TUGAS BIMBINGAN
Pemeriksaan Fisik THT
Pembimbing:
dr. Kote Noordhianta, Sp. THT-KL
Disusun oleh:
Yulius Andi Ruslim (2010-061-049)
Efrem Fridolin Suryadi (2010-061-144)
Farrell Tanoto (2010-061-149)
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA
RSUD SYAMSUDIN, S.H., SUKABUMI
PERIODE 22 OKTOBER 2012 - 17 NOVEMBER 2012
1. Patogenesis, manifestasi, dan gambar fascies adenoid.
Patogenesis
Facies adenoid umumnya terjadi akibat hipertrofi adenoid. Hipertrofi adenoid
menyebabkan blokade jalan napas nasal sehingga pasien menggunakan pernapasan
melalui mulut (mouth breathing). Pernapasan melalui mulut ini menyebabkan
modifikasi postural yang bertujuan menstabilisasi jalan napas. Modifikasi postural
yang terjadi antara lain mulut yang terbuka, posisi lidah yang lebih turun, rotasi
mandibula ke anterior dan posteroinferior, dan perubahan postur kepala. Struktur
fasial dipengaruhi oleh gangguan postural pada jaringan lunak yang menyebabkan
perubahan equilibrium tekanan terhadap gigi dan tulang – tulang fasial.
Mulut yang terbuka dan posisi lidah ke bawah menyebabkan
ketidakseimbangan antara tekanan lidah dan otot – otot pada pipi, sehingga otot – otot
pipi menekan prosesus alveolaris pada regio premolar. Penekanan tersebut
menyebabkan rahang atas yang sempit dan palatum yang tinggi serta rahang bawah
tertarik ke belakang dan sempit sehingga terjadi maloklusi (open-bite, cross bite).
Rahang yang sempit menyebabkan berkurangnya tempat untuk pertumbuhan gigi,
sehingga terjadi dental crowding. Pernapasan melalui mulut mengiritasi mukosa
sehingga terjadi pembesaran tonsil yang akhirnya berperan dalam gangguan tidur dan
sleep apnea.
Penelitian menunjukkan bahwa obstruksi pernapasan atas/pernapasan melalui
mulut berhubungan dengan ganggaun tidur dan sleep apnea. Anak dengan gangguan
tidur mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, sering lelah, dan memiliki masalah
perilaku.
Manifestasi:
- Wajah tampak panjang dan sempit
- Pinched nostril
- Mulut terbuka
- Bibir atas memendek
- Vacant and dull expression
- Palatum sempit dan tinggi (narrow palate, high palatal vault)
- Gigi – geligi bertumpuk/ramai (dental crowding)
- Pembesaran tonsil
- Gangguan tumbuh – kembang, kesulitan konsentrasi, mendengkur waktu tidur,
sering merasa lelah dan mengantuk pada siang hari
Sumber: Jefferson Y. Mouth breathing: adverse effects on facial growth, health, academics, and behavior. General Dentistry, Jan/Feb 2010.
2. Perforasi membran timpani
A. Letak perforasi
a. Perforasi sentral (sub total) : Letak perforasi di sentral dan pars tensa membran
timpani. Seluruh tepi perforasi masih mengandung sisa membran timpani.
b. Perforasi marginal : Sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan anulus
atau sulkus timpanikum. Tipe marginal perforasi berada di pinggir membran
timpani.
c. Perforasi attic (pars flacid) : Letak perforasi di pars flaksida membran timpani.
d. Perforasi tipe tuba : Letak perforasi dekat muara timpani dengan tuba eustachius.
B. Ukuran perforasi
a. Kecil: hanya melibatkan 1 kuadran atau < 10% pars tensa
b. Sedang: melibatkan 2 kuadran atau 10 - 40 % pars tensa
c. Besar: melibatkan 3 - 4 kuadran atau > 40% dari pars tensa dengan sisa
membrana timpani yang masih lebar
d. Subtotal : melibatkan 4 kuadran dan mencapai annulus fibrosus
e. Total : perforasi seluruhnya dari pars tensa dan anulus fibrosus
3. LARING
Batas – batas subglotik, glotik, dan supraglotik.
Supraglotiko Superior : epiglottis
o Inferior : plika vokalis
o Anterior : posterior dari vallecula dan plika ventrikularis
o Posterior : arytenoid
Glotik
o Superior : plika vokalis
o Inferior : 5 mm di bawah plika vokalis
o Anterior : komisura anterior
o Posterior : komisura posterior
Subglotik
o Superior : 5 mm di bawah plika vokalis
o Inferior : bagian inferior karilago krikoid
4. Laringoskopi direk dan indirek
A. Laringoskop indirek
Suatu pemeriksaan untuk memeriksa keadaan tenggorok dan adneksanya secara tidak
langsung atau menggunakan reflektor.
Alat: - kaca reflektor yang sudah dihangatkan
- kassa
Cara pemeriksaan:
1. Pasien diminta membuka mulut lebar-lebar kemudian menjulurkan lidahnya
semaksimal mungkin.
2. Dengan menggunakan kasa, pemeriksa memegang dan menarik lidah pasien.
3. Dengan hati-hati, pemeriksa memasukkan kaca reflektor ke rongga mulut pasien,
dengan kaca ke arah bawah.
4. Dengan menggunakan kaca reflektor, pemeriksa mengangkat uvula untuk
mendapatkan gambaran laring yang lebih baik.
Organ yang dilihat pada laringoskopi:
- Sinus piriformis - Pita suara
- Valecula - Trakea bagian atas melalui pita suara
-
B. Laringoskopi direk
Pemeriksaan dengan menggunakan alat
laringoskop.
a. Laringoskop fleksibel
Inspeksi menggunakan laringoskop
fleksibel diindikasikan untuk diagnostik,
misalnya ketika pasien mengalami suara serak,
kesulitan bernafas, atau nyeri tenggorokan
yang parah. Pengamatan langsung terhadap laring diperlukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis, misalnya paralisis dari pita suara, arthritis dari struktur
penunjang (cricoarytenoid arthritis), atau adanya massa pada leher atau laring.
Beberapa kelainan kongenital juga dapat didiagnosis dengan laringoskopi
fleksibel misalnya laryngomalacia ("floppy" larynx); stenosis subglotis; vascular
rings (abnormalitas dari pembuluh darah utama jantung atau paru); congenital
laryngeal webs (adanya membran yang menutup pita suara); dan laryngocele
(kista).
b. Laringoskop rigid
Penggunaan laringoskopi rigid lebih bersifat terapeutik, misalnya untuk
pengambilan jaringan (biopsi), pengambilan benda asing atau mukus yang tebal,
atau dapat juga dikombinasikan dengan operating microscope atau laser untuk
membuang polip atau kista pada pita suara.
Maxillofacial
5. Nervus kranialis
N.I (Nervus olfaktorius)
Perjalanan saraf:
Serat-serat saraf di lempeng cribiform bulbus olfaktorius cerebrum
- Keluhan: Anosmia
- Pemeriksaan: Tes indera penghidu
N.II (Nervus opticus)
- Perjalanan saraf:
Sel ganglion di retina kanalis optikus kiasma optic badan geniculate
lateral (midbrain)
- Keluhan: Hilangnya kontriksi pupil, kelainan lapangan pandang
- Pemeriksaan: asies visus, campus visus, penglihatan warna, funduskopi
N.III (Nervus oculomotoris)
- Perjalanan saraf:
Midbrain pedunkel cerebri dinding lateral sinus cavernosus masuk ke
mata melalui fisura orbitalis superior otot levator palpebra superior, oblik
inferior, superior, medial, dan rektus inferior
- Keluhan: dilatasi pupil, ptosis, refleks pupil pada sisi lesi menghilang
- Pemeriksaan: kedudukan bola mata, ptosis, diplopia, gerak bola mata, bentuk dan
besar pupil, refleks cahaya
N.IV (Nervus troklearis)
- Perjalanan saraf:
Otak bagian posterior pedunkel serebri tentorium serebeli masuk ke mata
melalui fisura orbitalis superior otot oblik superior
- Keluhan: ketidakmampuan melihat ke bawah saat mata adduksi
- Pemeriksaan: kedudukan bola mata, gerak bola mata
N.VI (Nervus abdusens)
- Perjalanan saraf:
Pyramid medularis sinus kavernosus fisura orbitalis superior otot rektus
lateralis
- Keluhan: mata tidak bisa bergerak ke lateral, diplopia ketika melihat ke lateral
- Pemeriksaan: kedudukan bola mata, gerak bola mata
N.V (Nervus trigeminalis)
- Perjalanan saraf:
Pons anterolateral fosa cranial posterior ganglion trigeminal 3 divisi
(oftalmikus, maksilaris, mandibularis)
- Keluhan: mata kehilangan sensasi sentuhan; parestesia; muskulus masseter dan
temporalis tidak bisa berkontraksi; deviasi mandibula ke sisi lesi ketika
mulut dibuka
- Pemeriksaan: membuka mulut, menggerakkan rahang, menggigit/mengunyah,
pemeriksaan raba, suhu, dan nyeri, refleks kornea, refleks masseter
N.VII (Nervus fasialis)
- Perjalanan saraf:
Ponto medullary junction meatus akutikus interna kanalis fasialis melalui
tulang temporal bagian petrous
- Keluhan: Paralisisi muskulus fasialis; mata tidak bisa menutup penuh; sudut mulut
jatuh; dahi tidak bisa mengerut; kornea kering dan kehilangan sensasi
rasa pada 2/3 anterior lidah
- Pemeriksaan: raut wajah, mengangkat alis, menutup mata rapat, mengembungkan
pipi, memperlihatkan gigi, mencucurkan bibir, rasa kecap 2/3 depan
N.VIII (Nervus vestibulokoklearis)
- Perjalanan saraf:
o vestibular : ganglion vestibular canalis semicircularis
o koklearis : ganglion spiral koklea
- Keluhan: kehilangan pendengaran progresif yang bersifat unilateral, tinnitus
- Pemeriksaan: vertigo, nystagmus, keseimbangan, tes gesekan jari, tes Schwabach,
tes Rinne, tes Weber
N.IX (Nervus glosofaringeus)
- Perjalanan saraf:
Medulla meninggalkan fosa kranialis posterior melalui foramen jugularis
masuk ke faring bersama dengan otot stilofaringeus
- Keluhan: Kehilangan pengecapan pada 1/3 posterior lidah; kehilangan
kemampuan sensorik pada palatum molle sisi lesi
- Pemeriksaan: suara, menelan, batuk, kesimetrisan arkus faring, refleks faring
N.X (Nervus vagus)
- Perjalanan saraf:
Medulla meninggalkan fosa kranialis posterior melalui foramen jugularis
palatum, faring, laring
- Keluhan: Deviasi uvula ke sisi yang normal, suara serak oleh karena paralisis pita
suara
- Pemeriksaan: suara, menelan, batuk, kesimetrisan arkus faring, refleks faring
N.XI (Nervus aksesorius)
- Perjalanan saraf:
Medulla terbagi 2 :
1. cranial root bergabung dengan nervus vagus di fossa kranialis posterior dan
didistribusikan pada cabang motorik nervus vagus di palatum, faring, dan laring
2. spinal root melalui foramen jugular dan memasuki otot
sternocleidomastoideus dan trapezius
- Keluhan: kelumpuhan muskulus sternokleidomastoideus dan muskulus trapezius
bagian superior; bahu jatuh
- Pemeriksaan: menoleh kanan dan kiri, mengangkat bahu
N.XII (Nervus hipoglosus)
- Perjalanan saraf:
Medulla keluar dari fosa kranialis posterior melalui kanal hipoglosus dan
memasuki otot ekstrinsik dan intrinsic dari lidah
- Keluhan: lidah yang dijulurkan mengalami deviasi ke sisi lesi; disatria sedang
- Pemeriksaan: disartria, posisi lidah, gerakan lidah, fasikulasi atau atrofi lidah
6. Trauma maxillofacial
Trauma maxillofacial dewasa ini cukup banyak dikarenakan semakin luasnya
transportasi di masyrakat. Pada kasus trauma maxillofacial, diperlukan penanganan yang
tepat untuk menghindari komplikasi lanjut. Langkah-langkah tersebut antara lain :
1. Penanganan awal
a. Airway : Menjaga jalan nafas agar memudahkan udara dapat masuk ke
saluran pernafasan. Seperti dengan mengeluarkan benda-benda
asing sampai intervensi seperti intubasi trakea. Trakeostomi tidak
dianjurkan dalam trauma maxillofacial kecuali jika segala usaha
gagal/tidak berhasil.
b. Breathing : Menjamin asupan oksigen yang adekuat. Pemberian oksigen
dapat membantu pasien.
c. Circulation : Menjamin aliran darah yang cukup dengan pemberian cairan
intravena. Dengan tujuan mencegah terjadinya syok hipovolemic
pada pasien.
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
a. Anamnesis diperlukan terutama untuk mengetahui kejadian secara rinci. Dengan
mengetahui kejadian secara rinci dapat membantu penegakan diagnosis maupun
terapi yang diberikan.
b. Pemeriksaan fisik:
i. Status kesadaran pasien
ii. Inspeksi secara cermat : meliputi seluruh area wajah termasuk bagian dalam
telinga, hidung, dan mulut. Juga memeriksa mobilisasi wajah untuk
mengetahui fungsi nervus VII.
iii. Palpasi :
1. dari puncak kepala sampai kebawah
2. sinus frontal : apakah terdapat tanda-tanda fraktur
3. hidung : apakah ada deormitas, ataupun pergerakan abnormal
4. pipi : apakah terdapat fraktur os zygoma
5. mandibula
6. gigi
7. leher : apakah terdapat udara bebas (ruptur percabangan trakeobronkial),
adakah krepitasi dan nyeri tekan
8. servikalis : apakah terdapat fraktur servikali (ditandai dengan spasme
otot-otot leher. Jika terdapat tanda-tanda fraktur servikalis, maka
imobilasasi leher harus dilakukan sampai terbukti tidak ada fraktur
melalui pemeriksaan radiologi.
3. Pemeriksaan radiologi
a. Fraktur os nasal : dapat dilihat dengan radiogram lateral
b. Fraktur sepertiga tengah wajah dan sinus paranasal : dilihat dengan foto Waters
c. Fraktur basis orbita dan fossa kranii anterior : dilihat dengan laminagrafik
d. Fraktur os mandibula : dilihat dengan foto oblik atau panoramik
e. Laserasi pada duktus parotis : dapat dilihat dengan sialografi (pemberian kontras
secara retrogard ke muara duktus parotis).
Adanya luka pada jaringan lunak harus ditutup pada 4-5 jam pertama. Sementara
reduksi dapat dilakukan sampai hari ke 4-5 dengan maksimal 2 minggu pertama. Hal ini
dilakukan dengan pertimbangan untuk menghindari malunion (karena penyembuhan
yang cepat) dan non union (karena keterlambatan reduksi dan fiksasi).
1. Fraktur os nasal
a. Merupakan cedera tulang tersering pada trauma wajah
b. Jenis tersering dari fraktur os nasal : depresi salah satu hidung dengan
pergeseran piramid
c. Tanda-tanda fraktur os nasal:
i. Depresi atau pergeseran tulang hidung
ii. Edema hidung
iii. Epistaxis
iv. Fraktur kartilago septum disertai pergeseran atau dapat digerakkan
2. Fraktur os mandibula
a. Merupakan fraktur kedua tersering pada trauma maxillofacial
b. Lokasi tersering adalah bagian angulus dan korpus
c. Perawatan awal : menjaga higiene mulut, pemberian antibiotik, analgetik dan
stabilisasi
d. Tanda-tanda fraktur mandibula :
i. Maloklusi geligi
ii. Gigi dapat digerakkan
iii. Laserasi intraoral
iv. Nyeri saat mengunyah
v. Deformitas tulang
3. Fraktur os zygoma dan dasar orbita
a. Fraktur os zygoma umumnya disebabkan karena benturan pada korpus
zygoma
b. Fraktur dasar orbita terutama disebabkan oleh benturan dari objek yang
menutup orbita saat menerpa wajah
c. Tanda-tanda fraktur os zygoma :
i. Deformitas yang teraba pada lingkar bawah orbita
ii. Diplopia saat melirik ke atas
iii. Hipestesia pada pipi
iv. Pendataran sisi lateral pipi
v. Ekimosis periorbita
vi. Pergeseran bola mata ke bawah
4. Fraktur os maxilla
a. Tanda-tanda fraktur os maxilla
i. Mobilitas atau pergeseran palatum
ii. Mobilitas hidung menyertai palatum
iii. Epistaxis
iv. Mobilitas atau pergeseran seluruh bagian sepertiga tengah wajah
b. Klasifikasi Le Fort
i. Le Fort I : fraktur melintang rendah maxilla yang melibatkan
palatum dengan ciri mobilitas atau pergeseran arkus
dentalis maxilla dan palatum ditambah dengan maloklusi
gigi
ii. Le Fort II : atau disebut fraktur pyramid, merupakan fraktur en bloc
palatum dengan dicirikan mabilitas palatum dan hidung
en bloc disertai epistaxis
iii. Le Fort III : merupakan fraktur paling berat, fraktur meliputi seluruh
perlekatan rangka wajah pada kranium yang terputus.
c. Prinsip dasar pada fraktur os maxilla adalah fiksasi fragmen-fragmen fraktur
secara kuat.
d. Fraktur os maxilla bersifat compound/majemuk sehingga perlu diberikan
antibiotik. Pilihan utama antibiotik yang digunakan adalah penisilin.
5. Fraktur sinus frontalis
a. Fraktur yang jarang tapi merupaka jenis fraktur yang serius, dikarenakan
adanya dformitas kosmetik dan keterlibatan sistem saraf pusat
b. Tanda-tanda fraktur sinus frontalis :
i. Depresi tabula anterior dari sinus frontalis
ii. Epistaxis
iii. Kadang terputus tabula posterior sinus frontalis dengan ruptur duramater
dan rinore cairan serebro spinal
7. KGB colli
Rantai jugular profunda terbentang dari dasar tengkorak sampai klavikula dan
membentuk kelompok superior, media, dan inferior dari nodul-nodul limfe.
Nodus jugular profunda superior menerima drainase utama dari palatum molle,
tonsil, palatoglossal, dan arcus palatofaringeal, lidah posterior, dasar lidah, sinus
piriformis, dan laring di atas vocal cord. Kelompok nodul limfe ini juga menerima
drainase dari nodus superior dari kepala bagian atas, dan leher (retrofaringeal, spinal
aksesorius, parotis, cervicalis superior, dan nodul submandibula).
Nodul jugular profunda yang media menerima drainase utama dari laring di atas
pita suara, sinus piriformis bagian bawah, dan cricoid posterior. Sedangkan drainase
sekunder dari nodul jugular profunda diatasnya dan nodul retrofaringeal bagian bawah.
Nodul jugular profunda inferior menerima drainase utama dari tiroid, trakea, dan
esofagus bagian cervical. Sedangkan drainase sekunder dari nodul jugular profunda di
atasnya dan nodul paratrakeal.nodus retrofaringeal dan paratrakeal berada di posterior
dari visera bagian midline. Nodul ini menerima drainase dari organ visera dan struktur
organ dalam di midline kepala contohnya : nasofaring, kavita nasal bagian posterior,
sinus paranasal, orofaring posterior. Nodul ini didrainese menuju rantai jugular profunda.
Nodul superfisial cenderung mengalir menuju nodus profunda. Nodul superfisial
terdiri submental, cervical superficial, submandibular, spinal aksesorius, dan skalenus
anterior. Nodus submental mengalir menuju dagu, bibir bawah bagian tengah, ujung
lidah, dan mulut bagian anterior. Nodul ini mengalir ke nodul submandibula. Nodul
submandibula mengalir menuju nodul jugular profunda superior. Nodul cervical
superfisial berada sepanjang vena jugular externa, yang didrainese dari kutaneus linfatik
dari wajah, khususnya dari glandula parotis, belakang telinga, nodul parotis dan
oksipital.
Nodus pada segitiga posterior berada sepanjang nervus spinalis aksesorius. Nodul
ini menerima aliran dari regio parietal dan oksipital dari kulit kepala.nodus yang bagian
atas mengalirkan ke nodul profunda superior sementara yang bagian bawah mengalir
menuju nodul supraklavikular.
Nodus skalenus anterior (Virchow) menerima drainase dari duktus thorasikus dan
berada pada sambungan dari duktus thorasikus dan vena subklavia kiri. Biasanya
merupakan tempat metastase dari tubuh bagian bawah. Nodul supraklavikular
menrimadrainase dari nodul spinalis aksesoris dan dari bagian infraklavikular. Semua
sistem limfatik mengalir menuju sistem vena, bersamaan dengan duktus torasikus bagian
kiri atau duktus limfatikus kanan.
Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada pada
rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfa yang selalu terlibat
dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfe pada rangkaian jugularis interna, yang
terbentang antara klavikula sampai dasar tengkorak. Rangkaian jugularis interna ini
dibagi dalam kelompok superior, media, dan inferior. Kelompok kelenjar limfe yang
lain adlah submental, submandibula, servikalis supervisial, retrofaring, paratrakeal,
spinalis asesorius, skalenus anterior dan supraklavikula.
Kelenjar limfe jugularis interna superior menerima aliran limfe yang berasal
dari daerah palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis
dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa
retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis superficial dan kelenjar limfa
submandibula.
Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal
langsung dari subglotik laring, sinus pirimormis bagian inferior dan daerah krikoid
posterior. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa jugularis
interna superior dan kelenjar limfa retrofaring bagian bawah.
Kelenjar limfa jugularis interna inferior menerima aliran aliran limfa yang
berasal lansung,glandula tiroid, trakea, esophagus, bagian servikal. Juga menerima
aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa jugularis interna superior dan media, dan
kelenjar limfa paratrakea.
Kelenjar limfa submental, terletak pada segitiga submental diantara palstima
dan m.omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran limfa
yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian
depan dan 1/3 bagian servikal bawah lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke
kelenjar limfa submandibula sisi homolateral atau kontralateral, kadang-kadang dapat
langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna.
Kelenjar limfa submandibula, terletak disekitar kelenjar liur submandibula dan
didalam kelenjar ludahnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang
berasal dari kelenjar liur submandibula,bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior
rongga mulut, bagian kelopak mata, palatum mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh
eferen mengalirkan limfa ke kelenjar jugularis interna superior.
Kelenjar limfa servikal superficial, terletak di sepanjang vena jugularis
eksterna, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar parotis
dan kelenjar limfe oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa
jugularis interna superior.
Kelenjar limfe retrofaring, terletak diantara faring dan fasia pravertebrata,
mulai dari dasar tengkorak samapi ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen
menerima liran limfa dari nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba eustachius.
Pembuluh eferern mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna dan kelenjar
limfa spinal asesorius bagian superior.
Kelenjar limfa paratrakea, menerima aliran limfa yang berasal dari laring
bagian bawah, hipofaring, esophagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid.
Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau
kelenjar limfe mediastinum superior.
Kelenjar spinal asesorius, terlatk di sepanjang saraf spinal asesoris, menerima
aliran limfa yang berasal dari kulit kepala bagian parietal dan bagian belakang leher.
Kelenjar limfa parafaring menerima aliran limfa dari nasofaring, orofaring, dari sinus
paranasal.pembuluh eferan mengalirkan limfa kelenjar limfa supraklavikula.
Rangkaian kelenjar jugularis interna megalirkan limfa ke trunkus jugularis dan
selanjutnya masuk ke duktus torasikus untuk sisi sebelah kiri, dengan untuk sisi yang
sebelah kanan masuk ke duktus limfatikus kanan atau langsung ke system vena pada
pertemuan vena jugularis interna dan vena subklabia. Juga duktus torasikus dan
duktus limfatikus kanan menerima aliran limfa dari kelenjar limfa supraklavikula.
Daerah Kelenjar Limfa Leher
Letak kelenjar limfe leher menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center
Classification di bagi dalam lima daerah mnyebaran kelompok kelenjar, yaitu daerah:
1. kelenjar yang terletak di segitiga submental, dan submandibula
2. kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfa jugular superior,
kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior superior.
3. kelenjar limfa jugularis diantara bifurcatio karotis dan persilangan m.omohioid
dengan m. sternokleidomastoideus dan batas posterior m.
sternokleidomastoideus.
4. grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikula
5. kelenjar yang berada di segitiga jugularis dan supraklavikula
8. Ruang leher dalam.
1. sepanjang lehera. superficial space seperti di platysma dengan kelainan seperti selulitis dan abses
superficialb. retrofaringeal space (tengkorak - T1,T2) dengan batas - batas:
i.anterior yaitu faring dan esofagusii.posterior yaitu alar layer
iii. lateral yaitu carotid sheathiv.superior yaitu basis craniiv. inferior yaitu mediastinum superior dan percabangan trakea (carina)
c. danger space (basis cranii - diafragma) berisi jaringan longgar areolar dengan batas - batas:i. anterior yaitu alar layer
ii. posterior yaitu prevertebral layeriii. lateral yaitu procesus transversa vertebra
d. prevertebral space (sepanjang columna vertebra) dengan batas-batasi. anterior yaitu prevertebral fascia
ii. posterior yaitu vertebral bodies dan deep neck muscleiii. lateral yaitu procesus transversa vertebra
e. visceral vascular space terdiri dari carotid sheats, lincoln highway
2. Suprahioida. submandibular space yaitu sublingual dan submyohioid, berisi kelenjar
sublingual, N. IX dan ductus wharton dengan batas-batas:i. anterior/lateral yaitu mandibula, m.platysma
ii. superior yaitu mukosa mulutiii. inferior yaitu superior layer of deep fascia, m.digastricusiv. posterior/inferior yaitu hyoid, m.digastricus, lig.stylomandibularv. anterior yaiut m.mylohioid dan digastricus anterior
b. parafaringeal space (basis cranii - os hyoid) terdiri dari:i. prestiloid medial yaitu fossa tonsilaris dan lateral medial pterygoid, terdiri
dari jaringan lemak, jaringan ikat dan getah bening.ii. postyloid terdiri dari carotid sheat dan cranial nerve IX, X, XII
c. peritonsillar space terdiri atas jaringan lunak dengan batas-batas:i. medial yaitu tonsil palatina
ii. lateral yaitu konstriktor faringeal superioriii. superior yaitu anterior tonsil pillariv. inferior yaitu posterior tonsil pillar
d. parotid space dengan isi carotis interna, V. fascialis superior, N. fascialis transverse, kelenjar parotis semua ini terbungkus oleh fascia profunda superior
e. mastikator space berisi maseter, m.pterygoid interior dan eksterna, mandibula tendo m.temporalis, N.alveolaris inferior, A.maxilaris
f. temporal space dengan isi A. maksilaris inferior, N.mandibularis dengan batas-batas:i. medial yaitu os temporal
ii. lateral yaitu fascia temporalis
3. Infrahyiod dengan batas-batasa. anterior yaitu visceral spece sampai T4, middle layer of deep fasciab. superior yaitu os hyoidc. inferior yaitu mediastinumd. anterior yaitu lapisan superficial dari fascia profundae. posterior yaitu ruang nasofaring dan prevertebra.
9. Abses ruang leher
Abses leher dalam terbentuk di dalam ruang potensial di antara fasia leher dalam
sebagai akibat penjalaran infeksi dari berbagai sumber, seperti gigi, mulut, tenggorok,
sinus paranasal, telinga tengah, dan leher. Gejala dan tanda klinis biasanya berupa nyeri
dan pembengkakan di ruang dalam leher yang terlibat.
Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus, Staphylococcus,
kuman anaerob Bacteroides, atau kuman campuran.
Abses ruang leher dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring,
abses submandibula, dan angina Ludovici (Ludwig’s angina).
1. Angina Ludwig
Merupakan peradangan selulitis atau flegmon dari bagian superior ruang suprahioid.
Peradangan ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan pada jaringan dasar mulut
dan mendorong lidah ke atas dan kebelakang dan dengan demikian dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas secara potensial.
Etiologi : Angina Ludwig paling sering terjadi sebagai akibat infeksi yang berasal
dari gigi geligi, tetapi dapat berasal dari proses supuratif nodi limfatisi servikalis
pada ruang submaksilaris.
Gejala dan tanda : Terdapat nyeri tenggorok dan leher, disertai pembengakakan
didaerah submandibula, yang tampak hiperemis dan keras pada perabaan.
Penanganan terdiri dari pembedahan insisi melalui garis tengah, dengan demikian
menghentikan ketegangan yang terbentuk pada dasar mulut. Karena ini merupakan
selulitis, maka sebenarnya pus jarang diperoleh.
2. Abses Peritonsiler (Quinsy)
Etiologi : Infeksi tonsila yang berlanjut menjadi selulitis difusa dari daerah tonsila
meluas sampai palatum mole. Infeksi dipicu oleh tonsilitis atau akhir perjalanan
tonsilitis akut. Biasanya unilateral.
Gejala : Terdapat disfagia, nyeri alih ke telinga pada sisi yang terkena, salivasi yang
meningkat dan bicara menjadi sulit. Terjadi deman tinggi.
Terapi : Diberikan antibiotik setelah dilakukan biakan kuman. Kuman yang sering
yaitu Streptococcus pyogenes. Jika terbentuk abses, maka diperlukan tindakan
pembedahan drainase baik dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi
dan drainase.
3. Abses Retrofaring
Etiologi : Penyebaran abses spatium parafarigeum atau gangguan traumatik dari
batas dinding faring posterior oleh trauma yang berasal dari benda asing atau selama
penggunaan alat-alat atau intubasi.
Gejala : Demam, hilang nafsu makan, perubahan dalam bicara, kesulitan menelan
dan gejala-gejala lain yang memberikan kesan obstruksi.
Penangan pada stadium dini dengan antibiotik dapat menghentikan terbentuknya
abses. Namun jika sudah terbentuk abses maka sebaiknya dilakukan drainase abses
dengan menggunakan pisau skalpel tajam, dilakukan insisi vertikal pendek pada titik
dimana pembengkakan paling besar.
4. Abses Parafaring
Ruang parafaring dapat terjadi infeksi melalui kontaminasi ujung jarum pada saat
tonsilektomi, proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinus paranasal dan penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau
submandibula.
Gejala : Trismus, pembengkakan disekitar angulus mandibula, demam tinggi, dan
pembengkakan dinding lateral faring.
Terapi : Antibiotik dosis tinggi secara parenteral terhadap kuman aerob dan anaerob.
Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika
dalam 24-48 jam.
5. Abses Submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila. Etiologi
dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur, atau kelenjar limfa
submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain.
Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan anaerob.
Tanda dan gejala : terdapat demam, nyeri leher, disertai pembengkakan di bawah
mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering
ditemukan.
Terapi : antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan
secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anestesi lokal untuk abses
yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam
dan luas. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
10. Tempat penyemprotan Xylocaine spray untuk anestesi lokal rinoskopi posterior.
Persarafan sensorik dan motorik pada mukosa oral dan orofaring dipersarafi oleh
cabang n. glosofaringeal (N. IX), n. vagus (N. X), dan n. hipoglosus (N.XII).
Persarafan motorik oleh nervus – nervus tersebut berperan dalam proses menelan,
sehingga diperlukan anestesi terhadap nervus – nervus tersebut dalam melakukan
rinoskopi posterior untuk mencegah refleks muntah.
N. glosofaringeal berjalan ke arah depan sepanjang permukaan lateral dari faring,
dengan 3 cabangnya yang mepersarafi sensorik dari 1/3 dorsal lidah, valekula, dan
permukaan anterior epiglottis (cabang lingual), dinding posterior dan lateral faring
(cabang faringeal), dan arkus tonsil (cabang tonsilar). Serabut motorik N. IX
mempersarafi m. stylofaringeus yang berperan dalam proses menelan.
N. vagus berperan dalam motorik palatum, faring, dan laring.
N. hipoglosus berperan dalam motorik otot – otot intrinsik dan ekstrinsik lidah.
Anestesi lokal dilakukan pada daerah yang dipersarafi oleh N. IX, X, dan XII, yaitu
pada daerah:
Anterior: pangkal lidah yang berbatasan dengan papilla
vallata, palatum molle
Lateral arkus faring
Posterior: dinding faring posterior
Sumber : Netter FH. Atlas of Human Anatomy. Edisi keempat. USA: Saunders;2006.
11. Kelainan pada konka nasalis
- Hipertrofi, dapat terjadi pada rhinitis alergi, rhinitis simpleks dan rhinitis hipertrofi.
- Atrofi , dapat terjadi pada rhinitis atrofi.
12. Polip nasi
Polip nasi ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan di dalam rongga
hidung, berwarna putih keabu-abuan, akibat inflamasi mukosa. Etiologi polip nasi masih
belum diketahui dengan pasti.
Patogenesis
Polip terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang
berturbulensi, terutama di osteo-meatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti
reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan
natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip.
Teori lain mengatakan adanya ketidakseimbangan saraf vasomotor sehingga terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vaskuler.
Makroskopis
Warna polip yang pucat disebabkan karena banyaknya cairan dan sedikitnya aliran
darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis, polip berubah menjadi kemerah-merahan. Polip
yang sudah menahun menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan
ikat. Tempat asal tumbuhnya polip dari kompleks osteomeatal di meatus medius dan
sinus ethmoid. Ada polip yang tumbuh ke arah belakang dan membesar di nasofaring
disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari sinus maksila.
Mikroskopis
Epitel polip serupa dengan mukosa hidung normal yaitu epitel bertingkat semu
bersilia dengan submukosa yang sembab. Polip yang sudah lama dapat mengalami
metaplasia epitel karena terkena aliran udara menjadi epitel transisional, kubik, gepeng
berlapis tanpa keratinisasi.
Anamnesis
Keluhan utama: hidung terasa tersumbat, rhinore jernih sampai purulen, hiposmia atau
anosmia, bersin-bersin, nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah frontal. Bila
disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rhinore purulen.
Gejala sekunder: bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, dan gangguan tidur.
Juga dapat menyebabkan gejala pada saluran nafas bawah, batuk kronik dan mengi.
Stadium-stadium polip menurut Mackaydan Lund :
- stadium 0 : tidak ada polip
- stadium 1 : polip masih terbatas di meatus medius
- stadium 2 : polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi
belum memenuhi rongga hidung
- stadium 3 : polip yang masif
Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang masif menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak
mekar. Pada rhinoskopi anterior terlihat massa pucat berasal dari meatus medius dan mudah
digerakkan.
Terapi
Pemberian kortikosteroid intranasal. Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi
medikamentosa dipertimbangkan untuk polipektomi.
13. Etiologi Faringitis
14. Tes fungsi pendenganran subjektif dan objektif.
Tes pendengaran objektif
Tes pendengaran objektif adalah tes pendengaran yang tidak memerlukan respon atau
kerjasama dari pasien.
Metode :
1. Pengukuran immittance:
Perubahan listrik akibat obstruksi akustik dari membran timpani akan diukur
melalui sebuah alat intra aural
2. Auditory evoked potensials (AEPs):
Dilakukan perasangan secara bioelektrik terhadap koklea, saraf pendengaran, jaras
pendengaran, atau kortex serebral dengan menggunakan elektode.
3. Otoacoustic emissions (OAEs):
Suara yang ada baik secara spontan maupun akustik di canalis acusticus externus
akan diukur dengan menggunakan sebuah mikrofon setelah dilakukan
perangsangan vibrasi biomekanikal aktif terhadap koklea.
Tes pendengaran subjektif
Tes pendengaran subjektif adalah tes pendengaran yang memerlukan kerjasama dari
pasien. Dalam hal ini pasien ikut berperan aktif menentukan hasil tes pendengaran.
1. Tes Berbisik
Pemeriksa akan berbisik dari jarak minimal 6 meter pada ruangan yang cukup
tenang lalu pasien diminta untuk mengulang bisikan dari pemeriksa. Pada nilai
normal tes berbisik 5/6-6/6.
2. Tes Garpu Tala
Dengan menggunakan garpu tala untuk menentukan tuli konduktif, sensorineural
atau gabungan dari keduanya.
Tes Rinne
Tes Rinne adalah tes untuk membandingkan hantaran melalui udara dan
hantaran melalui tulang pada telinga yang diperiksa.
Tes Rinne dilakukan dengan menggetarkan garpu tala 512 Hz dengan jari atau
mengetukkannya pada siku atau lutut pemeriksa. Kaki garputala tersebut
diletakkan pada tulang mastoid telinga yang diperiksa selama 2-3 detik
kemudian dipindahkan ke depan liang telinga selama 2-3 detik. Pasien
menentukan ditempat mana yang terdengar lebih keras. Jika bunyi terdengar
lebih keras bila diletakkan di depan liang telinga berarti telinga yang diperiksa
normal atau menderita tuli sensorineural. Keadaan ini disebut Rinne +. Bila
bunyi terdengar lebih keras di tulang mastoid, maka telinga yang diperiksa
menderita tuli konduktif dan biasanya lebih dari 20 dB. Keadaan ini disebut
Rinne -.
Tes Weber
Tes Weber adalah tes pendengaran untuk membandingkan hantaran tulang
telinga kiri dengan telinga kanan.
Tes Weber dilakukan dengan meletakkan kaki penala yang telah digetarkan
pada garis tengah wajah atau kepala. Ditanyakan pada telinga mana yang
terdengar lebih keras. Pada keadaan normal pasien mendengar suara di tengah
atau tidak dapat membedakan telinga mana yang mendengar lebih keras. Bila
pasien mendengar lebih keras pada telinga yang sehat (lateralisasi ke telinga
yang sehat) berarti telinga yang sakit menderita tuli sensorineural. Bila pasien
mendengar lebih keras pada telinga yang sajut (lateralisasi ke telinga yang
sakit) berarti telinga yang sakit menderita tuli konduktif.
Tes Schwabach
Tes Schwabach digunakan untuk membandingkan hantaran tulang orang yang
diperiksa dengan pemeriksa yang pendengarannya normal.
Penala digetarkan, tangkai penala diletakkan pada prosesus mastoideus sampai
tidak terdengar bunyi kemudian tangkai penala segera dipindahkan pada
prosesus mastoideus telinga pemeriksa yang pendengarannya normal. Bila
pemeriksa masih dapat mendengar disebut Schwabach memendek, bila
pemeriksa tidak dapat mendengar maka pemeriksaan diulang dengan cara
sebaliknya yaitu penala diletakkan pada prosesus mastoideus pemeriksa lebih
dulu. Bila pasien masih dapat mendengar bunyi disebut Schwabach
memanjang dan bila pasien dan pemeriksa kira-kira sama mendengarnya
disebut dengan Schwabach sama dengan pemeriksa.
Tes Bing (Tes Oklusi)
Tragus telinga yang diperiksa ditekan sampai menutup liang telinga sehingga
terdapat tuli konduktif kira-kira 30 dB. Penala digetarkan dan diletakkan pada
pertengahan kepala (seperti tes Weber).
Bila terdapat lateralisasi ke telinga yang ditutup berarti telinga tersebut
normal. Bila bunyi pada telinga yang ditutup tidak bertambah keras berarti
telinga tersebut menderita tuli konduktif.
Tes Stenger
Tes Stenger digunakan pada pemeriksaan tuli anorganik (simulasi atau pura-
pura tuli). Cara pemeriksaan dengan menggunakan prinsip masking.
Misalnya pada seseorang yang berpura-pura tuli pada telinga kiri, dua buah
penala yang identik digetarkan dan masing-masing diletakkan di depan telinga
kiri dan kanan dengan cara yang tidak kelihatan oleh yang diperiksa. Penala
pertama digetarkan dan diletakkan di depan telinga kanan (yang normal)
sehingga jelas terdengar, kemudian penala yang kedua digetarkan lebih keras
dan diletakkan di depan telinga kiri (yang pura-pura tuli). Apabila kedua
telinga normal karena efek masking, hanya telinga kiri yang mendengar bunyi,
jadi telinga kanan tidak akan menderita bunyi, tetapi bila telinga kiri tuli,
telinga kanan tetap mendengar bunyi.
Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis
Positif Tidak ada lateralisasi
Sama dengan pemeriksa
Normal
Negatif Lateralisasi ke telinga yang sakit
Memanjang Tuli konduktif
Positif Lateralisasi ke telinga yang sehat
Memendek Tuli sensori-neural
Catatan: pada tuli konduktif < 30 dB, Rinne bisa masih positif
3. Audiometri
Stimulus akan diberikan melalui headphone lalu pasien diminta untuk menekan
tombol tiap kali mendengar bunyi.
Derajat Ketulian Interpretasi
0-25 dB Normal
>25-40 dB Tuli ringan
>40-55 dB Tuli sedang
>55-70 dB Tuli sedang berat
>70-90 dB Tuli berat
>90 dB Tuli sangat berat
Interpretasi Audiogram:
Hasil Diagnosis
AC dan BC ≤ 25 dB
AC dan BC berimpit, tidak ada gap
Normal
AC dan BC > 25 dB
AC dan BC berimpit, tidak ada gap
Tuli sensorineural
BC ≤ 25 dB
AC > 25 dB
Antara AC dan BC terdapat gap
Tuli konduktif
BC > 25 dB
AC > BC, terdapat gap
Tuli campuran
15. Perbedaan Audiometri SNHL dengan mix-type hearing lossPada SNHL dan mix-type hearing loss, grafik air-conduction dan bone-conduction keduanya turun dari batas normal, yang membedakannya adalah pada mix-type hearing loss didapatkan adanya air-bone gap, sedangkan pada SNHL tidak ditemukan air-bone gap.
Kelainan palatum molle:Kongenital: cleft palate, narrow palate and high palatal vault (facies adenoid)Infeksi: Oral lesion herpes simplex, herpes zoster, candidiasis, stomatitis aftosaAutoimmune: Oral pemphigoid, Pemphigus bullosa , EM, SJS, TENNeoplasma: SCC
Top Related