Post on 24-Oct-2015
Landasan Teori
Semangat humanisme HAM pada dasarnya tidak bertentangan dengan doktrin Islam,
karena tujuan Islam sendiri adalah humanisme, tegasnya memanusiakan (memulyakan)
manusia. Meskipun demikian, ada dua hal yang menjadi perdebatan sengit dilingkungan umat
Islam ketika berbicara syari’at Islam dalam kaitannya dengan HAM, yaitu persoalan hak-hak
perempuan dan kebebasan beragama. Sekalipun menjadi perdebatan, kedua masalah ini pada
dasarnya lebih diakibatkan karena faktor politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat
muslim, bukan oleh doktrin agama. Secara substansial HAM dan doktrin agama-agama tidak
bertentangan. Polemik kerap terjadi karena umat Islam terpancing oleh isu-isu konflik yang
kabur. Seperti diungkapkan an-Naim, keterjebakan umat Islam pada isu-isu tersebut menjadi
pemicu tindakan-tindakan yang kontra produktif, baik itu pada wacana HAM ataupun pada
dinamiasasi umat Islam itu sendiri.1
Fenomena di atas sangat erat kaitannya dengan etika sosial politik yang diperankan
oleh para pelaku sosial politik. Di satu sisi, manusia adalah makhluk sosial yang hendaknya
bertanggung jawab terhadap diri dan lingkungannya. Untuk itu ia hendaknya berpartisipasi
dalam kebudayaan dan kehidupan bermasyarakat. Karena hubungan sosial tidak bersifat
amorf, melainkan berstruktur, mulai dari struktur keluarga, masyarakat dan negara. Struktur-
struktur inilah yang disebut dengan lembaga. Dalam lembaga tersebut berkembang symbolic
universe of meaning, yaitu aneka paham, keyakinan dan pandangan hidup. Seorang pelaku
politik yang memahami dunia simbolik tersebut akan mampu memberikan legitimasi
terhadap struktur sosial yang dihadapi masyarakat sehingga ia mendapat kepastian.2
Dimensi sosial-politik adalah dimensi masyarakat secara keseluruhan. Pelaku politik
adalah orang yang memiliki profesi mengenai masyarakat sebagai keseluruhan. Seorang yang
bukan politisi pun, akan mengambil sikap politik apabila dalam sikap itu mengacu pada
masyarakat sebagai keseluruhan. Dengan demikian, dimensi politis manusia dapat dinilai
sebagai keseluruhan yang menentukan langkah kehidupan masyarakat dan kehidupan dirinya.
Peran etika politik dalam hal ini akan menelanjangi keterkaitan hukum dan kekuasan yang
berlangsung secara bersamaan.3
1 Abdullah Ahmed an-Naim, Islam dan Negera Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan dengan Syariah (Bandung: Mizan, 2007), hal. 177
2 Frans Magniz-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsi Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 15-19
3 Ibid, hal. 21-22
Kekuasaan hendaknya berlangsung sesuai dengan hukum yang berlaku (legalitas),
disahkan secara demokratis (legitimasi demokrastis) dan tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip dasar moral (legitimasi moral). Norma-norma moral ini pada intinya merupakan
legitimasi etis yang akan menjadi pembatas hak penguasa, sekaligus sebagai hak rakyat untuk
menolak suatu kebijakan yang tidak sesuai dengan norma-norma itu. Dalam kaitannya
dengan norma-norma yang berlaku secara universal, Frans Magnis-Suseno memetakannya
menjadi tiga nilai dasar, yaitu Kesamaan, Kebebasan dan Solidaritas.
1. Kesamaan
Penetapan hukum akan diterima oleh masyarakat jika hukum yang sahkan dapat
menjamin kesamaan hak semua warga. Artinya, hukum berlaku untuk semua warga
tanpa terkecuali. Hal ini menjadi urgent karena kita senantiasa melihat perbedaan nyata
antara si kuat dan si lemah atau si kaya dan si miskin yang dalam kenyataan hidup
sehari-hari merupakan salah satu kerangka acuan terpenting bagi kita dalam menjajaki
setiap situasi yang kita masuki oleh adanya hukum dibuat tidak operatif dalam urusan-
urusan paling penting.
2. Kebebasan
Filosofi dasar dirumuskannya qanun dalam suatu negara adalah untuk menjamin hak-hak
dasar warganya. Salah satunya hak yang paling mendasar adalah kebebasan. Dalam hal
ini penyelenggara negara harus merumuskan qanun yang benar-benar menjamin
kebebasan bertindak setiap warganya. Kendati demikian dalam perumusan tersebut
negara harus seoptimal mungkin mengakomodir setiap elemen masyarakat dan menutup
sekecil mungkin adanya penolakan dari masyarakat.4 Kebebasan tidak kita pahami
menurut kita sekarang, misalnya pewaris cita liberalism dan demokrasi. Pengertian
kebebasan di zaman kita pun sekarang hanya salah satu interpretasi. Interpretasi yang
kita berikan tergantung, sekali lagi dari paham kita tentang manusia, masyarakat dan
alam semesta, sebagaimana yang didefinisikan Nurcholis Madjid.
3. Solidaritas
Nilai universal ketiga yang harus dilindungi oleh negara adalah kebersamaan. Hal ini
didasarkan bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu
sama lain. Diakui atau tidak, manusia memerlukan suatu tatanan normatif untuk
mengimbangi segala tindak lakunya dalam realitas masyarakat. Pembatasan diri manusia
4 Frans Magnis Suseno, Etika Politik, hal 116-118
melalui hukum atau peraturan yang akan diberlakukan merupakan pengakuan
institusional terhadap solidaritas antar manusia.
Dengan ketiga nilai dasar di atas, kami sebagai peneliti mencoba untuk menjadikan
dasar dalam mengevaluasi pelaksanaan syariat di Aceh. Selain itu, kami juga akan
memetakan pandangan tingkat kesuksesan pelaksanaan syariat islam di aceh empat
perspektif, yaitu Perspektif HAM Liberal, HAM Demokratis, HAM Positif dan HAM Sosial.
Pertama, Perspektif HAM Liberal Hak Asasi Liberal dimotori oleh pendukung
liberalisme dengan tujuan untuk memperjuangkan hak-hak pribadi setiap individu dari
campur tangan negara maupun pengaruh sosial lainnya. Kaum liberalism berpandangan
bahwa hak asasi merupakan kebebasan dan hak individu dalam mengurus diri sendiri.
Menurut Moh. Mahfud MD hak ini diperjuangkan oleh generasi pertama dengan tujuan
melindungi hak-hak individu perseorangan.5 Fans Magnis-Suseno memetakan Hak ini
termasuk di dalam Hak atas Hidup, keutuhan jasmani, kekebasan bergerak, kebebasan untuk
memilih jodoh, perlindungan terhadap hak milik, hak untuk mengurus kerumahtanggaan
sendiri, untuk memilih pekerjaan dan tempat tinggal, kebebasan beragama, kebebasan untuk
mengikuti suara hati sejauh tidak mengurangi kekabasan serupa orang lain, kebebasan
berfikir, kebabasan berkumpul dan berserikat; untuk tidak ditahan secara sewenang-wenang,
dan seterusnya. Dasar etis hak asasi liberal ini adalah tuntutan agar otonomi setiap orang atas
dirinya sendiri dihormati. Tidak ada orang atau lembaga yang begitu saja berhak untuk
menentukan bagaimana orang lain harus mengurus diri.
Kedua, HAM Demokratis, HAM dalam perspektif ini dipahami sebagai hak-hak
warga yang bersifat aktif, dalam artian hak atas suatu aktivitas manusia. Tegasnya, hak untuk
ikut serta dalam menentukan arah perkembangan daerah atau masyarakatnya. Hak inilah yang
dikatakan hak warga negara dalam menentukan masa depan negerinya, baik dalam memilih
wakilnya, mengangkat dan mengontrol pemerintah. Termasuk juga hak untuk menyatakan
pendapat, kebebasan pers dan membentuk perkumpulan sosial dan politik.6 Hak asasi aktif
5 Moh. Mahfud MD, Pilar-Pilar Demokrasi, hal. 99-1006 Mengutip pandangan Henry B. Mayo: ‘Sistem politik yang demokratis adalah dimana kebijaksanaan
umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dan diselanggarakan dalam suasana terjamin suasana politik.’ Menurut Mayo, paling tidak demokrasi mengandung 6 nilai penting, namun sangat bergantung pada perkembangan sejarah dan budaya politik masing-masing tempat. 1) Menyelesaikan perselisihan dengan Damai dan secara melembaga, 2) Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah, 3) menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur, 4) membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum, 5) mengakui serta menganggap
atau demokratis, sebenarnya menjadi tuntutan kelompok kontra positifisasi syariat Islam di
Aceh. Kita dapat memperhatikan bagaimana faktor kehidupan politik masyarakat, bagaimana
tarik menarik yang terjadi antara penguasa dan rakyat, yang hal ini diwakili oleh kekuatan-
kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat tersebut dalam mengejawantahkan kekuasaan.
Bagaimanapun juga, factor yang paling utama menentukan corak atau format demokrasi di
dalam suatu masyarakat adalah budaya masyarakat itu sendiri.
Ketiga, HAM Positif, Inti dari pandangan Hak Asasi Positif adalah tuntutan adanya
peran serta, tanggungjawab dan pelayanan pemerintah secara penuh dalam menjamin hak-hak
setiap warga negaranya.7 Pemerintah tidak hanya menuntut keberadaan rakyatnya untuk taat
kepada kepada qanun yang diberlakukan, tetapi juga pemerintah selayaknya terlebih dahulu
melakukan perlindungan dan pencegahan agar rakyatnya tidak melakukuan jarimah.
Keempat, HAM Sosial, Hak asasi sosial merupakan kelanjutan dari hak asasi positif,
yaitu hak yang harus dijamin oleh negara.8 Hak Asasi Sosial adalah hak seluruh warga negara
untuk mendapatkan bagian yang adil dari harta benda, material dan cultural bangsanya, serta
bagian yang wajar dari hasil nilai ekonomis yang terus menerus diperoleh masyarakat sebagai
suatu keseluruhan dari sistem pembagian kerja sosial. Hak asasi sosial ini selayaknya disusun
dan dirumuskan sebelum perumusan peraturan-peaturan di suatu daerah.
Oleh karena itu, proses legitimasi etis menuntut ketaatan nyata pihak pemegang
kekuasaan. Dengan adanya kejelasan legitimasi etis, maka sistem politik dengan sendirinya
akan terkontrol. Legitimasi etis merupakan kebutuhan dalam perkembangan negara modern
yang mulai meninggalkan legitimasi relegius.
Menurut Haryatmoko, legitimasi relegius cenderung mereduksi etika politik.
Setidaknya ada tiga hal yang dapat tereduksi ketika legitimasi religius digunakan dalam arena
perpolitikan, diantaranya: (1) Penafian perdebatan ideologi, diskusi nilai-nilai, dan
wajar adanya keanekaragaman, 6) menjamin tegaknya keadilan. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 2008), hal. 117-120
7 Hak utama menurut Frans Magnis-Suseno adalah hak perlindungan hukum, dimana setiap warga negara diperlakukan sama dihadapan hukum. Pemahaman terhadap hak asasi positif ini didasari pada tujuan negara bukan hanya untuk mendirikan negara, melainkan untuk diperankan dalam mendorong dan melayani masyarakat dengan bentuk pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan oleh warga negara. Dan masyarakat berhak mendapatkan pelayan tersebut dan negara wajib memberikannya. Frans Magnis-Suseno, Etika Politik, hal. 128-129
8 Hak tersebut harus dijamin dengan tindakan negara. secara applicable hak asasi sosial terumuskan dalam jaminan-jaminan sosial, hak atas pekerjaan, pilihan tempat dan jenis pekerjaan, syarat kerja yang memadai upah yang wajar, perlindungan terhadap pengangguran, hak untuk membentuk serikat kerja dengan bebas, hak atas pendidikan, dan hak atas kehidupan kutural masyarakat. Frans Magnis Suseno, Etika Politik, hal 129. Lihat juga Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia Dalam Tatanan Dunia Baru: Menggugat Dominasi Global Barat (Bandung: Mizan, 1995), hal. 32-34
perdebatan tentang prioritas.9 (2) Pemiskinan politik terjadi ketika ruang publik direduksi
menjadi pasar.10 (3) Pemiskinan juga terjadi dalam lingkup etika politik.11 Oleh karena itu
etika sosial-politik selayaknya menjadi pemeran utama dengan menjadikan filsafat politik
sebagai pemainnya, karena filsafat politik akan mengajak para pelaku politik untuk tidak
berhenti pada cara berfikir monokausal dan menjadikan moral sebagai modal gerakan politik,
dengan demikian politik bukan seperti dipahami oleh politikus, tapi dimengerti oleh orang
yang mencari makna dan nilai dalam politik. Jika paradigma moral telah mengakar dalam
cara pandang komunitas, maka filsafat dapat diterjemahkan menjadi politik dan semua gerak
berangkat dari moral. Agar cara pandang dengan filsafat politik tidak cendrung formal
(abstrak), maka filsafat politik selayaknya diarahkan kepada perubahan sudut pandang
individu ke sudut pandang komunitas. Artinya, moral yang selama ini cenderung melarang
dan kurang membekali perwujudan tindakan, dapat diarahkan kepada pembentukan sejarah
yang mendasarkan tindakannya pada rasionalitas. Proses ini membutuhkan mediasi yang
komprehensif untuk membangun kesadaran moral yang tidak terpisahkan dari sejarah
komunitas. Ini berarti bahwa keputusan moral merupakan kesadaran dan rasa hormat pada
hak-hak, nilai-nilai, dan prinsip yang disepakati bersama demi kesejahteraan umum12.
Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno, etika politik bukan
hanya masalah prilaku seorang pelaku politik, melainkan juga berhubungan dengan praktik
insitusi sosial, hukum komunitas, struktur-struktur sosial, politik ekonomi. Haryatmoko
memperkuat pandangan Franz dengan mengungkapkan bahwa etika politik selalu
berhubungan dengan tiga dimensi, dimensi tujuan, sarana, dan aksi politik itu sendiri13.
Dalam konteks ini, perilaku politik merupakan satu bagian dari etika politik, karena kebaikan
akan terwujud jika ditopang oleh institusi yang adil. Kebaikan berfungsi mempertajam makna
tanggung jawab, sedangkan institusi berperan mengorganisir tanggung jawab.
9 Pendekatan pragmatis cenderung tidak menerima pluralitas karena wacana yang merupakan sarana komunikasi dengan yang lain kurang mendapat tempat. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2003), hal. 22
10 Penyelenggaraan negara direduksi menjadi manajemen kepentingan kelompok-kelompok terntentu atau individu-individu tertentu yang diarahkan untuk membangun pencitraan. Ibid.
11 Praktik diskriminasi tentunya bertentangan dengan arah yang di bidik oleh etika dan merupakan pelecehan terhadap kebebasan. Ibid.
12 Filsafat Politik menempati posisi dalam tiga hal, yaitu: (1) mengambil jarak dan kritis terhadap realitas politik (2) filsafat politik menuntut perspektif tertentu dan pengujian nilai-nilai moral (3) filsafat politik hanya mungkin dalam perbandingan dengan suatu ideal yang melibatkan suatu konsepsi tentang manusia dan tujuannya. Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan, hal 22-24
13 Haryatmoko, Etika Politik dan Kekuasaan,hal. 22-28
Pertama, Dimensi Tujuan. Dimensi ini terumuskan dalam upaya mencapai
kesejahteraan masyarakat dan hidup damai berdasarkan kebebasan dan keadilan. Fenomena
ini hendaknya diimplementasikan dalam penerapan kebijakan dan managemen publik, dalam
artian kesejahteraan dan kedamaian hendaknya menjadi komitmen untuk terumuskannya
dalam kebijakan, baik itu dalam skala prioritas, program, metode, dan pendasaran
filosofisnya. Dalam dimensi tujuan ini akan terlihat peran moral dalam kemampuan
menentukan arah kebijakan umum yang jelas dan transparan.
Kedua, Dimensi Sarana. Sarana menjadi dimensi penting dalam pencapaian tujuan
(polity), karena dimensi ini meliputi sistem dan prinsip dasar praktik penyelenggaraan
negara. Hal ini juga menentukan prilaku masyarakat dalam menghadapi masalah. Ada dua
pola normatif yang terdapat dalam dimensi sarana: (1) Tatanan politik (hukum dan institusi)
yang menganut prinsip solidaritas dan subsidiaritas, penerimaan pluralitas, struktur sosial
ditata secara politik menurut prinsip keadilan. (2) Kekuatan-kekuatan politik ditata sesuai
dengan prinsip timbal balik.14 Artinya moral dalam dimensi sarana ini terletak pada peran
etika dalam menguji dan mengkritisi legitimasi keputusan-keputusan, institusi-institusi dan
praktik-praktik politik. Namun, bila tekanan negara hanya diarahkan pada pendekatan
struktural, maka akan menimbulkan dampak etis, yaitu kesulitan dalam menentukan
tanggungjawab pelaku. Untuk itu, menurut Haryatmoko, sarana (hakim, institusi, dst) dapat
mengacu pada prinsip epieikea (rasa keadilan) dengan argument kesalahan in causa itu,
sekalipun kita sulit menentukan batas tanggungjawabnya.
Ketiga, Dimensi aksi politik. Dimensi ini merupakan domain pelaku dalam
menggunakan rasionalitas politiknya. Aksi politik akan rasional ketika pelaku berorientasi
pada situasi dan pemahaman masalah. Fenomena ini akan terlihat dari sejauhmana
kemampuan politisi dalam mempersepsikan kepentingan-kepentingan yang dipertaruhkan
dalam kancah perpolitikan. Oleh karena itu, dalam dimensi aksi ini, etika diidentikan dengan
tindakan rasional yang bermakna, karena politik tidak hanya jalan secara monocausal, tetapi
juga memperhitungkan reaksi lain (harapan, proses, kritik, persetujuan dan penolakan).
Makna etis akan semakin dalam bila para politisi didasari oleh bela rasa dan keberpihakan
kepada yang lemah atau korban
14 Gagasan Habermas “masing-masing pihak sepakat mengkoordinasikan tindakan mereka untuk mencapai tujuan masing-masing”