TINJAUAN OCCULT PNEUMOTHORAK
Hesham R Omar, Hany Abdelmalak, Devanand Mangar, Rania Rashad, Engy Helal,
Enrico M Camporesi
Diterjemahkan oleh: I Ketut Adi Suryana, I G.A. Prima Dewi A.P., IBN Dwipayana
Manuaba, Dennie Santoso, dan Putu Aditha Satya Putra
Abstrak
Pneumothorak adalah suatu penyebab kematian trauma pada dinding dada yang dapat
dicegah dan bisa diselamatkan dengan intervensi sederhana. Pada kasus pasien trauma
dengan imobilisasi tulang belakang leher, rontgen dada supinasi AP paling banyak
digunakan pada penelitian awal. Hal ini namun tidak sensitif seperti CT dada untuk
deteksi awal pada pneumothorak. Occult pneumothorak adalah suatu definisi yang
kemungkinan ada tetapi biasanya gangguan tersebut secara klinis dan radiologi pada
kebanyakan pasien dapat ditoleransi dibandingkan tindakan urgent lainnya. Akan tetapi,
pada pasien tertentu, khususnya dengan ventilasi mekanik (dengan kenaikan berikutnya
udara intra pleura dengan tekanan ventilasi positif), kelalaian dalam diagnosis
pneumothorak dapat merugikan dengan konsekuensi yang fatal. Review ini akan
mendiskusikan occult pneumothorak dalam konteks 3 contoh radiologi, yang selanjutnya
akan menekankan keberadaannya. Karena rontgen dada AP negatif bisa berbahaya jika
menunda dalam mengenali pneumothorak, kami merekomendasikan bahwa setiap korban
trauma yang melalui unit gawat darurat dengan gejala distres pernafasan sebaiknya
difiltrasi dengan USG dada atau CT scan dada untuk menghindari kelalaian adanya
pneumothorak.
Pengantar
Keberadaan occult pneumothorak lebih sering dikenali saat ini karena peningkatan
penggunaan USG dan CT scan dalam memeriksa pasien trauma. Alat diagnostik ini dapat
membantu kita dalam mendeteksi kelainan kecil yang tidak dapat ditemukan pada
rontgen dada tradisional. Konsep occult pneumothorak sepenuhnya dibahas pada
literatur. Pada trauma pasien, rontgen dada AP merupakan pencitraan diagnostik awal
1
yang tradisional khususnya pada pasien dengan keterbatasan mobilisasi cervical-collar.
Dengan munculnya pemeriksaan FAST (Focused Assessment with Sonography for
Trauma), kebanyakan pusat kesehatan memanfaatkan eFAST sebelum skrining awal
Xray dada. Review ini mendeskripsikan perbedaan antara rontgen dada AP dan CT dada
dalam deteksi dini suatu pneumothorak pada pasien trauma.
Definisi
Occult pneumothorak adalah suatu pneumothorak yang tidak dicurigai secara klinis
ataupun tidak ditemukan pada rontgen polos, akan tetapi dapat diidentifikasi pada
pemeriksaan CT scan.
Karena peningkatan penggunaan CT dada dan USG dada sebagai tes skrining
awal pada trauma dada dan abdomen, occult pneumothorak umum ditemukan. Banyak
bukan ahli radiologi mendiagnosis pneumothorak berdasarkan pada visualisasi garis
pleura visceral superior-lateral pada rontgen dada tegak. Hal ini walaupun tidak dapat
dikerjakan dengan rontgen dada supinasi kecuali ada pneumothorak yang cukup besar.
Sayangnya, karena kekhawatiran pada pasien trauma dengan imobilisasi tulang belakang
leher, pencitraan awal pada pasien dengan luka serius yang dikerjakan dengan X-ray dada
AP biasanya tidak sensitif untuk mendeteksi pneumothorak. Seperti diilustrasikan pada
Gambar 1 setelah rontgen dada AP awal gagal untuk menunjukkan adanya
pneumothorak, CT dada segera dilakukan setelah X-ray dada menujukkan pneumothorak
pada sisi kanan.
Insiden
Dilaporkan kejadian occult pneumothorak bervariasi antara 3,7% pada anak-anak yang
terluka di UGD hingga 64% pada pasien multi trauma yang diintubasi. Namun, banyak
publikasi setuju dengan insiden rata-rata 5% pada semua pasien trauma. Hal ini
memperlihatkan ketidakmampuan X-ray dada AP supinasi dibandingkan dengan CT dada
dalam mendeteksi pneumothorak paska trauma. Insiden tergantung pada tipe trauma,
apakah tumpul atau tembus. Pada pasien dengan trauma tumpul insiden occult
pneumothorak berkisar antara 2-15% tergantung pada apakah semua pasien terdaftar,
atau hanya pasien yang melakukan CT. Nilai ini akan meningkat ketika tim trauma
2
melakukan interpretasi rontgen dada. Dalam sebuah penelitian retrospektif yang
dilakukan Wilson dkk, 1881 pasien trauma tumpul berturut-turut selama 102 bulan
dimasukkan. 307 pasien berkembang menjadi pneumothorak yang mana 68 merupakan
occult (22%). Frekuensi occult pneumothorak pada pasien dengan luka tembus mencapai
17%. Hal ini dijelaskan pada penelitian level III dari 5552 pasien di Rumah Sakit Grady
Memorial.
Gambar 1. X-ray dada AP mengungkapkan tidak ada bukti adanya pneumothorak (Panel A). CT dada dilakukan segera setelah X-ray menunjukkan pneumothorak pada sisi kanan (Panel B)
Selain itu, dilaporkan proporsi pneumothorak yang occult dibandingkan dengan
yang biasanya ada pada rontgen dada AP supinasi sangan bervariasi dan berkisar antara
29-72%. Variabilitas ini mungkin disebabkan fakta pada beberapa penelitian yang tidak
selalu radiologi berpengalaman dan bersertifikat yang bertanggung jawab dalam
menegakkan diagnosis, yang merupakan cara tepat untuk mengidentifikasi kejadian yang
sebenarnya. Penelitian prospektif selama 17 bulan yang dilakukan Ball dkk
menyimpulkan insiden occult pneumothorak sebesar 76% ketika rontgen
diinterpretasikan oleh tim trauma. Hal ini lebih tinggi daripada nilai sebelumnya yang
dilaporkan pada penelitian retrospektof dan kemungkinan disebabkan keadaan yang sulit
dalam fungsi tim trauma. Faktor lainnya yang mempengaruhi variabilitas dalam
menghitung jumlah insiden occult pneumothorak adalah apakah rontgen dada
anteroposterior atau Xray dada tegak yang dilakukan. Dilaporkan sensitivitas X-ray dada
3
tegak berbanding X-ray dada AP dalam mendeteksi occult pneumothorak masing-masing
92% dan 50%. Ini menyoroti ketidakmampuan rontgen dada AP supinasi untuk
mendeteksi pneumothorak dan diperlukan CT dada atau USG untuk menyingkirkan
diagnosis pada pasien trauma.
Mengapa Occult?
Pada posisi tegak, tanda klasik untuk diagnosis pneumothorak adalah garis pleura
visceral, yang terlihat sebagai opasitas lengkung tipis sepanjang paru dan dipisahkan dari
dinding dada oleh udara dalam ruang pleura apikal. Tanda ini jarang dapat diidentifikasi
pada rontgen dengan pasien supinasi, kecuali terdapat pneumothorak dalam ukuran besar.
Pneumothorak kecil hingga sedang mungkin tidak dapat dideteksi dengan mudah dalam
posisi ini.
Pada pasien dengan supinasi, ruang pleura paling kecil yaitu cekungan
anteromedial dan subpulmonik. Akumulasi udara diharapkan pada kedua ruang diawali
dengan peluasan lebih jauh ke arah lateral dan apikal karena peningkatan volume udara
atau posisi pasien menjadi lebih tegak. Oleh karena itu, udara bebas berjalan pertama ke
regio tertinggi dari thoraks; regio cardiophrenic. Volume yang lebih besar dari udara
bebas selanjutnya muncul pada regio subpulmonic secara inferior dan ke regio
anteromedial secara superior. Area tersebut sangat mudah dilupakan pada rontgen dada
anteroposterior konventional dan indikasi sebagai standar baku untuk menyingkirkan
pneumothorak adalah CT scan thorak.
Selain posisi tubuh, faktor lain yang mempengaruhi distribusi udara pleura adalah
perubahan pada paru menjadi recoil karena konsolidasi atau adhesi. Misalnya, pada kasus
kolaps lobus kiri bawah paska operasi karena ventilasi paru tunggal (jika tabung terdepan
menuju ke bronkus kanan utama); perkembangan pneumothorak pada pasien ini biasanya
akan memiliki distribusi posteromedial. Demikian pula, pada pasien dengan lenyapnya
daerah pleura karena adhesi, udara kan dikeluarkan dari ruang tersebut.
Occult pneumothorak memprihatinkan karena resiko perkembangan penyakit
yang cepat menuju tension pneumothorak dengan ventilasi tekanan positif khususnya
pada pasien trauma yang cadangan cardiopulmonarinya telah berkurang. Selanjutnya,
4
distres pernapasan klinis pada pasien tersebut mungkin akan ditutup dengan sedasi dan
bantuan pernapasan secara bersamaan.
Petunjuk rontgen untuk deteksi occult pneumothorak
Pada pasien-pasien yang berbaring supinasi dan setengah berdiri, pneumothorak tidak
terlihat pada bagian apex maupun lateral dari paru seperti pada biasanya. Rontgen thorak
AP kurang sensitif pada posisi supinasi inilah yang mebuat para peneliti mencari cara lain
untuk mendeteksi pneumothorak dengan rontgen. Apabila kita tidak dapat melihat tanda-
tanda klasik dari pneumothorak, kita dapat melihat petunjuk-petunjuk dalam rontgen
thorak AP yang dapat menunjukkan adanya pneumothorak, yaitu :
1. Terlihatnya sulkus cardiophrenic secara jelas.
2. Tanda sulkus yang dalam, dimana hal ini menunjukkan adanya keburaman
(lucent) dari sudut costophrenic lateral yang memanjang hingga hipokondrium.
3. Hemidiafragma ipsilateral yang menurun akibat adanya peningkatan tekanan
intrapleural.
4. Gambaran diafragma seakan akan terlihat ganda akibat adanya udara pada bagian
anterior sudut costophrenic dan adanya pengembangan paru-paru melewati kubah
diafragma.
5. Batas cardiomediastinal yang menajam dengan jarak apex jantung yang menjauh,
akibat adanya penumpukan udara pada bagian anteromedial yang tampak buram
(lucent). Tanda ini dikenal sebagai crisp cardiac silhouette.
6. Peningkatan ketajaman dari lemak pericardial, yang menjadi berbentuk bulat dan
berlobus dan adanya udara pada ruangan pleura karena mereka tidak didatarkan
lagi melalui kontak dengan paru paru.
7. Terlihatnya batas bawah dari lobus paru yang menciut. Garis yang tipis dan tajam
mungkin terlihat dengan adanya batas bawah paru (visceral pleura) yang naik
pada pneumothorak inferior.
8. Kumpulan udara pada fisura minor, diikat oleh dua garis pleura visceral.
9. Terlihatnya ujung lateral dari lobus tengah kanan karena adanya retraksi ke arah
medial pada anterior pneumothorak.
5
Pengetahuan mengenai petunjuk-petunjuk tersebut wajib diketahui untuk
mendeteksi adanya pneumothorak pada rontgen thorak AP. Para radiologis, petugas unit
gawat darurat dan dokter gawat darurat wajib mengetahui hal ini untuk menghindari
terlewatnya deteksi pneumothorak.
Apakah occult pneumothorak dapat diprediksi ?
Ya, terdapat beberapa penanda yang dapat memprediksi terjadinya pneumothorak,
walaupun tidak terdeteksi pada rontgen thorak AP. Penanda-penanda ini harus diketahui
oleh dokter UGD maupun ICU untuk dapat mendiagnosis lebih awal. Penelitian
retrospektif level III dengan tujuan untuk mengatahui insiden, prediktor, dan hasil dari
occult pneumothorak pada trauma menyimpulkan adanya empisema subkutan, contusio
pulmonal, patah tulang rusuk, dan jenis kelamin wanita berhubungan dengan terjadinya
occult pneumothorak dengan odd rasio 5,47 untuk empisema subkutan, 3,25 untuk
contusio pulmonal, dan 2,65 untuk patah tulang rusuk. Walaupun hanya 16% pasien
memiliki empisema subkutan pada occult pneumothorak, 98% pasien dengan empisema
subkutan mengalami pneumothorak baik jelas maupun terselubung. Oleh karena itu,
empisema subkutan mempunyai spesifitas yang tinggi untuk mendiagnosis occult
pneumothorak tapi jika tidak ditemukan empisema, belum tentu diagnosis occult
pneumothorak dapat di eksklusi. Empat tahun kemudian, penelitian prospektif level II
dilakukan oleh kelompok peneliti yang sama, dengan hasil hanya empisema yang tetap
menjadi faktor resiko untuk terjadinya occult pneumothorak. Faktor resiko lain meliputi
usia pasien, mekanisme trauma, dan status intubasi pasien pada unit gawat darurat,
pemakaian sabuk pengaman, skor GCS dan adanya penyakit paru lain sebelum trauma
menunjukkan hasil nilai prediktif yang tidak signifikan untuk prediksi pneumothorak.
Kami menyarankan setiap pasien trauma yang datang dengan empisema subkutan,
countusio pulmonal, dan patah tulang rusuk harus dilakukan CT scan dada untuk
menemukan adanya pneumothorak yang tidak terlihat pada rontgen thorak konvensional
biasa. Gambar 2 menunjukkan rontgen occult pneumothorak yang dapat diprediksi.
Adanya contusio pulmonal dan empisema subkutan harus dilakukan evaluasi lebih lanjut
menggunakan CT Scan untuk menemukan ada tidaknya pneumothorak.
6
Gambar 2 : X-ray dada memperlihatkan adanya tanda-tanda contusio pada paru kanan dan kiri dan emphisema pada paru kiri (Panel A) CT-scan dada mengkonfirmasi contusio pada kedua paru dan subkutan emphisema sebagai tanda pneumothorak sisi kiri, tanda ini sering terlewati pada pembacaan rontgen thorak AP (Panel B)
Benarkah occult atau pneumothorak yang tidak terdiagnosis ?
Dari sebuah penelitian retrospektif yang melibatkan 44 pasien yang terluka parah dengan
pneumothorak. Tiga kelompok yang terdiri dari para ahli radiologi menelaah gambar-
gambar yang ada untuk mencari tanda-tanda pneumothorak. Grup pertama yang terdiri
dari para ahli radiologi yang sudah bersertifikasi mengkonfirmasi adanya pneumothorak
pada 9 pasien, grup kedua dan ketiga yang juga terdiri dari para ahli radiologi yang sudah
bersertifikasi. Masing-masing mengkonfirmasi 10 dan 4 pasien yang terdiagnosis
pneumothorak. Sejauh ini tanda sulkus yang dalam pada pneumothorak sering menjadi
tanda yang terabaikan (75-90% anggota masing-masing grup mengabaikan tanda ini)
sedangkan tanda siluet jantung yang tajam dan tanda garis pleura tidak banyak terabaikan
(hanya satu kali pada penelitian ini).
Tabel 1. Tanda Sekunder Identifikasi Pneumothorak pada X-ray Dada AP Supinasi
Grup 1 Grup 2 Grup3
Sulkus dalam 7 9 3
Crisp cardiac silhouette 1 1 0
Pleural line 1 0 1
7
Lebih lanjut, karena tanda-tanda tambahan pneumothorak yang diamati dalam
penelitian retrospektif ini tidak ditemukan secara konsisten pada tiap pasien yang diamati
oleh para radiolog. Sehingga menimbulkan kerancuan di kalangan para radiolog ini. Pada
kenyataannya di lapangan, rontgen thorak AP pada pneumothorak ini lebih sering di
interpretasikan oleh para dokter bedah trauma, bukan oleh ahli radiologi. Sehingga
menyebabkan kepastian diagnosis menjadi tidak jelas. Tanda-tanda sekunder ini juga
jarang dipakai oleh para dokter untuk mendiagnosis pasien di ruang gawat darurat.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, dari penelitian prospektif level 2 yang
dilakukan selama 17 bulan, insiden occult pneumothorak terdiagnosa pada 76% pasien
yang gambar x-ray nya diinterpetasikan oleh para petugas di bagian trauma. Meskipun
para petugas ini mempunyai kemampuan interpretasi yang bagus. Namun mereka tidak
mempunyai waktu yang cukup, dan sarana prasarana yang mendukung.
Gambar 3 menunjukkan bagaimana pneumothorak bisa muncul dengan gambaran
radiologi yang tidak jelas sehingga sering terlewati saat diagnosis. Sulkus cardioprenic
dan garis pleura apikal pada rontgen thorak AP adalah tanda yang sering terlewatkan saat
mendiagnosis. Hal ini juga akan menyebabkan efek yang membahayakan jika tanda
tersebut tidak ditemukan.
Gambar 3. X-ray thorak AP dengan pasien diintubasi, menggambarkan ruang udara berdifusi opasitas pada paru kiri bawah (panel A). Kesan pneumothorak karena garis pleura terlihat di apeks paru-paru dan terlihat sulkus cardiophrenic. CT scan dada Menggambarkan pneumothorak sisi kiri dengan kolaps paru (Panel B).
8
Ultrasonografi thoraks untuk deteksi dini
Meskipun CT scan paru dianggap sebagai standar diagnostik untuk pneumothorak,
namun memiliki beberapa kekurangan, termasuk kebutuhan untuk transportasi pasien
(pasien tidak layak, pada pasien tidak stabil) dan radiasi yang tinggi. Ultrasonografi paru
telah muncul dalam dekade terakhir sebagai teknik baru dan sensitif dalam evaluasi
penyakit pernapasan. Dengan sensitivitas untuk mendeteksi pneumothorak berkisar 92%
sampai 100% pada pasien dengan trauma tumpul. Keuntungan lainnya termasuk fakta
bahwa ultrasonografi paru-paru mudah dan cepat dilakukan di samping tempat tidur, oleh
seorang sonographers seperti trauma, kedaruratan dan dokter di bagian perawatan
intensif. Kemungkinan digunakannya ultrasonografi thorak dalam mendeteksi ukuran dan
ekstensi dari pneumothorak adalah tugas seorang dokter pada unit gawat darurat untuk
mengambil keputusan intervensi, seperti pemasangan chest tube, tanpa membuang waktu.
Potensi yang didapatkan pada ultrasonografi thorak seperti adanya adhesi pleura
dan bula empisematous sangat jarang terjadi pada pasien trauma. Untuk itu evaluasi
menggunakan ultrasound thorak harus dilakukan selama pemeriksaan primer sebagai
bagian dari pemeriksaan eFAST untuk pasien trauma. Hal ini dapat mengidentifikasi
jumlah pasti dari radio-occult pneumothorak dan menjalani pemeriksaan dengan bantuan
sonar tanpa membiarkan pasien yang belum stabil mendapatkan pelayanan transportasi
yang buruk dan terkena paparan radiasi.
Pencitraan Ultrasonografi
Teknik pencitraan yang diikuti sebelumnya dijelaskan oleh kelompok kami dan orang
lain. Melalui pencitraan longitudinal, anterior dan lateral sepanjang garis anatomis thorak
untuk diagnosis dan menggambarkan adanya pneumothorak. Diagnosis ultrasonografi
pneumothorak berdasarkan hilangnya pleural sliding sign atau gliding sign, absennya
artefak comet tail, keberadaan titik-titik paru, dan penekanan gambar penulangan karena
gema udara.
Untuk menentukan topografi dan perluasan pneumothorak pada permukaan
thorak, deteksi titik paru, tanda yang spesifik pneumothorak, secara sistematis dinilai
melalui setiap intercostals space. Ini adalah tanda dinamik, selalu ada pada kasus
pneumothorak non masif, menggambarkan kemunculan teratur pola pleural sliding,
9
menggantikan pola pneumothorak pada titik dimana pleura visceral dan parietal kembali
berhubungan setiap kali bernapas. Mencari titik-titik pleura dilakukan melalui tiga
intercostals space (kedua atau ketiga, keempat atau kelima, dan enam atau tujuh, masing-
masing didefinisikan sebagai sektor tinggi, sedang, rendah), berlanjut secara lateral dari
daerah parasternal dan kedepan dan melalui garis mediocoronal thoracic.
Gambar 4. Pencitraan USG normal pada M-mode (kiri) dan B-mode (kanan)
Penerusan titik paru melalui intercostals space menentukan batas lateral dari
pengumpulan udara retroparietal demikian juga pembatasan dibuat dengan penanda tiga
pena (dua pena untuk pneumothorak kecil) pada thorak pasien; pneumothorak dibagi
menjadi anterior, jika titik paru ditemukan medial ke garis mid-coronal (didefinisikan
sebagai garis yang membagi thorak menjadi sama antara setengah anterior dan setengah
posterior) dan anterolateral, jika terdapat pada garis ini. Rontgen dada dan pencitraan CT
spiral paru dinilai oleh radiolog yang dapat sama atau berbeda radiolog untuk setiap
pemeriksaan tergantung dari ketersediaan. Kriteria rontgen untuk diagnosis
pneumothorak adalah tidak adanya parenkim paru dan tanda tidak langsung tertentu
seperti tampilan dishomogen diafragma, garis pleura yang tidak kongruen, atau deep
sulcus sign. Tidak ada pembeda kuantitatif yang diberikan, hanya kriteria ya atau tidak
dan apakah pneumothorak tersebut hipertensif.
10
Gambar 5. Pencitraan USG normal pada M-mode (kiri) dan B-mode (kanan)
Penumothorak terlihat pada gambaran CT paru diklasifikasikan menurut Wolfman
dan kolega sebagai amat kecil, anterior, dan anterolateral. Pneumothorak yang amat kecil
didefinisikan sebagai pengumpulan udara tipis sampai ketebalan 1 cm pada irisan
terbesar dan tidak terlihat lagi pada empat gambar yang berdekatan. Pneumothorak
anterior dikategorikan sebagai pengumpulan udara pleura lebih dari 1 cm, berlokasi di
anterior, tidak meluas sampai garis mid-coronal, yang mungkin masih terlihat pada empat
atau lebih gambar yang berdekatan. Pneumothorak anterolateral didefinisikan sebagai
udara pleura yang meluas paling tidak sampai ke garis mid-coronal.
Ultrasonografi pada paru dapat mendeteksi 23 dari 25 pneumothorak dengan 2
negatif palsu. Hasil satu positif palsu didapatkan. Sensitivitas dan spesifisitas
ultrasonografi dada dalam mendeteksi pneumothorak adalah 92% dan 99,4%. PPV dan
NPV adalah 95,8% dan 98,9% dengan tingkat keakuratan 98,6% (LR positif 153,3; LR
negative 0,08). Rontgen dada supine menunjukkan sensitivitas 52% dan spesifisitas
100%.
11
Gambar 6. Atas, A: tanda batas pengumpulan retroparietal udara. Kiri bawah, B: anterior PTX pada CT scan dengan batas (panah). Kanan bawah, C: titik paru pada USG pada pasien yang sama. MCL pertengahan garis koronal.
Managemen
Para dokter sering mengalami kesulitan untuk memutuskan terapi yang tepat pada pasien
dengan occult pneumothorak. Pilihan antara observasi ketat atau memasang tube pada
intercostal masih menjadi perdebatan, dengan adanya laporan bahwa lebih banyak
komplikasi yang terjadi akibat pemasangan chest tube daripada komplikasi akibat
pneumothoraknya sendiri, selama tim kesehatan tetap waspada terhadap adanya
pneumothorak itu sendiri. Managemen konvensional dari sebagian besar kasus
pneumothorak paska trauma dapat ditentukan melalui keadaan klinis pasien atau melalui
12
rontgen polos dada, yang telah terpasang chest tube. Tube thoracostomi berhubungan
dengan 22% dari komplikasi utama. Hal ini meliputi masalah-masalah insertional (cedera
pada arteri intercostals atau pada intraparenkim paru), positional (memerlukan re-insersi),
dan ineffective (empyema atau infeksi luka). Algoritma yang disarankan untuk diagnosis
dan managemen dari occult pneumothorak telah dijelaskan oleh Ball, dkk. Algoritma ini
menggunakan pemeriksaan ultrasound thorak di awal untuk membatasi penggunaan CT
scan yang berlebih.
Pada beberapa pasien, opini dari beberapa ahli menyatakan bahwa dilakukannya
observasi ketat merupakan penanganan yang aman, dimana pasien tidak diventilasi secara
mekanik dan ukuran dari pneumothorak tidak membesar. Hal penting yang perlu
diperhatikan pada terapi ini adalah penggunaan ventilasi bertekanan positif lebih tepat
dilakukan pada pasien yang diintubasi, dimana mereka berada pada resiko tinggi untuk
terjadinya komplikasi. Namun, pada literatur tidak dijelaskan secara pasti mengenai
pembagian pasien yang mana harus mendapat ventilasi mekanik atau lebih aman untuk
menghindari tube thorakostomi.
Beberapa ahli percaya bahwa pneumothorak yang telah diketahui sebelumnya
dapat berubah secara progresif menjadi tension pneumothorak dan dilakukannya
pencegahan menggunakan chest tube pada pasien-pasien occult pneumothorak dengan
ventilasi bertekanan positif dirasa penting. Dan bila ukuran awal dari occult
pneumothorak tidak diprediksi bisa berkembang secara progresif menjadi tension
pneumothorak, maka hal itu tidak bisa digunakan sebagai penuntun untuk pemasangan
chest tube. Dengan adanya banyak argument mengenai hal ini, managemen yang tepat
untuk occult pneumothorak masih belum dapat dipastikan.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, CT scan thorak adalah gold standard untuk deteksi dini
pneumothorak dan sebagai pilihan modalitas imaging untuk pasien-pasien dengan trauma
tumpul yang serius. Pada pusat-pusat kesehatan yang menggunakan teknologi eFAST
untuk pasien-pasien trauma, pemeriksaan ini harus sebagai modalitas awal. Alat ini
memiliki sensitifitas yang tinggi mendekati 100%, dapat diletakkan di samping tempat
tidur tanpa perlu memindahkan pasien yang masih belum stabil, dan tingkat
13
radiokarsinogenik yang rendah membuat alat ini sangat ideal. Jika tidak memungkinkan,
lalu kita rekomendasikan untuk setiap pasien trauma yang dikirim ke UGD dengan gejala
distres nafas harus dirujuk untuk melakukan CT scan thorak walaupun pada rontgen
polos thorak tidak menunjukkan kelainan.
Ulasan ini membantu kita untuk menggambarkan dan lebih memahami apa yang
dimaksud dengan occult pneumothorak. Ulasan ini bersifat instruksif berdasarkan
beberapa alasan. Pertama, memaparkan secara garis besar pentingnya X-ray
diinterpretasikan oleh dua pihak yaitu radiologis yang berpengalaman dan dokter UGD
atau ICU untuk mencegah terlewatnya kasus pneumothorak. Kedua, menjelaskan
kemampuan untuk memprediksi pneumothorak pada kasus-kasus dengan operasi
emphisema, fraktur costa, atau lung contusion. Ketiga, ulasan ini menjabarkan tanda-
tanda yang berbeda pada rontgen thorak AP pada posisi pasien supinasi yang dapat
menimbulkan kecurigaan adanya pneumothorak bila tanda-tanda klasiknya tidak tampak.
Keempat, dapat menegaskan bagaimana keterlambatan dalam mendiagnosis
pneumothorak dapat menimbulkan dampak yang berbahaya terhadap hasil akhirnya, dan
kelima, menegaskan pentingnya dilakukan ultrasound thorak atau CT thorak setelah
mendapatkan hasil negative dari rontgen polos thorak AP pada pasien trauma dengan
tanda-tanda distres nafas khususnya bagi mereka yang akan mendapatkan ventilasi
bertekanan positif.
14
Top Related