Post on 13-May-2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki banyak tanaman dan juga rempah-rempah yang sangat
bermanfaat untuk kesehatan tubuh, salah satunya adalah temulawak. Tanaman
temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan salah satu dari sembilan
tanaman unggulan yang ditetapkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Republik Indonesia. Pengembangan tanaman temulawak di Indonesia sangat
potensial karena produksi rimpang temulawak mengalami peningkatan sejak tahun
2001 - 2002 (BPS, 2003).
Kandungan kimia rimpang temulawak yang dapat dimanfaatkan dalam
bidang industri makanan, minuman maupun farmasi adalah pati, kurkuminoid dan
minyak atsiri (Sidik dkk., 1995). Kurkuminoid merupakan komponen berwarna
kuning, sehingga dapat digunakan sebagai zat warna dalam industri pangan dan
kosmetik. Fraksi kurkuminoid yang terdapat pada temulawak terdiri dari dua
komponen, yaitu kurkumin dan demetoksikurkumin (Sidik dkk., 1995). Menurut
Khanna (1999), kurkumin memiliki khasiat sebagai antioksidan, antiinflamasi,
antimikroba, antiparasit, antimutagen, dan antikanker.
Selama ini, permintaan temulawak dari luar negeri cukup tinggi. Namun,
temulawak Indonesia ternyata belum bisa diterima pasar luar negeri karena berada di
2
bawah standar mutu internasional. Oleh karena itu, diperlukan kontrol kualitas
terhadap temulawak yang tumbuh di Indonesia. Kontrol kualitas temulawak biasanya
dilakukan dengan analisis kuantitatif kurkumin dengan teknik kromatografi cair
kinerja tinggi (KCKT) (Jiang dkk., 2006; Jadhav dkk., 2007; Bos dkk., 2007; Lee
dkk., 2011). Meskipun demikian, metode KCKT memiliki keterbatasan yaitu perlu
waktu yang lama, memerlukan ahli untuk melakukan analisis, dan memerlukan tahap
penyiapan sampel yang relatif kompleks (Tanaka dkk., 2008). Keterbatasan lainnya
adalah jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit diperoleh
(Munson, 1991). Oleh karena itu, diperlukan metode yang praktis dan efisien.
Dewasa ini, penggunaan spektrofometer Fourier transformed infrared (FTIR)
yang dikombinasikan dengan kalibrasi multivariat untuk analisis suatu komponen
dalam tumbuhan telah banyak dikembangkan. Spektrofometer FTIR yang
dikombinasikan dengan kalibrasi multivariat dapat mengukur sampel secara cepat
tanpa merusak dan mampu menganalisis beberapa komponen secara serentak
(Rohaeti dkk., 2011). Penggunaan spektrofotometer FTIR dalam analisis tumbuhan
masih terbatas karena matriks dan spektrum yang dihasilkan cukup kompleks.
Kombinasi dengan kemometrik dapat memperluas potensi spektroskopi FTIR sebagai
metode alternatif untuk menganalisis komponen dalam tumbuhan. Metode analisis ini
dikembangkan dengan memanfaatkan informasi pola sidik jari yang bersifat khas
(Wold dkk., 2001). Kemometrik memanfaatkan ciri serapan IR yang khas dari setiap
molekul untuk mengklasifikasi sampel atau untuk membuat model kalibrasi
3
multivariat (dengan melibatkan data referensi) yang dapat digunakan dalam prediksi
hasil pengukuran suatu sampel (Naes dkk., 2002).
Kombinasi spektrum FTIR dengan kalibrasi multivariat telah banyak
digunakan diantaranya model klasifikasi asal daerah meniran (Dharmaraj dkk., 2006),
penentuan kadar senyawa atau golongan senyawa aktif tumbuhan obat (Rohaeti dkk.,
2006), metode deteksi pemalsuan atau diskriminasi bahan baku pangan atau obat
herbal (Liu dkk., 2008; Chen dkk., 2009) dan prediksi kapasitas antioksidan total
pada minuman anggur (Versari dkk., 2010). Selain itu, kombinasi spektroskopi Near
Infrared (NIR) dengan kalibrasi multivariat pernah dilakukan sebelumnya oleh
Tanaka dkk. (2008) untuk mengkuantifikasi kurkumin dalam ekstrak metanol kunyit.
Pemakaian yang luas tersebut karena teknik ini memberikan hasil yang cukup teliti
dan akurat walaupun dengan matriks sampel yang kompleks (Rohaeti dkk., 2011).
Namun, analisis kurkumin dalam ekstrak etanolik temulawak menggunakan metode
spektrofotometer FTIR yang dikombinasikan dengan kalibrasi multivariat belum
pernah dilaporkan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan
metode spektroskopi FTIR yang dikombinasikan dengan kemometrika kalibrasi
multivariat untuk analisis kurkumin dalam ekstrak etanolik temulawak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas dapat diambil suatu perumusan
masalah yaitu:
4
1. Apakah metode spektrofotometri FTIR yang dikombinasikan dengan kalibrasi
multivariat dapat diterapkan dalam analisis kuantitatif kurkumin dalam ekstrak
etanolik temulawak?
2. Bagaimana hubungan antara hasil analisis kuantitatif kurkumin dalam ekstrak
etanolik temulawak yang dianalisis dengan KCKT dan spektrofotometri FTIR
yang dikombinasikan dengan kalibrasi multivariat (Partial Least Square, PLS)?
C. Pentingnya Penelitian Dilaksanakan
Kontrol kualitas kandungan kurkumin dalam tanaman temulawak penting
dilakukan agar dapat memenuhi standar mutu yang dipersyaratkan oleh pasar dalam
dan luar negeri.Selain itu, keamanan, dosis, dan efikasi penggunaan ekstrak
temulawak dapat dipastikan. Kontrol kualitas ekstrak temulawak yang umum
dilakukan adalah melalui penentuan kandungan senyawa aktif kurkumin dalam
tanaman. Tentunya hal ini perlu didukung dengan metode analisis kurkumin dalam
ekstrak temulawak yang efisien, valid, dan praktis. Spektrofotometri FTIR yang
dikombinasikan dengan metode kalibrasi multivariat Partial Least Square (PLS)
merupakan teknik yang tidak merusak, valid, cepat, dan membutuhkan sedikit
persiapan sampel. Selain itu, spektrofotometri FTIR menawarkan teknik sidik jari
yang mana 2 ekstrak etanolik tanaman yang berbeda tidak akan memiliki profil
spektra inframerah yang sama sehingga identifikasinya menjadi lebih reliable. Hasil
dari penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain sebagai dasar acuan untuk
5
analisis kurkumin dalam ekstrak etanolik temulawak.
D. Tujuan
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis kurkumin dalam
ekstrak etanolik temulawak yang efisien, valid, dan praktis menggunakan
spektrofotometer FTIR dikombinasikan dengan Partial Least Square (PLS). Tujuan
penelitian ini secara rinci adalah:
1. Melakukan analisis kurkumin dalam ekstrak etanolik temulawak dengan
spektrofotometri FTIR yang dikombinasikan dengan kalibrasi multivariat.
2. Mencari hubungan konsentrasi kurkumin dalam ekstrak etanolik temulawak
yang dianalisis dengan KCKT dan dengan metode spektrofotometri FTIR yang
dikombinasikan dengan kalibrasi multivariat (Partial Least Square, PLS).
E. Tinjauan Pustaka
1. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Rimpang induk temulawak (Gambar 1) dapat memiliki 3-4 buah rimpang.
Warna kulit rimpang adalah cokelat kemerahan atau kuning tua, sedangkan warna
daging rimpang adalah oranye tua atau kuning. Rimpang temulawak terbentuk di
dalam tanah pada kedalaman sekitar 16 cm. Tiap rumpun umumnya memiliki 6 buah
rimpang tua dan 5 buah rimpang muda (Anonim, 2007; Departemen Kesehatan RI,
2008). Klasifikasi Ilmiah tanaman temulawak adalah sebagai berikut:
6
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Zingiberales
Keluarga : Zingiberaceae
Genus : Curcuma
Spesies : Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Rukmana, 1995).
(a) (b)
Gambar 1. Penampakan temulawak yang digunakan untuk penelitian. (a) contoh temulawak yang
digunakan yang berasal dari pasar Bantul, (b) contoh irisan temulawak.
Kandungan rimpang temulawak segar adalah pati (48-59,64%), kurkuminoid
(1,6-2,2%) dan minyak atsiri (1,48-1,63%) (Sidik dkk., 1995). Minyak atsiri atau
minyak menguap merupakan komponen dalam temulawak yang memberikan bau
karakteristik, sedangkan kurkuminoid terdiri dari beberapa zat warna kuning.
7
Manfaat temulawak terutama diperoleh dari kurkuminoid yang merupakan
senyawa aktif dalam rimpang tanaman temulawak. Temulawak dilaporkan memiliki
berbagai aktivitas yakni antitumor, antiinflamasi, antioksidan, hepatoprotektif, dan
atibakteri. Aktivitas tersebut disebabkan komponen aktif temulawak berupa
kurkuminoid dan xanthorrizol (Hwang, 2006).
2. Kurkumin
Kurkumin [1,7-bis(4'-hidroksi-3'-metoksifenil)-1,6-heptadien-3,5-dion]
merupakan salah satukomponen kurkuminoid yang terdapat pada rimpang tanaman
Curcuma sp. (Tonnesen, 1989; Masuda dkk., 1992; Masuda dkk., 1993). Dua
komponen kurkuminoid lainnya adalah demetoksikurkumin dan bis-
demetoksikurkumin. Kurkuminoid merupakan polifenol yang bertanggung jawab
pada warna kuning Curcuma xanthorrhiza Roxb. . Rumus molekul dan berat molekul
kurkumin berturut-turut adalah C21H2006 dan 368,67. Kurkumin bersifat semipolar
yang relatif tidak larut dalam air, tetapi larut dalam pelarut organik seperti aseton,
dimetilsulfoksida dan etanol. Studi kinetika peruraian kurkumin pada pH 1-11 oleh
Tonnesen dan Karlsen (1985) menunjukkan bahwa kurkumin dalam larutan air
mengalami degradasi melalui reaksi hidrolisis. Pada pH < 1, kurkumin terprotonasi
sehingga berwarna merah. Pada pH 1-7, kurkumin dalam bentuk netral yang
berwarna kuning dan memiliki kelarutan dalam air yang sangat rendah; dan pada pH
> 7,5, kurkumin berwarna oranye hingga merah, dan sangat tidak stabil. Kecepatan
8
degradasi pada pH 7 lebih lambat dibanding pada pH > 7. Bentuk kristal kurkumin
berupa batang atau prisma, dengan titik leleh 183-185ºC. Struktur senyawa
komponen kurkuminoid sebagaimana dalam Gambar 2.
H3CO
HO OH
OCH3
O O
H3CO
HO OH
O O
HO OH
O O
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.Struktur kimia (a) kurkumin, (b) demetoksikurkumin, dan (c) bis-
demetoksikurkumin (Gambar diadopsi dari Hwang, 2006).
Kurkumin merupakan senyawa yang berperan sebagai antioksidan
untuk mengurangi dampak negatif radikal bebas (Sugiharto, 2007). Kurkumin dapat
berperan sebagai antioksidan karena mengandung gugus -OH fenolik. Priyadarsini
dkk. (2003) menyatakan bahwa gugus -OH dari senyawa fenolik sangat potensial
beraktivitas sebagai antioksidan. Efek farmakologis lainnya adalah sebagai antitumor,
antiinflamasi, dan hepatoprotektif (Hwang, 2006).
9
Beberapa peneliti telah melaporkan analisis kuantitatif kurkuminoid dengan
berbagai metode analisis. Salah satu metode penentuan kurkuminoid atau produk
berbasis kurkumin adalah dengan spektrofotometri UV-Vis (Jayaprakasha dkk., 2005;
Pothitirat dan Gritsanapan, 2006). Meskipun demikian, kehadiran senyawa lain dalam
ekstrak temulawak yang dapat menyerap pada panjang gelombang yang sama dengan
panjang gelombang kurkuminoid akan mempengaruhi akurasi hasil (Jayaprakhasa
dkk., 2005). Prosedur analisis sederhana menggunakan Flow Injection Analysis (FIA)
juga dilakukan untuk pengukuran kurkumin (Thongcai dkk., 2009; Inoue dkk., 2001).
Metode berbasis kromatografi adalah teknik analisis yang umum untuk
analisis kuantitatif dan kualitatif kurkuminoid seperti kromatografi lapis tipis
(Anderson dkk., 2000; Forgacs dan Cserhati, 2002; Zhang dkk., 2008), KCKT (Sun
dkk., 2005; Ruslay dkk.,2007; Jiang dkk., 2006; Jadhav dkk., 2007; Bos dkk., 2007;
Lee dkk., 2011), dan kromatografi gas (Almeida dkk., 2005; Zhang dkk., 2008;
Anderson dkk., 2000). Rendahnya volatilitas dan sifatnya yang labil pada pemanasan,
menjadikan kurkuminoid kurang populer ditetapkan menggunakan kromatografi gas.
Elektoforesis kapiler adalah alat pemisahan yang kuat, yang berkembang pesat dan
banyak diterapkan untuk analisis produk farmasi, dan komponen bioaktif tumbuhan.
Beberapa faktor, yaitu persiapan sampel, kapasitas pemisahan, dan tingkat deteksi
harus diperhitungkan ketika elektroforesis digunakan untuk analisis kurkuminoid (Li
dkk., 2006). Analisis kurkuminoid dalam makanan dan produk farmasi sangat
10
penting, karena itu diperlukan metode yang cepat, handal, murah dan tidak merusak
sampel seperti spektrofotometri inframerah.
3. Ekstraksi
Ekstraksi atau penyarian adalah peristiwa pemindahan zat aktif yang semula
di dalam sel akan ditarik oleh cairan penyari, sehingga zat aktif berada di dalam
cairan penyari. Penyarian ini menghasilkan suatu ekstrak. Ekstrak adalah sediaan
pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau
simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan (Departemen Kesehatan RI, 1995). Metode penyarian yang
digunakan tergantung wujud dan kandungan zat dalam bahan yang akan disari.
Proses ekstraksi dipengaruhi oleh derajat kehalusan serbuk dan perbedaan
konsentrasi, mulai dari pusat butir serbuk simplisia sampai ke permukaannya.
Semakin besar perbedaan konsentrasi, semakin besar daya dorong tersebut sehingga
mempercepat penyarian. Cairan penyari harus dapat mencapai seluruh serbuk dan
secara terus-menerus mendesak ke luar larutan yang memiliki konsentrasi yang lebih
tinggi (Departemen Kesehatan RI, 1986).
Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstraksi. Suatu
senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah murah dan mudah
diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, dan tidak mudah terbakar,
11
selektif yaitu hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki, tidak mempengaruhi
zat berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan yang berlaku (Departemen
Kesehatan RI, 1986). Ada beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan yaitu
maserasi, perkolasi, dan soxhletasi.
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan. Teknik
ini dilakukan untuk mengekstrak jaringan tanaman yang belum diketahui kandungan
senyawanya yang mungkin bersifat tidak tahan panas (Harbone, 1987). Remaserasi
berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan
maserat pertama, dan seterusnya.
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif,
dan zat aktif akan larut. Karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif
di dalam dan di luar sel, maka larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak
keluar. Peristiwa tersebut berulang hingga terjadi keseimbangan konsentrasi di dalam
dan di luar sel (Departemen Kesehatan RI, 1986).
Pada penyarian dengan cara maserasi dilakukan pengadukan yang bertujuan
untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia. Selain itu, dengan
pengadukan akan terjaga perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan
di dalam sel dengan larutan di luar sel. Hasil penyarian dengan cara maserasi perlu
12
dibiarkan dalam selang waktu tertentu. Waktu tersebut diperlukan untuk
mengendapkan zat-zat yang tidak diperlukan tetapi ikut terlarut dalam cairan penyari
(Departemen Kesehatan RI,2000).
Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan
peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Sementara kerugiannya
adalah pengerjaan lama dan penyariannya kurang sempurna (Departemen Kesehatan
RI, 2000).
Proses ekstraksi dengan metode maserasi dikombinasikan dengan alat
vaccum rotary evaporator yang bertujuan untuk mendapat hasil pemisahan yang
maksimal. Vaccum rotary evaporator merupakan alat yang dirancang untuk
memindahkan pelarut yang mudah menguap dalam jumlah yang besar dari larutan
pada penurunan tekanan, meninggalkan komponen yang tidak mudah menguap.
Perbedaan utama pekerjaan ini dengan kerja distilasi adalah dilakukannya pemutaran
labu distilasi selama pemindahan pelarut. Pemutaran memiliki fungsi penting yakni
dapat menghindari resiko bumping dan meningkatkan kecepatan pemindahan pelarut
(Firdaus, 2011).
4. Spektrofotometer Fourier Transform Infrared (FTIR)
Radiasi inframerah (Infrared, IR) tidak memiliki cukup energi untuk
menyebabkan transisi elektronik. Bila radiasi IR dilewatkan melalui suatu cuplikan,
maka molekul akan menyerap energi sehingga terjadi vibrasi (Hendayana dkk.,
13
1994). Panjang gelombang serapan oleh suatu ikatan bergantung pada jenis getaran
ikatan antar atom. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan akan menyerap radiasi
IR pada panjang gelombang yang berbeda (Fessenden dan Fessenden, 1986).
Spektrum inframerah kurkumin terdiri dari gugus fungsional alkena,
karbonil, alkana, benzena dan hidroksi. Kesamaan serapan alkena terhadap serapan
aromatik menyebabkan sukar untuk mendeteksi gugus alkena dalam molekul
aromatik. Puncak sedang hingga kuat di daerah 1650-1450 cm-1
sering
diinterpretasikan sebagai cincin aromatik. Kenampakan yang paling umum dari
serapan C-H ulur (alkana) adalah munculnya dua pita kuat di sebelah kanan 3000
cm-1
dan C-H tekuk di sekitar 1390 cm-1
. Gugus karbonil (C=O) memberi puncak
kuat di daerah 1820-1600 cm-1
(Sastrohamidjojo, 2007).
Molekul-molekul hanya akan menyerap sinar inframerah pada frekuensi
tertentu jika di dalam molekul ada transisi tenaga sebesar ΔΕ=hυ. Transisi yang
terjadi di dalam molekul berkaitan dengan perubahan-perubahan vibrasi di dalam
molekul. Sebagai contoh, pita kuat di daerah 1700 cm-1
mempunyai frekuensi yang
sama dengan ikatan C=O yang mengalami vibrasi ulur. Ikatan-ikatan yang berbeda
(C-C, C=C, C≡C, C-O, C=O, O-H, N-H dsb.) mempunyai frekuensi vibrasi yang
berbeda dan kita dapat mendeteksi adanya ikatan-ikatan tersebut dalam molekul
organik dengan mengidentifikasi frekuensi-frekuensi karakteristiknya sebagai pita
serapan dalam spektrum inframerah (Sastrohamidjojo, 2007).
14
Kedudukan pita serapan dapat dinyatakan dalam satuan frekuensi υ (det-1
atau Hz), atau panjang gelombang λ (mikrometer μm) atau bilangan gelombang
(cm-1
). Sebagian besar kimiawan menggunakan bilangan gelombang (cm-1
), dan
sedikit menggunakan panjang gelombang (μm) (Sastrohamidjojo, 2007). Penggunaan
spektroskopi inframerah pada bidang kimia organik menggunakan daerah dari 650 –
4000 cm-1
. Daerah inframerah dibagi menjadi tiga sub daerah, yaitu inframerah dekat
(14000-4000 cm-1
), inframerah sedang (4000-400 cm-1
), dan inframerah jauh (400 -
40 cm-1
) (Griffiths dan Chalmers, 1999). Umumnya analisis senyawa dilakukan pada
daerah IR sedang (Tanaka dkk., 2008). Masing-masing daerah tersebut lebih jauh dan
lebih dekat dengan spektrum tampak. Inframerah jauh, mengandung sedikit serapan
yang bermanfaat bagi kimiawan organik.
Terdapat dua macam vibrasi, yaitu vibrasi ulur dan tekuk. Vibrasi ulur
merupakan suatu gerakan berirama di sepanjang sumbu ikatan sehingga jarak antar
atom akan bertambah atau berkurang. Vibrasi tekuk dapat terjadi karena perubahan
sudut-sudut ikatan antara ikatan-ikatan pada sebuah molekul (Silverstein dan Bassler,
1998). Vibrasi dua atom yang dihubungkan secara ikatan kimia dapat disamakan
dengan vibrasi dua bola yang dihubungkan dengan pegas. Dengan menggunakan
analogi ini, kita dapat menerangkan sejumlah gambar dari spektra inframerah.
Sebagai contoh untuk merentangkan pegas kita membutuhkan tenaga yang lebih
besar daripada untuk menekuknya, dan serapan rentangan/ulur dari suatu ikatan
15
muncul pada frekuensi yang lebih tinggi dalam spektrum inframerah daripada serapan
tekuk dari ikatan yang sama (Sastrohamidjojo, 2007).
Secara umum, vibrasi uluran asimetrik terjadi pada bilangan gelombang
yang lebih tinggi dibanding vibrasi uluran simetrik; demikian juga, vibrasi uluran
juga terjadi pada bilangan gelombang yang lebih tinggi dibanding vibrasi tekukan.
Vibrasi tekuk sendiri terdiri dari 4 macam yakni guntingan, ayunan, kibasan dan
pelintiran. Istilah tersebut digunakan dalam pustaka untuk merujuk bilangan
gelombang yang merupakan asal pita inframerah (Pavia dkk., 2009). Gambar 3
menunjukkan bahwa gugus metilen tunggal memberikan sejumlah ragam vibrasi, dan
setiap atom yang dihubungkan dengan dua atom lain akan mengalami vibrasi, ketika
terjadi perbedaan momen dipol.
16
Vibrasi uluran (stretching)
Uluran simetris (v = 2853 cm-1) Uluran asimetris (v = 2923 cm-1)
C
H
HC
H
H
Vibrasi tekukan (bending)
Vibrasi guntingan
(v = 1450 cm-1)
Vibrasi kibasan (v = 1250 cm-1)
Vibrasi goyangan (v = 720 cm-1);
Dalam bidang (in-plane)
Vibrasi pelintiran (v = 1250 cm-1);
Keluar bidang (out of plane)
C
H
H
C
H
H
C
H
C
H
H
Gambar 3. Berbagai jenis vibrasi untuk gugus metilen (Gambar diadopsi dari Pavia dkk., 2009).
Bagian pokok spektrofotometer inframerah adalah sumber cahaya
inframerah, monokromator dan detektor. Cahaya dari sumber dilewatkan melalui
sampel, dipecah menjadi frekuensi-frekuensi individunya dalam monokromator, dan
intensitas relatif dari frekuensi individu diukur oleh detektor (Sastrohamidjojo, 2007).
17
Spektra inframerah mempunyai karakteristik yang unik untuk setiap
molekul, maka dalam spektrum IR diperoleh pita-pita serapan yang karakteristik juga.
Bentuk pita ini dikenal sebagai “finger print” dari suatu molekul. Daerah yang
mengandung sejumlah besar vibrasi tertentu yang tak pernah ditelaah yang berkisar di
frekuensi 1400 - 900 cm-1
sering disebut daerah finger print (Sastrohamidjojo, 2007).
Spektroskopi FTIR dapat digunakan untuk analisis kualitatif maupun
kuantitatif.
a) Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif dengan spektroskopi FTIR secara umum digunakan untuk
identifikasi gugus-gugus fungsional yang terdapat dalam suatu senyawa yang
dianalisis (Silverstein dan Bassler, 1998).
b) Analisis Kuantitatif
Analisis kuantitatif dengan spektroskopi FTIR secara umum digunakan
untuk menentukan konsentrasi analit dalam sampel. Dalam penentuan analisis
kuantitatif dengan Inframerah digunakan hukum Lambert Beer’s. Hukum Lambert
Beer’s dinyatakan sebagai berikut:
A= ε b c
Yang mana A merupakan absorbansi, ε untuk absorptivitas, b untuk tebal
tempat sampel dan c untuk konsentrasi sampel. Jika c dinyatakan dalam mol/liter atau
Molar (M) maka ε dinyatakan sebagai absortivitas molar. Bila absorbansi A
dihubungkan terhadap konsentrasi c untuk sampel yang tebalnya b dalam cm, maka
18
akan dihasilkan suatu garis lurus (linier) dengan lereng AB dalam daerah yang mana
hukum Lambert Beer’s berlaku (Pescok dkk., 1976; Skoog & West, 1971). Oleh
karena itu, hanya spektra berbentuk absorbansi yang dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif. Kurvanya bisa dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Kurva hubungan absorbansi terhadap konsentrasi (Gambar diadopsi dari Pecsok dkk., 1976).
Aplikasi spektofotometer FTIR untuk analisis inframerah kuantitatif secara
konvensional telah dilakukan sejak tahun 1966 oleh Hans venning. Peneliti ini
melakukan kuantifikasi meta- dan para-xilena secara kuantitatif dengan spektroskopi
inframerah menggunakan orto-xilena sebagai standar internal dan sikloheksana
sebagai pelarut. Stuart (2004) juga menganalisis aspirin yang dilarutkan dalan
kloroform. Spektroskopi inframerah dalam analisis kuantitatif mempunyai
keterbatasan yang tidak dapat diabaikan yaitu tidak adanya hubungan antara hukum
19
Lambert Beer’s dengan kompleksitas spektrum sehingga tumpang-tindihnya puncak-
puncak tidak dapat diukur (Pescok dkk., 1976).
Saat ini, analisis kuantitatif dengan metode spektroskopi FTIR yang
dikombinasikan dengan kemometrika metode kalibrasi multivariat sudah banyak
dikembangkan karena penggunaannya yang lebih efisien dan cepat. Aplikasi untuk
menganalisis kuantitatif kurkumin dalam ekstrak metanolik kunyit telah dilakukan
oleh Tanaka dkk. (2008) dengan menggunakan spektroskopi Near-infrared (NIR)
yang dikombinasikan dengan kalibrasi multivariat (Partial Least Square, PLS).
Selain itu, spektroskopi FTIR dihubungkan dengan kalibrasi multivariat telah
digunakan untuk mendeteksi adanya minyak sawit dalam VCO (Rohman dan Che
Man, 2011), untuk mendeteksi adanya lemak babi dalam berbagai minyak nabati
(Rohman dkk., 2011b) dan untuk mendeteksi minyak dedak padi dalam minyak zaitun
( Rohman dan Che Man, 2012).
Dua variasi instrumental dari spektrameter inframerah adalah metode
dispersif dan metode Fourier Transform. Berbeda dari spektrometer dispersif,
spektrofotometer FTIR tidak mengukur panjang gelombang satu demi satu,
melainkan dapat mengukur intensitas pada berbagai panjang gelombang secara
serempak (Skoog dan West, 1971). Pada spektrofotomete FTIR digunakan suatu
interferometer sebagai pengganti monokromator. Interferometer ini akan memberikan
sinyal ke detektor sesuai dengan intensitas frekuensi vibrasi molekul yang berupa
interferogram (Bassler, 1996). Interferogram merupakan plot dari intensitas versus
20
waktu. Plot ini diganti dengan plot intensitas versus bilangan gelombang. Suau
operasi matematika yang disebut Fourier Transform dapat digunakan untuk
memisahkan suatu frekuensi absorbsi dari interferogram sehingga membentuk pita
yang dapat diartikan seperti pita hasil spektrofotometer IR (Stuart, 2004).
Sistem optik spektrofotometer FTIR seperti dalam Gambar 4, yang
dilengkapi dengan cermin yang bergerak tegak lurus dan cermin yang diam. Radiasi
inframerah akan menimbulkan perbedaan jarak yang ditempuh menuju cermin yang
bergerak dan jarak menuju cermin yang diam. Perbedaan jarak tempuh radiasi disebut
sebagai retardasi (δ). Hubungan antara intensitas radiasi IR yang diterima detektor
terhadap retardasi disebut sebagai interferogram, sedangkan sistem optik dari
spektrofotometer IR yang didasarkan atas bekerjanya interferometer disebut sebagai
sistem optik Fourier Transform InfraRed (Pavia dkk., 2001).
Gambar 5. Komponen spektrofotometer FTIR secara skematik (Gambar diadopsi dari Pavia dkk.,
2009).
21
Salah satu teknik penanganan sampel yang umum dilakukan pada
spektroskopi FTIR adalah dengan teknik Attenuated Total Reflection (ATR). Teknik
ATR hanya membutuhkan sedikit preparasi sampel atau bahkan tidak ada preparasi
sama sekali. ATR menggunakan aksesoris dalam kompartemen sampel
spektrofotometer FTIR. Cermin pada aksesoris membawa sinar IR pada suatu fokus
di permukaan kristal. Jika kristal mempunyai indeks bias yang sesuai dan sinar
mempunyai sudut datang yang sesuai, maka akan terjadi pemantulan internal total.
Energi IR akan memantul pada permukaan kristal (Stuart, 2004).
5. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan komponen-
komponen campuran dalam keadaan kesetimbangan diantara dua fase, yaitu fase
diam yang dapat menahan sampel dan fase gerak yang dapat membawa sampel.
Kromatografi berdasarkan fase geraknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kromatografi gas dan kromatografi cair (Day dan Underwood, 2002). Fase diam
berguna untuk menjerap komponen zat, sedangkan fase bergerak berguna untuk
mengangkut komponen zat lain yang tidak terikat. Oleh karena adanya sistem
pengangkutan dan sistem pengikatan ini, maka suatu komponen zat dapat dipisahkan
dari komponen lainnya. Metode berbasis kromatografi adalah teknik analisis dalam
analisis kimia yang telah sesuai untuk penentuan secara kualitatif dan kuantitatif
sejumlah besar sampel (Gritter dkk., 1991).
22
Menurut Harborne (1987), terdapat empat macam teknik kromatografi, yaitu
kromatografi kertas (KKt), kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi gas cair, dan
kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Metode pemisahan dan pemurnian
kandungan tumbuhan terutama dilakukan dengan menggunakan salah satu dari empat
teknik atau gabungan teknik tersebut.
KLT dan KKt serupa dalam hal fase diamnya yang berupa lapisan tipis dan
fase geraknya mengalir karena kerja kapiler. Perbedaan keduanya dalam sifat dan
fungsi fase diam (Gritter dkk., 1991). KKt dapat digunakan terutama bagi kandungan
tumbuhan yang mudah larut dalam air (karbohidrat, asam amino, dan senyawa
fenolat). KLT dapat digunakan untuk tujuan preparatif dan kuantitatif (Rasmussen
dkk., 2000). KCKT adalah metode pilihan untuk analisis kurkuminoid dikaitkan
dengan presisi dan akurasi yang tinggi dan mempunyai batas deteksi yang rendah.
KCKT merupakan salah satu contoh kromatografi cair yang menggunakan
zat cair sebagai fase gerak. Selain untuk pemisahan, metode ini juga dapat digunakan
untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Instrumen dasar KCKT terdiri dari pompa,
sistem pemasukan sampel, kolom, detektor, dan rekorder atau pencatat (Hendayana
dkk., 1994).
KCKT merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang
tinggi. Hal ini karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa
tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam. KCKT mampu
23
menganalisis berbagai sampel secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam
komponen tunggal maupun campuran (Direktorat Jenderal POM, 1995).
KCKT dapat disamakan dengan Kromatografi Gas Cair dalam hal kepekaan
dan kemampuan menghasilkan data kualitatif dan kuantitatif dengan sekali kerja saja.
Perbedaannya adalah fase diam dalam KCKT terikat pada polimer berpori yang
terdapat pada kolom baja tahan karat yang bergaris tengah kecil dan fase gerak cair
mengalir akibat tekanan yang besar (Harbone, 1987). Fase gerak atau eluen biasanya
terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan
dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas
keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel
(Johnson dan Stevenson, 1991).
Komponen yang terelusi mengalir ke detektor dan dicatat sebagai puncak-
puncak yang secara keseluruhan disebut sebagai kromatogram. Kromatogram dapat
digunakan untuk tujuan kualitatif dan kuantitatif. Disamping itu, kromatogram dapat
digunakan untuk mengevaluasi efisiensi pemisahan dan kinerja kolom.Pelarut yang
akan digunakan harus dihilangkan gelembung udaranya (degassing), karena udara
yang terlarut akan keluar melewati detektor yang dapat menghasilkan banyak noise
sehingga data tidak dapat digunakan (Putra, 2007).
KCKT adalah metode yang paling banyak digunakan untuk analisis
kurkuminoid karena fleksibilitas dan kemudahan dalam penggunaanya. Aplikasi
KCKT untuk penetapan kurkuminoid oleh He dkk. (1998) menunjukkan bahwa
24
kurkuminoid danseskuiterpenoid dalam kunyit dapat dianalisis dengan KCKT
spektrometri massa. Jiang dkk. (2006) menyatakan bahwa metode KCKT dengan
Photodiode Array Detector (PAD) dapat digunakan untuk identifikasi secara
langsung kurkuminoid dalam serbuk kunyit. Bos dkk. (2007) melaporkan
penggunaan metode KCKT-PAD untuk analisis kurkuminoid dalam berbagai spesies
asli Curcuma dan digunakan untuk pengobatan di Indonesia, dengan menggunakan
campuran fase gerak metanol, asam trifluoroasetat, dan asetonitril.
KCKT digabungkan dengan detektor UV-Vis adalah metode analisis
kurkuminoid dalam sampel kunyit yang paling umum digunakan. Tonnesen dan
Karlsen (1983), pertama melaporkan metode ini untuk analisis kurkumin dan
komponen lain dalam kunyit, serta Smith dan Withowska (1984) membandingkan
detektor UV dan detektor elektrokimia yang digabung dengan KCKT untuk analisis
kurkumin dalam serbuk kunyit. Rouseff (1988) meningkatkan pemisahan
kurkuminoid pada kolom oktadesilsilana (C18) dengan menggunakan teknik gradien
(air dan tetrahidrofuran) selama 22 menit. Jayaprakasha dkk. (2002) melaporkan
pengembangan metode KCKT-UV untuk analisis kurkuminoid dengan teknik elusi
gradien pada campuran fase gerak metanol, asam asetat, dan asetonitril selama 20
menit. Meskipun demikian, teknik KCKT ini memerlukan biaya yang mahal karena
menggunakan banyak bahan kimia dan alat yang canggih.
25
6. Kemometrika
Istilah kemometrika pertama kali diperkenalkan oleh ilmuwan
berkebangsaan Swedia yaitu Swante Wold dan ilmuwan berkebangsaan Amerika
Serikat yaitu Bruce R. Kowalski. Definisi kemometrika adalah cabang ilmu kimia
yang memanfaatkan metode-metode matematika dan statistika. Kemometrika
digunakan untuk merancang atau memilih prosedur pengujian dan pengukuran yang
optimal. Selain itu, kemometrika digunakan untuk menarik informasi kimia
sebanyak-banyaknya dengan menganalisis suatu data (Otto, 2007).
Menurut Miller dan Miller (2010), kemometrika merupakan cabang ilmu
pengetahuan yang mengaplikasikan ilmu statistika dan matematika untuk mengolah
data kimia. Keuntungan kemometrika yang dikombinasikan spektroskopi FTIR
adalah penggunaannya yang cepat dan efisien karena menggunakan komputer
modern dan teknik statistik yang valid (Lee, 2006). Selain itu, dimungkinkan adanya
pengukuran data multivariat, yang mana beberapa variabel (absorbansi dalam banyak
bilangan gelombang) diukur untuk suatu sampel yang dituju (Miller dan Miller,
2010).
Kemometrika banyak berhubungan dengan pengukuran data multivariat
(Adams, 2004). Banyak contoh penggunaan pengukuran data multivariat dalam kimia
analisis. Pertama untuk analisis korelasi, seperti penentuan adanya keterkaitan antara
spektrum FTIR ekstrak dan aktivitasnya. Kedua untuk mengelompokkan data,
contohnya mengelompokkan tanaman dari berbagai daerah yang memilki aktivitas
26
sama dengan cara membandingkan data serapan inframerah pada daerah sidik jari
(Darusman dkk., 2007). Keuntungan pengukuran data multivariat adalah dapat
mengurangi noise akibat mempertimbangkan banyak variabel secara bersamaan.
Selain itu, dengan pengukuran data multivariat dapat dideteksi adanya sampel palsu.
Hal ini dapat dilakukan karena bentuk profil yang diukur mencerminkan profil yang
sebenarnya. Jika sampel merupakan komponen yang berbeda, maka akan tampak bila
sampelpalsu (Bro, 2003).
Ada 3 jenis kemometrika yaitu 1) Kemometrika yang terkait dengan teknik
pemrosesan spektra; 2) Kemometrika untuk pengelompokkan; dan 3) Kemometrika
dengan metode kalibrasi multivariat (Moros dkk., 2010). Metode kalibrasi multivariat
yang sering digunakan dalam mengolah data kimia yaitu regresi komponen utama
(Principle Component Regression/PCR) dan regresi kuadrat terkecil sebagian (Partial
Least Square/PLS) yang digunakan untuk menghubungkan antara spektrum FTIR
dengan sifat sampel yang dapat dikuantifikasi, misalnya konsentrasi analit.
Konsentrasi analit berada pada variabel respon, dan absorbansi pada bilangan
gelombang yang berbeda berada pada variabel prediksi (Miller dan Miller, 2010).
a) Principle Component Regression (PCR)
Principle Component Regression atau yang biasa disebut PCR merupakan
salah satu metode yang digunakan untuk mengatasi masalah multivariat kolinieritas
yang sering muncul dalam analisis multivariat (Myers, 1990). PCR berfungsi sebagai
teknik pengurangan jumlah data multivariat ketika muncul korelasi antar
27
data/variabel. Teknik kalibrasi multivariat ini diawali dengan PCA kemudian
dilanjutkan dengan regresi antara komponen utama yang baru dengan respon (Nawa,
2012). Ketika variabel prediksi tidak saling berhubungan, maka teknik ini tidak
berguna. Variabel yang dikurangi dalam hal ini adalah variabel prediksi dengan
menggunakan komponen utama (principle component, PC) yang berasal dari metode
pengelompokkan Principal component analysis (PCA) dibandingkan dengan variabel
aslinya. Keuntungan dari jenis regresi ini adalah berkurangnya jumlah variabel
prediktor yang digunakan untuk kalibrasi daripada jumlah variabel asalnya (Miller
dan Miller, 2010). Namun, PCR hanya mempertimbangkan korelasi variabel prediksi
dengan komponen utama (PC) tanpa memperhatikan kekuatan hubungan dengan
variabel respon.
b) Partial Least Square (PLS)
Partial least square, atau yang biasa disebut PLS pertama kali
dikembangkan oleh H. Wold di bidang ekonometri pada akhir tahun 1960
(Gemperline, 2006). PLS digunakan untuk memperkirakan serangkaian variabel tidak
bebas (respon) dari variabel bebas (prediktor yang jumlahnya sangat banyak,
memiliki struktur sistematik linier atau nonlinier, dengan atau tanpa data yang hilang,
dan memiliki kolinieritas yang tinggi (Herve, 2003). Pada metode kemometrika PLS,
variabel yang dipilih merupakan variabel yang memiliki korelasi yang baik dengan
respon, sehingga variabel tersebut akan memberikan prediksi yang lebih efektif
(Adams, 1995).
28
Regresi PLS dihitung dengan alogaritma kuadrat terkecil yang
menghubungkan antara dua matriks, data spektra pada matriks X dan nilai referen
pada matriks Y. PLS sering digunakan dalam spektroskopi FTIR untuk mengekstrak
informasi dari spektra yang kompleks yang mengandung puncak-puncak yang
tumpang tindih, serta adanya noise dari instrumen yang digunakan untuk
mengumpulkan data (Syahariza dkk., 2005).
PLS menggunakan kombinasi linier dari variabel prediksi terhadap variabel
sebenarnya. Variabel yang menunjukkan korelasi tinggi dengan variabel respon
diberikan bobot tambahan karena lebih efektif untuk prediksi. Dengan cara ini,
kombinasi linier dari variabel prediksi dipilih dari yang memiliki korelasi tinggi
dengan variabel respon dan juga menjelaskan variasi dalam variabel prediksi (Miller
dan Miller, 2010). Model regresi ini memberikan kelebihan berupa pembentukan
komponen model PLS yang dapat menggambarkan korelasi antara spektra FTIR dan
konsentrasi analit, meskipun jika diamati visual tidak terlihat adanya perbedaan nyata
pada spektra (Yang dkk., 2006). Setiap komponen pada regresi PLS diperoleh dengan
memaksimalkan korelasi variasi antara variabel y dengan setiap fungsi linier yang
memungkinkan dari variabel x (Romia dan Bernardez, 2009).
Dalam penelitian ini diperlukan metode untuk menguji validitas model
analisis dengan menggunakan data uji di luar data yang digunakan dalam
pembentukan analisis. Metode ini disebut “Validasi Silang” yang digunakan untuk
menentukan seberapa kuat model prediksi yang dibuat untuk dapat
29
diimplementasikan (Nawa, 2012). Ada 3 macam teknik validasi silang yaitu Leave
One Out, K-Fold Cross Validation dan 2-Fold Cross Validation. Teknik yang dipakai
dalam penelitian ini adalah Leave One Out, yaitu dengan cara nilaisampel pertama
dikeluarkan dari serangkaian data dan nilai sampel sisanya digunakan untuk membuat
persamaan terprediksi, lalu sampel yang pertama diujikan pada persamaan terprediksi
yang baru dan diperoleh nilai terprediksi untuk sampel pertama. Nilai terprediksi
diperoleh untuk seluruh nilai sampel yang ada, kemudian didapat selisih dari nilai
sampel sebenarnya dengan nilai terprediksi untuk tiap sampel. Total kuadrat selisih
nilai-nilai ini disebut dengan Predicted Residual Error Sum of Squares (PRESS)
(Miller dan Miller, 2010).
F. Landasan Teori
Salah satu komoditas bahan alam andalan Indonesia, yakni temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.), merupakan bahan yang sangat strategis untuk
dikembangkan mengingat banyaknya manfaat yang ditunjukkan oleh bahan aktif
kurkuminoid yang terkandung di dalamnya. Kurkumin merupakan senyawa
komponen kurkuminoid dengan persentase paling besar.
Metode kuantifikasi kurkumin dalam ekstrak etanolik temulawak yang cepat
dan efisien mutlak diperlukan. Salah satu metode kuantifikasi cepat dan efisien yang
ditawarkan adalah metode spektroskopi Fourier Transform Infrared (FTIR) yang
dikombinasikan dengan kalibrasi multivariat. Metode spektroskopi FTIR telah
30
terbukti menjadi alat yang ampuh untuk analisis kualitatif dan kuantitatif konstituen
dalammakanan, tanaman dan produk farmasi (Roggo dkk., 2007; Burns dkk., 2001).
Metode kalibrasi multivariat dengan teknik Partial Least Square (PLS) dalam
penelitian ini dapat digunakan untuk menghasilkan korelasi yang baik antara data
spektrum FTIR dan informasi yang telah diketahui dari sampel, yang dalam hal ini
berupa konsentrasi kurkumin. Konsentrasi kurkumin dari setiap sampel diukur
dengan menggunakan metode acuan yang diakui, yaitu metode Kromatografi Cair
Kinerja Tinggi (KCKT).
Tanaka dkk. (2008) membuktikan bahwa kemometrika PLS dapat digunakan
untuk menganalisis kuantitatif kurkumin dalam ekstrak metanolik kunyit dengan
menggunakan spektroskopi Near-infrared (NIR). Dengan metode yang sama,
diharapkan kemometrika PLS juga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif
kuantitatif kurkumin dalam ekstrak etanolik temulawak.
Pola spektrum FTIR (terutama pada daerah sidik jari) merupakan pola yang
kompleks, penafsirannya memerlukan bantuan metode kemometrik. Optimasi
spektroskopi FTIR dengan digabungkan dengan metode kemometrika tertentu seperti
kalibrasi multivariat (Partial Least Square, PLS) dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif kurkumin dalam ekstrak etanolik temulawak.
G. Hipotesis
Berdasarkan landasan teori yang telah diuraikan, maka dapat disusun suatu
31
hipotesis sebagai berikut:
1. Kandungan kurkumin dalamekstrak etanolik temulawak dapat dianalisis
menggunakan metode spektrofotometri FTIR yang dikombinasikan dengan
kalibrasi multivariat.
2. Kandungan kurkumin dalam ekstrak etanolik temulawak yang dianalisis dengan
metode KCKT dan spektrofotometri inframerah akan menghasilkan korelasi yang
baik dengan bantuan model kalibrasi multivariat (Partial Least Square, PLS).