UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUKSI
PRODUK TERAPEUTIK DAN PKRT
PERIODE 1-24 APRIL 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
AMALIA RIZQI, S.Farm.
1306343353
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JULI 2014
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
DI BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUKSI
PRODUK TERAPEUTIK DAN PKRT
PERIODE 1-24 APRIL 2014
LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
AMALIA RIZQI, S.Farm.
1306343353
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
JULI 2014
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga panulis dapat menyelesaikan penulisan dan
penyusunan Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini yang dilaksanakan di
Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia selama satu bulan, yaitu
tanggal 1-24 April 2014.
PKPA di pemerintahan merupakan rangkaian dari kegiatan pendidikan profesi
apoteker yang bertujuan untuk memantapkan pemahaman mahasiswa secara
komprehensif berkaitan dengan peran apoteker di bidang pemerintahan, khususnya di
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Selama
pelaksanaan proses pembelajaran tersebut penulis tidak lepas dari bantuan, bimbingan,
dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. Mahdi Jufri, M.Si., Apt., sebagai Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia.
2. Dr. Hayun, M.Si., Apt., sebagai Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Indonesia.
3. Bapak Dr. Roy A. Sparringa, M. App. Sc., selaku Kepala Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia
4. Bapak Bayu Wibisono, S.Si, Apt. selaku Pembimbing dari Direktorat Pengawasan
Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia atas kesabarannya dalam
membimbing serta memberikan waktu dan arahan yang berharga kepada penulis,
5. Dr. Harmita, Apt., sebagai pembimbing dari Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama penulis
melaksanakan PKPA serta dalam penulisan laporan ini.
6. Seluruh pembimbing dalam setiap kegiatan di Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia atas kerjasama, bantuan, dan informasi yang diberikan kepada
penulis,
7. Orang tua dan keluarga besar tercinta atas segala doa, kasih sayang, dan dukungan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
v
moril maupun materil yang telah diberikan kepada penulis, serta
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang secara langsung
maupun tidak langsung membantu PKPA ini sejak mulai pelaksanaan hingga
selesainya penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun untuk
penyempurnaannya sangat penulis harapkan agar kelak dapat memberikan manfaat
untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Amin
Penulis
2014
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Amalia Rizqi, S. Farm. NPM : 1306343353 Program Studi : Apoteker - Fakultas Farmasi UI Judul Laporan : Laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapeutik dan PKRT Periode 1-24 April 2014
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang organisasi, tugas, dan fungsi BPOM khususnya di Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT. Selain itu praktek kerja ini juga Memperoleh pengetahuan mengenai peran, tugas, dan fungsi apoteker di Badan Pengawas Obat dan Makanan BPOM khususnya di Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT. Selama melaksanakan PKPA di BPOM juga dilakukan studi kasus mengenao penarikan kembali di yang bertujuan untuk mengetahui dan memahami proses dilakukanya penarikan kembali atau recall produk terapetik di Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT. Kata kunci : Badan Pengawas Obat dan Makanan, Direktorat Pengawasan
Produksi Produk Terapetik dan PKRT, Penarikan Kembali Tugas umum : viii + 59 halaman; 1 tabel; 9 lampiran Tugas khusus : vii + 19 halaman; 1 tabel; 1 lampiran Daftar Acuan Tugas Umum : 10 (1998-2013) Daftar Acuan Tugas Khusus : 3 (2009-2011)
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Amalia Rizqi, S. Farm. NPM : 1306343353 Program Study : Apothecary profession Title : Report of Apothecary Profession Internship at National
Agency of Drug and Food Control (NA-DFC) Directorate of Production Control of Therapeutic Product and Household Medical Supplies on April 1st-24th 2014
Apothecary Profession Internship (PKPA) at National Agency of Drug and Food Control (NA-DFC) aimed to understand the organization, duties, and functions of NA-DFC, especially at Directorate of Production Control of Therapeutic Product and Household Medical Supplies, and also to understand the duties and functions of apothecary at NA-DFC. The title of special assignment was Recall Case Study of Product X in Directorate of Production Control of Therapeutic Product and Household Medical Supplies, which aimed to understand process of recall at Directorate of Production Control of Therapeutic Product and Household Medical Supplies. Keywords : Directorate of Production Control of Therapeutic Product
and Household Medical Supplies, National Agency of Drug and Food Control (NA-DFC), Recall
General Assignment : viii + 59 pages; 1 tables; 9 appendices Special Assignment : vii + 19 pages; 1 tables; 1 appendices Bibliography of General Assignment: 10 (1998-2013) Bibliography of Specific Assignment: 3 (2009-2011)
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
vi Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... viii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian........................................................................ 2
BAB 2 TINJAUAN UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN REPUBLIK INDONESIA ......................................... 3
2.1 Landasan Hukum Terkait Kegiatan Kefarmasian di BPOM RI ... 3
2.2 Latar Belakang BPOM RI........................................................... 6
2.3 Definisi BPOM RI ...................................................................... 7
2.4 Filosofi Logo BOM RI ............................................................... 8
2.5 Visi dan Misi BPOM RI ............................................................. 9
2.6 Tugas Pokok dan Fungsi BPOM RI ............................................ 9
2.7 Budaya Organiasi BPOM RI ...................................................... 10
2.8 Kewenangan BPOM RI .............................................................. 10
2.9 Prinsip Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM)
BPOM RI ................................................................................... 11
2.10 Kerangka Konsep SisPOM BPOM RI ...................................... 11
2.11 Target Kinerja BPOM RI ......................................................... 12
2.12 Struktur Organisasi BPOM RI .................................................. 12
2.13 Organisasi dan Tata Kerja BPOM RI ........................................ 13
BAB 3 TINJAUAN KHUSUS BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN REPUBLIK INDONESIA ......................................... 24 3.1 Landasan Hukum........................................................................ 24
3.2 Struktur Organisasi Direktorat Pengawasan Produksi Produk
Terapetik dan PKRT ................................................................... 24
3.3 Visi dan Misi Direktorat Pengawasan Produksi Produk
Terapetik dan PKRT ................................................................... 25
3.4 Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Pengawasan Produksi
Produk Terapetik dan PKRT ....................................................... 25
3.5 SubdirektoratInspeksi dan Sertifikasi Produksi Produk Terapetik
dan PKRT .................................................................................. 26
3.6 SubdirektoratHarga Obat dan Farmakoekonomi ......................... 28
3.7 SubdirektoratPengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis CPOB 30
3.8 Hasil Pengawasan Post-Market dan Pemeriksaan Sarana
Produksi Produk Terapetik Tahun 2013 ...................................... 31
3.9 Hasil Penyusunan Peraturan dan Standar di Bidang Pengawasan
Produksi Produk Terapetik dan PKRT ........................................ 32
BAB 4 PELAKSANAAN PKPA ................................................................. 35
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
vii Universitas Indonesia
BAB 5 TEORI PEMBAHASAN ................................................................. 39
5.1 Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapetik dan
PKRT ......................................................................................... 39
5.2 Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis
CPOB ......................................................................................... 45
5.3 Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi ........................ 52
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 56
5.1 Kesimpulan ................................................................................. 56
5.2 Saran ........................................................................................... 56
DAFTAR ACUAN ........................................................................................ 58
LAMPIRAN .................................................................................................. 59
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
viii Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Gambar dan filosofi logo Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia ......................................................................... 8
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Struktur Organisasi BPOM RI ................................................ 60
Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Pengawasan Produksi Produk
Terapetik dan PKRT .............................................................. 61
Lampiran 3. Alur Kerja Sertifikasi CPOB ................................................. 62
Lampiran 4. Alur Kerja Persiapan Inspeksi CPOB .................................... 63
Lampiran 5. Alur Kerja Pelaksanaan Inspeksi CPOB ................................ 64
Lampiran 6. Alur Kerja Laporan Inspeksi CPOB ...................................... 65
Lampiran 7. Alur Kerja Inspeksi Luar Negeri Pre-Market ......................... 66
Lampiran 8. Alur Kerja Inspeksi Luar Negeri Post-Market ....................... 67
Lampiran 9. Alur Kerja Pelaksanaan Sampling ......................................... 68
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industri obat, obat tradisional, suplemen makanan, kosmetik, dan pangan
semakin banyak mempromosikan produknya dengan berbagai klaim yang
menggiurkan masyarakat. Tingkat pertumbuhan produk baik jenis dan jumlahnya
disertai kecenderungan pola konsumsi masyarakat yang terus meningkat karena
promosi berlebihan yang tidak diimbangi dengan pengetahuan tentang keamanan
dan manfaatnya. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengawasan, regulasi, dan
standardisasi dari pemerintah yang bertujuan untuk melindungi kepentingan
konsumen, kesehatan masyarakat, dan perlindungan kelestarian fungsi lingkungan
serta berbagai acuan bagi pelaku usaha dan membentuk persaingan yang transparan.
Dalam hal ini pengawasan tersebut dilakukan oleh Badan Pengawas Obat
dan Makanan (BPOM) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 103
Tahun 2001. BPOM merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK)
yang bertugas melaksanakan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM)
yang efektif sehingga mampu mendeteksi, mencegah, dan mengawasi produk-
produk tersebut guna melindungi keamanan, keselamatan, dan kesehatan
konsumen. BPOM sebagai bagian integral dari pembangunan kesehatan harus
mampu mengantisipasi perubahan lingkungan strategis tersebut secara tepat.
BPOM mengawasi peredaran berbagai produk komoditi di Indonesia, baik
yang berasal dari pasar nasional maupun internasional. BPOM bertugas melakukan
pengawasan obat dan makanan yang beredar di masyarakat sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Untuk mencapai visi dan misi BPOM dalam
pengawasan obat dan makanan maka diperlukan peran sumber daya manusia yang
profesional, kredibel, cepat, dan tanggap.
PKPA di pemerintahan yang berperan dalam perumusan kebijakan perlu
dilakukan oleh seorang calon apoteker karena merupakan salah satu tempat yang
berkaitan dengan kefarmasian. Apoteker pasti berhubungan dengan pemerintah
sehingga diperlukan pengalaman dan kompetensi di bidang ini. Peran pemerintah
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
2
Universitas Indonesia
tidak dapat dipisahkan dalam pengawasan obat dan makanan yang beredar di
masyarakat.
Program Profesi Apoteker Universitas Muhammadiyah Profesor dr. Hamka
(UHAMKA), Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB),
Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), dan Universitas Padjajaran
(UNPAD) bekerja sama dengan BPOM untuk menyelenggarakan PKPA dalam
rangka memberikan pembekalan, pengetahuan, pemahaman, dan gambaran singkat
peran apoteker dalam pengawasan obat dan makanan guna mempersiapkan calon
apoteker menjadi tenaga yang profesional dan terampil di bidang pemerintahan,
khususnya dalam bidang obat dan makanan sehingga dapat memberikan kontribusi
yang positif. PKPA ini dilaksanakan pada tanggal 1-24 April 2014 di Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia yang teletak di Jalan Percetakan
Negara No. 23, Jakarta Pusat, tepatnya di Direktorat Pengawasan Produksi Produk
Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga (PKRT).
1.2. Tujuan
Tujuan dari Praktek Kerja Profesi Apoteker di Badan POM bagi mahasiswa
program profesi apoteker adalah:
a. Memperoleh pengetahuan tentang organisasi, tugas, dan fungsi BPOM
khususnya di Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT.
b. Memperoleh pengetahuan mengenai peran, tugas, dan fungsi apoteker di Badan
Pengawas Obat dan Makanan BPOM khususnya di Direktorat Pengawasan
Produksi Produk Terapetik dan PKRT.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
3 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN UMUM BPOM REPUBLIK INDONESIA
2.1. Landasan Hukum Terkait Kegiatan Kefarmasian di BPOM RI
1. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden
Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian.
2. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah diubah dengan
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004.
3. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.04.01.21.11.10.10509 Tahun 2010 tentang Penetapan Visi dan
Misi Badan Pengawas Obat dan Makanan
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
Izin Apotek
5. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.23.10.11.08481 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Regitrasi Obat.
6. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.01.23.06.11.5629 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
4
Universitas Indonesia
7. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 tentang
Pencantuman Tulisan Halal pada Label Makanan
8. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.01.34.11.12.7542 Tahun 2012 tentang Pedoman Teknis Cara
Distribusi Obat yang Baik
9. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.01.05.12.11.09955 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Pangan
Olahan
10. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.01.23.12.10.12459 Tahun 2010 tentang Persyaratan Teknis
Kosmetika
11. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.01.05.12.11.09956 Tahun 2011 tentang Tata Laksana Pendaftaran
Pangan Olahan
12. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.01.23.08.11.07517 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Bahan
Kosmetika
13. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.00.05.41.1384 Tahun 2005 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka
14. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.00.05.41.1381 Tahun 2005 tentang Tata Laksana Pendaftaran
Suplemen Makanan
15. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010 Tahun 2008 tentang Registrasi Obat
16. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012
tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
5
Universitas Indonesia
17. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 007 Tahun 2012
tentang Registrasi Obat Tradisional
18. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012
tentang Bahan Tambahan Pangan
19. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1148/Menkes/Per/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi
20. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1175/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Izin Produksi Kosmetika
21. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1799/Menkes/Per/XII/2010 tentang Industri Farmasi
22. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
28/Menkes/Per/I/1978 tentang Penyimpanan Narkotika
23. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
284/Menkes/Per/III/2007 tentang Apotek Rakyat
24. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 23/M-
Dag/Per/9/2011 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 44/M-Dag/Per/9/2009 tentang Pengadaan,
Distribusi, dan Pengawasan Bahan Berbahaya
25. Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia Nomor 24/M-
Ind/Per/5/2006 tentang Pengawasan Produksi dan Penggunaan Bahan
Berbahaya untuk Industri
26. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2005 tentang
Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik
27. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1983 tentang
Pelaksanaan KUHAP
28. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan
29. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika
30. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1996 tentang
Tenaga Kesehatan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
6
Universitas Indonesia
31. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2010 tentang
Prekursor
32. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian
33. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label
dan Iklan Pangan
34. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
35. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan
36. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
37. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
38. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
39. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotopika
40. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana
41. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
2.2. Latar Belakang BPOM RI
Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan
signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetika, dan alat
kesehatan. Industri-industri tersebut menggunakan teknologi modern untuk
memproduksi produknya dalam skala yang sangat besar dan mencakup berbagai
produk. Dengan dukungan kemajuan teknologi transportasi dan entry barrier yang
makin tipis dalam perdagangan internasional, maka produk-produk tersebut dalam
waktu yang amat singkat dapat menyebar ke berbagai negara dengan jaringan
distribusi yang sangat luas dan mampu menjangkau seluruh strata masyarakat.
Konsumsi masyarakat terhadap produk-produk tersebut cenderung terus
meningkat, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat termasuk pola
konsumsinya. Sementara itu pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk
dapat memilih dan menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di lain
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
7
Universitas Indonesia
pihak iklan dan promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi
secara berlebihan dan sering tidak rasional.
Perubahan teknologi produksi, sistem perdagangan internasional dan gaya
hidup konsumen pada realitasnya akan meningkatkan resiko. Pemerintah dalam
upaya perlindungan konsumen mempunyai peran yang penting selaku penengah di
antara kepentingan pelaku usaha dan konsumen agar masing-masing pihak dapat
berjalan seiring tanpa saling merugikan satu sama lain. Pemerintah
bertanggungjawab atas pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan perlindungan
konsumen untuk menjamin diperolehnya hak dan dipenuhinya kewajiban
konsumen dan pelaku usaha. Berdasarkan hal-hal tersebut, diperlukan suatu
lembaga yang dapat melakukan pengawasan terhadap produsen, iklan dan promosi,
serta penyebaran produk obat dan makanan sehingga produk yang beredar
memenuhi syarat keamanan, khasiat, dan mutu. Selain itu, diperlukan juga lembaga
yang dapat memberikan edukasi kepada masyarakat agar dapat memilih produk
dengan lebih cermat guna meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia.
Berdasarkan latar belakang tersebut, dibutuhkan Sistem Pengawasan Obat
dan Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien serta mampu mendeteksi dan
melindungi konsumen dari produk yang tidak memenuhi syarat, kemanan, khasiat,
dan mutu. Oleh karena itu, melalui Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001,
maka dibentuklah Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yakni Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) yang bertugas melaksanakan sistem
pengawasan obat dan makanan yang efektif sehingga mampu mendeteksi,
mencegah, dan mengawasi produk-produk tersebut guna melindungi keamanan,
keselamatan, dan kesehatan konsumen. BPOM RI dipimpin oleh Kepala BPOM
berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Dalam melaksanakan
tugasnya, BPOM RI dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan.
2.3. Definisi BPOM RI
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2013 tentang perubahan
ke-7 atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah
Non Departemen yang menyatakan BPOM RI merupakan Lembaga Pemerintah
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
8
Universitas Indonesia
Non Kementrian (LPNK) yang bertanggungjawab kepada Presiden agar fokus
melaksanakan tugas pemerintahan bidang pengawasan obat dan makanan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam
melaksanakan tugasnya BPOM RI dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan,
khususnya dalam perumusan kebijakan yang berkaitan dengan instansi pemerintah
lainnya serta penyelesaian permasalahan yang timbul. BPOM RI dipimpin oleh
seorang Kepala Badan.
2.4. Filosofi Logo BPOM RI
Filosofi Logo BPOM RI dapat dijelaskan pada Tabel 2.1 berikut:
Tabel 2.1. Gambar dan filosofi logo Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia
Logo Filosofi
Unsur pertama dalam logo BPOM RI adalah tameng
yang melambangkan perlindungan terhadap masyarakat
dari penggunaan obat dan makanan yang tidak
memenuhi persyaratan mutu
Selain sebagai tameng unsur tersebut dapat juga dilihat
sebagai tanda checklist yang merepresentasikan trust
atau rasa kepercayaan
Pengambilan makna filosofis mata elang sebagai unsur
kedua adalah karena elang memiliki pandangan yang
tajam sesuai dengan fungsi BPOM RI yang
bertanggungjawab melindungi masyarakat dengan
mengawasi penggunaan obat dan makanan di Indonesia
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
9
Universitas Indonesia
Garis yang bergerak dari tipis menjadi semakin tebal
melambangkan langkah ke depan yaitu Direktorat
Jenderal POM yang berubah menjadi BPOM RI.
Selain itu dapat juga dilihat sebagai representasi
keadaan BPOM RI sebagai badan yang memberikan
perlindungan (dilambangkan dengan garis hijau)
terhadap masyarakat (garis biru tebal) dari pengusaha
obat dan makanan (garis biru tipis)
Tampak logo secara keseluruhan memadukan unsur-
unsur tersebut dalam satu kesatuan yang padu dan
serasi sehingga peletakan tulisan BPOM RI secara
tipografis menjadi lebih bebas. Sedangkan pemilihan
warna biru pekat menggambarkan perlindungan dan
warna hijau menggambarkan scientific base
2.5. Visi dan Misi BPOM RI
2.5.1. Visi
Menjadi institusi pengawas obat dan makanan yang inovatif, kredibel, dan
diakui secara internasional untuk melindungi masyarakat.
2.5.2. Misi
a. Melakukan pengawasan pre-market dan post-market berstandar internasional
b. Menerapkan sistem manajemen mutu secara konsisten
c. Mengoptimalkan kemitraan dengan pemangku kepentingan di berbagai lini
d. Memberdayakan masyarakat agar mampu melindungi diri dari obat dan
makanan yang beresiko terhadap kesehatan
e. Membangun organisasi pembelajar (learning organization)
2.6. Tugas Pokok dan Fungsi BPOM RI
2.6.1. Tugas BPOM RI
Melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
10
Universitas Indonesia
2.6.2. Fungsi BPOM RI
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan
makanan
b. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan
c. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM RI
d. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi
pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan
e. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bindang
perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian,
keuangan, kearsipan, persandian, serta perlengkapan dan rumah tangga
2.7. Budaya Organisasi BPOM RI
BPOM RI memiliki budaya organisasi agar organisasi yang efektif dan
efisien dengan mengembangkan nilai-nilai dasar sebagai berikut.
a. Profesionalism, menegakan profesionalisme dengan integritas, objektivitas,
ketentuan, dan komitmen yang tinggi
b. Credibilty, memiliki kredibilitas yang diakui oleh masyarakat luas, nasional, dan
internasional
c. Speed, cepat dan tanggap dalam bertindak mengatasi masalah
d. Teamwork, mengutamakan kerjasama tim
e. Inovative, mampu melakukan pembaruan sesuai ilmu pengetahuan dan teknologi
terkini
2.8. Kewenangan BPOM RI
a. Penilaian khasiat atau kemanfaatan, keamanan, mutu, dan penandaaan serta
analisis laboratorium dalam rangka pemberian izin edar
b. Pemeriksaan kelengkapan administrasi dan pemeriksaan
c. Pemeriksaan setempat dalam rangka pembinaan dan pengawasan
d. Pengambilan contoh dan pengujian laboratorium
e. Pemberian rekomendasi surat persetujuan impor dan surat persetujuan ekspor
f. Pemberian peringatan dan penutupan sementara sarana produksi dan distribusi
yang melakukan pelanggaran
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
11
Universitas Indonesia
g. Penilaian dan pemantauan promosi dan iklan
h. Pelaksanaan monitoring efek samping dan pemberian informasi
2.9. Prinsip Sistem Pengawasan Obat dan Makanan (SisPOM) BPOM RI
a. Tindakan pengamanan cepat, tepat, akurat, dan profesional
b. Tindakan dilakukan berdasarkan atas tingkat resiko dan berbasis bukti-bukti
ilmiah
c. Lingkup pengawasan bersifat menyeluruh, mencakup seluruh siklus proses
d. Berskala nasional atau lintas propinsi dengan jaringan kerja internasional
e. Otoritas yang menunjang penegakan supremasi hukum
f. Memiliki jaringan laboratorium nasional yang kohesif dan kuat yang
berkolaborasi dengan jaringan global
g. Memiliki jaringan sistem informasi keamanan dan mutu produk
2.10. Kerangka Konsep SisPOM BPOM RI
Pengawasan obat dan makanan memiliki aspek permasalahan berdimensi
luas dan kompleks. Oleh karena itu diperlukan sistem pengawasan yang
komprehensif, semenjak awal proses suatu produk hingga produk tersebut beredar
di tengah masyarakat. Untuk menekan sekecil mungkin resiko yang bisa terjadi,
dilakukan Sistem Pengawasan Obat dan Makanan 3 lapis yaitu sebagai berikut.
a. Sub Sistem Pengawasan Produsen
Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-cara
produksi yang baik atau Good Manufacturing Practices (GMP) agar setiap
bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara
hukum produsen bertanggungjawab atas mutu dan keamanan produk yang
dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap standar
yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif
maupun pro-justisia.
b. Sub Sistem Pengawasan Konsumen
Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui peningkatan
kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
12
Universitas Indonesia
digunakannya serta cara-cara penggunaan produk yang rasional. Pengawasan
oleh masyarakat sendiri sangat penting dilakukan karena pada akhirnya
masyarakatlah yang mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan
suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi
terhadap mutu dan kegunaan suatu produk, di satu sisi dapat membentengi
dirinya sendiri terhadap penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat
dan tidak dibutuhkan sedang pada sisi lain akan mendorong produsen untuk
ekstra hati-hati dalam menjaga kualitasnya.
c. Sub-Sistem Pengawasan Pemerintah/BPOM RI
Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan standardisasi;
penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di
Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan pengujian laboratorium produk
yang beredar; serta peringatan kepada publik yang didukung penegakan hukum.
Untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen
terhadap mutu, khasiat, dan keamanan produk maka pemerintah juga
melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi.
2.11. Target Kinerja BPOM RI
a. Terkendalinya penyaluran produk terapetik dan NAPZA
b. Terkendalinya mutu, keamanan, dan khasiat/kemanfaatan produk obat dan
makanan termasuk klaim pada label dan iklan di peredaran
c. Tercegahnya resiko penggunaan bahan kimia berbahaya sebagai akibat
pengelolaan yang tidak memenuhi syarat
d. Penurunan kasus pencemaran pangan
e. Peningkatan kapasitas organisasi yang didukung dengan kompetensi dan
keterampilan personil yang memadai
f. Terwujudnya komunikasi yang efektif dan saling menghargai antarsesama dan
pihak terkait
2.12. Struktur organisasi BPOM RI
Struktur organisasi BPOM RI dapat dilihat di Lampiran 1.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
13
Universitas Indonesia
2.13. Organisasi dan Tata Kerja BPOM RI
Organisasi dan tata kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan diatur dalam
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
02001/SK/KBPOM Tahun 2001. Penyesuaian organisasi dan tata kerja BPOM
dilakukan berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
02001/SK/KBPOM tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Penyesuaian juga terjadi dengan terbitnya Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.21.4232 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Secara struktural komponen BPOM RI terdiri atas Kepala Badan,
Sekretariat Utama, Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif; Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional,
Kosmetika, dan Produk Komplemen; Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan Berbahaya; Inspektorat; Pusat Pengujian Obat dan Makanan
Nasional (PPOMN); Pusat Penyidikan Obat dan Makanan (PPOM); Pusat Riset
Obat dan Makanan (PROM); Pusat Informasi Obat dan Makanan (PIOM); serta
Unit Pelaksana Teknis BPOM.
2.13.1. Kepala BPOM RI
Kepala BPOM mempunyai tugas sebagai berikut.
a. Memimpin BPOM RI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
b. Menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum sesuai dengan tugas
BPOM RI
c. Menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas BPOM RI yang menjadi
tanggung jawabnya
d. Membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi lain
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
14
Universitas Indonesia
2.13.2. Sekretariat Utama
Sekretariat Utama mempunyai tugas mengkoordinasikan perencanaan,
pembinaan, pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber daya di
lingkungan BPOM RI. Dalam melaksanakan tugas tersebut Sekretariat Utama
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut.
a. Pengkoordinasian, sinkronisasi dan integrasi perencanaan, penganggaran,
penyusunan laporan, pengembangan pegawai termasuk pendidikan dan
pelatihan, serta perumusan kebijakan teknis di lingkungan BPOM RI
b. Pengkoordinasian, sinkronisasi dan integrasi penyusunan peraturan perundang-
undangan, kerjasama luar negeri, hubungan antar lembaga, kemasyarakatan dan
bantuan hukum yang berkaitan dengan tugas BPOM RI
c. Pembinaan dan pengendalian terhadap pelaksanaan kegiatan pusat-pusat dan
unit-unit pelaksanaan teknis di lingkungan BPOM RI
d. Pembinaan dan pelayanan administrasi ketatausahaan, organisasi dan
tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, serta perlengkapan dan rumah
tangga
e. Pengoordinasian administrasi pelaksanaan tugas deputi di lingkungan BPOM RI
f. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala BPOM sesuai dengan
bidang dan tugasnya
Sekretariat Utama terdiri atas Biro Perencanaan dan Keuangan, Biro
Kerjasama Luar Negeri, Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat, dan Biro Umum.
2.13.2.1. Biro Perencanaan dan Keuangan
Biro Perencanaan dan Keuangan mempunyai tugas melaksanakan
koordinasi perumusan rencana strategis dan pengembangan organisasi, penyusunan
program dan anggaran, keuangan serta evaluasi dan pelaporan. Dalam
melaksanakan tugas tersebut, Biro Perencanaan dan Keuangan menyelenggarakan
fungsi sebagai berikut.
a. Pelaksanaan analisis dan perumusan rencana strategis dan pengembangan
organisasi
b. Pelaksanaan penyusunan program dan anggaran termasuk pinjaman luar negeri
c. Pelaksanaan manajemen keuangan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
15
Universitas Indonesia
d. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan
Biro Perencanaan dan Keuangan terdiri atas sebagai berikut.
a. Bagian Rencana Strategis dan Organisasi
b. Bagian Program dan Anggaran
c. Bagian Keuangan
d. Bagian Evaluasi dan Pelaporan
2.13.2.2. Biro Kerjasama Luar Negeri
Biro Kerjasama Luar Negeri mempunyai tugas melaksanakan koordinasi
kegiatan kerjasama internasional yang berkaitan dengan tugas BPOM RI. Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Biro Kerjasama Luar Negeri memiliki
fungsi sebagai berikut.
a. Pelaksanaan kegiatan kerjasama bilateral dan multilateral
b. Pelaksanaan kegiatan kerjasama regional
c. Pelaksanaan kegiatan kerjasama organisasi internasional
Biro Kerjasama Luar Negeri terdiri atas sebagai berikut.
a. Bagian Kerjasama Bilateral dan Multilateral
b. Bagian Kerjasama Regional
c. Bagian Kerjasama Organisasi Internasional
2.13.2.3. Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat mempunyai tugas melaksanakan
koordinasi kegiatan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan,
bantuan hukum, layanan pengaduan konsumen, dan hubungan masyarakat. Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Biro Hukum dan Hubungan
Masyarakat menyelenggarakan fungsi sebagai berikut.
a. Pelaksanaan bantuan hukum
b. Pelaksanaan kegiatan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan
c. Pelaksanaan layanan pengaduan konsumen
d. Pelaksanaan kegiatan hubungan masyarakat
Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat terdiri atas sebagai berikut.
a. Bagian Peraturan Perundang-undangan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
16
Universitas Indonesia
b. Bagian Bantuan Hukum
c. Bagian Pengaduan Konsumen
d. Bagian Hubungan Masyarakat
2.13.2.4. Biro Umum
Biro Umum mempunyai tugas melaksanakan koordinasi urusan
ketatausahaan pimpinan, administrasi pegawai, pengembangan pegawai, keuangan
serta perlengkapan dan kerumahtanggaan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Biro Umum
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut.
a. Pelaksanaan ketatausahaan pimpinan
b. Pelaksanaan administrasi kepegawaian
c. Pelaksanaan pengembangan pegawai
d. Pelaksanaan perlengkapan dan kerumahtanggaan
Biro Umum terdiri atas sebagai berikut.
a. Bagian Tata Usaha Pimpinan
b. Bagian Administrasi Kepegawaian
c. Bagian Pengembangan Pegawai
d. Bagian Perlengkapan dan Rumah Tangga
2.13.3. Inspektorat
Inspektorat bertugas melaksanakan pengawasan fungsional di lingkungan
BPOM. Inspektorat memiliki fungsi sebagai berikut.
a. Penyiapan rumusan kebijakan, rencana dan program pengawasan fungsional
b. Pengusutan mengenai kebenaran laporan dan pengaduan tentang hambatan,
penyimpangan, atau penyalahgunaan dalam pelaksanaan tugas yang dilakukan
oleh unsur atau unit di lingkungan BPOM RI.
c. Pelaksanaan pengawasan fungsional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
17
Universitas Indonesia
2.13.4. Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika,
dan Zat Adiktif
Deputi I Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika,
dan Zat Adiktif mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan di bidang
pengawasan produk terapetik dan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana tersebut diatas, Deputi I Bidang Pengawasan
Produk Terapetik dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif menyelenggarakan
fungsi sebagai berikut.
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang
pengawasan produk terapetik dan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
b. Penyusunan rencana pengawasan produk terapetik dan narkotika, psikotropika,
dan zat adiktif
c. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang penilaian obat dan produk biologi
d. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, dan pemberian
bimbingan di bidang standardisasi produk terapetik
e. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang inspeksi dan sertifikasi produk terapetik
f. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang penilaian alat kesehatan, produk diagnostik, dan PKRT
g. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang pengawasan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
h. Pengawasan produk terapetik dan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.
i. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan
produk terapetik dan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif.
j. Evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan produk terapetik dan
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
18
Universitas Indonesia
k. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala BPOM sesuai dengan
bidang dan tugasnya
Kedeputian 1 (Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Narkotika,
Psikotropika, dan Zat Adiktif) memiliki 5 direktorat yaitu sebagai berikut.
a. Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi
b. Direktorat Pengawasan Distribusi Produk Terapetik danPKRT
c. Direktorat Standardisasi Produk Terapetik dan PKRT
d. Direktorat Pengawasan Produk Terapetik dan PKRT
e. Direktorat Pengawasan NAPZA
2.13.5. Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetika, dan Produk
Komplemen
Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetika, dan Produk
Komplemen menyiapkan perumusan kebijakan penyusunan pedoman, standar,
kriteria dan prosedur serta pelaksanaan pengendalian, bimbingan teknis dan
evaluasi di bidang inspeksi sarana produksi dan distribusi serta sertifikasi obat
tradisional, kosmetika, dan produk komplemen, fasilitas produksi dan proses
produksi obat tradisional, kosmetika, dan produk komplemen.
Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetika, dan Produk
Komplemen menyelenggarakan fungsi sebagai berikut.
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang
pengawasan obat tradisional, kosmetika, dan produk komplemen
b. Penyusunan rencana pengawasan obat tradisional, kosmetika, dan produk
komplemen
c. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang penilaian obat tradisional, kosmetika dan suplemen makanan
d. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang pengaturan dan standardisasi obat tradisional, kosmetika, dan produk
komplemen
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
19
Universitas Indonesia
e. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang inspeksi dan sertifikasi obat tradisional, kosmetika, dan produk
komplemen
f. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang obat asli indonesia
g. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan
obat tradisional, kosmetika, dan produk komplemen
h. Evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan obat tradisional, kosmetika,
dan produk komplemen
i. Pengawasan obat tradisional, kosmetika, dan produk komplemen
j. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala BPOM sesuai dengan
bidang dan tugasnya
Deputi II Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Kosmetika, dan Produk
Komplemen memiliki 4 direktorat yaitu sebagai berikut.
a. Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan dan Kosmetika
b. Direktorat Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetika, dan Produk Komplemen
c. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetika, dan Produk
Komplemen
d. Direktorat Obat Asli Indonesia
2.13.6. Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya
Deputi ini mempunyai tugas melaksanakan perumusan kebijakan di bidang
pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya. Deputi ini menyelenggarakan
fungsi :
a. Pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional dan kebijakan umum di bidang
pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya
b. Penyusunan rencana pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya
c. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang penilaian keamanan pangan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
20
Universitas Indonesia
d. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang
standardisasi produk pangan
e. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan di bidang
inspeksi dan sertifikasi pangan
f. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang surveilan dan penyuluhan keamanan pangan
g. Perumusan kebijakan teknis, penetapan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
pengendalian pelaksanaan kebijakan teknis, pemantauan, pemberian bimbingan
di bidang pengawasan produk dan bahan berbahaya
h. Pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya
i. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan di bidang pengawasan
keamanan pangan dan bahan berbahaya
j. Evaluasi pelaksanaan kebijakan teknis pengawasan keamanan pangan dan bahan
berbahaya
k. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala BPOM sesuai dengan
bidang dan tugasnya
Kedeputian III (Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan
Bahan Berbahaya) memiliki 5 direktorat yaitu sebagai berikut.
a. Direktorat Penilaian Keamanan Pangan
b. Direktorat Standardisasi Produk Pangan
c. Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Pangan
d. Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan
e. Direktorat Pengawasan Produk Bahan Berbahaya
2.13.7. Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN)
Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional mempunyai tugas
melaksanakan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu
produk terapetik, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain, alat kesehatan, obat
tradisional, kosmetika, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya serta
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
21
Universitas Indonesia
produk biologi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
melaksanakan pembinaan mutu laboratorium pengawasan obat dan makanan.
Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional menyelenggarakan fungsi
sebagai berikut.
a. Penyusunan rencana dan program pengujian obat dan makanan
b. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu
produk terapetik, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain, alat kesehatan,
obat tradisional, kosmetika, produk komplemen, pangan dan bahan berbahaya,
serta produk biologi
c. Pembinaan mutu laboratorium PPOMN
d. Pelaksanaan sistem rujukan pengawasan obat dan makanan
e. Penyediaan baku pembanding dan pengembangan metode analisa pengujian
f. Pelatihan tenaga ahli di bidang pengujian obat dan makanan
g. Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan
h. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan PPOMN
2.13.8. Pusat Penyidikan Obat dan Makanan (PPOM)
Pusat Penyidikan Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan
kegiatan penyelidikan dan penyidikan terhadap perbuatan melawan hukum di
bidang produk terapetik, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif, obat tradisional,
kosmetika, dan produk komplemen dan makanan serta produk sejenis lainnya.
PPOM menyelenggarakan fungsi sebagai berikut.
a. Penyusunan rencana dan program penyelidikan dan penyidikan obat dan
makanan
b. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan obat
dan makanan
c. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan obat dan makanan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
22
Universitas Indonesia
2.13.9. Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM)
Pusat Riset Obat dan Makanan mempunyai tugas sebagai berikut.
a. Mengkaji, menganalisa, merumuskan dan menyusun, kegiatan riset, kajian di
bidang toksikologi, keamanan pangan, produk terapetik, obat tradisional,
kosmetika, dan produk komplemen serta obat asli Indonesia
b. Memberikan rekomendasi sebagai masukan untuk dasar pengambilan keputusan
berdasarkan bukti ilmiah
Pusat Riset Obat dan Makanan memiliki fungsi sebagai berikut.
a. Melaksanakan kegiatan riset obat dan makanan
b. Melakukan peningkatan jejaring termasuk kerjasama nasional dan internasional
di bidang riset obat dan makanan
c. Mengembangkan metode analisa untuk pengawasan mutu dan keamanan obat
dan makanan
d. Mengembangkan test kit untuk menunjang kinerja laboratorium keliling
e. Membuat baku pembanding laboratorium
f. Membuat kajian, rekomendasi, pedoman terkait pengawasan obat dan makanan
2.13.10. Pusat Informasi Obat dan Makanan (PIOM)
Pusat Informasi Obat dan Makanan mempunyai tugas melaksanakan
kegiatan di bidang pelayanan informasi obat, informasi keracunan dan teknologi
informasi. Pusat Informasi Obat dan Makanan menyelenggarakan fungsi sebagai
berikut.
a. Penyusunan rencana dan program kegiatan pelayanan informasi obat dan
makanan
b. Pelaksanaan pelayanan informasi obat
c. Pelaksanaan pelayanan informasi keracunan
d. Pelaksanaan kegiatan di bidang teknologi informasi
e. Evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan pelayanan informasi obat dan
makanan
f. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumah tanggaan PIOM
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
23
Universitas Indonesia
2.13.11. Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis di lingkungan BPOM RI
terdiri atas BBPOM dan Balai POM. Unit pelaksana teknis di lingkungan BPOM
RI mempunyai tugas melaksanakan kebijakan di bidang pengawasan produk
terapetik, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain, obat tradisional, kosmetika,
produk komplemen, keamanan pangan dan bahan berbahaya.
Unit pelaksana teknis di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan
menyelenggarakan fungsi sebagai berikut.
a. Penyusunan rencana serta program pengawasan obat dan makanan
b. Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan penilaian mutu
produk teraupetik, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lain, obat tradisional,
kosmetika, produk komplemen, pangan, dan bahan berbahaya
c. Pelaksanaan pemeriksaan laboratorium, pengujian, dan penilaian mutu produk
secara mikrobiologi
d. Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh, dan pemeriksaan
sarana produksi dan distribusi
e. Pelaksanaan penyidikan dan penyelidikan pada kasus pelanggaran hukum
f. Pelaksanaan sertifikasi produk sarana produksi dan distribusi
g. Pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen
h. Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian obat dan makanan
i. Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan
j. Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala BPOM sesuai dengan
bidang tugasnya
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
24 Universitas Indonesia
BAB 3
TINJAUAN KHUSUS DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUKSI
PRODUK TERAPETIK DAN PKRT
3.1. Landasan Hukum
Dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya, Direktorat
Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT memiliki landasan hukum
sebagai pedoman. Dasar hukum pengawasan produksi antara lain :
a. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 98 dan 105 ayat 1
1) Pasal 98 ayat (1) : “Sediaan farmasi dan alkes harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau”
2) Pasal 105 ayat (1) : “Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus
memenuhi syarat Farmakope Indonesia atau buku standar lainnya”
b. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan pasal 5 ayat (1) berbunyi “Produksi Sediaan
farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi yang baik”
c. Permenkes No. 1799/MENKES/PER/XII/2010 tentang Industri Farmasi pasal
8 ayat 1 bahwa Industri Farmasi wajib memenuhi persyaratan CPOB
d. Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.0045.3.002.7 Tahun 2006
tentang Pedoman Penerapan CPOB
e. Peraturan Kepala Badan POM No. HK.0301.23.09.9030 Tahun 2010
f. Peraturan Kepala Badan POM No. HK.04.1.33.12.11.09937 Tahun 2011
tentang Cara Sertifikasi CPOB
3.2. Struktur Organisasi Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik
dan PKRT
Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT dipimpin
oleh seorang Direktur yang membawahi 3 (tiga) Subdirektoratyaitu
SubdirektoratInspeksi dan Sertifikasi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga; SubdirektoratHarga Obat dan Farmakoekonomi; dan
SubdirektoratPengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis Cara Pembuatan Obat
yang Baik.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
25
Universitas Indonesia
3.3. Visi dan Misi Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan
PKRT
Visi Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT adalah
agar produk terapetik dan PKRT yang beredar di masyarakat bermutu dengan harga
produk terapetik yang terjangkau.
Misi Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT adalah :
a. Menjamin masyarakat mendapatkan produk terapetik dan PKRT yang bermutu
dan harga produk terapetik yang menjangkau;
b. Menjamin produsen produk terapetik dan PKRT memenuhi persyaratan Cara
Pembuatan Obat yang Baik.
3.4. Tugas Pokok dan Fungsi Direktorat Pengawasan Produksi Produk
Terapetik dan PKRT
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
keputusan kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Pasal 115, disebutkan bahwa
Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian,
bimbingan teknis dan evaluasi di bidang pengawasan produksi produk terapetik dan
perbekalan kesehatan rumah tangga.
Adapun fungsi Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan
PKRT menurut Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 Pasal 116 sebagai berikut:
a. Penyusunan rencana dan program pengawasan produksi produk terapetik dan
perbekalan kesehatan rumah tangga
b. Koordinasi kegiatan fungsional pelaksanaan kebijakan teknis di bidang
pengawasan produksi produk terapetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
26
Universitas Indonesia
c. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman,
standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan,
pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang inspeksi dan sertifikasi
produksi produk terapetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga
d. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman,
standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan,
pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang harga obat
e. Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan pedoman,
standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengendalian, pemantauan,
pemberian bimbingan teknis dan pembinaan di bidang pengawasan bahan baku
obat dan analisis penerapan cara pembuatan obat yang baik
f. Evaluasi dan penyusunan laporan di bidang pengawasan produksi produk
terapetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga
3.5. Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produksi Produk Terapetik dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produksi Produk Terapetik dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga bertugas melaksanakan penyiapan bahan
perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
serta pelaksanaan inspeksi dan sertifikasi produk terapetik dan perbekalan
kesehatan rumah tangga. Subdirektorat ini terdiri atas sebagai berikut:
a. Seksi Inspeksi Sarana Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga
b. Seksi Sertifikasi Sarana Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 Pasal 119, fungsi
Subdirektorat ini adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan rencana dan program inspeksi dan sertifikasi produk terapetik dan
perbekalan kesehatan rumah tangga
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
27
Universitas Indonesia
b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi sarana
produksi produk terapetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga
c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan sertifikasi sarana
produksi produk terapetik dan perbekalan kesehatan rumah tangga
d. Evaluasi dan penyusunan laporan inspeksi dan sertifikasi produk terapetik dan
perbekalan kesehatan rumah tangga
Seksi Inspeksi Sarana Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga memiliki tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis, dan penyusunan rencana dan program, standar, kriteria dan prosedur,
evaluasi dan laporan di bidang inspeksi sarana produksi produk terapetik dan
perbekalan kesehatan rumah tangga. Sedangkan tugas Seksi Sertifikasi Sarana
Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga adalah
melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan rencana
dan program, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan laporan di bidang
sertifikasi sarana produksi produk terapetik dan perbekalan kesehatan rumah
tangga.
Kegiatan utama yang dilaksanakan oleh Subdirektorat Inspeksi dan
Sertifikasi Sarana Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah
Tangga meliputi sebagai berikut:
a. Penyusunan jadwal inspeksi cara pembuatan obat yang baik
b. Perumusan kelayakan penggunaan fasilitas produksi bersama antara obat dengan
kosmetik, obat tradisional, dan produk komplemen di sarana produksi industri
farmasi
c. Perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman standar, kriteria dan
prosedur, di bidang inspeksi sarana produksi produk terapetik dan perbekalan
kesehatan dan rumah tangga dan sarana bahan aktif obat
d. Perumusan rekomendasi izin industri farmasi
e. Koordinasi pelaksanaan teknis inspeksi yang dilakukan oleh inspektur Cara
Pembuatan Obat yang Baik Badan POM dengan Inspektor GMP negara tujuan
ekspor dalam rangka ekspor produk Indonesia ke luar negeri
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
28
Universitas Indonesia
f. Pemutakhiran Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) bersama
dengan tim ahli CPOB
g. Penyusunan dan evaluasi data inspeksi dan sertifikasi yang digunakan sebagai
monitoring pengawasan obat triwulanan maupun tahunan
Badan POM merupakan salah satu anggota PIC/S (Pharmaceutical
Inspection Cooperation Scheme) yang ke-41 pada 1 Juli tahun 2012, yaitu suatu
organisasi internasional yang bertugas sebagai pengawas obat dan makanan yang
diakui secara internasional, artinya bahwa pengawasan yang dilakukan Badan POM
RI sudah setara dengan pengawasan yang ada di 40 negara lain yang telah menjadi
anggota sebelumnya. Oleh karena itu, jika ada industri farmasi luar negeri akan
mengimpor obat ke Indonesia dan telah mendapatkan inspeksi dari salah satu
anggota PIC/S di negara lain, maka Badan POM tidak perlu lagi melakukan
inspeksi ke negara tersebut, dan obat boleh langsung diimpor, namun evaluasi
terhadap dokumen mutu, data pemenuhan CPOB melalui laporan inspeksi tetap
dilakukan evaluasi, begitu pun sebaliknya. Badan POM tetap melakukan
pengawasan post-market setelah obat tersebut beredar di Indonesia.
Sebagai salah satu anggota yang tergabung dalam anggota PIC/S, banyak
manfaat yang dapat diperoleh, antara lain :
a. Meningkatnya peluang industri farmasi lokal untuk ekspor ke negara anggota
PIC/S
b. Meningkatnya peluang industri farmasi lokal untuk ekspor ke negara lain
c. Sebagai indikator bahwa negara tersebut memiliki Inspektorat GMP yang diakui
secara Internasional
3.6. Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 Pasal 122,
Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi memiliki tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan program, standar,
kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pemantauan dan analisis harga obat dan
farmakoekonomi. Adapun fungsi Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi
antara lain sebagai berikut:
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
29
Universitas Indonesia
a. Penyusunan rencana dan program pemantauan dan analisis harga obat dan
farmakoekonomi
b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pemantauan dan
analisis harga obat
c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan farmakoekonomi
d. Evaluasi dan penyusunan laporan pemantauan dan analisis harga obat dan
farmakoekonomi
Subdirektorat ini terdiri atas sebagai berikut:
a. Seksi Pemantauan dan Analisis Harga Obat
Seksi Pemantauan dan Analisis Harga Obat memiliki tugas melakukan
penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan rencana dan
program, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan laporan di bidang
pemantauan dan analisis harga obat.
b. Seksi Farmakoekonomi
Seksi Farmakoekonomi memiliki tugas melakukan penyiapan bahan perumusan
kebijakan teknis, dan penyusunan rencana dan program, standar, kriteria dan
prosedur, evaluasi dan laporan di bidang farmakoekonomi.
Kegiatan utama yang dilaksanakan oleh Subdirektorat Harga Obat dan
Farmakoekonomi meliputi sebagai berikut:
a. Penyusunan pedoman harga obat dan prioritas sampling
b. Perkuatan sistem pengawasan post-market berdasarkan analisis resiko
c. Evaluasi hasil sampling dan pengujian oleh Balai POM
d. Tindak lanjut produk obat yang tidak memenuhi syarat
e. Evaluasi tanggapan industri farmasi terhadap surat recall
f. Diskusi dengan industri farmasi terkait Corrective Action Preventive Action
(CAPA) produk obat yang tidak memenuhi syarat
g. Pemantauan harga obat dari Balai POM dan industri farmasi
h. Kemandirian Balai
i. Pemutakhiran profil obat yang beredar
j. Pengembangan farmakoekonomi
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
30
Universitas Indonesia
k. Pelaksanaan workshop mengenai teknik sampling
l. Penyiapan data terkait sampling dan pengujian
m. Pengelolaan sistem mutu
3.7. Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis Cara
Pembuatan Obat yang Baik
Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis Cara Pembuatan
Obat yang Baik memiliki tugas melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan
teknis, dan penyusunan program, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan
pengawasan bahan baku obat dan analisis cara pembuatan obat yang baik.
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004 Pasal 127, fungsi
Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis Cara Pembuatan Obat
yang Baik antara lain sebagai berikut:
a. Penyusunan rencana dan program pengawasan bahan baku obat dan analisis cara
pembuatan obat yang baik
b. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan pengawasan bahan
baku obat
c. Pelaksanaan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan
pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan analisis penerapan
cara pembuatan obat yang baik
d. Evaluasi dan penyusunan laporan pengawasan bahan baku obat dan analisis cara
pembuatan obat yang baik
e. Pelaksanaan urusan tata operasional di lingkungan Direktorat
Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis Cara Pembuatan
Obat yang Baik terdiri atas sebagai berikut:
a. Seksi Pengawasan Bahan Baku Obat
Seksi Pengawasan Bahan Baku Obat memiliki tugas melakukan penyiapan
bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan rencana dan program,
standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan laporan di bidang pengawasan bahan
baku obat.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
31
Universitas Indonesia
b. Seksi Analisis Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik
Seksi Analisis Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik memiliki tugas
melakukan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan penyusunan
rencana dan program, standar, kriteria dan prosedur, evaluasi dan laporan di
bidang analisis penerapan CPOB.
c. Seksi Tata Operasional
Seksi Tata Operasional memiliki tugas melakukan urusan tata operasional di
lingkungan Direktorat. Kegiatan utama yang dilaksanakan oleh
SubdirektoratHarga Obat dan Farmakoekonomi meliputi sebagai berikut:
1. Pengelolaan evaluasi Dokumen Site Master File, Dokumen Pra Inspeksi dan
Corrective Action Preventive Action (CAPA) Inspeksi Luar Negeri
2. Pelaksanaan inspeksi dalam negeri
3. Pengelolaan inspeksi bahan baku obat
4. Pengelolaan Sistem Mutu Inspektorat CPOB antara lain Internal Audit,
Kajian Manajemen, dan Pengendalian Dokumen
5. Pengelolaan dan pengembangan pelatihan untuk Inspektur (dalam dan luar
negeri)
6. Pengelolaan inspeksi luar negeri
7. Pengembangan Pengawasan Bahan Baku Obat
8. Pelaksanaan kegiatan terkait dengan PIC/s
9. Pertemuan ASEAN
3.8. Hasil Pengawasan Post-Market dan Pemeriksaan Sarana Produksi Produk
Terapetik Tahun 2013
Pengawasan post-market sampai dengan triwulan III tahun 2013 dilakukan
dengan pengambilan sampel dan pengujian laboratorium atas obat (termasuk
narkotika dan psikotropika) yang beredar. Hasil pengawasan post-market
menunjukkan bahwa 99,08% mutu obat Memenuhi Syarat (MS) dan 0,92% Tidak
Memenuhi Syarat (TMS) dari 9.359 sampel. Hal ini telah ditindaklanjuti dengan
pemberian sanksi kepada industri farmasi berupa perintah penarikan obat TMS
(recall), maupun sanksi yang lebih keras berupa peringatan, peringatan keras,
sampai perintah larangan produksi jika terjadi TMS berulang. Apabila
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
32
Universitas Indonesia
dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun 2012, terjadi penurunan obat yang
TMS sebesar 8,00% dari 9.745 sampel.
Sampai dengan triwulan III tahun 2013 telah dilakukan inspeksi sebanyak
99 kali terhadap 85 industri farmasi terdiri atas inspeksi rutin 53 kali terhadap 51
industri farmasi, sertifikasi 23 kali terhadap 20 industri farmasi, asistensi Pre
Qualification (PQ) WHO 3 kali terhadap 3 industri farmasi, audit komperehensif 3
kali terhadap 3 industri farmasi, Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP) 3
kali terhadap 3 industri farmasi, penyegelan 1 kali terhadap 1 industri farmasi,
rekomendasi izin usaha 2 industri farmasi dan pemusnahan produk 5 industri
farmasi.
Tindak lanjut terhadap hasil inspeksi pre-market (dalam rangka sertifikasi)
sampai dengan triwulan III tahun 2013 adalah penerbitan 2 sertifikat untuk 2
industri farmasi, serta permintaan untuk menyampaikan perbaikan sebanyak 21
industri farmasi.
Tindak lanjut terhadap hasil inspeksi post-market (rutin) berupa perbaikan
sebanyak 51 (terhadap 7 industri farmasi diantaranya sekaligus diterbitkan
resertifikasi), dan diberikan sanksi administrasi terhadap industri farmasi yang
Tidak Memenuhi Ketentuan (TMK) sebanyak 14 sanksi berupa 5 Peringatan (P), 1
Peringatan Keras (PK), 6 PK sekaligus Larangan Produksi, 1 Penghentian
Sementara Kegiatan (PSK) sekaligus Pencabutan Nomor Izin Edar, 4
ditindaklanjuti Direktorat Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif
(NAPZA) dan 11 diantaranya dalam proses.
Pada tahun 2012 sebanyak 137 industri farmasi telah memiliki sertifikat
CPOB terkini dan sampai dengan triwulan III tahun 2013 terdapat 148 industri
farmasi yang telah memiliki sertifikat CPOB terkini.
3.9. Hasil Penyusunan Peraturan dan Standar di Bidang Pengawasan
Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga
a. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.04.1.33.11.11.09580 Tahun 2011 tentang Penunjukan Inspektur
Cara Pembuatan yang Baik dan Inspektur Cara Pembuatan Obat Tradisional
yang Baik
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
33
Universitas Indonesia
b. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.04.1.33.11.11.09579 Tahun 2011 tentang Penunjukan Spesialis
untuk Inspeksi Cara Pembuatan Obat yang Baik dan Inspeksi Cara Pembuatan
Obat Tradisional yang Baik
c. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.00.05.3.0027 Tahun 2007 tentang Penerapan Pedoman Cara
Pembuatan Obat yang Baik Tahun 2006
d. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
092/Menkes/SK/II/2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik Tahun
2012
e. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2012 tentang
Penetapan Keanggotaan Indonesia Pada Pharmaceutical Inspection
Cooperation Scheme (PIC/s)
f. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.04.1.33.12.11.09938 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Cara
Penarikan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan
g. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat, Bahan
Obat Tradisional, Bahan Suplemen Kesehatan, dan Bahan Pangan ke dalam
Wilayah Indonesia
h. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 tentang Penerapan Pedoman Cara
Pembuatan Obat yang Baik
i. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.3.12.11.10693 Tahun 2011 tentang Pengawasan Pemasukan
Bahan Obat
j. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.04.1.33.12.11.09937 Tahun 2011 tentang Tata Cara Sertifikasi Cara
Pembuatan Obat yang Baik
k. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.03.1.23.09.10.9030 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
34
Universitas Indonesia
HK.00.05.3.0027 Tahun 2006 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan
Obat yang Baik Tahun 2006
Adapun pedoman standar terkait bidang ini adalah sebagai berikut:
a. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik I pada tahun 1988
b. Petunjuk Operasional Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik I pada tahun
1990
c. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik II pada tahun 2001
d. Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik II pada tahun
2001
e. Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik III pada tahun 2006
f. Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik III pada tahun
2009
g. Suplemen I Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik III pada tahun 2009;
h. Pedoman Cara Pembuatan Bahan Baku Aktif yang Baik pada tahun 2009;
i. Revisi Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik 2006 pada tahun 2012;
j. Petunjuk Teknis Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik pada tahun 2012.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
35 Universitas Indonesia
BAB 4
PELAKSANAAN PKPA
Kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Badan Pengawas Obat
dan Makanan RI dilaksanakan pada tanggal 1 – 24 April 2014, meliputi kuliah
umum pada tanggal 1 – 3 April 2014 oleh semua Direktorat dan unit kerja di BPOM,
pelaksanaan praktek kerja di Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik
dan PKRT pada tanggal 7 – 22 April 2014, serta presentasi oleh seluruh peserta
PKPA pada tanggal 23 – 24 April 2014.
Peserta PKPA yang mendapatkan kesempatan praktek kerja di Direktorat
Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT yang bertempat di Gedung E
lantai 2 dan 3, berasal dari 5 (lima) perguruan tinggi yang berbeda, yakni
Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas
Padjajaran (UNPAD), Universitas Muhammadiyah Profesor DR. Hamka
(UHAMKA), Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN).
Kegiatan yang dilaksanakan selama PKPA di BPOM adalah sebagai
berikut:
a. Kuliah umum dan diskusi oleh seluruh Direktorat dan unit kerja BPOM RI, yang
mencakup :
1) Kuliah umum dan diskusi tentang BPOM RI
2) Presentasi dan diskusi tentang Biro Hukum dan Humas
3) Presentasi dan diskusi tentang Pusat Penyidikan Obat dan Makanan
(PPOM)
4) Presentasi dan diskusi tentang Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional
(PPOMN)
5) Presentasi dan diskusi tentang Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM)
6) Presentasi dan diskusi tentang Pusat Informasi Obat dan Makanan (PIOM)
7) Presentasi dan diskusi tentang Deputi I Bidang Pengawasan Produk
Terapetik dan PKRT yang terdiri dari Direktorat Standardisasi Produk
Terapetik dan PKRT; Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi;
Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT; Direktorat
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
36
Universitas Indonesia
Pengawasan Distribusi Produk Terapetik dan PKRT; dan Direktorat
Pengawasan Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif.
8) Presentasi dan diskusi tentang Deputi II Bidang Pengawasan Obat
Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen yang terdiri dari Direktorat
Standardisasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk Komplemen;
Direktorat Penilaian Obat Tradisional, Suplemen Makanan, dan Kosmetik;
Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi Obat Tradisional, Kosmetik, dan Produk
Komplemen; dan Direktorat Obat Asli Indonesia.
9) Presentasi dan diskusi tentang Deputi III Bidang Pengawasan Keamanan
Pangan dan Bahan Berbahaya yang terdiri dari Direktorat Standardisasi
Produk Pangan; Direktorat Penilaian Keamanan Pangan; Direktorat
Inspeksi dan Sertifikasi Pangan; Direktorat Surveilan dan Penyuluhan
Keamanan Pangan; dan Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan
Berbahaya.
10) Presentasi dan diskusi tentang BBPOM Jakarta
b. Pelaksanaan praktek kerja di Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik
dan PKRT. Adapun uraian kegiatan kerja yang dilakukan, yaitu:
1) Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produksi Produk Terapetik dan PKRT
a) Penjelasan dan diskusi bersama Ibu Dra. Rumondang Simanjuntak,
Apt. selaku Kepala Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk
Terapetik dan PKRT mengenai tugas pokok dan fungsi Subdirektorat
Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapetik dan PKRT.
b) Mempelajari contoh pengajuan permohonan penggunaan fasilitas
bersama dan laporan hasil inspeksi CPOB.
c) Memasukan data sertifikasi pelulusan dan sertifikasi pelulusan vaksin
dari industri farmasi PT. Biofarma dan selain PT. Biofarma
d) Memasukkan data terbaru terkait pengajuan permohonan penggunaan
fasilitas bersama
e) Memasukkan data timeline penyelesaian terhadap surat permohonan
penggunaan fasilitas bersama yang masuk dan surat respon oleh BPOM
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
37
Universitas Indonesia
serta rekapitulasi komoditi dan bentuk sediaan yang diajukan untuk
permohonan penggunaan fasilitas bersama.
f) Memasukkan data tanggal ED (akhir masa berlaku) surat respon terkait
permohonan penggunaan fasilitas bersama
g) Membuat rekapitulasi data resertifikasi CPOB industri farmasi
h) Membuat rekapitulasi data pelulusan vaksin
2) Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis CPOB
a) Penjelasan dan diskusi bersama Ibu Nursaadah, M.Si. selaku Kepala
Seksi Analisis CPOB tentang kegiatan utama Subdirektorat
Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis CPOB.
b) Mempelajari SOP yang berlaku di Direktorat Pengawasan Produksi
Produk Terapetik dan PKRT.
c) Mempelajari dokumen dan diskusi bersama Ibu Nursaadah, M.Si.
selaku Kepala Seksi Analisis CPOB mengenai dokumen yang
dibutuhkan dalam rangka melakukan inspeksi industri farmasi di luar
negeri
d) Mempelajari SMF (Site Master File) industri farmasi luar negeri yang
akan mengimpor produknya ke indonesia dan menentukan apakah SMF
sudah lengkap atau memerlukan tambahan data berdasarkan form
evaluasi SMF POM-03.SOP.01.IK04(33)/F01
3) Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi
a) Pengarahan dan diskusi bersama Ibu Vemy P., S.Si., Apt., selaku
Kepala Seksi Pemantauan dan Analisis Harga Obat tentang kegiatan
utama Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi
b) Pengerjaan tugas entri data hasil pengujian sampel obat dari beberapa
Balai Besar/Balai POM di berdasarkan kategorinya
c) Membantu penyiapan sampel obat untuk diuji di 31 BBPOM di seluruh
Indonesia dalam rangka program pemantapan kemandirian Balai dalam
pengawasan mutu produk terapetik tahun 2014
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
38
Universitas Indonesia
d) Membantu penyiapan surat dan dokumen untuk dikirim kepada 31
BBPOM di seluruh Indonesia beserta sampel obat dalam rangka
program pemantapan kemandirian Balai dalam pengawasan mutu
produk terapetik tahun 2014
c. Presentasi akhir oleh seluruh peserta PKPA mengenai pelaksanaan kegiatan
PKPA di masing-masing Direktorat dan unit kerja.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
39 Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama melakukan Praktek Kerja Profesi Apoteker pada periode 7 – 22
April 2014, kami diberi kesempatan untuk mengetahui dan mempelajari lebih
dalam mengenai Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan
Kesehatan Rumah Tangga. Direktorat ini terdiri dari tiga Subdirektorat yaitu
Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapetik dan PKRT; Subdirektorat
Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis CPOB; dan Subdirektorat Harga Obat
dan Farmakoekonomi.
5.1. Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapetik dan PKRT
Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produksi Produk Terapetik dan
Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga bertugas melaksanakan penyiapan bahan
perumusan kebijakan teknis, penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur,
serta pelaksanaan inspeksi dan sertifikasi produk terapetik dan perbekalan
kesehatan rumah tangga. Subdirektorat ini terdiri atas sebagai berikut.
a. Seksi Inspeksi Sarana Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga
b. Seksi Sertifikasi Sarana Produksi Produk Terapetik dan Perbekalan Kesehatan
Rumah Tangga
Kegiatan utama Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapetik dan
PKRT antara lain inspeksi sarana produksi produk terapetik, sertifikasi produk
terapetik, dan perumusan kelayakan penggunaan fasilitas produksi bersama antara
obat dengan kosmetik, obat tradisional, dan produk komplemen di sarana produksi
industri farmasi.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1799/MENKES/PER/XII/2010, untuk memastikan agar obat yang dihasilkan
memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu, setiap
pendirian industri farmasi wajib memiliki izin industri farmasi yang diperoleh dari
Direktur Jenderal pada Kementerian Kesehatan yang memiliki tugas dan tanggung
jawab dalam bidang pembinaan kefarmasian dan alat kesehatan. Untuk
memperoleh izin industri farmasi diperlukan persetujuan prinsip.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
40
Universitas Indonesia
Permohonan persetujuan prinsip diajukan kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Sebelum
pengajuan permohonan persetujuan prinsip, pemohon wajib mengajukan
permohonan persetujuan Rencana Induk Pembangunan (RIP) kepada Kepala
Badan. Dalam hal permohonan persetujuan prinsip telah diberikan, pemohon dapat
langsung melakukan persiapan, pembangunan, pengadaan, pemasangan, dan
instalasi peralatan, termasuk produksi percobaan dengan memperhatikan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selama melaksanakan pembangunan fisik,
pemohon izin industri farmasi wajib menyampaikan laporan informasi kemajuan
pembangunan fisik setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.
Pemohon yang telah selesai melaksanakan tahap persetujuan prinsip dapat
mengajukan permohonan izin industri farmasi kepada Direktur Jenderal dengan
tembusan kepada Kepala Badan dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat.
Setelah tembusan permohonan diterima, Kepala Badan melakukan audit
pemenuhan persyaratan CPOB. Selain itu, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
melakukan verifikasi kelengkapan persyaratan administratif. Setelah dinyatakan
memenuhi persyaratan CPOB, Kepala Badan mengeluarkan rekomendasi
pemenuhan persyaratan CPOB kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Jika dinyatakan memenuhi kelengkapan
persyaratan administratif, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi akan mengeluarkan
rekomendasi pemenuhan persyaratan administratif kepada Direktur Jenderal
dengan tembusan kepada Kepala Badan. Setelah menerima rekomendasi serta
persyaratan lainnya, Direktur Jenderal menerbitkan izin industri farmasi. Dalam hal
pemberian persetujuan prinsip, pemberian persetujuan Rencana Induk
Pembangunan (RIP), dan penerbitan izin industri farmasi, pemohon akan dikenai
biaya sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Industri farmasi yang membuat obat wajib memenuhi persyaratan pada
Pedoman CPOB yang berlaku. Pemenuhan persyaratan CPOB dibuktikan dengan
sertifikat. Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI Nomor
HK.04.1.33.12.11.09937 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Sertifikasi Cara
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
41
Universitas Indonesia
Pembuatan Obat yang Baik, permohonan penerbitan Sertifikat CPOB diajukan
secara tertulis oleh industri farmasi kepada Kepala Badan setelah izin industri
farmasi sudah diterbitkan.
Sertifikasi CPOB yang diajukan oleh industri farmasi yang baru
dikategorikan sebagai proses sertifikasi baru. Setelah permohonan Sertifikasi
diterima, BPOM RI melakukan inspeksi ke lokasi industri farmasi. Kemudian
BPOM RI menyampaikan evaluasi pemenuhan persyaratan CPOB kepada
pemohon berdasarkan hasil inspeksi yang dilakukan.
Setelah dinyatakan memenuhi persyaratan CPOB berdasarkan evaluasi hasil
inspeksi, BPOM RI menerbitkan rekomendasi pemenuhan persyaratan CPOB
sebagai kelengkapan dalam rangka permohonan izin industri farmasi kepada
Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan.
Sertifikat berlaku untuk 5 (lima) tahun selama yang bersangkutan masih
berproduksi dan memenuhi persyaratan sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan. Alur kerja sertifikasi terlampir pada Lampiran 3.
Seksi Sertifikasi Sarana Produksi PT dan PKRT juga menerbitkan surat
persetujuan penggunaan fasilitas bersama yang ditandatangani oleh Direktur
Pengawasan Produksi PT dan PKRT, misalnya penggunaan fasilitas bersama untuk
pembuatan obat jadi non antibiotika dan suplemen ataupun obat tradisional. Setelah
memperoleh persetujuan penggunaan fasilitas bersama, industri farmasi harus
memenuhi ketentuan sebagai berikut.
a. Melaksanakan sistem manajemen mutu mencakup produk yang diajukan,
b. Bahan baku berkhasiat yang digunakan merupakan bahan yang memiliki
spesifikasi dan standar mutu yang dapat diuji dan bukan simplisia,
c. Bahan aktif berkhasiat dan bahan pembantu memiliki kualitas pharmaceutical
grade,
d. Melakukan pemisahan yang jelas dengan obat untuk bahan baku, bahan
pengemas, dan produk jadi,
e. Seluruh aktivitas yang menggunakan fasilitas produksi obat harus dilaksanakan
sesuai dengan Pedoman CPOB,
f. Melakukan validasi pembersihan,
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
42
Universitas Indonesia
g. Melakukan pembersihan sesuai dengan prosedur pembersihan ruangan dan
peralatan yang telah ditetapkan, dan
h. Tersedia jadwal produksi yang jelas antara produk obat dengan produk lainnya.
Permohonan penggunaan fasilitas bersama diajukan secara tertulis kepada
Kepala Badan dengan disertai protokol validasi pembersihan untuk menjamin
bahwa sisa produk obat tidak saling bercampur dengan produk lain. Masa berlaku
persetujuan penggunaan fasilitas bersama sesuai dengan masa berlaku sertifikat
CPOB untuk masing-masing bentuk sediaan.
Kegiatan lain Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi Produk Terapetik dan
PKRT adalah melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis, dan
penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi
pada sarana produksi produk terapetik dan PKRT yang beredar di Indonesia. Jenis-
jenis inspeksi adalah sebagai berikut.
a. Inspeksi dengan pemberitahuan (announced inspection), yaitu apabila inspeksi
dilaksanakan dalam rangka sertifikasi CPOB, perluasan atau perubahan tata
ruang, inspeksi rutin, dan verifikasi CAPA (Corrective Action and Preventive
Action).
b. Inspeksi tanpa pemberitahuan (unannounced inspection), yaitu apabila inspeksi
dalam rangka penanganan kasus dan bila ada pertimbangan tertentu inspeksi
rutin dilakukan tanpa pemberitahuan.
Inspeksi dilakukan oleh inspektur. Inspektur CPOB adalah petugas
Direktorat dan/atau Balai yang sudah terkualifikasi dan ditetapkan sebagai
inspektur CPOB yang mempunyai jenjang Inspektur Junior, Inspektur Senior, dan
Inspektur Kepala. Temuan adalah catatan mengenai hasil inspeksi yang bersifat
negatif atau penyimpangan terhadap persyaratan CPOB dan/atau persyaratan legal
yang berkaitan. Tujuan inspeksi adalah sebagai berikut.
a. Inspeksi dalam rangka sertifikasi fasilitas baru atau inspeksi dalam rangka
sertifikasi fasilitas baru atau resertifikasi yang dilakukan untuk mengetahui
pemenuhan CPOB sebagai dasar pemberian sertifikat CPOB untuk bentuk
sediaan tertentu. Resertifikasi dilakukan setiap 5 tahun sekali. Inspeksi
dilaksanakan bersama oleh Inspekstur CPOB dan Spesialis (jika perlu) dari
BPOM dan Balai.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
43
Universitas Indonesia
b. Inspeksi dalam rangka perluasan atau perubahan fasilitas inspeksi yang
dilakukan untuk mengetahui pemenuhan CPOB sebagai dasar persetujuan
penggunaan fasilitas.
c. Inspeksi rutin yang dilakukan untuk mengetahui pemenuhan persyaratan CPOB
di industri farmasi yang dilakukan secara berkala dan berkesinambungan.
d. Inspeksi tindak lanjut hasil inspeksi sebelumnya yang dilakukan untuk
mengetahui kemajuan perbaikan atas temuan inspeksi sebelumnya. Inspeksi ini
dapat dilakukan oleh inspektur CPOB dari Direktorat dan/atau Balai tergantung
dari kekritisan temuan.
e. Inspeksi dalam rangka investigasi dan penanganan terhadap keluhan dan/atau
penarikan kembali obat yang dilakukan sebagai tinak lanjut dari laporan keluhan
dan/atau penarikan kembali obat.
f. Inspeksi dalam rangka penanganan terhadap produk tidak memenuhi syarat
(TMS).
Alur kerja persiapan inspeksi CPOB terlampir pada Lampiran 4. Prosedur
dari inspeksi ini terdiri dari tahap persiapan, pelaksanaan, dan pelaporan hasil
inspeksi. Tahap persiapan inspeksi CPOB meliputi identifikasi kelengkapan
inspeksi berdasarkan jenis, tujuan, dan ruang lingkup inspeksi, pembentukan tim
inspeksi, penyiapan surat, bahan, dan peralatan yang diperlukan, serta pertemuan
antar anggota tim inspeksi. Adapun tahap pelaksanaan inspeksi meliputi peninjauan
lapangan, pangambilan sampel, pengamanan segera, dan pembuatan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP). Alur kerja pelaksanaan inspeksi CPOB terlampir pada
Lampiran 5. Tahap selanjutnya adalah pelaporan hasil inspeksi. Setelah melakukan
inspeksi, tim inspeksi membuat laporan inspeksi. Beberapa dokumen yang
dibutuhkan untuk membuat laporan inspeksi adalah Berita Acara Pemeriksaan
(BAP), Berita Acara Pengambilan Sampel (bila ada), daftar hadir dari tim inspeksi
dan key personnel saat inspeksi, dan Buku Inspeksi CPOB. Alur kerja laporan
inspeksi CPOB terlampir pada Lampiran 6. Apabila pada saat inspeksi ditemukan
pelanggaran maka dapat diambil tindakan berupa peringatan, peringatan keras,
penghentian sementara kegiatan (PSK), pencabutan sertifikat CPOB atau
rekomendasi pencabutan izin usaha.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
44
Universitas Indonesia
Subdirektorat Inspeksi dan Sertifikasi PT dan PKRT juga melakukan
pengawasan terhadap produk terapetik yang beredar, salah satunya adalah produk
vaksin. Vaksin tersebut diproduksi oleh beberapa industri farmasi antara lain PT.
Biofarma, PT. Sanofi Aventis, dan PT. GlaxoSmithKline. Pengawasan yang
dilakukan yakni berkoordinasi dengan PPOMN terkait sertifikat hasil pengujian
dan sertifikat pelulusan terhadap bets produk yang telah diproduksi.
Pada sertifikat pengujian terdapat hasil pengujian yang telah dilakukan
oleh PPOMN dan kesimpulan. Selain itu juga terdapat nomor sertifikat pengujian,
nomor batch produk yang diuji, waktu kadaluarsa produk, nomor registrasi, kode
produk yang diuji, jenis sediaan dan kemasan. Pada sertifikat pelulusan bets
tercantum nomor sertifikat pelulusan, nomor batch dari produk yang diluluskan,
jenis sediaan produk, perusahaan yang memproduksi, kemasan produk, kode
produk yang lulus uji, waktu kadaluarsa dan jumlah kemasan produk yang lulus
uji.
Pada sertifikat pelulusan yang dikeluarkan untuk industri vaksin biofarma
dan non biofarma (PT. Sanofi Aventis, dan PT. GlaxoSmithKline) terdapat
perbedaan yakni pada sertifikat pelulusan yang dikeluarkan untuk industri vaksin
Biofarma dalam satu sertifikat terdapat satu nomor sertifikat dan berisi berbagai
jenis produk dalam berbagai nomor batch sedangkan pada sertifikat pelulusan
yang dikeluarkan untuk industri vaksin non-biofarma setiap produk vaksin dengan
masing-masing nomor batch mendapat 1 (satu) nomor sertifikat yang berarti 1
(satu) nomor batch untuk 1 (satu) jenis produk mendapat 1 (satu) sertifikat
pelulusan.
Hasil evaluasi dan pengujian berupa sertifikat pelulusan yang dikeluarkan
paling lama 10 hari kerja, setelah dokumen lengkap dan sampel diterima di
laboratorium Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional (PPOMN), BPOM
RI. Obat impor vaksin yang belum memperoleh sertifikat pelulusan bets/lots dari
badan otoritas di negara tempat vaksin diluluskan dilakukan :
a. Evaluasi terhadap protokol ringkasan bets/lot, sertifikat analisis dan
label;
b. Pengujian pemerian; dan
c. Pengujian potensi dan/atau pengujian lain yang ditetapkan.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
45
Universitas Indonesia
Hasil evaluasi dan pengujian berupa sertifikat pelulusan dan sertifikat
pengujian yang dikeluarkan paling lama 65 hari kerja setelah dokumen lengkap dan
sampel diterima di laboratorium Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional
(PPOMN) BPOM RI.
4.2. Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis CPOB
Untuk melindungi masyarakat dari produk farmasi impor yang tidak
memenuhi persyaratan, maka BPOM harus memiliki suatu sistem yang dapat
menjamin keamanan, khasiat dan mutu produk terapetik dan PKRT impor ke
Indonesia. Di samping itu, BPOM juga memerlukan unit kerja untuk melakukan
pengawasan terhadap industri Bahan Baku Obat yang ada di Indonesia. Untuk itu,
Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik membentuk unit kerja dibawah
Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis Penerapan CPOB, yaitu
Seksi Analisis Penerapan CPOB, Seksi Pengawasan Bahan Baku Obat, dan Seksi
Tata Operasional.
Seksi Analisis CPOB bertugas untuk melakukan evaluasi kemampuan
industri farmasi di luar negeri yang akan mengimpor produknya dalam memenuhi
CPOB sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia. Untuk melakukan evaluasi
tersebut, diperlukan Dokumen Induk Industri Farmasi (DIIF)/Dokumen Site Master
File (SMF). Dokumen SMF yang diajukan oleh industri farmasi di luar negeri
diwakili oleh pendaftar di Indonesia yang merupakan industri farmasi lokal yang
minimal memiliki satu sertifikat CPOB. Dokumen ini merupakan salah satu
persyaratan yang harus dilampirkan saat pendaftaran produk untuk mendapatkan
Nomor Izin Edar (NIE) di Indonesia. Dokumen ini berisi informasi spesifik dan
sistematis dari industri farmasi di luar negeri mengenai beberapa hal berikut:
a. Informasi umum mengenai industri farmasi seperti nama industri, alamat
lengkap, serta produk-produk yang telah disetujui.
b. Sistem manajemen mutu seperti sistem manajemen mutu, prosedur pelulusan
akhir produk jadi, manajemen resiko mutu, dan tinjauan mutu produk.
c. Personalia seperti jumlah karyaman dan kualifikasi karyawan.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
46
Universitas Indonesia
d. bangunan dan peralatan seperti uraian mengenai sistem tata udara dan air, daftar
peralatan produksi dan laboratorium pengawasan mutu, sanitasi, dan sistem
komputer.
e. Dokumentasi
f. Aktivitas produksi
g. Pengawasan mutu
h. Distribusi, keluhan, dan penarikan kembali
i. Inspeksi diri
j. Lampiran seperti kopi izin industri farmasi, kopi sertifikat-sertifikat CPOB yang
berlaku, bagan organisasi, denah area produksi.
Pendaftar menyerahkan dokumen SMF produsen produk yang akan
dievaluasi ke Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi. Kemudian dokumen
SMF akan disampaikan ke Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan
PKRT melalui Memo Dinas. Dokumen SMF yang diterima diperiksa
kelengkapannya dan pemenuhan kriteria oleh tim evaluator sesuai dengan Pedoman
Penyiapan Dokumen Induk Industri Farmasi (DIIF) yang terdapat pada Lampiran
Peraturan Kepala BPOM RI No HK.04.1.33.02.12.0883 Tahun 2012 tentang
Dokumen Induk Industri Farmasi dan Industri Obat Tradisional serta ketentuan lain
yang dipersyaratkan oleh Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis
CPOB. Pemeriksaan SMF dilakukan dalam rentang waktu tertentu sesuai dengan
jenis produk yang didaftarkan, yaitu:
a. Sediaan Non-steril (24 hari kerja)
b. Sediaan Steril (30 hari kerja)
c. Produk Biologi (36 hari kerja)
d. Produk Darah (42 hari kerja)
Setelah dokumen SMF selesai dievaluasi akan dikeluarkan surat Hasil
Evaluasi SMF yang menerangkan bahwa masih memerlukan tambahan data beserta
rincian data yang masih diperlukan atau keterangan yang menyatakan bahwa
dokumen SMF telah lengkap. Apabila dokumen SMF dinyatakan belum lengkap,
maka Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT akan
mengirimkan Memo Dinas kepada Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi
yang berisi permintaan data tambahan dokumen SMF kepada pendaftar. Pendaftar
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
47
Universitas Indonesia
diberikan tenggat waktu penyerahan kembali data tambahan selama empat bulan.
Jika pihak pendaftar tidak dapat memenuhi dokumen tambahan yang diperlukan
dalam waktu yang telah ditentukan, evaluasi dokumen SMF dihentikan dan
pendaftar harus mengajukan dokumen SMF berdasarkan prosedur awal.
Apabila dokumen SMF dinyatakan lengkap, Direktorat Pengawasan
Produksi Produk Terapetik dan PKRT akan mengirimkan Memo Dinas kepada
Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi yang menyatakan bahwa dokumen
SMF telah lengkap dan apakah diperlukan inspeksi ke lokasi (site visit) atau tidak.
Perlu atau tidaknya dilakukan site visit secara langsung ke industri farmasi
dipertimbangkan oleh Direktorat Pengawasan Produk Terapetik dan PKRT
berdasarkan kebijakan sebagai berikut.
a. Adapun kriteria site yang tidak diinspeksi dalam rangka pendaftaran izin edar
adalah sebagai berikut:
1) Site berada dalam otoritas anggota PIC/S, kecuali ada pertimbangan lain
berdasarkan hasil evaluasi dokumen mutu, misal: laporan inspeksi dari NRA
(National Regulatory Authority), lain, informasi tentang riwayat industri atau
produk yang didaftarkan.
2) Jika pada bangunan yang sama telah diinspeksi oleh BPOM untuk high risk
namun mendaftarkan lagi untuk produk yang low risk, kecuali berdasarkan
hasil evaluasi dokumen mutu, misal: laporan inspeksi sebelumnya oleh
BPOM, informasi tentang riwayat industri atau produk yang didaftarkan.
b. Kriteria yang harus diinspeksi
1) Negara yang diketahui belum memiliki sistem pengawasan obat yang
memadai.
2) Jika bangunan yang telah diinspeksi oleh BPOM berbeda dengan bangunan
yang sedang didaftarkan walaupun pada site yang sama
c. Jika suatu site ditetapkan masuk dalam kriteria harus diinspeksi namun meminta
peniadaan inspeksi, maka akan dilakukan desk inspection, dengan kriteria
penerimaan sebagai berikut:
1) Bukan produk high risk .
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
48
Universitas Indonesia
2) Hasil evaluasi laporan inspeksi dua tahun terakhir oleh NRA negara lain
(anggota PIC/S) dan NRA lokal menunjukkan bahwa sarana tersebut dapat
dianggap telah memenuhi persyaratan CPOB.
3) Surat pernyataan bahwa fasilitas produksi yang telah diinspeksi sama dengan
fasilitas produk yang didaftarkan.
4) Surat pernyataan bahwa bersedia diinspeksi sewaktu-waktu dalam rangkan
inspeksi postmarket.
5) Bangunan tersebut telah diinspeksi oleh BPOM dalam kurun waktu tiga tahun
dengan hasil inspeksi dinyatakan telah memenuhi syarat dan hasil evaluasi
dokumen mutu memenuhi syarat.
Industri farmasi yang termasuk dalam salah satu kriteria diatas akan
dilakukan site visit secara langsung ke lokasi industri farmasi. Site visit yang masuk
dalam kategori inspeksi luar negeri kemudian menjadi tanggung jawab dari Seksi
Pengawasan Bahan Baku Obat.
Salah satu tugas dari Seksi Pengawasan Bahan Baku Obat adalah
menjadwalkan inspeksi luar negeri ke industri farmasi yang dinyatakan
memerlukan site visit. Sebelum menjadwalkan inspeksi, pendaftar diminta untuk
mengirimkan Surat Permohonan Jadwal Audit dan melampirkan copy hasil evalusi
SMF dan Dokumen Pra-inspeksi secara langsung ke Direktorat Pengawasan Produk
Terapetik dan PKRT tanpa melalui Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi.
Dokumen pra-inspeksi terdiri dari:
a. Rencana induk validasi
b. Protokol dan laporan validasi proses
c. Protokol dan laporan validasi metode analisis untuk produk akhir
d. Protokol dan laporan validasi pembersihan
e. Spesifikasi bahan baku, bahan ruahan, dan produk akhir.
f. Protap pelulusan produk akhir
g. Protap penarikan produk
h. Protap penanganan deviasi
i. Dokumen kualifikasi alat kritis
j. Dokumen kualifikasi AHU
k. Protap penanganan keluhan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
49
Universitas Indonesia
l. Protap HULS
m. Protap pengendalian perubahan
n. Kajian mutu produk khusus untuk produk yang didaftarkan
Selanjutnya dilakukan evaluasi Dokumen Pra-inspeksi oleh tim evaluasi
Dokumen Pra-inspeksi. Tim evaluasi memeriksa kelengkapan Dokumen Pra
Inspeksi sesuai dengan pedoman CPOB dalam tenggat waktu tertentu, yaitu:
a. Sediaan Non-steril (30 hari kerja)
b. Sediaan Steril (36 hari kerja)
c. Produk Biologi (42 hari kerja)
d. Produk Darah (48 hari kerja)
Jika ada tambahan data yang diperlukan, tim evaluator akan mengirimkan
surat kepada pendaftar mengenai kekurangan data. Jika tambahn data dokumen
telah disampaikan oleh pendaftar, tim evaluasi akan mengevaluasi tambahan data
dalam tenggat waktu berikut:
a. Dokumen kualifikasi (kualifikasi alat kritis, kualifikasi sarana penunjang)
20 hari kerja
b. Dokumen validasi (validasi proses, pembersihan, validasi metode analisis,
RIV) 30 hari kerja
c. Protap (pelulusan bets, penarikan kembali, penanganan penyimpangan,
pengendalian perubahan) 10 hari kerja
Apabila dokumen pra-inspeksi telah dievaluasi dan dinyatakan lengkap,
hasil evaluasi terbaru dan surat kepada pihak pendaftar dilaporkan kepada Kepala
Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan Analisis CPOB untuk
menetapkan jadwal inspeksi dan dilakukan persiapan inspeksi luar negeri serta
menginformasikan rencana inspeksi luar negeri kepada pendaftar terkait hal yang
perlu disiapkan oleh pendaftar untuk pelaksanaan inspeksi ke sarana. Pendaftar juga
diwajibkan membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terkait inspeksi
yang akan dilakukan.
Dokumen yang disiapkan oleh Direktorat Pengawasan Produksi Produk
Terapetik dan PKRT dalam melaksanakan inspeksi antara lain:
a. Surat tugas kepada Inspektor
b. Surat pemberitahuan kepada industri farmasi
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
50
Universitas Indonesia
c. Aide memoire
d. Dokumen pra-inspeksi
e. Inspector plan
f. Daftar hadir
Setelah inspeksi selesai dilaksanakan, tim inspeksi kemudian membuat
Laporan Inspeksi untuk dilaporkan kepada Deputi I dalam waktu 20 hari kerja dan
membuat surat kepada pendaftar terkait Laporan Inspeksi CPOB dan permintaan
perbaikannya. Industri farmasi melalui pendaftar menyampaikan CAPA
(Corrective Action Preventive Action) terkait temuan yang tercantum dalam
Laporan Hasil Inspeksi dalam tenggat waku satu bulan untu temuan kritikal atau
dua bulan yang tidak kritikal dan membayar PNBP sesuai peraturan yang berlaku
sebagai biaya evaluasi dokumen CAPA inspeksi luar negeri. Tim inspeksi
melakukan evaluasi terhadap CAPA yang telah disampaikan dalam tenggat waktu
sebagai berikut.
a. Dokumen kualifikasi (kualifikasi alat kritis, kualifikasi sarana penunjang)
20 hari kerja
b. Dokumen validasi (validasi proses, pembersihan, validasi metode analisis,
RIV) 30 hari kerja
c. Protap (pelulusan bets, penarikan kembali, penanganan penyimpangan,
pengendalian perubahan) 10 hari kerja
Evaluasi CAPA berlanjut sampai dengan dinyatakan memenuhi syarat
dengan tenggat waktu selama dua tahun. Apabila dalam tenggat waku dua tahun
industri farmasi tersebut belum memenuhi syarat maka harus dilakukan inspeksi
ulang. Hasil inspeksi yang telah memenuhi syarat dapat menjadi salah satu dasar
pertimbangan dalam pemberian nomor izin edar oleh Direktorat Penilaian Obat dan
Produk Biologi.
Selain inspeksi premarket yang dilakukan sebagai salah satu persyaratan
bagi industri farmasi yang mendaftarkan produknya untuk mendapatkan izin edar
di Indonesia, Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT juga
melakukan inspeksi postmarket untuk produk yang telah memliki izin edar.
Inspeksi postmarket dilakukan untuk mengetahui konsistensi industri farmasi
dalam mengelola sistem mutu sesuai persyaratan CPOB yang telah didaftarkan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
51
Universitas Indonesia
sebelumnya. Namun, saat ini inspeksi postmarket ke industri farmasi di luar negeri
belum menjadi fokus utama Subdirektorat Pengawasan Bahan Baku Obat dan
Analisis CPOB dan masih terfokus pada inspeksi premarket untuk memperoleh izin
edar. Alur kerja inspeksi pre-market dan post-market terlampir pada Lampiran 7
dan 8.
Secara umum, seluruh tahapan yang dilakukan untuk inspeksi postmarket
dan tenggat waktu yang diberikan untuk evaluasi CAPA sama dengan yang
dilakukan untuk inspeksi premarket. Tindak lanjut jika pada saat inspeksi
postmarket terdaapat temuan kritikal adalah sebagai berikut.
a. Meminta pendaftar untuk tidak melakukan pendistribusian produk impor yang
berasal dari site tersebut sampai dengan CAPA terkait temuan inspeksi
diselesaikan.
b. Meminta Balai untuk melakukan monitoring terhadap produk impor tersebut dan
melaporkannya ke Pusat.
c. Jika pendaftar dan produsen tidak dapat menyelesaikan CAPA dalam jangka
waktu satu bulan seperti yang telah ditetapkan, maka diberikan sanksi penarikan
seluruh produk yang ada di pasaran dan merekomendasikan ke Direktorat
Penilaian Obat dan Produk Biologi untuk proses pembekuan NIE.
d. Setelah sanksi pembekuan, jika pendaftar dan produsen tidak dapat
menyelesaikan CAPA dalam waktu satu bulan, maka dibuat rekomendasi ke
Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi untuk pembatalan NIE.
e. Meminta untuk melakukan pemusnahan terkait produk impor yang dibatalkan
NIEnya dan melaporkan ke pusat.
Seksi Pengawasan Bahan Baku Obat juga bertugas menangani sistem mutu
pada industi Bahan Baku Aktif Obat (BBAO) sesuai dengan Pedoman Cara
Pembuatan Bahan Baku Aktif Obat yang Baik (CPBBAOB) yang tertera pada
Peraturan Kepala BPOM RI Nomor HK.03.1.33.12.12.8195 Tahun 2012 Tentang
Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Pedoman ini bertujuan
untuk memastikan BBAO memenuhi persyaratan mutu dan kemurnian yang
diklaim atau sifat yang dimilikinya.
Pada prinsipnya, inspeksi CPBBAOB sama dengan inspeksi CPOB.
Perbedaannya hanyalah pada objek yang akan diinspeksi. Pada inspeksi CPOB
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
52
Universitas Indonesia
yang dievaluasi adalah cara pembuatan obat sedangkan pada inspeksi CPBBAOB
yang dievaluasi adalah cara pembuatan bahan aktif obat. Inspeksi CPBBAOB
bertujuan untuk memastikan pemenuhan persyaratan CPBBAOB oleh industri
bahan aktif obat. Saat ini terdapat sekitar sepuluh industri bahan aktif obat di
Indonesia.
4.3. Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi
Tugas dari Subdirektorat Harga Obat dan Farmakoekonomi mengawasi
jumlah obat-obat generik yang berlogo OGB, mengawasi jumlah obat-obat esensial
yang meliputi persebaran obat esensial di wilayah Indonesia terutama di 31 provinsi
yang telah terdapat unit pelayanan teknis BBPOM dan Balai POM, menghitung
persentase jumlah obat generik terhadap obat-obat esensial yang telah mendapatkan
nomor izin edar di indonesia, mengakumulasikan jumlah obat-obat yang diproduksi
oleh industri farmasi yang telah menjalankan CPOB, membuat presentasi jumlah
obat esensial yang diproduksi oleh industri farmasi yang telah menerapkan CPOB
dengan jumlah obat esensial yang diproduksi oleh industri farmasi yang belum
menerapkan CPOB.
Subdirektorat ini memantau harga obat di Indonesia melalui Balai/ BBPOM
yang tersebar di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
092/MENKES/SK/II/2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik Tahun
2012. Harga yang ditentukan oleh industri dipantau oleh Subdirektorat ini dan
dibuat laporannya kepada Kementrian Kesehatan untuk ditindaklanjuti terkait
penerapan dan penyimpangan yang terjadi. Penetapan harga obat oleh industri
farmasi terutama obat generik yakni di bawah harga eceran tertinggi (HET) karena
adanya kebijakan pemerintah yang mengatur harga obat agar dapat terjangkau oleh
semua lapisan masyarakat.
Selain melakukan pemantauan harga obat, Subdirektorat ini juga
menyiapkan data terkait sampling dan pengujian terhadap produk terapetik dan
PKRT. Alur kerja pelaksanaan sampling terlampir pada Lampiran 9. Pada
umumnya, sampling dilakukan untuk produk-produk yang memiliki parameter
kritis seperti antibiotik betalaktam, sefalosporin, produk sitotoksin, onkologi,
hormon, dan lain-lain. Dalam sampling, digunakan pedoman sampling yang
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
53
Universitas Indonesia
disusun berdasarkan profil obat beredar di wilayah dan lokasi terkait. Tujuan
dilakukan survei yakni memperoleh profil obat beredar yang akan digunakan antara
lain untuk :
a. Mengetahui proporsi peredaran obat per provinsi,
b. Revitalisasi metodologi sampling obat (pemastian ketersediaan sampel dalam
rangka menjaga mutu obat beredar),
c. Confirmatory data registrasi, dan
d. Resertifikasi CPOB.
Sampling dilakukan untuk menjamin agar proses sampling sesuai dengan
prosedur sampling yang digunakan. Sebelum sampling dilakukan perencanaan
sampling untuk menentukan target jumlah produk-produk yang akan disampling
dari berbagai provinsi di Indonesia. Setelah itu dilakukan persiapan pra-sampling
untuk melihat ketersediaan jumlah dan jenis produk-produk yang akan disampling
yang masih terdapat di pasaran dan setelah melakukan sampling dibuat suatu
laporan untuk mengevaluasi dan untuk memberikan feedback terhadap hasil
sampling kepada produsen atau pelaku usaha yang mengeluarkan atau
memproduksi produk tersebut. Sampling dilakukan melalui pendekatan analisis
resiko berdasarkan tingkat kekritisan. Kelompok resiko dengan tingkat kekritisan
lebih tinggi akan mendapat proporsi sampel yang lebih besar. Sampling
dikelompokkan sebagai berikut.
a. Samping rutin (routine sampling)
1) Sampling compliance, bertujuan untuk mengawasi konsistensi terhadap
pemenuhan persyaratan mutu suatu obat
2) Sampling surveillance, bertujuan untuk mengetahui peredaran obat ilegal
termasuk obat palsu dengan mempertimbangkan yang pernah ditemukan pada
tahun sebelumnya
Kategori dan kriteria produk terapetik yang akan disampling meliputi sebagi
berikut.
a) Kategori A : obat program pemerintah (obat dan vaksin)
b) Kategori B : obat untuk pengobatan infeksi yang spesifik maupun
parasitik (antibiotik, antiviral, antimalaria, antituberkulosis,
antihelmintik/antiparasit, antifungi)
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
54
Universitas Indonesia
c) Kategori C : obat yang diproduksi dalam jumlah besar/banyak beredar
d) Kategori D : obat yang diproduksi oleh industri farmasi yang
memerlukan perhatian khusus
e) Kategori E : obat yang memiliki riwayat TMS (recall dan kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI); obat yang sering ditemukan
TIE atau diduga dipalsukan)
f) Kategori F : obat untuk anak-anak (pediatrik)
g) Kategori G : produk impor (vaksin impor, obat impor)
h) Kategori H : narkotik, psikotropik, prekursor, dan obat yang rawan
didiversikan
i) Kategori I : lain-lain (rokok, sampel untuk ruang lingkup)
b. Sampling yang dipicu oleh kasus tertentu (triggered sampling), seperti obat yang
diproduksi oleh industri farmasi yang implementasi CPOB-nya inkonsisten,
penyimpanan obat yang tidak sesuai ketentuan, obat TMS yang kritikal, dan obat
impor yang beredar dengan NIE baru
Selain sampling, dilakukan pengujian terhadap produk-produk terapetik
sebelum ataupun setelah beredar. Pengujian ini dilakukan untuk menjamin agar
produk yang dihasilkan memiliki konsistensi mutu, keamanan dan khasiat yang
sama dengan produk saat produk tersebut diregistrasi dan pertama kali produk
tersebut mendapat nomor izin edar. Pengawasan tersebut termasuk pengawasan
post-market. Sedangkan pengawasan pre-market dilakukan sebelum produk
tersebut beredar dan belum memiliki sertifikat pelulusan dan pengujian. Dalam
pengujian, juga dibuat laporan setiap tahun terhadap produk-produk yang akan
launching di pasaran atau produk-produk yang mengalami perubahan terhadap
proses produksinya seperti perubahan bahan baku, perubahan bentuk sediaan,
perubahan proses pembuatan, dan perubahan ruang produksinya.
Pengawasan mutu obat di pasaran berkaitan dengan jumlah obat yang
diberikan nomor izin edar oleh BPOM. Untuk meningkatkan pengawasan mutu
obat, perlu diketahui berapa jumlah obat yang beredar dari seluruh nomor izin edar
yang telah disetujui. Untuk mengetahui jumlah obat beredar dapat diperoleh melalui
survei obat beredar di sarana pelayanan kefarmasian di apotek. Data yang
dihasilkan dari survei harus akurat dan harus memenuhi kaidah-kaidah yang
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
55
Universitas Indonesia
berkaitan dengan survei, dan diperlukan pula persamaan persepsi dari pelaksanaan
survei. Berkaitan dengan hal tersebut, maka kegiatan survei diperlukan pedoman
untuk pelaksanaannya.
Ruang lingkup dalam melakukan survei adalah obat beredar yang telah
mempunyai nomor izin edar 15 digit ataupun 7 digit, obat program, obat SAS
(Special Access Scheme), obat donasi, ketentuan obat yang didata saat survei yakni
semua obat yang beredar yang telah memiliki nomor izin edar di apotek, obat
dengan beda kekuatan, obat dengan beda bentuk sediaan, obat yang tidak terdata
dalam database namun mempunyai NIE, obat dengan berbeda kemasan tidak
dihitung.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
56 Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil selama melakukan PKPA di BPOM RI
adalah:
a. Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT memiliki tugas
pokok dalam melaksanakan penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis dan
penyusunan pedoman, standar, kriteria dan prosedur, serta pelaksanaan inspeksi
dan sertifikasi produk terapetik dan PKRT, pengawasan bahan baku obat dan
analisis CPOB, serta pemantauan dan analisis harga obat dan farmakoekonomi.
b. Apoteker memiliki peran dalam pengawasan produksi Produk Terapetik dan
PKRT dimulai dari pelaksanaan kegiatan inspeksi dan sertifikasi sarana
produksi dalam rangka pemenuhan terhadap standar CPOB, pengawasan bahan
baku obat, pemantauan harga obat secara tidak langsung, sampling dan
pengujian obat yang beredar di pasaran, serta evaluasi Dokumen Induk Industri
Farmasi (DIIF)/Dokumen Site Master File (SMF) untuk pemberian
rekomendasi pada Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi dalam hal
pemberian Nomor Izin Edar Produk Terapetik dan PKRT impor.
5.2 Saran
a. Sebaiknya setiap direktorat membuat timeline untuk pelaksanaan PKPA di
masing-masing Subdirektorat sehingga kegiatan mahasiswa bisa lebih terjadwal
dan teratur, termasuk jadwal untuk pemberian tugas dan diskusi dengan pihak
direktorat.
b. Sebaiknya jadwal pelaksanaan PKPA dilaksanakan pada saat bulan dimana
kemungkinan tidak banyak kesibukan dari BPOM sehingga mahasiswa bisa
lebih terbimbing dalam proses pemahaman mengenai tugas dan peran apoteker
di bidang pemerintahan, khususnya di BPOM.
c. Diberikan kesempatan yang lebih besar kepada peserta PKPA untuk memahami
ruang lingkup tugas dan tanggung jawab dari setiap Subdirektoratdi Direktorat
Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT dengan menyediakan lebih
banyak literatur maupun kumpulan peraturan yang menunjang.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
57
Universitas Indonesia
d. Seiring dengan berkembangnya dunia kefarmasian yang semakin pesat,
diperlukan peningkatan sistem pengawasan oleh BPOM yang lebih baik. Oleh
karena itu, perlu dilakukan penambahan personalia yang kompeten di
bidangnya agar fungsi pengawasan dan sistem mutu yang dijalankan BPOM
semakin baik dan efisien.
e. Karena teknologi dan ilmu kefarmasian juga mengalami perkembangan yang
pesat, penyusunan pedoman CPOB yang baru dalam rangka pemutakhiran
pedoman CPOB yang lama perlu dilakukan lebih cepat agar sesuai dengan
perkembangan pedoman cGMP.
f. Diperlukan edukasi tentang tanda-tanda fisik produk yang diduga TMS dan
sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar segera melapor
kepada unit layanan pengaduan konsumen di BPOM atau industri terkait jika
menerima produk yang diduga TMS sehingga tercipta kerjasama antara BPOM
dan masyarakat untuk mencegah terjadinya resiko terhadap kesehatan atas
beredarnya produk obat TMS.
g. Diperlukan sikap dan sanksi yang lebih tegas dari BPOM terhadap industri
farmasi yang tidak segera melaporkan progres penarikan produk dan tindakan
CAPA terkait temuan hasil inspeksi.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
58 Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2001). Keputusan
Kepala BPOM RI No HK.00.05.21.4231 tahun 2004 tentang perubahan
atas Keputusan Kepala BPOM No 02001/SK/BPOM tahun 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja BPOM. Jakarta: BPOM RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2003). Keputusan
BPOM RI No HK.00.05.23.0081 Tahun 2003 tentang Cara Mempersiapkan
Rancangan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Badan
Pengawas Obat dan Makanan. Jakarta: BPOM RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011). Peraturan Kepala
BPOM No. HK.04.1.33.12.11.09937 tahun 2011 tentang Cara Sertifikasi
CPOB. Jakarta: BPOM RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2012). Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. HK.03.1.33.12.12.8195 tahun
2012 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Jakarta: BPOM RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2010). Permenkes No. 1799/MENKES/PER/XII/2010
tentang Industri Farmasi. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2012). Keputusan Menteri Kesehatan No.
092/MENKES/SK/II/2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik
tahun 2012 . Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Peraturan Preisiden No. 03 tahun 2013 tentang
perubahan ketujuh tentang Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 103 Tahun 2001 Tentang kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan,
susunan organisasi dan tata kerja Lembaga Pemerintahan Non
Departemen. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Pemerintah Republik Indonesia. (1998). Peraturan Pemerintahan No.72 tahun
1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. (2009). Peraturan Undang-Undang No.36 Tahun
2009 tentang Kesehatan. Jakarta.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
LAMPIRAN
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
60
Lampiran 1. Struktur Organisasi BPOM RI
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
61
Lampiran 2. Struktur Organisasi Direktorat Pengawasan Produksi Produk
Terapetik dan PKRT
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
62
Lampiran 3. Alur Kerja Sertifikasi CPOB
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
63
Lampiran 4. Alur Kerja Persiapan Inspeksi CPOB
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
64
Lampiran 5. Alur Kerja Pelaksanaan Inspeksi CPOB
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
65
Lampiran 6. Alur Kerja Laporan Inspeksi CPOB
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
66
Lampiran 7. Alur Kerja Inspeksi Luar Negeri Pre-Market
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
67
Lampiran 8. Alur Kerja Inspeksi Luar Negeri Post-Market
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
68
Lampiran 9. Alur Kerja Pelaksanaan Sampling
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI KASUS PENARIKAN KEMBALI PRODUK X
DI DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUKS PRODUK
TERAPETIK DAN PKRT
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER
AMALIA RIZQI, S.Farm.
1306343353
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
APRIL 2014
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
STUDI KASUS PENARIKAN KEMBALI PRODUK X
DI DIREKTORAT PENGAWASAN PRODUKS PRODUK
TERAPETIK DAN PKRT
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
TUGAS KHUSUS PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker
AMALIA RIZQI, S.Farm.
1306343353
ANGKATAN LXXVIII
FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
DEPOK
FEBRUARI 2014
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... vii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian........................................................................ 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3
2.1 Definisi Penarikan Kembai (Recall)............................................ 3
2.2 Kriteria Produk Obat yang Tidak Memenuhi Persyaratan ............... 3
2.3 Jenis Recal ................................................................................. 4
2.3.1 Penarikan Kelas I .............................................................. 4
2.3.2 Penarikan Kelas II ............................................................. 4
2.3.3 Penarikan Kelas III ............................................................ 5
2.4 Produk Recall ............................................................................. 5
2.4.1 Temuan Produk yang Tidak Memenuhi Persyaratan .......... 5
2.4.2 Penanganan terhadap Produk yang Tidak Memenuhi
Persyaratan ........................................................................ 8
BAB 3 METODE PENELITIAN ................................................................ 12
3.1 Tempat dan Waktu ..................................................................... 12
3.2 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ............................... 12
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................ 13
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 17
5.1 Kesimpulan ................................................................................. 17
5.2 Saran ........................................................................................... 17
DAFTAR ACUAN ........................................................................................ 18
LAMPIRAN .................................................................................................. 19
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Hasil Pengujian Produk X yang Dilakukan oleh Beberapa Balai
POM. .............................................................................................. 13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Alur Kerja Penarikan Kembali Obat TMS (Recall) ................. 20
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan suatu negara
adalah tingkat kesehatan masyarakatnya. Oleh sebab itu untuk mewujudkan tujuan
nasional yaitu kesejahteraan rakyat Indonesia perlu dilakukan upaya dalam
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia. Salah satu cara dalam
meningkatkan kualitas kesehatan khususnya dalam bidang kefarmasian adalah
dengan melindungi masyarakat dari peredaran obat dan bahan obat yang tidak
memenuhi persyaratan. Salah satu cara mencegah peredaran obat yang tidak
memenuhi persyaratan adalah menjamin pengadaan sediaan farmasi yang harus
dapat menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiat sediaan Farmasi
(Pemerintah Republik Indonesia, 2009a)
Obat adalah obat jadi termasuk produk biologi yang merupakan bahan atau
paduan bahan, digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi
atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia
(.Pemerintah Republik Indonesia, 2009b). Obat yang beredar harus memenuhi
standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat, mutu, dan penandaan. Selain itu,
obat hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin edar sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
harus ditarik dari peredaran.
Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Produksi
Produk Terapetik dan PKRT adalah evaluasi produk obat yang tidak memenuhi
syarat (TMS). Tindak lanjut dari evaluasi produk obat TMS berupa penarikan obat
dari peredaran (recall). Penarikan adalah proses penarikan kembali obat yang telah
diedarkan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat,
mutu, dan penandaan. Dalam rangka melindungi masyarakat dari risiko kesehatan
atas peredaran obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan,
khasiat, mutu, dan penandaan dan obat yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat, mutu, dan penandaan harus ditarik dari peredaran.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
2
Universitas Indonesia
Berdasarkan latar belakang tersebut maka Universitas Indonesia bekerja
sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaksanakan Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bagi mahasiswa Program Profesi Apoteker.
Kegiatan ini merupakan sarana dalam mendapatkan ilmu dan pengalaman bagi
mahasiswa dalam bidang pengawasan produk obat, makanan, obat tradisional,
maupun kosmetik terutama pengetahuan mengenai penarikan kembali suatu produk
atau recall.
1.2 Tujuan
Tujuan dilakukannya kajian ini adalah:
a. Mengetahui dan memahami proses dilakukanya penarikan kembali atau recall
produk terapetik di Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan
PKRT.
b. Melakukan Studi Kasus Penarikan Kembali di Direktorat Pengawasan Produksi
Produk Terapetik dan PKRT.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
3 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Penarikan Kembali (Recall)
Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh Direktorat Pengawasan Produksi
Produk Terapetik dan PKRT adalah evaluasi produk obat yang tidak memenuhi
syarat (TMS). Tindak lanjut dari evaluasi produk obat TMS berupa penarikan obat
dari peredaran (recall). Penarikan adalah proses penarikan kembali obat yang telah
diedarkan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat,
mutu, dan penandaan.
2.2 Kriteria Produk Obat yang Tidak Memenuhi Persyaratan
Obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan harus ditarik dari
peredaran. Kriteria produk obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
mutu adalah obat yang tidak memenuhi persyaratan berikut:
a. Pemerian,
b. Sterilitas,
c. Uji Disolusi,
d. Uji Potensi,
e. Kadar,
f. Keseragaman sediaan (keseragaman kandungan dan keragaman bobot),
g. pH,
h. Label tidak sesuai dengan kandungan dan/atau kekuatan zat aktif (mislabel),
i. Kadar air,
j. Ketidaksesuaian penandaan dengan yang disetujui,
k. Keseragaman bobot,
l. Volume terpindahkan,
m. Isi minimum, dan/atau
n. Waktu hancur.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
4
Universitas Indonesia
2.3 Jenis Recall
Penarikan obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan dari
peredaran dapat berupa:
a. Penarikan wajib (mandatory recall), yaitu penarikan yang diperintahkan oleh
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan/atau
b. Penarikan sukarela (voluntary recall), yaitu penarikan yang diprakarsai oleh
pemilik izin edar.
Dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.04.1.33.12.11.09938 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata
Cara Penarikan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan,
penarikan obat dibagi menjadi 3 (tiga) kelas sebagai berikut.
2.3.1 Penarikan Kelas I
Penarikan Kelas I adalah penarikan terhadap obat yang apabila digunakan
dapat menyebabkan efek serius terhadap kesehatan yang berpotensi menyebabkan
kematian, termasuk namun tidak terbatas pada obat yang:
a. Telah memiliki izin edar yang tidak memenuhi persyaratan keamanan;
b. Terkontaminasi mikroba pada sediaan injeksi dan obat tetes mata;
c. Terkontaminasi kimia yang menyebabkan efek serius terhadap kesehatan;
d. Labelnya tidak sesuai dengan kandungan dan/atau kekuatan zat aktif;
e. Ketercampuran obat dalam lebih dari satu wadah; dan/atau
f. Kandungan zat aktif salah dalam obat multi komponen yang menyebabkan efek
serius terhadap kesehatan.
2.3.2 Penarikan Kelas II
Penarikan Kelas II adalah penarikan terhadap obat yang apabila digunakan
dapat menyebabkan penyakit atau pengobatan keliru yang efeknya bersifat
sementara terhadap kesehatan dan dapat pulih kembali, termasuk namun tidak
terbatas pada obat yang:
a. Labelnya tidak lengkap atau salah cetak;
b. Brosur atau leafletnya salah informasi atau tidak lengkap;
c. Terkontaminasi mikroba pada sediaan obat non steril;
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
5
Universitas Indonesia
d. Terkontaminasi kimia atau fisika (zat pengotor atau partikulat yang melebihi
batas, kontaminasi silang);
e. Tidak memenuhi spesifikasi keseragaman kandungan, keragaman bobot, uji
disolusi, uji potensi, kadar, pH, pemerian, kadar air, atau stabilitas; dan/atau
f. Kadaluwarsa.
2.3.3 Penarikan Kelas III
Penarikan Kelas III adalah penarikan terhadap obat yang tidak menimbulkan
bahaya signifikan terhadap kesehatan tetapi karena alasan lain dan tidak termasuk
dalam Penarikan Kelas I dan Kelas II, termasuk namun tidak terbatas pada obat
yang:
a. Tidak mencantumkan nomor bets dan/atau tanggal kedaluwarsa;
b. Memenuhi spesifikasi waktu hancur, volume terpindahkan atau keseragaman
bobot, pH sediaan oral cair;
c. Penutup kemasan rusak.
2.4 Tahapan Recall
2.4.1 Temuan Produk yang Tidak Memenuhi Persyaratan
Penemuan produk yang tidak memenuhi persyaratan dapat dilakukan
melalui beberapa cara antara lain ditemukan dari hasil sampling dan pengujian,
sistem kewaspadaan cepat (Rapid Alert System), keluhan masyarakat, hasil
keputusan Kepala Badan terhadap keamanan dan/atau khasiat obat, temuan kritikal
hasil inspeksi atas Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB).
2.4.1.1. Hasil Sampling dan Pengujian
Tugas pokok Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT
terkait hasil sampling dan pengujian antara lain :
a. Menerima laporan bulanan hasil sampling dan pengujian dari Balai dalam
hardcopy maupun softcopy serta melakukan evaluasi.
b. Menerima tembusan laporan dari Balai untuk obat tidak memenuhi syarat.
c. Menerima hasil evaluasi Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional
(PPOMN) terhadap hasil pengujian obat tidak memenuhi syarat dari Balai, baik
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
6
Universitas Indonesia
berupa hasil uji absah atau evaluasi Catatan Pengujian sampel obat tidak
memenuhi syarat. Untuk produk dengan jenis tidak memenuhi syarat pemerian
dan/atau dengan riwayat tidak memenuhi syarat berulang dapat ditindaklanjuti
tanpa menunggu tanggapan dari PPOMN.
d. Melakukan evaluasi terhadap hasil evaluasi PPOMN terhadap hasil pengujian
obat tidak memenuhi syarat dari Balai.
e. Membuat resume terhadap hasil evaluasi uji absah/tanggapan PPOMN dan
evaluasi hasil pengujian obat tidak memenuhi syarat dari laporan Balai
Besar/Balai POM serta dilengkapi saran tindak lanjut.
f. Membuat review resume dan Surat Tindak Lanjut.
g. Menyetujui resume dan Surat Tindak Lanjut dan meneruskan ke Deputi untuk
disetujui/ditandatangani oleh Deputi.
h. Jika disetujui, obat yang ditetapkan tidak memenuhi syarat dibuatkan surat
pemberian sanksi administratif berupa recall obat tidak memenuhi syarat dari
peredaran kepada pemilik izin edar. Sedangkan obat yang memenuhi syarat;
dibuat surat teguran kepada Balai terkait yang berisi hasil pengujian dan
peringatan untuk menerapkan Cara Berlaboratorium Pengawasan Mutu yang
Baik dalam melaksanakan pengujian dan investigasi terhadap perbedaan hasil
uji.
i. Menyampaikan hasil resume dan arsip surat keluar tersebut untuk
didokumentasikan.
2.4.1.2. Sistem Kewaspadaan Cepat (Rapid Alert System)
a. Pemilik melaporkan bahwa akan recall terhadap produk, yang memuat :
1) Informasi obat : nama, bentuk sediaan, indikasi, nomor bets, tanggal
produksi, tanggal kadaluarsa, kemasan obat, pemilik izin edar/produsen
2) Jumlah obat yang ditarik : jumlah obat dalam satu bets, tanggal produksi,
jumlah obat yang sudah didistribusikan untuk bets tidak memenuhi syarat dan
penyalurnya
3) Hasil penarikan obat dari peredaran : bukti surat tindak lanjut penarikan
kepada distributor/penyalur dan outlet lain, jumlah obat dalam persediaan di
industri farmasi
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
7
Universitas Indonesia
4) Alasan penarikan : penjelasan tentang penyebab, bahaya obat TMS
5) Risk assessment mengenai penarikan obat TMS
6) Strategi penarikan obat TMS
7) Pelaksanaan pemusnahan obat TMS
b. Proses tanggapan terhadap penarikan
1) Adanya laporan penarikan voluntary dari pemilik izin terhadap obat miliknya
yang tidak memenuhi syarat mutu, khasiat, dan keamanan
2) Dilakukan evaluasi laporan penarikan voluntary
3) Dibuat resume hasil evaluasi terhadap laporan penarikan voluntary beserta
tanggapan: pemanggilan yang bersangkutan untuk diskusi jika perlu,
menginformasikan peraturan untuk penarikan voluntary sesuai prosedur
kepada pemilik, membuat hasil evaluasi dan surat tanggapan, memeriksa
kebenaran resume, menandatangani surat tanggapan ke industri farmasi
dengan tembusan ke Balai setempat
4) Dilakukan tindak lanjut penarikan, dibuat laporan investigasi dan dilakukan
pemantauan
2.4.1.3. Keluhan Masyarakat
a. Direktorat menerima keluhan dari Unit Layanan Pengaduan Konsumen (ULPK)
sesuai Instruksi Kerja (IK) Penanganan Keluhan Masyarakat tentang Mutu
Produk
b. Direktur menetapkan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dan investigasi terhadap
keluhan mutu produk dilakukan penarikan seluruh produk dengan nomor bets
tersebut
2.4.1.4. Hasil Keputusan Kepala Badan terhadap Keamanan dan/atau Khasiat Obat
a. Pemberian sanksi administratif : surat penarikan dikeluarkan dalam waktu tidak
lebih dari 1 x 24 jam untuk kelas I, 5 (lima) hari kerja untuk kelas II, 7 (tujuh)
hari kerja untuk kelas III setelah obat tersebut ditetapkan sebagai obat tidak
memenuhi syarat dan dikirimkan kepada pemilik izin edar melalui pos atau
secara elektronik tembusan Balai Besar/Balai POM seluruh Indonesia.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
8
Universitas Indonesia
b. Isi surat penarikan : nama obat, bentuk sediaan, komposisi, kemasan, Nomor Izin
Edar, nomor bets, perintah penarikan dan pemusnahan, perintah untuk
melaporkan hasil penarikan obat dari peredaran, jumlah produk dalam
persediaan, penyalur dengan daerah pemasarannya dan obat yang sudah
diedarkan kepada penyalur, fotokopi catatan produksi bets obat lengkap dengan
catatan hasil pengujian dari bets tidak memenuhi syarat, bets sebelum dan bets
sesudah bets tidak memenuhi syarat, protap penarikan kembali produk, cara
penomoran bets, hasil investigasi dan evaluasi terhadap penyebab obat tidak
memenuhi syarat dan penanganannya, tindakan perbaikan dan pencegahan untuk
mencegah obat tidak memenuhi syarat terulang kembali
c. Lingkup tempat penarikan : PBF, sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit,
instalasi farmasi kabupaten, Puskesmas, klinik, balai pengobatan, praktek dokter
di daerah terpencil, apotek, toko obat, mantri), sarana lain (supermarket, toko,
warung, sarana tidak resmi)
2.4.1.5. Temuan Kritikal Hasil Inspeksi atas Cara Pembuatan Obat yang Baik.
a. Berdasarkan analisis risiko dari hasil temuan kritikal pada inspeksi CPOB,
produk harus ditarik dari peredaran karena dapat mengancam keselamatan jiwa
b. Dibuat surat perintah penarikan kembali kepada pemilik izin edar dengan
tembusan seluruh balai dan Direktur Penilaian Obat dan Produk Biologi
2.4.2 Penanganan terhadap Produk yang Tidak Memenuhi Persyaratan
Berdasarkan evaluasi hasil analisis risiko dan hasil evaluasi PPOMN
terhadap obat yang dilaporkan tidak memenuhi syarat oleh Balai apabila:
a. Suatu obat ditetapkan tidak memenuhi syarat, maka dilakukan tindak lanjut
pemberian sanksi administratif berupa penarikan kembali obat dari peredaran,
b. Suatu obat ditetapkan memenuhi syarat, maka Balai akan diberi surat teguran
yang berisi hasil pengujian dan peringatan untuk menerapkan Cara
Berlaboratorium Pengawasan Mutu yang Baik dalam melaksanakan pengujian
dan melakukan investigasi terhadap perbedaan hasil uji,
c. Keputusan ditetapkan setelah semua dokumen/data (laporan hasil sampling dan
pengujian dari Balai, hasil evaluasi dari PPOMN, dan hasil pengecekan data
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
9
Universitas Indonesia
produk di Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi) yang diperlukan
untuk evaluasi hasil sampling dan pengujian obat yang tidak memenuhi telah
lengkap.
Obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan yang telah ditarik
dari peredaran harus dilakukan pemusnahan yang dilakukan terhadap obat dan/atau
kemasan dan label. Pemusnahan tersebut dilakukan oleh pemilik izin edar sesuai
tata cara pemusnahan obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
dengan disaksikan oleh petugas Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pemusnahan
obat yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan harus dibuatkan Berita
Acara Pemusnahan dan membuat laporan pelaksanaan pemusnahan kepada Kepala
Badan. Berita Acara Pemusnahan paling sedikit memuat keterangan mengenai :
a. hari, tanggal, dan tempat/lokasi pemusnahan,
b. pihak yang memusnahkan/pemilik izin edar,
c. saksi-saksi,
d. nama obat,
e. bentuk sediaan,
f. nomor izin edar,
g. jumlah obat,
h. nomor bets,
i. cara pemusnahan, dan
j. nama dan tanda tangan pihak yang memusnahkan serta saksi-saksi.
Laporan penarikan memuat keterangan mengenai sebagai berikut.
a. Informasi obat: nama, bentuk sediaan, indikasi, nomor bets, tanggal produksi,
tanggal kadaluarsa, kemasan obat, pemilik izin edar/produsen
b. Proses dan hasil penarikan obat dari peredaran: protap penarikan kembali, bukti
surat tindak lanjut penarikan kepada distributor/penyalur dan outlet lain,
jumlah produk dalam persediaan industri farmasi
c. Jumlah obat yang ditarik : jumlah obat dalam satu bets, tanggal produksi,
jumlah obat yang sudah didistribusikan untuk bets tidak memenuhi syarat dan
penyalurnya
d. Fotokopi catatan produksi bets obat lengkap dengan catatan hasil pengujian
dari bets tidak memenuhi syarat
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
10
Universitas Indonesia
e. Hasil investigasi dan hasil penarikan tersebut harus dilaporkan dalam waktu
tidak lebih dari 3 (tiga) hari kerja setelah menerima surat perintah penarikan
untuk kelas I, 7 (tujuh) hari kerja untuk kelas II, 14 hari kerja untuk kelas III
f. Apabila ternyata disebabkan oleh formula, laporan disampaikan dalam waktu
paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal surat penarikan. Laporan hasil
evaluasi formula disampaikan melalui Direktorat Penilaian Obat dan Produk
Biologi tembusan kepada Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik
dan PKRT
g. Tindakan perbaikan dan pencegahan untuk mencegah terulang kembali
h. Pelaksanaan pemusnahan obat tidak memenuhi syarat, disaksikan oleh petugas
Balai setempat
Evaluasi laporan penarikan meliputi sebagai berikut.
a. Adanya laporan penarikan dari pemilik izin
b. Dilakukan evaluasi kembali laporan penarikan dari pemilik izin
c. Dibuat resume hasil evaluasi dan tanggapan
d. Apabila berdasarkan hasil evaluasi terhadap laporan yang diterima masih
belum memenuhi hal-hal yang tercantum pada laporan, dibuat usulan tindak
lanjut untuk meminta pemilik izin melaporkan hal-hal yang belum dipenuhi
dengan memperhatikan batas waktu yang tercantum dalam surat penarikan.
Apabila perlu Direktorat dan/atau Balai akan melakukan inspeksi terhadap
pemilik izin dan apabila terbukti telah terjadi penyimpangan terhadap
ketentuan yang berlaku maka tindak lanjut berupa sanksi yang sesuai akan
diberikan oleh Badan POM berupa : peringatan, peringatan keras, Penghentian
Sementara Kegiatan, pembekuan Nomor Izin Edar, sampai pembatalan izin
edar atau pembekuan sertifikat CPOB sampai pencabutan sertifikat CPOB
e. Apabila surat tindak lanjut telah disetujui oleh Direktur, maka surat tindak
lanjut akan dikirimkan kepada pemegang Nomor Izin Edar untuk melakukan
diskusi recall, tindak lanjut recall berulang, dan monitoring laporan penarikan.
Pada diskusi recall, jika diperlukan, Direktorat Pengawasan Produksi Produk
Terapetik berdiskusi mengenai tindak lanjut surat recall dengan industri
farmasi. Pada tahapan tindak lanjut recall berulang dapat diberikan perintah
penarikan, juga dapat dikenai sanksi administrasi berupa peringatan,
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
11
Universitas Indonesia
peringatan keras, Penghentian Sementara Kegiatan, pembekuan Nomor Izin
Edar, sampai pembatalan izin edar. Balai juga melakukan monitoring laporan
penarikan oleh industri farmasi dan laporan pemantauan bets tidak memenuhi
syarat di peredaran. Pelaporan monitoring obat tidak memenuhi syarat di
peredaran dilakukan dengan mempertimbangkan kelas penarikan
f. Pemantauan penarikan sesuai pengelompokan Balai yang telah ditetapkan,
dibuat resume dan surat tindak lanjut untuk pemilik izin yang belum
melaporkan laporan penarikan setelah batas waktu yang telah ditetapkan sejak
tanggal surat perintah penarikan dan Balai yang telah melaporkan hasil
monitoring bets tidak memenuhi syarat di peredaran
g. Dibuat review resume dan surat tindak lanjut
h. Pengiriman surat tindak lanjut ke pemilik izin dan Balai terkait
i. Dokumen recall akan disimpan selama 5 tahun
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
12 Universitas Indonesia
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di bidang pemerintahan
dilaksanakan pada tanggal 1-24 April 2014 di Direktorat Pengawasan Produksi
Produk Terapetik dan PKRT Badan Pengawas Obat dan Makanan. Badan POM,
Jalan Percetakan Negara Nomor 23, Jakarta Pusat.
3.2 Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data
Pengkajan data dilakukan melalui studi literatur Standar Operasional
(SOP) yang telah ditetapkan oleh Badan POM dan melalui diskusi bersama
Kepala Subdit yang ada di Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan
PKRT.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
13 Universitas Indonesia
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk lebih memahami mengenai prosedur penarikan kembali produk yang
tidak memenuhi syarat (recall) yang telah ditetapkan oleh Direktorat Pengawasan
Produksi Produk Terapetik dan PKRT, dilakukan studi kasus terhadap salah satu kasus
yang pernah ditangani oleh Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan
PKRT.
Suatu produk obat X dengan bentuk sediaan tablet salut selaput yang
diproduksi oleh industri farmasi Y dinyatakan tidak memenuhi syarat berdasarkan
hasil uji disolusi yang dilakukan oleh Balai POM. Hasil pengujian produk X yang
dilakukan oleh beberapa Balai POM tertera pada Tabel 1.
Tabel 4.1 Hasil Pengujian Produk X yang Dilakukan oleh Beberapa Balai POM.
Balai ED TMS
Bengkulu 3 Mei 2009 Kadar hasil urai, kadar zat
aktif, dan telah kadaluarsa
Semarang 8 Mei 2009; 15 April
2009
Kadar hasil urai dan kadar zat
aktif
Banda Aceh - Kadar hasil urai dan kadar zat
aktif
Palangkaraya Maret 2011 Uji disolusi dan kadar hasil
urai
Palangkaraya 3 Januari 2013 Kadar hasil urai dan kadar zat
aktif
Pontianak - Uji disolusi
Medan 4 April 2014 Kadar hasil urai
Makassar 8 November 2014 Uji disolusi
Kendari 26 Februari 2015 Uji disolusi
Setelah dilakukan penelusuran, dapat diketahui bahwa ternyata produk X
memiliki riwayat recall yang cukup sering. Dari tahun 2009 hingga 2013, Badan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
14
Universitas Indonesia
POM telah mengeluarkan perintah kepada industri Y untuk melakukan penarikan
kembali produk X sebanyak 9 (sembilan) bets. Sanksi yang diberikan oleh Badan
POM kepada industri Y terkait sering terjadinya penarikan kembali produk X
adalah berupa larangan produksi sementara sampai dilakukan tindakan perbaikan
dan pencegahan (CAPA) yang terbukti efektif mencegah obat TMS terulang
kembali. Adapun hal-hal yang harus dilakukan oleh industri Y untuk
menindaklanjuti surat perintah recall dari Badan POM antara lain :
a. Melakukan recall terhadap bets produk yang tidak memenuhi syarat dan seluruh
obat dari peredaran yakni PBF, apotek, rumah sakit, poliklinik, atau klinik, dan
outlet lain tidak lebih dari 5 (lima) hari kerja sejak dikeluarkannya surat perintah
penarikan oleh Badan POM
b. Membuat laporan kepada Badan POM mengenai progres recall, seluruh daftar
bets yang pernah diproduksi, jumlah produk yang masih terdapat dalam
persediaan di industri, distribusi dan distributor, serta hasil investigasi, evaluasi,
dan penanganannya terhadap obat TMS dan termasuk evaluasi mutu terhadap
bets-bets lain dimulai dari bets sebelum dan bets sesudah bets TMS yang ada di
peredaran dan sampel pertinggal
c. Pemusnahan obat yang berhasil ditarik kembali, sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan disaksikan oleh petugas Balai Besar
POM setempat.
d. Melaporkan bukti Penghentian Sementara Kegiatan Produksi produk X
e. Apabila masih ditemukan bets-bets lain yang TMS di peredaran, maka Badan
POM akan memberikan sanksi yang lebih keras sampai Pencabutan Izin Edar.
Berdasarkan hasil investigasi yang telah dilakukan oleh industri Y, diketahui
bahwa penyebab obat TMS berasal dari faktor material dan faktor mesin produksi
yang digunakan. Faktor material yang menyebabkan obat TMS adalah lapisan
coating tidak menyalut seluruh bagian tablet dan stabilitas tablet menurun sehingga
kadar zat aktif menurun, kadar hasil urai meningkat, dan hasil uji disolusi tidak
memenuhi syarat, sedangkan faktor mesin penyebab obat TMS adalah kecepatan
spray gun yang tidak stabil.
Tindakan CAPA yang diambil oleh industri Y adalah melakukan reformulasi
terhadap produk X sehingga harus dilakukan registrasi variasi dan memerlukan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
15
Universitas Indonesia
persetujuan dari Direktorat Penilaian Obat dan Produk Biologi Badan POM RI.
Permasalahan formula yang dilaporkan sebagai penyebab produk TMS diperkuat
dengan bukti temuan TMS sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh produk
dengan formula lama berpotensi besar TMS.
Setelah produk X dengan formula baru telah diregistrasi dan disetujui,
Badan POM mengeluarkan perintah pencabutan sanksi penghentian sementara
produksi dengan ketentuan :
a. Industri melaporkan progres penarikan dan pemusnahan obat X dengan formula
lama yang berhasil ditarik dari peredaran
b. Industri melaporkan hasil data stabilitas real time seluruh bets setiap 3 bulan
sampai ED
c. Industri melakukan penarikan secara sukarela bila dalam pelaksanaan
pemantauan stabilitas formula baru yang TMS
d. Apabila masih ditemukan bets TMS, diberi sanksi pencabutan izin edar
e. Untuk menjamin mutu obat tetap terjaga, dilakukan sampling dan pengujian
terhadap produk X dengan formula baru oleh Balai atau Balai Besar POM.
Berdasarkan penyebab dilakukannya recall produk X yaitu hasil uji disolusi
TMS, maka penarikan produk X termasuk kategori penarikan kelas II. Untuk
melindungi masyarakat dari risiko kesehatan atas peredaran produk obat TMS,
Badan POM telah melakukan upaya pengamanan produk TMS tersebut secara cepat
melalui surat perintah penarikan kembali obat dari peredaran kepada industri
produsen obat tersebut.
Berdasarkan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik, industri produsen
obat TMS harus melakukan penarikan kembali sesuai dengan sistem yang telah
disusun yang di dalamnya mencakup prosedur tertulis tentang penarikan obat dari
peredaran secara cepat, efektif, dan tuntas dari seluruh mata rantai distribusi obat.
Dalam hal ini, catatan distribusi hendaknya tersedia untuk digunakan oleh personil
yang bertanggung jawab terhadap penarikan kembali. Catatan distribusi berisi
informasi yang lengkap mengenai distributor dan pelanggan yang dipasok secara
langsung. Produk yang ditarik kembali diberi penandaan dan disimpan terpisah di
area yang aman sementara menunggu keputusan terhadap produk tersebut.
Perkembangan proses penarikan kembali didokumentasikan dan dibuat laporan
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
16
Universitas Indonesia
akhir, termasuk hasil rekonsiliasi antara jumlah produk yang dikirim dan yang
ditemukan kembali. Efektivitas penyelenggaraan penarikan kembali hendaknya
dievaluasi oleh industri farmasi dari waktu ke waktu.
Sebelum dikeluarkan sanksi berupa perintah Larangan Sementara Produksi
oleh Badan POM, diketahui bahwa sanksi yang diberikan sebelumnya berupa
Peringatan Keras namun industri Y tidak menunjukkan investigasi komprehensif,
belum melakukan evaluasi cakupan bets TMS maupun tindakan CAPA yang
memadai dan efektif untuk mencegah obat TMS terulang kembali. Akibat belum
dilakukannya investigasi secara menyeluruh dan tindakan CAPA oleh industri Y,
sejak tahun 2009 hingga 2013 sebanyak 9 (sembilan) bets produk X ditarik dari
peredaran. Dengan adanya riwayat recall, seharusnya industri Y dapat lebih
menjaga mutu produk yang dihasilkan, misalnya dengan menyelidiki penyebab
TMS, menyusun tindakan CAPA sesegera mungkin, dan monitoring hasil
pengujian retained sample produk X secara lebih intens.
Dalam hal kasus penarika kembali, sebaiknya Badan POM mengkaji lebih
lanjut tentang pemberian sanksi administratif kepada industri produsen obat.
Diperlukan kajian mengenai parameter tertentu yang nantinya akan berpengaruh
terhadap pemberian sanksi administratif, misalnya banyaknya bets atau frekuensi
recall yang telah terjadi mempengaruhi jenis sanksi administratif yang diberikan.
Selain itu, terhadap industri farmasi yang memiliki riwayat recall dengan frekuensi
yang cukup sering sebaiknya dilakukan inspeksi sarana produksi dengan frekuensi
yang lebih tinggi daripada industri farmasi lainnya.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
17 Universitas Indonesia
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi kasus penarikan kembali di Direktorat Pengawasan
Produksi Produk Terapetik dan PKRT, dapat disimpulkan bahwa:
a. Direktorat Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT Badan
Pengawas Obat dan Makanan telah memiliki prosedur penarikan obat (recall)
yang cukup baik dan telah memiliki prosedur evaluasi dan tindak lanjut
terhadap obat TMS yang jelas. BPOM telah melakukan fungsi dan tugasnya
dengan baik melalui perintah penarikan kembali obat TMS kepada industri
farmasi dengan cepat dalam rangka melindungi risiko terhadap kesehatan
masyarakat atas beredarnya obat TMS di pasaran.
b. Industri farmasi produsen obat TMS belum memiliki sistem manajemen mutu
yang baik dan efektif dalam penanganan penarikan obat TMS serta kurang
menjaga konsistensinya terhadap pemenuhan persyaratan CPOB.
5.2 Saran
Adapun saran yang kami ajukan kepada Badan POM terkait dengan kasus
penarikan kembali obat dari peredaran (recall) adalah:
a. Setiap industri farmasi harus memiliki sistem manajemen mutu yang baik dan
efektif dalam penanganan penarikan obat TMS serta harus selalu menjaga
konsistensinya terhadap pemenuhan persyaratan CPOB.
b. BPOM harus memberikan sikap yang lebih cepat dan sanksi yang lebih tegas
kepada industri farmasi yang memiliki riwayat recall berulang.
c. BPOM perlu memberikan edukasi dan himbauan kepada masyarakat untuk
melaporkan produk obat yang diduga TMS kepada unit layanan pengaduan di
BPOM dan industri farmasi karena diperlukan keterlibatan dari masyarakat
untuk bersama-sama mencegah peredaran obat TMS yang dapat
membahayakan kesehatan masyarakat.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
18 Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2011). Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.04.1.33.12.11.09938 Tahun 2011 tentang Kriteria dan Tata Cara
Penarikan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan,
Jakarta: BPOM RI.
Pemerintah Republik Indonesia. (2009a). Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia. (2009b). Peraturan Undang-Undang No.36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Jakarta.
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
LAMPIRAN
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
20
Lampiran 1. Alur Kerja Penarikan Kembali Obat TMS (Recall)
Laporan praktek..., Amalia Rizqi, FF UI, 2014
Top Related