Post on 15-Oct-2021
1
LAPORN AKHIR PENELITIAN :
PENGEMBANGAN SISTEM MANAJEMEN MUTU PADAUMKM AGROINDUSTRI IKAN DI PROVINSI BALI
Didanai oleh Dana DIPA PNBP Fakultas Teknologi Pertanian, UNUD.Nomor Kontrak : 822/C/UN14.1.26/HK00.04.03/2014, tanggal 13 Mei 2014
Oleh
Tim Peneliti :Dr. Ir. I Wayan Widia, MSIE
Ir. I G N Apriadi Aviantara, MTNi Luh Yulianti, S.TP, M.Si
JURUSAN TEKNIK PERTANIANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA2014
2
3
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penanggulangan beragam masalah yang menjadi penyebab bahaya keamanan
pangan terkait dengan aktivitas penanganan ikan dimulai dari kegiatan penangkapan
ikan hingga sampai konsumen akhir. Berdasarkan hal tersebut maka jaminan terhadap
keamanan pangan produk agroindustri ikan yang baik perlu dilakukan melalui
penerapan sistem yang memadai secara efektif pada rantai pasok agroindustri ikan.
Sistem keamanan pangan pada agroinsudtri ikan meliputi Good Manufacturing
Practices (GMP), Standard Sanitation Operational Procedure (SSOP) dan Hazard
Analysis and Critical Control point (HACCP) (Palacios, 2001).
Untuk perdagangan komoditas atau produk ikan domestik, ikan hasil
tangkapan nelayan langsung dipasok pada distributor untuk memenuhi permintaan
ikan segar atau dipasok untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan ikan primer
maupun sekunder. Produk industri pengolahan ikan kemudian didistribusikan melalui
distributor ikan yang akan memasarkannya pada pasar eceran seperti supermarket
atau pasar ikan serta penyedia jasa makanan seperti restoran dan hotel.
Mutu dan keamanan pangan tidak dapat dipisahkan ketika berbicara tentang
produk perikanan. Hal ini didasari oleh fakta bahwa ikan termasuk produk pangan
yang sangat mudah rusak (perishable food), sehingga upaya-upaya untuk
mempertahankan mutu dan keamanannya menjadi hal yang harus diperhatikan.
Bahan pangan seperti ikan dan produknya disyaratkan untuk memenuhi berbagai
4
ketentuan-ketentuan sebelum dikonsumsi (Poernomo, 2007). Peran para supplier ikan
tuna menjadi sangat penting untuk mempertahankan keamanan dari ikan tuna
tersebut. Terutama untuk industri pangan hal yang harus dan wajib dilakukan oleh
pemilik usaha adalah dengan memperhatikan keamanan dari produk pangan agar
nantinya produk yang dihasilkan dapat diterima dengan kualitas superior.
1.2 PERUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaiamakah gambaran umum tentang profil Unit Pengolahan Ikan (UPI) di
Provinsi Bali
2. Potensi bahaya apa sajakah bisa terdapat pada Unit Pengolahan Ikan (UPI)
penghasil ikan pindang
3. Sejauhmanakah tingkat kesesuaian antara situasi dan kondisi aktual dengan
yang diharapkan dalam penerapan Program Manajamen Mutu Terpadu
(PMMT) pada Unit Pengolahan Ikan penghasil Ikan Pindang
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Gambaran umum tentang profil Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Provinsi
Bali
2. Potensi bahaya yang bisa terdapat pada Unit Pengolahan Ikan (UPI)
penghasil ikan pindang
5
3. Prioritas perbaikan penerapan Program Manajamen Mutu Terpadu (PMMT)
pada Unit Pengolahan Ikan penghasil Ikan Pindang
1.4 MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat berupa :
1. Informasi tentang pentingnya program pendampingan dalam rangka
meningkatkan keberhersilan penerapan Program Manajamen Mutu Terpadu
pada UPI penghasil ikan pindang skala UMKM
2. Rekomendasi tentang perbaikan standar minimal prosedur penanganan, dan
pengolahan ikan
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Manajemen Mutu Terpadu (MMT)
Manajemen Mutu Terpadu (MMT) atau yang dikenal juga dengan sebutan
Total Quality Management (TQM) merupakan suatu sistem nilai yang mendasar dan
komperhensip dalam mengelola organisai dengan tujuan meningkatkan kinerja secara
berkelanjutan dalam jangka panjang dengan memberikan perhatian secara khusus
pada tercapainya kepuasan pelanggan dengan tetap memperhatikan secara memadai
terhadap terpenuhinya kebutuhan seluruh stakeholders organisasi yang bersangkutan.
Masalah kualitas dalam MMT menuntut adanya keterlibatan dan tanggung jawab
semua pihak dalam organisasi.
Pendekatan MMT bukan bersifat parsial melainkan komperhensip dengan
melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap produk yang dihasilkan.
Masalah kualitas tidak lagi dimaknai dan dipandang hanya sebagai masalah teknis,
tetapi lebih berorientasi pada terwujudnya kepuasan konsumen atau pelanggan.
Karena itu dalam pendekatan MMT tidak saja melibatkan faktor fisik dan faktor non
fisik, namun juga menyangkut budaya organisasi, gaya kepemimpinan dan pengikut.
Keterpaduan keseluruhan faktor ini akan menjadikan kualitas pelayanan menjadi
lebih meningkat dan bermakna.
Manajemen Mutu Terpadu (MMT) dapat juga diartikan sebagai perpaduan
semua fungsi dari organisasi ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan
konsep kualitas, teamwork, produktivitas, dan pengertian serta kepuasan pelanggan.
Menurut Juran dan Ishikawa, MMT adalah upaya organisasi menilai kembali cara-
7
cara, kebiasaan, praktik, dan aktivitas yang ada dan kemudian secara inovatif
memfungsikan seluruh sumber dayanya kedalam proses lintas fungsi yang mengabdi
pada kepentingan klien, sehingga organisasi mampu mencapai visi dan misinya.
Pendapat lain dari pakar manajemen mutu menyatakan bahwa MMT
merupakan aktivitas yang berusaha untuk mengoptimalkan daya saing organisasi
melalui perbaikan yang terus menerus atas produk, jasa, manusia, proses, dan
llingkungannya. Sementara itu, pakar yang lain juga menyatakan bahwa MMT
merupakan sistem manajemen yang mengangkat kualitas sebagai strategi usaha dan
berorientasi pada kepuasan pelanggan dengan melibatkan seluruh anggota organisasi.
2.2 Prinsip Umum Manajamen Mutu Terpadu (MMT)
Menurut Dean sebagaimana dikutip oleh Ali Djamhuri (2001:8) prinsip umum
Manajemen Mutu Terpadu meliputi:
1. Organisai yang memfokuskan pada ketercapaian kepuasan pelanggan
Organisai dalam hal ini manajemen harus dapat mengoptimalkan seluruh
potensi dan sumber daya organisai dan sistem yang ada untuk menciptakan aktivitas
terhadap tercapainya kepuasan pelanggan. Tercapainya kepuasan pelanggan meliputi
seluruh stakeholders, baik yang berada didalam organisasi maupun di luar
organisasi. Harapan stakeholders harus diletakkan pada posisi dan perspektif yang
dinamis dan berjangka panjang. Oleh karenanya harapan tersebut menjadi kewajiban
organisasi untuk memenuhinya dalam rangka kepuasan pelanggan, yang
berkelanjutan dan ke massa depan.
8
2. Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan proses untuk mempengaruhi pihak lain untuk
mencapai tujuan organisasi. Oleh karenanya pemimpin harus memiliki visi dan misi
yang jelas, sehingga keduanya dapat dituangkan dalam kebijakan yang akan diambil.
3. Keterlibatan seluruh partisipan organisasi
Seluruh komponen di dalam suatu organisasi harus dilibatkan. Artinya seluruh
sitivitas organisasi harus selalu berusaha untuk melakukan perbaikan secara terus
menerus. Perbaikan bukan hanya dari pihak kepala sekolah, guru, tenaga
administrasi, tetapi semua sivitas sekolah harus memiliki komitmen untuk melakukan
perbaikan. Dengan kata lain semua sivitas sekolah harus dilibatkan dalam upaya
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada para pelanggan.
4. Pendekatan yang menekankan pada perbaikan proses
Kurangnya dukungan sistem informasi dan alat ukur keberhasilan MMT
berasumsi bahwa output akhir suatu organisasi tidak semata-mata dilihat secara
parsial, tetapi suatu proses yang panjang. Proses tersebut dilakukan secara sadar oleh
setiap individu. Kegiatan tersebut juga dilakukan saling terkait satu dengan lainnya
sehingga menghasilkan output organisasi. Jelassnya tamatan atau lulusan bukan
semata-mata produk tenaga akademik, atau karyawan saja., tetapi menyangkut proses
yang melibatkan tenaga akademik, karyawan, kepala sekolah, murid, orang tua,
pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat luas, yang tentu saja proporsinya berbeda
satu sama lainnya.
5. Penerapan manajemen dengan menggunakan pendekatan sistem
9
Dalam konteks organisasi, upaya menyempurnakan proses tertentu harus
dikaitkan dengan proses lainnya. Oleh karena pihak-pihak yang terkait dengan proses
tersebut merupakan tangkaian yang tidak dapat dipisahkan. Tuntutan peningkatan
kualitas pembelajaran tidak dapat dilakukan oleh tenaga pengajar semata, tetapi harus
pula melibatkan aspek ketatausahaan, kepemimpinan, fassilitas, dan penciptssn
organisasi yang optimal atau mendukung.
6. Langkah perbaikan yang dilakukan secara terus menerus
Inti perbaikan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan adalah
adanya human resources empowerment baik bagi tenaga edukatif maupun
administratif. Realitas menunjukkan belum seluruhnya pemimpin organisasi
menyadari arti pentingnya pemberdayaan tenaga akademik dan administratif. Para
pimpinan sering lebih mementingkan pengembangan fasilitas atau pegembangan
fasilitas. Hal ini ditunjukkan oleh adanya anggaran pendidikan dan pelatihan untuk
kedua tenaga tersebut tidak setidak-tidaknya kurang berimbang dibandingkan dengan
anggaran pembangunan fisik.
7. Penerapan pengembilan keputusan didasarkan fakta
Manajemen Mutu Terpadu (MMT) berdasarkan pada kepuasan pelanggan.
Oleh karenanya maka orientasi MMT harus mendasarkan pada fakta yang diinginkan
oleh pelanggan. Pada sisi lain kepuasan berkaitan dengan kualitas. Implikasinya
kualitas kepuasan tersebut harus dapat diukur dan dapat dilakukan monitoring setiap
saat. Dengan demikian, pemimpin organisasi harus dapat menciptakan dan
mengembangkan alat ukur sebagai keberhasilan suatu lembaga.
10
8. Hubungan dengan supplier yang saling menguntungkan
MMT juga diasumsikan sebagai suatu filosofi manajemen yang
melembagakan sumber daya yang ada, terencana, berkesinambungan dan
mengasumsikan peningkatan kualitas dari hasil semua aktivitas yang terjadi dalam
organisasi: bahwa semua fungsi manajemen yang ada dan semua tenaga untuk
berpartisipasi dalam proses perbaikan.
2.3 Pengertian HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point)
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem kontrol
dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-
titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi. HACCP merupakan salah
satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan
pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat
memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen.
Tujuan dari penerapan HACCP dalam suatu industri pangan adalah untuk
mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu pangan
guna memenuhi tututan konsumen. HACCP bersifat sebagai sistem pengendalian
mutu sejak bahan baku dipersiapkan sampai produk akhir diproduksi masal dan
didistribusikan. Oleh karena itu dengan diterapkannya sistem HACCP akan
mencegah resiko komplain karena adanya bahaya pada suatu produk pangan. Selain
itu, HACCP juga dapat berfungsi sebagai promosi perdagangan di era pasar global
yang memiliki daya saing kompetitif.
11
Pada beberapa negara penerapan HACCP ini bersifat sukarela dan banyak
industri pangan yang telah menerapkannya. Disamping karena meningkatnya
kesadaran masyarakat baik produsen dan konsumen dalam negeri akan keamanan
pangan, penerapan HACCP di industri pangan banyak dipicu oleh permintaan
konsumen terutama dari negara pengimpor.
Penerapan HACCP dalam industri pangan memerlukan komitmen yang tinggi
dari pihak manajemen perusahaan yang bersangkutan. Disamping itu, agar penerapan
HACCP ini sukses maka perusahaan perlu memenuhi prasyarat dasar industri pangan
yaitu, telah diterapkannya Good Manufacturing Practices (GMP) dan Standard
Sanitation Operational Procedure (SSOP). Beberapa keuntungan yang dapat
diperoleh suatu industri pangan dengan penerapan sistem HACCP antara lain
meningkatkan keamanan pangan pada produk makanan yang dihasilkan,
meningkatkan kepuasan konsumen sehingga keluhan konsumen akan berkurang,
memperbaiki fungsi pengendalian, mengubah pendekatan pengujian akhir yang
bersifat retrospektif kepada pendekatan jaminan mutu yang bersifat preventif , dan
mengurangi limbah dan kerusakan produk atau waste .
Sistem HACCP terdiri dari tujuh prinsip, yaitu:
1. Melakukan analisis bahaya.
Segala macam aspek pada mata rantai produksi pangan yang dapat
menyebabkan masalah keamanan pangan harus dianalisa. Bahaya yang dapat
ditimbulkan adalah keberadaan pencemar (kontaminan) biologis, kimiawi, atau fisik
bahan pangan. Selain itu, bahaya lain mencakup pertumbuhan mikrroganisme atau
12
perubahan kimiawi yang tidak dikehendaki selama proses produksi, dan terjadinya
kontaminasi silang pada produk antara, produk jadi, atau lingkungan produksi
2. Menentukan Titik Pengendalian Kritis (Critical Control Point, CCP)
Suatu titik, tahap, atau prosedur dimana bahaya yang berhubungan dengan
pangan dapat dicegah, dieliminasi, atau dikurangi hingga ke titik yang dapat diterima
(diperbolehkan atau titik aman). Terdapat dua titik pengendalian kritis yaitu Titik
Pengendalian Kritis 1 sebagai titik dimana bahaya dapat dihilangkan, dan Titik
Pengendalian Kritis 2 dimana bahaya dapat dikurangi.
3. Menentukan batas kritis
Kriteria yang memisahkan sesuatu yang bisa diterima dengan yang tidak bisa
diterima. Pada setiap titik pengendalian kritis, harus dibuat batas kritis dan kemudian
dilakukan validasi. Kriteria yang umum digunakan dalam menentukan batas kritis
HACCP pangan adalah suhu, pH, waktu, tingkat kelembaban, Aw, ketersediaan
klorin, dan parameter fisik seperti tampilan visual dan tekstur.
4. Membuat suatu sistem pemantauan (monitoring) CCP
Suatu sistem pemantauan (observasi) urutan, operasi, dan pengukuran selama
terjadi aliran makanan. Hal ini termasuk sistem pelacakan operasi dan penentuan
kontrol mana yang mengalami perubahan ketika terjadi penyimpangan. Biasanya,
pemantauan harus menggunakan catatan tertulis.
5. Melakukan tindakan korektif apabila pemantauan mengindikasikan adanyaCCP yang tidak berada di bawah kontrol.
Tindakan korektif spesifik yang diberlakukan pada setiap CCP dalam sistem
HACCP untuk menangani penyimpangan yang terjadi. Tindakan korektif tersebut
13
harus mampu mengendalikan membawa CCP kembali dibawah kendali dan hal ini
termasuk pembuangan produk yang mengalami penyimpangan secara tepat.
6. Menetapkan prosedur verifikasi untuk mengkonfirmasi bahwa sistem HACCPbekerja secara efektif.
Prosedur verifikasi yang dilakukan dapat mencakup peninjauan terhadap
sistem HACCP dan catatannya, peninjauan terhadap penyimpangan dan pengaturan
produk, konfirmasi CCP yang berada dalam pengendalian, serta melakukan
pemeriksaan (audit) metode, prosedur, dan uji. Setelah itu, prosedur verifikasi
dilanjutkan dengan pengambilan sampel secara acak dan menganalisanya. Prosedur
verifikasi diakhiri dengan validasi sistem untuk memastikan sistem sudah memenuhi
semua persyaratan Codex dan memperbaharui sistem apabila terdapat perubahan di
tahap proses atau bahan yang digunakan dalam proses produksi.
7. Melakukan dokumentasi terhadap seluruh prosedur dan catatan yangberhubungan dengan prinsip dan aplikasinya.
Beberapa contoh catatan dan dokumentasi dalam sistem HACCP adalah
analisis bahaya, penetapan CCP, penetapan batas kritis, aktivitas pemantauan CCP,
serta penyimpangan dan tindakan korektif yang berhubungan.
2.4 HACCP sebagai sistem Manajemen Mutu Terpadu (MMT) pada UnitPengolahan Ikan (UPI)
Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, perhatian terhadap
perlindungan konsumen semakin meningkat. Semakin majunya teknologi dan
informatika menyebabkan produk – produk yang ditawarkan menjadi lebih bervariasi
14
baik produk dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini tentu saja bermanfaat bagi
konsumen karena kebutuhannya dapat dipenuhi dengan jumlah dan jenis barang yang
dinginkan. Namun, dapat pula mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan
konsumen tidak seimbang, misalnya pola konsumsi masyarakat Indonesia justru
banyak ditentukan oleh pelaku usaha, dan bukan oleh konsumen sendiri. Melalui
kekuatan promosi, pelaku usaha mampu menciptakan pemahaman kepada konsumen
akan kehebatan suatu produk, bahkan menjadikan konsumen sangat bergantung pada
produk tersebut.
Kejadian-kejadian atau kasus-kasus konsumen tersebut mengesankan bahwa
posisi konsumen Indonesia lemah. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen
ialah rendahnya tingkat kesadaran konsumen tentang hak-haknya. Dalam upaya
pemberdayaan konsumen Indonesia, pemerintah telah menetapkan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang yang
melindungi konsumen ini tidak bermaksud untuk mematikan usaha para pelaku
usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim berusaha yang sehat sehingga melahirkan
perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan usaha yang sehat melalui
penyediaan barang yang berkualitas. Perlindungan konsumen ialah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem
manajemen yang dapat memberikan perlindungan kepada konsumen. Perlindungan
konsumen ini diwujudkan melalui upaya pencegahan terjadinya masalah yang
didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses
produksi. Hal ini dilakukan untuk mengamankan konsumen/permintaan konsumen
15
dengan car mengamati titik – titik kritis mulai dari proses produksi, pengolahan
sampai distribusi hingga sampai ketangan konsumen.
Mengingat pentingnya penerapan prinsip HACCP sebagai sistem manajemen
mutu terpadu pada unit pengolahan ikan (UPI), pemerintah telah menerbitkan
serangkaian regulasi yang mengatur tata niaga ikan dan melaksanakan pembinaan
mutu hasil perikanan, dari mulai produksi, pengolahan hingga distibusi kepada
konsumen untuk menjaga keutuhan kualitas mutu dari produk – produk tersebut.
Untuk itu semua produk – produk perikanan tidak bisa begitu saja beredar di
kalanggan masyarakat, banyak persyaratan yang harus dipenuhi.
Pada pasal 20 UU N. 31 Tahun 2004 Bab IV tantang pengelolaan perikanan
menyebutkan bahwa proses pengolahan ikan/produk perikanan wajib memenuhi
syarat sebagai berikut : adanya kelayakan pengolahan perikanan, adanya sistem
jaminan mutu, dan perlindungan keamanan hasil perikanan. Sistem jaminan mutu dan
keamanan hasil perikanan terdiri dari pengawasan dan pengendalian mutu,
pengembangan dan penerapan persyaratan atau standarisasi bahan baku, sanitasi dan
teknik penanganan serta pengolahan mutu produk, sarana dan prasarana beserta
metode pengujiannya.
Setiap Unit Pengolahan Ikan (UPI) harus mengikuti proses sertifikasi, baik itu
untuk mendapatkan Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) maupun Sertifikat
Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT), sebagaimana tertuang pada Peraturan
menteri kelautan dan perikanan No. Per. 01/MEN/2007. Serifikat Kelayakan
Pengolahan (SKP) merupakan pengakuan atas penerapan Good Manufacturing
Practices (GMP), pemenuhan Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP),
16
Good Hygine Practices (GHP). Sedangkan Sertifikat Penerapan Program
Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) merupakan pengakuan atas penerapan
prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dan terpenuhinya aspek
kesehatan pada produk olahan ikan yang dihasilkan oleh Unit Pengolahan Ikan
(UPI).
2.5 Penerapan PMMT pada UPI penghasil Ikan Pindang
Ikan pindang mudah diperoleh di pasar-pasar tradisonal. Ikan pindang
umumnya mengandung protein tinggi dan pelbagai unsur mineral dan vitamin A,
serta asam lemak omega-3, yang bermanfaat untuk menangkal penyakit degeneratif.
Pemindangan tersebar hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Produsen terbesar
sebanyak 68,43 persen adalah dari pulau Jawa; 15,34 persen di Sumatera; 12,25
persen di Bali dan Nusa Tenggara; 3,39 persen di Sulawesi, dan 0,04 persen di
Kalimantan. Pindang yang cukup terkenal antara lain pindang pekalongan, pindang
kudus, pindang juwana, pindang tuban, dan pindang muncar (Astawan 2004).
Jenis ikan yang biasa dipindang adalah cakalang, tongkol, kembung, bandeng,
cucut, bawal, layang, lemuru, selar, tanjan, lemuru, tawes, gurami, dan lain-lain.
Penambahan garam bermanfaat untuk memperbaiki tekstur ikan agar lebih kompak,
memperbaiki cita rasa, dan memperpanjang daya simpan. Pemindangan
menggunakan garam sebanyak kurang lebih 15 persen dari berat ikan. Penggunaan
garam yang lebih tinggi dapat meningkatkan daya simpan ikan yang lebih lama, tetapi
rasanya menjadi kurang disukai karena terlalu asin, sehingga jumlah yang dapat
dikonsumsi menjadi terbatas.
17
Ikan jenis kecil seperti dari jenis bandeng, dapat langsung dipindang tanpa
disiangi. Ikan jenis besar seperti tongkol dan cakalang, umumnya hanya disiangi isi
perut dan insangnya, sedangkan yang berukuran besar sekali seperti tuna dan cucut,
umumnya dibuat filet sebelum dipindang. Terdapat sedikitnya tiga jenis pindang
berdasarkan proses pemindangannya yaitu: pindang air garam atau cue, pindang
bergaram dan pindang presto.
Kualitas produk ikan pindang yang baik mempunyai ciri-ciri seperti: warna
pindang putih keabu-abuan, permukaan kulit menjadi keset, ikan tidak patah-patah
tetapi dalam keadaan utuh, tidak terlihat adanya lendir bakteri maupun kapang,
flavour yang menunjukkan kesegaran pindang. Adapun persyaratan ikan pindang
yang diproduksi oleh unit pengolahan ikan sesuai standar mutu SNI-01-2717-1992
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Persyaratan Mutu Ikan Pindang SNI 01-2717-1992
Karakteristik Persyaratan MutuPindang Air
GaramPindangGaram
a. Organoleptik- Nilai minimum 7 6- Kapang Negatif Negatifb. Mikrobiologi- TPC per gr maks. 1 x 105 1 x 105- Escherichia coli MPN per gram
maks.3 CFU 3 CFU
- Salmonella *) Negatif Negatif- Staphyloccocus aureus *) 1 x 103 1x 103c. Kimia 70 70- Air, % Bobot/bobot maks. 10 10
18
Pengolahan ikan pindang secara tradisional merupakan gabungan dari
penggaraman dan perebusan sehingga memberikan rasa yang khas. Pada Tabel 2
disajikan contoh diskripsi ikan pindang.
Tabel 2. Diskripsi Ikan Pindang
Nama produk Ikan pindangKomposisi Ikan kembungPengemasan primer Keranjang bambuPengemasan sekunder Kardus/rak plastikMetoda pengawetan PenggaramanKondisi penyimpanan Suhu ruangCara distribusi Tanpa refrigerasiMasa kadaluawarsa 2-5 hariPersyaratan konsumen Sesuai SNITujuan konsumen UmumCara Penyajian Dimasak terlebih dahulu
Sumber: Yuniarti & Sumaryanto (2009)
19
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama tiga (3) bulan, yaitu dimulai bulan September
hingga bulan November 2014. Adapun lokasi penelitian ini adalah di wilayah
kabupaten Jembrana, Provinsi Bali.
3.2 Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif dengan menggunakan
desain komparatif yaitu membandingkan situasi dan kondisi sebuah objek penellitian
dengan persyaratan dasar penerapan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT)
pada UPI sebagaimana yang direkomendasikan oleh Pemerintah Indonesia Cq.
Kementrian Kelautan dan Perikanan.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Unit Pengolahan Ikan (UPI)
skala UMKM dengan jenis usaha pemindangan ikan yang tersebar di wilayah
Kabupaten Jembrana. Menurut data yang didapat Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Bali, jumlah populasi UPI tersebut yang terdaftar dan aktif menjalankan
usahanya adalah sebanyak 99 unit. Macam bentuk kepemilikan antara lain berupa
Usaha Dagang, kepemilikan kelompok, dan kepemilikan perseorangan. Volume
produksi pindang ikan per bulan dari seluruh populasi penelitian paling kecil 750 dan
paling besar mencapai 170.000 kg (170 ton).
20
Sampel penelitian adalah UPI yang terpilih dengan kriteria antara lain
memiliki volume produksi paling kecil 10 ton per bulan, jumlah karyawan minimal
15 orang, dan telah memiliki pengalaman berproduksi sekurang-kurangnya 5 tahun
terhitung sampai dengan tahun 2013. UPI yang terpilih harus mewakili ketiga bentuk
kepemilikan usahanya, yaitu Usaha Dagang, kepemilikan kelompok, dan kepemilikan
perseorangan. Berdasarkan data profil UPI skala UMKM yang ada di wilayah
Kabupaten Jembrana, UPI yang terpilih sebagai sampel penelitian adalah sebanyak 3
buah, yaitu seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Profil UPI yang terpilih sebagai sampel penelitian
No Nama PemilikStatusKepemilikan
AlamatOmzet/
Vol. produksi(Kg/bulan)
(1) (2) (3) (4) (5)1 Anton CV Fajar
SamuderaDesa MundukPengambengan
170.000
2 Sutarjana KelompokMerta Asih
Br. Tengah, DesaYeh Kuning,
66.500
3 Ni NyomanRiasi
Perseorangan Banjar TibuKeleneng, DesaPerancak,
50.600
3.4 Variabel Penelitian dan Instrumen
Variabel penelitian terdiri dari dua variabel yaitu variabel kondisi bangunan
dan fasilitas dan variabel penerapan program persyaratan dasar. Adapun teknik
pengambilan data, intsrumen dan responden penelitian adalah sebagai berikut :
21
No VariabelTeknikpengumpulan data
Instrumen Responden
1 Kondisi bangunandan fasilitas
Pengamatan dilokasi/lingkunganUPI, termasuk diruang penanganandan pengolahan
Checklist Quality ControlBagian Teknik
2 Penerapanprogrampersyaratan dasar
Pengamatan teknikdan praktek /operasionalpenaganan danpengolahan ikan
Checklist
Thermometer
Quality ControlBagian Produksi
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder yang bersifat
kualitatif dan kuantitatif. Data primer adalah data hasil audit kesesuaian tentang
situasi dan kondisi aktual variabel penelitian dengan yang dipersyaratkan Pemerintah
Indonesia Cq. Kementrian Kelautan dan Perikanan di Unit Pengolahan Ikan (UPI)
yang menjadi objek penelitian. Sedangkan data sekunder adalah berupa regulasi-
regulasi terkait dengan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan yang
diperoleh dari Departemen Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Bali, Laboratorium Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan
(LPPMHP) dan isntansi terkait lainnya.
3.5 Metode Analisis Data
Tingkat kesesuaian dapat diketahui dengan cara membandingkan antara
situasi dan kondisi aktual variabel penelitian dengan situasi dan kondisi yang
22
diharapkan di masing-masing objek penelitian dari ketiga UPI yang terpilih menjadi
sampel penelitian.
Uji t-berpasangan (paired t-test) adalah satu metode pengujian hipotesis
dimana data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Uji ini digunakan untuk
mengetahui apakah ada perbedaan yang siginifikan tentang situasi dan kondisi aktual
antar objek penelitian. Pengujian dilakukan dua arah dengan tingkat kepercayaan
95%.
Hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
Ho : Tidak ada perbedaan kondisi bangunan/fasilitas dan penerapan Program
persyaratan dasar antara Unit Pengolahan Ikan satu dengan Unit
Pengolahan Ikan lainnya
H1 : Ada perbedaan kondisi bangunan/fasilitas dan penerapan Program
persyaratan dasar antara Unit Pengolahan Ikan satu dengan Unit
Pengolahan Ikan lainnya
Adapun tahapan perhitungan dalam pengujian statistik dengan Uji beda rata-
rata adalah sebagai berikut :
1. Uji Normalitas Data dengan Kolmogorov-Smirnov
Pengujian normalitas dilakukan untuk mengetahui normal atau tidaknya suatu
data. Kelebihan metode Kolmogorov-Smirnov adalah perhitungan yang sederhana
serta cukup kuat sekalipun dengan ukuran sampel yang kecil. Rumus adalah
sebagai berikut :
23
SD
XXZ i
i
_
Dimana :
Xi = Angka pada data ke-iZi = Transformasi data ke notasi pada distribusinormalX = Rata-rata
2. Menghitung Uji-t berpasangan
Rumus :
d = mean selisih dari sampel 1 dan sampel 2
Sd d = standar deviasi dari selisih dari sampel 1 dan sampel 2
Dalam pengambilan keputusan tentang hipotesisi nol,yaitu perbandingan
antara t-hitung dengan t-tabel. Apabila t-hitung lebih besar dari t-tabel maka Ho
ditolak dan Apabila sebaliknya, maka Ho diterima. Atau jika p-value lebih besar
0,05, maka Ho diterima, demikian sebaliknya.
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Provinsi Bali
Unit Pengolahan Ikan (UPI) adalah suatu unit/tempat usaha untuk melakukan
kegiatan usaha penanganan, pengolahan, dan pemasaran dimana dalam melakukan
usahanya UPI tersebut telah berbadan hukum dan telah memiliki Surat Ijin Usaha
Perikanan (SIUP) maupun Ijin Usaha Lainnya dari Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Bali atau instansi terkait lainnya. Hal ini berlaku bagi UPI sekala
Besar/Eksportir yang telah atau akan melakukan kegiatan ekspor. Selain ijin usaha
tersebut jika ada yang akan melakukan kegiatan ekspor ke negara mitra seperti Uni
Eropa, USA, Korea, Canada, Rusia dan China, UPI tersebut harus memiliki nomor
registrasi. Berbeda halnya dengan Unit Pengolahan Ikan skala UMKM yang
memperoduksi olahan untuk konsumsi lokal, ijin pendaftarannya dilakukan di Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota se Bali.
Berdasarkan data yang didapat dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Bali (2014),
4.2 Audit Bahaya pada UPI Penghasil Ikan Pindang di Wilayah KabupatenJembarana
Penerapan Program Menejemen Mutu Terpadu (PMMT) dengan konsep
HACCP pada Unit Pengolahan Ikan Pindang diawali dengan mengidentifikasi potensi
bahaya pada setiap tahapan proses pengolahan ikan pindang, selanjutnya membuat
rencana HACCP dengan menyusun suatu tabel audit yang komponennya terdiri dari
25
alur proses, kemungkinan resiko atau bahaya pada setiap proses, titik kontrol kritis
terhadap setiap resiko/bahaya, dan pengendalian yang harus dilakukan.
Terdapat tiga bahaya (hazard) yang dapat menyebabkan makanan menjadi
tidak aman untuk dikonsumsi, yaitu hazard fisik, kimia, dan biologi. Bahaya fisik
termasuk benda-benda seperti pecahan logam, gelas, batu, yang dapat menimbulkan
luka di mulut, gigi patah, tercekik ataupun perlukaan pada saluran pencernaan.
Bahaya kimia antara lain pestisida, zat pembersih, antibiotik, logam berat, dan bahan
tambahan makanan. Bahaya biologi antara lain mikroba patogen berupa parasit dan
bakteri, tanaman, dan hewan beracun.
Proses pemindangan ikan menggunakan teknologi sederhana karena dalam
proses pemindangan belum menggunakan mesin-mesin dan peralatan berat, canggih
dan komputer. Teknologi pemindangan ikan yang bersifat tradisional sebagian besar
masih menggunakan peralatan yang dapat diperoleh dengan mudah seperti kayu
bakar, potongan bambu, keranjang bambu, daun pisang/bambu, dengan proses yang
dilakukan secara manual. Identifikasi potensi bahaya yang terdapat pada unit
pengolahan ikan pindang dilanjutkan dengan menyusun tabel audit yang
komponennya terdiri dari alur proses, yang disajikan pada Tabel 3.
26
Tabel 3. Identifikasi Potensi bahaya pada UPI penghasil ikan pindang
Operasi kritis Potensi resiko Titik kontrolkritis
Pengendalian
Penerimaanbahan baku ikan(dalam keadaanbeku)
Ikan tidak segarMengandunghistamin
Pemilihanbahan bakuikan yangselektif
Memilih ikan yang segarPenggunaan es sesegeramungkin, menjaga suhu selalu<5oC
Penyiangan Kontaminasibakteri, logam
Peningkatanhigiene
Penggunaan sarung tangan,masker, mengganti pisau secaraperiodik
Pencucian Kontaminasibakteri dan bahankimia
Peningkatanhigiene
Penggunaan air bersih
Penggaraman Kontaminasimikroorganisme
Peningkatanhigiene
Penggunaan garam bersih,pengecekan bakteri halofilikpada garam, penggunaan tangkipenggaraman yang bersih
Pemasakan Kerusakan sifatfungsional danmutu ikan
Pengaturansuhu danlama waktupemasakan
Pemasakan dilakukan di bawah100oC
Pengemasan Kontaminasimikroorganisme,logam, fisik
Pengemasansesuai standar
Tidak menggunakan kertaskoran, tertutup,penggunaanmasker, sarung tangan
4.3 Prioritas Perbaikan Program Manajemen Mutu Terpadu pada UPIpenghasil Ikan Pindang yang beroperasi di wilayah Kabupaten Jembrana
Berdasarkan hasil audit terhadap variabel penelitian pada di masing-masing UPI
yang menjadi objek penelitian dapat dikemukan bahwa tujuh (7) prioritas perbaikan
penerapan Program Manajamen Mutu Terpadu antara lain meliputi :
1. Pemilihan bahan baku ikan dan penggunaan es
Bahan baku berupa ikan laut merupakan bahan yang sangat mudah rusak
(high perishable food), mengandung kadar air yang tinggi, selain itu juga kandungan
protein serta lemaknya tinggi, sehingga mudah mengalami kebusukan. Tanpa
27
pendinginan yang seksama, dalam waktu kurang dari 7 jam, ikan akan cepat
membusuk. Indikator kebusukan ikan tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Ciri utama ikan segar dan yang mulai busuk
Parameter Ikan segar Ikan yang mulai busukKulit Terang dan jernih
Masih kuat membungkus tubuh, tidakmudah sobek, terutama bagian perut
Kusam, pucat berlendir banyakMulai mengendurMudah robek
Sisik Menempel pada tubuh, sulit lepas daritubuh
Mudah terlepas dari tubuh
Insang Berwarna merah tua, terang dan lamela ikanterpisah
Tertutup lendir berwarna merah dab bausegar ikan
Coklat suram, abu-abu, lamelainsang berdempetan
Lendir keruh, berbau asammenusuk hidung
Mata Terang, jernih menonjol dan cembung Suram, tenggelam, berkerutDaging Kenyal
Berbau segarBila ditekan dengan jari tampak jelas bekas
lekukanMelekat kuat pada tulangDaging perut utuh dan kenyal
LunakBerbau busukBila ditekan, tampak jelas lekukanDaging mudah lepas dari tulangDaging lembek dan isi perut sering
keluarDalam air Tenggelam Mengapung di permukaan
Timbulnya keracunan yang disebabkan oleh mikroba patogen dan
terbentuknya produk dekomposisi ikan seperti histamin juga sangat mungkin terjadi.
Tingginya kadar histamin menyebabkan keracunan yang dkenal sebagai ”scromboid
poisoning”, karena terjadi sesudah mengkonsumsi ikan jenis scromboidae, yaitu ikan
tongkol, tuna, cakalang, kembung, layang dan sejenisnya, dimana ikan ini biasanya
menjadi bahan baku utama pindang. Ikan dengan kadar 20 mg/100 gr ikan sudah
tidak boleh dikonsumsi. Pendinginan dengan es dapat mencegah pembentukan
histamin.
Gejala keracunan histamin berupa muntah, rasa terbakar pada tenggorokan,
bibir bengkak, sakit kepala, kejang, mual, muka dan leher kemerah-merahan, gatal-
gatal dan badan lemas. Sekilas gejala tersebut mirip dengan gejala alergi yang
28
dialami oleh orang yang sensitif terhadap ikan atau pangan asal laut. Logam dapat
ditemukan pada ikan yang diperoleh pada perairan yang tercemar. Metil merkuri
merupakan bentuk merkuri yang paling toksik, paling banyak ditemukan pada
organisme laut dan terakumulasi dalam rantai pangan. Ikan predator dapat
mengakumulasi metilmerkuri dalam kadar tinggi. Biasanya ditemukan pada ikan laut
dan kerang-keranagn secara alami +0,1 mg/Kg. Ikan menjadi salah satu sumber
paparan utama metil merkuri pada manusia.
Mikroba yang ditemukan pada ikan antara lain Vibrio parahaemolyticus,
Vibrio cholerae dan Salmonella serta E.coli. Kontaminasi mikroba pada bahan baku
ikan dapat mengakibatkan diare, mual, muntah, demam, sakit kepala dan rasa dingin.
Bakteri V. cholerae mengakibatkan penyakit kolera atau diare yang hebat dan
menyebabkan 60% penderita meninggal akibat dehidrasi. Pemindangan ikan dapat
membunuh bakteri tersebut.
Bahaya lain yang mengancam adalah penyalahgunaan formalin sebagai
pengawet ikan. Formalin diperuntukkan sebagai pembunuh hama, pengawet mayat,
bahan desinfektan pada industri plastik, busa dan resin untuk kertas. Gejala kronis
yang dapat timbul setelah mengkonsumsi ikan yang mengandung formalin, antara
lain iritasi saluran pernafasan, muntah, pusing, rasa terbakar pada tenggorokan serta
dapat memicu kanker.Penanganan bahan baku ikan agar terhindar dari kontaminasi
mikroba dan bahan kimia serta logam antara lain: pilihlah ikan yang segar dan
bermutu baik, tangani ikan dengan baik, terutama setelah ikan mati, simpan ikan pada
suhu kurang dari 4oC atau dibekukan.
29
Sistem Rantai Dingin atau Cold Chain System (CCS) merupakan salah satu
program yang dapat mendorong akselerasi tercapainya produk perikanan prima.
Karena prinsip utama dalam penerapan sistem rantai dingin adalah penanganan ikan
dengan suhu dingin sekitar 00C dilakukan secara terus menerus tidak terputus sejak
ikan ditangkap atau dipanen, didaratkan dan didistribusikan serta dipasarkan hingga
ke tangan konsumen. Es yang digunakan tidak boleh sembarangan. Untuk
pendinginan harus menggunakan es yang dibuat dengan air sesuai standar kualitas air
minum.
2. Prosedur yang digunakan untuk preparasi
Pemindangan merupakan penggaraman yang disertai dengan perebusan.
Proses tersebut telah dapat mematikan bakteri-bakteri patogen, sehingga menjadikan
ikan pindang aman dikonsumsi. Prinsip pemindangan adalah sebagai berikut:
Pemanasan: dengan suhu tinggi, sebagian besar bakteri akan mati
Penggaraman: pemberian garam menghambat aktivitas bakteri
Pengurangan kadar air: pada proses perebusan/pemanasan akan terjadipengurangan kadar air dari tubuh ikan.
Perinsip pemindangan ini sangat baik, tetapi perlu diperhatikan tahapan
proses pemindangan yang kritis, yang memungkinkan produk ikan pindang
terkontaminasi bakteri dan bahan pengotor lain, seperti pemilihan jenis garam,
pengemasan dan pada saat pendistribusian. Pada umumnya pemindang menggunakan
garam yang paling murah sehingga mutunya rendah. Pengolah tidak
30
mempertimbangkan bahwa garam seperti itu mengandung banyak kotoran berupa
lumpur dan bakteri bahkan kadang logam yang tidak diinginkan, yang dapat
mengkontaminasi produk yang diolah. Cara yang paling baik adalah pilihlah garam
yang memang khusus digunakan untuk pangan.
Kemasan sebagai bahan pelindung dan pembatas terhadap lingkungan
seharusnya dapat membantu melindungi mutu produk selama distribusi, menambah
ketertarikan konsumen terhadap produk, dan mempermudah pemberian informasi
mengenai produk. Kemasan yang langsung berhubungan dengan produk, disebut
sebagai kemasan primer. Ada beberapa jenis kemasan yaitu dari kertas, plastik, metal
seperti alumunium atau stainless steel, komposit dan foil berupa lapisan tipis baik
dari metal seperti alumunium atau plastik.
Pengemasan ikan pindang selama ini menggunakan keranjang bambu,
dengan kemasan primer yaitu kertas koran. Sayang sekali, tinta koran yang
berbahaya karena mengandung logam akan menempel di produk ikan pindang dan
akan termakan konsumen. Pengaruh logam terhadap kesehatan tidak dirasakan saat
itu juga ketika mengkonsumsi ikan pindang, tetapi pengaruh kronisnya akan
dirasakan setelah beberapa waktu lamanya. Seperti diketahui, bahwa terpaparnya
logam pada manusia akan terakumulasi dalam tubuh, dan tidak dapat dimetabolisme,
sehingga lambat laun akan menimbulkan bahaya, seperti kanker, tumor, dan penyakit
degeneratif lainnya. Penggunaan kertas koran untuk kemasan ikan pindang, harus
ditinggalkan. Mengingat manfaat ikan pindang yang sangat baik, ke depan
diharapkan sentuhan teknologi kemasan dapat diterapkan pada produk ikan pindang
sehingg ikan pindang terhindar dari kontaminasi bakteri, debu, partikel lain. Selain
31
itu juga kemasan yang cerdas berguna untuk memperluas distribusi pemasaran ikan
pindang.
3. Desain fasilitas
Unit pengolahan perikanan memerlukan fasilitas sarana prasarana yang primer
seperti ruang/gedung pengolahan, air, listrik dan pembuangan limbah. Persyaratan
gedung pengolah antara lain:
Unit pengolahan harus dibangun di lokasi yang tidak tercemar dan yang
menjamin tersedianya ikan yang bermutu baik.
Ruang bahan baku dan produk dipisahkan
Bangunan unit pengolahan dan sekitarnya harus dirancang dan ditata dengan
konstruksi sedemikian rupa sehingga memenuhi persyaratan sanitasi.
Lantai berkeramik
Permukaan lantai dibuat miring untuk mempermudah mengalirnya air
pencucian
Dilengkapi dengan wastafel
Penerangan yang cukup
Sirkulasi udara yang memadai
Air pada unit pengolahan ikan pindang, diperlukan untuk pencucian ikan,
perebusan dan pencucian peralatan setelah digunakan. Sesuai Keputusan Menteri
Kelautan Dan Perikanan Nomor: Kep. 01/Men/2002 tentang Sistem Manajemen
32
Mutu Terpadu Hasil Perikanan Menteri Kelautan dan Perikanan terdapat ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
Air yang digunakan sebagai bahan penolong dalam pengolahan ikan harus
memenuhi persyaratan akualitas air minum.
Air yang digunakan dalam pencucian ikan dapat ditambah klorin dengan kadar
yang tidak melebihi 10 ppm.
Selain penambahan klorin dapat juga dilakukan cara lain yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kualitas air.
Es yang digunakan dalam pengolahan ikan harus dibuat dari air minum dan tidak
boleh terkontaminasi selama penanganan atau penyimpanan.
Unit pengolahan ikan tradisional biasanya tidak dilengkapi dengan unit
pengolahan limbah. Untuk limbah cair yaitu air cucian ikan yang dihasilkan dari unit
pengolahan ikan pindang masih mengandung protein, sehingga dapat dimanfaatkan
seperti untuk pembuatan petis ikan, atau untuk pupuk. Sedangkan limbah lain seperti
plastik, detergen, sabun dan lain-lain, harus memenuhi ketentuan yang berlaku.
4. Desain Peralatan
Desain peralatan pengolahan ikan pindang setidaknya memenuhi beberapa
syarat seperti:
Peralatan dan perlengkapan unit pengolahan harus ditata sedemikian rupa
sehingga terlihat jelas tahap-tahap proses yang menjamin kelancaran
pengolahan, mencegah kontaminasi silang dan mudah dibersihkan.
33
Peralatan dan perlengkapan yang berhubungan langsung dengan ikan yang
diolah harus terbuat dari bahan tahan karat, tidak menyerap air, mudah
dibersihkan dan tidak menyebabkan kontaminasi sesuatu apapun terhadap
bahan baku yang sedang diolah maupun produk akhir serta dirancang sesuai
persyaratan sanitasi.
Peralatan dan perlengkapan yang dipakai untuk menangani bahan bukan
makanan atau bahan yang dapat menyebabkan kontaminasi baik secara
langsung maupun tidak langsung, harus diberi tanda dan dipisahkan dengan
jelas supaya tidak dipergunakan untuk menangani ikan, bahan penolong,
bahan tambahan makanan serta produk akhir.
Dilengkapi dengan peralatan kontrol suhu seperti termometer ruang, untuk
menjaga suhu kritis berkembangnya mikroba.
5 Sanitasi
Sanitasi Hasil Perikanan adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan
bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam hasil
perikanan, peralatan dan bangunan yang dapat merusak hasil perikanan dan
membahayakan manusia. Persyaratan sanitasi adalah standar kebersihan dan
kesehatan yang harus dipenuhi, termasuk standar higiene, sebagai upaya mematikan
atau mencegah hidupnya jasad renik patogen dan mengurangi jumlah jasad renik
lainnya agar hasil perikanan yang dihasilkan dan dikonsumsi tidak membahayakan
kesehatan dan jiwa manusia. Peralatan selalu dalam keadaan bersih baik ketika akan
digunakan maupun setelah digunakan.
34
6. Kesehatan pekerja, kebersihan dan pendidikan
Beberapa syarat yang sebaiknya dilaksanakan terhadap karyawan yang juga
menyimpan potensi bahaya, antara lain:
Pekerja yang dipekerjakan harus sehat dan tidak menderita penyakit menular atau
menyebarkan kuman penyakit menular.
Kesehatan para pekerja harus diperiksa secara periodik untuk menghindarkan
penularan penyakit baik terhadap produk maupun karyawan lainnya.
Setiap pekerja harus dilengkapi dengan pakaian dan perlengkapan kerja sesuai
dengan bidangnya masing-masing.
7. Kondisi penyimpanan antara pengemasan dan konsumen
Dengan kemasan yang terbuka dalam keranjang bambu, ikan pindang sangat
mudah terkontaminasi bakteri, debu dan kotoran lain. Selain itu juga akan membatasi
pendistribusian produk dan mengurangi daya awet produk ikan pindang. Sebagai
produk tradisional yang sudah dikenal luas, perubahan kemasan akan mempengaruhi
daya beli konsumen. Tetapi dengan tuntutan keamanan produk ikan pindang, dimasa
mendatang teknologi pengemasan ikan pindang perlu mendapat perhatian. Pada
pindang bandeng presto, pengemasan sudah ditangani secara modern, sehingga
produk tersebut sudah dapat dipasarkan di supermarket dan dapat meningkatkan nilai
jual produk.
35
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang dan tujuan penelitian serta hasil pembahasan
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Unit Pengolahan Ikan (UPI) di Provinsi Bali yang tersebar di sembilan
Kabupaten/Kota. UPI skala UMKM terdiri dari 1 unit usaha dagang, 78 unit
kelompok, dan perorangan 144 unit dengan jumlah penyerapan tenaga kerja
sebanyak 1901 orang. Jenis produk olahan yang dominan adalah Pindang, Ikan
Kering/Sudang Lepet, Abon, Olahan Rumput Laut dan Fish Jelly .
2. Potensi resiko bahaya kontaminasi terdapat pada beberapa tahapan proses, yaitu
antara laian penerimaan bahan baku ikan (dalam keadaan beku), penyiangan,
penggaraman, pemasakan dan proses pengemasan produk akhir.
3. Tujuh hal yang menjadi prioritas perbaikan yang harus dilakukan di sector UPI
UMKM Ag0rindustri ikan, yaitu pemilihan bahan baku dan penggunaan es,
perbaikan prosedur preparasi, perbaiakan tata letak fasilitas produksi,
pembaharuan peralatan kerja, prosedur sanitasi, jaminan kesehatan dan
kebersihan pekerja dan perbaikan kondisi penyimpanan produk akhir ikan
pindang yang akan dipasarkan.
36
5.2. Saran
1. Perlu ada program program pendampingan dari kalangan perguruan tinggi,
pemerintah daerah dan asosiasi pengusaha ikan dalam rangka meningkatkan
keberharsilan penerapan Program Manajamen Mutu Terpadu pada UPI
penghasil ikan pindang skala UMKM
2. Standar minimal prosedur penanganan, dan pengolahan ikan perlu segera
ditetapkan dan selanjutnya disosialisasikan secara berkelanjautan dan periodik
37
DAFTAR PUSTAKA
Beulens JC, Jones W. 2003. Issue in demand for quality and trade. Montreal,Canada : International Aqricultural Trade Research Consortinum
Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali. 2012. Sentra Agroindustri Ikan TunaTahun 2012.
Bremer PJ, Fletcher GC, Osborne C. 2003. Scombrotoxin in seafood. Christchurch:New Aealand Institute for Crop and Food Research Limited.
Breyfogle FW. 2003. Implementing Six Sigma. New York: John Wiley & Sons.
[CAC] Codex Alimentarius Commission. 2003. Recommended International Codeof Practice General Principles of Food Hygiene. Rev. 4. Food andAgriculture Organization/World Health Organization. Rome, Italy.
Cox, james F. and John H. Blackstone Jr. APICS Dictionary. 11st edition, APICS,Virginia, 2005.
Dahyar, Melda Aniyalisa. 2009. Evaluasi Efektivitas Pengendalian Resiko BahayaHistamin Pada Titik Kendali Kritis (Critical Control Point-CCP) ProsesPengolahan Tuna Loin Beku Dengan Metode Lean Six Sigma. SkripsiDepartemen Teknologi Hasil Perairan Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan. Jakarta:DKP.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008b. Statistik Ekspor Hasil Perikanan2007. Jakarta: DKP.
Diskelkan, 2007. Frekuensi Ekspor Perikanan Bali 2007-2011. Provinsi Bali.
Educational Foundation. 2004. ServSafe Coursebook Third Edition. NationalRestaurant Association Education Foundation. Chicago.
E.S, Menai. 2007. Tinjauan Penanganan Hasil Perikanan Tangkap dan AnalisisProspek Penerapan Program HACCP pada Pangkalan Pendaratan IkanManokwari, Papua. Skripsi. Program studi Teknologi Hasil Perikanan.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
38
[FDA] Food and Drug Administration. 2009. FDA Import Refusal.
Gaspersz, Vincent. 2006. Continous Cost reduction Through Lean-SigmaApproach. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2006.
George ML. 2002. Lean Six Sigma. New York: Mc GrawHill.
Gracia F. C. (2005). Using Value Stream Mapping as A Strategic Planning andImplementation Tools. [http:// www.lean-automation.com ] (On-line:november, 4th 2012).
Hardiana puspita kurnia. 2009. Evaluasi Risiko Semi-Quantitative Kadar HistaminIkan Tuna Pada Proses Pembongkaran Di Transit dan PengolahanProduk Tuna Loin Beku. Skripsi. Departemen Teknologi Hasil Perairan.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institute Pertanian Bogor. Bogor.
Keer M, Paul L, Sylvia A, Carl R. 2002. Effect of storage condition on histamineformation in fresh and canned tuna. Victoria: Comissioned by Food SafetyUnit.
Lehane L, Olley J. 2000. Histamine fish poisoning revisited. International Journal ofFood Microbiology 58:1-37.
Linker, Jeffrey K & Meier David.2006. TOYOTA WAY FIELDBOOK. The McGraw-Hill Companies.Inc. New York. United States.
McLauchlin J, Little CL, Grant KA, Mithani V. 2005. Scombrotoxic fish poisoning.Journal of Public Health 28(1):61-62.
Palacios, M.R.H. 2001. Study of Quality Management System and ProductTraceability in a Fish Processing Company. UNU-Fisherisn TrainingProgramme. www.unuftp.is/proj01/MariaRitaPRF.pdf [13-9-2007]
Panisello PJ, Quantick PC. 2001. Technical Barriers to Hazard Analysis CriticalControl Point (HACCP). Food Control 12:165-173.
Poernomo. 2007. Urgensi Penerapan Sistem Rantai Dingin UntukMempertahankan Kesegaran Ikan. Di dalam: Nikijuluw V, penyunting.Meningkatkan Nilai Tambah Perikanan. Jakarta: Satker Ditjen P2HP, DKP.
Rinto. 2007. Kandungan Histamin Selama Proses Produksi dan PenyimpananProduk perikanan. Konggres Ilmu Pengetahuan Wilayah Indonesia Barat.Unsri.
39
Simangunsong, S., M. wahyuni, D. monintja, dan Sunarya. 2008. Analisis ProsesHirarki Alternatif (AHP) Kebijakan Pengawasan Mutu ProdukPerikanan Indonesia. Buletin Ekonomi Perikanan vol. VII No. 1 tahun2008. Kelompok Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan.Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
SNI 7530.1:2009. Tuna Loin Segar.
Tajkarimi, M. 2007. HACCP, GMPs, SSOPs. www.cdfa.ca.-gov/ahfss/Animal_Health/PHR250/2007/25007HACCP%5B2%5D.pdf.[15-9-2008].
Wicaksono D. 2009. Asesmen risiko histamin selama proses pengolahan padaindustri tuna loin. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi HasilPerikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Yahya IK. 2010. Keterikatan Kinerja dan Kompetensi BerdasarkanHumanResource Scorecard dengan Keberhasilan Implementasi HACCPpada Proses Pengolahan Tuna Loin Beku (Studi Kasus). [Skripsi].Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan IlmuKelautan. Institut Pertanian Bogor.