Warta HPI Media komunikasi antar anggota
Penanggung jawab: Hananto Sudharto
Tim Redaksi:
Editor: Sofia Mansoor
Maria E. Sundah
Redaksi: Lucia Aryani
Indria Salim
Dari Redaksi
Lembaran Baru
Mengawali tahun 2017 yang masih segar, Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) merayakan hari ulang tahunnya yang ke-43 yang jatuh pada tanggal 5 Februari 2017. Bagai membuka lembaran baru, Ketua Umum terpilih Hananto Sudharto melaksanakan salah satu amanat Kongres XII HPI yaitu membentuk badan pengurus yang baru.
Senantiasa bijaksana sebelum memulai sesuatu yang baru kita menengok ke belakang untuk menimba kebijakan dari sejarah. Diharapkan dapat diperoleh nilai-nilai yang memperkuat langkah yang diambil di awal tahun 2017 ini.
Di tahun awal 2000an di bawah kepemimpinan Prof. Benny H. Hoed, HPI pernah memiliki media komunikasi antar anggota yang diberi nama Warta HPI dan diterbitkan dalam bentuk cetak. Setelah beberapa edisi, publikasi ini sempat terhenti dan dilanjutkan kembali pada masa kepemimpinan HPI oleh Hendarto Setiadi di tahun 2007, masih dalam bentuk cetak. Setelah menghilang cukup lama, kini Warta HPI muncul dalam bentuk digital sesuai perkembangan zaman.
Dibarengi semangat untuk memberi pelayanan terbaik bagi anggota, pengurus HPI meluncurkan Warta HPI sebagai salah satu media komunikasi bagi anggota yang diharapkan suatu waktu akan bersifat timbal balik.
Kami nantikan peran serta Anda semua.
Salam HPI
Redaksi
---o0o---
Warta Utama
SEJARAH HPI
Dari kiri ke kanan: Prof. Benny H. Hoed (Ketua HPI 2000-2007), Bapak Dendy Sugono (Kepala Pusat Bahasa), Hendarto Setiadi (2007-2010),
Ali Audah, Winarsih Arifin (Ketua dan Sekretaris HPI pada awal berdirinya)
SEBERMULA
Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI) didirikan pada 5 Februari 1974
di Jakarta atas prakarsa beberapa orang anggota Dewan Kesenian
Jakarta, pengurus TIM, dan didukung oleh Direktorat Pendidikan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, serta perwakilan UNESCO di
Jakarta. Ali Audah menjadi ketua pertama HPI.
Pada tahun-tahun awal berdirinya, anggota HPI sebagian besar terdiri
atas penerjemah buku. Hal ini erat hubungannya dengan program
UNESCO pada saat itu yang membutuhkan banyak penerjemahan
buku. Syarat keanggotaannya meliputi pencantuman jumlah buku
yang telah diterjemahkan. Tak heran jika program kerja organisasi ini
menekankan pada pencarian proyek penerjemahan bagi para
anggotanya. Sempat berkantor di beberapa lokasi, sesudah masa
kepemimpinan Bapak Ali Audah, HPI pernah diketuai oleh S.S.
Nasution dan Usman Rahman.
MASA JAYA
Pada tahun 70-an HPI mengalami masa jayanya dengan jumlah anggota mencapai sekitar 300-an
penerjemah. Sebagaimana dikisahkah oleh beberapa anggotanya di kurun waktu itu, profesi
penerjemah buku merupakan sumber nafkah yang lumayan dapat diandalkan. Seorang penerjemah
muda yang masih berstatus mahasiswa di masa itu bercerita bahwa dari upah penerjemahan buku
untuk sebuah penerbit besar, ia mampu berbelanja baju di butik ternama yang terletak di pusat
pertokoan mewah, yang membuat iri banyak rekannya di kampus. Seorang ibu rumah tangga yang
banyak mengerjakan terjemahan buku, mengaku sempat mengambil honor terjemahan, dan dengan
uang dalam amplop yang baru diterimanya, langsung berangkat ke bandara dan terbang ke Eropa.
MATI SURI
Menurut penuturan para anggota HPI di zaman ini, sesudah ketuanya meninggal dunia, organisasi
profesi ini sempat mengalami kebekuan kegiatan. Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang
anggotanya, Bapak Alfons Taryadi (alm.) yang juga pegiat di Dewan Kesenian Jakarta dan di Ikatan
Penerbit Indonesia (IKAPI), keadaan “mati suri” ini berlangsung cukup lama. Hal ini sangat
memprihatinkan mengingat pentingnya peran organisasi ini bagi keberlangsungan mutu
penerjemahan buku di negeri ini.
HIDUP KEMBALI
Mengutip Prof. Dr. Benny H. Hoed (alm.), pada suatu hari di
tahun 2000, beliau menerima telpon dari Bapak Alfons Taryadi.
“Ben, selamatkan HPI.” Maka dilaksanakanlah rapat yang
dihadiri oleh beberapa tokoh HPI di masa itu, dan diputuskan
untuk menunjuk Prof. Dr. Benny H. Hoed sebagai Ketua HPI.
Di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Benny H. Hoed atau akrab
disapa Pak Benny yang sangat aktif mengembangkan ilmu
penerjemahan di perguruan tinggi, cakupan keanggotaan HPI
diperluas dengan mengikutsertakan penerjemah dokumen dan
kemudian juga para juru bahasa. Ketika menghidupkan kembali
HPI, organisasi ini tidak memiliki satu rupiah pun dalam kasnya.
Hanya ada daftar anggota, dan ketika dihubungi, banyak yang
tidak tertarik bergabung kembali atau telah berganti alamat.
Mulailah pengurus baru HPI yang sebagian besar terdiri atas
kalangan perguruan tinggi mengumpulkan anggota.
Konon peran HPI di masa lalu ketika membagi-bagikan pekerjaan secara langsung kepada
anggotanya, menimbulkan iri hati dan kecurigaan yang tidak sehat di dalam tubuh organisasi profesi
ini. Oleh sebab itu, dilakukan pula pergeseran program kerja yang tidak lagi mencarikan pekerjaan
bagi anggotanya, melainkan lebih menekankan pada peningkatan mutu penerjemah dan juru bahasa
untuk memajukan harkat profesi ini.
HPI tercatat sebagai anggota federasi penerjemah internasional FIT/IFT (International Federation of
Translators) dan telah menghadiri kongres FIT di Wina (1984), Beograd (1990), Brighton (1993),
Melbourne (1996), Beijing (2004), dan Berlin (2014). Di dalam negeri, HPI menjadi anggota Badan
Pertimbangan dan Pengembangan Buku Nasional (BPPBN).
Pada 11-12 April 2007, atas mandat dari FIT, HPI menyelenggarakan kegiatan 3 tahunan FIT, yaitu
ATF atau Forum Penerjemah Asia ke-5 FIT di Bogor.
TSN-HPI
Setelah masa kepemimpinan Pak Benny selama dua periode, tahun 2000-
2003 dan 2004-2007, dalam Kongres HPI ke- IX tahun 2007, Hendarto Setiadi
terpilih sebagai Ketua HPI untuk periode 2007-2010 menggantikan Pak
Benny. Salah satu keberhasilan tim pengurus ini adalah diluncurkannya Tes
Sertifikasi Nasional HPI atau TSN-HPI, yang diselenggarakan untuk pertama
kalinya pada tanggal 17 Juli 2010 di Jakarta. Tes kompetensi ini dibuat untuk
menjawab kebutuhan para penerjemah di luar wilayah DKI untuk
memperoleh bukti kompetensi mereka. Pada masa itu UKP (ujian kualifikasi
penerjemah) yang meliputi ujian khusus untuk penerjemah bersumpah
terbatas pada wilayah DKI dan sekitarnya.
Dalam Kongres HPI ke-X tanggal 16 Oktober 2010, Djoko Rahadi Notowidigdo, yang dikenal akrab
dengan sapaan Pak Eddie, terpilih sebagai Ketua Umum HPI untuk periode 2010-2013 menggantikan
Hendarto Setiadi.
KOMDA HPI
Pada Kongres HPI ke-XI pada tanggal 30 November 2013, Pak Eddie terpilih
kembali sebagai Ketua Umum HPI untuk periode 2014-2016. Selama
kepemimpinan Pak Eddie, HPI mengalami peningkatan yang mengesankan dalam
jumlah anggotanya hingga mencapai lebih dari 1000 penerjemah dan juru bahasa.
Dalam kurun waktu ini pula HPI mulai mendirikan komisariat daerah (KomDa).
Pak Eddie mengundurkan diri pada bulan Mei 2014
karena alasan kesehatan, dan digantikan oleh Hananto
Sudharto yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua. Dalam masa
kepemimpinan Hananto Sudharto, HPI mulai memiliki kantor sekretariat
tetap di kawasan Jakarta Selatan.
Pada Kongres HPI ke-XII pada tanggal 17 Desember 2017, Hananto
Sudharto terpilih sebagai Ketua Umum HPI.
Tim Redaksi Warta HPI
Catatan: Sejarah HPI ini disusun berdasarkan tulisan Bapak Ali Audah dengan tambahan keterangan dari beberapa narasumber.
---o0o---
Laporan pandangan mata
Kongres XII HPI
Bertempat di Aula Gedung Samudra, Balai Bahasa, Kongres XII HPI dimulai pada jam 9 pagi,
dimulai pada jam 9 pagi, dibuka oleh Pak Wiyanto Soeroso dan dilanjutkan dengan pembacaan doa
oleh Pak Baharuddin Banyumulek dari Komisariat Daerah Nusa Tenggara, yang dilanjutkan dengan
pemasangan Sang Saka Merah Putih dan pataka HPI oleh Mas Hanif Rusli. Setelah itu, seluruh
peserta diajak berdiri dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dipimpin oleh Engelika
Tanjung. Semua peserta menyanyikannya dengan khidmat.
Sambutan diberikan oleh beberapa mitra strategis HPI. Ibu Nyimas Lita Aprianty dari
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bapak Eko Harnowo dari Sekretariat Kabinet, Bapak
Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum, Kepala Badan Bahasa dan tayangan video sekapur sirih dari
Bapak Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia.
Acara berikutnya adalah pembentukan Presidium Kongres XII HPI, dan semua tokoh yang
ditunjuk menerima. Presidium diketuai oleh Bapak Sugeng Hariyanto, Ibu Kunta Yuni sebagai
Sekretaris dan Bapak Baharuddin Banyumulek sebagai Wakil Ketua. Presidium Kongres langsung
melaksanakan tugas mereka dalam Sidang Pleno I,
mengesahkan Tata Tertib dan Susunan Acara Kongres
yang sudah dibagikan dalam bentuk cetak kepada semua
peserta Kongres saat pendaftaran.
Karena beberapa sambutan di pagi hari cukup
panjang, Sidang Pleno II yang direncanakan dimulai jam 9.45 mundur ke jam 11.30. Sidang Pleno II
berisi laporan pertanggungjawaban Badan Pengurus masa bakti tahun 2013-2016 berlangsung
singkat, dilanjutkan dengan rehat sholat dan makan siang yang lezat, disiapkan oleh pihak Badan
Bahasa.
Setelah rehat makan siang, peserta dibagi ke 3 ruangan sesuai sidang komisi yang dipilih. Sidang
Komisi A yang membahas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga bersidang di Aula Samudra,
sementara Komisi B yang membahas Kode Etik dan Komisi C yang membahas Program Kerja
bersidang di lantai 1 gedung yang sama.
Setelah 90 menit bersidang, sesuai kesepakatan yang dicapai seluruh peserta dengan Presidium
Kongres sebelum sidang komisi dimulai, semua komisi bergantian melaporkan rekomendasi masing-
masing di hadapan seluruh peserta, dan Presidium Kongres mengesahkan hasilnya dalam Sidang
Pleno III.
Presidium Kongres kemudian membuka Sidang Pleno IV dan menjaring calon ketua umum.
Sebelum memulai proses ini, Presidium Kongres meminta kesediaan beberapa peserta sebagai
Panitia Pemilihan. Presidium Kongres beserta Panitia Pemilihan kemudian berunding dengan peserta
untuk menentukan metode pengumpulan suara, kemudian sesuai dengan yang disepakati panitia
membagikan kertas suara untuk diisi peserta dan dimasukkan dalam kotak tembus pandang yang
diletakkan di bagian depan ruangan, dekat meja Presidium Kongres. Setelah semua anggota
memasukkan kertas suara, panitia pemilihan membacakan nama-nama bakal calon yang ditulis
peserta Kongres. Total didapat beberapa nama calon dan setelah beberapa orang menolak
dicalonkan, pada akhirnya didapat tiga nama calon ketua, calon no. 1, petahana Hananto Sudharto;
calon no. 2 Margaretha Adisoemarta; dan calon no. 3 Hikmat Gumilar.
Sesi berikutnya adalah pemaparan program semua calon, yang dibatasi lima menit masing-
masing pada Sidang Pleno V. Akhirnya tibalah saat yang dinanti. Pada Sidang Pleno VI dilaksanakan
pemungutan suara. Untuk memudahkan proses pemungutan suara, panitia membedakan bilik
pemungutan suara untuk peserta yang membawa surat proksi
(yang telah dipastikan keabsahannya sebelumnya oleh Presidium
Kongres dan panitia pemilihan) dan peserta pemilih perorangan.
Bilik pemungutan suara terlihat dibuat profesional, tidak kalah
dengan bilik pemilihan umum nasional. Bedanya bilik
pemungutan suara nasional biasanya terbuat dari bahan besi,
sementara empat bilik pemungutan suara di Kongres XII HPI
terbuat dari kayu, dengan logo kongres di bagian luar. Semua
surat suara kembali dimasukkan ke dalam kotak tembus pandang
di depan meja presidium kongres.
Seusai sesi pemungutan suara, panitia pemilihan membuka kotak dan membacakan surat suara
satu-persatu sambil anggota panitia pemilihan yang lain mencatatkan hasilnya di papan tulis. Hasil
akhir pemungutan suara, sebagai berikut:
1. Hananto Sudharto: 103
2. Margaretha Adisoemarta: 42
3. Hikmat Gumilar: 23
Sidang Pleno VI ditutup dengan penyerahan pataka HPI kepada Ketua Umum
terpilih yang dilanjutkan dengan sambutan singkat, dan diakhiri Ketua Presidium
yang menutup Sidang Pleno VI.
Seluruh rangkaian acara Kongres ditutup oleh Ketua Panitia Kongres dan doa yang
dibawakan oleh Bapak Baharuddin Banyumulek dari KomDa Nusa Tenggara.
Semoga amanat Kongres XII HPI dapat diemban dengan baik oleh Bapak Hananto
Sudharto dan jajaran pengurus yang dibentuknya demi kemajuan profesi kita
bersama.
(LA)
---o0o---
Warta KomDa
Komisariat Daerah Jawa Barat
Ketua Ricky Zulkifli
Sekretaris R.A. Kanya V.D.
Bendahara Betty Sihombing
Komisariat Daerah Jawa Tengah dan DIY
Ketua Claryssa Suci P.
Sekretaris Andika Priadiputra/ Helmy Ismail Sani
Bendahara Sandra Dewi Wirawan
Komisariat Daerah Jawa Timur
Ketua Arif Furqon
Sekretaris Sukono
Bendahara Arif Rakhman
Komisariat Daerah Bali
Ketua: Kunta Yuni
Ketua Kuntayuni
Sekretaris Ni Luh Windiari
Bendahara Desi Mandarini
Komisariat Daerah Nusa Tenggara
Ketua Nurul Azizah
Sekretaris Agus Haryono
Bendahara Lohitha Kania
---o0o---
Serba-serbi
Penerjemah Profesional
Indra Listyo
Profesi penerjemah bukanlah profesi baru. Profesi ini merupakan salah satu profesi
yang telah lama ada dalam sejarah peradaban manusia. Kita semua bisa memahami
kitab-kitab suci keagamaan dan pelbagai teks yang ditulis di masa lampau karena
buah hasil karya para penerjemah. Hubungan kerja sama di pelbagai bidang
kehidupan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki perbedaan budaya dan
bahasa dapat terlaksana sebagian karena peran penerjemah.
Di era sekarang ini dalam konteks kerja sama antar negara atau bisnis internasional,
perusahaan atau investor asing yang akan menanamkan modalnya untuk berbisnis di
suatu negara umumnya perlu memahami dan mempelajari peraturan perundang-
undangan di negara tuan rumah terlebih dahulu, yang sering kali bahasanya berbeda.
Untuk memastikan bahwa keputusan investasi yang diambil tepat, para pengambil
keputusan memerlukan informasi yang akurat tentang semua informasi yang
diperlukan, khususnya yang terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara mitra kerja samanya. Fakta
bahwa undang-undang (UU) dan peraturan selalu ditulis dalam bahasa nasional suatu
negara yang bersangkutan telah membuat posisi profesi penerjemah menjadi sangat
penting. Dalam konteks ini, peran penerjemah menjadi sangat strategis karena
penerjemah berperan sebagai fasilitator antar dua pihak dalam menghasilkan
terjemahan yang akurat, jelas dan wajar sehingga proses komunikasi dapat berjalan
lancar.
Di Indonesia, UU nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan menyatakan secara jelas kewajiban penggunaan
bahasa Indonesia dan perlunya penerjemahan sebagai implikasinya. Pasal 31 – 33
UU tersebut menyatakan sebagai berikut:
Pasal 31
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Pasal 32
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional
atau forum yang bersifat internasional di Indonesia. (2) Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat
internasional di luar negeri.
Pasal 33
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.
Dengan berlakunya UU ini peran penerjemah menjadi sangat penting untuk
memastikan komunikasi berjalan dengan baik. Dari sisi penciptaan lapangan kerja,
ketentuan UU ini mendorong terbukanya peluang kerja pada bidang-bidang yang
terkait dengan kebahasaan, pengajaran bahasa asing, bahasa Indonesia,
penerjemahan, penjurubahasaan, komunikasi dan bidang-bidang lain yang
bersinggungan.
Seiring dengan semakin meningkatnya hubungan bisnis internasional di Indonesia,
kemajuan teknologi, keterbukaan akses teknologi, jasa penerjemahan semakin
dibutuhkan untuk mendukung kelancaran interaksi bisnis baik di kalangan
pemerintahan maupun swasta. Kini semakin banyak pula orang yang berprofesi
sebagai penerjemah perusahaan, penerjemah lepas, penerjemah pada kantor
pemerintah dan profesional lain yang terkait dengan kegiatan olah kata sebagai
profesi utama. Di masa lalu profesi penerjemah kebanyakan merupakan profesi
sampingan, namun kini semakin banyak orang yang memilih untuk bekerja secara
purnawaktu sebagai penerjemah dengan melayani klien dari tingkat perorangan
hingga perusahaan.
Dengan semakin banyak jumlah praktisi profesional di bidang penerjemahan, di
banyak negara mereka membentuk organisasi profesi yang berfungsi sebagai payung
resmi bagi para penerjemah profesional untuk dapat terus mengembangkan
profesinya dan sebagai forum di antara mereka dalam memperluas jejaring pekerjaan.
Asosiasi profesi sangat menyadari bahwa profesi ini memerlukan keterampilan yang
tinggi tidak saja dalam hal penguasaan yang baik atas bahasa sumber dan sasaran,
tetapi juga pengetahuan umum dan khusus yang terkait pada bidang yang sedang
diterjemahkan, penggunaan teknologi informasi, dan lain sebagainya. Asosiasi profesi
juga bisa menjadi tempat bagi para anggotanya untuk tetap mengikuti perkembangan
terkini mengenai hal-hal yang berhubungan dengan industri penerjemahan dan
standar praktik/ kompetensi penerjemah profesional yang semuanya bertujuan agar
para anggotanya dapat memberikan layanan penerjemahanan kepada para klien
yang sesuai dengan standar mutu profesi yang berlaku di industri penerjemahan.
Dengan semakin meningkatnya interaksi bisnis di bidang penyediaan jasa
penerjemahan baik di dalam maupun di luar negeri, kondisi ini telah mendorong
terjadinya kerja sama dan persaingan di antara sesama penyedia jasa penerjemahan.
Kerja sama dan persaingan ini merupakan konsekuensi logis dan alami yang tidak
bisa dihindari.
Interaksi dengan klien
Mengingat sebagian besar pekerjaan penerjemahan tercipta karena adanya
kebutuhan klien, penerjemah profesional dituntut untuk terus mendapatkan klien yang
sesuai dengan harapan. Keberlanjutan pekerjaan penerjemahan dari klien menjadi
syarat agar profesi penerjemah tetap bertahan. Karenanya para penerjemah perlu
memiliki kemampuan yang baik dalam menjaganya. Terkait dengan hal ini, pada
dasarnya kelanggengan hubungan profesional dalam bisnis jasa penerjemahan
sangat ditentukan oleh tingkat kepuasan klien terhadap hasil dan pelaksanaan jasa
penerjemahan dan tingkat kepuasan penerjemah atau penyedia jasa penerjemahan
terkait kompensasi atas jasa profesional yang telah diberikan kepada kliennya. Jadi,
konsep kepuasan ini bersifat timbal balik dan subyektif serta perorangan.
Kepuasan klien secara umum bisa terjadi jika hasil yang diterima sesuai atau melebihi
harapan. Sebagai contoh, jika penerjemah mengirim hasil terjemahan sesuai atau
lebih awal dari yang dijanjikannya (dengan asumsi mutu terjemahan terjaga baik), hal
ini akan membuat klien merasa puas atau bahkan lebih dari sekadar puas. Demikian
pula sebaliknya, jika klien melakukan pembayaran atas jasa penerjemahan sesuai
tanggal yang dijanjikan atau lebih awal, hal itu membuat penerjemah merasa senang.
Jika kedua belah pihak merasa puas terhadap perlakuan yang diterima oleh masing-
masing pihak, hubungan semacam ini biasanya menciptakan kepuasan terhadap
masing-masing pihak dan dapat menjadi modal yang sangat penting dalam
membangun dan memelihara hubungan profesional untuk jangka panjang yang saling
menguntungkan di masa selanjutnya.
Tingkat kepuasan merupakan fondasi dari pembentukan dan pengembangan sikap
saling percaya antara klien dan penerjemah. Keberlanjutan bisnis terjemahan dalam
jangka panjang sangat bergantung dalam banyak hal pada seberapa kuat tingkat
kepercayaan yang telah terbangun antara klien dan penerjemah. Sekuat apa klien
percaya bahwa penerjemah tersebut mampu meyakinkan klien bahwa pekerjaan
terjemahan dapat diselesaikan sesuai persyaratan yang ditetapkan klien. Hal ini akan
sangat menentukan apakah hubungan profesional akan terus berlanjut atau tidak. Hal
yang sama juga berlaku untuk penerjemah. Sekuat apa penerjemah percaya bahwa
klien tersebut dapat menyakinkan penerjemah bahwa klien dapat melakukan
pembayaran sesuai yang dijanjikannya. Hal ini juga akan menentukan apakah
penerjemah tersebut (utamanya yang berpengalaman) bersedia menerima pekerjaan
itu.
Memperhatikan tingkat persaingan yang belakangan ini cenderung semakin ketat dan
struktur pasar/medan persaingan usaha di sektor ini cenderung bersifat terbuka dan
hampir tidak ada entry-barrier, paling tidak ada empat hal yang penting untuk
senantiasa diperhatikan oleh para penerjemah yang memutuskan untuk menjadikan
pekerjaan ini sebagai mata pencaharian. Ke empat hal tersebut adalah kompetensi
profesional, integritas, etika dan layanan bermutu.
1. Kompetensi Profesional
Penerjemah profesional harus memiliki kemampuan, pengetahuan dan
pengalaman yang sesuai dan mencukupi di bidang yang sedang diterjemahkan.
Kompetensi profesional merupakan modal dasar yang sifatnya mutlak yang
harus dimiliki oleh penerjemah profesional dalam menjalankan pekerjaannya.
Dalam dunia terjemahan kemampuan reseptif (membaca, menganalisa dan
menyimpulkan) dan produktif (menulis) dalam bahasa sumber dan bahasa
sasran (bahasa asing dan bahasa ibu) yang sangat baik merupakan
persyaratan mutlak yang harus dipenuhi oleh penerjemah. Kemampuan
lingusitik tersebut bisa diperoleh dengan banyak cara antara lain melalui
pendidikan formal, pendidikan nonformal, tinggal di luar negeri, sering
berinteraksi dengan komunitas asing, belajar mandiri dengan memanfaatkan
kemajuan di bidang informasi dan teknologi seperti internet, serta cara-cara lain
yang dianggap sesuai.
Selain kemampuan lingusitik, penerjemah dituntut untuk senantiasa
meningkatkan kemampuan ektra linguistik (pengetahuan ensiklopedik) sebagai
pendukung utama dalam memahami maksud teks. Dalam banyak kasus,
meskipun penerjemah memiliki kemampuan lingusitik yang baik, mereka
mengalami kesulitan dalam memahami maksud teks jika mereka tidak
didukung oleh pengetahuan latar belakang yang terkait. Minat membaca yang
kuat dan kemandirian dalam mencari informasi baru harus menjadi sifat dasar
yang melekat dalam diri penerjemah untuk dapat memahami teks secara baik
dan mampu menyampaikan apa yang dipahaminya secara akurat.
Penerjemah juga dituntut senantiasa mengikuti perkembangan teknologi alat
pendukung/bantu dalam pelaksanaan pekerjaanya yang dalam banyak hal
selalu dipersyaratkan oleh pemberi kerja.
Kompetensi ini harus terus dipelihara dan ditingkatkan untuk memastikan
bahwa penerjemah dapat menghasilkan produk/jasa yang berkualitas. Penting
untuk dicatat bahwa klien cenderung melihat produk akhir yang diberikan
kepadanya seperti apakah terjemahannya akurat, jelas, terbaca wajar dan
diselesaikan tepat waktu.
Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah sertifikasi profesi penerjemah.
Memperoleh sertifikasi profesi dari lembaga/ organisasi yang diakui
merupakan salah satu bentuk perhatian penerjemah terhadap audit
kompetensi profesional sesuai standar profesi. Pengujian kompetensi yang
dilakukan oleh pihak eksternal profesional netral sangat penting untuk
meningkatkan kepercayaan diri yang lebih objektif terkait kompetensi
profesional penerjemah. Sertifikasi profesional juga dapat menjadi komponen
pembeda (diferensiasi) dalam konteks persaingan usaha di bidang
penerjemahan.
2. Integritas dan Etika
Dalam memberikan jasa penerjemahan kepada pihak klien dalam konteks
hubungan bisnis profesional, penerjemah harus senantiasa memperhatikan
aspek integritas dan etika dalam berbisnis. Integritas secara umum merupakan
sistem prinsip/kaidah yang bersifat internal yang menuntun perilaku
penerjemah dalam melaksanakan tugasnya. Integritas merupakan pilihan.
Meski sangat dipengaruhi oleh cara seseorang dididik, integritas tidak dapat
dipaksakan oleh faktor eksternal. Ketika penerjemah melaksanakan tugasnya
dengan penuh integritas, ia akan melakukan pekerjaannya dengan
memperhatikan prinsip-prinsip kebenaran – meski tidak ada yang mengawasi.
Selain faktor integritas, penerjemah profesional harus juga memperhatikan
faktor etika. Dalam dunia profesi penerjemah, umumnya organisasi profesi
penerjemah telah memiliki kode etik penerjemah. Kode etik ini merupakan
sistem aturan yang bersifat eksternal yang bisa dijadikan rujukan bagi para
penerjemah profesional dalam melaksanakan pekerjaanya dan
memberlakukan sistem pemberian sanksi bagi pihak yang melanggar.
Penerjemah profesional terikat oleh kode etik profesi penerjemah yang
selayaknya dipatuhi.
3. Mutu Layanan
Pada akhirnya klien jasa penerjemahan akan menilai layanan penerjemahan
yang diberikan penyedia jasa penerjemahan atau penerjemah berdasarkan
persepsi tentang hasil terjemahan (akurasi, kejelasan dan kewajaran) dan cara
penyedia asa penerjemahan atau penerjemah berinteraksi dengan klien
selama berlangsungnya kegiatan bisnis tersebut. Klien jasa penerjemahan
menilai mutu hasil terjemahan, serta dampak hasil terjemahan dan mutu proses
penyediaan jasa penerjemahan tersebut. Mutu proses penyediaan jasa
mencakup hal-hal terkait dengan tingkat tanggapan penerjemah terhadap
permintaan klien, empati yang ditunjukkan penerjemah terhadap klien,
kepedulian penerjemah dalam mendengarkan keluhan klien, kebersediaan
mendengarkan klien, dsb.
Dalam beberapa kasus, penerjemah mungkin akan berhadapan dengan klien
yang belum begitu memahami dunia penerjemahan. Klien mungkin saja tidak
pernah tahu dengan pasti apakah hasil terjemahan telah dilakukan dengan
benar atau apakah pekerjaan benar-benar diperlukan atau tidak. Dalam kondisi
seperti ini, seringkali banyak penerjemah yang sangat kompeten memasang
tarif tinggi atas jasanya yang kerap dianggap terlalu tinggi; seorang penerjemah
yang didukung oleh keterampilan menerjemahkan yang sangat baik,
pengalaman yang luas, latar belakang pendidikan yang mumpuni, sertifikasi
profesi, dsb. tidak selalu berhasil mendapatkan proyek penerjemahan ketika
bersaing dengan penerjemah lain dengan atribut standar namun dibarengi
layanan antarpribadi yang sangat baik dengan klien seperti kemampuan
berempati, ketepatan waktu penyelesaian, dan keramahtamahan.
Sebagai penutup, penerjemah perlu memperhatikan hal-hal di atas untuk memastikan
bahwa layanan profesional yang diberikannya kepada klien memenuhi harapan dan
tingkat kepuasan klien, serta menciptakan hubungan bisnis yang saling
menguntungkan bagi kedua belah pihak untuk jangka panjang.
---o0o---
Top Related