Sekartaji yang berbunyi:
Dhuh jagad dewa bathara Welasa mring dasih kang nandhang kingkin Tinilar garwa satuhu Dadya gantilaning tyas Ulun dhahat Teka aginggang sarambut Kalamun datan pinanggya Aluwung tumekeng lalis
Jabaran dari nilai kehidupan tersebut ditangan seniman diungkapkan dalam
bungkus sensa yang mampu memicu dan memacu timbulnya khayalan benda dan
peristiwa yang memberi kenikmatan penghayat. Khayalan tentang tindakan atau
emosi yang ditimbulkan lewat karya seni, kita kemudian dalam imajinasi dapat
melakukan atau mengalami. Bagi yang peka estetik seolah-olah kita dibawa
memasuki badan penari sebagai tokoh-tokoh utama tersebut, kita tidak kuasa
menolak terhipnotis dibuatnya berperan, senang tanpa paksaan sedikit pun untuk
melakukan posisi bahkan hanyut dalam aliran kenikmatan dan kepuasan jiwa. Jika
dicermati lebih dalam dari jiwa kita sendirilah sebenarnya muncul gagasan-gagasan
dan beragam rasa yang merupakan isi sebuah karya seni. Seniman menyediakan
sebuah susunan benda pacu atau lambang-lambang sensa yang diharapkan akan
ditafsirkan seperti yang dimaksudkan olehnya.
Kesadaran awal yang harus menjadi fokus perhatian, bahwa komunikasi seni
atau komunikasi rasa sifatnya sangat subjektif. Artinya bahwa rasa yang disampaikan
seorang seniman tidak selalu dapat diterima sama oleh penghayat. Betapapun
![Page 92: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/92.jpg)
92
hebatnya seniman sebagai komunikator dan penghayat sebagai komunikan, karena
kemantapan rasa tidak dapat diukur secara exact, namun bukan berarti tidak dapat
dianalisis secara disiplin ilmiah. Persamaan yang terjadi dalam komunikasi seni
sifatnya tidak mutlak, sehingga tafsir seni itu sifatnya multitafsir. Perbedaan maupun
persamaan yang terjadi dalam komunikasi seni disebabkan masing-masing partisipan
beragam kemampuannya. Untuk itu, baik perbedaan atau pun persamaan komunikasi
seni yang terjadi dalam menanggapi karya tari pasihan, akan dianalisis bagaimana
dan mengapa hal itu dapat terjadi.
B. Tinjauan Pustaka
Sumber tertulis baik yang berupa buku-buku cetakan, tesis, disertasi, dan
hasil penelitian lain yang mengkaji seni pertunjukan tari khususnya genre tari
pasihan dari perspektif pragmatik rupanya belum pernah dilakukan. Kajian
nonpragmatik sekali pun relatif sangat minim yang relevan dengan penelitian peneliti
dapat dipaparkan berikut ini:
“Karonsih”, tulisan Maryono tahun 1991, merupakan hasil penelitian
yang bersifat deskriptif, memuat secara umum tentang elemen-elemen tari, dan
sedikit perubahan serta penyebarannya. Sedikit banyak tulisan ini memberikan
informasi yang berarti terutama terkait dengan data bahasa verbal dan nonverbal
sebagai salah satu genre tari pasihan yang akan menjadi sasaran kajian pragmatik.
“Perkembangan Tari Enggar-Enggar”, tulisan Dwi Maryani tahun
1999, penelitian ini memuat deskripsi tentang gerak, iringan, rias, busana, dan
penyebaran serta perkembangannya tari Enggar-Enggar. Diharapkan tulisan tersebut
![Page 93: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/93.jpg)
93
menambah informasi mengenai vareasi ragam tari duet percintaan yang pada
gilirannya dapat untuk mencermati karakteristik genre tari pasihan.
“Perubahan Tari Lambangsih”, tulisan Dwi Yasmono tahun 1999,
yang memaparkan tentang: struktur garap tari, rias, busana, iringan, dan perubahan
terutama masalah sekaran atau vokabuler gerak dan pola lantai. Rupanya hasil kajian
ini akan menambah data untuk lebih mencermati karakteristik genre tari pasihan
gaya Surakarta yang sedang dikembangkan, terutama terkait dengan aspek
nonverbal.
![Page 94: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/94.jpg)
94
C. Kerangka Pikir
Dalam rangka mencermati permasalahan, rumusan masalah, tujuan, manfaat, ruang lingkup, kajian teori dan metodologi,
serta hasil yang hendak dicapai dalam rencana penelitian ini peneliti menggunakan kerangka pikir kritik seni holistik (Sutopo,
1995: 15-16). Sebagai berikut:
1 2 3
4
FAKTOR AFEKTIF Persepsi Penghayat Terhadap
Genre Tari Pasihan
FAKTOR GENETIK Latar Belakang
Genre Tari Pasihan
FAKTOR OBJEKTIF Bentuk
Genre Tari Pasihan
MAKNA PRAGMATIK
Genre Tari Pasihan
Gerak
Rias
Busana
Polatan
Pathetan
Latar Belakang Penyusun
Sindhenan Gerongan
Jineman
Iringan
Karakteristik Bahasa Verbal
Karakteristik Bahasa Nonverbal
Latar Belakang Penonton
Umum
Latar Belakang
Pakar
Persepsi Masyarakat
Tema
Konsepsi Seniman
Latar Belakang
Penanggap
irama
Pola lantai
fungsi
lagu
![Page 95: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/95.jpg)
95
Keterangan:
1: Seniman sebagai pencipta sebuah karya seni, dianalisis tentang latar
belakang kehidupan kesenimanan dan latar belakang konsep penciptaan bahasa
verbal dan nonverbal serta fungsi sebagai aplikatif muatan pesan yang hendak
disampaikan lewat karya seni.
2: Karya seni sebagai faktor objektifnya, dikaji tentang bahasa verbal berupa
cakepan (syair) sastra tembang yang terdapat dalam pathetan, sindhenan, gerongan,
dan jineman. Sedangkan bahasa nonverbal meliputi: tema, gerak tubuh (kinetic body
moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan iringan. Diharapkan kajian bagian ini
akan dapat menemukan ciri karakteristik genre tari pasihan gaya Surakarta.
3: Persepsi masyarakat terhadap kehadiran genre tari pasihan dalam upacara
ritual resepsi perkawinan. Dari hasil analisis akan dapat diketahui interpretasi makna
dari masyarakat yang heterogen sebagai pendukung keberlasungan budayanya.
4: Makna pragmatik merupakan hasil analisis secara komplemen keterkaitan
dari tiga faktor yakni : faktor genetik (1), faktor objektif (2), dan faktor afektif (3).
Relasi ketiga faktor: 1, 2, dan 3 adalah penyusun tari (seniman) menciptakan
karya seni yang kemudian karya seni itu ditanggapi masyarakat. Hubungan faktor 1
dan 3 yaitu untuk mengetahui seberapa jauh tanggapan masyarakat terhadap karya
seni dan bagaimana kesesuaian antara pesan yang dimaksud seniman dengan makna
yang ditangkap oleh masyarakat lewat karya genre tari pasihan.
![Page 96: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/96.jpg)
96
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Sasaran dan Lokasi Penelitian
Sasaran yang utama adalah jenis tari duet pasihan atau percintaan gaya Surakarta
yang memfokuskan pada tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk, seperti telah disebutkan
pada latar belakang masalah. Pertimbangan yang mendasar dari pemilihan sasaran ini
adalah banyaknya jenis atau ragam tari duet percintaan khususnya gaya Surakarta.
Dimaksudkan kedua bentuk tari pasihan tersebut dapat dikaji secara mendalam di dalam
suatu konteks dengan karakteristik tertentu. Cuplikan ini kedudukannya bukan mewakili
populasinya tetapi mewakili informasinya, sehingga jika dimungkinkan generalisasi,
arahnya cenderung generalisasi teori.
Keragaman jenis tari pasihan rupanya tidak dimiliki oleh daerah lain, sehingga
lebih memacu peneliti untuk meneliti topik tersebut sebagai sasaran pokok. Pertimbangan
lain bahwa tari pasihan disinyalir mempunyai kontribusi yang cukup penting dalam
sebuah ritual tradisi perkawinan adat Jawa. Pengertian gaya Surakarta di sini lebih
terfokus pada tarian yang mengakar dari tarian istana Kasunanan, tidak melibatkan Pura
Mangkunegaran. Hal ini peneliti sadari, bahwa Pura Mangkunegaran tidak mempunyai
tari semacam pasihan atau karonsihan. Pemilihan lokasi atau tempat adalah kotamadia
Surakarta dengan pertimbangan tingginya frekuensi aktivitas pertunjukan tari pasihan,
tempat tinggal para penyusun tari dan pakar seni yang terkait.
B. Bentuk dan Strategi Penelitian
Secara garis besar dapat dinyatakan bahwa metode penelitian kualitatif adalah
metode pengkajian atau metode penelitian suatu masalah yang tidak didesain atau
![Page 97: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/97.jpg)
97
dirancang menggunakan prosedur-prosedur statistik (Edi Subroto, 2007: 5). Kesadaran
awal yang harus mendapatkan perhatian bahwa penelitian kualitatif itu menggunakan
paradigma atau perspektif fenomenologis. Artinya penelitian kualitatif berusaha
memahami makna dari fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa dan kaitannya dengan
orang-orang atau masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan dalam situasi yang
sebenarnya (Edi Subroto, 2007: 6). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Moleong
(2007: 15), bahwa fenomenologi merupakan pandangan berpikir yang menekankan pada
fokus kepada pengalaman-pengalaman subjektif manusia dan interpretasi-interpretasi
dunia. Setiap peristiwa harus dicermati dan dipahami dari beragam perspektif dari orang-
orang yang terlibat secara aktif maupun pasif dalam peristiwa tersebut. Kajian ini
membentuk simpulan multiperspektif yang akan menimbulkan makna intersubjektif,
dengan memperhatikan beragam alasan mengapa dan bagaimana terjadinya tafsir makna
mengenai sebuah peristiwa. Hal ini harus disadari bagi seorang peneliti agar hasil
simpulan-simpulannya sesuai dengan karakteristik teorinya (Sutopo, 2006: 28).
Dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti berusaha menyajikan suatu
interpretasi yang didasarkan pada nilai-nilai, minat, dan tujuan atas interpretasi orang lain
atau subjek yang diteliti yang berdasarkan juga pada nilai-nilai, minat, dan tujuan mereka
sendiri (Smith & Heshusius dalam Sutopo, 2006: 29). Validitas keputusan atau hasil
simpulan-simpulannya mengenai sesuatu makna dapat diwujudkan dari deskripsi yang
tegas, bersama-sama dengan orang lain dalam konteks intersubjektif yang di dalamnya
termasuk pula interpretasi peneliti. Pada umumnya ilmu-ilmu kebudayaan atau ilmu-ilmu
humaniora lebih banyak menggunakan metode kualitatif (Edi Subroto, 2007: 5). Hal itu
rupanya cukup beralasan, karena tujuan pengkajian ilmu-ilmu humaniora adalah membuat
![Page 98: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/98.jpg)
98
deskripsi suatu situasi, kejadian atau peristiwa, menginterpretasikan kejadian atau
peristiwa, serta berusaha menangkap makna dari suatu peristiwa.
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan dan tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini lebih mengarah pada bagaimana memahami makna bahasa verbal dan
nonverbal genre tari pasihan gaya Surakarta. Untuk menjawab persoalan tersebut peneliti
akan memahami lebih rinci dan mendalam baik kondisi maupun proses dan juga saling
keterkaitannya mengenai hal-hal pokok yang ditemukan di lapangan, mencakup tiga aspek
yakni genetik, objektif, dan afektif. Dengan demikian bentuk penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan kritik holistik yang secara fokus,
lengkap, dan seimbang mengkaji tiga faktor yaitu genetik, objektif, dan afektif sebagai
sumber aliran nilai. Ketiga komponen tersebut tidak dipisahkan dalam kesatuan nilai
karya, tetapi tidak digunakan sebagai standar nilai, melainkan sebagai sumber informasi
dalam aktivitas evaluasi. Tiga sumber nilai ini wajib dikaji secara lengkap dan seimbang
supaya tidak terjadi kepincangan evaluasi (Sutopo, 1995: 8-15). Merujuk pada pola pikir
pendekatan kritik holistik, secara operasional peneliti akan mendeskripsi secara rinci dan
mendalam mencakup masalah bahasa verbal berupa cakepan (syair) yang terdapat dalam
pathetan, sindhenan, gerongan, dan jineman. Sedangkan bahasa nonverbal meliputi:
tema, gerak tubuh (kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias, busana, dan iringan
(faktor objektif). Latar belakang konsep penciptaan bahasa verbal dan nonverbal dan
pesan makna yang hendak disampaikan lewat karya seni (faktor genetik). Persepsi
masyarakat terhadap kehadiran genre tari pasihan dalam kehidupan sosial (faktor afektif).
Selain itu juga bagaimana komplementernya dari ketiga aspek tersebut untuk
menemukan keterkaitan hal-hal pokok yang terdapat di dalamnya untuk mengungkap
![Page 99: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/99.jpg)
99
makna pragmatik genre tari pasihan gaya Surakarta sebagai sebuah hasil akhir penelitian.
Dengan demikian bentuk penelitiannya bersifat dasar (basic research), adapun jenis
penelitian dengan strategi yang paling tepat adalah penelitian kualitatif deskriptif. Jenis
penelitian ini akan mampu menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti
dan penuh nuansa, yang lebih berharga daripada sekadar pernyataan jumlah atau pun
sekadar frekuensi dalam bentuk angka (lihat Sutopo, 2006: 40). Rupanya sangat tepat
pilihan peneliti untuk menggunakan metode kualitatif karena objek kajiannya merupakan
cabang dari ilmu-ilmu humaniora yang sarat dengan makna dalam kehidupan. Hal ini
sejalan dengan pendapat Edi Subroto bahwa ilmu-ilmu humaniora berusaha memahami
realitas sosial dan realitas budaya dalam rangka memahami masalah-masalah sosial dan
masalah-masalah manusia secara lebih baik (2007: 5).
Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus tunggal.
Pertimbangan yang mendasar dari kasus tunggal, karena sekali pun genre tari pasihan
atau karonsihan jenisnya terdiri dari beragam tari duet percintaan seperti: Tari Karonsih,
tari Endah, tari Lambangsih, tari Gesang Rahayu, tari Bondhan Sayuk, tari Enggar-
enggar, tari Driasmara, tari Jayaningrat, tari Kusuma Ratih, tari Setyaningsih, tari
Langen Asmara, dan tari Kusuma Aji, namun memiliki karakteristik yang sama. Di
samping itu, karena permasalahan dan fokus penelitian telah ditentukan dalam proposal
sebelum peneliti terjun ke lapangan artinya peneliti telah terpancang, tidak seperti
penelitian eksploratif yang mana peneliti sama sekali tidak mengetahui apa yang terjadi di
lapangan (grounded search) maka penelitian kasus ini lebih khusus disebut studi kasus
terpancang (embedded case study research) (Sutopo, 2006: 227).
![Page 100: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/100.jpg)
100
C. Sumber Data
Data atau informasi yang paling dibutuhkan akan dikumpulkan dan dianalisis
dalam penelitian ini adalah berupa data kualitatif. Data kualitatif merupakan data lunak
yang kaya akan deskripsi tentang orang-orang, tempat-tempat dan konservasi-konservasi
dari orang yang diteliti (Edi Subroto, 2007: 6). Data akan diperoleh peneliti dengan cara
memanfaatkan pertanyaan-pertanyaan dengan kata tanya : mengapa, alasan apa dan
bagaimana terjadinya. Dengan cara itu peneliti tidak akan berasumsi bahwa sesuatu itu
sudah memang demikian keadaannya (Moleong, 2007: 11). Data yang dikumpulkan
terutama berwujud bahasa verbal dan nonverbal. Tindak tutur mencakup cakepan (syair):
pathetan, sindhenan, gerongan, dan jinemal sebagai bahasa verbal. Sedangkan bahasa
nonverbal berupa: tema, gerak tubuh (kinetic body moves), polatan, pola lantai, rias,
busana, dan iringan. Adapun data informasi yang dikumpulkan akan terkait tiga faktor
pokok yakni: genetik, objektif, dan afektif.
Sumber informasi genetik pada penelitian ini adalah para penyusun tari pasihan,
terutama terkait dengan latar belakang konsep penciptaan teks verbal dan nonverbal,
fungsi, serta pesan makna yang hendak disampaikan lewat karya seni.
Sumber informasi objektif pada penelitian ini adalah seni pertunjukan tari, yang
hendak dikaji dari jenis informasi data teks sastra tembang dan unsur-unsur tari yang
meliputi: a) jenis-jenis tindak tutur yang digunakan, b) jenis tindak tutur yang dominan
dan mengapa terjadi dominasi, c) realisasi prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan
antarperan, d) implikatur dan daya pragmatik, e) motif tema, f) jenis-jenis vokabuler
gerak, g) bentuk rias, h) jenis warna dan bentuk busana yang dipakai, i) jenis-jenis floor
design (pola lantai), dan j) jenis-jenis repertoar gendhing.
![Page 101: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/101.jpg)
101
Sumber informasi afektif terdiri dari pakar, penonton umum, dan penanggap tari
pasihan. Faktor afektif ini akan difokuskan pada persepsi masyarakat penghayat, yang
terdiri dari: pakar, penonton umum, dan penanggap tari pasihan dalam rangka memahami
fungsi sosial di tengah-tengah masyarakat sebagai pendukung keberlangsungan
budayanya. Informasi tersebut akan digali dari beberapa sumber data yang akan
dimanfaatkan dalam penelitian ini mencakup :
1. Informan atau Narasumber
Menurut Spradley informan merupakan pembicara asli (speaker) dengan bahasa
atau dialeknya sendiri dan menjadi sumber informasi (1997: 35). Berbeda dengan
responden yang sekadar memberikan jawaban secara terbatas dan terikat oleh bentuk-
bentuk pertanyaan yang telah disusun secara ketat seorang peneliti. Dalam penelitian
kualitatif, manusia sebagai Informan atau narasumber posisinya sangat penting dalam
rangka memberikan informasi yang dimiliki. Peneliti dan narasumber memiliki posisi
yang sama, narasumber tidak sekedar memberikan tanggapan menurut permintaan
peneliti, tetapi mereka dapat memilih arah dan selera dalam memberikan informasi yang
dimiliki (Sutopo, 2006: 57-58). Narasumber harus dipilih orang yang handal di
bidangnya, dapat dipercaya baik dari segi pengetahuannya maupun kejujuran secara
umum dan secara khusus dalam memberikan data yang akurat serta bersifat tidak
menggurui (Fatimah Djajasudarma, 1993: 20). Oleh karena itu seorang peneliti harus jeli
dalam menentukan informan, karena posisi informan dengan beragam peran dan
keterlibatannya dengan kemungkinan akses informasi yang dimilikinya sesuai dengan
kebutuhan penelitiannya. Adapun jumlah informan tidak mempengaruhi secara mutlak,
namun yang lebih substansial adalah kualitas informasi yang dibutuhkan, memadahi
![Page 102: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/102.jpg)
102
tidaknya data yang diberikan. Berdasarkan akses informasi yang diperlukan tersebut
narasumber yang peneliti pilih dalam penelitian ini terdapat empat kelompok meliputi:
penyusun tari, penari, pakar, serta masyarakat umum.
2. Peristiwa atau Aktivitas
peristiwa, aktivitas, atau perilaku sebagai sumber data yang terkait dengan sasaran
penelitian. Dari pengamatan langsung sebuah peristiwa pertunjukan tari pasihan, yang
harus dicermati meliputi aspek gerak, rias, busana, iringan, pola lantai, penghayat, dan
bahasa verbalnya yang akan dilakukan secara berulang untuk mendapatkan sumber data
yang akurat tentang berlangsungnya sebuah penghayatan sekaligus mengidentifikasinya
untuk menarik makna pragmatik dari peristiwa pertuturan. Berlangsungnya pertunjukan
tari tersebut merupakan sumber primer untuk analisis menyeluruh, baik faktor genetik,
objektif , dan afektif, sehingga validitas datanya dapat dipertanggungjawabkan secara
akademis.
3. Tempat atau Lokasi
Tempat yang menjadi sasaran penelitian ini terutama terdapat pada sebuah upacara
ritual perkawinan yang diselenggarakan di wilayah penelitian, yakni di kotamadia
Surakarta. Tempat terjadinya peristiwa pertunjukan tari pasihan pada upacara ritual
perkawinan, akan memberi gambaran secara kongkrit tentang setting peristiwa
penghayatan atau berlangsungnya sebuah pertuturan.
4. Artifak.
Artifak yang merupakan benda budaya, sangatlah berharga karena memiliki
keterkaitan dengan munculnya implikatur - implikatur yang sengaja dimanfaatkan oleh
seniman dalam rangka mengekspresikan isi hatinya yang sudah barang tentu telah
![Page 103: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/103.jpg)
103
memperhitungkan penghayat sebagai mitra tuturnya. Beragam benda artifak sebagai
kelengkapan, yang terlibat dalam peristiwa atau aktivitas pertunjukan genre tari pasihan,
terutama lebih fokus yang menurut fungsinya bersifat primer.
Artifak yang bersifat primer, terdiri dari: boneka anak (baby), busana tari, dan
gamelan. Salah satu artifak yang sangat berharga sebagai sumber data yang
memungkinkan dapat dilacak informasinya untuk diungkap lebih dalam adalah boneka.
Artifak yang berupa boneka yang terbuat dari bahan plastik yang dibalut dengan sehelai
selendang sehingga bentuknya menyerupai bayi yang digedhong (ditimang), rupanya
memiliki makna yang dalam terkait dengan sepasang mempelai temanten. Prediksi
peneliti sementara bahwa artifak yang berupa boneka pada tari Bondhan Sayuk memiliki
daya pragmatik.
Selain itu, artifak yang layak menjadi sumber data adalah busana tari. Keberadaan
busana tari yang sering dipakai penari dapat dilacak dengan maksud untuk mencermati
seberapa jauh keterkaitannya dengan makna yang hendak disampaikan seniman terhadap
penghayat. Asumsi peneliti bahwa dari bentuk atau mode busana tari akan dapat memberi
gambaran tentang peran atau tokoh sedangkan dari warna dapat dicermati makna
simbolisnya.
Seperangkat gamelan (gamelan ageng) yang memiliki laras Slendro dan Pelog
sebagai musik iringan tari merupakan artifak yang memegang peranan cukup penting
dalam mewujudkan terselenggaranya pertunjukan tari pasihan. Dalam hal ini gamelan
mempunyai peranan cukup primer dalam rangka mengaktualisasikan genre tari pasihan.
![Page 104: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/104.jpg)
104
5. Dokumen dan Arsip
Dokumen dan arsip biasanya merupakan bahan tertulis yang bergayutan dengan
peristiwa atau aktivitas tertentu (Sutopo, 2006: 61). Data tertulis yang berupa dokumen
ataupun arsip yang terkait dengan peristiwa pertunjukan tari pasihan yang dapat dilacak
dalam perpustakaan, berupa sumber cerita yang terdapat pada naskah-naskah
pewayangan, babad, maupun serat. Selain itu juga data yang berupa bahasa verbal seperti
cakepan : pada pathetan, sindhenan, gerongan, dan jineman.
Dokumen yang sifatnya tidak tertulis yang terkait dengan pertunjukan tari
pasihan, berupa data rekaman baik yang bersifat audio maupun yang berwujud visual.
Data rekaman yang berupa audio, antara lain beragam kaset ataupun CD iringan tari.
Sedangkan data rekaman yang berupa audio visual kaset VCD, merupakan rekaman
beragam tari duet percintaan gaya Surakarta yang termasuk bagian genre tari pasihan.
Sumber data yang berupa dokumen dan arsip tersebut akan peneliti gunakan sebagai
analisis tambahan untuk mencermati tentang makna pragmatik.
D. Teknik Pengumpulan Data
Berangkat dari keragaman sumber data yang perlu digali tersebut menuntut
strategi atau teknik pengumpulan data yang sesuai dengan sumber datanya untuk
mendapatkan data yang mampu menjawab permasalahan yang telah diajukan. Dalam
penelitian kualitatif ini peneliti akan menggunakan berbagai teknik berdasarkan sumber
data dalam pengumpulan datanya. Adapun teknik pengumpulan data yang sesuai dengan
penelitian kualitatif dan jenis sumber data yang dimanfaatkan adalah sebagai berikut:
![Page 105: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/105.jpg)
105
1. Wawancara mendalam (in-depth interviewing)
Manusia sebagai nara sumber atau informan merupakan sumber data yang sangat
fundamental dalam penelitian kualitatif. Sehingga pengumpulan data yang diperlukan
dalam menggali informasi dari informan dengan teknik wawancara mendalam.
Wawancara merupakan salah satu jenis pengumpulan data yang bersifat lentur dan
terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan dapat dilakukan berulang
pada informan yang sama (Patton dalam Sutopo, 2006: 228). Sebelum wawancara,
peneliti terlebih dulu berupaya mengenal karakteristik dari masing-masing informan yang
telah ditetapkan untuk menjalin keakraban dan kedekatan emosional sehingga dapat
menggali informasi sebanyak-banyaknya dalam situasi yang kooperatif dan kondusif.
Pertemuan awal dilakukan untuk mengadakan kesepakatan-kesepakatan tentang
pertemuan selanjutnya (jadwal) dan materi jika dimungkinkan.
Selain itu persiapan awal untuk menggali informasi, peneliti secara garis besar merancang
jenis-jenis pertanyaan pokok yang selanjutnya dapat dikembangkan di lapangan hingga ke
hal-hal yang lebih rinci. Jenis pertanyaan yang dipersiapkan tidak mengikat namun lebih
digunakan sebagai petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk
menjaga agar pokok-pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup (Moleong,
2007: 187). Adapun wawancara akan dilakukan dengan empat jenis kelompok, yaitu: a.
kelompok penyusun tari, b. kelompok penari atau penyaji, c. kelompok pakar, dan d.
kelompok penghayat (lihat hal: 56-57).
2. Observasi
Dalam penelitian kualitatif ini peneliti mengadakan observasi langsung berperan
secara pasif dan aktif. Berperan pasif peneliti hanya hadir di lapangan bertindak sebagai
![Page 106: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/106.jpg)
106
pengamat secara formal dan informal untuk mengamati kegiatan dan peristiwa
pertunjukan tari pasihan agar mendapatkan data yang mantap dari fenomena yang terjadi
di lapangan. Bentuk peran aktif dalam penelitian ini peneliti mengambil peran sebagai
penonton untuk mengapresiasi pertunjukan dan datang di tempat-tempat latihan membaur
turut berlatih untuk mengamati dan mengetahui ciri karakteristik tindak tutur dan lebih
fokus terhadap elemen-elemen genre tari pasihan, sehingga mendapat data secara akurat.
Adapun observasi tidak langsung lebih mengarah pada pengamatan dokumen-
dokumen rekaman tari pasihan. Teknik simak dan catat dalam kegiatan ini akan
dimanfaatkan terkait data bahasa verbal dan nonverbal. Teknik ini secara garis besar
digunakan peneliti untuk setiap aktivitas yang terkait dengan pengumpulan data, baik
sebagai langkah awal pencatatan secara global masalah-masalah yang dianggap penting
yang selanjutnya akan selalu dikembangkan pada analisis untuk dijabarkan secara rinci
mendalam.
3. Mencatat Dokumen dan Arsip (content analysis)
Data yang berupa dokumen ataupun arsip yang terkait dengan peristiwa
pertunjukan tari pasihan yang dapat dilacak dalam perpustakaan, berujud sumber cerita
yang terkait dengan ceritera Panji. Adapun sumber data yang diharapkan mampu
memberikan gambaran liku-liku kehidupan Panji dan Sekartaji, di antaranya: cerita Panji
dalam Perbandingan (1968) dan Panji Sekar (1979). Dokumen lain berupa kaset tape
recorder yang memuat iringan tari jenis pasihan, seperti: kaset “Karonsih“ (ACD – 114)
dan kaset “Beksan Enggar-enggar” (WD – 530). Selain itu dimungkinkan juga terdapat
pada babad, serat atau naskah, akan dicatat dan dianalisa untuk memahami keterkaitannya
dengan faktor objektif karya tari pasihan yang tengah diteliti.
![Page 107: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/107.jpg)
107
4. Perekaman
Teknik pengumpulan data dengan rekaman terutama dengan alat video dan
rekaman suara merupakan metode yang cukup penting karena akan membantu peneliti
dalam rangka memperjelas deskripsi berbagai aktivitas dan situasi di lapangan. Bentuk
rekaman video yang diutamakan adalah peristiwa berlangsungnya pertunjukan khusus tari
Karonsih dan tari Bondhan Sayuk. Rekaman ini dimaksudkan untuk lebih mencermati
peristiwa pertunjukan berdasarkan natural setting artinya sasaran penelitian harus tetap
berada pada kondisi aslinya secara alami (Sutopo, 2006: 37) (lihat Moleong, 2007: 8;
Fatimah, 1993: 11). Adapun kegiatan ini adalah merekam bentuk tari Karonsih dan tari
Bondhan Sayuk untuk dianalisis bahasa verbal dan nonverbal dari masing-masing bentuk
tari tersebut. Dari kajian bentuk tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk ini dimaksudkan
untuk menjawab rumusan masalah terkait dengan pertanyaan yang mengarah pada faktor
objektif. Selain itu rekaman tari pasihan tersebut juga untuk mengembangkan pertanyaan
yang mengarah pada faktor genetik dan faktor afektif. Hal ini dilakukan untuk mencari
dan menemukan korelasi dari ketiga faktor yaitu genetik, objektif dan afektif sebagai
dasar menentukan makna genre tari pasihan dalam upacara resepsi perkawinan.
E. Teknik Cuplikan (sampling)
Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif
dengan pertimbangan konsep teoretis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, dan
karakteristik empirisnya. (Goetz & Le Compte dalam Sutopo, 2006:229). Untuk itu dalam
penelitian kualitatif, teknik cuplikannya cenderung bersifat purposive karena dipandang
lebih mampu menangkap kelengkapan dan kedalaman data di dalam menghadapi realitas
yang tidak tunggal. Pemilihan sampel diarahkan lebih fokus pada sumber data yang
![Page 108: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/108.jpg)
108
dipandang memiliki data penting yang terkait dengan permasalahan yang sedang diteliti.
Untuk itu peneliti dituntut memahami peta sumber yang tersedia, dalam beragam
posisinya, karena setiap posisi akan memiliki akses informasi yang berbeda. Purposive
sampling memberikan kesempatan secara maksimal pada kemampuan peneliti untuk
menyusun teori yang dibentuk dari lapangan (grounded theory) dengan sangat
memperhatikan kondisi lokal dengan kekhususan nilai-nilainya (idiografis). Cuplikan ini
kedudukannya bukan mewakili populasinya tetapi mewakili informasinya, sehingga
bilamana generelisasi harus dilakukan, maka arahnya cenderung sebagai generalisasi teori
(Sutopo, 2006).
Informan yang dibutuhkan dipilih berdasarkan kredibilitas, kualitas, dan keluasan
wawasan dalam suatu permasalahan yang dikaji sehingga informasi yang diperoleh betul-
betul mantab kualitasnya. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif ini peneliti memilih
informan yang diharapkan mampu memberikan informasi yang memiliki kedalaman dan
keakuratan data guna menjawab permasalahan yang diajukan, secara tuntas dan valid.
Sumber lain akan dipilih berdasarkan pertimbangan ketepatan dan kelengkapan datanya.
Adapun sejumlah informan dan informasi yang dibutuhkan dari informan tersebut lihat
hal: 56-57.
F. Validitas Data
Untuk menjamin dan mengembangkan validitas data yang akan dikumpulkan
dalam penelitian kualitatif ini digunakan teknik trianggulasi data atau sumber, trianggulasi
metode, dan trianggulasi teori dari empat jenis trianggulasi yang ditawarkan Patton
(dalam Sutopo, 2006: 92). Trianggulasi data atau sumber mengarahkan peneliti dalam
mengumpulkan data harus menggunakan beragam sumber data artinya data yang sejenis
![Page 109: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/109.jpg)
109
akan lebih mantab kebenarannya apabila digali dari beberapa sumber data yang berbeda.
Untuk mengetahui alasan mengapa terjadi dominasi salah satu jenis tindak tutur dalam
bahasa verbal tari pasihan, peneliti membutuhkan informasi dari informan yang berbeda
di antaranya dari penyusun tari pakar, dan penanggap. Data yang terkumpul kemudian
dikomparasikan untuk mengkaji alasan yang tepat guna menjawab secara akurat terkait
dengan fungsi bahasa verbal dalam pertunjukan tari pasihan. Selain itu, untuk memahami
makna tari pasihan, peneliti menggunakan tiga informan yang berbeda yaitu: penyusun
tari, pakar tari, dan masyarakat umum. Informasi dari ketiga informan tersebut kemudian
dianalisis dengan cara membandingkan untuk melihat persamaan, perbedaan kemudian
mencari argumen dari masing-masing untuk mendapatkan simpulan yang memadai.
Trianggulasi metode dalam penelitian kualitatif mengarah pada perbedaan teknik
atau metode pengumpulan data pada data yang sejenis. Di sini yang diutamakan adalah
penggunaan metode pengumpulan data yang berbeda, bahkan lebih jelas untuk diusahakan
mengarah sumber data yang sama untuk menguji kemantapan informasinya. Salah satu
bentuk aplikasi dalam penelitian ini, untuk menemukan ciri karakteristik bahasa verbal
dan nonverbal genre tari pasihan dari informan seorang penari, peneliti menggunakan
metode pengumpulan data dengan mencatat dokumentasi atau arsip yang berupa data
bahasa verbal dan nonverbal kemudian melakukan wawancara secara mendalam, dan
observasi di lokasi ketika penari tersebut sedang menyajikan tari pasihan. Data sementara
yang diperoleh dari ketiga metode yang berbeda pada sumber data atau informan yang
sama, akan dikomparasikan dan ditarik simpulan data yang lebih kuat dan mantap
validitasnya.
![Page 110: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/110.jpg)
110
Trianggulasi teori dibutuhkan untuk mendapatkan pandangan yang lengkap dan
mendalam, tidak hanya sepihak dan bersifat monoperspektif, tetapi dengan beberapa teori
yang digunakan sebagai alat kajian sehingga muncul multiperspektif. Karena setiap teori
memiliki perspektif yang khusus, artinya berbeda suatu teori beragam pula cara
pandangnya, untuk itu diperlukan beberapa perspektif teori guna memperoleh hasil
simpulan yang mantap dapat dipertanggungjawabkan, mempunyai kedalaman makna dan
bersifat multidimensional (Sutopo, 2006:98-99). Bentuk aplikasinya, untuk mengetahui
makna yang tersirat dalam tari pasihan harus menganalisis terhadap bahasa verbal dan
nonverbal dengan menggunakan empat teori yaitu: (1) teori pragmatik, (2) teori budaya,
(3) teori seni pertunjukan, dan (4) teori komunikasi. Keempat teori tersebut akan
berfungsi sebagai alat kajian dan bekerja secara komplementer untuk menemukan makna
tunggal yang menempatkan posisi setiap temuan berada pada satu kesatuan konteks (lihat
hal: 14).
G. Teknik Analisis
Penelitian kualitatif bentuk analisisnya bersifat induktif, artinya semua simpulan
dibentuk dari semua informasi yang diperoleh dari lapangan. Analisisnya tidak untuk
membuktikan kebenaran hipotesis yang telah diajukan dalam proposal penelitian, tetapi
seluruh hasil simpulan yang dibuat dan teori yang mungkin dikembangkan, dibentuk dari
temuan dan kumpulan data di lapangan digunakan untuk dasar pemahaman dan
penyusunan suatu simpulan (Sutopo,2006: 105). Sifat analisis induktif sangat
mementingkan apa yang sebenarnya terjadi dan ditemukan di lapangan yang pada
dasarnya bersifat khusus berdasarkan karakteristik konteksnya dalam kondisi alamiahnya.
![Page 111: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/111.jpg)
111
Proses analisis dilakukan bersamaan sejak awal dengan proses pengumpulan data,
dengan melakukan beragam teknik refleksi untuk pemantapan simpulan awal dan
perluasan serta pendalaman data bagi pengumpulan data berikutnya. Aktivitas refleksi
dari setiap data yang telah terkumpul pada dasarnya merupakan kegiatan analisis yang
semakin berkembang, sehingga data yang hendak disajikan sebagai laporan, sudah
merupakan hasil dari analisis yang berkelanjutan pada proses pengumpulan data.
Analisis dilakukan dalam bentuk interaktif, artinya setiap unit data yang terkumpul
selalu dikomparasikan dengan unit data lainnya untuk menemukan beragam hal yang
dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian (keluasan, kesepadanan, perbedaan, bentuk
keterkaitan antarunsurnya dan sebagainya). Sejak diperoleh data dalam unit yang paling
kecil sudah mulai dikomparasikan hingga pada unit-unit atau kelompok data yang besar
untuk mengelompokkan beragam variabel sesuai dengan rumusan masalah. Proses
interaktif juga mengkomparasikan data yang didapat dari wawancara, observasi, arsip
maupun dokumen dan lainnya untuk mendapatkan pemantapan simpulan yang kemudian
akan dikembangkan dan validitas datanya dengan mencermati tingkat kesamaan,
perbedaan, dan kemungkinan lain. Adapun proses interaksi selanjutnya antarkomponen
analisisnya meliputi reduksi data, sajian data, penarikan simpulan dan verikasinya, atau
mengkomparasikan antarfaktor-faktor utama yang menjadi pokok kajian berdasarkan
kerangka pikir (Sutopo, 2006).
Pada penelitian kualitatif kasus tunggal tentang genre tari pasihan gaya Surakarta
ini, setelah peneliti mendapatkan data pada unit-unit hingga kelompok yang besar,
misalnya tanggapan ciri-ciri karakteristik bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan
dari informan penari, informan pakar, dan informan budayawan kemudian
![Page 112: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/112.jpg)
112
dikomparasikan untuk mencari dan menemukan perbedaan, kesamaan dengan beragam
rujukannya untuk simpulan yang mantap dengan melihat keterkaitannya tujuan penelitian
yang telah dirumuskan yaitu untuk menemukan ciri karakteristik genre tari pasihan gaya
Surakarta. Untuk menganalisis makna pragmatik dapat dengan mengkomparasikan
antarfaktor-faktor utama dari: implikatur tindak tutur verbal dan nonverbal, fungsi dan
persepsi masyarakat, untuk menarik makna pragmatik sebagai hasil analisis akhir
penelitian. Model analisisnya, peneliti gunakan model analisis interaktif.
Sebagai gambaran model analisis interaktif (Sutopo,2006:120).
(1) (2)
(3)
Keterangan:
Pengumpulan data yang dilakukan adalah mencatat dengan rinci, kritis, dan
lengkap dengan kata-kata kunci. Selain itu, mengembangkan hasil wawancara yang
berupa kata-kata kunci menjadi catatan lengkap.
Reduksi data, peneliti melakukan pengelompokan data menurut jenisnya secara
terpisah berdasarkan kelompok informasinya dan merumuskan temuan jalinan dalam
Pengumpulan data
Reduksi data
Penarikan Simpulan/verifikasi
Sajian data
![Page 113: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/113.jpg)
113
kelompok dengan rumusan singkat. Selain itu membandingkan data antarkelompok untuk
menemukan kemungkinan adanya keragaman bentuk yang terkait.
Sajian data, disusun berdasarkan kelompok data yang sudah dirumuskan (reduksi
data) kemudian melakukan pengelompokan unit sajian berdasarkan kelompok rumusan
masalah, yang dikembangkan berdasarkan temuan-temuan dari setiap kelompok data dan
disajikan dalam bentuk narasi lengkap dan bukan sajian bahan mentah.
Penarikan simpulan/verifikasi, merupakan hasil pembahasan dari sajian data dan
reduksi data untuk menyimpulkan makna tunggal yang menempatkan posisi setiap
temuan berada pada satu kesatuan konteks.
![Page 114: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/114.jpg)
114
BAB IV
BAHASA VERBAL DAN NONVERBAL GENRE TARI PASIHAN GAYA
SURAKARTA
Genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan habitat dari jenis-jenis karya tari
duet percintaan atau tari pasihan. Adapun bentuk genre tari pasihan terdiri dari tari duet
percintaan, yakni seperti: tari Karonsih, tari Endah, tari Enggar-enggar, tari Kusuma
Aji, tari Lambangsih, tari Driasmara, tari Gesang Rahayu, tari Bondhan Sayuk, tari
Kusuma Ratih, tari Jayaningrat, tari Langen Asmara dan tari Setyaningsih.
Dalam penelitian ini peneliti terfokus pada dua jenis tari pasihan, yaitu tari
Karonsih dan tari Bondhan Sayuk. Pemilihan kedua jenis tari Karonsih dan tari Bondhan
Sayuk, diharapkan mampu menjawab rumusan masalah dari kajian pragmatik bahasa
verbal dan nonverbal genre tari pasihan gaya Surakarta. Secara garis besar bentuk tari
Karonsih dan tari Bondhan Sayuk banyak persamaannya, yang sudah barang tentu juga
terdapat perbedaan namun tidak begitu signifikan.
Pada dasarnya bentuk tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk sebagai bagian seni
pertunjukan genre tari pasihan gaya Surakarta memiliki beberapa aspek di antaranya
aspek sastra tembang sebagai bahasa verbal yang berupa cakepan (syair): pathetan,
sindhenan, gerongan, dan jineman. Sedangkan aspek bahasa nonverbal meliputi: tema,
gerak tubuh (kinetic body moves), polatan (ekspresi wajah), pola lantai, rias, busana, dan
iringan karawitan.
Aspek bahasa verbal dan nonverbal tari Karonsih dan tari Bondhan Sayuk
merupakan komposisi dua komponen yang menyatu dalam bentuk seni pertunjukan.
Bagi seniman komposit dari bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat pada tari
![Page 115: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/115.jpg)
115
Karonsih dan tari Bondhan Sayuk merupakan kesatuan makna yang utuh dan berfungsi
sebagai sarana komunikasi untuk hiburan dan suritauladan. Untuk menjelaskan tentang
seluk-beluk bahasa verbal dan nonverbal pada kedua jenis tari Karonsih dan tari
Bondhan Sayuk, peneliti hendak menggali dan mengungkap data dari infoman
berdasarkan faktor objektif, genetik, dan afektif.
A. Faktor Objektif
I. Tari Karonsih
Tari Karonsih merupakan tari tradisi gaya Surakarta jenis pasangan silang jenis
karakter putri luruh dengan putra alus luruh yang bertemakan percintaan Dewi Sekartaji
dengan Panji Inukertapati. Karya tari Karonsih merupakan hasil susunan Maridi pada
awal tahun 1970, ketika beliau mendapat permintaan dari keluarga Kalitan, untuk
menyajikan sebuah tari yang sesuai untuk kebutuan resepsi perkawinan Ibnu Harjanto
adik Tien Suharto istri mantan presiden Indonesia yang ke dua (wawancara Maridi,
1991). Jika dicermati lebih lanjut pertunjukan tari Karonsih dapat dibagi menjadi
beberapa adegan-adegan sebagai berikut: 1) adegan pencarian, 2) adegan pertemuan, dan
3) adegan bahagia, yang merupakan klimaks dari seluruh adegan. Pembagian adegan di
sini berdasarkan suasana-suasana yang dibangun lewat garap gendhing dan makna sastra
tembang. Bentuk tari Karonsih terdiri dari dua komponen pokok, yakni sastra tembang
yang merupakan bahasa verbal dan elemen-elemen lain yang terkait dan menunjang
dengan tari yang merupakan bahasa nonverbal.
a. Bahasa Verbal.
Teks sastra tembang yang merupakan bahasa verbal tari Karonsih, terdiri dari
beberapa bait syair yang terdapat pada garap lagu, yakni: (1) pathetan: sakpada (satu
![Page 116: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/116.jpg)
116
bait), (2) garap sindhenan Pangkur Ngrenas: sakpada, (3) garap sindhenan. Kinanthi
Sandhung: rongpada (dua bait), dan (4) garap gerongan Lambangsari: rong pada. Dari
masing-masing bait syair tembang tersebut memiliki garap lagu atau watak lagu yang
berbeda-beda. Bahasa verbal yang berupa tembang Jawa tersebut terurai menjadi
beragam jenis tindak tutur dan beragam makna yang dikandungnya, seperti jabaran
berikut ini.
(1) Teks Pathetan Wantah
Sang Retnayu Dewi Sekartaji Jengkar sking kedhaton Sang Retnayu Dewi Sekartaji Jengkar sking kedhaton Angupadi mendranira ingkang garwa Inukertapati, O……….. Dahat denira muwun,O…………
Terjemahan:
Si cantik Dewi Sekartaji Pergi dari kerajaan
Si cantik Dewi Sekartaji Pergi dari kerajaan Mencari suaminya, Inukertapati Menangis tersedu-sedan.
Jenis – jenis Tindak Tutur (TT) yang melekat pada teks Pathetan Wantah
No Narator
(Nr)
Teks Verbal Pathetan
Wantah
Jenis-jenis
TT
Pemarkah
1.1
Nr
Sang Retnayu Dewi
Sekartaji
Jengkar sking kedhaton
Asertif
Jengkar
![Page 117: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/117.jpg)
117
1.2
Nr
Sang Retnayu Dewi
Sekartaji
Jengkar sking kedhaton
Asertif
Jengkar
1.3
Nr
Angupadi mendranira
ingkang garwa
Inukertapati, O………..
Direktif
Angupadi
1.4
Nr
Dahat denira
muwun,O……
Ekspresif
muwun
Konteks.
Identifikasi / latar.
a. Peserta tutur: Narator (Pn)
Dewi Sekartaji (Pt), ia merespon dengan gerak tanpa
tuturan.
b. Tema / topik: pencarian.
c. Tujuan: seorang istri (Dewi Sekartaji) yang mencari suami (Panji
Inukertapati) yang telah meninggalkan kerajaan
d. Status sosial: Dewi Sekartaji sebagai seorang istri, ia digambarkan
sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.
e. Tempat: perjalanan di luar kerajaan.
f. Situasi tutur: tidak formal.
![Page 118: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/118.jpg)
118
g. Gerak: Dewi Sekartaji keluar dari pojok belakang kanan stage menuju
tengah dengan gerak: srisik, kengser, badan putar menghadap belakang
srisik mundur kemudian putar menghadap depan, lumaksono, badan
nglayang (memutar) ke kiri, kaki njujut, badan ngglebak ke kanan hadap
ke depan, ridhong sampur kiri, dan usap kiri – usap kanan.
h. Polatan / ekspresi wajah: Dewi Sekartaji tampak sedih kepala menunduk,
pandangan mata mengarah ke bawah dan perubahan gerak kepala lebih
pelan dan terkesan hati-hati.
i. Pola lantai: didominasi garis–garis lurus.
j. Iringan gendhing: pathetan untuk mendukung suasana sedih.
Implikatur.
Jengkar sking kedhaton: merupakan pernyataan perbuatan atau tindakan dari keluarga
bangsawan karena terdapat suatu permasalahan yang sangat penting yang
mengharuskan dan sebagai jalan terakhir untuk pergi dari kerajaan.
Mendranira: adalah sebuah tindakan yang didasari dari rasa tidak puas terhadap
sesuatu.
Angupadi: merupakan sebuah perbuatan untuk mencari dan berupaya menemukan
dengan cara dan usaha yang sungguh-sunggguh.
Implikatur teks Pathetan adalah menggambarkan liku-liku perjalanan Dewi Sekartaji
dalam mencari dan untuk menemukan Panji Inukertapati (suaminya).
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Pathetan Wantah dapat diungkap:
a. Maksim kuantitas dilanggar.
b. Maksim kualitas dipatuhi.
![Page 119: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/119.jpg)
119
c. Maksim hubungan dipatuhi.
d. Maksim cara dilanggar.
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Pathetan Wantah, menggunakan
strategi:
1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.
2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).
Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Isen-isen (isian)
No Narator (Nr) Teks Verbal Isen-isen
Jenis-jenis
TT
1.1 Nr Jarweng janma, janma kang
koncatan nyawa, gones.
Patik
(2). Teks Sindhenan Pangkur Ngrenas.
Dhuh jagad dewa bathara Welasa mring dasih kang nandhang kingkin Tinilar garwa satuhu Dadya gantilaning tyas Ulun dhahat teka aginggang sarambut Kalamun datan pinanggya Aluwung tumekeng lalis
Terjemahan:
Wahai Sang Hyang Dewata Kasihanilah hambamu yang baru sedih Ditinggal suami Yang menjadi buah hati Hamba tidak dapat berpisah Jika tidak dapat bertemu Lebih baik mati
![Page 120: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/120.jpg)
120
Jenis - jenis TT yang melekat pada teks Sindhenan Pangkur Ngrenas.
No Penutur
(Pn)
Teks Verbal Sindhenan
Pangkur Ngrenas
Jenis – jenis
TT
Pemarkah
2.1 Dewi
Sekartaji
(Pn)
Dhuh jagad dewa
bathara
Patik
Dhuh jagad
2.2 Dewi
Sekartaji
(Pn)
Welasa mring dasih kang
nandhang kingkin
Direktif
mring dasih
2.3 Dewi
Sekartaji
(Pn)
Tinilar garwa satuhu
Asertif
satuhu
2.4 Dewi
Sekartaji
(Pn)
Dadya gantilaning tyas
Direktif
dadya
2.5 Dewi
Sekartaji
(Pn)
Ulun dhahat teka
aginggang sarambut
Direktif Ulun dhahat
2.6 Dewi
Sekartaji
(Pn)
Kalamun datan
pinanggya
Direktif
datan
2.7 Dewi
Sekartaji
(Pn)
Aluwung tumekeng lalis
Komisif Aluwung
![Page 121: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/121.jpg)
121
Konteks.
Identifikasi / latar.
a. Peserta tutur: Dewi Sekartaji.
b. Tema / topik: kesetiaan.
c. Tujuan: Dewi Sekartaji dalam situasi yang rindu, sedih, pasrah, dan
memohon pada Yang Kuasa agar segera dipertemukan dengan suaminya,
supaya kasih asmaranya dapat menyatu kembali.
d. Status sosial: Dewi Sekartaji sebagai seorang istri, ia digambarkan
sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.
e. Tempat: dalam perjalanan di luar kerajaan.
f. Situasi tutur: tidak formal.
g. Gerak: Sekartaji mengekspresikan lewat gerak laras sampir sampur
kanan, sekar suwun, tawing kiri ingsetan, dan lembehan separo.
h. Polatan / ekspresi wajah: Dewi Sekartaji tampak sedih, kepala
menunduk, pandangan mata mengarah ke bawah dan perubahan gerak
kepala lebih pelan dan terkesan hati-hati.
i. Pola lantai: didominasi garis-garis lurus.
j. Iringan gendhing: Ketawang Ngrenas untuk mendukung suasana sedih.
Implikatur.
Nandhang kingkin: suasana sedih yang dialami seseorang.
Gantilaning tyas: merupakan kekasih sebagai belahan jiwa yang diharapkan dapat
sebagai tumpuan akhir yang mampu mengayomi, melindungi dan
bertanggungjawab.
![Page 122: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/122.jpg)
122
Aginggang sarambut: merupakan pernyataan hubungan cinta kasih yang sangat erat dan
lekat, sehingga berharap tidak dapat putus. Sebagai bukti
kesetiaan seseorang.
Aluwung tumekeng lalis: sebuah pernyataan yang dilandasi emosional atau ketulusan
hati untuk melakukan tindakan sebagai jalan pintas untuk
mengakhiri kehidupan. Dalam hubungan asmara dapat sebagai
bukti kesetiaan.
Implikatur teks Pangkur Ngrenas adalah menggambarkan Dewi Sekartaji dalam situasi
rindu, sedih, pasrah, kemudian memohon pada Yang Kuasa agar
segera dipertemukan dengan suaminya. Bukti kesetiaan yang
mendalam Dewi Sekartaji terhadap suaminya, tersurat dalam
bentuk tuturan yang diungkapkan dengan TT: Kalamun datan
pinanggya, Aluwung tumekeng lalis.
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Pangkur Ngrenas
dapat diungkap:
a. Maksim kuantitas dilanggar.
b. Maksim kualitas dipatuhi.
c. Maksim hubungan dipatuhi.
d. Maksim cara dilanggar.
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Pangkur Ngrenas,
menggunakan strategi:
1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.
2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).
![Page 123: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/123.jpg)
123
Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Isen-isen
No Narasi (Nr) Teks Verbal Isen-isen Jenis - jenis TT
2.1 Nr Suta nendra prajane sri
Bomantara
Sun bathara, rama
Lamun sira darbe tresno
Patik
2.2 Nr Saji siswa, gones
Arane basa nawala
Patik
(3). Teks Sindhenan Kinanthi Sandhung.
Cakepan a.
Adhuh yayi garwa ningsun Teka mlengos datan angkling Mara ngadhepna pun kakang Kang wus lami nandhang brangti Kadingaren yayi duka Apa kang dadi wigati
Cakepan b.
Wus dangu pun kakang wuyung Marang yayi wanodya di Tuhu wanita utama Mustikaning para putri Muga tansah pinaringan Kanugrahan kang salami
Terjemahan:
Syair a.
Wahai istriku Mengapa berpaling tidak menghiraukan Kemari tataplah wajah kakanda Sudah lama rindu Tidak biasa adinda marah Apa persoalannya
![Page 124: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/124.jpg)
124
Syair b.
Sudah lama kakanda jatuh asmara Kepada adinda wanita yang cantik Engkau wanita utama Menjadi suritauladan para wanita Semoga selalu diberi Kebahagiaan selamanya
Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Sindhenan Kinanthi Sandhung.
No Penutur
(Pn)
Teks Verbal Sindhenan
Kinanthi Sandhung
Jenis - jenis
TT
Pemarkah
3.1 Panji
Inukertapati
(Pn)
Adhuh yayi garwa
ningsun
Patik
Adhuh
3.2 Panji
Inukertapati
(Pn)
Teka mlengos datan
angkling
Direktif datan
3.3 Panji
Inukertapati
(Pn)
Mara ngadhepna pun
kakang
Direktif mara
3.4 Panji
Inukertapati
(Pn)
Kang wus lami nandhang
brangti
Ekspresif nandhang
3.5 Panji
Inukertapati
(Pn)
Kadingaren yayi duka
Direktif kadingaren
3.6 Panji
Inukertapati
(Pn)
Apa kang dadi wigati
Direktif apa
![Page 125: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/125.jpg)
125
3.7 Panji
Inukertapati
(Pn)
Wus dangu pun kakang
wuyung
Ekspresif
wus dangu
3.8 Panji
Inukertapati
(Pn)
Marang yayi wanodya di
Direktif marang
3.9 Panji
Inukertapati
(Pn)
Tuhu wanita utama
Ekspresif utama
3.10 Panji
Inukertapati
(Pn)
Mustikaning para putri
Ekspresif mustikaning
3.11 Panji
Inukertapati
(Pn)
Muga tansah pinaringan
Direktif
muga
3.12 Panji
Inukertapati
(Pn)
Kanugrahan kang salami
Direktif
kanugrahan
Konteks.
Identifikasi / latar.
a. Peserta tutur: Panji Inukertapati (Pn).
Dewi Sekartaji (Pt), ia merespon dengan gerak tanpa
tuturan.
b. Tema / topik: percintaan.
c. Tujuan: menyatukan kembali kasih asmara antara suami dengan istri yang
pernah berpisah.
![Page 126: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/126.jpg)
126
d. Status sosial: Panji Inukertapati sebagai seorang suami, ia digambarkan
sebagai figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia
terhadap istri. Dewi Sekartaji sebagai seorang istri, ia digambarkan
sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.
e. Tempat: dalam perjalanan di luar kerajaan.
f. Situasi tutur: tidak formal.
g. Gerak: Sekartaji tampak putus harapan, yang digambarkan jengkeng
(duduk) diikuti kedua tangan memegang sampur sambil menutup raut
muka pada posisi centre stage. Datang Panji dari belakang, ulap-ulap
tangan kiri – kanan, besut, laras genjot, dan kengser ke kanan. Suasana
marah diekspresikan Sekartaji dengan berdiri enjer, ketika Panji jengkeng
njawil (memegang bahu). Panji segera memburu Sekartaji dengan gerak
berdiri srisik, nyabet ukel karna kanan, maju lumaksono, srisik, tangan
kanan nyaut, tanjak tawing kanan. Untuk meredakan kemarahan
Sekartaji, Panji mencoba merayunya kembali dengan lumaksono
kebyokan sampur, maju, tangan kanan nyaut dengan kebyok kemudian
mundur, panggel, tanjak kanan, ngancap, tangan pondhongan kemudian
nyaut jeblos (tukar tempat) lalu Sekartaji memberikan sampur dan segera
diterima Panji. Suasana kemesraan Sekartaji dan Panji semakin terasa
yang diungkapkan lewat gerak tangkep asta, Sekartaji merasa malu
kemudian melepas kedua tangan dan srisik yang segera dikejar Panji
dengan srisik nyandhet tangkep asta ngaras (berciuman). Perasaan malu
juga ditampakkan oleh kedua tokoh tersebut setelah berciuman lepas
![Page 127: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/127.jpg)
127
kedua tangan, laku enjer saling menjauh, tangan kiri menthang, tangan
kanan tawing. Asmara yang dibangun Sekartaji dan Panji Inukertapati
mulai menyatu, hal ini diekspresikan dengan bentuk-bentuk gerak selalu
bergandengan tangan, seperti: kanthen tangan kanan, kengser ke kanan-
kiri, maju, adu tangan kiri nekuk, srisik melingkar, kanthen tangan kanan.
h. Polatan / ekspresi wajah: ketika Sekartaji tampak putus harapan, raut
muka ditutup, pandangan mata mengarah ke bawah. Suasana marah,
pandangan muka Sekartaji selalu menghindar dari tatapan mata Panji,
sedangkan Panji selalu memandang Sekartaji. Suasana mesra, ekspresi
wajah Sekartaji dan Panji tampak cerah dan gembira, pandangan dan
tatapan mata keduanya banyak saling berhadapan wajah, saling melempar
senyum sebagai tanda cinta, mesra, damai dan bahagia.
i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.
j. Iringan gendhing: Ketawang Kinanthi Sandhung untuk mendukung
suasana kasmaran atau bercinta.
Implikatur.
nandhang brangti: merupakan gambaran psikologis seseorang dalam keadaan asmara.
Kadingaren: merupakan perbuatan atau tindakan seseorang yang tidak biasa dilakukan.
Mustikaning: merupakan ungkapan yang bersifat menyanjung terhadap kelebihan
seseorang, untuk mendapatkan perhatian mitra tuturnya.
Implikatur teks Kinanthi Sandhung tersebut adalah: a) Dewi Sekartaji marah terhadap
Panji Inukertapati. b) Panji berusaha membujuk dan merayu istrinya,
akhirnya luluh hati Dewi Sekartaji.
![Page 128: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/128.jpg)
128
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Kinanthi Sandhung,
dapat diungkap:
a. Maksim kuantitas dilanggar.
b. Maksim kualitas dipatuhi.
c. Maksim hubungan dipatuhi.
d. Maksim cara dilanggar.
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Kinanthi Sandhung,
menggunakan strategi:
1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.
2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).
(4). Teks Gerongan Lambangsari.
Cakepan a.
Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada Ingkang bisa nujuprana weh reseping pamicara Nora kengguh ing panggodha darbe budi kang santosa Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira Datan kemba asih tresna sung tetreming kulawarga Sampun sami setya tuhu anggenya liron asmara Karonsih pancen pranyata dadya kembang jagad raya
Cakepan b.
Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada Ingkang bisa nujuprana weh reseping pamicara Nora kengguh ing panggodha darbe budi kang santosa Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira Datan kemba asih tresna sung tentreming kulawarga Sang pekik wah sang dyah ayu dangu samya bagyaharja Tan kendhat tansah meminta kanugrahan ing Hyang Sukma
![Page 129: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/129.jpg)
129
Terjemahan:
Syair a.
Para wanita supaya selalu berbuat kebajikan Selalu setia terhadap suami, menjadi pasangan yang bertanggungjawab
Yang bisa menarik hati membuat harmonis dalam pembicaraan Tidak tergoda, memiliki sikap yang teguh Gantian pria berilah keseimbangan sebagai pengayom dalam perkawinan Tidak acuh, saling mencintai menuju ketetraman keluarga Sudah saling setia dalam bercinta
cinta itu adalah nilai yang universal Syair b.
Para wanita supaya selalu berbuat kebajikan Selalu setia terhadap suami, menjadi pasangan yang bertanggungjawab Yang bisa menarik hati membuat harmonis dalam pembicaraan Tidak tergoda, memiliki sikap yang teguh Gantian pria berilah keseimbangan sebagai pengayom dalam perkawinan Tidak acuh, saling mencintai menuju ketetraman keluarga Sang kesatria (Panji) dan sang Dewi Sekartaji sudah lama hidup bahagia Tiada henti selalu meminta kebahagiaan kepada Yang Maha Kuasa
Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gerongan Lambangsari.
No Penutur (Pn)
/ Petutur
(Pt)
Teks Verbal
Gerongan Lambangsari
Jenis – jenis
TT
Pemarkah
4.1 Panji
Inukertapati
(Pn)
Pra wanita marsudiya
marang tindak kang utama
Direktif
marsudiya
4.2 Panji
Inukertapati
(Pn)
Setya tuhu marang garwa
dadi rowang kang sembada
Direktif marang garwa
4.3 Panji
Inukertapati
(Pn)
Ingkang bisa nujuprana
weh reseping pamicara
Direktif
ingkang bisa
![Page 130: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/130.jpg)
130
4.4 Panji
Inukertapati
(Pn)
Nora kengguh ing
panggodha darbe budi
kang santosa
Direktif nora kengguh
4.5 Dewi
Sekartaji
(Pt)
Balik priya nimbangana
ngayomi mring rabinira
Direktif nimbangana
4.6 Dewi
Sekartaji
(Pt)
Datan kemba asih tresna
sung tetreming kulawarga
Direktif datan kemba
4.7 Narator Sampun sami setya tuhu
anggenya liron asmara
Asertif
sampun sami
4.8 Narator Karonsih pancen pranyata
dadya kembang jagad raya
Asertif pancen pranyata
4.9 Panji
Inukertapati
(Pn)
Pra wanita marsudiya
marang tindak kang utama
Direktif
marsudiya
4.10 Panji
Inukertapati
(Pn)
Setya tuhu marang garwa
dadi rowang kang sembada
Direktif marang garwa
4.11 Panji
Inukertapati
(Pn)
Ingkang bisa nujuprana
weh reseping pamicara
Direktif
ingkang bisa
4.12 Panji
Inukertapati
(Pn)
Nora kengguh ing
panggodha darbe budi
kang santosa
Direktif
nora kengguh
4.13 Dewi
Sekartaji
Balik priya nimbangana
ngayomi mring rabinira
Direktif
nimbangana
![Page 131: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/131.jpg)
131
(Pt)
4,14 Dewi
Sekartaji
(Pt)
Datan kemba asih tresna
sung tetreming kulawarga
Direktif
datan kemba
4.15 Narator Sang pekik wah sang dyah
ayu dangu samya
bagyaharja
Asertif
samya
bagyaharja
4.16 Narator Tan kendhat tansah
meminta kanugrahan ing
Hyang Sukma
Direktif meminta
Konteks.
Identifikasi / latar.
a. Peserta tutur: Panji Inukertapati (Pn).
Dewi Sekartaji (Pt).
b. Tema / topik: kebahagiaan.
c. Tujuan: membina keluarga yang bahagia antara suami dan istri.
d. Status sosial: Panji Inukertapati sebagai seorang suami, ia digambarkan
sebagai figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia
terhadap istri. Dewi Sekartaji sebagai seorang istri, ia digambarkan
sebagai figur seorang wanita, istri yang sangat setia terhadap suami.
e. Tempat: di kerajaan.
f. Situasi tutur: tidak formal.
g. Gerak: Sekartaji dan Panji gerak yang dipilih untuk mengungkapkan
suasana bahagia yang tercermin dalam rasa gembira, seperti motif gerak:
Trap jamang, luluran, ngore rikma, dan alisan. Suasana kemesraan,
![Page 132: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/132.jpg)
132
kebersamaan, dan keharmonisan diungkapkan dengan motif-motif gerak,
seperti: lilingan, kebyokan sampur, lilingan, rimong sampur, srisik
kanthen tangan kanan, kanthen tangan kanan ingsetan, kanthen tangan
kiri enjeran, lumaksono encot kanthen tangan kanan, dan diakhiri
pangkon ulap-ulap tangan kiri. Motif-motif gerak tersebut dilakukan
dengan irama dinamis, saling berhadapan, saling mendekat, saling
bersentuhan tangan dan badan sehingga terasa sebagai puncak
kemesraannya. Bersetuhan badan tampak pada gerak Sekartaji dipangku
Panji.
h. Polatan / ekspresi wajah: kedua tokoh Sekartaji maupun Panji
Inukertapati tampak gembira, cerah terutama ditampilkan pada adegan
ini, keduanya banyak saling berhadapan wajah, pandangan mata searah,
saling melempar senyum sebagai tanda cinta, mesra, damai dan bahagia.
Puncak kemesraan pada adegan bahagia ini terekspresikan pada saat
Sekartaji duduk dipangkuan Panji Inukertapati, mereka saling
memandang dengan ekspresi wajah ceria, senyum, dan mesra.
i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.
j. Iringan gendhing: Lambangsari untuk mendukung suasana riang dan
gembira. Adapun sebagai penutup ladrang Sigramangsah untuk
mendukung suasana semangat.
Implikatur.
Marsudiya: tuturan perintah yang bersifat santun.
Setya tuhu: pernyataan kesetiaan yang mendalam.
![Page 133: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/133.jpg)
133
Nujuprana: ungkapan yang menyatakan kecocokan atas sesuatu yang menjadikannya
senang.
Nimbangana: sebuah permintaan yang menghendaki mitra tuturnya berlaku bijak.
Ngayomi: merupakan sebuah tanggungjawab untuk menjamin kenyamanan,
ketenangan dan kebahagiaan orang lain.
Liron asmara: mempunyai pengertian saling mencintai.
Kembang jagad raya: ungkapan pengadaian yang dimaksudkan untuk menunjukkan
kehebatan, dan ketenaran.
Implikatur teks Gerongan Lambangsari terdiri dari: 1) Tipe seorang istri yang ideal
adalah selalu berupaya berbuat kebajikan, setia terhadap suami, menarik,
dan bertanggungjawab. 2) Tipe seorang suami yang ideal adalah setia
terhadap istri, mengayomi, dan mampu menciptakan ketentraman
keluarga. 3) Nilai cinta adalah sebuah nilai universal yang dapat dijadikan
landasan kehidupan berumahtangga. 4) Kebagiaan dunia dan akhirat
merupakan kebutuhan hidup hakiki manusia yang diupayakan secara
seimbang.
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Lambangsari,
dapat diungkap:
a. Maksim kuantitas dilanggar.
b. Maksim kualitas dipatuhi.
c. Maksim hubungan dipatuhi.
d. Maksim cara dilanggar.
![Page 134: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/134.jpg)
134
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Lambangsari,
menggunakan strategi:
1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.
2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).
Dari penjabaran teks verbal yang terdapat dalam tari Karonsih terdapat beragam
jenis tindak tutur yang dapat peneliti klasifikasikan secara kuantitatif jenis tindak tutur
direktif paling dominan, seperti paparan berikut:
NO JENIS TINDAK TUTUR JUMLAH
1 Tindak Tutur Direktif 25
2 Tindak Tutur Ekspresif 7
3 Tindak Tutur Asertif 4
4 Tindak Tutur Patik 5
5 Tindak Tutur Komisif 1
5 Tindak Tutur Performatif -
6 Tindak Tutur Verdiktif -
Berdasarkan prinsip kerja sama bahasa verbal yang terdapat tari Karonsih.
a. Maksim kuantitas dilanggar karena dalam menyampaikan tuturan seorang
penutur, banyak menggunakan kata-kata arkais dimaksudkan oleh seniman
penyusun untuk mengekspresikan rasa estetik.
b. Maksim kualitas dipatuhi dimaksudkan oleh penutur untuk menggambarkan
peristiwa yang betul-betul terjadi pada masing-masing adegan. Diharapkan
dengan mencermati peristiwa demi peristiwa yang terjadi secara kronologis
sejak adegan awal sampai akhir, penonton akan dapat menangkap makna dari
pertuturan secara utuh.
![Page 135: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/135.jpg)
135
c. Maksim hubungan dipatuhi dimaksudkan oleh penutur untuk menjaga kerja
sama antara penutur dengan mitra tutur, masing-masing hendaknya
memberikan kontribusi yang relevan demi terjadinya komunikasi rasa.
d. Maksim cara dilanggar karena dalam menyampaikan tuturan seorang
penutur, tidak langsung, terlalu panjang, dan pernyataannya samar, hal ini
dimaksudkan seniman penyusun untuk mengekspresikan rasa estetik dan
menambah kemantapan rasa.
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada tari Karonsih tidak terpenuhi, hanya
menggunakan strategi:
1) Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif untuk
menunjukkan kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan
mitra tutur. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk menunjukkan
simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri yang
digambarkan dalam tari.
2) Melakukan tindak tutur secara tidak langsung (off record) untuk
mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa.
b. Bahasa Nonverbal
Bahasa nonverbal yang merupakan elemen-elemem dari tari Karonsih terdiri
dari: tema, kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan
iringan. Untuk memahami masing-masing elemen berikut secara parsial akan dipaparkan
secara komprehensif.
![Page 136: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/136.jpg)
136
1. Tema percintaan yang diangkat dari babad Panji yang mengisahkan perjalanan
cinta Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati merupakan alur cerita yang disajikan
dalam tari Karonsih. Cerita Panji adalah merupakan karya sastra yang sangat terkenal di
Asia Tenggara terutama di Indonesia. Kamboja, Siam, dan Thailand. Di Indonesia
terdapat banyak versi tentang cerita Panji, terutama di Pulau Jawa. Di Jawa Timur pada
masa kejayaan kerajaan-kerajaan, di antaranya Medang, Jenggala, Kediri, Singasari, dan
Majapahit (abad X sampai ke XVI), cerita Panji ini sangat terkenal dalam sebuah
garapan dramatari yang disebut Raket. Munculnya cerita Panji pada zaman kejayaan
Majapahit merupakan pernyataan yang cukup kuat, hal ini didukung pendapat
Poerbatjaraka: bila kita kumpulkan seluruh bahan keterangan untuk menentukan waktu
timbulnya cerita Panji, kesimpulan satu-satunya bahwa redaksi yang pertama kali
disusun pada zaman kejayaan Majapahit. Timbulnya cerita Panji dipandang sebagai
suatu revolusi kesusastraan terhadap tradisi lama (Poerbatjaraka, 1968: 409).
Di Jawa Tengah, cerita Panji ini berkembang sejak Mataram pecah menjadi dua
yaitu kerajaan Yogyakarta dengan sebutan Kasultanan Ngayogyakarta dan kerajaan
Surakarta lebih dikenal sebagai Kasunanan Surakarta. Dilingkungan wilayah kekuasaan
kedua kerajaan Yogyakarta dan Surakarta, cerita Panji dikenal dalam cerita Andhe-
andhe Lumut, Keong Emas, Jaka Bluwo, dan Kethek Ogleng. Sekarang cerita Panji di
wilayah Jawa Timur yang merupakan sumber awal cerita tersebut dikenal dengan cerita
Ragil Kuning dan Kilisuci. Wilayah Bali cerita Panji banyak dikenal dengan sebutan
Malat (Poerbatjaraka, 1968: 290). Di daerah Pasundan cerita Panji tersebut lebih dikenal
dengan sebutan Lutung Kasarung atau Panji Sunda. di Palembang cerita Panji ini
dikenal Panji (Angreni) Palembang. Adapun cerita Panji ini di Kamboja dikenal Panji
![Page 137: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/137.jpg)
137
Kamboja, sedangkan di Thailand disebut dengan Jataka. Tokoh–tokoh utama yang
berperan dalam cerita Panji adalah Panji Inukertapati sebagai suami dan Dewi Sekartraji
sebagai isteri. Dalam versi Jawa nama Panji Inukertapati juga disebut Panji
Asmarabangun atau Panji Kasatriyan, sedangkan Dewi Sekartaji juga sering disebut
Galuh Condrokirana atau Kleting Kuning atau Dewi Limaran. Versi Kamboja, Siam dan
Thailand, nama Panji Inukertapati disebutnya Eynao atau Inao, sedangkan Dewi
Sekartaji disebut Bossaba.
Tersebarnya cerita Panji di Asia Tenggara, terutama di Indonesia penyebarannya
dari mulut ke mulut dalam bentuk dongeng, sehingga kisah cerita maupun tokoh-tokoh
yang terlibat terdapat perbedaan-perbedaan dan juga dalam bentuk naskah tulis. Selain
dalam bentuk dongeng, cerita Panji dapat meluas karena diangkat sebagai lakon-lakon
dalam: Kethoprak, wayang Kulit maupun wayang orang (dalam lakon Bambang
Semboto, untuk Panji Inukertapati diperankan Harjuna atau Janaka, Dewi Sekartaji
diperankan oleh Sembadra, sedangkan Angka Wijaya atau Abimanyu merupakan peran
pengganti anak dari Sekartaji atau Candrakirana), wayang Gedhok, Dramatari, frahmen,
dan sebagai tema tari pasihan. Di samping itu juga terdapat sebuah mitos bahwa Panji
Inukertapati merupakan titisan dari dewa Asmara yaitu Bathara Kamajaya, sedangkan
Dewi Sekartaji merupakan titisan dewi asmara yaitu Bathari Kamaratih. Rupanya cerita
Panji cukup terkenal sehingga banyak versi, yang dapat digunakan sebagai sumber data,
untuk itu perlu peneliti kemukakan beberapa tulisan yang pada akhirnya dapat dianalisis
dalam rangka menentukan versi yang dijadikan sebagai tema. Adapun beberapa cerita
secara lengkap tentang cerita Panji dapat diamati secara berturut-turut berikut ini.
![Page 138: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/138.jpg)
138
1.a Menurut Sunan Pakubuwono IV, dalam tulisannya yang berjudul: Panji
Sekar, terjemahan Yanto Darmono tahun 1979, dipaparkan sebagai berikut. Di Tanah
Jawa, pada waktu itu terdapat empat kerajaan, yaitu Jenggala, Daha (Kediri), Ngurawan,
dan Singasari yang sangat masyur. Keempat raja yang menduduki tahta tersebut masih
bersaudara, mereka hidup rukun, tidak pernah saling bertentangan, saling menjaga
hubungan sehingga menjadi sangat agung dan terkenal. Armada perangnya sangat kuat,
perkasa dan bala tentaranya besar, pengaruh kekuasaannya luas oleh karena itu mereka
disegani raja-raja lainnya.
Dari keempat raja itu terdapat dua raja yang berbesanan, yaitu raja Lembu
Amiluhur dari Jenggala yang memiliki anak laki bernama Panji Kertapati dengan raja
Lembu Amijaya dari Kediri yang mempunyai anak puteri bernama Candra Kirana atau
Retna Galuh atau lebih sering disebut pula Sekartaji. Setelah Panji Kertapati dan Candra
Kirana menikah, tidak lama kemudian Panji Kertapati mendirikan sebuah kota Pandhak
yang letaknya diwilayah kerajaan Kediri. Sebagai pangeran muda Panji Kertapati
sungguh sangat perkasa dalam peperangan, selain itu beliau sangat bijaksana dan
romantis dalam berkeluarga.
Pada saat rapat besar kerajaan Kediri, datang seorang patih Guna Saronta
membawa sepucuk surat sebagai utusan raja Bramakumara dari Makassar. Isi surat pada
intinya bahwa Raja Bramakumara menantang perang dengan Panji Kertapati sebagai
balas dendam atas kematian saudaranya raja dari Nusa Kencana. Harapan raja
Bramakumara, jika Panji dapat dikalahkan berarti Tanah Jawa dapat dikuasainya.
Dalam pertemuan itu pula Panji Kertapati sebagai kesatria tumpuan dari seluruh bala
![Page 139: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/139.jpg)
139
tentara kerajaan menyanggupi tantangan dan menunggu kedatangan raja Bramakumara
sebagai penantang.
Panji Kertapati mendapat dukungan dari Sekartaji istrinya, namun sang istri juga
mengungkapkan impiannya bahwa ia disuruh dewa untuk makan buah ketan yang
terdapat di taman sari di tengah hutan Tikbrasara. Taman sari tersebut merupakan buatan
dewa Batara Darma, yang tidak diketahui manusia terletak di tengah hutan yang sangat
keramat. Jika dapat makan buah ketan tersebut dewa akan meluluskan semua
permintaaannya terutama bayi yang di dalam kandungan Sekartaji akan keluar anak laki-
laki yang rupawan, kelak menjadi kesatria yang sakti, gagah berani dalam medan perang
dan menjadi raja yang Agung di Tanah Jawa. Manfaat lainnya dari buah ketan adalah
menghilangkan segala penyakit dan dapat membuat tenteram. Ungkapan Candra Kirana
merupakan permintaan segera (nyidam), bagi Panji itu merupakan tanggungjawab
sebagai suami yang setia terhadap istri, untuk itu ia bergegas untuk mencari ke hutan
yang diikuti oleh Bancak dan Dhoyok.
Di tengah hutan Tikbrasara Panji Kertapati perang dengan prajurit sandi dari
Makassar yang akhirnya dimenangkan oleh Panji. Perjalanan untuk mencari buah ketan
dilanjutkan, sampai di tengah hutan Panji dan pengikutnya mendapatkan sebuah
tamansari di dalamnya terdapat buah ketan yang digambarkan bagaikan surga, sehingga
mereka sangat kerasan bahkan lupa untuk kembali pulang. Atas kehendak dewa, Panji
diperintahkan untuk segera pulang karena di dalam tamansari karaton Kediri akan
muncul pencuri yang sangat sakti.
Patih Guna Saronta dengan akal yang licik membujuk raja Bramakumara untuk
masuk ke tamansari bersamanya guna mencuri Galuh Candrakirana dengan harapan
![Page 140: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/140.jpg)
140
mengurangi kekuatan Panji secara perlahan-lahan. Pada malam yang sangat gelap Guna
Saronta dan Bramakumara masuk tamansari dengan ajian yang membuat semua orang di
dalamnya tertidur. Galuh Candrakirana tidak bisa tidur datanglah Guna Saronta dan
Bramakumara yang berusaha merayu agar Galuh bersedia menjadi prameswari.
Kehadiran dan permintaan Bramakumara tetap ditolak, bahkan jika raja Makassar
hendak memaksa, Galuh Candrakirana lebih baik memilih bunuh diri. Rasa takut yang
semakin mencekam menghinggapi Galuh Candrakirana, kemudian dalam benaknya
berharap segera Panji suaminya segera dapat menolongnya. Rupanya dewa meluluskan
permohonan sang dewi, ketika Bramakumara hendak memaksa Galuh, Panji yang
dengan ilmu siluman sejak awal tengah dekat dengan Galuh Istrinya segera bertindak
dan menghajar Bramakumara dan Guna Saronta yang akhirnya Panji menang. Bala
tentara dari Makassar yang dipimpin raja-raja bawahan segera menyerang Kediri, namun
dapat dikalahkan oleh bala tentara Panji.
1.b Cerita Panji dalam perbandingan (Poerbatjaraka,1968: 100-104) cerita Panji
dalam Serat Kanda dikisahkan sebagai berikut. Ketika Panji putra raja Jenggala hendak
dikawinkan dengan putri raja Daha (Kediri) yaitu Sekartaji terjadi penculikan di
tamansari Kediri. Sekartaji dicuri seorang Brahmana untuk dikawinkan dengan anaknya
bernama Klana. Brahmana dari negeri seberang yang merasa memiliki tanggungjawab
sebagai orang tua yang hendak meluluskan permintaan anaknya yaitu Kalana untuk
kawin dengan sang Dewi Sekartaji, iapun bergegas menuju Kediri. Keberangkatan
Brahmana secara sendirian untuk menculik sang puteri disadari bahwa ia mengetahui
pula bahwa Panji sebagai calon suami Sekartaji adalah seorang pahlawan yang tidak
dapat ditaklukkan karena penjelmaan dewa yang lebih sakti dari pada anaknya.
![Page 141: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/141.jpg)
141
Pada malam tiba, Brahmana masuk tamansari Kediri dan menculiknya Sekartaji
yang segera dibawa pulang ke Talkanda yakni tempat kediamannya sendiri karena ia
terpesona kecantikan sang puteri, bukan untuk anaknya raja Kelana di Pulo Kencana.
Brahmana rupanya sangat bernafsu melihat Sekartaji, ia memaksa dan hendak
memperkosanya namun sang puteri tetap menolak dan akhirnya melarikan diri ke hutan.
Pengejaran Brahmana terhenti karena dihadang Panji, kemudian terjadi peperangan
sangat dahsyat yang masing-masing saling mengeluarkan kekuatan-kekuatan gaibnya.
Kepala Brahmana dapat dipenggal oleh Panji yang selanjutnya dikirimkan kepada raja
Kelana di Pulo Kencana yang disertai sepucuk surat tantangan perang, sedangkan Panji
bersama Sekartaji kembali ke kerajaan.
Sekembalinya sepasang kekasih putra-putri kerajaan tersebut, atas kehendak ke
dua orang tua mereka, Panji dan Sekartaji dikawinkan dengan pesta secara besar-
besaran. Setelah beberapa hari berlangsungnya pesta perkawinan, raja Kalana beserta
prajuritnya menyerang Jenggala. Peperangan berakhir kekalahan dipihak kerajaan Pulo
Kencana dan raja Kelana mati terbunuh oleh Panji. Sesudah mendapatkan kemenangan
raja Jenggala mengundurkan diri untuk menjadi seorang begawan dan mengangkat Panji
sebagai pengganti raja di Jenggala dengan nama Dewakusuma yang didampingi
Sekartaji sebagai prameswari serta para isteri selirnya.
1.c Cerita Panji dalam dongeng. Di tengah-tengah masyarakat Jawa, Andhe-
andhe Lumut merupakan salah satu dongeng yang sangat dikenal yang tidak lain adalah
menceriterakan tentang perjalanan hidup sepasang suami-istri yakni Panji Inukertapati
dengan Sekartaji atau sering desebut Galuh Candrakirana. Adapun ringkasan ceritanya
sebagai berikut. Di sebuah desa terdapat seorang janda mempunyai tujuh anak yang
![Page 142: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/142.jpg)
142
masing-masing anak dengan nama panggilan depan Kleting dan nama berikutnya
mengambil sebutan jenis warna, seperti Kleting Abang, Kleting Ijo, dan sebagainya.
Anak yang paling bungsu rupanya sangat buruk bernama Kleting Kuning, yang tidak
lain adalah Candrakirana yang menyamar untuk mencari Panji suaminya. Perlakuan
ibunya terhadap Kleting Kuning sangat dibedakan dengan keenam Kleting saudaranya,
jika saudaranya banyak dimanja namun Kleting Kuning lebih banyak disuruh bekerja
keras dan sangat dibenci.
Ketika keenam saudaranya hendak mengadu cinta terhadap seorang pemuda
tampan Andhe-andhe Lumut putra seorang janda Dadapan, mereka diberi pakaian yang
bagus dan wangi-wangian agar salah satu darinya dapat memikat hati pemuda dimaksud
dan menjadi isterinya. Di tengah perjalanan menuju desa Dadapan para Kleting hendak
menyeberang sungai, namun tak seorangpun dapat dijumpai kemudian muncul
Yuyukakang yaitu makhuk berbadan manusia berkepala kepiting raksasa yang
merupakan penjilmaan dari Prabu Kelana dari negeri Sabrang yang telah lama jatuh
cinta dan hendak memperistri Galuh Candrakirana. Yuyukangkang bersedia
menyeberangkan dan meminta upah bukan uang atau benda lainnya, tetapi yang diminta
adalah ciuman. Permintaan Yuyukangkang disanggupi, selanjutnya satu-persatu Kleting
diseberangkan. Enam Kleting tidak satupun yang diterima menjadi kekasih Andhe-
andhe Lumut, mereka ditolak semua dengan alasan telah menjadi sisa dari
Yuyukangkang.
Kebencian ibunya terhadap Kleting Kuning tiba pada puncaknya, ketika ke enam
saudaranya berangkat ke desa Dadapan, ia disuruh untuk membersihkan periuk yang
sangat kotor agar menjadi seperti baru lagi ke sungai yang jauh dari rumahnya. Harapan
![Page 143: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/143.jpg)
143
ibunya supaya Kleting Kuning tidak mengikuti kakak-kakaknya melamar Andhe-andhe
Lumut. Rupanya keteguhan dan kesabaran Kleting Kuning membawa hikmah, ia
bersemadi memohon pada dewa agar diberi kemudahan untuk membersihkan periuk
yang dibawanya. Atas kuasa dewa, Kleting Kuning dapat membersihkan periuk menjadi
mengkilap bahkan dapat bersinar dan diberi senjata Sada Lanang (seutas lidi) yang
sakti. Setelah pulang Kleting Kuning tinggal menjumpai ibunya yang memberitau
bahwa kakaknya semua berangkat melamar Andhe-andhe Lumut ke desa Dadapan.
Keberangkatan Kleting Kuning menyusul Kleting lainnya rupanya tidak
dikehendaki ibunya, maka sebelum berangkat ia hanya boleh memakai pakaian seadanya
dan mukanya dibedaki seperti badut serta diberi bau-bauan yang busuk supaya tidak
diterima Andhe-andhe Lumut. Di tepi penyeberangan Kleting Kuning hanya bertemu
Yuyukangkang dan minta tolong untuk diseberangkan seperti kakaknya yang lebih dulu
berangkat. Permintaan Kleting Kuning ditolak Yuyukangkang bahkan diusirnya untuk
segera kembali pulang. Kleting Kuning marah, senjata Sada Lanang dipukulkan ke
sungai yang seketika itu airnya menjadi kering dan Yuyukangkang jatuh tidak berdaya.
Yuyukangkang mohon Kleting Kuning supaya mengembalikan airnya segera dan
berjanji akan menyeberangkan, kemudian permintaan Yuyukangkang disanggupi dan ia
diseberangkan. Yuyukangkang menjelma menjadi Prabu Kelana, ia merasa gagal tidak
dapat bertemu Galuh Candrakirana kemudian memutuskan kembali pulang ke negeri
sabrang.
Sekembalinya dari Dadapan enam Kleting yang jengkel hatinya karena ditolak
cintanya, bertemu Kleting Kuning sambil mengungkapkan kekesalannya dengan
mengejek dan menghinanya dengan sindiran bahwa yang cantik-cantik saja tidak
![Page 144: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/144.jpg)
144
diterima apalagi yang jelek seperti badut (badut ini rias muka Kleting Kuning akibat
perlakuan ibunya yang menghendaki supaya wajahnya menjadi jelek dan tidak diterima
Andhe-andhe Lumut). Kleting Kuning dengan hati sabar terus melangkah menuju
Dadapan. Saat bertemu janda Dadapan, Kleting Kuning mengungkapkan maksudnya
yakni untuk mengadu cinta kepada Andhe-andhe Lumut, namun ditolak si janda.
Mendengar pembicaraaan itu Andhe-andhe Lumut segera menemui Kleting Kuning dan
menyatakan menerimanya. Ibunya terkejut melihat anaknya yang tampan sudi menerima
kehadiran Kleting Kuning sebagai isterinya. Andhe-andhe Lumut segera membawa
Kleting Kuning masuk kamar dan menjelma menjadi Panji Inukertapati dan Sekartaji.
Mereka sangat bahagia dan segera kembali ke istana dan disambut meriah oleh
bangsawan dan seluruh rakyatnya.
Berdasarkan tiga versi cerita Panji dapat dirangkum secara padat dan singkat
bahwa liku-liku perjalanan cinta Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati merupakan
gambaran percintaan yang sangat menarik dan bermakna dalam hubungannya dengan
membangun kehidupan berkeluarga. Suka duka yang dialami masing-masing tokoh
cukup berat, namun permasalahan-permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan
dengan baik yang akhirnya mereka dapat berhasil menikmati hidup bahagia dalam
sebuah keluarga. Rupanya kisah tersebut menjadi sebuah inspirasi yang berarti bagi
pasangan manusia yang menginginkan percintaan yang ideal, romantis, dan bahagia.
Tema percintaan Panji Inukertapati dengan Dewi Sekartaji merupakan tema inti yang
diangkat dari ketiga versi cerita Panji tersebut. Adapun bentuk garapnya hanya
menyajikan dua peran utama yakni tokoh Panji Inukertapati dengan Dewi Sekartaji.
![Page 145: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/145.jpg)
145
Adapun tema percintaan dari cerita Panji tersebut secara garis besar dibagi
menjadi tiga adegan yaitu: adegan pencarian, adegan pertemuan, dan adegan bahagia. a).
Adegan pencarian mengisahkan liku-liku perjalanan Dewi Sekartaji sebagai seorang
putri raja yang pergi meninggalkan kerajaan untuk berupaya mencari Panji Inukertapati
suaminya, yang telah meninggalkan kerajaan. Adapun untuk menyajikan adegan
pencarian tersebut diungkapkan lewat suasana sedih yang implementasinya menjadi
beberapa rasa: sedih, berdoa, pasrah, tegang, dan kacau. b) Adegan pertemuan,
mengisahkan pertemuan antara tokoh Dewi Sekartaji dengan tokoh Panji Inukertapati
sebagai sepasang suami istri yang telah lama tidak bertemu, sehingga suasana rindu yang
teraktualisasi dalam beberapa rasa: marah (jengkel),merayu, malu, mesra merupakan
esensi yang hendak diekspresikan dalam adegan dimaksud. c) Adegan Bahagia,
mengisahkan tentang suasana kebahagiaan yang tengah dinikmati oleh Dewi Sekartaji
dengan Panji Inukertapati sebagai sebuah keluarga. Suasana kebahagiaan ini
diungkapkan dalam bentuk komplementer dari rasa gembira, mesra, kebersamaan, dan
harapan yang menjadi komitmen bersama dengan keinginan untuk berbuat kebajikan,
setia, menjaga keutuhan dan ketentraman keluarga, serta selalu mohon barokah kepada
Yang Kuasa. Keinginan-keinginan dari masing-masing tokoh tersebut dapat dicermati
pada bahasa verbal yang tersurat dan tersirat pada cakepan gerongan Lambangsari yang
merupakan cita-cita yang ideal untuk mewujudkan sebuah keluarga yang bahagia.
2. Kinetic body moves atau Gerak tubuh merupakan medium utama dalam
pertunjukan tari, karena tanpa kehadirannya tidak akan tersaji sebuah karya tari. Dalam
tari Karonsih yang merupakan seni tradisi (seni yang bersumber dari istana) terdapat
beragam jenis vokabuler gerak dengan karakternya masing-masing. Merujuk pada
![Page 146: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/146.jpg)
146
beragam rasa yang dikehendaki meningkat pada suasana-suasana yang terdapat dalam
adegan pada tari Karonsih tersebut, serta pertimbangan peristiwa dan tema yang
diangkat kemudian dipilih pola-pola sekaran atau vokabuler gerak yang sesuai. Adapun
bentuk-bentuk vokabuler yang terdapat pada masing-masing adegan secara garis besar,
pola-pola sekarannya bersifat presentatif dan representatif.
Adegan pencarian merupakan adegan pertama yang mengawali dari seluruh
rangkaian seluruh adegan secara utuh. Peristiwa yang terjadi untuk adegan pencarian
digambarkan Dewi Sekartaji keluar dari pojok belakang kanan stage menuju tengah
dengan gerak: srisik, kengser, badan putar menghadap belakang srisik mundur
kemudian putar menghadap depan, lumaksono, badan nglayang (memutar) ke kiri, kaki
njujut, badan ngglebak ke kanan hadap ke depan, ridhong sampur kiri, usap kiri – usap
kanan dengan iringan pathetan. Di tengah-tengah pencarian Panji, suasana berdoa, sedih,
dan pasrah yang menyelimuti Sekartaji diekspresikan lewat gerak Laras Sampir sampur
kanan, Sekar suwun, tawing kiri ingsetan,dan Lembehan separo dengan iringan
ketawang Ngrenas. Sedangkan suasana ketegangan, kekacauan, yang berubah menjadi
tenang setelah Sekartaji dapat bertemu Panji, diungkapkan lewat gerak: kengseran, srisik
yang dilakukan secara berulang ke pojok kanan depan, kembali ke pojok kiri belakang,
kemudian srisik ke pojok belakang kanan dan dilanjutkan srisik menuju ke center stage,
badan berputar turun menjadi jengkeng dengan iringan Gangsaran nada 2 slendro yang
berubah menjadi gangsaran nada 1 pelog. Bentuk gerak pada adegan I pencarian secara
garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis gerak, yaitu presentatif dan
representatif. Adapun pembagiannya dapat dicermati pada paparan berikut ini.
![Page 147: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/147.jpg)
147
Adegan
Nama
Tokoh
Jenis Gerak
No I.
Pencarian.
Dewi
Sekartaji
Representatif
Keterangan
1 Srisik
(tangan nekuk),
tangan trap cetik
yang kiri nyempurit
dan kanannya
nyekithing
Distilisasi gerak orang lari.
Pindah tempat dengan cara lari
kecil yang posisi kedua tangan
ditekuk di depan setinggi
pingggang
2 Srisik
(tangan nekuk),
Kedua tangan trap
cetik miwir sampur
Distilisasi gerak orang lari. Posisi
kedua tangan ditekuk di depan
pinggang dengan membawa
sampur (selendang)
3 Srisik
(tangan nekuk),
Kedua tangan trap
cetik nyempurit
Distilisasi gerak orang lari. Posisi
kedua tangan ditekuk di depan
pinggang dengan jari-jari
membuka, kecuali jari jempol
ditekuk.
4 Srisik
(tangan nekuk)
dengan mundur,
tangan kiri trap
cetik, tangan kanan
trap wadana miwir
sampur
Distilisasi gerak orang lari
dengan cara mundur. Tangan kiri
ditekuk di depan pinggang,
sedangkan tangan kanan ditekuk
di depan mulut dan keduanya
membawa sampur.
5 Srisik kipat sampur,
kedua tangan
menthang sampur
Distilisasi gerak orang lari. Posisi
kedua tangan lurus membuka ke
samping dengan membawa
![Page 148: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/148.jpg)
148
sampur.
6 Srisik kipat
sampur,
tangan kiri
menthang dan
tangan kanan trap
karna miwir sampur
Distilisasi gerak orang lari. Posisi
tangan kiri lurus ke samping
sejajar pinggang, tangan kanan
ditekuk di depan telinga kiri dan
keduanya membawa sampur.
7 Srisik kipat sampur,
Tangan kiri
menthang dan
tangan kanan trap
cetik miwir sampur
Distilisasi gerak orang lari. Posisi
tangan kiri lurus ke samping
sejajar pinggang, tangan kanan
ditekuk di depan pinggang
bagian kanan dan keduanya
membawa sampur.
8 Lumaksono,
menthang sampur
Distilisasi gerak orang sedang
jalan. Posisi tangan kanan lurus
ke samping sejajar pinggang,
tangan kiri ditekuk di depan
pinggang bagian kiri dan
keduanya membawa sampur.
9 Enjer Distilisasi gerak orang jalan ke
samping.
10 tawing kiri
Distilisasi gerak orang melihat ke
samping kiri.
![Page 149: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/149.jpg)
149
Adegan
Nama
Tokoh
Jenis Gerak
No I
Pencarian.
Dewi
Sekartaji
Presentatif
Ekspresi
Keterangan
1 Kengser kesan menjauh,
merupakan gerak
penghubung
Pindah tempat
dengan cara
menggeser kedua
kakinya, namun tetap
menempel pada
lantai.
2 Nglayang kesan berat Kaki merendah,
badan miring lalu
digerakkan maju
melengkung.
3 Njujut
glebakan
kesan berliku-
liku
Hadap badan yang
bergantian dan
diikuti kedua kaki
naik-turun serta
tangan naik-turun
secara bergantian
4 Ridhong
ulap sampur
kesan sedih
Sampur melilit pada
tangan kiri yang
ditekuk, tangan
kanan membawa
sampur sambil
mengusap leher ke
kanan
5 Sampir kesan sedih Sampur dililitkan
![Page 150: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/150.jpg)
150
sampur laras pada pundak, tangan
kiri trap cetik, tangan
kanan mengayun ke
atas dan ke bawah.
6 Sekar suwun kesan sedih Tangan kiri trap
dahi, tangan kanan
lurus lalu di tekuk
dilakukan berulang
dan dibarengi
bergesernya kedua
kaki (ingsetan).
7 sindhet gerak
penghubung
Kaki kiri di tekuk
dibelakang kaki
kanan lurus,
dibarengi tangan kiri
ditekuk, tangan
kanan seblak sampur.
8 Kembang
pepe,
kengser
leyekan,
putar badan
bersama
kedua tangan
diputar
kesan berliku-
liku
![Page 151: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/151.jpg)
151
Adegan pertemuan merupakan adegan kedua yang menggambarkan pertemuan
Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati. Pertemuan sepasang suami istri yang telah
lama tidak berjumpa bahkan harus dilalui dengan liku-liku, tidak ditanggapi Sekartaji
dengan hati gembira. Pertemuan tersebut disambut Sekartaji dengan rasa marah, segera
Panji mencoba untuk merayunya lalu suasana mereda muncul rasa malu yang segera
berubah menjadi mesra. Dukungan untuk mengungkapkan suasana tersebut dengan
iringan ketawang Kinanthi Sandhung dengan menggunakan garap gerongan dua
cakepan (bait). Adapun adegan pertemuan Sekartaji dengan Panji Inukertapati
digambarkan seperti berikut. Setelah merasa tidak dapat menemukan Panji, Sekartaji
tampak putus harapan, yang digambarkan jengkeng (duduk) diikuti kedua tangan
memegang sampur sambil menutup raut muka pada posisi centre stage. Datang Panji
dari belakang, ulap-ulap tangan kiri – kanan, besut, laras genjot, dan kengser ke kanan.
Suasana marah diekspresikan Sekartaji dengan berdiri enjer, ketika Panji
jengkeng nyathok (njawil) bahu. Panji segera memburu Sekartaji dengan gerak berdiri
srisik, nyabet ukel karna kanan, maju lumaksono, srisik, tangan kanan nyaut, tanjak
tawing kanan. Untuk meredakan kemarahan Sekartaji, Panji mencoba merayunya
kembali dengan lumaksono kebyokan sampur, maju, tangan kanan nyaut dengan kebyok
kemudian mundur, panggel, tanjak kanan, ngancap, tangan pondhongan kemudian
nyaut jeblos (tukar tempat) lalu Sekartaji memberikan sampur dan segera diterima Panji.
Suasana kemesraan Sekartaji dan Panji semakin terasa yang diungkapkan lewat gerak
tangkep asta, Sekartaji merasa malu kemudian melepas kedua tangan dan srisik yang
segera dikejar Panji dengan srisik nyandhet tangkep asta ngaras (berciuman).
![Page 152: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/152.jpg)
152
Perasaan malu juga ditampakkan oleh kedua tokoh tersebut setelah berciuman
lepas kedua tangan, laku enjer saling menjauh, tangan kiri menthang, tangan kanan
tawing. Asmara yang dibangun Sekartaji dan Panji Inukertapati mulai menyatu, hal ini
diekspresikan dengan bentuk-bentuk gerak selalu bergandengan tangan, seperti: kanthen
tangan kanan, kengser ke kanan-kiri, maju, adu tangan kiri nekuk, srisik melingkar,
kanthen tangan kanan. Adapun jenis-jenis gerak presentatif maupun representatif yang
terdapat pada adegan dua: pertemuan, dapat diklasifikasikan secara garis besar, sebagai
berikut.
![Page 153: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/153.jpg)
153
Adegan
Nama
Tokoh
Jenis Gerak
Nama Tokoh
Jenis Gerak
No
II. Pertemuan
Dewi
Sekartaji
Representatif
Keterangan
Panji
Inukertapati
Representatif
Keterangan
1 Jengkeng, raut
muka ditutup
sampur
Distilisasi orang
menangis
Srisik kebyok
sampur
Distilisasi gerak lari, kedua
tangan membawa sampur,
tangan kiri ditekuk depan
pinggang kiri, tangan kanan
ditekuk di depan telinga kiri
2 enjer Distilisasi gerak
orang jalan ke
samping.
Ulap-ulap tawing
kiri
Distilisasi dari orang
melihat ke kiri
3 tawing kiri Distilisasi dari orang
melihat
Ulap-ulap tawing
kanan
Distilisasi dari orang
melihat ke kanan
4 Endhan Distilisasi gerak
menghindar
Jengkeng, tangan
nyathok bahu
Distilisasi dari gerak
mencubit
5 Kapyukan-
kengser
Distilisasi gerak
memberi sampur lalu
lumaksono Distilisasi dari gerak
berjalan
![Page 154: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/154.jpg)
154
untuk tarik menarik
6 Srisik
menthang,
Tangan kiri
menthang dan
tangan kanan
trap karna
Distilisasi gerak lari Srisik Distilisasi gerak lari
7 Ngaras Distilisasi gerak
berciuman
sautan Distilisasi gerak
Orang menubruk
8 Kanthen
tangan kanan
kengser
Distilisasi gerak
orang bergandengan
tangan kanan, lalu
tarik menarik
Lumaksono
kebyokan sampur
Distilisasi dari gerak
berjalan
9 Kanthen
tangan kiri,
srisik
Distilisasi gerak
orang bergandengan
tangan kiri sambil lari
pondhongan Distilisasi dari gerak
memondong
10 Kanthen
tangan kanan,
srisik
Distilisasi gerak
orang bergandengan
tangan kanan sambil
lari
srisik, kedua
tangan ditekuk
Distilisasi gerak lari
![Page 155: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/155.jpg)
155
11 Sautan jeblos Distilisasi gerak
Orang menubruk
Adegan
Nama
Tokoh
Jenis Gerak
Nama Tokoh
Jenis Gerak
No
II.
Pertemuan
Dewi
Sekartaji
Presentatif
Keterangan
Panji
Inukertapati
Presentatif
Keterangan
1 Jengkeng,
kebyokan
laras
kesan pasrah dan
tenang
besut Gerak penghubung
2 Nyabet ukel
karno
kesan hati-hati genjotan kesan tenang
3 Sindhet gerak penghubung nyabet kesan hati-hati
4 Sekaran golek
iwak
kesan tenang ngancap kesan mencari
![Page 156: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/156.jpg)
156
Adegan III merupakan gambaran suasana bahagia yang tengah menyelimuti hati sepasang suami-istri yaitu Panji Inukertapati dan
Dewi Sekartaji. Vokabuler gerak yang dipilih untuk mengungkapkan suasana bahagia yang tercermin dalam rasa gembira, kemesraan,
kebersamaan, dan keharmonisan antara Panji Inukertapati dan Sekartaji, adalah sekaran-sekaran kebar yang mempunyai rasa riang, segar,
dan gembira. Adapun jalannya sajian gerak secara berurutan, setelah Panji Inukertapati dan Sekartaji srisik kanthen tangan kanan menuju
stage depan kemudian tangan lepas mundur ke stage centre, yang secara bersama-sama melakukan gerak:
Nama
Tokoh
Jenis Gerak
Nama Tokoh
Jenis Gerak
No
III.
Bahagia
Dewi
Sekartaji
Representatif
Keterangan
Panji
Inukertapati
Representatif
Keterangan
1 a.Trap jamang,
tangan kanan
Distilisasi dari
orang melihat ke
depan
a. Trap jamang,
kedua tangan
Distilisasi dari orang
melihat ke depan
2 b. Trap jamang,
kedua tangan
Distilisasi dari
orang melihat ke
depan
b. ulap-ulap kiri
Distilisasi dari orang
melihat ke kiri
3 c. luluran Distilisasi dari c. lilingan, sampur Distilisasi dari orang
![Page 157: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/157.jpg)
157
orang membersihkan
kulit dengan lulur
melihat
4 d. ngore rikma Distilisasi dari
orang menata
rambut
d. laku telu
Distilisasi dari orang
berjalan
5 e. lilingan,
kebyokan sampur
Distilisasi dari
orang melihat
e. lilingan, ukel
karno bokor
sinangga
Distilisasi dari orang
melihat dengan membawa
bokor di atas bahu
6 f.lilingan, rimong
sampur
Distilisasi dari
orang melihat
f. lilingan, pacak
gulu ingsetan
Distilisasi dari orang
melihat
7 g. srisik kanthen
tangan kanan
Distilisasi gerak
orang lari
bergandengan
tangan kanan
g. srisik kanthen
tangan kanan
Distilisasi gerak orang lari
bergandengan tangan
kanan
8 h. trap jamang,
kedua tangan
Distilisasi dari
orang melihat ke
depan
h. trap jamang,
kedua tangan
Distilisasi dari orang
melihat ke depan
![Page 158: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/158.jpg)
158
9
i. laku telu
Distilisasi dari
orang berjalan
i. laku telu
pondhongan
Distilisasi dari gerak
orang berjalan dengan
memondong
10 j. kanthen tangan
kanan, ingsetan
Distilisasi gerak
orang bergandengan
tangan kanan sambil
tarik menarik
j. kanthen tangan
kanan
Distilisasi gerak orang
bergandengan tangan
kanan sambil tarik menarik
11 k. kanthen tangan
kiri, enjeran
Distilisasi gerak
orang jalan ke
samping sambil
bergandengan
tangan kiri
k. kanthen tangan
kiri, enjeran
Distilisasi gerak orang
jalan ke samping sambil
bergandengan tangan kiri
12 l. jengkeng ngilo
asta
Distilisasi gerak
orang duduk sambil
berkaca
l. ngalisi
Distilisasi gerak orang
merias cara membuat alis
13 m. alisan
Distilisasi gerak
orang sedang alisan
lilingan
Distilisasi dari orang
melihat
14 n. lumaksono
encot kanthen
Distilisasi dari
gerak orang jalan
n. lumaksono
encot kanthen
Distilisasi dari gerak
orang jalan bergandengan
![Page 159: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/159.jpg)
159
tangan kanan
bergandengan
tangan sambil
berbicara
tangan kanan
tangan sambil berbicara
15 o. srisik kanthen
tangan kanan
Distilisasi gerak
orang lari
bergandengan
tangan kanan
o. srisik kanthen
tangan kanan
Distilisasi gerak orang lari
bergandengan tangan
kanan
16 p. lumaksono
lembehan
sampur
kanan
Distilisasi dari
gerak orang berjalan
p. lumaksono
lembehan sampur
kanan
Distilisasi dari gerak
orang berjalan
17 q. pangkon ulap-
ulap tangan kiri
Distilisasi dari
gerak orang duduk
di atas lutut, sambil
melihat
q. pangkon ulap-
ulap tangan kanan
Distilisasi dari gerak
orang yang diduduki
lututnya, sambil melihat
18 r. srisik kanthen
tangan kanan
Distilisasi gerak
orang lari
bergandengan
tangan kanan
r. srisik kanthen
tangan kanan
Distilisasi gerak orang lari
bergandengan tangan
kanan
![Page 160: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/160.jpg)
160
19 s. bersalaman
dengan temanten
s. bersalaman
dengan temanten
20 t. bersalaman
dengan kedua
orang tua
temanten
dan photo
bersama
temanten
t. bersalaman
dengan kedua
orang tua temanten
dan photo bersama
temanten
21 u. srisik kanthen
tangan kanan,
masuk (selesai).
Distilisasi gerak
orang lari
bergandengan
tangan kanan
u. srisik kanthen
tangan kanan,
masuk (selesai).
Distilisasi gerak orang lari
bergandengan tangan
kanan
Adegan Tokoh Jenis Gerak Tokoh Jenis Gerak
No III.
Bahagia
Dewi
Sekartaji
Presentatif
Keterangan Panji
Inukertapati
Presentatif
Keterangan
1 kebyokan sampur
ngenceng kanan
dengan putar
Kesan berputar –
putar sambil
bercanda
kebyokan sampur
dengan putar
Kesan berputar – putar
sambil bercanda
![Page 161: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/161.jpg)
161
Dari paparan jenis-jenis gerak representatif dan presentatif yang terdapat pada tari
Karonsih, dapat dicermati secara kuantitatif.
a. Jenis gerak Representatif.
No Adegan Nama tokoh Jenis Gerak Jumlah
vokabuler
1 I. Pencarian Dewi Sekartaji
Representatif
10
Dewi Sekartaji
Representatif
10
2
II. Pertemuan
Panji Inukertapati Representatif 11
Dewi Sekartaji
Representatif
21 3
III. Bahagia
Panji Inukertapati Representatif 21
4 Jumlah total 73
b. Jenis gerak Presentatif.
No Adegan Nama tokoh Jenis Gerak Jumlah
vokabuler
1 I. Pencarian Dewi Sekartaji
Presentatif
8
Dewi Sekartaji
Presentatif
4
2
II. Pertemuan
Panji Inukertapati Presentatif 4
Dewi Sekartaji
Presentatif
1 3
III. Bahagia
Panji Inukertapati Presentatif 1
4 Jumlah total 18
![Page 162: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/162.jpg)
162
Jumlah persentase jenis-jenis gerak representatif dan presentatif tari Karonsih.
Tari Karonsih.
No Adegan Jenis gerak jumlah
1 I, II, dan III representatif 73
2 I, II, dan III presentatif 18
3 Jumlah total gerak representatif dan presentatif = 73 + 18 91
4 Jumlah persentase gerak representatif = 73 : 91 X 100. 80,20 %,
5 Jumlah persentase gerak presentatif = 18 : 91 X 100. 19,80 %
3. Polatan (ekspresi wajah). Beberapa orang telah banyak mencoba
membuktikan bahwa penampilan wajah dapat menjadi indikator yang cukup
meyakinkan mengenai berbagai sifat manusia, seperti kecerdasan, kriminalitas,
stabilitas emosional, bahkan taraf kegilaan, namun itu semua rupanya tidak valid. Wajah
sebagai alat untuk memprediksikan sifat-sifat manusia kurang memadai. Ekspresi wajah
atau gerak wajah bukannya wajah dalam pengertian objek yang statis, merupakan sarana
untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap sesuatu yang sedang
dikomunikasikan. Orang sedih dapat ditunjukkan tanpa ekspresi senyum, bibir tertutup
rapat, wajah mengerut, dan menunduk.
Kesedihan yang mendalam dapat dicirikan meneteskan air mata, bibir bergetar,
biasanya berusaha untuk menutup wajah. Berbeda dengan orang marah yang pada
umumnya dapat dicirikan lewat tatapan mata yang kuat, beberapa kulit wajah berwarna
kemerahan, mengerutkan dahi, dan gertakan gigi secara bersama-sama. Sekarang dapat
disarikan bahwa ekspresi wajah mampu memberikan kontribusi yang sangat berperan
terutama untuk mengekspresikan perasaan. Selain itu ekspresi wajah dapat difungsikan
![Page 163: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/163.jpg)
163
untuk membantu memperkuat pengaruh terhadap pesan verbal. Semakin jelas bahwa
ekspresi wajah merupakan sarana yang cukup vital dalam berkomunikasi nonverbal.
Dalam seni pertunjukan khususnya pada bidang tari ekspresi wajah merupakan
sarana yang cukup berperan, baik sebagai ekspresi perasaan secara mandiri maupun
membantu memperkuat pesan bahasa verbal, demi tercapainya sebuah ekspresi dari
masing-masing peran. Perubahan-perubahan ekspresi wajah dalam tari pasihan, banyak
membantu memperkuat pesan bahasa verbal. Berikut merupakan gambaran ekspresi
wajah yang dapat dicermati pada tari pasihan lewat Polatan Sekartaji maupun Panji
Inukertapati yang akan tercermin pada suasana-suasana adegan yang menggambarkan
peristiwa yang tengah terjadi. Pada adegan pencarian, ketika kesedian menyelimuti
Sekartaji, polatan lebih banyak menunduk. Perubahan ekspresi mulai tampak ketika
wajah Sekartaji tampak tegang, kepala tegak dan pandangan mata lebih tajam disertai
gerak kepala lebih tegas, hal ini mengekspresikan ketegangan Sekartaji yang dapat
dicermati pada peralihan adegan pencarian ke adegan pertemuan. Sikap marah yang
ditampilkan Sekartaji ketika bertemu awal dengan Panji, ekspresi wajahnya lebih banyak
menunduk dan memalingkan kepala setiap dicoba untuk didekati Panji. Polatan Panji
lebih terfokus pada Sekartaji, ketenangan ekspresi wajah lebih ditampilkan dalam rangka
memperlihatkan sikap sabar untuk mendapatkan perhatian Sekartaji.
Ekspresi wajah Sekartaji maupun Panji Inukertapati tampak gembira, cerah
terutama ditampilkan pada adegan bahagia, keduanya banyak saling berhadapan wajah,
saling melempar senyum sebagai tanda cinta, mesra, damai dan bahagia. Puncak
kemesraan pada adegan bahagia ini terekspresikan pada saat Sekartaji duduk dipangkuan
![Page 164: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/164.jpg)
164
Panji Inukertapati, mereka saling memandang dengan ekspresi wajah ceria, senyum, dan
mesra.
Bentuk-bentuk ekspresi wajah dalam tari pasihan yang karakternya tenang
(luruh) seperti diekspresikan Sekartaji maupun Panji Inukertapati tampak tidak
menyolok. Aspek yang mempengaruhi hal tersebut adalah karakter tenang (luruh) lebih
banyak dibingkai oleh dominasi gerak-gerak yang berirama pelan, sehingga seluruh
gerak tubuh secara psikologis menjadi pelan. Begitu pula gerak-gerik wajah terpengaruh
menjadi pelan, perubahan ekspresi wajah menjadi tampak lebih halus hampir tidak
kelihatan. Berbeda dengan ekspresi wajah peran-peran tokoh antagonis atau lanyap atau
gagah agal seperti Rahwana, Baladewa, Srikandi, Mustakaweni, yang berkarakter
jalang, lincah, emosional, dan tegas. Beberapa tokoh tersebut memiliki perubahan
ekspresi wajah yang mencolok dan tampak jelas, baik dari suasana marah menjadi sedih
atau sebaliknya. Kebebasan untuk bergerak lebih cepat, lincah, dan tegas sangat
mempengaruhi gerak-gerik wajah untuk harmonisasi gerak seluruh tubuh untuk
mencapai kualitas sebuah karakter yang tepat dan mantap.
4. Bentuk rias dan dandanan busana dalam tari Karonsih mengacu pada rias
peran pada wayang orang, konsep yang mendasari bahwa budaya wayang orang telah
lebih dikenal masyarakat di wilayah Surakarta, sehingga akses untuk diterimanya dan
sebaran apresiasinya tidak mengalami kendala. Hal itu sangat mendorong perkembangan
tari Karonsih akan lebih cepat meluas dan memasyarakat. Terutama untuk busana, selain
bentuk dandanan yang serupa dengan wayang orang, juga terdapat persamaan pada
bahan, pernik-pernik asesoris, corak jarit (kain), corak sabuk serta jenis–jenis tatahan
pada jamang irah-irahan (mahkota kepala). Warna busana lebih dominasi warna hijau,
![Page 165: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/165.jpg)
165
coklat dan warna kuning emas. Warna hijau dengan maksud warna tersebut memiliki
simbolik tumbuh lebih hidup dan menjadi subur. Adapun warna kuning emas memiliki
kesan keagungan dan kejayaan, sesuai dengan tokoh-tokoh sebagai pelakunya yang
merupakan darah bangsawan Sekartaji dari kerajaan Jenggala dan Panji Inukertapati
putra raja Kediri. Selain itu warna kuning emas juga menyuguhkan kesan glamor
sehingga pertunjukan menjadi menarik dan mampu memikat masyarakat penonton.
Sedangkan jarit lereng tanggung merupakan upaya mendudukan status sosial dari Panji
Inukertapati dan Sekartaji sebagai putra raja. Mahkota kepala yang berupa tekes panjen
merupakan identitas dari bangsawan panji yang bersumber pada ceritera Babad.
5. Pola lantai yang dibentuk dari perpindahan penari maupun jarak antarpenari
merupakan salah satu unsur pendukung keberhasilan sebuah pertunjukan. Secara prinsip
pola lantai yang terdapat dalam tari Karonsih, mencakup dua bentuk utama, yaitu garis
lurus dan garis lengkung. Garis-garis lurus lebih banyak digunakan untuk
mengungkapkan keinginan, kemauan yang kuat dan tegas, seperti aktualisasi adegan
Sekartaji mencari Panji Inukertapati (lihat gambar: 1). Fase-fase ketegangan, kekacauan
Sekartaji ketika belum dapat bertemu Panji, dominasi garis-garis lurus sangat kuat untuk
menghantarkan pencapaian suasana tegang (lihat gambar: 2).
Gambar: 1. Gambar: 2.
![Page 166: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/166.jpg)
166
Garis-garis lengkung lebih difungsikan untuk mengungkapkan kesan manis,
lembut, yang dalam tari ini dimaknai sebagai sarana ekspresi tentang sesuatu yang
menurut bentuk dan sifatnya menunjukkan hal-hal yang manis dan lembut. Beberapa
bentuk garis lengkung tersebut seperti difungsikan pada adegan pertemuan berikut ini:
ketika Panji berupaya merayu terhadap Sekartaji, awal kemesraan kedua figur peran
setelah Sekartaji luluh hatinya. Untuk adegan kebahagiaan rupanya lebih didominasi
garis-garis lengkung yang berbentuk melingkar yang masing-masing tokoh pada posisi
saling berhadap-hadapan, berjajar, dan berdekatan yang kesemuanya itu dapat dicermati
pada hampir seluruh sajian sekaran kebaran. Maksud yang mendasari dari kesan garis
lengkung tersebut adalah kesan lembut, manis dalam mendukung ekspresi gerak yang
disajikan pada adegan bahagia terungkap kesan kegembiraan, kemesraan, kebersamaan,
keharmonisan sepasang peran yang ditampilkan menjadi ekspresif dan mantap.
gambar: 1 gambar: 2
<<<<
Gambar 1: pola lantai untuk sekaran srisik kanthen tangan pada awal kebar adegan 3.
Gambar 2: pola lantai untuk sekaran trap jamang dan ulap-ulap kiri pada adegan 3.
![Page 167: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/167.jpg)
167
Gambar: 3 gambar: 4
Gambar 3: pola lantai sekaran lilingan kebyokan dan lilingan rimong pada adegan 3.
Gambar 4: pola lantai untuk sekaran srisik kanthen tangan pada akhir kebar adegan 3.
6. Iringan tari yang lazim juga disebut karawitan tari adalah gendhing-gendhing
karawitan yang diaransir sedemikian rupa sehingga rasa musikal yang terbentuk dapat
memenuhi kebutuhan ekspresi tari. Artinya bahwa rasa dalam tari akan didukung rasa
yang ditimbulkan dari alunan gendhing yang secara komplemen menyatu membentuk
suasana-suasana untuk mengekspresikan sebuah nilai tertentu dalam kehidupan.
Karawitan tari yang berupa repertoar gendhing-gendhing merupakan salah satu unsur
yang mampu memberikan kontribusi sangat penting demi terselenggaranya sebuah
pertunjukan tari. Pemilihan gendhing-gendhing dari sekian repertoar gendhing yang
terdapat pada khasanah karawitan, didasarkan atas pertimbangan rasa musikal terkait
dengan kecocokan suasana yang telah ditetapkan dalam tari Karonsih.
Karawitan tari yang berfungsi sebagai pendukung sajian tari Karonsih secara
menyeluruh telah mengalami penggarapan yang cukup selektif. Kejelian seorang
penyusun tari tampak bahwa selain rasa musikal yang harus komplementer secara padu
dengan rasa yang diungkapkan dalam tari, juga secara parsial pada masing-masing garap
![Page 168: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/168.jpg)
168
gendhing terdapat teks verbal yang berupa cakepan yang berfungsi untuk menjelaskan
secara singkat dan padat tentang peristiwa yang tengah terjadi pada masing-masing
adegan sehingga akan dapat tergambar secara menyeluruh tentang rasa, suasana,
peristiwa, tema, dan makna tarinya.
Teks sastra tembang yang merupakan bahasa verbal tari Karonsih, terdiri dari
beberapa garap lagu, yakni: (1) garap pathetan (2) garap sindhenan dan (3) garap
gerongan. Teks verbal Garap pathetan terdiri dari satu bait yang terdapat pada iringan
pembukaan untuk adegan pertama yaitu Pathetan Wantah Lr. pl.pt. 5. Garap pathetan
terkait dengan teks verbal ini adalah garap lagu tembang jawa yang dinyanyikan secara
solo ataupun bersama dan dikomplemen dengan ricikan instrumen gamelan: rebab,
gender, suling, dan gambang. Pada awalnya garap Pathetan dalam tari dinyanyikan
secara bersama oleh vokalis pria, contohnya bentuk-bentuk Pathetan dalam tari
Bedhaya dan Srimpi yang menampilkan rasa agung, berwibawa, dan gagah. Berbeda
yang terjadi di dunia pewayangan, garap Pathetan dinyanyikan secara solo oleh
seorang dalang (wawancara Rusdiantara, 2008). Fungsi garap Pathetan pada tari
Karonsih ini sifatnya memberikan ilustrasi rasa musikal tertentu terkait dengan suasana
adegannya. Rasa semangat, sedih yang diekspresikan garap Pathetan Wantah Lr. pl.pt.
5, mengiringi adegan pencarian yang dilakukan Sekartaji terhadap Panji Inukertapati
suaminya.
Garap sindhenan teks verbal dalam tari Karonsih terdiri dari satu bait terdapat
dalam gendhing Ketawang Pangkur Ngrenas Lr. pl.pt. 5 dan dua bait terdapat dalam
gendhing Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt. manyura. Sindhenan adalah vokal
putri yang menyertai karawitan (Matopangrawit, 1967: 1). Garap sindhenan teks verbal
![Page 169: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/169.jpg)
169
adalah garap lagu tembang jawa dinyanyikan secara solo, biasanya oleh seorang
pesindhen atau vokalis wanita, yang pengambilan suaranya menyela diantara sabetan
balungan (irama ketukan nada) dan berakhir setelah sabetan balungan. Jika terdapat
lagu gerongan pada gendhing tersebut garap sindhenan mengikuti setelah lagu
gerongan (nggandul) namun berakhir bersama. Fungsi garap sindhenan lebih diarahkan
untuk mengekspresikan kesan feminin yang memiliki sifat halus, lembut, dan manis.
Garap gerongan merupakan garap lagu tembang jawa dinyanyikan secara
bersama – sama ( koor), yang pengambilan suara pertama dimulai tepat dengan sabetan
balungan dan berakhir tepat dengan sabetan balungan. Menurut Martopangrawit
gerong adalah vokal bersama (koor) suara pria yang iramanya sama dengan
karawitannya (1967: 3). Dalam perkembangannya jenis garap gerongan dapat
dinyanyikan oleh vokalis kelompok putra atau vokalis kelompok putri atau campuran
vokalis kelompok putra dengan vokalis kelompok putri. Iringan gendhing yang
menggunakan garap gerongan pada tari ini terdapat dalam gendhing Lambangsari lr.sl.
pt manyura yang mencakup dua bait. Fungsi garap gerongan lebih difokuskan untuk
mengekspresikan kesan maskulin yang mempunyai sifat kuat, gagah, dan sigrak.
Secara garis besar gendhing-gendhing dalam tari Karonsih menggunakan dua
laras yaitu pelog dan slendro. Gendhing-gendhing yang berlaras pelog yang relatif
memiliki nada-nada tinggi (tenor) rupanya kuat dan mantap untuk garap musikal yang
mengungkapkan rasa sedih. Hal ini dapat dicermati pada adegan pertama yang
mempresentasikan kesedian perjalanan Sekartaji dalam upaya mencari suaminya yang
menggunakan garap pathetan laras pelog pathet lima dan Ketawang Pangkur Ngrenas
Lr. pl.pt. 5. Perubahan ke laras slendro yang secara musikal memiliki nada- nada lebih
![Page 170: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/170.jpg)
170
rendah (bass) diharapkan perubahan suasana menjadi lebih terasa mencair dan terbuka.
Adapun perubahan ke laras slendro itu diawali dari Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl.
pt. manyura pada adegan kedua hingga iringan adegan tiga yang meliputi: gendhing
Lambangsari lr.sl. pt manyura dan ladrang Sigramangsah lr.sl. pt manyura. Bentuk
susunan iringan tari Karonsih seluruhnya dan secara urut dari adegan satu sampai
adegan tiga (adegan akhir) dapat dicermati berikut ini.
Adegan : I. Pencarian.
Adegan pencarian sebagai adegan pertama dalam tari Karonsih, didukung
beberapa iringan gendhing, antara lain: pathetan laras pelog pathet lima, Ketawang
Pangkur Ngrenas Lr. pl.pt. 5, gangsaran 1 pelog, dan gangsaran 2 slendro. Kedudukan
iringan pathetan laras pelog pathet lima pada adegan ini bersifat nglambari artinya rasa
musikal yang dihasilkan dari garap pathetan laras pelog pathet lima berfungsi untuk
memberikan ilustrasi terhadap suasana sedih yang dialami Dewi Sekartaji. Gendhing
Ketawang Pangkur Ngrenas Lr. pl.pt. 5 yang merupakan iringan kedua setelah pathetan
laras pelog pathet lima, kedudukannya dalam adegan pencarian ini bersifat nyawiji.
Pengertian nyawiji di sini garap gendhing Ketawang Pangkur Ngrenas implementasinya
dengan garap gerak adalah menyatu. Keterpaduan yang dimaksudkan adalah
menyatunya rasa musikal gendhing Ketawang Pangkur Ngrenas dengan ekspresi
vokabuler gerak yang secara komplemen mengungkapkan suasana sedih yang dialami
Sekartaji yang terjabar dalam beberapa rasa: sedih, doa, dan pasrah. Bentuk
menyatunya iringan dengan gerak, dapat dicermati secara komprehensip dari beberapa
elemen, diantaranya: a. rasa musikal mengekspresikan suasana sedih menyatu dengan
ekspresi gerak yang menggambarkan kesedihan Dewi Sekartaji; b. rasa seleh yang
![Page 171: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/171.jpg)
171
terdapat pada gendhing merupakan iringan yang mendukung rasa seleh pada tari, baik
rasa seleh ringan maupun rasa seleh berat. c. pola gatra yang terdapat pada bentuk
gendhing Ketawang dapat dijadikan tanda mulai bergerak ataupun berakhirnya suatu
gerak pada tari. Gangsaran 1 pelog, dan gangsaran 2 Slendro, merupakan iringan yang
secara musikal dapat mengekspresikan suasana tegang yang kedudukannya pada adegan
ini lebih bersifat nglambari. Implementasinya rasa musikal yang berirama 1/1 dari
gangsaran mampu memberikan ilustrasi rasa tegang yang mendukung kekacauan atau
ketegangan yang diekspresikan Sekartaji lewat gerak-gerak srisik yang dilakukan secara
berulang-ulang dengan gerak kepala yang sedikit lebih tegas. Terkait dengan alur
adegan kedua bentuk gangsaran tersebut merupakan fase peralihan laras dari pelog ke
laras slendro. Kiranya tidaklah berlebihan jika gangsaran 1 pelog, dan gangsaran 2
Slendro mempunyai peranan cukup penting dalam menjembatani peralihan laras yang
berdampak pada perubahan suasana menjadi semakin mantap. Secara urut bentuk
iringan untuk adegan 1: pencarian, dapat dicermati paparan berikut ini.
Pathetan Wantah
Lr. pl. pt. 5
t- y 1 2 2 2 Xz2Xc3 Xz2c1 z1x2c3
z3x.x2c1
Sang ret - na yu De - wi Se - kar ta - ji
t zyc1 1 1 z1x2c1 zyx.ct
Jeng - kar sking ke - dha - ton
t y 1 2 2 2 z2c3 z2c1 z1Xx2c3 z3x.Xx2c1
Sang ret - na yu De - wi Se - kar - ta - ji
t zyc1 1 1 z1Xx2c1 zyx.c5
Jeng - kar sking ke - dha - ton
![Page 172: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/172.jpg)
172
3 3 3 z1x.XXXx2c3 1 2 3 3 3 3
A - ngu - pa - di men - dra - ni - ra ing - kang
z3c5 z3x.x2c1 1 1 1 z2c4 z4c5 5
Gar - wa, I - nu ker - ta - pa - ti
z6x.x5x4Xx.x5x4Xx2x1x.x2x1x.cy
O…………..
y y y y y zyx1c2 2 z3x.x2x1x.x2x1xyct
Da - hat de - ni - ra mu - wun, O……….
r t r t zyx.x2x1xyxtxrxwcq
Mu - wun mu - wun, O………..
Ketawang Pangkur Ngrenaswara
Lr. pl. pt. 5
Buka :
1 1 5 6 1 2 1 2 3 5 3 5 2 1 2 g1
. . 1 5 6 1 2 n1
2 3 5 p3 2 1 2 g1
. . 1 5 6 1 2 n1
2 3 5 p3 2 1 2 g1
5 5 . . 5 6 5 n3
. . . . 3 5 5 5 6 z!c@ 5
z3x5x.x6c5
Dhuh ja - gad de - wa ba - tha - ra
. 2 5 p3 2 1 2 g1
. . 3 5 5 z5c6 1 1 1 2 3 z3c1
z3x2x1x2c1
We-la - sa mring da-sih kang nan-dhang king-kin
. . 1 2 3 2 1 n2
. . . . 1 2 2 2 3 z@x!c^ ^
z!x#x@x#x!c@
Ti - ni-lar gar - wa sa - tu - hu
![Page 173: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/173.jpg)
173
. 1 6 p5 2 3 5 g3
. . . . 5 5 5 6 z!c@ 5
z3x5x.x6x5c3
Da- dya gan – ti lan ning - tyas
. . 3 . 5 1 2 n3
. . . . . z5c6 1
z1XXXXXXXXXXXxX2c3 3
U - lun dha - hat
5 6 7 p6 5 3 2 g3
. . . 5 5 z5c6 5 3 2 z3c1
z3x.x2c1
Te - ka a - gi - gang sa - ra - mbut
1 1 . 5 6 1 2 n1
. . . . 1 2 2 2 1 z6x1x2c3 z3c1
z3x2x1x2c1
Ka- la- mun da- tan pi - nang - gya
2 3 5 p3 2 1 2 g1
. . . . 5 5 6 5 3 2 z3c1
z3x2x1x2c1
A – lu – wung tu - me – keng la - lis
Gangsaran Lr. pl. pt. 5
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1
g1
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1 g1
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1 g1
1 n1 p1 n1 p1 n1 p1 g1
Gangsaran Lr. sl. pt. manyura
![Page 174: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/174.jpg)
174
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
2 n2 p2 n2 p2 n2 p2 g2
Adegan : II. Pertemuan.
Dalam adegan dua yang mengisahkan pertemuan Dewi Sekartaji dengan Panji
Inukertapati suaminya dalam suasana rindu yang teraktualisasi dalam beberapa rasa:
marah (jengkel), merayu, malu, mesra merupakan esensi yang hendak diekspresikan
dalam adegan dimaksud. Iringan gendhing Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt.
manyura merupakan satu-satunya dukungan rasa musikal yang diharapkan mampu
mengekspresikan suasana rindu yang diaktualisasikan tokoh Sekartaji pertemuannya
dengan Panji dalam asumsi mereka telah lama terpisah dan melalui perjalanan panjang
baru dapat bertemu. Rasa musikal gendhing Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt.
manyura mendukung rasa kasmaran atau bercinta.
Ketawang Kinanthi Sandhung
Lr. sl. pt. manyura
. . 2 y 1 2 3 n2
6 1 2 p3 6 5 3 g2
. . 2 1 y t e nt
1 1 . p. 3 2 1 g6
. . 6 . ! @ ! n^
. . . . z.c! @ @ @ @ z6x.x!x@c# z!x@x!c6
6
A - duh ya-yi gar - wa ning - sun
Wus da- ngu pun ka-kang wu - yung
1 2 6 n5 2 3 5 g3
![Page 175: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/175.jpg)
175
. . . . .@# @ z!c@ 6 6z6x!c6 z5c3
Te-ka mle - ngos da- tan ang - ling
Ma-rang ya- yi wa - no-dya di
. . 3 5 6 5 3 n5
. . . . z.c6 ! ! z6x!c@ 6 5 6
z5x3x5x5x.x3c2
Ma-ra nga-dhep- na pun ka - kang
Tu-hu wa- ni - ta u - ta - ma
2 3 5 p3 2 1 y gt
. -j.jj Xj j j 6 6 zj6jjjkjXXXXxx!c5
z3XXXXXXXXXXXXXXXxX x XXXXXXXXXXXXXXXx x x c5jj j 2
zj1xc2 zyXx1cy ztx1c2
Kang wus la - mi nan - dhang brang - ti
Mus - ti- ka - ning pa - ra pu - tri
2 2 . . 3 5 3 n2
. . . . . 3 5 5 z5x3c563 z5x3c2 2
Ka-di-nga - ren ya-yi du - ka
Mu-ga tan - sah pi-na ri ngan
y 1 2 p3 6 5 3 g2
.j 6k 2jzX1jXXXx xj XXjx jx c2 zj2kx1c3 3 j.j j j 5
6 zj3kx5c3 g2
A - pa kang da - di wi - ga - ti
Ka - nu - gra - han kang sa - la - mi
Adegan : III. Bahagia.
Pada adegan bahagia yang disajikan sepasang suami-istri yakni Panji
Inukertapati dan Sekartaji dalam suasana gembira, mesra, dan harmonis menggunakan
garap iringan yaitu gendhing Lambangsari laras slendro pathet manyura. Kedudukan
iringan gendhing Lambangsari pada adegan ini sifatnya mungkus dan nyawiji. Bentuk
![Page 176: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/176.jpg)
176
mungkus ini ditinjau dari pelaksanaan vokabuler gerak yang terdapat pada adegan tiga
hampir seluruhnya menggunakan pola kendangan kebar atau ciblon yang selalu
membungkus pola gerak. Dalam hal ini pola-pola gerak tari selalu ketat- ketat diikuti
pola kendangan. Selain itu iringan gendhing Lambangsari pada dasarnya nyawiji
dengan garap geraknya. Pengertian nyawiji ini mengarah pada pemersatuan dua unsur
menjadi satu yaitu unsur karawitan sebagai penghasil rasa musikal dan unsur tari.
Bentuk kristalisasi dari unsur tari yang berupa vokabuler-vokabuler gerak kebar yang
dinamis dan unsur karawitan yang berupa gendhing Lambangsari dengan irama sigrak,
lagu gerongan riang dan tekanan sedang, pada adegan bahagia ini adalah untuk
pencapaian harmonisasi penyajian. Keterpaduan garap tari dan garap gendhing
Lambangsari dalam rangka mengekspresikan rasa gembira, kemesraan, kebersamaan,
dan keharmonisan antara Panji Inukertapati dan Sekartaji dapat nyawiji. Sehingga
suasana bahagia yang diaktualisasikan oleh Panji Inukertapati dan Sekartaji dapat
dihayati.
Pada bagian akhir adegan tiga sebagai penutup iringan gendhing ladrang
Sigramangsah laras slendro pathet manyura. Iringan ladrang Sigramangsah sebagai
mundur beksan, yaitu sejak Panji Inukertapati dan Sekartaji gerak Lumaksono, pangkon,
srisik menuju ke tempat duduk temanten bersalaman dengan temanten dan kedua orang
tua mempelai untuk mengucapkan selamat berbahagia. Gendhing ladrang Sigramangsah
disajikan dengan tabuhan keras dengan irama sedang sebagai gambaran semangat dari
Sekartaji dan Panji Inukertapati untuk menyongsong kehidupan ke depan lebih
semangat. Bentuk iringan adegan III yang berupa gendhing Lambangsari laras slendro
![Page 177: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/177.jpg)
177
pathet manyura dan ladrang Sigramangsah laras slendro pathet manyura, secara
berurutan dapat dicermati paparan berikut ini.
Lambangsari
Lr. sl. pt. manyura
Irama Tanggung :
1 3 1 2 1 3 1 2
j.1 3 j.1 2 j.1 3 j.1 2
Pra - wa - ni - ta mar - su - di - ya
6 1 3 2 6 3 2 n1
6 1 3 2 jz!xk@c6 3 z3c2 1
ma - rang tin - dak kang u - ta - ma
5 2 5 1 5 2 5 1
j.5 2 j.5 1 j.5 2 j.5 1
se - tya tu - hu ma - r ang gar - wa
5 3 5 6 5 3 5 2
5 zj3c5 jz5c6 6 j.3 5 3
2
da - di ro - wang kang se - mba - da
1 3 1 2 1 3 1 2
j.1 3 j.1 2 j.1 3 j.1 2
ing - kang bi - sa nu - ju pra - na
6 1 3 2 6 3 2 n1
6 1 3 2 jz!xk@c6 3 z3c2 1
weh re - sep - ing pa - mi - ca - ra
5 2 5 1 5 2 5 1
j.5 2 j.5 1 j.5 2 j.5 1
no - ra keng - guh ing pang - go - dha
5 3 5 6 5 3 5 2
5 z3c5 z5c6 6 j.3 5 3 2
![Page 178: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/178.jpg)
178
dar - be bu - di kang san - to - sa
1 3 1 2 1 3 1 2
j.1 3 j.1 2 j.1 3 j.1 2
ba - lik pri - ya nim - bang a - na
6 1 3 2 6 3 2 1
6 1 3 2 jz!xk@c6 3 z3c2 1
nga - yo - mi mring ra - bi ni - ra
5 2 5 1 5 2 5 n1
j.5 2 j.5 1 j.5 2 j.5 1
da - tan kem - ba a - sih tres - na
5 3 5 6 5 3 5 2
5 z3c5 z5c6 6 j.3 5 3 2
sung ten - trem - ing ku - la - war - ga
(dilakukan 2 x)
Irama Dadi :
6 5 6 1 6 5 2 3
j.6 kz!xj@c# jz#xj
jjjjjjjjjjjjjjjjjjjxkjjj.c@z!x x x x x x cj2j j6
jjjzjx5jx jx jxxx jx jx xk.cj3jz6xl1xj6jc53
sam - pun sa - mi se – tya tu - hu
sang pe - kik wah sang dyah a - yu
6 5 6 1 6 5 2 3
j.6 z!XXx XXx xj@kc##z x.c@z!x x x x x@c 6
zj5jkx.c3 jkz6jx!cjj6j j k53
ang - ge - nya li - ron as - ma - ra
da - ngu sa - mya ba - gya har - ja
5 2 5 1 5 2 5 1
![Page 179: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/179.jpg)
179
jzk.xj6xj xj c22 jk.zj2c31 jz.xjyjx xj xj
ck22 j jk.z2c3 1
ka - ron - sih pan - cen pra - nya - ta
tan ken - dhat tan - sah me - min - ta
5 3 5 6 5 3 5 2
. j.3 zk3cj5kz5c6z x jx6xjx xj jx xjx xjx xjx xj
xj x!cj@zkj!xc6 3 jz2xjk5c3 2
da - dya kem - bang ja - gad ra - ya
ka - nu-gra - han ing hyang suks - ma
Ladrang Sigramangsah
Lr. sl. pt. manyura
Irama Tanggung.
1 6 1 3 1 6 1 n2
1 6 1 p3 1 6 1 n2
5 2 3 p5 1 6 5 n3
6 5 2 p1 3 2 1 g6
3 5 6 p1 3 2 1 n6
3 5 6 p1 3 2 1 n6
3 5 2 p3 1 2 1 n6
3 2 6 p3 6 5 3 g2 (sebanyak 5X)
![Page 180: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/180.jpg)
180
Gendhing-gendhing iringan yang terdapat dalam tari Karonsih secara garis besar
dapat dibagi menjadi dua bentuk terkait dengan bahasa verbal. Pertama, gendhing yang
menggunakan bahasa verbal terdiri dari: Pathetan Lr. pl.pt. 5, Ketawang Pangkur
Ngrenaswara Lr. pl.pt. 5, Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt. manyura dan
Lambangsari Lr. sl. pt. manyura. Kedua, gendhing yang tidak menggunakan bahasa
verbal terdiri dari: gangsaran 1 pelog, gangsaran 2 slendro, dan Ladrang Sigramangsah
Lr. sl. pt. manyura. Bentuk-bentuk gendhing yang menggunakan bahasa verbal, selain
rasa musikal yang mampu mengekspresikan suasana-suasana tertentu, rupanya menjadi
lebih mantap dan bermakna karena didukung kehadiran bahasa verbal yang berupa
cakepan-cakepan (syair) yang menyatu dengan irama, lagu dan tekanan gendhing.
Komposit bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam Pathetan Lr. pl.pt.
5, dapat mengungkapkan suasana sedih dan maknanya menjelaskan tentang liku-liku
perjalanan seorang tokoh Dewi Sekartaji yang mencari Panji Inukertapati suaminya.
Komplementer bahasa verbal dan nonverbal yang terdapat dalam Ketawang Pangkur
Ngrenaswara Lr. pl.pt. 5, dapat mengungkapkan suasana sedih, dan maknanya Dewi
Sekartaji memohon kepada Dewata supaya segera dipertemukan dengan Panji
Inukertapati, jika tidak dapat bertemu, ia lebih baik mati. Komposit bahasa verbal dan
bahasa nonverbal yang terdapat dalam Ketawang Kinanthi Sandhung Lr. sl. pt. manyura,
dapat mengungkapkan suasana marah, malu, rindu, merayu, mesra, dan maknanya
setelah Sekartaji bertemu Panji Inukertapati, sang Dewi marah Panji berupaya untuk
merayunya dan memberi perhatian. Komposit bahasa verbal dan nonverbal yang
terdapat dalam Lambangsari Lr. sl. pt. manyura, dapat mengungkapkan suasana
gembira, mesra, bahagia dan maknanya: 1) Dalam kehidupan rumah tangga keberadaan
![Page 181: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/181.jpg)
181
dan kebersamaan suami dan istri, sebaiknya saling mengingatkan akan tugas dan
tanggungjawab masing-masing yang telah disepakati. 2) Tipe seorang istri yang ideal
adalah selalu berupaya berbuat kebajikan, setia terhadap suami, menarik, dan
bertanggungjawab. 3) Tipe seorang suami yang ideal adalah setia terhadap istri,
mengayomi, dan mampu menciptakan ketentraman keluarga. 4) Nilai cinta adalah
sebuah nilai yang universal. 5) Kebagiaan lahir dan batin merupakan kebutuhan hidup
hakiki manusia yang diupayakan secara seimbang. Bentuk komposit bahasa verbal
sastra tembang dan bahasa nonverbal gendhing-gendhing iringan tersebut dapat
mengungkapkan suasana dan mengungkapkan makna pada masing-masing adegan.
Bentuk gendhing yang tidak menggunakan bahasa verbal seperti gangsaran 1
pelog dan gangsaran 2 slendro, dapat mengungkapkan suasana tegang. Sedangkan
gendhing Ladrang Sigramangsah Lr. sl. pt. manyura, dapat mengungkapkan suasana
semangat, gagah, dan sigrak. Ketidak hadiran bahasa verbal pada bahasa nonverbal
rupanya membatasi ekspresi bahasa nonverbal yang lebih mengarah pada hayatan rasa.
Dengan demikian tampak bahwa gendhing-gendhing yang tersusun untuk iringan tari
Karonsih merupakan komposit bahasa verbal sastra tembang dan nonverbal gendhing-
gendhing karawitan untuk membangun alur adegan, sehingga mampu mengekspresikan
suasana pada masing-masing adegan dan mampu mengungkapkan makna tari Karonsih
secara implisit seperti yang dimaksud seniman penyusun sebagai penutur. Adapun
bentuk komposit bahasa verbal dengan nonverbal pada tari Karonsih, dapat dicermati
berikut ini.
![Page 182: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/182.jpg)
182
Komposit Bahasa Verbal dengan Nonverbal Tari Karonsih
No
Bahasa Verbal
Bahasa Nonverbal
Sastra Tembang Tema,
Adegan, dan
Rasa
Vokabuler Gerak
Dewi Sekartaji
Vokabuler Gerak
Panji Inukertapati
Pola lantai Iringan Hubungan
Langsung
Hubungan
Tidak
langsung
Keterangan
1 Pathetan Wantah
Sang Retnayu Dewi Sekartaji
Jengkar sking kedhaton Sang Retnayu Dewi Sekartaji
Pasihan (percintaan)
I. Pencarian.
Rasa
Semangat
Srisik, kedua
tangan nekuk yang
kiri nyempurit dan
kanan nyekithing
Kengser,
menthang tangan
kiri nyempurit,
tangan kanan
nekuk
Badan putar
-
Garis
lurus
Garis
lurus
Garis
Pathetan
lr. pl. pt. 5
V
V
V
-
-
-
Liku-liku
perjalanan
Dewi
Sekartaji
dalam
mencari
Panji
Inukertapati
(suaminya).
![Page 183: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/183.jpg)
183
Jengkar sking kedhaton Angupadi mendranira ingkang garwa
menghadap
belakang, srisik
mundur kemudian
putar menghadap
depan, diikuti
menthang sampur
kanan dan tangan
kiri nekuk.
Lumaksono,
menthang sampur
kanan, kiri nekuk,
badan ngglebak
kanan.
Badan nglayang
(memutar) ke kiri,
kaki njujut, badan
lurus
Garis
Lurus
Garis
lengkung
Posisi di
tempat
V
V
-
-
![Page 184: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/184.jpg)
184
Inukertapati, O……….. Dahat denira muwun,O……….
ngglebak ke kanan
hadap ke depan.
Ridhong sampur
kiri, usap kiri –
usap kanan
Garis
lengkung
V
-
2 Sindhenan Pangkur Ngrenas: Dhuh jagad dewa bathara Welasa mring dasih
Rasa
Mundur tawing
kiri, kengser.
Srisik menthang
kiri, memutar
Laras Sampir
Garis lurus
Garis
lengkung
Posisi di
Ktw.
Pangkur
Ngrenas
lr.pl.pt 5
Gong: ke-1
Gong: ke-2
V
-
![Page 185: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/185.jpg)
185
kang nandhang kingkin Tinilar garwa satuhu Dadya gantilaning tyas Ulun dhahat Teka aginggang sarambut Kalamun datan pinanggya Aluwung tumekeng lalis
Berdoa
Rasa
Sedih
Rasa
Pasrah
sampur kanan.
Sekar suwun,
tawing kiri
ingsetan.
Srisik kedua
tangan nekuk trap
cethik, sindhet.
Lembehan separo
Kengser ke kanan
capengan tangan
kanan – kengser
ke kiri capengan
tangan kiri.
tempat
Garis
lengkung
Garis lurus
Posisi di
tempat
Garis
lengkung
V
V
V
V
-
-
-
-
Dewi
Sekartaji
dalam
situasi
yang sedih,
pasrah, dan
memohon
pada Yang
Kuasa agar
segera
dipertemuk
an dengan
suaminya.
![Page 186: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/186.jpg)
186
Rasa
Tegang
Badan memutar
satu lingkaran dan
diikuti berputarnya
kedua tangan
nekuk ngupu
tarung.
Seblak, tangan kiri
menthang dan
tangan kanan
nekuk
Srisik ke pojok
kanan depan.
Badan membalik
kanan, tangan
seblak sampur,
srisik ke pojok kiri
belakang.
Gangsaran
1 Pelog
Gong: ke-1
Gong: ke-2
Gong: ke-3
Gong: ke-4
Gong: ke-5
![Page 187: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/187.jpg)
187
Badan ngglebak ke
kanan, seblak
sampur.
Srisik .
Badan memutar
satu lingkaran
menghadap ke
depan.
Gangsaran
2 Slendro
Gong: ke-1
Gong: ke-2
Gong: ke-3
Gong: ke-4
3 Sindhenan Kinanthi Sandhung: Cakepan a.
II.
Pertemuan.
Ktw.
Kinanthi
Sandhung
lr.sl.pt
Manyura
![Page 188: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/188.jpg)
188
Adhuh yayi garwa ningsun Teka mlengos datan angkling Mara ngadhepna
Rasa
Marah
jengkeng (duduk)
diikuti kedua
tangan memegang
sampur sambil
menutup raut
muka.
jengkeng,
kebyokan laras,
lepas sampur.
Seblak sampur
Ukel karno kanan
Srisik kebyok
sampur.
Ulap-ulap tangan
kiri – kanan dan
besut.
laras genjot,
kengser ke kanan,
jengkeng nyathok
(njawil) bahu
Posisi di
tempat -
garis lurus
Posisi di
tempat
Garis
lengkung
Gong: ke-1
Gong: ke-2
V
V
-
-
a. Dewi
Sekartaji
marah
terhadap
Panji
Inukertapati.
b. Panji
berusaha
membujuk
dan merayu
istrinya,
akhirnya
luluh hati
Dewi
Sekartaji.
![Page 189: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/189.jpg)
189
pun kakang Kang wus lami nandhang brangti Kadingaren yayi duka Apa kang dadi wigati
Rasa
Merayu
berdiri enjer
mbalik, mundur,
miring ke kanan
mlengos ke kanan,
mbalik seblak
sampur kanan
tawing kiri
ngembat sampur
kanan, ngglebak
kanan seblak
sampur
berdiri srisik,
nyabet ukel karna
kanan
maju lumaksono,
srisik, tangan
kanan nyaut,
tanjak tawing
kanan
lumaksono
kebyokan sampur,
maju
tangan kanan
nyaut dengan
kebyok kemudian
mundur
Garis lurus
Garis lurus
Garis lurus
Gong: ke-3
Gong: ke-4
V
V
V
V
-
-
-
-
![Page 190: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/190.jpg)
190
Cakepan b. Wus dangu pun kakang wuyung Marang yayi wanodya di
Rasa
Kemesraan
golek iwak,
endhan jeblos lalu
tangan kanan
memberi sampur
putar satu
lingkaran.
tangkep asta,
mundur sambil
lepas kedua tangan
srisik, mbalik,
tangkep asta
ngaras
panggel, tanjak
kanan, ngancap,
tangan
pondhongan
kemudian nyaut
jeblos (tukar
tempat) lalu
tangan kanan
menerima sampur
memutar,
jengkeng
tangkep asta, maju
sambil lepas kedua
tangan
srisik, nyandhet
tangkep asta
ngaras
Garis lurus
– lengkung
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Gong: ke-5
Gong: ke-6
V
V
-
-
![Page 191: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/191.jpg)
191
Tuhu wanita utama Mustikaning para putri Muga tansah pinaringan
( berciuman),
lepas kedua
tangan, laku enjer,
tangan kiri
menthang, tangan
kanan tawing
maju kanthen
tangan kanan
kengser ke kanan-
kiri, maju, adu
tangan kiri nekuk,
srisik melingkar
berhenti, maju
kanan, kanthen
tangan kanan
(berciuman),
lepas kedua
tangan, laku enjer,
tangan kiri
menthang, tangan
kanan tawing
maju kanthen
tangan kanan
kengser ke kanan-
kiri, maju, adu
tangan kiri nekuk,
srisik melingkar
berhenti, maju
kanan, kanthen
tangan kanan
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Posisi di
tempat
Gong: ke-7
Gong: ke-8
V
V
V
-
-
-
![Page 192: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/192.jpg)
192
Kanugrahan kang
salami
srisik kanthen
tangan kanan,
lepas tangan,
mundur seblak
sampur.
srisik kanthen
tangan kanan,
lepas tangan,
mundur seblak
sampur
Garis
lenkung
V
-
4 Gerongan Lambangsari: Cakepan a. Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada
Rasa
Gembira
ulap-ulap kiri
ukel karno
trap jamang.
ulap-ulap kiri
Posisi di
tempat
Garis
lengkung
Lambang
sari lr.sl.
pt
manyura
Gong: 1.
kenong ke-
1
kenong ke-
2
-
-
V
V
Tipe
seorang istri
yang ideal
adalah
selalu
berupaya
berbuat
kebajikan,
setia
terhadap
![Page 193: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/193.jpg)
193
Ingkang bisa nujuprana weh reseping pamicara Nora kengguh ing panggodha darbe budi kang santosa Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira Datan kemba asih tresna sung tetreming kulawarga
Rasa Mesra
luluran
trap sumping
kanan
kebyokan sampur
rimong sampur
lembehan sampur
laku telu
ukel karno bokor
sinangga
pacak gulu
ingsetan
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis
lengkung
kenong ke-
3
kenong ke-
4
Gong: ke-
2.
kenong ke-
1
kenong ke-
2
-
-
-
V
V
V
V
-
suami,
menarik, dan
bertanggung
jawab
Tipe seorang
suami yang
ideal adalah
setia
terhadap
istri,
mengayomi,
dan mampu
![Page 194: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/194.jpg)
194
Sampun sami setya tuhu anggenya liron asmara Karonsih pancen pranyata dadya kembang jagad raya Cakepan b. Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada Ingkang bisa nujuprana weh reseping pamicara
kebyokan sampur
– ngenceng kanan
srisik kanthen
tangan, mundur
lepas tangan
trap jamang
laku telu
kanthen tangan
kanan
kebyokan sampur
srisik kanthen
tangan, mundur
lepas tangan
ulap-ulap tawing
kiri
pondhongan
sampur
kanthen tangan
kanan
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Posisi di
tempat
Garis
lengkung
Garis lurus
kenong ke-
3
kenong ke-
4
Gong: ke-
3:
kenong ke-
1
kenong ke-
2
kenong ke-
3
V
V
-
V
V
-
-
V
-
-
menciptakan
ketentraman
keluarga.
Cinta adalah
sebuah nilai
yang
universal.
![Page 195: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/195.jpg)
195
Nora kengguh ing panggodha darbe budi kang santosa Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira Datan kemba asih tresna sung tetreming kulawarga Sang pekik wah sang dyah ayu dangu samya bagyaharja
kanthen tangan
kiri
jengkeng ngilo
tangan
alisan
lumaksono encot
kanthen tangan
kanthen tangan
kiri
tangan ukelan
(merias).
inguk-ingukan
(melihat)
lumaksono encot
kanthen tangan
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis lurus
kenong ke-
4
Gong: ke-
4:
kenong ke-
1
kenong ke-
2
kenong ke-
3
V
-
V
V
-
V
-
-
![Page 196: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/196.jpg)
196
Tan kendhat tansah meminta kanugrahan ing Hyang Suksma
Rasa
bahagia.
srisik kanthen
tangan kanan,
tangan kiri
menthang sampur
lumaksono
lembehan sampur
kanan
pangkon ulap-ulap
tangan kiri
srisik kanthen
tangan, tangan kiri
menthang sampur
lumaksono
lembehan sampur
kanan
pangkon ulap-ulap
tangan kanan
Garis
lengkung
Garis lurus
Posisi di
tempat
kenong ke-
4
Ldr. Sigra
mangsah
lr.sl.pt.
manyura
Gong: ke-1
Gong: ke-2
-
V
Kebagiaan
dunia dan
akhirat
merupakan
kebutuhan
hidup hakiki
manusia
yang
diupayakan
secara
seimbang.
![Page 197: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/197.jpg)
197
srisik kanthen
tangan,
bersalaman
dengan temanten
bersalaman
dengan kedua
orang tua temanten
dan photo bersama
temanten
srisik kanthen
tangan kanan,
masuk (selesai).
srisik kanthen
tangan,
bersalaman
dengan temanten
bersalaman
dengan kedua
orang tua temanten
dan photo bersama
temanten
srisik kanthen
tangan kanan,
masuk (selesai).a
Garis
lurus
Garis
lengkung
Gong: ke-3
Gong: ke-4
Gong: ke-5
![Page 198: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/198.jpg)
198
Dari komposit bahasa verbal dan nonverbal pada tari Karonsih terdapat
hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hubungan bahasa verbal dan
nonverbal bersifat langsung artinya bahwa maksud bahasa verbal sesuai dengan bentuk
bahasa nonverbal. Sedangkan hubungan bahasa verbal dan nonverbal bersifat tidak
langsung artinya bahwa maksud bahasa verbal tidak sesuai dengan bentuk bahasa
nonverbal. Secara kuantitatif hubungan bahasa verbal dan nonverbal yang bersifat
langsung tampak lebih mendominasi dibandingkan dengan yang tidak langsung. Adapun
persentasenya dapat dicermati pada uraian berikut.
Tari Karonsih
No Adegan Hubungan bahasa verbal dengan
nonverbal
jumlah
1 I, II, dan III Langsung 31
2 I, II, dan III Tidak langsung 8
3 Jumlah hubungan langsung dan tidak langsung = 31+ 8 39
4 Jumlah persentase hubungan langsung = 31: 39 X 100. 79,48 %,
5 Jumlah persentase hubungan tidak langsung = 8: 39 X 100. 20,52 %
2. Tari Bondhan Sayuk.
Tari Bondhan Sayuk merupakan tari tradisi gaya Surakarta jenis pasangan silang
jenis karakter putri dengan putra madya yang bertemakan percintaan sepasang insan
manusia yang berjenis kelamin pria dan berjenis kelamin wanita. Pada dasarnya tarian
ini tidak mengisahkan tokoh tertentu tetapi mengekspresikan cinta kasih sepasang suami
istri secara universal terhadap anak laki-laki dan harapan-harapan serta keinginannya
![Page 199: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/199.jpg)
199
supaya kelak menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan negara. Karya tari Bondhan
Sayuk disusun oleh Sunarno pada tahun 1979. Tari ini pertama kali dipentaskan pada
sebuah resepsi ritual perkawinan di gedung Bathari. Tema yang diangkat
menggambarkan percintaan manusia secara universal, yang lebih mengarah pada
perjalanan hidup sepasang manusia dari kalangan rakyat. Menurut Sunarno, tari
Bondhan Sayuk lebih tepat untuk gambaran sepasang temanten maupun sebuah keluarga
baru yang belum memiliki anak (wawancara, 2008).
Gagasan awal terciptanya tari Bondhan Sayuk adalah sebuah ekspresi pribadi
Sunarno yang menginginkan anak laki-laki untuk putera pertamanya. Keinginan
tersebut rupanya diridhohi oleh Sang Pencipta, anak pertama laki-laki bahkan anak
kedua juga laki-laki dan anak ketiganya baru putri. Dalam perjalanan waktu tari
Bondhan Sayuk sangat diminati oleh masyarakat hingga sekarang, yang pertama
merupakan hiburan yang tepat dalam sebuah resepsi perkawinan dan kedua dimaknai
sebagai simbolik sepasang suami dan istri yang hidup bahagia yang layak untuk
diteladani sepasang temanten. Pesona yang memikat dari tari Bondhan Sayuk adalah
digunakannya boneka sebagai simbolik anak yang selalu ditimang-timang dan
diharapkan memberikan kekuatan magis simpatetis terhadap sepasang temanten, yaitu
supaya lekas diberi anak.
Jika dirunut dari bahasa verbalnya akan tampak bahwa harapan-harapan yang
tersurat dan tersirat menunjukkan adanya sebuah keinginan, harapan sepasang suami-
istri terhadap anak laki-laki kelak menjadi orang yang berperilaku baik dan berguna bagi
masyarakat untuk membangun bangsa dan negara. Bentuk tari Bondhan Sayuk terdiri
dari dua komponen pokok, yakni sastra tembang yang merupakan bahasa verbal dan
![Page 200: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/200.jpg)
200
bahasa nonverbal yang berupa: tema, kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias,
busana, pola lantai, dan iringan. Sastra tembang yang merupakan bahasa verbal tari
Bondhan Sayuk, terdiri dari beberapa garap lagu, yakni: (1) garap sindhenan Mijil
Sulastri: sakpupuh (satu bait), (2) garap jineman Sayuk: rong pupuh (dua bait), dan (3)
garap gerongan Ladrang Sayuk: rong pupuh (dua bait). Dari masing-masing garap lagu
tersebut dapat dicermati berikut ini.
a. Bahasa verbal.
(1). Teks Sindhenan Mijil Sulastri
Dhuh mas rara, garwaku wong manis, Aja gawe kagal, Amung sira yekti sulistyane, Jumbuh klawan rasaningtyas mami, Binerkahan ugi, Prasetya wak-ingang.
Terjemahan:
Wahai si cantik, istriku yang manis,
Jangan membuat kesal,
Hanya kamulah yang benar-benar cantik,
Sesuai dengan rasa yang terdapat dalam hatiku,
Semoga mendapat berkah,
Janji kesetiaanku.
![Page 201: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/201.jpg)
201
Jenis –jenis TT yang melekat pada teks Sindhenan Mijil Sulastri
No Penutur
(Pn)
Bahasa Verbal : teks
Sindhenan Mijil
Sulastri
Jenis – jenis
TT
Pemarkah
1
Pria (Pn) Dhuh mas rara,
garwaku wong manis,
Ekspresif
wong manis
2
Pria (Pn) Aja gawe kagal,
Direktif
aja
3
Pria (Pn) Amung sira yekti
sulistyane,
Ekspresif
sulistyane
Pria (Pn) Jumbuh klawan
rasaningtyas mami,
Asertif Jumbuh
4
Pria (Pn)
Binerkahan ugi,
Direktif
ugi
5
Pria (Pn)
Prasetya wak-ingang.
Komisif
prasetya
Konteks.
Identifikasi / latar.
a. Peserta tutur: Pria (Pn).
Wanita (Pt), ia merespon dengan gerak tanpa tuturan.
b. Tema / topik: percintaan atau kasmaran.
![Page 202: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/202.jpg)
202
c. Tujuan: suami menghendaki istri supaya tidak lekas marah, mengingat kasih
asmara suami terhadap istri merupakan cinta yang tulus.
d. Status sosial: penari pria sebagai seorang suami, ia digambarkan sebagai figur
seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri. Penari
wanita sebagai seorang istri, ia digambarkan sebagai figur seorang istri yang
sangat setia terhadap suami.
e. Tempat: di rumah.
f. Situasi tutur: tidak formal.
g. Gerak: kedua penari, pria dan wanita srisik bersama, tangan kanan saling
berpegangan (nyathok) dan tangan kiri lurus ke samping (menthang) menuju
stage. Secara perlahan-lahan keduanya lumaksono ridhong, srisik menuju tengah
stage, berhenti laku enjer menthang tangan kiri, kemudian putra besut dan putri
sindhet merupakan gambaran rasa kebersamaan. Rasa kecewa diekspresikan istri
lewat jengkeng, sekaran laras kebyokan, sembahan, berdiri meninggalkan suami
sambil kebyokan tangan kanan-kiri kemudian suami gerak nyabet tangan kanan,
besut, mendekati istri untuk merayu dengan gerak hoyogan, gajah-gajahan,
songgonompo – mbalang. Rasa mesra mulai tampak ketika masing-masing peran
suami dan istri saling mendekat dan berciuman dengan gerak kengser dan
ngaras. Selanjutnya gerak lincak gagak bersama, suami hendak memegang istri
menghindar. Suami dan istri saling mendekat, saling berpegangan tangan
kemudian srisik kanthen tangan kanan sebagai gambaran awal kemesraan.
h. Polatan / ekspresi wajah: ketika rasa kebersamaan masih terbina, wajah suami
dan wajah istri tampak cerah dan gembira. Pada saat istri merasa kecewa
![Page 203: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/203.jpg)
203
pandangan muka selalu menghindar dari tatapan mata suami dan pandangan
mata istri banyak mengarah ke bawah. Suasana berubah menjadi semakin mesra
wajah suami dan wajah istri tampak semakin cerah dan pandangan mata tampak
sering saling melihat.
i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.
j. Iringan gendhing: Srepek Rangu-rangu dan Ketawang Mijil Sulastri untuk
mendukung suasana kasmaran atau bercinta.
Implikatur
Kagal : perasaan marah.
Sulistyane: kecantikan rupa dari seorang wanita.
Jumbuh klawan rasaningtyas: kecocokan hati yang membuat senang seseorang.
Prasetya wak-ingang: ungkapan yang mengisyaratkan sebuah perjanjian tentang
kesetiaan.
Implikatur bahasa verbal Sindhenan Mijil Sulastri adalah ungkapan cinta yang
mendalam seorang suami terhadap istrinya, dengan harapan
mendapatkan perhatian demi terjalinnya kasih cinta untuk
harmonisnya sebuah rumah tangga.
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Mijil Sulastri dapat
diungkap:
a. Maksim kuantitas dilanggar.
b. Maksim kualitas dipatuhi.
c. Maksim hubungan dipatuhi.
d. Maksim cara dilanggar.
![Page 204: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/204.jpg)
204
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Sindhenan Mijil Sulastri,
menggunakan strategi:
1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.
2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).
(2). Teks Jineman Sayuk
Dhuh mas jiwaku, baya iki wus wanci, Bapakne sithole, mangkat makarya, Sawahmu tansah anganti, Mbokne thole, Sakdurunge anakmu gawanen mrene, Tak kudange anakku sing bagus dhewe, Mbesuk pinter nyambut gawe.
Terjemahan:
Wahai belahan jiwaku, sekarang sudah saatnya, Ayahnya anak laki-laki (suamiku), berangkatlah bekerja, Sawahnya tengah menanti, Ibunya anak laki-laki (istriku) , Sebelumnya anakmu bawalah kemari, Peneliti timang-timang anakku yang paling bagus, Besuk menjadi anak yang pandai bekerja.
Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Jineman Sayuk
No Penutur (Pn) /
Petutur (Pt)
Bahasa Verbal
Teks Jineman Sayuk
Jenis – jenis
TT
Pemarkah
1
Wanita (Pn) Dhuh mas jiwaku, Patik dhuh mas
2 Wanita (Pn) baya iki wus wanci,
Direktif baya iki
3 Wanita (Pn) Bapakne sithole, Asertif bapakne
![Page 205: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/205.jpg)
205
Wanita (Pn) mangkat makarya,
Direktif mangkat
5 Wanita (Pn) Sawahmu tansah
anganti,
Asertif sawahmu
6
Pria (Pt) Mbokne thole, Asertif
mbokne
7 Pria (Pt) Sakdurunge anakmu
gawanen mrene,
Direktif
gawanen
8
Pria (Pt) Tak kudange anakku
sing bagus dhewe,
Ekspresif
bagus
9 Pria (Pt) Mbesuk pinter
nyambut gawe.
Direktif mbesuk pinter
Konteks.
Identifikasi / latar.
a. Peserta tutur: Wanita (Pn).
Pria (Pt).
b. Tema / topik: kekudangan (menimang bayi sambil bersenandung)
c. Tujuan: istri mengingatkan akan pekerjaan suami. Kesadaran suami sebagai
kepala rumah tangga menyambut kehendak istrinya dengan rasa senang
untuk itu sebelum berangkat bekerja mereka saling menimang bayi sambil
bersenandung secara bergantian. Hal ini adalah untuk menunjukkan rasa
kasih sayang dan kemesraan suami terhadap anak dan istri.
![Page 206: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/206.jpg)
206
d. Status sosial: penari pria sebagai seorang suami, ia digambarkan sebagai
figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri.
Penari wanita sebagai seorang istri, ia digambarkan sebagai figur seorang
istri yang sangat setia terhadap suami.
e. Tempat: di rumah.
f. Situasi tutur: tidak formal.
g. Gerak: istri srisik sambil menimang anak, suami merasa gembira dan bahagia
secara perlahan-lahan mendekat, tangan kiri memegang bahu istri dan tangan
kanan memegang anak sambil memperhatikan dengan tawing kanan. Istri
meminta perhatian suami terhadap anak yang ditimang dengan gerak putar ke
kanan, lembehan tangan kanan, putar ke kiri–tangan kanan ukel karno
sedangkan suami mendekat menanggapi dengan gerak panggel dan
pandangan mengarah ke istri dan anaknya. Istri mulai bersenandung
mengingatkan pekerjaan terhadap suami dengan gerak tawing kanan sambil
memandang suami sedangkan suami menyambut baik dengan gerak ukel
karno kanan yang kemudian mendekati dengan gerak srisik. Selanjutnya istri
tawing kanan, maju srisik mendekati suami untuk memberikan anaknya dan
suami juga mendekat dengan lumaksono untuk menerimanya. Suami
menimang anak sedangkan istrinya meledek dengan tawing kiri-tawing
kanan.
h. Polatan / ekspresi wajah: suami dan wajah istri tampak cerah dan gembira.
Pandangan mata suami dan istri banyak terfokus pada anak dan mereka juga
sering saling berhadapan.
![Page 207: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/207.jpg)
207
i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.
j. Iringan gendhing: jineman Sayuk untuk mendukung suasana kekudangan
yang merepresentasikan rasa senang.
Implikatur
Mas jiwaku: panggilan seorang kekasih.
Bapakne sithole: panggilan seorang ayah yang biasa untuk masyarakat
pedesaan untuk menunjukkan keakraban.
Makarya: bekerja.
Sawahmu tansah anganti: pernyataan yang dimaksudkan tentang sebuah pekerjaan.
Mbokne thole: panggilan seorang ibu yang biasa untuk masyarakat
pedesaan untuk menunjukkan keakraban.
Tak kudange: menimang bayi sambil bersenandung yang berisi tentang nasehat
dan harapan-harapan orang tua terhadap anaknya.
Mbesuk pinter: sebuah harapan orang tua yang menghendaki anaknya
kelak menjadi orang yang pandai.
Implikatur bahasa verbal Jineman Sayuk mengisyaratkan bahwa dalam sebuah keluarga
kebutuhan jasmani dan rohani harus seimbang. Dalam rangka memenuhi
kebetuhan tersebut masing–masing individu yang terlibat dalam keluarga
memiliki peran secara proporsional. Masing-masing individu mempunyai
tanggungjawab terhadap tugas dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan keluarga. Berdasarkan kasih cinta untuk menciptakan
keharmonisan keluarga, seorang istri mempunyai peranan cukup penting
dalam mendukung tugas dan kewajiban peran suami sebagai kepala
![Page 208: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/208.jpg)
208
keluarga. Implikatur bahasa verbal Jineman Sayuk yaitu kegembiraan
pasangan suami istri sebuah keluarga semakin mantap ketika telah diberi
anak, namun juga harus disadari bahwa untuk mencukupi kebutuhan
rumahtanggga diperlukan kerja keras.
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Jineman Sayuk dapat diungkap:
a. Maksim kuantitas dilanggar.
b. Maksim kualitas dipatuhi.
c. Maksim hubungan dipatuhi.
d. Maksim cara dilanggar.
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Jineman Sayuk, menggunakan
strategi: 1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.
2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).
(3). Teks Gerongan Ladrang Sayuk
Adhuh lae, atak adhuh lae, dasar bregas ten atene, Adhuh lae, atak adhuh lae, cukat trampil tumandange, Adhuh lae, atak adhuh lae, anteng tajem polatane, Adhuh lae, atak adhuh lae, sesongaran disingkirke, Adhuh lae, atak adhuh lae, labuh labet mring bangsane, Adhuh lae, atak adhuh lae, ora nyleweng tumindake, Adhuh lae, atak adhuh lae, wis mbokne enyoh anake sun arsa mangkat megawe.
Terjemahan:
Memang baik karakternya, Lincah, trampil dalam bekerja, Tenang fokus pandangannya, Kesombongannya dihilangkan, Bekerja keras untuk bangsa, Tindakannya tidak boleh menyeleweng, Istriku, bawalah anakmu sekarang, peneliti akan berangkat bekerja.
![Page 209: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/209.jpg)
209
Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gerongan Ladrang Sayuk
No Penutur
(Pn)
Bahasa Verbal : Teks
Gerongan Ladrang Sayuk
Jenis –jenis
TT
Pemarkah
1
Pria (Pn)
Adhuh lae, atak adhuh
lae, dasar bregas ten
atene,
Ekspresif
bregas
2 Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh
lae, cukat trampil
tumandange,
Ekspresif
Cukat trampil
3 Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh
lae, anteng tajem
polatane,
Ekspresif
anteng tajem
4
Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh
lae, sesongaran
disingkirke,
Direktif
disingkirke
5
Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh
lae, labuh labet mring
bangsane,
Direktif
Labet mring
6
Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh
lae, ora nyleweng
tumindake,
Direktif
ora nyleweng
7
Pria (Pn) Adhuh lae, atak adhuh
lae, wis mbokne enyoh
anake sun arsa mangkat
megawe.
Direktif
enyoh anake
![Page 210: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/210.jpg)
210
Konteks.
Identifikasi / latar.
a. Peserta tutur: Pria (Pn).
Wanita (Pt), ia merespon dengan gerak tanpa tuturan.
b. Tema / topik: kekudangan (menimang bayi sambil bersenandung)
c. Tujuan: suami mengharapkan supaya anak yang masih dalam timangan
tersebut kelak menjadi orang yang berperilaku baik dan berguna bagi
masyarakat lingkungannya. Hal ini untuk menunjukkan rasa kasih sayang
orang tua terhadap anak dan istrinya.
d. Status sosial: penari pria sebagai seorang suami, ia digambarkan sebagai
figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri.
Penari wanita sebagai seorang istri, ia digambarkan sebagai figur seorang
istri yang sangat setia terhadap suami.
e. Tempat: di rumah.
f. Situasi tutur: tidak formal.
g. Gerak: diawali suami menimang-nimang anak dengan lumaksono yang
diikuti istri lumaksono lembehan sampur dan kawilan. Anak diberikan istri
sedangkan suami meledeknya dengan ogekan, tangan kanan menthang
sampur dan lilingan. Setelah istri menimang anak beberapa saat, kemudian
anak diberikan kepada temanten putri dengan srisik, suami gerak lumaksono
sambil menanti kedatangan istri.
![Page 211: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/211.jpg)
211
h. Polatan / ekspresi wajah: suami dan wajah istri tampak cerah dan gembira.
Pandangan mata suami dan istri banyak terfokus pada anak dan mereka juga
sering saling berhadapan.
i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.
j. Iringan gendhing: Ladrang Sayuk untuk mendukung suasana kekudangan
yang merepresentasikan rasa senang, gembira, dan bahagia.
Implikatur
Bregas ten atene: ungkapan tentang sikap dan perilaku yang baik.
Cukat trampil: pernyataan tentang kelincahan dan ketrampilan dalam bekerja.
Anteng tajem: ungkapan tentang keramahan dan kehalusan perangai seseorang
yang diamati dari ekspresi wajah.
Sesongaran: sikap sombong, yang biasanya untuk dihindari.
Labuh labet mring bangsane: sebuah ungkapan yang berusaha mengedepankan
kepentingan umum.
Ora nyleweng : berperilaku baik dengan menghindari hal-hal yang mengarah pada
perbuatan atau tindakan yang melanggar norma atau aturan yang
berlaku.
Implikatur bahasa verbal Gerongan Ladrang Sayuk pada tari Tari Bondhan Sayuk,
mengisyaratkan tentang beberapa harapan orang tua terhadap
seorang yang berperilaku baik mengutamakan kebajikan, kerja
keras, dan mengutamakan kepentingan umum untuk membangun
bangsa. Implikatur bahasa verbal Gerongan Ladrang Sayuk, yaitu
tanggungjawab sebagai orang tua dalam mempersiapkan
![Page 212: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/212.jpg)
212
pendidikan anak sebagai generasi penerus yang memiliki
kepribadian baik, berwawasan luas sehingga berguna bagi
kehidupan sosial masyarakat.
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Ladrang Sayuk
dapat diungkap:
a. Maksim kuantitas dilanggar.
b. Maksim kualitas dilanggar.
c. Maksim hubungan dilanggar.
d. Maksim cara dilanggar.
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Ladrang Sayuk,
menggunakan strategi:
1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.
2) melakukan TT secara tidak langsung (off record).
(4). Teks Gerongan Lancaran Sayuk
Sayuk, sayuk, sayuk, sakancane, Sayuk, sayuk, sayuk, nyambut gawe, Sayuk, sayuk, sayuk, sakabehe, Sayuk mbangun negarane.
Terjemahan:
Kebersamaan dengan teman, Kebersamaan dalam bekerja, Kebersamaan semuanya, Kebersamaan dalam membangun negara.
![Page 213: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/213.jpg)
213
Jenis – jenis TT yang melekat pada teks Gerongan Lancaran Sayuk
No Narator
(Nr)
Bahasa Verbal : Teks
Gerongan Lancaran
Sayuk
Jenis – jenis
TT
Pemarkah
1 Nr Sayuk, sayuk, sayuk,
sakancane,
Direktif
sayuk sakancane
2 Nr Sayuk, sayuk, sayuk,
nyambut gawe,
Direktif
sayuk nyambut gawe
3 Nr Sayuk, sayuk, sayuk,
sakabehe,
Direktif
sayuk sakabehe
4 Nr Sayuk mbangun
negarane.
Direktif
sayuk mbangun
Konteks.
Identifikasi / latar.
a. Peserta tutur: Narator.
Pria , ia merespon dengan gerak tanpa tuturan.
Wanita , ia merespon dengan gerak tanpa tuturan.
b. Tema / topik: makarya (bekerja).
![Page 214: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/214.jpg)
214
c. Tujuan: suami maupun istri saling mengajak dan memberi dorongan
semangat untuk bekerja secara bersama-sama dalam menyelesaikan
pekerjaan dengan suasana gembira.
d. Status sosial: penari pria sebagai seorang suami, ia digambarkan sebagai
figur seorang suami yang bertanggungjawab dan sangat setia terhadap istri.
Penari wanita sebagai seorang istri, ia digambarkan sebagai figur seorang
istri yang sangat setia terhadap suami.
e. Tempat: di luar rumah.
f. Situasi tutur: tidak formal.
g. Gerak: pada implementasinya, gerak yang dipilih antara pasangan suami dan
istri berupa sekaran-sekaran yang dapat diekspresikan secara dinamis untuk
menimbulkan kesan semangat dalam keadaan riang dan gembira. Wujud
Kinetic body moves yang dipilih untuk istri sekaran luluran, tawing kiri,
lilingan kebyok sampur, dan enjer muter. Sekaran untuk ekspresi peran
suami terdiri dari: laku telu pondhongan, enjer ridhong muter, lilingan
kebyok sampur dan enjer muter. Sebagai penutup sepasang suami istri saling
mendekat bergandengan tangan kemudian srisik kanthen tangan kanan
menuju tempat duduk temanten mengambil boneka anak.
h. Polatan / ekspresi wajah: suami dan wajah istri tampak cerah dan gembira.
Arah Pandangan mata suami dan istri saling menatap, berhadapan dan
didukung dengan saling melempar senyuman sehingga tampak gembira dan
bahagia.
i. Pola lantai: didominasi garis-garis lengkung.
![Page 215: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/215.jpg)
215
j. Iringan gendhing: Lancaran Sayuk dengan irama dinamis untuk mendukung
suasana kekudangan yang merepresentasikan rasa riang, gembira, dan
bahagia.
Implikatur
Sayuk : sebuah ajakan dalam bekerja untuk bersama-sama dengan
dorongan semangat.
Sakancane: bersama-sama dengan teman.
Nyambut gawe: bekerja.
Sakabehe: seluruhnya dalam berbagai kegiatan.
Implikatur bahasa verbal Gerongan Lancaran Sayuk pada tari Tari Bondhan Sayuk
adalah gambaran kehidupan sebuah keluarga yang rukun, damai,
harmonis, dan berupaya menjalani kehidupan secara bersama-
sama. Kebahagiaan sebuah keluarga yang dilandasi rasa cinta
akan memberikan spirit yang kuat dalam berbagai aktifitas dalam
aktualisasi publik.
Prinsip kerja sama berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Lancaran Sayuk
dapat diungkap:
a. Maksim kuantitas dilanggar.
b. Maksim kualitas dilanggar.
c. Maksim hubungan dilanggar.
![Page 216: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/216.jpg)
216
d. Maksim cara dilanggar.
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada Gerongan Lancaran Sayuk,
menggunakan strategi:
1) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif.
2) mlakukan TT secara tidak langsung (off record).
Dari penjabaran bahasa verbal yang terdapat dalam tari Bondhan Sayuk terdapat
beragam jenis tindak tutur yang dapat peneliti klasifikasikan secara kuantitatif sebagai
berikut:
NO JENIS TINDAK TUTUR JUMLAH
1 Tindak Tutur Direktif 14
2 Tindak Tutur Ekspresif 6
3 Tindak Tutur Asertif 4
4 Tindak Tutur Komisif 1
5 Tindak Tutur Patik 1
6 Tindak Tutur Performatif -
7 Tindak Tutur Verdiktif -
Berdasarkan prinsip kerja sama bahasa verbal yang terdapat tari Bondhan Sayuk:
a. Maksim kuantitas dilanggar karena dalam menyampaikan tuturan seorang
penutur, banyak menggunakan kata-kata arkais dimaksudkan oleh penutur
untuk mengekspresikan rasa estetik.
b. Maksim kualitas ada yang dilanggar juga ada yang dipatuhi. Maksim kualitas
yang dilanggar dimaksudkan oleh penutur bahwa tuturan yang berupa
tembang dimanfaatkan untuk mengekspresikan rasa lagu. Sedangkan
![Page 217: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/217.jpg)
217
maksim kualitas yang dipatuhi dimaksudkan oleh penutur untuk
menggambarkan peristiwa yang betul-betul terjadi pada masing-masing
adegan.
c. Maksim hubungan ada yang dilanggar juga ada yang dipatuhi. Maksim
hubungan yang dilanggar dimaksudkan oleh penutur bahwa tuturan yang
berupa tembang tersebut diharapkan dapat sebagai sarana komunikasi rasa.
Sedangkan maksim hubungan yang dipatuhi dimaksudkan oleh penutur
untuk menjaga kerja sama antara penutur dengan mitra tutur, masing-masing
hendaknya memberikan kontribusi yang relevan demi terjadinya komunikasi
rasa.
d. Maksim cara dilanggar karena dalam menyampaikan tuturan seorang
penutur, tidak langsung, terlalu panjang, dan pernyataannya samar, hal ini
dimaksudkan seniman penyusun untuk mengekspresikan rasa estetik dan
menambah kemantapan rasa.
Prinsip kesantunan berdasarkan bahasa verbal pada tari Bondhan Sayuk, menggunakan
strategi:
1) Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif untuk
menunjukkan kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan
mitra tutur. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk menunjukkan
simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri yang
digambarkan dalam tari.
2) Melakukan tindak tutur secara tidak langsung (off record) untuk
mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa.
![Page 218: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/218.jpg)
218
b. Bahasa Nonverbal
Bahasa nonverbal tari Bondhan Sayuk terdiri dari: tema, kinetic body moves,
polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan iringan.
1.Tema.
Bentuk tema yang diangkat pada tari Bondhan Sayuk adalah tema percintaan
sepasang manusia laki-laki dan perempuan secara universal. Pasangan kekasih tersebut
bukan merupakan gambaran dari tokoh tertentu dari sebuah cerita, sejarah, babad, atau
dongeng, tetapi merupakan reaktualisasi dari imajinasi sepasang suami istri yang telah
dianugerai seorang anak laki-laki yang masih dalam timangan. Liku-liku perjalanan
cinta sepasang suami istri beserta anak laki-lakinya dalam menjalani kehidupan yang
penuh harapan-harapan terkait dengan prospek masa depan anak untuk partisipasinya
pada pembangunan bangsa dan negara.
Untuk mewujudkan cita-cita yang mulia tersebut, sepasang suami istri memiliki
tugas dan tanggungjawab untuk membina dan mendidik anak sedini mungkin supaya
dapat tercapai harapannya. Selain dapat memenuhi kebutuhan yang bersifat rohani juga
tidak dapat mengabaikan kebutuhan yang bersifat jasmani sebagai sarana penopang
kebutuhan hidup sehari-hari, untuk itu seorang suami dituntut harus bekerja secara
sungguh-sungguh. Pernyataan tersebut mengisyaratkan bahwa berlandaskan rasa cinta
yang mendalam seorang istri mengingatkan, menghendaki dan mendukung suami untuk
bekerja demi kelangsungan hidup keluarga, seperti tersurat pada cakepan Jineman Sayuk
pada bagian awal yang berbunyi: Dhuh mas jiwaku; baya iki wus wanci; Bapakne
sithole; mangkat makarya; Sawahmu tansah anganti,
![Page 219: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/219.jpg)
219
Bentuk sajian dari tema percintaan yang diangkat pada tari Bondhan Sayuk
tersebut aktualisasinya diperankan oleh: suami dan istri, yang menggunakan properti
berupa boneka yang dibalut sehelai kain sebagai simbolik anak (bayi). Dari tema
percintaan sepasang suami-istri yang sifatnya universal tersebut, untuk aktualisasinya
akan membentuk sebuah alur yang terbagi menjadi beberapa adegan: a) adegan
kasmaran (percintaan); b) adegan kekudangan (menimang bayi sambil bersenandung) ;
c) adegan makarya (bekerja).
a) adegan kasmaran menggambarkan sepasang suami dan istri yang sedang
memadu cinta. Pada awalnya istri kurang perhatian terhadap suami, atas rayuan suami
dengan sanjungan atau pujian, istri menjadi luluh hatinya yang kemudian mereka berdua
saling beradu cinta. Setelah kemesraan berakhir istri meninggalkan suami untuk
mengambil anaknya, suasana menjadi tegang. Gambaran adegan kasmaran
mengungkapkan rasa kecewa, mesra, dan tegang.
b). Adegan kekudangan menggambarkan kegembiraan dan kebahagiaan
sepasang suami dan istri yang telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang diharapkan
menjadi pewaris keturunan dan berguna bagi pembangunan bangsa dan negara. Adapun
bentuk aktualisasinya diwujudkan sepasang suami dan istri yang sedang menimang bayi
secara bergantian sambil bersenandung tentang harapan-harapan mulia sebagai orang tua
terhadap anak laki-laki kelak setelah menjadi orang dewasa. Harapan-harapan mulia
kedua orang tua terhadap anak laki-lakinya kelak menjadi orang yang memiliki
kepribadian yang baik, tidak sombong, tidak menyeleweng, pekerja profesional,
berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Adegan kekudangan
mengungkapkan rasa gembira dan rasa bahagia.
![Page 220: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/220.jpg)
220
c). Adegan makarya merupakan gambaran semangat bekerja secara bersama-
sama antara suami dan istri dengan suasana gembira. Rasa yang hendak diekspresikan
pada adegan ini yaitu puncak kegembiraan dan kebahagiaan. Jika dicermati dari alur
adegan dari kasmaran, kekudangan, yang kemudian makarya dapat ditarik benang
merahnya bahwa kehidupan sebuah keluarga yang didasari rasa cinta mendambakan
kemesraan, keharmonisan, kedamaian dan kebahagiaan berupaya menyeimbangkan akan
kebutuhan rohani yang teraktualisasi dalam adegan kasmaran berlanjut adegan
kekudangan dan kebutuhan jasmani yang tergambar dalam adegan makarya.
2. Kinetic body moves atau Gerak tubuh.
Gerak tubuh pada tari Bondhan Sayuk adalah kristalisasi dari beberapa unsur
gerak tradisional yang bersumber pada tarian tradisional karaton Kasunanan yang lebih
dikenal gaya Surakarta. Beberapa vokabuler gerak yang berupa sekaran memiliki
karakteristik beragam pula. Pola-pola gerak yang digunakan untuk gambaran-gambaran
pada masing-masing adegan tidak selalu dapat dengan mudah menunjukkan aktifitas
yang tengah terjadi. Artinya pola-pola gerak yang digunakan dalam tari tidak selalu
merepresentasikan secara vulgar dan jelas maksud penyusun yang tersurat pada bahasa
verbalnya. Seperti gambaran adegan makarya, di sini bentuk-bentuk vokabuler geraknya
tidak tampak gerak orang makarya / bekerja., tetapi bagaimana vokabuler gerak tersebut
mampu mengungkapkan rasa sesuai dengan kehendak penyusun.
Adegan kasmaran merupakan adegan pertama yang secara garis besar
menggambarkan sepasang suami dan istri sedang memadu cinta. Selengkapnya peristiwa
adegan kasmaran tersebut terkait dengan Kinetic body moves akan digambarkan secara
kronologis sebagai berikut. Berawal dari alunan kendhang sebagai pembukaan yang
![Page 221: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/221.jpg)
221
diikuti secara bersama alunan seluruh ricikan balungan atau instrumen gamelan yang
terkemas dalam Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang. Kedua penari, putra sebagai
suami dan putri sebagai istri srisik bersama, tangan kanan saling berpegangan (nyathok)
dan tangan kiri lurus ke samping (menthang) menuju stage. Secara perlahan-lahan
keduanya lumaksono ridhong, srisik menuju tengah stage, berhenti laku enjer menthang
tangan kiri, kemudian putra besut dan putri sindhet merupakan gambaran rasa
kebersamaan. Iringan Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt. barang untuk mendukung rasa
kecewa dan rasa mesra. Rasa kecewa diekspresikan istri lewat jengkeng, sekaran laras
kebyokan, sembahan, berdiri meninggalkan suami sambil kebyokan tangan kanan-kiri
sedangkan penari putra nyabet tangan kanan, besut, mendekat hoyogan, gajah-gajahan,
songgonompo – mbalang. Rasa mesra mulai tampak ketika masing-masing peran suami
dan istri saling mendekat dan berciuman dengan gerak kengser dan ngaras. Selanjutnya
gerak lincak gagak bersama, suami hendak pegang istri menghindar, saling mendekat
srisik kanthen tangan kanan.
Suasana tegang diungkapkan istri mulai menjauh dengan gerak tawing kiri dan
laku enjer sedangkan suami berhenti tanjak sambil tawing kiri memandangi yang putri.
Kebingungan semakin tampak, istri meninggalkan putra dengan gerak srisik kipat
sampur dan suami mencoba lari untuk mencegah istri namun tidak dapat dengan gerak
srisik. Perasaan suami tegang, khawatir dengan kengser mundur pelan-pelan, kembali
maju srisik, mundur srisik, berhenti tanjak. Istri srisik sambil menimang bayi menuju ke
stage mendekati putra., adapun bentuk iringan yang mendukung suasana ketegangan
tersebut adalah lancaran lr. pl. pt. barang.
![Page 222: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/222.jpg)
222
Adegan kekudangan merupakan adegan kedua, yang menggambarkan
kegembiraan dan kehagiaan sepasang suami dan istri yang telah dikaruniai seorang anak
laki-laki yang diharapkan menjadi pewaris keturunan dan berguna bagi masyarakat.
Adapun bentuk aktualisasinya diwujudkan sepasang suami dan istri yang sedang
menimang bayi secara bergantian sambil bersenandung tentang harapan-harapan mulia
sebagai orang tua terhadap anak laki-laki kelak setelah menjadi orang dewasa. Harapan-
harapan mulia kedua orang tua terhadap anak laki-lakinya kelak menjadi orang yang
memiliki kepribadian yang baik, tidak sombong, tidak menyeleweng, bekerja secara
profesional, berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Adegan
kekudangan mengungkapkan rasa gembira dan rasa bahagia. Bentuk Kinetic body moves
yang mengekspresikan adegan kekudangan dapat dicermati berikut ini. Setelah istri
srisik sambil menimang anak, suami merasa gembira dan bahagia secara perlahan-lahan
mendekat, tangan kiri memegang bahu istri dan tangan kanan memegang anak sambil
memperhatikan dengan tawing kanan. Istri meminta perhatian suami terhadap anak
yang ditimang dengan gerak putar ke kanan, lembehan tangan kanan, putar ke kiri –
tangan kanan ukel karno sedangkan suami mendekat menanggapi dengan gerak panggel
dan pandangan mengarah ke putri dan anak. Istri mengingatkan pekerjaan terhadap
suami dengan gerak tawing kanan sambil memandang suami sedangkan suami
menyambut baik dengan gerak ukel karno kanan yang kemudian srisik mendekati.
Selanjutnya istri tawing kanan, maju srisik mendekati suami untuk memberikan anaknya
dan suami juga mendekat dengan lumaksono untuk menerimanya. Suami menimang
anak sedangkan istrinya meledek dengan tawing kiri-tawing kanan. Seluruh sajian
Kinetic body moves tersebut diiringi jineman Sayuk lr. pl. pt. barang.
![Page 223: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/223.jpg)
223
Ekspresi kekudangan yang berisi harapan orang tua terhadap anak, diawali
suami menimang-nimang anak dengan lumaksono yang diikuti istri lumaksono
lembehan sampur dan kawilan. Gantian anak diberikan istri sedangkan suami
meledeknya dengan ogekan,tangan kanan menthang sampur dan lilingan. Setelah istri
menimang lalu boneka anak diberikan kepada temanten putri dengan srisik, suami gerak
lumaksono sambil menanti kedatangan istri. Adapun gambaran Kinetic body moves
bagian ini diiringi ladrang Sayuk lr. pl. pt. barang.
Adegan makarya merupakan adegan ke tiga yang menjadi penutup dari seluruh
alur adegan yang terdapat pada tari Bondhan Sayuk. Ungkapan adegan makarya adalah
gambaran semangat dalam bekerja antara suami dan istri dengan suasana gembira. Rasa
yang hendak diekspresikan pada adegan ini yaitu rasa riang, gembira, dan bahagia.
Bentuk gambaran Kinetic body moves pada adegan makarya tidak mengekspresikan
orang yang tengah bekerja menggarap sawah, seperti mencangkul, membajak, tanam
padi, dan lainnya. Pada implementasinya, gerak yang dipilih antara pasangan suami dan
istri berupa sekaran-sekaran yang dapat diekspresikan secara dinamis untuk
menimbulkan kesan semangat dalam keadaan riang dan gembira. Wujud Kinetic body
moves yang dipilih untuk istri sekaran luluran, tawing kiri, lilingan kebyok sampur, dan
enjer muter. Sekaran untuk ekspresi peran suami terdiri dari: laku telu pondhongan,
enjer ridhong muter, lilingan kebyok sampur dan enjer muter. Sebagai penutup
sepasang suami istri saling mendekat srisik kanthen tangan kanan menuju tempat duduk
temanten mengambil boneka anak kemudian sebagai cucuk lampah temanten (berjalan
di depan temanten untuk menggiring sepasang mempelai ke depan pintu rumah resepsi
guna menghantarkan para tamu undangan yang hendak berpamitan). Gendhing sebagai
![Page 224: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/224.jpg)
224
iringan adegan ini adalah Lancaran Sayuk lr. pl. pt. barang dan Ayak-ayakan lr. pl. pt.
barang.
Secara garis besar Kinetic body moves yang terdapat pada seluruh adegan tari
Bondhan Sayuk, baik adegan: kasmaran, kekudangan, dan makarya merupakan
kombinasi dari gerak representatif dan presentatif, seperti paparan berikut ini.
![Page 225: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/225.jpg)
225
2) jenis-jenis vokabuler gerak atau sekaran yang terdapat dalam tari Bondhan Sayuk.
Adegan
Peran
Jenis Gerak
Peran
Jenis Gerak
No
I.
Kasmaran
SW
Representatif
Keterangan
SL
Representatif
Keterangan
1 Srisik kanthen tangan
kanan
Distilisasi gerak
orang lari
bergandengan
tangan kanan
Srisik kanthen
tangan kanan
Distilisasi gerak
orang lari
bergandengan
tangan kanan
2 Lumaksono ridhong Distilisasi dari
orang berjalan
Lumaksono ridhong Distilisasi dari
orang berjalan
3 Srisik kanthen tangan
kanan
Distilisasi gerak
orang lari
bergandengan
tangan kanan
Srisik kanthen
tangan kanan
Distilisasi gerak
orang lari
bergandengan
tangan kanan
4 Enjer menthang
tangan kiri
Distilisasi dari
orang berjalan ke
samping sambil
meluruskan tangan
kiri
songgonompo
Distilisasi dari
orang menerima
sesuatu
![Page 226: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/226.jpg)
226
5 Jengkeng Distilisasi dari
orang duduk
mbalang Distilisasi dari
orang memberi atau
membuang sesuatu
6 Ngaras Distilisasi dari
orang berciuman
Ngaras Distilisasi dari
orang berciuman
7 Lincak gagak, tawing
kiri
Distilisasi dari
gerak kaki burung
gagak, sambil
melihat ke kiri
Lincak gagak,
tawing kiri
Distilisasi dari
gerak kaki burung
gagak, sambil
melihat ke kiri
8 Sautan / nubruk Distilisasi dari
orang hendak
memegang
seseorang yang
dihindari
Endhan Distilisasi dari
orang menghindar
9 Srisik kanthen tangan
kanan
Distilisasi gerak
orang lari
bergandengan
tangan kanan
Srisik kanthen
tangan kanan
Distilisasi gerak
orang lari
bergandengan
tangan kanan
10 Enjer tawing kiri Distilisasi dari
orang berjalan ke
samping sambil
melihat ke kiri
Tanjak tawing kiri Distilisasi dari
orang berdiri sambil
melihat ke kiri
![Page 227: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/227.jpg)
227
11 Srisik kipat sampur,
kedua tangan
menthang sampur
Distilisasi gerak
orang lari. Posisi
kedua tangan lurus
membuka ke
samping dengan
membawa sampur.
Srisik
(tangan nekuk),
Kedua tangan trap
cetik nyempurit
Distilisasi gerak
orang lari. Posisi
kedua tangan
ditekuk di depan
pinggang dengan
jari-jari membuka,
kecuali jari jempol
ditekuk.
12 Srisik dan menimang
bayi
Distilisasi gerak
orang lari dengan
menggendhong bayi
Lumaksono, nyabet
tangan kanan
Distilisasi gerak
orang berjalan
13 Srisik mundur Distilisasi gerak
orang lari, badan
menghadap ke depan
sedangkan langkah
kaki mengarah ke
belakang
14 Tanjak Distilisasi gerak
orang berdiri. ( pola
tersebut merupakan
sikap berdiri pada
![Page 228: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/228.jpg)
228
tari Jawa untuk putra
yang posisi kedua
kaki membuka dan
ditekuk disertai
badan sedikit
condong ke depan ).
Adegan
Peran
Jenis Gerak
Peran
Jenis Gerak
No
I.
Kasmaran
SW
Presentatif
Keterangan
SL
Presentatif
Keterangan
1 Sindhet Gerak penghubung Besut Gerak penghubung
2 Sekaran laras
kebyokan
Kesannya tenang
Besut Gerak penghubung
3 Kebyokan tangan
kanan-kiri
Kesannya
mengabaikan
Gajah-gajahan Kesannya tenang
dan memperhatikan
4 Kengser Gerak penghubung,
kesannya mendekat
Kengser Gerak penghubung,
kesannya mendekat
5 Kengser Gerak penghubung,
kesannya mendekat
![Page 229: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/229.jpg)
229
Adegan
Peran
Jenis Gerak
Peran
Jenis Gerak
No
II.
Kekudangan
SW
Representatif
Keterangan
SL
Representatif
Keterangan
1 Srisik dengan
membawa anak
Distilisasi gerak
orang lari dengan
menggendong
boneka anak
Tangan kiri
memegang bahu dan
tangan kanan
memegang anak
Menunjukkan kasih
peneliting
2 Tawing kanan Distilisasi gerak
orang melihat ke
kanan
Tawing kanan Distilisasi gerak orang
melihat ke kanan
3 Tawing kanan Distilisasi gerak
orang melihat ke
kanan
Srisik Distilisasi gerak orang
lari
4 Srisik Distilisasi gerak
orang lari
lumaksono Distilisasi gerak orang
berjalan
5 Memberikan anak
kepada suami
Untuk ditimang-
timang
Menerima anak Untuk ditimang-
timang
![Page 230: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/230.jpg)
230
6 Tawing kiri-kanan Distilisasi gerak
orang melihat ke kiri
lalu ke kanan
Menggendong anak Menimang-nimang
boneka anak
7 Lumaksono
lembehan sampur
Distilisasi gerak
orang berjalan yang
kedua tangannya
membawa sampur
Lumaksono Distilisasi gerak orang
berjalan
8 Menerima anak Untuk ditimang-
timang
Memberikan anak
kepada istri
Untuk ditimang-
timang
9 Menggendong anak Menimang-nimang
boneka anak
Lilingan Distilisasi gerak orang
meledek
10 Srisik dengan
membawa anak
Distilisasi gerak
orang lari dengan
menggendong
boneka anak
Lumaksono Distilisasi gerak orang
berjalan
![Page 231: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/231.jpg)
231
Adegan
Peran
Jenis Gerak
Peran
Jenis Gerak
No
II.
Kekudangan
SW
Presentatif
Keterangan
SL
Presentatif
Keterangan
1 Lembehan ke kanan-
ke kiri sambil putar
lalu ukel karno kanan
Kesan meminta
perhatian
Panggel memperhatikan
2 Kawilan Kesan meledek Ukel karno kanan Kesan merespon
3 Ogekan, tangan
kanan menthang
sampur
Kesan meledek
![Page 232: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/232.jpg)
232
Adegan
Peran
Jenis Gerak
Peran
Jenis Gerak
No
III.
Makarya
SW
Representatif
Keterangan
SL
Representatif
Keterangan
1 Sekaran luluran Distilisasi gerak
orang sedang luluran
Laku telu
pondhongan
Distilisasi gerak orang
memondong
2 Tawing kiri Distilisasi gerak
orang melihat ke
samping kiri
Enjer ridhong muter Distilisasi gerak orang
berjalan ke samping
dengan melingkar
3 Lilingan kebyok
sampur
Distilisasi gerak
orang meledek
sambil membawa
sampur
Lilingan kebyok
sampur
Distilisasi gerak orang
meledek sambil
membawa sampur
4 Enjer muter Distilisasi gerak
orang berjalan ke
samping dengan
melingkar
Enjer muter Distilisasi gerak orang
berjalan ke samping
dengan melingkar
![Page 233: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/233.jpg)
233
Dari paparan jenis-jenis gerak presentatif dan representatif yang terdapat pada tari
Bondhan Sayuk, dapat dicermati secara kuantitatif.
a. Jenis gerak Representatif.
No
Adegan
Peran
Jenis Gerak
Jumlah
vokabuler
SW
Representatif
12
1
I. Kasmaran
SL
Representatif
14
SW
Representatif
10
2
II. Kekudangan
SL
Representatif
10
SW
Representatif
4
3
III. Makarya
SL
Representatif
4
4 Jumlah gerak representatif, adegan I, II, dan III 54
b. Jenis gerak Presentatif.
No Adegan Peran Jenis Gerak Jumlah
vokabuler
SW
Presentatif
4
1
I. Kasmaran
SL Presentatif 5
SW Presentatif 4 2
II. Kekudangan
SL Presentatif 4
4 Jumlah gerak presentatif, adegan I dan II 17
![Page 234: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/234.jpg)
234
Jumlah presentase jenis-jenis gerak representatif dan presentatif tari Bondhan Sayuk.
Tari Bondhan Sayuk
No Adegan Jenis gerak jumlah
1 I, II, dan III representatif 54
2 I, II, dan III presentatif 17
3 Jumlah total gerak representatif dan presentatif = 54 + 17 71
4 Jumlah presentase gerak representatif = 54 : 71 X 100. 76,05 %,
5 Jumlah presentase gerak presentatif = 17 : 71 X 100. 23,95 %
3. Polatan (ekspresi wajah).
Ekspresi wajah atau gerak wajah bukannya wajah dalam pengertian objek yang
statis, merupakan sarana untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap
sesuatu yang sedang dikomunikasikan. Dari pengamatan peneliti terhadap ekspresi
wajah pada tari Bondhan Sayuk dapat dijabarkan seperti berikut. Pada adegan 1.
kasmaran, bagian awal menggambarkan rasa kebersamaan, polatan kedua penari tampak
cerah, kepala cenderung tegak, pandangan mata lebih banyak searah dan juga diseling
saling menatap untuk mengekspresikan rasa romantis. Perubahan terjadi ketika rasa
kecewa muncul, polatan suami sedikit tegang terfokus pada istri sedangkan kepala istri
banyak menunduk, tatapan mata tidak merespon suami dan berupaya menghindar.
Rasa kasmaran mulai terbangun kembali ketika sepasang suami dan istri berciuman,
polatan suami dan istri tampak cerah, mulai saling menebar senyuman. Akhir adegan
kasmaran suasana tegang, wajah suami dan istri tampak tegang pandangan mata tajam
dan kepala tegak. Pandangan mata suami istri saling menatap secara tajam dengan
![Page 235: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/235.jpg)
235
didukung gerak istri perlahan-lahan menjauh meninggalkan sedangkan gerak suami
mendekat, polatan terfokus pada istri.
Adegan kekudangan diawali Istri srisik sambil menimang bayi menuju ke stage
mendekati suami, secara perlahan-lahan suasana mulai berubah menjadi gembira,
ekspresi wajah sepasang suami istri tampak cerah. Kegembiraan meningkat dan
kebahagiaan semakin terasa ketika sepasang suami istri secara bergantian menimang
anak, ekspresi wajah keduanya semakin tampak cerah, gembira, senyuman semakin
meningkat dan pandangan mata banyak saling menatap menunjukkan keharmonisan dan
kemesraan. Menginjak adegan makarya, suasana semangat yang diekspresikan secara
bersama-sama antara suami dan istri lewat sekaran-sekaran kebar semakin dinamis
didukung iringan Lancaran Sayuk yang berirama 1/1, sehingga kegembiraan lebih
maksimal dan kebahagiaan semakin mantap.
4. Rias dan busana.
Bentuk rias dan busana tari Bondhan Sayuk mengacu pada busana Jawa yang
sering dipakai pada acara-acara formal sebuah resepsi. Ide yang melatarbelakangi bentuk
rias dan busana yang dipakai bahwa kisah cerita yang diangkat dalam tari Bondhan
Sayuk adalah gambaran kehidupan sepasang suami istri yang berbudaya Jawa. Bagi
orang jawa rias dan dandanan busana yang digunakan pada acara resepsi secara garis
besar untuk wanita memakai kebaya dan bagian atas menggunakan sanggul atau gelung,
sedangkan pria memakai kejawen. Konsep tersebut rupanya merupakan pijakan awal
yang selanjutnya dikembangkan oleh penyusun tari menjadi lebih berfungsi untuk
kebutuhan ekspresi tari. Bentuk rias dan dandanan busana tari Bondhan Sayuk seperti
![Page 236: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/236.jpg)
236
rias dan busana yang dipakai pada peran-peran kethoprak, terutama peran alusan atau
bambangan untuk pria.
Wujud rias istri menggunakan rias cantik dan rias suami menggunakan rias
bagusan yang keduanya tidak menampakkan perubahan karakter secara menyolok.
Dandanan busana untuk istri memakai dodot tanggung (dodot kecil) motif lereng dan
bagian kepala menggunakan gelung besar yang diberi bunga tibandhadha,
cundhukjungkat, dan cundhukmentul layaknya penganten putri berbusana basahan.
Perhiasan yang dipakai putri diantaranya: gelang, kalung, kelat bahu, dan suweng.
Suami memakai dodot tanggung motif lereng, keris dan blangkonan. Perhiasan untuk
putra diantaranya: gelang, kelat bahu, dan kalung. Warna busana dominasi coklat yang
memiliki kesan kalem dan kuning emas terutama perhiasan untuk menambah daya tarik
penonton. Kiranya dapat disimpulkan bahwa rias dan busana yang digunakan dalam tari
Bondhan Sayuk untuk memberi dukungan karakter peran dan mengaktualisasikan jati
diri peran.
5. Pola lantai.
Pola lantai yang dibentuk dari Kinetic body moves merupakan komplementer
keduanya yang diharapkan dapat membantu mengekspresikan suasana yang terdapat
pada masing-masing adegan. Secara prinsip pola lantai yang terdapat dalam tari
Bondhan Sayuk, mencakup dua bentuk utama, yaitu garis lurus dan garis lengkung.
Garis-garis lurus digunakan untuk mengungkapkan keinginan, kemauan yang kuat dan
tegas, seperti aktualisasi adegan awal kasmaran yang menggambarkan kebersamaan
suami dan istri (lihat gambar: 1). Selain itu untuk fase-fase ketegangan ketika istri
hendak meninggalkan suami (lihat gambar: 2).
![Page 237: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/237.jpg)
237
Gambar 1. Gambar 2.
Garis-garis lengkung lebih difungsikan untuk mengungkapkan kesan manis,
lembut, yang banyak terdapat dalam tari Bondhan Sayuk, terutama pada adegan tiga
makarya. Adapun bentuk-bentuk sekaran laku telu pondhongan, lilingan kebyok
sampur, dan enjer ridhong muter yang terkait dengan pola-pola lantai tersebut seperti
tergambar pada paparan berikut.
Gambar 1. Gambar 2.
Gambar 1: pola lantai laku telu pondhongan pada adegan tiga.
Gambar 2: pola lantai lilingan kebyok sampur pada adegan tiga.
![Page 238: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/238.jpg)
238
Gambar 3.
Gambar 3: pola lantai enjer ridhong muter pada adegan tiga.
6. Iringan.
Bentuk iringan tari Bondhan Sayuk merupakan komplementer garap lagu Teks
sastra tembang dan rasa musikal dari garap instrumen gamelan yang berupa gendhing.
Bahasa verbal yang berupa teks sastra tembang yang terdapat dalam tari Bondhan
Sayuk, terdiri dari beberapa garap lagu, yakni: (1) garap sindhenan (2) garap jineman,
dan (3) garap gerongan. Garap sindhenan terdiri dari satu bait yang terdapat pada
iringan Ketawang Mijil Sulastri. Garap jineman mencakup satu bait yang terdapat pada
iringan Ladrang Sayuk. Bentuk garap jineman merupakan garap lagu tembang jawa,
yang penyajiannya dimulai nyanyian solo atau tunggal tanpa iringan instrumen gamelan
kemudian diikuti nyanyian secara koor dengan iringan instrumen gamelan. Maksud
menggunakan garap jineman adalah untuk menonjolkan lagu dan makna yang
terkandung dalam bahasa verbalnya. Sedangkan garap gerongan terdiri dari satu bait
yang terdapat pada iringan Lancaran Sayuk, yang dinyanyikan koor oleh vokalis putra
![Page 239: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/239.jpg)
239
bersama vokalis putri. Susunan iringan tari Bondhan Sayuk seluruhnya dan secara urut
dari adegan kasmaran, kekudangan dan makarya dapat dicermati berikut ini.
Adegan : I. Kasmaran.
Adegan kasmaran sebagai adegan pertama dalam tari Bondhan Sayuk, didukung
beberapa iringan gendhing, antara lain: Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang,
Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt. barang, dan Lancaran lr. pl. pt. barang. Kedudukan
iringan Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang pada adegan ini bersifat nglambari
artinya rasa musikal yang dihasilkan dari garap Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang
berfungsi untuk memberikan ilustrasi terhadap rasa kebersamaan sepasang suami istri.
Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt. barang, yang merupakan iringan kedua setelah Srepek
Rangu-rangu lr. pl. pt. barang, kedudukannya dalam adegan kasmaran ini bersifat
nyawiji. Pengertian nyawiji di sini garap gendhing Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt.
barang implementasinya dengan garap gerak adalah menyatu. Keterpaduan yang
dimaksudkan adalah menyatunya rasa musikal gendhing Ketawang Mijil Sulastri lr. pl.
pt. barang dengan ekspresi vokabuler gerak yang secara komplementer mengungkapkan
suasana kasmaran yang dialami sepasang suami istri yang terjabar dalam rasa: kecewa
dan mesra.
Bentuk menyatunya iringan dengan gerak, dapat dicermati secara komprehensip
dari beberapa elemen, diantaranya: a) rasa musikal dan makna bahasa verbal yang
mengekspresikan rasa kecewa menyatu dengan ekspresi gerak yang menggambarkan
kekecewaan istri, begitu pula rasa musikal dan makna bahasa verbal yang
mengekspresikan rasa cinta menyatu dengan ekspresi gerak yang menggambarkan
kemesraan sepasang suami istri yang ditandai dengan gerak ciuman. b) rasa seleh yang
![Page 240: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/240.jpg)
240
terdapat pada gendhing merupakan iringan yang mendukung rasa seleh pada tari, baik
rasa seleh ringan maupun rasa seleh berat. c) pola gatra yang terdapat pada bentuk
gendhing Ketawang Mijil Sulastri dapat dijadikan tanda mulai bergerak ataupun
berakhirnya suatu gerak pada tari.
Lancaran lr. pl. pt. barang, merupakan iringan yang secara musikal dapat
mengekspresikan suasana tegang yang kedudukannya pada adegan ini lebih bersifat
nglambari. Implementasinya rasa musikal yang berirama 1/1 tersebut mampu
memberikan ilustrasi rasa tegang yang mendukung kekacauan atau ketegangan yang
diekspresikan suami maupun istri. Terkait dengan alur adegan iringan Lancaran lr. pl.
pt. barang tersebut merupakan fase peralihan dari adegan kasmaran menjadi adegan
kekudangan. Adapun bentuk iringan untuk adegan 1: kasmaran, dapat dicermati
paparan berikut ini.
Srepek Rangu-rangu
lr. pl. pt. barang
Buka : kendhang : o o o b xpl o g7
[ 2 7 2 7 2 7 2 7 3 5 2 3
5 6 5 3 5 6 5 3 6 7 6 5 3 2 3 g7
]
suwuk :
XXXXXxx2xxx x7x x Xx2x x x7 3 2 7 g6
Ketawang Mijil Sulastri
lr. pl. pt. barang
![Page 241: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/241.jpg)
241
[ . 2 . 3 . 2 . n7 . 2 . p3 . 7 . g6
. 2 . 3 . 2 . n7 x3x x x3x x x.x x xp.
x3xx Xx XXXx3x x XXx5x x Xxg6
Xx.xxx x.x x x6XXXx x x. 7 5 7 Xxn6x7 x5x6 7
3 p2 X . 7 5 g6
. 2 . 3 . 2 . n7 . 2 . p3 . 2 .
g7
x5x x5x x x.x Xx x. 7 6 5 n3
XXXx5XXXXXXx7 6 2 p7 3 2 7 g6
Lancaran
lr. pl. pt. barang
[ . 7 . 6 . 7 . 3 . 7 . 3 . 7 . g2
. 7 . 2 . 7 . 3 . 7 . 5 . 7 . g6 ]
Adegan : II. Kekudangan
Dalam adegan kekudangan yang mengisahkan menggambarkan kegembiraan dan
kebahagiaan sepasang suami dan istri yang telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang
diharapkan menjadi pewaris keturunan dan berguna bagi pembangunan bangsa dan
negara. Adapun bentuk aktualisasinya diwujudkan sepasang suami dan istri yang sedang
menimang bayi secara bergantian sambil bersenandung tentang harapan-harapan mulia
sebagai orang tua terhadap anak laki-laki kelak setelah menjadi orang dewasa. Harapan-
harapan mulia kedua orang tua terhadap anak laki-lakinya kelak menjadi orang yang
memiliki kepribadian yang baik, tidak sombong, tidak menyeleweng, pekerja
profesional, berpartisipasi aktif dalam pembangunan bangsa dan negara. Dukungan
iringan untuk adegan kekudangan yang mengungkapkan rasa gembira dan rasa bahagia
![Page 242: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/242.jpg)
242
adalah Ladrang Sayuk lr. pl. pt. barang. Garap wiled yang berirama 1 / 8 pada Ladrang
Sayuk lr. pl. pt. barang mengisyaratkan bahwa ungkapan rasa gembira dan rasa bahagia
yang terdapat pada adegan kekudangan ini suasana tampak lebih tenang dan semeleh
(irama tidak tergesa-gesa, pelan, dan mantap).
Kedudukan iringan Ladrang Sayuk lr. pl. pt. barang pada adegan ini sifatnya
mungkus, dan nyawiji. Bentuk mungkus ini ditinjau dari pelaksanaan vokabuler gerak
yang terdapat pada adegan kekudangan hampir seluruhnya menggunakan pola
kendangan kebar atau ciblon yang selalu membungkus pola gerak. Dalam hal ini pola-
pola gerak tari selalu ketat- ketat diikuti pola kendangan. Selain itu iringan Ladrang
Sayuk lr. pl. pt. barang pada dasarnya nyawiji dengan garap geraknya. Pengertian
nyawiji ini mengarah pada pemersatuan dari unsur tari yang berupa vokabuler-vokabuler
gerak kebar yang dinamis dan unsur karawitan yang berupa Ladrang Sayuk lr. pl. pt.
barang dengan irama sigrak, lagu jineman yang riang dan tekanan sedang pada adegan
kekudangan ini adalah untuk pencapaian harmonisasi penyajian. Keterpaduan garap tari
dan garap Ladrang Sayuk dalam rangka mengekspresikan rasa gembira, dan bahagia
sepasang suami dan istri dapat nyawiji dan tercapai. Bentuk iringan untuk adegan 2:
kekudangan dapat dicermati paparan berikut ini.
Jineman Sayuk
laras. pl. pt. barang
![Page 243: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/243.jpg)
243
Buka : celuk :
6 7 XXXXz@cc# XXXXXXxxz6c7 Xxzx5x.x6x5c3
z7cx2 2 2 2 2 X z2x3c2 z7x.c6
Dhuh mas ji - wa ku ba - ya I - ki wus wan - ci
. . y u 3 2 uX y 3 5 z6x5x3x5x6c7 z3x2x7c6
z7x2x.x3x2c7
Ba- pak ne si - tho - le mang-kat ma - kar - ya
5 6 7 z5c6 2 2 z2x3c2 z7x.c6
Sa - wah mu tan - sah a - ngan - ti
. . . . . u . y
. . . . . . . . . . zj2c3 u . . zj2c3 y
Mbok-ne tho-le
. 3 . 2 5 3 2 7
. . 6 z7x x xzj@c# zzzzzzzzzjz6x7x jx5c3 2 y zj7c2
zj2c3 3 7 2 zj3c2 7
Sa-du - rung - e a - nak mu ga - wa - nen mre-ne
5 5 5 z6c7 7 @ # z#c@ 7 z6c7 5 6
Tak ku - dang-e a - nak ku sing ba - gus dhe - we
. 7 . z@x x x x c# z6x c5 3 . z6c7 5 . 3 .
2
Be - suk pin - ter nyam-but ga - we
Ladrang Sayuk
lr. pl. pt. barang
5 2 5 2 5 6 5 3
![Page 244: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/244.jpg)
244
j.3 5 zj5c6 j22 j23 5 zj5c6 2 j.6 6 7 jz@c# zj6c7
zj3c2 zj6c5 3
A-dhuh la - e atak adhuh la - e dha - sar bregas ten a - te - ne
5 3 5 3 6 7 3 2
j.3 5 j.6 j33 j33 5 j.6 3 j.y jz7c2 zj2c3 3 j.2 3
jz7c2 2
A-dhuh la-e atak adhuh la - e cu-kat trampil tu- ma -nda - nge
5 2 5 j2jj j 6 j7j j # j@j j 6 j3j j
2 7
j.3 5 .6 j22 j23 5 j.6 2 6 7 j.# j@# jz6c7 3 jz7c2
7
A-dhuh lae a-tak adhuh lae an-teng ta-jem po - la - ta - ne
2 7 2 7 2 6 3 2
j.7 2j.3 j77 j77 2 j.3 7 j.7 2 j27 y j.3 4 jz3c4
2
A-dhuh lae atak a- dhuh la – e se- so nga - ran di - sing–kir - ke
4 2 4 2 4 3 2 7
j.3 4 kz.xk3c4 j22 j23 j4jk.kz3c4 2 j.6 z7c2 z2c3 3
j.7 jz2c7 jz3c2 7
A-dhuh lae atak a-dhuh la - e la - buh la-bet mringbangsa - ne
2 7 2 7 2 6 3 2
.7 2j.3 j77 j77 2 j.3 7 j.7 2 jz2c3 y j.7 3 zj7c2
2
Adhuh lae a-tak a-dhuh lae o -ra nyle-weng tu - mi – ndak - e
5 2 5 2 5 3 5 6
.3 5 zj5c6 j22 j23 5 zj.xjkj5c6 2 j.6 6 j.3 zj5cy j.2
3 jz5c6 6
Adhuh la - e a-tak a - dhuh la- e wis mbok ne e-nyoh a - nak - e
7 @ 6 3 6 5 3 2
![Page 245: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/245.jpg)
245
. . 7 z@x xj.c# jz6x7xxj6c5 3 . . zj6c7 5 .
zj5x6jx5c3 2
sun ar - sa mang - kat me - ga - we
Adegan : III. Makarya.
Adegan makarya merupakan gambaran semangat bekerja secara bersama-sama,
kompak antara suami dan istri dalam suasana gembira. Rasa yang hendak diekspresikan
pada adegan ini yaitu puncak kegembiraan dan kebahagiaan untuk menyongsong masa
depan yang lebih cerah. Iringan yang mendukung adegan makarya yaitu Lancaran
Sayuk lr. pl. pt. barang dan sebagai mundur beksan (penutup) iringan Ayak-ayakan lr.
pl. pt. barang.
Kedudukan iringan Lancaran Sayuk lr. pl. pt. barang pada adegan ini sifatnya
mungkus, dan nyawiji. Bentuk mungkus ini ditinjau dari pelaksanaan vokabuler gerak
yang terdapat pada adegan tiga hampir seluruhnya menggunakan pola kendangan kebar
atau ciblon yang selalu membungkus pola gerak. Dalam hal ini pola-pola gerak tari
selalu ketat- ketat diikuti pola kendangan. Bentuk nyawiji ini mengarah pada
pemersatuan dua unsur menjadi satu yaitu dari unsur tari yang berupa vokabuler-
vokabuler gerak kebar yang dinamis dan unsur karawitan yang berupa Lancaran Sayuk
dengan irama sigrak, lagu gerongan riang dan tekanan dinamis, sehingga rasanya
menyatu dan harmonis. Sebagai penutup adegan makarya diiringi Ayak-ayakan lr. pl.
pt. barang yang berfungsi nglambari yang memberikan ilustrasi rasa musikal untuk
mundur beksan. Iringan Lancaran Sayuk lr. pl. pt. barang dan Ayak-ayakan lr. pl. pt.
barang secara berurutan dapat dicermati paparan berikut ini.
![Page 246: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/246.jpg)
246
Lancaran Sayuk
lr. pl. pt. barang
. 6 . 2 . 6 . 2 . 6 . 2 . 7 . g6
. . 6 2 . . 6 2 . . 6 2 2 3 5 6
Sa-yuk sa-yuk sa- yuk sa – kan - ca - ne
. 7 . 6 . 7 . 6 . 7 . 6 . 3 . g5
. . 7 6 . . 7 6 . . 7 6 5 2 3 5
Sa - yuk sa- yuk sa- yuk nyam-but ga- we
. 6 . 5 . 6 . 5 . 6 . 5 . 7 . g6
. . 6 5 . . 6 5 . . 6 5 2 3 5 6
Sa - yuk sa- yuk sa - yuk sa - ka - be - he
. 7 . @ . 6 . 3 . 6 . 5 . 3 . g2
. 7 . z@x x x.x x c3 z6c5 3 . z6c7 5 . 3 .
2
SS Sa - yuk mba-ngun ne – ga - ra - ne
Ayak-ayakan
lr. pl. pt. barang
Buka : o o o b o b b g2
. 3 . g2 . 3 . g2 . 5 . g3 . 2 . g7
[ 6 5 6 7 6 5 6 7 3 5 3 g2
3 5 3 g2 5 3 5 g6
5 3 5 g6 5 3 5 g6 5 3 2 g3 6 5 3 g2
3 5 3 g2 3 5 3 g2 5 3 2 g3 6 5 6 g7 ]
Suwuk : x7x x7 6 7 3 2 7 g6
![Page 247: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/247.jpg)
247
Komposit Bahasa Verbal dengan Nonverbal Tari Bondhan Sayuk.
No
Bahasa Verbal
Bahasa Nonverbal
Sastra Tembang Tema,
Adegan, dan
Rasa
Vokabuler gerak
Istri (SW)
Vokabuler gerak
Suami (SL)
Pola lantai Iringan Hubungan
Langsung
Hubungan
Tidak
Langsung
Keterangan
1
Pasihan/
Percintaan.
I. Kasmaran:
Rasa
Kebersamaan
Srisik kanthen
tangan kanan
Lumaksono
ridhong
Srisik kanthen
tangan kanan
Lumaksono ridhong
Garis
lurus
Garis
lurus
Srepek Rangu-rangu lr. pl. pt. barang.
Gong: 1
Gong: 2
ungkapan
cinta yang
mendalam
seorang
suami
terhadap
istrinya,
dengan
harapan
mendapat
perhatian
demi
terjalinnya
kasih cinta
untuk
harmonis
![Page 248: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/248.jpg)
248
Dhuh mas rara,
garwaku wong
manis, aja gawe
kagol
Rasa kecewa
Srisik kanthen
tangan kanan,
laku enjer
menthang tangan
kiri, sindhet
jengkeng, sekaran
laras kebyokan
sembahan.
berdiri kebyokan
tangan kanan-kiri
Srisik kanthen
tangan kanan, besut
nyabet tangan
kanan, besut
Hoyogan,
gajah-gajahan,
songgonompo,
mbalang,
Garis
lengkung
Posisi di
tempat
Garis
lengkung
Gong: 3
Ketawang Mijil Sulastri lr. pl. pt. barang.
Gong: 1
Gong: 2
Gong: 3
V
-
sebuah
rumah
tangga.
![Page 249: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/249.jpg)
249
Amung sira yekti
sulistyane
Jumbuh klawan
rasaningtyas mami,
Binerkahan ugi,
Prasetya wak
ingong
Rasa mesra
Rasa tegang
gerak kengser dan
ngaras
lincak gagak,
mbalik endhan
dan jeblosan
srisik kanthen
tangan kanan
tawing kiri dan
laku enjer
srisik kipat
sampur
kengser dan ngaras
lincak gagak, maju
sautan/nubruk dan
jeblosan
srisik kanthen
tangan kanan
tanjak tawing kiri
srisik kedua tangan
ditekuk trap
pinggang
Garis
lengkung
Garis
lurus
Garis
lurus
Gong: 4
Gong:5
Lancaran
lr. pl. pt.
barang
Gong: 1
Gong: 2,
3, dan 4
Gong: 5
V
V
-
-
![Page 250: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/250.jpg)
250
Srisik sambil
menimang anak
mundur kengser,
nyabet kanan
maju srisik
mundur srisik, maju
tanjak kanan
Gong: 6
dan 7
Gong: 8
Gong:
9,10, dan
11
![Page 251: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/251.jpg)
251
2 Jineman
Ladrang Sayuk
Dhuh mas jiwaku,
baya iki wis wanci,
bapakne si thole,
Rasa mesra
Menimang anak putar ke kanan,
lembehan tangan
kanan, putar ke
kiri – tangan
kanan ukel karno
mbalik tawing
kanan
maju, tangan kiri
memegang bahu
istri dan tangan
kanan memegang
anak sambil
memperhatikan
dengan tawing
kanan
maju panggel dan
pandangan
mengarah ke putri
dan anak
Ukel karno kanan
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis
lengkung
V
V
V
-
-
-
Dalam
menciptaka
n
keharmonis
an keluarga,
seorang istri
mempunyai
peranan
cukup
penting
dalam
mendukung
tugas dan
kewajiban
peran suami
sebagai
kepala
keluarga.
![Page 252: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/252.jpg)
252
mangkat makarya,
sawahmu tansah
hanganti
Mbokne thole,
Sakdurunge
anakmu gawanen
mrene,
Tak kudange anaku
sing bagus dhewe,
mbesuk pinter
nyambut gawe
Rasa mesra,
kebersamaan,
gembira, dan
bahagia.
membelai anak
(berupa boneka
anak)
tawing kanan,
maju mendekati
suami
maju srisik
mendekati suami
untuk
memberikan
anaknya
tawing kiri-kanan
Srisik mendekat istri
panggel
lumaksono
mendekat untuk
menerima anaknya
menimang-nimang
anak
Garis
lurus
Garis
lengkung
Ladrang
Sayuk lr.
pl. pt.
barang
V
V
V
V
V
-
-
-
-
-
![Page 253: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/253.jpg)
253
adhuh lae, atak
adhuh lae, dasar
bregas ten atene
adhuh lae, atak
adhuh lae,
cukat trampil
tumandange
adhuh lae, atak
adhuh lae,
anteng tajem
polatane
adhuh lae, atak
adhuh lae,
sesongaran
disingkirke
adhuh lae, atak
adhuh lae,
labuh labet mring
Lumaksono
lembehan
sampur, kawilan
Menerima anak
Menimang anak
Menimang anak
Menimang anak
lumaksono putar
memberikan anak
kepada istri
menthang tangan
kiri – ogekan
lilingan
lilingan
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Kenong: 1 Kenong: 2 Kenong: 3 Kenong: 4 (Gong : 1) Kenong: 1
V
V
V
V
V
-
-
-
-
-
Harapan
orang tua
terhadap
anaknya
laki-laki
yang masih
dalam
timangan
supaya
kelak
menjadi
seorang
yang
berperilaku
baik
mengutama
kan
kebajikan,
kerja keras,
dan
mengutama
kan
![Page 254: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/254.jpg)
254
bangsane
adhuh lae, atak
adhuh lae,ora
nleweng tumindake
adhuh lae, atak
adhuh lae,wis
mbokne enyoh
anake
sun arsa mangkat
megawe
srisik
memberikan anak
kepada temanten,
srisik
Lumaksono
lumaksono
Garis
lurus
Kenong: 2 Kenong: 3
V
V
-
-
kepentingan
umum untuk
membangun
bangsa.
3
Gerongan Sayuk
lancaran
Sayuk lr.
pl. pt.
barang
![Page 255: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/255.jpg)
255
sayuk, sayuk, sayuk,
sak kancane
Sayuk, sayuk, sayuk,
nyambut gawe
Sayuk, sayuk, sayuk,
sakabehe
Sayuk mbangun
negarane
Sayuk, sayuk, sayuk,
sak kancane
Sayuk, sayuk, sayuk,
nyambut gawe
Sayuk, sayuk, sayuk,
sakabehe
Sayuk mbangun
negarane
Sayuk, sayuk, sayuk,
Rasa
gembira,
bahagia
Trap jamang -
tawing
Kawilan - tawing
Laku telu sampir
sampur
Enjer ridhong
Lilingan kebyok
Luluran
Tawing kiri
Laku telu
pondhongan
Enjer ridhong
Lilingan kebyok
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis
lengkung
Garis
Gong: 1
Gong: 2
Gong: 3
Gong: 4
Gong: 5
Gong: 6
Gong: 7
Gong: 8
Gong: 9
-
-
-
-
-
V
V
V
V
V
Gambaran
kehidupan
sebuah
keluarga
yang rukun,
damai,
harmonis,
dan
berupaya
menjalani
kehidupan
secara
bersama-
sama untuk
membina
dan
mendidik
anak kelak
menjadi
orang yang
berguna
![Page 256: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/256.jpg)
256
sak kancane
Sayuk, sayuk, sayuk,
nyambut gawe
Sayuk, sayuk, sayuk,
sakabehe
Sayuk mbangun
negarane
sampur
Enjer penthangan
kedua tangan
melingkar
Srisik kanthen
tangan kanan dan
mengambil anak
Lumaksono
sambil menimang
anak sebagai
cucuklampah
temanten
(selesai).
sampur
Enjer penthangan
kedua tangan
melingkar
Srisik kanthen
tangan kanan dan
mengambil anak
Lumaksono sebagai
cucuklampah
temanten (selesai).
lengkung
Garis
lengkung
Garis
lurus
Garis
lurus
Gong: 10
Gong: 11
Gong: 12
Ayak-
ayakan lr.
pl. pt.
barang
-
V
bagi bangsa
dan negara.
![Page 257: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/257.jpg)
257
Dari komposit bahasa verbal dan nonverbal pada tari Bondhan Sayuk
terdapat hubungan yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hubungan bahasa
verbal dan nonverbal bersifat langsung artinya bahwa makna bahasa verbal sastra
tembang sesuai dengan makna bentuk kinetic body moves dari bagian bahasa
nonverbal. Sedangkan hubungan bahasa verbal dan nonverbal bersifat tidak
langsung artinya bahwa makna bahasa verbal sastra tembang tidak sesuai dengan
makna bentuk kinetic body moves. Secara kuantitatif hubungan bahasa verbal dan
nonverbal pada tari Bondhan Sayuk yang bersifat langsung tampak lebih
mendominasi dibandingkan dengan yang tidak langsung. Adapun persentasenya
dapat dicermati pada uraian berikut.
Tari Bondhan Sayuk
No Adegan Hubungan bahasa verbal
dengan nonverbal
jumlah
1 I, II, dan III Langsung 18
2 I, II, dan III Tidak langsung 6
3 Jumlah hubungan langsung dan tidak langsung = 18+
6
24
4 Jumlah persentase hubungan langsung = 18: 24 X 100. 75 %,
5 Jumlah persentase hubungan tidak langsung = 6: 24 X
100.
25 %
7. Properti boneka.
Boneka anak yang dibalut dengan sehelai kain dimaksudkan sebagai simbolisasi
anak (bayi) yang masih dalam timangan seorang ibu. Rupanya terdapat sebuah
harapan dari simbolisasi boneka anak tersebut yaitu bagi pasangan temanten untuk
segera diberi keturunan anak sebagai pewaris keluarga. Boneka anak yang sering
![Page 258: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/258.jpg)
258
digunakan dalam tari Bondhan Sayuk dilengkapi dengan baterai sehingga dapat
bersuara layaknya anak yang sedang menangis, hal ini untuk kebutuhan kemasan
seni pertunjukan supaya lebih menarik dan memikat penonton. Digunakannya
boneka pada tari Bondhan Sayuk sangat terkait dengan keinginan atau harapan
seniman penyusunnya yang ketika itu menghendaki diberi anak pertama lahir
seorang anak laki-laki.
B. Faktor Genetik.
Kehadiran Genre Tari Pasihan Dalam Seni Pertunjukan Jawa
Segala sesuatu yang dihadapi manusia dimuka bumi ini dalam
kehidupannya semua mempunyai temporalitas atau historisitas. Semua berawal
dan berakhir dalam suatu proses yang terus menerus melalui dimensi waktu
(Ibrahim Alfian, 1999: 2). Kehadiran genre tari pasihan di Surakarta merupakan
suatu proses yang memakan waktu cukup lama dalam sejarah yang penting bagi
kehidupan dan perkembangan seni tradisional dalam seni pertunjukan Jawa.
Munculnya genre tari pasihan sebagai proses sejarah merupakan permasalahan
yang hendak dipaparkan sebagai awal bagian faktor genetik untuk mengantar pada
analisis-analisis berikutnya. Untuk mengungkap latar belakang munculnya genre
tari pasihan dalam kurun waktu sejarah, akan diamati sejak adanya bentuk garapan
tari dengan tema percintaan sejak abad ke VIII zaman Mataram Kuno hingga
sekarang.
Masa embrio tari pasihan sejak Abad ke VIII sampai abad ke XIX. Bila
kita runut lebih cermat, garapan tari yang bertemakan percintaan di Jawa
diperkirakan telah ada sejak abad IX, seperti yang tertulis pada prasasti Balitung.
Selain wayang, prasasti Balitung juga memberi keterangan bahwa pertunjukan
![Page 259: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/259.jpg)
259
dramatari yang membawakan wiracarita Mahabarata dan Ramayana juga sudah
ada sejak zaman Mataram Kuna. Meskipun istilah dramatari tidak disebutkan,
tetapi kemungkinan besar yang dipergunakan pada waktu itu adalah bentuk
wayang wwang. Istilah wayang wwang baru dijumpai pada tahun 930 A.D. yang
tergores dalam prasasti Wimalasrama dari Jawa Timur. Gaya dan tehnik tarinya
yang digunakan kemungkinan besar telah terekam pada relief Candi Borobudur
dan Prambanan (Soedarsono, 1990: 4-5).
Bertolak dari sumber yang menyebutkan bahwa wayang wwang merupakan
bentuk dramatari dan wiracarita yang dibawakan sejak zaman Mataram Kuna,
kemungkinan besar bentuk garapan tari yang bertemakan percintaan juga sudah
ada sejak zaman itu. Mengingat di dalam wiracarita Ramayana dan Mahabarata
juga diwarnai oleh tema percintaan. Rupanya sudah dapat diduga bahwa dalam
kedua wiracarita tersebut terdapat adegan percintaan antara tokoh-tokoh utamanya,
seperti adegan percintaan Sugriwa dan Dewi Tara, percintaan Rama Wijaya
dengan Sinta, percintaan Arjuna dengan Sembadra, percintaan Puntadewa dengan
Drupadi, dan sebagainya.
Setelah Kerajaan Mataran Kuna di Jawa Tengah runtuh, di Jawa Timur
muncul kerajaan-kerajaan, di antaranya Medang, Jenggala, Kediri, Singasari, dan
Majapahit (abad X sampai ke XVI), dramatari Jawa Tengah yang bernama wayang
wwang tetap dilestarikan di kerajaan-kerajaan baru tersebut dengan membawakan
wiracarita yang sama yaitu Ramayana dan Mahabarata, Mengingat zaman Jawa
Timur perkembangan kesusasteraan sangat maju, kemudian muncul cerita baru
yaitu cerita Panji, maka lahir pula dramatari baru yang bernama Raket
(Soedarsono, 1990: 7). Adapun cerita Panji ini mengisahkan perjalanan cinta Panji
![Page 260: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/260.jpg)
260
Inukertapati dengan Sekartaji. Dengan demikian Raket merupakan bentuk
dramatari yang bertemakan percintaan yang didalamnya sudah barang tentu
terdapat garap adegan percintaan antara Panji Inukertapati dengan Sekartaji yang
hidup dan berkembang pada zaman Majapahit. Cerita Panji merupakan cerita yang
sangat terkenal di wilayah Asia Tenggara. Bila wiracarita Ramayana jelas berasal
dari India, maka tidak dapat disangkal lagi bahwa cerita Panji berasal dari Jawa.
Cerita Panji ini menjadi mendarah-daging di kalangan masyarakat Asia Tenggara
karena kemudian dianggap sebagai salah satu cerita Jataka atau kelahiran Budha
(Soedarsono, 1999: 133). Maka tidaklah mengherankan apabila cerita Panji ini
juga merupakan tema yang digunakan dalam genre tari pasihan yang hidup dan
berkembang hingga sekarang.
Runtuhnya Kerajaan Majapahit diawali abad ke XVI, kekuasaan politik
dan budaya Jawa mulai muncul dan berkembang di Jawa Tengah di bawah raja-
raja penganut Islam seperti Demak, Pajang, dan kemudian Mataram Baru.
Gamelan, wayang, dan wayang topeng kemungkinan besar merupakan
perkembangan dari Raket, tetap populer pada masa itu. Menurut tradisi Jawa, para
wali terutama Sunan Kalijaga yang selalu dikatakan sebagai pencipta topeng-
topeng yang dipergunakan untuk pertunjukan wayang topeng. Adapun topeng
yang diciptakan untuk pertunjukan wayang topeng terdiri dari sembilan, yaitu
tokoh-tokoh: Panji Kasatriyan, Candrakirana, Gunungsari, Andaga, Raton,
Klana, Danawa (raksasa), Benco (sekarang Tembem atau Doyok), dan Turas (
sekarang Penthul atau Bancak) (Soedarsono, 1999: 18-19). Kiranya dapat diduga
bahwa wayang topeng tersebut merupakan bentuk dramatari yang menggunakan
topeng dan membawakan cerita Panji yang di dalamnya tetap masih terdapat garap
![Page 261: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/261.jpg)
261
adegan percintaan antara Panji Kasatriyan dengan Candrakirana yang dilestarikan
pada zaman Mataram Jawa Tengahan (abad ke XVI sampai abad ke XVIII).
Ketika Mataram pecah menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1755, pertunjukan wayang topeng masih
dilestarikan oleh Kasunanan Surakarta. Kasultanan Yogyakarta di bawah
Hamengku Buwana I, tidak melestarikan wayang topeng, tetapi menggubah satu
bentuk dramatari baru yaitu wayang wong dengan membawakan wiracarita
Mahabarata dan kemudian di Kasunanan di bawah pemerintahan Paku Buwana X,
bentuk garapan tari yang membawakan tema percintaan tetap lestari dan terdapat
pada bentuk Tayub, Bedaya Ketawang, Bedaya kadukmanis, dan Wayang Wong.
Pertunjukan Wayang Wong dengan lakon-lakon Nayarana Rabi, Puntadewa Rabi,
Baladewa Rabi, dan Gatutkaca Rabi pada acara memeriahkan perkawinan Puteri
Juliana dengan Pangeran Bernhard van Lippe Biesterfeld tahun 1937 di Sriwedari,
menunjukkan bahwa garapan tari dengan tema percintaan masih dilestarikan dan
cukup berkembang baik (Rusini, 1994: 2-3). Mencermati bentuk-bentuk garapan
tersebut rupanya bentuk garapan tari pasihan sejak zaman Mataram Kuna di Jawa
Tengah (abad ke VIII ) hingga zaman Mataram Baru di bawah pemerintahan Paku
Buwana X ( abad ke XIX), masih terikat dan terkait dengan kelompok, adegan,
maupun peran-peran lain. Baru pada sekitar tahun 1940-an muncul tari Gatutkaca-
Pergiwa.
Munculnya Tari pasihan sejak 1920-1945. Menurut Tohiran dan Sarwo
Rini, bahwa tari Gatutkaca-Pergiwa itu telah muncul sebelum Indonesia merdeka
tahun 1945 (Maryono, 2006: 19). Tari Gatutkaca-Pergiwa adalah bentuk tari
pasihan yang merajut percintaan antara Raden Gatutkaca dengan Dewi Pergiwa.
![Page 262: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/262.jpg)
262
Tari pasihan ini dapat diduga merupakan sempalan dari sebuah garapan wayang
wong yang membawakan lakon Gatutkaca Rabi. Munculnya tari Gatutkaca-
Pergiwa diperkirakan pada sekitar tahun 1920 hingga 1945-an yang berarti pula
merupakan awal munculnya tari pasihan di Surakarta. Kiranya hal ini dapat
diterima karena pertama, berita mengenai pertunjukan wayang wong dengan
lakon-lakon rabi atau kromo (kawin) banyak bermunculan pada tahun 1920-an
ketika wayang wong mengalami perkembangan pesat di masa pemerintahan
Hamengku Buwana VIII. Di samping itu wayang wong di Surakarta juga telah
membawakan lakon-lakon rabi seperti Gatutkaca Rabi terjadi pada tahun 1937,
yaitu untuk merayakan perkawinan Puteri Juliana dengan Pangeran Bernhard van
Lippe-Biesterfeld di Sriwedari; kedua, pernyataan Tohiran sebagai pengelola
wayang wong dan Sarwo Rini sebagai seniman pada waktu itu menyatakan bahwa
tari Gatutkaca-Pergiwa itu sudah ada sebelum Indonesia merdeka tahun 1945;
ketiga, pernyataan Maridi yang mengungkapkan bahwa tari-tari yang sering pentas
pada acara-acara orang punya kerja pada tahun 1940-an, antara lain Gatutkaca
Gandrung, Bondan, Anoman-Anggada, Gatutkaca-Sekipu, Janger (dari Bali),
Bambangan-Cakil, Klono, dan sebagainya.
Rupanya tidak benar apabila ada berita yang menganggap bahwa tari
pasihan Raden Irawan dengan Dewi Wanuhara merupakan tari pasihan yang
pertama kali muncul di Jawa pada tahun 1920-an. Hal ini berdasarkan rekaman
video tari yang menggambarkan percintaan Raden Irawan dengan Dewi Wanuhara
tersebut merupakan rekaman sebagian dari adegan percintaan yang terdapat dalam
wayang wong lakon Sri Suwela, jadi bukan garapan tari pasihan yang sudah
mandiri (lihat video wayang wong: koleksi ASKI sekarang ISI Surakarta, nomor:
![Page 263: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/263.jpg)
263
108). Akan tetapi garap tari dengan tema percintaan tersebut lebih sebatas
memberi gambaran tentang bentuk embrio tari pasihan yang terdapat di dalam
wayang wong. Kehidupan kesenian dalam kurun waktu tahun 1942-1949, dapat
dikatakan bahwa dalam periode itu hampir tidak ada kegiatan-kegiatan yang
berarti. Hal itu disebabkan pemerintahan Jepang melarang setiap kegiatan
berkumpul, dan selama perang kemerdekaan hampir semua kegiatan diorientasikan
untuk memenangkan perang.
Munculnya Genre Tari pasihan sejak 1956-1962. Pada peristiwa budaya
tahun 1956 di Pura Mangkunegaran yang lebih dikenal dengan sebutan pertemuan
tiga kota yaitu Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung, muncul genre baru yaitu
genre tari pasihan. Pertemuan budaya tiga kota ini merupakan pertemuan ke-2,
kesinambungan dari pertemuan pertama di Yogyakarta. Pada pertemuan di Pura
Mangkunegaran masing-masing peserta menyajikan tari-tarian menurut gaya yang
dimiliki. Surakarta menyajikan tari pasihan ‘Rara Mendut-Pranacitra’,
Yogyakarta menampilkan tari pasihan ‘Bahula-Retna Manggali’, sedangkan
Bandung menyajikan tari-tarian seperti: tari Puja, Srigati, Sekar putri, Dewi
Serang, Sulintang, Pamindo, Kupu-kupu, Golek Reneka, Graeni, Panji, dan tari
Samba. Menurut Soedarsono kehadiran genre tari pasihan ini terpacu oleh
munculnya tari Oleg Tambulilingan yang merupakan satu-satunya tari duet
percintaan di Bali yang telah muncul pada tahun 1952. Selain itu, tampaknya
munculnya genre tari pasihan di Jawa akibat peralihan kekuasaan dari
pemerintahan kerajaan ke pemerintaahan republik yang lebih mengutamakan cara-
cara demokrasi. Di samping itu perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam
![Page 264: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/264.jpg)
264
masyarakat mempunyai peran yang cukup besar dalam membentuk dan
mempengaruhi lahirnya genre tari pasihan saat itu.
Pada tahun 1959, muncul tari Bondhan Tani yang disajikan secara
berpasangan dengan mengacu tema percintaan. Bondhan Tani merupakan tari
pasihan yang menggambarkan pasangan suami dan istri di dalam kebersamaannya
mengolah sawah sebagai lahan pertanian. Berawal dari menggarap sawah,
menanam padi hingga mengambil hasilnya (memanen) dilakukan secara gotong
royong oleh sepasang suami-istri. Sekitar tahun 1962, muncul tari duet Satya Bakti
yang membawakan tema percintaan dan perjuangan. Rupanya tari Satya Bakti
merupakan hasil interpretasi terhadap kesadaran bela negara yang saat itu sudah
mulai memudar di kalangan masyarakat. Hal ini terjadi akibat situasi politik
negara yang mulai rawan, yaitu masing-masing organisasi politik saling
mencurigai dan mulai berebut massa untuk menguasai pemerintahan.
Masa menjelang tahun 1965, situasi negara betul-betul semakin genting,
bentuk-bentuk kesenian yang mampu untuk mempengaruhi massa seperti
Ketoprak dan Ludruk menjadi rebutan dua partai besar yaitu Partai Nasional
Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu muncul tari
yang menggambarkan kehidupan rakyat kecil seperti tari Tani, tari Nelayan, tari
Gotong-royong, dan sebagainya. Rupanya bentuk-bentuk tari yang sifatnya masal
dan bertemakan kerakyatan, anti feodalisme yang dikembangkan PKI hidup subur,
akibatnya seni yang berasal dari istana terdesak bahkan dimusuhi karena dianggap
tidak merakyat dan tidak dapat untuk menarik massa. Maka wajar apabila bentuk-
bentuk tari duet percintaan yang sudah ada tidak dapat berkembang karena pada
![Page 265: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/265.jpg)
265
dasarnya tari-tarian duet percintaan yang menjadi genre ini merupakan tari-tarian
tradisional yang mengacu pada tarian istana.
Setelah tahun 1965, terjadi perubahan tatanan politik sangat kuat yang kita
sebut Orde Baru, yaitu kebebasan individu mulai dijamin, maka mulai
bermunculan karya-karya individual. Hal itu tidak terlepas dari kondisi stabilitas
keamanan yang berangsur-angsur mulai pulih dan terkendali serta kembali normal.
Pembangunan nasional mulai terprogram secara periodik dan memiliki arah,
tujuan, dan jangkauan yang jelas dan transparan, sehingga pembangunan dari
berbagai bidang mulai digerakkan untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan
makmur. Kemitrasejajaran yang menyangkut kedudukan wanita dengan laki-laki
tampak semakin meningkat dalam berbagai aspek, baik hukum, politik, ekonomi,
dan lainnya. Banyak praktisi hukum wanita mulai bermunculan, para politisi
wanita semakin diperhitungkan dalam elite politik, dan para ekonom wanita serta
wanita-wanita karier hadir hampir pada semua sektor publik, sehingga
kemitrasejajaran antara kaum wanita dan kaum pria mulai tampak.
Pengaruh budaya Barat, baik yang berujud buku-buku porno, film-film
cinta hingga film yang berbau porno dan juga mode-mode pakaian yang cenderung
pamer tubuh, itu semua tidak dapat disangkal telah mempengaruhi pola pikir
hubungan antar remaja. Masing-masing mempengaruhi pola pikir hubungan antar
remaja. Masing-masing di antara mereka secara aktif dan berani memutuskan
pilihannya sendiri bahkan menolak jika memang dirasa tidak cocok ataupun tidak
sesuai dengan kehendaknya. Tentu saja faktor-faktor itu semua mempengaruhi
bangkitnya genre tari duet percintaan untuk lebih bergerak hidup dan berkembang
dalam menyongsong kebutuhan hidup masyarakat.
![Page 266: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/266.jpg)
266
Pada Tahun 1970 S. Maridi sebagai seorang seniman yang kreatif
menawarkan hasil karyanya yang berbentuk tari duet percintaan yaitu Karonsih.
Pada awalnya, tari Karonsih ini disusun atas permintaan dari panitia resepsi Ibnu
Harjanto dari Kalitan (Maryono, 1991: 2). Bentuknya sangat lekat dengan bentuk-
bentuk tari tradisional gaya Surakarta, baik mengenai koreografi, rias, busana, dan
garap iringannya. Penampilan perdana oleh Maridi sebagai Panji Inu Kertapati dan
Endang Susilawati membawakan peran Sekartaji. Tari Karonsih adalah salah satu
tari duet percintaan antara tipe karakter putri luruh dengan putra alus yang
bersumber pada cerita Panji. Pada awalnya tari Karonsih disusun berdasarkan
fragmen Topeng Klono Bodo yang telah diciptakan Maridi, tahun 1969 dalam
rangka peresmian Yayasan Kesenian Indonesia ( YKI ).
Keberadaan tari Karonsih dalam budaya Jawa sejak tahun 1970 telah
menjadi bagian yang seolah-olah tidak dapat dipisahkan terutama pada acara-acara
upacara perkawinan. Rasanya menjadi kurang utuh apabila dalam acara resepsi
perkawinan tidak hadir tari Karonsih sebagai penutup pesta tersebut. Kehadiran
tari Karonsih menjadi sangat penting karena pada perkembangannya bahwa tari
Karonsih ditempatkan sebagai sarana upacara perkawinan yang memiliki nilai
simbolik terhadap sepasang temanten. Dengan semakin seringnya tampil di acara-
acara resepsi perkawinan, tari Karonsih mengalami perkembangan yang sangat
pesat. Indikasi yang dapat diamati hingga sekarang, menurut Wahyu Santoso
Prabowo sebagai penari tari Karonsih yang telah dimulai sejak tahun 1973 yaitu
munculnya istilah ‘Karonsihan’. Awalnya bagi penanggap dan kebanyakan
masyarakat tidak memahami tari Karonsih, sehingga asal melihat tari-tarian yang
berbentuk duet percintaan semotif Karonsih, seperti : Driasmara, Lambangsih,
![Page 267: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/267.jpg)
267
Enggar-enggar, Langen Asmara, tidak terkecuali juga Karonsih dan lainnya,
mereka akan menyebutnya tari Karonsihan (Maryono, 2006: 28). Selain itu, tari
Karonsih lebih awal hadir di dalam upacara-upacara perkawinan adat Jawa dan
berkembang pesat hingga dijadikan sebagai bagian upacara ritual perkawinan
karena dianggap mempunyai nilai simbolik yang tinggi terutama bagi
kelangsungan kehidupan sepasang mempelai, sehingga tari Karonsih ini telah
mengakar pada masyarakat Jawa yang dalam kehidupannya banyak dipenuhi hal-
hal yang berbau simbolik.
Kehadiran tari Karonsih di tengah-tengah kehidupan masyarakat dan telah
menjadi bagian dari kebutuhan sosialnya, mempunyai pengaruh cukup besar yaitu
telah dapat memacu dan memotivasi terhadap seniman-seniman di kalangan
tradisional. Pengaruhnya dapat dilihat dengan munculnya berbagai bentuk tari duet
percintaan, seperti : tari Endah, tari Lambangsih, tari Gesang Rahayu, tari
Bondhan Sayuk, tari Enggar-enggar, tari Driasmara, tari Jayaningrat, tari Kusuma
Ratih, tari Setyaningsih, tari Langen Asmara, dan tari Kusuma Aji. Secara objektif
perkembangannya dapat dicermati pada struktur sajian, gerak, dandanan busana,
iringan, dan properti. Selain itu penyebaran tari Karonsih mengalami kemajuan
sangat pesat sejak tahun 1970 hingga sekarang. Kehidupan Karonsih menyebar
meluas di wilayah Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta,
Jakarta, dan Jawa Timur.
Karya tari Bondhan Sayuk disusun oleh Sunarno pada tahun 1979. Tema
yang diangkat menggambarkan percintaan manusia secara universal, yang lebih
mengarah pada perjalanan hidup sepasang manusia dari kalangan rakyat. Menurut
Sunarno, tari Bondhan Sayuk lebih tepat untuk gambaran sepasang temanten
![Page 268: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/268.jpg)
268
maupun sebuah keluarga baru yang belum memiliki anak (wawancara, 2008).
Gagasan awal terciptanya tari Bondhan Sayuk adalah sebuah ekspresi pribadi
Sunarno yang menginginkan anak laki-laki untuk putera pertamanya. Keinginan
tersebut rupanya diridhohi oleh Sang Pencipta, anak pertama laki-laki bahkan anak
kedua juga laki-laki dan anak ketiganya baru putri. Dalam perjalanan waktu tari
Bondhan Sayuk sangat diminati oleh masyarakat hingga sekarang, yang pertama
merupakan hiburan yang tepat dalam sebuah resepsi perkawinan dan kedua
dimaknai sebagai simbolik sepasang suami dan istri yang hidup bahagia yang
layak untuk diteladani sepasang temanten. Perkembangan genre tari pasihan
bagaikan cendawan dimusim penghujan ini tidak terlepas dari tangan-tangan
kreatif para koreografer tari seperti Maridi dan Sunarno. Meluasnya sebaran genre
tari pasihan tidak terlepas dukungan iringan kaset yang banyak dijual di toko-toko
serta eksisnya para penari di berbagai kesempatan dalam rangka memenuhi
kebutuhan sosial masyarakat.
Perkawinan merupakan salah satu dan suatu saat peralihan yang terpenting
pada life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia, yaitu peralihan dari tingkat
hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Pesta dan upacara pada saat peralihan
sepanjang life-cycle itu merupakan suatu hal yang universal yang hampir ada pada
setiap budaya manusia, namun tidak semua saat peralihan itu dianggap sama
pentingnya pada tiap-tiap budaya. Sifat universal pesta dan upacara sepanjang life-
cycle terjadi karena adanya suatu kesadaran secara umum di dalam budaya
manusia, bahwa setiap tingkat baru dalam life-cycle itu berarti menghantarkan si
individu ke suatu tingkat dan lingkungan sosial yang baru dan lebih luas.
![Page 269: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/269.jpg)
269
Di dalam aktivitas budaya manusia ada yang menganggap bahwa saat
peralihan dari tingkat sosial tertentu ke tingkat sosial lainnya itu merupakan crisis-
rites yang penuh bahaya, gawat, baik secara nyata maupun gaib (Koentjaraningrat,
1972:89-90). Periode transisi tersebut juga disebut periode liminal yang
merupakan fase tengah dalam skema ritus transisi dari praliminal untuk menuju
pascaliminal. Dalam periode liminal ini seorang liminar berada dalam keadaan
setengah-setengah, tidak menentu, dan ragu-ragu (Darsiti Soeratman, 1989: 157).
Untuk itu crisis-rites bagi seorang liminal sangat penting, mengingat upacara-
upacara pada masa-masa melampaui saat-saat krisis sering dimaksudkan untuk
menolak bahaya gaib yang mengancam individu dan lingkungan. Demikian halnya
yang terjadi pada budaya masyakat Jawa di dalam melangsungkan sebuah upacara
adat perkawinan. Bagi masyarakat Jawa upacara tersebut merupakan sebuah
upacara yang sangat sakral sepanjang daur hidupnya. Kesakralan itu sesuai dengan
pendapat Soedarsono mengenai hal-hal yang dianggap penting dalam suatu
upacara ritual yaitu waktu, tempat, pelaku, perlengkapan, dan pimpinan upcara
tertentu. Ketentuan-ketentuan yang telah berlaku dalam upacara tersebut mereka
yakini jika dilaksanakan dengan taat dan benar membawa berkah dan keselamatan,
sebaliknya jika pelaksanaan tidak mentaati konvensi-konvensi yang telah berlaku,
mereka takut tertimpa malapetaka (Soedarsono, 1990: 4).
Bagi masyarakat Jawa yang masih lekat dengan budayanya, segala ritual
yang menyangkut dengan perjalanan hidupnya banyak diselimuti dengan simbol-
simbol yang diharapkan dapat memberikan petuah, pendidikan, suritauladan yang
bermakna untuk keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan hidup. Berkaitan
dengan tindakan simbolik dan magis simpatetis bagi masyarakat Jawa dalam
![Page 270: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/270.jpg)
270
perkawinan, diperlukan kekuatan-kekuatan tertentu. Kekuatan tersebut antara lain
berupa magis simpatetis yang diwujudkan dengan tindakan atau perbuatan yang
dapat melambangkan terjadinya pembuahan, yakni adanya hubungan antara pria
dan wanita. Hubungan dimaksud pada masyarakat yang masih melestarikan
budaya purba kadang-kadang dilakukan lebih realistis (Soedarsono dalam
Soedarso, 1991: 35). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Koch
Grundberg yang menggambarkan sebuah tari kesuburan dari suku Indian Coneba
di Brasil, yang diekspresikan para penari dengan membawa gambar tiruan organ-
organ wanita dengan cara sebagai berikut.
Stamping with the right foot and singing, they dance with the upper part of their bodies bent forwards. Suddenly they jump wildly along with violent coitus motions and loud groans.... They carry the vertility into every corner of the houses.... the jump among the women – the knock the phalli one against another.... (dalam Richard Kraus, 1969: 21). Pada masyarakat yang sudah lebih maju, tindakan yang dapat
melambangkan terjadinya pembuahan, yakni adanya hubungan antara pria dan
wanita, dilakukan secara simbolis. Hal ini terbukti pada masyarakat Jawa
sekarang yang sudah mengalami kemajuan, berkembang menuju masyarakat
modern. Mereka dalam melakukan upacara perkawinan, untuk mendapatkan
kesuburan dengan cara menanggap jenis tari duet percintaan atau tari pasihan yang
merupakan tarian kesuburan yang diekspresikan lewat sebuah garapan gerak-gerak
presentatif dan representatif, penuh simbolis dan mengandung makna nilai-nilai
percintaan yang sangat berarti bagi kehidupan.
Salah satu sarana upacara perkawinan adat Jawa yang cukup penting
adalah tari pasihan. Hampir dapat dipastikan bahwa pada setiap upacara
perkawinan akan hadir tari pasihan. Rupanya, sudah mengakar pada budaya
![Page 271: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/271.jpg)
271
masyarakat Jawa, yaitu pada setiap ada acara upacara perkawinan akan hadir tari
pasihan yang hendak diteladani oleh kedua mempelai. Peristiwa budaya ini
membuat kehadiran tari pasihan dalam upacara perkawinan sangat ditunggu-
tunggu masyarakat, mengingat merupakan satu-satunya bentuk sajian tari yang
bermakna, baik secara simbolik maupun sebagai santapan estetis terasa menyatu
dengan situasi upacara.
Konsepsi Bahasa Verbal dan Nonverbal Tari Karonsih dan Tari Bondhan
Sayuk.
Kehadiran genre tari pasihan pada ritual upacara resepsi perkawinan
merupakan bahasa komunikasi seorang seniman terhadap penghayat. Sebagai
media komunikasi genre tari pasihan diharapkan mampu menyampaikan pesan,
lewat komplementer bahasa verbal dan nonverbal. Pemilihan bahasa verbal dan
nonverbal rupanya mengalami proses penyeleksian yang ketat dengan harapan
dapat dihayati oleh penonton. Karya tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk
merupakan media aktualisasi bagi seniman dalam realitas masyarakat sebagai
sarana ekspresi jiwa untuk diinteraksikan kepada publik untuk menggapai sebuah
cita-cita dan pemenuhan akan kebutuhan hidup. Bagaimanapun acuhnya seorang
seniman nampaknya terhadap publik, ia menciptakan sebuah karya dengan
harapan dapat dihayati. Ekspresi diri semata tidak akan memuaskan, maka
dibutuhkan olehnya juga sebuah penghargaan. Wujud penghargaan adalah dapat
diterimanya karya tari tersebut oleh masyarakat, untuk itu dibutuhkan kecermatan
dan kreatifitas seorang seniman dalam menciptakan karya tari yang mencakup
bahasa verbal dan nonverbal.
![Page 272: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/272.jpg)
272
Berdasarkan informasi dari seniman penyusun, konsep yang mendasari
tentang dominasi jenis-jenis tindak tutur direktif yang terdapat pada tari Karonsih
dan Tari Bondhan Sayuk adalah terkait dengan fungsi bahasa verbal yang terdapat
dalam tari pasihan utamanya untuk suritauladan. Secara intern jenis-jenis tindak
tutur yang terdapat dalam tari pasihan menggambarkan tentang nasehat-nasehat
cinta kasih dan secara ekstern diharapkan oleh seniman penyusun jenis-jenis
tindak tutur direktif yang mendominasi dalam bahasa verbal yang sifatnya
mengajak, meminta, dan memerintah dapat menyampaikan makna bahasa verbal
sastra tembang yang berupa nasehat-nasehat cinta tersebut dapat ditangkap
penghayat. Untuk itu bagi seniman penyusun, dominasi tindak tutur direktif yang
terdapat dalam tari pasihan tersebut sangat diperlukan supaya makna keteladanan
dapat lebih menyentuh dan cepat ditangkap penghayat khususnya sepasang
temanten.
Bentuk-bentuk dominasi jenis tindak tutur direktif dalam bahasa sastra tembang
tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk, dapat dicermati contoh berikut ini:
Jenis Tindak Tutur (TT) yang melekat pada Sindhenan Pangkur Ngrenas.
No Penutur Teks Verbal Sindhenan
Pangkur Ngrenas
Jenis tindak
tutur
Pemarkah Situasi
1 Dewi
Sekartaji
Dhuh jagad dewa
bathara
Patik Dhuh jagad formal
2 Dewi
Sekartaji
Welasa mring dasih kang
nandhang kingkin
Direktif mring dasih formal
3 Dewi Tinilar garwa satuhu Asertif satuhu formal
![Page 273: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/273.jpg)
273
Sekartaji
4 Dewi
Sekartaji
Dadya gantilaning tyas
Direktif
dadya formal
5 Dewi
Sekartaji
Ulun dhahat teka
aginggang sarambut
Direktif Ulun
dhahat
formal
6 Dewi
Sekartaji
Kalamun datan
pinanggya
Direktif
datan formal
7 Dewi
Sekartaji
Aluwung tumekeng lalis
Komisif Aluwung formal
Jenis Tindak Tutur (TT) yang melekat pada Jineman Sayuk
No Penutur Bahasa Verbal
Jineman Sayuk
Jenis tindak
tutur
Pemarkah Situasi
1
Wanita (W)
dan Laki-
laki (L).
Dhuh mas jiwaku, Patik dhuh mas formal
2 W baya iki wus wanci, Direktif baya iki formal
3 W Bapakne sithole, Asertif bapakne formal
4 W mangkat makarya, Direktif mangkat formal
5 W Sawahmu tansah
anganti,
Asertif Sawahmu
formal
6 L Mbokne thole, Asertif
Mbokne formal
![Page 274: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/274.jpg)
274
7 L Sakdurunge anakmu
gawanen mrene,
Direktif
gawanen formal
8
L Tak kudange anakku
sing bagus dhewe,
Ekspresif
bagus formal
9 L Mbesuk pinter
nyambut gawe.
Direktif mbesuk
pinter
formal
Bentuk bahasa verbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari Bondhan
Sayuk merupakan bahasa tembang Jawa yang berasal dari ranah tembang macapat.
Adapun jenisnya antara lain: Pangkur Ngrenas, Kinanthi Sandhung,Mijil Sulastri,
dan gerongan Lambangsari, Jineman Sayuk. Jenis-jenis tembang tersebut
memiliki watak atau rasa lagu yang bernuansa percintaan, seperti Pangkur
Ngrenas memiliki rasa lagu jatuh cinta; Kinanthi Sandhung memiliki rasa lagu
romantis yang lebih tepat untuk memberikan nasehat-nasehat tentang cinta kasih;
Mijil Sulastri memiliki rasa lagu prihatin dan untuk mengungkapkan rasa cinta
kasih atau nasehat-nasehat tentang asmara, begitu pula gerongan Lambangsari dan
Jineman Sayuk. Bahasa verbal yang berupa tembang-tembang cinta tersebut dapat
dicermati dari penggunaan kata-kata cinta, seperti: gantilaning tyas, aginggang
sarambut, garwa, brangti, wuyung, mustikaning, wanodya di, setya, rabinira, asih
tresna, asmara, wong manis, sulistyane, prasetya, dan mas jiwaku. Dengan
demikian bahasa verbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk,
dilihat dari asfek kebahasaan secara koherensi telah memperlihatkan keterpaduan
antara unsur-unsur lingual dalam bentuk guru wilangan, guru lagu, kata dalam
irama dan tekanan dengan dengan watak lagu tentang nasehat-nasehat
cinta.sebagai bahasa tembang.
![Page 275: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/275.jpg)
275
Pemilihan jenis-jenis tembang tersebut selain watak atau rasa lagu sesuai
dengan tema percintaan juga didasari dari latar belakang budaya penyusun tari
Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk yang berasal dari budaya Jawa. Faktor
lingkungan memberikan kontribusi cukup berarti dalam menunjang perkembangan
kesenimanan Maridi. Perhatian terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
dilingkungan sosial budaya sekitarnya, masuk menyatu mempengaruhi dan
mengkristal membentuk pola pikir, rasa estetik, tingkah laku, dan pola kehidupan
Maridi sebagai seniman. Bergaulnya dengan para seniman wayang orang seperti:
Rusman, Darsi dan Surono rupanya memberikan kontribusi yang sangat berarti
dalam karya tari Karonsih terkait dengan digunakannya tembang-tembang
tersebut. Bentuk tembang Pangkur merupakan salah satu inspirasi dari sajian
tokoh Gathutkaca ketika memadu asmara dengan Pergiwa yang diperankan oleh
Rusman dan Darsi. Begitu pula Sunarno, setelah dewasa menjadi penari
profesional, ia memiliki pengalaman dalam berkecimpung dalam budaya Jawa,
seperti: Kethoprak,Wayang Orang yang nota bene bentuk–bentuk seni tersebut
banyak menggarap jenis-jenis tembang Jawa. Dari pengalaman selama
berkecimpung dalam dunia Kethoprak,Wayang Orang rupanya memberikan
inspirasi dan kontribusi dalam menciptakan karya tari Bondhan Sayuk. Puncak
kreatifitasnya dalam menciptakan karya yang berbasis bahasa verbal dalam bentuk
tembang Jawa yaitu karya Langendriyan Menakjinggo Lena yang mampu
memberikan perkembangan pada karya-karya Langendriyan yang berbasis
tembang Jawa.
Bahasa verbal yang digunakan pada tari Karonsih yang secara intern
sebagai alat komunikasi antar peran yang terlibat yaitu sebagai media percakapan
![Page 276: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/276.jpg)
276
Dewi Sekartaji dengan Panji Inukertapati menggunakan bahasa Jawa Krama.
Konsep yang melatarbelakangi digunakannya bahasa Jawa Krama pada tari
Karonsih, mempertimbangkan kedudukan peserta tutur yang terlibat keduanya
adalah anak raja. Dewi Sekartaji puteri raja Lembu Amijaya dari Kediri
sedangkan Panji Inukertapati Kertapati putera raja Lembu Amiluhur dari Jenggala.
Sebagai keluarga bangsawan sikap perilaku kedua peserta tutur memiliki adat dan
etika budaya yang mencerminkan kehalusan dan keteladanan. Sehingga bahasa
verbal yang digunakan untuk komunikasi peserta tutur adalah bahasa Jawa krama
yang dirasa tepat dan sesuai untuk mencerminkan kehalusan terkait dengan
kedudukan sosial sebagai putra bangsawan. Salah satu contoh tingkat kehalusan
bahasa Jawa krama yang digunakan pertuturan Dewi Sekartaji dan Panji
Inukertapati Kertapati pada tari Karonsih dapat dicermati pada bahasa tembang
berikut ini:
Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada Ingkang bisa nujuprana weh reseping pamicara Nora kengguh ing panggodha darbe budi kang santosa Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira Datan kemba asih tresna sung tetreming kulawarga Sampun sami setya tuhu anggenya liron asmara Karonsih pancen pranyata dadya kembang jagad raya
Sedangkan bahasa verbal dalam tari Bondhan Sayuk yang digunakan untuk
percakapan peran yang terlibat dalam pertuturan antara suami dengan istri
berbentuk bahasa Jawa Krama Ngoko. Konsep yang mendasari digunakannya
bahasa Jawa Krama Ngoko pada tari Bondhan Sayuk, mempertimbangkan
kedudukan peserta tutur yang terlibat keduanya adalah masyarakat tani.
Kedudukan peserta tutur antara suami dan istri adalah gambaran masyarakat secara
umum yang lebih lazim disebut masyarakat biasa. Peserta tutur antara suami dan
![Page 277: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/277.jpg)
277
istri merupakan simbol keluarga kecil dari kalangan masyarakat petani yang
tercermin dari bahasa verbalnya yang cenderung ngoko yang lazim digunakan
masyarakat pedesaan, seperti bahasa tembang yang digunakan pertuturan ketika
suami dan istri sambil menimang anak, hal ini dapat dicermati dari kata-kata yang
digaris bawah:
Dhuh mas jiwaku, baya iki wus wanci, Bapakne sithole, mangkat makarya, Sawahmu tansah anganti, Mbokne thole, Sakdurunge anakmu gawanen mrene, Tak kudange anakku sing bagus dhewe, Mbesuk pinter nyambut gawe. Pemilihan peran suami dan istri dilatarbelakangi dari kehidupan seniman
penyusunnya yang berasal dari keluarga seorang buruh tani dari desa Semono
wilayah kabupaten Boyolali. Sebagai keluarga petani sikap perilaku kedua peserta
tutur yang digambarkan dalam tari Bondhan Sayuk memiliki adat dan etika budaya
yang lebih lugas, polos cenderung apa adanya dan tampak kurang halus (kasar).
Sehingga bahasa verbal yang digunakan untuk komunikasi peserta tutur yang
terlibat antara suami dan istri adalah bahasa Jawa krama ngoko yang dirasa tepat
dan sesuai untuk mencerminkan sifat lugas, polos cenderung apa adanya terkait
dengan kedudukan sosial sebagai masyarakat tani.
Fungsi bahasa verbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari Bondhan
Sayuk adalah untuk mengungkapkan maksud dari seniman penyusun. Kedudukan
bahasa verbal dalam tari Pasihan menjadi sangat penting, mengingat bahasa
nonverbal yang menjadi sarana komunikasi bersama bahasa verbal memiliki
keterbatasan-keterbatasan dalam mengungkapkan maksud dari seniman
penyusunnya. Untuk itu bahasa verbal dirasa sarana yang tepat untuk menjelaskan
![Page 278: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/278.jpg)
278
maksud dan harapan yang dikehendaki oleh seniman tanpa melalui proses distorsi
bahkan lebih dapat langsung mengungkapkannya. Lewat bahasa verbal seorang
seniman akan menuangkan pikirannya secara lebih transparan dan komprehensif
dalam bentuk tembang Jawa.
Bentuk bahasa nonverbal yang terdapat pada tari Karonsih dan Tari
Bondhan Sayuk meliputi: tema, kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias,
busana, pola lantai, dan iringan. Tema yang dipilih untuk tari Karonsih dan Tari
Bondhan Sayuk adalah pasihan atau percintaan. Konsep yang mendasari pemilihan
tema percintaan ini terkait dengan harapan penyusun yang menghendaki kehadiran
tari pasihan dalam resepsi perkawinan dapat bermakna bagi sepasang temanten.
Tema percintaan yang diangkat dalam tari pasihan tersebut secara garis besar
menggambarkan perjalanan cinta sepasang suami dan istri berawal dari duka yang
dialami masing-masing tokoh kemudian permasalahan-permasalahan yang
dihadapi dapat diselesaikan dengan baik yang akhirnya mereka dapat berhasil
menikmati hidup bahagia dalam sebuah keluarga. Rupanya kisah tersebut menjadi
sebuah inspirasi yang berarti bagi pasangan temanten yang menginginkan
percintaan yang ideal, romantis, dan bahagia. Adapun bentuk garapnya hanya
menyajikan dua peran utama yakni pria dan wanita sebagai pasangan suami dan
istri. Wujud pasangan tersebut mengarahkan penonton supaya lebih fokus pada
tema percintaan, sehingga hayatan dari penonton tidak terkontaminasi tokoh atau
peran lainnya.
Kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan
iringan sebagai bahasa nonverbal tari pasihan merupakan pola-pola tradisional
yang bersumber dari budaya istana Kasunanan Surakarta. Kinetic body moves
![Page 279: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/279.jpg)
279
sebagai media utama dalam sajian tari pasihan berupa pola-pola sekaran tari
tradisional gaya Surakarta. Secara garis besar gerak dalam tari dapat dibagi
menjadi dua bagian secara kasar, yakni gerak presentatif dan representatif.
Keduanya hadir dalam jagad tari, namun kemunculannya tidak mudah untuk
dipisah-pisahkan secara tegas, karena wujud yang tampak sering samar-samar, hal
itu sengaja dibuat untuk mengungkapkan ekspresi seniman atau penyusun tari.
Gerak presentatif merupakan bentuk gerak yang tidak mempunyai arti secara
khusus, gerak ini difungsikan semata-mata untuk kebutuhan ekspresi. Sedangkan
gerak representatif adalah gerak penghadir, artinya gerak yang dihasilkan dari
imitasi terhadap sesuatu. Kedua bentuk gerak baik presentatif maupun
representatif merupakan medium utama tari pasihan dalam rangka memenuhi
keperluan ekspresi.
Adapun bentuk-bentuk vokabuler sekaran yang terdapat pada tari Karonsih
dan Tari Bondhan Sayuk secara garis besar, pola-pola sekarannya bersifat
presentatif dan representatif. Dari seluruh adegan I, II, dan III pada tari Karonsih
dan tari Bondhan Sayuk menunjukkan gerak representatif mendominasi pada
bahasa nonverbal, yang mencapai 80,20 % dalam tari Karonsih dan 76,05 % dalam
tari Bondhan Sayuk. Dominasi gerak representatif yang terdapat pada genre tari
pasihan dimaksudkan oleh seniman penyusun supaya masyarakat dan lebih khusus
sepasang temanten akan merasa lebih mudah mengapresiasi tema tarian. Semakin
banyak gerak representatif dalam sebuah tarian penonton semakin mudah
menafsirkan tema dari ilusi-ilusi yang diekspresikan lewat gerak sehingga pesan
makna dari tari pasihan tersebut mudah ditangkap masyarakat sebagai
apresiatornya. Adapun gerak-gerak representatif pada genre tari pasihan tersebut
![Page 280: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/280.jpg)
280
merefleksikan gerak orang bermesraan, seperti: berpelukan, bergandengan tangan,
mencubit, meledek, menggoda dan gerak-gerak lainnya yang mengungkapkan
kegembiraan. Sehingga tema yang muncul dapat ditafsirkan yakni tema percintaan.
Berdasarkan tema percintaan yang telah terungkap, penonton akan mencoba
mengaitkan fungsi kehadiran tari pada sebuah resepsi perkawinan. Kehadiran
genre tari pasihan pada sebuah resepsi perkawinan bukan pada resepsi lainnya itu
merupakan pertanda bahwa jenis-jenis tari tersebut mempunyai fungsi yang berarti
dalam resepsi perkawinan yaitu sebagai suritauladan yang hendak ditindaklanjuti
bagi sepasang temanten.
Selain itu dari komposit bahasa verbal dan Kinetic body moves sebagai
unsur nonverbal pada tari Karonsih dan Tari Bondhan Sayuk terdapat hubungan
yang bersifat langsung dan tidak langsung. Hubungan bahasa verbal dan Kinetic
body moves bersifat langsung artinya bahwa makna bahasa verbal sesuai dengan
makna bentuk gerak. Sedangkan hubungan bahasa verbal dan Kinetic body moves
bersifat tidak langsung artinya bahwa makna bahasa verbal tidak sesuai dengan
makna bentuk gerak. Secara kuantitatif hubungan bahasa verbal dan nonverbal
yang bersifat langsung tampak lebih mendominasi dibandingkan dengan yang
tidak langsung. Alasannya kehadiran genre tari pasihan pada resepsi perkawinan
adalah untuk hiburan dan suritauladan temanten dan masyarakat yang kepekaan
rasanya heterogen, untuk itu supaya seni tersebut dapat ditangkap maknanya oleh
semua lapisan masyarakat maka bentuk komposit bahasa verbal dengan Kinetic
body moves yang bersifat langsung dirasa sangat tepat agar mudah dihayati.
Pemilihan pola-pola sekaran tari tradisional yang bersumber dari istana
tersebut terkait dengan latar belakang kedua penyusun yaitu: Maridi dengan
![Page 281: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/281.jpg)
281
karyanya tari Karonsih dan Sunarno dengan karyanya tari Bondhan Sayuk yang
sejak masih muda mereka banyak belajar tari-tarian tradisi gaya Surakarta. Seperti
Maridi sejak berumur sekitar usia 8 tahun, Maridi sudah bergabung di sanggar
tari: paguyuban Muda Matoyo di bawah asuhan Jogo Laksito. Berkat kecerdikan
dan keuletan dalam upaya memperdalam tari, Maridi secara diam-diam banyak
berguru dengan beberapa empu tari yang akhirnya membentuk pribadinya menjadi
seorang empu tari, terutama tari tradisional gaya Surakarta. Adapun guru dan
sanggar yang telah banyak berperan membentuk dan mengembangkan
kesenimanan Maridi di dunia tari, antara lain:
1) R.M Lurah Atmo Bratono dengan sanggarnya Yatno Sidoyo.
2) R.M Ng Atmo Hutoyo sebagai guru tari alus.
3) R. Lurah Harto Sukolewa sebagai guru tari gagah, yang menjadi
panutan gaya / wiled tarian gagah S. Maridi.
4) R.M Lurah Widakdo.
5) R.T Kusuma Kesawa.
6) R.M Bekel Wignya Hambekso.
7) R.M Suseno (dari gaya Mangkunegaran)
8) Nyai Pamarditaya.
Bagi Sunarno sejak berumur 11 tahun, ia belajar tari di desa Semono dengan
Wiryo Dimedjo (paman), belajar tari Kethekan (kera), tari rakyat, dan tari
Bondhan. Masa kecilnya banyak di Pati diajak paman Sandiman yang berprofesi
Polisi yang juga seorang penari. Selama di Pati, Sunarno banyak belajar tari
dengan beberapa guru diantaranya:
a) Sandiman (paman), belajar tari dasar (tayungan) dan Tari Gathutkaca
Gandrung.
b) Eko Prasetya, belajar tari kethekan, tari cakil di asrama polisi Pati.
![Page 282: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/282.jpg)
282
c) Raden Irawan, belajar tarian dasar tayungan, tari Cantrikan, dan Tari
Gathutkaca Gandrung di Pakempalan Kagunan Jawi (PKD) Pati.
d) Secara khusus belajar tari cakilan di kursus: Kembang Djaya di Pati.
Setelah lulus SMP, untuk meniti karirnya lebih lanjut, Sunarno melanjutkan
sekolah di Konservatori Karawitan Indonesia Surakarta (KOKAR) di Surakarta
pada jurusan tari tahun 1970 lulus tahun 1972. Pada tahun 1973, Sunarno masuk
kuliah di Akademi Seni Karawitan Indonesia, jurusan Karawitan (ASKI) dan lulus
sarjana muda tahun !979. Melanjutkan S1 di ASKI lulus tahun 1981 dan
mengambil S2 di Sekolah Tinggi Seni Indonesia di Surakarta, tahun 2005 lulus
tahun 2007 dengan gelar Magister Seni ( M.Sn). Di samping kuliah ia juga seorang
pengajar tari spesialis tari gagah di ASKI sejak tahun 1973 yang pada waktu itu
baru menjadi pegawai honorer Dikbud Kodya yang diperbantukan untuk ASKI.
Pada tahun 1976, ia diangkat sebagai pegawai negeri Dikbud Kodya dan sejak
tahun 1982 melimpah ke ASKI sebagai dosen tetap sampai sekarang.
Selain pendidikan formal, selama di Surakarta ia banyak menimba ilmu dengan
beberapa Guru tari antara lain:
a) KRT. Kusuma Kesawa di Pawiyatan Karaton Kasunanan dan
Ramayana Rara Jonggrang.
b) S. Ngaliman dengan sanggarnya Baradha di Kemplayan dan kursus tari
di PKJT Sasonomulyo. Di samping belajar, ia dijadikan asisten
S.Ngaliman di kursus tari PKJT sejak tahun 1972.
c) Wiryo Tampu.
d) Wiryo dengan Sanggar tari Pomoi di Laweyan.
![Page 283: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/283.jpg)
283
Polatan atau ekspresi wajah pada tari pasihan pada dasarnya tidak tampak
mencolok perubahannya. Hal ini terkait dengan karakter masing-masing peran
yang cennderung alus, luruh dan feminin. Bentuk rias dan busana yang dipakai
pada tari pasihan berdasarkan pola-pola tradisi yang disesuaikan dengan sumber
cerita. Pada tari Karonsih yang bersumber dari cerita Panji menggunakan
dandanan Panjen dengan ciri Tekes, sedangkan tari Bondhan Sayuk yang
bersumber dari cerita rakyat menggunakan dandanan Blangkonan untuk peran
suami dan peran istri menggunakan Gelungan atau konde. Bentuk iringan
gamelan sebagai ilustrasi musik yang berupa gendhing-gendhing karawitan
rupanya sangat tepat dan memberi kemantapan dalam mendukung sajian tari
pasihan. Pola-pola semacam itu merupakan budaya Jawa yang merupakan dasar
dari penyusun tari pasihan sehingga komplementer dari kinetic body moves,
polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, dan iringan sebagai bahasa
nonverbal tari pasihan saling mengkait untuk mendukung bahasa verbal sastra
tembang menjadi bentuk sajian tari yang utuh dan berfungsi sebagai media
komunikasi untuk mengungkapkan maksud seniman penyusun. Untuk menangkap
makna yang terkandung dalam bahasa nonverbal yang berupa simbol-simbol
kinetic body moves, polatan (ekspresi wajah), rias, busana, pola lantai, iringan
gamelan yang terpadu dengan bahasa verbal sastra tembang diperlukan kepekaan
rasa dan ketajaman pikir sehingga mampu menghayati nilai-nilai cinta kasih pada
tari pasihan yang diharapkan seperti yang dimaksudkan seniman penyusun.
Komposit bahasa verbal dan nonverbal dalam genre tari pasihan merupakan
perpaduan yang utuh sebagai seni pertunjukan. Sebagai seni pertunjukan,
kehadiran genre tari pasihan pada upacara ritual perkawinan difungsikan oleh
![Page 284: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/284.jpg)
284
seniman penyusun sebagai hiburan dan suritauladan bagi sepasang temanten dan
masyarakat pada umumnya. Sebagai hiburan, sajian genre tari pasihan menjadi
layak karena wujudnya merupakan bentuk seni pertunjukan yang secara visual
menarik, memikat dan mengandung nilai estetik yang dapat menghibur penonton.
Sedangkan suritauladan yang diharapkan oleh seniman penyusunnya didasarkan
pada pesan atau muatan isi yang terkandung dalam komposit bahasa verbal dan
nonverbal genre tari pasihan yang berupa nasehat-nasehat cinta kasih tentang:
pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan
kebersamaan dalam menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi
figur suami maupun figur istri. Nilai-nilai keteladanan tersebut terutama
diperuntukan bagi sepasang temanten untuk bekal dalam membina rumah tangga.
C. Faktor Afektif.
Masyarakat penonton adalah kelompok orang dari beragam kalangan status
sosial yang mengapresiasi tari pasihan terutama jenis tari Karonsih dan tari
bondhan Sayuk. Pada dasarnya masing-masing penonton memiliki persepsi yang
berbeda-beda tergantung dari kepekaan rasa dan ketajaman pikir yang dimiliki
individu. Beragamnya persepsi dari masyarakat penonton tidak lepas dari bekal
kepekaan rasa, latar belakang budaya, kemauan, dan keterlatian dalam
mengapresiasi tari pasihan. Persepsi masyarakat terhadap kehidupan genre tari
pasihan gaya Surakarta. Beragam pendapat dari kalangan masyarakat telah muncul
menanggapi hadirnya genre tari pasihan pada ritual resepsi perkawinan. Informan
dari kalangan masyarakat secara garis besar terdiri dari: kelompok penanggap atau
![Page 285: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/285.jpg)
285
sebagai pengguna, kelompok penonton umum, dan kelompok pakar. Adapun
informasi dari ketiga kelompok informan tersebut dapat dicermati berikut ini.
1.Genre tari pasihan sebagai hiburan.
Penilaian paling awal yang tampak bagi penonton akan tertarik pada
gandar atau rupa wajah penarinya yang tampan, bagus, cantik, maupun manis.
Tanpa penampilan rupawan penarinya, niscaya penonton tidak akan menanggapi
apalagi memperhatikan, sehingga proses hayatan yang dikehendaki penari maupun
penyusun tari tidak akan muncul. Setelah itu baru melihat dedek atau tinggi –
rendahnya penari, diharapkan dengan ketinggian yang ideal (sekitar 160 cm) dan
dukungan warna kulit yang halus, bersih akan menambah daya tarik penonton.
Selain bentuk fisik penari yang ideal juga dukungan rias wajah yang mampu
menampilkan karakterisasi peran dan busana glamor yang dapat memikat dan
memberi kenikmatan indera mata. Taraf selanjutnya adalah kemampuan penari
dalam menyajikan tari yang lebih berorientasi pada keluwesan penari dalam
membawakan tarian. Dari pengamatan tersebut dibenak para penonton terjadi
sinergi antara kepekaan rasa dan ketajaman pikir sehingga muncul penafsiran-
penafsiran terhadap karya seni.
Bagi penanggap kehadiran tari pasihan dalam ritual resepsi perkawinan
adat budaya Jawa ini merupakan salah bentuk hiburan yang diperuntukkan bagi
tamu undangan supaya tidak membosankan dan sekaligus untuk mengatur jalannya
upacara terkait dengan jeda acara demi acara berikutnya. Sebagai masyarakat yang
berlatarbelakang budaya Jawa, rasa memiliki, melestarikan budaya yang dirasakan
lebih tepat adalah budaya Jawa. Hal ini dapat dicermati sejak awal dari
pelaksanaan upacara resepsi perkawinan yang menggunakan adat budaya Jawa,
![Page 286: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/286.jpg)
286
baik yang menyangkut pemilihan hari resepsi, bentuk dekorasi (brostul) untuk
penganten, tarub sebagai hiasan rumah resepsi, busana basahan ataupun kejawen
lengkap untuk penganten, busana kejawen lengkap dengan keris untuk among
tamu kakung (penjemput tamu pria) dan kebaya untuk among tamu wanita,
hiburan yang berbentuk tarian maupun karawitan secara lengkap, serta sarana-
sarana lainnya. Hiburan yang lebih tepat dipilihnya bentuk kesenian yang berbasis
budaya Jawa, seperti genre tari pasihan gaya Surakarta.
Bagi penonton secara umum, Kehadiran tari pasihan dalam upacara ritual
resepsi perkawinan yang biasanya disajikan pada bagian akhir dari seluruh
rangkaian resepsi sebagai penutup, merupakan pertunjukan yang bersifat hiburan.
Sebagai hiburan yang dirasa tepat atau sesuai, pertunjukkan tari pasihan dalam
upacara ritual perkawinan adat budaya Jawa terletak pada kesesuaian antara tema
percintaaan yang digambarkan tari pasihan sebagai muatannya dengan peristiwa
perkawinan yang mengatur sejak awal jalannya percintaan sepasang mempelai
temanten secara resmi di depan publik untuk mendapatkan pengakuan status sosial
dan adat budaya yang mereka miliki. Sinkronisasi antara gambaran nilai percintaan
yang diangkat dalam tari dengan realitas nilai percintaan yang hidup dan
berkembang dalam jiwa sepasang mempelai temanten yang sedang diwisuda,
tersebut adalah bukti dari ketepatan atau kesesuaian yang diasumsikan dari
penonton secara umum.
Dari beberapa pakar menyatakan bahwa kehadiran genre pasihan pada
upacara ritual perkawinan memiliki fungsi yang dalam terutama bagi sepasang
mempelai temanten. Fungsi awal yang paling sederhana secara faktual dapat
dicermati adalah sebagai hiburan. Hiburan yang didapat dari sajian tari pasihan,
![Page 287: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/287.jpg)
287
bagi penonton adalah bersifat estetik, artinya kenikmatan indera penonton dari
melihat pertunjukan tari pasihan merasa tertarik dan terpikat berawal dari bentuk
fisik. Wujud fisik berupa gandar atau rupa wajah, dedek atau tinggi rendahnya
postur tubuh, rias, dandanan busana, dan kinetic body moves yang secara
komplementer akan menyatu dengan wujud nonfisik yang berupa rasa. Hasil
komplementer dari bentuk fisik dan nonfisik dalam tari adalah rasa keindahan
yang mampu memberikan hiburan yang bersifat rohani.
Persepsi masyarakat yang terdiri dari kelompok penanggap atau sebagai
pengguna, kelompok penonton umum, dan kelompok pakar secara garis besar
salah satu fungsi genre tari pasihan dalam ritual resepsi perkawinan adat Jawa
merupakan bentuk hiburan. Kesamaan persepsi dari ketiga kelompok masyarakat
tersebut karena mereka memiliki latar belakang budaya yang sama. Secara
emosional mereka memiliki ikatan kultur yang kuat sehingga kepekaan rasa yang
tertanam dalam jiwa, sekalipun kadar kualitas berbeda namun masih mampu
menggugah dan menghidupkan kembali stimulus-stimulus estetik yang sewaktu-
waktu dihadapkan pada benda pacu yang berupa karya seni genre tari pasihan.
Pada dasarnya masing-masing individu sedikit banyak memiliki rasa kesenian
yang merupakan bekal alami.
2. Genre tari pasihan sebagai keteladanan.
Bagi penonton umum yang sering mengapresiasi pementasan tari pasihan,
memiliki wawasan kesenian dan mempunyai minat serta kepedulian terhadap seni,
mereka katakan bahwa jenis-jenis tari percintaan yang sering dilihat dalam resepsi
perkawinan mempunyai maksud-maksud tertentu. Berdasarkan pementasan tari-
tarian pasihan yang menggambarkan orang bercinta dengan mesra, mereka melihat
![Page 288: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/288.jpg)
288
terdapat sesuatu dari pertunjukkan itu yang dapat ditiru oleh sepasang temanten,
yaitu kemesraan sebagai sepasang suami istri. Selain itu yang dapat ditiru oleh
pasangan temanten dari pementasan tari-tarian pasihan adalah kebersamaan dan
kegembiraan.
Bagi penanggap, tari pasihan merupakan masterpiece dari seluruh sajian
tari yang dipentaskan dalam sebuah upacara ritual perkawinan adat Jawa.
Pemilihan ini rupanya sangat terkait dengan maksud penanggap yang mampu
mencermati, memahami dan menghayati nilai-nilai yang terkandung dalam karya
tari pasihan. Secara khusus tari pasihan merupakan simbolisasi percintaan yang
mengandung nilai percintaan yang begitu tulus sebagai muatan ekspresinya. Tema
percintaan yang diangkat untuk menentukan alur garapan tari pasihan sungguh
mampu mengungkapkan nilai cinta lewat liku-liku kehidupan cinta sepasang
kekasih yang merupakan tokoh idola baik yang bersifat fiktif maupun nyata bagi
masyarakat Jawa. Kemesraan, romantisme, ketulusan, kehalusan, kegembiraan,
dan kebahagiaan yang digambarkan dari sepasang tokoh-tokoh idola seperti: Panji
Inukertapati & Dewi Sekartaji pada tari Karonsih, Dewa Komajaya & Dewi
Komaratih dalam tari Lambangsih, dan Damarwulan & Dewi Anjasmara dalam
tari Enggar-enggar tersebut mempunyai makna yang dalam yang mampu
menyentuh jiwa manusia. Bagi penanggap nilai-nilai cinta yang demikian itu,
merupakan sesuatu bekal hidup yang sangat berharga, dan berarti bagi sepasang
mempelai temanten yang sedang diwisuda, untuk itu perlu diteladani. Diharapkan
dengan meneladani nilai percintaan yang disajikan lewat tari pasihan tersebut bagi
sepasang temanten dapat membina hidupnya dengan nilai cinta yang sebenarnya,
di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat. Diharapkan keluarga yang
![Page 289: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/289.jpg)
289
dibangun dan dibina sepasang temanten dengan nilai-nilai cinta mampu
menciptakan keluarga yang harmonis, damai, dan bahagia.
Bagi pakar bekal apresiasinya terhadap seni dan wawasan intelektual yang
dimiliki mampu menghayati secara dalam dan mengungkapkannya secara
komprehenship. Kepekaan rasa dan ketajaman intelek bagi pakar seni merupakan
modal utama untuk mencermati dan menganalisis kehadiran sebuah karya seni di
tengah-tengah kehidupan dan perkembangan sosial masyarakat dari beragam
perspektif. Mengingat bahwa seorang seniman menciptakan karya seni sedikit
banyak mempunyai maksud-maksud tertentu dibalik karyanya. Maksud seniman
tersebut tersirat pada karya seni yang kadang kala mudah ditangkap maknanya
oleh penonton, tetapi sering kali mengalami kesulitan untuk menginterpretasi
makna sesungguhnya yang dikehendaki seniman. Untuk mengetahui maksud
seniman diperlukan bekal pengalaman, keterlatihan, kemampuan, dan wawasan
berkesenian secara luas, sehingga penafsiran-penafsiran terhadap makna dibalik
karya yang dicipta menjadi semakin valid
Bagi pakar, seorang seniman berkarya merupakan dorongan dan tutuntan
kebutuhan jiwa yang dilatarbelakangi apresiasi terhadap lingkungan manusia dan
alam yang terseleksi dan senantiasa dimanifestasikan dalam bentuk yang estetik.
Nilai cinta yang terdapat pada tari pasihan yang merupakan akumulasi dari
beragam rasa, seperti: sedih, marah, kacau, takut, khawatir, tenang, senang,
gembira, bahagia, dan lainnya itu semua ditangan seniman diungkapkan dalam
bungkus sensa yang mampu memicu dan memacu timbulnya khayalan benda dan
peristiwa yang memberi kenikmatan dan kepuasan. Dari medium sensa itu
seniman akan dapat menganyam impian-impian bagi kita mengenai hal-hal yang
![Page 290: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/290.jpg)
290
membuai dan memikat kita senang mengamati. Khayalan tentang tindakan atau
emosi yang ditimbulkan lewat karya seni, kita kemudian dalam imajinasi dapat
melakukan atau mengalami. Jika dicermati lebih dalam dari jiwa kita sendirilah
sebenarnya muncul gagasan-gagasan dan beragam rasa yang merupakan isi sebuah
karya seni. Seniman pada dasarnya tidak lain sebagai manusia yang menyediakan
sebuah susunan benda pacu atau lambang-lambang sensa yang diharapkan akan
ditafsirkan seperti yang dimaksudkan olehnya.
Bagi pakar, genre tari pasihan memiliki fungsi yang dalam terutama bagi
sepasang mempelai temanten yang tercermin pada komplementer bahasa verbal
dan nonverbalnya. Kehadiran genre tari pasihan (percintaan pria dan wanita)
dalam kehidupan sosial masyarakat pada ritual perkawinan adat Jawa rupanya
mempunyai makna simbolik yang sangat penting terutama bagi kedua mempelai
dalam rangka mempersiapkan diri untuk mengarungi kehidupan di masyarakat
yaitu menuju terbentuknya keluarga yang bahagia. Menurut Clifford Geertz (1992:
6), bahwa ‘simbol’ tampak terbatas pada sesuatu yang mengungkapkan secara
tidak langsung, sehingga perlu perantara yang berwujud simbol-simbol dalam
puisi bukan dalam bentuk pengetahuan. Simbolisme semacam ini tampak pada
genre tari pasihan yang hadir dalam rangkaian upacara-upacara perkawinan adat
Jawa. Seolah–olah keberadaan genre tari pasihan dalam budaya Jawa menjadi
bagian yang tidak dapat dipisahkan terutama pada upacara-upacara perkawinan.
Pada dasarnya genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan simbolisasi
percintaan sepasang manusia yang berjenis kelamin pria dan wanita. Dalam
perjalanan kisahnya berawal menghadapi permasalahan kemudian mendapat
solusi yang menjadi berangsur-angsur membaik dan berakhir bahagia. Kehadiran
![Page 291: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/291.jpg)
291
tari pasihan hampir dapat dipastikan dalam resepsi perkawinan. Rupanya terdapat
korelasi yang sangat signifikan bahwa kehadiran tari pasihan dalam resepsi
perkawinan diharapkan dapat diteladani dan memberikan sugesti secara tidak
langsung terhadap sepasang temanten. Nilai-nilai keteladanan yang dapat diserap
dari aktualisasi tari pasihan yang berupa nasehat-nasehat cinta kasih diantaranya:
pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan
kebersamaan dalam menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap ideal bagi
suami mapun istri.
Bentuk sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten
terpancar dari kekuatan cinta sepasang tokoh yang digambarkan dalam tari
pasihan dimaksudkan dapat dihayati sepasang temanten sehingga bayangan-
bayangan cinta yang diekspresikan oleh seniman mampu memicu dan memacu
kehidupan imajinasi cinta sepasang temanten. Kekuatan imajinasi percintaan yang
digambarkan sepasang kekasih dalam tari pasihan diharapkan dapat memberikan
kekuatan magis simpatetis terhadap kehidupan jiwa sepasang mempelai temanten,
yaitu mampu mempengaruhi kesuburan dalam proses perkawinan pasangan
temanten. Hal ini juga digambarkan secara lebih aktual pada tari Bondhan Sayuk
ketika tindakan atau perbuatan penari putri (peran istri) memberikan boneka anak
kepada temanten putri pada bagian akhir tarian merupakan perbuatan simbolik
yang menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata
yang bersifat magis simpatetis diharapkan dapat diterima penganten putri.
Perbuatan simbolik dalam pertunjukan tari Bondhan Sayuk lebih tampak jelas dan
lebih mendekat kearah realitas tujuan bercinta dalam sebuah kehidupan keluarga.
Dengan kekuatan magis simpatetis akan dapat menyuburkan benih-benih cinta
![Page 292: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/292.jpg)
292
yang tengah berkembang pada sepasang temanten yang akhirnya mampu
melahirkan buah cinta yang berupa momongan (anak). Pada dasarnya kedua orang
mengawinkan putra-putrinya dengan cita-cita untuk segera diberi keturunan yang
berupa anak, sebagai pewaris dan penerus keluarga.
Kesamaan persepsi dari penanggap, penonton umum dan pakar terhadap
kehidupan genre tari pasihan mengidikasikan bahwa bentuk tari pasihan tersebut
mengandung nilai-nilai keteladanan layak menjadi sebuah pelajaran yang sangat
berharga bagi sepasang temanten untuk diserap dan diimplemetasikan dalam
kehidupan rumah tangga. Di samping itu juga terdapat perbedaan pada kadar
pemahaman, karena bagi pakar bekal apresiasinya terhadap seni dan wawasan
intelektual yang dimiliki mampu menghayati secara dalam dan
mengungkapkannya secara komprehenshif. Kepekaan rasa dan ketajaman intelek
pakar seni merupakan modal utama untuk mencermati dan menganalisis kehadiran
sebuah karya seni di tengah-tengah kehidupan dan perkembangan sosial
masyarakat dari beragam perspektif. Kesadaran awal yang harus dicermati, bahwa
dalam dunia kesenian, para pelaku dan penghayat tidak selalu memahami akan
yang mereka kerjakan. Bahkan seniman sering mampu menghasilkan karya seni
yang sangat bagus tetapi kerap tidak memiliki pendapat yang jelas dan tetap
terhadap pernilaian karyanya. Kesulitan yang tampak bahwa seni pertunjukan
merupakan seni sesaat, orang tidak akan dapat berharap banyak karena rasa seni
yang kita hayati tidak bisa mengendap dan lekas menghilang tidak menjadi
gagasan yang tenang dan mantap. Dengan demikian hanya pakarlah yang mampu
untuk memahami dan menganalisis secara komprehensif dan bertanggungjawab
![Page 293: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/293.jpg)
293
validitasnya, karena seniman adalah berjiwa mistik, yang memiliki rasa seni yang
dalam tetapi tidak berbicara banyak dan sering sulit untuk mengurai karyanya.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Temuan pokok- pokok penelitian.
Faktor objektif.
1. Jenis–jenis TT yang terdapat dalam genre tari pasihan gaya Surakarta
terdiri dari beragam jenis yaitu: TT asertif, TT komisif, TT ekspresif, TT direktif,
dan TT patik. Dari beragam jenis TT yang terdapat pada genre tari pasihan, jenis
TT yang dominan adalah TT direktif.
![Page 294: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/294.jpg)
294
2. Dalam bahasa verbal genre tari pasihan bentuk penerapkan prinsip kerja
sama terjadi pelanggaran maksim kuantitas dan maksim cara, sedangkan maksim
kualitas dan maksim hubungan dipatuhi.
Prinsip kesantunan yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan
dengan menggunakan strategi melakukan TT dengan menggunakan kesantunan
positif dan strategi melakukan TT secara tidak langsung (off record).
3. Implikatur yang terdapat dalam bahasa verbal tari pasihan menunjukkan
adanya simbolisasi percintaan sepasang suami istri yang dalam perjalanan
kisahnya berawal menghadapi permasalahan kemudian mendapat solusi yang
menjadi berangsur-angsur membaik dan berakhir bahagia. Kehadiran tari pasihan
hampir dapat dipastikan dalam resepsi perkawinan yang nota bene sebagai wahana
untuk mewisuda sepasang temanten. Rupanya terdapat korelasi yang sangat
signifikan bahwa kehadiran tari pasihan dalam resepsi perkawinan diharapkan
dapat diteladani sepasang temanten.
Daya pragmatik yang terdapat dalam bahasa verbal dan nonverbal genre
tari pasihan menunjukkan adanya bentuk sugesti secara tidak langsung terhadap
sepasang temanten. Hal ini terpancar dari kekuatan cinta kasih sepasang suami istri
yang digambarkan dalam tari pasihan dimaksudkan dapat dihayati sepasang
temanten sehingga bayangan-bayangan cinta yang diekspresikan oleh seniman
mampu memicu dan memacu kehidupan imajinasi cinta sepasang temanten.
Kekuatan imajinasi percintaan yang digambarkan sepasang kekasih dalam tari
pasihan diharapkan dapat memberikan kekuatan magis simpatetis terhadap
kehidupan jiwa sepasang mempelai temanten, yaitu mampu mempengaruhi
kesuburan dalam proses perkawinan pasangan temanten. Gambaran secara lebih
![Page 295: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/295.jpg)
295
aktual pada tari Bondhan Sayuk yang merepresentasikan pasangan pria dan wanita
setelah bercinta kemudian membawa boneka sebagai simbol anak dan ketika
adegan akhir penari putri memberikan boneka anak kepada temanten putri.
Tindakan atau perbuatan tersebut merupakan perbuatan simbolik yang
menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata yang
bersifat magis simpatetis diharapkan dapat diterima temanten putri. Perbuatan
simbolik dalam pertunjukan tari Bondhan Sayuk lebih tampak jelas dan lebih
mendekat kearah realitas tujuan bercinta dalam sebuah kehidupan keluarga. Pada
intinya bentuk daya pragmatik genre tari pasihan adalah berupa nasehat-nasehat
tentang cinta kasih yaitu pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia;
kesetaraan dan kebersamaan dalam menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-
sikap ideal bagi figur suami maupun figur istri. Nasehat-nasehat tentang cinta
kasih tersebut bermanfaat bagi sepasang temanten sebagai bekal untuk menjalani
kehidupan yang lebih baik dalam membangun sebuah keluarga.
4. Bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan merupakan dua
komponen besar yaitu aspek verbal berupa cakepan (syair) sastra tembang yang
terdapat dalam teks pathetan, sindhenan, gerongan, dan jineman dan aspek
nonverbalnya berupa: tema, kinetic body moves (gerak tubuh), polatan, rias,
busana, pola lantai, dan iringan yang secara komplementer menyatu dalam bentuk
seni pertunjukan. Berdasarkan jabaran bahasa verbal dan nonverbal tari Karonsih
dan tari Bondhan Sayuk dapat diketemukan ciri karakteristik genre tari pasihan
sebagai berikut: a) Bahasa verbal berbentuk tembang Jawa bernuansa cinta; b)
Bahasa verbal yang digunakan berdasarkan status sosial; c) Hubungan bahasa
verbal dan nonverbal bersifat langsung dan tidak langsung; d) Tema percintaan; e)
![Page 296: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/296.jpg)
296
Cerita berakhir dengan bahagia (happy end); f) Disajikan berpasangan pria dan
wanita; g) Pesannya berupa nasehat tentang cinta kasih; h) Gerak representatif dan
presentatif sebagai ekspresi kinetic body moves dalam sajian.
Faktor genetik.
Jenis TT yang mendominasi pada bahasa verbal dalam genre tari pasihan
adalah TT direktif. Hal ini dimaksudkan oleh seniman penyusun supaya bahasa
verbal yang sifatnya mengajak, meminta, dan memerintah yang tercermin dalam
TT direktif dapat menyampaikan makna bahasa verbal sastra tembang yang berupa
nasehat-nasehat cinta tersebut untuk diteladani sepasang temanten.
Dalam menerapkan prinsip kerja sama, seniman penyusun lewat karya tari
pasihan melanggar maksim kuantitas dan maksim cara dimaksudkan seniman
untuk mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa. Maksim
kualitas dan maksim hubungan dipatuhi dimaksudkan oleh seniman supaya
komunikasi rasa dapat berlangsung sehingga makna karya tari pasihan dapat
ditangkap penghayat secara utuh.
Prinsip kesantunan yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan
dengan menggunakan strategi melakukan TT dengan menggunakan kesantunan
positif untuk menunjukkan kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara
penutur dengan mitra tutur. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk
menunjukkan simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri
yang digambarkan dalam tari sebagai bentuk suritauladan yang layak untuk
diteladani sepasang temanten. Di samping itu juga konsep yang mendasari strategi
untuk melakukan TT secara tidak langsung (off record) untuk mengekspresikan
![Page 297: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/297.jpg)
297
rasa estetik dan menambah kemantapan rasa supaya dapat lebih menyentuh
penghayat dan maknanya dapat diterima.
Konsepsi tentang pemilihan bahasa verbal dan nonverbal bersifat harmoni,
selaras dan seimbang sehingga komplementer dari kedua komponen tersebut
menjadi padu membentuk genre tari pasihan dalam aktualisasi yang berkualitas,
estetik, dan bermakna bagi masyarakat. Keseimbangan komposisi bahasa verbal
dan nonverbal tampak pada setiap peristiwa dalam adegan, yaitu pada setiap
ekspresi sastra tembang selalu didukung dan diikuti langsung kinetic body moves.
Faktor afektif.
Berdasarkan persepsi masyarakat, kehidupan genre tari pasihan dalam
sosial masyarakat berfungsi sebagai hiburan dan suritauladan yang tepat bagi
sepasang temanten dan masyarakat pada umumnya. Bagi masyarakat secara
umum kehadiran tari pasihan dalam resepsi perkawinan ditangkap sekadar sebagai
hiburan. Berbeda dengan persepsi pakar seni, bahwa fungsi tari pasihan dalam
resepsi perkawinan, selain sebagai hiburan juga merupakan suritauladan yang
sangat penting bagi sepasang temanten. Pemahaman tentang fungsi tari pasihan
tersebut menunjukkan adanya perbedaan antara masyarakat umum dengan pakar
seni, karena kepekaan rasa dan ketajaman pikir pakar seni lebih mantap dan lebih
berkualitas dibandingkan masyarakat pada umumnya.
B. Pembahasan.
Genre tari pasihan merupakan jenis tari pasihan yang difungsikan sebagai
hiburan dan suritauladan bagi sepasang temanten dan sosial masyarakat.
Kehadiran genre tari pasihan sebagai seni pertunjukan merupakan perpaduan dari
bahasa verbal dan nonverbal yang secara komposit mengungkapkan makna.
![Page 298: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/298.jpg)
298
Bahasa verbal genre tari pasihan berupa sastra tembang dalam bentuk pathetan,
sindhenan, gerongan, dan jineman mengandung nasehat-nasehat tentang cinta
kasih bagi sepasang suami istri, mencakup: pasangan keluarga yang romantis,
harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan kebersamaan dalam menjalankan bahtera
rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi figur suami maupun figur istri sebagai
pesan makna atau isi. Sedangkan bentuk bahasa nonverbal merupakan
komplementer dari elemen-elemen: tema, kinetic body moves (gerak tubuh),
polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan yang saling mendukung dan menyatu
menjadi sebuah bentuk sajian visual yang mengungkapkan pesan makna yang
terkandung dalam bahasa verbal. Komplementer bahasa verbal sebagai kandungan
makna dan bahasa nonverbal sebagai bentuk visual sudah menyatu dan berkaitan
satu sama lainnya dan mampu mencerminkan kesatuan makna secara utuh.
Genre tari pasihan merupakan beragam jenis tari yang mengangkat tema
percintaan, untuk menyampaikan pesan maknanya tari pasihan, seniman penyusun
memandang perlu memanfaatkan aspek kebahasaan atau bahasa verbal dengan
menggunakan kata-kata cinta yang terakumulasi dalam bentuk sastra tembang
Jawa. Adapun kata-kata cinta, seperti: gantilaning tyas, aginggang sarambut,
garwa, brangti, wuyung, mustikaning, wanodya di, setya, rabinira, asih tresna,
asmara, wong manis, sulistyane, prasetya, dan mas jiwaku. Diharapkan dengan
kata-kata cinta yang merupakan dasar dari tema percintaan yang diangkat dalam
genre tari pasihan yang disajikan dalam bentuk tembang dengan irama, lagu, dan
karakter yang berbeda-beda tersebut mengarahkan pada sepasang temanten untuk
lebih meresapi dan menangkap makna secara utuh untuk diteladani dan dijadikan
sebagai bekal perjalanan dan pelajaran hidup.
![Page 299: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/299.jpg)
299
Dilihat dari aspek kebahasaan genre tari pasihan memanfaatkan jenis-jenis
TT yang terdapat pada bahasa verbal teks sastra tembang dalam bentuk pathetan,
sindhenan, gerongan, dan jineman. Bahasa verbal dalam genre tari pasihan
terakumulasi dari beragam jenis TT yang menyatu saling mengkait dan saling
melengkapi sebagai penunjuk isi. Kreidler (1998: 183-194), mengkategorisasikan
TT dalam sebuah pertuturan menjadi tujuh jenis bentuk TT, yaitu: TT asertif, TT
performatif, TT verdiktif, TT ekspresif, TT direktif, TT komisif, dan TT patik.
Berdasarkan teori jenis TT yang dikemukakan Kreidler, jenis-jenis TT yang
terdapat dalam genre tari pasihan gaya Surakarta terdiri dari jenis-jenis TT:
asertif, komisif, ekspresif, direktif, dan patik. Dari beragam jenis TT yang terdapat
pada genre tari pasihan, jenis TT yang paling dominan adalah jenis TT direktif.
Menurut Kreidler (1998: 189-190), TT direktif adalah tuturan di mana pembicara
berusaha menyuruh orang yang disapa untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu perbuatan tertentu. Secara garis besar beliau membagi tuturan direktif
menjadi tiga macam: perintah, permintaan, dan usulan atau anjuran. Sejalan
dengan pernyataan Kreidler, jenis-jenis TT direktif yang terdapat dalam genre tari
pasihan berfungsi untuk permintaan, perintah, melarang, dan mengajak. Jenis-jenis
TT direktif tersebut dapat dicermati berikut ini.
Jenis TT direktif yang berfungsi untuk permintaan.
Tuturan Dewi Sekartaji:
Dhuh jagad dewa bathara
Welasa mring dasih kang nandhang kingkin
Tuturan Panji Inukertapati:
Muga tansah pinaringan
Kanugrahan kang salami
![Page 300: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/300.jpg)
300
Jenis TT direktif yang berfungsi untuk perintah.
Tuturan Panji Inukertapati:
Pra wanita marsudiya marang tindak kang utama
Setya tuhu marang garwa dadi rowang kang sembada
Tuturan Dewi Sekartaji:
Balik priya nimbangana ngayomi mring rabinira
Datan kemba asih tresna sung tetreming kulawarga
Tuturan istri:
Dhuh mas jiwaku, baya iki wus wanci, Bapakne sithole, mangkat makarya, Sawahmu tansah anganti,
Tuturan Suami: Mbokne thole, Sakdurunge anakmu gawanen mrene,
Jenis TT direktif yang berfungsi untuk melarang.
Tuturan Suami: Adhuh lae, atak adhuh lae, ora nyleweng tumindake,
Jenis TT direktif yang berfungsi untuk mengajak.
Tuturan bentuk Narasi:
1. Sayuk, sayuk, sayuk, sakancane, 2. Sayuk, sayuk, sayuk, nyambut gawe, 3. Sayuk, sayuk, sayuk, sakabehe, 4. Sayuk mbangun negarane.
Tuturan Suami :
labuh labet mring bangsane.
Dominasi dari jenis-jenis TT direktif yang terdapat dalam bahasa vebal
genre tari pasihan yang sifatnya mengajak, permintaan, dan perintah tersebut
secara akumulatif dimaksudkan oleh seniman untuk mengajak, meminta dan
menyuruh terhadap sepasang temanten untuk memahami dan meresapi makna isi
yang terkandung dalam bahasa sastra tembang dan supaya melakukan tindakan
atau perbuatan seperti yang dicontohkan dalam pertunjukan tari pasihan tersebut.
Maksud dan harapan seniman penyusun tersebut ditangkap oleh penghayat sebagai
![Page 301: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/301.jpg)
301
sesuatu yang harus diteladani, mengingat gambaran percintaan pasangan suami
istri yang romantis, harmonis, dan bahagia yang terdapat dalam tari tersebut dirasa
sangat tepat dan ditangkap secara mantap sebagai suatu edukatif atau pengajaran
yang bersifat tidak langsung dan sangat bermanfaat bagi sepasang temanten untuk
menjalani kehidupan yang lebih baik dalam menggapai keluarga bahagia lahir dan
batin. Indikasinya ditunjukkan bahwa genre tari pasihan hanya disajikan pada
upacara-upacara resepsi perkawinan, bukan pada acara-acara lainnya.
Bagi masyarakat Jawa, sistem mendidik terhadap anak tidak selalu
dilakukan secara formal dan terbuka, tetapi juga dalam bentuk yang tidak
langsung, tertutup lebih bersifat simbolik. Seperti kehadiran genre tari pasihan
(percintaan pria dan wanita) dalam kehidupan sosial masyarakat pada ritual
perkawinan adat Jawa mempunyai makna simbolik (berupa: pasangan keluarga
yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan kebersamaan dalam
menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap, perilaku ideal bagi suami mapun
istri) yang sangat penting yaitu terutama bagi kedua mempelai temanten dalam
rangka mempersiapkan diri untuk membentuk keluarga yang bahagia. Kehadiran
genre tari pasihan dalam kehidupan sosial masyarakat pada ritual perkawinan
merupakan wahana untuk mendidik anak yang telah dewasa yaitu sepasang
temanten dengan cara tidak langsung yakni dengan cara simbolik. Untuk
menerima isi atau pesan pendidikan yang berupa pementasan genre tari pasihan
diperlukan ketajaman pikir dan kepekaan rasa.
Pada dasarnya bentuk karya seni genre tari pasihan merupakan materi
pendidikan yang penuh imajinatif, multitafsir tersebut hanya mampu ditangkap
indera lewat implikatur-implikatur bahasa verbal dengan bahasa nonverbal, bukan
![Page 302: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/302.jpg)
302
makna leksikal dari susunan gramatikal bahasa verbalnya. Lewat cara-cara estetis
bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan tersebut disajikan supaya pesan
makna yang dikehendaki seniman dapat diterima, tepat sasaran dan lebih
menyentuh sepasang temanten dengan tidak merasa dipaksa. Sistem pendidikan
cara simbolik ini merupakan pilihan masyarakat yang masih merasa memiliki
keterikatan emosional dan kesadaran atas budaya Jawa yang dirasakan dan
dianggap mengandung nilai-nilai kehidupan yang layak dan tepat untuk
diimplementasikan pada masyarakat hingga sekarang.
Untuk mengupayakan agar kandungan makna yang dikehendaki seniman
dapat ditangkap dan sampai pada pasangan temanten, seniman memandang perlu
menerapkan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan secara selektif dalam
bahasa verbal teks-teks sastra tembang yang terdapat pada genre tari pasihan.
Menurut Grice, prinsip kerja sama dalam pertuturan dibagi menjadi empat maksim
yaitu maksim kuantitas, maksim cara, maksim kualitas, dan maksim hubungan.
Maksim kuantitas adalah berikan informasi yang tepat sesuai yang dibutuhkan dan
jangan melebihi yang dibutuhkan. Maksim cara usahakan agar informasi mudah
dimengerti, hindari pernyataan yang samar, hindari ketaksaan dan usahakan agar
ringkas. Maksim kualitas; usahakan agar sumbangan informasi anda benar.
Maksim hubungan; usahakan agar pernyataan anda ada relevansinya (dalam
Leech, 1993: 11),
Dalam penerapan prinsip kerja sama pada bahasa verbal genre tari pasihan,
seniman melanggar maksim kuantitas dan maksim cara. Pelanggaran maksim
kuantitas yang terjadi dalam bahasa verbal genre tari pasihan adalah digunakannya
kata-kata arkais, seperti: sang retnayu, jengkar sking, mendranira, dahat, mring
![Page 303: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/303.jpg)
303
dasih, nandhang kingkin, dadya gantilaning tyas, aginggang sarambut, pinanggya,
lalis, ningsun, angkling, brangti, wuyung, wanodya di, mustikaning, nujuprana,
mring, anggenya, sang pekik wah sang dyah ayu, mas rara, sulistyane,
rasaningtyas, wak-ingan, dan dhuh mas jiwaku. Adapun pelanggaran maksim
kuantitas yang terjadi dalam bahasa verbal genre tari pasihan, dimaksudkan oleh
seniman untuk mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa.
Pelanggaran maksim cara dalam bahasa verbal genre tari pasihan adalah
digunakannya bahasa tembang yang pada dasarnya merupakan bahasa yang sulit
dimengerti artinya, sifatnya tersamar dan tidak ringkas karena telah terpola dengan
guru lagu dan guruwilangan. Jenis-jenis tembang yang merupakan bahasa
komunikasi dalam genre tari pasihan secara prinsip kerja sama dalam sebuah
pertuturan terjadi pelanggaran maksim cara. Adapun pelanggaran maksim cara
yang terjadi dalam bahasa verbal genre tari pasihan, dimaksudkan oleh seniman
untuk mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa. Maksim
kualitas dan maksim hubungan dipatuhi dimaksudkan oleh seniman supaya
komunikasi rasa dapat berlangsung sehingga makna karya tari pasihan dapat
ditangkap penghayat secara utuh.
Berdasarkan Teori kesantunan Brown dan Levinson (1987), terdapat lima
strategi, yaitu: 1) melakukan TT secara apa adanya, tanpa basa basi (bald on
record). 2) melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif mengacu
muka positif (positive politiness), untuk menunjukkan kedekatan, keintiman, dan
hubungan baik antara penutur dengan mitra tutur. 3) melakukan TT dengan
menggunakan kesantunan negatif mengacu muka negatif (negative politiness),
untuk menunjukkan adanya jarak sosial antara penutur dengan mitra tutur. 4)
![Page 304: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/304.jpg)
304
melakukan TT secara tidak langsung (off record). 5) tidak melakukan TT atau
diam (don’t do the FTA).
Mengacu Teori kesantunan Brown dan Levinson (1987) tersebut, prinsip
kesantunan yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan dengan
menggunakan strategi melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif
dan strategi melakukan TT secara tidak langsung (off record). Prinsip kesantunan
yang diterapkan dalam bahasa verbal genre tari pasihan dengan menggunakan
strategi melakukan TT dengan menggunakan kesantunan positif untuk
menunjukkan kedekatan, keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan
mitra tutur. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk menunjukkan
simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri yang
digambarkan dalam tari sebagai bentuk suritauladan yang layak untuk diteladani
sepasang temanten. Di samping itu juga konsep yang mendasari strategi untuk
melakukan TT secara tidak langsung (off record) untuk mengekspresikan rasa
estetik dan menambah kemantapan rasa supaya dapat lebih menarik dan memikat
serta menyentuh penghayat dan maknanya dapat ditangkap dan diterima sepasang
temanten untuk dijadikan sebagai pelajaran yang bermanfaat dalam menata
kehidupan keluarga baru.
Dalam menyampaikan pesan makna yang terdapat dalam bahasa vebal
seniman penyusun memandang perlu menggunakan bahasa nonverbal. Dukungan
bahasa nonverbal pada tari pasihan merupakan media visual yang difungsikan
sebagai sarana untuk mengekspresikan pesan makna yang dapat ditangkap oleh
penghayat. Bentuk bahasa nonverbal yang terdiri dari tema, kinetic body moves
(gerak tubuh), polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan secara akumulatif
![Page 305: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/305.jpg)
305
akan membentuk satu bentuk simbol yang mampu mengekspresikan makna tari
pasihan menjadi lebih menyentuh dan semakin mantap. Strategi yang digunakan
seniman penyusun dengan memanfaatkan jenis-jenis gerak presentatif dan
representatif yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan bahasa
verbal.
Jenis-jenis gerak presentatif dan representatif yang berhubungan langsung
dengan bahasa verbal akan memberi kemudahan terhadap penghayat dalam
menafsirkan maksud dari seniman, mengingat aspek kebahasaan dan aspek
nonbahasa memiliki makna yang sama, sehingga pesan makna yang hendak
disampaikan menjadi lebih kuat dan mantap. Adapun jenis-jenis gerak presentatif
dan representatif yang berhubungan tidak langsung dengan bahasa verbal,
digunakan seniman penyusun untuk mengekspresikan makna dengan cara lebih
tersamar dan ungkapan suasana yang muncul merupakan ekspresi yang dirasa
memiliki kekuatan untuk menyampaikan makna.
Akumulasi dan kombinasi dari dua strategi penyampaian pesan yang
digunakan seniman yang berupa jenis-jenis gerak presentatif dan representatif
yang berhubungan langsung dan tidak langsung dengan bahasa verbal menjadi
sangat kuat dan mantap dengan dukungan ekspresi wajah (polatan), rias, busana,
pola lantai, dan iringan gamelan. Terpadunya bahasa verbal dan nonverbal genre
tari pasihan menjadi satu kesatuan seni pertunjukan yang utuh, penuh estetik
sehingga karya tari pasihan menjadi sarana ekspresi yang memikat, mantap dan
berkualitas. Perlu disadari bahwa karya seni merupakan bentuk simbol yang
memerlukan penafsiran-penafsiran. Seniman sering dalam menciptakan karyanya
dilandasi rasa intuitif yang dalam, tidak selalu didasari rasional belaka, sehingga
![Page 306: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/306.jpg)
306
kesan yang terungkap dari sajian sebuah karya seni perlu adanya perenungan
kembali untuk mendapatkan sebuah makna yang utuh.
Secara garis besar dapat dieksplisitkan bahwa genre tari pasihan
merupakan beragam jenis tari yang mengangkat tema percintaan, untuk
menyampaikan pesan maknanya tari pasihan, seniman penyusun memandang
perlu memanfaatkan aspek kebahasaan atau bahasa verbal dengan menggunakan
kata-kata cinta yang terakumulasi dalam bentuk sastra tembang Jawa. Selain itu
tari pasihan juga memanfaatkan jenis-jenis TT: asertif, komisif, ekspresif, direktif,
dan patik. Dari beragam jenis TT yang mendominasi pada genre tari pasihan
adalah TT direktif, hal ini dimaksudkan oleh seniman penyusun supaya bahasa
verbal yang sifatnya mengajak, meminta, dan memerintah dapat menyampaikan
makna bahasa verbal sastra tembang yang berupa nasehat-nasehat cinta tersebut
sesuai dengan fungsi keteladanan.
Dalam mengekspresikan maksudnya seniman juga memanfaatkan prinsip
kerja sama dengan cara lebih selektif. Pada aspek kebahasaan yang digunakan
seniman penyusun dalam menerapkan prinsip kerja sama melanggar prinsip
kuantitas dan prinsip cara yaitu dengan menggunakan kata-kata yang sifatnya
arkais untuk mengekspresikan rasa estetik dan menambah kemantapan rasa.
Maksim kualitas dan maksim hubungan dipatuhi dimaksudkan oleh seniman
supaya komunikasi rasa dapat berlangsung sehingga makna karya tari pasihan
dapat ditangkap penghayat secara utuh. Selain itu untuk menunjukkan kedekatan,
keintiman, dan hubungan baik antara penutur dengan mitra tutur digunakan
kesantunan positif. Hal ini dimaksudkan seniman penyusun untuk menunjukkan
![Page 307: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/307.jpg)
307
simbolisasi keharmonisan hubungan antara peran suami dan istri sebagai bentuk
suritauladan.
Strategi melakukan TT secara tidak langsung (off record) yang dilakukan
seniman terkait aspek kebahasaannya dimaksudkan untuk mengekspresikan rasa
estetik dan menambah kemantapan rasa supaya dapat lebih menyentuh penghayat
dan maknanya dapat diterima. Dalam bahasa verbal secara keseluruhan tampak
adanya koherensi antaraspek–aspek kebahasaan yang terakumulasi menjadi satu
kesatuan saling berkaitan sehingga mencerminkan kesatuan makna yang dapat
mengarahkan penghayat terhadap kandungan isi. Dengan demikian tampak bahwa
sebenarnya bahasa verbal itu sebagai petunjuk isi telah mencerminkan kesatuan
pesan yang utuh sedangkan bahasa nonverbal bertindak sebagai pendukung dalam
menyampaikan isi supaya menjadi lebih mantap. Pada realitanya bahasa nonverbal
pada tari pasihan memiliki kekuatan ekspresi sangat mantap ini juga sangat
tergantung pada kualitas penari. Peranan penari sangat penting artinya jika penari
atau seniman penyaji berkualitas, ekspresinya semakin kuat dan mantap sebaliknya
penarinya lemah kekuatan ekspresinya juga semakin lemah.
Komposisi antara bahasa verbal dengan nonverbal sebagai media ekspresi
secara proporsional tampak selaras dan seimbang. Keselarasan ini tampak dalam
bahasa verbal yang berupa tembang-tembang cinta didukung bahasa nonverbal
yang berupa gambaran percintaan antara pria dan wanita yang menggunakan
gerak-gerak yang merepresentasikan orang bercinta, serta dukungan rasa musikal
yang bernuansa percintaan. Selain itu ditunjang bentuk rias dan warna busana
sama yang mencerminkan menyatunya rasa cinta antara peran pria dan wanita.
Kesemuanya tadi menunjukkan adanya keselarasan antara bentuk bahasa verbal
![Page 308: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/308.jpg)
308
dengan nonverbal pada genre tari pasihan. Keseimbangan komposisi bahasa
verbal dan nonverbal tercermin pada hampir seluruh sastra tembang yang terdapat
dalam tari pasihan selalu diikuti dan didukung kinetic body moves. Hubungan
bahasa verbal dan nonverbal saling komplementer menjadi bentuk yang menyatu,
selaras dan seimbang sehingga bentuknya tari pasihan sebagai media ekspresi
seniman penyusun merupakan komposit isi dan bentuk visual yang menunjukkan
keutuhan sebuah karya seni.
Kehadiran tari pasihan dalam ritual resepsi perkawinan adat budaya Jawa
merupakan salah bentuk hiburan dan suritauladan. Tari pasihan dipandang sebagai
bentuk hiburan terutama oleh masyarakat penonton secara umum. Pernyataan
tersebut muncul karena masyarakat penonton secara umum menghayati tari
pasihan sebagai seni pertunjukan didasarkan pada pengamatan mereka hanya
terbatas pada bentuk visual semata. Bagi penonton umum bentuk yang menarik
dari sisi ketampanan dan kecantikan penari dengan dukungan rias dan busana yang
bagus serta dukungan suasana iringan gamelan yang dirasa sesuai rupanya telah
cukup sebagai hiburan. Dari sisi pandangan pakar, kehadiran tari pasihan pada
resepsi perkawinan selain sebagai hiburan, juga merupakan bentuk simbol
percintaan yang bermakna bagi sepasang temanten untuk diteladani. Pandangan
pakar ini didasarkan pada pemahaman terhadap bahasa verbal dan penghayatan
terhadap bentuk visual pada aspek nonbahasa yang terakumulasi dalam bentuk
sajian tari pasihan. Selain itu pandangan pakar tersebut juga mendapat rujukan
dari pengamatannya bahwa pementasan jenis-jenis tari pasihan hanya pada resepsi
perkawinan, sehingga pandangan pakar tentang fungsi tari pasihan sebagai hiburan
dan suritauladan merupakan pernyataan yang lebih tepat.
![Page 309: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/309.jpg)
309
Pada hakekatnya tema percintaan yang digambarkan dalam genre tari
pasihan adalah percintaan sepasang pria dan wanita. Hal itu dapat dicermati pada
tari Karonsih mengangkat tema percintaan tokoh Panji Inukertapati sebagai suami
dan tokoh Dewi Sekartaji sebagai istri. Begitu pula tari Bondhan Sayuk yang
bersumber pada tema percintaan sepasang suami istri gambaran dari kalangan
rakyat biasa, menunjukkan bahwa penari pria berperan sebagai suami dan penari
wanita berperan sebagai istri. Kedudukan penari pria dan penari wanita dalam tari
pasihan yang tampil secara berpasangan itu merupakan simbol dari percintaan,
sehingga perannya menjadi mutlak. Kiranya menjadi sangat tidak relevan dan
tidak berarti bila penari diganti semua putri atau pria semua karena tidak lagi
bermakna bagi sepasang temanten bahkan akan berkonotasi negatif.
Perkawinan merupakan salah satu dan suatu saat peralihan yang terpenting
pada life-cycle dari semua manusia di seluruh dunia, yaitu peralihan dari tingkat
hidup remaja ke tingkat hidup berkeluarga. Pesta dan upacara pada saat peralihan
sepanjang life-cycle itu merupakan suatu hal yang universal yang hampir ada pada
setiap budaya manusia, namun tidak semua saat peralihan itu dianggap sama
pentingnya pada tiap-tiap budaya. Sifat universal pesta dan upacara sepanjang life-
cycle terjadi karena adanya suatu kesadaran secara umum di dalam budaya
manusia, bahwa setiap tingkat baru dalam life-cycle itu berarti menghantarkan si
individu ke suatu tingkat dan lingkungan sosial yang baru dan lebih luas. Di dalam
aktivitas budaya manusia ada yang menganggap bahwa saat peralihan dari tingkat
sosial tertentu ke tingkat sosial lainnya itu merupakan crisis-rites yang penuh
bahaya, gawat, baik secara nyata maupun gaib (Koentjaraningrat, 1972: 89-90).
![Page 310: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/310.jpg)
310
Periode transisi juga disebut periode liminal yang merupakan fase tengah
dalam skema ritus transisi dari praliminal untuk menuju pascaliminal. Dalam
periode liminal ini seorang liminar berada dalam keadaan setengah-setengah, tidak
menentu, dan ragu-ragu (Darsiti Soeratman, 1989: 157). Untuk itu crisis-rites bagi
seorang liminal sangat penting, mengingat upacara-upacara pada masa-masa
melampaui saat-saat krisis sering dimaksudkan untuk menolak bahaya gaib yang
mengancam individu dan lingkungan. Demikian halnya yang terjadi pada budaya
masyakat Jawa di dalam melangsungkan sebuah upacara adat perkawinan. Bagi
masyarakat Jawa upacara tersebut merupakan sebuah upacara yang sangat sakral
sepanjang daur hidupnya. Kesakralan itu sesuai dengan pendapat Soedarsono
mengenai hal-hal yang dianggap penting dalam suatu upacara ritual yaitu waktu,
tempat, pelaku, perlengkapan, dan pimpinan upacara tertentu. Ketentuan-ketentuan
yang telah berlaku dalam upacara tersebut mereka yakini jika dilaksanakan dengan
taat dan benar membawa berkah dan keselamatan, sebaliknya jika pelaksanaan
tidak mentaati konvensi-konvensi yang telah berlaku, mereka takut tertimpa
malapetaka (Soedarsono, 1990: 4).
Bagi masyarakat Jawa yang masih lekat dengan budayanya, segala ritual
yang menyangkut dengan perjalanan hidupnya banyak diselimuti dengan simbol-
simbol yang diharapkan dapat memberikan petuah, pendidikan, suritauladan yang
bermakna untuk keselamatan, kedamaian, dan kebahagiaan hidup. Berkaitan
dengan tindakan simbolik untuk mendapatkan kekuatan magis simpatetis bagi
masyarakat Jawa dalam perkawinan, diperlukan kekuatan-kekuatan tertentu.
Kekuatan tersebut antara lain berupa magis simpatetis yang diwujudkan dengan
tindakan atau perbuatan yang dapat melambangkan terjadinya pembuahan, yakni
![Page 311: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/311.jpg)
311
adanya hubungan antara pria dan wanita seperti yang digambarkan pada tari
pasihan. Hubungan dimaksud pada masyarakat yang masih melestarikan budaya
purba kadang-kadang dilakukan lebih realistis (Soedarsono dalam Soedarso, 1991:
35). Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Koch Grundberg yang
menggambarkan sebuah tari kesuburan dari suku Indian Coneba di Brasil, yang
diekspresikan para penari dengan membawa gambar tiruan organ-organ wanita
dengan cara sebagai berikut.
Stamping with the right foot and singing, they dance with the upper part of their bodies bent forwards. Suddenly they jump wildly along with violent coitus motions and loud groans.... They carry the vertility into every corner of the houses.... the jump among the women – the knock the phalli one against another.... (dalam Richard Kraus, 1969: 21).
Pada masyarakat yang sudah lebih maju, tindakan yang dapat
melambangkan terjadinya pembuahan, yakni adanya hubungan antara pria dan
wanita, dilakukan secara simbolis. Hal ini terbukti pada masyarakat Jawa
sekarang yang sudah mengalami kemajuan, berkembang menuju masyarakat
modern. Mereka dalam melakukan upacara perkawinan, untuk mendapatkan
kesuburan dengan cara menanggap jenis tari duet percintaan atau tari pasihan yang
merupakan tarian kesuburan yang diekspresikan lewat sebuah garapan gerak-gerak
presentatif dan representatif, penuh simbolis dan mengandung makna nilai-nilai
percintaan yang sangat berarti bagi kehidupan sepasang temanten. Salah satu
sarana upacara perkawinan adat Jawa yang cukup penting adalah tari pasihan.
Hampir dapat dipastikan bahwa pada setiap upacara perkawinan akan hadir tari
pasihan. Rupanya, sudah mengakar pada budaya masyarakat Jawa, yaitu pada
setiap ada acara upacara perkawinan akan hadir tari pasihan yang hendak
![Page 312: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/312.jpg)
312
diteladani oleh kedua mempelai. Peristiwa budaya ini membuat kehadiran tari
pasihan dalam upacara perkawinan sangat ditunggu-tunggu masyarakat,
mengingat merupakan satu-satunya bentuk sajian tari yang bermakna, baik secara
simbolik maupun sebagai santapan estetis terasa menyatu dengan situasi upacara.
Genre tari pasihan memiliki fungsi yang dalam terutama bagi sepasang
mempelai temanten yang tercermin pada komplementer bahasa verbal dan
nonverbalnya. Kehadiran genre tari pasihan yang menggambarkan percintaan pria
dan wanita dalam kehidupan sosial masyarakat terutama konteksnya pada ritual
perkawinan adat Jawa rupanya mempunyai makna simbolik yang sangat penting
terutama bagi kedua mempelai dalam rangka mempersiapkan diri untuk
mengarungi kehidupan di masyarakat yaitu menuju terbentuknya keluarga yang
bahagia. Menurut Clifford Geertz (1992: 6), bahwa ‘simbol’ tampak terbatas pada
sesuatu yang mengungkapkan secara tidak langsung, sehingga perlu perantara
yang berwujud simbol-simbol dalam puisi bukan dalam bentuk pengetahuan.
Simbolisme semacam ini tampak pada genre tari pasihan yang hadir dalam
rangkaian upacara-upacara perkawinan adat Jawa. Seolah–olah keberadaan genre
tari pasihan dalam budaya Jawa menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan
terutama pada upacara-upacara perkawinan. Bagi masyarakat Jawa upacara
perkawinan merupakan saat yang dianggap penting sehingga sarana–sarana yang
mendukung peristiwa perkawinan sangat diperhitungkan sangat teliti. Hampir
dapat dipastikan sarana yang digunakan sebagai kelengkapan berlangsungnya
upacara perkawinan memiliki makna simbolik yang difungsikan untuk menasehati
sepasang temanten agar dapat membangun keluarga yang bahagia lahir dan batin.
![Page 313: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/313.jpg)
313
Pada dasarnya genre tari pasihan gaya Surakarta merupakan simbolisasi
percintaan sepasang manusia yang berjenis kelamin pria dan wanita. Dalam
perjalanan kisahnya percintaan sepasang suami istri yang digambarkan pada tari
pasihan, dalam menjalani kehidupan berawal menghadapi permasalahan kemudian
mendapat solusi yang menjadi berangsur-angsur membaik dan berakhir bahagia.
Selain itu kehadiran tari pasihan hampir dapat dipastikan dalam resepsi
perkawinan. Rupanya terdapat korelasi yang sangat signifikan bahwa kehadiran
tari pasihan dalam resepsi perkawinan diharapkan dapat diteladani dan
memberikan sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten. Bentuk
sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten terpancar dari kekuatan
cinta sepasang penari pria dan wanita yang digambarkan dalam tari pasihan
dimaksudkan dapat dihayati sepasang temanten sehingga bayangan-bayangan cinta
yang diekspresikan oleh seniman mampu memicu dan memacu kehidupan
imajinasi cinta sepasang temanten. Kekuatan imajinasi percintaan yang
digambarkan sepasang kekasih dalam tari pasihan diharapkan dapat memberikan
kekuatan magis simpatetis terhadap kehidupan jiwa sepasang mempelai temanten,
yaitu mampu mempengaruhi kesuburan dalam proses perkawinan pasangan
temanten.
Hal ini juga semakin tampak jelas digambarkan secara lebih aktual pada
tari Bondhan Sayuk, pasangan penari pria dan wanita setelah bercinta kemudian
membawa boneka sebagai simbol telah diberi keturunan anak. Simbolisasi tersebut
merupakan harapan besar yang dapat memberikan sugesti sepasang temanten
untuk segera diberi keturunan anak. Selain itu bentuk dukungan sugesti juga
digambarkan ketika adegan penari putri memberikan boneka anak kepada
![Page 314: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/314.jpg)
314
temanten putri. Tindakan atau perbuatan tersebut merupakan perbuatan simbolik
yang menunjukkan adanya kekuatan – kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata
yang bersifat magis simpatetis diharapkan dapat diterima temanten putri.
Perbuatan simbolik dalam pertunjukan tari Bondhan Sayuk lebih tampak jelas dan
lebih dekat kearah realitas tujuan bercinta dalam sebuah kehidupan keluarga.
Lewat kekuatan magis simpatetis yang diekspresikan genre tari pasihan akan
dapat menyuburkan benih-benih cinta yang tengah berkembang pada sepasang
temanten yang akhirnya mampu melahirkan buah cinta yang berupa momongan
anak. Pada dasarnya kedua orang tua temanten mengawinkan putra-putrinya
dengan cita-cita untuk segera diberi keturunan yang berupa anak, sebagai pewaris
dan penerus keluarga.
Nasehat-nasehat cinta kasih yang merupakan makna dari bahasa verbal
berupa: pasangan keluarga yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan
kebersamaan dalam menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi
figur suami maupun figur istri merupakan pesan makna yang hendak disampaikan
oleh seniman penyusun. Bagi penghayat pakar seni menangkap makna
berdasarkan pementasan tari pasihan, terdapat pasangan suami istri yang romantis,
harmonis, dan bahagia. Dari hasil komunikasi antara maksud seniman penyusun
dengan tanggapan masyarakat menunjukkan adanya persamaan makna atau
maksud. Artinya pesan yang dimaksudkan seniman dengan makna yang ditangkap
pakar seni sama-sama dalam koridor atau wilayah nilai-nilai percintaan. Perbedaan
yang tampak adalah terletak pada kadar tebal dan tipisnya sebuah makna.
Pada hakekatnya dalam komunikasi seni bahwa pernyataan atau maksud X
tidak pasti ditangkap atau diterima persis X, bagaimanapun handalnya seniman
![Page 315: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/315.jpg)
315
dalam menciptakan karya seni dan hebatnya pakar seni dalam menilai karya.
Prinsip utama yang sangat penting dalam komunikasi seni adalah terjadinya
komunikasi rasa. Kadar pemahaman makna dalam karya seni yang berupa
komunikasi rasa, prinsip kadarnya tetap berbeda tidak persis sama. Kadar
pemahaman juga sangat tergantung dari bekal yang dimiliki oleh seniman dan
penghayat. Menurut Sutopo (1995: 12-13), dalam penghayatan karya seni terjadi
aktivitas kreatif, yakni seniman dengan menciptakan kreativitas artistik sedangkan
penghayat mencipta nilai dengan kreativitas estetik.
Bagi seniman dalam menciptakan karya seni, berupaya menciptakan
benda-benda pacu yang memiliki nilai estetik dalam rangka menyampaikan
maksud, sedangkan penghayat berusaha menangkap maksud yang dikehendaki
seniman tersebut dengan cara memberikan makna terhadap karya seni. Seniman
pada dasarnya tidak lain sebagai manusia yang menyediakan sebuah susunan
benda pacu atau lambang-lambang sensa yang diharapkan akan ditafsirkan
penghayat seperti yang dimaksudkan olehnya. Pada prinsipnya penafsiran terhadap
keragaman media komunikasi yang terdapat dalam tari tidak mampu hanya
ditangkap secara rasional semata tetapi ketajaman rasa merupakan ujung tombak
dalam menangkap makna yang sebenarnya.
Kelemahan yang terdapat pada genre tari pasihan sedikit banyak
dipengaruhi kualitas penari yang lemah sebagai penyampai isi dan iringan tari
yang berupa kaset rekaman atau CD. Sebagai penari atau penyaji, seorang seniman
harus mempunyai kemampuan baik pisik maupun nonpisik. Kondisi pisik penari
harus benar-benar dalam keadaan sehat, segar secara total baik jasmani maupun
rohani, enerjik, dan relaks serta memiliki sistem ekspresi dan evaluasi yang baik
![Page 316: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/316.jpg)
316
seperti: keseimbangan, kelenturan, ketrampilan, ketepatan gerak ekspresi, dan
penguasaan irama (Wisnoe Wadhana, 1984: 31). Selain itu penari harus juga
mampu menguasai ruang dan waktu. Persiapan nonpisik bagi penari berupa
kepekaan rasa, ratio, dan bekal pengalamannya sehari-hari diharapkan mampu
menafsirkan karya-karya tari dari seorang koreografer sehingga dapat menyajikan
secara ekspresi sesuai dengan peran karakternya. Peranan tubuh penari sangat vital
untuk sarana ekspresi, dan kepekaan rasa menjadi sangat pokok sebagai rohnya
dalam sajian tari.
Menurut Wisnoe Wadhana : kesempurnaan menari Jawa klasik tradisional hanya dapat diraih apabila si penari juga mendalami mistik Jawa. Generasi sekarang banyak yang awam terhadap mistik tersebut, sehingga sekalipun dapat menari Jawa dengan penguasaan teknik yang sangat baik, terasakan hambar kosong belaka. Padahal ukuran kehebatan seorang penari klasik tradisional Jawa haruslah isi, berbobot magis. Maka ia pun akan selalu patut dalam perannya, luwes dan terampil dalam penampilan, berada dalam puncak prestasi keteladanan (1994: 45-46).
Keberhasilan mereka menyampaikan pesan-pesan tergantung dengan
kemampuan menyeleksi materi-materi sebagai sarana ungkap dan tidak lepas dari
kemampuan masyarakat penikmat untuk menangkap yang sudah barang tentu
mengacu pada nilai-nilai budaya dan norma-norma sosial yang hidup dan
berkembang. Selama seniman mampu mengungkapkan nilai-nilai budaya dan
norma-norma sosial yang terangkum dalam sebuah pesan-pesan lewat karya tari
secara indah, akan terjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat dan dapat
diprediksikan eksistensinya sebagai seniman mendapat dukungan dan pengakuan
penuh dari masyarakat pendukungnya.
Sebagai seniman, ia akan dapat mengarahkan sekaligus mendidik
peningkatan daya apresiasi masyarakat terhadap karya-karya tari ciptaannya yang
![Page 317: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/317.jpg)
317
pada gilirannya menumbuhkembangkan kehidupan tari secara wajar. Dalam tari
Jawa bentuk ekspresinya pada hakekatnya terwujud berdasarkan alam emosi, yaitu
bentuk dan iramanya sangat kuat dilatarbelakangi oleh konsep keindahan dan
tradisi kebudayaannya (Humardani, 1991:10). Seni tradisional termasuk tari
sebagai budaya yang diwarisi secara turun-temurun sudah barang tentu memiliki
kesinambungan dengan budaya sebelumnya. Pewarisan budaya tidaklah bersifat
statis, tetapi masing-masing generasi mencoba untuk mengadakan perubahan-
perubahan disesuaikan dengan kondisi kehidupan masyarakat pendukungnya.
Kualitas seorang penari hanya akan tercapai bila penari mampu menghayati
dan mengekspresikan sesuai dengan perannya secara totalitas jiwa. Ketajaman dan
kepekaan rasa yang dimiliki penari dapat teraktualisasi dalam sebuah sajian tari
dan mampu menggugah intuisi para penghayat. Keluluhan jiwa seorang penari
dalam menyajikan karakter tari merupakan puncak prestasinya sebagai seorang
seniman. Pada dasarnya seniman hanya menyediakan suatu susunan pacu atau
lambang-lambang sensa yang diharapkannya akan kita tafsirkan seperti yang
dimaksudkan olehnya (Parker, 1980:46). Gabungan garap pisik dan olah rasa yang
matang akan menghasilkan kualitas penari yang mumpuni atau berbobot, sehingga
kekuatan ekspresinya akan mampu mengungkapkan isi secara mantap. Rupanya
hanya penari yang berkualitas yang terlatih yang mampu menyajikan dan
menyampaikan isi atau makna yang terkandung dalam genre tari pasihan.
Sebaliknya jika penarinya tidak berkualitas, tidak terlatih, ia akan lemah dan tidak
mampu mengekspresikan muatan isi seperti yang diharapkan oleh seniman
pencipta. Kelemahan dari kualitas penari sebagai penyampai isi tari yang
dimaksudkan seniman merupakan kendala yang sangat vital karena hanya dari
![Page 318: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/318.jpg)
318
ekspresi penari makna tari dapat ditangkap atau dihayati oleh penonton. Secara
ringkas dapat dikatakan kelemahan kualitas penari dalam menyajikan jenis tari
pasihan akan mempengaruhi kekuatan ekspresi dan mengurangi pada kemantapan
rasa penghayat.
Dalam sajiannya genre tari pasihan dapat diiringi gamelan secara langsung
dan iringan tidak langsung yaitu dengan iringan kaset atau rekaman CD. Jika
dengan iringan gamelan langsung, kekuatan ekspresinya menjadi semakin mantap
karena selain kekuatan rasa musikal yang muncul dari garap gendhing-gendhing
karawitan juga didukung kekuatan penari dalam membawakan tembang akan
tampak lebih ekspresip. Hasilnya akan berbeda jika sajiannya genre tari pasihan
dengan iringan kaset atau rekaman CD. Kekuatan ekspresi menjadi kurang mantap
jika dengan iringan yang sifatnya tidak langsung dengan iringan gamelan, karena
selain rasa musikal yang muncul sudah terasa lemah, juga tidak mendapat
dukungan ekspresi tembang dari penari secara langsung. Hal ini merupakan
kelemahan yang terdapat pada sajian genre tari pasihan jika tidak menggunakan
iringan langsung dengan gamelan.
![Page 319: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/319.jpg)
319
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan.
Berdasarkan temuan penelitian dan hasil pembahasan dari keterkaitan tiga
faktor objektif, genetik, dan afektif dapat disimpulkan bahwa kehadiran genre tari
pasihan dalam upacara ritual resepsi perkawinan berfungsi sebagai hiburan dan
suritauladan. Kehadiran genre tari pasihan dalam resepsi perkawinan dimaksudkan
oleh seniman untuk mengajak, meminta dan menyuruh terhadap sepasang
temanten untuk memahami dan meresapi makna isi yang terkandung dalam bahasa
verbal sastra tembang yang disampaikan dengan bahasa nonverbal dalam bentuk
visual yang estetik supaya melakukan tindakan atau perbuatan seperti yang
dicontohkan dalam pertunjukan tari pasihan tersebut. Maksud dan harapan
seniman penyusun tersebut ditangkap oleh masyarakat sebagai sesuatu yang harus
diteladani, mengingat gambaran percintaan pasangan suami istri yang romantis,
harmonis, dan bahagia yang terdapat dalam tari tersebut dirasa sangat tepat dan
ditangkap secara mantap sebagai suatu bentuk edukatif atau pengajaran yang
bersifat tidak langsung dan sangat bermanfaat bagi sepasang temanten untuk
menjalani kehidupan yang lebih baik dalam menggapai keluarga bahagia lahir dan
batin.
Peranan genre tari pasihan dalam upacara ritual resepsi perkawinan
memiliki makna yang cukup signifikan bagi sepasang temanten. Rupanya sudah
mengakar pada budaya masyarakat Jawa, yaitu pada setiap ada acara upacara
perkawinan akan hadir tari pasihan yang hendak diteladani oleh kedua mempelai.
![Page 320: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/320.jpg)
320
Peristiwa budaya ini membuat kehadiran tari pasihan dalam upacara perkawinan
sangat ditunggu-tunggu masyarakat, mengingat merupakan satu-satunya bentuk
sajian tari yang bermakna, baik secara simbolik maupun sebagai santapan estetis
terasa menyatu dengan situasi upacara.
Bentuk seni pertunjukan genre tari pasihan merupakan komposit bahasa
verbal dalam wujud sastra tembang yang terdapat dalam bentuk pathetan,
sindhenan, gerongan, dan jineman dengan bahasa nonverbal berupa: tema, kinetic
body moves (gerak tubuh), polatan, rias, busana, pola lantai, dan iringan. Dalam
bahasa verbal telah tampak adanya koherensi antaraspek–aspek kebahasaan yang
terakumulasi menjadi satu kesatuan saling berkaitan sehingga mencerminkan
kesatuan makna yang dapat mengarahkan penghayat terhadap kandungan isi.
Bahasa nonverbal merupakan bentuk visual yang bersifat estetik sudah
memperlihatkan adanya koherensi antarelemen-elemen dan saling berkaitan untuk
mendukung dalam menyampaikan isi supaya menjadi lebih mantap.
Kedua komponen yaitu bahasa verbal sebagai isi atau pesan makna dan
bahasa nonverbal dalam bentuk visual sebagai pendukung pemantapan makna,
yang sekaligus bertindak sebagai penyampai pesan makna yang secara komposit
telah terkait dan saling melengkapi sebagai seni pertunjukan yang utuh dan
mantap. Harmonisasi dan keseimbangan antara bahasa verbal dan nonverbal dalam
genre tari pasihan telah mencerminkan kesatuan makna yang saling mendukung
maka karya seni genre tari pasihan layak dan mantap sebagai seni pertunjukan
yang berkualitas tinggi. Kekuatan genre tari pasihan sebagai seni pertunjukan
yang berkualitas, layak, dan mantap sebagai sebagai hiburan dan suritauladan,
ditunjukkan bahwa jenis-jenis tari pasihan tersebut sampai sekarang hidup dan
![Page 321: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/321.jpg)
321
berkembang di masyarakat terutama pada upacara-upacara ritual resepsi
perkawinan.
Dalam mendukung kesatuan makna, aspek bahasa verbal yang
dimanfaatkan oleh seniman penyusun dalam karya tari pasihan adalah: TT asertif,
TT komisif, TT ekspresif, TT direktif, dan TT patik. Dari beragam jenis TT yang
paling dominan adalah TT direktif. Diharapkan dengan dominasi jenis TT direktif
sangat tepat untuk menyuruh supaya meneladani, adapun bentuk perintah tersebut
bersifat simbolik dalam bentuk yang estetik. Sebagai kandungan makna atau isi,
bahasa verbal berfungsi untuk melengkapi dan mendukung bahasa nonverbal
sebagai bentuk visual. Pada prinsipnya masing-masing komponen baik bahasa
verbal maupun bahasa nonverbal memiliki kedudukan yang sama yaitu berfungsi
untuk mengekspresikan maksud seniman penyusun. Komplementer dua komponen
bahasa verbal dan nonverbal genre tari pasihan saling mengait, saling melengkapi
sehingga bahasa verbal yang berupa sastra tembang mampu memperjelas dan
menyatukan teks dengan bentuk visual dalam kesatuan makna yang utuh. Pada
dasarnya bahasa verbal lebih berfungsi sebagai penunjuk isi sedangkan bahasa
nonverbal sebagai penyampai isi supaya lebih menyentuh jiwa penghayat dan
menjadi semakin mantap.
Nilai-nilai keteladanan yang digambarkan pada genre tari pasihan pada
hakekatnya merupakan bentuk simbolisasi cinta kasih sepasang suami istri.
Kehadiran tari pasihan dalam resepsi perkawinan diharapkan dapat diteladani dan
memberikan sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten. Bentuk
sugesti secara tidak langsung terhadap sepasang temanten terpancar dari kekuatan
cinta sepasang penari pria dan wanita yang digambarkan dalam tari pasihan
![Page 322: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/322.jpg)
322
dimaksudkan dapat dihayati sepasang temanten sehingga bayangan-bayangan cinta
yang diekspresikan oleh seniman mampu memicu dan memacu kehidupan
imajinasi cinta sepasang temanten. Kekuatan imajinasi percintaan yang
digambarkan sepasang kekasih dalam tari pasihan diharapkan dapat memberikan
kekuatan magis simpatetis terhadap kehidupan jiwa sepasang mempelai temanten,
yaitu mampu mempengaruhi kesuburan dalam proses perkawinan pasangan
temanten. Tindakan atau perbuatan tersebut merupakan perbuatan simbolik yang
menunjukkan adanya kekuatan–kekuatan tertentu yang tidak kelihatan mata yang
bersifat magis simpatetis.
Diharapkan kekuatan magis simpatetis dapat mendorong menyuburkan
benih-benih cinta yang tengah berkembang dan mampu memberikan sugesti
terhadap sepasang temanten untuk segera diberi keturunan yang berupa
momongan anak. Pada dasarnya kedua orang tua temanten mengawinkan putra-
putrinya dengan cita-cita untuk segera diberi keturunan yang berupa anak, sebagai
pewaris dan penerus keluarga. Pada intinya bentuk daya pragmatik genre tari
pasihan adalah berupa nasehat-nasehat tentang cinta kasih yaitu pasangan keluarga
yang romantis, harmonis, dan bahagia; kesetaraan dan kebersamaan dalam
menjalankan bahtera rumahtangga; dan sikap-sikap ideal bagi figur suami maupun
figur istri. Diharapkan nasehat-nasehat tentang cinta kasih tersebut bermanfaat
bagi sepasang temanten sebagai bekal untuk menjalani kehidupan yang lebih baik
dalam membangun sebuah keluarga.
B. Saran.
Bentuk seni pertunjukan genre tari pasihan atau tari pasihan adalah karya
seni dari seniman yang berkualitas tinggi dan telah teruji terbukti sampai sekarang
![Page 323: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/323.jpg)
323
hidup dan berkembang sebagai hiburan dan suritauladan bagi bagi sepasang
temanten dan masyarakat pada umumnya. Sehingga kemantapan dan validitas
sebagai sebuah karya seni yang berkualitas tidak diragukan lagi untuk itu perlu
peneliti sarankan kepada:
a) Penari dalam mengubah pola-pola pakaian dan pola-pola sekaran yang
terdapat pada genre tari pasihan hendaknya harus sadar dan mempertimbangkan
segi fungsinya.
b) Pengrawit dalam mengubah jenis-jenis gendhing maupun cakepan atau
bahasa verbalnya yang terdapat pada genre tari pasihan hendaknya harus sadar dan
mempertimbangkan segi fungsinya.
c) Kritikus hendaknya lebih banyak memberikan penilaian terhadap karya-
karya yang dipublikasikan supaya masyarakat mulai mengenal, mengetahui,
hingga memahami tentang pesan makna yang disampaikan dari sebuah tari.
Diharapkan kualitas dan kuantitas penilaian dari masyarakat terhadap tari semakin
meningkat sehingga kehidupan seni pertunjukan semakin hidup dan berkembang
dalam lingkungan budaya yang layak dan proporsinal.
![Page 324: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/324.jpg)
324
DAFTAR PUSTAKA ACUAN
Asim Gunarwan. 2006. Makalah berjudul “Implikatur Percakapan: Perspektif Grice
dan Perspektif Sperber & Wilson”. Jakarta: Depok. Brown, Penelope and S.C. Levinson. 1987. ‘Universals in language usage:
Politeness phenomena’, dalam Esther N. Goody (ed) Questions and Politeness. Cambridge: Cambridge University Press.
Budhisantoso. 1994. Jurnal Wiled. Surakarta: STSI Press. Cangara, Hafied. 2007. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada. Cook, Guy. 1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press. Cutting, Joan. 2002. Pragmatics ang Discourse. London and New York: Routledge. de Saussure, Ferdinand. 1916. Pengantar Linguistik Umum. Terjemahan: Rahayu
S. Hidayat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Dwi Maryani. 1999. Perkembangan Tari Enggar-Enggar. STSI: Surakarta. Dwi Yasmono. 1999. Perubahan Tari Lambangsih. STSI: Surakarta. Edi Subroto, H.D. 2007. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural.
Surakarta: UNS Press. , Tanpa Tahun. Modul Pembelajaran: Pengantar Linguistik. Program
Studi Pendidikan Bahasa Indonesia. PPS-UNS. EM Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja. Tanpa Taun. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia. PN: Difa Publisher. Fatimah Djajasudarma, T. 1993. Metode Linguistik. Bandung: PT Erisco. Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama.Yogyakarta: Kanisius. Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. 1976. Cohesion in English. London:
Longman Group Ltd.
![Page 325: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/325.jpg)
325
Hoed, Benny H. 2003. Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik.
Humardani. 1991. Pemikiran & Kritiknya. Editor: Rustopo. Surakarta: STSI
Press. Ibrahim Alfian, T. 1999. Makalah berjudul: “Disiplin Sejarah dalam Merekonstruksi
masa Lampau untuk Menyongsong Masa Depan”. Yogyakarta: UGM. Jumanto. 2006. Disertasi. Komunikasi Fatis Di Kalangan Penutur Jati Bahasa
Inggris. UI: Jakarta. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. , 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta. Kreidler, W. Charles. 1998. Introducing English Semantics. London: Routledge. Lamuddin Finoza. 2005. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia. Langer, Suzanne K. 1988. Problematika Seni. Terjemahan: Fx. Widaryanto.
Bandung:STSI. Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman. , 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan: M.D.D. Oka.
Universitas Indonesia: UI Press. Malinowski, Bronislaw. 1923. The Problem of Meaning in Primitive Languages
dalam Ogden, C.K. dan I.A. Richards (ed), The Meaning of Meaning. London: K.Paul, Trend, dan Trubner.
Maryono. 1991. Karonsih. STSI: Surakarta. Mey, Jacob L. 2001. Pragmatics: An Introduction. Oxford: Blackwell. Moleong, Lexy.J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Muhammad Rohmadi. 2004. Pragmatik: Teori dan Analisis. Yogyakarta: Lingkar
Media. Nababan, P.W.J. 1987. Ilmu Pragmatik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Noth, Winfried. 1990. Handbook of Semiotics. Bloomington: Indiana University
Press.
![Page 326: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/326.jpg)
326
Pakubuwono IV, Sunan. 1979. Terjemahan: Yanti Darmono. Jakarta: PN Buku
Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen P dan K. Parker, De Witt.H. 1980. Dasar-dasar Estetika. Terjemahan: SD. Humardani.
Surakarta: Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI). Ramlan, M. 1987. Ilmu Bahasa Indonesia, Sintaksisi. Yogyakarta: CV Karyono. Read, Herbert. 1990. Pengertian Seni. Terjemahan:Soedarso, Sp. Yogyakarta: Saku
Dayar Sana. Renkema Jan. 1993. Discourse Studies: an Introductory Textbook. Amsterdam:
John Benjamins Publishing Company. Richards, J.C et al. 1992. Longman Dictionary of Language Teaching and Applied
Linguistics. Essex: Longman Rogers, Everett M and D. Lawrence Kincaid. 1981. Communication Network:
Towards a Newq Paradigm for Research. New York: Free Press. Rustopo. 1990. Perkembangan Gamelan Kontemporer. Surakarta: Sekolah Tinggi
Seni Indonesia (STSI). Searle, John R. 1969. Speech Acts: An Essay in The Philosophy of language.
Cambridge: Cambridge University Press. Soedarsono, R.M. 1978. Pengantar Pengetahuan Dan Komposisi Tari.
Yogyakarta: Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI). , 1985. Makalah berjudul: “Peranan Seni Budaya dalam Sejarah
Kehidupan Manusia: Kontinuitas dan Perubahannya. Yogyakarta:UGM. , 1996. Indonesia Indah: Tari Tradisional Indonesia. Jakarta: Yayasan
Harapan Kita/BP 3 TMII. , 2003. Seni Pertunjukan. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press. Soedarso Sp. 1991. Beberapa Catatan Tentang Perkembangan Kesenian Kita.
Yogyakarta: ISI. Soerjono Soekanto. 1983. Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial. Jakarta:
Ghalia Indonesia. Sutopo, H.B. 1995. Kritik Seni Holistik Sebagai Model Pendekatan Penelitian
Kualitatif. Sebelas Maret University Press. , 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
![Page 327: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/327.jpg)
327
Shannon, Claude M and Warren Weaver. 1949. The Mathematical Theory of
Communication. Urbana: University of Illinois Press. Smith, Jr, Henry Lee. 1969. Linguistics. Editor: Archibald A. Hill. Voice of
America Forum Lectures. Spradley, J.P. 1997. Metode Etnografi. Terjemahan:Misbah Zulfa Elizabeth.
Yogyakarta: PT Tiara Wacana. Sri Rochana, W.S. 1994. Perkembangan Tari Gambyong Gaya Surakarta 1950-
1993. Wainwright, Gordon R. 2006. Membaca Bahasa Tubuh. Terjemahan: Narulita
Yusron. Yogyakarta: PN BACA. Waridi. 2005. Karawitan Wayang Kulit Purwa Gaya Surakarta. Jakarta: Sena
Wangi. Wijana, Dewa Putu I. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. Wisnoe Wardhana. 1994. Jurnal Wiled.Surakarta: STSI Press. Yule, George. 1998. Pragmatics. Singapore: National Institute of Education. . 2006. Pragmatik. Terjemahan: Indah Fajar Wahyuni. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. DAFTAR NARA SUMBER 1. Agus Tasman, Surakarta: penyusun tari, pakar tari dan budayawan.
2. Darsono, Surakarta: pakar tembang dan karawitan serta penanggap.
3. Daryono, Sukoharjo: penari.
4. Hari Subagya, Surakarta: pakar tari.
5. Hartoyo, Karanganyar: penari.
6. Ninik Sutrangi, Karanganyar: penari.
7. Nora Kustantina Dewi, Surakarta: penari.
8. Nuryanto, Boyolali: penari dan penyusun tari.
9. Nartutik, Sukoharjo: vokal putri (pesindhen).
10. Rusini, Surakarta: penyusun tari dan penari.
11. Rusdiantara, Karangannyar: pakar tembang dan karawitan.
![Page 328: 128220408201004481](https://reader030.fdocuments.net/reader030/viewer/2022012311/5571faab497959916992cbb0/html5/thumbnails/328.jpg)
328
12. Sunarno, Surakarta: penari, penyusun tari, dan pakar tari.
13. Slamet Suparno, Karanganyar: pakar tembang dan karawitan.
14. Slamet Riyadi, Surakarta: pakar karawitan.
15. Sri Lestari, Boyolali: penari.
16. Sudarmin, Sukoharjo: penangggap.