0
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL & GAMBAR
Gambar 1. Ilustrasi skenario; perubahan parameter abiotik menghimpit populasi manusia
(sumber: interpretasi penyusun) 6
Gambar 2. Ilustrasi scenario; perubahan rantai makanan menghimpit populasi manusia
(Sumber: ilustrasi penyusun). 8
Tabel 1. Kriteria dan indikator kepribadian manusia unggul.................................................................23
Tabel 2. Kriteria dan indikator penyusunan model manusia unggul.....................................................23
I. PENDAHULUAN
Dalam keadaan normal, suhu udara rata-rata di Propinsi Riau adalah 35
derajat Celcius dan saat ini mencapai 35,9 derajat Celcius, hal ini abnormal
menurut Blucher Dolok Saribu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika, Pekanbaru sebagaimana dikutip Kasri (2009) dalam makalahnya yang
disampaikan pada acara Peringatan Hari Lingkungan Hidup se Dunia 2009, 18
1
Juni 2009 di Bagan siapi-api, Rokan Hilir. Pada makalah tersebut juga terlaporkan
bahwasanya pada tanggal 28 Mei 2009, saat mendampingi mahasiswa
Pascasarjana Universitas Riau melakukan praktikum di Sungai Sail Pekanbaru,
mencatat suhu udara berada pada kisaran 38,5 derajat Celcius. Sementara di
harian Riau Pos tertanggal 2 Juli 2009, Dosen Pascasarjana ini menyampaikan
bahwa National Centre for Scientific Research (CNRS) yang berbasis di Paris
seperti dikutip kantor berita AFP (24-01-2008) melaporkan, sepanjang dua tahun
terakhir, wilayah Arktik di Kutub Utara kehilangan es seluas dua kali luas Prancis
atau sepuluh kali pulau jawa.
II. SKENARIO PENURUNAN POPULASI MANUSIA OLEH
FENOMENA PERUBAHAN IKLIM
Bagaimana tingkat stabilitas populasi manusia mulai dari habitat kutub
hingga subtropis, jika hewan sumber protein manusia mulai menghilang karena
mencairnya es di kutub bumi yang berakibat pada menurunnya populasi hewan
sebagai makanan utama manusia di sana? Mortalitas populasi manusia di sana
akan tinggi karena kebutuhan protein hewani sebagai penghangat tubuh mereka
semakin berkurang. Bagaimana pula dengan tingkat stabilitas populasi manusia di
habitat tropis hingga subtropis? Dari sisi konsumsi mungkin masih relatif aman,
tapi dari perubahan cuaca, mortalitas populasi manusia akan tinggi dikarenakan
fluktuasi suhu yang ekstrim. Hal ini menyebabkan wabah penyakit, kekeringan,
dehidrasi yang mengganggu metabolisme tubuh manusia. Selain itu perubahan
iklim pun mengancam manusia dalam bentuk bencana alam dan bencana ekologi
yang frekwensi kehadiranannya tidak teratur dan sulit diprediksi.
Lalu, apakah dengan situasi ini kita buru-buru pasrah dengan alasan
kehendak Tuhan menciptakan kiamat kecil? Atau kita harus cepat beradaptasi
sehingga selamat dari kiamat kecil ini? Mari menjadi manusia unggul yang
mampu bertahan dan tetap berkembang dalam situasi iklim yang kurang
menguntungkan. Sesuai dengan pernyataan Kasry (2009) di harian Riau Pos
tanggal 2 Juli 2009; masyarakat baik sebagai individu maupun kelompok dapat
berperan aktif, misalnya mengurangi konsumsi listrik, mengurangi penggunaan
kendaraan pribadi dan lebih banyak menggunakan transportasi massal ataupun
2
bersepeda dan berjalan kaki, menanam pohon di sekitar rumah dan lingkungan
tempat tinggalnya.
Untuk berperan aktifnya individu manusia seperti saran tersebut maka
diperlukan penyusunan model yang dapat di aplikasi oleh para partisipan yang
peduli pada upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
2.1. Bencana alam dan bencana ekologi
Energi mengalir dari satu materi ke materi lain selalu menghasilkan
dispersi energi, belum terbukti bahwa energi dapat termanfaatkan 100% oleh satu
sistem materi. Bencana alam merupakan gejala alamiah dalam keseimbangan
ekosistem dikarenakan fenomena dispersi energi. Petir mengakibatkan kebakaran,
hujan mengakibatkan banjir, suhu mengakibatkan kekeringan dan timbunan salju,
angin ribut yang mengakibatkan kehancuran, pergeseran lempeng, pelepasan gas,
cairan dan padatan dari perut bumi yang menyebabkan gempa semua terjadi
karena keberadaan dispersi energi baik berbentuk kinetik maupun potensial.
Gejala-gejala ini pun selalu diikuti oleh natalitas, mortalitas dan suksesi populasi
tertentu secara alamiah yang berakibat pada perubahan rantai makanan dalam
jejaring makanan. Dengan demikian bencana alam juga menyebabkan hadirnya
bencana ekologi.
Preposisi ini sesuai dengan pernyataan bahwasanya bencana alam yang
hadir pada suatu kawasan berakibat pada ketidak nyamanan dalam habitat
sehingga perlu waktu yang cukup untuk pemulihan kondisi hingga habitat kembali
nyaman dinaungi oleh berbagai populasi sehingga rantai makanan kembali normal
(Kasry, 2007). Selain itu, menurut Diposaptono (2008), Gempa dan Tsunami di
Nangro Aceh Darusalam tahun 2005 menghancurkan habitat wilayah pesisir baik
yang alami seperti hutan mangrove maupun buatan seperti pertambakan.
Kehancuran ini selanjutnya disikapi dengan program recovery baik dengan cara
pembangunan infrastruktur baru maupun rekayasa komunitas pesisir baru. Jika
recovery tidak dianalisis dengan baik rencana rekayasanya maka akan
mengakibatkan bencana ekologi di kawasan berdekatan dengannya. Situasi ini
hampir sama dampaknya dengan rencana reklamasi pantai yang salah perhitungan.
3
Bencana ekologi merupangan terminologi yang bermakna bencana alam
yang disebabkan oleh perkembangan peradaban populasi manusia. Terminologi
ini hadir dengan keyakinan bahwasanya peradaban manusia yang hadir atas dasar
perkembangan ilmu pengetahuan yang meningkatkan natalitas rate dan
menghambat mortalitas rate populasi manusia merupangan parasit bagi
keseimbangan aliran energi dan keseimbangan biomas yang ada dalam ekosistem
bumi. Peradaban manusia dipandang sebagai parasit atau penyerap keseimbangan
karena peradaban manusia selalu digerakkan alat-alat produksi yang menuntut
konsumsi energi dan melepaskan residu yang seharusnya tidak perlu ada dalam
interaksi biotik dan abiotik di ekosistem bumi (Kasry, 2007).
Belum sempurnanya perkembangan peradaban manusia berakibat tidak
terkontrolnya penyerapan energi dan pelepasan residu oleh alat produksi sehingga
mengganggu keseimbangan biotik dan abiotik dalam ekosistem, Hal ini
berdampak pada semakin dahsyatnya bencana alam baik dari sisi frekwensi
maupun daya hancurnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya
bencana ekologi juga menyebabkan bencana alam, dan bencana alam merupakan
pemicu natalitas, mortalitas dan suksesi populasi tertentu. Bencana ekologi
mempercepat proses tersebut terbukti dari munculnya dampak-dampak perubahan
iklim.
Preposisi ini sesuai dengan fakta bahwasanya pemenuhan kebutuhan
negara maju atas bahan baku kayu mendorong perusahaan di negara berhutan
melakukan eksploitasi besar-besaran sehingga hutan digunduli dan lahan
dibersihkan dengan cara membakar. Akhirnya emisi gas rumah kaca dari
permukaan bumi menumpuk di atmosfer, terjadi pemanasan global yang berujung
pada perubahan iklim yang selanjutnya menjadi pemicu kehadiran bencana alam
yang tidak dapat diprediksi kehadirannya dan kedahsyatannya (Suryadiputra, et
al., 2005)
2.2. Dampak perubahan iklim
Besarnya emisi gas dari aktivitas pembangunan populasi manusia di dunia
menyebabkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi mengalami
peningkatan drastis. Konsentrasi berlebih tersebut berakibat pada terperangkapnya
4
energi panas matahari pada molekul gas rumah kaca yang seharusnya kembali
terlepas dari atmosfer bumi. Terperangkapnya energi panas tersebut berakibat
pada distribusi panas merata di ruang atmosfer yang diterminologikan sebagai
fenomena pemanasan global. Fenomena ini dalam jangka panjang menyebabkan
perubahan iklim di permukaan bumi.
Perubahan iklim mempengaruhi perubahan parameter fisika dan kimia
dalam habitat sehingga berakibat pada perubahan prilaku populasi salah satu
spesies, beberapa spesies maupun seluruh spesies dalam habitat. Perubahan
prilaku ini berakibat pada ketidak seimbangan rantai makanan (Food chain) dalam
jejaring makanan (Food web). Apalagi semua organisme yang berposisi sebagai
konsumen dalam rantai makanan secara naluriah berupaya menjadi konsumen
tingkat akhir dengan cara menghindar, bertahan dan menyerang sebagai strategi
penyelamatan dirinya dari ancaman apapun.
Ketidak seimbangan rantai makanan disebabkan oleh perpindahan atau
putusnya mata rantai makanan, dominasi perpindahan mata rantai makanan
maupun putusnya mata rantai makanan dalam jejaring makanan menyebabkan
pergeseran/perpindahan aliran energi dan aliran materi dalam habitat. Perebutan
materi dan energi ini memicu pada akumulasi pergeseran komposisi parameter
fisika dan kimia ideal dalam habitat tersebut. Akumulasi pergeseran komposisi
parameter ini selanjutnya akan mempengaruhi perubahan fungsi-fungsi populasi
dalam komunitas. Pada gilirannya, ekosistem pun mengalami evolusi
menyesuaikan perubahan jalur rantai makanan dalam jejaring makanan,
perubahan aliran energi dan materi, perubahan fungsi populasi dalam komunitas
dan perubahan komposisi parameter fisika dan kimia dalam ekosistem.
Dalam situasi ini, maka tidak mustahil jika populasi manusia sebagai salah
satu konsumen tingkat akhir dalam rantai makanan digantikan oleh populasi
dominan dalam komunitas yang potensial berpindah-pindah mata rantai makanan.
Atau populasi manusia akan menurun dikarenakan parameter fisika dan kimia
pembentuk habitatnya berakumulasi secara acak sehingga tidak layak lagi menjadi
habitat populasi manusia. Pada gilirannnya kuantitas dan kualitas populasi
5
manusia menjadi kecil dalam komunitas tertentu hingga berpotensi menuju
kepunahan dalam jangka waktu tertentu.
Oleh sebab itu, manusia perlu melakukan upaya mitigasi terhadap
perubahan iklim agar parameter fisika dan kimia dalam habitat kembali wajar
sehingga diikuti dengan kembali normalnya rantai makanan dalam jejaring
makanan dan meletakkan kembali manusia sebagai konsumen tingkat akhir.
Selain itu manusia perlu melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim agar
akumulasi perubahan parameter fisika dan kimia dalam habitat tidak berpengaruh
nyata pada individu manusia dan populasi manusia secara langsung, atau
beradaptasi agar pergeseran mata rantai makanan dalam jejaring makanan yang
sulit dihindari ini tetap memposisikan manusia dan populasinya sebagai konsumen
tingkat akhir sejajar dengan konsumen tingkat akhir lainnya dalam komunitas
yang sama.
Berikut ini beberapa ilustrasi skenario perubahan iklim yang
mempengaruhi perubahan rantai makanan dalam jejaring makanan dan
mengancam kuantitas dan kualitas populasi manusia (Gambar 1).
Gambar 1. Ilustrasi skenario; perubahan parameter abiotik menghimpit populasi manusia (sumber: interpretasi penyusun)
6
Dari gambar 1. dapat dijalaskan penurunan kuantitas dan kualitas populasi
manusia dengan asumsi skenario 1 sebagai berikut (interpretasi penyusun):
1) Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan
terperangkapnya energi panas matahari pada molekul-melekul gas
rumah kaca. Akumulasi panas pada setiap molekul ini menyebabkan
ruang atmosfer mengalami peningkatan suhu yang merata mengelilingi
bumi. Hal ini merupangan fenomena yang diterminologikan sebagai
pemanasan global.
2) Pemanasan global ini menyebabkan bongkahan es di kutub mengalami
pencairan sehingga volume air laut mengalami peningkatan sehingga
volume air pada saat pasang dan surut mengalami rentang yang ekstrim
pula. Pencairan es menjadi air diikuti perbedaan suhu yang ekstrim
sehingga terbentuk pergolakan arus air di laut diikuti dengan
pergeseran materi dan energi yang berlebih sehingga arah, kecepatan
dan volume berubah-ubah baik pada badan air maupun permukaan air
sehingga membentuk angin di permukaan laut sebagai residu energi
gerak air di laut. Sementara di teresterial yang mengalami pemanasan
berlebih menyebabkan pergeseran energi angin karena perbedaan
panas ekstrim antara teresterial dan kostal. Hal ini merupakan
fenomena angin darat. Pembentukan energi angin baru dari darat dan
pembentukan energi angin laut mengalami benturan tambahan di
atmosfer sehingga energi berupaya merubah bentuknya sebagai gejala-
gejala alam yaitu; hembusan angin berlebihan hingga membentuk
taufan, hujan berlebihan hingga membanjir, panas berlebihan hingga
kekeringan, serta kegagalan-kegagalan pembentukan salju. Gejala-
gejala tak teratur ini berakibat pada perubahan iklim di bumi.
Pergeseran jadwal musim kemarau, musim dingin, musim hujan,
musim salju dan musim semi.
3) Perubahan musim yang seharusnya teratur pada setiap ruang yang
terpisah garis iklim (tropis, subtropis dan kutub) menyebabkan
perubahan-perubahan pula pada ekosistem, komunitas dan habitat yaitu
7
berupa rentang suhu ekstrim, Kuantitas dan kualitas air menurun,
Komposisi udara pernafasan tidak wajar, Kompetisi ruang teresterial
dan kostal
4) Perubahan parameter abiotik yang ekstrim menyebabkan
ekosistem/komunitas/habitat tidak nyaman lagi dihuni oleh manusia
sehingga hal tersebut berakibat pada penurunan kuantitas dan kualitas
populasi manusia dengan tiga skenario;
Daya tahan tubuh individu menurun barakibat pada penurunan
produktivitas populasi
Daya tahan tubuh menurun berakibat pada peningkatan mortalitas
populasi
Daya tahan tubuh menurun berakibat pada penurunan natalitas
populasi
Demikian uraian skenario 1. Dan selanjutnya Skenario 2. diuraikan
sebagai berikut.
Gambar 2. Ilustrasi scenario; perubahan rantai makanan menghimpit populasi manusia (Sumber: ilustrasi penyusun).
Dari Gambar 2. Dapat dijalaskan penurunan kuantitas dan kualitas
populasi manusia dengan asumsi skenario 2 sebagai berikut:
8
1) Peningkatan gas rumah kaca di atmosfer bumi menyebabkan
terperangkapnya energi panas matahari pada molekul-melekul gas
rumah kaca. Akumulasi panas pada setiap molekul ini menyebabkan
ruang atmosfer mengalami peningkatan suhu yang merata mengelilingi
bumi. Hal ini merupangan fenomena yang diterminologikan sebagai
pemanasan global.
2) Pemanasan global ini menyebabkan bongkahan es di kutub mengalami
pencairan sehingga volume air laut mengalami peningkatan sehingga
volume air pada saat pasang dan surut mengalami rentang yang ekstrim
pula. Pencairan es menjadi air diikuti perbedaan suhu yang ekstrim
sehingga terbentuk pergolakan arus air di laut diikuti dengan
pergeseran materi dan energi yang berlebih sehingga arah, kecepatan
dan volume berubah-ubah baik pada badan air maupun permukaan air
sehingga membentuk angin di permukaan laut sebagai residu energi
gerak air di laut. Sementara di teresterial yang mengalami pemanasan
berlebih menyebabkan pergeseran energi angin karena perbedaan
panas ekstrim antara teresterial dan kostal. Hal ini merupakan
fenomena angin darat. Pembentukan energi angin baru dari darat dan
pembentukan energi angin laut mengalami benturan tambahan di
atmosfer sehingga energi berupaya merubah bentuknya sebagai gejala-
gejala alam yaitu; hembusan angin berlebihan hingga membentuk
taufan, hujan berlebihan hingga membanjir, panas berlebihan hingga
kekeringan, serta kegagalan-kegagalan pembentukan salju. Gejala-
gejala tak teratur ini berakibat pada perubahan iklim di bumi.
Pergeseran jadwal musim kemarau, musim dingin, musim hujan,
musim salju dan musim semi.
3) Perubahan musim yang seharusnya teratur pada setiap ruang yang
terpisah garis iklim (tropis, subtropis dan kutub) menyebabkan
perubahan-perubahan pula pada ekosistem, komunitas dan habitat yaitu
berupa rentang suhu ekstrim, Kuantitas dan kualitas air menurun,
9
Komposisi udara pernafasan tidak wajar, Kompetisi ruang teresterial
dan kostal
4) Perubahan parameter abiotik yang ekstrim menyebabkan
ekosistem/komunitas/habitat tidak nyaman lagi dihuni oleh populasi
berbagai spesies organism sehingga hal tersebut berakibat pada
terpicunya naluri berbagai populasi untuk mempertahankan
kelangsungan populasinya dengan cara beradaptasi terhadap kondisi
lingkungan dan meninggalkan kepatutannya dalam rantai makanan dan
jejaring makanan dengan skenario sebagai berikut;
Populasi-populasi dalam rantai makanan mono to mono (satu mangsa satu pemangsa), mengalami punah/hilang dalam habitat secara perlahan. Punah karena tidak ada yang dimangsa
Populasi-populasi dalam rantai makanan mono to multy (satu mangsa banyak pemangsa), mengalami punah/hilang dalam habitat secara cepat. Punah karena tidak ada yang dimangsa dan beragam yang memangsa.
Populasi-populasi dalam rantai makanan multi to mono (banyak mangsa satu pemangsa), mengalami peningkatan populasi. Meningkat karena masih beragam yang dimangsa dan sedikit yang memangsa.
Populasi-populasi dalam rantai makanan multy to multy (banyak mangsa banyak pemangsa), mengalami keseimbangan populasi. Seimbang karena masih beragam yang dimangsa dan beragam yang memangsa.
Dengan demikian, populasi organisme yang menjalankan kepatutan rantai
makanan multy to mono akan mengancam keseimbangan populasi manusia. Oleh
sebab itu, manusia sebagai mahluk yang mampu berpikir, seharusnya melakukan
upaya mitigasi dan adaptasi agar keseimbangan biotik dan abiotik dalam habitat
dapat pulih kembali.
Lemahnya atau gagal berfungsinya sel darah putih manusia disebabkan
oleh menurunnya kuantitas dan kualitas asupan air, kuantitas dan kualitas pangan,
kuantitas dan kualitas udara pernafasan dan kuantitas dan kualitas habitat sehingga
dapat mengakibatkan kematian individu dalam populasi sehingga mortalitas rate
semakin meningkat. Bahkan dapat menyebabkan kegagalan fungsi reproduksi
10
yang berakibat pada natalitas rate populasi semakin menurun. Jika natalitas rate
rendah, mortalitas rate rendah maka populasi renggang dan anggota populasi
jarang berganti. Jika natalitas rate tinggi, mortalitas rate tinggi maka populasi
padat dan anggota populasi sering berganti. Jika natalitas rate rendah, mortalitas
rate tinggi maka populasi renggang dan anggota populasi menghilang sehingga
gagal regenerasi. Situasi terakhir ini merupangan fenomena punah, populasi
menghilang dalam komunitas. Ini merupangan dampak perubahan iklim yang
paling parah yang seharusnya hanya berlaku saat kiamat tiba.
Preposisi ini didukung sebuah contoh; Lahan gambut yang terbakar,
mengalami kesulitan untuk pulih karena miskin unsur hara dan air. Sehingga
hanya terjadi suksesi spesies tertentu dan sangat lama diikuti kehadiran organisme
lainnya. Habitat mengalami dominasi populasi tertentu saja (Wibisono, Siboro,
dan Suryadiputra, 2005)
Penurunan kuantitas dan kualitas air, pangan, udara dan ruang hidup dalam
komunitas disebabkan oleh kompetisi antar komunitas karena kebutuhan anggota
ragam populasi dalam komunitas semakin meningkat, berakibat pada hilangnya
komunitas tertentu dalam ekosistem. Kompetisi antar populasi dalam komunitas
berakibat pada hilangnya populasi tertentu dalam komunitas. Kompetisi antar
individu dalam populasi berakibat pada hilangnya individu tertentu dalam
populasi. Kausalitas tersebut merupangan fenomena alamiah dalam keseimbangan
ekosistem.
Konsep keytone species yang diperkenalkan pertama sekali pada tahun
1969 oleh Profesor Robert T. Paine seorang zoology mendiskripsikan; keberadaan
suatu spesies yang berperan penting membangun tingkat keragaman anggota
komunitas menuju keseragaman jenis atau menuju keberagaman jenis (Kasry,
2007). Keytone spesies predator jika spesies ini tergolong organisme heterotropik
polyphagus maupun monophagus yang berfungsi menurunkan ledakan populasi
spesies tertentu dan berdampak meningkatnya ledakan populasi spesies lain pula
sehingga rantai makanan dalam jejaring makanan mengalami dinamika yang
besar. Dan jika keytone spesies adalah organisme autotropik ia akan
memusnahkan populasi autotropik lainnya dengan cara perebutan ruang dan
11
makanan yang diterpa sinar matahari sehingga berdampak pada kepunahan pada
organisme tropik tingkat dua yang monophagus dan peledakan organisme tingkat
dua yang polyphagus atau monophagus yang bersimbiosis dengan keytone spesies
Keytone spesies tersebut kehadirannya menjadi terpaksa karena dipicu
oleh rangkaian kejadian abiotik sebagai berikut; kecepatan abrasi pantai
meningkat drastis, Ombak laut semakin tinggi, jadwal pasang-surut tidak dapat
diprediksi, angin laut dan angin darat bertiup tidak seimbang hingga membentuk
badai. Biota laut mengalami perubahan prilaku mengikuti perubahan suhu air dan
arah gerak air dan diperkirakan mempercepat proses perubahan zat kimia air laut
sebelum waktunya. Intrusi air laut meningkat karena hutan mangrove dan lahan
gambut tak mampu menahan desakan air laut ke daratan, lahan gambut kehilangan
daya serap air karena telah dipenuhi garam.
Hal ini didukung oleh uraian Kasry (2007) yang mencontohkan, naiknya
suhu air laut menyebabkan ledakan populasi bintang laut (Pisasater ochraceous)
yang memusnahkan koloni terumbu karang karena mengkonsumsi koloni terumbu
karang secara berlebihan. Selanjutnya terjadi cascade effect, yaitu hilangnya
populasi lain yang bersimbiosis dengan koloni terumbu karang. cascade effect
juga terjadi kerana fenomena bleaching (kematian koloni terumbu karang karena
habitatnya sudah tidak ideal).
Perbedaan suhu yang ekstrim antara lautan dan daratan, antara daratan satu
dengan lainnya bahkan antar kawasan perairan berdampak pada kecepatan dan
arah tiupan angin yang selalu berubah sehingga siklus hidrologi tidak teratur
menyebabkan frekwensi dan curah hujan tidak wajar di banyak tempat. Akibatnya
banjir dan kekeringan bisa terjadi dalam kurun waktu relatif berdekatan.
Perbedaan suhu ekstrim ini juga memicu munculnya angin ribut di berbagai
tempat yang memporak-porandakan infrastruktur bahkan hingga menelan korban
jiwa manusia dan organisme lainnya. Banjir, kekeringan, angin ribut dan
kegagalan produksi komunitas, memicu ketidak layakan habitat, sehingga tercapai
situasi kepunahan populasi hingga mengganggu stabilitas rantai makanan dan
jejaring makanan. Dan pada akhirnya akan tercapai situasi kematian individu
dalam populasi tanpa kompetisi. Bumi akan mengalami suksesi oleh organisme
12
autotropik toleransi tinggi untuk memperbaiki kembali atmosfer dalam jangka
waktu yang sangat lama hingga muncul kehidupan baru ditandai dengan hadirnya
organisme heterotropik tingkat pertama, kedua dan seterusnya.
Situasi ini digambarkan oleh Diposaptono (2008) bahwa tragedi
Tsunami tahun 2005 menelan korban jiwa lebih dari 200.000 orang hanya di
Nangro Aceh Darusalam, Indonesia. Sedangkan menurut Jeremy Turner, Kepala
Pelayanan Teknologi Perikanan PBB, FAO, bahwa Tsunami yang menghantam 7
negara pesisir di dunia yang diperkirakan oleh Pusat Informasi PBB, UNIC,
mengalami kerugian sebesar USD 500 juta, termasuk di dalamnya perhitungan;
111 ribu kapal hancur dan rusak, 36 ribu mesin hilang dan 1,7 juta unit peralatan
penangkapan ikan rusak. Ini sebuah gambaran proses pembantaian populasi
manusia oleh bencana alam non bencana ekologi. Bayangkan kalau keduanya
terjadi berbarengan. Sebagai ilustrasi tambahan; bila Tsunami terjadi di teluk
Jakarta sementara hujan terjadi di Bogor, maka Jakarta akan mengalami
penurunan populasi manusia dalam waktu yang sangat singkat.
III. ALIRAN MATERI DAN ENERGI DALAM EKOSISTEM BUMI
Keseimbangan bumi bergantung pada interaksi tiga zat penting yaitu; zat
padat, zat cair dan gas. Pada dasarnya, ketiga zat atau materi ini kondisi hakikinya
adalah diam. Namun karena semua materi menyimpan energi potensial atas
keberadaan energi gravitasi bumi maka semua materi berpotensi untuk tidak diam.
Jika ada sedikit usikan yang lebih besar dari kondisi diamnya maka materi dalam
kondisi bergerak dan berusaha untuk kembali diam. Usaha kembali diam inilah
yang menyebabkan lepasnya selisih energi, lepasan ini sesegera mungkin
menaungi materi lain yang juga dalam kondisi diam. Namun jika materi tidak
mampu melepaskan energi yang menaunginya maka alternative peristiwanya
adalah materi akan berubah wujud hingga keseimbangan energi untuk diam
kembali tercapai. Menurut uraian Kasry (2007), pada ekosistem dapat terjadi
perubahan wujud zat yaitu; 1) padat menjadi cair, 2) padat menjadi gas, 3) padat
menjadi padatan lain, 4) cair manjadi padat, 5) cair menjadi gas, 6) cair menjadi
cairan lain, 7) gas menjadi padat, 8) gas menjadi cair, 9) gas menjadi gas lain.
13
Perubahan wujud ini selalu dibarengi dengan aliran energi dan dispersi energi
menjadi panas yang dilepas sebagai upaya mencapai keseimbangan materi.
Kondisi diam dan kondisi bergerak atau berubah suatu materi dipengaruhi
atas keberadaan tiga basis energi yaitu; energi stagnasi, energi potensial dan
energi kinetik. Energi stagnasi adalah energi yang manaungi sehingga materi
dalam kondisi keseimbangan hakiki untuk diam. Energi potensial adalah energi
tertoleransi oleh materi dalam kondisi diam dan jika terusik oleh energi kinetik
maka energi potensial akan terlepas meninggalkan materi tersebut hingga tercapai
situasi energi stagnasi dalam materi. Energi kinetik adalah energi potensial yang
bergerak berpindah ke materi lain hingga materi yang diterpa energi tersebut
mencapai keseimbangan baru menuju diam baik dinaungi hanya oleh energi
stagnasi maupun bersama energi potensial.
Menurut uraian Azam (2008), air memiliki beberapa sifat yaitu mencari
tempat yang lebih rendah dan memenuhi ruang setangkup dengan bentuk ruang
yang tersedia, sifat ini dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Air tersebut dinaungi
gaya potensial gravitasi bumi. Pada malam hari saat bulan tepat tegak lurus
dengan air di laut, energi potensial gravitasi bumi dalam volume air tersebut
diusik oleh energi potensial gravitasi bulan sehingga terbentuk energi kinetik yang
mampu memindahkan volume air tidak berada pada tempat yang lebih rendah.
Karena bulan terus berevolusi mengakibatkan penurunan energi mengikuti vektor
gaya tarik bumi-bulan. Saat energi potensial bulan tidak unggul lagi maka air
bergerak mundur ke titik awal namun membawa kelebihan energi sehingga terjadi
benturan dengan entitas lain dibelakangnya. Air bergerak mondar-mandir hingga
energi terserap oleh entitas lain dan air kembali diam.
Hukum termodinamika 1 yang menyatakan energi tidak dapat punah
melainkan berubah bentuk, dapat dipertahankan kesahihannya karena bumi
memang tidak pernah kehabisan energi atau dalam kondisi selalu memiliki energi
potensial, tidak terjadi kondisi energi stagnasi. Hal ini disebabkan oleh sistem tata
surya yang memberikan reaksi berantai (chain reaction) sebagai berikut; Energi
nuklir dalam matahari menghasilkan panas sehingga mendorong planet bumi dan
planet lainnya menjauh dari matahari, di belakang bumi terdapat ruang hampa
14
yang memaksa bumi dan planet lainnya mendekati matahari. Seluruh planet
karena dikenai gaya dorong dari dua sisi menyebabkan planet-planet mengitari
matahari (revoluasi) dalam orbitnya, kondisi menggelinding pada ruang hampa
menyebabkan planet-planet berotasi, fenomena inipun menjelaskan mengapa
planet-planet cenderung berbentuk bulat pejal. Kondisi berevoluasi dan berotasi
inilah yang menjadi generator energi dalam bumi dan atmosfer. Dengan demikian
bumi selalu memiliki energi kinetik abadi yang selalu mengusik materi-materi
dalam bumi dan membentuk gaya gravitasi bumi sebagai energi potensial yang
tercipta oleh vektor energi potensial yang terbentuk dari energi kinetik revolusi
bumi dan rotasi bumi.
Menurut Haryanto (2007), gaya tarik matahari terhadap benda langit di
sekitarnya dan gaya tolak benda langit terhadap matahari menyebabkan
terbentuknya vector elips yang menjadi lintasan benda-benda tersebut
mengelilingi matahari. Ada saatnya matahari dan benda planet yang mengitarinya
berada berdekatan dan ada saatnya berjauhan. Perubahan jarak ini disertai dengan
perubahan kecepatan perubahan massa benda pada kondisi tertentu sehingga
tercapai siutasi dimana yang berubah-ubah hanya energi potensial ke energi
kinetik silih berganti pada massa benda yang sama.
Siklus energi kinetik inilah yang membangun fenomena alam, dimana
materi berpotensi bergerak vertikal karena keberadaan gaya gravitasi bumi, dan
tidak ada gerak horizontal karena tidak terjadi rotasi bumi relatif terhadap
atmosfer. Gerak horizontal materi di bumi, hakiknya didapat dari dispersi
distribusi energi panas yang tidak merata di atmosfer dan permukaan bumi. Panas
sebagai energi potensial yang dibawa oleh sinar matahari diserap oleh materi-
materi berdaya serap berbeda sehingga muncul perbedaan suhu dari satu materi
dengan materi lain. Perbedaan suhu inilah yang mengakibatkan perpindahan
energi dalam bentuk angin yang bergerak horizontal dan mengakibatkan materi
bergerak horizontal pula karena dinaungi energi kinetik dan didesak oleh gaya
gravitasi hingga mempercepat proses tercapainya keseimbangan materi untuk
kembali diam karena tercapai kondisi dinaungi energi stagnasi dan atau energi
potensial.
15
Preposisi ini dapat dicontohkan dengan fenomena umum yaitu; pada siang
hari teresterial bersuhu lebih panas dan bertekanan udara rendah dibandingkan
perairan sehingga angin berhembus dari perairan menuju darat. Sedangkan pada
malam hari saat perairan belum sempurna mengalami penurunan suhu sedangkan
teresterial telah mengalami pendinginan dan tekanan udara meningkat, maka
angin berhembus menuju perairan. Fenomena ini dimanfaatkan oleh kapal-kapal
tradisional yang masih menggunakan layar untuk memanfaatkan arah gerak angin
(Murdiyanto, 2004).
Cahaya merupangan media transfer energi panas yang menjadi pilihan
pertama dan pilihan terakhir oleh energi panas saat melakukan rambatan energi ke
materi lain. Energi potensial gravitasi berkecenderungan mendorong materi untuk
terlingkupi energi stagnasi, sedangkan energi panas berkecenderungan mendorong
materi untuk terlingkupi energi kinetik. Cahaya matahari menyinari bumi
membawa energi panas dari reaksi nuklir di matahari. Kehadiran cahaya beserta
energi panas ini menciptakan reaksi berantai (chain reaction) yang mendukung
kehidupan di bumi sebagai berikut; Lapisan ozon adalah lapisan di atmosfir pada
ketinggian 19-48 km (12-30 mil) di atas permukaan Bumi yang mengandung
molekul-molekul Ozon. Konsentrasi di lapisan ini mencapai 10 ppm dan
berbentuk akibat pengaruh sinar Ultraviolet Matahari terhadap molekul-molekul
oksigen. Peristiwa ini terjadi semenjak berjuta-juta tahun yang lalu, tetapi
campuran molekul-molekul nitrogen yang muncul di atmosfer menjaga
konsentrasi ozon relatif stabil. Ozon adalah gas beracun sehingga bila berada
dekat permukaan tanah akan berbahaya bila terhisap dan dapat merusak paru-paru.
Sebaliknya, lapisan ozon di atmosfer melindungi kehidupan di Bumi karena ia
melindunginya dari radiasi sinar ultraviolet yang dapat menyebabkan kanker
djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon.
Gas rumah kaca di atmosfer bumi menyaring cahaya dan panas agar tidak
seluruhnya ke permukaan bumi, penyaringan dilakukan dengan dua cara yaitu;
menyerap dan memantulkan kembali ke ruang angkasa. Penyerapan berakibat
pada penghangatan atmosfer bumi dan pemantulan cahaya ultra violet ke angkasa
oleh lapisan ozon berakibat pada penghindaran dari tingginya suhu dan kecerahan
16
berlebih di bumi situasi ini menciptakan habitat menjadi layak bagi kehidupan di
bumi. Cahaya yang diteruskan ke bumi, dimanfaatkan organisme autotropik untuk
memproduksi karbohidrat dalam biomas, menyimpan energi potensial dan
memproduksi oksigen untuk udara. Dalam proses produksi ini, organisme
autoropik menyerap CO2 dan H2O. Dengan demikian melalui proses fotosintesis
organisme autotropik dalam reaksi berantai tersebut otomatis membangun
keseimbangan konsentasi air di bumi dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
Selain itu juga organisme outotropik ini menyiapkan dirinya menjadi bagian dari
rantai konsumsi bagi organisme heterotropik.
Preposisi ini menjadi logis karena pada kenyataanya ekosistem bumi
dalam membangun keseimbangan biotik dan abiotiknya selalu berupaya menjamin
berputarnnya siklus carbon, siklus hydrogen dan siklus oksigen dalam biomas
tingkat produsen, biomas tingkat konsumen dan biomas tingkat detritus. Dan
Organisme autotrop yang kita sebut produsen adalah komponen biotic yang
mampu merubah cahaya menjadi energi potensial bagi heterotrop,
menyeimbangkan CO2 dan O2 di udara, Menyeimbangkan rantai karbon dan H2O
dalam biomas dan tanah. (Kasry, 2007).
Keberadaan revolusi dan rotasi bumi serta cahaya matahari dan energi
panasnya membangun efek berantai yaitu gerak vertikal dan horizontal bagi unsur
abiotik di bumi serta aliran energi pendukung kehidupan unsur biotik. Sehingga di
ekosistem bumi terdapat gejala-gelaja alam sebagai akibat dari proses pencapaian
keseimbangan energi yaitu; pergerakan air, pergerakan udara, pergerakan
tanah/lempengan dan fluktuasi kualitas/kuantitas biomas. Dan bencana alam
seperti, banjir, kekeringan, longsor dan angin ribut merupangan gejala-gejala alam
dalam rangka mencapai keseimbangan ekosistem. Namun jika gejala-gejala ini
muncul berlebihan dan tidak wajar maka dapat diprediksi sebagai bencana
ekologi.
Preposisi ini sesuai dengan ulasan bahwasanya Gempa dan Tsunami di
Indonesia, Thailand, India, Maladewa, Myanmar, Somalia dan Srilanka pada
tahun 2005 dan diikuti bencana yang sama pada tahun 2006 dan 2007 di tempat
lainnya adalah bencana alam yang memporak porandakan wilayah pesisir. Namun
17
dampak bencana alam semakin meluas dikarenakan pembangunan berlebihan di
kawasan pesisir yang tidak mempertimbangkan daya dukung, daya tampung dan
daya tahan terhadap bencana. Semakin meluasnya dampak bencana alam tersebut
dipicu oleh gejala-gejala bencana ekologi yang terlanjur terbentuk oleh ulah
manusia sendiri tanpa disadari (Diposaptono, 2008).
IV. UPAYA MITIGASI DAN ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN
IKLIM
Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer disebabkan oleh
perkembangan peradaban manusia yang mendorong penggunaan alat-alat
produksi dan pembukaan lahan pertanian yang menghasilkan residu berupa gas-
gas rumah kaca, utamanya karbon dioksida CO2. Pemanfaatan lahan pertanian dan
peternakan meresidu metana (NH4) dan nitrogen oksida (N2O). Penggunaan
produk-produk aerosol, freezer dan air conditioner yang meresidu
hydrofluorocarbons (HFCs). Pelepasan gas ini melebihi ambang batas sehingga
kepadatan gas meningkat di atmosfer.
Disebut gas rumah kaca karena gas ini beranalogi dengan sifat ruang kaca
yang menyerap panas dan memantulkan cahaya. Oleh sebab itu peningkatan
konsentrasi ini merubah atmosfer yang bersuhu hangat menjadi bersuhu panas.
Sehingga pemanasan merata di atmosfer diterminologikan sebagai pemanasan
global (Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, 2008).
18
Pemanasan global menyebabkan pencairan es di kutub bumi. Sejatinya,
kutub bumi merupakan salah satu alat penyeimbang suhu air laut dan suhu udara
di biosfer. Namun karena pemanasan global fungsi es kutub menjadi menurun
bahkan menjadi penyebab meningkatnya permukaan air laut karena volume air
secara global meningkat (Meiviana, Sulistiowati, dan Soejachmoen, 2004).
Selanjutnya Meiviana at al (2004) menguraikan, peningkatan volume air
di bumi menjadi penyebab kompetisi ruang oleh tiga materi utama bumi yaitu
perairan, daratan dan udara karena dua entitas berikutnya mengalami pemuaian
oleh pemanasan global. Hal inilah yang memicu terjadinya perubahan iklim.
Fenomena ini selanjutnya diikuti perebutan ruang oleh materi lainnya baik biotic
maupun abiotik. Dan secara alami terjadi juga perebutan energi biomas dalam
peristiwa jejaring makanan dikarenakan perubahan prilaku entitas biotik.
Sehingga terjadi dominasi populasi yang diikuti ancaman pemunahan populasi
organisme. Keseimbangan ekologi terganggu, terjadi bencana alam dan bencana
ekologi yang berkausalitas timbal-balik. Keseimbangan populasi manusia turut
terancam jika tidak melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Kelebihan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer sebagai pemicu dari
pemanasan global hingga kompetisi biotik dan abiotik dalam habitat. Sehingga
masyarakat dunia yang terepresentasi dalam Organisasi Perserikatan Bangsa-
bangsa sejak tahun 1992 hingga saat ini terus menegosiasikan strategi mitigasi dan
adaptasi terhadap dampak perubahan iklim (Ginoga, et al , 2008)
Mitigasi dalam kontek penanggulangan perubahan iklim adalah upaya
penurunan konsentrasi gas rumah kaca. Tiga cara yang hingga saat ini
terformulasi yaitu; 1) Menyerap gas rumah kaca dengan cara memanfaatkan
fisiologi tumbuhan berklorofil yang menyerap CO2 saat memproduksi zat pati,
tersimpan dalam biomas, melepaskan O2 dan menyerap H2O dari tanah melalui
fungsi akar. 2) Menimbun gas rumah kaca dalam biomas dan tanah dengan cara
mengkonservasi atau penundaan pemanfaatan. 3) Mengurangi pelepasan gas
rumah kaca dengan cara menggunakan bahan bakar alternative, menggunakan
energi alternative dan hingga meniadakan penggunaan bahan bakar konvensional
sebagai energi. Sedangkan adaptasi dalam kontek penanggulangan perubahan
19
iklim adalah strategi penyesuaian diri manusia terhadap dampak yang muncul dari
perubahan iklim yaitu; bencana alam, bencana ekologi. Tiga adaptasi yang harus
dipersiapkan yaitu; adaptasi peradaban, adaptasi kepribadian, adaptasi fisiologi
dan adaptasi genetic (Rufi'i, 2008).
Adaptasi peradaban adalah upaya adaptasi dengan cara membangun
pengetahuan etika dan estetika sehingga infrastruktur peradaban, interaksi social-
ekonomi-budaya-politik yang terbangun dimasa mendatang dapat mengantisipasi
ketidak pastian bencana alam dan bencana ekologi. Pembangunan pengetahuan
etika dan estetika tersebut diarahkan menuju perlindungan terhadap keseimbangan
populasi manusia di bumi. Oleh sebab itu peradaban adaptasi, dengan keterbatasan
kuantitas dan kualitas air, udara dan daratan, akan menuju pada upaya efisiensi
dan efektifitas pemanfaatan sumberdaya tersebut.
Adaptasi peradaban manusia di dunia terhadap perubahan iklim di mulai
sejak tahun 1992, dalam acara KTT Bumi di Rio De Janeiro menyepakati
dibentuknya UNFCCC. Sejak saat itu, setiap tahunnya negara-negara berkumpul
untuk menegosiasikan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Protokol Kyoto yang di tandatangani pada pertemuan ke 3 yang disebut
Conference of parties (COP3-1995 di Jepang) merupakan babak baru adaptasi
peradaban yang ditandai dengan perubahan kebijakan pengembangan industri
yang lebih efisien dalam mengemisi gas buang yang membahayakan konsentrasi
gas rumah kaca di atmosfer (Meiviana, et al, 2004)
Adaptasi kepribadian adalah upaya adaptasi individu manusia dalam
rangka menyesuaikan diri terhadap lingkungan hidupnya yang baru yaitu; suhu
udara yang ekstrim, bencana yang silih berganti hadir, keterbatasan asupan air,
udara dan pangan serta keharusan untuk efiensi energi dan emisi. Situasi ini akan
membangun kepribadian baru yang terlihat dari tata cara berpakaian, tatacara
mencari nafkah, tatacara berinteraksi, tatacara berkonsumsi, tatacara
menyelamatkan diri dan tatacara lainnya yang membentuk kepribadian manusia
unggul yang memiliki survival rate tinggi.
20
Setiap rumah tangga dalam berpartisipasi menghadapi perubahan
sebaiknya melakukan penghematan penggunaan energi seperti; berkonsumsi
minus emsi, bermobilisasi minus emisi, berekreasi minus emisi, bekerja minus
emisi serta harus mempersiapkan diri agar selalu menjaga kesehatan dan memiliki
kemampuan menyelamatkan diri dari berbagai bencana (Meiviana, et al, 2004).
Adaptasi fisiologi adalah upaya adaptasi organ tubuh manusia dalam
rangka menyesuikan kondisi lingkungan yang penuh bencana, penurunan kualitas
dan kuantitas air, udara dan pangan. Sehingga survival rate manusia secara
biologis cukup tinggi. Selain itu dalam jangka panjang akan terjadi adaptasi
genetik dengan skenario; akan lahir bayi-bayi manusia yang memiliki fisik dan
fungsi organ tubuh menyesuaikan habitat baru yang penuh dengan keterbatasan
air, udara dan pangan serta dipenuhi bencana.
Pada kenyataannya ada perbedaan fisiologi dan morfologi manusia dilihat
dari dispersi populasi secara vertikal dari wilayah pantai hingga wilayah
pegunungan, manusia habitat pegunungan karena tekanan udara dan minimnya
ketersediaan oksigen, paru-parunya beradaptasi hingga efisien memanfaatkan
udara untuk metabolisma dengan demikian kemampuan darah sebagai alat
transportasi juga turut beradaptasi. Sedangkan dispersi populasi secara horizontal
dari wilayah iklim tropis, temperet hingga kutub, terjadi adaptasi mofologis yaitu
ukuran fisik tubuh dan sensitifitas kulitnya beradaptasi dengan suhu pada iklim
yang berlaku di habitat tersebut walaupun sebagai satu spesies ataupun
varietasnya, terlepas dari perdebatan tentang kebenaran teori darwin (Kasry,
2007).
21
V. PENYIAPAN MODEL MANUSIA UNGGUL
Semua pemerintahan negara-negara di dunia baik yang telah meratifikasi
Protocol Kyoto maupun yang belum seperti dua negara adidaya Amerika Serikat
dan Australia, telah menyadari dampak perubahan iklim sehingga dengan atau
tanpa target Protocol Kyoto, semua harus melakukan mitigasi dan adaptasi demi
keselamatan negara dan rakyatnya. Namun apakah jika pemerintahan negara telah
melakukannya maka rakyatnya ototamis selamat? Bisa ya jika sistem mitigasi dan
adaptasi yang dipersiapkan memang cukup sempurna. Jika tidak, maka populasi
manusia di negara tersebut tetap dalam ancaman bencana yang serius. Oleh sebab
itu perlu dipersiapkan upaya mitigasi dan adaptasi personal sehingga setiap
individu manusia memang mampu berpartisipasi dalam penurunan konsentrasi gas
rumah kaca dan beradaptasi pada situasi keterlanjuran terancam bencana.
22
Untuk masa datang perlu dipersiapkan model manusia unggul yang
mampu melakukan dua hal tersebut sehingga populasi manusia survival di muka
bumi dalam kondisi habitat yang kurang nyaman.
Model adalah prototype, figure, character, performance suatu sabjek,
suatu predikat, maupun suatu objek yang diduplikasi mendekati situasi kondisi
aslinya. Permodelan yang umum dilakukan hingga dewasa ini yaitu permodelan
fisik dengan skala lebih besar maupun lebih kecil, contohnya sel yang berukuran
mikroskopik harus dimodelkan lebih besar hingga kasat mata dan atau kasat raba.
Sedang benda antariksa biasanya dimodelkan lebih kecil agar kasat raba.
Permodelan yang lebih modern adalah model matematika yang bisa diproyeksikan
dengan teknologi computer sehingga skala model lebih beragam sesuai kebutuhan.
Seperti yang tertera pada http://id.wikipedia.org/wiki/Model, Model adalah
rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau
konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya dapat
berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar rancangan,
citra komputer), atau rumusan matematis.
Penyusunan model selalu diawali dengan menyusun variabel-variabel dari
parameter yang ada pada sabjek/predikat/objek yang akan dimodelkan. Parameter
tersebut bisa merupakan parameter hasil interpolasi maupun hasil ekstrapolasi.
Dalam tulisan ini parameter tersebut diterminologikan sebagai kriteria dan syarat
kriteria diterminologikan sebagai indikator. Selanjutnya dalam penyusunan model,
dilakukan akumulasi criteria. Berikut ini adalah kriteria dan indikator yang
ditawarkan dalam tulisan ini untuk penyusunan model manusia unggul (Tabel 1).
Tabel 1. Kriteria dan indikator kepribadian manusia unggul
Kriteria IndikatorKepribadian 1. Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencanaKepribadian 2. Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan
menyelamatkan diriKepribadian 3. Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana
Kepribadian 4. Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana
Kepribadian 5. Memotivasi orang lain untuk menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat sederhana
23
Dari Tabel 1. tersebut terlihat bahwa criteria yang ditawarkan ada 5 yaitu
kepribadian 1, 2, 3, 4 dan 5, masing-masing kriteria memiliki indikator tersendiri
dengan batasan yang tegas. Selanjutnya dari tabel kriteria dan indikator, disusun
model dengan cara melakukan komulasi bertingkat dan hasilnya adalah seperti
berikut ini.
Tabel 2. Kriteria dan indikator penyusunan model manusia unggulModel Variabel
Model 1. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencanaModel 2. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2) Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diriModel 3. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2) Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri 3) Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana
Model 4. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana 2) Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri 3) Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana 4) Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat
sederhanaModel 5. 1) Berkemampuan menyelamatkan diri dari bencana
2) Memotivasi orang lain untuk membangun kemampuan menyelamatkan diri 3) Berkemampuan menyelamatkan orang lain dari bencana 4) Berprilaku menurunkan atau meniadakan emisi dalam penggunaan pesawat
sederhana5) Memotivasi orang lain untuk menurunkan atau meniadakan emisi dalam
penggunaan pesawat sederhana
Dari tabel 2. tersebut terlihat lima model manusia unggul yang berurut dan
menggambarkan tingkat kualitas model manusia dalam rangka mitigasi dan
adaptasi terhadap perubahan iklim. Pengembangan model ini memiliki asumsi
yang disusun dalam bentuk kausalitas sebagai berikut:
1) Jika model 1. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan musnah dalam bencana
2) Jika model 2. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan kecil peluang musnah dalam bencana
3) Jika model 3. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana
4) Jika model 4. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana dan terjadi proses mitigasi tingkat lokal
5) Jika model 5. Lebih berkembang dalam populasi maka yang bukan model 1. Akan besar peluang selamat dari bencana dan terjadi proses mitigasi tingkat regional
24
Demikian model ini disusun sebagai landasan berpikir penyusunan
proposal penelitian di masa mendatang oleh pihak yang tertarik melakukan
alternatif dalam upaya mengahadapi dampak perubahan iklim sebagai antisipasi
jika pada kenyataannya target penurunan emisi yang ditetapkan dalam Protokol
Kyoto tidak bisa dicapai oleh negara-negara partisipannya sehingga pada
Converence Of Parties ke 18 tahun 2012 (COP 18-UNFCCC, 2012) perlu disusun
agenda alternative yaitu upaya mitigasi dan adaptasi oleh individu manusia,
sehingga konsep perdagangan karbon akan memberlakukan skema sertifikasi
manusia unggul yang berpartisipasi dalam rangka penurunan konsentasi gas
rumah kaca.
DAFTAR PUSTAKA
Azam. 2008. Akrab dengan dunia IPA. Serangkai Pustaka Mandiri, Solo. Ginoga, K. L, A. N. Ginting, dan A. Wibowo, (Eds). 2008. Isu pemanasan Global,
UNFCCC, Kyoto Protokol dan Peluang Aplikasi A/R CDM. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Diposaptono, S. 2008. Hidup Akrab dengan Gempa dan Tsunami., Sarana Komunikasi Utama, Bogor.
HYPERLINK "http://djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon/" djwie.wordpress.com/2008/11/24/lapisan-ozon . 28-06.2009
Haryanto. 2007. Sains untuk Sekolah Sasar Kelas V. Gelora Aksara Pratama, Jakarta.
Kasry, A. 2007. Dasar-Dasar Ekologi dan Lingkungan Hidup untuk Sains Ilmu Lingkungan. Ekologi dan Lingkungan Hidup. Laboratorium Ekologi Perairan, Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru.
Kasry, A. 2009a. Dampak Pemanasan Global Terhadap Perubahan Iklim. Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se Dunia Tahun 2009 tanggal 18 Juni
25
2009 (p. 9). Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, Pemda Kabupaten Rokan Hilir, Bagan Siapi-api.
Kasry, A. 2009b. Menyelamatkan Ekosistem Bumi. Riau Pos. Pekanbaru,Meiviana, A., Sulistiowati, D. R., dan Soejachmoen, M. H. 2004. Bumi Makin
Panas, Ancaman Perubahan Iklim di Indonesia. Yayasan Pelangi, Jakarta.Ministry of The Environment, Japan. 2005. Panduan Mekanisme Pembangunan
Bersih di Indonesia. (electronic). (G. Helten, Ed., & C. I., Trans.) Institute for Global Environmental Strategies, Jakarta.
Murdiyanto, B. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai. Cofish Project, Jakarta.
Najiati, S., Agus, A., & Suryadiputra, I. N. 2005a. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Wetland International-IP, Bogor:
Najiati, S., Muslihat, L., & Suryadiputra, I. N. 2005b. Panduan Pengelolaan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan. Wetland International-IP, Bogor.
Noor, Y. R., & Heyde, J. 2007. Pengelolaan Lahan Gambut Berbasis Masyarakat di Indonesia. Wetland International-IP, Bogor:
Rufi'i. 2008. Glossary of Climate Change acronyms. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta.
Suryadiputra, I. N., Dohong, A., Wibisono, S. R., Muslihat, L., Lubis, I. R., Hasudungan, F., et al. 2005. Panduan Penyekatan Parit dan Saluran di Lahan Gambut Bersama Masyarakat. Wetland International-IP, Bogor.
Wibisono, I. T., Siboro, L., & Suryadiputra, I. N. 2005. Panduan Rehabilitasi dan Teknik Silvikultur di Lahan Gambut. Wetlands International-IP, Bogor:
Yayasan Pelangi. 2006. Perubahan iklim. Brosur. Yayasan Pelangi, Jakarta.
Top Related