Post on 05-Dec-2015
description
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
BLOK NEFROURINARIUS
Asisten:
Rahayu Nurmalia Fauziah G1A012020
Kelompok D1:
Inka Putri Kosita G1A013101
Ghufron Febriyan Akbar G1A013102
Gembong Satria Mahardhika G1A013103
Rizki Rijatullah G1A013104
Delavemia Rostiani G1A013105
Normalisa Novrita G1A013106
Arny Arpianty G1A013107
Zsa Zsa Yuniadri Hasfira G1A013108
Dzaki Luqmanul Hakim G1A013109
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2015
1
LEMBAR PENGESAHASAN
Oleh :
Kelompok D1
Inka Putri Kosita G1A013101
Ghufron Febriyan Akbar G1A013102
Gembong Satria Mahardhika G1A013103
Rizki Rijatullah G1A013104
Delavemia Rostiani G1A013105
Normalisa Novrita G1A013106
Arny Arpianty G1A013107
Zsa Zsa Yuniadri Hasfira G1A013108
Dzaki Luqmanul Hakim G1A013109
Diajukan sebagai syarat mengikuti Ujian Identifikasi
Laboratorium Farmakologi dan Terapeutik Jurusan Kedokteran
Pada Fakultas Kedokteran
Purwokerto
disetujui dan disahkan
Purwokerto, September 2015
Asisten,
Rahayu Nurmalia Fauziah
G1A012020
2
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................... 4
B. Tujuan Praktikum ...................................................... 4
C. Manfaat Praktikum ...................................................... 5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Diuretik Kuat .......................................................6
B. Diuretik Hemat Kalium...................................... ......... .8
C. Thiazid........................... ... .............................................9
D. Penghambat Karbonik Anhidrase........................... ....14
E. Diuretik Osmotik............................................................17
III. METODE PENELITIAN
A. Alat dan Bahan .......................................................23
B. Cara Kerja ....................................................... .... ......23
C. Hewan Percobaan/Probandus .......................................24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil ..............................................................................24
B. Pembahasan ..................................................................29
C. Aplikasi Klinis ......................................................30
D. Evaluasi ..................................................................32
V. KESIMPULAN ..................................................................37
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................38
3
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ginjal merupakan organ dengan banyak fungsi, salah satu
fungsinya adalah menjaga homeostasis cairan dan elektrolit. Apabila
terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit tubuh dapat berakibat pada
berbagai gangguan klinis. Pada penyakit seperti gagal jantung,
kemampuan diuresis ginjal sangat dioptimalkan untuk membuang
kelebihan cairan yang menyebabkan edema dan mengurangi volume dan
tekanan darah. Pada kasus hipertensi, obat-obatan diuretik juga merupakan
salah satu pilihan utama terapi farmakologis. (Nafrialdi,2012)
Namun, fungsi ginajl memiliki keterbatasan dalam bekerja
terutama jika ginjal itu sendiri juga mengalami kerusakan dan penurunan
fungsi ginjal. Sehingga perlu dilakukan intervensi medis untuk membantu
pengeluaran volume air berlebih dalam tubuh dengan memberikan obat-
obatan diuretik. Obat diuretik ini memiliki efek diuresis yang berarti
meningkatkan secara signifikan volume urin. Obat-obat golongan
natriuresis yang memiliki efek ekskresi natrium juga digolongkan dalamn
obat diuretik karena natrium yang diekskresikan akan turut menarik air ke
cairan tubular sehingga menambah volume urin yang dibuang.
(Nafrialdi,2012)
Obat-obat diuretik sampai saat ini sudah banyak berkembang dan
sudah diklasifikasikan berdasarkan cara kerja dan tempat kerjanya. Ada
sekitar enam golongan obat diuretik mencakup diuretik kuat (loop
diuretik), diuretik thiazid, diuretik osmotik, diuretik kalium, diuretik
penghambat karbonat anhidrase, dana antidiuretik antagonis yang
semuanya memiliki cara kerja spesifik dan bekerja pada bagian tertentu
pada nefron ginjal.(Nafrialdi,2012)
B. Tujuan Praktikum
1. Menghitung dan memasukkan larutan aquades pada hewan coba.
2. Mengetahui efek larutan aquades terhadap volume urin yang
dieliminasi.
4
C. Manfaat Praktikum
a. Menambah ilmu pengetahuan mengenai mekanisme kerja dan efek
larutan aquades
b. Menambah ilmu pengetahuan tentang efek toksik/efek samping
penggunaan larutan aquades
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan
pembentukan urin. Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi
cairan edema, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian
rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal
(Nafrialdi,2012).
B. Dasar Teori
1. Diuretik Kuat
a. Farmakodinamik
Diuretik kuat atau Loop diuretik bekerja dengan mencegah
reabsorpsi natrium, klorida, dan kalium pada segmen tebal ujung
asenden ansa Henle (nefron) melalui inhibisi pembawa klorida.
Obat yang termasuk dalam golongan ini adalah torsemid, asam
etakrinat, furosemid dan bumetanid. Asam etakrinat termasuk
diuretik yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral
dengan hasil yang memuaskan. Furosemid atau asam 4-kloro-N-
furfuril-5-sulfomail antranilat masih tergolong derivat sulfonamid.
Secara umum dapat dikatakan bahwa diureti kuat mempunyai mula
kerja dan lama kerja yang lebih pendek dari tiazid. Diuretik kuat
terutama bekerja pada Ansa Henle bagian asenden pada
bagian dengan epitel tebal dengan cara menghambat kotranspor
Na+/K+/Cl- dari membran lumen pada pars ascenden ansa
henle, karena itu reabsorpsi Na+/K+/Cl-menurun. Golongan obat
ini juga biasa digunakan untuk pengobatan hipertensi, edema, serta
oliguria yang disebabkan oleh gagal ginjal. Pengobatan
bersamaan dengan kalium diperlukan selama menggunakan obat
ini (Nafrialdi, 2012).
6
b. Farmakokinetik
Ketiga obat mudah diserap melalui saluran cerna, dengan
derajat yang agak berbeda-beda. Bioavaibilitas furosemid 65
% sedangkan bumetanid hampir 100%. Diuretic kuat terikat
pada protein plasma secara ekstensif, sehingga tidak
difiltrasi di glomerulus tetapi cepat sekali disekresi melalui
system transport asam organic di tubuli proksimal. Kira-kira 2/3
dari asam etakrinat yang diberikan secara IV diekskresi
melalui ginjal dalam bentuk utuh dan dalam konjugasi
dengan senyawa sulfhidril terutama sistein dan N-asetil
sistein. Sebagian lagi diekskresi melalui hati.sebagian besar
furosemid diekskresi dengan cara yang sama, hanya sebagian
kecil dalam bentuk glukuronid. Kira-kira 50% bumetanid
diekskresi dalam bentuk asal, selebihnya sebagai metabolit
(Nafrialdi,2012).
c. Efek Samping Obat
Efek samping asam etakrinat dan furosemid dapat
dibedakan atas (Nafrialdi, 2012) :
1.Reaksi toksik berupa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit yang sering terjadi
2.Efek samping yang tidak berhubungan dengan kerja
utamanya jarang terjadi.
Gangguan saluran cerna lebih sering terjadi dengan asam
etakrinat dari pada furosemid. Tidak dianjurkan pada wanita
hamil kecuali bila mutlak diperlukan.Asam etakrinat dapat
menyebabkan ketulian sementara maupun menetap. Ketulian
sementara dapat terjadi pada furosemid dan lebih jarang
pada bumetanid. Ketulian ini mungkin sekali disebabkan oleh
perubahan komposisi eletrolit cairan endolimfe. Ototoksisitas
merupakan suatu efek samping unik kelompok obat ini. Pada
penggunaan kronis, diuretik kuat ini dapat menurunkan bersihan
litium.(Nafrialdi,2012)
7
d. Indikasi
Furosemid lebih banyak digunakan daripada asam
etakrinat, karena ganguan saluran cerna yang lebih ringan.
Diuretik kuat merupakan obat efektif untuk pengobatan
udem akibat gangguan jantung, hati atau ginjal (Nafrialdi,
2012).
e. Kontraindikasi
Kontraindikasi diuretic kuat adalah gagal ginjal,
hypokalemia, gout, hiperkalsemia, dan tidak dianjurkan pada ibu
hamil (Nafrialdi, 2012).
f. Bentuk Sediaan Obat
NO Obat Sediaan
1 Furosemid Tab.20 dan 40 mg
Inj 20mg/amp 2ml
2 Torsemid Tidak ditemukan
3 Bumetanid Tab 0,5 dan 1 mg
Inj 5 mg
4 Asam
etakrinat
Tab 25 dan 50 mg
Inj 50 mg/amp
Tabel.1 bentuk sediaan obat (Nafrialdi, 2012)
2. Diuretik Hemat Kalium
a. Farmakodinamik
Diuretik ini mencegah sekresi kalium dengan melawan efek
aldosteron pada tubulus koligens renalis kortikal dan bagian
akhir distal. Mekanisme kerja dapat melalui inhibisi langsung
terhadap reseptor mineralokortikoid atau inhibisi terhadap
influks Na+ melalui kanal ion di lumen membran (Nafrialdi,
2012).
8
b. Farmakokinetik
Tujuh puluh persen spironolakton oral diserap di saluran
cerna, mengalami sirkulasi enterohepatik dan metabolisme lintas
pertama. Ikatan dengan protein cukup tinggi. Metabolit
utamanya kanrenon, memperlihatkan aktivitas antagonis
aldosteron dan turut berperan dalam aktivitas biologik
spironolakton. Kanrenon mengalami interkonversi enzimatik
menjadi karenoat yang tidak aktif (Nafrialdi, 2012).
c. Efek Samping Obat
1) Hiperkalemi
2) Ginekomastia
d. Indikasi
1) Hipertensi
2) Edema refrakter
3) Gagal jantung
e. Kontraindikasi
1) Insufisiensi ginjal akut
2) Anuria
3) Hiperkalemia
4) Kehamilan
f. Bentuk Sediaan Obat
Spironolakton tersedia dalam bentuk tablet 25, 50, 100 mg.
Dosis dewasa berkisar antara 25-200mg, tetapi dosis efektif
sehari rata-rata 100mg dalam dosis tunggal atau terbagi.
Terdapat pula sediaan kombinasi tetap antara spironolakton 25
mg dan hidroklorotiazid 25 mg, serta antara spironolakton 25
mg dan tiabutazid 2,5 mg. Eplerenon digunakan dalam dosis 50-
100mg/hari (Nafrialdi, 2012).
3. Tiazid
Tiazid atau benzotiadiazid disintesis dalam rangka penelitian
zat penghambat enzim karbonik anhidrase. Komposisi yang
9
terbentuk setelah pemberian obat ini ternyata mengandung
banyak ion klorida, efek yang sangat berbeda dengan senyawa
induknya yaitu benzen disulfonamid. Penelitian lebih lanjut
menunjukkan bahwa benzotiadiazid berefek langsung terhadap
transpor Na+ dan Cl- di tubuli ginjal, lepas dari efek
penghambatannya terhadap enzim karbonik anhidrase. Prototipe
golongan benzotiadiazid ialah klorotiazid yang merupakan obat
tandingan pertama golongan Hg-organik, yang telah
mendominasi diuretik selama lebih dari 30 tahun (Nafrialdi,
2012).
Beberapa obat yang termasuk ke dalam golongan obat-
obatan diuretik tiazid dan diuretik analog tiazid, antara lain
hidroklorotiazid (HCT), klorotiazid, hidroflumetazid,
bendroflumetazid, politiazid, benztiazid, siklotiazid,
metiklotiazid, klortalidon, kuinetazon, indapamid, metolazon
(Nafrialdi, 2012).
a. Farmakodinamik
Selain dengan filtrasi glomerular, diuretik tiazid terutama
diekskresikan secara aktif ke dalam lumen tubulus melalui
sistem transpor anion yang terlokalisir di tubulus proksimal.
Dari sebelah luminal terjadi penghambatan absorpsi Na+ dan Cl-
di sel-sel epitel tubuli distal hulu (efek saluretik). Selain itu, ion-
ion Mg2+ dan K+ juga diekskresikan lebih banyak. Pertukaran
(Na+/K+) yang terjadi di tubulus distal hilir bertanggung jawab
untuk ekskresi K+. Selanjutnya ion Na+ diabsorpsi dari lumen
dan sebaliknya ion K+ dieksresi. Makin tinggi kadar Na+ di
dalam urin yang tiba di tubulus distal hilir, makin besar
pertukaran (Na+/K+) dan juga makin banyak kehilangan K+. Efek
diuretik tidak berubah apabila ada asidosis atau alkalosis (tidak
bergantung pada pH). Berlawanan dengan diuretik kuat, diuretik
tiazid mengurangi filtrasi glomerular yang disebabkan oleh
10
kenaikan tekanan hidrostatik, intratubular yang menyebabkan
pengurangan tekanan filtrasi yang efektif (Schmitz et al, 2012).
b. Farmakokinetik
Absorpsi tiazid melalui saluran cerna baik sekali.
Umumnya efek obat tampak setelah satu jam. Klorotiazid
didistribusi ke seluruh ruang ekstrasel dan dapat melewati sawar
urin, tetapi obat ini hanya ditimbun dalam jaringan ginjal saja.
Dengan suatu proses aktif, tiazid diekskresi oleh sel tubuli
proksimal ke dalam cairan tubuli. Jadi klirens ginjal obat ini
besar sekali, biasanya dalam 3-6 jam sudah diekskresi dari
badan. Bendroflumetiazid, politiazid, dan klortalidon
mempunyai masa kerja yang lebih panjang karena ekskresinya
lebih lambat. Klortiazid dalam badan tidak mengalami
perubahan metabolik, sedangkan politiazid sebagian
dimetabolisme dalam badan (Nafrialdi, 2012).
c. Efek Samping Obat
Beberapa efek samping penggunaan diuretik tiazid, antara lain
(Schmitz et al, 2012):
1) Hipokalemia. Efek samping yang sangat sering terjadi pada
terapi jangka panjang dengan diuretik yaitu 25-40% kasus. Jika
hal ini terjadi, perlu diberikan substitusi K+; sebaiknya juga
diberikan suatu kombinasi diuretik tiazid dengan diuretik hemat
kalium seperti amilorid, triamteren atau spironolakton (Schmitz
et al, 2009).
2) Hipomagnesemia dan hiperkalsemia akibat penghambatan
ekskresi Ca2+ tubular.
3) Alkalosis metabolik, hipokloremia
4) Toleransi glukosa yang berkurang dapat bermanifestasi
diabetes melitus pada kondisi metabolik pradiabetes.
5) Gangguan metabolisme lemak, kenaikan kadar trigliserid
serum dan kadar kolesterol serum; kenaikan LDL, HDL tidak
11
berubah atau turun; setelah kurang lebih 6 minggu akan menjadi
manifestasi (Schmitz et al, 2012).
6) Hiperurisemia disebabkan oleh penghambatan kompetitif
sekresi asam urat, yang berlangsung melalui sistem transpor
anion di tubulus proksimal seperti juga eliminasi diuretik tiazid.
Setelah kurang lebih 7-10 hari kenaikan asam urat serum akan
mencolok (Schmitz et al, 2012).
d. Indikasi
1) Hipertensi
Tiazid merupakan salah satu obat penting pada pengobatan
hipertensi, baik sebagai obat tunggal atau dalam kombinasi
dengan obat hipertensi lain. Selain sebagai diuretik, tiazid
memberi efek antik hipertensi berdasarkan efek penurunan
resistensi pembuluh darah (Nafrialdi, 2012).
2) Gagal jantung
Tiazid merupakan diuretik terpilih untuk pengobatan edema
akibat gagal jantung ringan sampai sedang. Ada baiknya bila
dikombinasikan dengan diuretik hemat kalsium pada pasien
yang juga mendapat pengobatan digitalis untuk mencegah
timbulnya hipokalemia yang memudahkan terjadinya intoksikasi
digitalis. Hasil yang baik juga didapat pada pengobatan tiazid
untuk edema akibat penyakit hati dan ginjal kronis. Pemberian
tiazid pada pasien gagal jantung atau hipertensi yang disertai
gangguan fungsi ginjal harus dilakukan dengan hati-hati sekali,
karena obat ini dapat memperberat gangguan fungsi ginjal
akibat penurunan kecepatan filtrasi glomerulus dan hilangnya
natrium, klorida, dan kalium dalam jumlah banyak (Nafrialdi,
2012).
12
3) Pengobatan jangka panjang edema kronik
Obat ini hendaknya diberikan dalam dosis yang cukup untuk
mempertahankan berat badan tanpa edema. Pasien jangan terlalu
dibatasi makan garam (Nafrialdi, 2012).
4) Diabetes insipidus
Golongan tiazid juga digunakan untuk pengobatan diabetes
insipidus terutama yang bersifat nefrogenik. Untuk diabetes
insipidus tipe sentral, tiazid masih mempunyai manfaat,
walaupun bukan merupakan obat pilihan (Nafrialdi, 2012).
5) Hiperkalsiuria
Pasien dengan batu kalsium pada saluran kemih mendapat
manfaat dari pengobatan tiazid, karena obat ini dapat mengurangi
ekskresi kalsium ke saluran kemih sehingga mengurangi risiko
pembentukan batu (Nafrialdi, 2012).
e. Kontraindikasi
Diuretik tiazid dikontraindikasikan untuk gangguan fungsi ginjal
yang berat disertai anuria, gangguan fungsi hati yang berat,
hipersensitivitas (alergi) terhadap sulfonamid dan antidiabetik
oral tipe sulfonilurea (Schmitz et al, 2012).
f. Interaksi Obat
Indometasin dan NSAID lain dapat mengurangi efek
diuretik tiazid karena kedua obat ini menghambat sistesis
prostaglandin vasodilator di ginjal, sehingga menurunkan aliran
darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Probenesid
menghambat sekresi tiazid ke dalam lumen tubulus. Akibatnya
efektivitas tiazid berkurang. Hipokalemia yang terjadi akibat
pemberian tiazid dapat meningkatkan risiko aritmia oleh
digitalis dan obat antiaritmia, sehingga pemantauan kadar
kalium sangat penting pada pasien yang juga mendapat digitalis
atau antiaritmia. Kehilangan kalium lebih lanjut misalnya pada
keadaan diare, muntah-muntah atau anoreksia harus segera
13
diatasi karena dapat memperbesar bahaya intoksikasi digitalis
(Nafrialdi, 2012).
Kombinasi tetap tiazid dengan KCl tidak digunakan lagi
karena menimbulkan iritasi lokal di usus halus. Tiazid
menghambat ekskresi litium sehingga kadar litium dalam darah
dapat meningkat (Nafrialdi, 2012).
g. Bentuk Sediaan Obat
Obat Sediaan Dosis
(mg/hari)
Lama kerja
(jam)
HCT Tablet 25 dan
50 mg
12,5-25 (HT);
25-100 (CHF)
6-12
Klorotiazid Tablet 250
dan 500 mg
250-1000 6-12
Hidroflumetazid Tablet 50 mg 12,5-25 (HT);
25-200 (CHF)
12-24
Bendroflumetazid Tablet 2,5;5
dan 10 mg
1,25 (HT); 10
(CHF)
6-12
Politiazid Tablet 1,2 dan
4 mg
1-4 (HT) 24-48
Tabel 2. Bentuk sediaan obat Tiazid (Nafrialdi,2012)
3. Carbonic Anhidrase Inhibitor
a. Farmakokinetik
Penghambat karbonik anhidrase diabsorpsi secara baik
setelah pemberian oral. Peningkatan pH urin akibat diuresis
HCO3- tampak dalam waktu 30 menit, maksimal setelah 2 jam,
dan bertahan selama 12 jam setelah pemberian dosis tunggal.
Obat dieksresi melalui sekresi di segmen S2 tubulus proksimal
sehingga dosis obat harus diturunkan pada insufisiensi ginjal
(Katzung, 2012).
b. Farmakodinamik
Inhibisi aktivitas karbonik anhidrase sangat menekan
reabsorpsi HCO3- di tubulus kontortus proksimal. Pada dosisnya
14
yang paling aman, penghambat karbonik anhidrase menghambat
85% kapasitas reabsorpsi HCO3- oleh tubulus kontortus
proksimal superfisial. Beberapa HCO3- dapat direabsorpsi di
tempat lain di nefron melalui mekanisme yang tidak bergantung
pada karbonik anhidrase sehingga efek keseluruhan
penghambatan oleh dosis maksimal acetazolamide hanyalah
sebesar 45% dari seluruh reabsorpsi HCO3- di ginjal.
Walaupun demikian, inhibisi karbonik anhidrase
menyebabkan pelepasan HCO3- dan asidosis metabolik
hiperklomerik yang signifikan (Tabel 1). Karena penurunan
kadar HCO3- dalam filtrat glomerulus dan fakta bahwa deplesi
HCO3- menyebabkan peningkatan reabsorpsi NaCl di segmen
nefron lain, efektivitas diuretik acetazolamide menurun secara
signifikan digunakan selama beberapa hari (Katzung, 2012).
Kelompok Elektrolit Urine pH
tubuhNaCl NaHCO3 K+
Penghambat
karbonik
anhidrase
Agen loop
Tiazid
Agen loop dan
tiazid
Agen hemat K+
+
++++
++
+++++
+
+++
0
+
+
(+)
+
+
+
++
-
-
+
+
+
-
Tabel 3. Perubahan dalam pola elektrolit urine dan pH tubuh
sebagai respons terhadap Carbonic Anhidrase Inhibitor
(Katzung, 2012).
15
c. Indikasi
Saat ini, aplikasi klinis acetazolamide yang utama
menyangkut transport cairan dan HCO3- yang bergantung pada
karbonik anhidrase di tempat lain selain ginjal. Badan siliaris
mata menyekresi HCO3- dari darah ke dalam aqueous humor.
Pembentukan cairan serebrospinal oleh plexus choroideus juga
menyangkut sekresi HCO3-. Walaupun berbagai proses ini
memindahkan HCO3- dari darah (arah yang berlawanan dengan
arah tubulus proksimal), proses-proses ini juga dihambat
karbonik anhidrase (Katzung, 2012).
Berikut beberapa indikasi penggunaan penghambat karbonik
anhidrase, antara lain (Katzung, 2012):
1) Glaukoma
Penurunan pembentukan aqueous humor oleh penghambat
karbonik anhidrase akan menurunkan tekanan intraokular. Efek
ini penting dalam tatalaksana glaukoma dan merupakan indikasi
penggunakaan penghambat karbonik anhidrase yang paling
banyak.
2) Alkalinisasi urin
Asam urat, sistin, dan asam lemah lainnya paling mudah
direabsorpsi dari urine yang bersifat asam. Oleh karena itu,
ekresi sistin (pada sistinuria) dan asam lemah lainnya oleh ginjal
dapat ditingkatkan dengan meningkatkan pH urine
menggunakan penghambat karbonik anhidrase.
3) Alkalosis metabolic
Alkalosis metabolik umumnya ditangani dengan mengoreksi
abnormalitas kadar K+ dalam tubuh, volume intravaskular, atau
kadar mineralokortikoid. Namun, jika alkalosis diakibatkan oleh
penggunakan diuretik berlebihan pada pasien gagal jantung yang
berat, penggantian volume intravaskular dikontraindikasikan.
4) Acute mountain sickness
16
Rasa lemah, pusing, insomnia, nyeri kepala, dan mual dapat
dialami oleh pendaki gunung yang mendaki gunung dengan
cepat di atas ketinggian 3000 meter. Gejala biasanya ringan dan
bertahan selama beberapa hari. Pada kasus yang lebih berat,
edema otak atau paru yang cepat memburuk dapat
membahayakan jiwa.
d. Kontraindikasi
Alkalinisasi urin yang dipicu oleh penghambat karbonik
anhidrase akan menurunkan ekresi NH4+ dalam urine dan dapat
berperan menimbulkan hiperamonemia dan ensefalopati hepatik
pada pasien sirosis (Katzung, 2012).
e. Efek Samping Obat
Berikut beberapa efek samping terhadap penggunaan
penghambat karbonik anhidrase, antara lain (Katzung, 2012):
1) Asisdosis metabolik hiperkloremik
Asidosis mungkin terjadi akibat reduksi kronik cadangan HCO3-
dalam tubuh oleh penghambat karbonik anhidrase dan
membatasi efektivitas diuretik menjadi hanya selama 2-3 hari.
Tidak seperti efek diuretik, asidosis tetap akan timbul selama
obat dilanjutkan.
2) Batu ginjal
Fosfaturia dan hiperkalsiuria terjadi sebagai respons
bikarbonaturik terhadap penghambat karbonik anhidrase.
Eksresi ginjal faktor pelarut dapat juga menurun pada
penggunaan kronik. Garam kalsium relatif tidak larut pada pH
alkali sehingga potensinya untuk membentuk batu ginjal
meningkat.
3) Penimbunan kalium ginjal
Pembuangan kalium dapat terjadi karena natrium yang mencapai
tubulus renalis colligens hanya diserap sebagian, meningkatkan
potensi listrik negatif di lumen pada segmen ini dan
17
meningkatkan sekresi kalium. Efek ini dapat dilawan dengan
pemberian kalium klorida.
5. Diuretik Osmotik
Istilah diuretik osmotik biasanya dipakai untuk zat bukan
elektrolit yang mudah dan cepat diekskresi oleh ginjal.Dengan
sifat-sifat ini, maka diueretik osmotik dapat diberikan dalam
jumlah cukup besar sehingga turut menentukan derajat
osmolalitas plasma, filtrat glomerulus dan cairan tubuli. Diuretik
Osmotik (manitol) adalah Diuretik yang digunakan dan
mempuyai efek meningkatkan produksi urin, dengan cara
meningkatkan tekanan osmotik di filtrasi glomerulus dan
tubulus. Mencegah tubulus mereabsorbsi air. Tubulus proksimal
dan ansa henle desenden sangat permeable terhadap reabsobsi
air. Diuretik osmotik yang tidak ditransportasi menyebabkan air
dipertahankan disegmen ini, yang dapat menimbulkan diuresis
air. Contoh lain dari golongan obat diuretik osmotik adalah:
uera, gliserin, isosorbit (Chulay, 2012).
a. Farmakodinamik
Diuretik osmotik (Manitol) mempunyai tempat utama yaitu:
pada Tubulus Proksimal, Ansa Henle dan Duktus kolingens .
Diuresis osmotik digunakan untuk mengatasi kelebihan cairan di
jaringan (intra sel) otak . Diuretik osmotik yang tetap berada
dalam kompartemen intravaskuler efektif dalam mengurangi
pembengkakan otak (Shawkat, 2012).
18
Manitol adalah larutan hiperosmolar yang digunakan untuk
terapi meningkatkan osmolalitas serum. Dengan alasan
fisiologis ini, cara kerja diuretik osmotik (Manitol) ialah
meningkatkan osmolaritas plasma dan menarik cairan normal
dari dalam sel otak yang osmolarnya rendah ke intravaskuler
yang olmolar tinggi, untuk menurunkan oedema otak. Pada
sistem ginjal bekerja membatasi reabsobsi air terutama pada
segmen dimana nefron sangat permeable terhadap air, yaitu
tubulus proksimal dan ansa henle desenden. Adanya bahan yang
tidak dapat direbasobsi air normal dengan masukkan tekanan
osmotik yang melawan keseimbangan. Akibatnya, volume urine
meningkat bersamaan dengan ekskresi manitiol. Peningkatan
dalam laju aliran urin menurunkan waktu kontak antara cairan
dan epitel tubulus sehingga menurunkan reabsobsi Na+. Namun
demikian, natriuresis yang terjadi kurang dibandingkan dengan
diuresis air, yang mungkin menyebabkan hipernatremia.
(Chulay, 2012).
Pemberian manitol untuk menurunkan Tekanan Intra
cranial masih terus dipelajari dan merupakan objek penelitian,
untuk mengetahui efek, mekanisme kerja dan efektifitas secara
klinis manitol untuk menurunkan PTIK. Telah diketahui
pemberian manitol banyak mekanisme aksi yang terjadi pada
sistim sirkulasi dan darah dalam mengatur haemostasis dan
19
haemodinamik tubuh, sehingga menjadi obat pilihan dalam
menurunkan Peningkatan tekanan intra cranial (Shawkat, 2012).
b. Farmakokinetik
Manitol tidak dimetabolisme terutama oleh glomerulus,
sedikit atau tanpa mengalami reabsobsi dan sekresi di tubulus
atau bahkan praktis dianggap tidak direabsrbsi. Manitol
meningkatkan tekanan osmotik pada glomerulus dan mencegah
tubulus mereabsorbsi air dan sodium. Manitol paling sering
digunakan diantara obat ini. Sesuai dengan definisi, diuretik
osmotik absobsinya buruk bila diberikan peroral, yang berarti
bahwa obat ini harus diberikan secara parenteral. Manitol
diekresikan melalui filtrasi glomerulus dalam waktu 30 – 60
menit setelah pemberian. Efek yang segera dirasakan klien
adalah peningkatan jumlah urine. Bila diberikan peroral manitol
menyebabkan diare Osmotik. Karena Efek ini maka Manitol
dapat juga digunakan untuk meningkatkan efek pengikatan K+
dan resin atau menghilangkan bahan-bahan toksin dari saluran
cerna yang berhubungan dengan zat arang aktif (Chulay, 2012).
c. Efek Samping Obat
Manitol didistribusikan ke cairan ekstrasel, oleh karena itu
pemberian larutan manitol hipertonis akan meningkakan
osmolaritas cairan ekstrasel sehingga dapat menambah jumlah
cairan ekstrasel. Hal ini tentu berbahaya bagi pasien payah
20
jantung. Kadang-kadang manitol juga dapat menimbulkan
hipersensitif (Nafrialdy, 2012).
d. Indikasi
Manitol antara lain digunakan untuk (Nafrialdy, 2012) :
1) Profilaksis gagal ginjal akut (GGA). GGA dapat timbul
oleh sebab prerenal, postrenal atau sebab renal.
Nekrosis tubulus akut merupakan kejadian yang paling
sering pada GGA. Pada hewan, manitol bermanfaat
mengurangi kejadian NTA. Namun data klinis tidak
menunjukkan kelabihan manitol dibanding dengan
pemberian diuretik kuat dan hidrasi yang cukup.
2) Menurunkan tekanan atau volume cairan intraokular.
3) Menurunkan tekanan atau cairan serebrospinal
e. Kontraindikasi
Manitol dikontraindikasikan pada penyakit ginjal dengan
anuria atau pada keadaan oligouria yang tidak responsif dengan
dosis percobaan, kongesti atau edema paru yang berat, dehidrasi
hebat dan perdarahan intrakranial kecuali bila dilakukan
kraniotomi. Infus manitol harus segera dihentikan bila terdapat
tanda-tanda gangguan fungsi ginjal yang progresif, payah
jantung atau kongesti paru (Shawkat, 2012).
Urea tidak boleh diberikan pada gangguan fungsi hati berat
karena ada risiko terjadinya peningkatan kadar amoniak.
21
Manitol dan urea dikontraindikasikan pada perdarahan serebral
aktif (Nafrialdy, 2012).
f. Interaksi Obat
Obat diuretik osmotik khususnya manitol akan
menyebabkan toksisitas litium (dengan hiponatremia yang
diinduksi diuretik) (Shawkat, 2012).
g. Contoh Obat dan sediaannya
Manitol. Untuk infus intravena digunakan larutan 20%.
Dosis dewasa berkisar antara 50-100 g (250-500 ml) dengan
kecepatan infus 30-50 mL/jam. Untuk mengurangi edema otak
diberikan 0,25-2 g/kgBB selama 30-0 menit. Untuk edema dan
asites dan untuk mengatasi GGA pada keracunan digunakan
dosis 500 mL dalam 6 jam (Nafrialdy, 2012).
22
III. METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Pasung kelinci
b. Kateter
c. Spuit 3 cc
d. Papan lilin
e. Beacker glass
2. Bahan
a. Parafin
b. Aquadest
c. Spironolakton 25 mg
d. Furosemid 40 mg
e. Penicillin prokain G (0,3 g)
f. Kapas
B. Cara Kerja
1. Ambil kelinci dan ditimbang.
2. Kelinci diletakkan di pemasung kelinci supaya tidak bergerak bebas
saat diberi perlakuan.
3. Kateter kecil yang sudah dilumasi dengan parafin dimasukkan ke
ostium urethra eksterna (OUE) kelinci.
4. Kosongkan vesika urinari dengan menekan abdomen bawah.
5. Hitung dosis obat.
6. Masukkan obat dengan cara sonde. Praktikan kelompok 1
menggunakan aquadest (sebagai kontrol), kelompok 2 menggunakan
furosemid, kelompok 3 dengan pemberian spironolakton, dan
kelompok 4 menggunakan ekstrak daun teh.
7. Amati hasil urin kelinci setiap 10 menit selama 30 menit.
8. Catat hasilnya
23
Bagan 1. Cara kerja praktikum
C. Hewan coba
Kelinci
24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Aquadest
Berat Badan Kelinci =1,25 kg
Dosis aquades = BB kelinci (kg) X 20 volume maksimal
(mL)
2,5 mL ( konversi dosis kelinci untuk
manusia)
= 1,25 kg X 20 mL
2,5 mL
= 10 mL
Tabel 2. Hasil pengamatan kelinci kontrolX1 X2
Volume Urin Kelinci
0 ml 0 ml
Warna Urin
kelinci
- -
Keterangan :
X1 : volume urin sebelum diberikan perlakuan (mL)
X2 : volume urin setelah diberikan perlakuan (mL)
25
X1 X20
5
10
15
20
25
30
35
40
45
0 0
Waktu
Series2
Gambar 1. Grafik perkembangan jumlah volume urin kelinci control
2. Furosemide
Berat Badan Kelinci = 1,74 Kg
DosisKelinci = BB kelinci (kg) X 20 volume maksimal
(mL)
2,5 mL ( konversi dosis kelinci untuk
manusia)
= 1,74 kg X 20 mL
2,5 mL
= 13,92 mL
Tabel 3. Hasil pengamatan kelinci furosemideX1 X2
Volume
Urin
Kelinci
25 ml 5 ml
Warna Urin
kelinci
Kuning
keruh
Kuning keruh
26
X1 X20
5
10
15
20
25
30
25
5
Waktu
Series2
Gambar 2. Grafik perkembangan jumlah volume urin kelinci
furosemide
3 .Spironolakton
Berat Badan Kelinci = 1,7 kg
DosisKelinci = BB kelinci (kg) X 20 volume maksimal
(mL)
2,5 mL ( konversi dosis kelinci untuk
manusia)
= 1,7 kg X 20 mL
2,5 mL
= 13,6 mL
Tabel 4. Hasil pengamatan kelinci spironolactoneX1 X2
Volume Urin
Kelinci
40 ml 25 ml
Warna Urin
kelinci
Kuning keruh Kuning
keruh
27
X1 X20
5
10
15
20
25
30
35
40
45
40
25
Waktu
Series2
Gambar 3. Grafik perkembangan jumlah volume urin kelinci
spironolakton
4. Aminofilin
Berat Badan Kelinci = 1,25 kg
DosisKelinci = BB kelinci (kg) X 20 volume maksimal
(mL)
2,5 mL ( konversi dosis kelinci untuk
manusia)
= 1,25 kg X 20 mL
2,5 mL
= 10 mL
Tabel 5. Hasil pengamatan kelinci ekstrak tehX1 X2
Volume Urin
Kelinci
10 ml 2 ml
Warna Urin Kuning keruh Kuning
28
kelinci keruh
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
10
2
Waktu
Series2
Gambar 4. Grafik perkembangan jumlah volume urin kelinci
aminofilin
Gambar 5. Grafik perbandingan jumlah volume urin kelinci setelah diberikan
perlakuan
B. Pembahasan
29
Aquadest Furosemid Spirolakton Aminofilin0
5
10
15
20
25
30
Volume (mL)
Volume (mL)
Pada percobaan sebelum diberikan aquadest ditunggu selama 10
menit, tidak ada volume urin yang dihasilkan. Hal ini dapat dipengaruhi
oleh faktor stres dikarenakan pengikatan kelinci pada pemasung atau juga
karena pengaruh suhu ruangan yang dingin. Lalu pada 10 menit kedua
setelah diberikan aquadest, volume urinpun tidak ada.
Pada pemeriksaan furosemide dan spironolakton terjadi
ketidaksesuaian hasil dengan teori. Furosemide adalah diuretik kuat yang
seharusnya menghasilkan volume urin yang lebih banyak dibandingkan
dengan spironolakton. Spironolakton mampu menghasilkan jumlah
volume urin yang lebih banyak daripada furosemide. Sedangkan
aminofilin adalah obat bronkodilator yang bersifat reverrsibel akan tetapi
memiliki efek diuretik yang sangat lemah. Dalam percobaan ini setelah
diberikan perlakuan dengan aminofilin menghasilkan urin meskipun
volumenya sedikit. Hal-hal ketidaksesuaian ini bisa disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kelinci kontrol diperlakukan dengan lebih tidak halus sehingga
memicu sress yang menyebabkan melonjaknya pengeluaran urin.
2. Tempat percobaan kelinci kontrol lebih dekat dengan air conditioner
sehingga suhu lebih dingin dan pengeluaran urin yang lebih banyak.
3. Kelinci kelompok kontrol sebelum diberikan perlakuan masih terdapat
sisa urin di dalam kandung kemih.
4. Penghitungan dosis yang kurang benar.
5. Proses pemasukkan obat ke kelinci furosemide, spironolakton dan
aminofilin kurang maksimal sehingga efeknya minimal.
6. Terdapat perbedaan secara genetik pada responsivitas terhadap
diuretik karena keturunan yang berbeda.
7. Peralatan dan bahan yang dipakai kurang memenuhi standar.
8. Proses percobaan yang dilakukan oleh praktikan yang kurang tepat.
C. Aplikasi Klinis
30
1. AsitesAsites dapat dijumpai pada beberapa bentuk sirosis dan biasanya
merupakan gambaran terakhir dari bentuk bilier. Mekanisme
terbentuknya asites yaitu pertukaran cairan antara darah dan cairan
interstitiel dikontrol oleh keseimbangan antara tekanan darah kapiler
yang mendorong masuk kedalam jaringan interstitiel dan tekanan
osmotik dari plasma protein yang menarik cairan tetap tinggal didalam
kapiler (Hadi, 2013).
Asites mungkin timbul secara mendadak atau mungkin pula
perlahan-lahan. Timbulnya asites secara mendadak dapat terjadi bila
fungsi hepatoseluler tertekan, misalnya setelah perdarahan
gastrointestinal, shock, infeksi atau pada penderita alkoholik. Hal ini
mungkin disebabkan oleh karena penurunan kadar serum albumin dan
atau kenaikan produksi aldosteron. Menaiknya tekanan vena porta karena
trombose pada vena porta dapat menyebabkan terjadinya asites pada
penderita dengan kadar serum albumin yang rendah. Asites yang timbul
secara perlahan-lahan mempunyai prognose yang lebih jelek, karena
mungkin tak berhubungan dengan faktor-faktor yang dapat diperbaiki.
Asites tersebut menyebabkan perut penderita makin lama makin teregang
dan penderita akan mengalami dyspnoe. (Hadi, 2013).
Penatalaksanaan asites dapat dengan menggunakan diuretik. Bila
setelah 4 hari dengan pengaturan diit dan cairanm penurunan BB kurang
dari 1 kg, maka perlu diberikan diuretika. Pemberian diuretika harus
ditentukan untuk masing-masing penderita. Pemberian diuretika harus
segera dihentikan atau dikurangi dosisnya, jika diurese terlalu cepat. Pada
pemberian diuretika harus diingat akan komplikasi yang mungkin terjadi
misalnya: hipokalemi, hiponatremi, dan hipokhloremia alkalosis (Hadi,
2013).
2. Hiperkalsemi Hiperkalsemi terjadi apabila kadar kalsium serum total melebihi
10,5 mg/dl (5,5 mEq/L). pada 90% kasus hiperkalsemi disebabkan
karena hipertiroidisme, kanker, dan juga gagal ginjal kronik. Pada kasus
berat dengan peningkatan kadar kalsium serum yang bermakna, keadaan
31
pasien memburuk dengan cepat dan mengalami dehidrasi, konfusi dan
letargi (Price, 2012).
Tujuan pengobatan hiperkalsemi adalah untuk memperbaiki hidrasi
yang memperbaiki eksresi kalsium urine, dan menghambat resorpsi
tulang. Prioritas utama pada pengobatan hiperkalsemi adalah hidrasi
larutan garam isotonic hingga volume ECF kembali normal. Ketika
volume ECF kembali normal, diberikan diuretic kuat (Furosemid) untuk
memperbaiki eksresi kalsium lebih lanjut (Price, 2012).
3. Gagal Ginjal AkutGagal ginjal akut adalah suatu sindrom yang ditandai oleh
penurunan yang cepat pada laju filtrasi glomelurus (Glomelular filtration
rate {GFR}) dalam beberapa waktu dan minggu, disertai adanya
akumulasi dari zat sisa metabolism nitrogen. Sindroma ini sering
ditemukan lewat peningkatan kadar kreatinin, ureum serum disertai
dengan penurunan aotput urine. Gejala dari gagal ginjal adalah mual
malaise dan kelebihan cairan (Davey, 2011).
Penyebab dari gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 yaitu (Markum,
2010):
a. Pra-renalPenyebab dari gagal ginjal akut pra-renal dalah hipoperfusi
ginjal yang disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya sirkulasi
ke ginjal.
b. RenalGagal ginjal akut renal disebabkan oleh kelainan vaskuler
seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulonefritis akut, nefritis
intertitialis.
c. Post-renalGagal ginjal akut post renal disebabkan oleh obstruksi
intrarenal dan ekstrarenal, obstruksi dapat berupa tumor atau
endapan batu.
Kelebihan cairan merupakan salah satu gejala yang harus ditangani
secara serius karena kelebihan cairan dapat menyebabkan edem
tergantung, ronki kering pernapasan, dyspnea, dan batuk (Corwin, 2011).
32
Pada keadaan hipovolemia akan terjadi penurunan tekanan darah,
yang akan mengaktifkan baroreseptor kardiovaskuler yang selanjutnya
akan mengaktifkan sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin serta
merangsang pelepasan vasopresin dan endothelin-1 (ET-1), yang
merupakan mekanisme tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan
curah jantung serta perfusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme
otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal dan laju
filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol affern. Mekanisme
ini berfungsi untuk mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada
hipperfusi renal yang berat (tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) serta
berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka mekanisme
otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana arteriole afferen mengalami
vasokonstriksi, terjadi kontraksi mesangeal dan peningkatan reabsorbsi
Na+ dan air (Markum, 2010).
Oleh karena itu, diuretic kuat merupakan salah satu terapi yang
digunakan untuk menanggulangi kelebihan cairan yang diakibatkan oleh
gagal ginjal. Furosemid merupkan salah satu diuretic kuat yang efektif
digunakan, Karena mekanisme kerjanya yaitu menghambat reabsorpsi
Na+, K+, dan Cl-, sehingga urin yang dibuang kaya akan ion ion tersebut
dan hasilnya kelebihan cairan akibat gagal ginjal dapat diatasi (Schmitz,
2010).
D. Evaluasi
1. Bagaimana Mekanisme Kerja HCT dan Furosemide dalam
menimbulkan diuresis
a. Hidroclorothiazid
Mekanisme kerja HCT sama seperti obat golongan diuretik
thiazid yang lain, HCT bekerja dengan menghambat
reabsorbsi Na+ Cl- pada area luminal epitel tubulus
kontortus distal dengan memnblokir reseptor Na+/Cl- di
tempat tersebut sehingga reabsorbsi air dari urin pun ikut
terhambat (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK
UI, 2007).
33
b. Furosemide
Furosemide bekerja pada ansa henle seperti obat diuretik
kuat yang lain dengan menghambat transporter Na+K/2Cl-
sehingga reabsorbsi garam natrium dan reabsorsi air juga
terhambat (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK
UI, 2007).
2. Sebutkan gejala-gejala toksik loop diuretic
a. Gangguan pendengaran (ototoksitas)
b. Alergi
c. Alkalosis metabolik Hipokalemia
d. Deplesi Cairan dan Hipomagnesemia; ditandai oleh lemas,
haus, hipotensi).
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
Pada dosis tinggi, loop diuretik dapat menginduksi
perubahan komposisi elektrolit dalam endolimfe dan menyebabkan
ketulian yang sifatnya tidak dapat pulih kembali. Ketualian adalah
manifestasi klinis yang digunakan sebagai salah satu indikator
tanda toxic effec dari loop diuretik (Neal, 2002).
3. Sebutkan kegunaan diuretic thiazide dan golongan acarbose
Diuretic Thiazid : Terapi Hiepertensi, Gagal Jantung,
Hiperkalsiuria
Acarbose : Pengobatan Diabetes Mellitus Tipe 2
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
4. Sebutkan klasifikasi diuretic dan cara kerjanya serta berilah
contohnya masing-masing dua!
a. Diuretik kuat
Bekerja di lengkung henle ascendens epitel tebal melalui
penghambatan reabsorpsi Na+, K+, dan Cl-.Contoh obatnya
antara lain furosemide dan bumetamid (Departemen
Farmakologi danTerapeutik FK UI, 2007).
b. Diuretik hemat kalium
34
Bekerja di tubulus colligentes (untuk obat antagonis
aldosterone) dan di akhir tubulus distal (untuk obat triamterene
dan amilorid). Antagonis aldosterone seperti spironolactone
dan eplerenon bekerja dengan cara antagonis kompetitif pada
reseptor aldosterone sehingga menghambat reabsorpsi Na+dan
Cl-, namun mampu menghemat K+. Sedangkan triamterene dan
amilorid bekerja langsung tanpa melalui penghambatan
reseptor aldosterone (Departemen Farmakologi dan Terapeutik
FK UI, 2007).
c. Thiazid
Bekerja di hulu tubulus distal dengan cara menghambat
reabsorpsi natrium dan klorida, contoh obatnya adalah
hidrochlorothiazid dan chlorothiazid (Departemen Farmakologi
danTerapeutik FK UI, 2007).
d. Diuretik osmotic
Bekerja di tiga tempat yaitu proximal tubule, ansa henle, dan
tubulus collectivus. Prinsip kerja pada proximal tubule adalah
meningkatkan tekanan osmotic intralumen sehingga menarik
air ke lumen dan menghambat reabsorpsi natrium serta klorida.
Sedangkan pada ansa henle, diuretic osmotic bekerja melalui
prinsip hipertonisitas. Pada tubulus collectivus diuretic osmotic
bekerja dengan menghambat ADH.Contoh obat diuretic
osmotic antara lain mannitol, gliserin, isosorbid, dan urea
(Departemen Farmakologi danTerapeutik FK UI, 2007).
e. Inhibitor carbonic anhydrase
Bekerja di proximal tubule dengan cara menghambat enzim
carbonic anhydrase secara non kompetitif. Hal tersebut
menyebabkan penghambatan reabsorpsi HCO3- di ginjal.
Contoh obatnya adalah asetazolamid dan metazolamid
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
f. Antagonis ADH
35
Bekerja di ductus collectives melalui penurunan produksi
cAMPsebagai respon ADH, hal ini menyebabkan peningkatan
diuresis. Contoh obatnya adalah lithium dan demeclocycline
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI, 2007).
5. Jelaskan efek pemberian ekstrak daun teh dengan perasan
kulit semangka!
Kulit semangka memiliki kandungan citrulin dan arginine yang
mampu meningkatkan pembentukan urea di hati dari ammonia dan
CO2 sehingga terjadi peningkatan produksi urin.Daun tehmemiliki
kandungan kafein yang memiliki efek diuretic (Ratnasooriyaet al.,
2009).
IV.KESIMPULAN
1. Loop diuretic yang digunakan yaitu Furosemide menimbulkan efek
diuretik yang kurang maksimal karena onset kerja obat yang lambat dan
36
jumlah volume urin yang keluar lebih sedikit dibanding volume urin
pemberian akibat penggunaan spironolactone dan aminophilline.
2. Aminophylline dan spironolactone menimbulkan efek kerja diuretik
osmotik dan campuran keduanya pada percobaan menimbulkan onset efek
yang lebih cepat
3. Perbedaan hasil yang didapat dengan teori mungkin disebabkan kesalahan
praktikan dalam memasukkan obat atau mengosongkan kandung kemih
kelinci.
DAFTAR PUSTAKA
37
Chulay, M. 2012. AACN Essentials of Critical Care Nursing. USA: Mc Graw
Hill
Corwin, Elizabeth, J. 2011. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC
Davey, Patrick. 2012. At A Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Deglin, Judith H. 2013. Pedoman Obat Untuk Perawat. Jakarta: EGC
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2012. Farmakologi dan Terapi.
Jakarta :Balai Penerbit FK UI.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Hadi, Sujono. 2013. Gastroenterologi. Bandung: PT. Alumni.
Katzung, Bertram G.2012. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta :EGC
Lachman, Leon dkk. 2013. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Jakarta
Universitas Indonesia Press.
Nafrialdi. 2012. Diuretik dan Antidiuretik dalam Farmakologi dan Terapi Edisi 5.
Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
Neal, M J. 2002. At a Glance Farmakologi Medis. Fourth Edition. Blackwell
Publishing Company: Oxford.
Panggabean, Marulam. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 5. Jakarta:
InternaPublishing
Penterjemah: Irawati, Ramadani D, Indriyani F. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2010
Price, Sylvia, A., Wilson, Lorraine, M. 2012. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta: EGC
Schmitz, Gery., Hans Lepper., Michael Heidrich. 2010. Farmakologi dan
Toksikologi. Jakarta: EGC
Shawkat, H. 2012. A review of its clinical uses. Available at:
http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/early/2012/01/12/bjaceaccp.mkr0
63.full. (Diakses pada 9 September 2015)
Sunaryo. 2007. Diuretik dan Antidiuretik dalam Farmakologi dan Terapi. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI.
38
39