11320252-Definisi-Akuntansi
-
Upload
ramses-sobaros -
Category
Documents
-
view
247 -
download
0
Transcript of 11320252-Definisi-Akuntansi
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan umum tentang akuntansi
2.1.1 Pengertian akuntansi
Warren dkk (2005:10) menjelaskan bahwa: “secara umum, akuntansi dapat
didefinisikan sebagai sistem informasi yang menghasilkan laporan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan mengenai aktivitas ekonomi dan kondisi perusahaan”.
Littleton (Muhammad, 2002:10) mendefinisikan: “tujuan utama dari akuntansi adalah
untuk melaksanakan perhitungan periodik antara biaya (usaha) dan hasil (prestasi).
Konsep ini merupakan inti dari teori akuntansi dan merupakan ukuran yang dijadikan
sebagai rujukan dalam mempelajari akuntansi.”
Accounting Principle Board Statement No. 4 (Muhammad, 2002:10)
mendefinisikan akuntansi sebagai suatu kegiatan jasa yang berfungsi untuk
memberikan informasi kuantitatif, umumnya dalam ukuran uang, mengenai suatu
badan ekonomi yang dimaksudkan untuk digunakan dalam pengambilan keputusan
ekonomi, yang digunakan dalam memilih di antara beberapa alternatif. American
Institute of Certified Public Accountant (Muhammad, 2002:11) mendefinisikan
sebagai berikut: “akuntansi adalah seni pencatatan, penggolongan, dan pengikhtisaran
dengan cara tertentu dan dalam ukuran moneter, transaksi dan kejadian-kejadian yang
umumnya bersifat keuangan dan termasuk menafsirkan hasil-hasilnya.”
2.1.2 Perbedaan akuntansi Bank Konvensional dengan akuntansi Bank Syariah
a. Definisi
Pengertian bank menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2004) adalah lembaga
yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak yang
memilki dana dan pihak-pihak yang memerlukan dana, serta sebagai lembaga yang
berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.
Pengertian bank menurut UU no. 7 tahun 1992 tentang perbankan adalah:
“bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan, dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak, sedangkan bank umum adalah bank yang dapat memberikan
jasa dalam lalu lintas pembayaran”. Siamat (2005) mengemukakan bahwa perbankan
syariah pada dasarnya adalah sistem perbankan yang dalam usahanya didasarkan
pada prinsip-prinsip hukum atau syariah Islam dengan mengacu kepada al-Qur’an
dan al-Hadits, beroperasi dengan mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam,
khususnya menyangkut tata cara bermuamalat misalnya dengan menjauhi praktik-
praktik yang mengandung unsur-unsur riba dan melakukan kegiatan investasi atas
dasar bagi hasil pembiayaan.
b. Karakteristik
1. Karakteristik bank konvensional
Anonimous (2001) menjelaskan bahwa karakteristik bank konvensional
meliputi beberapa hal:
a. Merupakan industri yang kegiatan usahanya mengandalkan kepercayaan
masyarakat sehingga tingkat kesehatan bank perlu dipelihara.
b. Pengelola bank dalam usahanya dituntut untuk senantiasa menjaga
keseimbangan antara pemeliharaan likuiditas yang cukup dan pencapaian
rentabilitas yang wajar serta pemenuhan kebutuhan modal yang memadai
sesuai dengan jenis penanamannya.
c. Bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat dan bagian dari sistem
moneter mempunyai kedudukan yang strategis sebagai penunjang
pembangunan ekonomi.
2. Karakteristik bank syariah
Ikatan Akuntan Indonesia (2004) menyebutkan bahwa karakteristik bank
syariah adalah:
1. Berdasarkan prinsip syariah
2. Implementasi prinsip ekonomi Islam dengan ciri:
a. Pelarangan riba dalam berbagai bentuknya
b. Tidak mengenal konsep time-value of money
c. Uang sebagai alat tukar bukan komoditi yang diperdagangkan
1. Beroperasi atas dasar bagi hasil
2. Kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa
3. Tidak menggunakan “bunga” sebagai alat untuk memperoleh pendapatan
4. Azas utama : kemitraan, keadilan, transparansi dan universal
5. Tidak membedakan secara tegas sektor moneter dan sektor riil, dapat
melakukan transaksi-transaksi sektor riil.
c. Tujuan laporan keuangan
Ikatan Akuntan Indonesia (2004) menyatakan bahwa tujuan laporan keuangan
bank syariah pada dasarnya sama dengan tujuan laporan keuangan secara umum yaitu
menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja dan perubahan
posisi keuangan suatu perusahaan yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai
dalam pengambilan keputusan ekonomi. Namun laporan keuangan bank syariah
memiliki beberapa tambahan antara lain menyediakan:
a. Informasi kepatuhan bank terhadap prinsip syariah, serta informasi
pendapatan dan beban yang tidak sesuai dengan prinsip syariah bila ada dan
bagaimana pendapatan tersebut diperoleh serta penggunaannya
b. Informasi untuk membantu mengevaluasi pemenuhan tanggung jawab bank
terhadap amanah dalam mengamankan dana, menginvestasikannya pada
tingkat keuntungan yang layak, dan informasi mengenai tingkat keuntungan
investasi yang diperoleh pemilik dan pemilik dana investasi terikat; dan
c. Informasi mengenai pemenuhan fungsi sosial bank, termasuk pengelolaan dan
penyaluran zakat.
d. Asumsi dasar
Ikatan Akuntan Indonesia (2004) menjelaskan bahwa asumsi dasar konsep
akuntansi bank syariah sama dengan asumsi dasar konsep akuntansi keuangan secara
umum yaitu konsep kelangsungan usaha (going concern) atas dasar akrual.
Pendapatan untuk tujuan penghitungan bagi hasil menggunakan dasar kas.
Pengakuan pendapatan dalam akuntansi bank konvensional menggunakan
dasar akrual. Artinya, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian
(bukan pada saat kas atau setara kas diterima atau dibayar) dan dicatat dalam catatan
akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode yang bersangkutan.
Dalam akuntansi syariah digunakan dua dasar yaitu dasar akrual (accrual basis) yang
diterapkan untuk beban yang ditangguhkan, dan dasar kas (cash basis) yang
digunakan untuk menentukan pendapatan. Pengakuan pendapatan dilakukan pada saat
diterima didasarkan pada ketentuan syariah yaitu pendapatan tidak dapat diakui
sebelum diterima atau ditetapkan sebagai hak miliknya (Anonimous,2001).
e. Laporan Keuangan
Menurut IAI (2004), laporan keuangan meliputi neraca, laporan laba rugi,
laporan perubahan ekuitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Pada
bank syariah, komponen laporan keuangannya sama dengan bank konvensional, akan
tetapi terdapat beberapa tambahan yaitu laporan perubahan dana investasi terikat,
laporan sumber dana dan penggunaan dana zakat, infaq dan shadaqah, serta laporan
sumber dan penggunaan dana qardhul hasan.
2.2 Tinjauan umum tentang bank syariah
2.2.1 Perbedaan antara bunga dan bagi hasil
Bagi seorang muslim, sumber nilai dan sumber hukum adalah Al-Quran dan
Sunnah Nabi. Konsekuensinya, apapun nilai yang dibutuhkan dalam analisis dan
perilaku ekonomi harus bersandar pada kedua sumber nilai tersebut. Ini tercermin
dari pandangan Islam mengenai bunga. Uniknya, di kalangan ulama dan cendekiawan
Islam masih terjadi polemik apakah bunga sama dengan riba.
Riba menurut bahasa arab berarti tambahan, peningkatan, ekspansi atau
pertumbuhan. Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan (premium)
sebagai syarat yang harus dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman selain
pinjaman pokok. Dalam hal ini, riba memiliki arti yang sama dengan bunga
sebagaimana konsensus para fuqaha (Kuncoro 2002:588).
Antonio (2004) menjelaskan bahwa menurut Al-Quran, pandangan Islam
mengenai riba dapat dilihat pada kutipan 4 surat dengan beberapa ayat, yang
diturunkan dalam empat tahap berikut ini: Surat Ar-Rum ayat 39 menyatakan ”Dan
sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia.
Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa
zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat
demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”. Tahap pertama ini
menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zahirnya seolah-olah menolong
mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati taqarrub kepada Allah.
Masih menurut Antonio (2004), ia menyatakan bahwa dalam tahap kedua, riba
digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah SWT mengancam akan memberi
balasan yang keras kepada orang yahudi yang memakan riba, sebagaimana yang
dijelaskan dalam surat An-Nisa ayat 160-161: “Maka disebabkan kezaliman orang-
orang yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka memakan harta orang dengan
jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka
itu siksa yang pedih”.
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan yang
berlipat ganda. Para ahli tafsir berpendapat bahwa pengambilan bunga dengan tingkat
yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak dipraktikkan pada masa
tersebut. Allah berfirman dalam surat Ali imran ayat 130: “Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Ayat ini turun pada tahun ke-3
Hijriah. Secara umum, ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat ganda
bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jikalau bunga berlipat ganda maka
riba, tetapi jikalau kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktik
pembungaan uang pada saat itu (Antonio,2004).
Antonio (2004) mengemukakan bahwa pada tahap terakhir, Allah SWT
dengan jelas dan tegas mengharamkan apapun jenis tambahan yang diambil dari
pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba yaitu Surat Al-
Baqarah 278-279:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka, jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan, jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.
Sekali lagi, Islam mendorong praktik bagi hasil serta mengharamkan riba.
Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya
mempunyai perbedaan yang sangat nyata. Perbedaan itu dapat dijelaskan dalam tabel
berikut:
TABEL 1
PERBEDAAN ANTARA BUNGA DAN BAGI HASIL
BUNGA BAGI HASIL
a. Penentuan bunga dibuat pada waktu
akad dengan asumsi harus selalu
untung
a. Penentuan besarnya rasio/nisbah
bagi hasil dibuat pada waktu akad
dengan berpedoman pada
kemungkinan untung rugi
b. Besarnya persentase berdasarkan
pada jumlah uang (modal) yang
dipinjamkan.
b. Besarnya rasio bagi hasil
berdasarkan pada jumlah
keuntungan yang diperolehc. Pembayaran bunga tetap seperti yang
dijanjikan tanpa pertimbangan
apakah proyek yang dijalankan oleh
pihak nasabah untung atau rugi.
c. Bagi hasil bergantung pada
keuntungan proyek yang dijalankan.
Bila usaha merugi, kerugian akan
ditanggung bersama oleh kedua
belah pihakd. Jumlah pembayaran bunga tidak
meningkat sekalipun jumlah
keuntungan berlipat atau keadaan
ekonomi sedang “booming”
d. Jumlah pembagian laba meningkat
sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
e. Eksistensi bunga diragukan (kalau
tidak dikecam) oleh semua agama,
termasuk Islam.
e. Tidak ada yang meragukan
keabsahan bagi hasil.
Sumber: M. Syafi’i Antonio (2004)
2.2.2 Perbedaan bank konvensional dan bank bagi hasil
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki
persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer,
teknologi komputer yang digunakan, syarat-syarat umum memperoleh pembiayaan,
dan sebagainya. Akan tetapi terdapat banyak perbedaan mendasar di antara keduanya.
Perbedaan-perbedaan itu dapat disimpulkan dalam tabel di bawah ini:
TABEL II
PERBEDAAN BANK SYARIAH DAN BANK KONVENSIONAL
Permasalahan Bank syariah Bank konvensionalRisiko akad 1. akad jual-beli
al murabahah
2. akad bagi hasil
al musyarakah
al mudharabah
3. akad sewa
ijaroh mutlaq
ijaroh muntahiyah
bitamlik
Sesuai dengan akadnya sehingga
angsuran akan selalu tetap, sesuai
dengan kesepakatan di muka
1. akadnya adalah kredit /
pinjam uang sehingga
angsuran tidak bisa
dijamin akan tetap
Landasan
operasional
• tidak bebas nilai (berdasarkan prinsip syariah islam)
• uang sebagai alat tukar bukan komoditi
• bunga dalam berbagai bentuknya dilarang
• menggunakan prinsip bagi hasil dan keuntungan atas transaksi riil
• bebas nilai (berdasarkan prinsip materialistis)
• uang sebagai komoditi yang dipertahankan
• bunga sebagai instrument imbalan teradap pemilik uang yang ditetapkan dimuka
Fungsi dan • agen investasi/manajer • penghimpun dana
peran investasi
• investor
• penyediaan jasa lalu lintas
pembayaran (tidak
bertentangan syariah)
• pengelola dana kebajikan,
ZIS
• hubungan dengan nasabah
adalah hubungan kemitraan
masyarakat dan
meminjamkan kembali
kepada masyarakat dalam
kredit dengan imbalan
bunga
• penyedia jasa/lalu lintas
pembayaran
• hubungan dengan
nasabah adalah hubungan
debitur krediturRisiko usaha • dihadapi bersama antara bank
dengan nasabah dengan
prinsip keadilan dan kejujuran
• tidak mengenal kemungkinan
terjadinya selisih negatif
(negative spread) karena
sistem yang digunakan
• risiko bank tidak terkait
langsung dengan debitur,
dan sebaliknya
• kemungkinan terjadi
selisih negatif antara
pendapatan dan beban
bungaSistem
pengawasan
Adanya Dewan Pengawas
Syariah untuk memastikan
operasional bank tidak
menyimpang dari syariah
disamping tuntutan moralitas
pengelola bank dan nasabah
sesuai dengan akhlakul karimah
Aspek moralitas seringkali
terlanggar karena tidak
adanya nilai-nilai religius
yang mendasari operasional
Sumber: The Sharia Banking Training Center Yogyakarta
2.2.3 Kegiatan operasional bank bagi hasil
Berdasarkan peraturan Bank Indonesia nomor: 62/24/PBI/2004 tanggal 14
Oktober 2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan
prinsip syariah (Siamat, 2005), kegiatan usaha bank syariah dapat dibedakan sebagai
berikut :
A. Penghimpunan Dana (Funding)
Penghimpunan dana atau disebut juga funding adalah kegiatan penarikan dana
atau penghimpunan dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi
berdasarkan prinsip syariah. Berkaitan dengan kegiatan tersebut, dalam prinsip
syariah dibedakan antara simpanan yang tidak memberikan imbalan dan simpanan
yang mendapatkan imbalan. Prinsip operasional syariah yang telah diterapkan secara
luas dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip al-wadi’ah dan al-
mudharabah. Bentuk-bentuk simpanan berdasarkan prinsip syariah dapat disebutkan
sebagai berikut:
a. Giro berdasarkan prinsip al-wadi’ah
b. Tabungan berdasarkan prinsip al-wadi’ah dan atau al- mudharabah; atau
c. Deposito berjangka berdasarkan prinsip al-mudharabah
a. Prinsip Al -Wadi’ah
Produk pendanaan pada bank syariah pada prinsipnya tidak berbeda dengan
produk pendanaan bank konvensional. Namun yang membedakan adalah penggunaan
prinsip syariah yang menyertai masing-masing produk pendanaan, misalnya bahwa
giro dan tabungan pada dasarnya dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip al-
wadi’ah. Giro dan tabungan al wadi’ah adalah simpanan atau titipan yang kedua-
duanya dapat ditarik sewaktu-waktu. Al-wadi’ah berarti titipan murni dari nasabah
kepada bank atau pihak lain yang harus dijaga dan dikembalikan kepada penitip
(penabung) kapan saja ia inginkan (Siamat, 2004).
Siamat (2004) menjelaskan bahwa prinsip al-wadiah yang berlaku baik untuk
simpanan dalam bentuk giro maupun tabungan dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Berdasarkan karakteristik giro dan tabungan menggunakan prinsip syariah al-
wadiah yad dhamamah. Artinya bank dapat memanfaatkan dan menyalurkan
kedua jenis sumber dana tersebut serta menjamin simpanan dapat ditarik
setiap saat oleh pemilik dana (penabung).
b. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau
ditanggung bank, sedangkan pemilik dana tidak memperoleh imbalan atau
menanggung kerugian
c. Manfaat yang diperoleh pemilik dana (penabung) adalah jaminan keamanan
terhadap dana titipannya serta fasilitas-fasilitas pelayanan giro dan tabungan
lainnya.
d. Pada dasarnya bank dapat memberikan bonus kepada pemilik dana namun
tidak ada perjanjian di muka.
e. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin
penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
f. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan biaya administrasi.
Untuk menghindari riba, maka biaya administrasi harus dinyatakan dengan
nominal, bukan persentase.
g. Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan
tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
b. Prinsip Al-Mudharabah
Al-Mudharabah adalah perjanjian antara penanam dana dan pengelola dana
untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian keuntungan antara
kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Antonio (2004) mendefinisikan al-mudharabah sebagai akad kerja sama usaha antara
dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah
dibagi menurut kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Apabila terjadi kerugian,
hal tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
kelalaian pengelola.
Produk pendanaan yang dapat menggunakan prinsip al-mudharabah adalah
tabungan dan deposito berjangka. Selanjutnya, Siamat (2004) mengemukakan bahwa
berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pihak pemilik dana (penabung), prinsip
al-mudharabah dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu mudharabah muthlaqah dan
mudharabah muqayyadah.
a. Mudharabah Muthlaqah adalah kerjasama antara pemilik dana (shahibul
maal) dan mudharib (bank) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan wilayah bisnis. Artinya, pemilik dana
memberikan bank kekuasaan yang sangat besar dalam penggunaan dana
simpanannya kepada mudharib. Dalam kegiatan penghimpunan dana, prinsip
mudharabah mutlaqah dapat diterapkan untuk pembukaan rekening tabungan
dan deposito berjangka.
b. Mudharabah Muqayyadah
Jenis mudharabah al-muqayyadah merupakan simpanan dana khusus dimana
pemilik dana menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus diikuti oleh bank.
Mudharabah al-muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah
mutlaqah dimana mudharib (bank) dibatasi jenis usaha, waktu, atau tempat
usaha.
B. Penyaluran Dana
Kegiatan penyaluran dana atau pembiayaan bank syariah harus tetap
berpedoman pada prinsip-prinsip kehati-hatian yang diatur oleh Bank Indonesia. Oleh
karena itu, bank diwajibkan untuk meneliti secara seksama calon nasabah penerima
dana berdasarkan azas pembiayaan yang sehat. Ketentuan-ketentuan lain yang
berkaitan dengan penyaluran dana perbankan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Bentuk penyaluran dana atau pembiayaan yang
dilakukan bank syariah dalam melaksanakan operasinya menurut Siamat (2004)
secara garis besar dapat dibedakan ke dalam 4 kelompok sebagai berikut :
1. Prinsip jual beli (Bai’)
2. Prinsip bagi hasil
3. Prinsip sewa menyewa (ijarah)
4. Prinsip pinjam-meminjam berdasarkan akad qardh
1. Prinsip Jual Beli (Bai’)
Dalam penerapan prinsip syariah terdapat 3 jenis prinsip jual beli (bai’) yang
banyak dikembangkan oleh perbankan syariah dalam kegiatan pembiayaan modal
kerja dan produksi, yaitu bai’ al- murabahah, bai’ as-salam dan bai’ al-istishna. Bai’
al-murabahah pada dasarnya adalah transaksi jual beli barang dengan tambahan
keuntungan yang disepakati. Untuk memenuhi kebutuhan barang oleh nasabahnya,
bank membeli barang dari supplier sesuai dengan spesifikasi barang yang dipesan
atau dibutuhkan nasabah, kemudian bank menjual kembali barang tersebut kepada
nasabah dengan memperoleh marjin keuntungan yang disepakati. Nasabah sebagai
pembeli dalam hal ini dapat memilih jenis transaksi tunai, cicilan, atau angguhan.
Umumnya, nasabah memilih metode pembayaran secara cicilan. Adapun bai’ as-
salam adalah pembelian suatu barang yang penyerahannya dilakukan kemudian hari
sedangkan pembayarannya dilaksanakan di muka secara tunai. Bai’ as-salam dalam
perbankan biasanya diaplikasikan pada pembiayaan berjangka pendek untuk produksi
agribisnis atau hasil pertanian atau hasil industri lainnya. Bai’ al-istishna pada
dasarnya merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang dengan
pembayaran di muka, baik dilakukan dengan cara tunai, cicil, atau ditangguhkan.
Untuk melaksanakan skim bai’ al-istishna kontrak dilakukan di tempat pembuat
barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang dapat saja membuat barang
yang dipesan atau dibeli sesuai spesifikasi pesanan yang disebutkan dalam kontrak
kemudian menjualnya kembali kepada pembeli. Prinsip bai’ al- istishna ini
menyerupai bai’ as-salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan di
muka, dicicil, atau ditangguhkan. Sementara dalam skim bai’ assalam dilakukan
secara tunai (Siamat, 2004).
2. Prinsip bagi hasil
Bagi hasil atau profit sharing dalam perbankan berdasarkan prinsip syariah
terdiri dari empat jenis akad, yaitu al-mudharabah, al-musyarakah, al-muzara’ah,
dan al-musaqah (Siamat, 2004). Namun yang paling banyak diimplementasikan
dalam perbankan syariah adalah dua prinsip bagi hasil pertama, yaitu al-mudharabah
dan al-musyarakah. Oleh karena itu, yang akan dibahas hanyalah prinsip bagi hasil
dengan akad al-mudharabah dan al-musyarakah.
a. Al-Musyarakah
Antonio (2004) mendefinisikan al-musyarakah secara singkat namun jelas,
yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau keahlian dengan kesepakatan
bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
An-Nabhani (1996) mengemukakan bahwa menurut makna syariat, syirkah adalah
suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha
dengan tujuan memperoleh keuntungan. Musyarakah dalam perbankan biasanya
diaplikasikan untuk pembiayaan proyek di mana nasabah dan bank sama-sama
menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Modal yang disetor bisa berupa
uang, barang perdagangan (trading asset), property, equipment, atau intangible asset
(seperti hak paten dan goodwill), dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai
dengan uang. Semua modal digabung untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan
dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan
kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek.
Prinsip al-musyarakah (al-musyarakah aqad) menurut Siamat (2004) dapat
dibagi ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
1. Syirkah al’inan
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing
pihak menyerahkan suatu bagian/porsi modal dan ikut aktif dalam usaha/kerja.
Porsi setoran modal masing-masing dibagi sesuai kesepakatan, dan tidak harus
sama besar. Demikian pula keuntungan atau kerugian yang terjadi jumlahnya
tidak harus sama dan dilakukan berdasarkan kontrak atau perjanjian.
2. Syirkah Mufawadhah
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing
pihak menyerahkan bagian modal yang jumlahnya sama besar dan ikut
berpartisipasi dalam pekerjaan. Demikian pula tanggung jawab dan beban utang
dibagi oleh masing-masing pihak.
3. Syirkah A’mal (Syirkah Abdan atau Sanaa’i)
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih yang memiliki keahlian
atau profesi yang sama untuk menyelesaikan suatu pekerjaan dimana keuntungan
dibagi bersama.
4. Syirkah Wujuh
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih yang masing-masing
memiliki reputasi dan kredibilitas (kepercayaan) dalam melakukan suatu usaha.
5. Syirkah Al-Mudharabah
Yaitu perjanjian kerjasama antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang satu
menyediakan dana dan pihak lainnya menyediakan tenaga atau keahlian.
Beberapa ahli fiqih berpendapat bahwa al-mudharabah tidak dikelompokkan ke
dalam prinsip al-musyarakah
b. Al- Mudharabah
Al-Mudharabah pada dasarnya adalah perjanjian kerjasama antara dua pihak
atau lebih di mana salah satu pihak menyediakan dana dan pihak lainnya
menyediakan tenaga atau keahlian. Antonio (2004) mendefinisikan al-mudharabah
sebagai suatu perjanjian kerjasama antara dua pihak di mana pihak pertama (pemilik
modal atau shahibul maal) menyediakan seluruh kebutuhan modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola (mudharib). Keuntungan usaha yang diperoleh akan dibagi
berdasarkan perjanjian atau kesepakatan. Sebaliknya apabila usaha mengalami
kerugian yang disebabkan bukan karena kesalahan atau kelalaian pihak pengelola
(mudharib), kerugian tersebut merupakan tanggung jawab pemilik modal (shahibul
maal).
Siamat (2004) mengemukakan bahwa prinsip al- mudharabah dapat
digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu al-mudharabah muthlaqah dan al-
mudharabah muqayyadah. Implementasi konsep al-mudharabah muthlaqah dalam
perbankan syariah diatur sebagai berikut:
1. Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus
berupa uang tunai. Apabila modal diserahkan secara bertahap, tahapannya harus
jelas dan disepakati bersama.
2. Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah diperhitungkan dengan
cara:
1. Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
2. Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
3. Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau
waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian
kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti
penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana.
4. Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak
mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan
sengaja, misalnya tidak mau membayar kewajiban, atau menunda pembayaran
kewajiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
Karakteristik mudharabah muqayyadah dalam penerapannya di dalam
perbankan syariah pada dasarnya sama dengan persyaratan mudharabah mutlaqah
bagi perbankan syariah yang telah dijelaskan di atas. Perbedaannya adalah
penyediaan modal yang hanya untuk kegiatan tertentu dan dengan syarat yang
sepenuhnya ditetapkan oleh bank sebagai shahibul maal.
3. Prinsip Sewa Menyewa
Sewa menyewa pada dasarnya merupakan transaksi sewa guna usaha atau
leasing. Oleh karena itu sebagaimana dalam praktek, sewa guna usaha bisa dalam
bentuk sewa guna usaha dengan hak opsi atau financial lease dan sewa guna usaha
tanpa hak opsi atau operating lease. Dalam syariah Islam prinsip sewa menyewa ini
dibedakan berdasarkan akad, yaitu al-ijarah dan al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik
(Siamat, 2004).
Al-Ijarah adalah perjanjian pemindahan hak guna atau manfaat atas suatu
barang atau jasa dengan membayar sewa untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa
diikuti pemindahan hak kepemilikan atas barang tersebut. Al-Ijarah al-Muntahiya
Bittamlik adalah akad atau perjanjian yang merupakan kombinasi antara jual-beli dan
sewa-menyewa suatu barang antara bank dengan nasabah di mana nasabah (penyewa)
diberi hak untuk membeli atau memiliki obyek sewa pada akhir akad (Siamat, 2004).
4. Prinsip pinjam-meminjam berdasarkan akad al-Qardh
Antonio (2004) memberikan pengertian al-qardh sebagai pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dengan kata lain qardh
berarti meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Penerapan prinsip al-qardh
dalam perbankan syariah biasanya dilakukan kepada orang atau nasabah yang sangat
memerlukan dana, terutama kepada nasabah yang kurang mampu atau usaha kecil.
Pinjaman yang diberikan tidak disertai tambahan. namun biasanya bank mengenakan
uang administrasi yang nilainya relatif kecil dan meminta jaminan.
C. Jasa-Jasa Bank Syariah
Jenis jasa yang diberikan perbankan syariah kepada nasabah berdasarkan akad
dengan mendapatkan imbalan atau fee, antara lain al-wakalah, hawalah, kafalah,
rahn. Dalam aplikasi perbankan, al-wakalah terjadi apabila nasabah memberikan
kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan atau jasa tertentu,
seperti pembukaan L/C, inkaso, dan transfer uang. Al-Hawalah adalah pengalihan
utang dari orang yang berutang (debitur) kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Transaksi ini pada dasarnya merupakan pemindahan beban utang
dari debitur menjadi tanggungan pihak lain yang berkewajiban menanggung
pembayaran utang. Al-Kafalah adalah garansi atau jaminan yang diberikan oleh
penanggung kepada pihak ketiga untuk menanggung kewajiban pihak kedua
(tertanggung) apabila tertanggung tidak dapat memenuhi kewajibannya. Sebagaimana
halnya dalam praktek bank konvensional, perbankan syariah pada dasarnya dapat
memberikan jaminan berupa garansi bank kepada nasabahnya. Al-Rahn adalah harta
atau aset yang harus diserahkan oleh peminjam (debitur) sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya dari bank. Tujuan pemberian fasilitas ini oleh bank adalah
untuk membantu nasabah dalam pembiayaan usahanya (Siamat, 2004).
2.2.4 Konsep pengakuan dan pengukuran akuntansi bank syariah
A. Pengakuan dan pengukuran pendapatan
Ikatan Akuntan Indonesia (2004) mendefinisikan pendapatan sebagai arus
masuk bruto dari manfaat ekonomi yang timbul dari aktivitas normal perusahaan
selama suatu periode bila arus masuk itu mengkibatkan kenaikan ekuitas, yang tidak
berasal dari kontribusi penanam modal. FASB melalui SFAC No. 6 (Nasrullah,
2001:20) memberikan definisi pendapatan sebagai aliran masuk atau peningkatan lain
suatu aktiva sebuah entitas atau pelunasan utang (atau kombinasi dari keduanya) dari
pengiriman atau produksi barang, pemberian jasa atau aktivitas lainnya yang
merupakan kegiatan utama dan masih berlangsung dari entitas tersebut.
Ikatan Akuntan Indonesia (2004) menjelaskan tentang definisi pengakuan,
bahwa pengakuan merupakan proses pembentukan suatu pos yang memenuhi
definisi unsur serta kriteria pengakuan dibawah ini, dalam neraca dan laporan laba
rugi:
a. Ada kemungkinan bahwa manfaat ekonomi yang berkaitan dengan pos
tersebut akan mengalir dari atau ke dalam perusahaan; dan
b. Pos tersebut mempunyai nilai atau biaya yag dapat diukur dengan andal.
Pengakuan dilakukan dengan menyatakan pos tersebut baik dalam kata-kata
maupun dalam jumlah uang dan mencantumkannya ke dalam neraca atau laporan laba
rugi. Pos yang memenuhi kriteria tersebut harus diakui dalam neraca atau laporan
laba rugi. Kelalaian untuk mengakui pos semacam itu tidak dapat diralat melalui
pengungkapan kebijakan akuntansi yang digunakan maupun melalui catatan atau
materi penjelasan.
Penghasilan diakui dalam laporan laba rugi kalau kenaikan manfaat ekonomi
di masa depan yang berkaitan dengan peningkatan aktiva atau penurunan kewajiban
(misalnya, kenaikan bersih aktiva yang timbul dari penjualan barang atau jasa atau
penurunan kewajiban yang timbul dari pembebasan pinjaman yang masih harus
dibayar.
Pengukuran adalah proses penetapan jumlah uang untuk mengakui dan
memasukkan setiap unsur laporan keuangan dalam neraca dan laporan laba rugi.
Proses ini menyangkut pemilihan dasar pengukuran tertentu. Pendapatan harus
diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima. Jumlah
tersebut diukur dengan nilai wajar imbalan yang diterima atau yang dapat diterima
perusahaan, dikurangi jumlah diskon dagang dan rabat volume yang diperbolehkan
perusahaan (IAI, 2004).
B. Pengakuan dan Pengukuran pembiayaan mudharabah
IAI (2003) menjelaskan tentang pengakuan dan pengukuran pembiayaan
mudharabah sebagai berikut:
1. Pembiayaan mudharabah dalam bentuk kas diakui pada saat pembayaran sebesar
jumlah uang yang diberikan bank kepada pengelola dana.
2. Pembiayaan mudharabah yang diberikan dalam bentuk aktiva non kas dinilai
sebesar nilai wajar aktiva non kas. Selisih antara nilai wajar dan nilai buku aktiva
non kas diakui sebagai keuntungan atau kerugian bank pada saat penyerahan
kepada pengelola dana.
3. Pembiayaan mudharabah yang diberikan secara bertahap diakui pada setiap tahap
pembayaran.
4. Biaya yang terjadi akibat akad mudharabah tidak dapat diakui sebagai bagian
pembiayaan mudharabah kecuali telah disepakati bersama.
5. Pembayaran kembali pembiayaan mudharabah oleh mudharib akan mengurangi
pembiayaan mudharabah.
6. Apabila sebagian pembiayaan mudharabah hilang sebelum dimulainya
pekerjaan/proyek karena adanya kerusakan atau sebab lainnya tanpa adanya
kelalaian atau kesalahan pihak mudharib, maka kerugian tersebut mengurangi
pembiayaan mudharabah dan diakui sebagai kerugian bank. Apabila kehilangan
tersebut terjadi setelah dimulainya pekerjaan, hal itu tidak mempengaruhi
penilaian pembiayaan mudrahabah .
7. Apabila seluruh pembiayaan mudrahabah hilang dan bukan disebabkan oleh
kelalaian atau kesalahan mudharib, maka pembiayaan mudharabah diakhiri dan
kerugian yang timbul diakui sebagai beban bank.
8. Apabila akad mudharabah diakhiri sebelum jatuh tempo dan saldo pembiayaan
mudharabah tidak langsung dibayar oleh mudharib, maka pembiayaan
mudharabah diakui sebagai piutang mudharabah jatuh tempo.
9. Penyisihan penghapusan pembiayaan mudharabah harus dibentuk sesuai dengan
ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
10. Pengakuan keuntungan/laba pembiayaan mudharabah diakui pada periode
terjadinya hak bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati.
11. Pengakuan kerugian pembiayaan mudrahabah diakui pada saat terjadinya
kerugian tersebut dan mengurangi saldo pembiayaan mudharabah.
12. Kerugian yang timbul akibat kelalaian atau kesalahan mudharib diakui sebagai
piutang mudharabah jatuh tempo.
C. Pengakuan dan Pengukuran Pembiayaan Musyarakah
IAI (2004) menjelaskan tentang pengakuan dan pengukuran pembiayaan
musyarakah sebagai berikut:
a. Pengakuan dan pengukuran awal pembiayaan musyarakah:
1. Pembiayaan musyarakah diakui pada saat pembayaran tunai atau penyerahan
aktiva non kas kepada mitra musyarakah
2. Pengukuran pembiayaan musyarakah adalah sebagai berikut:
1) pembiayaan musyarakah dalam bentuk: kas dinilai sebesar jumlah yang
dibayarkan dan aktiva non kas dinilai sebesar nilai wajar dan jika
terdapat selisih antara nilai wajar dan nilai buku aktiva non kas, maka
selisih tersebut diakui sebagai keuntungan atau kerugian bank pada saat
penyerahan.
2) Biaya yang terjadi akibat akad musyarakah (misalnya, biaya studi
kelayakan) tidak dapat diakui sebagai bagian pembiayaan musyarakah
kecuali ada persetujuan dari seluruh mitra musyawarah.
b. Pengukuran bagian bank atas pembiayaan musyarakah setelah akad
1. Bagian bank atas pembiayaan musyarakah permanen dinilai sebesar nilai
historis (jumlah yang dibayarkan atau nilai wajar aktiva nonkas pada saat
penyerahan modal musyarakah) setelah dikurangi dengan kerugian, apabila
ada.
2. Bagian bank atas pembiayaan musyarakah menurun dinilai sebesar nilai
historis sesudah dikurangi dengan bagian pembiayaan bank yang telah
dikembalikan oleh mitra (yaitu sebesar harga jual yang wajar) dan kerugian,
apabila ada. Selisih antara nilai historis dan nilai wajar bagian pembiayaan
musyarakah yang dikembalikan diakui sebagai keuntungan atau kerugian
bank pada periode berjalan
3. Jika akad musyarakah yang belum jatuh tempo diakhiri dengan pengembalian
seluruh atau sebagian modal, maka selisih antara nilai historis dan nilai
pengembalian diakui sebagai laba atau rugi pada periode berjalan.
4. Pada saat akad diakhiri, pembiayaan musyarakah yang belum dikembalikan
oleh mitra diakui sebagai piutang jatuh tempo kepada mitra.
c. Pengakuan laba atau rugi musyarakah
1. Laba pembiayaan musyarakah diakui sebesar bagian bank sesuai dengan
nisbah yang disepakati atas hasil usaha musyarakah. Sedangkan rugi
pembiayaan musyarakah diakui secara proporsional sesuai dengan kontribusi
modal.
2. Apabila pembiayaan musyarakah permanen melewati satu periode pelaporan,
maka laba diakui dalam periode terjadinya sesuai dengan nisbah bagi hasil
yang disepakati dan rugi diakui dalam periode terjadinya kerugian tersebut
dan mengurangi pembiayaan musyarakah.
3. Apabila pembiayaan musyarakah menurun melewati satu periode pelaporan
dan terdapat pengembalian sebagian atau seluruh pembiayaan, maka laba
diakui dalam periode terjadinya sesuai dengan nisbah yang disepakati, dan
rugi diakui dalam periode terjadinya secara proporsional sesuai dengan
kontribusi modal dan mengurangi pembiayaan musyarakah.
4. Pada saat akad diakhiri, laba belum diterima bank dari pembiayaan
musyarakah yang masih performing diakui sebagai piutang kepada mitra.
Untuk pembiayaan musyarakah yang non performing diakhiri maka laba yang
belum diterima bank tidak diakui tetapi diungkapkan dalam catatan atas
laporan keuangan.
5. Apabila terjadi rugi dalam musyarakah akibat kelalaian atau kesalahan mitra
pengelola usaha musyarakah, maka rugi tersebut ditanggung oleh mitra
pengelola usaha musyarakah. Rugi karena kelalaian mitra musyarakah
tersebut diperhitungkan sebagai pengurang modal mitra pengelola usaha,
kecuali jika mitra mengganti kerugian tersebut dengan dana baru.
2.3 Pandangan Islam terkait konsep pelaksanaan mudharabah dan musyarakah
2.3.1 Beberapa prinsip mudharabah
a. Yadul Amanah
Konsep mudharabah memiliki prinsip bahwa modal yang dikelola
oleh mudharib (pekerja) adalah yadul amanah artinya ia tidak menanggung
apapun ketika modal tersebut hilang, berkurang atau rusak kecuali jika hal itu
disebabkan oleh kelalaiannya. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di
kalangan fuqaha. Ibnu Munzir (Al-Qudamah, 1985:44) mengatakan bahwa
seluruh ahli ilmu sebagaimana yang kami ketahui sepakat bahwa perkataan
yang dijadikan patokan dalam hal modal adalah amil sebab ia adalah amin
(orang yang dipercaya).
Al-Kasany seorang ulama bermadzhab Hanafy (87:1982)
mengatakan “Modal sebelum dibelanjakan oleh mudharib adalah amanah di
tangannya sebagaimana halnya barang titipan (wadi’ah)”. Ibnu Abdil Bar dari
Madzhab Maliky (Ibnu Fuad, 2006:389) mengatakan bahwa orang yang
menjadi muqaridh (mudharib) adalah terpercaya, diterima ucapannya
terhadap apa yang ia klaim tentang hilangnya harta dan setiap kerugian
padanya.
Asy-Syarbiny dari madzhab Syafiiy (Ibnu Fuad 2006:343)
mengatakan perkataan tentang jaminan harta qiradh bahwa tidak ada
tanggungan atas pekerja karena hilangnya seluruh atau sebagian harta. Hal itu
karena ia adalah pihak yang dipercaya (amin) maka ia tidak menanggung hal
tersebut kecuali karena kelalaiannya.
Al-Ghazali (Ibnu Fuad 2006:130) mengatakan bahwa jika terjadi
perselisihan antara pemilik modal dan pekerja maka yang dimenangkan
adalah ucapan pekerja karena ia adalah pihak yang dipercaya selama ia tidak
lalai sebagaimana halnya barang titipan jika tejadi perselisihan maka yang
dimenangkan adalah pihak yang dititipi. Ibnu Qudamah dari madzhab Hanbali
(1982:44) juga menyatakan hal yang senada “Pihak amil adalah orang yang
dipercaya (amin) dalam harta mudharabah karena ia adalah pihak pengelola
harta milik orang lain dengan izinnya yang tidak dikhususkan untuk
manfaatnya saja. Oleh karena itu ia adalah amin”.
Dengan demikian jika seorang melakukan transaksi mudharabah
dimana satu pihak bertindak sebagai pemilik modal sementara pihak lain
bertindak sebagai pengelola maka jika terdapat keuntungan maka kedua belah
pihak berhak mendapatkan keuntungan sesuai dengan bagian yang telah
disepakati. Sementara jika terdapat kerugian usaha maka sepenuhnya menjadi
tanggungjawab pemodal kecuali jika pihak pengelola melakukan kelalaian
atau tindakan di luar kewajaran yang mengakibatkan kerugian.
b. Biaya pengelolaan
Seorang mudharib di samping berhak atas bagian keuntungan dari
modal yang dikelolanya, iapun berhak atas biaya dalam operasi pengelolaan
tersebut. Meski demikian biaya operasional tersebut oleh para fuqaha
diberikan batasan-batasan yang tegas mengenai item-item apa saja yang bisa
dibiayai dengan modal dan mana saja yang menjadi tanggungan pihak
pengelola.
Imam al-Kasany (1982) menyatakan bahwa seorang mudharib
(pengelola) berhak atas harta mudharabah. Salah satunya adalah nafkah
dalam perjalanan ke luar kota yakni adalah biaya-biaya yang dibutuhkan
untuk melakukan perjalanan ke luar kota dalam rangka pengelolaan modal
seperti biaya makan, minum, pakaian, kendaraan untuk melakukan pejalanan,
biaya penginapan, dan pembantu yang menyertai dalam perjalanan. Hal ini
karena menurutnya kentungan dalam mudharabah bisa ada atau tidak
sementara pihak mudharib tentu tidak akan melakukan perjalanan dalam
rangka pengelolaan modal dengan menggunakan harta milik orang lain
dengan kompensasi yang bisa dia dapatkan dan bisa tidak. Padahal
pembiayaan tersebut merupakan sesuatu yang harus dikeluarkan. Jika tidak
maka konsumen tentu tidak mungkin dapat melakukan transaksi dengan harta
yang dimudharabahkan. Di samping itu perjalanan yang dilakukan oleh
mudharib hanya demi harta tersebut bukan yang lain.
Oleh karena itu pembelanjaan pada keadaan tersebut merupakan izin
yang bersifat kontekstual (dalalah) dari pemilik modal untuk menafkahkan
dari harta mudharabah yang sama dengan izin yang dinyatakan dengan
tekstual (nash) dalam kesepakatan yang telah dibuat dengan pihak pemilik
modal. Namun jika ia tidak melakukan perjalanan maka nafkah pada dirinya
tidak ada. Alasannya adalah baik ia mengelola harta ataupun tidak maka
nafkah hidup pada dirinya tetap dibutuhkan. Jika ia mengambil biaya nafkah
dari modal maka ia harus menanggungnya dan dianggap utang yang harus
dibayar atau dikurangkan dari bagian yang ia peroleh setelah pembagian
keuntungan.
Ibnu Qudamah (1985) kemudian memberikan rincian dalam aktivitas
apa saja yang harus ditanggung mudharib dan aktivitas yang pembiayaannya
dapat diambil dari modal. Ia menyatakan bahwa seorang amil harus
melakukan sendiri apa yang secara tradisi dapat dilakukan oleh dirinya sendiri
seperti menyebarkan pakaian, menawarkan kepada pembeli, menawar
harganya, melakukan akad pembelian dengannya, mengambil harga, menutup
dan memasukkannya ke dalam tempat penyimpanan, dan sebagainya dan ia
tidak mendapatkan upah atas hal tersebut karena konpensasinya adalah
keuntungan dari proses tersebut. Jika ia mengupah orang lain untuk
melakukan hal tersebut maka karyawan tersebut statusnya adalah ajir khas
(yang menjadi tanggungannya) karena ia bekerja untuk dirinya. Adapun usaha
yang pada umumnya tidak dapat dikerjakan oleh amil seperti pengadaan
barang, memindahkannya ke toko maka bagi seorang amil boleh tidak
melakukannya dan ia bisa menyewa orang lain untuk mengerjakannya.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh imam Ahmad bahwa aktivitasnya di
dalamnya tidak disyaratkan karena sulitnya untuk menetapkan syarat tersebut
sehingga dikembalikan kepada tradisi yang berlaku (‘urf).
Dengan demikian, pihak pengelola memiliki hak untuk
mempergunakan modal usaha untuk membiayai berbagai kebutuhan transaksi.
Namun demikian ia tidak memiliki hak untuk mendapatkan gaji sebagai
kompensasi dari proses pengembanan modal tersebut termasuk gaji karyawan
yang membantunya karena kompensasi akan ia peroleh dari keuntungan usaha
tersebut.
c. Pembagian Keuntungan
Tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang hak mudharib atas
keuntungan dari pengelolaan harta mudharabah. Namun mereka berbeda
pendapat kapan keuntungan tersebut menjadi hak mudharib.
Jumhur fuqaha yakni Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan salah
satu pendapat yang paling menonjol di kalangan Hanbaly berpendapat bahwa
pihak pengelola berhak atas bagiannya setelah adanya pembagian keuntungan
bukan ketika telah nampak keuntungan (Ibnu Fuad, 2006). Al-Kasany (1982)
mengatakan bahwa disyaratkan pembagian keuntungan adalah setelah
penyerahan modal dan tidak sah pembagian keuntungan sebelum penyerahan
modal. Alasannya karena keuntungan adalah tambahan dan tambahan itu
sendiri tidak terjadi kecuali setelah selamatnya asal (modal) dan jika harta
tetap berada di tangan mudharib maka hukumnya masih dalam kondisi proses
mudharabah. Jika dibenarkan pembagian keuntungan sebelumnya keuntungan
maka dibenarkan pula pembagian furu’ sebelum asal dan hal ini tidak
diperkenankan.
Ulama Malikiyyah mengatakan bahwa tidak ada pembagian
keuntungan kecuali setelah sempurnanya penyerahan modal. Setelah terdapat
kelebihan dari modal yang dikembalikan maka sisa tersebut dibagi sesuai
dengan apa yang disyaratkan. Mereka mengatakan bahwa pemilik modal dan
para pengelola tidak membagi keuntungan hingga masa berlakuya habis atau
keduanya ridha atas pembagian apabila seorang meminta pengembalian
(Ibnu Fuad, 2006).
Sementara itu Ibnu Qudamah (1985) menuturkan bahwa seorang
mudharib tidak boleh mengambil sedikitpun keuntungan hingga ia
menyerahkan modal kepada pemiliknya. Jika terdapat keuntungan dan
kerugian maka keuntungan tersebut dipotong dari kerugian baik keuntungan
dan kerugian itu berlangsung dalam waktu yang sama, atau keuntungan terjadi
pada suatu transaksi dan kerugian terjadi pada transaksi lainnya atau
keuntungan pada satu perjalanan sementara dalam perjalanan lain mengalami
kerugian. Karena makna keuntungan sendiri adalah kelebihan atas modal dan
sesuatu yang tidak mengalami pertambahan maka tidak dikatakan untung.
Kami tidak menemukan adanya perbedaan dalam hal ini. Adapun pemilikan
amil terhadap bagian dari keuntungan maka hal itu terjadi tatkala keuntungan
tersebut telah nampak sebelum pembagian berlangsung.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa para fuqaha berbeda
pendapat dalam kapan waktu pembagian keuntungan. Sebagian mengatakan
bahwa pembagian dilakukan setelah penyerahan modal dan sebagian lagi
setelah perhitungan. Meski demikian mereka tidak berbeda pendapat bahwa
proses penyerahan keuntungan tersebut dilakukan setelah modal diserahkan
kepada pemilik modal.
d. Mudharabah atas Mudharabah
Bank syariah dalam praktiknya terkenal dengan konsep bagi hasilnya
baik dari segi pendanaan maupun pembiayaan. Bank sebagai amil (pengelola)
melakukan akad mudharabah dengan pihak yang lain dimana modal yang
diperolehnya dari suatu akad mudharabah diberikan kepada pihak lain untuk
dikelola. Ada beberapa pendapat di kalangan fuqaha yang terkait dengan hal
ini.
Sayyid Sabiq (1983) mengatakan bahwa seorang amil tidak boleh
memudharabahkan harta mudharabah kepada pihak lain. Jika hal terebut
dilakukan maka hal tersebut masuk dalam kategori melampaui batas. Ia
kemudian mengutip pendapat Ibnu Rusydi dalam Bidayatu al-Mujtahid bahwa
tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha yang masyhur bahwa jika seorang
amil menyerahkan modal qiradh kepada pihak pengelola lain maka ia wajib
menanggungnya jika mengalami kerugian. Namun jika mengalami kentungan
maka keuntungan tersebut dibagi berdasarkan apa yang telah disyaratkan
sebelumnya (kepada pemilik modal pertama), kemudian orang yang
mengelola memperoleh bagian dari sisa harta yang ia peroleh dari keuntungan
tersebut sebagaimana yang telah disyaratkan.
Dengan demikian jika pihak bank syariah sebagai mudharib
meminjamkan modal tersebut kepada nasabah dengan sistem mudharabah
maka jika pihak nasabah mengalami kerugian maka kerugian tersebut tidak
boleh dibebankan kepada pemilik modal pertama. Jadi sepenuhnya menjadi
tanggungan bank. Demikian pula kerugian itu tidak boleh dibebankan kepada
pihak nasabah jika kerugian tersebut tidak diakibatkan oleh kelalaiannya.
----------------
Contoh Skripsi Tesis Disertasi Dotcom…
Contoh Skripsi Tesis Disertasi Dotcom spesialis menyediakan kumpulan, koleksi, daftar contoh ribuan skripsi, tesis dan disertasi yang sudah jadi dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan berikut kebutuhan terkait pembuatan tugas akhir kesarjanaan mahasiwa program S1, S2, dan S3.
Anda bisa mendowload tanpa batas koleksi ribuan contoh skripsi, tesis dan disertasi yang sudah jadi. Kumpulan skripsi, tesis, dan disertasi ini merupakan contoh-contoh penelitian tingkat sarjana dan pasca sarjana dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sosial dan pasti alam.
Skripsi
Administrasi Bisnis NiagaAdministrasi NegaraAdministrasi PublikAkuntansi Arsitektur Astronomi Bahasa Inggris Biologi Bisnis dan Manajemen Ekonomi Ekonomi Manajemen Ekonomi Pembangunan Farmasi Filsafat Fisika Fisika Teknik Geofisika Hukum Acara Hukum Perdata Hukum Pidana Hukum Tata Negara Ilmu Hukum Ilmu Keperawatan Ilmu Komputer Ilmu Komunikasi Ilmu Pemerintahan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kehidupan Kedokteran
Kedokteran Hewan Kesehatan Masyarakat Kimia Manajemen Manajemen dan Keuangan Matematika Meteorologi Oseanografi Pendidikan Bahasa Indonesia Pendidikan Bahasa Inggris Pendidikan Biologi Pendidikan Ekonomi Pendidikan Fisika Pendidikan Geografi Pendidikan Kewarganegaraan Pendidikan Matematika Pendidikan Teknik Elektro Pengembangan SDM Penjaskes Perencanaan Kota dan Wilayah Perhotelan Psikologi Seni dan Desain Sistem Informasi Sistem Informasi Akuntansi Sistem Komputer Sosiologi Syariah Tarbiyah Teknik Bahan Teknik Dirgantara Teknik Elektro Teknik Geodesi dan Geomatika Teknik Geofisika Teknik Geologi Teknik Industri Teknik Informatika Teknik Kelautan Teknik Komputer Teknik Lingkungan Teknik Mesin Teknik Metalurgi Teknik Perminyakan Teknik Pertambangan Teknik Sipil
Teknik Telekomunikasi Teknologi Pertanian Teologi
Tesis
Administrasi Bisnis Arsitektur Astronomi Biologi Desain Farmasi Fisika Fisika Teknik Geofisika Terapan Ilmu Pengetahuan Aktuaria Ilmu Pengetahuan dan Teknik Bahan Ilmu Pengetahuan Tanah Instrumentasi dan Kontrol Kimia Matematika MBA Teknologi Oseanografi dan Ilmu Pengetahuan Atmosfir Perencanaan Kota dan Wilayah Seni Sistem dan Teknik Jalan Raya Studi Pembangunan Tata Kota dan Wilayah Teknik dan Manajemen Industri Teknik Dirgantara Teknik Elektro Teknik Geodesi dan Geomatika Teknik Geologi Teknik Informatika Teknik Kimia Teknik Lingkungan Teknik Mesin Teknik Nuklir Teknik Perkeretaapian Teknik Perminyakan Teknik Pertambangan Teknik Sipil Transportasi
Disertasi
Ilmu Pengetahuan Teknik Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Sejarah Teori dan Kritik Seni
Jasa Pembuatan Skripsi Tesis
Kami juga menyediakan jasa pembuatan skripsi/tesis dengan rincian sebagai berikut:
I. Biaya Skripsi Rp. 2.800.000:
1. Proposal Rp. 300.0002. Bab 1 Rp. 500.0003. Bab 2 Rp. 500.0004. Bab 3 Rp. 500.0005. Bab 4 Rp. 500.0006. Bab 5 Rp. 500.000
II. Biaya Tesis Rp. 3.300.000:
1. Proposal Rp. 300.0002. Bab 1 Rp. 600.0003. Bab 2 Rp. 600.0004. Bab 3 Rp. 600.0005. Bab 4 Rp. 600.0006. Bab 5 Rp. 600.000
Syarat dan Ketentuan Pekerjaan:
1. Pekerjaan bisa dipilih per bab. Ini berarti pekerjaan hanya dilakukan untuk bab yang anda minta. Misalnya, bila anda meminta bantuan bab 2, maka kami mengerjakan hanya bab 2; atau bila anda meminta bantuan bab 5, maka kami mengerjakan hanya bab 5; begitu seterusnya.
2. Pekerjaan tidak mesti semua bab. Ini berarti anda bisa meminta bantuan hanya bab yang anda pilih. Misalnya, anda bisa meminta bantuan bab1 saja tanpa perlu melibatkan bab 2, 3, 4, dan 5; anda bisa meminta bantuan bab 4 saja tanpa perlu melibatkan bab 1, 2, 3, dan 5; atau anda bisa meminta bantuan gabungan bab-bab tertentu saja tanpa perlu melibatkan gabungan bab-bab lainnya; begitu seterusnya.
3. Pekerjaan bab-bab dalam skripsi/tesis harus sambung-menyambung. Ini berarti bab yang anda minta harus menyatu dengan bab-bab lain yang sudah anda miliki. Misalnya, bila anda meminta bantuan bab 2, maka anda harus memiliki bab sebelumnya (bab 1); atau bila anda meminta bantuan bab 5, maka anda harus memiliki bab 1, 2, 3, dan 4; begitu seterusnya.
4. Pembayaran dilakukan per bab dan ditransfer penuh sebelum pekerjaan dimulai. Pembayaran dikirim lewat transfer bank; sementara bahan maupun hasil kerja dikirim lewat email.
5. Pekerjaan dilaksanakan sampai tuntas. Tuntas berarti selesai dalam arti yang sebenar-benarnya. Bilamana perlu, segala upaya perbaikan, perombakan, penambahan atau pengurangan terhadap bab yang sudah dikerjakan akan diupayakan semaksimalkan mungkin.
6. Tidak ada tambahan biaya untuk perbaikan, perombakan, penambahan, atau pengurangan terhadap bab yang sudah dikerjakan.
7. Untuk kemudahan komunikasi kedua belah pihak, keanggotaan Paid Member dalam situs ini akan diberikan secara otomatis kepada pemberi pekerjaan tanpa penambahan biaya. Misalnya, bila anda meminta bantuan pembuatan proposal, pembuatan bab 5, atau pembuatan bab-bab lainnya, maka dengan sendirinya status anda adalah Paid Member dalam situs ini dan berhak atas segala fasilitas yang disediakan.
8. SKRIPSI/TESIS INI DIJAMIN ORISINIL ALIAS TIDAK PLAGIAT. SEPERTI HALNYA ANDA, KAMI JUGA ANTI PLAGIARISME.
Olahdata Statistik
Situs Skripsi Tesis Disertasi Dotcom meyediakan layanan olahdata statistik:
* regresi linier (sederhana dan berganda)* korelasi* analysis of variance (anova)* uji t* uji F* linieritas* uji normalitas* uji asumsi klasik (heteroskedastisitas, normalitas, multikolinearitas, autokorelasi),* Kolmogorov Smirnov* validitas dan reliabilitas* one way* dll
Program olahdata yang digunakan:
* SPSS* Eviews* Lisrel* AMOS* dll
Biaya:
* Rp. 500.000 (olahdata skripsi)* Rp. 600.000 (olahdata tesis)
Untuk detilnya hubungi kami:
www.skripsitesisdisertasi.com
Email: [email protected]. Waru 39 Rt. 007/07 Rawamangun Jakarta - IndonesiaTelp. 021 - 4705484 Hp. 08151151192 (Toto)Hp.02195010199 (Roni) Hp. 08164821885 (Ajir)