Tonsilitis Dif

Post on 09-Apr-2016

280 views 4 download

description

ayu

Transcript of Tonsilitis Dif

TONSILITIS DIFTERIOleh :

Ayu Milasari 1310029043Ayu Dwi Ratna Sari 1310019002

Pembimbing :dr. Moriko P, M.Kes, Sp.THT

SMF/ Laboratorium Ilmu Telinga, Hidung danTenggorokRSUD Abdul Wahab SjahranieFakultas Kedokteran Universitas Mulawarman 2015

REFERAT

LATAR BELAKANG

Amerika 10 % pada individu yang tidak diimunisasi atau imunisasi yang tidak adekuat.

Indonesia : Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak (Henry G, 2000).

TUJUAN PENULISAN

•1. Menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pendidikan profesi dokter di laboratorium ilmu kesehatan THT Fakultas kedokteran Unmul.

•2. Menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang tonsilitis difteri agar bermanfaat dalam menegakkan diagnosis lebih dini, sehingga dapat ditangani lebih awal dan mencegah komplikasi dan prognosis yang buruk.

TINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan fisiologi tonsil

Arkus anterior

Arkus posterior

Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam fosa tonsil.

Tonsil palatina merupakan bagian dari Cincin Waldeyer

Tonsil palatina terletak didalam fosa tonsil dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).

Bentuk oval, panjang 2-5 cm, mempunyai 10-30 kripte meluas jaringan tonsil (Anggraini, 2011).

Vaskularisasi• Arteri maksilaris

interna.

• Arteri Faringeal asenden.

• Arteri fasialis.

• Arteri lingual dorsal.

• (Wiatrak BJ, 2005).

Vaskularisasi Tonsil Palatina(Bhat, 2012)

•Persarafan tonsil : IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves (Bhat, 2012).

•Aliran limfe dari dari tonsil KGB servikal profunda (deep jugular node) kelenjar toraks duktus torasikus (Nawaz & Nawas, 2013)

Gambar. Nawaz & Nawas, 2013.

Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu:

1.Menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif

2.Sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitasi sel limfosit T dengan antigen spesifik (Wiatrak, 2011)

Definisi

•Difteri adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa (Henry G, 2000).

Etiologi

•Corynebacterium diphteriae kuman batang gram-positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora.

Patogenesis

Gambar. Kerusakan sel eukariotik akibat C.diphtheriae(Bagheri, Ghambarian, Salemi, & Es-Haghi, 2009)

enzim translokase

Manifestasi Klinis

• Difteria mempunyai masa tunas 2-5 hari, rata-rata 1-10 hari.

• Gejala pada umumnya mirip ISPA

• Demam, T : 38,9 oC, jarang mencapai 39oC.

• Batuk dan pilek.

• Mual, muntah , sakit kepala.

• Sakit dan pembengkakan pada tenggorokan (bullneck)

• Adanya pembentukan selaput di tenggorokan berwarna putih ke abu abuan kotor.

(Vitek & Wharton, 2008).

Gambar. Membran putih kelabu yang menyelimuti tonsil terbentuk dari penumpukan sel-sel mati akibat toksin C. Diphtheria

Keluhan serta gejala lain tergantung pada lokasi penyakit diphtheria.

Diphtheria HidungGejala mirip common cold

Rhinitis erosif, purulen, serosanguinis

dengan pembentukan membran.

Pada pemeriksaan tampak membran putih

pada daerah septum nasi gambar disamping

(Vitek & Wharton, 2008)(Vitek & Wharton, 2008)

Diphtheria Tonsil-Faring Nyeri tenggorok, disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. 1-2hr –> membran tonsil unilateral atau bilateral, meluas

secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan daerah glottis.

Injeksi faring ringan Bullneck. Gagal nafas atau sirkulasi, Stupor, koma, kematian. Kasus ringan, membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan

biasanya terjadi penyembuhan sempurna (Vitek & Wharton, 2008).

Diphtheria Tonsil-Faring

(Heesemann & Sing, 2005)

(Heesemann & Sing, 2005)

Diphtheria Laring

Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Pada difteria laring primer gejala toksik kurang nyata,

oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok.

Bila terjadi pelepasan membran menutup jalan nafas kematian mendadak. Pada kasus berat, membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. (Vitek & Wharton, 2008)

Diphtheria Laring

(Heesemann & Sing, 2005)

Diagnosis

•Anamnesis demam, disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Difteri hidung gejala-gejala common cold.

•Gejala obstruksi saluran napas, pasien tampak sesak sampai tidak bisa bernapas yang kemudian menjadi sianosis, stupor, koma dan kematian.

•Jika disertai komplikasi maka akan muncul gejala-gejala gangguan organ, seperti gangguan fungsi jantung, ginjal dan syaraf (Vitek & Wharton, 2008)

• Pemeriksaan fisik. • Suhu tubuh meningkat • Stridor inspirasi apabila sudah terjadi

obstruksi saluran napas atas. • Status lokalis tampak membran berwarna

putih kelabu pada faring, tonsil, uvula, hidung atau laring yang melekat kuat pada dasarnya yang akan berdarah jika dilepaskan, dan bagian yang terkena tampak hiperemis (Vitek & Wharton, 2008) (Nankervis, 2008).

• Penunjang• Identifikasi secara Flourescent antibody

technique.

• Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo (marmot) dan in-vitro (tes Elek).

• Kelainan jantung dapat dideteksi dengan melakukan pemeriksaan EKG (Rampengan & Laurentz, 1992) (Vitek & Wharton, 2008).

Diagnosis banding •Disertai adanya membran putih pada

tonsil : •Tonsilitis Difteri•Tonsilitis membranosa•Keganasan (Bhat, 2012).

a. Tonsillitis difteri : Terdapat membrane putih kelabu yang tebal, melekat kuat pada dasarnya dan apabila di lepaskan mudah berdarah. b. Tonsillitis membranosa : Terdapat pus pada kripte-kripte tonsil yang melebar. Pus berasal dari sel radang, bakteri jan jaringan limfoid yang telah mati jika dilepaskan tidak mudah berdarah (Bhat, 2012).

Komplikasi

•Obstruksi jalan nafas akibat membran atau adema jalan nafas, sistemik ; efek eksotoksin ke otot jantung, syaraf, dan ginjal

•Miokardiopati toksik terjadi sekitar 10-25% penderita dengan difteri dan menyebabkan 50-60% kematian. (Vitek & Wharton, 2008).

•Neuropati toksik terjadi secara akut atau 2-3 minggu sesudah mulai radang orofaring. Kelemahan nervus faringeus, laringeus, dan fasialis posterior dapat menyertai, menyebabkan hipestesia dan paralisis lokal palatum molle, sukar menelan, dan resiko kematian karena aspirasi (Vitek & Wharton, 2008).

•Neuropati kranial menyebabkan paralisis okulomotor dan paralisis siliaris, yang nampak sebagai strabismus, pandangan kabur, atau kesukaran akomodasi(Vitek & Wharton, 2008).

Pengobatan umum

• Pasien diisolasi dan tirah baring selama 2-3 minggu.

• Pemberian cairan serta diet yang adekuat, makanan lunak yang mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori.

• Khusus pada difteri laring di jaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer (Tejpratap & Thomas, 2014).

Pengobatan Khusus

• 1. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)• Dosis ADS difteria faring dan laring : 20.000 -

40.000 unit, difteri nasofaring : 40.000-60.000 unit.

• Dosis untuk anak sama dengan dosis dewasa. Dosis tidak perlu diulang (Tejpratap & Thomas, 2014).

• Pemberian secara intramuskular dapat diberikan pada kasus ringan atau sedang.

• Suhu ADS harus dihangatkan antara 32-34oC sebelum diinjeksikan.

• Harus dilakukan tes sensitifitas sebelum diberikan ADS dan jika perlu dapat dilakukan desensitisasi (Vitek & Wharton, 2008).

Antibiotik•Dosis :•Penisilin prokain 25.000-50.000 U/kgBB/hari

i.m. tiap 2 jam selama 14 hari atau bila hasil biakan 3 hari berturut-turut (-).

•Eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari, maks 2 g/hari, p.o atau injeksi, tiap 6-8 jam selama 14 hari.

•Penisilin G kristal aqua IM 300.000 U/ hari untuk yang BB kurang dari 10 kg dan 600.000 U/hari untuk yang BB lebih dari 10 kg , dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari.

•Terapi diberikan selama 14 hari (Vitek & Wharton, 2008).

Kortikosteroid

korikosteroid diberikan pada kasus difteria disertai gejala obstruksi saluran nafas atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat miokarditis (Chiou, 2010).

•Dosis : Prednison 1,0-1,5 mg/kgBB/hari, p.o. tiap 6-8 jam pada kasus berat selama 14 hari (Vitek & Wharton, 2008).

•Ancaman gagal napas tracheostomyn (WHO, 2009).

Tabel 1. Pengobatan Terhadap Kontak Difteria

Mekanisme Rujukan

• Siapkan surat rujukan beserta keterangan perjalanan penyakit pasien.

• Mengamankan Airway dan Breathing• Memasang iv line.• Memberikan antibiotik.• Memberikan obat simtomatik.• Menghubungi RS tujuan.• Transfer pasien dengan didampingi tenaga

medis.

Prognosis•Prognosis difteria setelah ditemukan ADS

dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya.

•Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena :▫Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan

oleh terlepasnya difteria.▫Adanya miokarditis dan gagal jantung, ▫Paralisis difragma sebagai akibat neuritis

nervus nefrikus.

Pencegahan•Menjaga kebersihan, makan yang bergizi

dan edukasi.•Imunisasi DPT dan pengobatan karier.

•Jadwal pemberian vaksin DTP pertama kali diberikan paling cepat pada umur 6 minggu (1.5 bulan). Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun DTP yang diberikan harus vaksin Td, di-booster setiap 10 tahun.

KESIMPULAN•Difteri ialah salah satu penyakit infeksi

saluran napas akibat bakteri Corynebacterium diphteriae yang bisa menimbulkan kegawatdaruratan. pembentukan pseudomembran pada mukosa dapat menyebabkan obstruksi napas. Difteri harus didiagnosa dengan cepat tepat serta pengobatan yang tepat untuk mencegah komplikasi dan prognosis yang buruk. (Vitek and Wharton, 2008).

TERIMA KASIH