Post on 31-Mar-2019
URGENSI TUGAS KOORDINASI DAN SUPERVISI
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENCEGAHAN
DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
ZUL AMIRUL HAQ
NIM: 11140480000064
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
ii
iii
v
ABSTRAK
Zul Amirul Haq, NIM: 11140480000064, ”Urgensi Tugas Koordinasi
Dan Supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Pencegahan Dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia”, Program Studi Ilmu
Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 1439 H/2018 M. Kelahiran Lembaga Komisi Pemberantsan
Korupsi (KPK) tidak dimaksudkan untuk menangani semua perkara korupsi dan
tidak pula ditujukan untuk memonopoli penanganan perkara korupsi. Lembaga
Komisi Pemberantsan Korupsi (KPK) dicita-citakan sebagai lembaga trigger
mechanism dalam penanganan kasus korupsi bagi lembaga penegak hukum yang
telah ada. Dalam kerangka inilah maka Lembaga Komisi Pemberantsan Korupsi
(KPK) memiliki tugas dibidang koordinasi dan supervisi. Pasal 6 huruf a dan b
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantsan Korupsi,
mengatur tentang Fungsi koordinasi dan suprvisi tersebut. Kedua fungsi ini
memiliki kepentingan dalam penyidikan dan penyelidikan tindak pidana korupsi.
Dengan terlibatnya tiga unsur lembaga penegak hukum yakni, Kemisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Negara Republik Indonesia Dan
Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Namun hingga saat ini fungsi supervisi dan
koordinasi di nilai belum dapat dilaksanakan secara maksimal oleh Komisi
Pemberantsan Korupsi (KPK). Dari tahun ketahun Lembaga Komisi
Pemberantsan Korupsi (KPK) memiliki target yang harus dipenuhi oleh sub
bagian koordinasi dan supervisi namun demikian bagi penyidik Kepolisian dan
Kejaksaan yang menangani kasus korupsi menilai fungsi ini masih sangat jauh
dari harapan. Hal tersebut di buktikan dengan bebeapa faktor penghambat
jalannnya tugas koordinasi dan suppervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Tidak optimalnya implementasi tugas koordinasi dan supervisi tersebut
mengakibatkan dampak hukum yang dapat memperhambat pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di negara kesatuan republik indonesia. Di
mana penulis menganalisis lebih dalam berdaarkan, beberapa hasil survei dan
wawancara dengan lembaga terkait, peraturan perundang undangan yang berlaku
kemudian di korelasikan dengan teori-teori hukum yang berkaitan dengan tugas
koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga kita dapat
mengetahui pentingnya tugas koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang di amanahkan oleh Peraturan perundang-undangan.
Kata Kunci : Pentingnya tugas koordinasi dan supervisi KPK.
Pembimbing : Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H
Daftar Pustaka : 1982-2017 Tahun.
vi
بسم هللا الرحمن الرحيمKATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tidak terhingga peneliti panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena berkat limpahan rahmat, hidayah, inayah, ksehatan dan kemudahan
maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar. Salawat dan salam
semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW Rasul akhir
Zaman yang selalu membimbing umatnya menuju jalan yang di Ridhoi oleh Allah
SWT.
Selanjutnya, peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penelitian skripsi
ini, baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena peneliti yakin tanpa
bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi peneliti untuk menyelesaikan
penelitian skripsi ini. Oleh karena itu peneliti secara khusus ingin menyampaikan
terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Selaku Dekan Fakultas Syarî’ah dan
Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syarîah dan Hukum
Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Selaku Ketua Program Studi
Ilmu Hukum Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum.
3. Dr. Al Fitra, S.H., M.Hum, Dosen Penasehat Akademik Peneliti.
4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan arahan, motifasi, saran dan ilmunya hingga
penelitian skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.
5. Seluruh dosen Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri
(UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan
‘Ilmu dan Akhlâq yang tidak ternilai harganya. Sehingga peneliti dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm
Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islâm Negeri
vii
Syarîf Hidâyatullâh Jakarta.
7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda dan Ibunda, Ust. H. Sulaiman Bin
H. Jamaluddin (Alm) teriring do’a semoga Allah memberikan sebaik-
baiknya tempat diSurganya Allah SWT, menerima amal kebaikannya dan
mengampuni semua dosa-dosanya amin. serta ibunda Hj. Nurhayati Bin H.
Fatahullah, dan kakak-kakak tercinta Ust. Gufron , Mujiburrahman, S.Ag.
MA, Ahmad Syuyuthi, SIP. M.Hum., Munawar, Sag. M.Pd dan Fa’idatul
Ma’rifah. S.Sos. Tidak lupa pula buat kakak-kakak ipar Tercinta (Kak
Rahmah, Kak Eri, Kak Diana, Kak Intan dan Kak Uun) beserta seluruh
keponakanku tersayang. yang telah mencintai saya dengan segenap jiwa
dan raga, memberikan segala yang mereka bisa, baik dorongan,
bimbingan, do’a, kasih sayang dan keteladanan hidup, kesederhanaan dan
kejujuran yang telah mereka tanamkan serta Ridho dan dukungan
merekalah saya bisa sampai seperti ini.
8. Keluarga Besar MCC Fakultas Syariah dan Hukum tempat peneliti
berproses dan tempat peneliti menggali nilai-nilai akademisi, dan
sekaligus tempat untuk berjuang mencapai keberhasilan.
9. Terima kasih juga kepada seluruh sahabat-sahabat tercinta, yang selama
ini setia berjuang bersama, sahabat Kusem, sahabat Berpadu dan sahabat
Kalincako yang selalu bisa menjadi motivasi dan penyemangat bagi
peneliti, yang selalu menjadi teman berbagi dan bahkan teman Berproses
yang luar biasa.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhânahu Wata’âlâ memberikan
balasan atas bantuan yang telah diberikan kepada peneliti sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dan juga, semoga apa yang telah kalian berikan
menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 30 Mei 2018
Peneliti
vi
بسم هللا الرحمن الرحيمKATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang tidak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT, karena berkat limpahan rahmat, hidayah, inayah, ksehatan dan kemudahan
maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar. Salawat dan salam
semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW Rasul akhir
Zaman yang selalu membimbing umatnya menuju jalan yang di Ridhoi oleh Allah
SWT.
Selanjutnya, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi
ini, baik berupa dorongan moril maupun materil. Karena penulis yakin tanpa
bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu penulis secara khusus ingin menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Selaku Dekan Fakultas Syarî’ah dan
Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syarîah dan Hukum
Universitas Islâm Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Selaku Ketua Program Studi
Ilmu Hukum Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program
Studi Ilmu Hukum.
3. Dr. Al Fitra, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penasehat Akademik Penulis.
4. Prof. Dr. H. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, motifasi, saran dan
ilmunya hingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan
lancar.
5. Seluruh dosen Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm Negeri
(UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta, yang telah mendidik dan mengajarkan
‘Ilmu dan Akhlâq yang tidak ternilai harganya. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syarî’ah dan Hukum Universitas Islâm
Negeri (UIN) Syarîf Hidâyatullâh Jakarta;
vii
6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islâm Negeri
Syarîf Hidâyatullâh Jakarta.
7. Kedua orang tua tercinta Ayahanda dan Ibunda, yang telah mencintai
saya dengan segenap jiwa dan raga, memberikan segala yang mereka bisa,
baik doa maupun dukungan sehingga dengan ridha mereka saya bisa
sampai seperti ini.
8. Keluarga Besar MCC Fakultas Syariah dan Hukum tempat penulis
berproses dan tempat penulis menggali nilai-nilai akademisi, dan
sekaligus tempat untuk berjuang mencapai keberhasilan.
Sebagai akhir kata semoga Allah Subhânahu Wata’âlâ memberikan
balasan atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dan juga, semoga apa yang telah kalian berikan
menjadi berkah dan amal kebajikan serta bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Jakarta, 30 Mei 2018
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... iv
ABSTRAK .................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................. 7
1. Identifikasi Masalah .......................................................... 7
2. Pembatasan Masalah ......................................................... 8
3. Perumusan Masalah .......................................................... 8
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ............................... 9
1. Secara teoritis .................................................................... 9
2. Secara praktis .................................................................... 9
D. Metode Penelitian .................................................................... 10
1. Pendekatan Penelitian ....................................................... 10
2. Jenis Penelitian ................................................................ 11
3. Data Penelitian ................................................................. 12
4. Sumber Data ..................................................................... 12
5. Metode dan Tehnik Pengumpulan Data ........................... 13
6. Subyek Penelitian ............................................................. 14
7. Tekhnik Pengolahan Data ................................................. 14
E. Tekhnik Penulisan .................................................................... 15
ix
BAB II: KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual ............................................................... 17
1. Pengertian Urgensi ............................................................ 17
2. Korupsi Kolusi Dan Nepotisme (KKN) ........................... 17
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ............................ 20
4. Tugas koordinasi dan supervisi Komisi pemberantasan
korupsi (KPK) .................................................................. 25
a. Tugas koordinasi ......................................................... 25
b. Tugas supervisi ........................................................... 28
B. Kerangka teori .......................................................................... 31
1. Teori Kewenangan ............................................................ 31
2. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory) .................... 32
3. Teori Fungsional ............................................................... 34
C. Studi (riview) terdahulu ........................................................... 34
BAB III: HUBUNGAN KOORDINASI DAN SUPERVISI KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN LEMBAGA
PENEGAK HUKUM LAIN MENURUT PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
A. Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam pencegahan dan pemberantaan Tindak Pidana
Korupsi ........................................................................... 36
B. Wewenang Polisi Republik Indonesia dalam pencegahan
dan pemberantaan Tindak Pidana Korupsi ..................... 40
C. Wewenang Kejaksaan Republik Indonesia dalam
pencegahan dan pemberantaan Tindak Pidana Korupsi. 42
D. Tugas Koordinasi dan supervisi Komisi pemberantasan
korupsi dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi ................................................................ 46
x
BAB IV: IMPLEMENTASI FUNGSI KOORDINASI DAN SUPERVISI
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Perkembangan pelaksanna tugas koordinasi dan supervisi
Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK) ................................. 51
B. Pentingnya Tugas Koordinasi Dan Supervisi Komisi
Pemberantasan Korupsi Dengan Lembaga Penegak Hukum
Lain ........................................................................................ 55
C. Faktor penghambat pelaksanaan tugas koordinasi dan
supervisi Komisi pemberantasan Korupsi ............................ 73
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................ 77
B. Rekomendasi ......................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di negara kesatuan Republik
Indonesia sudah bukan lagi fenomena baru melainkan sudah menjadi salah
satu fakta yang sudah di kenal di berbagai kalangan, dan menjadi salah satu
faktor rusaknya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) semakin terlihat Setelah rezim otoriter
dan orde baru tumbang dengan berbagai macam praktik Korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) yang terjadi di Negara kesatuan Republik Indonesia, hal
buruk inipun semakin berakar dan berantai dalam masyarakat serta sistem
birokrasi bangsa yang berimplikasi pada rusaknya sistem ketata negaraan baik
dari pusat hingga lapisan paling bawah.1 Hal inipun menjadi salah satu
penghambat pembenahan sistem ketatanegraan di Republik ini.
Menurut Fockema Andrea, kata korupsi berawal dari bahasa latin
corruptio atau corruptus (Webster student Dictionary (1960)).2 Selanjutnya
istilah ini semakin di kenal dan di digunakan di berbagai negara, termasuk
indonesia, sebagai julukan bagi mereka yang mengambil dan merusak serta
merugikan hak-hak orang lain sebagai mana yang di atur dalam Undang-
undang. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) saat ini dianggap sebagai
prilaku dan kejadian paling buruk serta tergolong dalam gejala kemerosotan
moral, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.3 Sehingga praktik
1Fathurahmanjamil, Dkk Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (Kkn) Dalam Prespektif Hukum
dan Moral Islam, Dalam Menyikap Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme di Indonesia (Yogyakarta:
Aditya Media, 1999). h. 103.
2Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 2005). h. 4.
3Th Sumartana, Etika Dan Penanggulangan Korupsi Kolusi Dan Nepotisme di Era
Reformasi, (Yogyakarta: Aditya Media, 1999). h. 100.
2
inipun di nilai sebagai produk dan relasi sosial politik dan ekonomi yang
cacat serta tidak berpihak pada manusia lainnya.
Beberapa permasalahan yang muncul dari adanya Korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN), menumbuhkan Semangat pemerintah untuk
menanggulangi praktik ini. Diantaranya dengan membuat peraturan khusus
dalam mencegah dan memberantas musuh besar bangsa yang sangat
merugikan keuangan negara dan perekonomian bangsa, serta menghambat
pembangunan nasional tersebut. Langkah serius ini di ambil oleh pemerintah
demi melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah
indonesia, memajukan kesejahteran umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia sebagai wujud dari cita-
cita luhur banga yang tertuang dalam alinea ke empat pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Melalui perubahan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945, beberapa Lembaga negara baru dikenal
dengan sebutan state auxialiary organ atau state auxialiary institutions yang
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu, dalam artian
lembaga negara ini hanya sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang.4
Keberadaan suatu lembaga negara untuk dapat disebut sebagai lembaga
negara tidaklah selalu harus dibentuk atas perintah Konstitusi, melainkan juga
dapat dibentuk atas perintah Undang-undang atau bahkan peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah.5 Beberapa hal tersebut muncul di
dukung dengan adanya doktrin klasik tentang pemisahan kekuasaan negara ke
dalam tiga cabang kekuasaan kini semakin berkembang, antara lain ditandai
dengan diadopsinya lembaga dan Komisi-komisi Negara yang diberikan
4Rizky Argama, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia: Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga Negara Bantu.
Skripsi di Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2007. h. 24.
5Anastasia Sumakul, “Hubungan Dan Kewenangan Kpk Dan Kejaksaan Dalam
Menangani Tipikor”, Jurnal Lex Crimen Vol. I No. 4 (Oktober-Desember 2012) h. 94.
3
kewenangan untuk melaksanakan Tugas-tugas kekuasaan di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Lahirlah beberapa peraturan terkait pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi di Inodonesia yang di awali dengan Peraturan Militer
Nomor PRT/PM/06/1957 hingga pada masa Undang-Undang yang terbaru
dengan mengeluarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dengan dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. 6
Dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi membawa kemajuan terhadap peran
pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Dalam Undang-Undang tersebut
dimuat tentang peradilan khusus tindak pidana korupsi dan mengamanatkan
tentang pembentukan badan pemberantasan korupsi. Dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tercantum dalam Pasal 43 ayat (1), yaitu : “Dalam waktu paling lambat 2
(Dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi”.7 Merujuk akan hal tersebut
Pemerintah pada tahun 2002 melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuklah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang merupakan badan khusus dalam menangani kasus
korupsi dan merupakan badan “super body”. Usaha penanggulangan bentuk
kejahatan tersebut sangat diprioritaskan karena korupsi dipandang dapat
mengganggu dan menghambat pembangunan nasional, mengancam
6 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2007), h. 22-
23.
7 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008, Cet. Kedua), h. 28.
4
keseluruhan sosial, serta merusak citra aparatur yang bersih dan berwibawa
yang pada akhirnya akan merusak kualitas manusia dan lingkungannya.8
Pembaharuan dalam bidang hukum atau peraturan perundang-
undangan memang di lakukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat demi
mengikuti dinamika oerkembangan zaman yang ada dengan menghadirkan
landasan yang kuat agar kesejahteraan rakyat semakin terjaga.9 Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi di mandatkan
bahwa Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan mana pun. Kemudian Komisi pemberantasan
Korupsi (KPK) diserahi 5 (lima) tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 6
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, yaitu:
a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi; intansi yang berwenang adalah
termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara,
inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-
Departemen.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi.
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Undag-undang Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) di atas
menggambarkan bahwa Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi
8 Widodo Tresno N, “Korporasi Sebagai Subyek Tipikor Dan Prospeknya Bagi
Penanggulangan Korupsi Di Indo-Nesia”, Jurnal Yustitia.No. 70 Media (Januari-April 2007)
Surakarta: Fakultas Hukum UNS, h. 2.
9 A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Aandemen UUD 1945,
(Bekasi: Gramata Publishing, 2016), h. 99.
5
lembaga Superbody.10
sebagaimana yang di uraikan pada Pasal 6 Bagian C,
bahwa Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Perlu kita perhatika bahwa Komisi
pemberantasan Korupsi (KPK) tidak didesain untuk memonopoli penanganan
perkara korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan beberapa hal,
Pertama, Komisi pemberantasan Korupsi (KPK) dapat menyusun jaringan
kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada
sebagai "counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi
dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif. kedua, tidak memonopoli tugas
dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. ketiga, bertugas
sebagai pe-micu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam
pemberantasan korupsi (trigger mechanism); dan keempat, bertugas untuk
melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh
kepolisian dan atau kejaksaan.11
Tugas koordinasi, Supervisi, penindakan,
pencegahan dan monitoring merupakan tugas-tugas yang tidak dapat
dilepaskan satu sama lain, saling berhubungan dalam pemberantasan korupsi.
Dalam hal ini, amatan publik tentunya lebih melihat Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam menjalankan tugas dan wewenang yang di atur dalam
Undang-Undang sebagai tugas penindakan dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi, seperti koordinasi dan supervisi tidak
begitu terlihat. Padahal tugas ini merupakan tugas utama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mendukung institusi penegak hukum
10
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan Ketatanegaraan Pascaperubahan UUD 1945 Dan
Tantangan Pembaruan Pendidikan Hukum Indonesia,” (Makalah Disampaikan Pada Seminar Dan
Lokakarya Nasional Perkembangan Ketatanegaraan Pascaperubahan UUD 1945 Dan Pembaruan
Kurikulum Pendidikan Hukum Indonesia, (Jakarta, 7 September 2004), h. 7.
11
Jeane Neltje Saly, “Harmonisasi Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum Tipikor”.
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No.1 (Maret 2007) h. 14
6
lainnya seperti Kejaksaan dan Kepolisian dalam mempercepat pemberantasan
korupsi.
Tugas koordinasi serta supervisi ini tepat mendukung dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai mekanisme pemicu (trigger
mechanism) badan atau institusi lainnya dalam mempercepat pemberantasan
korupsi. Sebagai koordinator, tentunya koordinasi dan supervisi juga menjadi
tugas utama yang harus di perhatikan oleh Komisi Pemberantas Korupsi.
Karena jika tugas ttersebut tidak di jalankan dengan baik maka akan
berimplikasi pada terhambatnya pencegahan dan pemberantaan tindak pidana
korusi di Indonesia.
Ironinya terdapat beberapa permasalahan baru yang berkembang di
dalam tubuh lembaga superbody tersebut, yang menuaia kritik dari
masyarakat. Melalui data terbaru yang dirilis oleh pansus angket DPR
terhadap Komisi pemberantasan Korupsi (KPK). Kedudukan Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai lembaga independen seakan berjalan bebas
dan lepas dari pemegang cabang-cabang kekuasaan negara serta kurang
memperhatikan apa yang sudah di atur dalam Undang-undang. Hal ini sangat
mengganggu dan berpotensi terjadinya abuse of power dalam sebuah negara
hukum dan negara demokrasi sebagaimana dirumuskan dalam
Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Jika di lihat dari sudut
pandang sistem ketata negaraan, permasalahan di atas menjadi problem baru
dalam struktur kelembagaan kita pada saat ini dan berdmpak pada tidak
berjalannya secara profesional upaya penindakan, pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di republik ini. Berbagai tugas dan
wewenag yang di amanahkan pada Komisi Pemberantasan Korupsi
merupakan kewenangan yang diberikan untuk mendukung dibentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai mekanisme pemicu (trigger
7
mechanism) bagi institusi lainnya dalam mempercepat pemberantasan tindak
pidana korupsi.12
Banyaknya problematika yang ada di Komisi Pemberantasan
Korupsi, menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dalam skripsi yang
berjudul ”PENTINGNYA KOORDINASI DAN SUPERVISI KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PENCEGAHAN DAN
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INONESIA”
mengingat hal tersebut menjadi bagian penting dalam pelaksanaan
pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan Latar Belakang Masalah di atas, maka dapat
diidentifikasikan masalah sebagai berikut:
a. Kurangnya koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) menjadi salah satu penghambat pemberantasan korupsi, kolusi
dan nepotisme di negri ini.
b. koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK) dalam
menjalankan tugas, sebagai penyidik dan penyelidik tindak pidana
korupsi di Negara Kesatuan Republik Indonesia, di nilia angat urgrn
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korups.
c. Terdapat beberapa faktor penghambat pelaksanaan tugas koordinasi
dan supervisi oleh Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK) dalam
menjalankan perintah Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Piana Koruosi di antaranya lemahnya
perarturan yang berlaku dan minimnya sumberdaya Manusia yang
12
Umar Sholahuddin, “Kewenangan Supervisi Kpk Dalam Pemberantasan Korupsi Di
Daerah”, Jurnal Yustitia. Vol. 1 No. 1 (April 2007) Surabaya: Universitas Muham-Madiyah
Surabaya. H. 223.
8
melakukan penyidikan dan penyelidiakan terhadap indikasi tindak
pidana korupsi yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Pembataan Masalah
Penulisan ini terfokuskan pada titik permasalahan, dimana
peneliti hanya menfokuskan penulisan karya tulis ilmiah ini dalam
perspektif hubungan antara komisi pemberantasan korupsi, kepolisian,
dan kejaksaan dalam menjalankan tugas koordinasi dan supervisi dalam
hal penyidikan dan penyelidikan yang berkaitan dengan pencegahan dan
pemberantasan timdak pidanan korupsi di Negara kesatuan Republik
Indonesia, dalam penulisan ini juga di uraikan hal-hal yang menjadi
faktor penghambat bagi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
menjalankan tugas koordinasi dan supervisi.
3. Perumusan Masalah
Berdaarkan latar belakang di atas maka penulis membatasi
penelitian ini ke dalam beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana urgensi Tugas koordinasi dan supervisi komisi
pemberantasan korupsi yang di atur dalam Undang-Undang Nomor
30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi ?
b. Bagaimana hubungan Komisi Pemberantaan Korupsi dengan
lembaga penegak hukum lain dalam menjalankan tugas Koordinasi
Dan Supervisi ?
c. Apa yang menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas
Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantaan Korupsi ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian
tujuan yang dapat dihasilkan dalam penulisan ini sebagai berikut:
9
a. Untuk mengetahui sistem koordinasi dan supervisi komisi
pemberantasan korupsi yang di atur dalam Undang-Undang Nomor
30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana
korupsi.
b. Untuk mengetahui hubungan Komisi Pemberantaan Korupsi
dengan lembaga penegak hukum lain dalam menjalankan tugas
Koordinasi Dan Supervisi.
c. Untuk mengetahui faktor penghambat dalam pelaksanaan tugas
Koordinasi dan Supervisi Komisi Pemberantaan Korupsi.
2. Manfaat penelitian
a. Secara teoritis
Menambah pemahaman dan keilmuan terhadap isu-isu aktual
terkini dalam konsep ketatanegaraan Republik Indonesia dan
semakin menambah wawasan dan pengrtahuan terhadap dialektika
kinerja aparatur negara dalam menjalankan tugas dan wewenang
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk dapat di sesuaikan
dengan keadaan perkembangan zaman yang ada, sehingga peneliti
dapat memberikan argumentasi terhadap isu-isu yang berkembang di
negara kesatuan Republik Indonesia.
b. Secara praktis
Memberikan pemahaman secara rinci komperhensif kepada
para pembaca, bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki
semangat dalam memberantas dan mencegah tindak pidana korupsi
yang selama ini merusak kehidupan berbangsa dan bernegara demi
menjawab cita-cita luhur bangsa yang tertuang dalam alinea ke
empat pembukaan UUD 1945.
10
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif
yuridis dengan spesifikasi penelitian bersifat deskriptif analitis. Hal ini
disebabkan karena penelitian ini berupaya untuk menggambarkan arti
penting koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Dalam rangka menghadirkan dan menciptakan karya tulis ilmiah
yang kritis dan kontekstual maka dalam penelitian ini peulis
menggunakan pendekatan melalui :
a. Pendekatan normatif, yaitu teknis penulisan melalui hukum
doktiner yang dilakukan dalam penelitian untuk medapat dasar
pemikiran, dalam perumusan konsep yaitu dengan cara
mengumpulkan data-data yang bersumber dari buku buku hukum,
buku-buku teori penemuan hukum,13
artikel-artikel dan jurnal yang
ada hubunganya dengan pembahasan skripsi ini.
b. Pendekatan yuridis, yaitu dengan memberikan landasan normative
sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang
menjadi landasan dalam pelaksanaan Tugas koordinasi dan
supevisi Komisi pemberantasan korupsi. Kemudia
mengkorelasikannya dengan pendekatan filsafat hukum.
c. Pendekatan sosio histiris, yaitu dengan cara menganalisis secara
mendalam Tugas supervisi yang di berikan kepada tindak pidana
korupsi, dengan meliahat tujuanutama di bentuknya komisi
pemberantasankorupsi dan bagaimana dampak yang akan tejadi
jika Tugas tersebut tidak di jalankan sesuaidengan tujuann yang di
cita-citakan.
13
Sutrisno Hadi, Metodologi Reaserch (Yagyakarta: Andi Offset, 1990) h. 9.
11
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini
ialah diskriptif kualitatif dan analisis isi (content analysis), Analisis data
diskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis koordinasi dan
supervisi penyidikan KPK sebagai gerbang pemberantasan tindak pidana
korupsi di negara kesatuan Republik Indonesia.
Menurut David, P. Wilian yang dikutip oleh M. Yahya Mansur.
Secara triminologi penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan
dengan setting yang alami dilapangan dalam masyarakat bukan dalam
laboraturium, menggunakan metode alami (bisa observasi, interview,
fikiran, bacaan, dan tulisan) dengan cara-cara yang alami dan sasaran
penelitian kualitatif dianggap sebagai subjek yang ditempatkan sebagai
sumber informasi.14
Dalam hal ini peneliti akan menganalisa lebih dalam
terkait dengan arti penting Tugas koordinasi dan supervisi Komisi
Pembaerantasan Korupsi sebagai lembaga pencegah dan pemberantas
korupsi dalam menjalankan tugas, Tugas dan wewenang yang di
amanhakan oleh Undang-Undang, yang nantinya akan peneliti coba
kaitkan dengan berbagai teori pemerintahan yang baik dan benar dan
konsep kerja sama antar lembaga penegak hukum.
Kemudian dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan
metode penelitian kepustakaan (library research). Untuk mendapatkan
sumber dan data yang akurat sehingga dapat mendukung penulisan karya
ilmiah ini. Dalam penulisan ini pembahasan umum yang di sajikan
berupa teori yang berkaitan dengan pembahasan dan penulisan karya
ilmiah ini, Setelah data terkumpul langkah selanjutnya menganalisis
secara kualitatif dengan analisis deduktif, dalam menggunakan proses
pendekatan kebenaran umum mengenai suatu fenomena kemudian
14
M.Yahya Mansur, Penelitian Kualitatif Kajian Konseling (Surabaya: Biro Penerbit
Fakultas Dakwah Iain Sunan Ampel Surabaya, 1993), h. 3.
12
menggeneralisasi kebenaran tersebut pada suatu peristiwa tertentu yang
berciri sama dengan peristiwa yang bersangkutan
3. Data Penelitian
Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data primer
dan data sekunder. Data primer berupa ungkapan-ung-kapan verbal (kata-
kata) yang didapat dari informan/narasumber berdasarkan hasil
wawancara dan ybformasi yang dipilih dalam penelitian ini yakni berupa
kata-kata tertulis dari berbagai sumber,15 dan data sekunder berupa
udang-undang, peraturan lainya dan juga beberapa peraturan yang
berkaitan serta dari berbagi pemikiran para pakar hukum sebagai sumber
informasi, untuk menganalisa data sehingga penulisan ini dapat
memberikan solusi kongkrit bagi permasalahan yang sedang di analisis.
4. Sumber Data.
Dalam penelitian ini ada beberpa sumber data yang di gunakan:
a. Data sekunder: Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder berupa
peraturan perundang-undangandi anataranya Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi dasar hukum
pencegahan dan pembeantasan tindak pidana korupsi di indonesia.
b. Data primer: bahan primer di gunakan sebgai pendukung dan
pelengkap data sekunder yang diperoleh dari hasil wawancara
dengan lembaga terkait, studi kepustakaan (library research) dari
buku, artikel, dokumen, dan karya-karya ilmiah yang terkait dengan
penelitian ini. buku buku hukum, buku-buku teori penemuan hukum,
15
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurnalistik (Jakarta: Galia
Indonesia, 1999), Cet. Iv, h. 99.
13
pendapat para pakar dan ahli yang memiliki relevansi dengan
penulisan skripsi
c. Bahan Hukum tersier: berupa sumber-sumber yang digunakan
sebagai pelengkap dari bahan sekunder dan bahan primer di
anataranya, kamus, ensiklopedi dan sumber-sumber sejenis yang
diakakses melalui Internet.16
5. Metode dan Tehnik Pengumpulan Data
Sesuai dengan tipe dan jenis penelitian yang digunakan yakni
penelitian secara normatif yuridis, maka pendekatan yang dilakukan
adalah melalui observasi, dan komunilasi/wawancara dengan pihak
terkait seperti halnya Komisi Pemberantaan Tindak pidana Korupsi,
Kepolisian Republim Indonesia Dan Kejaksaan Republik Indonesia,
kemudian di korelasikan dengan pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan historis (historical approach) serta
pendekatan konseptual (conceptual approach).17
Pendekatan perundang-
undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang berkaitan denga
fokus pembahasan dalam penelitian ini, di antaranya penulis akan
melakukan analisis melalui, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
menjadi dasar komosi pemberantasan korupsi dalam menjalankan Tugas
koordinas dan supervisi. Sedangkan pendekatan historis digunakan untuk
memahami bagaimana sejarah terbentuknya komisi pemberntaan korupsi
dan bagaimana tujuan awal pembentukan lembaga tesebut yang
kemudian dikorelasikan dengan perkembangan tindak pidanan korupsi di
indonesia.
16
Soerjono Syarif, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 34.
17
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: Pt. Rineka
Cipta, 2006), h. .231.
14
6. Subyek Penelitian.
Subyek penelitian yang akan di jadikan sebagai bahan analisis
dalam penulisanini ialah, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun hal lain yang akan di jadikan Sebagai bahan penunjang dan
bahan pelengkap penulisan karya ilmiah ini di dasarkan atas beberapa
aspek penelitian untuk mendapatkan sumber data dan informasi yang
akurat, yang kemudian digali dan di analisis untuk menemukan titik
terang terhadap permasalahan yang sedang di alami.
Adapun beberapa sumber data yang nantinya akan di jadikan
sebagai bahan pelengkap dalam penulisan ini di antaranya di dapat
melalui sumber kepustakaan dan wawancara serta kunjungan secara ke
lembaga terkait seperti, Komisi Pembrantas Korupsi, kepolisian
Republok Indonesia dan juga kejaksaan agaung Republik Indonesi,
karena ketiga lembaga inilah yang memiliki wewenang untuk melakukan
penindakan terhadap kasus tindak pidana korupsi di indonesia.
Berdaarkan amanah Undang-undang.
7. Tekhnik Pengolahan Data
Dalam penulisan ini Pengolahan data digunakan metode content
analitis (analisis isi). Untuk lebih memudahkan dalam proses
penggarapan penelitian ini, maka perlu juga kiranya menjelaskan tentang
pengertian analisis isi. Analisis isi adalah pemerosesan dalam data ilmiah
15
dengan tujuan memberikan pengetahuan, membuka wawasan baru dari
fakta yang di sajikan.18
Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,
aturan perundnag-undangan berupa, Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ,
artikel, buku-buku diurai dan dihubungkan sedemikian rupa. Sehingga
disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab masalah
yang telah dirumuskan. Selanjutnya semua bahan dan data dianalisa
secara deduktif, yaitu melalui suatu bentuk penalaran yang berpangkal
dari satu posisi umum yang kebenarannya telah diketahui dan diyakini
(self-evident) dan berakhir suatu pengetahuan baru yang bersifat
khusus.19
Sehingga penulisan ini berdasarkan sumber kajian yang jelas
dan akurat.
E. Tekhnik Penulisan
Metode yang diginakan dalam penulisan skripsi ini adalah
berdasarkan pada buku pedoman panduan penyusunan skripsi dan karya tulis
ilmiah yang telah diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. adapun sistematika penulisanya
adalah sebagai berikut:
BAB I : Dalam Bab Berisikan pendahuluan yang menguraikan latar
belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
18
Klaus Kripendoff, Analisis Isi Pengantar Teori Dan Metodologi (Jakarta: Rajawali
Press, 1991), h. 15.
19
Amiruddin Dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Pt. Raja
Grafindo, 2003), h. 4.
16
BAB II : Pada Bab ini, akan diuraikan dua pokok pembahasan yang
mendukung penulisan skripsi ini, di antaranya pembahaan
terkait kajian teoritis, yakni teori-teori yang berkaitan dengan
pembahasan yang tertuang dalam tulisan ini, kerangka
Konseptual yang menggambarkan secara rinci konsep yang
menjadi acuan dalam penulisan ini, yang kemudian diuraikan
ke dalam beberapa sub bab. Selanjutnya akan dijelaskan terkait
riview (tinjauan ulang) studi terdahulu, agar tidak ada
persaman terhadap materi muatan dan pembahasan dalam
skripsi ini dengan apa yang di tulis oleh pihak lain.
BAB III: Pada bab ini terlebih dahulu akan di uraian tentang profil
lmbaga terkait yang di jadikan bahan penelitian dalam
penulisan kariya ilmiah ini. selanjutnya peneliti akan fokus
untuk menguraikan beberapa data yang berhubungan erat
denagan apa yang menjadi titik fokus pembahasan dalam
tulisan ini.
BAB IV: Pada bab ini peneliti mencoba menguraikan hasil analisis dari
sumber data yang di dapat untuk menilai bagaimana Arti
penting dan pelaksanaan Tugas koordinasi dan supervisi
Komisi pembeantasan korupsi di negara kesatuan republik
indonesia berdasarkan tugas, dan wewenagn yang di
amanahkan oleh peraturan perundang-undangan.
BAB V: Pada bagaian penutup penulisan ini berisikan kesimpulan dari
apa yang sudah diuraikan dari Bab I – IV yang kemudian di
lanjutkan dengan solusi dan rekomendasi untuk semakin
memperkuat kinerja Komisi pemberantasan korupsi dalam
menjalankan tugas, Tugas dan wewenang sebagai tonggak
utama terhadap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
korupsi di negara kesatuan Republik Indonesia.
17
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Pengertian Urgensi
Urgensi berasal dari bahasa latin yaitu Urgere yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia berarti hal-hal yang harus diperhatikan ketika sedang
melakukan sesuatu karena hal tersebut bersifat penting. Secara etimologi kata
“urgensi” diberikan arti sebagai “keharusan mendesak”, hal sangat penting.1
Urgensi pun mimilik makna lain yakni mendorong. Istilah urgensi merujuk
pada sesuatu yang mendorong kita, yang memaksa kita untuk menyelesaikan
sebuah pekerjaan. Dengan demikian, jika ada suatu masalah harus segera
ditindak lanjuti. Maka dapat di taraik kesimpulan bahwa kata urgensi
merupakan hal yang perlu di perhatikan dlam melakukan dan menjalankan
sesuatu agar hal tersebut dapat berjalan sesuai dengan apa yang di harapkan,
karna yang di jalankan merupakan hal yang sangat penting dan berhubungan
dengan sukses atau tidaknya terwujudnya tujuan yang sudah di tentukan.
2. Korupsi Kolusi Dan Nepotisme (KKN)
Korupsi Kolusi Dan Nepotisme (KKN) tergolong dalam salah satu
tindakan melanggar hukum yang sangat merugikan negara dan meberikan
dampak serius bagi kalangan masyarakat, dikarenakan KKN merupakan
tindakan yang menguntungkun suatu pihak tertentu yang memiliki kekuasaan
berlebih sehingga orang-orang kecil dan jujur akan dirugikan.
Istilah korupsi berasal dari bahasa latin “coruptio” atau “corruptus”
yang berarti kerusakan atau kebobrokan.2 awal mulanya pemahaman korupsi
oleh masyarakat mempergunakan bahan kamus, yang berasal dari bahasa
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, ( Jakarta: Balai Pustaka, Departemen
Pendidikan Dan Kebudayaan Ri, 1989), h. 1110
2 Aditjondro G.J, “Tarik Tambang Wacana Korupsi Bidang Neoriberalisme Atau Ujung
Tombak Demokratisasi”, Jurnal Wacana Edisi 14 Tahun Iii 2002, Yogyakarta Insist Press, h. 8.
18
Yunani latin yakni “corruptio” yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk,
curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kesucian, melanggar
normanorma agama materiil, mental dan hukum.3 Aktualisasi makna dari
tindakan ini di anggap sebagai perbuatan yang sungguh merenggut nila-nilai
kesejahteraan masyarakat.
Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan
dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan
kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat
pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku
tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap sebagai
pelanggaran hukum dan tindakan tersebut adalah tercela.4 Pandangan tentang
Korupsi masih ambivalen hanya disebut dapat dihukum apa tidak dan sebagai
perbuatan tercela. Sedangkan makna Korupsi dalam kamus Ilmiah Populer
mengandung pengertian kecurangan, penyelewengan/ penyalahgunaan jabatan
untuk kepentingan diri. Pemalsuan Beberapa pengertian korupsi menurut John
A. Gardiner dan David J. Olson sebagaimana yang dikutip oleh Martiman
Prodjohamidjojo antara lain: Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan lain sebagainya untuk
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang mengakibatkan
kerugian keuangan pada negara. 5
Kolusi atau collusion menurut Osborn’s Laur Dictionary (1983)
ditulis :
“The arragement of two ferson, apparently in a hostile positions or having
conflicting interests, to some act in order to injure a third ferson, or
deceive a court ”.
3 Wahyudi Kumoro Tomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik (Yokgyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), h. 5
4 Achnmad Ali, Keterpurukan Hukumdi Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2001), h.
22.
5 T. Mulya Lubis, Judicial Coruption, Jalan Tak Ada Ujung, Kompas: 30 November
2017, h. 7.
19
sedangkan menurut canadian law dictionary, Kolusi adalah:
“The making of an agreement with another for the purpose of
perpetrating a fraud, or engaging in illegal activity while having an illegal
end in mind”. 6
kedua hal di atas memilik makna bahwa kolusi merupakan tindakan
persekongkolan, persekutuan, atau permufakatan untuk urusan yang tidak baik.
Pengertian ini muncul mengingat kolusi berasal dari bahasa Latin collusio yang
artinya persekongkolan untuk melakukan perbuatan tidak baik.
Nepotisme berasal dari istilah bahasa Inggris “Nepotism” yang secara
umum mengandung pengertian “mendahulukan atau memprioritaskan
keluarganya/kelompok/golongan untuk diangkat dan atau diberikan jalan
menjadi pejabat negara atau sejenisnya.7 Dengan demikian nepotisme
merupakan suatau perbuatan/tindakan atau pengambilan keputusan secara
subyektif dengan terlebih dahulu mengangkat atau memberikan jalan dalam
bentuk apapun bagi keluarga/kelompok/golongannya untuk suatu kedudukan
atau jabatan tertentu.8
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), menurut standart yang
digunakan untuk memberikan pengertian tindak pidana korupsi secara
peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun
1999 Pasal 1 ayat 3,4,5 dengan penjabaran :
a. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang - undangan yang mengatur tindak pidana korupsi.
b. Kolusi adalah pemufakatan atau kerjasama secara melawan hukum atau
penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain
yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
6 Yves Meny Dan Andrew Knapp, Government And Politics In Western Europe: Britain,
France, Italy, Ermany, 3rd Edition (Oxford: Oxford University Press, 1998), h. 281.
7 Aditjondro G.J, Tarik Tambang Wacana Korupsi Bidang Neoriberalisme Atau Ujung
Tombak Demokratisasi. h. 9.
8 Wahyudi Kumoro Tomo, Akuntabilitas Birokrasi Publik. . . h. 11.
20
c. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara
melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau
kronnya diatas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.
Beberapa unsur-unsur tindak pidana korupsi antara lain: 9 perbuatan
melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Jenis tindak pidana korupsi di antaranya,
adalah memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan
dalam jabatan, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi
pegawai negeri/penyelenggara negara), dan menerima gratifikasi (bagi pegawai
negeri/penyelenggara negara). Secara umum akibat Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional seperti yang
tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada akhirnya dengan melihat semua dampak dampak,dan
penyebab Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), bisa disimpulkan bahwa
Korupsi, Kolusidan Nepotisme (KKN), adalah "benalu sosial" .10
yang
merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat utama terhadap
jalannya pemerintahan dan pembangunan negara.
3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Salah satu lembaga negara baru yang dibentuk pada era reformasi di
Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Lembaga ini
dibentuk sebagai salah satu bagian dari agenda pemberantasan korupsi yang
merupakan salah satu agenda terpenting dalam pembenahan tata pemerintahan
di Indonesia.11
Berdasarkan hierarki perundang-undangan, maka landasan
9 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008, Cet. Kedua), h. 28.
10
Baharuddin Lopa, Permaslahan Pembinan Dan Penegakan Hukum Di Republik
Indonesia. ( Jakarta: Bulan Bintang, 1997). h. 45.
11
Mahmuddin Muslim, 2004, Jalan Panjang Menuju Kptpk, Gerakan Rakyat Anti
Korupsi (Gerak) Indonesia, Jakarta, h. 33
21
yuridis pembentukan dan pemberian wewenang merupakan ketentuan dari
Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dan melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, komisi ini pun sah
didirikan dan memiliki legitimasi untuk menjalankan tugasnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah lembaga negara
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan
bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.12
Hal tersebut dinyatakan pada Pasal
3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK adalah
lembaga negara bantu yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Walaupun memiliki independensi dan kebebasan dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya, namun KPK tetap bergantung kepada cabang
kekuasaan lain dalam hal yang berkaitan dengan perangkat keanggotaannya.
Dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa “pimpinan KPK
yang terdiri dari satu ketua dan empat wakil ketua, yang semuanya merangkap
sebagai anggota, dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan
oleh Presiden”.
KPK juga memiliki hubungan kedudukan yang khusus dengan
kekuasaan yudikatif, setidaknya untuk jangka waktu hingga dua tahun ke
depan karena Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan pembentukan
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang bertugas dan berwenang
memeriksa serta memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan
oleh KPK.
12
Jeremy Pope, 2003, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional,
Transparency International Indonesia Dan Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 177.
22
KPK sendiri dibentuk dengan latar belakang bahwa upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi yang telah dilakukan hingga sekarang
belum dapat dilaksanakan secara optimal. Terlebih Lembaga negara bantu
adalah lembaga yang dalam pelaksanaan Tugasnya tidak memposisikan diri
sebagai salah satu dari tiga lembaga kekuasaan sesuai trias politica.13
Banyak
istilah untuk menyebut jenis lembaga baru ini, antara lain state auxiliary
institutions atau state auxiliary organs yang berarti institusi atau organ negara
penunjang, kemudian ada pula yang menyebutnya lembaga negara sampiran,
lembaga negara independen, ataupun komisi negara.14
Dasar pemikiran terbentuknya lembaga negara bantu adalah karena
teori klasik trias politica yang membagi Tugas kelembagaan menjadi Tugas
legislatif, eksekutif dan yudikatif sudah tidak dapat lagi digunakan untuk
menganalisis relasi kekuasaan antar lembaga negara. Di Indonesia,
kecenderungan munculnya lembaga-lembaga negara baru terjadi sebagai
konsekuensi dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang D Negara RI
Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi menjelaskan bahwa kelahiran lembaga-
lembaga negara baru dalam berbagai bentuk merupakan sebuah konsekuensi
logis dari sebuah negara demokrasi modern yang ingin secara lebih sempurna
menjalankan prinsip check and balances.
Hadirnya bebeapa lembaga negara baru, juga karena tekanan internal
yang di Indonesia berupa kuatnya reformasi politik, hukum, dan sistem
kemasyarakatan secara politis dan hukum telah menyebabkan dekosentrasi
kekuasaan negara dan reposisi atau restrukturisasi dalam sistem
ketatanegaraan. Secara eksternal berupa fenomena gerakan arus global pasar
13
Oemar Seno Adji, Undang-Undang Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi
Penerapannya Dalam Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 29.
14
Rizky Argama, Kedudukan Lembaga Negara Bantu Dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia : Analisis Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi Sebagai Lembaga
Negara Bantu, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 2007, h. 127.
23
bebas, demokratisasi, dan gerakan hak asasi manusia internasional.15
Komisi
Pemberantasan Korupsi yang selanjutnya disebut KPK merupakan lembaga
Superbody yang dibentuk sebagai lembaga independen, transparan dan
akuntabel. Profesionalisme, etika berstandar tinggi dan integritas para
komisioner dari lembaga tersebut membuat masyarakat percaya kepada
lembaga yang berdiri sejak tahun 2003 tersebut. Lahirnya lembaga tersebut di
harapkan menjadi tonggak pemberantasan tindak pidana korupsi di negara
Kesatuan Republik Indonesia agar Negri ini bersih dri Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.
Di tengah carut marutnya kinerja jajaran kepolisian dan kejaksaan
dalam menangani kasus-kasus korupsi, keberadaan (eksistensi) KPK harus
tetap dipertahankan. Sebab, menyelamatkan KPK sama artinya dengan
menyelamatkan negara dari kehancuran, oleh karena itu KPK tidak boleh
kehabisan semangat (spirit) dan motivasi/ dorongan (stimulant) memberantas
korupsi agar tidak berkembang menjadi tindak pidana yang bersifat sistemik. 16
Dengan ini KPK dihadirkan hanya menangani kasus korupsi yang
memenuhi kriteria tersebut sehingga kewenangannya pun terbatas. Walaupun
pada pasal lain di tentukan bahwa KPK dapat mengambil alih perkara yang
ditangani aparat penegak hukum lainnya dengan beberapa alasan, salah satunya
adalah dengan alasan penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur
korupsi. Perlu diketahui bahwa salah satu tantangan terbesar penegak hukum
adalah bagaimana mengembalikan kepercayaan publik kepada hukum dan
aparat penegak hukum. Salah satu upaya yang harus dilakukan khusunya di
bidang peradilan pidana adalah menerapkan konsep sistem peradilan pidana
15
Refly Harun, Dkk, Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi (Jakarta: Konstitusi Pers, 2010), h. 60-61.
16
James E. Alt And David Dreyer Lassen, 2010, Enforcement And Public
Corruption:Evidence From Us States, Epru Working Paper Series, (Di Terjemahkan Oleh Ida
Indriyana Dalam Jurnal Mimbar Hukum Universitas Ugm), h. 1.
24
terpadu (Integrated criminal justice system/ ICJS).17
Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) di Indonesia, jauh lebih luas wewenangnya bahkan menjadi
super body karena dalam hal penyidikan delik korupsi lembaga ini lebih tinggi
dari Jaksa Agung, karena dapat mengambil alih perkara dari kejaksaan bahkan
mensupervisi lembaga Kejaksaan dan Kepolisian dalam penyidikan delik
korupsi walaupun dalam praktiknya tidak mampu dilakukan.
Perlu kita perhatikan amanah pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar
1945 bahwa Kedudukan indonesia sebagai negara hukum berdasarkan
merupakan salah satu ciri dan identitas bangsa yang memberikan jaminan
kepada para penegak hukum untuk menjalankan peradilan guna menegakan
hukum dan keadilan.18
Maka Dalam pemberantasan korupsi, jelas bahwa
pembuat Undang-Undang membentuk KPK sebagai lembaga negara yang
berdiri sendiri, bahkan dapat disebut sebagai “super body” di atas sub sistem
dalam sistem peradilan pidana yang sudah eksis yaitu kepolisian dan
kejaksaan. KPK mempunyai organisasi yang terpisah dengan dukungan
pembiayaan dan personil yang terpisah dari kepolisian maupun kejaksaan.
KPK mengangkat dan memberhentikan penyelidik, penyidik, dan penuntut
umum sendiri, lepas dari kepolisian maupun kejaksaan. Sebagai “super body”
dalam system peradilan pidana, KPK diberi tugas koordinasi dan supervisi
terhadap kepolisian dan kejaksaan dalam melaksanakan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi. Dalam hubungan ini KPK dapat
meminta laporan dari kepolisian dan kejaksaan: KPK dapat mengambil alih
penyidikan atau penuntutan yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan.
Dari sisi aturan sistem peradilan pidana terpadu memerlukan
keterpaduan, keselarasan dan sinkronisasi. Seperti yang dikemukakan Muladi,
bahwa makna sistem peradilan pidana terpadu (Integrated criminal justice
17
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional Dan
Internasional ( Jakarta: Rajawali Pers 2005), h. 54.
18
A. Salman Maggalatung, Desain Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD 1945,
h. 100.
25
system/ ICJS) adalah sinkronisasi dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam
hal, pertama Sinkronisasi Struktural yaitu keserempakan dan keselarasan
dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Kedua sinkronisasi
Substansial yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertical
horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. Ketiga, sinkronisasi kultural
yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan, sikap-sikap
dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan
pidana (criminal justice system).19
4. Tugas koordinasi dan supervisi Komisi pemberantasan korupsi (KPK)
a. Tugas koordinasi
Malayu S.P Hasibuan berpendapat bahwa: “Koordinasi adalah
kegiatan mengarahkan, mengintegrasikan, dan mengkoordinasikan
unsurunsur manajemen dan pekerjaan-pekerjaan para bawahan dalam
mencapai tujuan organisasi.20
Undang-Undang KPK tidak memberikan
definisi khusus mengenai koordinasi. Bila merujuk draf Penjelasan Pasal 6
Undang-Undang KPK, yang dimaksud dengan koordinasi adalah bahwa
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK memberikan
pengarahan, pedoman, petunjuk, atau melakukan kerjasama dengan instansi
terkait dengan kegiatan pemberantasan korupsi dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik berpotensi korupsi.21
Jika dihubungkan
dengan wewenang KPK dalam pelaksanaan koordinasi sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 Undang-Undang KPK, defenisi di atas sangat relevan.
Sehingga sekalipun tidak dimuat dalam Undamg-Undang KPK, tidak keliru
juga bila defenisi tersebut menjadi rujukan dalam membahas tugas
koordinasi KPK. Koordinasi adalah proses pengintegrasian tujuan-tujuan
19
Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2014), h. 59.
20
Malayu S.P Hasibunan, Manajemen Dasar, Pengertian, Dan Masalah, Edisi Revisi
(Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h. 85.
21
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008, Cet. Kedua), h. 28.
26
dan kegiatan-kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen-
departemen atau bidang-bidang Tugasonal) pada suatu organisasi untuk
mencapai tujuan secara efisien dan efektif.22
Lahirnya tugas koordinasi KPK tidak terlepas dari tekat pembuat
Undang-Undang untuk menjaga agar jangan sampai terjadi kondisi dimana
pembentukan suatu lembaga baru berakibat mandulnya peranan lembaga
penegak hukum lainnya.23
Bila KPK diberikan tugas yang persis sama
dengan lembaga penegak hukum lain tanpa ada pembedaan, tentunya akan
terjadi tupang tindih kewenangan yang dapat memandulkan salah satu
lembaga.
Menurut E. F. L. Brech dalam bukunya, The Principle and Practice of
Management yang dikutip Handayaningrat, Koordinasi adalah mengimbangi
dan menggerakkan tim dengan memberikan lokasi kegiatan pekerjaan yang
cocok kepada masing-masing dan menjaga agar kegiatan itu dilaksanakan
dengan keselarasan yang semestinya di antara para anggota itu sendiri.24
Lembaga penegakan hukum dibentuk, harus ada spesifikasi tugas yang
diberikan padanya. Hal ini ditujukan agar (1) tidak terjadi tumpang tindih
kewenangan; (2) lembaga yang satu tidak mereduksi keberadaan yang lain,
melainkan harus saling mendukung; (3) jangan sampai terjadi konflik atau
tarik menarik kewenangan. Dalam hal ini, spesifikasi tugas KPK adalah
melakukan koordinasi dan supervisi.
Khusus untuk tugas koordinasi dalam pemberantasan korupsi dapat
dimaknai bahwa KPK merupakan koordinator dalam pemberantasan
korupsi. Merujuk Pasal 7 Undang-Undang KPK, KPK menjadi koordinator
22
T. Hani Handoko, Manajemen Edisi Kedua, Bpfe, (Yogyakarta, 2003), h. 195.
23
Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, Pemandangan Umum Atas Rancangan
Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta 11 September
2016, h. 4.
24
Soewarno Handayaningrat, Pengantar Studi Administrasi Dan Management (Jakarta:
Gunung Agung, 2002), h. 54.
27
untuk (1) penindakan tindak pidana korupsi, dan (2) mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi. Pertama, dalam hal penindakan, KPK mengkoordinir
proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi.
Dalam hal ini, penindakan seluruh tindak pidana korupsi oleh kepolisian dan
kejaksaan mesti berada dibawah koordinasi KPK. Bahkan dalam proses
pembahasan Undang-Undang KPK sempat terbersit usulan dari Fraksi
Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) agar diterapkannya kebijakan satu pintu
(one gate policy) dimana kewenangan penyidikan dipercayakan pada KPK
dan selanjutnya KPK-lah yang menetapkan keterlibatan kepolisian dan atau
kejaksaan.25
Dalam konteks mengkoordinir proses penindakan, KPK
berwenang untuk meminta informasi tentang seluruh kegiatan penindakan
tindak pidana korupsi kepada instansi kepolisian dan kejaksaan. Lebih-lebih
lagi bila penindakan itu dilakukan terhadap tindak pidana korupsi
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang KPK, yaitu :
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Kedua, dalam melakukan pencegahan, KPK mengkoordinasikan
dengan berbagai instansi terkait mengenai pencegahan terjadinya tindak
pidana korupsi. Instansi terkait disini tidak hanya kepolisian dan kejaksaan
saja, melain juga termasuk institusi lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan
lembaga/badan lainnya. Dalam hal ini, KPK dapat menyusun jaringan kerja
25
Fraksi Partai Demokrasi Kasih Bangsa, Pandangan Umum Mengenai Rancangan
Undang-Undang Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 21 September
2016, h. 2
28
(networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai
"counterpartner" yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif.
Sekalipun bertindak sebagai koordinator dalam penindakan dan
pencegahan tindak pidana korupsi, KPK bukanlah sebuah lembaga super
body. Sebagaimana disampaikan Fraksi Golkar dalam pandangan umumnya
ketika membahas Undang-Undang KPK bahwa KPK tidak menjadi super
dan permanent body, melainkan menjadi pendorong dan penuntas proses
pemberantasan tindak pidana korupsi.26
Keberadan KPK adalah untuk
mendorong agar institusi-institusi penegak hukum yang ada tapi “lumpuh”
atau belum berTugas sebagaimana adanya, kelak menjadi sebuah institusi
penegak hukum yang mampu dan berTugas kembali seperti apa yang
diharapkan publik.
b. Tugas supervisi
Sebagai salah satu dari Tugas manajemen, pengertian supervisi telah
berkembang secara khusus. Secara umum yang dimaksud dengan supervisi
adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan
terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk kemudian
apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau bantuan yang
bersifat langsung guna mengatasinya.27
Sama halnya dengan tugas koordinasi, Undang-Undang KPK juga
tidak memberikan defenisi khusus bagi tugas supervisi. Defenisi supervisi
hanya ditemukan dalam Draf Penjelasan Undang-Undang KPK. Dalam Draf
Penjelasan tersebut dikatakan bahwa supervisi adalah tindakan pemantauan,
pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang
menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan
26
Fraksi Partai Golongan. Pandangan Umum Mengenai Rancangan Undang-Undang
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 21 September 2016, h. 6.
27
Azrul Azwar, Pengantar Administrasi Kesehatan (Jakarta: Binarupa Aksara, Edisi
Ketiga, 1996) h, 54.
29
tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan
publik berpotensi korupsi.
Supervisi merupakan salah satu tugas KPK sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 huruf b. Undang-Undang KPK, yang menyatakan bahwa
KPK mempunyai tugas supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan
tugas tersebut, KPK diberikan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal
8 Undang-Undang KPK, yaitu :
a. Melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap
instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan
dengan pemberantasan korupsi, dan instansi yang melaksanakan
pelayanan publik;
b. Dalam menjalankan tugas supervisi, KPK juga berwenang untuk
mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap koruptor yang
sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan.
Dalam konteks melakukan tugas pengawasan di atas, tentunya
keberadaan KPK adalah sebagai watchdog terhadap lembaga pemberantasan
tindak korupsi yang telah ada, baik kepolisian, kejaksaan dan lembaga
lainnya. Dalam pelaksanaan pengawasan, KPK dapat melakukan
penganbilalihan perkara dari institusi kepolisian dan kejaksaan.
Hal tersebut tegas dinyatakan dalam Pasal 8 Ayat (2) Undang-
Undang KPK yang menyatakan bahwa
“dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada Ayat (1),
“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.”
Pengambilalihan sebuah perkara dari kejaksaan dan kepolisian dapat
dilakukan KPK bila terdapat kondisi atau alasan tertentu.
Alasan tersebut mengacu kepada apa yang diatur dalam Pasal 9
Undang-Undang KPK, yaitu :
30
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi
pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan
dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Enam alasan di atas dapat dikelompok menjadi dua bagian, yaitu:
pertama, KPK dapat mengambil alih perkara bila kepolisian dan kejaksaan
dinilai tidak mampu melaksanakannya. Ketidakmampuan tersebut bisa saja
disebabkan hambatan internal lembaga terkait atau bisa juga karena adanya
intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kepolisian dan kejaksaan. Kedua,
KPK dapat mengambil alih perkara karena kepolisian dan kejaksaan dinilai
tidak mau menjalankan tugasnya sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Karena dengan di patuhinya norma hukum oleh para penegak
hukum inilah yang menjadikan hukum itu berjalan sesuai dengan apa yang
di harapkan.
Ketidakmauan bisa saja karena alasan penanganannya mengandung
unsur korupsi atau dapat juga karena secara internal tidak ada niat baik
untuk menindaklanjuti perkara tertentu. Bila dua alasan tersebut terjadi,
maka KPK dapat melaksanakan kewenangannya sebagaimana diatur dalam
Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang KPK. Namun bila KPK menilai kepolisian
dan kejaksaan dapat menjalankan penindakan perkara korupsi, maka KPK
hanya akan melakukan supervisi, yaitu memastikan proses hukum yang
dijalankan sesuai dengan aturan hukum dan strategi pemberantasan korupsi.
31
B. Kerangka Teori
1. Teori Kewenangan
Menurut Joseph Raz, dalam hal mengapresiasi hukum positif justru
lebih berorientasi pada otoritas atau kewenangan.28
Menurutnya Suatu
pendekatan yang lebih menjanjikan terhadap kenormatifan hukum yang
dikemukakan dalam teori Joseph Raz tentang otoritas (kewenangan), yang
juga dihubungkan dengan teori tentang kenormatifan hukum, sehingga
menghasilkan kesimpulan penting yang berkaitan dengan kondisi validitas
hukum. Pokok pemikiran yang mendasar dari argumen Joseph Raz adalah
bahwa hukum merupakan sebuah lembaga sosial otoritatif.
Joseph Raz beranggapan bahwa, hukum adalah kewenangan de facto.
Maka dari itu, keberadaan hukum yang diciptakan atau Undang-Undang
sebagai produk hukum harus dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas atau
kewenangan yang sah.29
Diantara perundang-undangan yang menjadi
landasan hukum terkait keberadaan lembaga komisi pemberantasan tindak
pidana korupsi (KPK) yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang secara
substansional mengatur kewenangan, tugas dan Tugas KPK dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi di indonesia.30
Dan pengaturan tentang
kewenangan monitoring yaitu pasal 6 huruf (e), dan pasal 14 Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Lingkup kewenangan dan Tugas yang diemban KPK, merupakan
legitimasi hukum atas nama kekuasaan negara, seperti halnya lingkup
28
Sudirman Said Dan Nizar Suhendra, Korupsi Dan Masyarakat Indonesia Dalam
Mencuri Uang Rakyat, 16 Kajian Korupsi Di Indonesia, Dari Puncak Sampai Dasar (Jakarta:
Yayaan Aksara, 2011), h. 97.
29
Joseph Raz, P. Dalam Syaiful Ahmad Dinar, Kpk & Korupsi (Dalam Studi Kasus),
Cintya Press, Jakarta : 2012, h. 69.
30
Syaiful Ahmad Dinar, Kpk & Korupsi, (Jakarta : Cintya Press 2012), h. 68.
32
kewenangan administrasi negara yang diberikan peranan kepada bidang
kekuasaan eksekutif, bidang kekuasaan yudikatif, serta bidang kekuasaan
legislatif yang secara umum keseluruhan sumberdaya penyelenggaraan
administrasi ketatanegaraan maupun administrasi ketata pemerintahan
tersebut lazim disebut sebagai aparatur negara.31
Hal tersebut dapat kita lihat
dari tugas dan wewemamg yamg di mamdatkan kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
2. Teori Sistem Hukum (Legal System Theory)
Sistem merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur atau
elemen yang saling berinteraksi satu sama lain, dalam sistem tidak
menghendaki adanya konflik antar unsur-unsur yang ada dalam sistem, kalau
sampai terjadi konflik, maka akan segera diselesaikan oleh sistem tersebut.32
Lawrence M.Friedman berpendapat bahwa sistem hukum senantiasa
mengandung tiga komponen yaitu: Structure, Substance, dan Legal Culture.33
Di mana ketiga unsur tersebut menjadi pisau analisis untuk menilai dan
melihat kinerja hukum, apakah hukum dan implementasinya sudah sesuai
dengan strutur hukum yang ada, substansi dan materi muatan hukum yang di
bentuk dan budaya hukum yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Mengenai Structure, Lawrence M.Friedman mengatakan sebagai
berikut: Struktur, dalam sistem hukum merupakan kerangka, yang merupakan
bagian yang bertahan paling lama yang memberikan bentuk tertentu dan
batasan keseluruhan sistem hukum. Struktur sistem hukum terdiri dari unsur-
unsur yang sejenis, misalnya institusi penegak hukum yang memiliki
kewenangan penyidikan dan penuntutan sebagai pihak lembaga yang diberi
wewenang menerapkan hukum, secara struktural menyangkut mengenai
31
Syaiful Ahmad Dinar, Kpk Dan Korupsi . . . 69.
32
Teguh Prasetyo, Filsafat, Teori, Dan Ilmu Hukum:Pemikiran Menuju Masyarakat Yang
Berkeadilan Dan Bermartabat (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 311.
33
Lawrence M.Friedman, Dalam Syaiful Ahmad Dinar, Kpk & Korupsi (Dalam Studi
Kasus), h. 76.
33
lingkup kekuasaan atau batas-batas kewenangan. Unsur struktur, dapat
dikaitkan dengan lembaga pembuat Undang-Undang, atau lembaga lain yang
diberi wewenang untuk menerapkan hukum dan penegakan hukum.
Komponen berikut dari sistem hukum adalah “Substansi” menurut
Lawrence M.Friedman : Substansi hukum, merupakan bentuk nyata yang
dihasilkan oleh sistem hukum, baik berupa norma, dan pola prilaku
masyarakat, yang dikenal dengan sebutan “hukum”, serta merupakan tuntutan
yang harus dipenuhi dalam suatu sistem hukum. Bahwa produk hukum
sekunder maupun primer guna pemberantasan tindak pidana korupsi harus
dilaksanakan secara tegas dan normatif, termasuk sanksi yang harus
diberlakukan jika terjadi pelanggaran. Komponen ketiga dari sistem hukum
adalah legal culture atau budaya hukum, menurut Lawrence M.Friedman:
Budaya hukum merupakan nilai-nilai dari masyarkat terhadap hukum,
memegang peranan penting untuk dapat mengarahkan perkembangan sistem
hukum, karena itu berkenaan dengan persepsi- persepsi, nilai-nilai, ide-ide,
dan pengharapan masyarakat terhadap hukum.
Hukum akan berperan dengan baik manakala ketiga aspek subsistem
yaitu struktur, substansi dan budaya hukum itu saling berinteraksi, saling
kontrol dan memainkan peranan sesuai dengan tugasnya, sehingga hukum
akan berjalan secara serasi dan seimbang, sesuai dengan Tugasnya. Ibarat
seekor ikan, ia akan hidup dengan baik manakala ditunjang oleh kualitas air
kolam yang baik dan makanan yang baik pula. Apabila ketiga subsistem
hukum tidak bertugas dengan baik, maka akan muncul problem dalam upaya
memtugaskan hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan
masyarakat itu sendiri.34
Maka ketiga konsep hukum inilah yang di harapkan
berjalan dengan baik sesuai dengan harapan masyarakat di negara Kesatuan
Republik Indonesia.
34
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dan Pembangunan (Kumpulan
Karya Tulis ( Bandung: Alumni, 2003), h. 3.
34
3. Teori Tugasional
Menurut J. Ter Heide, berdasarkan ajaran teori Tugasonal, bahwa
berTugasnya hukum dapat dipahami sebagai pengartikulasian (produksi/hasil)
suatu hubungan yang ajeg itu disajikan dengan rumus “B: FPE”. Artinya
bahwa prilaku yuris, hakim, pembentuk Undang-Undang (B) berada dalam
suatu hubungan yang ajeg (F) terhadap disatu pihak berbagai kaidah hukum
(P) dilain pihak lingkungan-lingkungan konkret.35
Dalam pemanfaatan teori
hukum Tugasonal ini, telaahnya lebih terfokus pada keterkaitan kewenangan
dan Tugas suatu institusi (KPK), seperti yang dikehendaki undang-undang.
Apabila kita menganalisis teori ini, hukum dilihat dari aspek Tugas
atau kegunaanya. Para yuris, hakim, pembentuk Undang-Undang dalam
menjalankan peranya masing-masing harus memberikan mamfaat atau
kegunaan bagi masyarakat banyak.36
KPK, sebagai salah satu lembaga
penegak hukum, yang diperintah oleh Undang- Undang, menjadi subjek
sekaligus objek dalam suatu struktur birokrasi sistem peradilan pidana
terpadu.37
C. Tinjauan (riview) studi terdahulu
1. Skripsi Tentang Tinjauan Umum Tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga Negara Dalam Ketatanegaraan
Indonesia Di Susun Oleh Ahmad Busroh Universitas Jendral Soedirman
tahun 2012, skripsi ini membahas secara umum tugas dan wewenang
Komisi Pemberabtasan korupsi, dalam pembahasannya hanya
menguraikan pengertian Tugas koordinasi dan supervisi Komisi
pemberantasan Korupsi secara Umum. Perbedaan dengan peneliti adalah,
35
H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012),
h. 73.
36
H. Salim Hs, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum . . . h. 22.
37
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1998), h. 28.
35
di mana peneliti menjelaskan beberapa faktor penghambat pelaksanaan
Tugas koordinasi dan superfisi Komisi pemberantaan Korupsi dan
bagaimana dampak yang terjadi jika Tugas koordinasi dan supervisi tidak
di jalankan sesuai peraturan perundang-Undangan.
2. Jurnal Yang Di Tulis Oleh Hibnu Nugroho Dengan Judul Efektivitas
Tugas Koordinasi Dan Supervisi Dalam Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korups, dalam tulisannya
membahas mengenai pelaksanaan Tugas koordinasi dan supervisi KPK
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf a dan b Undang-Undang No. 30
tahun 2002. Perbedaab dengan peneliti adalah, di mana peneliti lebih
menjelskan secara spesifik terkait kejasama pemberantaan korupsi antara
Komisi pemberantaan korupsi, kepolisian dan kejaksaan.
3. Jurnal yang di tulis oleh Fitriah, tulisan ini menjelaskan bagaimana
hubungan kerja yang sebenarnya antara Komisi Pemberantaan Korupsi
dan lembaga penegak hukum lainya dalam hal pencegahan dan
pemberantasan korupsi. Perbedaan dengan peneliti, di mana peneliti lebih
memberikan penjelasan dan penjabaran yang jelas tentang lembaga
penegak hukum apa saja yang memiliki hubungan kuat dengan Komisi
pemberantasan korupsi dalam mencegah dan memberantas tindak pidana
Korupsi.
4. Jurnal yang di tulis oleh Syahrul dengan Judul Koordinasi Dan Supervisi
Komisi Pemberantasan Korupsi Dalam Mencegah Dan Memberantas
Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, tulisan ini fokus pada
konsep ideal koordinasi dan supervisi Komisi Pemberantasan Korupsi
dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi. Perbedaan dengan peneliti di mana penelti menggali Tugas
koordinasi dan Supervisi tidak elain dalam Undang-Undang
pemberantasan dan Undang-Undang kepolisian republik indonesia dan
Undang-Undang kejaksaan republik indonesia.
36
BAB III
HUBUNGAN KOORDINASI DAN SUPERVISI KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN LEMBAGA PENEGAK
HUKUM LAIN MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Hukum di buat dan di bentuk untuk di jalankan bukan untuk di
kesampingkan apa lagi tidak di jalankan berdasarkan norma yang tertuang di
dalam hukum tersebut.1 Karna jika hukum hadir hanya sekedar untuk di baca
namun tidak untuk di taati maka norma hukum tersebut akan menjadi usang dan
keluar dari tujuan pembentukannya. Berdasarkan konsep negara hukum di
Indonesia, unsur-unsur Lembaga Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
baik wadah, struktur, dan mekanisme kerjanya mengacu pada aturan hukum yang
berlaku, dan hal ini harus dipahami dan dipatuhi oleh setiap pemegang peran
lembaga pemberantasan korupsi juga masyarakat luas.2 Secara kesisteman
lembaga hukum pemberantasan korupsi terdiri dari:
a. peran penyelidikan dan penyidikan.
b. peran pembelaan hukum bagi terdakwa.
c. peran penuntutan.
d. peran peradilan.
e. peran eksekutor dan pelaksanaan hukuman.
f. peran pengembalian kekayaan negara yang dikorupsi. Untuk jelasnya.
A. Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pencegahan
dan pemberantaan Tindak Pidana Korupsi.
Melalui Unang-Undang Khusus yang di bentuk oleh pemerintah yakni
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
tindak pidana Korupsi, KPK di amanahkan dengan 5 (lima) tugas :
1 Achmad Ali, Menguak Tafsir Hukum, Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis, (Jakarta:
Candra Pratama, 1996), h. 34.
2 Barda Nawawi Arief, Beberapaaspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, Cet. Pertama), h. 44.
37
pertama, melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua, melakukan
supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak
pidana korupsi. Ketiga, Komisi Pemberantasan Korupsi bertugas melakukan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Keempat, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
Tugas yang kelima, Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan monitor
terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Selain melakukan 5 (lima) tugas, Komisi Pemberantasan Korupsi juga
memiliki beberapa kewajiban. Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain :
a. Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang
menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai
terjadinya tindak pidana korupsi.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau
memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan
dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya.
c. Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden
Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,
dan Badan Pemeriksa Keuangan.
d. Menegakkan sumpah jabatan. Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan
wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi.
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagaimana yang diamanatkan di Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002, sebagai pendukung pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang: Dalam
melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:
a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi.
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi kepada instansi yang terkait.
38
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait.
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi. Wewenang lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 12, 13,
dan 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Hukum di tegakan berdasarkan asas-asas yang sudah di susun secara
sistematis dan kompleks oleh para penegak hukum, agar hukum dapat
berjalan berdasarkan ranah yang sudah di tentukan, sehingga hukum hadir
memberikan dampak perubahan bagi kehidupan masyarakat.3 Dalam
menjalankan tugas dan wewengangnya Komisi pemberantaan korupsi wajib
memperhatikan asas-asas yang telah di amahkan dalam Undang-Undang di
antaranya :
a. Kepastian hukum yaitu asas dalam negara hukum yang
mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan
dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan
wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;
b. Keterbukaan yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif
tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan
tugas dan Tugasnya;
c. Akuntabilitas yaitu ass yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan
hasil akhir Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
d. Kepentingan yaitu adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan
dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif;
e. Proporsionalitas yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara
tugas, wewenang, tanggung jawab dan kewajiban Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dalam rangka menjalankan tugas dan
kewenangannya, KPK harus senantiasa berpedoman pada asas-asas
tersebut. Hal ini dikarenakan asas-asas tersebut menjiwai setiap
pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK.
3 Salman Maggalatung, Prinsip-Prinsip, Spremasi Hukum, Keadilan Dan Hak Asasi
Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam, (Jakarta: Anggota Ikapi Fokus Grahamedia, 2006), h. 9.
39
Komisi Pemberantasan Korupsi seperti lembaga lainnya juga
memiliki kewenangan untuk melaksanakan tugas dan tujuannya dalam rangka
mencapai kehendak konstitusi yakni mensejahterakan rakyat.4 Secara garis
besar wewenang KPK dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat disimpulkan dengan rincian;
wewenang yang menjadi tugas KPK, hak-hak dalam melakukan wewenang,
wewenang yang berkaitan dengan teknik pelaksanaan tugas dan lain-lain.
Khusus KPK, tidak memiliki wewenang mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) perkara korupsi. Penangnanan
perkara korupsi oleh KPK harus tuntas dan jelas, untuk itu KPK dibekali
dengan kewenangan yang luas untuk mengatasi berbagai hambatan yang ada.
KPK dapat bekerja sama dengan lembaga penegak hukum negara lain
berdasarkan perjanjian internasional atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Apabila penyelidik KPK menemukan bukti permulaan yang cukup:
Penyelidik melaporkan kepada KPK dalam kurun waktu 7 hari kemudian
KPK melakukan penyidikan sendiri atau melimpahkan kepada penyidik polisi
atau penyidik kejaksaan. Kepolisian atau Kejaksaan wajib berkoordinasi dan
melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK. Apabila penyelidik KPK
tidak menemukan bukti permulaan yang cukup maka hal pertama yang dapat
di lakukan, Penyelidik melaporkan kepada KPK dan kedua, KPK
menghentikan penyelidikan.
Berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyidik KPK dapat
melakukan penyitaan terhadap alat bukti atau barang yang diduga terkait
korupsi, tanpa seijin Ketua PN Penyitaan disertai berita acara penyitaan yang
salinannya diberikan kepada tersangka atau keluarganya.
4 Sudirman Said Dan Nizar Suhendra, Korupsi Dan Masyarakat Indonesia Dalam
Mencuri Uang Rakyat, 16 Kajian Korupsi Di Indonesia, Dari Puncak Sampai Dasar (Jakarta:
Yayaan Aksara, 20011), h. 97.
40
B. Wewenang Polisi Republik Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantaan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Pasal 14 huruf g Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. “Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
pihak tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.
Terkait dengan kewenangan penyidik Polisi Republik Indonesia
dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
wewenang kepolisian dalam proses pidana antara lain diatur dalam Pasal 16
yang menyebutkan bahwa wewenang tersebut antara lain :
a. Melakukan penangkapan,penahanan,penggeledahan dan penyitaan;
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian
perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyelidikan;
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri;
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
h. Mengadakan penghentian penyidikan;
i. Menyerahakan berkas perkara kepada Penuntut Umum;
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak
atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka
untuk melakukan tindak pidana;
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidik kepada penyidik PNS serta
menerima hasil penyidikan penyidik PNS umtuk diserahkan kepada
Penuntut Umum;
l. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Proses penanganan perkara korupsi oleh penyidik POLRI
menggunakan prosedur sebagaimana perkara tindak pidana umum,
yaitu berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
41
Setiap penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian selalu
ditindaklanjuti dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)
kepada penuntut umum, kemudian penuntut umum melakukan prapenuntutan,
meneliti kelengkapan berkas perkara baik formal maupun materiilnya dan
memberi petunjuk. Karna hukum yang di maknai sebagai suatu penetapan
prioritas tujuan yang hendak di capai dengan mempergunakan hukum sebagai
sarana dan petunjuk.5
Proses penuntutan ke pengadilan dilakukan oleh Jaksa Penuntut
Umum. Hukum acara yang digunakan dalam tindak pidana korupsi adalah
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kecuali
ditentukan lain oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Menurut Wiryono, penyelidik dan penyidik dari institusi POLRI
masih mempunyai kewenagan melakukan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan alasan sebagai berikut:
a. Ketentuan yang dapat dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30
tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sifatnya adalah
membatasi kewenangan dari komisi Pemberantasan Korupsi
melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi.
b. Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa
penyelidik dan penyidik dari instansi POLRI tidak mempunyai
5 Soerjono Soekanto dan Mustofa Bdullah, Hukum Dalam Masyarakat, (Jakarta: Rajawali
Press, 1987), h. 242.
42
kewenangan lagi melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi.
c. Ketentuan dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menentukan pengaturan
pemberantasan korupsi KPK dengan Kepolisian.
C. Wewenang Kejaksaan Republik Indonesia dalam pencegahan dan
pemberantaan Tindak Pidana Korupsi
Salah satu Tugas Jaksa sebagai aparatur negara dalam proses
penegakan hukum dan keadilan adalah dengan senantiasa bertindak
berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan,
dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan
keadilan yang hidup dalam masyarakat sebagai upaya untuk menciptakan
kondisi masyarakat yang tentram dan tertib.6 Pada Pasal 1 butir 1 Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia
ditentukan bahwa jaksa adalah Tugasonal yang diberi wewenang oleh
Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang
lain berdasarkan Undang-Undang.
Kejaksaan Republik Indonesia di tunjuk sebagai lembaga negara
pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus
bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya
dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai penegak hukum di
Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena setiap lembaga penegak hukum
dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, dan
penegakkan hak asasi manusia, maka dengan salah satu amanah yang di
berikan pada Kejaksaan Republik Indonesia untuk pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN), oleh karena itu Kejaksaan Republik Indonesia
6 Piotr Staompka, Sosiologi Perubahan Sosial (The Sociology Of Social Change), di
terjemahkan oleh Alinandan (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 23.
43
Harus terhindar dari hal-hal buruk di atas, yang bersifat menghilangkan
keadilan dan memperhambat proses penegakan.
Menurut Evi Hartanti, Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara
pidana harus mengetahui secara jelas semua pekerjaan yang harus dilakukan
penyidik dari permulaan hingga terakhir yang seluruhnya harus dilakukan
berdasarkan hukum. Jaksa akan mempertanggungjawabkan semua perlakuan
terhadap terdakwa itu mulai tersangka disidik, kemudian diperiksa
perkaranya, lalu ditahan, dan akhirnya apakah penuntutannya yang dilakukan
oleh Jaksa itu sah dan benar atau tidak menurut hukum,sehingga benar-benar
rasa keadilan masyarakat dipenuhi. Hukum di bangun dan di bentuk haruslah
mampu berorientasi pada kebaikan yang akan hadir dimasa depan ( for word
looking).7 Oleh karena itu hukum harus bisa menjadi pendorong sekaligus
pelopor bagi kebaikan yang akan di capai di masa yang akan datang seta
memberikan rasa keadilan dan kenyamanan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dengan demikian kinerja yang baik yang hadir dari penegak
hukum tersebut dapat di rasakan oleh masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia Pasal 30 menjelaskan:
1. Di bidang pidana kejaksaaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melaksanakan penuntutan
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. Melakukan pemgawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas
bersyarat;
c. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
Undang-Undang;
7 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta:Putra Grafika, Cet, Ke empat,
2013), h.7.
44
d. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2. Di bidang perdata dan tata usaha negara,
Kejaksaan dengan kuasa khususnya dapat bertindak baik di dalam
maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
Wewenang kejaksaan sebelum berlakunya ketentuan Undang- Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana masih mempunyai
kewenangan melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara pidana
disamping melaksanakan tugas penuntutan Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981
Nomor 76, TLN No.3209) tanggal 31 Desember 1981 mengakibatkan
perubahan fundamental di dalam sistem peradilan pidana, yang berakibat
pada perubahan fundamental di dalam sistem penyidikan.
Perubahan ini merupakan perubahan yang paling mendasar berupa
hilangnya wewenang penyidikan Kejaksaan yang semula diatur oleh HIR
maupun Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok
Kejaksaan Republik Indonesia. Saat itu masih disisakan kepada Kejaksaan
mengenai “Kewenangan penyidik lanjutan”, namun kewenangan tersebut
hilang dari tugas kejaksaan. Dengan lahirnya KUHAP melepas wewenang
penyidikan dari instansi Kejaksaan dan sepenuhnya diserahkan kepada
POLRI. “Dengan berlakunya KUHAP wewenang penyidikan hanya
dibebankan kepada POLRI sebagai penyidik tunggal. Akan tetapi dengan
adanya ketentuan Pasal 284 ayat (2) masih memperkenankan penyidik lain
selain POLRI yaitu Jaksa untuk melakukan penyidikan bagi pelaku tindak
pidana tertentu, diantaranya tindak pidana korupsi”.8
8 Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktik (Bandung: Mandar Maju,
2001), h. 138.
45
Dalam pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa Dalam waktu
dua tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan, maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan Undang- Undang ini, dengan pengecualian
untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada Undang- Undang tertentu sampai ada perubahan dan atau
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam penjelasan Pasal tersebut, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “Ketentuan khusus acara pidana” sebagaimana tersebut pada
Undang-Undang adalah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut
pada:
a. Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun
1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana
Ekonomi).
b. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi). Untuk menciptakan kesatuan pendapat
mengenai makna dari Pasal 284 ayat (2) KUHAP tersebut,
dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP.
Pada Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan KUHAP disebutkan “Penyidik menurut ketentuan
khusus acara pidana sebagai mana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2)
Kitab Undang-undang Hkukum Acara Pidana dilaksanakan oleh
Penyidik, Jaksa dan Pejabat yang berwenang lainnya berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Dalam penjelasannya dinyatakan bahwa “wewenang penyidik
tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh Undang-Undang
tertentu dilakukan oleh Penyidik, Jaksa, dan Pejabat Penyidik yang
46
berwenang lainnya untuk ditunjuk berdasarkan Undang-Undang yang
berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Jadi, dengan berlakunya KUHAP dimana ditetapkan bahwa
tugastugas penyidikan diserahkan sepenuhnya kepada pejabat penyidik
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP, maka Kejaksaan tidak lagi
berwenang untuk melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara tindak
pidana umum. Namun demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 284 ayat
(2) KUHAP jo Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan KUHAP, Jaksa berwenang melakukan penyidikan
terhadap tindak pidana tertentu ( Tindak pidana khusus).
D. Tugas Koordinasi dan supervisi Komisi pemberantasan korupsi dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
Menurut ajaran bentham, hubungan hukum yang sehat adalah
hubungan hukum yang memiliki legitimasi atau keabsahan yang logis etis
dan estetis dalam bidang hukum secara yuridis.9 Dalam artian bahwa
hubungan hukum tersebut di awali oleh adanya sebab akibat dan latar
belakang, hingga keberaadaan sebuah lembaga yang sudah melerati
berbagai prosedur hukum yang benar. Hubungan Tugasonal dan koordinatif
antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan KPK dapat dilihat dengan jelas
dalam penjabaran Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi seperti telah disebut di atas. Dalam pasal
tersebut terlihat betapa besar peran, tugas dan wewenang dari KPK dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Selanjutnya, mengenai hal ini dijelaskan dalam Penjelasan Umum
dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Korupsi, KPK:
a. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan
memperlakukan institusi yang telah ada sebagai “counterpartner”
9 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum . . . h.18.
47
yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan
secara efisien dan efektif;
b. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan;
c. BerTugas sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah
ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
b. BerTugas untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang
telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas
dan wewenang penyidikan, penyelidikan, dan penuntutan
(superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan.
Dari penjelasan umum ini, maka disimpulkan bahwa komisi harus
menjadikan Kepolisian maupun Kejaksaan sebagai counter partner yang
kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien
dan efektif. Hal ini dapat dipahami mengingat keberadaan KPK tidak
sampai pada daerah-daerah terutama Kabupaten dan Kotamadya. Apabila
KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sendiri akan
mengakibatkan timbulnya berbagai kesulitan serta pembengkakan
pembiayaan yang sangat besar. Sehingga untuk penyidikan dan penuntutan
dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi secara teknis
dan praktis dengan tetap bekerjasama dan supervisi oleh KPK.
Hubungan Tugasional antara KPK dengan Kejaksaan dan/atau
Kepolisian akan tetap memberikan peran yang besar kepada kedua lembaga
terdahulu itu untuk melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Di sinilah peran hukum sebagai as a tool social of control bagi para penegak
hukum dalam menjalankan apa yang di amanahkan leh peraturan
perundang-undangan agara apa yang di jalankan dan di laksanakan tidak
keluar dan bahkan tidak bertentangan dengan norma hukum yang ada.10
Sebagai sebuah lembaga pemberantas korupsi, KPK memiliki tugas dan
wewenang yang sangat powerful, karena memiliki kewenangan istimewa
10
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan
Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1970), h. 12.
48
dalam memberantas korupsi.11
Kewenangan ini tidak dimiliki (atau haya
sebagian saja dimiliki) oleh lembaga-lembaga penegak hukum lainnya.
Misalnya, KPK dapat melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Kewenangan ini sangat powerful, karena melampui kewenangan yang
dimiliki oleh Kejaksaan dan Polri.
Selain itu, KPK sering disebut sebagai lembaga superbody, karena
merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk
memimpin lembaga-lembaga penegak hukum lainnya dalam penanganan
perkara-perkara korupsi.12
Selain itu koordinasi dan supervisi yang
melengkapi KPK dapat mendukung KPK sebagai mekanisme pemicu dan
pemberdaya (Trigger mechanism) terhadap institusi yang telah ada
sebelumnya dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Sebagaimana terdapat dalam penjelasan Undang-Undang KPK:
a. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan
memperlakukan institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang
kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara
efisien dan efektif;
b. Tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan;
c. Bertugas sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada
dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism);
d. BerTugas untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang
telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan
wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody)
yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan
Dalam melaksanakan koordinasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 huruf a, bahwa KPK mempunyai beberapa kewenangan seperti dalam
Pasal 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002:
a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
11
Ramelan, Penerapan Konsep Dan Pengertian Turut Serta Dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Padjajaran Bandung, 2002. h. 3.
12
Zainal Abidin Dan A Gimmy Prathama Siswadi, Psikologi Korupsi, (Bandung:
PTRemaja Rosdakarya, 2009), h. 51.
49
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait;
d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan
e. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi Dari pasal diatas maka KPK berada diposisi sebagai
koordinator, oleh karena itu Polri memiliki kewajiban untuk
koordinasi dan melaporkan perkara kepada KPK.
Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang
menyatakan bahwa PPNS berada dibawah koordinsi dan pengawasan Polri.
Bahwa KPK seharusnya dapat dikategorikan sebagai PPNS. Kemudian
dalam Undang-Undang KPK membuat pengecualian tersendiri, untuk
menegaskan kembali bahwa KPK tidak berada dibawah koordinasi Polri,
dan menyatakan bahwa ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP tidak berlaku.
Hukum dihadirkan dengan tujuan sebagai alah satu stanfart of
conduct.13
Yang dapat di makanai sebagai sandaran atau ukuran nilai dan
tingkah laku yang harus di taati oleh penegak hukum dalam melaukan suatu
nubungan kerja antara yang satu dengan yang lainya. Kerja sama dan saling
mengawasi melibatkan penyidik, penuntut umum, hakim, tersangka atau
terdakwa, atau penasehat hukumnya dan aparat rutan atau aparat lembaga
pemasyarakatan. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KPK “Dalam
melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan,
penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan
wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi,
dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik”
Komisi Pemberantasan Korupsi juga berwenang untuk mengambil alih
penyidikan atau penuntutan, dalam ayat (2) Dalam melaksanakan wewenang
13
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum . . .h. 3.
50
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap
pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau
kejaksaan Nrgara Kestuan Republik Indonesia”
Pengambil alihan perkara oleh KPK, maka Polri wajib menyerahkan
tersangka dan seluruh berkas dan serta bukti yang telah ditemukan
sebelumnya kepada KPK, pasal 8 ayat (3) “Dalam hal Komisi
Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan,
kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas
perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya
permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi” Lihat pula penjelasan Pasal 12
ayat (1) Pelimpahan penyelidikan dan penyidikan serta penyerahan
tersangka, berkas dan alat bukti dilimpahkan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan
kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat penyerahan tersebut
beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun tidak serta merta
KPK dapat melakukan pengambil alihan, harus terdapat alasan-alasan yang
kuat sebagaimana diatur dalam Pasal 9 :
a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindak
lanjuti
b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan
c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku
tindak pidana korupsi yang sesungguhnya
d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi
e. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan
dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif atau Keadaan lain yang
menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak
pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat
dipertanggungjawabkan. f. Dalam hal terdapat alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9,
“Komisi Pemberantasan Korupsi memberitahukan kepada penyidik
atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang
sedang ditangani”.
51
BAB IV
IMPLEMENTASI TUGAS KOORDINASI DAN SUPERVISI KOMISI
PEMBERANTASAN KORUPSI
A. Perkembangan pelaksanna Tugas koordinasi dan supervisi Komisi
Pemberantaan Korupsi (KPK)
Dalam literatur hukum dikenal ungkapan ‘justice delayed, justice
denied’1 nampaknya ungkapan ini masih mengena pada sistem hukum acara
di Indonesia yang masih lamban dan kurang efisien. Di antara penyebabnya
adalah belum terwujudnya koordinasi yang harmoni antara lembaga hukum
yang menanganinya. Efektifitas hukum dalam rangka pemberantasan tindak
pidana korupsi diperlukan adanya koordinasi antar lembaga hukum
pemberantasan korupsi, sebab apabila terjadi buntunya hubungan koordinasi
antar peran satu dengan lainnya akan berakibat tidak lancarnya proses
penyelesaian perkara.
Dalam kondisi lintas atar lembaga dan antar kewenangan koordinasi
antar lembaga hukum pemberantasan korupsi tentunya juga harus
memperhatikan pengaruh dari adanya kualifikasi lintas antar lembaga dan
antar kewenangan yang punya landasan hukum masing-masing itu jangan
sampai berdampak negatif terhadap harmonisasi koordinasi antar lembaga
yang dapat mengganggu efektifitas tugas dan Tugas lembaga secara
kesisteman. Fakta dilapangan masih menunjukkan bahwa masing-masing
lembaga terlalu berkonsentrasi pada kewenangan masing-masing, sehingga
koordinasi dan superfisi antar lembaga hukum pemberantasan korupsi belum
optimal.2 Koordinasi yang ada baru sekitar teknis pelaksanaan tugas di
lapangan.
1 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:
Rajawali Press, 2008), h. 45.
2 Laporan Kajian Dan Survei:Optimalisasi Peran KPK Dalam Pemberantaan Korupsi,
Oleh Tim Kajian Dan Survei Akademisi Independen, Jakarta 11 Agustus-22 September 2017.
52
Sebagai contoh adalah koordinasi KPK, Kepolisian dan Kejaksaan
dalam hal penyelidikan dan penyidikan. Koordinasi pihak kepolisian
memberikan laporan dugaan korupsi ke KPK. Dari tembusan ini KPK
mempelajari laporan tersebut dengan tanggapan berupa bahwa dugaan itu
dapat diteruskan oleh polisi atau dioper oleh KPK bila undang-undang
menentukannya demikian. Melalui koordinasi seperti ini akan saling
mengetahui mengenai penyelesaian perkara apa proses sudah berjalan atau
belum, untuk yang sudah berproses akan dapat diketahui sampai di mana
proses tersebut berjalan.
Untuk hal yang lebih jauh yaitu dalam kesatuan sistem dalam
pencapai tujuan dari pemidanaan tindak pidana korupsi belum ada
koordinasi. Apa sih sebenarnya idealisme hukum yang hendak dicapai oleh
pemberantasan tindak pidana korupsi.3 Tujuan akhir dari koordinasi lembaga
hukum pemberantasan tindak pidana korupsi adalah terbebasnya keuangan
negara dari praktik korupsi, yang tentunya secara sistemik menghendaki
hubungan keterkaitan secara Tugasional antara lembaga hukum
pemberantasan korupsi sehingga dapat bertugas secara optimal untuk
pemberantasan korupsi.
Pernah ada lembaga koordinasi yang disebut Mahkamah kejaksaan
dan kepolisian tetapi sekarang lembaga ini sudah tidak ada, lembaga
koordinasi lainnya yang masih ada sekarang adalah Menko Politik Hukum
dan Keamanan yang tugas pokoknya untuk mengkoordinasikan politik
hukum dan keamanan. Men Polhukam dibentuk dalam rangka membantu
Presiden untuk strategi dan kebijakan koordinasi politik hukum dan
keamanan. Lembaga ini sebetulnya sangat strategis untak dapat
memprakarsai terwujudnya koordinasi lembaga hukum pemberantasan
korusi.
3 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1998), h. 28.
53
Tetapi apakah lembaga ini mampu menembus kewenangan
kepolisian, kejaksaan maupun pengadilan dalam rangka koordinasi Tugas
lembaga-lembaga dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Nyatanya
masih juga belum optimal. Lembaga yang punya kewenangan koordinasi
dalam penyelesaian perkara tindak pidana korupsi juga adalah Komisi
Pemberantasan Tindak pidana Korupsi (KPK). Koordinasi yang dilakukan
oleh KPK terbatas pada tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.
Untuk melengkapi kekurangan KPK dalam upaya pemberantasan korupsi
maka untuk koordinasi dalam hal pemeriksaan di pengadilan dibentuklah
Pengadilan Tipikor.
Pengadilan Tipikor adalah pengadilan yang juga berada dilingkungan
Peradilan Umum. Pengadilan Tipikor adalah pengadilan yang khusus untuk
menangani perkara pidana korupsi, pengadilan Tipikor berwenang untuk
memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang dilakukan di luar
wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia.4
Keistimewaan dari Pengadilan Tipikor ini dapat dilihat dari persyaratan
untuk menjadi hakim Pengadilan Tipikor yang demikian ketatnya. Di antara
persyaratannya adalah bahwa yang diangkat menjadi hakim Tipikor adalah
hakim yang sudah berpengalaman menjadi hakim sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun, berpengalaman mengadili tindak pidana korupsi, cakap dan
memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya, dan
tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin. Sebetulnya dengan KPK dan
ditambah Peradilan Tipikor sudah ada kemajuan kearah koordinasi antar
lembaga pemberantasan korupsi, tetapi nyatanya belum optimal untuk
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tanpa mengurangi upaya KPK untuk pemberantasan korupsi.
Realitas sosial menunjukkan bahwa praktik korupsi masih merajalela dan
belum dapat diatasi untuk itu koordinasi lembaga pemberantasan korupsi
4 Barda Nawawi Arief, Beberapaaspek Kebijakan Dan Pengembangan Hukum Pidana
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998, Cet. Pertama), h. 44.
54
perlu diperluas dan diperketat lagi mekanisme kerjanya sehingga betul-betul
efektif. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dari segi lembaga
maupun kewenangannya belum cukup untuk memberantas praktik korupsi
yang berkembang saat ini.
Karena itu koordinasi seluruh lembaga pemberantasan tindak pidana
korupsi harus mengintegrasikan diri baik dalam visi maupun misinya untuk
efektivitas pemberantasan tindak pidana korupsi.5 Sikap mengandalkan
pemberantasan tindak pidana korupsi hanya pada KPK akan berakibat KPK
terlalu over pekerjaan dan di sisi lain ada kesan bahwa lembaga lainnya
dibiarkan untuk santai. Apapun permasalahannya setiap lembaga harus
diposisikan sebagai lembaga yang proporsional dan mahir dalam
pelaksanaan tupoksinya. Kalau nyata-nyata belum optimal maka harus
diadakan revitalisasi agar semua lembaga hukum pemberantasan korupsi
meningkat kemampuan daya kerjanya. Untuk itu harus diposisikan bahwa
setiap lembaga siap dan efektif dalam tugas dan Tugasnya masing-masing
yang secara koordinasi paham betul apa yang menjadi visi dan apa yang perlu
dilakukan antar lembaga dan antar kewenangan untuk pemberantasan tindak
pidana korupsi. Sehingga sifat inovatif dan semangat kebersamaan tiap
lembaga untuk pemberantasan korupsi tumbuh dan tetap terpelihara. Sistem
lembaga hukum pemberantasan korupsi hendaknya terkait pula dengan
sistem pengawasan penggunaan keuangan negara yang di dalamnya meliputi
peran BPK dan BPKP.
Melalui lembaga-lembaga pengawasan penggunaan keuangan
negara ada kecenderungan untuk memperoleh temuan-temuan tentang
penyelewengan atau praktik korupsi yang akan sangat efektif untuk
mengungkap praktik korupsi di lembaga pemerintahan juga di BUMN.
Dengan temuan yang berhasil diungkap oleh lembaga-lembaga pengawas
penggunaan uang negara biasanya alat-alat buktinya betul-betul akurat dan
5 Juniadi Soewartojo, Korupsi Pola Kegiatan Da Penindakannya Serta Peran
Pengawasan Dalam Penanggulangannya (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), h. 5.
55
sulit dibantah. Karena pihak BPK dan BPKP punya kewenangan langsung
untuk Tugas pengawasan penggunaan keuangan negara terhadap instansi-
instansi pemerintah juga BUMN. Tetapi nampaknya koordinasi antara
lembaga pengawas penggunaan keuangan negara dan lembaga hukum
pemberantasan tindak pidana korupsi belum terjalin secara optimal. Sehingga
banyak temuan-temuan lembaga pengawasan penggunaan keuangan negara
yang tidak ada tindak lanjutnya.
B. Pentingnya Tugas Koordinasi Dan Supervisi Komisi Pemberantasan
Korupsi Dengan Lembaga Penegak Hukum Lain.
Para penegak hukum seharusnya paham betul arti pentingnya tugas
yang dibebankan padanya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, dan
sama sekali tidak dapat diinterpensi oleh kekuatan apapun yang dapat
merusak citranya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang ditugaskan
untuk pemberantasan tindak pidana korupsi.6 Apakah para pemegang peran
tersebut mempunyai kesadaran untuk penerapan good governance, itu semua
tergantung pada niat dan moral mereka semua, yang kongkritnya akan
tercermin dari perilaku dan hasil kerja mereka. Masyarakat akan menilai, dan
penilaian ini akan besar pengaruhnya terhadap kualitas budaya hukum
masyarakat.
Realitas menunjukkan bahwa berdasarkan fenomena-fenomena
yang muncul kepermukaan lembaga yudikatif adalah cabang kekuasaan yang
masih lemah dalam sistem ketatanegaran di Indonesia. Lembaga yudikatif
yang walaupun telah dilaksanakan sistem satu atap di mana peradilan segi
administratifnya telah menyatu dengan Mahkamah Agung tetapi nyatanya
belum optimal dalam Tugasnya sebagai ‘internal built in control’, masih ada
kesan kuat bahwa lembaga yudikatif masih rapuh dan rentan dari pengaruh
interpensi kekuatan dari luar.
6 Oemar Seno Adji, Undang-Undang Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi
Penerapannya Dalam Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 29.
56
Peningkatan kualitas kinerja lembaga hendaknya tidak tergantung
kepada besarnya gaji tetapi hendaknya lebih difokuskan pada tanggung
jawab lembaga untuk melaksanakan visi dan misinya. Sekarang ini gaji
pejabat KPK jauh lebih besar dari gaji kepolisian, perbedaan gaji ini secara
psikis tentu ada pengaruh terhadap semangat untuk mendukung propesional
pelaksanaan tugas. Tetapi hendaknya tidak mengurangi semangat lembaga
penegak hukum lainnya. Motivasi pelaksanaan tugas sebaiknya langsung
pada tuntutan konsistensi aparat untuk dapat melaksanakan good
governance. Pilar good governance bukan hanya bersih, transparan, dan
bertanggung jawab saja, karena tiga pilar dimaksudkan hanyalah pilar yang
sifatnya pasif, untuk mendorong peningkatan dan majunya kehidupan
masyarakat perlu ditambah dengan pilar yang bersifat dinamis yaitu dengan
pilar responsif, sigap, solid, fleksibel, terintegrasi, dan inovatif. 7
Pilar-pilar ini berarti bahwa good governance tidak hanya untuk
menjamin tercapainya sistem pemerintahan yang bersih saja tetapi juga
pemerintahan yang punya kemampuan untuk peningkatan kesejahteraan
rakyat.8 Dengan bebas dari korupsi saja tentu akan meningkatkan pendapatan
negara dan kesejahteraan rakyat, karena kekayaan alam Indonesia sangat
kaya tanpa diolahpun sudah dapat menghasilkan. Dengan kontrak kerja sama
perusahaan asing Pemerintah Indonesia dari penggalian kekayaan alamnya
sudah dapat mengeruk keuntungan banyak. Apalagi bila disertai kemampuan
menggerakan pilar-pilar dinamisnya tentu akan lebih cepat untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Melalui terminologi teori kesisteman, apa yang diidentikan sebagai
unsur dari sistem adalah „peran yang Tugasional‟ , apa yang diidentikan
sebagai bahan masukan adalah ‘input’, apa yang diidentikan rangkaian
7 Survei Yang Di Lakukan Oleh ICW Terhdap Tiga Lembaga Negara, Yaitu: Kemisi
Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Republik Indonesia Dan Kejaksaan Republik Indonesia, Sabtu
26, Ferbruari, 2018.
8 Ramelan, Penerapan Konsep Dan Pengertian Turut Serta Dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Padjajaran Bandung, 2002. h. 3.
57
proses transformasinya adalah ‘troughput’, sedangkan yang diidentikan
produk keluarannya adalah ‘out put’.9 Pemberantasan tindak pidana korupsi
dengan dikonsepsikan sebagai sistem, pada hakikatnya adalah wujud dari
Hukum Acara Pidana dalam rangka pemberantasan korupsi. Maka yang
dipahami menjadi unsurnya adalah peran keseluruhan dari lembaga
pemberantasan tindak pidana korupsi untuk mempertahankan eksistensi
ketentuan Hukum Pidana Materiil (Materieel Strafrecht), untuk mencari,
menemukan, dan mendapatkan kebenaran materiil atau yang sesungguhnya.
Berdasarkan hal ini yang dipahami menjadi inputnya adalah
dakwaan terhadap adanya tindak pidana korupsi, yang dipahami adalah
aktivitas dari setiap lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi, dan yang
dipahami sebagai outputnya adalah putusan pengadilan, eksekusi putusan,
dan pengembalian kekayaan negara yang dikorupsi. Secara kesisteman
lembaga hukum pemberantasan korupsi akan efektif dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi bila mereka dapat mencapai tujuan hukum pidana,
seperti diuraikan dalam pedoman pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana adalah: “Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum
acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah
pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum
danselanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna
menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan
apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.10
Untuk lengkapnya
9 Soetandyo Wignjosoebroto., “Kearah Reformasi Sistem Peradilan Indonesia”,
Disampaikan Pada Seminar Tentang Reformasi Sistem Peradilan Dalam Penegakan Hukum Di
Indonesia Pada Tanggal 3-4 April 2007 Di Palembang, Diselenggarakan BPHN Dep. Hukum Dan
Hak Asasi Manusia Bekerja Sama Dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Dan Kanwil
Hukum Dan HAM RI Provinsi Sumatera Selatan.
10
Departemen Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (Jakarta: Departermen Kehakiman RI, 1982), h. 1.
58
tentu termasuk di dalamnya juga pelaksanaan tentang bagaimana proses
mengembalikan kekayaan negara yang telah dikorupsi.
Berbagai cara untuk efektifnya rangkaian langkah-langkah
pelaksanaan acara pidana pemberantasan korupsi tersebut harus ada
sinkronisasi antara yang didakwakan dengan putusan pidana, eksekusi
putusan, dan pengembalian kekayaan negara. Sinkronisasi dimaksudkan
dapat diwujudkan bila terjalin koordinasi antara unsur lembaga
pemberantasan tindak pidana korupsi yang terdiri dari; peran penyelidikan
dan penyidikan; peran pembelaan hukum bagi terdakwa; peran penuntutan;
peran pemeriksaan di pengadilan; peran eksekusi/pelaksanaan pidana
korupsi; dan peran pengembalian kekayaan negara yang dikorupsi.
Kompleksitas kejahatan korupsi mustahil dapat dicari jalan
keluarnya hanya dengan pendekatan parsial. Dalam ketentuan hukum
internasional, selain korupsi sebagai kejahatan luar biasa akibat adanya
penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) yang telah menggoyahkan
sendi-sendi kehidupan bernegara.11
Juga kejahatan korupsi menjadi sangat
sulit diberantas karena muara utamanya berada pada instutusi penegak
hukum.
“..Hasil Survey Lembaga Transparansi Internasional (TI), mengungkapkan
bahwa Lembaga-lembaga vertikal, (Polisi, Peradilan, Pajak, Imigrasi, Bea
Cukai, Militer, dan lainlain), masih dipersepsikan sangat korup. Menurut
versi TI, bahwa lembaga peradilan merupakan lembaga paling tinggi
tingkat inisiatif meminta suap (100%), disusul Bea Cukai (95%), Imigrasi
(90%), BPN (84%), Polisi (78%) dan Pajak (76%)..”12
Korupsi merupakan fenomena yang tak terelakan, dibanyak negara
di Asia, termasuk Indonesia. Begitu merajalela sehingga disinyalir tindak
pidana ini merambah baik disektor publik dan swasta, dari tingkat pusat
11
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008, Cet. Kedua), h. 28.
12
Survei Yang Di Lakukan ICW Terhdap Tiga Lembaga Negara, Yaitu: Kemisi
Pemberantasan Korupsi, Kepolisian Republik Indonesia Dan Kejaksaan Republik Indonesia, Sabtu
26, Ferbruari, 2018.
59
hingga pelosok.13
Tahun 2015-20017 skor Indonesia masih sangat rendah
(skor < 3,0) dalam upaya pemberantasan korupsi. Berarti upaya
pemberantasan korupsi belum berjalan efektif. Faktor kegagalan
pemberantasan korupsi di Indonesia, dapat disebabkan beberapa hal sebagai
berikut.14
Pertama, belum adanya dukungan politik secara menyeluruh; kedua,
penerapan hukum terhadap pelaku korupsi kurang efektif, ambigu bahkan
disinyalir dalam proses peradilan korupsi terdapat adanya mafia hukum yang
”bermain”; ketiga, upaya pemberantasan korupsi belum fokus, banyak
tekanan, tidak ada prioritas dan tidak didukung oleh struktur birokrasi antar
lembaga peradilan yang memadai; keempat, lembaga anti korupsi masih
dianggap sebagai organisasi yang tidak efektif dan efisien serta tidak sesuai
harapan masyarakat; dan kelima, lembaga peradilan sering terlibat konflik
kepentingan dengan lembaga pemerintah lainnya, misalnya ijin presiden bagi
pelaku korupsi dari kalangan birokrat pemerintah menjadi penghambat
penanganan koupsi secara cepat dan efektif. Korupsi menimbulkan efek
negatif, salah satunya adalah efek transmutasi.
Efek ini merupakan implikasi psikologis terhadap kejahatan korupsi
di mana orang menganggap bahwa tindakan korupsi merupakan tindakan
yang menguntungkan sehingga orang berlomba untuk melakukannya. Efek
inilah yang tampaknya masih menggejala di kalangan sebagian aparatur
pemerintah kita saat ini, walaupun keberadaannya sangat terselubung.15
Kedudukan KPK sebagai institusi hukum yang strategis memiliki
kewenangan lebih kredible dan profesional karena dalam menjalankan
13
Carolina, “Sistem Anti Korupsi: Suatu Studi Komparatif Di Indonesia, Hongkong,
Singapura, Dan Thailand”. Jurnal In Festasi Vol. 8 No. 1 Juni 2012, h. 108.
14
Achmad Badjuri, “Peranan KPK Sebagai Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia”, Jurnal
Bisnis Dan Ekonomi (JBE) Vol. 18, No. 1 Maret 2011, Purwokerto: FE UNSOED, h. 86.
15
Encep Syarief Nurdin, “Membangun Tata Kelola Pemerintah Yang Baik (Good
Governance) Dan Pemberantasan Korupsi”. Jurnal Negarawan No. 18 Edisi Januari-April 2010.
Jakarta: Sekretariat Negara RI, h. 108.
60
tugasnya KPK independen, bebas dari pengaruh pihak manapun.
Independensi KPK lebih banyak dinilai oleh tersedianya mekanisme yang
transparan untuk menilai kinerja KPK yang bersangkutan, sehingga dapat
menjaga agar Tugasnya tidak bias; pemilihan pimpinan KPK menggunakan
prosedur yang demokratis, transparan dan objektif; dan Pimpinan KPK yang
terpilih dikenal sebagai orang dengan integritas yang baik dan telah teruji.
Seluruh KPK yang telah teruji independensinya terbukti mampu memberikan
hasil yang amat baik dalam pemberantasan korupsi di negaranya.16
Kelahiran
KPK memang ditujukan sebagai garda terdepan dalam pemberantasan
korupsi, sehingga lembaga ini dibekali dengan “senjata” berupa kewenangan
yang melebihi lembaga penegak hukum lain yang telah ada sebelumnya
namun dipandang belum mempunyai kemampuan maksimal dalam
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kewenangan KPK yang melebihi penegak hukum yang lain adalah
sebagaimana diatur pada Pasal 6, yaitu: Pertama, kordinasi dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; kedua,
supervisi terhadap instansi yang berwenang dalam melakukan pemberantasan
korupsi; ketiga, melakukan penyelidikan dan penyidikan, dan penuntutan
terhadap tindak pidana korupsi; keempat, melakukan tindakan pencegahan
tindak pidana korupsi; dan kelima, melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara. KPK sebagai lembaga yang
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, dibentuk agar
menjalankan tugas dan Tugas sesuai dengan tujuannya yaitu meningkatkan
daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korusi
(Pasal 3 dan Pasal 4). Untuk itu, KPK harus berlandaskan asas-asas yang
diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan,
akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas.
16
Fitria, “Eksistensi KPK Sebagai Lembaga Penunjang Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia”, Jurnal NESTOR. Vol. 2 No. 2 Tahun 2012. Pontianak: Magister Hukum UNTAN, h.
321.
61
KPK memiliki kewenangan yang sangat luas termasuk kewenangan
melakukan koordinasi dengan instansi lain dalam kerangka pemberantasan
tindak pidana korupsi. Pasal 6 huruf a Undang-Undang nomor 30 tahun 2002
menyebutkan bahwa KPK mempunyai tugas koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Saat ini
instansi/lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan menangani
tindak pidana korupsi adalah Kepolisian dan Kejaksaan.17
Oleh sebab itu pada tahapan penegakan hukum yang harus dijalani
dalam proses penanganan tindak pidana korupsi seperti pada tahapan
penyidikan maka KPK memiliki hak untuk berkoordinasi dengan lembaga
penegak hukum yang sedang menangani. Pelaksanaan koordinasi tersebut
meliputi juga koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan republik indonesia,
Inspektorat pada kementrian, atau lembaga pemerintah non kementerian.
Dualisme sistem penyidikan ini di satu sisi menimbulkan kompetisi yang
positif namun disi lain juga menimbulkan rasa tidak percaya diri pada
lembaga yang kinerjanya kurang maksimal. Di samping itu agar tidak terjadi
tumpang tindih kewenangan.18
perlu dilakukan secara hati- hati. Untuk itulah
tugas supervisi dimiliki oleh KPK.
Berdasarkan tugas supervisi tersebut, KPK mempunyai wewenang
yang diatur Pasal 8, yaitu, KPK dapat melakukan pengawasan, penelitian atau
penelahaan terhadap isntansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak korupsi, dan instansi yang dalam
melaksanakan pelayanan publik. Dalam melaksanakan wewenang tersebut,
KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap
pelaku tindak pidanan korupsi yang sedang dilakukan oleh pihak kepolisian
atau kejaksaan. Kewenangan supervisi oleh KPK juga dimaksudkan pula
untuk meminimalisir penyalahgunaan kewenangan polisi dan jaksa dalam
17
R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi . . . h, 28.
18
Hibnu Nugroho, “Rekonstruksi Wewenang Penyidik Dalam Perkara Tipikor (Kajian
Wewenang Polisi Dalam Penyidikan Tipikor)”, Jurnal Media Hukum, Vol. 16 No. 3 Desember
2009, Yogyakarta: FH UMY.
62
melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini dapat dibaca
dalam konsideran Undang-Undang KPK yang menyebutkan bahwa lembaga
pemerintah yang menangani perkara tindak pi-dana korupsi belum berTugas
maksimal, untuk itu perlu kehadiran lembaga lain yang bisa menangani secara
efektif, efisien, profesional dan berkesinambungan.19
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 telah mengantisipasi
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kewenangan itu, dengan
memberikan kewenangan kepada KPK untuk mengambil alih penyidikan atau
penuntutan dalam hal atau dengan beberapa alasan. Pertama, laporan
masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; kedua,
proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertundatunda tanpa alasan yang bisa dipertanggungjawabkan; ketiga,
penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak
pidana korupsi yang sesungguhnya; keempat, penanganan tindak pidana
korupsi mengandung korupsi; kelima, hambatan penanganan tindak pidana
korupsi karena campur tangan dari pihak eksternal misalnya eksekutif,
yudikatif, atau legislatif; dan keenam, keadaan lain yang menurut
pertimbangan Kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi
sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan (Pasal 9).
“..Laporan Penelitian tentang Penguatan Pemberantasan Korupsi melalui
Tugas Koordinasi dan Supervisi yang dilakukan oleh ICW, disebutkan
alasan-alasan pengambilalihan dapat dikatagorikan menjadi dua. Pertama
KPK dapat mengambil alih perkara bila kepolisian dan kejaksaan dinilai
tidak mampu melaksanakannya. Ketidakmampuan tersebut bisa saja
disebabkan hambatan internal lembaga terkait atau bisa juga karena
adanya intervensi kekuasaan eksekutif terhadap kepolisian dan kejaksaan.
Kedua, KPK dapat mengambil alih perkara karena kepolisian dan
kejaksaan dinilai tidak mau menjalankan tugasnya sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku..”
Ketidakmauan bisa saja karena alasan penanganannya mengandung
unsur korupsi atau dapat juga karena secara internal tidak ada niat baik untuk
19
Jeane Neltje Saly, “Harmonisasi Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum Tipikor”.
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No.1 Maret 2007, h. 14.
63
menindaklanjuti perkara tertentu. Penjelasan Undang-Undang KPK
disebutkan bahwa KPK memiliki tugas koordinasi dan supervisi, KPK tidak
didesain untuk memonopoli penanganan perkara korupsi.20
Dengan
pengaturan ini, Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan beberapa
hal. Pertama, KPK dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat
dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai "counterpartner" yang
kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien
dan efektif; kedua, tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan; ketiga, berTugas sebagai pemicu dan
pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger
mechanism); dan keempat, berTugas untuk melakukan supervisi dan
memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat
mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/ atau
kejaksaan. Pelaksanakan Tugas koordinasi dan supervisi KPK melakukannya
terhadap berbagai lembaga, baik instansi penegak hukum (kejaksaan dan
kepolisian) dan instansi pengawas Tugasonal pemerintah (Inspektorat
Jenderal, BPKP, dan Bawasda) dengan mengoptimalkan peran dan Tugasnya
tugas koordinasi terutama dilakukan terhadap penanganan perkara tindak
pidana korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan (bolak balik perkara).
Sebelum supervisi masih proses penyidikan, setelah supervisi masih
perlu pendalaman terhadap perbuatan melawan hukum dari para pihak.
Bentuk kegiatan rutin yang dilakukan dalam koordinasi dengan penegak
hukum lain yang disebutkan dalam Laporan Tahunan KPK 2017 adalah
penerimaan pelaporan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP),
sedangkan supervisi dilakukan dengan menerima permintaan pengembangan
penyidikan gelar perkara, analisis bersama maupun pelimpahan perkara.
Bagian Koordinasi dan supervisi (Korsup) pendindakan KPK mendorong
SDMnya untuk melaksanakan tugasnya tersebut di daerah, dengan cara dalam
20
Oemar Seno Adji, Undang-Undang Pemberantaan Tindak Pidana Korupsi
Penerapannya Dalam Hukum Pidana Pengembangan, (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 29.
64
kurun waktu satu bulan harus menyelesaikan tugas korsup di satu provinsi. Di
lapangan SDM KPK harus terjun sampai ke tingkat Polres.
Tugas yang dilaksanakan tidak hanya melakukan pengecekan SPDP,
namun juga Terkait tugas Koordinasi dan Supervisi KPK ini, ICW pernah
memberikan catatan khusus terhadap KPK. Dalam dokumen rekomendasi
ICW tentang Road Map KPK 20015-2017 yang diterbitkan Maret 2008,
terdapat delapan bagan masalah yang menjadi titik penting untuk
pembenahan KPK. Khusus pada bagian Koordinasi dan Supervisi, terdapat
enam catatan kritis, yaitu:
a. Mekanisme koordinasi dan supervisi belum cukup jelas;
b. Koordinasi dan Supervisi dilakukan berbasis kasus, bukan pada kinerja
(kelembagaan,-pen)
c. Sedikitnya kasus korupsi yang diambil alih oleh KPK
d. KPK belum mampu membendung terbitnya SP3 dan SKPP di
Kepolisian dan Kejaksaan
e. KPK belum memiliki sistem informasi penanganan perkara korupsi di
Kepolisian dan Kejaksaan; dan,
f. KPK belum memiliki sumber daya khusus (kelembagaan,-pen) untuk
bidang Koordinasi dan Supervisi.
Melakukan kerja sama operasi bidang penyelidikan dan penyidikan
bersama. Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber selaku panitiak
khusus hak angket KPK di DPR RI, di peroleh keterangan bahwa belum
terhadap penjabaran yang konkrit tentang tugas supervisi terhadap penyidikan
Tipikor oleh KPK di Polda Jawa Tengah. Oleh karena itu supervisi bisa
diartikan menjadi supervisi kinerja atau supervisi kesatuan. Tahun 2012, KPK
pernah melakukan supervisi. Pada waktu itu yang dilakukan adalah berupa
gelar perkara untuk melakukan “sharing” dalam penanganan suatu perkara
korupsi.
Akan tetapi pada saat supervisi tersebut pihak KPK hanya
mendengarkan gelar perkara tetapi tidak memberi putusan apapun terhadap
perkara tersebUndang-Undang t, misal akan diteruskan, dihentikan atau
memeberi masukan terhadap kasus di maksud. Kriteria perkara yang
65
disupervisi oleh KPK adalah kasus korupsi tersebut menjadi perhatian
masyarakat, yaitu KPK menerima pengaduan dari masyarakat, berdasarkan
pengaduan tersebut KPK melakukan supervisi terhadap penyidikan. Hanya
saja tetap belum ada kepastian apakah yang disupervisi tersebut proses
penyidikannya ataukah mekanisme penyidikan.
Menurutnya koordinasi dan supervisi sangat penting untuk dilakukan
karena untuk mencari titik temu pada saat dijumpai ada kebuntuan dalam
penanganan suatu kasus korupsi. Tugas supervisi yang sebenarnya sangat
baik hingga saat ini tidak efektif karena supervisi dilakukan atas laporan
masyarakat bukan atas inisiatif KPK sendiri. Idealnya supervisi dibuat berupa
program kerja supervisi dan koordinasi tahunan (PKPT), sehingga dalam
pelaksanaannya KPK yang secara aktif melakukan supervisi dan koordinasi.
Karna dalam mengaplikasikan kaidah hukum, hendaknya harus ada dukungan
yang kuat dari norma hukum yang sistematik dan petugas yang memahami
kewenangan yang sudah diamanahkan dengan tegas di dalam peraturan
perundang-undangan yang sudah di buat oleh pemerintah.21
Berdasarkan sejumlah temuan dan hasil analisis yang di lakukan oleh
panitia khusus hak angket KPK di DPR RI menemukan beberapa hal di
antaranya : 22
a. Tidak singkronnya norma dalam Undang-Undang KPK;
b. Kelembagaan koordinasi dan supervisi yang belum ada di KPK,
Kepolisian dan Kejaksaan; dan,
c. Hambatan teknis di lapangan yang meliputi: persoalan kepangkatan
penyidik, ego sektoral, dan mafia hukum.
Seperti yang diuraikan di atas, Pasal 6 Undang-Undang KPK
menempatkan kewenangan Koordinasi dan Supervisi lebih prioritas
dibanding kewenangan penindakan (penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
21
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Putra Grafika, Cet, Ke Empat,
2013), h.15.
22
Laporan Kajian Dan Survei:Optimalisasi Peran KPK Dalam Pemberantaan Korupsi,
Oleh Tim Kajian Dan Survei Akademisi Independen, Jakarta 11 Agustus-22 September 2017.
66
korupsi). Dari latar belakang pembentukan Undang-Undang KPK pun,
kebutuhan penguatan institusi Kepolisian, Kejaksaan dan perbaikan sistem
seharusnya menempatkan KPK sebagai institusi yang fokus dan prioritas
kepada kewenangan ini. Akan tetapi, semangat yang ada pada Pasal 6
Undang-Undang KPK ternyata tidak didukung secara utuh oleh bagian lain di
undangundang ini. Baik Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang KPK,
Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2005 tentang Sistem Manajemen dan
Sumber Daya Manusia KPK, dan Keputusan Ketua KPK Nomor: Kep-
07/P.KPK/02/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja KPK tidak
memberikan tempat dan porsi yang besar pada kelembagaan. Menurut barda
nawawi arief, kualitas sumberdaya manusia di bidang pembangunan dan
penegakan hukum berkaitan erat dengan kualitas kinerja dan implementasi
hukum yang di jalankan.23
Oleh karena itu, jkka kita melihat dari sudut
pandang sumberdaya manusia dalam lembaga Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) saat ini menuntut perlu adanya reevaluasi, reorientasi dan
reformasi di bidang sumberdaya manusia itu sendiri.
Koordinasi dan supervisi dalam diskusi ahli yang dilakukan pada
proses penelitian ini, mantan pimpinan KPK yang diundang, Ery Riyana
Hardjapamengkas juga menyebutkan perihal inkonsistensi regulasi tersebut.24
Bab IV Undang-Undang KPK yang mengatur tentang tempat kedudukan,
tanggung jawab dan susunan organisasi yang terdiri dari sepuluh pasal tidak
menyebutkan satu bagian/jabatan pun yang secara khusus dibuat untuk
pelaksanaan tugas koordinasi dan supervisi tersebut. Padahal, jika dilihat
secara normatif, kewenangan KPK untuk melaksanakan koordinasi dan
supervisi adalah sebuah kewenangan yang sangat luas. Hal ini
berkonsekuensi pada sulitnya menempatkan pejabat atau staff yang secara
khusus melaksanakan kewenangan koordinasi dan supervisi tersebut. Namun,
23
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), h. 26.
24
Ramelan, Penerapan Konsep Dan Pengertian Turut Serta Dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Padjajaran Bandung, 2002. h. 3.
67
jika dicermati, KPK sudah melakukan koordinasi dan supervisi sejak awal
pembentukannya, meskipun masih dilaksanakan secara kasuistis. Masih
dalam Bab IV Undang-Undang KPK, Pasal 26 yang secara khusus mengurai
struktur kelembagaan KPK yang meliputi Pimpinan KPK, 4 bidang
(Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Bidang Pengawasan
Internal dan pengaduan masyarakat), 4 subbidang pencegahan, 3 subbidang
penindakan, 3 subbidang informasi dan data, dua subbidang pengawasan
internal dan pengaduan masyarakat, dan struktur Satuan Tugas yang dapat
dibentuk di subbidang bagian penindakan.
Kemudian, Pasal 27 Undang-Undang KPK mengatur tentang adanya
struktur Sekretaris Jenderal untuk membantu pelaksanaan tugas KPK. Dari
dua pasal ini, tidak ditemukan Bidang, Subbidang, Satuan Tugas, atau
struktur lainnya yang secara eksplisit membawahi pelaksanaan tugas KPK
untuk Koordinasi dan Supervisi pemberantasan korupsi. Namun, memang
tidak pernah akan ada undang-undang yang sempurna. Karena itu, meskipun
ada persoalan dalam Undang-Undang KPK, pelaksanaan tugas koordinasi dan
supervisi tetap harus berjalan. Untuk menjawab kelemahan Undang-Undang
tersebut, KPK melakukan koordinasi dan supervisi secara tersebar di
sejumlah bidang dan subbidang.
Kelemahan ini bukan tidak disadari oleh KPK. Dalam dokumen
rencana Strategik KPK 2010-2016 KPK sebenarnya sudah menetapkan 4
kebijakan dalam penentuan prioritas pelaksanaan tugasnya, yaitu: terkait
dengan tugas dan Kebijakan di bidang Koordinasi dan Supervisi
a. Menindaklanjuti MoU yang sudah dibuat bersama Polri dan
Kejaksaan dengan tindakan nyata di lapangan
1) Mengadakan pertemuan rutin dengan Polri dan Kejaksaan
2) Mengevaluasi penanganan kasus korupsi
b. Mendorong penanganan kasus korupsi ke daerah (Polda dan Kajati)
dengan alternatif tindakan:
68
1) Diserahkan sepenuhnya sesuai kewenangan Polri dan Jaksa
2) Digunakan kewenangan KPK, namun dilaksanakan oleh Polri
dan Jaksa
c. Memantau penanganan kasus korupsi oleh Polri dan Kejaksaan
1) Secara administratif
2) Check on the spot
d. Mengambil alih penanganan kasus yang krusial dan tidak dapat
ditangani oleh Polri dan Kejaksaan.
1) Kebijakan di Bidang penindakan
2) Kebijakan pencegahan
3) Kebijakan di bidang pengawasan terhadap penyelenggaraaan
negara
Menindaklanjuti rencana strategik tersebut, di tahun 2010 akhirnya
KPK membentuk sebuah Unit Khusus Koordinasi dan Supervisi yang
dijalankan oleh 4 orang. Artinya, sejak keberadaan KPK di tahun 2003, unit
khusus yang menjalankan kewenangan Pasal 6 huruf a dan b Undang-Undang
KPK tersebut baru dibentuk di tahun 2009. Keberadaan Unit Khusus inipun
dinilai belum cukup kuat untuk mewadahi pelaksanaan tugas koordinasi dan
supervisi yang sangat luas dan lebih berat bahkan dibanding tugas di bidang
penindakan sekalipun. Karena nilai keluarbiasaan KPK sebagai institusi yang
hadir ditengah kegagalan institusi lama dalam pemberantasan korupsi terletak
pada tugas koordinasi dan supervisi ini. Sebutan KPK sebagai superbody pun,
seperti dijelaskan dalam bagian Penjelasan Umum Undang-Undang KPK
terletak pada kewenangan melakukan supervisi dan memantau institusi yang
telah ada yang dalam keadaan tertentu dapat melakukan pengambilalihan
penanganan kasus korupsi.
Pembentukan Unit Kerja Koordinasi dan Supervisi ini diatur di
Peraturan KPK Nomor 03 tahun 2010, tanggal 23 Februari 2010. Pada pasal
16 Unit Kerja yang dipimpin oleh Koordinator Unit Kerja yang
69
bertanggungjawab pada Deputi Penindakan menjalankan 10 Tugas. Dalam
pelaksanaan tugasnya, unit ini dapat membentuk Satuan Tugas sesuai dengan
kebutuhan dalam pelaksanaan kewenangan koordinasi dan supervisi KPK.
Peraturan KPK No. 03/2010 merupakan perubahan dari Peraturan
KPK Nomor Per-08/01/XII 2008 tentang Organisasi dan Tata Kelola (Ortala)
KPK. Seperti diketahui, dalam Ortala KPK sebelumnya, belum ditemukan
Unit Kerja khusus di bidang koordinasi dan supervisi KPK. Pembentukan
unit kerja ini tentu dapat dilihat sebagai sebuah kemajuan di KPK, meskipun
dalam penerapannya, kedudukan dan kelembagaan koordinasi dan supervisi
yang hanya setingkat Unit Kerja dinilai tidak seimbang dengan besarnya
tuntutan, ruang lingkup kerja, dan bahkan prioritas tugas yang diberikan
Undang-Undang pada KPK seperti diatur di Pasal 6 huruf (a) dan (b)
Undang-Undang KPK, yang bahkan menempatkan tugas koordinasi dan
supervisi lebih dulu dibanding penindakan. Jika Bidang Penindakan
dijalankan dalam sebuah Deputi yang spesifik untuk menjalankan tugas KPK
di Pasal 6 huruf (c), maka sudah sepatutnya untuk pelaksanaan tugas
Koordinasi dan Supervisi pun seharusnya dibentuk kelembagaan yang
setingkat dengan Deputi. Akan tetapi, seperti sudah dijelaskan sebelumnya,
hal ini belum diatur di Pasal 26 dan 27 Undang-Undang KPK. Meskipun
demikian, bukan berarti KPK tidak dapat membentuk kelembagaan khusus
untuk menjalankan tugas strategis koordinasi dan supervisi tersebut.
Berdasarkan hasil diskusi ahli yang dilakukan selama penelitian ini,
dengan menggunakan Pasal 6 huruf (a) dan (b) dan Pasal 25 ayat (1) huruf (a)
Undang-Undang KPK, sebenarnya Pimpinan KPK dapat membuat sebuah
kebijakan dan tata kerja organisasi yang sesuai dengan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenang KPK, termasuk tugas untuk Koordinasi dan Supervisi.
Seperti diuraikan diatas, kendala soal kelembagaan koordinasi dan supervisi
tidak hanya terjadi di KPK, akan tetapi juga di Kepolisian dan Kejaksaan.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, sejauh ini belum ditemukan
70
kelembagaan khusus yang didisain sebagai unit khusus yang mengurusi
koordinasi dan supervisi.
Selama ini koordinasi dijalankan oleh Liasion Officer atau LO yang
ditunjuk secara perorangan di Kepolisian dan Kejaksaan. LO tersebut
biasanya adalah penyidik atau penuntut yang sebelumnya pernah bertugas di
KPK. Dalam struktur organisasi Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim
Polri yang diatur di Peraturan Kapolri nomor Perkap/IX/2010, September
2010 tidak ditemukan sebuah kelembagaan yang spesifik untuk melaksanakan
tugas koordinasi dan supervisi ini. Direktur TIndak Pidana Korupsi
memimpin empat sub-direktorat, dan masing-masing sub-direktorat
memimpin lima Kepala Unit. Struktur ini tampaknya diterapkan sama dengan
direktorat lainnya di Mabes Polri dengan variasi jumlah sub-direktorat sesuai
dengan kebutuhan masing-masing direktorat. Dalam konsep dan kerangka
kerja koordinasi dan supervisi dalam pemberantasan korupsi, disarankan
Kepolisian dan Kejaksaan mempunyai kelembagaan khusus di Bareskrim
Mabes Polri dan Kejaksaan Agung yang berTugas ke dalam dan ke luar.
Tugas ke dalam adalah untuk menjalankan supervisi internal antara
Mabes Polri dengan Polda dan Polres untuk dalam menjalankan tugas
memberantas korupsi, sedangkan Tugas keluar adalah untuk berkoordinasi
dengan KPK dan Kejaksaan. Demikian juga dengan Kejaksaan Agung, yang
disarankan membentuk kelembagaan spesifik yang dapat berada di bagian
Pidana Khusus Kejaksaan Agung. F. Hambatan di Lapangan Hambatan lain
dalam pelaksanaan tugas koordinasi supervisi cenderung bersifat kasuistis.
Kepangkatan yang berbeda antara pihak yang mensupervisi (KPK) dengan
pihak yang disupervisi (Polda dan Kajati) seringkali membuat pelaksanaan
Tugas ini tidak efektif. Bahkan, di tataran tertentu ego-sektoral masih muncul
ketika KPK menjalankan tugasnya baik di Jakarta dan Daerah.
Dari sejumlah kegiatan diskusi dan seminar yang diikuti dengan tema
pemberantasan korupsi, masih sering terucap dari pihak Polri dan Jaksa,
71
bahwa ada keberatan jika lembaga baru seperti KPK kemudian bisa menjadi
lebih tinggi dan mengatur “kakak-kakaknya” di kepolisian dan kejaksaan. 35
Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan, karena lama kelamaan justru akan
mempertajam konflik laten antar institusi, dan memperlebar jurang
koordinasi. Dalam paradigma pemberantasan korupsi yang harus dilakukan
secara bersama-sama dan kerjasama lintas institusional, dibutuhkan sebuah
sikap kepemimpinan yang jelas dan terang benderan di masing-masing
institusi, baik oleh Kapolri ataupun Kejaksaan Agung. Sehingga, ke depan,
pelaksanaan koordinasi dan supervisi KPK disarankan lebih menekankan
pada kerjasama kelembagaan, yakni antara KPK dengan Mabes Polri, KPK
dengan Kejaksaan Agung, ataupun ketiga lembaga secara bersamaan. Dengan
demikian, kalaupun masih ada resistensi personal di Jakarta ataupun daerah,
maka mekanisme yang berlaku adalah mekanisme internal masing-masing
institusi penegak hukum. Setiap anggota Polri misalnya, tentu wajib
mematuhi aturan hukum dan kebijakan yang sudah diambil oleh
pimpinannya.
Sebaliknya ada sanksi jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi. Dengan
dasar hukum Peraturan Kapolri ataupun Peraturan Jaksa Agung,
pembentukan kelembagaan internal Polri dan Kejaksaan, kewajiban anggota
Kejaksaan dan Polri, serta sanksi adminsitratif terhadap pihak-pihak yang
tidak mematuhi aturan tersebut perlu diatur. Hal ini diharapkan bisa
meminimalisir konflik-konflik dan hambatan pelaksanaan tugas koordinasi
dan supervisi di lapangan. Kenyataan lain yang ditemukan dalam pelaksanaan
tugas ini adalah ketidakpatuhan dalam melaporkan SPDP.Bandingkan antara
SPDP yang dilaporkan pada KPK oleh Kepolisian dan Kejaksaan dengan
laporan tahunan masing-masing lembaga tentang penanganan kasus korupsi.
Mekanisme koordinasi antara KPK dengan kejaksaan dan kepolisian
sebagaimana disepakati pada masa koordinasi tahun 2008 kiranya belum
memadai untuk mengkoordinasikan langkah bersama pemberantasan korupsi.
Koordinasi dalam bentuk tukar informasi, pertemuan, laporan kegiatan dan
72
adanya permintaan pemberitahuan pengambilan perkara tidak cukup bagi
KPK dalam memberikan pengarahan, pedoman, petunjuk atau melakukan
kerjasama dengan kejaksaan dan kepolisian. Oleh karena itu, diperlukan
formulasi baru mekanisme koordinasi KPK dengan kepolisian dan kejaksaan.
Hal itu ditujukan supaya koordinasi yang dimaksud Undang-Undang KPK
dapat terlaksana dengan baik.
Usaha pemberantasan korupsi jelas tidak mudah. Kesulitan itu terlihat
semakin rumit, karena korupsi kelihatan benar-benar telah menjadi budaya
pada berbagai level masyarakat. Meski demikian, berbagai upaya tetap
dilakukan, sehingga secara bertahap korupsi setidak- tidaknya bisa dikurangi,
oleh sebab itu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK
mengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK) dan Pengadilan Khusus Korupsi. Pembentukan dua institusi ini
merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan legislatif
dalam Pemberantasan tindak pidana korupsi. Namun, dalam pelaksanaannya
ternyata tidak semudah yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Karena dalam praktik, baik yang sudah terjadi atau baru diprediksikan akan
terjadi.
Pelaksanaan kerja pemberantasan Korupsi terbentur banyak
permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain adalah hubungan koordinasi
antara KPK dengan pihak Kepolisian dan Kejaksaan sebagai sub sistem dari
Peradilan pidana. Tugas Koordinasi dan supervisi masih menjadi Tugas
sekunder dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Sejatinya Tugas Korsup
merupakan Tugas utama yang menjadi tujuan kelahiran lembaga Komisi
Pemberantasan Korupsi, karena korupsi terkait dengan masalah dan ruang
gerak yang cukup luas..25
25
Ifrani, “Grey Area Tipikor Dengan Tindak Pidana Perbankan”, Jurnal Konstitusi. Vol.
8 No 6 Desember 2011, h. 994.
73
C. Faktor penghambat pelaksanaan Tugas koordinasi dan supervisi Komisi
pemberantasan Korupsi.
Soerjono soekanto mengemukakan bahwa dalam setiap
implementasinya senantiasa akan di jumpai faktor-faktor penyebab terjadinya
keterhambatan baik yang berasal dari dalam masyarakat atau dari luar
masyarakat (pemerintah dan penegak hukum).26
Karna yag lebih penting ialah
identifikasi terhadap faktor-aktor tersebut yang menjadi penghambat
terjadinya perubahan dan bahakan menghalangiya.
Terlaksananya ketentuan perundangan terkait beberapa faktor yang
saling mempengaruhi dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini sesuai dengan teori
yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.27
bahwa keberhasilan penegakan
hukum tidaklah semata-mata menyangkut ditegakkannya hukum yang
berlaku, namun sangat tergantung pula dari beberapa faktor. Pertama,
hukumnya, yaitu undang-undang harus dibuat mengikuti asas-asas yang
berlaku seperti misalnya undang-undang tidak berlaku surut, undang-undang
yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang bersifat umum;
undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula; undang-undang yang berlaku belakangan
membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu, undang-undang tidak
dapat diganggu-gugat.
Lawrence M.Friedmanpun memberikan oandangan, bahwa tegak dan
jalaanya hukum sesuai norma yang tertuang di dalamnya dapat di lihat dari
beberapa aspek di antaranya, struktur kukum, pola yang menunjukan
bagamana norma hukum itu di jalankan dengan baik berdaarkan ketentuan-
ketentuan formalnya, struktur inipun menunjukan bagaimana para pembuat
26
Soerjono Soekanto, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (Jakarta: Bina Aksara,
1993), h. 17.
27
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta:
Rajawali Press, 2008), h. 5-8.
74
hukum, pengadilan dan instansi-instansi lainya berjalan dan di jalankan,
selanjutmya di lihat dai substansi hukum yang di hadirkan, yakni peraturan-
peraturan yang di gunakan oleh para penegak hukum saat menjalankan tugas
penegakan, selanjutnya ada kultur hukum, hal ini menjadi hal yang amat
sangat penting dalam impleentasi kinerja para penegak hukum, karena hal ini
menjadi tolak ukur bagi masyarakat dan penegak hukum dalam
menyelesaikan perkara.28
Demikian pula pembuatan undang-undang haruslah memenuhi syarat
filosofis/ideologis, syarat yuridisi dan syarat sosio-logis, maksudnya undang-
undang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ideologi negara dan undang-
undang dibuat haruslah menurut ketentuan yang mengatur kewenangan
pembuat undang-undang sebagaimana diatur dalam konstitusi negara, serta
undang-undang dibuat haruslah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi
masyarakat di mana undang-undang tersebut diberlakukan. Kedua, penegak
hukum, yaitu pihak-pihak yang secara langsung terlibat dalam bidang
penegakan hukum yang mencakup law enforcement dan peace maintenance.29
Penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan
perannya masing-masing yang telah diatur dalam peraturan perundangan.
Dalam menjalankan tugas tersebut dilakukan dengan mengutamakan keadilan
dan profesionalisme, sehingga menjadi panutan masyarakat serta dipercaya
oleh semua pihak termasuk semua anggota masyarakat. Ketiga, sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Sarana atau fasilitas tersebut
mencakup tenaga manusia yang telah terdidik dan terampil, organisasi yang
baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan sebagainya.
Ketersediaan sarana dan fasilitas yang memadai merupakan suatu
keharusan bagi keberhasilan penegakan hukum. Keempat, masyarakat, yakni
28
Achmad Ali, Menguak Tafsir Hukum, Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis, (Jakarta:
Candra Pratama, 1996), h. 213.
29
Ramelan, Penerapan Konsep Dan Pengertian Turut Serta Dalam Perkara Tindak
Pidana Korupsi, Tesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Padjajaran Bandung, 2002. h. 3.
75
masyarakat lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.30
Maksudnya warga masyarakat harus mengetahui dan memahami hukum yang
berlaku, serta mentaati hukum yang berlaku dengan penuh kesadarn akan
penting dan perlunya hukum bagi kehidupan masyarakat. Kelima,
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.31
Dalam hal ini kebudayaan
mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana
merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik
sehingga dianut, dan apa yang dianggap buruk sehingga dihindari.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa dari kelima
faktor tersebut di atas bila dihubungkan dengan permasalahan yang ada maka
tampak faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan Tugas
koordinasi dan supervisi oleh KPK terhadap penyidikan tipikor di daerah
sangat erat kaitannya dengan faktor pertama, kedua dan ketiga yaitu faktor
hukumnya, faktor penegak hukum dan faktor sarana atau fasilitas. Faktor
hukum yang dimaksud disini adalah Tugas-Tugas penyidikan tipikor yang
masih diatur dalam aturan yang tegas dalam pelaksanaan Tugas Korsup ini.
Tugas koordinasi dan supervisi masih menjadi Tugas sekunder dari
KPK. Sejatinya Tugas koordinasi dan supervisi merupakan Tugas utama yang
menjadi tujuan kelahiran lembaga KPK, namun hingga saat ini dukungan
legislasi masih sangat minim. Korupsi terkait dengan masalah dan ruang
gerak yang cukup luas. Oleh karena itu, apabila upaya penanggulangan ingin
ditempuh lewat penegakan hukum, maka harus pula dilakukan analisis dan
pembenahan integral terhadap semua peraturan perundangan yang terkait.32
Hal ini tentu juga harus dilakukan bagi kemajuan pelaksanaan Tugas Korsup
30
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1998), h. 28.
31
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum. . . h. 29.
32
Ifrani, “Grey Area Tipikor Dengan Tindak Pidana Perbankan”, Jurnal Konstitusi. Vol.
8 No 6 Desember 2011, h. 994.
76
penydikan oleh KPK. Faktor penegak hukum dalam pelaksanaan koordinasi
dan supervisi menjadi penyebab yang menjadikan Tugas Korsup KPK belum
memadai pelaksanaannya. Dari sudut pandang KPK, Tugas koordinasi dan
supervisi diakui telah dijalankan dan mengalami kenaikan yang cukup
signifikan dari tahun ke tahun namun dari sisi penyidik baik penyidik Polri
maupun penyidik kejaksaan Tugas ini masih belum sesuai harapan. Bahkan
dikatakan Tugas ini dijalankan hanya apabila ada laporan dari masyarakat.
Menurut ICW kendala teknis dilapangan yang berhubungan dengan Tugas
Korsup meliputi persoalan kepangkatan penyidik dan ego sektoral.33
Ego
sektor muncul akibat penyidikan terhadap tipikor dapat dilakukan oleh
beberapa lembaga penyidik. Dalam struktur kelembagaan KPK tugas
koordinasi dan supervisi diemban oleh sebuah unit, yaitu unit koordinasi dan
supervisi yang berada dibawah deputi bidang pe-nindakan. Sehingga walapun
Tugas koordinasi dan supervisi merupakan Tugas yang penting dan signifikan
namun dalam struktur kelembagaan KPK tidak diletakan secara terpisah
sebagaimana bidang pencegahan, penindakan, informasi dan data,
pengawasan dan Sekretaris Jenderal. Kondisi ini berhubungan langsung
dengan faktor ketiga yaitu faktor sarana atau fasilitas yang mendukung
penegakan hukum.
Sarana atau fasilitas tersebut mencakup tenaga manusia yang telah
terdidik dan terampil. Secara umum jumlah SDM yang dimiliki KPK terbatas
apabila dibandingkan dengan beban tugas yang besar. Laporan tahunan KPK
2016 menyebutkan bahwa problema terbesar KPK, sejatinya adalah
minimnya jumlah SDM yang dimiliki. Personel KPK yang berjumlah 700-an
orang, misalnya, sangat tidak berimbang dengan tugas berat dan cakupannya
yang begitu luas yang diemban KPK. Tingkat perkara yang cukup tinggi dan
merata terjadi hampir diseluruh Indonesia menjadi tantangan yang cukup
berat bagi KPK.
33
Hasil Survei Yang Di Lakukan Oleh ICW Januari-Desember 2017 Dari 1674
Responden.
77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan bab-bab terdahulu dan untuk
mengakhiri pembahasan dalam skripsi ini, peneliti memberikan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bentuk koordinasi dan supervisi KPK sebagaimana diatur dalam Pasal
6 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 belum
dilakukan sebagaimana yang diharapkan. berupa mengkoordinasikan
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi,
mentapkan sistem pelaporan, meminta informasi tentang kegiatan
pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi terkait,
melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dan
meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana
korupsi. Adapun bentuk supervisi yang dilakukan oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi ialah dengan melakukan pengawasan,
penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas
dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak
pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan
publik dan berwenang juga mengambil alih penyidikan atau
penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang
dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
2. Mandat pokok yang dimiliki KPK ialah Pertama, melaksanakan
tugas-tugas penindakan yang juga menjadi kewenangan lembaga
penegak hukum lainnya. Tugas ini dikerjakan dalam rangka
memenuhi harapan masyarakat agar para koruptor dihukum. Kedua,
tugas yang jauh lebih penting, yaitu bagaimana Komisi
Pemberantasan Korupsi mengkoordinir sekaligus mensupervisi
78
lembaga-lembaga penegak hukum yang ada agar menjadi lembaga
yang kuat dan mampu menjalankan tugas penegakan hukum dengan
baik. Koordinasi dan supervisi yang dilakukan Komisi Pemberantasan
Korupsi juga mencakup mengambil langkah-langkah untuk
mendorong dilakukannya percepatan reformasi di tubuh kejaksaan dan
kepolisian. Sehingga pemberantasan korupsi tidak dapat digantungkan
semata-mata pada penindakan tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi melainkan Semangat kerja pemberantasan korupsi juga harus
ditularkan Komisi Pemberantasan Korupsi kepada institusi penegak
hukum lainnya. Sebab, keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi
sesuai dengan semangat pembentukannya adalah dalam rangka
mengisi kosongan kepercayaan masyarakat pada lembaga penegak
hukum yang ada termasuk kepolisian dan kejaksaan.
3. Faktor penghambat dalam pelaksanaan Tugas koordinasi dan supervisi
penyidikan tipikor ada pada faktor hukum, faktor penegak hukum dan
faktor prasarana berupa masih kurangnya jumlah sumber daya
manusia Komisi Pemberantasan Korupsi yang bertugas dibidang
Korsup, sehingga tugas Korsup yang mencakup wilayah negara
Repubilik Indonesia masih belum dapat dilaksanakan secara
maksimal.
B. Rekomendasi.
1. Komisi Pemberantaan Korupsi (KPK), Kepolisian dan Kejaksaan
direkomendasikan untuk membentuk Sentra Koordinasi
Pemberantasan Korupsi Terpadu (SKPKT). Pembentukan SKPKT ini
bertujuan agar kerjasama antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan dapat
dilakukan dengan standar kelembagaan yang sama. Hal ini menjawab
persoalan pelaksanaan Tugas koordinasi dan supervisi selama ini yang
dilakukan secara kasuistis dan berkomunikasi melalui Liasion Officer
atau LO di Kepolisian dan Kejaksaan. Akan tetapi, SKPKT ini harus
didukung juga dengan manajemen dan sistem pencatatan penanganan
79
kasus korupsi yang baik di KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Hal
tersebut dapat di tuangkan dalam MOU tentang optimalisasi
pemberantasn tindak pidana korupsi antara Komisi Pemberantasan
Korupsi, Kepolisian dan kejaksaan, Mmperkuat jalinan koordinasi
antara Komisi Pemberantasan Korupsi Polri dan kejaksaan
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
2. Tugas koordinasi dan supervisi seharusnya di tempatkan bidang
tersendiri setingkat deputi dalam struktur Komisi Pemberantasan
Korupsi, tidak seperti saat ini yang hanya menjadi sub bagian bidang
penindakan. Mengingat Tugas koordinasi dan supervisi memegang
peran yang sangat strategis terutama dalam penanganan tindak pidana
korpusi.
3. Perlu adanya penambahan sumber daya manusia yang menangani
koordinasi dan supervisi pada lembaga Komisi Pemberantasan
Korupsi. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat dalam praktek
dilapangan Tugas koordinasi dan supervisi belum sesuai dengan yang
diharapkan oleh lembaga penyidik kepolisian maupun penyidikan
kejaksaan. Sehingga Masalah perebutan untuk melakukan
penyelidikan maupun penyidikan perkara korupsi antara Komisi
Pemberantasan Korupsi, Polri dan kejaksaan dapat diminimalisir,
maka tindakan pencegahan dan pemberantasan koupsi di Indonesia
dapat berjalan dengan lancar dan pelaku korupsi dapat diadili dengan
tepat.
80
DAFTRA PUSTAKA
BUKU:
Abidin, Zainal dan A Gimmy Prathama siswadi, Psikologi Korupsi, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2008.
Adji, Oemar seno, Undang-undang pemberantaan tindak pidana korupsi
penerapannya dalam hukum pidana pengembangan, jakarta: erlangga,
1985.
Ali, Achmad, menguak tafsir hukum, suatu kajian filosofis dan sosiologis,
(jakarta: candra pratama, 1996.
___________, keterpurukan Hukum di indonesia, jakarta: ghalia indonesia 2001.
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2003
Arief, Barda nawawi, beberapaaspek kebijakan dan pengembangan hukum
pidana, cet. Pertama, bandung: citra aditya bakti, 1998.
__________________, bunga rampai kebijakan hukum pidana, bandung: citra
aditya bakti, 1998.
__________________, masalah penegakan hukum dan kebijakan penanggulangan
kejahatan, bandung: citra aditya bakti, 2001.
Azwar, Azrul, Pengantar Administrasi Kesehatan, Cet. Ketiga, , Jakarta:
Binarupa Aksara, 1996.
Chaerudin, dan Syaiful Ahmad Dinar, Syarif Fadilah, Strategi Pencegahan &
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Rifka Aditama, Bandung:
arya nadata, 2008.
Departemen Kehakiman RI, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, Jakarta: Departermen Kehakiman RI, 1982.
Dinar, Ahmad Syaiful, KPK & Korupsi, Jakarta: Cintya Press, 2012,
__________________, KPK & Korupsi (Dalam Studi Kasus), jakarta:sinar
grafika, 2003.
E, James Alt and David Dreyer Lassen, 2010 , Enforcement and Public
Corruption:Evidence from US States, EPRU Working Paper Series.
81
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta:2007.
Fathurahman jamil, dkk “korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam prespektif
nukum dan moral islam, dalam menyikap korupsi. kolusi dan nepotisme
di indonesia, yogyakarta: aditya media 1999.
G.J, Aditjondro, tarik tambang wacana korupsi bidang neoriberalisme atau ujung
tombak demokratisasi, jakarta: sinar grafika, 20000.
Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2005.
Handayaningrat, Soewarno, Pengantar Studi Administrasi dan Management,
Jakarta: Gunung Agung, 2002.
Harun, Refly dkk, Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah
Konstitusi, , Jakarta: Konstitusi Pers, 2010.
Hs, H. Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali Pers,
2012.
Ifrani, “Grey Area Tipikor dengan Tindak Pidana Perbankan”, Jurnal Konstitusi.
Vol. 8 No 6 Desember 2011.
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional,
Transparency International Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003.
Klaus, Kripendoff, Analisis Isi Pengantar Teori dan Metodolog. Jakarta Rajawali
Press, 1991.
Kumoro, Wahyudi tomo, akuntabilitas birokrasi publik, yokgyakarta, pustaka
pelajar, 2005.
Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-Konsep Hukum Dan Pembangunan, Bandung:
Alumni, 2003.
____________________, fungsi dan perkembangan hukum dalam pembangunan
Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1970.
Lopa, Baharuddin, permaslahan pembinan dan penegakan hukum di republik
indonesia, jakarta: bulan bintang, 1997.
Mansur, M.Yahya, Penelitian kualitatif Kajian Konseling, Surabaya : Biro
Penerbit Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 1993.
82
Maggalatung, A. Salman, desain kelembagaan negara pasca aandemen UUD
1945, bekasi: Gramata Publishing.
__________________ prinsip-prinsip, spremasi hukum, keadilan dan Hak Asasi
manusia dalam perspektif hukum islam, jakarta: anggota IKAPI Fokus
Grahamedia, 2006.
Manan, Abdul, aspek-aspek pengubah hukum, jakarta: Putra grafika, Cet, ke
empat, 2013.
Marwan Mas, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bogor: Penerbit Ghalia
Indonesia, 2014.
Muslim, Mahmuddin, Jalan Panjang Menuju KPTPK, Gerakan Rakyat Anti
Korupsi (GeRAK) Indonesia, Jakarta: aditya mulya, 2004.
Prasetyo, Teguh, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum:Pemikiran Menuju Masyarakat
yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurnalistik, cet. Iv.
Jakarta: Galia Indonesia, 1999.
S.P Hasibunan, Malayu Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah, Edisi
Revisi, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Said, Sudirman dan nizar suhendra, korupsi dan masyarakat indonesia dalam
mencuri uang rakyat, 16 kajian korupsi di indonesia, dari puncak sampai
dasar, jakarta: yayaan aksara, 20011.
Salam, Faisal, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktik, Bandung: Mandar
Maju, 2001.
Soekanto, Soerjono, dan mustofa bdullah, hukum dalam masyarakat, jakarta:
Rajawali Press, 1987.
_________________ Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Rajawali Press, 2008.
_________________ pendekatan sosiologis terhadap hukum, .jakarta: Bina
aksara, 1993.
Soerjono Syarif, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2006.
Aoewartojo, Juniadi. korupsi pola kegiatan da penindakannya serta peran
pengawasan dalam penanggulangannya, jakarta: balai pustaka, 1998.
83
Staompka, Piotr. sosiologi perubahan sosial (the sociology of social change), di
terjemahkan oleh alinandan, jakarta: prenada media, 2004.
Suharsimi, Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2006.
Sutrisno Hadi, Metodologi Reaserch, Yagyakarta: Andi Offset, 1990.
T. Handoko, Hani Manajemen Edisi Kedua, BPFE, Yogyakarta, 2003.
Th, sumartana, etika dan penanggulangan korupsi kolusidan nepotisme di a
reormasi, yogyakarta: aditya media, 1999.
Wiyono, R. pembahasan Undang-undang tindak pidana korupsi, Cet. Kedua,
jakarta: sinar grafika, 2008.
JURNAL:
Aditjondro, G.J, tarik tambang wacana korupsi bidang neoriberalisme atau ujung
tombak demokratisasi, jurnal wacana edid 14 tahun III 2002, Yogyakarta
INSIST Press.
Badjuri, Achmad “Peranan KPK Sebagai Lembaga Anti Korupsi di Indonesia”,
Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE) Vol. 18, No. 1 Maret 2011,
Purwokerto: FE UNSOED.
Carolina, “Sistem Anti Korupsi: Suatu Studi Komparatif di Indonesia, Hongkong,
Singapura, dan Thailand”. Jurnal In Festasi Vol. 8 No. 1 Juni 2012.
Efendi, Marwan, pengadilan tindak pidana korupsi, lakakarya anti korupsi bagi
jurnal, surabaya, Vol. 11 No. 1 Juni 2014.
Fitria, “Eksistensi KPK Sebagai Lembaga Penunjang dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal NESTOR. Vol. 2 No. 2 Tahun 2012.
Pontianak: Magister Hukum UNTAN.
Jeane, Neltje Saly, “Harmonisasi Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum
Tipikor”. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No.1 Maret 2007.
Neltje, Jeane Saly, “Harmonisasi Kelembagaan Dalam Penegakan Hukum
Tipikor”. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 4 No.1 Maret 2007,
84
Nugroho, Hibnu “Rekonstruksi Wewenang Penyidik Dalam Perkara Tipikor
(Kajian Wewenang Polisi Dalam Penyidikan Tipikor)”, Jurnal Media
Hukum, Vol. 16 No. 3 Desember 2009, Yogyakarta: FH UMY.
Sumakul, Anastasia, “Hubungan dan Kewenangan KPK Dan Kejaksaan Dalam
Menangani Tipikor”. Jurnal Lex Crimen Vol. I No. 4 Oktober-Desember
2012.
Syarief, Encep Nurdin, “Membangun Tata Kelola Pemerintah yang baik (Good
Governance) dan Pemberantasan Korupsi”. Jurnal Negarawan No. 18
Edisi Januari-April 2010. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
Umar, Sholahuddin, ”Kewenangan Supervisi KPK Dalam Pemberantasan Korupsi
di Daerah”, Jurnal Yustitia. Vol. 1 No. 1 April 2007. Surabaya:
Universitas Muham-madiyah Surabaya.
Widodo, Tresno N, “Korporasi Sebagai Subyek Tipikor dan Prospeknya Bagi
Penanggulangan Korupsi di Indo-nesia”, Jurnal Yustitia.No. 70 Media
Januari-April 2007. Surakarta: FH UNS.
Yves, Meny dan Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe:
Britain, France, Italy,ermany, 3rd edition, (Oxford: Oxford University
Press, 1998).
SURVEI:
Survei yang di lakukan terhdap tiga lembaga negara, yaitu: Kemisi Pemberantasan
korupsi, kepolisian Republik indonesia dan kejaksaan republik indonesia,
sabtu 26, Ferbruari, 2018.
Laporan kajian dan survei:optimalisasi Peran KPK dalam pemberantaan Korupsi,
oleh Tim kajian dan survei akademisi Independen, jakarta 11 agustus-22
september 2017.
Laporn Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia, Pemandangan Umum atas
Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, Jakarta 11 September 2001.
85
SKRIPSI :
Argama, Rizky, “Kedudukan Lembaga Negara Bantu dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Analisis Kedudukan Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai Lembaga Negara Bantu”, Skripsi,
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok 2007.
Ramelan, penerapan konsep dan pengertian turut serta dalam perkara tindak
pidana korupsi, skripsi, universitas padjajaran bandung, 2002.
SURAT KABAR dan SEMINAR:
Mulya ,T. Lubis, Judicial Coruption, jalan tak ada ujung, KOMPAS: 30
November 2015.
Soetandyo Wignjosoebroto., “Kearah Reformasi Sistem Peradilan Indonesia”,
disampaikan pada Seminar Tentang Reformasi Sistem Peradilan
Dalam Penegakan Hukum di Indonesia pada tanggal 3-4 April 2007 di
Palembang, diselenggarakan BPHN Dep. Hukum dan Hak.
INTERNET:
http://www.antikorupsi.org/pansusu-angketkpk diakses pada 22 desember 2017,
pukul 15:30 WIB.
KAMUS:
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, jakarta: Balai Pustaka, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1989.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Keputusan Ketua KPK Nomor: Kep-07/P.KPK/02/2004 tentang Organisasi dan
Tata Kerja KPK.
Peraturan KPK Nomor 03 tahun 2010, Tentang Pembentukan Unit Kerja
Koordinasi dan Supervisi.
peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pokok-Pokok Kejaksaan
Republik Indonesia
86
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.