1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam 40-50 tahun terakhir berbagai upaya telah dilakukan untuk membuat agar
pendidikan dapat diakses oleh semua anak. Perubahan-perubahan sebagai hasil dari
diskusi-diskusi, konferensi, deklarasi, dan konvensi baik tingkat lokal, nasional, dan
internasional telah dicoba untuk diperkenalkan. Perubahan perilaku dengan harapan
mengarah pada konsekuensi praktis telah ditargetkan. Namun, di banyak negara
hanya 50-60% anak-anak tanpa kecacatan dan hanya 2-3% anak yang menyandang
kecacatan masuk sekolah (Johnsen & Skjørten, 2001:37). Melihat kenyataan
tersebut organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perserikatan
bangsa-bangsa (UNESCO) menyelenggarakan konferensi dunia tentang Pendidikan
untuk Semua/PUS (Education for All/EFA) di Jomtien, Thailand, pada tahun 1990.
Konferensi tersebut menghasilkan dua tujuan utama sebagai berikut: (1) membawa
semua anak masuk sekolah, dan (2) memberikan semua anak pendidikan yang
sesuai. Inti dari konferensi tersebut adalah untuk menjamin hak semua orang tanpa
memandang perbedaan-perbedaan individual yang ada.
Menindak lanjuti konferensi tersebut, pada tanggal 7 sampai 10 Juni 1994 lebih
dari 300 peserta yang mewakili 92 pemerintah dan 25 organisasi internasional
bertemu di Salamanca, Spanyol, untuk memperluas tujuan PUS (EFA) dengan
mempertimbangkan pergeseran kebijakan mendasar yang diperlukan untuk
menggalakan pendekatan pendidikan inklusif (inclusive education), agar sekolah-
sekolah dapat melayani semua anak, terutama mereka yang mempunyai kebutuhan
2
pendidikan khusus. Dalam Pernyataan Salamanca tersebut ada enam hal yang
ditekankan, yaitu: (1) hak semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan
temporer dan permanen untuk memperoleh penyesuaian pendidikan agar dapat
mengikuti sekolah, (2) hak semua anak untuk bersekolah di komunitas rumahnya
dalam kelas-kelas inklusif, (3) hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan
yang berpusat pada anak yang memenuhi kebutuhan individual, (4) pengayaan dan
manfaat bagi mereka semua yang terlibat akan diperoleh melalui pelaksanaan
pendidikan inklusif, (5) hak semua anak untuk ikut serta dalam pendidikan
berkualitas yang bermakna bagi setiap individu, dan (6) keyakinan bahwa
pendidikan inklusif akan mengarah pada sebuah masyarakat inklusif dan akhirnya
pada keefektifan biaya.
Tanpa adanya akselerasi, sasaran tidak bisa tercapai dan ketidakseimbangan
antar negara semakin terbentang. Oleh karenanya pemenuhan kebutuhan dasar akan
pendidikan merupakan hal yang penting (Fasli Djalal, 2002:1). Menyadari akan
pentingnya pendidikan, para partisipan yang tergabung dalam World Education
Forum bertemu di Dakar, Senegal bulan April 2000 dan mengikrarkan akan
pentingnya pendidikan untuk semua. Komitmen ini merupakan penguatan atas
Deklarasi Dunia mengenai PUS (EFA) yang diselenggarakan di Jomtien, tahun
1990. Komitmen dalam pertemuan Dakar terdiri dari enam tujuan pendidikan,
sebagai berikut: (1) meningkatkan dan memperluas pendidikan anak-anak secara
menyeluruh, terutama bagi anak-anak yang kurang beruntung, (2) semua anak-anak
pada tahun 2015 khususnya perempuan, anak-anak dengan kondisi yang
memprihatinkan dan yang merupakan etnis minoritas harus bisa memperoleh dan
menempuh pendidikan dasar berkualitas baik secara cuma-cuma, (3) program yang
bersifat keahlian dan tepat guna akan dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan
3
pembelajaran bagi anak-anak dan orang dewasa, (4) pada tahun 2015 diharapkan
akan ada peningkatan sekitar 50% untuk tingkat baca tulis orang dewasa,
khususnya wanita, dan akses yang menunjang keseimbangan akan pendidikan yang
berlanjut untuk semua orang dewasa, (5) menghilangkan isu gender dalam
pendidikan dasar dan menengah pada tahun 2005 dan mencapai keseimbangan
gender dalam pendidikan pada tahun 2015. Hal ini akan berfokus pada akses
seimbang dan menyeluruh untuk wanita dalam pendidikan dasar yang berkualitas
baik, dan (6) memperbaiki semua aspek dalam kualitas pendidikan sehingga semua
hasilnya bisa dinikmati oleh semua pihak, terutama dalam baca tulis, menghitung
dan keterampilan siap pakai. Dari ke enam tujuan pendidikan tersebut jelaslah
bahwa pendidikan harus diselenggarakan untuk semua. Kata semua anak secara
literal dan jelas ditujukan untuk semua, juga bagi anak-anak dengan keadaan yang
kurang beruntung yang pada akhirnya memerlukan layanan pendidikan khusus.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab VI Pasal 32 dikemukakan, bahwa: (1)
pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, (2) pendidikan
layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau
terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam,
bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi, dan (3) ketentuan mengenai
pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah. Apabila dicermati, maka isi yang terkandung di dalam pasal ini telah
sejalan dengan pernyataan Salamanca. Ayat 1 mengakomodasi tentang pendidikan
4
bagi anak yang berkebutuhan khusus permanen, sedangkan ayat 2 bagi anak yang
berkebutuhan khusus temporer.
Peraturan Pemerintah (PP) tentang pendidikan khusus belum ditetapkan, tetapi
berdasarkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) draft akhir Bab II Pasal 12
tentang Pendidikan Terpadu dan Inklusif dikemukakan, bahwa: (1) pendidikan
terpadu dan inklusif bertujuan memberi kesempatan kepada peserta didik
berkelainan untuk mengikuti pendidikan secara terintegrasi melalui sistem
persekolahan reguler dalam rangka memenuhi tuntutan kebutuhan pendidikannya,
(2) pendidikan terpadu dan inklusif dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan
dasar, menengah, dan tinggi, (3) penyelenggaraan pendidikan terpadu dan inklusif
dapat melibatkan satu atau beberapa jenis peserta didik berkelainan sesuai dengan
kemampuan sekolah, (4) sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terpadu dan
inklusif perlu menyediakan tenaga serta sarana dan prasarana khusus yang
diperlukan peserta didik berkelainan, (5) peserta didik yang mengikuti pendidikan
terpadu dan inklusif berhak mendapatkan penilaian secara khusus sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan khusus peserta didik yang bersangkutan, (6) pemerintah
mengupayakan insentif bagi sekolah yang menyelenggarakan pendidikan terpadu
dan inklusif, dan (7) pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
sampai dengan ayat (6) diatur oleh Menteri dan/atau Pemerintah Daerah.
Selain Perundangan dan Peraturan Pemerintah yang mengatur pendidikan
inklusif, Departemen Pendidikan Nasional, Ditjen Dikdasmen, Dit PLB membuat
kebijakan dan pengembangan program PLB yang di dalamnya mengakomidasi
tentang pendidikan inklusif, sebagai berikut:
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yan mengikutsertakan anak-anak yang berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama dengan anak-anak sebayanya di sekolah umum, dan pada akhirnya mereka menjadi bagian
5
dari masyarakat sekolah tersebut, sehingga tercipta suasana belajar yang kondusif. Upaya pendidikan inklusif harus diwujudkan di Indonesia, hal ini dilandasi bahwa semua manusia memiliki hak dan kewajiban yang sama. Konsep inklusi ini juga diperkuat adanya konvensi tentang hak-hak anak luar biasa memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk hidup dan berkembang secara penuh sesuai dengan potensi yang dimiliki di tengah-tengah masyarakat.
Berdasarkan isi yang terkandung dalam kebijakan di atas jelaslah bahwa
pendidikan inklusif bukan hanya isu internasional tetapi juga isu nasional. Hal ini
terbukti dari keinginan pemerintah Indonesia untuk mewujudkan pendidikan
inklusif sebagai upaya untuk memenuhi hak-hak anak berkebutuhan khusus.
Keinginan tersebut adalah keinginan yang wajar dari pemerintah, mengingat jumlah
anak berkebutuhan khusus yang bersekolah relatif masih sedikit. Data resmi
Direktorat PSLB tahun 2007 menyebutkan bahwa jumlah anak berkebutuhan yang
sudah mengikuti pendidikan formal baru mencapai 24,7% atau 78.689 anak dari
populasi anak penyandang disabiltas di Indonesia, yaitu 318.600 anak (Direktorat
PSLB, 2008). Ini artinya masih terdapat sebanyak 65,3% anak berkebutuhan khusus
yang masih terseklusi, termarjinalisasikan dan terabaikan hak pendidikannya.
Bahkan angka tersebut diperkirakan dapat jauh lebih besar mengingat kecilnya
angka prevalensi yang digunakan, yaitu 0,7% dari populasi penduduk serta masih
buruknya sistem pendataan.
Salah satu populasi anak berkebutuhan khusus permanen adalah anak tunanetra.
Dengan kondisi kelainan yang dimiliki anak tunanetra, secara empirik
menunjukkan bahwa wujud pendidikan inklusif yang ada di Indonesia sampai saat
ini banyak diikuti oleh anak-anak tunanetra. Secara historis, pendidikan inklusif di
Indonesia sudah dimulai dengan pendidikan integrasi yang diperuntukkan bagi
siswa tunanetra tahun 1978-an. Sampai dengan saat ini telah banyak tunanetra yang
6
secara akademis berhasil mengikuti pendidikan di sekolah umum. Banyaknya
tunanetra yang telah berhasil mengikuti pendidikan di sekolah umum secara
konseptual dapat ditelusuri beberapa argumentasi yang memperkuat prospektif anak
tunanetra untuk mengikuti pendidikan di sekolah inklusif. Pertama dari sisi
akademis, bahwa adanya hambatan penglihatan (visual handicapped), tidak
memberikan pengaruh signifikan untuk menghambat aksesibilitas akademis anak
tunanetra untuk mengikuti pendidikan di sekolah umum. Hardman, et.al (1992: 28),
menjelaskan bahwa kapasitas inteligensi anak tunanetra sama dengan anak-anak
melihat, kalaupun ada hambatan terletak pada pengembangan fungsi kognitifnya
(cognitive function development). Kedua dari sisi keterampilan sosial (social skills),
bahwa keterbatasan fungsi penglihatan tidak memberikan dampak yang signifikan
terhadap keterampilan sosial anak tunanetra, dimana pada batas-batas tertentu anak
tunanetra relatif dapat mengembangkan keterampilan sosial dengan lingkungan.
Ketiga dari mobilitas, dimana dengan setting pendidikan inklusif banyak
memberikan peluang bagi tunanetra untuk melakukan mobilitas bersama siswa lain
(siswa melihat) dan hal ini akan memberikan pengayaan terhadap penguasaan dasar
orientasi dan mobilitas.
Dari paparan tersebut, maka secara konseptual kebijakan pemerintah Indonesia
untuk mengembangkan pendidikan inklusif sebagai salah satu layanan pendidikan
yang memiliki perspektif, sangat memungkinkan untuk diikuti oleh anak tunanetra.
Dari perspektif isu-isu internasional, bahwa keikutsertaan anak tunanetra dalam
mengikuti pendidikan inklusif merupakan wujud dari Education for All (EFA),
human right, dan pernyataan Salamanca - sebagai kesepakatan internasional tentang
pentingnya pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus, termasuk di
dalamnya anak tunanetra.
7
B. Rumusan Masalah
Pendidikan inklusif memiliki landasan formal baik yang berskala internasional,
nasional, maupun lokal. Melalui pendidikan inklusif anak-anak berkebutuhan
khusus dididik bersama-sama dengan anak-anak lainnya untuk mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan, bahwa di dalam
masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat
dipisahkan sebagai suatu komunitas. Oleh karena itu, anak berkebutuhan khusus
perlu diberi kesempatan dan peluang yang sama dengan anak pada umumnya untuk
mendapatkan layanan pendidikan di sekolah terdekat.
Prinsip mendasar dari pendidikan inklusif adalah selama memungkinkan, semua
anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun
perbedaan yang mungkin ada pada mereka. Akan tetapi dalam kenyataannya anak
tunanetra yang mengikuti pendidikan di sekolah inklusif, tetap dalam batas-batas
tertentu memerlukan layanan pendidikan khusus, termasuk dalam layanan
bimbingan dan konseling. Hasil penelitian Mega (2005: 89), memunculkan temuan
bahwa faktor utama kegagalan siswa tunanetra dalam menyelesaikan studi di
sekolah inklusif, banyak ditentukan oleh faktor-faktor non akademis, seperti
rendahnya motivasi, persepsi yang salah tentang lingkungan, pembentukan konsep
diri pada siswa tunanetra, dan kurang terampilnya siswa tunanetra dalam
mengembangkan interaksi sosial, seperti dengan teman sebaya, dengan guru, dan
orang-orang baru di sekolah. Selain itu temuan lapangan juga menunjukkan bahwa
intervensi pendidikan di sekolah inklusif yang belum mengakomodir karakteristik
tunanetra, diakibatkan masih rendahnya pemahaman tentang ketunanetraan, baik
menyangkut aspek filosofis, konseptual, maupun teknikal.
8
Berdasarkan fenomena di atas, tampak belum adanya kesejalanan antara
penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dengan prinsip pendidikan inklusif,
khususnya dalam pengembangan layanan bimbingan dan konseling. Berangkat dari
permasalahan tersebut, menggiring perlunya pemikiran akademis-ilmiah akan arti
pentingnya layanan bimbingan dan konseling yang kontekstual dengan
permasalahan yang dihadapi siswa tunanetra dalam seting pendidikan inklusif.
Berangkat dari kerangka berpikir tersebut, permasalahan pokok penelitian ini
adalah: “Bagaimana penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam
pembelajaran dan layanan bimbingan bagi siswa tunanetra di sekolah
penyelenggara perintis pendidikan inklusif?”
C. Pertanyaan Penelitian
Untuk menjabarkan rumusan masalah di atas, perlu dirumuskan pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
a. Permasalahan apa saja yang dihadapi siswa tunanetra ketika mengikuti
pembelajaran di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?
b. Bagaimana penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang dilakukan
oleh guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif?
c. Bagaimana penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan
oleh konselor pada siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif?
d. Apa kebutuhan siswa tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif?
9
e. Bagaimana rumusan program bimbingan dan konseling serta strategi intervensi
untuk memfasilitasi kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara
perintis pendidikan inklusif?
f. Bagaimana kontribusi penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling
terhadap kegiatan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif?
D. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui penerapan
konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran dan layanan
bimbingan bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan
inklusif.
2. Tujuan Khusus
Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data lapangan
yang berkenaan dengan aspek-aspek sebagai berikut:
a. Permasalahan yang dihadapi siswa tunanetra ketika mengikuti
pembelajaran di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
b. Penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling yang dilakukan oleh
guru pada pembelajaran siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif.
c. Penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh
konselor pada siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan
inklusif.
10
d. Kebutuhan siswa tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
e. Rumusan program dan strategi intervensi bimbingan dan konseling untuk
memfasilitasi kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara
perintis pendidikan inklusif.
f. Kontribusi penerapan prinsip bimbingan dan konseling terhadap kegiatan
belajar siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan
inklusif.
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Dalam tataran teoritis hasil penelitian ini diharapkan memberikan
manfaat ke arah pengembangan filosofis konseptual tentang penerapan konsep-
konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran dan belajar bagi siswa
tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif. Pandangan
filosofis dimaksudkan untuk memberikan pandangan mendasar (grounded
theory) tentang bagaimana seharusnya program bimbingan dan konseling bagi
siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif
dirumuskan dan dilaksanakan. Pandangan konseptual meletakan prinsip-prinsip
pengembangan program bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
2. Manfaat Praktis
Dalam tataran praktis, hasil penelitian ini diharapkan memberikan
kontribusi sebagai berikut:
11
a. Bagi Dinas Pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menyumbangkan pemikiran bagi para pembuat kebijakan dalam bidang
Pendidikan Luar Biasa pada khususnya, tentang pentingnya program
bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara
pendidikanm inklusif.
b. Bagi Kepala Sekolah Umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan masukan tentang bagaimana merumuskan program bimbingan
dan konseling bagi siswa tunanetra yang mengikuti pendidikan di
sekolahnya.
c. Bagi Guru, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan
pemikiran operasional tentang bagaimana menerapkan konsep-konsep
bimbingan dan konseling dalam pembelajaran bagi siswa tunanetra di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
d. Bagi Konselor, hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan
pemikiran operasional untuk melaksanakan layanan bimbingan dan
konseling sesuai dengan kebutuhan belajar siswa tunanetra di sekolah
penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
F. Kerangka Penelitian
Paradigma baru tentang layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
telah menempatkan pendidikan inklusif sebagai model alternatif layanan
pendidikan yang memiliki perspektif, baik dari sisi yuridis, konseptual, maupun
operasional. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Pearpoint & Forest dalam Fern
Aefsky (1995: 5), bahwa: “beberapa guru percaya bahwa inklusi akan
menghilangkan labeling, pendidikan khusus, dan kelas khusus tetapi tidak akan
12
menghilangkan dukungan dan layanan yang diperlukan oleh anak-anak di sekolah
umum”. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa pendidikan inklusif membantu
perkembangan semua anak dengan cara yang berbeda-beda (Heston, M., 2004:2)
Ketika inklusi yang baik dilaksanakan, anak yang memerlukan inklusi tidak
berada sendirian. Dalam kurikulum inklusif termasuk di dalamnya keterlibatan
orang tua, siswa dalam membuat pilihan, dan banyaknya keterlibatan orang lain
(Heston, M., 2004:1). Hal inilah yang menggambarkan arti penting layanan
pendidikan yang melibatkan kerjasama semua pihak. Kerjasama kemitraan dalam
penanganan pendidikan bagi anak tunanetra di sekolah inklusif, merupakan
implementasi dari konsep pendekatan multidisipliner. Misalnya, ketika guru
pembimbing melaksanakan layanan bimbingan dan konseling, maka ia tidak bisa
berjalan sendiri melainkan harus bekerjasama dengan pihak-pihak terkait, seperti
dengan Guru Pembimbing Khusus (GPK), guru kelas, psikolog, dokter, bahkan
orang tua.
Pendidikan inklusif memiliki peranan strategis dalam memfasilitasi
pengembangan potensi yang dimiliki siswa tunanetra. Smith, D.J (1998: 21),
mengemukakan bahwa: ”sangat memungkinkan bagi siswa-siswa yang masih muda
yang memiliki kecacatan untuk lebih mudah diakomodasi dalam seting integrasi,
karena kurikulum di sekolah dasar memberikan tantangan yang tidak begitu banyak
bagi anak-anak seperti ini. Selanjutnya sekolah tingkat lanjutan pertama dan
lanjutan atas diperuntukkan bagi siswa-siswa penyandang kecacatan yang usianya
lebih tua”. Selanjutnya program pendidikan segegrasi dapat mengakibatkan rendah
diri anak dalam statusnya di dalam masyarakat yang mungkin dapat berpengaruh
terhadap perasaan dan pikirannya dalam melakukan sesuatu. Rasa rendah diri
13
berpengaruh terhadap motivasi anak untuk belajar dan ada kecenderungan untuk
tertinggal dalam perkembangan mental dan belajarnya (Aefsky, F., 1995;15).
Salah satu komponen utama dalam layanan pendidikan bagi siswa tunanetra di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, adalah layanan bimbingan dan
konseling. Fokus dari layanan bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif, adalah memfasilitasi
pengembangan fungsi-fungsi psikologis siswa tunanetra dalam upaya mengatasi
permasalahan pembelajaran dan sekaligus mengembangkan potensi anak tunanetra.
Secara empirik, layanan bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah
penyelenggara perintis pendidikan inklusif belum berjalan sebagaimana mestinya.
Kenyataan ini mengharuskan layanan bimbingan dan konseling dilaksanakan
berdasarkan analisis kontekstual karakteristik siswa tunanetra dan pengelolaan
sekolah penyelenggara perintis pendidikan inklusif.
Kerangka penelitian sebagaimana dipaparkan di atas, divisualisasikan dalam
gambar berikut:
14
Gambar 1.1 Kerangka Penelitian
Rekomendasi program bimbingan dan konseling bagi siswa tunanetra di sekolah penyelenggara perintis
pendidikan inklusif
TUNANETRA KONSELOR GURU
• Permasalahan pembelajaran siswa tunanetra
• Kebutuhan siswa tunanetra tentang layanan bimbingan dan konseling
• Penerapan konsep-konsep bimbingan dan konseling dalam pembelajaran yang dilakukan oleh guru
• Penerapan layanan bimbingan dan konseling yang dilaksanakan oleh konselor
Top Related