Post on 07-Aug-2015
description
Pengertian : "Iman dan
Taqwa" Penjelasan Rukun Iman (1): Iman kepada Allah
Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut istilah syari‟at yaitu meyakini
dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan membuktikannya dalam amal perbuatan yang
terdiri dari tujuh puluh tiga hingga tujuh puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah
ucapan هلل dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan yang
menggangu orang yang sedang berjalan, baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan
sesuatu yang berbau tak sedap atau semisalnya.
Rasulullah Shallahu‟alaihi wa sallam bersabda,
”Iman lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang, paling utamanya perkataan هلل dan yang paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan
cabang dari keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi: 2614)
Secara pokok iman memiliki enam rukun sesuai dengan yang disebutkan dalam hadist Jibril
(Hadist no. 2 pada hadist arba‟in an-Nawawi) tatkala bertanya kepada Nabi Shallahu‟alaihi
wa sallam tentang iman, lalu beliau menjawab,
”Iman adalah engkau percaya kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para
rasulNya, hari akhir, dan percaya kepada taqdirNya, yang baik dan yang buruk.”
(Mutafaqqun ‘alaihi)
Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk amal kebaikan yang
kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu Allah menggolongkan dan menyebut
ibadah shalat dengan sebutan iman dalam firmanNya,
”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” (QS. Al-Baqarah:143)
Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ‟imanmu‟ adalah shalatmu tatkala engkau
menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum turun perintah shalat menghadap ke
Baitullah (Ka‟bah) para sahabat mengahadap ke Baitul Maqdis.
Iman kepada Allah
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud (ada) yang disifati dengan
sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa,
Mahabenar, Tempat bergantung para makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia),
Pencipta segala makhluk, Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan
dalam kerajaanNya apa yang dikehendakiNya. Beriman kepada Allah juga bisa diartikan,
berikrar dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beri‟tiqad (berkeyakinan) dan beramal
dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma‟ wa ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
1. Beriman akan adanya Allah.
Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
(a). Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya Tuhan
Tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya. Fitrah ini tidak akan berubah kecuali
ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah hatinya. Nabi Shallahu‟alaihi wa sallam bersabda:
”Tidaklah anak itu lahir melainkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanya lah yang
menjadikan mereka Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhori)
Bahwa makhluk tersebut tidak muncul begitu saja secara kebetulan, karena segala sesuatu
yang wujud pasti ada yang mewujudkan yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam.
Allah berfirman,
”Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri
mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thur: 35)
Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang menciptakan dan tidak mungkin
mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti mereka pasti ada yang menciptakan,
yaitu Allah yang maha suci.
Lebih jelasnya kita ambil contoh, seandainya ada orang yang memberitahu anda ada sebuah
istana yang sangat megah yang dikelilingi taman, terdapat sungai yang mengalir di
sekitarnya, di dalamnya penuh permadani, perhiasan dan ornamen-ornamen indah. Lalu
orang tersebut berkata kepada anda, istana yang lengkap beserta isinya itu ada dengan
sendirinya atau muncul begitu saja tanpa ada yang membangunnya. Maka anda pasti segera
mengingkari dan tidak mempercayai cerita tersebut dan anda menganggap ucapannya itu
sebagai suatu kebodohan.
Lalu apa mungkin alam semesta yang begitu luas yang dilengkapi dengan bumi, langit,
bintang, dan planet yang tertata rapi, muncul dengan sendirinya atau muncul dengan tiba-tiba
tanpa ada yang menciptakan?
(b). Adannya kitab-kitab samawi
Yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula hukum serta aturan dalam kitab-
kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi kemaslahatan manusia menunjukkan bahwa
kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan Yang Maha Esa.
(c). Adanya orang-orang yang dikabulkan do‟anya.
Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami kesulitan, ini menjadi bukti-bukti kuat
adanya Allah. Allah berfirman:
”Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan kami memperkenankan
doanya, lalu kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (QS. Al-
Anbiya’: 76)
(d). Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan
Yyang disebut mukjizat adalah suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang
tidak lain Dia adalah Allah Azza wa Jalla.
Misalnya: Mukjizat nabi Musa ‟Alahissalam. Tatkala belau diperintah memukulkan
tongkatnya ke laut sehngga terbelahlah lautan tersebut menjadi dua belas jalan yang kering
dan air di antara jalan-jalan tersebut laksana gunung. Firman Allah,
”Lalu kami wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka
terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar” (QS. Asy-
Syu’ara’: 63)
Contoh lain adalah mukjizat yang diberikan kepada nabi Isa ‟Alaihissalam berupa membuat
burung dari tanah, menyembuhkan orang buta sejak lahirnya dan penyakit sopak (sejenis
penyakit kulit), menghidupkan orang mati dan mengeluarkan dari kuburannya atas izin Allah.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari
Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku
meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan Aku menyembuhkan
orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku
menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu
makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. ” (QS. Ali Imran: 49)
2. Mengimani sifat rububiyah Allah (Tauhid Rububiyah)
Yaitu mengimani sepenuhnya bahwa Allah-lah memberi rizki, menolong, menghidupkan,
mematikan dan bahwasanya Dia itu adalah pencipta alam semesta, Raja dan Penguasa segala
sesuatu.
3. Mengimani sifat uluhiyah Allah (Tauhid Uluhiyah)
Yaitu mengimani hanya Dia lah sesembahan yang tidak ada sekutu bagi-Nya, mengesakan
Allah melalui segala ibadah yang memang disyariatkan dan diperintahkan-Nya dengan tidak
menyekutukanNya dengan sesuatu apapun baik seorang malaikat, nabi, wali maupun yang
lainnya.
Tauhid rububiyah saja tanpa adanya tauhid uluhiyah belum bisa dikatakan beriman kepada
Allah karena kaum musyrikin pada zaman Rasulullah Shallahu‟alaihi wa sallam juga
mengimani tauhid rububiyah saja tanpa mengimani tauhid uluhiyah, mereka mengakui bahwa
Allah yang memberi rizki dan mengatur segala urusan tetapi mereka juga menyembah
sesembahan selain Allah.
Allah berfirman,
“Katakanlah: „Siapakah yang memberi rizki kepadamu, dari langit dan bumi, atau siapakah
yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan
yang hidup dari yang mati dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah
yang mengatur segala urusan.‟ Maka, mereka men-jawab: „Allah.‟ Maka, katakanlah:
„Mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?‟ (QS. Yusuf: 31-32)
Dan Allah berfirman,
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain ).” (QS. Yusuf : 106)
4. Mengimani Asma’ dan Sifat Allah (Tauhid Asma’ wa Sifat)
Yaitu menetapkan apa-apa yang Allah dan RasulNya telah tetapkan atas diriNya baik itu
berkenaan dengan nama-nama maupun sifat-sifat Allah, tanpa tahrif[4] dan ta‟thil[5] serta
tanpa takyif[6] dan tamtsil[7].
Dua Prinsip dalam meyakini sifat Allah Subhanahu wa ta’ala,
Allah Subhanahu wa ta‟ala wajib disucikan dari semua sifat-sifat kurang secara
mutlak, seperti ngantuk, tidur, lemah, bodoh, mati, dan lainnya.
Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna yang tidak ada kekurangan sedikit
pun juga, tidak ada sesuatu pun dari makhluk yang menyamai Sifat-Sifat Allah.
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Allah juga memiliki tangan, wajah dan diri
seperti disebutkan sendiri oleh Allah dalam al-Qur‟an. Maka apa yang disebutkan oleh Allah
tentang wajah, tangan dan diri menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat yang tidak boleh
direka-reka bentuknya. Dan juga tidak boleh disebutkan bahwa tangan Allah itu artinya
kekuasaan-Nya atau nikmat-Nya, karena hal itu berarti meniadakan sifat-sifat Allah,
sebagaimana pendapat yang dipegang oleh ahli qadar dan golongan Mu‟tazilah.[8]
Beliau juga berkata: “Allah tidak serupa dengan makhluk-Nya, dan makhluk-Nya juga tidak
serupa dengan Allah. Allah itu tetap akan selalu memiliki nama-nama dan sifat-sifat-Nya.[9]
Allah berfirman,
”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia.” (QS. Asy-Syuura’: 11)
Buah beriman kepada Allah Beriman kepada Allah secara benar sebagaimana digambarkan akan membuahkan beberapa
hasil yang sangat agung bagi orang-orang beriman, diantaranya:
1. Merealisasikan pengesaan kepada Allah sehingga tidak menggantungkan harapan
kepada selain Allah, tidak takut, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.
2. Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan
kandungan makna nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya Yang Agung.
3. Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta
menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Sumber : http://maramissetiawan.wordpress.com/2010/10/11/coretanku-penjelasan-rukun-
iman-1-iman-kepada-allah/
Difinisi Taqwa
MEMAHAMI MAKNA TAQWA
Pengertian TAQWA secara dasar adalah Menjalankan perintah, dan menjauhi larangan.
Kepada siapa ??? maka dilanjukan dengan kalimat Taqwallah yaitu taqwa kepada Allah
SWT. Kelihatan kata-kata tersebut ringan diucapkan tapi kenyataan-nya banyak orang yang
belum sanggup bahkan terkesan asal-asalan dalam menerapkan arti kata Taqwa tersebut, lihat
sekitar kita ada beberapa orang yang tidak berpuasa dan terang-terangan makan di tempat
umum, padahal bila ditanya " mas, agama-nya apa?" jawab-nya muslim, ada juga yang sudah
berpuasa tapi masih suka melirik kanan-kiri dan ketika ditanya " mas, ini kan lagi puasa?"
jawabnya cuma sebentar kan boleh. Ya... Allah, manusia..., manusia.., sebenarnya banyak
contoh bagaimana lingkungan di sekitar kita atau mungkin diri saya pribadi masih belum
mampu mengemban amanah Taqwallah dengan sepenuhnya.
yuk belajar lagi tentang Taqwa biar sama-sama menyadari bagaimana mengaplikasikan-nya.
TAQWA = Terdiri dari 3 Huruf
Ta = TAWADHU' artinya sikap rendah dirii (hati), patuh, taat baik kepada aturan Allah
SWT, maupun kepada sesama muslim jangan menyombongkan diri / sok.
Qof = Qona'ah artinya Sikap menerima apa adanya (ikhlas), dalam semua aspek, baik ketika
mendapat rahmat atau ujian, barokah atau musibah, kebahagiaan atau teguran dari Allah
SWT, harus di syukuri dengan hati yang lapang dada.
Wau = Wara' artinya Sikap menjaga hati / diri (Introspeksi), ketika menemui hal yang
bersifat subhat (tidak jelas hukum-nya) atau yang bersifat haram (yang dilarang) oleh Allah
SWT.
beberapa ulama mendifinisikan dengan :
1. Taqwa = dari kata = waqa-yaqi-wiqayah = memelihara yang artinya memelihara
iman agar terhindar dari hal-hal yang dibenci dan dilarang oleh Allah SWT.
2. Taqwa = Takut yang artinya takut akan murka da adzab allah SWT.
3. Taqwa = Menghindar yang artinya menjauh dari segala keburukan dan kejelekan dari
sifat syetan.
4. Taqwa = Sadar yang artinya menyadari bahw diri kita makhluk ciptaan Allah
sehingga apapun bentuk perintah-nya harus di taati, dan jangan sekali-kali menutup
mata akan hal ini.
"Hai Orang-orang beriman bertaqwalah kamu kepada Allah, dengan sebenar-benar taqwa,
dan janganlah kalian mati, melainkan dalam keadaan beragama islam." (Al-Imron : 102)
Masih di bulan ramadhan, mudah-mudahan artikel ini bisa menambah rasa iman dan taqwa
kita khususnya saya sendiri kepada yang maha esa (Allah Subhanallahu Ta'ala).
Yuk, teruskan lagi pelajaran dasar-dasar agamanya yang diambil dari cuplikan-cuplikan
syiah dari ustadz-ustadz sekitar kita. belajar bareng ya......
Sebuah hadits tentang kewajiban belajar, yang menurut beberapa tokoh ulama kurang shahih
bahkan dianggap hadits palsu, namun justru terkenal dan mampu mendapatkan voting serta
ranking terbanyak dikalangan umat muslim, disebabkan hadits ini bisa memotivasi semangat
pantang menyerah, yaitu :
"UTHLUBUL 'ILMA WALAU BISHSHIIN FAINNA THOLABAL 'ILMI FARIIDHOTUN 'ALA
KULLI MUSLIMIN"
(Tuntutlah Ilmu Walau Di Negeri Cina, Karena Mencari Ilmu Itu Wajib Bagi Setiap
Muslim)
Sumber : http://pras2009.blogspot.com/2009/09/difinisi-taqwa.html
Taqwa Di Sisi Allah swt.
Hari ini masyarakat berbicara tentang Key Performance Indicator / Petunjuk Prestasi Utama
(KPI) bagi mengukur kualiti prestasi dan pencapaian bagi individu atau sesebuah
jabatan/organisasi. Begitu sekali usaha manusia bagi menjayakan agenda kehidupan di dunia
ini. Bagaimana pula dengan KPI kita sebagai muslim? Apakah generasi Rasulullah saw. dan
para sahabat memiliki KPI juga?
Allah swt. menegaskan di dalam al-Quran bahawa umat Islam adalah generasi terbaik dan
menjadi contoh kepada umat lain di bumi ini. Hakikat ini dibuktikan generasi Rasulullah dan
sahabat selepasnya janji Allah itu benar apabila mereka benar-benar berpegang teguh pada
ajaran Islam.
Justeru, bukan perkara mustahil bagi umat Islam kini untuk kembali memahami senarai
lengkap KPI para sahabat Rasulullah saw. sehingga mereka diiktiraf sebagai sebaik
umat. Kuncinya kejayaan mereka adalah dengan memiliki taqwa yang jitu dan ampuh.
Allah swt.. telah berfirman yang bermaksud:
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah ialah orang yang paling
bertaqwa diantara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mendengar.”
(Al-Hujurat:13)
“Sesungguhnya Kami telah berwasiat (memerintahkan) kepada orang-orang yang diberi
kitab sebelum kamu dan juga kepada kamu, bertaqwalah kepada Allah.” (An Nisa: 131)
Taqwa juga adalah wasiat Rasulullah SAW kepada umatnya. Baginda bersabda yang
maksudnya:
“Aku berwasiat kepada kamu semua supaya bertaqwa kepada Allah, serta dengar dan patuh
kepada pemimpin walaupun dia seorang hamba Habsyi. Sesungguhnya sesiapa yang hidup
selepas aku kelak, dia akan melihat pelbagai perselisihan. Maka hendaklah kamu berpegang
kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapat petunjuk selepasku.” (Riwayat
Ahmad, Abu Daud, Termizi dan Majah)
Sabda Baginda lagi, Maksudnya:
“Hendaklah kamu bertaqwa di mana sahaja kamu berada. Ikutilah setiap kejahatan (yang
kamu lakukan) dengan kebaikan, moga-moga kebaikan itu akan menghapuskan kejahatan.
Bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (Riwayat At Termizi dan Ahmad)
Taqwa berasal dari kata Waqa, Yaqi, Wiqayatan, yang bererti perlindungan. Taqwa bererti
melindungi diri dari segala kejahatan dan kemaksiatan. Pengertian taqwa diantaranya adalah
“Imtitsalu awamiriLLAH wa ijtinabu nawahiHi” atau melaksanakan perintah-perintah Allah
dan menjauhi segala larangan-Nya.
Dalam suatu riwayat yang sahih disebutkan bahawa Umar bin Khattab r.a. bertanya kepada
sahabat Ubay bin Ka‟ab r.a. tentang taqwa.
Ubay bertanya kembali, “Bukankah anda pernah melewati jalan yang penuh duri?”
“Ya”, jawab Umar
“Apa yang anda lakukan saat itu?”
“Saya bersiap-siap dan berjalan dengan hati-hati.”
“Itulah taqwa.” kata Ubay bin Ka‟ab r.a.
Berdasar dari jawaban Ubay atas pertanyaan Umar, Sayyid Quthub berkata dalam tafsir Azh-
Zhilal,
“Itulah taqwa, kepekaan batin, kelembutan perasaan, rasa takut terus menerus selalu waspada
dan hati-hati jangan sampai sampai terkena duri jalanan… Jalan kehidupan yang selalu
ditaburi duri-duri godaan dan syahwat, kerakusan dan angan-angan, kekhuatiran dan
keraguan. Ketakutan palsu dari sesuatu yang tidak wajar untuk ditakuti… dan masih banyak
duri-duri yang lainnya.”
Dr. Abdullah Nashih Ulwan menyatakan dalam buku Ruhaniyatud Daiyah, berkata
“Taqwa lahir dari proses dari keimanan yang kukuh, keimanan yang selalu dipupuk dengan
muraqabatullah, merasa takut dengan azab Allah serta berharap atas limpahan kurnia dan
maghfirahnya.”
Sayyid Quthub juga berkata
“Inilah bekal dan persiapan perjalanan…bekal ketaqwaan yang selalu menggugah hati dan
membuatnya selalu terjaga, waspada, hati-hati serta selalu dalam konsentrasi penuh… Bekal
cahaya yang menerangi liku-liku perjalanan sepanjang mata memandang. Orang yang
bertaqwa tidak akan tertipu oleh bayangan sesuatu yang menghalangi pandangannya yang
jelas dan benar… Itulah bekal penghapus segala kesalahan, bekal yang menjanjikan
kedamaian dan ketenteraman, bekal yang membawa harapan atas kurnia Allah; di saat
bekal-bekal lain sudah sirna dan semua amal tak lagi berguna…”
Taqwa diperoleh dari ibadah yang ikhlas dan lurus kepada Allah SWT.. Orang-orang yang
bertaqwa akan mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT.. Firman Allah swt. yang bermaksud:
“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang lelaki
dan seorang perempuan, dan Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku,
agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”
(Al-Hujurat: 13)
Kemuliaan bukan terletak samada dia lelaki atau perempuan, kehebatan suku bangsa dan
warna kulit, namun kerana ketaqwaannya. Mereka yang bertaqwa adalah orang yang
senantiasa beribadah dengan rasa cinta, penuh harap kepada Allah, takut kepada azabNya,
ihsan dalam beribadah, khusyuk dalam pelaksanaannya, penuh dengan doa. Allah swt. juga
menyebutkan bekal hidup manusia dan pakaian yang terbaik adalah taqwa.
Dr. Abdullah Nashih Ulwan menyebut ada 5 langkah yang dapat dilakukan untuk mencapai
KPI taqwa, iaitu ;
1. Mu’ahadah Mu‟ahadah berarti selalu mengingat perjanjian kepada Allah swt., bahawa dia akan selalu
beribadah kepada Allah swt. Seperti merenungkan sekurang-kurangnya 17 kali dalam sehari
semalam dia membaca ayat surat Al Fatihah : 5 “Hanya kepada Engkau kami beribadah dan
hanya kepada Engkau kami mohon pertolongan”
Dalam perjanjian itu, manusia mengakui Allah pencipta sekalian manusia dan juga pentadbir
mutlak alam semesta. Perjanjian itu kemudian dirakamkan Allah melalui firman-Nya yang
bermaksud:
"Dan (ingatlah wahai Muhammad) ketika Tuhanmu mengeluarkan zuriat anak-anak Adam
(turun temurun) dari (tulang) belakang manusia, dan Dia jadikan mereka saksi terhadap diri
mereka sendiri (sambil Dia bertanya dengan firman-Nya): Bukankah Aku Tuhan kamu?
Mereka semua menjawab: Benar, (Engkaulah Tuhan kami), kami menjadi saksi. Yang
demikian itu supaya kamu tidak berkata pada hari kiamat: Sesungguhnya kami lalai (tidak
diberi peringatan) tentang (hakikat tauhid) ini." (Surah al-A’raf, ayat 172)
2. Muraqabah Muraqabah berarti merasakan kebersamaan dengan Allah swt. dengan selalu menyedari
bahawa Allah swt. selalu bersama para makhluk-Nya dimana saja dan pada waktu apa sahaja.
Terdapat beberapa jenis muraqabah, pertamanya muraqabah kepada Allah swt. dalam
melaksanakan ketaatan dengan selalu ikhlas kepadaNya. Kedua muraqabah dalam
kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total. Ketiga,
muraqabah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab kepada Allah dan
bersyukur atas segala nikmatNya. Keempat muraqabah dalam mushibah adalah dengan redha.
atas ketentuan Allah serta memohon pertolonganNya dengan penuh kesabaran.
3. Muhasabah Muhasabah sebagaimana yang ditegaskan dalam Al Quran surat Al Hasyr: 18,
“Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah dan hendaklah merenungkan
setiap diri, apalah yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Dan takwalah kepada Allah!
Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui apa jua pun yang kamu kerjakan”
Ini bermakna hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya tatkala selesai melakukan amal
perbuatan, apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan redha. Allah? Atau apakah amalnya
dicampuri sifat riya? Apakah ia sudah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia?
Umar bin Khattab r.a. berkata,”Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri
kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukan yang agung (hari
kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan pada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal
kalian barang sedikitpun.”
4. Mu’aqabah Mu‟aqabah ialah memberikan hukuman atau denda terhadap diri apabila melakukan
kesilapan ataupun kekurangan dalam amalan. Mu‟aqabah ini lahir selepas Muslim melakukan
ciri ketiga iaitu muhasabah. Hukuman ini bukan bermaksud deraan atau pukulan
memudaratkan, sebaliknya bermaksud Muslim yang insaf dan bertaubat berusaha
menghapuskan kesilapan lalu dengan melakukan amalan lebih utama meskipun dia berasa
berat.dalam Islam, orang yang paling bijaksana ialah orang yang sentiasa bermuhasabah diri
dan melaksanakan amalan soleh. Disebutkan, Umar bin Khattab pergi ke kebunnya. Ketika
pulang didapatinya orang-orang sudah selesai melaksanakan solat Asar berjamaah. Maka
beliau berkata,”Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah solat
Asar. Kini kebunku aku kujadikan sedekah untuk orang-orang miskin.”
Suatu ketika Abu Thalhah sedang solat, di depannya lewat seekor burung lalu ia melihatnya
dan lalai dari solatnya sehingga lupa sudah berapa rakaat beliau solat. Kerana kejadian
tersebut beliau mensedekahkan kebunnya untuk kepentingan orang miskin sebagai denda
terhadap dirinya atas kelalaian dan ketidakkhusyukannya.
5. Mujahadah Makna mujahadah sebagaimana disebutkan dalam surat Al Ankabut ayat 69 adalah apabila
seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan
amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa
dirinya melakukan amal-amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya. Dalam hal ini ia harus
tegas, serius dan penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan
yang mulia baginya dan menjadi sikap yang melekat dalam dirinya.
Sebagai penutup, Allah swt. telah berfirman dalam Al-Quran yang bermaksud:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar
taqwa, dan janganlah kamu mati melainkan di dalam keadaan Islam”. (‘Ali Imran: 102)
Semoga kita lebih serius membangunkan KPI TAQWA dalam kehidupan kita.
Sumber : http://halaqahmuntijah.wordpress.com/2010/10/08/kpi-muslim-taqwa-di-sisi-allah-
swt/
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...
Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... amin
Wassalam... Semoga Bermanfaat dan bisa kita ambil hikmahnya... amin
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat...
Lampirkan sumbernya ya... syukron
Taqwa: Pengertian dan Kepentingannya:
Di saat kita sedang menjalani ibadat puasa, yang antara metlamatnya adalah untuk membentuk
insan yang bertaqwa, ada baiknya dibincangkan secara ringkas mengenai taqwa, sekurang-
kurangnya untuk memberi gambaran umum mengenainya.
Pengertian:
Terdapat ungkapan yang berbagai bagi menjelaskan pengertian taqwa itu, namun ia merujuk kepada
pengertian yang satu iaitu seseorang hamba mengambil perlindungan dari kemurkaan Allah dan
azabNya dengan melaksanakan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Ibnu Rejab berkata: Taqwa pada asalnya adalah seseorang menjadikan pelindung antaranya dengan
perkara yang ditakuti sebagai perisai. Hamba yang berbertaqwa kepada Tuhannya ialah hamba yang
menjadikan antaranya dengan apa yang ditakuti dari Tuhannya dari kemurkaan,kemarahan dan
balasanNya suatu pelindung iaitu dengan mengerjakan ketaatan dan menjauhi bermaksiat
kepadaNya.
Ibn al-Qayyim pula berkata: Hakikat taqwa itu adalah mengerjakan taat dengan penuh keimanan dan
pengharapan samada perintah atau larangan, melakukan apa yang diperintah dalam keadaan
beriman dengan apa yanag diperintah dan membenarkan janjinya, juga meninggalkan apa jua yang
dilarang dalam keadaan beriman akan larangan itu dan membenarkan amaran serta ancamanNya.
Talaq bin Hubayb perkata: Apabila berlaku fitnah padamkanlah dengan taqwa. Lalu ada yang
bertanya:Apakah taqwa: Jawabnya: Mentaati Allah dengan nur Allah dan mengharapkan ganjaran
pahala dari Allah dan meninggalkan maksiat dengan nur Allah takutkan balasan dari Allah. Inilah
ungkapan terbaik mengenai batasan taqwa.
Abdullah bin Mas`ud berkata semasa menjelaskan ayat
[102:عمر ن آل ) )
berkata: Taat tidak derhaka, ingat jangan lupa, syukur bukan kufur. Dan diperjelaskan oleh Ibn Rejab
dengan mengatakan mensyukuri Allah itu merangkumi semua ketaatan, adapun maksud dari ingat
dan tidak lupa ialah seseorang hamba mengingati Allah dengan hatinya akan semua perintah Allah
dalam segala gerak dan diamnya serta perkataannya.
Amir al-Mu`minin Umar bin al-Khattab telah bertanya Ubay bin Kaab: Apakah taqwa? Ubay
menjawab: Ya Amir al-Mu`minin! Pernahkah anda melalui jalan yang ada padanya duri? Jawab
Umar: Ya! Ubay bertanya lagi: Apakah yang anda lakukan? Saya akan angkat kaki saya dan akan
melihat tempat yang akan saya akan pijakkan kaki dan beringat-ingat bimbang kaki saya akan
terpijak duri itu. Jelas Ubay: Itulah taqwa!
Amir al-Mu`minan Ali bin Abi Talib KWJ juga ditanya mengenai taqwa lalu jawabnya: Takut kepada
Allah, beramal dengan apa jua yang diturunkan, redha dengan agihan rezeki yang sedikit, bersedia
untuk hari keberangkatan (kematian).
Beliau juga berkata: Meletakkan diri dalam perkara yang diperintah dan mengelakkan diri dari
perkara yang terlarang.
Al-Khusyairi: Hakikat taqwa ialah berlindung dari azab Allah dengan melakukan ketaatan.
Al-Jurjani: Maksud taqwa dalam ketaatan ialah ikhlas, maksud taqwa terhadap maksiat ialah
menjauhinya dan berwaspada.
Beliau juga berkata: Taqwa bermakna menghindarkan segala perkara yang menjauhkan diri dari
Allah.
Al-Fairuz Abadi: menjaga diri dari sesuatu yang mendatangkan dosa. Kesempurnaan takwa dengan
meninggalkan sebahagian dari perkara yang harus dan perkara yang boleh memudaratkan agama.
Tempat taqwa adalah di hati akan tetapi bukti dari apa yang ada dihati adalah tindakan zahir.
Dengan itu mereka yang mendakwa ia bertaqwa sedangkan amalannya bertentangan dengan
perkataannya, ternyata ia berdusta.
Kepentingan Taqwa:
Peri pentingnya taqwa begitu ketara sekali apabila Allah SAW telah berpesan dengannya untuk
semua makhluknya, yang awal dan yang akhir. FirmanNya:
ن ن م م ن ر ن ن م م م ن ر
Dan demi sesungguhnya, Kami telah perintahkan orang-orang yang diberi Kitab dahulu daripada
kamu, dan juga (perintahkan) kamu, iaitu hendaklah bertaqwa kepada Allah; dan jika kamu kufur
ingkar, maka (ketahuilah) Sesungguhnya Allah jualah yang memiliki segala yang ada di langit dan
yang ada di bumi; dan (ingatlah) adalah Allah Maha Kaya, lagi Maha Terpuji. (Surah al-Nisa: 131).
Malah ia juga merupakan pesanan para Rasul (`alaihim al-salam). Perhatikan ayat-ayat berikut:
ن ل (123) م ر ن ع
(Kaum `Ad telah mendustakan Rasul-rasul (yang diutus kepada mereka). Ketika saudara mereka -
Nabi Hud, berkata kepada mereka: "Hendaknya kamu bertaqwa dengan mematuhi perintah Allah
dan menjauhi laranganNya.).(Surah al-Syu`ara`: (123-124).
Firman Allah:
م ن ل (141) م ر ن
Kaum Thamud telah mendustakan Rasul-rasul (yang diutus kepada mereka).Ketika saudara mereka -
Nabi soleh, berkata kepada mereka: "Hendaknya kamu bertawa dengan mematuhi perintah Allah
dan menjauhi laranganNya.(Surah al-Syu`ara: 141-142).
Firman Allah:
ل (160) م ر ن ن
Kaum Nabi Lut telah mendustakan Rasul-rasul (yang diutus kepada mereka).Kketika saudara mereka
- Nabi Lut, berkata kepada mereka: "Hendaknya kamu bertaqwa dengan mematuhi perintah Allah
dan menjauhi laranganNya.(Surah al-Syu`ra’: 160-161);
Firman Allah:
ن ل (176) م ر ن
(Penduduk "Aikah" telah mendustakan Rasul-rasul (yang diutus kepada mereka). Ketika Nabi Syuaib
berkata kepada mereka: "Hendaknya kamu mematuhi perintah Allah dan menjauhi laranganNya.
(Surah al-Shu`ra’: 176-177).
Firman Allah:
ن (10) م ن ن م ر ع ن ر
(Dan (ingatkanlah peristiwa) ketika Tuhanmu menyeru Nabi Musa: "Hendaklah engkau mendatangi
kaum yang zalim, iaitu kaum Firaun; tidakkah mereka mahu bertaqwa? (Surah al-Syu`ra’: 10-11).
Malah ia juga wasiat dan pesanan Rasulullah SAW seperti yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Sada
bin `Ajlan al-Bahili dimana Rasulullah SAW berpesan dalam Khutbah Haji Perpisahan. Sabdanya:
.{ ر ج مر ء ، م ، ز ة ر ، م م ، ر }
“Bertaqwalah kepada Tuhan kamu, solatlah lima waktu kamu, berpuasalah (bulan Ramadhan) kamu,
tunaikanlah zakat hartamu, taatilah pemerintah kamu lalu masuklah syorga Tuhanmu”.
Dalam hadith yang diriwayatkan dari Irbadh bin Sariyah Rasulullah SAW juga pernah bersabda:
“Saya berpesan kepada kamu dengan bertaqwa kepada Allah”
Malah sudah menjadi tradisi di kalangan para sahabat dan generasi selepas mereka berpesan
dengan takwa ini juga kepada anak-anak mereka.
Malah taqwa adalah sebaik-baik pakaian. Firman Allah:
ر
Dan pakaian yang berupa taqwa itulah yang sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah dari tanda-
tanda (limpah kurnia) Allah (dan rahmatNya kepada hamba-hambaNya) supaya mereka
mengenangnya (dan bersyukur). (Surah al-A`raf:26)
Malah ia juga adalah sebaik-baik-baik bekalan.Firman Allah:
ز ر ن ز
Sesungguhnya sebaik-baik bekal itu ialah taqwa (dengan memelihara diri) dan bertaqwalah
kepadaKu wahai orang-orang yang berakal (yang dapat memikir dan memahaminya).
Rasulullah SAW bersabda:
الث الث ، م الث : ل ، م ج مرء عج ، م ع ، م ع : م .
الث غ ر ، ال ر : م ج ض ل ، غ
ض ر
“Tiga perkara yang membinasakan dan tiga perkara penyelamat: Sifat kikir yang dipatuhi, hawa
nafsu yang dituruti, kagum dengan diri sendiri; Tiga penyelamat ialah takutkan Allah secara rahsia
dan terang-terangan, an dan berhemat semasa fakir dan senang, adil semasa marah dan redha.
(Silsilat al-Sahihah, 1802)
Rasulullah SAW juga ada bersabda:
م ع م
“Bertaqwalah kepada Allah dimana sahaja kamu berada, susulilah keburukan dengan kebaikan,
necaya ia dapat memadamkannya”.
Menyusul: Bagaimana jngin menjadi muttaqin?
Suatu hari, seorang sahabat bertanya kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. tentang apa
itu taqwa. Beliau menjelaskan bahwa taqwa itu adalah :
1. Takut (kepada Allah) yang diiringi rasa cinta, bukan takut karena adanya neraka.
2. Beramal dengan Alquran yaitu bagaimana Alquran menjadi pedoman dalam kehidupan
sehari-hari seorang manusia.
3. Redha dengan yang sedikit, ini berkaitan dengan rezeki. Bila mendapat rezeki yang
banyak, siapa pun akan redha tapi bagaimana bila sedikit? Yang perlu disedari adalah bahawa
rezeki tidak semata-mata yang berwujud uang atau materi.
4. Orang yg menyiapkan diri untuk “perjalanan panjang”, maksudnya adalah hidup sesudah
mati.
Al- Hasan Al-Bashri menyatakan bahwa taqwa adalah takut dan menghindari apa yang
diharamkan Allah, dan menunaikan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah. Taqwa juga bererti
kewaspadaan, menjaga benar-benar perintah dan menjauhi larangan.
Seorang sahabat Rasulullah SAW, Ubay bin Ka’ab pernah memberikan gambaran yang jelas
tentang hakikat taqwa. Pada waktu itu, Umar bin Khaththab bertanya kepada Ubay tentang
apa itu taqwa. Ubay balik bertanya : “Apakah Anda tidak pernah berjalan di tempat yang
penuh duri?” Umar menjawab : “Ya.” Ubay bertanya lagi : “Lalu Anda berbuat apa?” Umar
menjawab: “Saya sangat hati-hati dan bersungguh-sungguh menyelamatkan diri dari duri
itu.” Ubay menimpali : “Itulah (contoh) taqwa.”
Menghadapi duri di jalanan saja sudah takut, apalagi menghadapi siksaan api neraka di
akhirat kelak, seharusnya kita lebih takut lagi. Permasalahan yang dihadapi biasanya adalah
“duri” semacam apakah yang dihindari oleh orang-orang bertaqwa itu dan sejauh manakah
kita mampu untuk menghindari “duri” itu.
Syekh Abdul Qadir pernah memberikan nasihat :
”Jadilah kamu bila bersama Allah tidak berhubungan dengan makhluk dan bila bersama
dengan makhluk tidak bersama nafsu. Siapa saja yang tidak sedemikian rupa, maka tentu ia
akan selalu diliputi syaitan dan segala urusannya melewati batas.”
Seseorang yang bertaqwa akan meninggalkan dosa-dosa, baik kecil maupun besar. Baginya
dosa kecil dan dosa besar adalah sama-sama dosa. Ia tidak akan memandang remeh dosa-dosa
kecil, kerana gunung yang besar tersusun dari batu-batu yang kecil (kerikil). Dosa yang kecil,
jika dilakukan terus-menerus akan berubah menjadi dosa besar.
Tidak hanya hal-hal yang menyebabkan dosa saja yang ditinggalkan oleh orang-orang
bertaqwa, hal-hal yang tidak menyebabkan dosa pun, jika itu meragukan, maka ditinggalkan
pula dengan penuh keikhlasan.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyatakan bahwa orang bertaqwa adalah orang yang telah
menjadikan tabir penjaga antara dirinya dan neraka. Pernyataan ulama besar salaf ini
memiliki kandungan yang lebih spesifik lagi. Orang bertaqwa berarti dia telah mengetahui
hal-hal apa saja yang menyebabkan Allah murka dan menghukumnya di neraka. Selain itu, ia
juga harus mengetahui batasan-batasan (aturan-aturan) Allah yang diturunkan kepada Rasul-
Nya.
Di sinilah peran penting dari perintah Rasul SAW untuk menuntut ilmu dari mulai lahir
hingga liang lahad. Ketaqwaan sangat memerlukan landasan ilmu yang benar dan lurus,
sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT sangat mencela kepada orang-
orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan tentang batasan-batasan yang telah disampaikan
kepada Rasul-Nya. Hal ini sejalan pula dengan firman Allah bahwa Alah akan meninggikan
orang-orang berilmu beberapa darjat.
Dalam perjalanan meraih darjat taqwa diperlukan perjuangan yang sungguh-sungguh untuk
melawan hawa nafsu, bisikan syaithaniyah yang sangat halus dan sering membuat manusia
terpedaya. Sikap istiqamah dalam memegang ajaran Allah sangat diperlukan guna
menghantarkan kita menuju darjat taqwa.
Sumber: http://sicksolemnsoul.blogspot.com/2011/05/definisi-taqwa.html
DALIL2 PERINTAH BERTAQWA
Taqwa merupakan perintah yang wajib atas setiap orang Islam. Setiap orang beriman diperintahkan
oleh Allah dengan benar2 bertaqwa kepada Allah. Dalil2 Al-Qur'an dan Hadis Nabi berkenaan
“TAQWA” serta kewajipan “BERTAQWA” terlalu banyak , diantaranya …….
Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-
Nya”. *Al-Imran (3) : 102]
Firman Allah :
“Katakanlah (wahai Muhammad): Tidak sama yang buruk dengan yang baik, walaupun banyaknya
yang buruk itu menarik hatimu. Oleh itu bertaqwalah kepada Allah wahai orang-orang yang
berakal fikiran, supaya kamu berjaya.
[Al-Maedah (5) : 100 ]
Firman Allah :
“….Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling
bertaqwa diantara kalian…” [alHujurat (49) : 13]
Sabda Nabi ع :
Dari Ibnu Mas’ud ضي bahwa Rasulullah ص sering mengucapkan, “Ya
Allah aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, penjagaan diri dan kecukupan.” (Muslim)
Sabda Rasulullah ع : :
Wasiat Nabi ص kepada Muadz bin Jabal ضي , “Bertaqwalah kamu
kepada Allah di mana pun kamu berada, tampallah keburukan dengan kebaikan niscaya akan
dapat menghapusnya dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik.” (Ahmad, At-Tirmidzi)
Sabda Nabi ع
Dari Abu Hurairah , ضي , Nabi ص ditanya tentang penyebab yang
paling banyak memasukkan orang ke dalam surga, maka Baginda menjawab, “Bertaqwa kepada
Allah dan akhlak yang baik. Dan ketika ditanya tentang sesuatu yang paling banyak
menjerumuskan orang ke dalam neraka Baginda menjawab, ”Mulut dan Kemaluan.” (at-Tirmidzi,)
Sabda Rasulullah ع :
” Bahwasanya seorang hamba, tidaklah akan mencapai derajat ketaqwaan sehingga ia
meninggalkan apa yang tidak dilarang (barang yang harus atau halal) supaya tidak terjerumus
pada hal- hal yang dilarang ” ( Hadis Hasan ; riwayat Tirmidzi, Ibnu Majah, Baihaqi ) .
>>>>>>>>>>
Perintah Allah dan dalil2 Hadis Nabi menunjukkan Taqwa membawa kepada kejayaan, serta
kebahagiaan abadi diakhirat kelak. Juga menegaskan kedudukan dan ketinggian seseorang disisi
Allah adalah berdasarkan Taqwanya, bukan rupa paras atau keturunannya.
Semoga Allah menghimpunkan kita bersama2 orang2 yang bertaqwa.
Pengertian TAQWÂ (Takwa)
Feb 13
Posted by effendy akmal
Secara etimologis kata ini merupakan bentuk masdar dari kata ittaqâ–yattaqiy ( - ), yang berarti “menjaga diri dari segala yang membahayakan”. Sementara pakar berpendapat
bahwa kata ini lebih tepat diterjemahkan dengan “berjaga-jaga atau melindungi diri dari
sesuatu”. Kata taqwa dengan pengertian ini dipergunakan di dalam al-Quran, misalnya pada
QS. Al-Mu‟min [40]: 45 dan Ath-Thûr [52]: 27. Kata ini berasal dari kata waqâ–yaqi–
wiqayah ( - - ), yang berarti “menjaga diri, menghindari, dan menjauhi”, yaitu
menjaga sesuatu dari segala yang dapat menyakiti dan mencelakakan. Penggunaan bentuk
kata kerja waqâ ( ) dapat dilihat antara lain dalam QS. Al-Insân [76]: 11, Ad-Dukhân
[44]: 56, dan Ath-Thûr [52]: 28. Penggunaan bentuk ittaqâ( ) dapat dilihat antara lain di
dalam QS. Al-A„râf [7]: 96. Kata taqwâ ( ) juga bersinonim dengan kata khaûf ( )
dan khasyyah ( ) yang berarti “takut”. Bahkan, kata ini mempunyai pengertian yang
hampir sama dengan kata taat. Kata taqwâ yang dihubungkan dengan kata thâ„ah ( ) dan
khasyyah ( ) digunakan al-Quran dalam QS. An-Nûr [24]: 52.
Dalam istilah syar„i (hukum), kata taqwâ mengandung pengertian “menjaga diri dari segala
perbuatan dosa dengan meninggalkan segala yang dilarang Allah Swt. dan melaksanakan
segala yang diperintahkan-Nya”.
Di dalam al-Quran kata ini disebut 258 kali dalam berbagai bentuk dan dalam konteks yang
bermacam-macam. Kata ini dalam bentuk kata kerja lampau (fi„l mâdhi) ditemukan sebanyak
27 kali, yaitu dengan bentuk ittaqâ ( ) sebanyak 7 kali, antara lain dalam QS. Al-Baqarah
[2]: 189; dalam bentuk ittaqaw ( ) sebanyak 19 kali, seperti dalam QS. Al-Mâ‟idah [5]:
93; dan dalam bentuk ittaqaytunna ( ) hanya satu kali, ditemukan dalam QS. Al-Ahzâb
[33]: 32. Dalam bentuk-bentuk seperti di atas, kata taqwâ pada umumnya memberi gambaran
mengenai keadaan, sifat-sifat, dan ganjaran bagi orang-orang bertakwa. Kata taqwâ yang
diungkapkan dalam bentuk kata kerja masa sekarang (fi„l mudhâri„) ditemukan sebanyak 54
kali. Dalam bentuk ini, Al-Quran menggunakan kata itu untuk: (1) menerangkan berbagai
ganjaran, kemenangan, dan pahala yang diberikan kepada orang yang bertakwa, seperti dalam
QS. Ath-Thalâq [65]: 5; (2) menerangkan keadaan atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh
seseorang sehingga ia diharapkan dapat mencapai tingkat takwa, yang diungkapkan bentuk
la„allakum tattaqûn ( = semoga engkau bertakwa), seperti dalam QS. Al-Baqarah
[2]: 183; dan (3) menerangkan ancaman dan peringatan bagi orang-orang yang tidak
bertakwa, seperti dalam QS. Al-Mu‟minûn [23]: 32.
Kata taqwâ yang dinyatakan dalam kalimat perintah ditemukan sebanyak 86 kali, 78 kali di
antaranya mengenai perintah untuk bertakwa yang ditujukan kepada manusia secara umum.
Obyek takwa dalam ayat-ayat yang menyatakan perintah takwa tersebut bervariasi, yaitu: (1)
Allah sebagai obyek ditemukan sebanyak 56 kali, misalnya pada QS. Al-Baqarah [2]: 231
dan Asy-Syu„arâ‟ [26]: 131; (2) Neraka sebagai obyeknya dijumpai sebanyak 2 kali, yaitu
pada QS. Al-Baqarah [2]: 24 dan آli „Imrân [3]: 131; (3) Fitnah/siksaan sebagai obyek takwa
didapati satu kali, yaitu pada QS. Al-Anfâl [8]: 25; (4) Obyeknya berupa kata-kata rabbakum
( ), al-ladzî khalaqakum ( ), dan kata-kata lain yang semakna berulang
sebanyak 15 kali, misalnya di dalam QS. Al-Hajj [22]: 1.
Dari 86 ayat yang menyatakan perintah bertakwa pada umumnya (sebanyak 82 kali)
obyeknya adalah Allah, dan hanya 4 kali yang obyeknya bukan Allah melainkan neraka, hari
kemudian, dan siksaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat yang berbicara
mengenai takwa di dalam Al-Quran pada dasarnya yang dimaksudkan adalah ketakwaan
kepada Allah Swt. Perintah itu pada dasarnya menunjukkan bahwa orang-orang yang akan
terhindar dari api neraka dan siksaan hari kemudian nanti adalah orang-orang yang bertakwa
kepada Allah Swt.
Kata taqwâ yang dinyatakan dalam bentuk mashdar, ditemukan di dalam al-Quran sebanyak
19 kali. Yang diungkapkan dalam bentuk tuqât ( ) sebanyak 2 kali dan dalam bentuk
taqwâ ( ) sebanyak 17 kali. Dalam bentuk ini kata taqwâ pada umumnya digunakan al-
Quran untuk: (1) menggambarkan bahwa suatu pekerjaan yang dilakukan harus didasarkan
atas ketakwaan kepada Allah Swt, seperti dalam QS. Al-Hajj [22]: 37; dan (2)
menggambarkan bahwa takwa merupakan modal utama dan terbaik untuk menuju kehidupan
akhirat.
Takwa kepada Allah merupakan sesuatu yang harus dilaksanakan. Takwa kepada Allah,
menurut Muhammad Abduh, adalah menghindari siksaan Tuhan dengan jalan menghindarkan
diri dari segala yang dilarang-Nya serta mengerjakan segala yang diperintahkan-Nya. Hal ini,
lanjutnya, hanya dapat terlaksana melalui rasa takut dari siksaan yang menimpa dan rasa
takut kepada yang menjatuhkan siksaan, yaitu Allah. Rasa takut itu pada mulanya timbul dari
keyakinan tentang adanya siksaan. Perintah dan larangan Allah dapat dikategorikan dalam
dua kelompok, yaitu (1) Perintah dan larangan yang berkaitan dengan alam raya, yang
disebut hukum-hukum alam, seperti dinyatakan dalam QS. Fushshilat [41]: 11, misalnya api
membakar atau bulan berputar mengelilingi bumi; dan (2) Perintah dan larangan yang
berkaitan dengan pelaksanaan ajaran agama yang ditujukan kepada manusia, seperti perintah
melakukan shalat yang dinyatakan dalam QS. Al-Isrâ‟ [17]: 78. Kumpulan dari perintah dan
larangan ini dinamakan hukum-hukum syariat. Sanksi pelanggaran terhadap hukum-hukum
alam akan diperoleh di dunia, sedangkan sanksi pelanggaran terhadap hukum-hukum syariat
akan diperoleh di akhirat. Dengan demikian, ketakwaan mempunyai dua sisi, yaitu sisi
duniawi dan sisi ukhrawi. Sisi duniawi yaitu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan
hukum-hukum alam, sedangkan sisi ukhrawi yakni memperhatikan dan melaksanakan
hukum-hukum syariat.
Takwa sebagai upaya melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya hanya dapat
terwujud oleh dorongan harapan memperoleh kenikmatan surgawi serta rasa takut terjerumus
ke dalam neraka. Karenanya, sebagian ulama menggambarkan takwa sebagai gabungan di
antara harapan dan rasa takut.
Ketakwaan yang dinyatakan dalam bentuk amal perbuatan jasmaniah yang dapat disaksikan
secara lahiriah merupakan perwujudan keimanan seseorang kepada Allah Swt. Iman yang
terdapat di dalam dada diwujudkan dalam bentuk amal perbuatan jasmaniah. Oleh sebab itu,
kata taqwâ dalam al-Quran sering dihubungkan dengan kata îmân ( ), seperti dalam QS.
Al-Baqarah [2]: 103, Al-A„râf [7]: 96, آli „Imrân [3]: 179, Al-Anfâl [8]: 29, dan Muhammad
[47]: 36.
Al-Quran menyebut orang yang bertakwa dengan muttaqî ( ), jamaknya muttaqîn
( ), yang berarti “orang yang bertakwa”. Kata tersebut disebut al-Quran sebanyak 50
kali. Kata ini digunakan al-Quran untuk (1) Menggambarkan bahwa orang-orang yang
bertakwa dicintai oleh Allah Swt. dan di akhirat nanti akan diberi pahala dan tempat yang
paling baik (surga), seperti yang diungkapkan dalam QS. آli „Imrân [3]: 76, Adz-Dzâriyât
[51]: 15, dan Ad-Dukhân [44]: 51; (2) Menggambarkan bahwa orang-orang yang bertakwa
adalah orang-orang yang mendapat kemenangan, seperti diungkapkan dalam QS. An-Naba‟
[78]: 31; (3) Menggambarkan bahwa Allah merupakan pelindung (wali) bagi orang-orang
yang bertakwa, seperti diungkapkan dalam QS. Al-Jâtsiyah [45]: 19; dan (4) Menggambarkan
bahwa beberapa kisah yang terjadi merupakan peringatan dan teladan bagi orang-orang yang
bertakwa, seperti yang diungkapkan dalam QS. Al-Anbiyâ‟ [21]: 48 dan Al-Hâqqah [69]: 48.
Al-Quran tidak menjelaskan secara rinci siapa yang dimaksudkan dengan istilah itu. Al-
Quran hanya menyebutkan beberapa cirinya, antara lain dalam QS. Al-Baqarah [2]: 2-5.
Selanjutnya, dijelaskan dalam QS. آli „Imrân [3]: 132-135.
Ciri-ciri orang bertakwa menunjukkan suatu kepribadian yang benar-benar utuh dan integral,
sebagaimana dinyatakan di dalam QS. Al-Hujurât [49]: 13. Penggunaan kata atqâkum
( ) dalam ayat ini menunjukkan bahwa taqwâ mempunyai tingkatan-tingkatan.
Perbedaan tingkatan tersebut sangat ditentukan oleh kualitas keimanan dan ketaatan
seseorang dalam melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya.
Orang-orang bertakwa diberi berbagai kelebihan oleh Allah Swt, tidak hanya ketika mereka
di akhirat nanti tetapi juga ketika mereka berada di dunia ini. Beberapa kelebihan mereka
disebutkan di dalam al-Quran, antara lain: (1) Dibukakan jalan keluar pada setiap kesulitan
yang dihadapinya (QS. Ath-Thalâq [65]: 2); (2) Dimudahkan segala urusannya (QS. Ath-
Thalâq [65]: 4); (3) Dilimpahkan kepadanya berkah dari langit dan bumi (QS. Al-A„râf [7]:
96); (4) Dianugerahi furqân ( ), yakni petunjuk untuk dapat membedakan yang hak dan
bathil (QS. Al-Anfâl [8]: 29; dan (5) Diampuni segala kesalahan dan dihapus segala dosanya
(QS. Al-Hadîd [57]: 28 dan Al-Anfâl [8]: 29). (Hasan Zaini)
(Sumber: http://www.psq.or.id/ensiklopedia)
Pengertian Iman dan Taqwa
Pengertian Iman
Dalam hadist di riwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati,
diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Iimaanu ‘aqdun bil qalbi
waiqraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau
keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan
dan sikap hidup atau gaya hidup.
Pengertian Takwa
Kata takwa ( ) dalam etimologi bahasa Arab berasal dari kata kerja ( ) yang memiliki
pengertian menutupi, menjaga, berhati-hati dan berlindung. Oleh karena itu imam Al Ashfahani
menyatakan: Takwa adalah menjadikan jiwa berada dalam perlindungan dari sesuatu yang ditakuti,
kemudian rasa takut juga dinamakan takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’I adalah menjaga diri
dari perbuatan dosa. Takwa adalah amalan hati dan letaknya di kalbu. “Demikianlah (perintah
ALLAH). Dan barang siapa mengagungkan syiar – syiar ALLAH maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati. (QS 22:32).
Keimanan dan ketakwaan seorang muslim adalah kunci agar mendapatkan ridho dan barokah dari
Allah SWT. Iman Islam dalam diri seorang muslim harus dibarengi dengan takwa. Bila seorang
muslim percaya dengan keberadaan Allah, maka tentunya ia takut kepada Allah. Itulah yang
dinamakan takwa.
I. Takwa Dalam Perspektif Para Sufi
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu dalam pandangan Allah, ialah yang paling
takwa (Al Hujurat, 49:13)
Untuk memahami pesan-pesan takwa dalam Al Qur‟an dan implikasinya dalam kehidupan,
ada baiknya pada pendahuluan ini dikemukakan lebih dahulu beberapa pandangan para sufi
tentang takwa. Pandangan ini dipilih karena dalam aspek-aspek kajian keislaman lainnya kita
belum banyak menjumpai secara khusus pembahasan yang berkaitan dengan takwa.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said Al Khudry mengatakan bahwa seseorang
pernah meminta nasehat kepada Rasulullah, lalu beliau mengatakan: “Engkau harus
mempunyai ketakwaan kepada Allah, karena ketakwaan adalah kumpulan seluruh kebaikan.
Engkau harus melaksanakan jihad, karena jihad adalah kerahiban kaum muslim. Dan engkau
harus dzikir kepada Allah, karena dzikir adalah cahaya bagimu”. (HR. Abu Ya‟la).
Taqwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakekatnya adalah “bahwa seseorang
melindungi dirinya dari hukuman Tuhan dengan kepatuhan dan ketundukan kepada-Nya.
Asal usul taqwa adalah menjaga diri dari syirik, kejahatan dan dosa, dan dari hal-hal yang
syubhat, yaitu yang diragukan tentang halal dan haramnya.
Karena itu, Al Muhasibi (W. 243 H/857 M) mengatakan bahwa para sufi sepakat berpendapat
bahwa kebahagiaan hamba di dunia dan akhirat tergantung pada nilai ketaqwaannya kapada
Allah SWT., dan bukti utama ketaqwaan ialah bersikap wara‟ terhadap larangan-larangan
Allah, mematuhi perintahnya dan selalu menjaga kesucian hati dari segala yang tidak disukai-
Nya. Yang dimaksud dengan wara‟ oleh Ibrahim bin Adham (w. 161 H/777 M), ialah
“meninggalkan segala sesuatu yang meragukan dari yang tidak berarti, meninggalkan yang
diharamkan, yang makruh dan bahkan yang tidak diperlukan oleh agama”.
Menurut para sufi, menjaga diri dari yang syubhat merupakan kunci untuk pembuka pintu
dan jalan yang akan mengantarkan kita kepada taqwa, sedangkan wara‟ akan mengantarkan
kita ke maqam (tingkatan) tertinggi taqwa. Betapa pentingya kehidupan wara‟ untuk
mencapai taqwa, ditegaskan oleh Nabi bahwa “seseorang tidak akan mencapai derajat
ketakwaan sehingga dia meninggalkan apa yang tidak berdosa karena dikhawatirkan akan
membawa kepada dosa” (HR. Turmidzi, Ibn Majah dan al Hakim).
Untuk merealisasikan kehidupan wara ini, Nabi sangat tegas memberikan pendidikan
terhadap keluarganya “Pada suatu hari al Hasan bin Ali ra. Mengambil sebutir buah kurma di
antara kurma sedekah, waktu itu al Hasan masih kecil, lalu Nabi SAW bersabda kepadanya:
“Letakkan! Letakkan!”. (HR. Bukhari).
TANDA-TANDA TAQWA
Allah SWT berfirman dalam Surat Ali‟Imran Ayat 133:
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu (Allah SWT) dan surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang
taqwa (muttaqin).
Selanjutnya Allah SWT menguraikan tanda-tanda orang yang taqwa, dalam
Surat Ali‟Imran Ayat 134:
(yaitu) Orang-orang yang berinfaq (karena Allah SWT), baik diwaktu lapang
maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mereka yang
pemaaf terhadap (kesalahan) manusia. Dan Allah mencintai orang-orang yang
berbuat kebajikan.
Marilah terlebih dahulu kita coba memahami apakah itu Taqwa. Taqwa memiliki
tiga tingkatan. Ketika seseorang melepaskan diri dari kekafiran dan mengada-
adakan sekutu-sekutu bagi Allah, dia disebut orang yang taqwa. Didalam
pengertian ini semua orang beriman tergolong taqwa meskipun mereka masih
terlibat beberapa dosa. Jika seseorang menjauhi segala hal yang tidak disukai
Allah SWT dan RasulNya (SAW), ia memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi.
Yang terakhir, orang yang setiap saat selalu berupaya menggapai cinta Allah
SWT, ia memiliki tingkat taqwa yang lebih tinggi lagi.
Allah SWT menjelaskan dalam Surat Ali‟Imran Ayat 102:
Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-
benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan
Muslim (beragama Islam)
Allah SWT telah menjabarkan berbagai ciri-ciri orang yang benar-benar taqwa.
Mereka menafkahkan rizkinya di jalan Allah SWT dalam keadaan lapang maupun
sempit. Dengan kata lain, jika mereka memiliki uang seribu dollar diinfaqkannya
paling tidak satu dollar, dan jika hanya memiliki seribu sen mereka infaqkan
satu sen. Menafkahkan rizki di jalan Allah SWT adalah jalan-hidup mereka. Allah
SWT (atas kehendakNya) menjauhkan mereka dari kesulitan (bala‟) kehidupan
lantaran kebajikan yang mereka perbuat ini. Lebih dari itu, seseorang yang suka
menolong orang lain tidak akan mengambil atau memakan harta orang lain,
malahan ia lebih suka berbuat kebaikan bagi sesamanya. „Aisyah RA sekali
waktu pernah menginfaqkan sebutir anggur karena pada waktu itu ia tidak
memiliki apa-apa lagi. Beberapa muhsinin (orang yang selalu berbuat baik)
menginfaqkan sebutir bawang. Nabi Muhammad SAW bersabda:
“ Selamatkanlah dirimu dari api nereka dengan berinfaq, meskipun hanya
dengan sebutir kurma. (Bukhari & Muslim)
Didalam “Tafsir Kabir” Imam Razi diceritakan bahwa suatu kali Nabi Muhammad
SAW mengajak umatnya untuk berinfaq. Beberapa dari mereka memberikan
emas dan perak. Seseorang datang hanya menyerahkan kulit kurma, “Saya tak
memiliki selain ini.” Seorang lain lagi mengatakan kepada Nabi Muhammad
SAW, “Saya tak punya apapun untuk diinfaqkan. Saya infaqkan harga-diri saya.
Jika ada seseorang menganiaya atau mencaci-maki saya, saya tidak akan
marah.” Demikianlah, kita dapat mengambil pelajaran bahkan orang miskin pun
terbiasa memberikan apapun yang dia miliki untuk menolong orang lain di masa
hidup Rasulullah SAW.
Ayat diatas tidak menjelaskan apa yang harus diinfaqkan. Berinfaq tidak hanya
berarti sebagian dari hartanya tetapi juga waktu dan keahlian. Ada
kebijaksanaan yang besar dalam penjabaran mengenai mukmin yang shaleh
yang berinfaq dikala lapang maupun sempit. Kebanyakan orang melupakan Allah
SWT ketika berada dalam keadaan sangat lapang. Mereka juga lupa kepada
Allah SWT dikala sempit karena terlalu larut dalam kesedihan menanggung
kesempitannya.
Seorang penyair berbahasa urdu berujar, “Jangan menganggap seseorang itu
terpelajar bilamana ia melupakan Allah SWT diwaktu ia kaya, tidak takut kepada
Allah SWT ketika ia sedang marah.”
Allah SWT menyatakan bahwa tanda ketaqwaan mukmin yang ke-dua ialah
mereka dapat mengendalikan amarah. Tanda ke-tiga, selain mengendalikan
amarah mereka juga memaafkan kesalahan orang lain dengan sepenuh hati.
Terakhir (ke-empat), yang tidak kalah pentingnya, mereka bersikap baik
terhadap sesama manusia. Ketika Imam Baihaqi RA menjelaskan ayat ini, ia
mengisahkan sebuah peristiwa. Dikatakannya, “Suatu ketika Ali bin Hussain RA
sedang berwudhu dan pelayannya yang menuangkan air ke tangannya
menggunakan bejana. Bejana terlepas dari pegangan pelayan itu dan jatuh
mengenai Ali. Sang pelayan menangkap kekecewaan di wajah Ali. Dengan
cerdiknya sang pelayan membaca ayat diatas kata demi kata. Ketika sampai
pada kalimat „orang yang taqwa mengendalikan amarahnya‟ Ali RA menelan
amarahnya. Ketika sampai pada „mereka memaafkan orang lain‟ Ali RA berkata,
“Aku memaafkanmu” Dan ketika dibacakan bahwa Allah SWT mencintai mereka
yang bersikap baik kepada orang yang melakukan kesalahan, Ali
memerdekakannya.
Memaafkan orang lain akan mendapatkan pahala yang besar di Hari
Pembalasan. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Allah SWT akan memberikan
pengumuman di Hari Pembalasan, barang siapa yang memiliki hak atas Allah
SWT agar berdiri sekarang. Pada saat itu berdirilah orang-orang yang
memaafkan orang-orang kejam yang menganiaya mereka. Nabi Muhammad
SAW juga bersabda, “Barang siapa berharap mendapatkan istana yang megah di
surga dan berada di tingkatan yang tinggi dari surga, hendaknya mereka
mengerjakan hal berikut ini:
• Memaafkan orang-orang yang berbuat aniaya kepada mereka.
• Memberi hadiah kepada orang yang tidak pernah memberi hadiah kepada
mereka.
• Jangan menghindari pertemuan dengan orang-orang yang dengan sengaja
memutuskan hubungan dengan mereka.
Dalam kesempatan ini tidaklah salah tempat untuk mengingatkan anda bahwa
sesama Muslim hendaknya saling memberi hadiah sesering mungkin sesuka
mereka. Hal ini hendaklah menjadi kebiasaan, dan janganlah membatasi di hari-
hari spesial sebagaimana yang dilakukan orang-orang yang tidak beriman pada
perayaan Natal dan Pernyataan Syukur (thanksgiving).
Allah SWT memberi petunjuk dengan sangat indah bagaimana hendaknya kita
berperilaku terhadap musuh-musuh kita yang paling jahat dalam Surat
Fushshilat Ayat 34:
Tidaklah sama perbuatan baik dengan perbuatan jahat. Jika kamu membalas
perbuatan jahat dengan kebaikan, maka musuh-musuhmu yang paling keras
akan menjadi teman karib dan sejawatmu.
Suatu ketika, seseorang berbuat kasar dan mencaci-maki Imam Abu Hanifah.
Beliau tidak membalas dengan sepatah-katapun padanya. Ia pulang ke rumah
dan mengumpulkan beberapa hadiah, lalu pergi mengunjungi orang tersebut.
Imam Abu Hanifah memberikan hadiah-hadiah itu kepadanya dan
berterimakasih atas perlakuan orang itu kepadanya seraya berkata: “Kamu telah
berbuat untukku hal yang sangat aku sukai, yaitu memindahkan catatan
perbuatan baikmu menjadi catatan perbuatan baikku dengan cara berlaku kasar
seperti tadi kepadaku.”
Lebih lanjut Allah SWT berfirman didalam Surat Ali‟Imran Ayat 135 dan 136,
menambahkan tanda-tanda ketaqwaan orang-orang beriman.
Ketika mereka (orang-orang beriman) itu terlanjur berbuat jahat atau aniaya,
mereka ingat kepada Allah dan memohon ampun atas dosa-dosa mereka, dan
tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Allah. Dan mereka tidak
tetap berbuat aniaya ketika mereka mengetahui.
Untuk mereka balasannya adalah ampunan dari Tuhan mereka, dan surga yang
mengalir sungai-sungai, sedangkan mereka kekal didalamnya. Itulah sebaik-baik
pahala atas amal-perbuatan mereka.
Perhatikanlah bahwa dalam ayat ini ampunan Allah SWT mendahului balasan
masuk surga. Maka, dari ayat ini jelaslah bahwa untuk masuk surga haruslah
melalui ampunan dan kasih-sayang Allah SWT dan bukan tergantung pada amal-
perbuatan kita saja. Perlu juga kita garis- bawahi, Allah SWT berfirman bahwa
bobot surga itu jauh lebih berharga dari gabungan bumi dan seluruh langit. Hal
ini bisa memberikan pengertian lain dari ayat ini. Jika lebar surga sama dengan
lebar langit dan bumi, bagaimanakah dengan panjangnya, sedangkan ukuran
panjang selalu lebih besar daripada lebar. Singkat kata, ayat ini memberikan
pernyataan bahwa surga itu telah dipersiapkan bagi orang-orang beriman yang
telah mencapai tingkat taqwa. Menurut beberapa ulama muslim yang
termasyhur, surga itu berada diatas langit ke-tujuh dan jiwa para syuhada telah
menikmati surga sebagai hasil dari perjuangan mereka.
Saya berdo‟a kepada Allah SWT, semoga Dia menjadikan kita mukmin yang
bertaqwa dan menerapkan keimanan kita. Amiin
IMPLEMENTASI IMAN DAN TAQWA DALAM
KEHIDUPAN MODERN
I. PEMBAHASAN
A. Pengertian Iman dan Taqwa
Iman yang berarti percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati.
Secara sempurna pengertiannya adalah membenarkan (mempercayai) Allah dan segala apa
yang datang dari pada-Nya sebagai wahyu melalui rasul-rasul-Nya dengan kalbu,
mengikrarkan dengan lisan dan mengerjakan dengan perbuatan.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang aplikasinya
berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang muslim yang bertaqwa
pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan menjauhi segala laranganNya
dalam kehidupan ini.
B. Wujud Iman dan Taqwa
Akidah Islam dalam al-Quran disebut iman. Iman bukan hanya berarti percaya melainkan
keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh karena itu lapangan iman
sangat luas.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat dengan aturan hukum
yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang muslim berarti meyakini dan
melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran Islam.
Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal yang dilarang agama,
merupakan salah satu bentuk wujud seorang muslim yang bertaqwa. Karena taqwa adalah
sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh dalam mengarungi kehidupan dunia
C. Proses terbentuknya Iman
Pada dasarnya, proses pembentukan iman. Diawali dengan proses perkenalan, mengenal
ajaran Allah adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak
mengenal ajaran Allah maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.
Disamping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan, karena tanpa
pembiasaan, seseorang bisa saja seorang yang benci menjadi senang. Seorang anak harus
dibiasakan terhadap apa yang diperintahkan Allah dan menjahui larangan Allah agar kelak
nanti terampil melaksanakan ajaran Allah.
D. Korelasi Keimanan dan Ketakwaan
Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi menjadi dua yaitu
tauhid teoritis dan tauhid praktis.
Tahuid teoritis adalah tahuid yang membahas tentang keesaan Zat, sifat dan Perbuatan Tuhan.
Adapun tahuid praktis yang disebut juga tauhid ibadah berhubungan dengan amal dan ibadah
manusia.
Tahuid praktis merupakan penerapan dari tauhid toritis. Seperti dengan kata lain, tidak ada
yang disembah selain Allah , atau yang wajib disembah hanyalah Allah semata yang
menjadikan-Nya tempat tumpuhan hati dan tujuan gerak langkah. Oleh karena itu seseorang
baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tahuid dan
dengan mengamalkan semua perintah Allah dan menjahui larangannya.
E. Implementasi Iman dan Takwa
Problematika, Tantangan, dan Risiko dalam Kehidupan Modern
Masalah sosial budaya merupakan masalah alam pikiran dan realitas hidup masyarakat. Alam
pikiran bangsa Indonesia adalah majemuk, sehingga pergaulan hidupnya selalu dipenuhi
konflik dengan sesama orang Islam maupun dengan non-Islam.
Pada zaman modern ini, dimungkinkan sebagian masyarakat antara yang satu dengan yang
lainnya saling bermusuhan, yaitu ada ancaman kehancuran.
Adaptasi modernisme, kendatipun tidak secara total yang dilakukan bangsa Indonesia selama
ini, telah menempatkan bangsa Indonesia menjadikan bangsa Indonesia menjadi pengkhayal.
Oleh karena itu, kehidupannya selalu terombang-ambing.
Secara ekonomi bangsa Indonesia semakin tambah terpuruk. Hal ini karena di adaptasinya
sistem kapitalisme dan melahirkan korupsi besar-besaran. Sedangkan di bidang politik, selalu
muncul konflik di antara partai dan semakin jauhnya anggota parlemen dengan nilai-nilai
qur‟ani, karena pragmatis dan oportunis.
Di bidang sosial banyak munculnya masalah. Berbagai tindakan kriminal sering terjadi dan
pelanggaran terhadap norma-norma bisa dilakukan oleh anggota masyarakat. Lebih
memprihatinkan lagi adalah penyalagunaan NARKOBA oleh anak-anak sekolah, mahasiswa,
serta masyarakat.
Persoalan itu muncul, karena wawasan ilmunya salah, sedang ilmu merupakan roh yang
menggerakan dan mewarnai budaya. Hal itu menjadi tantangan yang amat berat dan
menimbulkan tekanan.
Sebagian besar permasalahan sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan
modern yang serba mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam
kehidupan umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi
sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung.
Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam terdahulu yang kental dalam
kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu yang cukup mendukung kualitas iman
seseorang. Olah karenanya dirasa perlu mewujudkan satu konsep khusus mengenai pelatihan
individu muslim menuju sikap taqwa sebagai tongkat penuntun yang dapat digunakan
(dipahami) muslim siapapun. Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang,
baik yang berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti himbauan
khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya :
Muslim yang bersangkutan belum paham betul makna dari taqwa itu sendiri, sehingga
membuatnya enggan untuk memulai,
Ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus mulai merilis sikap taqwa,
Kondisi sosial dimana dia hidup tidak mendukung dirinya dalam membangun sikap taqwa.
Oleh karenanya setiap individu muslim harus paham pos – pos alternatif yang harus
dilaluinya, diantaranya yang paling awal dan utama adalah gadhul bashar (memalingkan
pandangan), karena pandangan (dalam arti mata dan telinga) adalah awal dari segala
tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap oleh panca indera kemudian
diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota tubuh dan akhirnya berimbas ke hati
sebagai tempat bersemayam taqwa.
Untuk membebaskan bangsa Indonesia dari persoalan tersebut, perlu diadakan revolusi
pandangan. Dalam kaitan ini, iman dan takwa berperan menyelesaikan problema dan
tantangan kehidupan modern tersebut.
F. Peran Iman dan Takwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan Kehidupan
Modern
Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda Iman menanamkan semangat berani menghadapi maut Iman menanamkan sikap self help dalam kehidupan Iman memberikan ketenangan jiwa Iman memberikan kehidupan yang baik Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen Iman memberikan keberuntungan Iman mencegah penyakit
II. KESIMPULAN
Hubungan religiusitas dan modernisasi (industrialisasi) merupakan persoalan rumit yang
banyak menimbulkan kontroversi, khususnya di kalangan ilmuwan sosial. Suatu ungkapan
yang hampir menjadi stereotip dalam percakapan sehari-hari menggambarkan seolah-olah
agama merupakan hambatan terhadap proses modernisasi dan industrialisasi. Meskipun pada
beberapa kasus mungkin asumsi itu benar, misalnya ada agama yang menentang program
Keluarga Berencana (KB) padahal menurut para ahli mutlak diperlukan di negara-negara
berkembang. Tetapi generalisasi bahwa agama merupakan rintangan modernisasi dan
industrialisasi tidak dapat dibenarkan.
Dengan adanya hubungan yang dinamis antara agama dan modernitas, maka diperlukan
upaya untuk menyeimbangkan pemahaman orang terhadap agama dan modernitas.
Pemahaman orang terhadap agama akan melahirkan sikap keimananan dan ketaqwaan
(Imtaq), sedang penguasaan orang terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) di era
modernisasi dan industrialisasi mutlak diperlukan. Dengan demikian sesungguhnya yang
diperlukan di era modern ini tidak lain adalah penguasaan terhadap Imtaq dan Iptek
sekaligus. Salah satu usaha untuk merealisasikan pemahaman Imtaq dan penguasaan Iptek
sekaligus adalah melalui jalur pendidikan. Dalam konteks inilah pendidikan sebagai sebuah
sistem harus didesain sedemikian rupa guna memproduk manusia yang seutuhnya. Yakni
manusia yang tidak hanya menguasai Iptek melainkan juga mampu memahami ajaran agama
sekaligus mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Dari uraian pembahasan yang telah diutarakan, kiranya dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut;
Pertama, perana agama pada masa modern dirasakan masih sangat penting, bahkan
menunjukkan gejala peningkatan. Fenomena kebangkitan agama di antaranya dapat diamati
dari maraknya kegiatan-kegiatan keagamaan dan larisnya buku-buku agama. Fenomena ini
setidaknya dipengaruhi oleh beberapa hal seperti adanya kesadaran providensi setiap
individu, ketidakberhasilan modernisasi dan industrialisasi dalam mewujudkan kehidupan
yang lebih bermakna (meaningful). Di samping itu, kegagalan organized religions dalam
mewujudkan agama yang bercorak humanistik, juga disinyalir turut mendorong praktik
spiritualitas era modern.
Kedua, agama tetap akan memegang peranan penting di masa mendatang, terutama dalam
memberikan landasan moral bagi perkembangan sains dan teknologi. Dalam kaitan ini perlu
ditekankan pentingnya usaha mengharmoniskan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)
dengan agama (Imtaq). Iptek harus selalu dilandasi oleh nilai-nilai moral-agama agara tidak
bersifat destruktif terhadap nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi). Sedangkan ajaran agama
harus didekatkan dengan konteks modernitas, sehingga dapat bersifat kompatibel dengan
segala waktu dan tempat.
Pada dasarnya dalam kehidupan modern, kita sebagai manusia tidak bisa terlepas dari iman
dan taqwa. Karena dengan kita beriman dan bertaqwa, kita dapat mencegah dan
menyelamatkan diri dari hal-hal yang menyesatkan atau dari segala sesuatu yang tidak
baik. Selain itu, kita juga dapat menentukan apakah modernisasi tersebut dianggap sebagai
suatu kemajuan atau tidak, dipandang bermanfaat atau tidak, diperlukan atau sebaliknya perlu
dihindari.
Buah Taqwa, Diberikan Didunia Dan
Akhirat
Tanbihun - Sebelum masuk ke inti pembahasan, ada baiknya kita simak dulu pengertian
taqwa itu sendiri yang sudah didefinisikan oleh beberapa sahabat Rasulullah Sallallahu‟alaihi
Wasallam.
Pengertian taqwa menurut,
Ali bin Abi Thalib Radliyallahu „Anhu : “Taqwa adalah takut kepada Allah Al-Jalil (Yang
Maha Agung), mengamalkan tanzil (Al-qur‟an), rela dengan Al-Qalil (yang sedikit) dan
bersiap-siap menuju Ar-Rahil (kematian).”
Ibnu Abbas Radliyallahu „Anhu: “Taqwa adalah orang yang takut kepada Allah dan
siksanya.”
Ibnu Ma‟ud Radliyallahu „Anhu: “Taqwa adalah taat kepada-Nya semata dan tidak
bermaksiat kepada-Nya, selalu mengingat-Nya dan tidak melupakan-Nya, serta bersyukur
terhadap nikmat-Nya.”
Thalaq bin Habib Radliyallahu „Anhu: “Taqwa adalah beramal dengan mentaati Allah diatas
cahaya dari-Nya dengan mengharap pahala dari-Nya dan meningggalkan maksiat kepada-
Nya diatas cahaya dari-Nya karena takut sangsi-Nya.”
Jadi makna taqwa menurut definisi-definisi diatas dapat disimpulkan, taqwa adalah
memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi
segala larangan-Nya.
Buah Dari Ketaqwaan
Diberikan didunia:
1. Taqwa menyebabkan mudah dalam menghadapi permasalahan (yang dihadapi) manusia. (QS. At-Thalaq : 4)
2. Taqwa menyebabkan manusia terlindung dari gangguan syetan. (QS. Al-A’raf : 201) 3. Taqwa menyebabkan terbukanya berkah dari langit dan bumi. (QS. Al-A’raf : 96) 4. Taqwa menyebabkan seseorang hamba dapat mengetahui dan membedakan antara haq dan
bathil. (QS. Al-Anfal : 29) 5. Taqwa menyebabkan keluarnya seseorang dari suatu kesempitan dan mendapatkan
kelapangan rizki dari arah yang tidak disangka-sangka. (QS. At-Thalaq : 2-3) 6. Taqwa menyebabkan diperolehnya kekuasaan, karena para wali Allah adalah mereka yang
bertaqwa kepada-Nya. (QS. Al-Anfal : 34) 7. Taqwa menyebabkan hilangnya rasa takut dari marabahaya dan tipu daya orang-orang
kafir.(QS. Ali-Imran : 120) 8. Taqwa menyebabkan diperolehnya pertolongan dari langit ketika masa-masa kritis/bahaya
dan ketika sedang berhadapan dengan musuh. (QS. Ali-Imran : 123-125) 9. Taqwa menyebabkan sirnanya permusuhan dan kebiasaan menyakiti hamba Allah. (QS. Al-
MAidah : 2) 10. Taqwa menjadikan sebab baiknya amal hingga dapat diterima amalan tersebut dan
diampuni dosa-dosa pelakunya. (QS. Al-Ahzab : 70-71) 11. Taqwa menjadikan sebab teraihnya ilmu. (QS. Al-Baqarah : 282) 12. Taqwa menyebabkan diperolehnya kebaikan. (QS. Thaha : 132) 13. Taqwa menyebabkan orang terhindar dari sifat dzalim dan aniaya dalam masalah
wasiat. (QS. Al-Baqarah : 180) 14. Taqwa menyebabkan diberikannya mut’ah (pemberian) nafaqoh kepada wanita-wanita yang
diceraikannya. (QS. Al-Baqarah : 241) 15. Taqwa menyebabkan turunnya hidayah. (QS. Al-Baqarah : 1-2)
Diberikan di akhirat:
1. Mendapat kemuliaan disisi Allah. (QS. AL-Hujurat : 13) 2. Mendapat kemenangan dan keberuntungan (QS. An-Nur :52) 3. Akan selamat dari siksa Allah pada hari kiamat. (QS. Maryam :71-72) 4. Akan diterima segala amal ibadahnya. (QS. Al-Maidah :27) 5. Dengan taqwa seorang yang muttaqin akan mendapat warisan jannah. (QS. Maryam : 63) 6. Dengan taqwa mereka akan dimuliakan dan diangkat derajatnya pada hari kiamat lebih
tinggi dari orang-orang kafir. (QS. Al-Baqarah : 212) 7. Dengan taqwa akan dihapus semua kejelekan dan diampuni seluruh tindakan dosa. (QS. At-
Thalaq : 5) 8. Dengan taqwa akan mendapatkan segala kenikmatan dan kesenangan di Al-Jannah. (QS. An-
Nahl : 31) 9. Dengan taqwa surge akan selalu dekat dengan mereka. (QS. Asy-Syu’ara :90) 10. Taqwa menjadi pembeda antara orang-orang taqwa dengan orang-orang kafir. (QS. Shad
:28) 11. Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa baginya pahala dan kebaikan yang berlipat
ganda. (QS. Al-Hadid : 28)
12. Baginya berita gembira dalam kehidupan akhirat tanpa adanya keresahan atau kesusahan dan akan berjumpa dengan malaikat. (QS. Yunus : 24-26 dan QS. Al-Anbiya’ : 103)
13. Dengan taqwa akan mendapatkan naungandari pohon-pohon syurga dengan segala kenikmatannya. (QS. Al-Mursalat : 41-43)
14. Semua sahabat dekat (ketika didunia) akan berbalik menjadi musuh bagi sebagian yang lain pada hari kiamat, kecuali orang-orang yang bertaqwa. (QS. Az-Zukhruf :67)
15. Dengan taqwa tidak aka nada rasa hawatir, takut, berduka cita dan mereka tidak akan mendapat kejelekan di hari kiamat. (QS. Yunus :62-63)
TAQWA
Oleh
Syaikh Dr Fadhl Ilahi
Termasuk sebab turun rizki ialah taqwa. Saya akan membicarakan masalah ini –dgn
memohon taufiq dari Allah- dalam dua bahasan.
Pertama : Makna Taqwa
Kedua : Dalil Syar’i Bahwa Taqwa Termasuk Kunci Rizki
Pertama : Makna Taqwa
Para ulama rahimahullah telah mejelaskan apa yg dimaksud dgn taqwa. Di antaranya, Imam
Ar-Raghib Al-Asfahani mendenifisikan : “Taqwa yaitu menjaga jiwa dari peruntukan
yg memuntuk berdosa, dan itu dgn meninggalkan apa yg dilarang, dan menjadi sempurna dgn
meninggalkan sebagian yg dihalalkan― [Al-Mufradat Fi Gharibil Qur’an,
hal 531]
Sedangkan Imam An-Nawawi mendenifisikan taqwa dgn “Menta’ati
perintah dan laranganNya―. Maksud menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah
Subhanahu wa Ta’ala [Tahriru AlFazhil Tanbih, hal 322]. Hal itu sebagaimana
didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani “ Taqwa yaitu menjaga diri dari siksa Allah dgn
menta’atiNya. Yakni menjaga diri dari pekerjaan yg mengakibatkan siksa, baik dgn
melakukan peruntukan atau meninggalkannya� [Kitabut Ta’rifat, hl.68]
Karena itu siapa yg tdk menjaga diri dari peruntukan dosa, berarti dia bukanlah orang yg
bertaqwa. Maka orang yg melihat dgn kedua mata apa yg diharamkan Allah, atau
mendengarkan dgn kedua telinga apa yg dimurkai Allah, atau mengambil dgn kedua tangan
apa yg tdk diridhai Allah, atau berjalan ke tempat yg dikutuk Allah, berarti ia tdk menjaga
diri dari dosa.
Jadi, orang yg membangkang perintah Allah serta melakukan apa yg dilarangNya, dia bukan
termasuk orang-orang yg bertaqwa
Orang yg menceburkan diri kedalam maksiat sehingga ia pantas mendpt murka dan siksa dari
Allah, maka ia telah mengelurakan diri dari barisan orang-orang yg bertaqwa.
Kedua : Dalil Syar’i, Bahwa Taqwa Termasuk Kunci Rizki
Beberapa nash yg menunjukkan bahwa taqwa termasuk di antara sebab rizki, di antaranya.
[1]. Firman Allah
“Arti : Barangsiapa bertaqwa kpd Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar
bagi dan memberi rizki dari arah yg tdk disangka-sangka― [At-Thalaq : 2-3]
Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa orang yg merelaisasikan taqwa akan dibalas
Allah dgn dua hal.
Pertama.
“Allah akan mengadakan jalan keluar baginya― Artinya, Allah akan
menyelamatkan –sebagaimana di katakana Ibnu Abbas Radhiyallahu
‘anhuma- dari setiap kesusahan dunia maupun akhirat. [Lihat Tafsir Al-Qurthubi,
18/159, Ar-Rabi’ bin Khutsaim berkata : “Dia memberi jalan keluar dari
setiap apa yg menyesakkan manusia― (Zadul Masir, 8/291-292 ; Lihat pula, Tafsir
Al-Baghawi, 4/357 dan Tafsir Al-Khazin, 7/108]
Kedua.
“Allah akan memberik rizki dari arah yg tdk disangka-sangka―. Artinya,
Allah akan memberi rizki yg tak pernah ia harapkan dan angankan. [Lihat, Zaadul Masir,
8/291-292]
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsir mengatakan :―Maknanya, barangsiapa yg
bertaqwa kpd Allah dgn melakukan apa yg diperintahkanNya dan meninggalkan apa yg
dilarangNya, niscaya Allah akan memberi jalan keluar serta rizki dari arah yg tdk disangka-
sangka, yakni dari arah yg tdk pernah terlintas dalam benaknya― [Tafsir Ibnu Katsir,
4/400]
Alangkah agung dan besar buah taqwa itu ! Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu berkata : “Sesungguh ayat terbesar dalam hal pemberian janji keluar
ialah.
“Arti : Barangsiapa bertaqwa kpd Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar
baginya� [Tafsir Ibnu Katsir, 4/400. Lihat pula, Tafsir Ibnu Mas’ud, 2/651]
[2]. Ayat Lain Adalah Firman Allah
Arti : Jikalau sekira penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kpd mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat
Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan peruntukan mereka sendiri― [Al-
A’raf : 96]
Dalam ayat yg mulia ini Allah menjelaskan, seandai penduduk negeri-negeri merealisasikan
dua hal, yakni ; iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan kebaikan (kekayaan) untuk
mereka dan memudahkan mereka mendptkan dari segala arah.
Menafsirkan firman Allah.
“Arti : Pastilah Kami akan melimpahkan kpd mereka berkah dari langit dan bumi,
Abdullah bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma mengatakan : “Niscaya Kami
lapangkan kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan Kami mudahkan bagi mereka untuk
mendptkan dari segala arah― [Tafsir Abi As-Su’ud, 3/253]
Janji Allah yg terdpt dalam ayat yg mulia tersebut terhadap orang-orang beriman dan
bertaqwa mengandung beberapa hal, di antara :
[a] Janji Allah untuk membuka “baarakata― (keberkahan) bagi mereka.
“al-baarakata� ialah bentuk jama’ dari “al-
barakat―. Imam Al-Baghawi berkata, “Ia berarti mengerjakan sesuatu secara
terus menerus [Tafsir Al-Baghawi, 2/183]. Atau seperti Imam Al-Khazin, “Tetap
suatu kebaikan Tuhan atas sesuatu― [Tafsir Al-Khazin, 2/266]
Jadi, yg dpt disimpulkan dari makna kalimat “al-barakat― ialah bahwa apa
yg diberikan Allah disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan mereka ialah kebaikan yg terus
menerus, tdk ada keburukan atau konsekuensi apapun atas mereka sesudahnya.
Tentang hal ini, Sayid Muhammad Rasyid Ridha berkata : “Adapun orang-orang yg
beriman maka apa yg dibukakan untuk mereka ialah berupa berkah dan kenikmatan. Dan
untuk hal itu, mereka senantiasa bersyukur kpd Allah, ridha terhadapNya dan mengharapkan
karuaniaNya. Lalu mereka menggnkan di jalan kebaikan, bukan jalan keburukan, untuk
perbaikan bukan untuk merusak. Sehingga balasan bagi mereka dari Allah ialah ditambah
berbagai kenikmatan di dunia dan pahala yg baik di akhirat― [Tafsir Al-Manar, 9/25]
Syaikh Ibnu Asyur mengungkapkan hal itu dgn ucapan : Makna “al-
barakat― ialah kebaikan yg murni yg tdk ada konsekuensi di akhirat. Dan ia ialah
sebaik-baik jenis nikmat― [Tafsir At-Tahrir wa Tanwir, 9/22]
[b] Kata berkah disebutkan dalam bentuk jama’ sebagaimana firman Allah.
“Arti : Pastilah Kami akan melimpahkan kpd mereka berbagai berkah―.
Ayat ini, sebagaimana disebutkan Syaikh Ibnu Asyur untuk menunjukkan banyak berkah
sesuai dgn banyak sesuatu yg diberkahi. [Op. cit, 9/22]
[c] Allah Berfirman.
“Arti : Berbagai keberkahan dari langit dan bumi―. Menurut Imam Ar-Razi,
maksud ialah keberkahan langit dgn turun hujan, keberkahan bumi dgn tumbuh berbagai
tanaman dan buah-buahan, banyak hewan ternak dan gembalaan serta diperoleh keamanan
dan keselamatan. Hal ini krn langit ialah laksana ayah, dan bumi laksana ibu. Dari kedua
diperoleh semua bentuk manfaat dan kebaikan berdasarkan penciptaan dan pengurusan Allah.
[At-Tafsirul Kabir, 12/185. Lihat pula, Tafsirul Khazin 2/266 dan Tafsir At-Tahrir wa
Tanwir, 9/22]
[3]. Ayat Lain Adalah Firman Allah.
“Arti : Dan sekira mereka sunguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan
(Al-Qur’an) yg diturunkan kpd mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendpt
makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yg
pertengahan. Dan alangkah buruk apa yg dikerjakan oleh kebanyakan mereka― [Al-
Ma’idah : 66]
Allah Tabaraka wa Ta’ala mengabarkan tentang Ahli Kitab, ‘Bahwa
seandai mereka mengamalkan apa yg ada di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an
–demikian seperti dikatakan oleh Abdullah bin Abbas Radhhiyallahu anhuma dalam
menafsirkan ayat tersebut- [1], niscaya Allah memperbanyak rizki yg diturunkan kpd mereka
dari langit dan yg tumbuh untuk mereka dari bumi. [2]
Syaikh Yahya bin Umar Al-Andalusi berkata : “Allah menghendaki
–wallahu a‘lam- bahwa seandai mereka mengamalkan apa yg diturunkan di
dalam Taurat, Injil dan Al-Qur’an, niscaya mereka memakan dari atas dan dari
bawah kaki mereka. Makna –wallahu a’lam- niscaya mereka diberi
kelapangan dan kesempurnaan nikmat dunia― [Kitabun Nazhar wal Ahkam fi
Jami’i Ahwalis Suuq, hal 41]
Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Dan sejenis dgn ayat
ini ialah firman Allah.
“Arti : Barangsiapa bertawa kpd Allah, niscaya Dia akan mengadakan bagi jalan
keluar dan memberi rizki dari arah yg tiada disangka-sangkanya― [At-Thalaq : 2]
“Arti : Dan bahwasa jika mereka tetap berjalan di atas jalan itu (agama Islam), banar-
benar Kami akan memberi minum kpd mereka air yg segar (rizki yg banyak)― [Al-
Jin : 16]
“Arti : Jikalau sekira penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kpd mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi― [Al-
A’raf : 96]
Sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat di atas, Allah menjadikan ketaqwaan di antara
sebab-sebab rizki dan menjanjikan untuk menambah bagi orang yg bersyukur, Allah
berfirman.
“Arti : Jika kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmatKu atasmu―
[Ibrahim : 7] [Tafsir Al-Qurthubi, 6/241]
Karena itu, setiap orang yg menginginkan keleluasaan rizki dan kemakmuran hidup, hendak
ia menjaga diri dari segala dosa. Hendak ia menta’ati perintah-perintah Allah dan
menjauhi larangan-laranganNya. Juga hendak ia menjaga diri dari yg menyebabkan berhak
mendpt siksa, seperti melakukan kemungkaran atau meninggalkan kebaikan.
[Disalin dari buku Mafatiihur Rizq fi Dhau’il Kitab was Sunnah, edisi Indonesia
Kunci-Kunci Rizki Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah hal 19-27, Penerjemah Ainul
Haris Arifin, Lc. Darul Haq]
_________
Foote Note.
[1] Lihat Tafsir Ath-Thabari 10/463, Al-Muharrar Al-Wajiz 5/152-153, Zadul Maasir 2/395
dan Tafsir Ibnu Katsir 2/86]
[2] Lihat tafsir Ibnu Katsir 2/86, dan Fathul Qadir yg didalam dikatakan,
“Penyebutan dari atas dan dari bawah (dalam ayat tersebut) ialah untuk menunjukkan
puncak kemudahan sebab-sebab rizki bagi mereka, juga untuk menunjukkan banyak dan
keaneka ragaman jenisnya― 2/85, juga Tafsir At-Tahrir at Tanwir yg didalam
disebutkan, Maksudnya, niscaya mereka diberi rizki dari semua jalan―4/254
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=934&bagian=0
Sumber Taqwa : http://alsofwah.or.id
Pengertian Takwa
Artikel Dari: Portal Komuniti :: Ukhwah.com
http://www.ukhwah.com/
Tarikh: Selasa, 13 April 2004 @ 0:15:27
Topik: Tazkirah
Hamka mengatakan dalam taqwa terkandung cinta, kasih, harap, cemas, tawakal, ridha, sabar dan
sebagainya. Rasulullah pernah bertanya kepada Abu Hurairah :" Pernahkah engkau bertemu jalan
yang berduri ? Bagaimana tindakanmu pada waktu itu ?" Sahabat tersebut menjawab "Apabila aku
melihat duri. Aku menghindar ke tempat yang tidak berduri atau aku langkahi, atau aku mundur".
Rasulullah pun bersabda :"Itulah taqwa".
Untuk lebih jelas pengertian taqwa terutama aplikasinya dalam kehidupan, sebuah hadits dalam
shahih Muslim meriwayatkan sebagai berikut : Sahabat Jabir . a telah berkata :
"Pada suatu hari kami berada di sisi Rasulullah. Tiba-tiba datang sekelompok orang yang tidak
berpakaian layak dan kelihatan kotor, serta menenteng senjata. Kebanyakan mereka dari Bani
Mudhar, bahkan dapat dikatakan hampir seluruhnya dari Bani Mudhar. Wajah Rasulullah kelihatan
sangat prihatin menyaksikan penderitaan dan kefakiran yang menimpa orang-orang tersebut. Lalu
Rasulullah saw keluar! ! ! dan memerintahkan kepada Bilal untuk mengumandangkan adzan. Sesaat
kemudian shalatpun didirikan. Setelah selesai, Rasulullah menyampaikan khutbah: "Wahai umat
manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan
daripadanya Allah menciptakan istrinya. Dan daripada keduanya Allah memperkembang-biakkan
laki-laki dan perempuan yang banyak. "Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan mempergunakan
namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (QS An Nisaa' : 1).
"Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari depan." (QS Al Hasyr : 17)
Mendengar khutbah Rasulullah, banyak diantara para sahabat yang kemudian memberikan sedekah.
Ada yang memberikan uang dirham dan dinarnya, ada yang bersedekah baju, gandum, kurma,
bahkan ada yang memberikan separuh buah kurma! ! ! dan ada seorang Anshar yang membawa
sekarung bahan makanan sampai dia tak kuat mengangkatnya. Dan akhirnya banyak orang yang
berdatangan memberikan sedekah untuk membantu penderitaan kawannya dari Bani Mudhar,
sehingga Rasulullah merasa kewalahan. Lalu Rasulullah bersabda "Barangsiapa membuat sunnah
hasanah (perilaku yang baik) di dalam Islam, maka dia akan mendapatkan pahalanya dan pahala
orang-orang yang mengikuti jejaknya tanpa harus mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan
barangsiapa membuat sunnah sayiah (perilaku buruk) di dalam Islam, maka dia akan menanggung
dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti jejaknya tanpa harus mengurangi dosa mereka
sedikitpun."
Rasulullah pernah ditanya: "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang cerdas ?" "Orang yang berfikir
(menggunakan akalnya)" Jawab Nabi "Lalu siapakah yang baik ibadahnya?" tanya mereka. "Orang
yang berfikir(menggunakan akalnya)" Jawab Nabi. "Lalu siapakah yang paling utama ?" tanya mereka
selanjutnya. "Orang! ! ! yang selalu berfikir (menggunakan akalnya)" Jawab Nabi kembali. Mereka
berkata : "Wahai Rasulullah, bukankah orang yang berfikir itu sempurna akhlaknya, baik tutur
katanya, pemurah tangannya dan tinggi kedudukannya?" Nabi saw menjawab :"Semua itu faktor
penyebab kepuasan di dunia, sedangkan di akhirat yang di sisi Tuhan itu hanya bagi orang yang
bertaqwa, orang berfikir (menggunakan akalnya) itulah orang yang bertaqwa, sekalipun kelihatannya
rendah hidupnya di dunia."
Semoga dengan memahami makna kata taqwa dan penjelasan serta aplikasinya yang diuraikan pada
dua hadits diatas, insya Allah kita akan mampu dan berusaha untuk mencapai derajat muttaqiin.
Badan Dakwah Islamiyah Devon Nana Djumhana
Ciri Pribadi Taqwa
Thursday, 8 April 2010 11:12 | al qur'an, Analisis | 2 Comments | Read 1609 Times
Allah SWT menurunkan Al-quran sebagai Mu‟jizat yang luar biasa untuk kekasihnya: Nabi
Muhammad SAW, melalui perantara Malaikat Jibril dalam kurun waktu lebih kurang selama
23 Tahun. Al-Quran terdiri dari 114 surat, 6666 ayat (berdasarkan perhitungan mayoritas
ulama, karena ada perbedaan versi [antara perhitungan ulama Syiria, Madinah ataupun
Bashrah]tentang jumlah ayat dalam Al-Quran yang terdiri dari 30 juz ini), di awali dari
Ummu al-Kitab (Al-Fatihah) dan di tutup dengan surat An-Naas. Al-Baqarah sebagai surat
kedua, di awal ayat dengan jelas Allah SWT memberikan definisi bahwa Inilah Kitab (Al-
Quran), kita di perintahkan untuk tidak memiliki rasa ragu atau tidak percaya kepada isi dan
kandungan al-Quran, Kenapa? Karena Al-quran tidak di turunkan melainkan sebagai
petunjuk untuk orang-orang yang bertakwa.
Kata Petunjuk kalau dalam bahasa arabnya adalah diambil dari lafadz hudan, dimana kata
hudan ini, masih seakar kata dengan kata hadiah, bermakna; Al-Quran adalah kitab suci yang
diberikan dengan penuh cinta dan rasa kasih sayang, hal ini masih sejalan dengan konsep
hadiah, apabila seseorang memberikan suatu hadiah untuk kawan dekat, saudara, atau kekasih
tercinta, pasti dia akan mengemas secantik mungkin, di balut dengan kertas dan berbagai
aksesoris lainnya, dan disaat memberikan hadiah tersebut tanpa adanya suatu unsur paksaan,
melainkan diberikan dengan penuh rasa suka cita, hati damai dan tanpa mengharap imbalan
apapun, begitulah sejatinya Allah menurunkan Al-Quran kepada kita sebagai petunjuk
(baca:hadiah) untuk orang-orang yang bertaqwa.
Definisi taqwa yang sering di jelaskan oleh para ulama adalah Imtisal al-awaamir Wajtinabu
al-Nawahi (melaksanakan apa yang diperintahkan Allah, dan menjauhi segala larangan-Nya).
Seperti yang diungkapkan oleh Imam Hasan Al-Bashri bahwa taqwa adalah takut dan
menghindari apa yang diharamkan Allah, serta menunaikan apa yang diwajibkan-Nya. Ibnu
Qayyim al-Jauziyah mengartikan taqwa dapat di raih oleh orang-orang yang mampu
menjadikan tabir penjaga antara dirinya dan neraka. Pandangan ini secara tidak langsung
menyatakan bahwa orang yang bertaqwa tahu hal-hal apa sajakah yang menyebabkan Allah
murka dan menghukumnya kelak di neraka.
Konsep taqwa kalau dalam surat Ath-Thalaq, selama ini hanya dijelaskan seputar imbalan
akan diberikan jalan keluar (solusi) dalam segala problematika kehidupan, serta akan
didatangkannya rezeki dari jalan yang tidak kita sangka, padahal pada ayat selanjutnya masih
ada 3 point yang dengan tegas di jelaskan, bahwa orang-orang yang bertaqwa selain akan
mendapatkan 2 point di atas, Allah SWT juga akan menjadikan segala urusan kehidupannya
menjadi lebih mudah dalam melaluinya, akan dihapuskan segala kekhilafan(perbuatan
buruknya), dan meraka akan selalu di lipat gandakan pahalanya dalam setiap amaliyah sholih
yang dilakukannya. Begitu mulianya orang-orang yang bertaqwa dalam pandangan sang
penguasa alam raya ini.
Rasulullah SAW suatu ketika pernah menasehati Sayyidina Ali Ibnu Abi Thalib, wahai Ali:
Shalatlah apabila telah tiba waktunya karena itu akan menunjukkan engkau sebagai pribadi
yang bertaqwa. Nasehat ini kalau dalam surat An-Nisa sudah di jelaskan bahwa
Sesungguhnya Shalat ada pada diri orang-orang yang beriman, dan telah di tetapkan
waktunya. Maka wajar kalau baginda Rasulullah SAW dalam beberapa riwayat di katakan,
suatu masa beliau sedang berasyik-masyuk, bersenda gurau dengan para istrinya, tetapi
apabila tiba waktu shalat (adzan), Kaannahu Lam Ya‟rifna Walam Na‟rifhu: seakan-akan
rasul tidak mengenal kami (para istri), dan kami pun tidak mengenalnya (rasul), beliau
langsung menuju masjid untuk memenuhi panggilan-Nya, dan para istrinya pun langsung ikut
berjamaah. Demikian dijaganya arti shalat jamaah oleh rasul dan keluarganya.
Besok di akhirat, ada 3 golongan manusia yang berbeda di dalam menjaga shalat jamaah
waktu di dunia:
1. Wujuuhuhum Ka al-Kawakib (Wajah seperti bintang)
Kelompok ini adalah mereka yang apabila mendengar adzan (panggilan shalat), mereka tidak
melanjutkan aktivitasnya melainkan segera mengambil air wudlu‟ untuk melaksanakan
shalat.
2. Wujuuhuhum Ka al-Qamar (Wajah seperti bulan)
Golongan ini bisa dicapai kepada mereka yang selalu dalam keadaan suci, walaupun belum
ada panggilan shalat(adzan).
3. Wujuuhuhum Ka al-Syams (Wajah seperti Matahari)
Golongan eksekutif yang dapat merasakan kenikmatan ini, karena mereka selalu dalam
keadaan suci, dan sudah duduk I‟tikaf di dalam masjid walaupun adzan belum
berkumandang.
Inilah beberapa tauladan yang dapat mengangkat martabat kita sebagai pribadi yang
bertaqwa, yang mampu menjaga dan memelihara suatu hadiah (baca: pesan moral dalam Al-
Quran) dari Tuhan-Nya, sehingga menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Sudah sejauh
manakah kita dalam mengaplikasikan hadiah indah dari Allah ta‟ala???
Sholli „Ala Muhammad Wa Aalihi