Post on 05-Dec-2014
description
KATA PENGANTAR
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) 2010 Provinsi Sulawesi Selatan
memiliki makna penting dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia. Pertama, EKPD
ini memuat hasil evaluasi pencapaian dari penyelenggaraan RPJMN 2004-2009 di Provinsi
Sulawesi Selatan, sehingga kinerja dari satu periode RPJMN terpresentasikan secara utuh.
Kedua, EKPD ini memuat analisis relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi
Sulawesi Selatan, sehingga bisa memberi arahan bagi EKPD 2011 dan seterusnya.
Laporan EKPD 2010 Provinsi Sulawesi Selatan telah diselesaikan dengan baik.
Substansi isi dan metode evaluasi sepenuhnya mengacu kepada Panduan EKPD 2010 yang
disusun Bappenas, sementara analisis dan eksplanasi atas sejumlah fakta dilakukan sesuai
kompetensi akademis dari masing-masing evaluator.
Terima kasih disampaikan kepada Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan atas
dukungannya selama EKPD ini berlangsung, terutama dalam penyelenggaraan focus group
discussion yang melibatkan seluruh Kepala Bidang di Bappeda, khususnya Kepala Bidang
Monitoring dan Evaluasi Pembangunan, serta dukungan data dan informasi yang diberikan.
Terima kasih juga disampaikan kepada pihak Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah
Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat serta seluruh SKPD Provinsi Sulawesi Selatan yang telah
memberikan data yang diperlukan bagi EKPD ini serta terlibat dalam diskusi-diskusi dengan
evaluator.
Akhirnya, terima kasih disampaikan kepada pihak Bappenas atas kepercayaannya
kepada Universitas Hasanuddin dalam penyelenggaraan EKPD 2010 ini. Semoga kerjasama
ini memberi manfaat sebesar-besarnya bagi kemajuan bangsa dan negara.
Makassar, 9 Desember 2010
Rektor Universitas Hasanuddin, u.b. Pembantu Rektor Bidang Kerjasama dan Perencanaan
Prof. Dr. Dwia Aries Tina NK., MSc.
NIP:
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang (UU) No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah satu dari empat
tahapan perencanaan pembangunan, yang meliputi penyusunan, penetapan, pengendalian
perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan. Sebagai suatu tahapan
perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan secara sistematis dengan
mengumpulkan dan menganalisis data serta informasi untuk menilai sejauh mana
pencapaian sasaran dan tujuan atau kinerja pembangunan secara keseluruhan.
Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai dilaksanakan. Sesuai dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan
Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan, pemerintah (BAPPENAS) berkewajiban
untuk melihat sejauh mana pelaksanaan RPJMN tersebut.
Saat ini Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014
telah ditetapkan. Siklus pembangunan jangka menengah ilma tahun secara nasional tidak
selalu sama dengan siklus pembangunan jangka menengah lima tahun di daerah, sehingga
penetapan RPJMN 2010-2014 tidak bersamaan waktunya dengan RPJMD Provinsi. Hal ini
menyebabkan prioritas-prioritas dalam RPJMD Provinsi tidak selalu mengacu pada prioritas-
prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu dilakukan evaluasi relevansi prioritas/program
antara RPJMN dengan RPJMD provinsi.
Di dalam pelaksanaan evaluasi ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang berkaitan
dengan RPJMN. Pertama, evaluasi atas pelaksanaan RPJMN 2004-2009; kedua, penilaian
keterkaitan antara RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2012 dengan RPJMN 2010-2014.
Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah evaluasi ex-
post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada
tiga agenda RPJMN 2004-2009 yaitu agenda Aman dan Damai, Adil dan Demokratis, serta
Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai
pemerintahan atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis
indikator pencapaian.
2
Metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD
Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2012 adalah dengan membandingkan keterkaitan 11
prioritas nasional dan tiga prioritas lainnya dengan prioritas daerah Provinsi Sulawesi
Selatan. Selain itu, juga dengan mengindentifikasi potensi lokal dan prioritas daerah yang
tidak ada dalam RPJMN 2010-2014. Adapun prioritas nasional dalam RPJMN 2010-1014
adalah: 1. Refomasi Birokrasi dan Tata Kelola, 2. Pendidikan, 3. Kesehatan, 4.
Penanggulangan Kemiskinan, 5. Ketahanan Pangan, 6. Infrastruktur, 7. Iklim Investasi dan
Iklim Usaha, 8. Energi, 9. Lingkungan Hidup dan Pengelolahan Bencana, 10. Kebudayaan,
Kreativitas dan Inovasi Teknologi, dan tiga prioritas lainnya yaitu 1. Kesejahteraan Rakyat
Lainnya, 2. Politik, Hukum dan Keamanan lainnya, 3. Perekonomian Lainnya.
Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada perencanaan
di daerah. Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah dalam
mengambil kebijakan pembangunan daerah.
Pelaksanaan EKPD ini dilakukan melalui kerjasama antara Bappenas cq. Deputi
Evaluasi Kinerja Pembangunan dengan Universitas Hasanuddin selaku evaluator eksternal
dan dibantu oleh stakeholders daerah. Pelaksanaan EKPD 2010 mengacu pada Panduan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah 2010 yang disusun oleh Deputi Bidang Evaluasi
Kinerja Pembangunan, Bappenas.
2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan dari EKPD Provinsi Sulawesi Selatan adalah:
1. Untuk melihat sejauhmana pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat
memberikan kontribusi pada pembangunan daerah Sulawesi Selatan;
2. Untuk mengetahui sejauhmana keterkaitan prioritas/program dalam RPJMN
2010-2014 dengan prioritas/program yang ada dalam RPJMD Provinsi
Sulawesi Selatan 2008-2013.
Sasaran dari EKPD Provinsi Sulawesi Selatan adalah:
1. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di
Provinsi Sulawesi Selatan;
2. Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMN 2010-2014
dengan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.
3
3. Keluaran
Luaran dari kegiatan ini adalah:
1. Tersedianya dokumen evaluasi pencapaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009
di daerah Provinsi Sulawesi Selatan;
2. Tersedianya dokumen evaluasi keterkaitan RPJMN 2010-2014 dengan
RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013.
4
BAB II
HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI 1. Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai pada RPJMN 2004-2009
mencakup beberapa program yang pencapaiannya dapat diukur pada tiga indikator utama
yakni indeks kriminalitas, persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan
persentase penyelesaian kasus kejahatan transnasional. Dalam EKPD Sulawesi Selatan
2004-2009, data indeks kriminalitas tidak dapat ditemukan sehingga data yang digunakan
adalah tingkat kriminalitas, berupa perbandingan antara kasus kriminalitas yang terjadi
dengan total penduduk Sulawesi Selatan, dinyatakan dalam satuan jumlah tindakan kriminal
perseribu penduduk dalam setahun. Data tentang persentase penyelesaian kasus kejahatan
transnasional juga tidak ditemukan sehingga hanya diberikan evaluasi kualitatif-deskriptif.
Adapun nilai pencapaian indikator untuk agenda Pembangunan Indonesia Yang
Aman dan Damai dapat digambarkan pada Tabel-1.
Tabel-1: Nilai Pencapaian Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan.
No.
Indikator
Nilai Indikator
Sumber Data 2004 2005 2006 2007 2008 2009
1. Indeks Kriminalitas (Tingkat Kriminalitas)
1,5027 1,5492 1,7530 2,0263 1,7240 1,6636 Polda Sulselbar, 2005-2010
2. Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional
59,81 54,96 54,38 55,97 48,92 44,16 Polda Sulselbar, 2005-2010
3. Persentase Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional
-
-
-
-
-
-
-
2. Analisis Pencapaian Indikator
(1) Keamanan dan Kedamaian
1. Tingkat Kriminalitas Tingkat kriminalitas di Sulawesi Selatan, yakni jumlah kejadian kriminal perseribu
penduduk dalam satu tahun, menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat pada
5
periode 2004-2007, puncak peningkatan pada tahun 2007, lalu menurun pada periode 2008-
2009 (Grafik-1), sementara gambaran kuantitatif jenis dan tingkat kriminalitas tersebut dapat
dilihat pada Tabel-2. Pada tahun 2007, angka kriminalitas di Sulawesi Selatan mencapai 2,02
kejadian perseribu penduduk, bertambah 0,27 poin dari tahun 2006, dimana angka ini
menurun 0,30 menjadi 1,72 pada tahun 2008. Pada tahun 2007, jumlah tindak pidana di
Sulawesi Selatan mencapai 15.554 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana
selama 33 menit delapan detik. Pada tahun 2006 jumlah tindak pidana mencapai 13.374
kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 39 menit, pada tahun 2008
sebanyak 13.456 kasus dengan selang waktu kejadian antar tindak pidana selama 39 menit
enam detik. Pada tahun 2007 tersebut, persentase penyelesaian kasus pidana sebanyak
60,34%, pada tahun 2006 lebih rendah yakni 60,25% dan pada tahun 2008 lebih tinggi yakni
64,71%.
Grafik-1: Tingka Kriminalitas di Sulawesi Selatan 2004-2009.
Tingginya angka kriminalitas pada tahun 2007, sebagaimana terlihat pada Grafik-1,
diduga banyak dipengaruhi oleh panasnya suhu politik di Sulawesi Selatan menjelang dan
pasca pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun tersebut. Konflik antar pendukung
calon gubernur yang terjadi di sejumlah kabupaten/kota selain punya andil langsung terhadap
tingginya tingkat kriminalitas, juga situasi dan kondisi yang relatif tidak stabil ketika itu
banyak dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan untuk melaksanakan aksi-aksi
6
kejahatannya. Sementara itu, perhatian aparat keamanan, baik menjelang pemilihan maupun
sesudah pemilihan, juga lebih banyak tercurah pada pengamanan pemilihan, dimana situasi
ini diduga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan tindakan kriminal.
Tabel-2: Keadaan Umum Tindak Pidana serta Tingkat Kriminalitas di Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009.
Pada tahun 2007, kondisi perekonomian Sulawesi Selatan juga kurang baik
kinerjanya. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2005 sangat rendah, ini mempunyai akibat
sangat besar bagi sebagian besar rumah tangga miskin dimana salah satu akibatnya adalah
tingginya angka pencurian. Pada tahun 2004 hingga 2007 angka pengangguran juga tinggi,
pada tahun 2006 sebanyak 18,64% dan meskipun pada tahun 2007 sudah menurun menjadi
12,78 % tetapi efeknya pada tekanan ekonomi penduduk masih signifikan dalam mendorong
terjadinya kriminalitas. Jumlah rumah tangga miskin juga tinggi pada periode 2004-2007,
yakni diatas 14%. Kesemua ini memberi indikasi adanya korelasi antara kondisi
perekonomian yang kurang baik dengan tingginya angka kriminalitas.
Pada tahun 2008-2009, terjadi perbaikan ketertiban dan keamanan yang signfikan,
ditandai dengan angka kriminalitas yang terus menurun. Ini terkait dengan kondisi politik
yang kembali normal pasca pemilihan gubernur, meskipun dalam pemilihan kepala daerah
tahun 2010 terjadi ekses cukup tajam, tetapi efeknya pada kriminalitas akan terlihat pada
data tahun tersebut dan tahun berikutnya. Perbaikan kondisi ketertiban dan keamanan juga
U r a i a n T a h u n
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Jumlah Tindak Pidana 11.089 11.611 13.374 15.554 13.456 13.730
Penyelesaian 6.042 6.341 8.058 9.385 8.707 8.729
% Penyelesaian 54,49% 54,61% 60,25% 60,34% 64,71 63,58
Selang Waktu terjadinya Tindak Pidana
47’39” 45’ 39’ 33’8” 39,06 38,28
Jumlah Penduduk 7.379.370 7.494.701 7.629.138 7.675.893 7.805.024 8.253.387
Tingkat kriminalitas 1,5027 1,5492 1,7530 2,0263 1,7240 1,6636
Sumber: Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Selatan , 2004-2009 dan BPS 2006-2009 (Diolah kembali)
7
didukung oleh kondisi perekonomian yang membaik pada tahun 2008-2009 yakni angka
kemiskinan dan pengangguran yang terus berkurang dan pertumbuhan ekonomi yang relatif
terpelihara.
2. Penyelesaian Kejahatan Konvensional Ditinjau dari seluruh kejahatan konvensional yang terjadi di Sulawesi Selatan, telah
terjadi peningkatan persentase penyelesaian kasus selama periode 2004-2009. Pada tahun
2005 penyelesaian kasus hanya 54,49%, meningkat hingga 64,71% pada tahun 2008, dan
sedikit menurun pada tahun 2009 yakni 63,58% (Grafik-2). Ini menujukkan peningkatan
kinerja aparat keamanan, khususnya jajaran kepolisian, dalam penyelesaian tindak pidana
kejahatan konvensional. Namun demikian, ditinjau dari segi penyelesaian jenis kejahatan
yang menonjol di Sulawesi Selatan, sebagaimana juga terlihat pada Grafik-2, terdapat
penurunan tingkat penyelesaian kejahatan. Persentase penyelesaian tertinggi adalah pada
tahun 2004 (59,81%), kemudian pada tahun 2005 dan tahun 2006 menurun menjadi sekitar
54%, dan sedikit meningkat pada tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2008 dan 2009
persentase penyelesaiannya menurun menjadi 48,92 % dan 44,16%. Secara keseluruhan
persentase penyelesaian kasus tindak pidana mengalami peningkatan, tetapi untuk kasus
kejahatan yang menonjol persentase penyelesaiannya justru menurun.
Grafik-2: Penyelesaian keseluruhan tindak pidana kejahatan konvensional dan Tindak pidana kejahatan menonjol di Sulawesi Selatan 2004-2009.
8
Hasil wawancara dengan pihak kepolisian menunjukkan bahwa tidak tertutup
kemungkinan perbedaan persentase penyelesaian ini disebabkan oleh keterbatasan jumlah
dan kualitas aparat kepolisian yang menangani jenis kejahatan yang menonjol, keterbatasan
sarana prasarana penunjang pelaksanaan tugas aparat, serta modus operandi penjahat yang
semakin beragam dengan jumlah dan kualitas yang juga semakin meningkat. Dengan
kondisi demikian, maka peluang menumpuknya penyelesaian kasus tertentu yang menonjol
di kepolisian menjadi sangat besar, yang pada gilirannya bisa mengurangi kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga penegak hukum, khususnya kepolisian.
Pada kejahatan konvensional, hal yang juga perlu dicermati adalah kecenderungan
meningkatnya jumlah absolut jenis kejahatan tertentu yang menonjol pada periode 2004-
2009 (Lihat data penunjang pada Tabel-3). Kalau pada tahun 2004 jumlahnya hanya 3.926
kasus, pada tahun 2007 bertambah menjadi 5.346 kasus, pada tahun 2009 jumlahnya terus
meningkat dan mencapai angka 5.562 kasus.
Tabel-3: Kasus Kejahatan Konvensional Menurut Jenis Kejahatan Yang Menonjol di
Sulawesi Selatan Tahun 2004-2009
Jenis Kejahatan
Yang Menonjol
T a h u n
2004 2005 2006 2007 2008 2009
L S L S L S L S L S L S
Perkelahian Kelompok
17 13 3 4 3 1 9 - - - - -
Pengeroyokan 168 111 239 157 232 180 463 374 513 400 660 469
Pemerasan & Ancaman
67 36 75 31 96 66 84 59 295 164 504 229
Penghancuran/ Perusakan Barang
421 202 399 208 516 317 585 332 469 336 201 121
Pembakaran 29 20 10 9 32 14 31 17 14 10 17 13
CD Porno 1 - 2 3 15 9 10 2 60 40 2 -
Perzinahan+ Cabul
166 112 203 119 249 201 233 192 180 97 332 236
Perkosaan 105 76 97 70 112 70 142 115 135 105 109 112
9
Miras 68 60 86 85 82 73 84 99 390 224 131 113
Narkotika/ Psikotropika
275 309 269 370 261 260 274 244 392 371 409 356
Pembunuhan 143 125 121 117 127 133 109 99 139 106 89 68
Aniya Berat 814 268 1.047 603 1.000 736 970 673 531 403 412 312
Empat Jenis Pencurian
1.652
1.016 1.852 644 2.255 648 2.352 786 2.209 350 2.696
427
Jumlah 3.926
2.348 4.403 2.420 4.980 2.708 5.346 2.992 5.327 2.606
5.562
2.456
% Penyelesaian - 59,81 - 54,96 - 54,38 - 55,97 - 48,9
2 - 44,16
Sumber: Kepolisian Negara RI Daerah Sulawesi Selatan, 2004-2009 (diolah kembali) Keterangan : L = Lapor; S = Selesai
Dari sejumlah jenis kejahatan konvensional tersebut, yang sangat menonjol dan
mengalami peningkatan selama periode 2004-2009 adalah pencurian yakni pencurian berat,
pencurian dengan kekerasan, pencurian hewan dan pencurian kendaraan bermotor.
Perkelahian kelompok yang pada tahun 2005 dan 2006 menunjukkan penurunan, pada
tahun 2007 kembali mengalami peningkatan. Data tentang perkelahian kelompok ini belum
mencakup perkelahian antara anggota POLRI dengan anggota TNI yang cukup
menghebohkan di Bantaeng pada tanggal 22 September 2007. Meskipun jumlah kasus
perkelahian antar kelompok pada tahun 2007 lebih rendah dibanding perkelahian antar
kelompok pada tahun 2004, yang memprihatinkan dari perkelahian tahun 2007 adalah
banyaknya generasi muda dari kalangan mahasiswa yang terlibat, padahal faktor pemicunya
hanyalah masalah-masalah sepele yang seyogyanya tidak berkembang dalam skala besar.
Hal lain yang mungkin ikut berpengaruh antara lain adalah karakteristik masyarakat Sulawesi
Selatan yang “agak keras”, euforia reformasi dan kekurangtegasan aparat dalam
penanganan berbagai kasus tersebut. Selanjutnya, menyangkut kasus pengeroyokan,
pemerasan dan ancaman, penghancuran/perusakan barang, serta pembakaran, trennya juga
agak mengkuatirkan. Hal ini merupakan sinyal berkurangnya rasa saling percaya dan
keharmonisan hubungan antar kelompok masyarakat yang justeru merupakan salah satu
prioritas RPJMN 2004-2009.
10
Pada wilayah-wilayah perkotaan di Sulawesi Selatan nilai-nilai materialisme telah
semakin menguat, berbarengan dengan cenderung memudarnya solidaritas sosial, nilai-nilai
kekeluargaan, dan keramahtamahan sosial. Identitas nasional kemudian terlemahkan oleh
cepatnya penyerapan budaya global yang negatif, serta keterbatasan dalam mengadopsi
budaya global yang lebih relevan bagi upaya pembangunan karakter bangsa. Gambaran
cepatnya penyerapan budaya global yang negatif di Sulawesi Selatan, antara lain dapat
dilihat dari peningkatan jumlah kasus narkotika/psikotropika, CD porno, perzinahan,
perkosaan dan pencabulan (Lihat Tabel-3). Tingginya pertambahan kasus
narkotika/psikotropika juga semakin mengkuatirkan. Pada tahun 2004 hanya 275 kasus dan
pada tahun 2009 sudah mencapai 409 kasus. Beberapa kalangan mengemukakan bahwa
peningkatan jumlah penyalahgunaan narkotika/psikotropika sekaligus berpotensi semakin
meningkatnya pula jumlah penderita HIV/AIDS. Data yang diperoleh melalui media terungkap
bahwa kasus penyalahgunaan narkotika/psikotropika nampaknya berkorelasi positif dengan
peningkatan penderita HIV/AIDS. Data pada Harian Fajar (Senin, 10 Nopember 2008)
mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar jumlah
penderita HIV/AIDS yang ditemukan dan terdeteksi khusus di Kota Makassar terhitung
Januari hingga April 2008 adalah 1.782 orang, padahal di penghujung 2007 baru 1.599
orang. Artinya hanya dalam waktu empat bulan, penderita penyakit mematikan ini bertambah
183 orang. Dari sumber yang sama juga dikemukakan bahwa untuk Sulawesi Selatan, jika
tahun 2007 hanya 1.844 orang, maka pada April 2008 sudah mencapai angka 2.059 orang
atau mengalami peningkatan 215 orang. Walaupun Pemerintah dan pemerhati HIV/AIDS
tidak tinggal diam (di Makassar sudah disiapkan tujuh lokasi Voluntary Counseling Testing
(VCT) untuk membantu pendeteksian virus HIV. Hanya saja, data dari Dinas Kesehatan Kota
Makassar ini akurasinya diragukan oleh sejumlah LSM, karena berdasarkan pemantauan
mereka, disinyalir yang belum ditemukan dan terdeteksi jumlahnya bisa mencapai angka 10
kali lipat dari pada yang terdeteksi. Dalam konteks ini, dari berbagai sumber termasuk dari
kepolisian, dikemukakan bahwa maraknya kasus HIV/AIDS di Sulawesi Selatan dan
Makassar tidak terlepas dari sindikat peredaran narkoba di wilayah ini. Data hasil tangkapan
Polwiltabel Makassar menunjukkan bahwa dari Januari hingga 9 Nopember 2008 kasus
narkoba yang tertangkap adalah 66 kasus dengan tersangka 82 orang.
Demikian pula kasus perkosaan, dari 105 kasus pada tahun 2004, meningkat menjadi
142 kasus pada tahun 2007. Kecenderungan peningkatan kasus-kasus tersebut
menunjukkan tanda yang semakin mengkuatirkan. Meskipun kasus CD porno,
11
perzinahan/perbuatan cabul dan kasus miras sedikit menurun, penyerapan nilai-nilai budaya
global yang negatif, yang berimbas terhadap etika pergaulan sosial, merupakan peringatan
yang harus ditangani secara sungguh-sungguh oleh semua pihak. Bahkan beberapa aksi
erotis versi lokal yang populer dengan nama “candoleng-doleng” (pertunjukan musik elekton
pada acara pesta yang disertai tarian erotis) hingga saat ini masih menjadi agenda
mendesak pemerintah di beberapa kabupaten untuk menghentikannya. Demikian pula kasus
rekaman adegan porno/mesum yang melibatkan warga setempat sudah ditemukan di
beberapa daerah seperti di Kabupaten Bone, Soppeng dan Kota Pare-Pare. Fenomena ini
memberikan gambaran betapa cepatnya penyerapan nilai-nilai budaya global yang negatif,
yang berimbas terhadap etika pergaulan masyarakat.
Pada sisi lain toleransi antar etnis dan antar umat beragama meskipun datanya
secara pasti tidak diperoleh oleh tim evaluasi, namun dilihat dari keterlibatan berbagai etnis di
Sulawesi Selatan (empat etnis besar yakni Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar), termasuk
etnis Tionghoa, dalam kesuksesan berbagai event keagamaan yang dilaksanakan di
Sulawesi Selatan, dapat dikatakan bahwa pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi
Selatan dari aspek toleransi dan kerukunan antar etnis dan umat beragama, walaupun masih
perlu lebih ditingkatkan, namun sudah berada pada jalur yang benar.
Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai instansi terkait, secara umum agenda
mewujudkan Indonesia yang Aman dan Damai di Sulawesi Selatan pada periode 2004-2009
walaupun dapat dikatakan cukup berhasil, namun beberapa faktor seperti kenaikan harga
BBM, cukup panasnya suhu politik dalam proses dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah
baik pada level Provinisi maupun Kabupaten/Kota, memiliki pengaruh (timbal baik) yang
cukup besar terhadap upaya mewujudkan agenda tersebut. Selain itu, persaingan para calon
anggota legislatif [DPR, DPRD dan DPD), juga merupakan faktor yang mempengaruhi
kondisi aman dan damai.
Selain itu, terdapat faktor lain yang berpengaruh yakni perubahan peran TNI dalam
pemeliharaan ketertiban dan keamanan, serta belum sempurnanya kesiapan Polri untuk
sepenuhnya berperan sebagai ujung tombak pemelihara keamanan dan ketertiban,
menyebabkan aktivitas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat belum mampu
dilaksanakan secara efektif. Demikian pula, apabila ditinjau dari jumlah dan kualitas personil
aparat keamanan dalam memelihara keamanan di sebagian besar wilayah yang belum
memadai ditengah keragaman masyarakat (etnis, budaya dan agama), serta perubahan spirit
12
zaman yang antara lain ditandai oleh semakin menguatnya tuntutan arus bawah, tuntutan
penegakan HAM, demokratisasi serta kemajuan teknologi dan informasi.
3. Penyelesaian Kasus Kejahatan Transnasional Secara umum, kasus kejahatan transnasional belum signifikan terjadi di Sulawesi
Selatan. Pada kasus perdagangan manusia misalnya, meskipun pengiriman TKI cukup besar
jumlahnya di Sulawesi Selatan, tetapi dibaliknya kejahatan demikian tidak teridentifikasi.
Begitu pula dalam kasus narkoba, meskipun intensitasnya cukup tinggi, tetapi indikasi
keterlibatan jaringan transnasional belum signifikan.
3. Rekomendasi Kebijakan
(1) Menyangkut menurunnya persentase penyelesaian jenis kejahatan tertentu yang
menonjol, direkomendasikan agar pemerintah menunjukkan perhatian yang lebih serius
terhadap peningkatan jumlah dan kualitas aparat kepolisian, serta sarana prasarana
penunjang dalam pelaksanaan tugas mereka. Dalam konteks ini tentu saja ketegasan
pimpinan dalam penegakan peraturan perundang-undangan tidak boleh lagi ditunda-
tunda, termasuk dalam pemberian sangsi dan reward terhadap aparat kepolisian yang
aktif sesuai capaian pelaksanaan tugas masing-masing.
(2) Dalam upaya menumbuhkembangkan rasa saling percaya dan harmoni antarkelompok
dan golongan masyarakat yang merupakan faktor penting untuk menciptakan rasa
aman dan damai, dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik dan
penyelesaian persoalan sosial kemasyarakatan, partisipasi masyarakat seyogyanya
lebih ditingkatkan. Bahkan diharapkan rasa saling percaya tersebut juga terwujudkan
antar seluruh pemangku kepentingan, antar lembaga pemerintah (dalam arti luas),
serta antara pemerintah, swasta dan masyarakat sipil, termasuk pemantapan forum
dialog lintas agama.
(3) Lunturnya nilai-nilai budaya luhur dan menurunnya nilai-nilai moral serta krisis jati diri,
identitas dan kepribadian daerah, seharusnya dapat menyadarkan para pihak akan
pentingnya menjadikan sistem dan nilai budaya lokal sebagai identitas dan jatidiri
masyarakat. Dalam konteks ini, keteladanan dari para pemimpin di Sulawesi Selatan,
termasuk eksekutif dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, serta aparat hukum harus
lebih ditingkatkan. Demikian pula perlunya meningkatkan frekuensi dialog antarbudaya
13
yang lebih terbuka dan demokratis, peningkatan penegakan hukum, serta aktualisasi
nilai moral dan agama dalam keseharian, utamanya dari para pemimpin.
(4) Masalah penyalahgunaan narkotika/psikotropika dan penanggulangan HIV/AIDS di
Sulawesi Selatan yang semakin meningkat dan mengkuatirkan, membutuhkan
kesungguhan serta dukungan multipihak, oleh sebab itu semua pihak utamanya
pemerintah harus mengambil langkah nyata dan progressif, tanpa pandang bulu
menindaki secara tegas siapapun yang terlibat. Tentu saja dalam penanganannya tidak
semata mengharapkan dari pemerintah, tetapi harus dilakukan secara bersama seluruh
pemangku kepentingan, tanpa dukungan tersebut apa yang dilakukan oleh pemerintah
sulit mencapai hasil yang optimal.
(5) Hal lain yang juga penting dicermati adalah bagaimana meminimalisir terjadinya
perkelahian (baca: tawuran) antar mahasiswa di Sulawesi Selatan, khususnya di Kota
Makassar, termasuk demonstrasi yang banyak berujung pada aksi anarkis. Pentingnya
perhatian khusus dan betul-betul serius terhadap masalah ini agar pandangan negatif
(suka tawuran dan anarkis) yang dilekatkan terhadap warga dan mahasiswa yang
cenderung merugikan masyarakat di kota Makassar bisa terkikis habis. Dalam konteks
ini diperlukan upaya yang sungguh-sungguh oleh semua pemangku kepentingan,
utamanya pemerintah, aparat hukum, kalangan kampus, pers dan tokoh masyarakat
untuk duduk bersama dengan pikiran yang jernih membicarakan langkah-langkah
pencegahan, serta ketegasan dalam penindakan mereka yang tertangkap tangan dan
terbukti bersalah. Dalam konteks ini diharapkan media massa (baik tulis maupun
elektronik) dengan segenap jajaran wartawannya berperan secara aktif ikut mencegah
terjadinya tawuran, paling tidak memberi informasi kepada aparat keamanan dan tidak
justeru memberitakannya berulang-ulang dan menjadikannya sebagai berita
sensasional. Pemerintah sendiri diharapkan dapat memainkan perannya sebagai
fasilitator dan atau mediator yang kredibel dan adil.
B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN DEMOKRATIS 1. Indikator
Pencapaian pembangunan menyangkut Agenda Indonesia yang Adil dan Demokratis
mencakup dua kelompok indikator yakni kebijakan publik dan demokrasi. Pencapaian bidang
kebijakan publik diukur dengan indikator persentase kasus korupsi yang tertangani
dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Perda
14
Pelayanan Satu Atap, dan Persentase instansi/SKPD Provinsi (dalam laporan ini data yang
bisa diperoleh adalah pemerintah Kabupaten dan pemerintah Provinsi) yang memiliki
pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian. Sedangkan pencapaian bidang demokrasi diukur
dengan indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment
Measure (GEM). Nilai pencapaian dari setiap indikator tersebut ditampilkan pada Tabel-4.
Tabel-4: Nilai Pencapaian Indikator Agenda Pembangunan Indonesia Yang Adil dan
Demokratis pada RPJMN 2004-2009.
No Indikator Nilai Indikator
Sumber Data
2004 2005 2006 2007 2008 2009
1. Persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan
Data tdk ter-sedia
Data tdk ter-sedia
67,65 87,18 74,60 75,00
Kejaksaan Tinggi Sulselbar, 2010 dan dan Polda Sulselbar, 2010; Data 2004 dan 2005 hanya yang bersumber dari Polda, data 2006-2009 dari Polda dan Kejaksaan Tinggi.
2. Persentase Kabupaten/Kota yang memiliki Perda Pelayanan Satu Atap
8,70 13,04 17,39 21,74 52,17 52,17 Pemprov Sulawesi Selatan, 2010
3.
Persentase entitas (Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota) yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian
- 15 0 0 0 - BPK Sulawesi Sela-tan, 2005-2010.
4. Gender Development Index 56,90 57,40 59,00 60,40 61,04 62,07
Pembangunan Manu-sia Berbasis Gender 2005-2006, BPS-Ke-menteri-an PP dan PA; Pembangunan Berbasis Gen-der 2006-2008, BPS-Ke-menterian PP dan PA; Tahun 2009 data proyeksi.
5. Gender Empowermen Index 49,20 50,00 51,80 52,60 52,90 53,82
Pembangunan Manu-sia Berbasis Gender 2005-2006, BPS-Ke-menteri-an PP dan PA; Pembangunan Berbasis Gender 2006-2008, BPS-Ke-menterian PP dan PA; Tahun 2009 data proyeksi.
15
2. Analisis Pencapaian Indikator
(1) Pelayanan Publik
1. Penyelesaian Kasus Korupsi
Definisi yang digunakan dari konsep kasus korupsi yang “tertangani” dalam EKPD di
Sulawesi Selatan adalah kasus korupsi yang buktinya sudah dianggap cukup oleh kejaksaan
dan sedang diproses ditambah dengan kasus korupsi yang diterima pelimpahannya oleh
kejaksaan dari kepolisian. Dengan kata lain konsep tertangani disini adalah kasus korupsi
yang telah masuk ke tahap penuntutan, sedangkan definisi yang digunakan dari konsep
kasus korupsi yang “dilaporkan” adalah seluruh kasus korupsi yang laporannya diterima
secara langsung oleh Kejaksaan dari masyarakat atau sumber lain ditambah kasus korupsi
yang pelimpahannya diterima oleh Kejaksaan dari Kepolisian. Data yang dianalisis pada
EKPD 2010 mencakup tahun 2006 hingga 2009, sementara data tahun 2004-2005 tidak
dapat ditampilkan secara valid.
Berdasarkan pengertian tersebut, gambaran persentase kasus korupsi yang ditangani
dibandingkan dengan yang dilaporkan dapat dilihat pada Grafik-3. Pada Grafik-3 ditunjukkan
perkembangan kinerja penyelesaian kasus korupsi secara total yang ditangani Kejaksaan
Tinggi (Tingkat Provinsi) dan yang ditangani Kejaksaan Negeri (Tingkat Kabupaten dan
Kota). Selain itu juga ditunjukkan perkembangan penyelesaian kasus korupsi pada masing-
masing Tingkat Kejaksaan Tinggi dan Tingkat Kejaksaan Negeri.
Pada Grafik-3 terlihat bahwa fenomena menonjol terjadi pada tahun 2007, ketika
persentase kasus korupsi yang tertangani meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya,
dan tahun 2008 ketika persentase kasus korupsi yang tertangani tersebut menurun secara
signifikan pula. Ada beberapa faktor dapat dijelaskan terkait fenomena tersebut.
Pertama, bahwa tingginya kinerja penyelesaian kasus korupsi pada tahun itu
dikontribusi dominan oleh Kejaksaan Negeri (Kabupaten/Kota), yakni sebanyak 37 kasus
terlaporkan dan yang ditangani sebanyak 33 kasus (89,10%); sementara Kejaksaan Tinggi
pada tahun itu hanya menerima laporan dua kasus dan yang tertangani satu kasus (50%). Ini
berbeda signifikan dengan kinerja tahun sebelumnya, dimana pada tahun 2006 kinerja lebih
tinggi dikontribusi oleh Kejaksaan Tinggi yakni terlaporkan delapan kasus dan ditangani tujuh
diantaranya (87,5%), sementara Kejaksaan Negeri hanya menerima 27 laporan dan
tertangani 16. Salah satu faktor yang mempengaruhi fenomena ini adalah semakin besarnya
perhatian masyarakat di Kabupaten dan Kota dalam melaporkan kasus-kasus korupsi
16
Grafik-3: Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani dibanding yang Terlaporkan di Kejaksaan Negeri dengan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan
dengan kelengkapan data dan informasi yang memungkinkan pihak kejaksaan melakukan
tindak lanjut, selain itu kasus yang dilimpahkan polisi ke kejaksaan juga meningkat. Peranan
media massa juga besar dalam peningkatan ini, selain Surat Kabar yang terbit di Makassar,
pada beberapa daerah juga telah terbit koran lokal yakni di Kota Pare-pare dengan sumber
berita pada Kota Pare-pare dan Kabupaten sekitarnya, di Kota Palopo dengan sumber berita
pada Kota Palopo dan Kabupaten sekitarnya. Peranan LSM, baik LSM yang berkiprah di
Kota Makassar maupun LSM yang berkiprah di Kabupaten, juga signifikan. LSM di
Kabupaten Bulukumba sangat gencar mempersoalkan dugaan penyelewengan dan
bekerjasama dengan media massa memberitakannya, begitu pula LSM di Kota Pare-pare,
Kota Palopo dan Kabupaten Bone.
Kedua, pada tahun 2008, persentase antara yang ditangani dengan yang dilaporkan
terlihat adanya penurunan dibanding tahun 2007, tetapi secara kuantitatif sebenarnya terjadi
peningkatan signifikan. Pada tingkat Kejaksaan Tinggi, tahun itu terlaporkan 21 kasus dan
yang tertangani 13 kasus (Lihat Tabel-5). Sementara itu, pada tingkat Kejaksaan Negeri,
terlaporkan 42 kasus dan tertangani 34 kasus. Bahkan pada tahun berikutnya, secara
kuantitatif kinerja ini lebih meningkat lagi, meskipun secara persentase agak stagnan. Pada
17
tahun 2009, pada tingkat Kejaksaan Tinggi (Provinsi), terlaporkan 31 kasus dan tertangani 19
kasus; pada tingkat Kejaksaan Negeri terlaporkan 41 kasus dan tertangani 35 diantaranya.
Artinya, yang terlihat sebagai penurunan persentase penanganan kasus harus dipahami
bahwa dibaliknya terjadi peningkatan kuantitas dari kasus yang terlaporkan, dan sebenarnya
terjadi pula peningkatan kuantitas atas kasus yang tertangani. Keterbatasan jumlah aparat
kejaksaan dan kompleksitas dari kasus yang terlaporkan menjadikan persentase yang
tertangani terlihat sedikit menurun. Secara umum dapat dikatakan bahwa kinerja
penanganan kasus korupsi di Sulawesi Selatan, baik pada tingkat Kejaksaan Tinggi maupun
tingkat Kejaksaan Negeri, telah meningkat signifikan selama periode 2005-2009.
Tabel-5: Persentase Jumlah Kasus Korupsi yang Tertangani (Tahap Penuntutan)
Dibandingkan Dengan yang Dilaporkan Tahun 2004-2009
Sumber: Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, 2010.
Untuk pengembangan analisis lebih jauh, pada Grafik-4 ditunjukkan kinerja
penanganan kasus korupsi oleh Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat, dan
ditampilkan bersama kinerja Kejaksaan (Kejaksaan Tinggi ditambah Kejaksaan Negeri)
Sulawesi Selatan. Terlihat bahwa kinerja Kepolisian tinggi pada tahun 2008, dimana saat itu
kinerja Kejaksaan sedikit menurun; sementara pada tahun 2007 ketika kinerja Kejaksaan
tinggi, kinerja kepolisian justeru menurun dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kasus yang
terlaporkan di kepolisian pada tahun 2008 sebanyak 28 dan 26 diantaranya tertangani
(92,86%). Pada tahun 2007, terlaporkan 29 kasus dan yang tertangani 19 kasus. Pencapaian
ini agak menurun pada tahun 2009, dimana kasus terlaporkan di kepolisian hanya 17 dan
tertangani 11 kasus diantaranya.
Wilayah
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Kab/Kota se-SulSel Dilaporkan Tertangani
%
Data tdk tersedia
Data tdk tersedia
26 16
61,54
37 33
89,19
42 34
80,95
41 35
85,37 Kejati SulSel Dilaporkan Tertangani
%
Data tdk tersedia
Data tdk tersedia
8 7
87,50
2 1
50,00
21 13
61,90
31 19
61,29 Total Dilaporkan
Tertangani %
Data tdk tersedia
Data tdk tersedia
34 23
67,65
39 34
87,18
63 47
74,60
72 54
75,00
18
Grafik-4: Persentase kasus korupsi tertangani dan terlaporkan pada Kepolisian Dibandingkan dengan Kejaksaan di Sulawesi Selatan, 2006-2009.
(2) Pelayanan Satu Atap
Salah satu indikator pelayanan publik adalah persentase kabupaten/kota yang
memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Namun demikian, karena indikator yang
digunakan adalah peraturan daerah, maka meskipun terdapat beberapa kabupaten yang
telah melaksanakan pelayanan satu atap tetapi payung hukum yang digunakan baru sebatas
SK Bupati, maka dalam evaluasi ini tidak dimasukkan sebagai kabupaten/kota yang telah
memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap.
Upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik adalah
dengan perwujudan pelayanan satu atap yang kemudian dikembangkan menjadi pelayanan
satu pintu. Sepintas kedua konsep ini sama, namun apabila dicermati ternyata dalam
implementasinya berbeda. Dalam implementasi konsep pelayanan satu atap, kecenderungan
yang terlihat adalah sejumlah unit kerja ditempatkan dalam satu atap di lokasi tertentu, tetapi
dalam memberikan pelayanan setiap unit kerja tersebut bekerja sendiri-sendiri atau
menerbitkan izin sendiri. Sedangkan dalam konsep pelayanan satu pintu, keterpaduan
pemberian pelayanan lebih ditonjolkan, jadi berbagai jenis perizinan yang diurus oleh
masyarakat, pintu masuk dan keluarnya sama dan dikerjakan oleh aparat yang ditempatkan
pada kantor pelayanan (perizinan) terpadu tersebut.
Pada Grafik-5 terlihat bahwa peningkatan jumlah kabupaten/kota yang telah memiliki
peraturan daerah pelayanan satu atap/pintu sangat menonjol pada tahun 2008. Ini juga
19
banyak dipengaruhi oleh terbitnya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.41 tahun
2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dimana sejumlah daerah memberikan respons
yang positif dan melakukan penyesuaian-penyesuaian berdasarkan PP tersebut.
Pada Grafik-5 terlihat bahwa pada tahun 2008 persentase Kabupaten/Kota yang
memiliki Perda Perizinan Satu Atap meningkat sebanyak 30,47% dari tahun 2007, dimana
saat itu sebanyak 12 (52,17%) Kabupaten/Kota telah memiliki Perda Perizinan Satu Atap.
Peningkatan pada tahun 2007 tersebut erat kaitannya dengan kesadaran yang makin tinggi
Grafik-5: Persentase Kabupaten/Kota yang Memiliki Perda Satu Atap Di Sulawesi Selatan.
pada pemerintah daerah tentang pentingnya investasi sehingga pelayanan satu atap
dilengkapi dengan standar prosedur pelayanan yang jelas menjadi upaya untuk mendorong
daya saing daerah bagi investasi. Khusus untuk pelayanan umum bagi masyarakat,
pemerintah daerah juga makin menyadari pentingnya pelayanan prima kepada masyarakat,
sehingga ketepatan waktu, keramahan layanan dan biaya murah dianggap penting untuk
diberikan dan wadah yang tepat adalah Kantor Pelayanan Satu Atap yang memiliki kekuatan
hukum dalam bentuk Perda. Ini yang menjadikan peningkatan Perda Pelayanan Satu Atap
dari hanya dua Kabupaten/Kota pada tahun 2004, menjadi tiga pada tahun 2005, empat
pada tahun 2006 dan lima pada tahun 2007 lalu meningkatan drastis menjadi 12 tahun 2008
dan bertahan hingga 2009.
20
Peranan bantuan teknis yang diberikan sejumlah lembaga internasional juga cukup
besar dalam pelayanan satu atap yang dilakukan Pemerintah Kabupaten/Kota. Di Kota Pare-
pare misalnya, inisiatif menyelenggarakan pelayanan satu atap dan upaya peningkatan
kualitasnya secara berkelanjutan, amat dikontribusi oleh bantuan teknis dan pendampingan
sebuah lembaga internasional dan bersamaan dengan itu unit pelayanan ini dipimpin oleh
seorang pejabat yang memiliki visi jelas tentang pelayanan dan kapasitas SDM yang terus
ditingkatkan. Pencapaian Kota Pare-pare dalam pelayanan satu atap, dengan jumlah urusan
yang tertangani yang terus meningkat, telah menjadi inspirasi sejumlah daerah lainnya untuk
mengakselerasi pelayanan satu atap.
(3) Pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian
Berhubung data tentang opini laporan keuangan berdasarkan SKPD Provinsi tidak
tersedia, maka pada bagian ini evaluasi dilakukan terhadap data opini laporan keuangan unit
daerah yang menjadi sasaran evaluasi BPK-Sulawesi Selatan yakni Provinsi Sulawesi
Selatan sebagai satu unit dan masing-masing Kabupaten/Kota sebagai satu unit pula.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang diperiksa oleh BPK Sulawesi Selatan
selama 2004-2009 jumlahnya bervariasi tiap tahun, karena itu perhitungan persentase LPKD
dengan opini Wajar Tanpa Pengecualian dihitung berdasarkan jumlah unit LKPD yang
diperiksa BPK-Sulawesi Selatan pada tahun tersebut. Data yang bisa dianalisis mencakup
LKPD 2005-2008, hasil pemeriksaan 2004 dan 2009 tidak dapat ditampilkan datanya dalam
evaluasi ini. Gambaran tentang persentase LKPD yang mendapatkan opini Wajar Tanpa
Pengecualian, Wajar Dengan Pengecualian dan Disclaimer dapat dilihat pada Grafik-6.
Pada Grafik-6 terlihat bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya tercapai
pada tahun 2005 oleh tiga dari 20 (15%) pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa
pada tahun tersebut, setelah itu tidak ada lagi LKPD yang mendapatkan opini WTP hingga
2008.Opini yang terbanyak dicapai adalah Wajar dengan Pengecualian, paling banyak pada
tahun 2007 yakni 11 dari 14 Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa (87,5%) dan pada tahun
2008 yakni 100% dari sembilan Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa. Opini disclaimer
juga ditemukan, paling banyak pada tahun 2008 yakni empat diantara 13 (30,77%)
Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa tahun tersebut.
21
Grafik-6: Persentase Hasil Pemeriksaan BPK dan Tingkatan Opini
Pada Grafik-6 terlihat bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) hanya tercapai
pada tahun 2005 oleh tiga dari 20 (15%) pemerintah Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa
pada tahun tersebut. Setelah itu tidak ada lagi LKPD yang mendapatkan opini WTP hingga
2008.Opini yang terbanyak dicapai adalah Wajar dengan Pengecualian, paling banyak pada
tahun 2007 yakni 11 dari 14 Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa (87,5%) dan pada tahun
2008 yakni 100% dari sembilan Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa. Opini disclaimer
juga ditemukan, paling banyak pada tahun 2008 yakni empat diantara 13 (30,77%)
Kabupaten/Kota/Provinsi yang diperiksa tahun tersebut.
Rendahnya persentase LKPD yang mendapatkan penilaian WTP terkait dengan
sejumlah faktor tetapi yang utama adalah soal SDM. SDM pemerintah daerah yang terkait
dengan perencanaan program/kegiatan, perencanaan keuangan, pelaksanaan kegiatan
hingga pelaporan keuangan; kompetensi dan kapasitasnya belum sepenuhnya sesuai
dengan kebutuhan pengetahuan, perilaku dan keterampilan yang dibutuhkan dalam
terciptanya konsistensi antara perencanaan program/kegiatan dengan perencanaan
keuangan; pencapaian efektivitas dan efisiensi pelaksanaan program/kegiatan; pengelolaan
administrasi program/kegiatan yang sinergis dengan administrasi keuangan; ketepatan serta
ketajaman analisis laporan keuangan; dan kordinasi pelaporan diantara berbagai pelaksana
kegiatan dalam berbagai SKPD pada tiap daerah. Keterbatasan kapasitas dan kemampuan
SDM ini erat kaitannya dengan pelatihan dan pengembangan serta proses learning-
22
organization yang belum optimal berlangsung dalam konteks dan substansi pelaporan
keuangan pada berbagai unit pemerintahan daerah. Selain itu, kesesuaian latar pengetahuan
ilmiah atas pegawai yang terkait dengan siklus perencanaan program kegiatan, perencanaan
keuangan, evaluasi program/kegiatan, serta pelaporan keuangan ikut berkontribusi
mengingat mekanisme perekrutan dan siklus mutasi yang pada beberapa kasus belum
sepenuhnya mempertimbangkan ketajaman kapasitas dan kompetensi tertentu termasuk
analisis dan pelaporan keuangan. Fenomena terkait keterbatasan jumlah dan kualitas SDM
ini mewarnai rendahnya penilaian WTP pada LKPD di Sulawesi Selatan selama 2005-2008.
(2) Demokrasi
1. Gender-related Development Indeks
Gender-related Development Indeks (GDI) sebagai indikator yang menunjukkan
kesetaraan dalam relasi gender pada berbagai aspek kehidupan, menunjukkan bahwa
pencapaian Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan pada periode 2004-2009.
Peningkatan tertinggi dicapai pada tahun 2006 (1,6 poin) dan 2007 (1,4 poin), sementara
pada tahun 2005 peningkatan hanya 0,5 poin, tahun 2008 sebesar 1,00 poin dan tahun 2009
sebesar 1,03 poin (Lihat Grafik-7). Periode ini juga ditandai dengan angka GID yang berhasil
menembus level nilai 60 sejak tahun 2007, berbeda dengan nilai GEM Sulawesi Selatan
yang pada 2004-2009 nilainya tertahan dibawah level 60 (Lihat Uraian tentang GEM). Dari
segi peringkat, pada tahun 2004 GDI Sulawesi Selatan berada pada peringkat 24, tahun
2005 peringkat 25, tahun 2006 peringkat 26, tahun 2007 dan 2008 peringkat 29, dan tahun
2009 kemungkinan bertahan pada peringkat 29. Dari segi peringkat nasional, pencapaian
GDI Sulawesi Selatan lebih rendah dari pencapaian GEMnya, meskipun dari segi nilai
pencapaian GDI lebih tinggi dari pencapaian GEM.
Pada periode 2004-2009, pencapaian tahun 2006-2009 menunjukkan fenomena
krusial, selain karena pada tahun itu tercapai peningkatan GDI tertinggi, juga pada tahun itu
nilai GDI menembus dan bertahan diatas nilai 60. Ada beberapa faktor terkait hal tersebut.
Pertama, secara sosial-budaya, pola pikir dan acuan nilai masyarakat Sulawesi Selatan
tentang relasi perempuan dan laki-laki memang telah semakin bergeser dari orientasi
patriarkat kearah yang semakin membuka ruang bagi keterlibatan perempuan pada berbagai
aktivitas di sektor publik. Ini ditandai dengan terbukanya peluang yang sama antara
perempuan dan laki-laki dalam mengakses pendidikan, yang dalam dekade terakhir porsi
murid perempuan relatif berimbang dengan murid laki-laki pada tingkat SD, SLTP hingga
23
Grafik-7: Gender-related Development Index Provinsi Sulawesi Selatan 2004-2009 SLTA. Bahkan pada Perguruan Tinggi, terdapat kecenderungan mahasiswi lebih besar
porsinya dari mahasiswa. Ini seiring pula dengan tidak adanya lagi nilai dan norma yang
mengikat secara ketat untuk menempatkan perempuan hanya beraktivitas di sektor
domestik-dalam rumah tangga sementara hanya laki-laki yang memasuki sektor publik-luar
rumah tangga. Perubahan konstruksi sosial-budaya ini merupakan buah dari kemajuan
pendidikan, perkembangan interaksi sosial dan dinamika keterbukaan informasi yang
berlangsung secara gradual seiring proses pembangunan dan perkembangan.
Kedua, peningkatan nilai GDI juga merupakan dampak dari implementasi kebijakan
pemerintah. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan setiap tahun mengimplementasikan
Program Peningkatan Peran Serta Perempuan dan Kesetaraan Gender dengan kegiatan
utama pembinaan organisasi perempuan untuk kesetaraan gender dan peningkatan
keterampilan dan manajemen usaha bagi perempuan; Program Peningkatan Peran
Perempuan di Perdesaan dalam bentuk pembinaan dan penilaian lomba P2WKSS, BKB dan
GSI; selain itu juga melakukan penguatan bagi Pemenuhaan Hak-Hak Perempuan dan Anak,
Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan serta Peningkatan Peran
Perempuan dalam Pengambilan Keputusan. Intervensi sejenis juga diperankan sejumlah
Donor, LSM dan Perguruan Tinggi dalam berbagai kegiatan yang manfaat dan dampaknya
diharapkan berkontribusi pada pemberdayaan perempuan dan kesataraan gender (LAKIP,
2009).
24
Ketiga, sebagaimana terlihat pada Grafik-8, peningkatan GDI Sulawesi Selatan
berjalan seiring dengan peningkatan IPM. Di sini tertunjukkan bahwa perbaikan kualitas
manusia dalam hal pengetahuan, kesehatan dan daya beli ternyata ada korelasinya dengan
semakin membaiknya kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan dalam proses interaksi
sosial, struktur kemasyarakatan dan pola-pola kekuasaan. Tentu saja ini dengan asumsi
bahwa pendidikan telah mengubah tata nilai dan norma masyarakat yang sebelumnya
patriarkat menjadi menerima prinsip kesetaraan perempuan dan laki-laki serta membuka
ruang bagi realisasi prinsip tersebut.
2. Gender Empowerment Measure
Pencapaian Gender Empowerment Measure (GEM) Provinsi Sulawesi Selatan selama
2004-2009 menunjukkan kecenderungan terus meningkat dengan pertambahan angka GEM
yang tidak terlalu berbeda dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, GEM Sulawesi Selatan
meningkat 0,8 poin dari tahun 2004, dari tahun 2005 ke tahun 2006 meningkat 1,8 poin, dari
tahun 2006 ke tahun 2007 meningkat 0,8 poin, dari tahun 2007 ke tahun 2008 meningkat 0,3
poin dan dari tahun 2008 ke tahun 2009 meningkat 0,92 poin. Ini berarti bahwa peningkatan
terbesar tercapai pada tahun 2006 (1,8 poin) dan tahun 2009, sementara peningkatan
terendah pada tahun 2008 (0,3 poin) (Lihat Grafik-8). Dari segi peringkat nasional, peringkat
GEM Sulawesi Selatan cenderung menurun pada periode 2004-2009. Pada tahun 2005
peringkat GEM Sulawesi Selatan adalah 23, tahun 2006 dan 2007 turun ke posisi 25, tahun
2008 turun lagi ke posisi 26, dan tahun 2009 kemungkinan tetap pada peringkat 26. Artinya,
meskipun nilai GEM Sulawesi Selatan meningkat terus pada periode 2004-2009, tetapi
peningkatan nilai GEM Provinsi lain lebih tinggi, sehingga peringkat GEM Sulawesi Selatan
cenderung turun.
Sebagaimana diketahui, GEM ditentukan oleh tiga indikator utama yakni (1)
persentase perempuan di parlemen, (2) persentase perempuan yang bekerja sebagai
administrator dibanding perempuan yang bekerja sebagai manajer, (3) persentase
perempuan yang bekerja sebagai profesional dibanding yang bekerja sebagai pekerja teknis.
Mengacu pada tiga indikator ini, beberapa faktor yang menyebabkan peningkatan GEM
Sulawesi Selatan dapat diuraikan sebagai berikut.
Faktor paling pokok dibalik peningkatan GEM pada 2006 dan 2009 dapat dilihat pada
persentase perempuan di DPRD Sulawesi Selatan. Indikator ini sangat penting, karena
DPRD adalah tempat dimana kebijakan/regulasi disusun, karena itu upaya mendorong
25
keberdayaan gender amat strategis pada lembaga ini. Pada tahun 2006, persentase
perempuan di DPRD Provinsi mencapai 8% (enam orang dari total 75 anggota) sebagai hasil
Grafik-8: Pencapaian GEM Provinsi Sulawesi Selatan, 2004-2009 pemilu 2004, suatu peningkatan dari periode sebelumnya yang hanya dua orang dari total 50
anggota (4%). Pada tahun 2009, persentase perempuan di DPRD Sulawesi Selatan
meningkat menjadi 16% (12 orang dari total 75 anggota). Dengan demikian, peningkatan
GEM di Sulawesi Selatan sebagian besar dikontribusi oleh hasil pilihan rakyat atas legislator
perempuan yang porsinya makin besar. Namun demikian, kuota 30% perempuan di DRPD
tampaknya masih jauh.
Selain itu, organisasi birokrasi maupun dunia usaha juga semakin terbuka untuk
memberi ruang kepada perempuan dalam mengakses posisi tinggi. Pada tahun 2009,
pejabat perempuan untuk eselon II-a (Kepala Dinas dan Kepala Badan) pada Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan sebesar 6,2% (dua diantara 32 orang), eselon II-b (Kepala Kantor
dan Kepala Biro) sebesar 3,4% (satu dari 29 orang), eselon III-a (Kasubdin/Kabid/Kabag)
sebesar 18% (47 dari 225 orang), eselon III-b (Kabag pada Kantor) sebesar 32% (delapan
dari 25 orang), eselon IV-a sebesar 34% (87 dari 294 orang) dan eselon IV-b sebesar 96%
(49 dari 51 orang).
Dengan demikian, pemilu yang semakin banyak menghasilkan anggota legislatif
perempuan, serta peningkatan kemampuan perempuan untuk bisa menempati level atas
pada organisasi dimana ia bekerja, merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi
perbaikan nilai GEM Sulawesi Selatan.
26
Berbagai program pembangunan terkait upaya pemberdayaan gender juga telah
berjalan signifikan di Sulawesi Selatan, baik yang dijalankan oleh Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten; maupun yang dijalankan oleh Lembaga Donor,
Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Kemasyarakatan dan Perguruan Tinggi. Pada
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan Pemerintah Kabupaten selama 2004-2009 telah
difokuskan upaya-upaya untuk memperkuat organisasi dan kelembagaan perempuan dalam
bentuk peningkatan kemampuan SDM dan pemberian bantuan teknis dan manajerial seiring
dengan upaya-upaya untuk mengarusutamakan berbagai aspek terkait gender dalam
perencanaan, implementasi dan evaluasi pembangunan. Pendampingan dan advokasi untuk
mendorong kebijakan yang pro-gender juga telah didorong oleh sejumlah donor, LSM dan
perguruan tinggi selama periode tersebut.
Faktor terakhir yang patut diperhatikan adalah kaitan GEM dengan IPM.
Bagaimanapun, secara teroretis-filosofis, GEM adalah bagian dari upaya meningkatkan
kualitas manusia, dalam arti bagaimana manusia semakin terbuka pilihan-pilihan dalam
kehidupannya (choices) dan semakin mampu menyuarakan pilihan-pilihannya (voioces).
Pada Grafik-9 terlihat bahwa peningkatan GEM di Sulawesi Selatan cenderung seiring
dengan peningkatan IPM. Ketika nilai GEM mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun
2006, saat itu IPM juga mengalami peningkatan yang tinggi, sementara terpeliharanya
peningkatan GEM dari 2006 hingga 2009 juga terkait dengan peningkatan IPM tertinggi pada
tahun 2007 yang terpelihara hingga 2009. Artinya, upaya pemberdayaan atau pencapaian
kesetaraan gender pada organisasi/kelembagaan pemerintah maupun non pemerintah
memiliki korelasi dengan tingkat pendidikan, kesehatan dan daya beli masyarakat secara
umum.
Pada akhirnya harus tersadari bahwa meskipun berbagai faktor yang telah diuraikan ini
telah mempengaruhi atau berkorelasi dengan peningkatan nilai GEM Sulawesi Selatan pada
2004-2009, dilihat dari posisi relatif peningkatan tersebut dibanding peningkatan yang dicapai
Provinsi lain akselerasi peningkatan Sulawesi Selatan masih lebih rendah, sehingga
peringkat GEM nasional cenderung menurun. Faktor-faktor yang telah mendorong
peningkatan GEM selama ini perlu lebih signifikan lagi pengaruhnya atau diperlukan
bekerjanya faktor pendorong lain yang bisa lebih mendorong akselerasi.
27
3. Rekomendasi Kebijakan
(1) Agar persentase kasus korupsi yang tertangani dibanding yang terlaporkan dapat lebih
besar, diperlukan peningkatan kapasitas pada lembaga kejaksaan terkait kecukupan
staf yang melayani kebutuhan data dan administratif seorang jaksa, kecukupan jumlah
jaksa dalam menangani kasus terlaporkan yang semakin besar jumlahnya, kecukupan
biaya operasional penanganan kasus, dan kecukupan sarana/fasilitas dalam
penanganan perkara. Dalam perspektif jangka panjang, masalah korupsi idealnya
didekati dengan upaya-upaya pencegahan terkait perbaikan sistem pelaporan dan
pengawasan, serta perbaikan remunerasi.
(2) Agar penyelenggaraan pembangunan berjalan lebih memenuhi norma transparansi dan
akuntabilitas, sehingga pelaporan keuangan SKPD atau pemerintah daerah
memperoleh penilaian wajar tanpa pengecualian, upaya perbaikan dapat didorong
dalam bentuk: (1) peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat pemerintah daerah
dalam formulasi rencana dan implementasi rencana yang memenuhi kriteria efektivitas
dan efisiensi yang baik; (2) peningkatan kemampuan dan kapasitas aparat pemerintah
daerah dalam pelaporan pelaksanaan kegiatan yang menunjukkan konsistensi antara
perencanaan (RPJPD, RPJMD, Renstra-SKPD, RKPD, Renja-SKPD) dengan
pelaksanaan kegiatan (APBD dan LAKIP); (3) dorongan keterbukaan data dan
informasi pembangunan sehingga terbuka akses bagi masyarakat, LSM dan media
dalam mengakses informasi pembangunan; (4) kordinasi intensif antar lembaga yang
terlibat dalam pengawasan pembangunan.
3. Pengarusutamaan gender dalam penyelenggaraan pembangunan perlu semakin
didorong bukan hanya dalam perspektif untuk mewujudkan kesetaraan laki-laki dan
perempuan dari segi jumlah/proporsi pada berbagai aspek dan tahapan pembangunan;
tetapi lebih substantif dari itu adalah bagaimana menyeimbangkan sifat-sifat
maskulinitas dan feminitas dalam pengelolaan pembangunan sehingga dengan itu
humanisasi dan keberlanjutan pembangunan lebih substantif dihubungkan dengan
perspektif gender.
C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT 1. Indikator
Indikator yang menjadi basis evaluasi agenda peningkatan kesejahteraan rakyat
adalah: (1) Indeks Pembangunan Manusia, (2) Pendidikan mencakup Angka Partisipasi
Murni (SD/MI), Angka Partisipasi Kasar (SD/MI), Rata-rata nilai akhir SMP/MTs., Rata-rata
28
nilai akhir SMA/SMK/MA., Angka Putus Sekolah SD., Angka Putus Sekolah SMP/MTs.,
Angka Putus Sekolah Sekolah Menengah., Angka melek aksara 15 tahun keatas.,
Persentase jumlah guru yang layak mengajar SMP/MTs., Persentase jumlah guru yang layak
mengajar Sekolah Menengah, (3) Kesehatan mencakup Umur Harapan Hidup (UHH), Angka
Kematian Bayi (AKB), Prevalensi Gizi buruk (%), Prevalensi Gizi kurang (%), Persentase
tenaga kesehatan per penduduk, Keluarga Berencana, Persentase penduduk ber-KB
(contraceptive prevalence rate), Laju pertumbuhan penduduk, Total Fertility Rate (TFR), (4)
Ekonomi Makro mencakup Laju pertumbuhan ekonomi, Persentase ekspor terhadap PDRB,
Persentase output manufaktur terhadap PDRB, Pendapatan per kapita (dalam juta rupiah),
Laju inflasi, (5) Investasi mencakup Nilai Rencana PMA yang disetujui, Nilai Realisasi
Investasi PMA (US$ Juta), Nilai Rencana PMDN yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi
PMDN (Rp Milyar), Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA, (6) Infrastruktur mencakup %
panjang jalan nasional dalam kondisi baik, sedang, dan buruk, % panjang jalan provinsi
dalam kondisi baik, sedang, dan buruk, (7) Pertanian mencakup Rata-rata nilai tukar petani
per tahun, PDRB sektor pertanian, (8) Kehutanan mencakup Persentase luas lahan
rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis, (9) Kelautan mencakup Jumlah tindak pidana
perikanan dan Luas kawasan konservasi laut (juta Ha), 10. Kesejahteraan Sosial mencakup
Persentase penduduk miskin dan Tingkat pengangguran terbuka.
Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan atas indikator-indikator tersebut
dapat dilihat pada Tabel-6 berikut.
Tabel-6: Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan atas indikator-indikator Meningkatkan Kesejahteraan Sosial.
No Indikator Nilai Indikator Sumber Data
2004 2005 2006 2007 2008 2009
1. Indeks Pembangunan Manusia
67,80 68,06 68,81 69,62 70,22 70,82*) BPS, 2009; *Angka
proyeksi
2. Angka Partisipasi Murni SD/MI
90,64 88,13 91,08 92,06 92,15 92,55*)
BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka proyeksi
3. Angka Partisipasi Kasar SD/MI
103,28 101,43 107,70 108,56 109,25 110,83*)
BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka Proyeksi
29
4. Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs
4,83 5,95 5,95 5,95 6,44 7,21 BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010
5. Rata-rata Nilai Akhir SMA/SMK/MA
5,56 6,05 6,25 6,24 6,28 7,19
BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010
6. Angka Putus Seko-lah SD
4,17 1,54 3,83 1,61 3,01 3,87*)
BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka Pro-yeksi
7. Angka Putus Seko-lah SMP/MTs
12,15 4,49 3,44 4,87 12,86 16,69*)
BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka Proyeksi
8.
Angka Putus Seko-lah Sekolah Mene-ngah
4,41 3,63 3,13 4,35 24,64 53,84*)
BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010;*Angka Proyeksi
9. Angka Melek Aksara 15 tahun keatas
84,50 84,60 85,70 86,24 85,58 94,47
BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010
10.
Persentase jumlah guru yang layak me-ngajar di SMP/MTs
79,01 79,14 76,80 87,38 90,58*) 93,90*)
BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010
11.
Persentase jumlah guru yang layak me-ngajar di Sekolah Menengah
75,88 80,58 90,61 91,03 96,83*) 102,99*)
BPS, 2009; Ke-mendiknas, 2010; Disdiknas Sulsel, 2010
12. Umur Harapan Hidup
68,70 68,70 69,20 69,40 70,40 70,98*)
BPS, 2005; Bap-penas, 2007;Ris-kesdas, 2007; Diskes Sulsel, 2010; *Angka Proyeksi.
13. Angka Kematian Bayi
37,37*) 36,00 29,10 41,00 27,40 26,35*)
BPS, 2005; Bap-penas, 2007;Ris-kesdas, 2007; Diskes Sulsel, 2010.*Angka Pro-yeksi
14. Prevalensi Gizi Buruk
8,53 8,60 1,32 1,89 1,80 1,80
BPS, 2005; Bap-penas, 2007;Ris-kesdas, 2007; Diskes Sulsel,
30
2010.
15. Prevalensi Gizi Kurang
19,62 18,35 13,37 14,74 14,50 14.50
BPS, 2005; Bap-penas, 2007; Ris-kesdas, 2007; Diskes Sulsel, 2010.
16. Persentase tenaga kesehatan perpenduduk
0,0012 0,0015 0,0016 0,0011 0,0015 0,0016*
BPS, 2005; Bap-penas, 2007; Ris-kesdas, 2007; Diskes Sulsel, 2010.
17.
Persentase penduduk berKB
56,49 56,54 57,30 65,57 62,00 64,29 BPS, 2004-2009; BPS, SDKI, 2007.
18. Laju pertumbuhan penduduk
1,36 1,64 1,41 0,92 1,36 1,33 BPS, 2004-2009; BPS, SDKI, 2007.
19. Total Fertility Rate
2,29 2,30
20. Laju Pertumbuhan Ekonomi 5,32 5,20 6,72 6,34 7,72 6,2 BPS Sulsel, 2010
21. Persentase Ekspor terhadap PDRB
13,50 13,57 13,51 14,58 22,28 12,11 BPS Sulsel, 2008
22.
Persentase Output Manufaktur terhadap PDRB
13,44 13,78 13,54 13,22 12,99 12,53
BPS Sulsel, 2008
23.
Pendapatan perkapi-ta (Berdasarkan Har-ga Konstan dalam juta rupiah)
6.150.051 7.016.919 8.126.117 9.079.914 11.092.285 11.541.232
BPS Sulsel. 2010
24.
Laju Inflasi
6,47 7,45 7,21 5,71 11,79 2,22 BPS Sulsel, 2010
25. Nilai rencana PMA yang disetujui (Juta US$)
53,317,00
0 22,803, 141,430,870
611,550,000
109,172,533
BKPMD Sulsel, 2010
26. Nilai Realisasi Investasi PMA (US$) 1,7 66,9 13,2 55,0 27,6 76,9
BKPMD Sulsel, 2010
27.
Nilai Rencana PMDN yang disetujui (M)
912,40 996,617 923,027 3.945,147
1.213,999
4.461,424
BKPMD Sulsel, 2010, BPS Sulsel, 2010
28. Nilai Realisasi Investasi PMDN (M)
109,00 147,58 68,60 1,06 1.110,524 1.113,790
BKPMD Sulsel, 2010; BPS Sulsel, 2010
29.
Realisasi Penyerapan Tenaga Kerja PMA
116 122 280 3.058 1.992 505
BPS Sulsel, 2010
31
30.
Persentase panjang jalan nasional dalam kondisi: Baik Sedang Buruk
57,92 30,83 11,24
72,21 25,38 2,41
71,60 21,15 7,25
11,25 84,37 4,38
64,94 28,29 6,77
46,91% 35,30 17,79
LAKIP Pemprov Sulsel, 2010.
31.
Persentase jalan provinsi dalam kondisi: Baik Sedang Buruk
54,00 22,93 23,07
37,76 35,80 26,44
20,19 22,75 57,06
42,61 39,85 17,54
56,24 23,78 20,00
56,50 24,00 19,50
LAKIP Provinsi Sulsel, 2009.
32. Nilai Tukar Petani (rata-rata/tahun)
106,1 94,9 97,4 115,1 100,2 100,55 BPS Sulsel
33.
PDRB Sektor Per-tanian (nilai M. dan %)
14.124,24
(31,90)
16.188.36
(31,26)
18.513.26
(30,40)
20.900,36
(30,12)
25.071,81 (29,40)
27.080,00 (27,90)
BPS Provinsi Sulsel, 2007-2009.
34.
Persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan ter-hadap lahan kritis
2,36
2,76
2,54
2,54
2,54 5,16
Dishut Sullsel, 2006, 2010
35. Jumlah tindak pidana perikanan
9 10 11 2 20 10
Dinas Perikanan Sulsel, 2010
36. Luas kawasan kon-servasi laut (Ha)
580.765 580.765 580.765 580.765 762.022 762.022 Dinas Perikanan Sulsel, 2010
37. Persentase pen-duduk miskin
14,90 14,98 14,57 14,11 13,34 12,31
BPS, 2010.
38. Tingkat penganggur-an terbuka
15,93 18,64 12,76 11,25 9,04 8,74
BPS, 2010.
2. Analisis Pencapaian Indikator
(1) Indeks Pembangunan Manusia
Pencapaian IPM Sulawesi Selatan mengalami peningkatan berarti dalam periode
2004-2009. Pada tahun 2009 IPM Provinsi ini sudah berada pada nilai diatas 70, artinya
kategori menengah-atas, sementara pada tahun 2004 masih berada pada kategori
menengah bawah yakni 67,8. Dari segi peringkat nasional, pada tahun 2004 Provinsi ini
32
berada pada peringkat 21 tetapi pada tahun 2005 dan 2006 turun menjadi peringkat 23, dan
pada tahun 2007-2008 pada peringkat 21 dan pada 2009 peringkat 20. Artinya, baik dari segi
nilai maupun dari peringkat Sulawesi Selatan mencapai peningkatan signifikan dalam tiga
tahun terakhir.
Pada Grafik-9 terlihat bahwa peningkatan signifikan tercapai pada tahun 2007,
dimana IPM Sulawesi Selatan naik 0,81 poin dari tahun 2007, nilainya menembus angka 70
atau level IPM menengah-atas, peringkat nasional menduduki posisi 21 (Grafik-10). Setelah
itu, pada tahun 2008 IPM Sulawesi Selatan naik 0,6 poin, begitu pula pada tahun 2009 naik
0,6 poin, dan peringkat nasionalnya bertahan pada posisi 20.
Grafik-9: Perkembangan IPM dan Tingkat Kemiskinan di Sulawesi Selatan, 2004-2009.
Ada beberapa faktor yang berpengaruh pada peningkatan di tahun 2007 dan berhasil
bertahan hingga tahun 2009. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi meskipun
berfluktuasi dalam lima tahun terakhir, sementara inflasi cukup terkendali, sehingga daya beli
masyarakat meningkat. Pertumbuhan ekonomi ini terutama didorong oleh perkembangan
infrastruktur dan fasilitas yakni berfungsinya jalan tol yang menghubungkan pelabuhan
dengan bandara, berfungsinya bandara baru Sultan Hasanuddin, berkembangnya pusat
belanja dan hiburan, serta pelebaran jalan antara Kota Makassar dan Pare-pare yang
keseluruhannya mendorong aktivitas perekonomian. Sementara itu, pada sektor pertanian
khususnya tanaman pangan, yang penyerapan tenaga kerjanya cukup besar, peningkatan
33
produksi dan produktivitas terus berjalan seiring dengan program Revitalisasi Pertanian
secara nasional dan Gerbang Emas (Gerakan Pengembangan Ekonomi Masyarakat) pada
periode 2004-2008, dilanjutkan dengan program pencapaian surplus beras dua juta ton dan
surplus jagung 1,5 juta ton. Pada produk unggulan lain, kakao yang produksinya menurun
hingga tahun 2008, setelah itu mengalami pembenahan dalam bentuk penanaman kembali
dan perlakuan sambung samping. Produk unggulan rumput laut yang menyerap tenaga kerja
cukup banyak pada hampir seluruh daerah pesisir di Sulawesi Selatan, juga cukup
berkembang dalam lima tahun terakhir. Keseluruhan unsur perekonomian rakyat ini telah
berkontribusi pada terpeliharanya daya beli sebagaian besar masyarakat Sulawesi Selatan.
Fenomena ini juga seiring dengan persentase penduduk miskin yang terus menurun
dari tahun 2004 hingga 2009. Sebagaimana diperlihatkan pada Grafik-11, mulai tahun 2006-
2007 persentase penduduk miskin Sulawesi Selatan mengalami penurunan secara moderat,
dan pada tahun 2008-2009 menurun lebih signifikan. Penurunan jumlah penduduk miskin
menunjukkan perbaikan pada daya beli masyarakat, dimana daya beli adalah salah satu
indikator pokok IPM.
Kedua, perbaikan pencapaian pada kondisi pendidikan. Pada periode 2007-2009,
angka melek huruf dan angka rata-rata lama sekolah penduduk Sulawesi Selatan cukup
meningkat. Selain merupakan dampak dari program wajib belajar sembilan tahun yang telah
berjalan sebelumnya, pencapaian ini juga dikontribusi oleh perhatian pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan bersama seluruh pemerintah Kabupaten pada pembangunan pendidikan,
dimana pada tahun 2008 hingga 2010 pendidikan gratis hingga SLTA menjadi prioritas
utama pemerintah. Selain itu, pemerintah Provinsi juga memberi beasiswa pendidikan S3 ke
luar negeri bagi pegawai negeri sipil dalam jumlah yang cukup besar, yang kalau mereka
sudah tamat menjadi faktor yang memperbesar angka rata-rata lama sekolah di Sulawesi
Selatan.
Ketiga, dalam hal angka harapan hidup, kinerja pembangunan kesehatan Sulawesi
Selatan memang telah menunjukkan pencapaian cukup baik selama ini. Pada periode 2008-
2010, dengan dicanangkannya Program Kesehatan Gratis oleh Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan disertai pembangunan rumah sakit untuk pasien kelas III yang digratiskan,
sementara pelayanan Jamkesmas oleh pemerintah pusat juga semakin baik, maka
diekspektasi bahwa pencapaian indikator angka kematian bayi, angka kematian ibu
melahirkan, serta angka harapan hidup sendiri, mengalami peningkatan.
34
Dihubungkan dengan visi RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan yang mencanangkan
Sulawesi Selatan sebagai Provinsi 10 Terbaik dalam Pelayanan Hak Dasar di Indonesia,
pencapaian IPM di peringkat 20 pada tahun 2009 masih memerlukan akselerasi tinggi untuk
bisa mendekati posisi 10 besar. Peningkatan memang telah dicapai signifikan, tetapi
akselerasinya belum cukup untuk memenuhi target. Waktu tiga tahun yang tersisa, yakni
2010-2013, merupakan kesempatan bagi Provinsi ini untuk mengejar pencapaian visinya.
(2) Pendidikan.
Terdapat sepuluh indikator yang akan dikemukakan dalam menganalisis kinerja
pendidikan di Sulawesi Selatan, yang di dalamnya tercakup pendidikan dasar dan
menengah. Secara umum dari kesepuluh indikator tersebut, tujuh di antaranya menunjukkan
kecenderungan membaik, yaitu Angka Partisipasi Murni Tingkat SD, Angka Partisipasi Kasar
Tingkat SD, rata-rata nilai akhir tingkat SMP, rata-rata nilai akhir tingkat sekolah menengah,
Angka Melek Huruf (%), persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya tingkat
SMP, dan persentase guru layak mengajar terhadap guru seluruhnya tingkat sekolah
menengah. Kecenderungan memburuk yang diperlihatkan oleh angka-angkanya yang
meningkat adalah Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%) dan Angka Putus Sekolah Tingkat
Sekolah Menengah (%). Sementara Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%) menunjukkan
ketidakstabilan yang ditunjukkan oleh nilainya yang fluktuatif dari tahun ke tahun.
1. Angka Partisipasi Murni (SD/MI)
Angka Partisipasi Murni (APM) tingkat SD/MI, pada tahun 2005 mengalami
penurunan yang cukup besar dari 90,64 pada tahun 2004 menjadi 88,13 (Grafik-12). Setahun
kemudian, angka tersebut bisa dinaikkan kembali melampaui angka tertinggi yang dicapai
setahun sebelumnya menjadi 91,08, sebelum naik secara perlahan rata-rata di bawah satu
digit sampai tahun 2009.
Menurunnya APM tingkat SD/MI pada tahun 2005 tidak terlepas dari kenyataan
kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga miskin untuk bisa menyekolahkan anaknya
(Grafik-13). Pada saat itu Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi rendah,
sementara laju inflasi mencapai tingkat tertingginya. Di Makassar misalnya, laju inflasi saat
itu mencapai 15,20, jauh melambung dari tahun sebelumnya yang sebesar 6,47. Keadaan ini
jelas mengurangi daya beli masyarakat sehingga banyak diantara mereka yang hanya
berada sedikit di atas garis kemiskinan kembali terjatuh miskin.
Berdasarkan Grafik-10 tampaknya pendidikan anak-anak adalah salah satu aspek
yang terpaksa dikorbankan oleh kelompok keluarga miskin untuk bisa bertahan dalam
35
kesulitan ekonomi seperti itu. Meskipun pada saat itu mulai diperkenalkan kebijakan inklusif
di bidang pendidikan, seperti adanya dana BOS, tetapi sosialisasi dan pelaksanaannya
belum sepenuhnya efektif dan menyentuh secara tepat semua kelompok miskin yang sangat
berkepentingan.
Angka Partisipasi Murni Tingkat SD/MI dan Persentase Penduduk Miskin
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
1 2 3 4 5 6
Partisipasi murni tingkat SD/MI % penduduk miskin
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik-10: Perkembangan APM dan Kemiskinan di Sulawesi Selatan (Sumber: BPS, 2010; Kementerian Diknas, 2010)
Untungnya penurunan APM tingkat SD/MI ini tidak berlangsung lama. Sejak tahun
2006 keadaan itu secara cepat bisa tertanggulangi dan terus mengalami pertumbuhan pada
tahun-tahun sesudahnya. Grafik juga menunjukkan bahwa sejak tahun 2006 kondisi
kemiskinan di Sulawesi Selatan juga perlahan bisa dikurangi, sehingga jumlah keluarga yang
tidak bisa membiayai pendidikan anggotanya juga bisa diperbesar.
2. Angka Partisipasi Kasar
Menurunnya angka partisipasi sekolah pada tahun 2005, juga terlihat pada Angka
Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI (Grafik-11). Pada tahun 2004, APK tingkat SD/MI
sebesar 103,28 dan turun menjadi 101,43 pada tahun 2005. Penyebab penurunan ini diduga
juga sama dengan yang mempengaruhi APM, yaitu faktor yang terkait dengan ekonomi
khususnya kemiskinan keluarga peserta didik.
36
Hal yang membuat lonjakan APK pada tahun 2006 menarik adalah karena
peningkatannya yang jauh melebihi APM. Pada tahun 2006, APK telah menjadi 107,70, jauh
meninggalkan APM yang baru mencapai 91,08. Diduga kuat penyebabnya adalah
meningkatnya peserta didik baru pada jenjang SD/MI yang berasal dari mereka yang setahun
lalu terpaksa menunda niat mengikuti pendidikan dasar. Besaran APK yang semakin timpang
dengan APM, serta semakin tingginya APK di atas angka 100 menunjukkan membengkaknya
jumlah peserta didik pada jenjang sekolah dasar yang berusia tidak sesuai dengan jenjang
pendidikannya. Jika benar dugaan bahwa kesulitan ekonomilah yang menyebabkan keluarga
menunda memasukkan anggota keluarganya ke lembaga pendidikan, maka hal itu
mengindikasikan masih adanya kecenderungan keterlambatan mengikuti pendidikan dasar
pada sebagian anak-anak.
Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD/MI
96,00
98,00
100,00
102,00
104,00
106,00
108,00
110,00
112,00
1 2 3 4 5 6
Partisipasi kasar tkt SD/MI
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik-11: Perkembangan APK SD/MI (Sumber: Kementerian Diknas, 2010).
Berdasarkan data tahun 2008 dan data proyeksi tahun 2009, baik APM maupun APK
mulai menunjukkan peningkatan yang stabil. Jika APM berubah menjadi 92,55 pada tahun
2009 dari 92,15 tahun sebelumnya, maka APK naik perlahan dari 109,25 pada tahun 2008
menjadi 110,83 pada tahun 2009. Kondisi stabil ini terutama dipicu stabilitas ekonomi
masyarakat, serta dukungan kebijakan inklusif di bidang pendidikan dasar yang semakin
terjangkau dan merata.
37
3. Rata-rata Nilai Akhir SMP/MTs
Rata-rata nilai akhir siswa SMP/MTs yang diukur melalui nilai ujian nasional pada
berbagai mata pelajaran, menunjukkan bahwa pencapaian siswa di Sulawesi Selatan terus
menunjukkan peningkatan. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir ujian nasional siswa
SMP/MTs adalah 4,83, lalu meningkat menjadi 5,95 dan bertahan selama tahun 2005 hingga
2007. Pada tahun 2008, nilai ujian akhir tersebut meningkat menjadi 6,44 dan pada tahun
2009 meningkat lagi menjadi 7,21. Dibalik peningkatan nilai tersebut, jumlah dan proporsi
siswa yang lulus ujian nasional juga terus meningkat dari tahun ketahun. Prestasi rendah
umumnya ditunjukkan oleh sekolah-sekolah swasta yang manajemen pembelajarannya
kurang baik, sementara pada sekolahh negeri prestasi rendah hanya ditunjukkan pada
kabupaten tertentu.
Ini menunjukkan adanya peningkatan kualitas proses belajar-mengajar serta kualitas
dari berbagai unsur lainnya seperti guru dan sarana dan prasarana sehingga prestasi belajar
siswa terus meningkat. Salah satu faktor yang mempengaruhi peningkatan ini adalah adanya
peningkatan upaya yang nyata pada tingkat sekolah, terutama dalam memberikan tambahan
jam belajar kepada siswa pada tahun penyelenggaraan ujian nasional. Upaya-upaya ini
diduga terkait pula dengan adanya persaingan positif antar sekolah dan daerah karena hasil
ujian nasional selalu diberitakan luas setiap tahun; sekolah yang bagus prestasinya
mendapatkan pujian sementara sekolah yang prestasi ujian nasionalnya rendah
mendapatkan kritikan dari masyarakat.
Selain itu, pencanangan Gubernur Sulawesi Selatan atas Pendidikan Gratis, diikuti
dengan komitmen Bupati dan Walikota untuk mendukungnya, memang kemudian menuntut
konsekuensi bahwa dibalik penggratisan tersebut jangan sampai kualitas terkorbankan. Hal
ini direspons dengan perhatian yang tinggi pada kalangan Dinas Pendidikan Provinsi dan
Kabupaten/Kota dalam bentuk mendorong persiapan siswa sebaik-baiknya dalam
menghadapi ujian nasional.
4. Rata-rata Nilai Akhir SLTA/MA
Rata-rata nilai akhir siswa SLTP/MA juga mengalami peningkatan pada periode 2004-
2009. Pada tahun 2004, rata-rata nilai akhir siswa SLTA/MA adalah 5,58, angka ini terus
meningkat menjadi 6,05 tahun 2005, 6,25 tahun tahun 2006, turun menjadi 6,24 tahun 2007,
naik lagi menjadi 6,28 tahun 2008 dan pada tahun 2009 mencapai nilai 7,19. Beberapa
daerah seperti Kota Makassar, Kota Palopo, Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Utara dan
Kabupaten Luwu Timur menunjukkan prestasi yang cukup konsisten.
38
Faktor yang mendorong peningkatan ini sama dengan siswa SMP/MTs yakni adanya
perbaikan upaya pada tingkat sekolah dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan upaya
menghadapi ujian nasional. Selain itu, berkembangnya pusat-pusat bimbingan belajar, ikut
berkontribusi pada kesiapan siswa mengikuti ujian nasional, dan ini berjalan pada hampir
seluruh ibu kota Kabupaten. Pada sisi pemerintahan, spirit pendidikan gratis yang
dicanangkan Gubernur Sulawesi Selatan juga memicu setiap sekolah dan unsur Dinas
Pendidikan untuk meningkatkan pencapaian, agar bisa membuktikan bahwa dalam kondisi
pendidikan gratis kualitas juga dapat ditingkatkan.
5. Angka Putus Sekolah SD
Angka putus sekolah tingkat SD secara umum mengalami penurunan selama periode
2004-2009, meskipun didalamnya terjadi fluktuasi. Pada tahun 2004 angka putus sekolah SD
cukup besar yakni 4,17%, pada tahun 2005 menurun signifikan menjadi 1,54%, tetapi pada
tahun 2006 meningkat lagi menjadi 3,83%. Peningkatan ini terutama terkait dengan kondisi
perekonomian yang kurang baik pada tahun 2005-2006 tersebut, dimana pertumbuhan
ekonomi menurun, angka kemiskinan bertambah, begitu juga dengan pengangguran. Kondisi
ini menjadikan anak rumah tangga miskin bannyak yang meninggalkan bangku sekolah
karena kesulitan pembiyaan ataupun membantu orang tua bekerja terutama pada komunitas
pulau, pesisir dan dataran tinggi. Pada tahun 2007 terjadi lagi penurunan signifikan sehingga
angka putus sekolah hanya 1,61%. Setelah itu terjadi peningkatan lagi, yakni 3,01% pada
tahun 2008 dan 3,87% pada tahun 2009. Meningkatnya angka putus sekolah pada tahun
2008 dan 2009 cukup mengundang pertanyaan, karena pada saat tersebut kondisi
perekonomian cukup tinggi dan program pendidikan gratis yang didorong pemerintah
berjalan cukup intensif. Peningkatan angka putus sekolah ini kemungkinan terjadi pada
daerah terpencil pegunungan dan pulau-pulau terkait dengan anakn-anak yang didorong
orang tuanya untuk terlibat dalam proses cari nafkah sehingga meninggalkan bangku
sekolah.
6. Angka Putus Sekolah SMP/MTs
Angka putus sekolah tingkat SMP/MTs di Sulawesi Selatan 2004-2009 menunjukkan
fluktuasi yang tinggi. Pada tahun 2004 mencapai 4,17 dan menurun menjadi 1,54 pada tahun
2005, tetapi naik lagi pada tahun 2006 menjadi 3,83. Pada tahun 2007 angka ini turun lagi
39
menjadi 1,61, tetapi pada pada tahun 2008 naik lagi menjadi 3,01` dan tahun 2009 sebanyak
3,87.
Tingginya angka putus sekolah SMP/MTs pada tahun 2006 terkait dengan kondisi
perekonomian yang kurang baik saat itu, khususnya dari aspek pertumbuhan ekonomi,
pengangguran terbuka, dan angka kemiskinan. Sedangkan kenaikan pada tahun 2008 dan
2009 berlangsung dalam kondisi pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, angka kemiskinan turun
dan angka pengangguran turun. Pada 2008-2009, selain Program BOS nasional semakin
diefektifkan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga telah mengimplementasikan
kebijakan pendidikan gratis SD dan SMP/MTs sehingga diri sisi penawaran faktor yang bisa
menghambat kejadian putus sekolah cukup signifikan bekerja. Terdapat kemungkinan bahwa
angka putus sekolah yang naik pada saat itu lebih disebabkan dari sisi permintaan, yakni
minat anak sekolah yang rendah untuk bertahan di bangku sekolah serta orang tua siswa
yang kurang aktif mendorong atau bahkan melibatkan anak di dunia kerja.
7. Angka Putus Sekolah Sekolah Menengah
Angka putus sekolah menengah selama 2004-2009 juga mengalami kenaikan pada
tahun 2008-2009, dimana pada lima tahun sebelumnya angka tersebut cukup rendah. Pada
tahun 2004 angka putus sekolah sebesar (4,41%), lulu turun menjadi 3,63% (2005) dan turun
lagi menjadi 3,13% (2006) dan kenaikan mulai terjadi pada 2007 yakni menjadi 4,35%, tahun
2008 menjadi 24,64% dan tahun 2009 25,20%.
Besarnya angka putus sekolah pertama-tama terkait dengan jumlah siswa sekolah
menengah yang terus meningkat dalam lima tahun terakhir, seiring dengan perbaikan pada
angka partisipasi sekolah tingkat SMP dan SD. Artinya, dibalik baiknya angka putus sekolah,
angka yang menamatkan Sekolah Menengah juga besar, mengingat angka partisipasi yang
tinggi tersebut.
Sedangkan besarnya angka putus sekolah, ia lebih terkait dengan meningkatnya
porsi anak sekolah menengah yang memasuki dunia kerja. Faktor ekonomi tidak bisa
menjadi penjelasan sebab pada tahun terakhir kondisi perekonomian Sulawesi Selatan
justeru membaik.
8. Angka Melek Huruf
Peningkatan APM dan APK jenjang SD/MI telah ikut memicu peningkatan persentase
penduduk yang melek aksara di Sulawesi Selatan. Tercatat sejak tahun 2004 sampai tahun
2007 angkanya terus meningkat dari 84,50% menjadi 86,24%. Penurunan angka melek huruf
40
baru terjadi pada tahun 2008 menjadi 85,58%, sebelum naik secara menyolok pada tahun
2009 menjadi 94,47% (Grafik-12).
Berbeda dengan APM dan APK yang segera bisa dihitung hasilnya, melek huruf bisa
dilihat sebagai output berbagai proses pendidikan, baik formal maupun non formal.
Pendidikan formal yang menjadi faktor pengaruh angka melek huruf salah satunya tercermin
dari APK dan APM. Sementara berbagai pendidikan non formal/informal dilakukan melalu
berbagai kegiatan sanggar belajar, usaha-usaha pemberantasan buta aksara, ataukah usaha
mandiri yang dilakukan oleh masyarakat agar anggotanya bisa membaca tulis. Oleh
karenanya, penyebab turunnya angka melek aksara pada tahun 2008 bisa ditelusuri pada
tahun-tahun sebelumnya.
Pada Gambar-12, tampak bahwa pendidikan formal yang ditunjukkan oleh APK - SD
tidak menjadi faktor yang terkait langsung dengan penurunan angka melek huruf tahun 2008.
Hanya angka putus sekolah tingkat SD yang menunjukkan kecenderungan meningkat tahun
2008 menjadi 3,01 dari 1,61 tahun sebelumnya. Jika putus sekolah ini banyak terjadi pada
awal sekolah di mana membaca baru diajarkan, maka faktor ini memang bisa
mempengaruhi. Tetapi di luar dari proses yang terjadi pada pendidikan formal, usaha-usaha
non formal/informal untuk meningkatkan angka melek huruf bisa jadi juga mengalami
gangguan pada masa-masa ini, akibat dinamika politik dan transisi kepemimpinan sedikit
bergejolak di Sulawesi Selatan.
41
Angka Melek Huruf (%), Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD, dan Angka Putus Sekolah Tingkat SD
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
1 2 3 4 5 6
Angka melek huruf APK tkt SD Angk putus sek SD
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik-12: Hubungan antara AMH, APK SD/MI dan Angka Putus Sekolah SD/MI (Sumber: Kementerian Diknas, 2010).
Pada tahun 2009, angka melek huruf kembali mengalami peningkatan cukup tinggi
menjadi 94,47. Ini adalah angka dan peningkatan tertinggi yang pernah dicapai selama enam
tahun terakhir. Penyebabnya selain karena faktor-faktor umum seperti angka partisipasi
sekolah yang terus naik, kebijakan pemerintahan baru di Sulawesi Selatan yang memberikan
prioritas pada pendidikan ikut mendukung perbaikan ini. Kebijakan tersebut adalah
diintensifkannya pemberantasan buta huruf secara bersinergi dengan kebijakan pendidikan
gratis dalam bentuk pelibatan aparat babinsa di setiap desa/kelurahan, selain mengefektifkan
program sebelumnya yang didorong melalui pendidikan luar sekolah, mahasiswa KKN dan
kegiatan lainnya.
(3) Kesehatan
1. Umur Harapan Hidup
Umur harapan hidup adalah indikator kinerja dampak (impact) dari berbagai upaya
pembangunan di bidang kesehatan. Karena itu, dalam pengukuran indeks pembangunan
manusia, umiur harapan hidup ditempatkan sebagai salah satu indikator, selain angka melek
aksara dan rata-rata lama sekolah (pendidikan) dan tingkat saya beli (perekonomian).
42
Peningkatan umur harapan hidup Sulawesi Selatan mencapai signifikansinya pada
tahun 2008, karena saat itu nilainya menembus angka 70 yakni 70,40 dan pada tahun 2009
diprediksi sekitar 70,98. Angka ini relatif sama dengan rata-rata nasional. Sebelumnya, pada
tahun 2004-2005, nilainya 68,70 dan pada tahun 2006 naik menjadi 69,40.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan umur harapan hidup Sulawesi
Selatan khususnya pada tahun 2008. Pertama, ia merupakan resultan dari berbagai
pencapaian bidang kesehatan seperti perbaikan pada angka kematian bayi, angka kematian
ibu melahirkan, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang, penanganan penyakit serta kesehatan
keluarga dan lingkungan. Sulawesi Selatan dalam enam tahun terakhir memiliki kinerja yang
sama dengan rata-rata nasional untuk berbagai aspek tersebut. Kedua, akselerasi
pembangunan kesehatan oleh pemerintah dalam tiga tahun terakhir, khususnya oleh
Pemerintah Provinsi bersama Pemerintah Kabupaten/Kota yang mengintensifkan
implementasi kebijakan kesehatan gratis, terutama bagi pasien untuk Kelas III kebawah,
serta implementasi Jamkesmas secara nasional. Kebijakan kesehatan gratis secara
langsung berkontribusi pada peluang harapan hidup rumah tangga miskin yang sebelumnya
sulit mengakses layanan pengobatan karena keterbatasan biaya.
2. Angka Kematian Bayi
Indikator kesehatan dasar yang juga tidak kalah pentingnya adalah angka kematian
bayi (Infant mortality rate). Indikator ini sangat sensitif terhadap perubahan tingkat kesehatan
dan kesejahteraan. Sejak tahun 2005, angka kematian bayi di Sulawesi Selatan cenderung
mengalami penurunan dari 37,37 (2004) menjadi 36,00 (2006), dan 29,10 (2007); tetapi pada
tahun 2008 mengalami kenaikan hingga 41,00 lalu turun lagi menjadi 27,40 (2008) dan
26,35 (2009) (Grafik-13).
Beberapa faktor yang terkait dengan kematian bayi, seperti kejadian gizi buruk atau
gizi kurang dan kondisi ekonomi tidak menunjukkan kecenderungan adanya hubungan.
Kejadian gizi buruk misalnya justru terjadi penurunan dari 8,60% pada tahun 2005 menjadi
5,10% pada tahun 2007. Demikian pula gizi kurang pada tahun 2007 turun menjadi 12,50%
dari 21,50% dua tahun sebelumnya. Kondisi ekonomi masyarakat yang ditunjukkan oleh
indikator ekonomi makro juga tidak menunjukkan hubungan yang berarti, karena kondisi
ekonomi saat itu tidak sedang mengalami penurunan yang berarti, bahkan cenderung
membaik. Artinya kondisi gizi dan ekonomi tidak bisa diduga sebagai penyebab utama
meningkatnya angka kematian bayi pada tahun 2007.
43
Mengingat faktor yang terjadi dalam masyarakat tidak terindikasi sebagai penyebab
melonjaknya angka kematian bayi pada tahun 2007, maka faktor penyebab lain bisa saja
pada aspek pelayanan kesehatan. Grafik-13 menunjukkan bahwa pada tahun 2007 memang
Angka Kematian Bayi (Per 1.000 Kelahiran Hidup) dan Jumlah Tenaga Kesehatan (Per 10.000 Penduduk)
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
45,00
1 2 3 4 5 6
Angka kematian bayi Tenaga kesehatan
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik-13: Hubungan Angka Kematian Bayi dengan Ketersediaan Tenaga Kesehatan (Sumber: Bappenas, 2007; BPS, 2006; Riskesdas, 2007; BPS, 2008; Dinas Kesehatan Prop. Sulsel, 2009).
terjadi penurunan jumlah tenaga kesehatan di Sulawesi Selatan. Penurunan ini jelas
berpengaruh pada ketersediaan dan kualitas pelayanan kesehatan yang diterima
masyarakat, termasuk dalam pelayanan kesehatan untuk ibu dan bayinya. Pada tahun 2008-
2009, angka kematian bayi kembali membaik, dimana saat itu berjalannya program desa
siaga yang didalamnya komponen revitalisasi posyandu cukup besar, diduga menjadi
penyebabnya.
3. Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang
Secara umum prevalensi gizi buruk di Sulawesi Selatan menunjukkan penurunan
selama 2004-2009. Penurunan tertinggi dicapai tahun 2006 dengan nilai 1,32, dimana pada
tahun 2004 prevalensi gizi buruk masih sebesar 8,53 dan pada 2005 naik menjadi 8,60.
Setelah tahun 2006, prevalensi gizi buruk bertahan pada angka cukup rendah yakni 1,89
(2007), dan 1,80 pada tahun 2008 dan 2009. Prevalensi gizi kurang memiliki kecenderungan
44
yang sama dengan prevalensi gizi buruk selama 2004-2009. Nilai terendah tercapai pada
tahun 2006 yakni 13,37, turun dari nilai 18,35 (2005) dan 19,62 (2004). Pada tahun 2007 nilai
ini bertahan yakni 14,74 dan pada tahun 2008 dan 2009 sebesar 14,50.
Dari data-data tersebut, fokus yang perlu dianalisis adalah angka pada tahun 2006,
dimana pada tahun tersebut gizi buruk dan gizi kurang mengalami perbaikan dibanding dua
tahun sebelumnya. Dari sisi masyarakat, pada tahun 2006 memang terjadi perbaikan kondisi
perekonomian Sulawesi Selatan. Pertumbuhan ekonomi naik dari 5,20% (2005) menjadi
6,72% (2006), pengangguran turun dari 18,69% (2005) menjadi 14,57% (2006), serta
penduduk miskin juga berkurang dari 14,98% (2005) menjadi 14,57% (2006). Ini merupakan
faktor yang bisa dilihat sebagai penyebab membaiknya kondisi gizi masyarakat, dalam arti
kemampuan mereka mengakses pangan mengalami perbaikan. Apalagi pada tahun 2006,
produksi pangan di Sulawesi Selatan seperti beras dan jagung, juga mengalami kenaikan.
Dari sisi intervensi pemerintah di biidang kesehatan, pada tahun 2006 jumlah tenaga
kesehatan memang mengalami peningkatan, yakni mencapai 0,0016/penduduk, dimana
angka ini mengalami perbaikan dari 0,0015/penduduk (2005) dan 0,0012/penduduk (2004).
Dengan perbaikan pada jumlah tenaga kesehatan, dapat diekspektasi bahwa layanan
kesehatan juga mengalami perbaikan, termasuk kesehatan bayi dan rumah tangga miskin
secara umum melalui revitalisasi peranan posyandu, yang dengan itu gizi buruk dan gizi
kurang dapat dideteksi dan ditangani.
4. Keluarga Berencana
Sebagai salah satu upaya mengatur kelahiran, pemerintah telah memprogramkan
keluarga berencana (KB) sejak empat dekade lalu. Melalui pengaturan kelahiran diharapkan
keluarga akan memiliki keleluasaan untuk mengatur sumberdaya yang dimilikinya demi
kebahagiaan dan kesejahteraan anggotanya.
Data pada Grafik-14 menunjukkan bahwa sekalipun terdapat kecenderungan
peningkatan jumlah penduduk peserta KB, tetapi peningkatan itu tidak stabil dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2007, persentase penduduk ber-KB (contraceptive prevalence rate) naik
cukup tajam menjadi 65,57% dibanding sebelumnya yang sebesar 57,30%. Namun demikian,
kenaikan itu tidak bisa dipertahankan dan akhirnya turun lagi menjadi 62,00% setahun
kemudian.
45
Persentase Penduduk yang Mengikuti Program Keluarga Berencana
50,00
52,00
54,00
56,00
58,00
60,00
62,00
64,00
66,00
68,00
1 2 3 4 5 6
% peserta KB
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik-14: Peserta Program KB (Sumber: BPS, Hasil Pendataan Keluarga, 2004 –
2009).
Selama tahun 2008 – 2009, persentase penduduk peserta KB kembali mengalami
kenaikan. Hanya saja kenaikan peserta KB pada tahun 2009 menjadi 64,29% dari 62,00%
pada tahun 2008 sebelumnya belum mampu mencapai angka tertinggi yang dicapai dua
tahun sebelumnya.
Apabila dilihat tempat pelayanan peserta KB di Sulawesi Selatan, maka sebagian
besar masih sangat tergantung pada pelayanan yang diberikan pemerintah. Bahkan
kecenderungan itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2004, pelayanan
pemerintah sebesar 58,34% dari peserta KB. Pada tahun 2009, peserta KB yang memiliki
tempat pelayanan pemerintah berkembang menjadi 66,21%. Ketergantungan peserta KB di
Sulawesi Selatan pada pelayanan pemerintah bisa diduga menjadi salah satu penyebab tidak
stabilnya jumlah peserta KB. Ketika perkembangan layanan KB pemerintah mengalami
stagnasi pada tahun 2007 dengan turun menjadi 60,32% dari 60,48% dari tahun sebelumnya,
dampaknya segera terlihat pada penrunan peserta KB pada tahun berikutnya (2008). Barulah
ketika peranan pelayanan KB pemerintah naik pada tahun 2009, peserta KB total ikut pula
meningkat. Ketergantungan peserta KB di Sulawesi Selatan yang masih terbilang tinggi
terhadap pemerintah juga terlihat pada jumlahnya yang lebih tinggi dibandingkan angka
nasional. Pada tahun 2009 misalnya, jumlah peserta KB yang mendapat pelayanan
pemerintah sebesar 66,21%, sementara secara nasional sebesar 51,18%.
46
Masih relatif rendahnya peserta KB di Sulawesi Selatan tidak hanya terlihat dari
tingginya ketergantungan pada pemerintah, tetapi juga pada jumlahnya secara keseluruhan
jika dibadingkan dengan daerah lainnya. Jumlah peserta KB di Sulawesi Selatan pada tahun
2009 yang sebesar 64,29% masih berada dibawah rata-rata nasional yang sudah mencapai
70,91%. Hal itu tentu saja mempengaruhi angka fertilitas total (total fertility rate) yang pada
tahun 2007 tercatat sebesar 2,29. Ini berarti bahwa setiap wanita di Sulawesi Selatan akan
mempunyai anak sebanyak rata-rata 2,29 orang di akhir masa reproduksinya.
Pertumbuhan Penduduk (%)
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
1 2 3 4 5 6
Series1
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik-15: Perkembangan Jumlah Penduduk (Sumber: BPS, 2010).
Salah satu akibat langsung dari ketidakstabilan jumlah peserta KB adalah pada
pertumbuhan penduduk. Sejak tahun 2004 sampai tahun 2009, pertumbuhan penduduk di
Sulawesi Selatan cukup fluktuatif, sekali pun dalam kisaran yang juga relatif kecil antara
0,92% sampai 1,64% per tahun (Grafik-15). Angka pertumbuhan penduduk yang tertinggi
tersebut terjadi pada tahun 2005 dan turun ke angka terendah pada tahun 2007. Angka
pertumbuhan penduduk itu naik lagi menjadi 1,36 setahun kemudian (2008) dan relatif stabil
sampai tahun 2009 dengan pertumbuhan 1,33% pertahun.
47
Pertumbuhan Penduduk (%), Contraceptive Prevalence Rate (%), dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
-10,00
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
1 2 3 4 5 6
Pertumbuhan penduduk CPR Pert. ekonomi
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Grafik-16: Pertumbuhan Penduduk, Peserta KB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (Sumber: BPS, 2009; BPS, Hasil Pendataan Keluarga, 2004 – 2009). Grafik yang menyandingkan data pertumbuhan penduduk dengan peserta KB
(contraceptive prevalence rate) menunjukkan adanya hubungan di antara keduanya (Grafik-
16). Ketika pengguna kontrasepsi pada tahun 2004 sampai 2006 relatif stabil, angka
pertumbuhan penduduk pun tidak berfluktuasi dari 1,36%, 1,64%, dan 1,41%. Ketika peserta
KB melonjak menjadi 65,57% pada tahun 2007, maka pada tahun yang sama pertumbuhan
penduduk pun turun cukup jauh menjadi 0,92%. Pertumbuhan penduduk kembali meningkat
pada dua tahun selanjutnya ketika peserta KB juga mengalami sedikit penurunan.
Pertumbuhan penduduk yang sangat dipengaruhi oleh pengaturan kelahiran di Sulawesi
Selatan juga mengindikasikan besarnya peranan pertumbuhan penduduk alamiah -- yaitu
selisih antara fertilitas dan mortalitas. Hal itu disebabkan oleh kemungkinan dua hal, yaitu
terjadi penurunan arus migrasi masuk atau ke luar, ataukah terjadi keseimbangan jumlah
arus migrasi masuk dan keluar, baik keseimbangan karena keduanya tinggi atau karena
keduanya rendah.
Pertumbuhan ekonomi tampaknya tidak berpengaruh besar pada pertumbuhan
penduduk. Hal itu mungkin karena pertumbuhan ekonomi makro tidak serta-merta langsung
mempengaruhi ekonomi keluarga di mana pilihan memiliki anak diputuskan. Pengecualian
48
terhadap hal itu bisa terjadi pada saat terjadi fluktuasi yang besar dalam pertumbuhan
ekonomi. Gejala itu terlihat pada saat pertumbuhan ekonomi rendah pada tahun 2005 di
mana pertumbuhan penduduk justru menunjukkan angka tertingginya. Kecenderungan ini
mengindikasikan masih berlakunya teori cost and utility dalam demografi, di mana anak oleh
banyak penduduk masih dipandang memberi kegunaan, terutama dalam memberi bantuan
ekonomi pada keluarga di saat krisis, sehingga mereka berkecenderungan memilih jumlah
anak yang lebih banyak. Pilihan seperti ini biasanya terjadi pada kelompok keluarga miskin.
5. Ekonomi Makro
1. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan relatif baik selama periode tahun 2004-
2009. Secara umum laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan cenderung meningkat
selama periode ini, kecuali untuk tahun 2007 dan 2009 (Grafik-17). Walaupun demikian
penurunan laju pertumbuhan pada kedua tahun ini ini masih dalam batas-batas yang wajar,
kurang dari 0.5%. Khusus untuk tahun 2009, penurunan laju pertumbuhan yang relatif kecil
menunjukan tingginya ketahanan ekonomi Sulawesi Selatan, dimana pada tahun tersebut
dunia masih dalam situasi krisis ekonomi yang dahsyat. Pada semester dua tahun 2010, laju
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan kembali meningkat, mencapai 9,2%.
Laju Pertumbuhan Ekonomi
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju
Pertumbuhan Ekonomi
Nilai Realisasi Investasi PMA (puluhan juta US$)
Nilai Realisasi
Investasi PMDN (00 M)
Grafik-17: Laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, nilai realisasi investasi PMA
Dan nilai realisasi investasi PMDN, 2004-2009.
49
Pada Grafik-17 terlihat adanya kecenderungan yang korelatif antara investasi PMA
dan PMDN dengan laju pertumbuhan ekonomi. Peningkatan realisasi investasi PMA pada
2004-2005 diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi pada tahun berikutnya (2005-
2006) yang dapat diduga sebagai dampak peningkatan nilai investasi tersebut. Begitu pula
dengan penurunan investasi PMA pada tahun 2005-2006, pada tahun berikutnya diikuti pula
dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi. Sementara peningkatan investasi PMA pada
tahun 2007-2007 diikuti oleh peningkatan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007-2008,
dan ketika realisasi nilai investasi PMA kembali menurun pada 2007-2008, ia diikuti pula
dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi pada 2008-2009. Kecenderungan serupa
terlihat pula pada korelasi investasi PMDN dengan laju pertumbuhan ekonomi.
Pengeluaran (investasi) pemerintah juga memegang kontribusi besar atas laju
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Pada tiga tahun terakhir, terjadi peningkatan nilai
investasi pemerintah yang sangat signifikan yakni Rp. 17.476 milyar (2007), naik menjadi Rp.
20,304 pada 2008 (16,18%) dan pada tahun 2009 naik lagi menjadi Rp. 22.384 milyar
(10,24%). Pengeluaran pemerintah tersebut mencakup pengeluaran sektoral, dana
dekonsentrasi, urusan bersama, tugas perbantuan, dana alokasi umum, dana alokasi khusus
dan APBD Provinsi.
Dari sisi suplai, sektor yg paling mendorong pertumbuhan ekonomi selama 20045-
2009 adalah keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; perdagangan, hotel dan restoran;
bangunan serta pengangkutan dan komunikasi (dengan angka pertumbuhan diatas 10%
selama 2008-2009). Sementara itu, kontribusi sektor pertanian terus menurun seiring dengan
transformasi perkonomian dari sektor primer ke sektor sekunder, tetapi dengan catatan
bahwa penurunan penyerapan tenaga kerja sektor pertanian tidak secepat dengan
penurunan nilai kontribusinya atas PDRB.
2. Persentase Produk Ekspor terhadap PDRB
Persentase produk ekspor terhadap PDRB telah mengalami fluktuasi selama 2004-
2009. Pada tahun 2004 persentase tersebut sebesar 13,50%, meningkat sedikit menjadi
13,57% pada 2005, lalu turun lagi menjadi 13,51% pada 2006 dan 14,58% tahun 2007. Pada
tahun 2008 persentas ekspor tersebut meningkat drastis ke angka 22,28% dan turun lagi
pada tahun 2009 menjadi 12,11%. Pada empat tahun terakhir, nilai ekspor tersebut memang
berfluktuasi yakni 1.655,31 juta US$ pada 2006 dan naik menjadi 2.751,73 US$ pada 2007
dan turun menjadi 2.163,82 juta US$ pada 2008 dan terus turun pada 2009 menjadi
1.291,06. Salah satu penyebab penurunan tersebut adalah kemunduran produksi kakao yang
50
selama ini menjadi andalah ekspor Sulawesi Selatan, selain produk udang yang juga terus
menurun. Menurut press-release dari BPS, nilai ekspor Sulawesi Selatan untuk bulan
Oktober 2009 saja mencapai US$ 513,887 juta. Sedangkan ekspor pada bulan September
dan Agustus 2009 masing-masing sebesar US$ 451,170 juta dan 117.176 juta. Press release
ini juga menunjukkan bahwa "Empat terbesar komoditas ekspor Sulawesi Selatan Oktober
2009 adalah nikel, kakao, ikan dan udang, kayu dan barang dari kayu. Ekspor ke Jepang
pada Oktober 2009 mencapai angka terbesar yaitu US$ 465,412 juta, disusul ke Amerika
Serikat sebesar US$ 15,611 juta, Malaysia sebesar US$ 8,959 juta, dan Singapura sebesar
US$ 5,078 juta. Ekspor ke Cina menduduki urutan kelima dengan nilai ekspor sebesar US$
4,111 juta. Nilai ekspor Sulawesi Selatan ke lima negara tersebut sebesar US$ 499,171 juta
atau 97,14 persen dari total ekspor Sulawesi Selatan".
Pada sisi PDRB sendiri, terdapat peningkatan yang konsisten dari 2005 ke 2009.
Pada tahun 2005 nilai PDRB atas dasar harga berlaku sebesar Rp.51,78 trilyun, naik menjadi
Rp. 60,90 juta trilyun, tahun 2007 naik lagi menjadi Rp. 69,27 juta trilyun, tahun 2008 menjadi
Rp. 85,14 juta trilyun dan tahun 2009 tetap meningkat menjadi Rp. 99,90 juta trilyun. Dengan
demikian, fluktuasi persentase nilai ekspor terhadap PDRB disebabkan oleh tidak
konsistennya peningkatan nilai ekspor pada periode tersebut.
3. Persentase Produk Manufaktur terhadap PDRB.
Persentase produk manufaktur Sulawesi Selatan terhadap PDRB cenderung menurun
selama 2004-2009. Pada tahun 2004, nilai persentasenya sebesar 13,44%, naik sedikit
menjadi 13,78% pada 2005, lalu turun terus menjadi 13,54% tahun 2006, 13,22% tahun
2007, 12,99% tahun 2008 dan 12,53% tahun 2009. Kemunduran dalam persentase produk
manufaktur terhadap nilai PDRB mengindikasikan bahwa transformasi perekonomian
Sulawesi Selatan dari sektor pertanian ke sektor industri tidak berjalan mulus. Produk
sekunder dan tersier yang berkembang cenderung lemah basisnya pada industri manufaktur,
pada hal pergeseran ketenagakerjaan keluar dari pertanian lebih memungkinkan bila arahnya
ke sektor manufaktur.
` 4. Pendapatan Perkapita
Pendapatan perkapita Sulawesi Selatan selama 2004-2009 terus meningkat (Grafik-
18). Berdasarkan harga konstan, pendapatan perkapita telah meningkat dari nilai
Rp.6.150.051 (2004) menjadi Rp. 7.016.919 (2005), terus meningkat menjadi Rp.8.126.117
(2006), Rp. 9.079.914 (2007), Rp.11.092.285 (2008) dan Rp.11.541.232 (2009). Meskipun
tidak terlalu konsisten, peningkatan pendapatan perkapita ini berjalan seiring dengan laju
51
pertumbuhan ekonomi yang dalam empat tahun terakhir bertahan di atas angka 6%. Selain
itu, peningkatan pendapatan perkapita ini juga terkait dengan tingkat pengangguran terbuka
yang terus menurun sejak tahun 2005.
Grafik-18: Pendapatan perkapita, pertumbuhan ekonomi dan angka pengangguran terbuka Sulawesi Selatan 2004-2009.
5. Laju Inflasi
Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik-19, laju inflasi Sulawesi Selatan sangat tinggi
pada tahun 2008 (11,79), tetapi turun menjadi 2,22 pada tahun 2009 (angka sementara).
Sebelum tahun 2008, laju inflasi berfluktuasi dari angka 6,47 (2004), 7,45 (2005), 7,21
(2006), dan 5,71 (2007).
Menurut kajian Bank Indonesia peningkatan laju inflasi pada tahun 2008 diakibatkan
adanya kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM subsidi pada akhir Mei 2008. BPS
(2009) menyatakan bahwa dibalik berlakunya kenaikan harga BBM, kelompok makanan
merupakan penyumbang inflasi terbesar (22%) pada tahun 2008. Ini terutama terkait dengan
gejolak harga bahan makanan yang tak terkendalikan pada hari-hari besar seperti lebaran
dan natal.
52
Grafik-19: Laju Inflasi 2004-2009.
6. Investasi
Sebagaimana ditunjukkan pada Grafik-20 dan Grafik-21, nilai investasi PMA dan
PMDN Sulawesi Selatan mengalami kenaikan signifikan pada tahun 2009. Investasi PMA
mencapai nilai 76,9 juta US$ pada tahun 2009, naik dari 1,7 juta US$ (2004) menjadi 66,9
juta US$ (2005), turun menjadi 13,2 juta US$ (2006), naik lagi menjadi 55,0 juta US$ (2007),
turun lagi menjadi 27,6 juta US$ (2008). Sementara itu, investasi PMDN meningkat sejak
tahun 2008 yang mencapai Rp. 1.110,524 milyar dan naik lagi pada tahun 2009 menjadi
Rp.1.113,79 milyar, dimana pada tahun 2007 terjadi penurunan signifikan yakni senilai Rp.
1,06 milyar, dari Rp. 68,60 milyar (2006), Rp. 147,58 milyar (2005) dan Rp. 109,00 (2004),
Grafik-20: Nilai Realisasi PMA 2004-2009.
53
Grafik-21: Realisasi PMDN 2004-2009.
Nilai investasi PMA dan PMDN yang mencapai posisi tertinggi pada tahun
dipengaruhi oleh promosi investasi yang dilakukan pemerintah Provinsi sejak dua tahun
sebelumnya, terutama ke luar negeri. Berbagai negara Asia dan Eropa telah dikunjungi
dalam rangka promosi investasi tersebut. Selain itu, telah terjadi perbaikan pada pelayanan
investasi di Kabupaten/Kota. Sebagaimana ditunjukkan sebelumnya, pada tahun 2008 jumlah
Kabupaten/Kota yang telah menjalankan Perda Pelayanan satu atap telah mencapai 12
Kabupaten/Kota (52% dari total). Turun signifikan pada 2007 (1,06) dari 109,00 (2004),
147,58 (2005) dan 68,60 (2006)
Hasil Kajian Bank Indonesia terhadap iklim investasi Sulawesi Selatan pada tahun
2007 menunjukkan bahwa secara umum iklim investasi di Sulawesi Selatan dipengaruhi oleh
faktor-faktor non ekonomi, seperti kestabilan politik, penegakan hukum, pertanahan,
kriminalitas, aksi buruh dan mahasiswa, komitmen pemerintah, layanan perbankan,
dukungan infrastruktur dan layanan birokrasi pemerintah. Kriminalitas dan penegakan hukum
yang bisa mendukung iklim investasi masih sangat lemah, khususnya ketegasan aparat
dalam menindak kejahatan ekonomi seperti korupsi dan illegal logging. Intensitas
demonstrasi buruh dan mahasiswa di Sulawesi Selatan cukup mengganggu iklim investasi,
namun masih dalam batas yang dapat ditoleransi. Demonstrasi mahasiswa yang
mendapatkan pemberitaan signifikan dari media massa dan terutama media elektronik,
mempengaruhi citra keamanan dan ketertiban Sulawesi Selatan di mata investor asing.
Birokrasi pengurusan pertanahan masih menjadi salah satu penghambat investasi, terkait
54
dengan nilai dan proses pembebasan lahan serta tumpang tindih penguasaan lahan.
Layanan perbankan khususnya pengurusan kredit dinilai birokratis dan prosedurnya
cenderung berbelit, sementara itu layanan birokrasi dan komitmen pemerintah meskipun
terus mengalami perbaikan tetapi belum sesuai dengan harapan para pengusaha, khususnya
dalam pengurusan perijinan dan penyediaan data/informasi yang diperlukan.
6. Infrastruktur
Kondisi jalan nasional periode 2004-2008 disajikan pada Grafik-22 berikut. Dari data
tersebut terlihat bahwa pada tahun 2007 kondisi jalan baik di Sulawesi Selatan sangat
menurun persentasenya dibanding tahun sebelumnya, sementara jalan dengan kondisi
sedang sangat meningkat persentasenya. Hal ini disebabkan karena pada tahun tersebut
proyek pelebaran jalan nasional antara Kota Makassar dengan Kota Pare-pare sepanjang
kurang lebih 140 km sementara dimulai. Pada pengerjaan proyek ini badan jalan dperlebar
dua kali lipat dan bahannya diganti dari aspal menjadi beton, sehingga selama 2007-2008
mengalami kerusakan dalam rangka perbaikan dan mulai membaik pada tahun 2009.
Menurunnya persentase jalan nasional dengan kondisi baik pada tahun 2007-2008 juga
terkait dengan kerusakan pada jalur Pinrang-Polewali Mandar sekitar 70 km, serta kerusakan
pada jalur Wajo-Palopo sepanjang sekitar 50 km, yang menempatkan jalan-jalan tersebut
hanya dalam kondisi sedang.
Pada tahun 2008-2009, kondisi jalan nasional atau kondisi jalan nasional dan provinsi
secara keseluruhan, cenderung mengalami perbaikan. Menurut LAKIP Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan, pada tahun 2008 panjang jalan nasional dan provinsi dalam kondisi baik
sebanyak 44,01% dan meningkat menjadi 46, 91% pada tahun 2009. Sementara itu, jalan
nasional dan provinsi dalam kondisi sedang agak menurun dari 37,29% pada tahun 2008
menjadi 35,30% pada tahun 2009. Sedangkan jalan nasional dan provinsi dalam kondisi
rusak pada tahun 2008 sebanyak 18,7% yang didalamnya kondisi rusak ringan 10,34%,
rusak berat 6,13% dan jalan belum tembus 2,22%. Pada tahun 2009, jalan dengan kondisi
rusak sebanyak 19,34% yang didalamnya terdapat 13,15% rusak ringan, 4,63% rusak berat
dan 1,56% jalan belum tembus. Selain perbaikan jalan poros Makassar-Pare-pare,
kerusakan jalan di Sulawesi Selatan juga banyak diakibatkan oleh gangguan alam seperti
longsor. Pada tahun 2008, total panjang jalan di Sulawesi Selatan adalah 2.765,43 km dan
pada tahun 2009 meningkat menjadi 2.816,36 km.
55
Grafik-22: Kondisi jalan nasional Sulawesi Selatan 2004-2009.
Dalam penyelenggaraan pembangunan di Sulawesi Selatan, khususnya pada periode
RPJMD 2008-2013, pembangunan infrastruktur menempati prioritas tinggi, dimana pada
tahun 2008 misalnya teralokasikan anggaran sebanyak Rp.222,08 milyar lebih melalui 25
jenis program pembangunan yang diterjabarkan dalam 218 kegiatan, dengan sasaran pokok
terwujudnya Sulawesi Selatan sebagai Entitas Sosial-Ekonomi yang Berkeadilan, Asri dan
Lestari. Selain pembangunan dan rehabilitasi infrastruktur irigasi dan kelistrikan serta sarana-
prasarana fisikl-ekonomi perdesaan, pada tahun 2009 telah ditetapkan dalam bentuk Perda
RTRW Provinsi Sulawesi Selatan dan implementasi lebih jauh Perda Rencana Tata Ruang
Kawasan Metropolitan Mamminasata sebagai Kawasan Strategis Nasional bagi
pengembangan ekonomi KTI, yang kesemuanya saling menunjang dalam memperbaiki
kondisi infrastruktur Sulawesi Selatan.
(7) Pertanian
`Sulawesi Selatan adalah salah satu provinsi yang menjadi lumbung beras Indonesia,
dimana produksi berasnya mensuplai kebutuhan pada hampir seluruh kawasan timur
Indonesia hingga Kalimantan melalui perdagangan antar pulau. Sulawesi Selatan juga
merupakan sentra produksi kakao nasional, dari daerah inilah kakao pertama kali
berkembang lalu menyebar ke seluruh Sulawesi. Karena itu, porsi penduduk yang
menggantungkan hidupnya dari mata pencaharian pertanian di daerah ini cukup besar.
56
Dilihat dari indikator nilai tukar petani (NTP), Grafik-23 menunjukkan bahwa NTP
meningkat nyata pada tahun 2007 dimana saat itu nilainya sebesar 115,1, yang pada tahun
2005-2006 sebelumnya NTP dibawah 100. Tingginya NTP tahun 2007 disebabkan oleh
produksi komoditas pertanian khususnya padi sawah yang cukup tinggi, sementara harga
sarana produksi pertanian terutama pupuk serta harga barang dan jasa yang dikonsumsi
petani, saat itu relatif stabil. Kondisi ini menjadikan kenaikan indeks harga hasil produksi
pertanian lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan indeks harga barang dan jasa yang
dibutuhkan petani, sehingga petani dapat menikmati keuntungan dari usahatani serta
mencapai perbaikan daya beli. Pada tahun 2008 (100,2) dan 2009 (100,55), NTP bertahan di
atas angka 100, artinya petani masih menikmati keuntungan dari usahataninya, meskipun
produksi agak mengalami gangguan karena cuaca dan iklim.
Selama 2008-2009, sektor pertanian merupakan perhatian utama pembangunan
Sulawesi Selatan, mengingat sebagian besar rakyat hidupnya bergantung pada sektor ini,
dan ikon Sulawesi Selatan memang pertanian, khususnya padi sawah dan kakao. Dalam
pelaksanaan RPJMD 2008-2013, pembangunan pertanian menjadi bagian dari kebijakan
umum Peningjkatan dan Pemerataan Kesejahteraan Masyarakat, dengan program utama
Peningkatan Produksi Pertanian dan Pengembangan Agribisnis Pedesaan, dimana
tercanangkan target surplus beras 2 juta ton, produksi jagung 1,5 juta ton, revitalisasi
produksi kakao, peningkatan populasi ternak sapi dan pengembangan rumput laut. Pada
2009, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan mengalokasikan Rp.57,04 milyar lebih anggaran
melalui 33 program dan 155 kegiatan.
Grafik-23: Nilai Tukar Petani 2004-2009. (Sumber: BPS dan BPS Press Release 2010)
57
Dari segi produksi, pada tahun 2008 produksi beras mencapai 2,60 juta ton,
meningkat dari 2,20 juta ton pada tahun 2007 dan produksi ini meningkat lagi pada tahun
2009 menjadi /2,74 juta ton. Produksi jagung juga meningkat dari 0,99 juta ton tahun 2007,
menjadi 1,20 juta ton tahun 2008 dan 1,30 juta ton tahun 2009. Peningkatan serupa dicapai
untuk produksi kakao, rumput laut, ternak sapi dan udang, meskipun agak fluktuatif.
Dari segi nilai PDRB, perkembangan PDRB pertanian Sulawesi Selatan 2004-2009
2009 disajikan pada Grafik-24. Terlihat bahwa nilai PDRB Pertanian Sulawesi Selatan
meningkat terus selama 2004-2009, namun dilihat dari kontribusinya terhadap PDRB
Sulawesi Selatan, kontribusi PDRB Pertanian menurun terus. Pada tahun 2007, kontribusi
PDRB Pertanian terhadap PDRB Sulawesi Selatan sebesar 30, 12%; pada tahun 2008 turun
menjadi 29,45%, dan pada tahun 2009 turun lagi menjadi 27,98% (BPS Sulawesi Selatan,
2009). Ini menunjukkan bahwa perekonomian terus bertransformasi menunju dominasi sektor
non pertanian, meskipun lambat.
Grafik-24. Perkembangan Nilai PDRB Pertanian Sulawesi Selatan 2004-2009 (BPS 2009 dan Press Release BPS 2010).
8. Kehutanan
Luas hutan di Sulawesi Selatan relatif sama dari tahun 2005 hingga 2009 yakni
sekitar 2.690.377 ha, berkurang dari luas tahun 2004 yang mencapai 3.834.657ha. Dari total
luas hutan tersebut, lahan kritis pada tahun 2004-2005 relatif sama yakni sekitar 928.754,62
ha, dan pada tahun 2007-2008 luasnya relatif sama yakni berkurang menjadi sekitar
682.789,29 ha (Kantor Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan, 2009). Dengan demikian, luas
lahan kritis pada tahun 2008-2009 mencapai sekitar 17,80%.
58
Luas lahan penghijauan pada tahun 2004 sekitar 11.642 ha, turun menjadi 7.140 ha
pada 2005, pada 2006-2007 turun lagi menjadi 6.420 ha, dan tahun 2008 turun menjadi
2.450 ha. Luas lahan reboisasi pada tahun 2004 sekitar 10.286 ha, bertambah menjadi
11.745 ha pada tahun 2005, pada tahun 2006-2007 turun menjadi 10.960 ha, dan pada tahun
2008 bertambah menjadi 32.831 ha. Dengan demikian, lahan rehabilitasi dapat dihitung dari
total lahan reboisasi ditambah penghijauan yakni tahun 2004 sekitar 21.928 ha, lalu
berkurang menjadi 18.885 pada tahun 2005, lalu berkurang lagi menjadi 17.380 ha dan
meningkat menjadi 35.281 ha pada tahun 2008. Persentase luas lahan rehabilitasi terhadap
luas lahan kritis dapat dilihat perkembangannya dari 2004 hingga 2009 pada Grafik-25.
Grafik-25. Persentase Lahan Rehabilitasi terhadap Lahan Kiritis 2004-2009 (Sumber: Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan). Pada Grafik-25 terlihat bawah presentase luas lahan rehabilitasi terhadap luas lahan
kritis meningkat pada tahun 2008. Diduga bahwa kenaikan ini erat kaitannya dengan
pelaksanaan GNRHL yang meningkat realisasinya pada tahun 2007-2008. Rencana GNRHL
untuk reboisasi pada tahun 2007 sabanyak 3.425 ha dan yang terealisasi hanya 2.625 ha;
namun pada tahun 2008-2009 rencana reboisasi seluas 23.300 ha dapat terealisir 100%.
Begitu pula rencana penghijauan/hutan rakyat seluas 2.050 ha pada tahun 2008 ternyata
yang terealisir hanya 1950 ha, tetapi pada tahun 2008-2009 dari rencana 2.450 ha dapat
terealiris seluruhnya. Pada tahun 2008-2009, pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
59
gencar melakukan penanaman pohon dalam suatu gerakan yang diberi nama g0-green,
sehingga program ini diduga juga berkontribusi pada pertambahan luas lahan rehabilitasi.
9. Perikanan dan Kelautan
(1) Tindak Pidana Perikanan
Jumlah tindak pidana perikanan dalam periode 2004-2009 berfluktuasi dengan jenis
tindak pidana yang bervariasi. Pada tahun 2008, tindak pidana yang menonjol adalah
penggunaan trawl di Kabupaten Barru yang melibatkan 20 orang pelaku, dengan ancaman
hukuman rata-rata 1 tahun 6 bulan. Selain itu, juga terjadi tindakan penggunaan Potassium
Sianida (1 kasus) dan bom (4 kasus) di Kabupaten Sinjai. Tindak pidana jenis ini krusial
ditangani dan dicegah karena sangat merusak ekosistem laut. Pada tahun 2009, terjadi
empat kasus penggunaan strom untuk penangkapan di Kabupaten Bone; ditambah dengan
pidana penangkapan satwa dilindungi (satu kasus), penggunaan bom (empat kasus) dan
pengangkutan ikan napoleon (satu kasus) masing-masing di Kabupaten Sinjai; serta satu
kasus penggunaan bom dalam penangkapan di Kabupaten Takalar.
Dibanding periode 2004-2007 sebelumnya, tindak pidana yang terjadi lebih bervariasi
jenisnya dan tersebar lokasinya. Pada tahun 2005 misalnya, di perairan Makassar telah
berlangsung kasus pengrusakan hutan mangrove pada pesisir Kelurahan Untia, Tanjung
Merdeka, Lakkang dan Bontoa; penangkaran karang di pulau Barrang Lompo, Bone
Tambung, Kodingareng, Lae-Lae dan Langkal; penggunaan bom di pulau Kodingareng, Bone
Tambung, Langkal dan Lemo-lemo; penggunaan bius di pulau Kodingareng, Barrang Caddi,
dan Langkai; pelanggaran perijinan, dan pelanggaran jalur penangkapan. Kasus penggunaan
andon di Kabupaten Barru serta pelanggaran BMKT di Selayar. Pada tahun 2006, kasus
pidana perikanan berkurang, hanya pengangkutan napoleon di Kabupaten Selayar dan
penggunaan bom/bius di Kabupaten Barru. Pada tahun 2007, kasus pengumpulan ikan
napoleon kembali terjadi di Sinjai; pengangkutan ikan tanpa dokumen terjadi di Makassar;
serta tiga kasus penangkapan ikan dengan potassium sianida terjadi di Pangkep.
Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa potensi kerusakan perairan
khususnya terumbu karang masih tinggi di Sulawesi Selatan. Berbagai bentuk illegal fishing
yang terjadi dominan pada penggunaan alat/bahan tangkap yang merusak terumbu karang,
dan ini membawa ancaman serius bagi eksistensi biota laut. Ini menunjukkan rendahnya
pemahaman masyarakat tentang dampak illegal fishing yang mereka lakukan, selain itu
60
kinerja aparat keamanan serta multi-pihak yang berkepentingan menuntut peningkatan terus-
menerus.
(2) Lahan Konservasi
Kawasan Konservasi Laut adalah wilayah perairan laut (pesisir dan pulau-pulau kecil)
yang mencakup tumbuhan dan hewan di dalamnya, serta atau termasuk bukti peninggalan
sejarah dan sosial budaya yang dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif baik
melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut (Komnas Konlaut, 2005). Kawasan
Konservasi Laut meliputi Taman Nasional Laut (TNL), Taman Wisata Alam Laut (TWAL),
Cagar Alam Laut (CAL), Suaka Margasatwa Laut (SML), Kawasan Konservasi Laut Daerah
(KKLD), Daerah Perlindungan Laut (DPL), dan Suaka Perikanan.
Pada tahun 2006, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki Taman Nasional Laut Taka
Bonerate, Taman Wisata Alam Laut Kapoposang, Empat Kawasan Konservasi Laut Daerah,
dan juga 26 Daerah Perlindungan Laut yang secara keseluruhan mencapai 590.073 Ha.
Pada tahun 2009, luas ini bertambah dan mencapai 762.022,71 Ha. total kawasan
konservasi laut Indonesia yang luasnya sebesar 7.227.757,26 Ha. Kawasan konservasi laut
Sulawesi Selatan pada tahun 2009 terdiri dari Taman Nasional Laut Taka Bonerate seluas
530.765 Ha. (Ditetapkan pada tahun 2001),; Taman Wisata Alam Laut Kapoposang seluas
50.000 Ha. (Ditetapkan pada tahun 1996); tiga Kawasan Konservasi Laut Daerah masing-
masing Pulau Kayuadi di Kabupaten Selayar seluas 3.201,80 Ha., Pulau Gusung di
Kabupaten Selayar seluas 2.189,3 Ha., Pulau Liukang Tangngaya di Kabupaten Pangkep
seluas 131.937,1 Ha yang kesemuanya ditetapkan dengan Keputusan Bupati pada tahun
2009; 76 Daerah Perlindungan Laut masing-masing di Makassar (Pulau Barrang Lompo,
Pulau Barrang Caddi, dan Pulau Bonetambung, ditetapkan pada periode 2001-2003), di
Kabupaten Selayar (41 Desa/Pulau, ditetapkan dengan Perdes atau tahap Rancangan
Perdes pada periode 2008-2009), di Kabupaten Pangkaep (29 Desa/Pulau, ditetapkan
dengan Perdes atau rancangan Perdes pada periode 2008-2009).
Salah satu faktor yang mendorong perkembangan luas dan keberfungsian kawasan
konservasi laut di Sulawesi Selatan adalah implementasi proyek Coremap (Coral-reef
Management Program) yang berlangsung sudah lebih satu dekade. Melalui Coremap telah
berjalan proses penyadaran, pengembangan mata pencaharian alternatif dan
pengorganisasian multipihak dalam mengatasi pengrusakan terumbu karang sekaligus
mengupayakan rehabilitasinya dengan mengandalkan keberdayaan masyarakat dan
61
kontribusi berbagai pemangkun kepentingan di daerah. Dalam Coremap terjalin keterlibatan
LSM, pemerintah daerah, masyarakat lokal yang bermitra mendorong upaya-upaya
penyelematan terumbu karang serta unsur lain yang dilindungi.
10.Kesejahteraan Sosial
(1) Kemiskinan
Tingkat kemiskinan merupakan indikator kesejahteraan sosial yang paling nyata.
Semakin banyak penduduk miskin, maka akan semakin rendah kesejahteraan penduduk
bersangkutan. Kemiskinan terkait dengan rendahnya pendapatan karena keterbatasan akses
lapangan kerja dan usaha serta terkait dengan kemampuan penduduk untuk memenuhi
berbagai kebutuhannya yang lain, seperti di bidang pendidikan, kesehatan, dan sebagainya.
Gambaran perkembangan tingkat kemiskinan di Sulawesi Selatan ditampilkan pada Grafik-26
berikut.
Grafik-26: Perkembangan persentasi penduduk miskin Sulawesi Selatan 2004-2009 (Sumber: BPS, 2009).
Penurunan angka kemiskinan di Sulawesi Selatan tampak pada gambar di atas.
Penurunan itu tampak semakin tajam selama dua tahun terakhir. Pada tahun 2004
62
persentase penduduk miskin sebesar 14,9% dan turun perlahan hanya ke angka 14,11%
sampai tahun 2007, atau hanya turun sekitar 0,79% atau rata-rata 0,26% pertahun. Tetapi
selama dua tahun terakhir sejak 2007 sampai 2009, persentase penduduk miskin telah turun
lebih tajam sekitar 1,8% atau rata-rata 0,9% pertahun menjadi 12,31% pada tahun 2009.
Penurunan persentase penduduk miskin tidak terlepas dari keberhasilan dalam
memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat. Selama rentang tahun 2004 sampai 2009,
indikator ekonomi makro yang paling buruk terjadi ketika pada tahun 2005 Sulawesi Selatan
mengalami pertumbuhan ekonomi rendah. Saat itu angka persentase penduduk miskin
sempat naik sedikit sekitar 0,08% sebelum turun secara lebih tajam. Dengan demikian,
kondisi ekonomi makro ini juga sangat besar pengaruhnya pada penurunan angka
kemiskinan.
Pada Grafik-26 juga terlihat bahwa pada saat angka kemiskinan menurun tajam pada
tahun 2008-2009, angka pengangguran memang juga mengalami penurunan signifikan,
meskipun pertumbuhan penduduk pada saat itu tidak signifikan penurunannya. Artinya,
pertumbuhan ekonomi yang meningkat signifikan pada tahun 2008 betul-betul
mengkondisikan perbaikan pada angka kemiskinan dalam bentuk terbukanya lapangan kerja.
Selain merupakan dampak dari perbaikan ekonomi makro, pengurangan penduduk
miskin di Sulawesi Selatan juga dapat dilihat sebagai dampak dari berbagai intervensi yang
terfokus pada penanggulangan kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan dengan
pendekatan partisipatoris/berbasis masyarakat telah berjalan sejak akhir 1990-an melalui
Program Pengembangan Kecamatan (PPK), lalu Program Penanggulangan Kemiskinan
Perkotaan (P2KP) sejak awal 2000-an dan Program,Nasional Penanggulangan Kemiskinan
(PNPM) pada akhir 2000-an. Pada PNPM setiap daerah mengkontribusikan dana
pendamping dari APBD, sementara pada PPK dan P2KP sepenuhnya dari donor/pemerintah
pusat. Program-program ini telah berkontribusi bagi perbaikan lingkungan permukiman,
peningkatan kualitas SDM melalui pelatihan, pengembangan mata pencaharian melalui
bantuan modal dan penyediaan sarana/prasarana lingkungan bagi komunitas miskin.
Kecenderungan pengurangan kesemiskinan di Sulawesi Selatan diperkirakan akan
terus berlanjut jika berbagai program yang langsung menyentuh kepentingan masyarakat
bawah lebih disempurnakan, seperti berbagai program PNPM dan peningkatan alokasi APBD
untuk program-program pengentasan kemiskinan dan yang secara langsung bisa membuka
lapangan kerja. Berbagai bentuk layanan gratis bagi kelompok miskin, seperti program
pendidikan dan kesehatan gratis yang saat ini telah berjalan, bila efektivitasnya dapat lebih
63
ditingkatkan dan target rumah tangga miskin yang menerima manfaatnya terus bertambah,
maka percepatan pengurangan kemiskinan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat di
Sulawesi Selatan dapat lebih nyata. Secara kelembagaan hal ini meniscayakan peran Tim
Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang lebih nyata serta konsistensi upaya
terencana berdasarkan Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah di Tingkat Provinsi dan
Kabupaten/Kota.
(2) Pengangguran Terbuka
Perbaikan ekonomi selanjutnya membuka kesempatan berusaha lebih luas. Maka
ketika indikator ekonomi makro Sulawesi Selatan memburuk pada tahun 2005, tingkat
pengangguran terbuka pun naik menjadi 18,64% dari 15,93% tahun 2004 sebelumnya.
Mengingat ekonomi Sulawesi Selatan masih banyak dikontribusi oleh sektor pertanian dan
sektor-sektor ekonomi informal, maka angka setengah pengangguran atau pengangguran
terselubung diperkirakan juga sangat banyak. Mereka ini biasanya bekerja kurang dari jumlah
jam kerja normal 35 jam seminggu dengan tingkat penghasilan yang kecil.
Tetapi perbaikan ekonomi yang terjadi sesudah tahun 2005 juga serta-merta ikut
mengurangi persentasi pengangguran terbuka. Dari angka pengangguran terbuka 18,64%
pada tahun 2005 turun menjadi 12,76% pada tahun 2006. Saat itu, pertumbuhan ekonomi
memang berubah cepat dan naik menjadi 6,72% pertahun; PDRB sektor pertaniah juga
berubah dari Rp 16,19 trilyun menjadi Rp 18,51 trilyun; dan pendapatan perkapita naik dari
Rp 6,90 juta menjadi Rp 7,98 juta. Bagaimana keterkaitan antara angka kemiskinan, tingkat
pengangguran, dan kondisi ekonomi tergambar pada Grafik-27 berikut.
64
Grafik-27: Pengangguran terbuka, pertumbuhan angkatan kerja, TPAK dan pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan, 2004-2009 (Sumber: BPS, 2009)
Grafik-27 menunjukkan secara jelas bahwa kondisi ekonomi dan pertumbuhan
lapangan kerja – yang terlihat dari pengurangan persentase pengangguran terbuka -- terus
membaik sejak tahun 2005 sampai 2009. Ini diikuti oleh tingkat partisipasi angkatan kerja
yang terus meningkat,sejak 2005, meskipun dibalik itu pertumbuhan angkatan kerja relatif
menurun pada tahun 2008 dan 2009.
Sektor yang paling besar kontribusinya dalam penyerapan tenaga kerja adalah
pertanian (1.588.626 tenaga kerja atau 49,30% pada tahun 2009 dan 1.613.962 tenaga kerja
atau 51,46% tahun 2008), khususnya dengan berkembangnya aktivitas budidaya rumput laut
yang menyerap angkatan kerja pada sepanjang pesisir Sulawesi Selatan, revitalisasi kakao
yang menyerap angkatan kerja pada dataran tinggi, serta agribisnis jagung yang mennyerap
tenaga kerja pedesaan dataran rendah, selain yang secara tradisional telah diserap oleh
kegiatan padi sawah. Sektor industri masih rendah kontribusinya (6,66% pada 2009 dan
5,85% tahun 2008), yang agak besar kontribusinya dan cenderung meningkat adalah sektor
perdagangan (19,76% pada tahun 2009 dan 18,46% pada tahun 2008) serta sektor jasa
(11,25% pada tahun 2009 dan 11,24% pada tahun 2008).
3. Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan sejumlah indikator yang telah dikemukakan, berikut direkomendasikan
berbagai hal terkait perbaikan kesejahteraan sosial di Sulawesi Selatan:
65
(1) Meskipun nilai dan peringkat IPM Sulawesi Selatan menunjukkan peningkatan dalam
tiga tahun terakhir, dari segi pencapaian visi RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013 yakni
sebagai Provinsi 10 terbaik dalam pemenuhan hak dasar manusia yang salah satu
indikatornya adalah nilai IPM, pada tahun 2009 Sulawesi Selatan masih pada peringkat
20. Karena itu, akselerasi pencapaian IPM pada 2010-2013 merupakan keniscayaan.
Pertama, intervensi untuk meningkatkan angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.
Selama 2008-2009 angka melek huruf telah meningkat signifikan secara rata-rata,
tetapi tujuh Kabupaten terbawah yakni Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng,
Bulukumba, Selayar dan Bone memerlukan terobosan. Terobosan dimaksud adalah
menjamin bahwa kebijakan pendidikan gratis menjangkau dengan efektif rumah tangga
yang anaknya tidak menempuh pendidikan dasar maupun menengah, sehingga
pendidikan gratis berefek pada masuknya ke bangku sekolah seluruh anak usia
sekolah di Sulawesi Selatan. Kebijakan pendidikan gratis tidak akan cukup efektif
meningkatkan IPM Sulawesi Selatan bila ia hanya berfungsi meringankan beban anak
yang sudah sekolah, ia idealnya menjadikan anak yang tidak sekolah menjadi
bersekolah. Artinya, kebijakan pendidikan gratis yang menjadi bukti komitmen
pemerintah untuk memenuhi hak dasar rakyat akan pendidikan, harus dibarengi
dengan kerja keras SKPD pendidikan Provinsi dan Kabupaten untuk mencari,
menemukan dan menarik seluruh anak usia sekolah untuk masuk bersekolah,
khususnya anak usia sekolah di dataran tinggi, pesisir dan pulau-pulau serta komunitas
miskin perkotaan.
Kedua, diperlukan terobosan signifikan untuk meningkatkan angka melek huruf
Sulawesi Selatan, baik pada umur 14 tahun ke atas maupun pada umur 61 tahun ke
atas. Cara konvensional yang berjalan selama ini perlu dikomplementasi dengan cara
yang lebih radikal. Ini dapat dilakukan dengan menemukan secara jelas nama dan
alamat panyandang buta huruf pada tiap desa, berdasarkan data itu dikerahkan
sumberdaya dari berbagai pihak (mahasiswa KKN dari kampus, polisi dan TNI yang
bertugas di level desa, SKPD Diknas Kabupaten dan Provinsi, dan berbagai potensi
lainnya) untuk menjalankan intervensi pemberantasan buta huruf sesuai kriteria
pencapaian yang diberlakukan selama ini. Terobosan ini terutama diperlukan pada
Kabupaten yang paling tinggi angka buta hurufnya di Kabupaten bagian Selatan
Provinsi Sulawesi Selatan.
66
Ketiga, dalam upaya semakin meningkatkan angka harapan hidup, (1) pelayanan
kesehatan perlu lebih difokuskan pada komunitas-komunitas terpencil didataran tinggi,
pulau-pulau kecil, desa-desa pesisir/pantai, komunitas miskin; bukan hanya dalam
makna menunggu mereka mengakses layanan pustu, puskesmas dan rumah sakit
kelas III secara gratis, melainkan dilengkapi dengan pemantauan dan bantuan bagi
rumah tangga yang memang tidak bisa menjangkau pusat layanan kesehatan karena
berbagai pembatas seperti jarak dan biaya. Selain itu, meningkatnya penderita
HIV/AIDS pada beberapa kota di Sulawesi Selatan perlu dipantau untuk penanganan
dan pencegahan, mengingat fenomenanya banyak yang tidak tampak ke permukaan.
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten juga harus makin mengintensifkan upaya
promosi dan pelayanan untuk memenuhi target-target MDGs 2015 khususnya
pengurangan angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan, dan penyakit tertentu.
Revitalisasi Posyandu bersama Gerakan PKK untuk kesejahteraan keluarga di
pedesaan harus semakin mendapat tempat dalam perencanaan tahunan pemerintah
Kabupate/Kota.
Keempat, dalam hal daya beli, intervensi untuk mengendalikan inflasi perlu menjadi
perhatian, khususnya pada periode kenaikan harga bahan kebutuhan pokok. Selain itu,
mengingat porsi rumah tangga tani masih signifikan pada komposisi penduduk, nilai
tukar petani perlu dijaga dengan pendekatan dari sisi untuk menekan biaya produksi,
bukan lagi sepenuhnya pada sisi menaikkan produksi dalam kondisi biaya produksi
naik lebih tinggi.
(2) Secara sektoral bidang pendidikan, penekanan perlu diberikan pada kebijakan yang
terkait dengan upaya menanggulangi siswa yang putus sekolah. Upaya ini hendaknya
memberikan perhatian khusus pada penanggulangan putus sekolah pada jenjang SMP
dan sekolah menengah yang menunjukkan kecenderungan semakin tinggi, tanpa
mengabaikan angka putus sekolah pada jenjang SD. Program pendidikan sembilan
tahun yang selama ini berjalan sudah harus mulai memberi perhatian khusus pada tiga
tahun terakhir di jenjang SMP. Pendidikan gratis, harus semakin difokuskan untuk
keterjaminan bahwa tidak ada anak usia wajib belajar yang tidak bersekolah, termasuk
ia harus disertai upaya penyadaran kepada orang tua siswa yang tidak mau
67
menyekolahkan anaknya dalam kondisi sudah digratiskan. Kantong-kantong anak tidak
sekolah harus ditemukan dan diberi perlakuan khusus.
(3) Di bidang kesehatan, tiga hal yang perlu diperhatikan adalah penanggulangan gizi
buruk sampai 0%, kecukupan tenaga kesehatan, dan penyiapan penanganan
kesehatan bagi penduduk yang menua. Sekali pun kejadian gizi buruk sudah semakin
menurun, tetapi kejadian seperti ini sangat tragis jika masih terjadi dewasa ini. Oleh
karenanya, program tanggap terhadap kejadian gizi buruk harus segera dimantapkan.
Pemutakhiran dan pengakuratan data tentang ketersediaan tenaga kesehatan menurut
jenis dan penempatannya juga perlu segera dilakukan. Mengutip Profil Kesehatan
Sulawesi Selatan 2008, hampir semua jenis tenaga kesehatan masih mengalami
kekurangan tenaga, seperti dokter umum, dokter gigi, perawat/bidan, tenaga farmasi,
gizi, kesmas, dan sanitasi. Tiga kebutuhan paling banyak adalah untuk tenaga bidan,
sanitasi, dan dokter umum. Sementara keahlian dan ketersediaan sarana pengobatan
untuk jenis penyakit yang biasanya menimpa usia lanjut juga harus mulai disiapkan,
mengingat kecenderungan usia penduduk yang menua.
(4) Di bidang kependudukan, setelah nyaris ditinggalkan selama beberapa tahun terakhir,
studi/kajian di bidang ini harus kembali digalakkan mengingat informasi dan sosialisasi
di bidang kependudukan yang nyaris terabaikan. Perhatian harus diberikan secara
bersamaan pada pengaturan jumlah, persebaran, dan peningkatan kualitas penduduk.
Terkait dengan pengaturan jumlah, program KB memegang peranan penting.
Kesadaran di bidang ini harus dibangun sehingga masyarakat bersedia membiayai
sendiri melalui berbagai kegiatan yang melibatkan swasta. Di bidang persebaran, maka
pertumbuhan kota-kota di Sulawesi Selatan sejak dini harus memperhatikan dampak
kependudukan yang akan diakibatkannya.
(5) Perlu komitmen untuk terus memberi perhatian pada kebijakan penanggulangan
kemiskinan. Program ini sudah semestinya dievaluasi kembali secara menyeluruh
seberapa jauh dampaknya secara langsung pada penurunan angka kemiskinan di
Sulawesi Selatan. Kebijakan anggaran yang cenderung boros dan tidak berdampak
langsung pada perbaikan kesejahteraan masyarakat sudah seharusnya dihentikan.
Secara kelembagaan, efektivitas peran dari Tim Kordinasi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (TKPK-D) Provinsi dan Kabupaten serta implementasi dari Strategi
68
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD), perlu dievaluasi dan diformulasikan
upaya revitalisasi fungsinya. Begitu pula efektivitas dari dana pendampingan daerah
terhadap PNPM, perlu dievaluasi efektivitas hasil dan dampaknya atas pengurangan
jumlah penduduk miskin. Meskipun Sulawesi Selatan tidak termasuk dalam 10 besar
provinsi dengan angkan kemiskinan terbanyak, meskipun persentase jumlah penduduk
miskin Sulawesi Selatan terus menurun, tetapi secara kuantitas jumlah penduduk
miskin cukup besar, sehingga terobosan diperlukan. Salah satu terobosan yang perlu
didorong adalah gerakan solidaritas perantau kaya terhadap kerabatnya di kampung
masing-masing. Pertemuan saudagar Bugis-Makassar setiap tahun idealnya
menghasilkan gerakan solidaritas demikian dengan difasilitasi oleh pemerintah daerah.
(6) Laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan selama periode 2004-2009 yang cukup
baik diyakini sebagai dampak kebijakan dan program-program pemerintah Sulawesi
Selatan yang cukup relevan. Dari sisi PDRB misalnya yang kontribusi sektor pertanian,
industri pengolahan, perdagangan dan jasa begitu dominan, maka diharapkan
pemerintah tetap memprioritaskan program-program infrastruktur yang mampu
mendukung sektor-sektor ini. Berfungsinya jalan tol dan bandara di kota Makassar,
serta terbangunnya jalan beton antara Kota Makassar dan Kota Pare-pare, perlu
dimanfaatkan oleh pemerintah daerah sebagai momentum untuk mengakselerasi
pertumbuhan ekonomi. Tetapi, perlu juga diperhatikan aspek pemerataan, khususnya
infrastruktur jalan pada jalur selatan-selatan yakni dari Makassar hingga ke Bulukumba,
Sinjai dan Selayar, jangan sampai pertumbuhan ekonomi menyimpan dan
membesarkan bibit kesenjangan antar wilayah.
(7) Pengembangan infrastruktur jalan ke wilayah-wilayah sentra produksi sangat vital untuk
mendukung pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan. Dari data dapat dilihat
bagaimana kinerja kabupaten-kabupaten yang infrastruktur jalannya baik (minim rusak).
Dukungan infrastruktur pendukung untuk pengembangan industri pengolahan,
perdagangan dan jasa juga sangat mutlak. Untuk industri pengelolahan, standarisasi
produk menjadi sangat krusial untuk mendorong peningkatan kualitas produk yang
dihasilkan. Untuk perdagangan, pengembangan pelabuhan dan bandara terbukti
mampu mendongkrak kinerja perdagangan di Sulawesi Selatan. Industri jasa juga akan
sangat terdorong dengan pengembangan kedua infrstruktur ini. Dari sisi investasi,
69
pemerintah daerah Sulawesi Selatan harus terus mendorong peningkatan citra
Sulawesi Selatan. Sebagai catatan dari hasil kajian BI tahun 2007 menunjukkan bahwa
banyaknya demo di Makkasar khususnya, telah menjadi bagian pertimbangan dari
investor untuk berinvestasi di Sulawesi Selatan. Selain itu, walaupun ekonomi
Sulawesi Selatan tetap membaik, perhatian terhadap kelestarian lingkungan harus
terus didorong sehingga keberadaan lahan kritis, kerusakan terumbu karang dan
illegal-fishing dapat ditekan serendah mungkin.
(8) Antisipasi terhadap perubahan iklim dan pengelolaan lingkungan secara komprehensif
perlu semakin dioperasionalkan pengarusutamaannya dalam sistem perencanaan,
implementasi serta monitoring dan evaluasi pembangunan kedepan..Sulawesi Selatan
sebagai daerah lumbung pangan perlu mengantisipasi dampak perubahan iklim
(kemarau dan hujan yang lama serta musim yang tidak terprediksi) terhadap
keberlanjutan produksi beras, jagung, kakao, rumput laut, pertambakan dan
penangkapan ikan. Pengembangan bibit/benih yang adaptif terhadap perubahan iklim
perlu segera dikembangkan, penyiapan masyarakat untuk dapat adaptif terhadap
dampak perubahan iklim perlu segera dikerangkakan dalam pembangunan daerah,
demikian pula langkah-langkah mitigasi seperti go-green perlu diperluas cakupannya
bukan hanya pada penanaman pohon tetapi juga pada penghematan air, konsistensi
untuk mempertahankan daerah resapan air, serta gerakan penghematan konsumsi
energi.
D. KESIMPULAN (1) Pada Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai, pencapaian RPJMN
2004-2009 di Sulawesi Selatan ditandai dengan pencapaian kondisi aman dan damai
yang semakin baik dalam lima tahun terakhir. Ini dapat dilihat dari indikator tingkat
kriminalitas yang cenderung menurun khususnya pada tahun 2008-2009, meskipun
persentase penyelesaian kasus kejahatan khususnya yang konvensional agak
menurun. Faktor utama yang berkontribusi atas pencapaian kondisi aman dan damai
tersebut adalah perkembangan ekonomi, dimana tertunjukkan bahwa ketika
pertumbuhan ekonomi rendah dan pengangguran tinggi pada tahun 2005-2006 terjadi
peningkatan kriminalitas khususnya pencurian, dan setelah perekonomian kembali
membaik pada 2008-2009 maka kondisi aman, tertib dan damai kembali optimal. Faktor
70
lain yang mempengaruhi kondisi aman dan damai adalah efek dinamis dari
penyelenggaraan pemilihan legislatif, kepala daerah dan presiden dimana masyarakat
cenderung terpolarisasi dan berada dalam ketegangan tinggi sehingga menuntut
perhatian aparat yang besar, dan dengan itu perhatian untuk mencegah dan
menangani kriminalitas berkurang. Faktor ketidakcukupan SDM dan sarana/prasarana
penegak ketertiban dan keamanan juga berkontribusi pada dinamika kondisi aman dan
damai di Sulawesi Selatan, sehingga sejumlah lokasi/daerah belum terjangkau
pelayanan yang cukup dan tidak semua kejadian kejahatan tertangani.
(2) Pada Agenda Pembangunan Indonesia Yang Adil dan Demokratis, pencapaian
RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan dari segi pelayanan publik ditandai oleh
penanganan kasus korupsi yang belum sepenuhnya menjangkau laporan masyarakat,
pemberlakuan Perda Pelayanan Satu Atap yang baru menjangkau setengah dari
jumlah Kabupaten/Kota dan Pelaporan Wajar tanpa Pengecualian yang dalam tiga
tahun terakhir tidak ada entitas yang mencapaianya baik oleh Pemerintah Provinsi
maupun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan dari segi demokratisasi, dengan
menggunakan indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender
Empowerment Measure (GEM), terjadi peningkatan kinerja dalam lima tahun terakhir
tetapi dalam peringkat nasional cenderung menurun. Secara umum pencapain pada
indikator adil dan demokratis masih dibawah rata-rata nasional. Faktor yang paling
berhubungan dengan pencapaian ini adalah kualitas SDM, baik SDM pemerintah pada
ranah birokrasi terkait kemampuan pelayanan dan manajemen pembangunan, maupun
SDM pemerintah pada ranah penegakan hukum khususnya dalam penanganan kasus
korupsi.
(3) Pada Agenda Meningkatan Kesejahteraan, pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi
Selatan menunjukkan bahwa dari segi kualitas manusia terdapat pencapaian IPM yang
meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir (meskipun dari segi peringkat baru
menempati posisi 20 nasional); dari segi pembangunan ekonomi terdapat perbaikan
pada indikator ekonomi makro khususnya pertumbuhan ekonomi dan transformasi
struktural perekonomian; serta dari segi kesejahteraan sosial terdapat pencapaian yang
tinggi dalam penanggulangan kemiskinan dan penurunan angka pengangguran
terbuka. Pencapaian ini terutama didorong oleh dampak pelaksanaan kebijakan/
71
program pembangunan seperti pendidikan gratis/dana bantuan operasional sekolah,
kesehatan gratis/jamkesmas, pembangunan infrastruktur (bandara, jalan provinsi dan
jalan tol), pengembangan komoditas unggulan seperti rumput laut, kakao, dan beras,
serta investasi swasta.
72
72
BAB III
ANALISIS RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI SULAWESI SELATAN
1. Pengantar
Masa berlaku RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan adalah 2008-2013. Pada saat
evaluasi ini dilakukan, RPJMD tersebut telah berjalan pada tahun ketiga. Sementara itu,
RPJMN memiliki masa berlaku 2010-2014. Dengan demikian, dua RPJM ini dibuat pada
waktu yang tidak bersamaan, karena itu isu strategis yang menjadi substansi keduanya bisa
saja ada yang berbeda disebabkan perbedaan time-horizon perencanaan tersebut. Selain itu,
perbedaan substansi dengan sendirinya juga bisa muncul karena adanya perbedaan lingkup
perencanaan, RPJMD pada lingkup daerah dan RPJMN pada lingkup nasional. Analisis
relevansi ini dilakukan terhadap 11 prioritas nasional dan prioritas lainnya pada RPJMN
2010-2014, dibandingkan dengan prioritas atau kebijakan pokok pada RPJMD Provinsi
Sulawesi Selatan 2008-2013, dalam kondisi time horizon perencanaan dan lingkup
perencanaan yang berbeda tersebut. Analisis relevansi ditampilkan dalam bentuk tabel
perbandingan substansial.
2. Analisis Relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan
2008-2013
Analisis relevansi antara prioritas dan program RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD
Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013 ditampilkan dalam Tabel-7 sebagai berikut.
Tabel-7: Analisis Relevansi RPJMN 2010-2014 dengan RPJMD Provinsi Sulawesi
Selatan 2008-2013.
No. RPJMN 2010-2014 RPJMD Provinsi Sulawesi
Selatan 2008-2013 Analisis Kualitatif
Penjelasan Analisis Kualitatif
Prioritas Pemba-ngunan
Program Aksi Prioritas Pemba-ngunan
Program Aksi
1.
Prioritas1: Reformasi Birokrasi dan Tatakelola
Prioritas 7: Penguatan Kelembagaan Pemerintah
Ada prioritas da-erah yang men-dukung prioritas nasional tetapi programnya tidak sepenuhnya sama
Otonomi Daerah: Pena-taan otonomi daerah
Penghentian/pembatal-an pemekaran wilayah
Peningkatan efisiensi
Tidak ada program daerah yang men-dukung program
Di Sulawesi Selatan ada isu pemekaran wilayah di Bone dan
73
dan efektivitas penggu-naan dana perimbang-an daerah
Penyempurnaan pelak-sanaan pemilihan ke-pala daerah
nasional Luwu, tetapi dalam RPJMD tidak ada pemikiran untuk mem-batalkannya. Masalah pemilihan kepala daerah banyak menye-babkan ekses dan konflik, tetapi dalam RPJMD hal tersebut belum menjadi isu strategis.
Regulasi
Peningkatan kapasitas legislasi daerah
Percepatan harmoni-sasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dan daerah dengan peraturan dae-rah selambat-lambat-nya 2011;
Peningkatan kualitas dan profesionalisme anggota DPRD
Peningkatan efektivitas dan efisiensi penyera-pan aspirasi masya-rakat, pembahasan dan penetapan Perda
Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional
Dalam RPJMD, harmo-nisasi dan sinkronisasi tersebut diharapkan terpenuhi melalui peningkatan kualitas dan profesionalisme anggota DPRD serta efektivitas dalam penyerapan aspirasi
Sinergi antara Pusat dan Daerah Penataan kelembagaan
dan ketatalaksanaan pemerintahan
Penetapan dan pene-rapan sistem Indikator Kinerja Utama Pelaya-nan Publik yang selaras antara peme-rintah pusat dan pemerintah daerah
Penyusunan program kaderisasi sumberdaya aparatur
Penyempurnaan SIM kepegawaian
Penyusunan standar kompetensi jabatan, SOP, dan SPM pada seluruh SKPD
Penerapan model organisasi berbasis misi pada SKPD
Integrasi sistem infor-masi perencanaan, pe-nganggaran, pelaksa-naan, pelaporan dan pengawasan pemba-ngunan
Peningkatan kordinasi, pembinaan dan peng-awasan penyelengga-raan pemerintahan Kabupaten
Peningkatan kerja-sama antar daerah
Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional
Dalam RPJMD Sulsel, meskipun substansi keselarasan antara pemerintah pusat dan daerah tidak dieksplisitkan, tetapi dalam implementasi-nya, khusus untuk penyusunan standar kompetensi jabatan, SOP dan SPM, pasti akan mengacu pada sistem yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.
Penegakan Hukum
Peningkatan keamanan
dan ketertiban masya-rakat
Peningkatan integrasi dan Integritas penera-pan dan penegakan hukum oleh seluruh lembaga dan aparat hukum
Kerjasama Pemda
dengan Polri dan pe-jabat hukum dalam ketertiban dan ke-amanan, pencegahan kejahatan dan penun-tasan kriminalitas, kesadaran hukum dan HAM, penegakan hu-kum dan HAM. dan penyelesaian hukum asset Pemda
Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional
Program ini tidak di-cantumkan pada Prio-ritas-1: Penguatan Ke-lembagaan Pemerintah, melainkan pada Prio-
ritas-5: Penciptaan Lingkungan Kondusif bagi Kehidupan Ino-vatif, karena ketertiban, keamanan dan penega-kan hukum serta kesatuan bangsa di-lihat
74
sebagai prakondisi bagi kehidupan yang inovatif di Sulawesi Selatan.
Data Kependudukan Penetapan Nomor
Induk Kependudukan (NIK) dan pengemba-ngan Sistem Informasi dan Administrasi Ke-pendudukan (SIAK) dengan aplikasi per-tama pada kartu tanda penduduk selambat-lambatnya pada 2011.
Tidak ada program daerah yang men-dukung program nasional
2. Prioritas 2: Pendidikan (DS)
Prioritas 1: Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan
Kebijakan pendidikan gratis merupakan prio-ritas penting peme-rintah Sulsel 2008-2013.
Akses Pendidikan Dasar dan Menengah Akses Pendidikan Dasar
dan Menengah
Peningkatan Angka Partisipasi Murni (APM) Pendidikan Dasar
Peningkatan APM pen-didikan setingkat SMP
Peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan setingkat SMA
Pemantapan/rasionali-sasi implementasi BOS
Penurunan harga buku standar di tingkat sekolah dasar dan menengah sebesar 30-50% selambat-lambat-nya 2012
Penyediaan sambung-an internet bercontent
pendidikan ke sekolah tingkat menengah se-
lambat-lambatnya 2012 dan terus diperluas ke tingkat sekolah dasar.
Pembebasan biaya pendidikan (Pendidik-an gratis)
Promosi pendidikan Pemberantasan buta
aksara Pengembangan
budaya baca
Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional
Akses pendidikan tinggi Peningkatan akses
pendidikan tinggi Ada program dae-
rah yang relevan dengan program nasional
Program ini diimple-mentasikan dalam ben-tuk pemberian bea-siswa kepada pegawai Pemda untuk menem-puh pendidikan S3 di luar negeri.
Metodologi Penerapan metodologi pendidikan yang tidak
lagi berupa pengajaran demi kelulusan ujian (teaching to the test)
Tidak ada program daerah yang men-dukung program nasional
75
Pengelolaan Pemberdayaan peran
kepala sekolah sebagai manajer sistem pendi-dikan yang unggul
Revitalisasi peran pe-ngawas sekolah se-bagai entitas quality assurance,
Mendorong aktivasi pe-ran Komite Sekolah untuk menjamin keter-libatan pemangku ke-pentingan dalam pro-ses pembelajaran, dan Dewan Pendidikan di tingkat Kabupaten
Tidak ada program daerah yang men-dukung program nasional
Kurikulum Penataan ulang kuri-
kulum sekolah Tidak ada program daerah yang men-dukung program nasional
Kualitas; Peningkatan kualitas
guru, pengelolaan, dan layanan sekolah
Peningkatan kualitas layanan pendidikan
Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional
Program ini berjalan seiring dengan prioritas Pemda pada pendidi-kan gratis dimana pendidikan dan ke-sehatan gratis merupa-kan program prioritas utama Pemda.
3 Prioritas 3: Kesehatan
Priritas 1: Peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan
Kebijakan kesehatan gratis merupakan prio-ritas penting pemerin-tah Sulsel 2008-2013.
Kesehatan Masyarakat Promosi Kesehatan Pelaksanaan Program
Kesehatan Preventif Terpadu
Pengembangan peri-laku hidup bersih dan sehat dan upaya kesehatan berbasis masyarakat
Pengembangan kerja-sama pemerintah-swasta dl pelayanan rumah sakit
Pengembangan dan peningkatan sistem peringatan dini dan penunjang kejadian luar biasa
Ada program dae-rah yang men-dukung program nasional
Keluarga Berencana Peningkatan kualitas
dan jangkauan layanan KB melalui 23.500 klinik pemerintah dan swasta selama 2010-2014
Obat-Obatan Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
Pemberlakuan Daftar Obat Esensial Nasional sebagai dasar penga-daan obat di seluruh Indonesia dan pem-batasan harga obat
Pengadaan obat dan perbekalan kesehatan
Peningkatan kesehat-an ibu melahirkan, bayi dan anak
Pelayanan kesehatan
Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional
76
generik bermerek pada 2010;
penduduk miskin Pengadaan dan peme-
liharaan rumah sakit, puskesmas dan pustu
Asuransi Kesehatan Nasional:
Pembebasan Biaya Kesehatan
Penerapan asuransi Kesehatan Nasional untuk seluruh keluarga miskin dengan cakupan 100% pada 2011 dan diperluas secara ber-tahap untuk keluarga Indonesia lainnya an-tara 2012-2014
Pembebasan biaya pelayanan kesehatan dasar di puskesmas dan pelayanan rujukan kelas III rumah sakit pemerintah
Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional
Perbaikan Gizi Masyarakat
Penanggulangan keku-rangan gizi
Pengawasan dan pe-ngendalian kesehatan makanan
Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional
Pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
Pemantapan mekanis-me penanganan pe-nyakit demam ber-darah, flu burung, HIV/AIDS
Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional
Peningkatan layanan perumahan, permu-kiman, kampung, sa-nitasi dan air bersih
Pengembangan perumahan sehat
Peningkatan akses air bersih
Perbaikan pengelolaan persampahan
Perbaikan lingkungan kumuh
Ada program dae-rah yang mendu-kung program nasional
4 Prioritas 4: Penanggulangan Kemiskinan (TP)
Bantuan Sosial Terpadu Integrasi program per-
lindungan sosial berba-sis keluarga yang men-cakup program Bantu-an Langsung Tunai
Bantuan pangan, jami-nan sosial bidang ke-sehatan, beasiswa bagi anak keluarga ber-pendapatan rendah,
pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), dan Parenting Education mulai 2010 dan prog-ram keluarga harapan diperluas menjadi program nasional mulai 2011—2012
Peningkatan pelayanan kepada penduduk miskin dan penyandang masalah kesejahtera-an sosial
Ada program dae-rah yang men-dukung program nasional
77
PNPM Mandiri Penambahan anggaran
PNPM Mandiri Dalam RPJMD re-
levansi tidak eks-plisit, tetapi dalam implementasi ter-dapat dukungan dalam bentuk dana pendamping-an dari APBD
PNPM Mandiri melibat-kan dana dukungan pemerintah Provinsi dan Kabupaten tetapi ia merupakan program nasional
Kredit Usaha Rakyat (KUR):
Pelaksanaan penyem- purnaan mekanisme
penyaluran KUR mulai 2010 dan perluasan cakupan KUR mulai 2011
Peningkatan akses ma-syarakat kepada aset produktif dan kegiatanproduksi serta revi-talisasi lembaga ekonomi masyarakat kecil
Ada program dae-rah yang men-dukung program nasional
Tim Penanggulangan Kemiskinan:
Revitalisasi Komite Nasional Penanggu-langan Kemiskinan dibawah koordinasi Wakil Presiden
Dalam RPJMD tidak eksplisit, tetapi dalam im-plementasi telah ada berfungsi TKPKD
5. Prioritas 5: Program Aksi dibidang Pangan (SB) Peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat
Lahan, Pengembangan Kawasan dan Tata Ruang Pertanian
Penataan pertanahan
Peningkatan produksi pertanian & pengembang-an agribisnis pedesaan
Penataan regulasi untuk menjamin kepas-tian hukum atas lahan pertanian,
Pengembangan areal pertanian baru seluas 2 juta hektar, penertiban serta optimalisasi penggunaan lahan terlantar
Penataan pertanahan
Peningkatan produksi pertanian & pengembangan agribisnis pedesaan
Ada program daerah yang mendukung sepenuhnya prioritas/program nasional
Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, program di bidang pangan di-cantumkan dalam program prioritas peningkatan dan peme-rataan kesejahteraan masyarakat. Penataan regulasi untuk men-jamin kepastian hukum atas lahan pertanian disajikan pada bagian penataan pertanahan yang juga berlaku bagi lahan/tanah non-per-tanian. Pengembangan areal baru untuk per-tanian dan optimalisasi pengggunaan lahan didukung sepenuhnya oleh peningkatan pro-duksi pertanian dan pengembangan ag-ribisnis pedesaan.
Infrastruktur: Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah dan perdesaan
Pembangunan dan pe-meliharaan sarana transportasi dan ang-kutan, pengairan, ja-
Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah
Ada program daerah yang mendukung sepenuhnya
Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, pembangunan dan pemeliharaan sa-
78
ringan listrik, serta tek-nologi komunikasi dan sistem informasi nasi-onal yang melayani daerah-daerah sentra produksi pertanian demi peningkatan kuantitas dan kualitas produksi serta kemam-puan pemasarannya
Pembangunan sarana
dan prasarana perdesaan
prioritas/program nasional
rana dan prasarana pertanian dimuat se-cara umum dalam program peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah, dan pembangunan sarana dan prasarana per-desaan. Namun pro-gram tersebut termuat dalam prioritas: Me-wujudkan Sulawesi Se-latan sebagai entitas sosial-ekonomi yang berkeadilan
Penelitian dan Pengembangan:
-
Peningkatan upaya pe-nelitian dan pengem-bangan bidang per-tanian yang mampu menciptakan benih unggul dan hasil peneilitian lainnya me-nuju kualitas dan produktivitas hasil per-tanian nasional yang tinggi;
- Tidak ada program daerah yang men-dukung priori-tas/program na-sional
Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, tidak secara khusus mencantumkan penelitian di bidang pangan/ pertanian.
Investasi, Pembiayaan, dan Subsidi Peningkatan akses ma-
syarakat kepada aset produktif dan kegiatan produksi serta revi-talisasi lembaga eko-nomi masyarakat kecil
Dorongan untuk inves-tasi pangan, pertanian, dan industri perdesaan berbasis produk lokal oleh pelaku usaha dan pemerintah, penyedia-an pembiayaan yang terjangkau.
Penetapan kerangka pembiayaan, kelem-bagaan dan regulasi Koperasi dan UMKM;
Pengembangan kewi-rausahaan dan ke-unggulan kompetitif UMKM;
Penciptaan iklim UM-KM yang kondusif melalui penyediaan dan penataan ruang usaha bagi koperasi dan UMKM, mening-katkan pelayanan per-ijinan, fasilitasi dan advokasi koperasi dan UMKM, serta men-dorong dan mem-fasilitasi tumbuh-kembangnya sumber daya ekonomi lokal sebagai usaha ung-gulan UMKM;
Penyelenggaran uru-san Koperasi dan UMKM sesuai standar pelayanan minimal Koperasi dan UMKM.
Pendirian sejumlah
Ada program daerah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/prog-ram nasional
Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, tidak secara khusus memprogram-kan dorongan investasi dibidang pangan/perta-nian, tapi memprog-ramkan penyediaan pembiayaan yang ter-jangkau, melalui pe-ningkatan akses ma-syarakat kepada aset produktif dan kegiatan produksi serta revi-talisasi lembaga eko-nomi masyarakat kecil .
79
BPR pada setiap kabupaten/kota dan Lembaga keuangan Mikro (LKM) pada setiap kecamatan yang menyediakan skim kredit khusus bagi petani dan nelayan;
Pendirian Pasar Le-lang Komoditas pada sejumlah kabupaten/ kota.
Pangan dan Gizi: Perbaikan Gizi Masyarakat
Peningkatan kualitas gizi dan keaneka-ragaman pangan me-lalui peningkatan pola pangan harapan;
Program mengurangi Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita,
Peningkatan kesehatan ibu hamil dan menyusui, serta didukung oleh program penanggulangan kekurangan zat gizi dan lainnya,
Pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan.
Ada program daerah yang mendukung sepenuhnya prioritas/program nasional
Dalam RPJMD ditekan-kan program untuk mengurangi jumlah penduduk kurang pa-ngan dan gizi, melalui upaya untuk mengura-ngi Angka Kematian Bayi dan Angka Kematian Balita, serta peningkatan kesehatan ibu hamil dan me-nyusui, serta didukung oleh program penang-gulangan kekurangan zat gizi dan lainnya, termasuk pengawasan dan pengendalian kesehatan makanan Namun program ter-sebut tercantum dalam priotitas Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Kesehatan masyarakat
Adaptasi Perubahan Iklim
-
Pengambilan langkah-langkah konkrit terkait adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan iklim
- Tidak ada program daerah yang mendukung prioritas/program nasional
Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, tidak secara khusus memprogram-kan upaya adaptasi dan antisipasi sistem pangan dan pertanian terhadap perubahan iklim.
6. Prioritas 6 : Infrastruktur (SB) Peningkatan dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat
Tanah dan tata ruang Penataan Pertanahan Penanganan dan pe-
manfaatan tanah untuk kepentingan umum secara menyeluruh di bawah satu atap dan pengelolaan tata ruang secara terpadu
Program P4T (Pendataan Pengua-saan, Pemilikan, Peng-gunaan dan Peman-faatan Tanah);
Program sertifikasi tanah masyarakat me-lalui sertifikasi swa-daya massal;
Pengembangan Sis-tem Informasi Per-
Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Dalam RPJMD, prog-ram penataan pertana-han ini merupakan penjabaran langsung dari upaya untuk ke-pentingan umum se-cara menyeluruh di bawah satu atap dan pengelolaan tata ruang secara terpadu
80
tanahan yang ter-integrasi pada Kabu-paten/Kota dan Provinsi.
Perhubungan Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah
Pembangunan jaringan prasarana dan penyediaan sarana transportasi antarmoda dan antarpulau yang terintegrasi sesuai dengan Sistem Transportasi Nasional dan Cetak Biru Transportasi Multimoda dan penurunan tingkat kecelakaantransportasisehingga pada 2014 lebih kecil dari 50% keadaan saat ini;
Program pemeliharaan dan peningkatan kualitas jalan yang diarahkan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan sosial ekonomi (peme-rataan pelayanan sosial ekonomi).
Ada program daerah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/prog-ram nasional
Dalam RPJMD, pemba-ngunan jaringan pra-sarana dan penyediaan sarana transportasi merupakan penjabaran dari prioritas pemba-ngunan sosial ekonomi yang berkeadilan pada program peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah
Pengendalian banjir: Peningkatan kualitas lingkungan hidup
Penyelesaian pemba-ngunan prasarana pengendalian banjir
Pengendalian banjir dan laju sedimentasi daerah aliran sungai
Ada program dae-rah yang mendu-kung sepenuhnya prioritas/program nasional
Dalam RPJMD, prog-ram nasional didukung sepenuhnya oleh prog-ram peningkatan kua-litas lingkungan hidup yang dijabarkan dalam upaya pengen-dalian laju sedimentasi pada DAS Jeneberang, DAS Saddang dan DAS Bila WalanaE, memelihara kinerja bendungan Bili-Bili dan PLTA Bakaru, serta mencegah pen-dangkalan Danau Tempe.
Transportasi perkotaan Perbaikan sistem dan
jaringan transportasi di empat kota besar (Jakarta,Bandung, Surabaya, Medan)
- Tidak ada program daerah yang men-dukung prioritas/ program nasional
Tidak relevamn dengan provinsi Sulawesi Selatan
Prioritas 7: Iklim Usaha dan Iklim Investasi (TP)
Kepastian hukum Reformasi regulasi se-
cara bertahap di tingkat nasional dan daerah
Peningkatan iklim in-vestasi dan realisasi investasi.
Peningkatan kualitas pelayanan publik
Penyiapan informasi potensi sumberdaya, sarana dan prasarana daerah.
Penciptaan iklim usaha kecil menengah dan koperasi yang kondusif.
Ada prioritas pro-vinsi yang men-dukung prioritas nasional tetapi programnya tidak sepenuhnya sama.
Di samping sebagai price-taker dari prioritas nasional, provinsi/ daerah perlu mem-pertajam program-programnya sesuai kondisinya dan ke-butuhannya
Kebijakan ketenagakerjaan
Sinkronisasi kebijakan ketenagakerjaan dan iklim usaha dalam rangka memperluas
Pemantapan dan pe-ngembangan informasi pasar kerja.
Pelatihan keterampilan
Ada prioritas pro-vinsi yang men-dukung prioritas nasional tetapi
Di samping sebagai price-taker dari prioritas nasional, provinsi/ daerah perlu memper-
81
penciptaan lapangan kerja.
tenaga kerja Pelaksanaan dan
pengendalian standardisasi dan sertifikasi kompetensi tenaga kerja.
Penempatan tenaga kerja local, luar daerah, dan luar negeri.
Perluasan dan pengem-bangan kesempatan kerja.
Peningkatan kualitas dan produktivitas tenaga kerja serta transmigran
Pembinaan hubungan industrial.
Pembinaan dan peng-awasan ketenaga-kerjaan.
Pengembangan dan pe-ningkatan e-government sistem informasi kete-nagakerjaan dan ketransmigrasian.
programnya tidak sepenuhnya sama.
tajam program-prog-ramnya sesuai kondisi-nya dan kebutuhannya
8. Prioritas 8: Energi (TP) Energi Alternatif Peningkatan pemanfa-
atan energi terbarukan termasuk energi alter-natif geothermal se-hingga mencapai 2.000 MW pada 2012 dan 5.000 MW pada 2014
Tidak ada program daerah yang spe-sifik mendukung prioritas/program nasional.
Daerah hanya sebagai price-taker dari prog-ram nasional.
Hasil ikutan dan turun-an minyak bumi/gas
Revitalisasi industri pengolah hasil ikutan/ turunan minyak bumi dan gas sebagai bahan baku industri tekstil, pupuk dan industri hilir lainnya;
Tidak ada program daerah yang spe-sifik mendukung prioritas/program nasional.
Daerah hanya sebagai price-taker dari prog-ram nasional.
Konversi menuju peng-gunaan gas
Perluasan program konversi minyak tanah ke gas sehingga mencakup 42 juta Kepala Keluarga pada 2010;
Penggunaan gas alam sebagai bahan bakar angkutan umum perko-taan di Palembang, Surabaya, dan Den-pasar.
Tidak ada program daerah yang spe-sifik mendukung prioritas/program nasional.
Daerah hanya sebagai price-taker dari prog-ram nasional
9. Prioritas 9: (SB) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana
Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas sosial ekonomi yang berkeadilan
Perubahan iklim
Peningkatan keber-dayaan pengelolaan lahan gambut
Peningkatan hasil reha-
- Tidak ada program daerah yang men-dukung prioritas/ program nasional
Provinsi Sulawesi Se-latan memiliki lahan gambut dengan luasan yang sangat kecil dan
82
bilitasi seluas 500,000 ha pertahun,
Penekanan laju defo-restasi secara sungguh -sungguh
hanya berupa rawa biasa. Peningtan hasil rehabilitasi dan pene-kanan laju deforestasi dalam RPJMD dimuat dalam penjabaran program Sulsel Go- Green.
Pengendalian Kerusak-an Lingkungan Peningkatan kualitas
lingkungan hidup
Penurunan beban pen-cemaran lingkungan melalui pengawasan ketaatan pengendalian pencemaran air limbah dan emisi di 680 kegiatan industri dan jasa pada 2010 dan terus berlanjut.
Program pengendalian emisi gas buang kenda-raan bermotor dan in-dustri, pengembangan konsep kota hijau dan Gerakan Sulawesi Sela-tan Hijau (Sulawesi Selatan Go-Green), pe-negakan ketaatan pem-rakarsa usaha/kegiatan Pengendalian pence-maran limbah B3 dari kegiatan yang berpotensi menghasilkan limbah ter-sebut melalui mekanisme UKL/UPL dan AMDAL
Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Penurunan beban pencemaran lingku-ngan melalui penga-wasan ketaatan pe-ngendalian pencemar-an air limbah dan emisi disebutkan dalam RPJMD, dalam bentuk program pengendalian emisi gas buang kendaraan bermotor dan industry, dan pengendalian pencemaran limbah B3.
Sistem Peringatan Dini:
Penjaminan berjalan-nya fungsi Sistem Peringatan Dini
Tsunami (TEWS) dan Sistem Peringatan Dini
Cuaca (MEWS) mulai 2010 dan seterusnya, serta Sistem Peringa-tan Dini Iklim (CEWS) pada 2013;
- Tidak ada program daerah yang men-dukung prioritas/ program nasional
Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, terdapat prog-ram penanggulangan bencana, namun tidak secara spesifik mem-programkan TEWS, MEWS, dan CEWS.
Penanggulangan bencana
Penanggulangan kor-ban kebakaran, banjir dan bencana
Peningkatan kemam-puan penanggulangan bencana
o Pembangunan pusat pengendalian bencana untuk mengoptimalkan penanganan bencana terpadu;
o Pemberdayaan ma-syarakat agar mampu berpartisipasi dalam penanggulangan dan pengendalian ben-cana.
o Integrasi sumber daya daerah dalam penang-gulangan bencana, dengan sasaran be-rupa meningkatnya kapasitas dan parti-sipasi masyarakat serta swasta dalam penanggulangan bencana.
Ada program dae-rah yang mendu-kung prioritas/ program nasional
Dalam RPJMD Provinsi Sulsel, diprogramkan pembangunan pusat pengendalian bencana untuk mengoptimalkan penanganan bencana terpadu dan pember-dayaan masyarakat agar mampu berpar-tisipasi dalam penang-gulangan dan pengen-dalian bencana. Namun program ini ada pada priorita Pening-katan dan pemerataan kesejahteraan masya-rakat
10 Prioritas 10 : Daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal,
Mewujudkan Sulawesi Selatan sebagai entitas sosial ekonomi
83
dan Pasca Konflik (SB) yang berkeadilan
Kebijakan Kebijakan prasarana wilayah dan pedesaan
Pelaksanaan kebijakan khusus dalam bidang infrastruktur dan pen-dukung kesejahteraan lainnya
Peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah Pembangunan sarana dan prasarana perdesaan
Ada program dae-rah yang mendu-kung sepenuhnya prioritas/program nasional
Program khusus dalam bidang infrastruktur dan pendukung kesejah-teraan lainnya untuk daerah tertinggal, da-lam RPJMD secara umum dimuat dalam program peningkatan kualitas sarana dan prasarana wilayah, dan pembangunan sarana dan prasarana perdesaan.
Keutuhan wilayah -
Penyelesaian pemeta-an wilayah perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina pada 2010
- Tidak ada program daerah yang men-dukung prioritas/ program nasional
Daerah Perbatasan: Tidak relevan dengan Provinsi Sulawesi Selatan
Daerah tertinggal
Pusat Pelayanan
Pengentasan paling lambat 2014.
Program, pengembangan fasilitas pelayanan sosial-ekonomi pada beberapa kota/daerah-daerah
Program memperkuat interkoneksitas dengan wilayah Provinsi yang berbatasan.
Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Pengentasan daerah tertinggal dalam RPJM-D diarahkan pada pengembangan fasilitas pelayanan sosial-eko-nomi pada beberapa kota yang memiliki posisi strategis yang diprioritaskan, terutama untuk menjalin inter-koneksitas dengan wi-layah Provinsi yang berbatasan. Program ini tercantum dalam prioritas Perwujudan keunggulan lokal untuk memicu laju pertum-buhan perekonomian
11 Prioritas 11 : Kebudayaan, Kreativitas, dan Inovasi Teknologi (TP)
Perawatan
Penetapan dan pem-bentukan pengelolaan terpadu untuk pengelo-laan cagar budaya
Revitalisasi museum dan perpustakaan di seluruh Indonesia di-targetkan sebelum Oktober 2011;
Pengelolaan keragaman budaya guna terwujud-nya pengembangan seni budaya; pengelolaan ke-kayaan budaya guna terwujudnya pelestarian Benda Cagar Budaya; pengembangan nilai budaya yang diarahkan kepada peningkatan penghargaan terhadap seniman dan budayawan termasuk hasil karyanya; penggalakan kegiatan seni-budaya lokal ber-skala nasional dan internasional.
Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ program nasional
Dalam RPJMD, revi-talisasi dan reaktu-alisasi nilai dan norma budaya menjadi pene-kanan, khususnya un-tuk memelihara iden-titas daerah ditengah derasnya arus infor-masi dan globalisasi
84
Sarana
Penyediaan sarana yang memadai bagi pengembangan, pen-dalaman dan pagelaran seni budaya di kota besar dan ibu kota kabupaten selam-bat-lambatnya Oktober 2012.
Dalam kebijakan reaktu-alisasi dan revitalisasi budaya lokal pada RPJMD, sudah tercakup pula didalamnya tentang sarana, meskipun tidak eksplisit.
Kebijakan:
Peningkatan perhatian dan kesertaan peme-rintah dalam program-program seni-budaya yang diinisiasi oleh masyarakat dan men-dorong berkembang-nya apresiasi terhadap kemajemukan budaya
Aktualisasi dan revita-lisasi nilai-nilai budaya lokal
Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ prog-ram nasional
Inovasi teknologi
Peningkatan keunggul-an komparatif menjadi keunggulan kompetitif yang mencakup penge-lolaan sumber daya maritim menuju ketaha-nan energi, pangan, dan antisipasi perubah-an iklim; dan pengem-bangan penguasaan teknologi dan kreati-
vitas pemuda.
Peningkatan kualitas teknostruktur komunitas
Ada program dae-rah yang men-dukung sepenuh-nya prioritas/ prog-ram nasional
Prioritas daerah yang tidak ada pada prioritas nasional adalah: Prioritas 6 RPJMD yakni Penguatan Kelembagaan Masyara-kat, tetapi sebagian isi prioritas daerah ini ada yang tercakupi pada prioritas nasional
3. Rekomendasi
a. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi (1) RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan berlaku untuk periode 2008-2009, dengan visi bahwa
pada 2013 pencapaian dalam pemenuhan hak dasar masyarakat menempati posisi 10
besar nasional, dimana indikator utama visi ini adalah pencapaian nilai dan peringkat
IPM. Pada aras nasional, RPJMN Indonesia berlaku untuk periode 2010-2014, dengan
fokus pada 11 prioritas dalam mewujudkan visi pembangunan nasional yang
diembannya. Pada aras global, pencanangan MDGs hanya memiliki waktu lima tahun
lagi untuk memenuhi target-targetnya pada 2015. Berdasarkan itu, RPJMD Sulawesi
85
Selatan sebaiknya melakukan penajaman prioritisasi dengan mempertimbangkan tiga
aras tersebut dalam memilih fokus. Garis besar fokus yang perlu diprioritaskan dengan
memperhatikan tiga aras tersebut dinyatakan dalam poin-poin selanjutnya rekomendasi
ini.
(2) Penanggulangan Kemiskinan terniscayakan untuk menjadi prioritas dengan perhatian
pada tercapainya target eradikasi kemiskinan pada 2015 sebesar setengahnya dari
angka tahun 2000, dimana pengurangan jumlah rumah tangga miskin otomatis
memperbaiki tingkat daya beli masyarakat sebagai salah satu indikator IPM. Dengan
demikian, penanggulangan kemiskinan sebagai target MDGs sekaligus komplementer
untuk memperbaiki nilai IPM, dan tentu saja ia merupakan jawaban langsung terhadap
substansi utama hak dasar masyarakat: hak untuk tidak miskin. Penanggulangan
kemiskinan idealnya dikerangkakan dalam sinergi antara upaya yang bersifat intervensi
langsung pada rumah tangga miskin guna menjamin terpenuhinya hak dasar mereka
atas pangan, pekerjaan, pendidikan dan kesehatan; pemberdayaan terhadap
komunitas/masyarakat dimana rumah tangga miskin tersebut berada sedemikian rupa
sehingga tercipta saluran sosial bagi rumah tangga miskin dalam mengakses peluang
pada tingkat lokalitasnya untuk keluar dari kemiskinan; pencapaian dan pemeliharaan
pertumbuhan pada tingkat ekonomi makro daerah yang menjamin akses lapangan kerja
dan usaha bagi rumah tangga miskin. Kerangka ini idealnya teroperasionalkan dengan
mempertimbangkan karakteristik lokalitas kemiskinan di Sulawesi Selatan secara sosio-
etnik-geografis, dengan mendorong keberfungsian yang optimal pada Tim Kordinasi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah secara bersinergi antara tingkat Provinsi dan
tingkat Kabupaten/Kota, berdasarkan keterpaduan arahan antara Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD), Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM), serta RPJMD Provinsi dan RPJMD Kabupaten/Kota.
(3) Akselerasi pencapaian pada bidang pendidikan dan kesehatan merupakan keniscayaan
kedua dalam pembangunan Sulawesi Selatan karena substansi utama pencapaian IPM
pada posisi 10 besar nasional terletak pada dua hak dasar ini. Meskipun kemajuan nyata
telah dicapai pada peningkatan angka melek huruf, rata-rata lama sekolah dan angka
harapan hidup, tetapi pencapaian itu baru menjadi dasar tolak untuk melakukan
percepatan lebih jauh. Ia baru merupakan momentum untuk melesat dari posisi 21 IPM
nasional untuk bisa menembus posisi 10-15 pada 2013. Tahun 2010-2013 idealnya
86
merupakan tahun momentum bagi akselerasi pencapaian indeks pendidikan dan indeks
kesehatan secara jauh lebih cepat dari Provinsi lain di Indonesia, mengingat efek dan
dampak program pendidikan dan kesehatan gratis yang didorong pada 2008-2010 ini
sudah akan menggulirkan perubahan yang lebih tajam lagi.
(4) Pengelolaan lingkungan hidup untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim global
merupakan keniscayaan ketiga dalam reprioritisasi RPJMD Sulawesi Selatan 2008-2013.
Sulawesi Selatan perlu secara lebih awal mengidentifikasi dan menganalisis prakiraan
dampak terhadap pertanian dan perikanan/kelautan atas kemungkinan ekstrim dari
terjadinya kekeringan dan curah hujan tinggi secara jangka panjang dan tidak
terprediksikan dimasa depan, begitu pula dampaknya pada aspek kehidupan lain yang
lebih dekat yakni kesehatan (penyakit) dan infrastruktur (kerusakan sarana/prasarana),
dan sistem air perkotaan. Berdasarkan itu dapat disusun kerangka komprehensif untuk
tindakan mitigasi dan adaptasi dalam pemahaman yang sama antara stakeholder
pemerintah, swasta dan masyarakat mulai dari level lokal, kabupaten/kota, provinsi,
antar provinsi dan integrasinya dengan upaya nasional.
(5) Selain tiga keniscayaan diatas, berikut ini direkomendasikan sejumlah penajaman atas
kebijakan dan program yang telah berjalan selama ini. Dalam RPJMD, tidak secara
tersirat memuat tentang kebijakan penelitian dan pengembangan dibidang pangan,
sehingga diperlukan program penelitian dan pengembangan di bidang pangan dengan
prioritas pendayagunaan plasma nutfah lokal serta peningkatan diversifikasi pangan
lokal. Dalam kebijakan infrastruktur, perlu ditajamkan adanya program pemeliharaan dan
peningkatan kualitas jalan yang diarahkan untuk meningkatkan kemerataan jangkauan
pelayanan sosial ekonomi, pemeliharaan dan peningkatan kualitas sarana dan
prasarana keairan untuk menjamin ketersediaan pasokan air baku, baik untuk irigasi,
industri maupun untuk rumah tangga dan peningkatan ketersediaan energi, khususnya
listrik, untuk mendorong pengembangan industri.
b. Rekomendasi Terhadap RPJMN
(1) Pembangunan pendidikan perlu lebih nyata diorientasikan sebagai upaya perbaikan
peradaban, bukan semata-mata untuk menghasilkan manusia yang sesuai dan siap
memasuki pasar tenaga kerja. Pembangunan pendidikan idealnya dipahami sebagai
upaya pembangunan manusia, yang secara filosofis adalah proses pemanusiaan
87
manusia. Karena itu, pembangunan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari pembangunan
kebudayaan, keduanya akan secara bersama-sama berkontribusi pada perubahan
peradaban. Selain itu, pendidikan perlu dilihat sebagai hak dasar warga negara, dimana
tugasnya negara adalah memenuhi hak dasar tersebut. Karena itu, lembaga pendidikan
harus terpelihara dalam misi memenuhi hak dasar tersebut..
(2) Faktor dominan terkait masalah pangan perlu dilihat dari hulu (upstream) hingga hilir
(downstream), dan pemecahannya dalam bentuk program harus mempertimbangkan
bekerjanya sub-sistem ketersediaan, sub-sistem distribusi dan sub-sistem konsumsi,
sehingga tercipta ketahanan pangan. Dengan demikian, tujuan program di bidang
pangan perlu diarahkan pada meningkatnya ketersediaan pangan melalui upaya
pengembangan diversifikasi pangan, kelembagaan pangan, dan usaha pengelolaan
pangan, tercapainya ketersediaan pangan di tingkat regional dan masyarakat yang
cukup, dan terdorongnya partisipasi masyarakat dalam mewujudkan ketahanan pangan,
meningkatnya keanekaragaman konsumsi pangan masyarakat, dan menurunnya
ketergantungan pada pangan pokok beras melalui pengalihan konsumsi non beras.
Untuk itu beberapa hal yang perlu direkomendasikan pada program aksi di bidang
pangan adalah perlunya operasionalisasi program, disamping program yang telah ada
pada RPJMN, sebagai berikut: 1. Peningkatan mutu intensifikasi yang dilaksanakan
dalam bentuk usaha peningkatan produktivitas melalui upaya penerapan teknologi tepat
guna, peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam rangka penerapan
teknologi spesifik lokasi; 2. Peluasan areal tanam (ekstensifikasi) yang dilaksanakan
dalam bentuk pengairan serta perluasan baku lahan dan peningkatan indeks
pertanaman melalui percepatan pengolahan tanah, serta penggarapan lahan tidur dan
terlantar. 3. Pengamanan produksi yang ditempuh melalui penggunaan teknologi panen
yang tepat, dan bantuan sarana produksi terutama benih, pada petani yang lahannya
mengalami puso, melalui suatu skema kelembangaan pangan. 4. Rehabilitasi dan
konservasi lahan dan air tanah, yang dilaksanakan dalam bentuk upaya perbaikan
kualitas lahan kritis/marginal dan pembuatan terasering serta embung dan rorak/jebakan
air. 5. Pengembangan dan penguatan diversivikasi pangan non-beras, seperti sagu, 6.
Pengembangan kerangka kebijakan dan kerangka operasional kegiatan yang
menghubungkan berbagai upaya peningkatan ketahanan pangan dengan agenda
mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim global.
88
(3) Masalah utama infrastruktur di Indonesia adalah belum berjalannya koordinasi tata ruang
wilayah otonomi sehingga memperlemah struktur ruang wilayah nasional, kesenjangan
infrastruktur antar wilayah, dan lemahnya mekanisme pemeliharaan (maintenance
mechanism) infrastruktur skala besar yang telah terbangun. Dengan demikian, kebijakan
Nasional pengembangan infrastruktur perlu diarahkan pada: 1. Penguatan koordinasi
penataan ruang wilayah-wilayah otonomi yang berbatasan, 2. Pengurangan
ketimpangan wilayah sudah berkembang: Sumatra, Jawa, Bali; berkembang:
Kalimantan, Sulawesi, NTB; perkembagan baru: Maluku, NTT, Papua, 3.Pemeliharaan
infrastruktur skala besar seperti bendungan dan jalan nasional.
(4) Karena kompleksnya masalah lingkungan hidup, maka kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup perlu dipriotitaskan pada masalah-masalah pengendalian dalam segala
bentuk KRP (kebijakan, rencana, dan program), baik melalui teknologi berkembang
maupun kearifan lokal masyarakat. Sehingga, kebijakan program yang perlu
diprioritaskan adalah: 1. Penerapan konsep KLHS (kajian lingkungan hidup strategis)
pada setiap KRP (kebijakan, rencana, dan program), baik nasional, provinsi, maupun
kabupaten/kota; 2. Adaptasi perubahan iklim melalui kearifan lokal masyarakat yang
telah lama tumbuh.
(5) Masalah utama Prioritas 10 adalah daerah terluar wilayah NKRI. Sehingga, kebijakan
program yang perlu ditambahkan adalah disamping penyelesaian pemetaan wilayah
perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina, perlu: 1.
Peningkatan komunikasi antarnegara (dengan Negara perbatasan) mengenai konsistensi
pemetaan antar dua Negara; 2. Pembuatan dokumen benchmark yang dilanjutkan
dengan penetapan benchmark secara fisik di lapangan yang disetujui oleh dua Negara.
89
BAB IV.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 1. Kesimpulan (1) Pada Agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai, pencapaian RPJMN
2004-2009 di Sulawesi Selatan ditandai dengan pencapaian kondisi aman dan damai
yang semakin baik dalam lima tahun terakhir. Ini dapat dilihat dari indikator tingkat
kriminalitas yang cenderung menurun khususnya pada tahun 2008-2009, meskipun
persentase penyelesaian kasus kejahatan khususnya yang konvensional agak
menurun. Faktor utama yang berkontribusi atas pencapaian kondisi aman dan damai
tersebut adalah perkembangan ekonomi, dimana tertunjukkan bahwa ketika
pertumbuhan ekonomi rendah dan pengangguran tinggi pada tahun 2005-2006 terjadi
peningkatan kriminalitas khususnya pencurian, dan setelah perekonomian kembali
membaik pada 2008-2009 maka kondisi aman, tertib dan damai kembali optimal. Faktor
lain yang mempengaruhi kondisi aman dan damai adalah efek dinamis dari
penyelenggaraan pemilihan legislatif, kepala daerah dan presiden dimana masyarakat
cenderung terpolarisasi dan berada dalam ketegangan tinggi sehingga menuntut
perhatian aparat yang besar, dan dengan itu perhatian untuk mencegah dan
menangani kriminalitas berkurang. Faktor ketidakcukupan SDM dan sarana/prasarana
penegak ketertiban dan keamanan juga berkontribusi pada dinamika kondisi aman dan
damai di Sulawesi Selatan, sehingga sejumlah lokasi/daerah belum terjangkau
pelayanan yang cukup dan tidak semua kejadian kejahatan tertangani.
(2) Pada Agenda Pembangunan Indonesia Yang Adil dan Demokratis, pencapaian
RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Selatan dari segi pelayanan publik ditandai oleh
penanganan kasus korupsi yang belum sepenuhnya menjangkau laporan masyarakat,
pemberlakuan Perda Pelayanan Satu Atap yang baru menjangkau setengah dari
jumlah Kabupaten/Kota dan Pelaporan Wajar tanpa Pengecualian yang dalam tiga
tahun terakhir tidak ada entitas yang mencapaianya baik oleh Pemerintah Provinsi
maupun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan dari segi demokratisasi, dengan
menggunakan indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender
Empowerment Measure (GEM), terjadi peningkatan kinerja dalam lima tahun terakhir
tetapi dalam peringkat nasional cenderung menurun. Secara umum pencapain pada
90
indikator adil dan demokratis masih dibawah rata-rata nasional. Faktor yang paling
berhubungan dengan pencapaian ini adalah kualitas SDM, baik SDM pemerintah pada
ranah birokrasi terkait kemampuan pelayanan dan manajemen pembangunan, maupun
SDM pemerintah pada ranah penegakan hukum khususnya dalam penanganan kasus
korupsi.
(3) Pada Agenda Meningkatan Kesejahteraan, pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi
Selatan menunjukkan bahwa dari segi kualitas manusia terdapat pencapaian IPM yang
meningkat signifikan dalam lima tahun terakhir (meskipun dari segi peringkat baru
menempati posisi 20 nasional); dari segi pembangunan ekonomi terdapat perbaikan
pada indikator ekonomi makro khususnya pertumbuhan ekonomi dan transformasi
struktural perekonomian; serta dari segi kesejahteraan sosial terdapat pencapaian yang
tinggi dalam penanggulangan kemiskinan dan penurunan angka pengangguran
terbuka. Pencapaian ini terutama didorong oleh dampak pelaksanaan kebijakan/
program pembangunan seperti pendidikan gratis/dana bantuan operasional sekolah,
kesehatan gratis/jamkesmas, pembangunan infrastruktur (bandara, jalan provinsi dan
jalan tol), pengembangan komoditas unggulan seperti rumput laut, kakao, dan beras,
serta investasi swasta.
(4) Prioritas RPJMN 2010-2014 memiliki relevansi cukup tinggi dengan prioritas RPJMD
Sulawesi Selatan 2008-2013 tetapi dengan penekanan prioritas yang berbeda
disebabkan perbedaan kondisi spesifik dan permasalahan pembangunan Sulawesi
Selatan dengan kondisi dan permasalahan umum pembangunan Indonesia. Bila 11
prioritas nasional RPJMN 2010-2014 ditempatkan pada prioritas pembangunan
Sulawesi Selatan maka urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: (1) Pendidikan, 2.
Kesehatan, 3. Penanggulangan Kemiskinan, 4. Pangan, 5. Infrastruktur, 6. Reformasi
Birokrasi, 7. Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana, 8. Iklim Investasi dan Iklim
Usaha, 9. Kebudayaan, Kreatifitas, Inovasi Teknologi, 10. Energi,11. Daerah Terdepan,
Terluar, Tertinggal dan Pasca Konflik
2. Rekomendasi a. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan
91
(1) RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan berlaku untuk periode 2008-2009, dengan visi
bahwa pada 2013 pencapaian dalam pemenuhan hak dasar masyarakat menempati
posisi 10 besar nasional, dimana indikator utama visi ini adalah pencapaian nilai dan
peringkat IPM. Pada aras nasional, RPJMN Indonesia berlaku untuk periode 2010-
2014, dengan fokus pada 11 prioritas dalam mewujudkan visi pembangunan nasional
yang diembannya. Pada aras global, pencanangan MDGs hanya memiliki waktu lima
tahun lagi untuk memenuhi target-targetnya pada 2015. Berdasarkan itu, RPJMD
Sulawesi Selatan sebaiknya melakukan penajaman prioritisasi dengan
mempertimbangkan tiga aras tersebut dalam memilih fokus. Garis besar fokus yang
perlu diprioritaskan dengan memperhatikan tiga aras tersebut dinyatakan dalam poin-
poin selanjutnya rekomendasi ini.
(2) Penanggulangan Kemiskinan terniscayakan untuk menjadi prioritas dengan perhatian
pada tercapainya target eradikasi kemiskinan pada 2015 sebesar setengahnya dari
angka tahun 2000, dimana pengurangan jumlah rumah tangga miskin otomatis
memperbaiki tingkat daya beli masyarakat sebagai salah satu indikator IPM. Dengan
demikian, penanggulangan kemiskinan sebagai target MDGs sekaligus komplementer
untuk memperbaiki nilai IPM, dan tentu saja ia merupakan jawaban langsung terhadap
substansi utama hak dasar masyarakat: hak untuk tidak miskin. Penanggulangan
kemiskinan idealnya dikerangkakan dalam sinergi antara upaya yang bersifat intervensi
langsung pada rumah tangga miskin guna menjamin terpenuhinya hak dasar mereka
atas pangan, pekerjaan, pendidikan dan kesehatan; pemberdayaan terhadap
komunitas/masyarakat dimana rumah tangga miskin tersebut berada sedemikian rupa
sehingga tercipta saluran sosial bagi rumah tangga miskin dalam mengakses peluang
pada tingkat lokalitasnya untuk keluar dari kemiskinan; pencapaian dan pemeliharaan
pertumbuhan pada tingkat ekonomi makro daerah yang menjamin akses lapangan
kerja dan usaha bagi rumah tangga miskin. Kerangka ini idealnya teroperasionalkan
dengan mempertimbangkan karakteristik lokalitas kemiskinan di Sulawesi Selatan
secara sosio-etnik-geografis, dengan mendorong keberfungsian yang optimal pada Tim
Kordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah secara bersinergi antara tingkat
Provinsi dan tingkat Kabupaten/Kota, berdasarkan keterpaduan arahan antara Strategi
Penanggulangan Kemiskinan Daerah (SPKD), Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM), serta RPJMD Provinsi dan RPJMD Kabupaten/Kota.
92
(3) Akselerasi pencapaian pada bidang pendidikan dan kesehatan merupakan
keniscayaan kedua dalam pembangunan Sulawesi Selatan karena substansi utama
pencapaian IPM pada posisi 10 besar nasional terletak pada dua hak dasar ini.
Meskipun kemajuan nyata telah dicapai pada peningkatan angka melek huruf, rata-rata
lama sekolah dan angka harapan hidup, tetapi pencapaian itu baru menjadi dasar tolak
untuk melakukan percepatan lebih jauh. Ia baru merupakan momentum untuk melesat
dari posisi 21 IPM nasional untuk bisa menembus posisi 10-15 pada 2013. Tahun
2010-2013 idealnya merupakan tahun momentum bagi akselerasi pencapaian indeks
pendidikan dan indeks kesehatan secara jauh lebih cepat dari Provinsi lain di
Indonesia, mengingat efek dan dampak program pendidikan dan kesehatan gratis yang
didorong pada 2008-2010 ini sudah akan menggulirkan perubahan yang lebih tajam
lagi.
(4) Pengelolaan lingkungan hidup untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim global
merupakan keniscayaan ketiga dalam reprioritisasi RPJMD Sulawesi Selatan 2008-
2013. Sulawesi Selatan perlu secara lebih awal mengidentifikasi dan menganalisis
prakiraan dampak terhadap pertanian dan perikanan/kelautan atas kemungkinan
ekstrim dari terjadinya kekeringan dan curah hujan tinggi secara jangka panjang dan
tidak terprediksikan dimasa depan, begitu pula dampaknya pada aspek kehidupan lain
yang lebih dekat yakni kesehatan (penyakit) dan infrastruktur (kerusakan
sarana/prasarana), dan sistem air perkotaan. Berdasarkan itu dapat disusun kerangka
komprehensif untuk tindakan mitigasi dan adaptasi dalam pemahaman yang sama
antara stakeholder pemerintah, swasta dan masyarakat mulai dari level lokal,
kabupaten/kota, provinsi, antar provinsi dan integrasinya dengan upaya nasional.
(5) Selain tiga keniscayaan diatas, berikut ini direkomendasikan sejumlah penajaman atas
kebijakan dan program yang telah berjalan selama ini. Dalam RPJMD, tidak secara
tersirat memuat tentang kebijakan penelitian dan pengembangan dibidang pangan,
sehingga diperlukan program penelitian dan pengembangan di bidang pangan dengan
prioritas pendayagunaan plasma nutfah lokal serta peningkatan diversifikasi pangan
lokal. Dalam kebijakan infrastruktur, perlu ditajamkan adanya program pemeliharaan
dan peningkatan kualitas jalan yang diarahkan untuk meningkatkan kemerataan
jangkauan pelayanan sosial ekonomi, pemeliharaan dan peningkatan kualitas sarana
dan prasarana keairan untuk menjamin ketersediaan pasokan air baku, baik untuk
93
irigasi, industri maupun untuk rumah tangga dan peningkatan ketersediaan energi,
khususnya listrik, untuk mendorong pengembangan industri.
b. Rekomendasi Terhadap RPJMN 2010-2014
(1) Pembangunan pendidikan perlu lebih nyata diorientasikan sebagai upaya perbaikan
peradaban, bukan semata-mata untuk menghasilkan manusia yang sesuai dan siap
memasuki pasar tenaga kerja. Pembangunan pendidikan idealnya dipahami sebagai
upaya pembangunan manusia, yang secara filosofis adalah proses pemanusiaan
manusia. Karena itu, pembangunan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari
pembangunan kebudayaan, keduanya akan secara bersama-sama berkontribusi pada
perubahan peradaban. Selain itu, pendidikan perlu dilihat sebagai hak dasar warga
negara, dimana tugasnya negara adalah memenuhi hak dasar tersebut. Karena itu,
lembaga pendidikan harus terpelihara dalam misi memenuhi hak dasar tersebut..
(2) Faktor dominan terkait masalah pangan perlu dilihat dari hulu (upstream) hingga hilir
(downstream), dan pemecahannya dalam bentuk program harus mempertimbangkan
bekerjanya sub-sistem ketersediaan, sub-sistem distribusi dan sub-sistem konsumsi,
sehingga tercipta ketahanan pangan. Dengan demikian, tujuan program di bidang
pangan perlu diarahkan pada meningkatnya ketersediaan pangan melalui upaya
pengembangan diversifikasi pangan, kelembagaan pangan, dan usaha pengelolaan
pangan, tercapainya ketersediaan pangan di tingkat regional dan masyarakat yang
cukup, dan terdorongnya partisipasi masyarakat dalam mewujudkan ketahanan
pangan, meningkatnya keanekaragaman konsumsi pangan masyarakat, dan
menurunnya ketergantungan pada pangan pokok beras melalui pengalihan konsumsi
non beras. Untuk itu beberapa hal yang perlu direkomendasikan pada program aksi di
bidang pangan adalah perlunya operasionalisasi program, disamping program yang
telah ada pada RPJMN, sebagai berikut: 1. Peningkatan mutu intensifikasi yang
dilaksanakan dalam bentuk usaha peningkatan produktivitas melalui upaya penerapan
teknologi tepat guna, peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam rangka
penerapan teknologi spesifik lokasi; 2. Peluasan areal tanam (ekstensifikasi) yang
dilaksanakan dalam bentuk pengairan serta perluasan baku lahan dan peningkatan
indeks pertanaman melalui percepatan pengolahan tanah, serta penggarapan lahan
94
tidur dan terlantar. 3. Pengamanan produksi yang ditempuh melalui penggunaan
teknologi panen yang tepat, dan bantuan sarana produksi terutama benih, pada petani
yang lahannya mengalami puso, melalui suatu skema kelembangaan pangan. 4.
Rehabilitasi dan konservasi lahan dan air tanah, yang dilaksanakan dalam bentuk
upaya perbaikan kualitas lahan kritis/marginal dan pembuatan terasering serta embung
dan rorak/jebakan air. 5. Pengembangan dan penguatan diversivikasi pangan non-
beras, seperti sagu, 6. Pengembangan kerangka kebijakan dan kerangka operasional
kegiatan yang menghubungkan berbagai upaya peningkatan ketahanan pangan
dengan agenda mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim global.
(3) Masalah utama infrastruktur di Indonesia adalah belum berjalannya koordinasi tata
ruang wilayah otonomi sehingga memperlemah struktur ruang wilayah nasional,
kesenjangan infrastruktur antar wilayah, dan lemahnya mekanisme pemeliharaan
(maintenance mechanism) infrastruktur skala besar yang telah terbangun. Dengan
demikian, kebijakan Nasional pengembangan infrastruktur perlu diarahkan pada: 1.
Penguatan koordinasi penataan ruang wilayah-wilayah otonomi yang berbatasan, 2.
Pengurangan ketimpangan wilayah sudah berkembang: Sumatra, Jawa, Bali;
berkembang: Kalimantan, Sulawesi, NTB; perkembagan baru: Maluku, NTT, Papua,
3.Pemeliharaan infrastruktur skala besar seperti bendungan dan jalan nasional.
(4) Karena kompleksnya masalah lingkungan hidup, maka kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup perlu dipriotitaskan pada masalah-masalah pengendalian dalam
segala bentuk KRP (kebijakan, rencana, dan program), baik melalui teknologi
berkembang maupun kearifan lokal masyarakat. Sehingga, kebijakan program yang
perlu diprioritaskan adalah: 1. Penerapan konsep KLHS (kajian lingkungan hidup
strategis) pada setiap KRP (kebijakan, rencana, dan program), baik nasional, provinsi,
maupun kabupaten/kota; 2. Adaptasi perubahan iklim melalui kearifan lokal masyarakat
yang telah lama tumbuh.
(5) Masalah utama Prioritas 10 adalah daerah terluar wilayah NKRI. Sehingga, kebijakan
program yang perlu ditambahkan adalah disamping penyelesaian pemetaan wilayah
perbatasan RI dengan Malaysia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Filipina, perlu: 1.
Peningkatan komunikasi antarnegara (dengan Negara perbatasan) mengenai
konsistensi pemetaan antar dua Negara; 2. Pembuatan dokumen benchmark yang
95
dilanjutkan dengan penetapan benchmark secara fisik di lapangan yang disetujui oleh
dua Negara.
(6) Agar pencapaian RPMJN dapat lebih optimal di daerah, diperlukan kesamaan indikator
pencapaian antara pemerintah pusat dan daerah, serta keterkordinasian implementasi
program dan kegiatan. Karena itu, pada setiap awal pelaksanaan RPJMN, idealnya
dikembangkan kerangka monitoring dan evaluasi yg mempertemukan indikator
nasional dan provinsi yg relevan serta cara verifikasi indikatornya, sebagai acuan
bersama dl implementasi program/kegiatan setiap tahun.
c. Usulan Komponen dan Metode EKPD 2011 (1) Komponen Evaluasi
- Komponen pertama: kesesuaian horizon waktu dari keberlakuan RPJMN 2010-2014
dengan keberlakuan RPJMD Provinsi. Output dari evaluasi ini adalah didapatkannya
gambaran tentang jumlah/persentasi RPJMD Provinsi yang masa berlakunya sama
dengan RPJMN, masa berlakunya lebih dahulu dari periode RPJMN lengkap dengan
selisih tahun berlakunya, dan masa berlakunya sesudah periode RPJMN lengkap
dengan selisih tahun berlakunya. Dengan adanya data hasil evaluasi ini dapat
dianalisis hubungan antara periode keberlakuan RPJMD dengan kontribusinya
terhadap pencapaian RPJMN.
- Komponen kedua: relevansi visi, tujuan, dan sasaran antara RPJMN 2010-2014
dengan visi, tujuan, dan sasaran RPJMD Provinsi. Output dari evaluasi ini adalah
didapatkannya gambaran seberapa jauh visi, tujuan dan sasaran RPJMN 2010-2014
memayungi visi, tujuan dan sasaran RPJMD provinsi dan sebaliknya dapat pula
dianalisis seberapa jauh visi, tujuan dan sasaran RPJMD provinsi berkontribusi
terhadap visi, tujuan dan sasaran RPJMN 2010-2014.
- Komponen ketiga: relevansi misi, kebijakan dan program antara RPJMN 2010-2014
dengan misi, kebijakan dan program RPJMD. Output dari evaluasi ini adalah
didapatkannya gambaran seberapa jauh upaya-upaya nasional memayungi upaya-
uapaya provinsi dan seberapa jauh upaya-upaya dalam RPJMD Provinsi berkontribusi
terhadap upaya-upaya nasional.
- Komponen keempat: kesesuaian isu strategis antara RPJMN 2010-2014 dengan
RPJMD Provinsi. Lingkup evaluasi ini akan memberi gambaran lingkup keuniversalan
96
dari isu-isu strategis RPJMN 2010-2014 dan lingkup kespesifikan dari isu-isu strategis
RPJMD. Dari situ akan terlihat pula isu-isu yang sifatnya marginal, dalam arti tidak
spesifik daerah dan tidak pula general nasional.
- Komponen kelima: kesesuaian indikator kinerja antara sasaran RPJMN 2010-2014
dengan sasaran sejenis pada RPJMD. Pada lingkup dapat dilihat sampai mana
indikator kinerja yang tertuang dalam PP 06/2008 dan menjadi salah satun acuan
daerah memiliki relevansi dengan indikator kinerja yang bisa dikembangkan dari
sasaran-sasaran RPJMN 2010-2014.
- Komponen keenam: data dasar tahun pertama keberlakuan RPJMN di masing-
masing provinsi untuk indikator-indikator utama.
(2) Metodologi Evaluasi
- Berdasarkan lingkup evaluasi tersebut, maka metodologi evaluasi yang relevan akan
lebih banyak menggunakan analisis isi (content analysis) yang mengkomparasikan isi
RPJMN 2010-2014 dengan isi RPJMD masing-masing provinsi. Hasil analisis isi
ditampilkan dalam tabel-tabel komporansi berdasarkan poin-poin yang
dispesifikasikan.
- Selain itu, pengumpulan data untuk bahan data dasar bagi indikator-indikator evaluasi
penting RPJMN 2010-2014.
(3) Arah Rekomendasi
- Arah rekomendasi evaluasi RPJMD 2011 idealnya difokuskan pada: (1) penyelarasan
program/kegiatan dalam RPKD Provinsi 2012 untuk memastikan sampai mana upaya-
upaya nasional dikontribusi oleh upaya-upaya daerah; (2) penyelarasan
sasaran/indikator/target pencapaian indikator pada RPKD Provinsi 2012 untuk
memastikan kontribusi daerah atas sasaran/indikator/target pencapaian nasional.
d. Isu Strategis Provinsi untuk Evaluasi Pemerintah
- Evaluasi Dampak Pembangunan Jalan Beton Makassar - Pare-pare terhadap
Kesejahteraan Masyarakat dan Kemajuan Daerah-Daerah Kawasan Tengah Provinsi
Sulawesi Selatan
97
- Evaluasi Dampak Revitalisasi Pantai Losari dan Lapangan Karebosi terhadap Ekologi
Kota dan Kesejahteraan Masyarakat.