Post on 13-Dec-2015
description
PRESENTASI KASUS
Disusun oleh:
Hasya Layalia Lahino
Helvia Septarini
Niken Nurul P.
M. Bustomy Chusnul M.
Pembimbing:
dr. Alvin Kosasih, Sp.P
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PARU
RUMAH SAKIT PARU M. GOENAWAN CISARUA
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI UIN SYARIF HIDATULLAH
JAKARTA
1435 H/2015
2
BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. WAKTU PENGAMBILAN DATA
o Pasien masuk IGD tanggal : 1 Januari 2015
o Pasien masuk instalasi rawat inap : 1 Januari 2015
o Pengambilan data pasien : 5 Januari 2015
II. IDENTITAS PASIEN
o No. RM : 20-26-01
o Nama : Tn. DY
o TTL : 01 Januari 1942
o Usia : 73 tahun
o Jenis kelamin : Laki-laki
o Agama : Islam
o Alamat : Cibereum
o Pendidikan : SD
o Pekerjaan : Pensiun
III. Anamnesis
o Keluhan Utama
Pasien merasa sesak nafas memberat sejak 1 hari SMRS.
o Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSPG karena mengalami sesak nafas yag memberat
sejak 1 hari SMRS. Sesak nafas timbul setelah obat dari klinik habis.
Keluhan sesak nafas disertai dengan suara nafas mengi, dada terasa berat,
tidak dapat menjawab atau diajak bicara, dan lebih enak pada posisi duduk.
3
Saat tidur lebih nyaman terlentang dengan diganjal 2 bantal. Selain itu
terdapat batuk berdahak. Dahak berwarna putih dan sulit keluar. Tidak ada
riwayat batuk darah sebelumnya.
Keluhan ini dimulai sejak 10 tahun lalu namun sesak nafas bertambah pada
1 bulan SMRS. Pada 1 bulan terakhir, gejala sesak pada pasien timbul kurang
lebih 1 kali dalam seminggu. Pasien merasa sering batuk berdahak berwarna
putih, namun seringkali dahak sulit dikeluarkan. Setelah batuk pasien akan
merasa sulit bernafas, dada terasa memberat dan badan badan lemas. Batuk
dan sesak dirasakan ketika pasien terlalu lelah beraktivitas. Namun tidak
pernah muncul saat malam ataupun pagi hari. Gejala batuk dapat muncul
setiap hari dan berlangsung secara terus menerus. Gejala lain berupa sakit
kepala berdenyut, penurunan nafsu makan, demam naik turun, banyak
berkeringat, serta pasien pernah muntah berisi air sebab pasien tidak mau
makan.
Satu bulan lalu pasien berobat ke klinik dan diberi obat minum dan di beri
uap. Setelah pasien meminum obat dari dokter, sesak dan batuk pasien
menghilang. Namun seminggu kemudian setelah obat habis pasien kembali
batuk dan sesak. Setelah 3 kali kembali ke klinik dengan keluhan yang tidak
membaik pasien memutuskan berobat ke RSPG. Di IGD diberikan oksigen
dan obat uap. Saat ini pasien merasa sesak sudah berkurang, batuk menjadi
jarang namun dahak masih sulit keluar.
o Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak memiliki riwayat alergi obat-obatan, makanan maupun cuaca.
Pasien mengaku tidak pernah menjalani pengobatan paru selama enam bulan,
tidak memiliki hipertensi dan riwayat DM. Namun pasien mengaku memiliki
kolesterol tinggi namun tidak berobat.
o Riwayat Penyakit Keluarga
4
Anak pasien memiliki riwayat penyakit asma. Tidak ada riwayat keluarga
menjalani pengobatan paru selama enam bulan.
o Riwayat Sosial
Pasien merokok sejak usia 15 tahun. Sehari pasien bisa menghabiskan ± 3
batang pehari. Namun pasien mangaku sudah berhenti merokok selama 3
tahun belakangan ini. Pasien bekerja selama 20 tahun di pabrik teh, terutama
bagian pengeluaran limbah teh.
IV. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Habitus : astenikus
Tanda Vital
- Tekanan darah : 140/80 mmHg
- Suhu : 35,6°C
- HR : 84 kali/menit
- RR : 24 kali/menit
- Berat Badan : 49 kg
- Tinggi Badan : 160 cm
Kepala Normosefali, rambut keabu-abuan, distribusi merata,
rambut tampak tebal.
Mata Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat
isokhor (+/+), reflex cahaya langsung (+/+), reflex
cahaya tak langsung (+/+), pandangan kabur (-/-)
Telinga Normotia (+/+), nyeri tekan tragus (-/-)
5
Hidung Deviasi septum (-/-), sekret (-/-), konka hiperemis (-/-)
Gigi dan
Mulut
Karies gigi (-), lidah tidak kotor, stomatitis (-), gigi palsu
(-), lidah normoglosi.
Tenggorok Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher Tidak terdapat deviasi trakea, pembesaran tiroid (-), JVP
5+2 cmH2O, pembesaran KGB leher (-)
Paru
Inspeksi dada
Depan Dada simetris saat statis dan dinamis, pelebaran sela iga
(-), bentuk dada tipe barrel chest (-), deformitas (-),
penggunaan otot bantu nafas (-)
Belakang Gibbus (-), massa (-)
Palpasi dada
Depan Vocal fremitus sama di kedua lapang paru
Belakang Vocal fremitus sama di kedua lapang paru
Perkusi dada
Depan Sonor +/+
Belakang Sonor +/+
Auskultasi paru
Depan Vesikuler, wheezing (+/+), rhonki(-)
Belakang Vesikuler (+), wheezing(+/+), rhonki(-)
Jantung
Inspeksi Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
Palpasi Pulsasi ictus cordis teraba ICS V midclavicula sinistra
Perkusi Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis dextra
Batas jantung kiri :ICS V midklavikula sinistra
6
Pinggang jantung : ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi BJ I-II reguler, murmur (-), gallop(-)
Abdomen
Inspeksi Datar, massa (-)
Palpasi Supel, nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi Timpani, shifting dullness (-)
Auskultasi Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, edema (-)
V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
0/01/2015 (10:36)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hemoglobin 18,3 13-16 g/dl
Hematokrit 50,1 40-48 %
Leukosit 7350 5.0-10.0 ribu/ul
Trombosit 214 150-400 ribu/ul
Eritrosit 5,98 4,5-5,5 juta/ul
VER/HER/KHER/RDW
VER 83,8 82-92 fl
HER 30,6 27-31 pg
KHER 36,5 32-36 g/dl
Fungsi Hati
SGOT 27 <37 U/l
SGPT 18 <42 U/l
7
Fungsi Ginjal
Ureum darah 26 20-40 mg/dl
Kreatinin darah 1,1 0,5-1,5 mg/dl
Diabetes
Glukosa darah
sewaktu
129 ≤200 mg/dl
VI. PEMERIKSAAN RADIOLOGI
01-01-2015
- Kekerasan : cukup
- Simetris : simetris
- Tulang dan jaringan lunak : normal
- Sudut costofrenikus
dextra : sulit dinilai
sinistra: lancip
- Diafragma : normal
- Paru :corakan
bronkovaskular meningkat, hilus
menebal, sela iga melebar, terdapat
infiltrat pada lapang tengah paru kanan.
- Jantung : CTR < 50%, aorta normal.
VII. RESUME
Pasien datang ke IGD RSPG karena mengalami sesak nafas yang memberat
sejak 1 hari SMRS. Disertai dengan suara nafas mengi, dada terasa berat dan
batuk berdahak. Dahak berwarna putih dan sulit keluar. Keluhan dimulai sejak 1
bulan SMRS kemudian pasien berobat ke klinik. Namun, gejala kembali timbul
bila obat habis seminggu sekali. Gejala lain berupa sakit kepala berdenyut,
8
penurunan nafsu makan, demam naik turun, banyak berkeringat, serta pasien
pernah muntah berisi air sebab pasien tidak mau makan. Pasien memiliki riwayat
asma yang timbul setelah berhenti bekerja. Pasien bekerja di pabrik teh bagian
pengolahan limbah selama 20 tahun. Pasien merokok ± 3 batang perhari sejak
usia 15 tahun. Berhenti sejak 3 tahun lalu.
Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan wheezing pada kedua lapang paru.
Pemeriksaan fisik lain dalam batas normal.
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hemokonsentrasi. Pada foto rontgent
thorax ditemukan perselubungan homogen pada lapang bawah paru kanan.
VIII. DIAGNOSIS
1. PPOK eksaserbasi akut
2. Hipertension Heart Disease
DDx: cor pulmonale
3. Pneumonia
IX. ANJURAN PEMERIKSAAN
1. Spirometri
2. Kultur mikroorganisme (Gram, resistensi)
3. EKG
X. ANJURAN TATALAKSANA
1. Salbutamol 2.5-5 mg (inhalasi nebulizer)
2. Aminofilin 5-6 mg/kgBB bolus IV
3. Prednison 30 mg/hari PO
4. Ambroxol 3 x 30 mg/hari PO
5. Antibiotik (Ceftriakson) 1 x 1 gr IV
6. Amlodipin 1 x 10 mg
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
1. Definisi
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversible bersifat progresif dan berhubungan dengan respons
inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/ berbahaya,disertai
efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh
gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan
kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu.
2. Faktor Risiko
Asap rokok
Polusi udara
o Dalam ruangan
o Luar ruangan
Stress oksidatif
Gen
Tumbuh kembang paru
Social ekonomi
3. Patogenesis dan Patologi
Pada bronchitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus,
metaplasia sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi
akibat fibrosis. Emfisema ditandai dengan pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Secara anatomi
dibedakan 3 jenis emfisema:
10
Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas
ke perifer, terutama mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan
merokok lama
Emfisema parasinar, melibatkan seluruh alveoli secara merata dan
terbanyak pada paru bagian bawah
Emfisema asinar distal, lebih banyak mengenai saluran napas distal,
duktus dan sakus alveolar. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura
Pada PPOK obstruksi bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
structural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi sel
goblet, dan hipertrofi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.
4. Patologi
Bronkitis kronis dihubungkan dengan hyperplasia dan hipertrofi
kelenjar mucus submukosa saluran naps. Mukosa dan submukosa menjadi
edema, meradang dengan akibat terjadi sumbatan oleh mucus dan hipertrofi
otot polos saluran napas. Efisema terjadi karena berkurangnya recoil elastic
alveoli seingga terjadi dilatasi alveoli.
5. Patogenesis
Asap rokok menyebabka menurunnya fungsi makrofag alveolar dan
aktivitas silia yang menyebabkan infeksi/ peradangan sehingga terjadi
pembesaran dan edema kelenjar mucus. Keadaan ii dapat menyebabkan
infeksi berulang yang dapat merusak asinus, keudian terjadi hipersekresi
akibatnya terjadi obstruksi yang irreversible. Pada bronchitis kronis terjadi
hipersekresi berlebihan merupakan suatu penyebab penting terjadinya
obstruksi saluran napas. Pada emfisema oleh karena terjadi pelebaran yang
menetap rongga udara distal dari bronkus terminalis disertai destruksi
dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.
11
Konsep patogenesis PPOK
6. Diagnosis
Tabel 6. Indikator Kunci untuk mendiagnosis PPOK
Gejala Keterangan
Sesak Progresif (sesak bertambah berat
seiring berjalannya waktu)
Bertambah berat dengan aktivitas
Persisten (menetap sepanjang hari)
Pasien mengeluh berupa, “Perlu
usaha untuk bernapas”
Berat, sukar bernapas, terengah-
engah
Inhalasi bahan
berbahaya
inflamasi
Mekansime
perbaikan
Mekanisme
perlindungan
Kerusakan jaringan
Penyempitan
saluran napas dan
fibrosis
Destruksi
parenkim
Hipersekresi
mucus bahan
berbahaya
12
Batuk kronik Hilang timbul dan mungkin tidak
berdahak
Batuk kronik berdahak Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasian PPOK
Riwayat terpajan faktor risiko Asap rokok
Debu
Bahan kimia di tempat kerja
Asap dapur
Anamnesis
a. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
b. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
c. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
d. Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/ anak, missal BBLR,
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi
udara
e. Batuk berulag dengan atau tanpa dahak
f. Sesak atau tanpa mengi
Pemeriksaan Fisis
a. Inspeksi
Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/ mencucu)
Barrel chest
Penggunaan otot bantu napas
Hipertrofi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
13
b. Palpasi: fremitus melemah, sela iga melebar
c. Perkusi: hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma
rendah, hepar terdorong kebawah
d. Auskultasi: suara napas vesikuler normal atau melemah, ronki (+),
ekspirasi memanjang, bunyi jantung terdegar jauh.
Pink puffer: gambaran khas emfisema, pasien kurus, kulit kemerahan dan
pernapasan pursed-lip breathing
Blue bloater: gambaran khas brinkhitis kronis, pasien gemuk sianosis,
edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed-lips breathing: sikap seseorang yang bernapas dengan mulut
mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme
tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi gagal napas kronik
Pemeriksaan penunjang
- Faal paru: Spirometri & uji bronkodilator
- Laboratorium darah
- Radiologi
- Faal paru lengkap
- Uji latih kardiopulmoner
- Uji provokasi bronkus
- Analisa gas darah
- EKG
- Bakteriologi
14
7. Klasifikasi PPOK
Gold 2010
Derajat Klinis Faal paru
Gejala klinis (batuk,
produksi sputum)
Normal
Derajat I: PPOK
Ringan
Gejala batuk kronik
dan produksi sputum
ada tetapi tidak sering.
Pada derajat ini pasien
sering tidak menyadari
bahwa faal paru mulai
menurun.
VEP/KVP <70%
VEP1≥ 80% prediksi
Derajat II: PPOK
sedang
Gejala sesak mulai
dirasakan saat aktivitas
dan kadang ditemukan
gejala batuk dan
produksi sputum. Pada
derajat ini biasanya
pasien mulai
memeriksakan
kesehatannya
VEP1/KVP <70%
50% < VEP1 <80%
prediksi
Derajat III: PPOK berat Gejala sesak lebih
berat, penurunan
aktivitas, rasa lelah dan
serangan eksaserbasi
semakin sering dan
berdampak pada
kualitas hidup pasien
VEP1/KVP <70%
30% < VEP1 <50%
prediksi
Derajat PPOK IV: Gejala ditas ditambah VEP1 /KVP <70%
15
PPOK sangat berat tanda-tanda gagal
napas atau gagal
jantung kanan dan
ketergantungan
oksigen. Pada derajat
ini kualitas hidup
pasien memburuk dan
jika eksaserbasi dapat
mnegancam jiwa
VEP1 <30%prediksi
atau VEP1 < 50%
prediksi disertaia gagal
napas kronik.
8. Penatalaksaan
Tujuan penatalaksanaan:
Mengurangi gejala
Mencegah progresivitas penyakit
Meningkatkan toleransi latihan
Meningkatkan status kesehatan
Mencegah dan menangani komplikasi
Mencegah dan menangani eksaserbasi
Menurunkan kematian
Penatalaksanaan secara umum
Tabel penatalaksanaan menurut derajat PPOK
Derajat I
VEP/KVP
<70%
VEP1≥ 80%
Derajat II
VEP1/KVP
<70%
50% < VEP1
Derajat III
VEP1/KVP
<70%
30% < VEP1
Derajat IV
VEP1 /KVP <70%
VEP1 <30%prediksi
16
prediksi <80% prediksi <50% prediksi
Hindari faktor risiko: berhenti merokok,pajanan kerja
Dipertimbangkan pemberian vaksinasi influenza
Tambahkan bronkodilator kerja pendek bila diperlukan
Berikan pengobatan rutin dengan satu atau lebih
bronkodilator kerja lama
Tambahkan rehabilitasi fisis
Tambahkan inhalasi
glukokortikoid jika terjadi
eksaserbasi berulang-ulang
Tambahkan
pemberian
oksigen jangka
panjang kalau
terjadi gagal
napas kronik
Lakukan
tindakan
operasi bila
diperlukan
B. ASMA
1. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau
dini hari.
17
2. Faktor Risiko
a. Faktor pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan telah terbukti dari berbagai
penelitian. Predisposisi genetik untuk berkembangnya asma memberikan
bakat/ kecenderungan untuk terjadinya asma. Fenotip yang berkaitan dengan
18
asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif (hipereaktiviti
bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya
gambaran klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui
fenotip-fenotip perantara yang dapat diukur secara objektif seperti
hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari kondisi tersebut tidak
khusus untuk asma. Banyak gen terlibat dalam patogenesis asma, dan
beberapa kromosom telah diidentifikasi berpotensi menimbulkan asma,
antara`lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R,NOS1, reseptor agonis beta2,
GSTP1; dan gen-gen yang terlibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu
IRF2, IL-3,Il-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2 GRL1, ADRB2, CD14, HLAD,
TNFA, TCRG, IL-6, TCRB, TMOD dan sebagainya.
Genetik mengontrol respons imun
Gen-gen yang berlokasi pada kompleks HLA (human leucocyte antigen)
mempunyai ciri dalam memberikan respons imun terhadap aeroalergen.
Kompleks gen HLA berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I,
II dan III dan lainnya seperti gen TNF-α. Banyak studi populasi mengamati
hubungan antara respons IgE terhadap alergen spesifik dan gen HLA kelas II
dan reseptor sel T, didapatkan hubungan kuat antara HLA alel DRB1*15
dengan respons terhadap alergen Amb av.
Genetik mengontrol sitokin proinflamasi
Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalam
berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom
11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN- mast cell growth
factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi
berkesinambungan menunjukkan ada ikatan positif antara petanda-petanda
pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19. Mutasi
pada kluster-kluster gen sitokin pada kromosom 5 dihipotesiskan sebagai
predisposisi terjadinya asma. Berbagai gen pada kromosom 5q berperan
dalam progresiviti inflamasi baik pada asma maupun atopi, yaitu gen yang
mengkode sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-12, IL-13, dan GMCSF.
19
Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam
menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE oleh
sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi IL-4
adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi.
b. Faktor lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan
adalah penyebab utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut
pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma
tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan
menetapnya gejala.
3. Pathogenesis Asma
INFLAMASI AKUT
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara
lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma
tipe lambat.
Reaksi Asma Tipe Cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan
terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated
mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan
makrofag.
20
INFLAMASI KRONIK
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel
tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast
dan otot polos bronkus.
Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe
Th2). Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas
dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4,IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada
penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti
molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau
khemokin.Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme
terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma,
eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell
proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.
EOSINOFIL
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi
tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma
adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan
mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa
serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan
GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan
21
hidup eosinofil. Eosinofil yangmengandung granul protein ialah eosinophil
cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase
(EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel
saluran napas.
Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi.Cross-
linking reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast.
Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti
histamin dan protease serta newly generated mediators antara lain
prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara
lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
Makrofag
Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik
pada orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh
percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara
lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses
inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran
tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast,
sitokin, PDGF dan TGF.
22
23
AIRWAY REMODELING
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan
jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing
process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel
mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut
melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel
parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan
jaringan peyambung yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua
proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang
kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai
mekanisme sangat kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan
airway remodeling. Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang
sangat dinamis dari diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel
sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti oleh
restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai
fibrosis dan peningkatan otot polos dan kelenjar mukus.
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal,
24
matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya,
pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
o Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas
o Penebalan membran reticular basal
o Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
o Pembuluh darah meningkat
o Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
o Perubahan struktur parenkim
o Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Dari uraian di atas, sejauh ini airway remodeling merupakan fenomena
sekunder dari inflamasi atau merupakan akibat inflamasi yang terus menerus
(longstanding inflammation). Konsekuensi klinis airway remodeling adalah
peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah
distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga
pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama
pencegahan dan pengobatan dari proses tersebut.
4. Diagnosis
Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah
dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti
kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit / gejala :
Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
Riwayat keluarga (atopi)
25
Riwayat alergi / atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan
Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat
normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat
penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos
saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka
sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar
untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu
ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent
chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain
misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas.
Faal Paru
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru
antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter
objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai:
obstruksi jalan napas
reversibiliti kelainan faal paru
variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas
26
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE).
Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada
kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan
kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan
napas diketahui dari nilai rasio VEP 1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai
prediksi.
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1< 80% nilai prediksi.
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1
15% secara spontan, atau setelah inhalasi bronkodilator (uji
bronkodilator), atau setelah pemberian bronkodilator oral 10-14 hari,
atau setelah pemberian kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu.
Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
Menilai derajat berat asma
5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
Dewasa
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Bronkitis kronik
Gagal Jantung Kongestif
Batuk kronik akibat lain-lain
27
Disfungsi larings
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Emboli Paru
Anak
Benda asing di saluran napas
Laringotrakeomalasia
Pembesaran kelenjar limfe
Tumor
Stenosis trakea
Bronkiolitis
6. Klasifikasi
28
29
7. Penatalaksanaan
30
31
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus ini, pasien Tn.DY 55 tahun di diagnosis PPOK eksaserbasi akut
berdasarkan hasil anamnesis yang didapatkan dengan keluhan sesak napas yang
progresif, bertambah berat dengan aktivitas, persisten (menetap sepanjang hari),
pasien mengeluh berupa, “perlu usaha untuk bernapas”, serta batuk yang berdahak
berwarna putih dan pasien mempunyai riwayat terpajan faktro risiko seperti merokok
lama dan asap pada limbah pekerjaannya. Dan berdasarkan hasil pemeriksaan fisik
dari auskultasi paru terdengar suara wheezing.
PPOK eksaserbasi akut ini termasuk dalam eksaserbasi sedang dimana pasien
ini memiliki gejala sesak bertambah, peningkatan produksi sputum, peningkatan
batuk, dan terdapat mengi.
Pada pasien ini diberikan tatalaksana terapi oksigen yang adekuat dengan
tujuan untuk memperbaiki hipoksemia, dipertahankan PaO2 >60 mmHg atau saturasi
O2 >90%.. Selain itu diberikan obat-obatan yang optimal. Obat-obatan yang
diberikan adalah bronkodilator golongan agonis beta 2 kerja lama (LABA) yaitu
Salbutamol 2.5-5 mg (inhalasi nebulizer) dan bronkodilator Aminofilin bolus IV 5-6
mg/kgBB, kortikosteroid Prednison oral 30mg/hari yang berfungsi menekan
inflamasi yang terjadi, serta mukolitik yaitu Ambroxol dengan 3x30mg/hari PO yang
dapat mengencerkan dahak dan dapat mempercepat perbaikan eksaserbasi. Diberikan
pula antibiotik untuk infeksi pada parenkim paru serta dibeikan amlodipin untuk
menurunkan tekanan darah pasien.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Kumpulan Makalah Kuliah Ilmu Penyakit Paru
2. Sudoyo, Aru W. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
3. Tanto, Chris et al. Kapita Selekta Kedokteran, edisi ke-4 Jilid 2. 2014. Media
Aesculapius FKUI : Jakarta.
4. Fauci, Anthony S et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th
ed.
2008. New York : McGraw Hills.
5. PDPI. Diagnosis dan Penatalaksanaan PPOK. 2011. Jakarta: PDPI
6. PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. 2004. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI.