08_179Rinitisalergifaktorrisiko

5
425 | AGUSTUS 2010 HASIL PENELITIAN LATAR BELAKANG Otitis media supuratif kronik (OMSK) adalah radang kronik telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret dari tel- inga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik terus menerus atau hilang timbul. 1 OMSK juga merupakan peradangan akibat infeksi mukoperiosteum kavitas timpani yang ditandai oleh perforasi membran timpani dengan sekret yang keluar terus menerus atau hilang tim- bul selama lebih dari 3 bulan dan dap- at menyebabkan perubahan patologik yang permanen. 2 Ada juga yang memberi batas waktu 6 minggu untuk terjadinya awal proses kronisitas pada OMSK. 3 Sekret yang keluar mungkin serosa, mukus atau purulen. 1,2,3,4 OMSK secara klasik dapat dibagi men- jadi 2 golongan, yaitu otitis media su- puratif kronik tipe benigna (OMSKB) atau tipe tubotimpanum atau tipe safe dan tipe maligna, atau tipe atikoan- tral atau tipe unsafe. OMSKB dibagi menjadi tipe aktif, tipe laten dan tipe inaktif. Pada OMSKB tipe laten, saat pemeriksaan kavum timpani kering setelah mendapat pengobatan, tetapi sebelumnya ada riwayat otore yang hilang timbul. OMSKB inaktif bila ada riwayat otore di masa lalu dan saat pe- meriksaan kavum timpani kering tan- pa kemungkinan kekambuhan dalam waktu dekat. Pada otitis media supu- ratif tipe benigna proses infeksi hanya terbatas pada mukosa telinga tengah saja dan yang terkena adalah mesot- impanun dan hipotimpanum serta tuba auditoria. Tipe ini jarang menim- bulkan komplikasi yang berbahaya. 5 Prevalensi OMSKB di negara berkem- bang berkisar antara 5 – 10% , se- dangkan di negara maju 0,5 – 2%. 6 Diperkirakan sekitar 10 juta penduduk Indonesia menderita OMSKB. 7 Survei Nasional Kesehatan Indera Pengliha- tan dan Pendengaran tahun 1994 – 1996 menunjukkan prevalensi OMSKB antara 2,10 – 5,2%. 8 Frekuensi OMSKB di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakar- ta pada tahun 1989 sebesar 15,21%. 9 Di RS Hasan Sadikin Bandung dilapor- kan frekuensi OMSKB selama periode 1988 – 1990 sebesar 15,7% 10 dan pada tahun 1991 dilaporkan prevelensi OM- SKB sebesar 10,96%. 11 Frekuensi penderita OMSKB di RS Dr Sardjito Yogyakarta pada tahun 1997 sebesar 8,2%. 12 Data catatan medis kunjungan kasus baru penderita OM- SKB di RS Sardjito tahun 2002 adalah 460 orang, sedangkan jumlah selu- ruh kunjungan di poliklinik THT pada tahun tersebut adalah 13.524 orang, maka frekuensi OMSKB adalah 3,4%. 13 Faktor predisposisi kronisitas otitis media diduga karena: 1) disfungsi tuba auditoria kronik, infeksi fokal sep- erti sinusitis kronik, adenoiditis kronik dan tonsilitis kronik yang menyebab- kan infeksi kronik atau berulang salu- ran napas atas dan selanjutnya men- gakibatkan udem serta obstruksi tuba Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito, Yogya- karta, Indonesia auditoria. Beberapa kelainan sep- erti hipertrofi adenoid, celah palatum mengganggu fungsi tuba auditoria. Gangguan kronik fungsi tuba auditoria menyebabkan proses infeksi di telinga tengah menjadi kronik, 2) perforasi membran timpani yang menetap me- nyebabkan mukosa telinga tengah selalu berhubungan dengan udara luar. Bakteri yang berasal dari kanalis auditorius eksterna atau dari luar lebih leluasa masuk ke dalam telinga ten- gah menyebabkan infeksi kronik mu- kosa telinga tengah. 5 3) Pseudomonas aeruginusa dan Staphylococcus au- reus merupakan bakteri yang tersering diisolasi pada OMSKB, sebagian be- sar telah resisten terhadap antibiotika yang lazim digunakan. Ketidaktepatan atau terapi yang tidak adekuat me- nyebabkan kronisitas infeksi. 14 4) Fak- tor konstitusi, alergi merupakan salah satu faktor konstitusi yang dapat me- nyebabkan kronisitas. Pada keadaan alergi ditemukan pe- rubahan berupa bertambahnya sel goblet dan berkurangnya sel kol- umner bersilia pada mukosa telinga tengah dan tuba auditoria sehingga produksi cairan mukoid bertambah dan efisiensi silia berkurang. 15 Penya- kit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan orang tidak menim- bulkan reaksi apapun. 16 CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425 CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425 7/23/2010 10:33:06 PM 7/23/2010 10:33:06 PM

Transcript of 08_179Rinitisalergifaktorrisiko

Page 1: 08_179Rinitisalergifaktorrisiko

425| AGUSTUS 2010

HASIL PENELITIAN

LATAR BELAKANG

Otitis media supuratif kronik (OMSK)

adalah radang kronik telinga tengah

dengan perforasi membran timpani

dan riwayat keluarnya sekret dari tel-

inga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik

terus menerus atau hilang timbul.1

OMSK juga merupakan peradangan

akibat infeksi mukoperiosteum kavitas

timpani yang ditandai oleh perforasi

membran timpani dengan sekret yang

keluar terus menerus atau hilang tim-

bul selama lebih dari 3 bulan dan dap-

at menyebabkan perubahan patologik

yang permanen.2 Ada juga yang

memberi batas waktu 6 minggu untuk

terjadinya awal proses kronisitas pada

OMSK.3 Sekret yang keluar mungkin

serosa, mukus atau purulen.1,2,3,4

OMSK secara klasik dapat dibagi men-

jadi 2 golongan, yaitu otitis media su-

puratif kronik tipe benigna (OMSKB)

atau tipe tubotimpanum atau tipe safe

dan tipe maligna, atau tipe atikoan-

tral atau tipe unsafe. OMSKB dibagi

menjadi tipe aktif, tipe laten dan tipe

inaktif. Pada OMSKB tipe laten, saat

pemeriksaan kavum timpani kering

setelah mendapat pengobatan, tetapi

sebelumnya ada riwayat otore yang

hilang timbul. OMSKB inaktif bila ada

riwayat otore di masa lalu dan saat pe-

meriksaan kavum timpani kering tan-

pa kemungkinan kekambuhan dalam

waktu dekat. Pada otitis media supu-

ratif tipe benigna proses infeksi hanya

terbatas pada mukosa telinga tengah

saja dan yang terkena adalah mesot-

impanun dan hipotimpanum serta

tuba auditoria. Tipe ini jarang menim-

bulkan komplikasi yang berbahaya.5

Prevalensi OMSKB di negara berkem-

bang berkisar antara 5 – 10% , se-

dangkan di negara maju 0,5 – 2%.6

Diperkirakan sekitar 10 juta penduduk

Indonesia menderita OMSKB.7 Survei

Nasional Kesehatan Indera Pengliha-

tan dan Pendengaran tahun 1994 –

1996 menunjukkan prevalensi OMSKB

antara 2,10 – 5,2%.8 Frekuensi OMSKB

di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakar-

ta pada tahun 1989 sebesar 15,21%.9

Di RS Hasan Sadikin Bandung dilapor-

kan frekuensi OMSKB selama periode

1988 – 1990 sebesar 15,7% 10 dan pada

tahun 1991 dilaporkan prevelensi OM-

SKB sebesar 10,96%.11

Frekuensi penderita OMSKB di RS Dr

Sardjito Yogyakarta pada tahun 1997

sebesar 8,2%.12 Data catatan medis

kunjungan kasus baru penderita OM-

SKB di RS Sardjito tahun 2002 adalah

460 orang, sedangkan jumlah selu-

ruh kunjungan di poliklinik THT pada

tahun tersebut adalah 13.524 orang,

maka frekuensi OMSKB adalah 3,4%.13

Faktor predisposisi kronisitas otitis

media diduga karena: 1) disfungsi

tuba auditoria kronik, infeksi fokal sep-

erti sinusitis kronik, adenoiditis kronik

dan tonsilitis kronik yang menyebab-

kan infeksi kronik atau berulang salu-

ran napas atas dan selanjutnya men-

gakibatkan udem serta obstruksi tuba

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis

Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto

Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito, Yogya-

karta, Indonesia

auditoria. Beberapa kelainan sep-

erti hipertrofi adenoid, celah palatum

mengganggu fungsi tuba auditoria.

Gangguan kronik fungsi tuba auditoria

menyebabkan proses infeksi di telinga

tengah menjadi kronik, 2) perforasi

membran timpani yang menetap me-

nyebabkan mukosa telinga tengah

selalu berhubungan dengan udara

luar. Bakteri yang berasal dari kanalis

auditorius eksterna atau dari luar lebih

leluasa masuk ke dalam telinga ten-

gah menyebabkan infeksi kronik mu-

kosa telinga tengah.5 3) Pseudomonas

aeruginusa dan Staphylococcus au-

reus merupakan bakteri yang tersering

diisolasi pada OMSKB, sebagian be-

sar telah resisten terhadap antibiotika

yang lazim digunakan. Ketidaktepatan

atau terapi yang tidak adekuat me-

nyebabkan kronisitas infeksi.14 4) Fak-

tor konstitusi, alergi merupakan salah

satu faktor konstitusi yang dapat me-

nyebabkan kronisitas.

Pada keadaan alergi ditemukan pe-

rubahan berupa bertambahnya sel

goblet dan berkurangnya sel kol-

umner bersilia pada mukosa telinga

tengah dan tuba auditoria sehingga

produksi cairan mukoid bertambah

dan efi siensi silia berkurang.15 Penya-

kit alergi adalah suatu penyimpangan

reaksi tubuh terhadap paparan bahan

asing yang menimbulkan gejala pada

orang yang berbakat atopi sedangkan

pada kebanyakan orang tidak menim-

bulkan reaksi apapun.16

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425 7/23/2010 10:33:06 PM7/23/2010 10:33:06 PM

Page 2: 08_179Rinitisalergifaktorrisiko

426 | AGUSTUS 2010

HASIL PENELITIAN

Rinitis alergi adalah suatu gangguan

hidung yang disebabkan oleh reaksi

peradangan mukosa hidung diper-

antarai oleh imunoglobulin E (Ig

E), setelah terjadi paparan alergen

(reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan

Comb). Gejala klinik rinitis alergi dise-

babkan oleh mediator kimia yang

dilepaskan oleh sel mast, basofi l dan

eosinofi l akibat reaksi alergen dengan

Ig E spesifi k yang melekat di permu-

kaannya. Mediator yang paling banyak

diketahui peranannya adalah histamin.

Histamin akan menyebabkan hidung

gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hi-

dung tersumbat.17

Rinitis alergi bersifat kronik dan per-

sisten sehingga dapat menyebab-

kan perubahan berupa hipertrofi dan

hiperplasi epitel mukosa dan dapat

menimbulkan komplikasi otitis me-

dia, sinusitis dan polip nasi. Beberapa

pendapat menyatakan bahwa pada

rinitis alergi, edema mukosa selain ter-

jadi di kavum nasi juga meluas ke na-

sofarings dan tuba auditoria sehingga

dapat mengganggu pembukaan sinus

dan tuba auditoria.17 Prevalensi rinitis

alergi di Indonesia belum diketahui

pasti, namun data dari beberapa ru-

mah sakit menunjukkan bahwa frekuen-

si rinitis alergi berkisar 10 – 26%.

Penelitian tentang penatalaksanaan

OMSKB telah banyak dilakukan, na-

mun lebih banyak ditujukan pada

jenis pengobatan seperti perlunya

antibiotik, jenis antibiotik, apakah cu-

kup lokal atau sistemik, apakah anti-

biotika yang diberikan sudah sesuai

dengan jenis bakterinya serta apakah

cukup tindakan konservatif atau perlu

tindakan operatif saja. Begitu juga pe-

nelitian mengenai faktor-faktor yang

mendasari patogenesis OMSKB se-

perti fungsi ventilasi dan drainase tuba

auditoria dalam hubungannya dengan

proses penyembuhan OMSKB.12

Faktor alergi khususnya rinitis alergi

sebagai faktor risiko OMSKB belum

pernah diteliti. Restuti (2006)16 menya-

takan bahwa prevalensi dan patogen-

esis OMSK dipengaruhi oleh banyak

faktor antara lain kekerapan infeksi sa-

luran napas atas, sosioekonomi, gizi,

alergi dan faktor imunitas. Sebagai

respons alergi terjadi sekresi berbagai

mediator dan sitokin yang mempeng-

aruhi terjadinya infl amasi dan kondisi

seperti ini dapat berulang hingga kro-

nis. Interleukin-1 (IL-1) merupakan si-

tokin yang kadarnya tinggi pada pasien

OMSK; demikian juga tumor necrosis

factor-α (TNF-α) yang dihubungkan

dengan kronisitas pada otitis media

juga memiliki kadar yang tinggi. Selain

faktor fungsi tuba, patogenesis OMSK

juga dipengaruhi oleh faktor mukosa

telinga tengah sebagai target organ

alergi. Pada biopsi mukosa telinga

tengah didapatkan eosinophilic cation-

ic protein (ECP), IL-5 dan basic major

protein (BMP) yang tinggi pada pasien

otitis media dengan rinitis alergi di-

bandingkan dengan pasien otitis me-

dia tanpa rinitis alergi.

Sebagian besar otitis media supuratif

kronik tampaknya berasal dari otitis

media supuratif akut yang berulang,

namun beberapa peneliti mengatakan

bahwa otitis media kronis mungkin ber-

asal dari otitis media efusi yang terin-

feksi sekunder dengan hipertrofi dan

hipersekresi mukosa telinga tengah.6

Penelitian epidemiologi di beberapa

negara memperlihatkan angka > 50%

pasien otitis media dengan rinitis aler-

gi, 21% pasien rinitis alergi menderita

otitis media. Tuba auditoria meme-

gang peranan penting sebagai fungsi

regulasi tekanan udara di dalam teli-

nga tengah. Mekanisme ini dihubung-

kan dengan patofi siologi penyebab

obstruksi tuba, terutama akibat infeksi

atau infl amasi dari proses alergi. Rini-

tis dihubungkan sebagai etiologi otitis

media dengan 2 cara yaitu: disfungsi

tuba disebabkan oleh reaksi alergi dari

mukosa nasal atau adanya fungsi mu-

kosiliar yang terganggu.18

METODE PENELITIAN

Rancangan dan Populasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

kasus-kontrol; bertujuan menganalisis

/menentukan rinitis alergi sebagai fak-

tor risiko otitis media supuratif kronik

benigna (OMSKB), membandingkan

antara pasien OMSKB dengan faktor

risiko rinitis (kasus) dan pasien non

OMSKB dengan faktor risiko rinitis al-

ergi (kontrol).

Populasi terjangkau pada penelitian

ini adalah semua penderita OMSKB

yang berobat ke klinik rawat jalan THT

RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengam-

bilan sampel dengan cara berurutan

(consecutive sampling) sampai terca-

pai jumlah sampel minimal.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi: 1) Pasien OMSKB rawat

jalan dengan keluhan sekret telinga

berulang atau pernah, dan pada pe-

meriksaan otoskopi didapat cairan/

tanpa cairan pada liang telinga, mem-

bran timpani perforasi sentral tanpa

kolesteatom dan granulasi, kontrol

: pasien non OMSKB, yang datang

ke poli rawat jalan THT, 2) Penderita

pria atau wanita umur ≥ 5 tahun dan

kooperatif, 3) Bebas dari obat anti-

histamin, kortikosteroid sistemik dan

topikal setidaknya selama 7-10 hari.

Kriteria Eksklusi : 1) Menderita OMA

pada kelompok kontrol.

Subyek Penelitian

Subyek yang telah memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi dan menanda-

tangani informed consent tanpa ran-

domisasi dibagi menjadi kelompok

kasus dan kelompok kontrol setelah

anamesis dan pemeriksaan otoskopi.

Setiap subyek terpilih selanjutnya di-

anamnesis dan menjalani pemerik-

saan fi sik hidung serta pemeriksaan

rinoskopi anterior, selanjutnya dilaku-

kan skin prick test bagi sampel yang

belum pernah di test.

Jumlah Sampel

Perkiraan besar sampel dihitung meng-

gunakan rumus besar sampel untuk

penelitian analitik kategorik tidak ber-

pasangan dengan α ditentukan sebe-

sar 5% untuk tingkat kesalahan tipe I,

β ditetapkan sebesar 20% untuk kes-

alahan tipe II; power (1-β) adalah 80%

berarti penelitian ini mempunyai pe-

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 426CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 426 7/23/2010 10:33:07 PM7/23/2010 10:33:07 PM

Page 3: 08_179Rinitisalergifaktorrisiko

427| AGUSTUS 2010

HASIL PENELITIAN

luang sebesar 80% untuk mengetahui

adanya pengaruh faktor risiko terha-

dap kasus apabila perbedaan itu ada

di populasi. Zα untuk menguji hipote-

sis satu arah sebesar 1,64 dan Zβ sebe-

sar 0,84. Dari kepustakaan didapatkan

proporsi pajanan pada kelompok

kontrol sebesar 20 %. Dari hasil per-

hitungan besar sampel minimal, maka

jumlah total sampel 98 orang, untuk

kelompok kasus adalah 49 orang dan

kelompok kontrol 49 orang.

Analisis Statistik

Data disajikan dalam bentuk tabulasi

dan deskripsi statistik.

Analisis statistik yang digunakan ada-

lah:

1) Uji X2 untuk menghitung ada

tidaknya perbedaan karakteristik

kedua kelompok.

2) Analisis regresi logistik, untuk me-

nilai variabel-variabel yang ber-

pengaruh pada otitis media supu-

ratif kronik benigna.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian di poliklinik THT RS Dr.

Sardjito Yogyakarta dari bulan Juni

2007 sampai dengan bulan Maret

2008 menemukan 53 penderita OM-

SKB dan 50 pasien non OMSKB, 100

pasien di antaranya memenuhi kriteria

inklusi penelitian ini, sisanya sebanyak

3 pasien dari kelompok kasus tidak

bersedia menjalani skin prick test.

1. Karakteristik demografi s subyek

penelitian

Uji X2 mendapatkan nilai p = 0,102 (>

0,05), tidak didapatkan perbedaan

yang bermakna antar usia kelompok

kasus dengan kelompok kontrol pada

penelitian ini.

Tidak terdapat perbedaan yang ber-

makna antara jenis kelamin subyek

pada kelompok kasus dan kelompok

kontrol dengan nilai p = 0,840 (p >

0,05); OR: 0,922; IK 95%: 0,41- 2,03.

Kedua variabel umur dan jenis kelamin

tidak berpengaruh terhadap morbidi-

tas OMSKB.

Tabel 1. Distribusi subyek penelitian menurut umur dan jenis kelamin

KasusN(%)

KontrolN(%)

Total (%) Nilai p(Uji X2)

Umur (tahun)

5 – 15 5 (10) 5 (10) 10 (10)

16 – 25 15 (30) 26 (52) 41 (41) 0,102

26 – 55 26 (52) 18 (36) 44 (44)

≥ 56 4 (8) 1 (2) 5 (5)

Jenis Kelamin

Laki – laki 21 (42) 22 (44) 43 (43) 0,840

Perempuan 29 (58) 28 (56 57 (57)

Tabel 2a. Distribusi menurut keluhan dan kelainan telinga

Keluhan dan Kelainan telingaKel.Kasus

N(%)Kel.Kontrol

N(%)Nilai p(Uji X2)

Cairan dari Telinga 26 (52) - 0,001

Batuk, pilek dan demam 41 (82) - 0,001

Manipulasi telinga 9 (18) -

Kambuh < 3 x/ th 7 (14) -

Kambuh ≥ 3 x/th 43 (86) - 0,006

Pendengaran menurun 3 (6) - 0,079

Perforasi MT 50 (100 - 0,001

Tabel 2b. Distribusi menurut keluhan dan kelainan hidung

Keluhan dan Kelainan hidung

Meler, bersin dan tersumbat 41 (82) 9 (18) 0,001

Riwayat atopi (+) 26 (52) 1 (2) 0,001

Hipertrofi , livide, discharge serous,Shiner dan crease

40 (80) 4 (8) 0,001

Tabel 3. Hubungan keluhan dan kelainan telinga dan hidung dengan rinitis alergi

RA (+) RA (-)Total N(%)

Nilai p (Uji X2)

Keluhan dan kelainan Telinga

Telinga meler 20 6 26(26)

Tidak meler 28 46 74(74) 0,001

Batuk, pilek dan demam 36 5 41(41)

Manipulasi telinga 12 47 59(59) 0,001

Kambuh < 3 x/th 4 3 7(7)

Kambuh ≥ 3 x/th 44 49 93(93) 0,616

Perforasi MT 40 10 50(50) 0,001

Tidak perforasi MT 8 42 50(50)

Keluhan dan kelainan Hidung

Meler, bersin dan tersumbat 48 2 50(50)

Tanpa keluhan - 50 50(50) 0,001

Riwayat atopi 27 - 27(27)

Tanpa riwayat atopi 21 52 73(73) 0,001

Hipertrofi , livide, dischargesereus, shiner dan creaseTanpa kelainan hidung

444

- 52

44(44)56(56)

0,001

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 427CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 427 7/23/2010 10:33:07 PM7/23/2010 10:33:07 PM

Page 4: 08_179Rinitisalergifaktorrisiko

428 | AGUSTUS 2010

HASIL PENELITIAN

Tabel 5. Hasil regresi logistik pengaruh variabel terhadap OMSKB

Variabel ß p Adjusted Odd-

Ratio

IK 95%

Rinitis Alergi 0,080 0,001 21,00 7,53 – 58,56

Keluhan dan kelainan telingaBatuk, pilek dan demam Manipulasi telinga

3,108 0,008 22,38 2,24 – 22,81

Perforasi MT Tidak perforasi MT

1,752 0,032 5,76 1,16 – 28,56

Telinga meler Tidak meler

-1,69 0,135 0,185 0,02 – 1,69

Keluhan dan kelainan hidungMeler, bersin dan Tersumbat

13,89 0,894 1083859,7 0,001 – 4,525

Riwayat atopi (+) 0,001 1,000 1,000 0,001 – 1,024

Hipertrofi , livide, Discharge sereus,Shiner dan crease

12,51 0,944 270964,93 0,001 – 2,586

Tabel 4. Hasil pengukuran kedua kelompok penelitian terhadap rinitis alergi

Kasus N(%) Kontrol N(%) Nilai p

Rinitis Alergi (+) 40 (80) 8 (16) 0,001

Rinitis Alergi (-) 10 (20) 42 (84)

Total 50 (100) 50 (100)

2. Karakteristik keluhan dan ke-

lainan telinga dan hidung

Terdapat perbedaan bermakna antara

kelompok kasus dan kontrol pada ke-

luhan cairan keluar dari telinga den-

gan nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR: 3,08;

IK 95%: 2,2 – 4,2. Sebanyak 41 kasus

(82%) mengeluh batuk, pilek dan de-

mam sebelum keluhan telinga timbul

dan 9 pasien (18%) karena manipulasi

telinga - p = 0,001 (< 0,05); OR: 6,5; IK

95%: 3,5 – 11,9.

Sebanyak 7 pasien (14%) kambuh

kurang dari 3 kali pertahun, 43 pasien

(86%) kambuh ≥3 kali per tahun. p =

0,006 (< 0,05); OR: 2,1; IK 95%: 1,7 –

2,7.

Keluhan penurunan pendengaran

perbedaan antara kelompok kasus

dan kelompok kontrol tidak berbeda

bermakna - p = 0,079 ( > 0,05); OR:

2,06; IK 95%: 1,68 – 2,53. Penurunan

pendengaran dapat disebabkan kar-

ena faktor usia.

Kelainan telinga berupa perforasi

membran timpani terjadi pada semua

kasus - 50 pasien (100%), sedangkan di

kelompok kontrol tidak terdapat ke-

lainan telinga. p = 0,001 (p < 0,05).

Terdapat perbedaan bermakna antara

kelompok kasus dengan kelompok

kontrol pada ketiga variabel keluhan

dan kelainan hidung (p = 0,001).

3. Hubungan antara keluhan dan

kelainan telinga dan hidung

dengan rinitis alergi

Terdapat perbedaan bermakna ke-

luhan telinga meler, batuk, pilek dan

demam serta kelainan telinga berupa

perforasi membran timpani pada rini-

tis alergi (p = 0,001 < 0,05). Namun

tidak terdapat perbedaan rinitis alergi

yang bermakna antara kekambuhan <

3 kali/tahun maupun kekambuhan ≥

3 kali/tahun (p = 0,616 > 0,05). Seta-

subrata (1999)12 tidak mendapatkan

perbedaan bermakna frekuensi keka-

mbuhan dalam hal gangguan fungsi

ventilasi (p = 0,26) dan drainase dari

tuba eustachius dengan (p = 0,12).

Keluhan dan kelainan hidung dengan

rinitis alergi berbeda bermakna (p =

0,001 < 0,05) pada ketiga variabel kar-

ena ketiga variabel tersebut merupak-

an tanda dan gejala rinitis alergi. Hasil

penelitian ini sama dengan hasil Wrat-

songko (2004)19 dengan nilai p = 0,001

untuk ketiga variabel tersebut.

4. Hubungan OMSKB terhadap

rinitis alergi

Terdapat perbedaan bermakna antara

kedua kelompok terhadap rinitis alergi

dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR:

21; IK 95%: 7,53 – 58,56. Risiko kejadi-

an kasus (OMSKB) adalah 21 kali lebih

sering pada orang yang menderita rini-

tis alergi dibandingkan dengan orang

yang tidak menderita rinitis alergi.

Hurst (2002)20 juga menemukan per-

bedaan bermakna antara pasien oti-

tis media efusi (OME) dengan pasien

atopi, (p = 0,001). Begitu juga Supri-

hati dan Putra (1993)17 menemukan

hubungan antara rinitis alergi dengan

OME (PR prevalence ratio = 2,18 )

yang menandakan bahwa rinitis alergi

merupakan faktor risiko OME.

5. Analisis regresi logistik

Variabel tergantung pada penelitian

ini adalah OMSKB, sedangkan varia-

bel bebas yang dianalisis adalah rinitis

alergi, keluhan dan kelainan telinga

dan keluhan dan kelainan hidung.

Didapatkan tiga variabel yang ber-

hubungan bermakna atau berpen-

garuh terhadap OMSKB yaitu rinitis

alergi (p = 0,001, OR: 21: IK 95%: 7,53 –

58,56). Peluang terjadinya OMSKB 22

kali lebih besar pada pasien dengan

keluhan telinga diawali batuk, pilek

dan demam dibandingkan pasien

dengan keluhan telinga tanpa diawali

batuk, pilek dan demam (p = 0,008,

OR: 22,38 ; IK 95%: 2,24 – 22,81).

Peluang terjadinya OMSKB 5 kali

lebih besar pada pasien dengan per-

forasi membran timpani dibandingkan

pasien tanpa perforasi membran tim-

pani (p = 0,032, OR: 5,76 ; IK 95%: 1,16

– 28,56).

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 428CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 428 7/23/2010 10:33:07 PM7/23/2010 10:33:07 PM

Page 5: 08_179Rinitisalergifaktorrisiko

429| AGUSTUS 2010

SIMPULAN

Rinitis alergi merupakan faktor risiko

pada otitis media supuratif kronik be-

nigna (OMSKB).

SARAN

Melakukan test alergi (skin prick test),

menegakkan diagnosis rinitis alergi

serta memberikan terapi rinitis alergi

pada pasien otitis media yang sering

berulang untuk menekan angka keja-

dian OMSKB.

HASIL PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Helmi. Panduan penatalaksanaan baku otitis media supuratif kronik di Indonesia. Jakarta 2002: 4-13.

2. Paparela MM. Defi nition and classifi cation of otitis media. Fifth Asia Oceania Congress of Otorhinologi-

cal Societies 1983: 9-14.

3. Proctor B. Chronic otitis media and mastoiditis. Otolaryngology vol 2. Paparela, MM, Schumrick, DA

(eds). Philadelphia:WB. Saunders Co. 1973. 138-140.

4. Djaafar ZA. Diagnosis dan pengobatan otitis media supuratif kronik. Pengobatan Non Operatif Otitis

Media Supuratif Kronik. Jakarta 1990: 47-56.

5. Mawson SR. Disease of Middle Ear. Disease of the ear. 3rd ed. Great Britain: Alden and Mombrax ltd..

1974

6. Sedjawidada R. Historia naturalis of otitis media: a scheme resuming the inter relationships between

various form of otitis media and their resective surgical iteration. ORL Indonesia 1985: 16(3).

7. Boesoirie T. Miringoplasti dini, suatu cara efektif merekonstruksi mekanisme pendengaran konduktif

pasca radang kronis telinga tengah. FK UNPAD Bandung. Disertasi 1995: 1-112.

8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman upaya kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendenga-

ran untuk puskesmas.1998.

9. Helmi. Perjalanan penyakit dan gambaran klinis otitis media supuratif kronik. Pengobatan non operatif

otitis media supuratif. Jakarta 1990:17-30.

10. Boesoirie T. Prevalensi serta pola kepekaan kuman aerob dan anaerob pada otomastoiditonis kronis di

RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. FK UNPAD Bandung. Tesis Magister 1992:52-54.

11. Djohar TH. Evaluasi fungsi tuba eusthacius dengan metoda modifi kasi infl asi-defl asi dan tetes telinga

memakai zat warna pada penderita-penderita otitis media perforata “kering” dewasa. Karya Tulis Akhir

1992 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.

12. Setasubrata YD. Peran fungsi ventilasi dan drainase tuba auditoria pada kesembuhan otitis media

supuratif kronik benigna aktif. Karya Tulis Akhir 1999: 1-39.

13. Hartanto D. Daya guna klinis amnion sebagai bahan bridge pada penutupan perforasi membran tim-

pani permanen secara konservatif. Karya Tulis Akhir 2004. FK UGM Yogyakarta.

14. Djoko Rianto BU. Effectiveness of ciprofl oxacin ear drops vs chloramphenicol ear drops for treating

active benign type chronic otitis media. Master of Science in Public Health Thesis.1998 .Yogyakarta

Gadjah Mada University.

15. Gladstone HB, Jackler RK, Varav K. Tympanic membrane wound healing: an overview. Otolaryngol Clin

North Am 1995.28: 913-932.

16. Restuti RD. Hubungan Alergi dengan Otitis Media Supuratif Kronik. Abstrak Pertemuan Ilmiah Tahunan

Otologi I. Jakarta 2006: 31.

17. Putra IGK, Suprihati W. Hubungan antara rinitis kronik alergika dan otitis media dengan efusi. Kumpu-

lan Naskah Ilmiah Kongres PERHATI. Bukit Tinggi 1993.

18. Lazo-Saenz JG, Galvan –Aguilera AA. Eustachian tube dysfunction in allergic rhinitis. Otollaryngol

Head Neck Surg 2005.132: 626-631.

19. Wratsongko GT. Uji Diagnostik Skor Rinitis Alergi. Karya Tulis Akhir 2003. FK UGM Yogyakarta.

20. Hurst DS, Venge P. The impact of atopy on neutrophil activity in middle ear effusion from children and

adults with chronic otitis media. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002.128: 561-566.

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 429CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 429 7/23/2010 10:33:08 PM7/23/2010 10:33:08 PM