BAB I PENDAHULUAN -...

44
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Praktik suap menjadi salah satu fenomena dalam dunia pers Indonesia. 1 Praktik suap atau yang sering dikenal sebagai fenomena wartawan amplop merujuk pada realita di lapangan ketika jurnalis menerima pemberian bisa berupa uang, barang, fasilitas akomodasi, tiket perjalanan, traktiran makanan, dan lainnya dari pihak nara sumbernya. 2 Cara pemberiannya pun berbeda beragam ada yang berupa amplop, rekening, undian berhadiah, dan sebagainya. Tak sekedar fenomena musiman, “amplop” ini telah menjadi budaya dalam dunia pers Indonesia. Dalam dunia pers Indonesia dikenal dua jenis wartawan amplop menurut modus operandinya. 3 Ada wartawan yang aktif berburu amplop dan ada wartawan pasif yang menerima amplop. Ketika di lapangan, wartawan aktif yang menerima 1 Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi, merupakan penjabaran dari Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 yang berbunyi “ Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.” Dalam pers Barat, pemberian dari pihak lain disebut dengan freebies. Freebies berupa tiket nonton gratis, tiket perjalan gratis, atau tiket pertunjukan yang diberikan gratis. 2 Fenomena wartawan amplop sebagai salah satu potret jurnalis Indonesia tercantum dalam Survey AJI Indonesia tahun 2005 di 17 Kota yang tercantum dalam buku “Potret Jurnalis Indonesia, Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota ” ,hal 63. 3 Menurut Masduki dalam buku Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik( 2004 :84), wartawan amplop menurut modus operandinya yakni pertama adalah wartawan yang aktif berburu amplop dengan mendatangi panitia secara individu hingga membuat perkumpulan khusus wartawan amplop untuk memeras nara sumber. Kedua adalah wartawan pasif yang menerima amplop jika diberi tetapi tidak mencari acara yang ber-amplop jika tidak diundang.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN -...

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Praktik suap menjadi salah satu fenomena dalam dunia pers Indonesia.1

Praktik suap atau yang sering dikenal sebagai fenomena wartawan amplop

merujuk pada realita di lapangan ketika jurnalis menerima pemberian bisa berupa

uang, barang, fasilitas akomodasi, tiket perjalanan, traktiran makanan, dan lainnya

dari pihak nara sumbernya.2 Cara pemberiannya pun berbeda beragam ada yang

berupa amplop, rekening, undian berhadiah, dan sebagainya. Tak sekedar

fenomena musiman, “amplop” ini telah menjadi budaya dalam dunia pers

Indonesia.

Dalam dunia pers Indonesia dikenal dua jenis wartawan amplop menurut

modus operandinya.3 Ada wartawan yang aktif berburu amplop dan ada wartawan

pasif yang menerima amplop. Ketika di lapangan, wartawan aktif yang menerima

1 Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain

yang mempengaruhi independensi, merupakan penjabaran dari Kode Etik Jurnalistik Pasal 6 yang

berbunyi “ Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”

Dalam pers Barat, pemberian dari pihak lain disebut dengan freebies. Freebies berupa tiket nonton

gratis, tiket perjalan gratis, atau tiket pertunjukan yang diberikan gratis. 2 Fenomena wartawan amplop sebagai salah satu potret jurnalis Indonesia tercantum

dalam Survey AJI Indonesia tahun 2005 di 17 Kota yang tercantum dalam buku “Potret Jurnalis

Indonesia, Survey AJI Tahun 2005 tentang Media dan Jurnalis Indonesia di 17 Kota” ,hal 63. 3 Menurut Masduki dalam buku Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik( 2004 :84),

wartawan amplop menurut modus operandinya yakni pertama adalah wartawan yang aktif

berburu amplop dengan mendatangi panitia secara individu hingga membuat perkumpulan khusus

wartawan amplop untuk memeras nara sumber. Kedua adalah wartawan pasif yang menerima

amplop jika diberi tetapi tidak mencari acara yang ber-amplop jika tidak diundang.

2

amplop biasanya berada di sebuah institusi tertentu dan menunggu nara sumber

mereka memberi uang. Mereka pun tak segan datang ke acara-acara yang

memiliki lahan basah hanya untuk mendapatkan amplop. Padahal, peristiwa yang

mereka liput belum tentu dimuat dalam media mereka.

Sementara itu, wartawan pasif lebih pada wartawan yang menerima

amplop di suatu acara namun mereka tidak mencari-cari seperti wartawan aktif.

Persamaan keduanya adalah bahwa mereka belum tentu memuat berita yang

mereka liput dalam media mereka.

Kategori wartawan aktif dan pasif amplop melekat pada wartawan yang

memiliki perusahaan media yang jelas serta wartawan yang tidak memiliki

perusahaan media yang jelas. Biasanya wartawan yang tidak memiliki perusahaan

media jelas akrab disebut dengan wartawan bodrek atau WTS atau wartawan

Tanpa Suratkabar. Disebut wartawan bodrek karena wartawan ini hanya sekedar

melakukan proses wawancara kesana kemari tetapi tidak pernah ada beritanya.

Dengan kata lain, wartawan tersebut tidak memiliki surat kabar dan hanya

bermodalkan kartu pers palsu.

Praktik suap kian membuat jurnalis ketagihan. Tak segan-segan pula

jurnalis menggunakan senjata profesinya untuk mendapatkan amplop dari nara

sumber. Dengan ancaman akan memberitakan berita yang buruk, jurnalis dengan

mudah meminta amplop dari nara sumbernya. Beruntungnya mereka, nara sumber

yang notabenya kurang paham tentang profesi jurnalistik, dengan mudahnya

memberi mereka uang.

3

Berdasarkan observasi mula peneliti yang juga menjadi bagian dalam

dunia kewartawanan, praktik suap di kalangan jurnalis seolah-olah dilegalkan

oleh pelaku media bahkan institusi media tersendiri. Alasan menjaga hubungan

dekat dengan nara sumber atau masalah kesejahteraan jurnalis yang pas – pasan

seringkali didengung-dengungkan untuk melegalkan budaya satu ini. Budaya ini

makin kuat manakala nara sumber juga memberi ruang khusus. Mereka kadang

tak malu untuk mengaku bahwa ada anggaran khusus untuk jurnalis yang memang

sudah disiapkan per bulannya. Alasan nara sumber pun cukup rasional rasa kasian

terhadap jurnalis, melaksanakan kewajiban atasan, ucapan terima kasih, takut

berita miring, pencitraan, dan sebagainya.

Fenomena praktik suap atau amplop berdasar Riset AJI Indonesia tahun

2005 menunjukkan bahwa budaya ini terjadi karena seringkali ada pemahaman

yang kabur mengenai amplop itu sendiri. Jurnalis yang diriset pun mengaku

bahwa mereka tidak enak bila amplop tidak diterima karena akan menjadi bahan

pergunjingan. Akhirnya mereka mau menerima asalkan amplop tersebut tidak

memeras dan tidak mempengaruhi independensi.

Hasil riset juga menunjukkan bahwa budaya amplop besar karena

kebiasaan pejabat yang memberi amplop. Menurut penelitian, kalau amplop tidak

diterima, dana itu akan menjadi ajang korupsi para pejabat. Temuan lain yang

menarik adalah aturan media soal amplop yang kurang jelas. Artinya tidak ada

aturan detail tentang definisi amplop, jumlah yang bisa diterima atau tidak, serta

sanksi menerima amplop.

4

Sementara itu, berdasarkan obrolan informal yang dilakukan peneliti pada

mantan Ketua AJI Yogyakarta, Bambang Muryanto, September 2012 lalu,

budaya amplop terjadi pada awal abad 21 dimana perkembangan media di

Indonesia sangat pesat. Berdasarkan catatan AJI Indonesia4, fenomena yang

dilihat dari perkembangan media awal abad 21 yaitu berkembangnya media

waralaba (franchise) yang mengambil brand terbitan luar negeri diadaptasi dan

diberi muatan lokal kemudian dijual di Indonesia seperti Kosmopolitan, Female

Indonesia, Harper Bazaar, dan F-1. Fenomena lainnya yakni masuknya

perusahaan non media dalam industri media seperti Grup LIPPO, perkembangan

industri multimedia, fenomena industri media yang masuk ke dalam pasar bursa

seperti Tempo, serta munculnya penerbitan yang spesifik dengan ulasan dan target

pembaca yang lebih terbatas.

Perkembangan perusahaan pers tak lepas dari kepentingan mereka untuk

mencari keuntungan. Orientasi keuntungan inilah yang membawa dampak buruk

perusahaan media yakni persaingan yang tidak sehat hingga berakibat pada

lemahnya profesionalisme dan independensi jurnalis.

Bambang Muryanto menegaskan bahwa budaya amplop sulit dihapuskan

seiring perkembangan media massa saat ini.Seiring dengan tuntutan bisnis, maka

berbagai cara dilakukan perusahaan media untuk memenuhi kepentingan pasar.

Kepentingan pasar ini adalah dalam rangka meraup iklan demi pemasukan kepada

perusahaan. Untuk itulah, amplop menjadi sarana tersendiri untuk menjadikan

berita sesuai kepentingan pasar dan kepentingan institusi tertentu.

4 Masduki.2005. Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. hal.6

5

Budaya ini juga terjadi karena perusahaan media sendiri yang kurang

memenuhi hak-hak dan jaminan kesejahteraan bagi jurnalis. Banyak jurnalis di

daerah seperti reporter tetap (diangkat resmi oleh medianya untuk bekerja tiap hari

dengan target kualitas dan kuantitas berita tertentu), kontributor / reporter

wilayah (diangkat pengelola media untuk membantu peliputan di wilayah yang

belum dapat diakses reporter tetap, dikontrak untuk jangka waktu tertentu), serta

freelancer / reporter bebas ( melakukan aktivitas peliputan dan tidak terikat media

tertentu, hasil liputanya berdasarkan kesepakatan yang bersifat insidental)

memiliki standar gaji yang tidak seimbang dengan kerjanya. Lebih lagi kondisi

liputan daerah yang memiliki kesulitan tersendiri seperti faktor geografis

seringkali tidak diperhatikan oleh media itu sendiri.

Kaitannya dengan upah layak jurnalis, ternyata memang betul adanya

bahwa upah jurnalis di Indonesia masih sangat tidak layak. Hal ini dibuktikkan

dalam lima survei dalam sepuluh tahun terakhir ini yakni survei AJI Surabaya

tahun 2000, survey dari Thomas Hanitzsch dari Ilmenau University of

Techonology German tahun 2001, AJI Indonesia tahun 2005, Dewan Pers tahun

2008, dan riset terakhir AJI Indonesia 2010/2011. Survei-survei tersebut memiliki

kemiripan hasil upah jurnalis hingga tahun 2011 ini masih ada yang berada di

bawah Rp 300.000,- per bulannya.

Survei AJI, Thomas Hanitzsch, serta Dewan Pers juga menunjukkan

bahwa akibat rendahnya upah ini banyak jurnalis mencari pekerjaan sampingan

seperti makelar Surat Ijin Mengemudi (SIM), pengusaha wartel, pegawai negeri,

wartawan spesial (konsultan tidak resmi), dan sebagainya. Survei juga

6

menyatakan bahwa rendahnya gaji ini juga menjadi pembenar mengapa budaya

amplop ini masih menjadi tradisi.

Survei AJI 2010/2011 menyatakan bahwa kesejahteraan jurnalis sangat

berkaitan dengan profesionalitas dan kebebasan pers. Kedua hal ini penting

karena untuk mencapai iklim pers yang sehat dan demokratis. Kendati bukan

jaminan utama, kesejahteraan yang memadai memiliki peluang besar untuk

menjadikan jurnalis profesional seperti yang tertuang dalam UU Pers No.40

Tahun 1999.

Sementara itu, praktik suap merupakan salah satu masalah penerapan

kode etik jurnalistik. Hal ini secara tegas diungkapkan dalam, (1) Kode Etik

Jurnalistik Pasal 6 yang menyebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak

menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap, (2) Kode Etik Aliansi

Jurnalis Independen (AJI) Pasal 13 yang menyebutkan bahwa jurnalis dilarang

menerima sogokan, (3) Kode Etik Aliansi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI)

Pasal 4 yakni wartawan Indonesia menolak imbalan yang dapat mempengaruhi

objektivitas pemberitaan, (4) Kode Etik Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)

berbunyi ”Jurnalis televisi Indonesia tidak menerima imbalan apapun berkaitan

dengan profesinya”.

Riset mula yang dilakukan peneliti kepada Ketua Dewan Pers, Bagir

Manan pada 11 Agustus 2012, praktik suap di kalangan jurnalis memang masih

terjadi di Indonesia. Bagir Manan menyebut budaya ini sebagai budaya korupsi

yang dilakukan oleh jurnalis. Ia mengatakan bahwa praktik suap adalah salah satu

pelanggaran kode etik dalam profesi jurnalis. Kode etik sendirinya ditegaskannya

7

berbeda dengan hukum, karena berhubungan dengan hati nurani dan berisi

kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan profesionalis jurnalis.

Masih adanya pelanggaran kode etik di Indonesia dipengaruhi berbagai

faktor. Pertama berkaitan dengan sifat kode etik sendiri yakni berkaitan dengan

moral dalam diri yang bersangkutan (jurnalis). Kedua adalah latarbelakang

jurnalis yang berbeda-beda, artinya banyak dari jurnalis yang tidak disiapkan

secara profesional (jurnalis bisa berasal dari setiap kalangan), ketiga tidak adanya

sanksi sosial dari masyarakat. Keempat adalah makna kebebasan pers yang tidak

bisa dipahami pelaku media sehingga tidak ada mekanisme kontrol, kelima

berkaitan dengan belum adanya tradisi profesional untuk menghormati kode etik.

Keenam adalah pekerjaan jurnalis masih dianggap mata pencaharian pada

umumnya, dan ketujuh adalah perusahaan pers yang tidak memihak (masalah

kesejahteraan yang kurang layak).

Masalah kode etik ini sangat penting bagi sebuah profesi khususnya

jurnalis karena mereka tidak hanya dituntut untuk mengembangkan idealisme

profesinya tetapi juga efek media yang besar bagi publik. Kode etik sendiri

penting dilakukan karena merupakan bagian dari profesionalitas jurnalis. Di sisi

lain, sikap profesional wartawan terdiri dari dua unsur yakni hati nurani dan

ketrampilan. Hati nurani merujuk pada kode etik jurnalis perlu menjaga dan

memelihara kewajiban moral. Sedangkan ketrampilan berkaitan dengan

kemampuan teknis jurnalis sesuai dengan bidang profesinya.

Bersikap profesional berarti bersikap independen. Independen artinya

menjalankan tugas jurnalistik tanpa intervensi pengaruh kekuatan represif negara

8

dan pemodal yang munculnya baik disengaja maupun tidak disengaja oleh

jurnalis. Secara tidak langsung, praktik suap sangat berpengaruh pada

profesionalitas wartawan. Pemberian dari nara sumber dalam bentuk apapun tetap

secara moral akan mempengaruhi jurnalis dalam kinerjanya.Hal ini sesuai dengan

The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dimana salah

satu standarisasi agar wartawan bisa profesional adalah melaksanan kewajiban

pencarian kebenaran dan jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek

liputannya.

Menuju profesional tentu saja bukan hal yang mudah bagi pelaku industri

media saat ini. Sejumlah persoalan seperti upah kesejahteraan, praktik suap,

keterlibatan pemilik media dalam partai politik, dan lain sebagainya masih belum

bisa terselesaikan. Bahkan terkait profesionalitas ini, Thomas Hanitzsch dalam

penelitiannya yang berjudul “Rethinking Journalism Education in Indonesia :

Nine These” menyatakan bahwa profesionalitas jurnalis di Indonesia sangat

dipengaruhi oleh pendidikan jurnalisme. Salah satu kesimpulan yang diperoleh

adalah pendidikan jurnalisme kurang mengajarkan dimensi etis sehingga

mempengaruhi profesionalitas jurnalis saat ini. 5

5 Dalam Penelitian Thomas Hanitzsch“Rethinking Journalism Education in Indonesia :

Nine These” , pendidikan jurnalisme di Indonesia yang dikelompokkan Hanitzsch dalam empat

kompetensi yakni (1) Kompetensi profesional, misalnya, melakukan editing, seleksi informasi,

memahami komunikasi dasar dan sebagainya; (2) Kompetensi transfer, misalnya, penguasaan

bahasa, presentasi informasi, berbagai genre dalam jurnalisme dan sebagainya; (3) Kompetensi

teknis, misalnya, komputer, internet, disain grafis dan sebagainya; (4) Kompetensi tingkat lanjut,

misalnya, pengetahuan terhadap isu liputan tertentu, ilmu-ilmu sosial, bahasa asing dan

sebagainya.

Hanitzsch menjelaskan keempat kompetensi itu dalam sebuah tabel. Berdasarkan tabel itu

ia membandingkannya dengan kurikulum, kualifikasi tenaga pengajar, nisbah mahasiswa dan

dosen, serta faktor-faktor lain, yang ada pada lima sekolah jurnalisme atau sekolah jurnalisme

dalam program komunikasi: (1) Universitas Gadjah Mada; (2) Lembaga Pers Dokter Soetomo; (3)

9

Profesionalisme dan etika merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Oleh peneliti etika dinilai menjadi hal yang perlu mendapatkan perhatian lebih

karena etika menjadi salah satu kontrol internal dalam media massa. Kontrol

internal ini sangat berpengaruh pada bagaimana wartawan bisa memperlakukan

fakta secara profesional.6 Fakta secara profesional ini akan berpengaruh pada

informasi yang benar pada publik. Asumsinya, bila jurnalis memberikan fakta

tidak benar, maka publik akan terbohongi.

Meski etika telah dirumuskan dalam kode etik (code of ethics) dan

dioperasionalisasikan dalam kode perilaku (code of conduct), namun etika ini

tetap bersumber pada diri pribadi masing-masing. Artinya kesadaran pribadi

masing-masinglah yang menentukan pelaksanaan etika itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji secara

mendalam soal suap di kalangan jurnalis. Kajian secara mendalam atau merujuk

pada Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut sebagai anatomi, peneliti melihat

bahwa suap sangat berbahaya bagi profesionalisme jurnalis. Jurnalis merupakan

pihak yang harus memberitakan informasi dengan benar. Ia juga menjadi pilar

keempat demokrasi yang menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat

Institut Ilmu Sosial dan Politik; (4) Multi Media Training Center (MMTC); (5) Universitas

Indonesia.

Beberapa kesimpulan yang diperoleh oleh Hanitzsch, (1) pendidikan jurnalisme kita

masih dihambat oleh apa yang disebut sebagai "kurikulum nasional." (2)Tidak ada interaksi antara

pendidikan jurnalisme dan industri media. (3) Semua sekolah ini tak dilengkapi dengan teknologi

yang memadai. (4) Di Indonesia, ada 69 sekolah jurnalisme (dari D-1 hingga S-3) tapi 80 persen

ada di Pulau Jawa dan Medan. Sekolah jurnalisme itupun masih kekurangan tenaga pengajar,

bahkan kurikulum yang diajarkan sangat minim kepada kemampuan praktis jurnalistik. (5)

Perguruan tinggi jurnalisme cenderung mengajarkan teori, sedikit sekali muatan praktis dan etis. 6 Menurut Leonard dan Ron Taylor, etika jurnalistik yang perlu diperhatikan oleh

wartawan adalah (1)objektif, (2) jujur,(3)tidak menerima suap, (4) tidak menyiarkan berita

sensasional, (5) tidak melanggar privacy, dan (6) tidak melakukan propaganda. Diakses dari buku

Etika Dalam Jurnalisme Indonesia. Ana Nadya Abrar. 2005.hal 9

10

dalam menciptakan iklim demokrasi yang sehat. Jurnalis juga melakukan kontrol

sosial atas peristiwa-peristiwa yang menganggu demokrasi.

Menurut peneliti, suap menjadikan jurnalis memiliki konflik kepentingan

tertentu. Ketika dibiarkan dan menjadi budaya yang terus mengakar di tubuh pers,

maka profesi jurnalis bukan lagi menjadi profesi yang memiliki sebuah idealisme

kuat. Ia dengan mudah dapat dikendalikan oleh pihak tertentu dan informasi pun

dapat dikontrol dengan mudahnya. Tentu saja hal ini berbanding terbalik dengan

tujuan jurnalisme yakni membawa kebenaran di mata publiknya.

Berdasarkan pengalaman peneliti yang juga menjadi bagian dalam

kewartawanan, mayoritas jurnalis yang tidak berafiliasi dengan organisasi profesi

dengan mudah melakukan praktik ini. Praktiknya, mereka dengan mudah disuap

oleh pihak penyuap tanpa berpikir dampak ke depannya. Mereka seolah

menganggap hal itu merupakan kewajaran sebagai hal untuk mempererat

hubungan dengan nara sumbernya.

Berdasarkan hipotesa peneliti, kewajaran suap ini tidak lagi hanya

didasarkan atas faktor minimnya upah jurnalis, melainkan ada faktor-faktor lain

yang berpengaruh. Oleh karenanya peneliti ingin melihat secara mendalam dan

komprehensif soal suap ini dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkannya.

Anatomi suap sendiri akan dilihat peneliti dari jenis suap dan pelakunya. Untuk

pelakunya, peneliti akan membagi dalam empat kategori yakni jurnalis

berdasarkan lama bekerja ( wartawan tua dan muda), gaji jurnalis ( tinggi dan

rendah), status kerja (tetap dan kontributor), serta wilayah kerja ( pemerintahan

dan non pemerintahan).

11

Dalam penelitian ini, peneliti memilih Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta sebagai lokasi penelitian karena provinsi ini memiliki dinamika

media yang pesat. Hal ini ditunjukkan dengan merebaknya media cetak,

elektronik, maupun online. Menurut Data Serikat Penerbitan Pers (SPS) dan

Dewan Pers 2010 , terdapat 5 surat kabar, 3 surat kabar mingguan, 8 surat kabar

bulanan, 20 stasiun radio, serta 4 statiun televisi. Yogyakarta juga belum pernah

disurvei organisasi profesi seperti AJI atau PWI terkait penerapan praktik suap

Survei terakhir yang dilakukan oleh AJI Indonesia tahun 2010/2011 hanya terkait

soal upah layak jurnalis.

Berdasarkan observasi mula yang dilakukan peneliti, praktik suap masih

terjadi di Yogyakarta. Praktik diberikan oleh institusi tertentu dengan terlebih

dahulu menganggarkannya dalam anggaran khusus. Tak hanya insitusi, berbagai

event seringkali memberikan uang saku pada wartawannya. Sedangkan jurnalis

yang diberi adalah jurnalis yang sudah tercacat dalam daftar peliput berita institusi

atau event mereka.

Dalam praktik suap , institusi memiliki cara tersendiri. Ada yang langsung

memberi uang dengan amplop, ada pula lewat bingkisan seperti tunjangan hari

raya atau souvernir, kegiatan press tour, undangan makan bersama, tiket gratis,

pemberian pulsa, dan sebagainya. Di sisi lain, wartawan yang menerima pun

memiliki cara-cara unik. Ada yang menunggu atau nongkrong berjam-jam di

kantor nara sumber, mengikuti press tour, meliput meski beritanya bukan

merupakan tanggungjawabnya, dan lain sebagainya.

12

Penelitian ini adalah penelitian komunikasi. Dalam penelitian ini, peneliti

akan menunjukkan efek bias pada berita yang ditulis oleh jurnalis karena ia

melakukan praktik suap. Efek bias ini menjadi hal yang tidak bisa dihindari oleh

jurnalis karena mereka terlibat kepentingan dengan penyuap. Efek bias ini akan

diilihat dari dimensi evaluatif pemberitaan yang terdiri dari keseimbangan berita

dan netralitas berita.

Dengan adanya efek bias berita ini, penelitian ini akan utuh untuk

menjelaskan seperti apakah suap di kalangan jurnalis dan memang benar bisa

berpengaruh pada produk berita.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Bagaimana anatomi suap dan faktor – faktor yang menyebabkannya di

kalangan jurnalis di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan anatomi suap dan memberikan pemahaman sistematis

tentang jenis dan suap dan faktor – faktor penyebabnya.

2. Memberikan wawasan tentang cara penanggulangannya.

13

1.4 KERANGKA TEORI

1.4.1 Gratifikasi dan Suap Sebagai Bentuk Korupsi

Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus, yang kemudian

muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis Corruption, dalam bahasa Belanda

Korruptie, dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia Korupsi. Pope (2002:30)

mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan kepercayaan untuk

kepentingan pribadi atau perilaku tidak mematuhi prinsip “mempertahankan

jarak”. Mempertahankan jarak disini artinya dalam pengambilan keputusan di

bidang ekonomi, apakah ini dilakukan oleh perorangan di sektor swasta oleh

pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan.

Semma (2008:39) mengungkapkan bahwa korupsi yang mewabah di

berbagai negara didasarkan karena tidak cukupnya gaji pegawai negeri. Minimnya

gaji yang didukung oleh faktor kondisi struktural dan lingkungan mengakibatkan

korupsi tumbuh subur. Untuk itulah, menurut Semma, korupsi dapat dipetakan

melalui dua sudut pandang yakni korupsi sebagai berasal dari individu itu sendiri

serta korupsi sebagai praktik sosial dalam sebuah sistem.

Gould dalam Semma menggambarkan korupsi menurut standar kaum

moralis dan sosialis. Kaum moralis memandang korupsi sebagai penyimpangan

individual, kegagalan moral individu yang berwatak lemah dan tidak terlatih

dengan baik. Individu melakukan korupsi karena ia sendiri tidak siap berhadapan

dengan realitas di luar dirinya. Berbeda dengan kaum moralis, kaum sosialis

justru memandang korupsi sebagai pengecualian atas peraturan dan gangguan

sistem. Sistem sosial dalam masyarakat diciptakan dalam keadaan yang isinya

14

menjadikan korupsi bersifat determinis. Setiap orang dalam sebuah sistem telah

melakukannya dengan senang hati.

Pope (2007 : 41) menjelaskan bahwa korupsi tumbuh subur dalam sistem

yang kaku dan penuh dengan hambatan dan sumber-sumber kekuatan monopoli

dalam pemerintahan. Perekonomian berencana yang berpusat dengan

harga–harga banyak berada di bawah tingkat harga yang membersihkan pasar

akhirnya mendorong orang untuk memberi suap sebagai cara untuk

mengalokasikan barang dan jasa yang terbatas.

Hal ini dijelaskan Pope bahwa korupsi tumbuh ketika terjadi peralihan

demokrasi ke ekonomi pasar. Dengan kata lain semangat kapitalis memungkinkan

terjadinya korupsi. Tercapainya tingkat keuntungan yang sebesar-besarnya

merupakan kekuatan yang memperkokoh korupsi. Pasalnya perusahaan akan

memberikan pikatan – pikatan menarik pada pihak lawan usaha.

Dalam masyarakat sosialis pun, sistem produksi yang tidak mendorong

suatu psikologi konsumerisme, juga mendorong terjadinya korupsi. Asumsinya,

seorang yang memiliki kekuasaan di masyarakat sosialis cenderung memegang

kekuasaan besar untuk memperbesar kekayaan pribadi. Dalam masyarakat sosialis

tidak ada sektor swasta dan semua keputusan ekonomi dibuat oleh negara atau

badan – badan dan perwakilannya.

Bentuk-bentuk korupsi menurut Benviste 7dipetakan dalam empat definisi

besar yakni discretionery corruption, illegal corruption, mercenery corruption,

7 Dikuti dari buku Negara dan Korupsi, Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara, Manusia

Indonesia, dan Perilaku Politik, 2008, hal.43-44. Benviste mengungkapkan bahwa korupsi tidak

selamanya membawa dampak negatif. Korupsi juga melancarkan jalannya pelayanan aturan baku

struktur birokrasi. Korupsi dapat menjalin hubungan dan iktana informal antara para pejabat

15

dan ideological corruption. Discretionery corruption merupakan korupsi yang

dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijakan, sekalipun

tampaknya bersifat sah bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para

anggota organisasi.

Illegal corruption adalah suatu jenis tindakan yang membongkar atau

mengacaukan bahasa ataupun maksud-maksud hukum, peraturan, dan regulasi

tertentu. Mercenery corruption adalah jenis korupsi untuk memperoleh

keuntungan individual/pribadi. Sementara ideological corruption adalah korupsi

yang dilakukan karena kepentingan kelompol karena komitmen ideologis

seseorang yang mulai tertanam di atasa nama kelompok tertentu. Dapat ditarik

kesimpulan bahwa Benveniste menghubungkan korupsi sebagai tindakan individu

dengan sistem sosial masyarakat.

Bentuk korupsi yang dikenal masyarakat adalah gratifikasi dan suap.

Kedua istilah sama-sama merujuk pada pemberian seseorang terhadap pihak lain,

namun suap memiliki derajat yang lebih berat ketimbang gratifikasi. Gratifikasi

dinilai sebagai suap ketika pemberian seseorang berhubungan dengan jabatan

serta berlawanan dengan tugas atau kewajibannya. Ini juga yang disebut sebagai

gratifikasi ilegal.

Gratifikasi seperti yang dikemukakan dalam “Buku Saku Memahami

Gratifikasi” (2010:3) 8 adalah pemberian dalam arti luas yakni meliputi pemberian

birokrasi dengan sejumlah klien, membebaskan biokrasi dari peraturan dan pengaturan ketat, serta

memperkecil konflik yang terjadi dalam aktivitas organisasional. 8 Menurut “Buku Saku Memahami Gratifikasi” yang diterbitkan oleh Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK), gratifikasi merupakan salah satu jenis korupsi yang tercantum dalam UU No.31

Tahun 1999 juncto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Gratifikasi diatur dalam pasal 12B.

16

uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan,

fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas

lainnya. Gratifikasi tersebut diterima baik di dalam negeri maupun luar negeri dan

dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik maupun tanpa sarana

elektronik.

Gratifikasi masih dinilai sebagai bentuk kewajaran lantaran kondisi sosial

masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa pemberian hadiah ini adalah

untuk merekatkan hubungan antar pihak satu dan lainnya. Gratifikasi ini memiliki

dampak negatif bilamana pemberian hadiah tersebut berkaitan dengan

tanggungjawab seseorang.

Gratifikasi yang terus menerus akan menimbulkan konflik kepentingan

pada salah satu pihak. Beberapa konflik kepentingan diantaranya penerimaan

gratifikasi dapat membawa kewajiban timbal balik sehingga menganggu

independensi, gratifikasi dapat berpengaruh pada objektivitas dan penilaian

profesional pada penyelenggaraan negara, dan penerimaan gratifikasi dapat

digunakan untuk mengaburkan korupsi. (Muhardiansyah, 2010:7)

Gratifikasi yang mengarah pada penyalahgunaan yang berkaitan dengan

tugas dan tanggungjawabnya seseorang dinamakan dengan suap. Kata suap

(bribe) bermula dari asal kata briberie (istilah Perancis), yang artinya adalah

begging (mengemis) atau vagrancy (penggelandangan). Dalam bahasa Latin

disebut briba, yang artinya a piece of bread given to beggar atau sepotong roti

yang diberikan kepada pengemis. Namun, perkembangan kemudian, bribe

bermakna sedekah (alms), blackmail, atau extortion (pemerasan) dalam kaitannya

17

dengan gifts received or given in order to influence corruptly (pemberian atau

hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk mempengaruhi secara

jahat atau korup). 9

Pope (2007:37) membagi suap dalam empat kategori, yakni :

1. Kategori (1) yakni suap yang diberikan untuk mendapatkan keuntungan

yang langka atau menghindari biaya. Suap kategori ini mencakup

keputusan birokrasi yang mengakibatkan pemberi suap mendapatkan

keuntungan , sedangkan orang lain menderita rugi. Misalnya :memperoleh

izin import atau ekspor, valuta asing, kontrak atau hak istimewa dari

pemerintah untuk menjalankan usaha tertentu; pembelian perusahaan

negara yang dijual pada pihak swasta; memperoleh layanan publik seperti

perumahan murah, dan sebagainya.

2. Kategori (2) yakni suap yang diberikan untuk mendapatkan keuntungan

atau menghindari biaya yang tidak langka, tetapi memerlukan kebijakan

yang harus diputuskan oleh pejabat publik. Contoh suap dalam kategori ini

meliputi pengurangan pajak atau meminta bayaran lebih besar dalam hal

jumlah pemasukan tidak ditentukan secara pasti, menghindari kontrol

harga, memperoleh pelayanan publik apa saja (tunjangan), memberikan

lisensi atau surat izin hanya pada mereka yang dianggap memenuhi syarat,

dan lainnya.

3. Kategori (3), suap yang diberikan tidak untuk mendapatkan keuntungan

tertentu dari publik tetapi untuk mendapat layanan yang berkaitan dengan

9 Agustinus Edy Kristianto, http://www.harian-

global.com/index.php?option=com_content&view=-article&id =2612%3Asuap-korupsi-tanpa-

akhir&Itemid=91 diakses tanggal 21/1/2013

18

perolehan keuntungan atau menghindari resiko seperti layanan yang cepat

atau informasi dari orang dalam. Misalnya seperti yang terjadi di

Singapura ketika sebuah gabungan perusahaan dari negara pengeskpor

memeri suap untuk mendapatkan informasi dari orang dalam mengenai

kontrak – kontrak pemerintah, hingga akhirnya mereka masuk daftar hitan

pemerintah Singapura. Saat itu mereka mendapatkan layanan cepat dalam

surat menyurat, laporan audit yang menguntungkan sehingga pajak yang

dibayar tidak besar, dan layanan lainnya.

4. Kategori (4) yakni suap yang diberikan untuk mencegah pihak lain

mendapatkan bagian dari keuntungan atau untuk membebankan biaya pada

pihak lain. Contohnya adalah pada kasus – kasus pelaku bisnis ilegal yang

membayar penegak hukum untuk menyerbu pesaingnya. Pemilik usaha

legal mencoba agar pada para pesaingnya diperlakukan peraturan yang

ketat atau mencoba membujuk pejabat agar tidak memberikan lisensi pada

pesaingnya.

Berdasarkan penjelasan dalam ranah hukum, suap adalah bentuk

gratifikasi ilegal. Di bawah ini merupakan perbedaan antara gratifikasi legal dan

ilegal mengutip dari “Buku Saku Memahami Gratifikasi” yang diterbitkan oleh

Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).

19

Tabel 1.1 Perbedaan Gratifikasi/ Hadiah Legal dan Gratifikasi Ilegal/Suap

Karakteristik Gratifikasi Legal Gratifikasi Ilegal/Suap

Tujuan/Motif

Pemberian

Dilakukan untuk

menjalankan hubungan

baik, menghormati

martabat seseorang,

memenuhi tuntutan

agama, dan

mengembangkan berbagai

bentuk perilaku simbolis

(diberikan karena alasan

yang dibenarkan secara

sosial)

Ditujukan untuk

mempengaruhi keputusan

dan diberikan karena apa

yang dikendalikan/dikuasai

oleh penerima ( wewenang

yang melekat pada jabatan,

sumber daya lainnya).

Hubungan antara

pemberi dan

penerima

Setara Timpang

Hubungan yang

bersifat strategis

Umumnya tidak ada Pasti ada

Timbulnya konflik

kepentingan

Umumnya tidak ada Pasti ada

Situasi Pemberian Acara-acara yang sifatnya

sosial yang berakar pada

adat istiadat dan peristiwa

kolektif

Bukan merupakan peristiwa

kolektif meski bisa saja

pemberian diberikan dalam

acara sosial

Resiprositas (Sifat

Timbal Balik)

Bersifat ambigu dalam

perspektif bisa resiprokal

dan kadang – kadang

tidak resiprokal

Resiprokal secara alami

Kesenjangan waktu Memungkinkan

kesenjangan waktu yang

panjang pada saat

pemberian kembali

Tidak memungkinkan ada

kesenjangan waktu yang

panjang

20

(membalas pemberian)

Sifat Hubungan Aliansi sosial untuk

mencari pengakuan sosial

Patronase dan seringkali

nepotisme dan ikatan serupa

ini penting untuk mencapai

tujuan

Ikatan yang terbentuk Sifatnya jangka panjang

dan emosional

Sifatnya jangka pendek dan

transaksional

Kecenderungan

adanya sirkulasi

barang/produk

Terjadi sirkulasi

barang/produk

Tidak terjadi sirkulasi barang

/ produk.

Nilai/hargapemberian Menitikberatkan pada

nilai intrisik sosial

Menekankan pada nilai

moneter

Metode Pemberian Umumnya langsung dan

bersifat terbuka

Umumnya tidak langsung

(melalui agen/perantara) dan

bersifat tertutup / rahasia.

Mekanisme

penentuan nilai/harga

Berdasarkan

kewajaran/kepantasan

secara sosial (masyarakat)

Ditentukan oleh pihak-phak

yang terlibat.

Akuntabilitas Sosial Akuntabel dalam arti

sosial

Tidak Akuntabel secara

sosial

Sumber : KPK

1.4.1.1 Suap di Media

Korupsi atau suap juga terdapat dalam profesi jurnalisme. Pope

(2007:223) menjelaskan bahwa media merupakan instrumen yang memiliki

peranan khusus dan “titik – titik lemah” dalam perang melawan korupsi. Politisi

dan pegawai negeri mungkin lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan

21

jabatan mereka untuk kepentingan pribadi bila mereka yakin tidak ada resiko

perbuatan mereka akan terbongkar dan diungkapkan dalam pers.

Media merupakan pilar penting dalam sistem negara. Media menjadi anjing

penjaga atau watchdog dalam kebijakan pemerintah sekaligus jembatan antara

pemerintah dengan masyarakatnya. Media menjadi pusat informasi bagi

masyarakat dan bertanggungjawab atas informasi yang benar. Untuk itulah, suap

menjadi praktik lumrah yang terjadi karena media dianggap bisa mendistorsikan

informasi pada publiknya.

Suap yang terjadi di media, menurut H. Eugene Goodwin dalam bukunya

Grouping For Ethic in Journalism, adalah memberikan pekerja media sebuah

hadiah. Hadiah membuat jurnalis tidak bijaksana atau akan terlibat dalam sebuah

kepentingan tertentu sehingga dirinya tidak independen.

Pemberi hadiah sendiri disebut seducer atau penipu. Goodwin

mengasumsikan bahwa hadiah yang diberi nara sumber adalah bentuk tipuan nara

sumber agar jurnalis bisa menuliskan hal yang baik tentang institusinya.

Berdasarkan pengertian di atas, suap yang terjadi di media bila dikaitkan

dengan pengertian korupsi dalam ranah hukum, lebih mengarah pada definisi suap

bukan gratifikasi. Suap di media cenderung berkaitan dengan pemberian

seseorang yang berkaitan tugas dan tanggungjawab seorang jurnalis. Hal ini dapat

diidentifikasi sebagai berikut:

a. Berdasarkan tujuannya, suap bisa mempengaruhi keputusan jurnalis

dalam membuat pemberitaan.

22

b. Hubungan antara pemberi dan penerima bersifat timpang sehingga ada

kewajiban dari penerima untuk melakukan timbal balik.

c. Tidak menutup kemungkinan ada hubungan strategis antara pemberi dan

penerima untuk mendapatkan sesuatu.

Bila ditelaah dari definisi Goodwin, tindakan suap adalah tindakan yang

berbahaya bila dilakukan oleh seorang jurnalis. Hal ini juga sesuai dengan konteks

situasi masyarakat Amerika dimana profesi jurnalis sangat dijunjung tinggi.

Bilamana ada jurnalis yang terbukti menerima suap, maka ia bisa dilepaskan dari

profesinya atau dikucilkan dalam masyarakat.

1.4.1.2 Jenis Suap di Media

Goodwin menuliskan tentang hadiah dari nara sumber yang terjadi dalam

praktik jurnalisme Amerika. Hadiah ini sudah marak diterima redaksi Amerika

sejak tahun 1980-an. Klasifikasi hadiah diantaranya :

1. Freebies. Pemberian dari nara sumber tanpa bayaran tertentu. Bentuk-

bentuk freebies yakni kartu ucapan Natal; tiket gratis ke teater, sirkus,

serta pertandingan baseball; undangan makan dan minum gratis, kalender,

pensil, dan lainnya. Aktor dari freebies yakni kantor –kantor publik,

potikus, pemerintah, serta instansi terhormat. Cara mereka memberikan

freebies pun bermacam-macam seperti mengirimkan kartu natal ke kantor,

mengajak langsung jurnalis/editor untuk makan gratis dan minum wine

sambil membicarakan persoalan negara, serta memberi tiket gratis pada

jurnalis dan fotografer untuk meliput acara.

23

2. Junkets. Pemberian nara sumber yang lebih berbahaya daripada freebies.

Junkets adalah tiket jalan-jalan gratis dengan memberikan akomodasi

penuh (penginapan, transportasi,makan,dan lainnya) pada jurnalis atau

editor. Aktor dari pemberi junkets adalah perusahaan pribadi/publik

(perusahaan penerbangan, kapal, hotel, agensi turis, dan lainnya) serta

pemerintah. Maksud pemberian junket adalah publisitas dari perusahaan

mereka. Di Amerika, junkets juga kental diberikan pada reporter olahraga

dan politik karena mereka seringkali harus meliput peristiwa olahraga di

luar kota atau mengikuti kampanye politik.

3. Perks.Pemberian ini seperti tiket parkir gratis, ruangan kerja/press room di

gedung pemerintahan, kartu pers khusus dari polisi/pemerintah untuk

daerah khusus, diskon khusus mobil baru atau keanggotan dalam

organisasi, serta diskon buku yang akan direview perusahaan media.

Pope (2007:223) menambahkan bahwa suap dalam profesi jurnalisme

terjadi dalam berbagai bentuk. Di Meksiko dan India misalnya, banyak wartawan

yang mendapatkan imbalan uang dari lembaga-lembaga yang mereka liput untuk

tambahan gaji mereka yang kecil. Di Inggris pun pada tahun 2005 tercatat bahwa

dua orang wartawan tabloid dipecat karena menyalahgunakan kedudukan mereka

sebagai wartawan peliput bidang keuangan. Mereka membeli saham dan

kemudian menerbitkan tulisan-tulisan yang mendorong harga saham mereka naik

ke tingkat yang tinggi sekali.

24

Sementara itu, Fedler dalam bukunya berjudul Reporting for the Media

dalam Roffiudin (2012:48) menyebutkan bahwa hadiah dari narasumber

berpengaruh pada berita yang dihasilkan oleh jurnalis. Ia mengatakan bahwa

hadiah merupakan salah satu bentuk dari konflik kepentingan tertentu. Fedler

mengurai ada enam bentuk konflik kepentingan itu, yakni.

1. Hadiah atau freebies, yaitu segala sesuatu yang diberikan oleh

narasumber kepada wartawan untuk mempengaruhi pemberitaan.

2. Junkets atau jalan-jalan gratis dimana narasumber mengajak wartawan

untuk meliput sebuah acara dengan fasilitas gratis.

3. Terlibat dalam kegiatan yang diliput yakni mengingat seringnya

wartawan meliput kegiatan kantor publik maka wartawan bisa saja

dilibatkan dalam kegiatan tersebut. Misalnya dalam press tour di

beberapa instansi pemerintahan, mengikuti kunjungan kerja

pemerintahan, dan lainnya.

4. Freelancing atau pekerjaan kedua atau sampingan yang dilakukan

wartawan. Dengan bekerja di institusi lain, maka tak menutup

kemungkinan jurnalis tersebut akan terlibat dalam kepentingan

tertentu.

5. Pillow talk yakni konflik kepentingan yang terkait dengan pekerjaan

suami atau istri wartawan. Seorang wartawan akan sulit obyektif bila

meliput peristiwa yang terkait dengan keluarganya sendiri.

6. Amplop yakni usaha sumber berita yang ingin mempengaruhi

wartawan dengan menggunakan amplop.

25

Di Indonesia, merujuk pada definisi suap yang tertuang dalam Kode Etik

Jurnalistik pasal 6b, suap pun dipahami sebagai segala pemberian dalam bentuk

uang, benda, atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Berdasarkan definisi ini, Pengamat Media, Atmakusumah Astraatmadja

menjabarkan kategori suap, yaitu10

:

1. Pemberian (gratis) kepada wartawan berupa karcis / tiket pertunjukan

kesenian (musik, film, teater, tari, dsb) untuk keperluan promosi atau

resensi dari pihak yang terlibat dalam pertunjukan tersebut.

2. Pemberian berupa karcis/tiket pertandingan olahraga untuk keperluan

pemberian atau ulasan dari pihak yang terlibat dalam pertandingan

tersebut.

3. Ditraktir oleh nara sumber berupa makan minum secara mewah atak agak

mewah.

4. Pemberian nara sumber berupa hadiah barang yang berharga mahal atau

agak mahal.

5. Penyediaan fasilitas yang berlebihan secara gratis di ruang pers kantor-

kantor pemerintah/perusahaan negara/swasta atau lembaga negara/swasta,

lengkap dengan perangkat komputer serta pesawat telepon yang bisa

digunakan tanpa batas. Lebih – lebih jika ditambahi dengan sarapan,

makan siang atau makan malam serta kudapan yang serba gratis.

10

Wawancara Atmakusumah, 2 Januari 2012

26

6. Undangan dari nara sumber untuk meliput peristiwa luar kota dengan

fasilitas (transport, penginapan, dan konsumsi) yang disediakan atau

dijamin pengundang.

7. Undangan dari nara sumber dengan berbagai fasilitas dan akomodasi plus

uang saku dari pengundang.

8. Undangan dari nara sumber untuk meliput peristiwa dalam negeri dengan

fasilitas (transportasi, penginapan, dan konsumsi) plus uang saku dari

pengundang.

9. Undangan dari nara sumber untuk meliput peristiwa di luar negeri dengan

fasilitas (transpor, penginapan, dan konsumsi ) plus uang saku dari

pengundang.

10. Pemberian amplop (berisi uang) dari nara sumber antara lain dalam

konferensi pers atau briefing atau pada saat melakukan wawancara tanpa

ikatan janji apapun antara kedua belah pihak.

11. Pemberian tiket/karcis dari nara sumber kepada wartawan untuk “pulang

kampung” atau berwisata, sendirian atau bersama keluarga. Lebih lagi jika

ditambah uang saku.

12. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menyangkut biaya

“pembinaan” pers dan wartawan – di luar anggaran untuk program

kegiatan bagian hubungan masyarakat (humas) kantor-kantor pemerintah

daerah yang bukan “amplop wartawan”.

13. Suap/sogokan dengan ikatan janji untuk memberitakan atau sebaliknya,

untuk tidak memberitakan sesuatu sesuai dengan permintaan pihak

27

penyuap. Penyuapan atau penyogokan dapat berupa uang, barang dan

pemasang iklan, atau jabatan dan kedudukan, serta fasilitas lain bagi

wartawan dan perusahaan pers.

1.4.2 Faktor – Faktor Penyebab Suap di Media

Menurut Agee, Warren K.,dkk (1994:192) penegakan profesionalitas dan

etika media dipengaruhi oleh lima faktor yakni:

a. Practise of individual media personal yakni berkaitan dengan publisher,

reporter,editor, pemilik media, direktur pemberitaan, editor film, dan

lainnya dalam kinerjanya sebagai pemberi informasi. Untuk

menyampaikan informasi, individu ini akan dipengaruhi oleh keempat

faktor lainnya.

b. Standars of individual media yakni peraturan, kode etik, asumsi tidak

tertulis, tradisi, serta asumsi tidak tertulis dalam perusahaan media

masing-masing.

c. Professional and industry standars of conduct yakni peraturan dan kode

etik dari organisasi-organisasi yang membawahi perusahaan media.

d. Philosophies and laws under which goverments operate yakni filosofi pers

yang dianut sebuah negara yang dituangkan dalam undang-undang atau

peraturan.

e. Outer limit of what the public will permit yakni kekuatan masyarakat

sebagai penilai atau pengamat.

Kelima faktor ini dapat digambarkan sebagai berikut

28

Gambar 1.1 Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Profesionalitas Media dan Etika Media

Praktik suap berkaitan dengan etika media. Etika sendiri merupakan

pengetahuan yang membahas ukuran kebaikan atau kesusilaan perilaku manusia

dalam masyarakat (Siregar, 1987:1). Etika ini menjadi bagian dari tugas

profesional jurnalis karena prinsip-prinsip etis harus dipakai dalam penyajian

kebenaran informasi.

Berkaitan dengan lima faktor di atas, peneliti menurunkan masing-masing

konsep dalam variabel. Penurunan ini dikakukan untuk mempermudah peneliti

dalam melakukan analisis faktor-faktor penyebab suap di kalangan jurnalis.

1. Komitmen individu dalam penegakan etika profesi : perjanjian atau

keterikatan individu dalam melakukan sesuatu atau dalam hal ini lebih

pada keterikatan individu dalam menegakkan etika profesinya.

Komitmen individual bisa menyebabkan suap ketika seorang individu

merasa bahwa suap itu bukanlah tindakan yang jelek. Derajat

29

komitmen ini tergantung pada diri individu masing-masing, apakah

memang tinggi ataukah rendah. Asumsinya, ketika komitmen rendah

terhadap etika profesi, ia akan lebih mudah melakukan suap. Namun

sebaliknya ketika komitmennya tinggi, ia akan lebih menghormati

etika profesinya.

2. Kode perilaku perusahaan soal suap. Kode perilaku merupakan

turunan dari kode etik. Nilai dari kode etik bertumpu pada rasa malu

dan bersalah yang keluar dari hati nurani seseorang, sedangkan kode

perilaku berfungsi sebagai dasar menejemen organisasi media dalam

penilaian dan keputusan atas karir profesional seorang personel

jurnalisme. Ketika sebuah perusahaan tidak memiliki kode perilaku

perusahaan, maka akan mengakibatkan pekerjanya lebih mudah

melakukan suap. Dengan adanya kode perilaku perusahaan, komitmen

individu untuk tidak melakukan suap akan makin tinggi sebab

perusahaan turut menciptakan iklim kedisplinan.

3. Kontrol organisasi profesi. Kontrol berkaitan dengan pengawasan.

Kontrol organisasi profesi berkaitan dengan pengawasan yang

dilakukan organisasi profesinya terhadap praktik suap yang dilakukan

oleh anggotanya. Di Indonesia, ada dua jenis organisasi profesi besar

yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis

Independen (AJI). Dua organisasi profesi ini memiliki anggota dari

berbagai jenis media baik cetak, online, radio, serta televisi.

30

Dua organisasi profesi yang berbeda akan melahirkan kontrol yang

berbeda pula. Menilik dari sejarah berdiri, organisasi profesi AJI

memang ingin menegakkan etika profesi. AJI membuat kode etik

sendiri dengan sanksinya serta melakukan pengawasan pada

anggotanya. AJI pun menghidupkan kultur organisasi dengan berbagai

pelatihan untuk menegakkan etika profesi di kalangan anggotanya.

berdasarkan hipotesa peneliti, AJI lebih ketat melakukan kontrol

terhadap masalah suap ketimbang PWI. Jumlah anggota AJI yang

melakukan suap jumlahnya tidak sebesar dari PWI.

4. Tekanan komersial. Tekanan merupakan desakan, sedangkan

komersial berkaitan dengan sesuatu yang diperdagangkan. Tekanan

komersial ini berkaitan dengan situasi pers Indonesia saat ini yang

mengarah pada kepentingan bisnis. Akibatnya media seringkali

mengejar keuntungan dan kurang memperhatikan standar-standar

jurnalistik yang ada.

Semakin perusahaan mengejar keuntungan, maka anggotanya

cenderung mudah untuk menerima suap. Sebab, suap dari nara sumber

menjadi ladang untuk meningkatkan pendapatan media. Lebih lagi

ketika perusahaan media memiliki modal rendah.

5. Sanksi sosial dalam masyarakat. Sanksi merupakan tanggungan bisa

berupa tindakan atau hukum untuk memaksa orang menempati

perjanjian atau menaati aturan. Sanksi bisa bersifat positif maupun

negatif dalam ranah hukum. Sanksi positif berupa hadiah atau

31

anugerah, sedangkan sanksi negatif berupa pembebanan maupun

hukuman. Suap dalam penelitian ini lebih pada sanksi negatif yang

diterima oleh individu. Kurang atau tidak adanya sanksi sosial

masyarakat menyebabkan individu jurnalis semakin gencar melakukan

praktik suap.

1.4.3 Efek Bias Pada Berita

Tindakan suap yang dilakukan oleh jurnalis bisa berpengaruh pada

produk berita yang dibuatnya. Berita jurnalistik adalah konstruksi seorang

jurnalis terhadap sebuah peristiwa dengan memperhatikan nilai berita

(news value). Berita jurnalistik menjadi cermin performance media.

Menurut McQuail dalam Rahayu (2006:6), berita jurnalistik adalah berita

yang objektif. Berita disebut objektif bila mengandung unsur factuality

(faktualitas) dan impartiality (tidak berpihak). Faktualitas adalah kualitas

informasi yang dikandung suatu berita. Faktualitas memiliki tiga aspek

yakni kebenaran (truth), informatif (informativeness), dan relevansi

(relevance).

Unsur kedua adalah impartiality yang berkaitan dengan isu apakah

teks berita secara sistematis menonjolkan satu sisi di atas yang lain ketika

berkenaan dengan isu-isu kontroversial dengan tujuan mengarahkan

pembaca pada konsisten ke arah tertentu. Impartiality ini terdiri dari dua

aspek yakni balance dan neutrality. Balance adalah keseimbangan dalam

pemberitaan. Balance berhubungan dengan seleksi dan substansi berita.

32

Sedangkan neutrality berhubungan dengan presentasi fakta itu sendiri

yang dapat dievaluasi dari penggunaan kata – kata, citra, dan frames of

reference yang bersifat evaluatif dan juga penggunaan gaya presentasi

yang berbeda. (Rahayu, 2006:10).

Berdasarkan unsur-unsur di atas, berita dapat dibagi dalam dua

dimensi yaitu dimensi informasi dan dimensi evaluatif. Dimensi informasi

lebih memfokuskan pada fakta sehingga tampak dalam teks berita.

Dimensi ini tidak mempermasalahkan konteks di luar fakta. Sedangkan

dimensi evaluatif lebih fokus pada konteks sebuah fakta.

Praktik suap sangat erat dengan dimensi evaluatif pada berita

karena berkaitan dengan konteks sebuah fakta. Kedekatan jurnalis dengan

nara sumber terutama yang memiliki kekuasaan membuat jurnalis

cenderung sulit untuk profesional. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh

Bob Franklin dalam Adiputra (2006:72).

The spheres of journalism and goverment increasingly overlap as journalist and

politicians hace grown mutually reliant, with each pursuing goals which can

only b achieved with some degree of cooperation from the other. Contra the

image of journalist as independents of goverment, many observers consider it

more an accurate to decribe their relationship as collusive.

Dimensi evaluatif terdiri dari dua komponen yakni keseimbangan

(balance) dan netralitas (netrality). Keseimbangan diartikan sebagai

elemen penting dalam organisasi media karena masalah independensi

ditegaskan. Sedangkan netralitas berkaitan dengan proses seleksi dan

substansi seluruh berita.

33

Fakta dalam pemberitaan diberi makna dan nilai atau yang dikenal

dengan evaluasi berita. Kecenderungan evaluatif memiliki tiga aspek

yakni positif, netral, dan negatif yang beroperasi dengan dua cara.

Pertama, keseimbangan dalam hal seleksi dimana aspek positif, netral, dan

negatif dipengaruhi oleh seleksi salah satu elemen dalam berita yakni

aktor. Seleksi yang meletakkan aktor pro fakta dalam pemberitaan

menyebabkan berita tidak seimbang. Aspek kedua adalah arah evaluasi

pemberitaan yakni mengarahkan fakta pada asosiasi tertentu baik langsung

maupun tidak langsung.

1.5 KERANGKA KONSEPTUAL

1.5.1 Anatomi Suap di Media

Suap di media berdasarkan kerangka teori adalah hadiah. Bila dirujuk

pada konsep hukum, hadiah merupakan gratifikasi yang tidak berkaitan dengan

motif tertentu. Gratifikasi dimaknai hal yang wajar dan sebagai perekat hubungan.

Dalam penelitian ini, suap disamakan dengan hadiah yang diterima oleh

jurnalis baik yang ada hubungannya dengan subtansi tulisan maupun tidak. Suap

tidak hanya dipahami sebagai uang, namun segala sesuatu hadiah ( uang, barang,

tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, dan fasilitas cuma – cuma

lainnya) yang diberikan pada jurnalis. Suap ini bisa memiliki motif kewajaran,

membina hubungan tanpa tendensi, serta maksud tertentu yang berkaitan dengan

tugas dan tanggungjawab jurnalis.

34

Suap atau hadiah ini memiliki derajat yang berbeda. Hadiah yang

diberikan terus menerus oleh salah satu pihak, akan menimbulkan konflik

kepentingan. Konflik kepentingan ini menyebabkan jurnalis harus memberikan

timbal balik pada pemberi. Biasanya timbal balik ini berupa berita positif dari

pemberi.

Anatomi suap berkaitan dengan uraian mendalam tentang suap. Uraian

mendalam ini akan dilihat dari jenis-jenis suap dan pelaku suap.

1.5.1.1 Jenis – Jenis Suap

Berdasarkan definisi di atas, peneliti menggabungkan jenis suap yang

dikemukakan Oleh Goodwin di Amerika Serikat dengan jenis suap di Indonesia

yang dikemukakan oleh Atmakusumah. Jenis – jenis suap di kalangan jurnalis

yaitu:

a. Freebies : pemberian dari nara sumber tanpa bayaran tertentu seperti

tiket gratis (menonton, pertandingan, dan lain-lain), undangan makan

dan minum gratis, buku, kalender, pensil, kartu ucapan selamat, parcel,

amplop saat jumpa pers, dan pemberian lainnya.

b. Junkets: diartikan sebagai pekerjaan jurnalis yang diselingi dengan

berpesiar. Beberapa kategorinya yakni tiket jalan-jalan gratis dengan

memberikan akomodasi penuh (penginapan, transportasi, makan, dan

lainnya) pada jurnalis baik di luar kota maupun luar negeri dengan

uang saku. Biasanya sembari jalan-jalan gratis atau beriwisata, jurnalis

“sengaja” diberi objek wisata yang bisa diliput.

35

c. Perks: lebih pada tunjangan pada jurnalis. Kategori perks diantaranya,

ruangan kerja/press room di gedung pemerintahan serta anggaran

APBD daerah yang diperuntukkan untuk jurnalis (meliputi uang dalam

jumpa pers, press tour, Tunjangan Hari Raya (THR), dan lainnya).

d. Freelancing atau pekerjaan kedua atau sampingan yang dilakukan

wartawan. Pekerjaan sampingan jurnalis misalnya pencari iklan.

e. Suap/sogokan yakni ikatan janji untuk memberitakan atau sebaliknya,

untuk tidak memberitakan sesuatu sesuai dengan permintaan pihak

penyuap. Penyuapan atau penyogokan dapat berupa uang, barang dan

pemasang iklan, atau jabatan dan kedudukan, serta fasilitas lain bagi

wartawan dan perusahaan pers.

Dalam penelitian ini, anatomi suap tidak hanya dipahami dari jenis suap

semata, melainkan akan dikaji dari dari pelaku suap. Pelaku suap akan dibagi

dalam beberapa kategori yakni:

a. Lama bekerja, merujuk pada seberapa lama seorang individu menekuni

profesi jurnalisnya. Asumsinya bahwa, semakin individu lama menjadi

jurnalis (lebih dari 10 tahun), maka wartawan akan semakin tinggi

profesionalitasnya. Salah satunya adalah dalam mematuhi kode etik

jurnalistik yakni tidak melakukan suap.

Kategori lama bekerja ini merujuk pada klasifikasi profesional

yang ditetapkan oleh Dewan Pers yakni wartawan muda (1-5tahun),

36

madya (6-10 tahun), dan tua (lebih dari 10 tahun). Dalam penelitian

ini peneliti membagi kategori menjadi dua yakni muda dan madya/tua.

b. Gaji jurnalis, merujuk pada penghasilan diterima oleh jurnalis.

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, gaji dan kesejahteraan

wartawan yang kecil menjadi pembenar wartawan menerima amplop.

Dalam kategori ini, peneliti membagi dua yakni wartawan dengan gaji

rendah (< Rp 1.500.000,-) dan gaji tinggi (> Rp 1.500.000,-). Besaran

ini didasarkan Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta yakni sebesar Rp981.765,-

c. Status Pekerja, merujuk pada hubungan ketenagakerjaan antara

wartawan dengan perusahaan media. Status pekerjaan wartawan

menurut Masduki (2005:43) yakni wartawan tetap (diangkat secara

resmi oleh perusahaan media dengan target dan kualitas berita tertentu

dan mendapatkan tunjangan dari perusahaan ), koresponden/freelance

(wartawan yang dikontrak dalam jangka waktu tertentu untuk

melakukan peliputan tertentu). Asumsinya, wartawan tetap yang sudah

mendapatkan gaji rutin beserta tunjangannya akan menghindar praktik

suap.

d. Wilayah bekerja, merujuk pada pos-pos wilayah tempat wartawan

bekerja. Pos wilayah ini berdasarkan bidang – bidang liputan seperti

politik, ekonomi, pendidikan, dan sosial budaya. Dalam kategori ini,

peneliti akan mengambil proposisi wartawan yang aktif meliput berita

politik dan non politik. Berita politik cenderung diliput oleh wartawan

37

yang memiliki pos di pemerintahan (Pemerintah kota, daerah, provinsi)

dan non pos pemerintahan (instansi pendidikan, budaya, ekonomi).

1.5.2 Faktor – Faktor Penyebab Suap di Kalangan Jurnalis

Faktor penyebab suap di kalangan jurnalis dalam penelitian ini

akan dilihat dari lima faktor. Lima faktor ini adalah:

1. Komitmen individual dalam penegakan etika profesi: keterikatan

jurnalis pada profesi jurnalis. Jurnalis menghormati profesinya dengan

melakukan tugas dan tanggungjawabnya sesuai kode etik jurnalistik.

Semakin jurnalis memiliki komitmen tinggi untuk menegakkan profesi,

maka ia cenderung tidak melakukan suap.

2. Kode perilaku (code of conduct) perusahaan soal suap. Kode perilaku

adalah turunan dari kode etik jurnalistik yang dirumuskan oleh institusi

pers dan dirumuskan dalam style book. Code of conduct ini menjadi

buku acuan jurnalis soal sejauh mana ia harus bertindak sesuai

profesinya. Asumsinya ketika kode perilaku ini tidak dimiliki

perusahaan, maka pekerjanya akan lebih mudah melakukan suap.

3. Kontrol organisasi profesi berkaitan dengan pengawasan yang

dilakukan organisasi profesi. Pengawasan ini bisa dilakukan dengan

berbagai hal diantaranya penerapan kode etik organisasi profesi dan

sanksinya, memberikan pelatihan atau sosialisasi terus menerus soal

penegakan etika, menciptakan iklim organisasi profesi yang taat pada

etika, dan sebagainya.

38

4. Tekanan komersial berkaitan dengan bagaimana perusahaan

menempatkan kepentingan masyarakat (memberi informasi yang benar)

dengan kepentingan pasar. Tekanan komersial seringkali menjadi faktor

sebuah perusahaan media lebih memilih kepentingan pasar (asumsi

berita kurang memenuhi nilai berita) dalam proses pemberitaan. Hal ini

dipicu pula bahwa kepentingan pasar merupakan sarana pemasukan

bagi media. Bila tekanan komersial tinggi, maka media cenderung

mengedepankan iklan, begitu pula sebaliknya.

5. Sanksi sosial dalam masyarakat berupa hukuman yang diberlakukan

oleh masyarakat ketika seorang jurnalis melakukan tindakan suap.

Sanksi sosial yang tinggi membuat jurnalis tidak berani melakukan

suap.

1.5.3 Efek Bias Pada Berita

Berita adalah produk jurnalistik berdasarkan fakta di lapangan. Fakta

tersebut dikonstruksi sedemikian rupa hingga membentuk sebuah cerita faktual

yang memenuhi kaidah jurnalistik. Kaidah jurnalistik memenuhi beberapa

unsur yaitu:

a. Unsur penulisan 5W+1H dalam penyajian fakta (what: apa fakta/peristiwa

yang diliput, when: kapan peristiwa tersebut terjadi, where: dimana

peristiwa itu terjadi, who: siapa saja yang terlibat dalam peristiwa, why:

mengapa peristiwa terjadi, dan how: bagaimana deskripsi peristiwa

tersebut).

39

Penulisan 5W+1H ini merangkum sejumlah informasi yang diliput

oleh jurnalis. Informasi ini harus memiliki aspek kebenaran, informatif,

dan relevan dengan peristiwa yang ditulis.

b. Pada level teknikalitas, tujuan kerja jurnalis, yaitu:

Tabel 1.2. Tujuan Kerja Jurnalis Pada Level Teknikalitas

Sikap Jurnalis Maksud Jurnalis Tujuan Jurnalisme

Tidak

berpihak/impartiality

Seimbang/balance 1. Objektif

2. Benar

Netralitas Adil/fairness

Siregar (Tanpa Tahun)

Unsur tidak berpihak atau seimbang berkaitan dengan cara jurnalis

bisa menempatkan fakta itu secara seimbang. Artinya, pihak yang terlibat

mendapatkan porsi yang seimbang untuk berpendapat sesuai peristiwa yang

terjadi. Inilah yang disebut dengan cover both side. Lebih lagi ketika ada

sebuah konflik, jurnalis tidak hanya mewawancari yang berkonfrontasi

langsung, melainkan semua pihak yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Dalam aspek ini, pemberitaan tidak menguntungkan salah satu pihak

dengan cara apa pun.

Keseimbangan ini dilihat dari tiga elemen yakni source bias atau

penampilan satu sisi dalam pemberitaan. Kedua, tidak ada slant atau

40

kecenderungan dalam pemberitaan, dan ketiga adalah kehadiran berbagai

bentuk ketidakseimbangan pemberitaan seperti representasi nara sumber,

representasi aktor, pemakaian kata atau kalimat hiperbola, serta kuantitas

data dan fakta yang dibutuhkan dalam menyampaikan berita.

(Rahayu, 2006:25)

Sedangkan aspek netralitas berkaitan dengan cara jurnalis

menampilkan sebuah fakta tanpa berpihak pada salah satu pihak yang

berkepentingan. Untuk itulah, jurnalis tidak boleh terlibat dalam konflik

kepentingan. Dalam aspek netralitas ini, jurnalis tidak bisa memberikan

penilaian (non-evaluative) dan tidak melebih-lebihkan berita (non

sensasional. Penilaian yang dimaksudkan adalah penilaian secara positif

ataupun negatif.

Dalam pemberitaan, aspek netralitas dapat diukur dari dari

sensasionalisme (bagaimana wartawan ingin membuat sensasi yakni

dengan emosional dan dramatisasi), stereotype (pemberian atribut tertentu

terhadap individu, kelompok atau bangsa tertentu dalam penyajian berita),

juxtaposition (cara wartawan menyandingkan dua fakta yang berbeda

dengan maksud menimbulkan efek kontras yang menambah kesan

dramatis), dan linkages (cara wartawan menyandingkan dua fakta yang

berbeda untuk menimbulkan efek asosiatif). (Rahayu, 2006:26).

41

1.6 DESAIN PENELITIAN

1.7 METODOLOGI PENELITIAN

1.7.1 Studi Kasus Sebagai Metode Penelitian

Robert K. Yin dalam Rianto (2008:82) mendefinisikan bahwa studi kasus

adalah sebagai suatu penelitian empiris yang menyelidiki fenomena dalam

konteks ke4hidupan nyata, bilamana batas – batas antara fenomena dengan

konteks tidak tampak tegas dan dimana multisumber bukti digunakan. Studi kasus

digunakan dalam penelitian untuk menjawab pertanyaan “how” dan “why”.

Studi kasus merupakan studi yang dilakukan untuk mencari kedalaman

penjelasan atas kasus yang diteliti, digunakan untuk kasus yang

Faktor Penyebab Suap

1. Komitmen individual

2. Kode etik perilaku perusahaan

3. Kontrol organisasi profesi

4. Tekanan komersial

5. Sanksi sosial dalam masyarakat

Praktik Suap

di Kalangan

Jurnalis

Jenis – jenis

Suap di Media

Pelaku suap

42

spesifik(mempunyai keunikan atas konteks ilmiah, sejarah, lingkungan fisik,

konteks ekonomi, politik, sosial, estetika), dibatasi oleh waktu, dan dalam proses

pengumpulan datanya menggunakan banyak ragam sumber. (Rianto,2008:82).

1.7.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini berfokus pada jurnalis di

Yogyakarta. Populasi jurnalis di Yogyakarta belum bisa diidentifikasikan oleh

peneliti. Peneliti hanya dapat mengidentifikasi jurnalis yang masuk dalam

organisasi profesi khususnya AJI dan PWI. Anggota AJI hingga Januari 2013 ini

tercatat 80 orang, sedangkan anggota PWI tercatat 518 hingga Januari 2013.

Sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah 16 orang. Jumlah ini

memang tidak mewakili populasi jurnalis di Yogyakarta. Peneliti memilih jumlah

tersebut lantaran tema ini bukanlah tema yang mudah untuk diangkat. Peneliti

harus mendekati satu persatu responden agar responden mau berterus terang. Oleh

karenanya teknik pengambilan sampel ini menggunakan snowbowling bukan

random sampling.

Dengan jumlah sample tersebut, peneliti memang tidak bisa melakukan

klaim secara keseluruhan. Hanya saja, sampel tersebut bisa mengungkap atau

memberikan gambaran soal praktik suap di kalangan jurnalis serta faktor-faktor

penyebabnya.

Selain jurnalis, untuk lebih memperdalam penelitian ini, peneliti juga

melakukan wawancara dengan dua humas yang terdiri dari humas pemerintahanan

dan humas pendidikan yang dalam kasus ini sebagai penyuap, Sihono sebagai

43

Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Yogyakarta, serta pengamat media

Atmakusumah.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini metode pengumpulan data yang digunakan oleh

peneliti adalah

a. Dokumentasi : merupakan objek rencana-rencana pengumpulan data

eksplisit diantaranya laporan penelitian, dokumen,serta artikel yang

muncul di media massa.

b. Metode wawancara mendalam (indept-interview), suatu cara

mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap

muka agar mendapatkan data lengkap dan mendalam. Wawancara

mendalam dipilih karena tema ini tidak bisa dijawab dengan kuesioner.

Teman suap membutuhkan kejujuran dari narasumber. Dengan

wawancara mendalam, nara sumber memiliki kebebasan secara

terbuka untuk menceritakan pengalamannya.

c. Observasi langsung: mengamati langsung objek yang diteliti di

lapangan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena riset.

d. Observasi partisipan: peneliti ikut berpartisipasi untuk mengambil

peran dalam situasi tertentu dan berpatisipasi dalam peristiwa yang

akan diteliti.

44

1.7.4 Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen dalam Lexy

(2004:248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data,

mengorganisasi data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola,

mensistesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting

dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada

orang lain. Data kualitatif adalah data–data yang berupa kata-kata, kalimat-

kalimat atau narasi-narasi, baik yang diperoleh dari wawancara mendalam

maupun observasi.

Tahapan analisis data kualitatif dalam Rachmat (2010:197) adalah sebagai

berikut. Data terkumpul dari hasil wawancara, observasi, dokumen-dokumen, dan

sebagainya. Data tersebut akan diklarifikasi dan dikategorikan dalam kategori

tertentu. Periset benar-benar memilah data yang kurang valid serta mendialogkan

data satu dengan yang lain. Setelah itu, peneliti akan melakukan pemaknaan

terhadap data berdasarkan prinsip dasar riset kualitatif bahwa realitas adalah hasil

konstruksi realitas. Periset pun akan berteori untuk mempertahankan argumentasi

dan akhirnya memberikan kesimpulan.